Post on 10-Mar-2019
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Ikan
Ikan didefinisikan sebagai jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari
siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Ikan termasuk ke dalam
sumberdaya yang dapat diperbaharui atau dapat memperbaharui diri sendiri
(Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1 ayat 4). Menurut
Nikijuluw (2001) vide Randika (2008), sumberdaya ikan bersifat open access
dimana siapa saja dapat berpartisipasi memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa
harus memilikinya. Selain itu, Nikijuluw (2001) vide Randika (2008) juga
menyatakan bahwa terdapat tiga sifat khusus yang dimiliki sumberdaya ikan,
yaitu:
1) Eksludabitas
Sifat fisik ikan yang bergerak ditambah lautan yang cukup luas
membuat upaya pengendalian dan pengawasan terhadap sumberdaya ikan bagi
stakeholder tertentu menjadi sulit.
2) Subtraktabilitas
Suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian
atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain dalam
pemanfaatan sumberdaya, akan tetapi berdampak negatif pada kemampuan
orang lain dalam memanfaatkan sumberdaya yang sama.
3) Indivisibilitas
Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik
bersama sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara
administratif pembagian ataupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas
manajemen.
Sumberdaya ikan dapat dikelompokkan berdasarkan habitat hidupnya,
dimana pengelompokkan tersebut terdiri dari sumberdaya ikan pelagis dan
sumberdaya ikan demersal.
2.1.1 Sumberdaya ikan pelagis
Ikan pelagis adalah ikan yang hidupnya berada pada lapisan permukaan
perairan sampai tengah perairan dan hidupnya secara bergerombol baik dengan
8
kelompoknya maupun dengan jenis ikan lainnya. Ikan pelagis memiliki sifat
fototaxis positif dan tertarik pada benda-benda terapung. Adapun ikan pelagis
merupakan ikan yang termasuk ke dalam kelompok perenang cepat (Mukhsin
2002).
Ikan pelagis dikelompokkan menjadi dua oleh Direktorat Jenderal
Perikanan (1998) vide Randika (2008) dimana pengelompokkan tersebut
didasarkan pada ukuran ikan pelagis. Pengelompokkan tersebut yaitu:
1) Pelagis besar
Mempunyai ukuran 100 – 250 cm (ukuran dewasa), umumnya ikan pelagis
besar adalah ikan peruaya dan perenang cepat. Contoh dari ikan pelagis besar
antara lain ikan tuna, cakalang, dan tongkol.
2) Pelagis kecil
Mempunyai ukuran 5 – 50 cm, didominasi oleh enam kelompok besar yaitu
kembung, layang, jenis selar, lemuru dan teri. Ikan pelagis kecil hidup
dilapisan permukaan perairan sampai kedalaman 30 – 60 cm, tergantung pada
kedalaman laut.
2.1.2 Sumberdaya ikan demersal
Ikan demersal adalah ikan yang habitatnya berada pada lapisan dasar
perairan. Widodo (1980) menyatakan bahwa perubahan ikan demersal
berdasarkan sifat ekologinya, yaitu reproduksi yang stabil, hal ini disebabkan
oleh:
1) Habitat di lapisan dasar laut yang relatif stabil, sehingga mengakibatkan daur
hidup ikan demersal juga stabil.
2) Daerah ruayanya yang sempit dan ikan demersal cenderung menempati suatu
daerah dengan tidak membentuk kelompok besar, oleh karena itu besar
sediaannya sangat dipengaruhi oleh luas daerah yang ditempatinya.
Apabila kondisi lingkungan memburuk, ikan demersal tidak mampu untuk
menghindar sehingga dapat mengakibatkan penurunan stok sumberdaya ikan
demersal. Ikan demersal berbeda dengan ikan pelagis yang masih mampu beruaya
ke daerah perairan baru yang lebih baik kondisinya. Ikan demersal pada umumnya
dapat hidup dengan baik pada perairan yang bersubtrat lumpur, lumpur berpasir,
karang dan karang berpasir (Fischer dan Whiteahead 1974 vide Randika 2008).
9
2.2 Ikan Cakalang
Ikan cakalang memiliki nama internasional skipjack tuna dan nama
lokalnya adalah cakalang. Menurut Saanin (1984), ikan cakalang memiliki
klasifikasi ilmiah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Sub. Kingdom: Metazoa
Filum: Chordata
Sub. Filum: Vertebrata
Kelas: Osteichthyes
Sub. Kelas: Actinopterygii
Ordo: Perciformes
Sub. Ordo: Scombridae
Famili: Scombridae
Genus: Katsuwonus
Spesies: Katsuwonus pelamis
Sumber: www.fishbase.org
Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Ikan cakalang merupakan ikan pelagis besar yang hidup pada kisaran
kedalaman 0 – 260 meter. Panjang maksimum yang dapat dicapai oleh ikan
cakalang adalah 110 cm dan berat maksimum 34,5 kg dengan umur maksimum 12
tahun. Ikan cakalang mengalami matang gonad pada panjang (length at first
maturity) 40 cm (Fishbase 2010). Barkley et al. (FAO 1994) vide Tadjuddah
(2005) menambahkan bahwa ikan cakalang yang berada pada permukaan perairan
tropis merupakan ikan cakalang yang berukuran kecil (kurang dari 4 kg)
10
sedangkan ikan cakalang yang berukuran besar (lebih dari 6,5 kg) berhabitat di
perbatasan termoklin dan beradaptasi dengan perairan sejuk.
Menurut Collette and Nauen (1983), ciri-ciri morfologi untuk ikan
cakalang adalah:
1. bentuk tubuhnya yang fusiform, memanjang, dan agak bulat;
2. taping insang (gill raker) berjumlah 53 – 63 pada helai pertama;
3. mempunyai sirip punggung yang terpisah, dimana pada sirip punggung yang
pertama terdapat 14 – 16 jari-jari keras, sedangkan jari-jari lemah terdapat
pada sirip punggung kedua yang diikuti oleh 7 – 9 finlet;
4. sirip dada pendek;
5. terdapat dua flops diantara sirip perutnya;
6. sirip anal diikuti dengan 7 – 8 finlet;
7. badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line
terdapat titik-titik kecil;
8. bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) dan disisi bawah berwarna
keperakan, dengan 4 – 6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang
pada bagian samping badan.
Ayodhyoa (1981) menjelaskan bahwa ikan cakalang termasuk ikan
perenang cepat dan termasuk ikan yang memiliki sifat makan rakus. Ikan cakalang
merupakan jenis ikan bergerombol yang bersamaan melakukan ruaya dengan cara
bergerombol disekitar pulau maupun jarak jauh.
2.3 Alat Tangkap Ikan Cakalang
Ikan cakalang dapat ditangkap dengan menggunakan berbagai alat tangkap
yang dapat menangkap ikan pelagis. Namun, ikan cakalang dapat pula tertangkap
secara sengaja maupun tidak sengaja oleh alat tangkap yang khusus untuk
menangkap ikan demersal. Berikut merupakan beberapa alat tangkap yang biasa
digunakan untuk menangkap ikan cakalang di Provinsi Nusa Tenggara Barat:
2.3.1 Purse seine
Baskoro (2002) menjelaskan bahwa purse seine (pukat cincin) adalah
jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan
tali kerut yang dilewatkan melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring
11
(tali ris bawah), sehingga dengan menarik tali kerut bagian bawah jaring dapat
dikucupkan dan jaring akan berbentuk seperti mangkok. Subani dan Barus (1989)
menambahkan bahwa dengan adanya tali kerut pada purse seine, maka jaring
yang semula tidak berkantong akan berbentuk kantong pada tiap akhir
penangkapan ikan.
Menurut Ayodhyoa (1981), purse seine merupakan alat tangkap yang
efektif untuk menangkap jenis ikan pelagis. Adapun purse seine dioperasikan
dengan cara melingkarkan jaring pada gerombolan ikan, kemudian jaring pada
bagian bawah dikerucutkan. Hal tersebut dilakukan untuk memperkecil ruang
lingkup dari gerak ikan sehingga ikan tidak dapat melarikan diri dan akhirnya
tertangkap.
Purse seine merupakan alat tangkap yang efektif untuk menangkap ikan-
ikan pelagis di sekitar permukaan air. Purse seine dibuat dengan dinding jaring
yang lebih panjang, terkadang mendekati hingga kiloan meter dengan panjang
jaring bagian bawah sama atau lebih panjang dari bagian atas. Dengan bentuk
konstruksi jaring seperti ini, tidak ada kantong yang berbentuk permanen pada
jaring purse seine (Brandt 1984).
Sumber: www.iftfishing.com
Gambar 3 Ilustrasi pengoperasian alat tangkap purse seine
Menurut Subani dan Barus (1989), konstruksi purse seine terdiri dari:
1. Bagian jaring, terdiri dari jaring utama, jaring sayap, dan jaring kantong;
2. Srampatan (selvedge), dipasang pada bagian pinggiran jaring yang berfungsi
memperkuat jaring sewaktu dioperasikan, terutama saat penarikan jaring;
12
3. Tali temali, terdiri atas tali pelampung, tali ris atas, tali ris bawah, tali
pemberat, tali kolor, dan tali selambar;
4. Pelampung;
5. Pemberat;
6. Cincin.
Menurut Potier dan Sadhotomo (1995) vide Chodriyah (2009),
berdasarkan sumberdaya pelagis yang dieksploitasi, bentuk geografi fisik (letak
sungai dan pantai) dan geografi manusia (permodalan, tempat pendaratan dan
pasar yang potensial), maka bentuk perikanan purse seine dapat dibedakan
menjadi tiga jenis yaitu:
1. Perikanan purse seine mini:
Tersebar sepanjang pantai Utara Jawa (terutama Provinsi Jawa Timur) dan
Provinsi Kaimantan Selatan (sekitar Pulau laut). Dengan waktu penangkapan
yang relatif pendek, nelayan pada perikanan purse seine mini mencari jenis-
jenis ikan yang mempunyai nilai komersial tinggi dan dipasarkan secara lokal.
2. Perikanan purse seine sedang:
Terdapat hanya di pelabuhan Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Waktu
penangkapan berlangsung antara 6 sampai 15 hari. Hasil tangkapan dijual
secara segar di pelelangan untuk dipasarkan di dalam Provinsi Jawa Tengah
atau provinsi lainnya di Jawa.
3. Perikanan purse seine besar:
Terpusat di Provinsi Jawa Tengah, yaitu Tegal, Pekalongan, Batang, dan
Juwana serta Rembang. Waktu penangkapan dapat mencapai 40 hari. Hasil
tangkapan dijual segar atau asin dan dipasarkan sampai keluar Jawa.
2.3.2 Gillnet
Menurut Ayodhyoa (1981), istilah gillnet berasal dari pemikiran bahwa
ikan-ikan yang tertangkap pada alat tangkap gillnet terjerat pada bagian sekitar
operculum pada mata jaring. Di Indonesia, gillnet sering disebut dengan jaring
insang, jaring rahang, jaring dan lain sebagainya. Selain itu, penamaan gillnet
pada daerah-daerah tertentu beraneka ragam, ada yang menyebutnya berdasarkan
jenis ikan yang tertangkap seperti jaring koro, jaring udang, dan sebagainya. Ada
13
pula yang menyebut gillnet disertai dengan nama tempat seperti jaring udang
bayeman.
Martasuganda (2008) menyatakan bahwa jaring insang (gillnet) adalah
salah satu alat penangkap ikan dari bahan jaring monofilament atau multifilament
yang dibentuk menjadi empat persegi panjang, pada bagian atasnya dilengkapi
dengan beberapa pelampung dan pada bagian bawahnya dilengkapi dengan
beberapa pemberat sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan
memungkinkan gillnet dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan
tegak menghadang biota perairan. Martasuganda (2008) menambahkan bahwa
jumlah mata jaring gillnet ke arah horizontal jauh lebih banyak dibandingkan
dengan mata jaring gillnet ke arah vertikal.
Sumber: http://bcheritage.ca/pacificfisheries/techno/img_tech/draw5m2.jpg
Gambar 4 Alat tangkap gillnet
Metode pengoperasian gillnet umumnya dilakukan secara pasif, tetapi ada
juga yang dioperasikan secara semi aktif atau dioperasikan secara aktif. Gillnet
yang dioperasikan secara pasif umumnya dilakukan pada malam hari dengan atau
tanpa alat bantu cahaya. Sedangkan gillnet yang dioperasikan secara aktif atau
semi aktif, pemasangan jaring insang pada daerah penangkapan umumnya
dilakukan pada siang hari atau dengan cara mengaktifkan jaring supaya ikan
tertangkap atau dengan kata lain tidak menunggu agar ikan memasuki jaring
(Baskoro dan Effendy 2005). Hasil tangkapan gillnet bermacam-macam, namun
alat tangkap ini pada umumnya menangkap ikan-ikan yang termasuk ke dalam
14
ikan pelagis seperti ikan cakalang, lemuru, udang, kembung, tembang, layang, dan
belanak.
Baskoro dan Effendy (2005) menambahkan bahwa alat tangkap gillnet
dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis berdasarkan metode
pengoperasiannya, yaitu drift gillnet (jaring insang hanyut), set gillnet (jaring
insang menetap), encircling gillnet (jaring insanga lingkar), drive gillnet (jaring
insang giring) dan towed gillnet (jaring insang sapu). Selain itu, gillnet dapat pula
dibedakan berdasarkan lokasi pengoperasiannya, yaitu surface gillnet (jaring
insang permukaan), midwater gillnet (jaring insang kolong/pertengahan) dan
bottom gillnet (jaring insang dasar). Martasuganda (2008) menjelaskan pula
bahwa gillnet dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah lembar bahan jaring yang
digunakan, yaitu jaring insang satu lembar (gillnet), jaring insang dua lembar
(semi trammel net/double gillnet) dan jaring insang tiga lembar (trammel net).
2.3.3 Huhate
Nama internasional untuk alat tangkap huhate adalah pole and line. Alat
tangkap huhate merupakan alat tangkap yang termasuk ke dalam klasifikasi
pancing, dimana huhate terdiri dari joran (pole), tali pancing (line) dan mata
pancing tanpa kait (barbless hook). Pada umumnya joran terbuat dari bambu atau
fiberglass. Tali pancing pada huhate terdiri dari tiga bagian, yaitu tali kepala
(head line), tali utama (main line) dan tali pengikat. Tali kepala terletak pada
bagian ujung joran, dimana tali kepala tersebut disambungkan dengan tali utama
(Ilyas 2003).
Mata pancing pada alat tangkap pancing umumnya terbuat dari baja,
namun pada huhate mata pancing yang digunakan adalah mata pancing tanpa kait.
Pada saat kegiatan penangkapan, tangkai mata pancing dipasang umpan buatan
berupa bulu ayam agar mata pancing tidak terlalu mencolok. Namun, adapula
yang menggunakan umpan alami untuk kegiatan perikanan huhate ini. Ukuran
mata pancing yang digunakan untuk alat tangkap huhate sangat bervariasi,
bergantung pada ukuran ikan yang menjadi target penangkapan (Nugraha dan
Rahmat 2008).
15
Dalam kegiatan pengoperasian alat tangkap huhate, ketrampilan nelayan
dalam mengoperasikan alat tangkap huhate merupakan unsur yang sangat penting.
Hal ini dikarenakan kawanan ikan di permukaan sekitar kapal sangat singkat
waktunya sehingga keahlian melempar umpan untuk menarik gerombolan ikan
untuk dapat lama bertahan di sekitar kapal dan ketrampilan pemancing
mendaratkan ikan ke atas dek sangat diperlukan.
Posisi ABK pada saat melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan alat
tangkap huhate ditentukan berdasarkan tingkat ketrampilan nelayan. Pemancing
utama, yang tingkat ketrampilannya telah tinggi, berada pada bagian haluan kapal
dimana tempat tersebut merupakan tempat konsentrasi ikan. Sedangkan
pemancing pemula, yang tingkat ketrampilannya masih rendah, berada pada
bagian buritan kapal dan atau pada sisi kapal yang bukan merupakan tempat
berkumpulnya ikan. Jumlah nelayan pada kapal huhate sangat bervariasi,
bergantung pada dimensi kapal huhate yang digunakan untuk kegiatan perikanan
huhate. Semakin besar ukuran kapal maka semakin banyak jumlah nelayan yang
digunakan untuk kegiatan perikanan huhate (Nugraha dan Rahmat 2008).
Kapal yang digunakan untuk kegiatan perikanan huhate memiliki keunikan
yaitu bagian haluan kapal dibuat lebih panjang dari kapal-kapal lainnya dengan
tujuan sebagai tempat untuk kegiatan memancing. Pada setiap sisi kapal
dilengkapi dengan sprayer yang berfungsi sebagai alat penyemprot air yang
ditujukan untuk mengaburkan pandangan ikan target tangkapan. Namun, adapula
yang mengatakan bahwa sprayer tersebut digunakan untuk mengelabui ikan target
tangkapan agar ikan-ikan tersebut mengira bahwa air yang jatuh adalah umpan
yang ditebar sehingga ikan-ikan tersebut mudah untuk dipancing (Ilyas 2003).
Sumber: http://2.bp.blogspot.com/
Gambar 5 Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap huhate
16
Hasil tangkapan untuk kegiatan perikanan huhate pada umumnya
merupakan jenis ikan tuna. Adapun jenis ikan yang sering ditangkap dengan alat
tangkap huhate adalah ikan cakalang, albacore, tongkol, kakap, dan ikan-ikan
pelagis kecil.
2.3.4 Pancing ulur
Pancing adalah salah satu alat tangkap yang paling umum dikenal oleh
masyarakat, terutama di kalangan nelayan. Pada prinsipnya, pancing terdiri dari
dua komponen utama yaitu tali (line) dan mata pancing (hook). Tali pancing
biasanya terbuat dari benang katun, nylon, polyethylen, plastik (senar), dan lain-
lain. Mata pancing dibuat dari kawat baja, kuningan, atau bahan lain yang tahan
karat. Pada umumnya ujung mata pancing tersebut berkait balik, namun ada juga
yang tanpa berkait balik (Subani dan Barus 1989).
Berdasarkan konstruksinya, pancing ulur termasuk dalam kelompok
angling (Ayodhyoa 1981). Brandt (1984) mendeskripsikan pancing adalah alat
tangkap yang sederhana, dioperasikan oleh nelayan kecil, memerlukan modal
kecil dan tidak membutuhkan kapal yang khusus. Alat tangkap pancing ulur
digolongkan ke dalam fishing with line yang dilengkapi dengan mata pancing.
Sumber: www.zimbio.com
Gambar 6 Ilustrasi pengoperasian alat tangkap pancing ulur
17
Konstruksi pancing ulur di setiap daerah adalah sama. Perbedaannya
hanya pada ukuran tali, pancing dan pemberat yang digunakan. Nomura (1981)
menyebutkan bahwa pancing ulur tergolong alat tangkap yang sangat sederhana.
Hal ini dikarenakn pancing ulur hanya terdiri dari mata pancing, tali, gulungan
dan pemberat. Adapun ukuran mata pancing dan besarnya tali yang digunakan
disesuaikan dengan ukuran ikan yang menjadi sasaran penangkapan (Farid et al.
1989).
Perikanan pancing ulur adalah sistem penangkapan yang mempergunakan
mata pancing dengan atau tanpa umpan yang diikatkan pada tali pancing dan
secara langsung dioperasikan dengan tangan manusia. Ciri khas dari penangkapan
ini adalah konstruksinya yang sangat sederhana, skalanya kecil dan tidak
memerlukan modal yang besar. Jadi, meskipun hasil tangkapannya sedikit,
keuntungan masih dapat diandalkan. Selain itu, alat tangkap pancing ulur dapat
dioperasikan pada tempat-tempat dimana alat tangkap lain sukar untuk
dioperasikan, misalnya di tempat-tempat dalam, berarus cepat atau dasar perairan
berkarang (Monintja dan Martasuganda 1991 vide Zainuddin 2002).
2.3.5 Pancing tonda
Menurut Subani dan Barus (1989), pancing tonda disebut juga dengan
pancing tarik. Adapun bahasa internasional untuk pancing tonda adalah troll line.
Gunarso (1998) menambahkan bahwa pancing tonda atau pancing tarik
merupakan alat penangkap ikan tradisional. Alat ini digunakan untuk menangkap
jenis-jenis ikan pelagis, seperti tuna, cakalang, dan tongkol, yang biasa hidup
dekat permukaan, mempunyai nilai ekonomis tinggi dan mempunyai kualitas
daging dengan mutu tinggi.
Pancing tonda adalah alat penangkap ikan yang terdiri dari seutas tali
panjang, mata pancing dan umpan. Pancing ditarik di belakang perahu motor atau
kapal yang sedang bergerak. Pada saat pengoperasiannya, sejumlah pancing
dioperasikan secara bersamaan. Umpan yang digunakan untuk pancing tonda
adalah umpan buatan (Ayodhyoa 1981).
18
Sumber: www.zimbio.com
Gambar 7 Ilustrasi pengoperasian alat tangkap pancing tonda
Menurut Ayodhyoa (1981), pancing tonda dikelompokkan pada alat
tangkap pancing dengan beberapa kelebihan,diantaranya adalah:
1. Metode pengoperasian relatif sederhana;
2. Modal yang diperlukan lebih sedikit;
3. Dapat menggunakan umpan buatan;
4. Syarat-syarat fishing ground relatif lebih sedikit dan dapat bebas memilih;
5. Ikan yang tertangkap seekor demi seekor, sehingga kesegarannya dapat
terjamin.
Adapun kekurangan yang dimiliki oleh pancing tonda yaitu:
1. Jumlah hasil tangkapan lebih sedikit dibandingkan alat tangkap yang lain
2. Keahlian perseorangan sangatlah berpengaruh pada penentuan tempat, waktu,
dan syarat-syarat lain.
Banyak bentuk dan macam dari pancing tonda, namun pada prinsipnya
adalah sama. Pancing tonda terdiri dari beberapa komponen,yaitu:
1. Tali utama
2. Kili-kili (swivel)
3. Tali kawat (wire rope)
4. Mata pancing (hook)
5. Pemberat (sinker)
6. Umpan (bait)
7. Penggulung tali utama (roller)
19
Sumber: www.zimbio.com
Gambar 8 Komponen-komponen pancing tonda
2.4 Model Surplus Produksi
Menurut Sparre and Venema (1999), tujuan penggunaan model surplus
produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut effort
MSY), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan
maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang,
yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable
yield/MSY). Model surplus produksi dapat diterapkan bila diketahui dengan baik
tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per
unit upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies dan/atau CPUE berdasarkan
spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan
harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup.
Gulland (1988) vide Kurniawati (2005) menguraikan bahwa maximum
sustainable yield (MSY) adalah hasil tangkapan terbanyak berimbang yang dapat
dipertahankan sepanjang masa pada suatu intensitas penangkapan tertentu yang
mengakibatkan biomassa sediaan ikan pada akhir suatu periode tertentu sama
dengan sediaan biomassa pada permulaan periode tertentu tersebut. Maximum
sustainable yield mencakup 3 hal penting yaitu:
1. Memaksimalkan kuantitas beberapa komponen perikanan
2. Memastikan bahwa kuantitas-kuantitas tersebut dapat dipertahankan dari
waktu ke waktu
3. Besarnya hasil penangkapan adalah alat ukur yang layak untuk menunjukkan
keadaan perikanan
roller
swivel
swivel
hook hook
wire rope
tali utama
20
Model surplus produksi yang digunakan untuk menentukan MSY dan
upaya penangkapan optimum ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dari
sediaan ikan sebagai massa yang uniform dan tidak berhubungan dengan
komposisi dari sediaan seperti proporsi ikan tua atau besar. Kelebihan model
surplus produksi ini adalah tidak banyak memerlukan data, yaitu hanya data hasil
tangkapan dan upaya penangkapan atau hasil tangkapan per satuan upaya
(Kurniawati 2005).
Menurut Sparre dan Venema (1999), terdapat beberapa persyaratan untuk
analisis model surplus produksi,antara lain:
1. Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap
relatif
2. Distribusi ikan menyebar merata
3. Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan
tangkap yang seragam
Model surplus produksi memiliki beberapa asumsi. Adapun asumsi-asumsi
tersebut menurut Sparre dan Venema (1999) yaitu:
1. Asumsi dalam keadaan ekuilibrium
Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah
sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu)
ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.
2. Asumsi biologi
Menurut Ricker (1975) vide Kurniawati (2005), alasan biologi yang
mendukung model surplus produksi yaitu:
a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang dan
sering terjadi jumlah rekrutmen lebih sedikit daripada densitas yang lebih
kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan
meningkatkan rekrutmen.
b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan
menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil.
Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh
makanan lebih sedikit; dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar
21
makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup, dan dalam fraksi
yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan.
c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat
kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok
yang telah dieksploitasi.
3. Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap
Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas
penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak
selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya
penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas
penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih
adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan.
Menurut Fauzi (2004), secara biologis, pertumbuhan populasi ikan pada
periode tertentu di suatu daerah perbatasan merupakan fungsi dari jumlah awal
populasi tersebut. Hal ini berarti bahwa populasi pada awal periode menentukan
perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu. Analisis ini didasarkan pada
konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun
1883 dan kemudian diterapkan untuk perikanan oleh seorang ahli biologi
perikanan yaitu Schaefer pada tahun 1957. Penerapan konsep produksi kuadratik
untuk perikanan tersebut menggambarkan antara produksi dengan effort yang
dikenal dengan Model Pertumbuhan Schaefer atau disebut juga kurva produksi
lestari (kurva Maximum Sustainable Yield/MSY).
Pada kurva MSY, sumbu X menunjukkan effort dari kegiatan perikanan
dan sumbu Y menunjukkan produksi dari kegiatan perikanan. Kurva MSY
menunjukkan bahwa pada kondisi tidak ada aktivitas penangkapan atau tidak ada
effort, maka produksi ikan akan sama dengan nol. Tetapi, apabila effort
ditingkatkan sampai pada batas effort optimal (EMSY) maka akan diperoleh
produksi lestari atau lebih dikenal dengan MSY. Perlu diingat bahwa kurva MSY
berbentuk kuadratik, sehingga peningkatan effort yang dilakukan secara terus
menerus setelah melampaui batas MSY tidak akan diikuti dengan peningkatan
produksi lestari. Dengan kata lain, produksi lestari akan mengalami penurunan
22
kembali pada saat effort telah melewati batas effort optimal (Suyasa 2007).
Gambar 9 menunjukkan kurva MSY untuk kegiatan perikanan tangkap.
Gambar 9 Kurva MSY untuk kegiatan perikanan tangkap
2.5 Over Fishing pada Sumberdaya Perikanan
Perikanan merupakan salah satu sumberdaya alam yang bersifat dapat
diperbaharui (renewable) namun perlu adanya pendekatan yang bersifat
menyeluruh dan hati-hati dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut. Jika
tidak, maka sumberdaya perikanan dipastikan akan berkurang atau bahkan, pada
spesise ikan tertentu, akan habis (Indra 2007). Hal ini disebabkan karena adanya
kelebihan tangkap (over fishing) pada suatu daerah penangkapan ikan. Over
fishing merupakan jumlah ikan yang tertangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan
untuk mempertahankan stok ikan dalam daerah tertentu (Fauzi 2005).
Fauzi (2005) menjelaskan bahwa over fishing dapat dikategorikan menjadi
beberapa tipe, yaitu:
1. Recruitment over fishing adalah situasi dimana populasi ikan dewasa
ditangkap sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi untuk melakukan
reproduksi untuk memperbaharui spesiesnya lagi.
2. Growth over fishing terjadi manakala stok yang ditangkap rata-rata ukurannya
lebih kecil daripada ukuran yang seharusnya untuk berproduksi pada tingkat
yield per recruit yang maksimum.
23
3. Economic over fishing terjadi jika rasio biaya/harga terlalu besar atau jumlah
input yang dibutuhkan lebih besar daripada jumlah input yang diperlukan
untuk berproduksi pada tingkat rente ekonomi yang maksimum.
4. Malthusian over fishing terjadi ketika nelayan skala kecil yang umumnya
miskin dan tidak memiliki alternatif pekerjaan memasuki industri perikanan
namun menghadapi hasil tangkapan yang menurun.
Widodo dan Suadi (2006) menambahkan bahwa terdapat kategori dari over
fishing yang lainnya yaitu biological over fishing dan ecosystem over fishing.
Berikut merupakan penjelasan mengenai dua kategori over fishing tersebut:
5. Biological over fishing merupakan kombinasi dari growth over fishing dan
recruitment over fishing yang terjadi manakala tingkat upaya penangkapan
dalam suatu perikanan tertentu melampui tingkat upaya yang diperlukan untuk
menghasilkan MSY. Adapun pencegahan terhadap biological over fishing
meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan.
6. Ecosystem over fishing terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi
jenis dari suatu stok sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan,
dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis
“pengganti”.
Nijikuluw (2002) vide Hiariey (2009) menjelaskan beberapa indikator
suatu wilayah perairan yang telah mengalami over fishing. Adapun indikator
tersebut antara lain:
1. Menurunnya produksi dan produktivitas penangkapan secara nyata;
2. Ukuran ikan yang menjadi target penangkapan semakin kecil;
3. Hilangnya spesies ikan yang menjadi target penangkapan ikan;
4. Munculnya spesies yang bukan target penangkapan dalam jumlah banyak.
Selanjutnya, Nijikuluw (2002) vide Hiariey (2009) menambahkan bahwa gejala
over fishing telah terjadi di beberapa wilayah perairan Indonesia berdasarkan
aspek potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya.
Persepsi yang keliru mengenai sumberdaya ikan sebagai sumberdaya yang
dapat pulih dan tidak adanya kepastian hak serta akses terhadap sumberdaya ikan
merupakan penyebab terjadinya over fishing (Fauzi 2005). Over fishing
memberikan dampak terhadap pergeseran armada untuk mencari daerah
24
penangkapan baru yang lebih produktif dan mungkin terjadi secara nasional
maupun antar negara secara legal maupun illegal. Pergeseran armada secara
illiegal menimbulkan illegal fishing dan memberikan kerugian yang besar bagi
stakeholder, khususnya masyarakat nelayan di daerah tersebut (Hiariey 2009).
Kondisi suatu perairan yang telah mengalami over fishing dapat diatasi
dengan beberapa kebijakan pengelolaan yang dapat diambil oleh pemerintah.
Kebijakan-kebijakan yang dapat digunakan untuk mengatasi over fishing antara
lain (Suyasa 2007):
1. Pembatasan alat tangkap, yaitu kebijakan yang ditujukan untuk melindungi
sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak. Selain
itu, kebijakan ini juga dapat digunakan untuk melindungi nelayan yang
menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien (atau alasan sosial
politik lainnya).
2. Penutupan musim, merupakan kebijakan yang umumnya dilakukan oleh
negara yang telah memiliki penegakkan hukun yang maju. Kebijakan ini
didasarkan pada sifat sumberdaya ikan yang sangat tergantung pada musim
dan sering kali hanya ditujukan pada satu spesies ikan dalam kegiatan
perikanan yang multispesies.
3. Penutupan area, yaitu kebijakan yang menghentikan kegiatan penangkapan
ikan di suatu perairan. Kebijakan ini bersifat jangka panjang (permanent) atau
dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Pada beberapa negara
menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau
alat tangkap tertentu.
4. Kuota penangkapan, merupakan kebijakan yang memberikan hak kepada
industri atau perusahaan perikanan untuk menangkap atau mengambil
sejumlah ikan tertentu di perairan berdasarkan kuota yang telah ditetapkan
oleh instansi pemerintah. Kuota merupakan alokasi dari hasil tangkapan yang
diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada. Hak kuota dapat
berupa jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap (total allowable
catch/TAC) yang dapat dibagi per nelayan, per kapal atau per armada
perikanan.
25
5. Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan, yaitu kebijakan yang lebih ditujukan
untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif
dari stok ikan. Hal ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan
yang masih muda untuk tumbuh dan bertambah nilai ekonominya serta
kemungkinan bereproduksi sebelum ikan tersebut tertangkap.
2.6 Optimasi Sumberdaya Perikanan
Pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan harus memperhatikan
beberapa aspek kajian, yaitu aspek biologi, sosial, teknis, dan ekonomi. Oleh
karena itu, optimasi sumberdaya perikanan sangat penting dilakukan untuk
mencapai pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mengedepankan aspek
keberlanjutan. Seperti yang kita ketahui bahwa sumberdaya perikanan merupakan
sumberdaya yang relatif kompleks, berbeda dengan sumberdaya terrestrial
(seperti: pertanian dan perkebunan). Sumberdaya perikanan memiliki stok yang
bermigrasi dan bergerak dalam ruang tiga dimensi, sehingga kondisi ini
menambah kompleksitas dalam pengelolaannya. Selain itu, kompleksitas tersebut
ditandai dengan tingginya tingkat ketidakpastian dan risiko pengelolaan yang
ditimbulkan.
Menurut Kadarsan (1984) vide Kurniawati (2005), untuk mendapatkan
hasil yang memuaskan, suatu usaha perikanan laut harus memiliki faktor produksi
yang cukup dan kombinasi yang tepat. Adanya sumberdaya yang terbatas
menyebabkan perlunya pengaturan atau alokasi sumberdaya agar dapat mencapai
keseluruhan atau sebagian tujuan yang diinginkan. Teknik optimasi sering
digunakan untuk mengatasi masalah keterbatasan sumberdaya tersebut.
Optimasi adalah suatu proses pencarian hasil terbaik, dimana proses ini
dalam analisis sistem diterapkan terhadap alternatif yang dipertimbangkan,
kemudian dari hasil itu dipilih alternatif yang menghasilkan keadaan terbaik
(Gaspersz 1992). Persoalan optimasi dapat berbentuk maksimasi atau minimasi.
Rawung (1999) menambahkan bahwa secara normal orang akan mengharapkan
„baik‟ sebanyak-banyaknya, paling banyak atau maksimum dan „buruk‟ sedikit-
dikitnya, paling sedikit atau minimum. Keadaan tersebutlah yang disebut
optimum. Sehingga optimum disinonimkan dengan maksimum untuk hal yang
26
baik dan minimum untuk hal yang buruk. Karena optimasi mencakup usaha untuk
menemukan cara terbaik di dalam melakukan suatu pekerjaan, cara terbaik di
dalam memecahkan suatu persoalan, maka aplikasinya meluas pada hal-hal
praktis dalam dunia produksi, industri, perdagangan dan politik (Haluan 1985 vide
Rawung 1999).
Dalam melakukan proses optimasi, perlu terlebih dahulu melakukan
pemilihan ukuran kuantitatif dan efektifitas dari suatu persoalan. Oleh karena itu,
perlu adanya pengetahuan dan penguasaan sistem yang berlaku dalam persoalan
tersebut, baik dalam persoalan fisika maupun ekonomi.
2.7 Pengembangan Sumberdaya Perikanan
Alhidayat (2002) menyatakan bahwa pengembangan merupakan suatu
usaha perubahan dari suatu nilai kurang kepada sesuatu yang dinilai baik ataupun
dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Menurut Manurung (1998) vide
Widyaningsih (2004), pengembangan adalah proses yang membawa peningkatan
sosial yang disertai dengan meningkatkan taraf hidup. Dengan demikian,
pengembangan dapat diartikan sebagai proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Pengembangan dalam bidang perikanan yaitu keberlanjutan melalui suatu
peningkatan produksi yang didasari suatu kebijakan yang baik akan meningkatkan
produksi berikutnya. Adapun inti dari pengembangan perikanan yaitu suatu
perubahan yang ingin dicapai berdasarkan tujuan atau perubahan yang kurang
baik menjadi lebih baik atau meningkat dari sebelumnya. Perlu diketahui bahwa
tujuan dari suatu pengembangan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran (Priadi 2006).
Bahari (1989) vide Priadi (2006) menyampaikan bahwa pengembangan
perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan
produksi di bidang perikanan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui
penerapan teknologi yang lebih baik. Haluan dan Nurani (1988) vide Ihsan (200)
mengungkapkan bahwa perkembangan perikanan dapat dilakukan melalui kriteria
pengkajian aspek-aspek Bio-Technico-Sosio-Economic-Approach sebagai berikut:
1. Tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya (aspek biologi)
2. Dapat efektif digunakan (aspek teknis)
27
3. Dapat diterima masyarakat nelayan (aspek sosial)
4. Teknologi bersifat menguntungkan (aspek ekonomi)
5. Izin pemerintah (kebijakan dan peraturan pemerintah)
Upaya pengembangan perikanan laut dan pengelolaan di masa mendatang
akan lebih mudah dirasakan jika pengembangan perikanan dan pengelolaannya
disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Dengan adanya pemanfaatan iptek tersebut, diharapkan stakeholder akan mampu
mengatasi keterbatasan sumberdaya pada suatu tempat dimana dia berada melalui
suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal
dan berkelanjutan melalui pengembangan dan pengelolaan dengan
mempertimbangkan aspek teknis, biologi, sosial, budaya dan ekonomi
(Barus et al. 1991).
Ditjen Perikanan (1999) vide Baruadi (2004) menyatakan bahwa untuk
pengembangan produksi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di masa
mendatang, maka terdapat beberapa langkah yang harus dikaji dan kemudian
diusahakan untuk dilaksanakan. Adapun langkah-langkah yang dimaksud tersebut
yaitu:
1. Pengembangan prasarana perikanan
2. Pengembangan agroindustri
3. Pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan
4. Pengembangan sistem informasi manajemen perikanan.
Perlu diperhatikan, bahwa dalam pengembangan perikanan sumberdaya dan daya
dukung lainnya perlu diperhatikan kebutuhan dan pengendalian dalam
menerapkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan, sehingga kelestarian
sumberdaya dan kegiatan perikanan dapat dijamin keberadaannya (Naamin 1987
vide Monintja 1994).
Wahyono (1991) vide Mohammad (2006) menyatakan bahwa
pengembangan usaha perikanan dibagi dalam tiga daerah yaitu daerah potensial,
daerah padat tangkap dan daerah lepas pantai. Pengembangan untuk ketiga daerah
tersebut dilakukan dengan cara:
28
1. Daerah potensial: peningkatan unit penangkapan, intensifikasi usaha,
modernisasi alat tangkap dan mengganti alat yang tidak produktif serta
mendatangkan transmigrasi.
2. Daerah padat tangkap: memperluas daerah operasi penangkapan dengan
meningkatkan kemampuan kapal yang dioperasikan (modernisasi), mengatur
daerah dan atau musim penangkapan sesuai dengan alat tangkapnya,
mentransmigrasikan nelayan, pembatasan dan pengendalian jumlah alat
tangkapnya serta diversifikasi dan mengkonversi usaha penangkapan ke
budidaya laut.
3. Daerah lepas pantai: penambahan unit penangkapan ikan, modernisasi alat dan
kapal penangkapan ikan, mendatangkan transmigrasi, perluasan daerah
operasi penangkapan ikan serta penanaman modal.
2.8 Analisis Finansial
Menurut Gray et al. (2005) vide Herdiana (2012), analisis finansial adalah
suatu analisis yang memiliki tujuan diantaranya untuk mengetahui tingkat
keuntungan yang dapat dicapai melalui investasi suatu proyek usaha dan
mengadakan penilaian terhadap peluang investasi yang ada sehingga kita dapat
memilih alternatif yang paling menguntungkan. Analisis finansial terdiri dari dua
kelompok analisis, yaitu analisis usaha dan analisis investasi (Kadariah et al.
1999).
Analisis usaha adalah suatu analisis terhadap biaya dan manfaat didalam
suatu usaha yang dilihat dari sudut badan atau orang-orang yang menanam
modalnya atau yang berkepentingan langsung dalam usaha tersebut (Kadariah et
al. 1999). Analisis usaha yang dilakukan antara lain analisis pendapatan usaha,
analisis imbangan penerimaan dan biaya (revenue cost ratio), payback period
(PP), dan analisis return of investment (ROI). Gunaisah (2008) menuliskan dalam
tesisnya bahwa suatu usaha dikatakan sukses bila situasi pendapatannya
memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya
angkutan dan biaya administrasi;
29
2. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk pembayaran
sewa serta dana penyusutan modal;
3. Cukup untuk membayar upah tenaga kerja atau bentuk-bentuk lainnya untuk
tenaga kerja yang tidak diupah.
Komponen yang digunakan dalam analisis usaha perikanan yaitu biaya
produksi, penerimaan usaha dan pendapatan yang diperoleh. Pendapatan
merupakan pengurangan dari total penerimaan (total revenue/TR) dengan total
biaya (total cost/TC). Penerimaan merupakan hasil perkalian antara total produksi
dengan harga per satuan produk. Biaya total merupakan seluruh biaya yang
diperlukan untuk menghasilkan sejumlah input tertentu (Gunaisah 2008).
Analisis investasi digunakan untuk mencari suatu ukuran menyeluruh
tentang baik tidaknya suatu usaha. Analisis investasi tersebut menggunakan
present value yang telah di discount dari arus benefit dan biaya selama umur suatu
usaha dan setiap kriteria yang mempunyai kelemahan dan kelebihan, sehingga
dalam menilai kelayakkan suatu usaha sering digunakan lebih dari satu kriteria.
Suatu usaha dikatakan layak jika sesuai dengan ukuran kriteria investasi yang ada.
Beberapa pengukuran dalam analisis investasi yang dapat digunakan antara lain
net present value (NPV), net benefit-cost ratio (net B/C) dan internal rate of
return (IRR) (Kadariah et al. 1999).
2.9 Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis
untuk merumuskan atau pembangkit strategi pengembangan. Analisis ini
didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang
(Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(Weknesses) dan ancaman (Threats) (Rangkuti 2006). Menurut Marimin (2004),
analisis SWOT mempertimbangkan faktor internal (Internal Factor
Evaluation/IFE) yaitu strengths dan weaknesses serta faktor eksternal (External
Factor Evaluation/EFE) yaitu opportunities dan threats yang dihadapi dunia
usaha, sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi
pengembangan. Proses pengambilan keputusan selalu berkaitan dengan
pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian
30
perencanaan strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor
strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi
yang ada saat ini (Rangkuti 2006).
Pendekatan analisis SWOT merupakan penelitian tentang hubungan antara
unsur-unsur internal (kekuatan dan kelemahan) terhadap unsur-unsur eksternal
(peluang dan ancaman). Analisis SWOT digunakan dalam usaha penyusunan
suatu rencana yang matang untuk mencapai tujuan dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Menyusun suatu perencanaan yang baik memerlukan
dilakukannya penelaahan tentang kondisi dan kenyataan di lapangan untuk
mengetahui segala unsur kekuatan maupun kelemahan yang ada. Namun perlu
pula diperhatikan unsur peluang atau kesempatan yang ada atau diperkirakan akan
timbul kelak serta segala hambatan atau ancaman yang ada atau diperkirakan akan
timbul kelak dan mempengaruhi kestabilan kawasan (Amarullah 2007).
Ongge (2008) menuliskan bahwa analisis dengan matriks SWOT bertujuan
untuk mengidentifikasikan alternatif-alternatif strategi yang secara intuitif
dirasakan sesuai untuk dilaksanakan. Semua alternatif strategi dikaitkan dengan
sasaran yang telah disepakati dan tertulis di dalam matriks SWOT. Selanjutnya,
Ongge (2008) menyatakan bahwa berdasarkan Tripomo dan Udan (2005),
terdapat empat strategi yang dihasilkan dari analisis terhadap matriks SWOT,
yaitu:
1. Strategi memanfaatkan kekuatan
Pendekatan SO: Langkah pertama yaitu menetapkan terlebih dahulu
kekuatan yang diduga paling mungkin digunakan. Perhatian utama
pendekatan ini adalah bagaimana merumuskan strategi dengan
menggunakan kekuatan yang saat ini dimiliki. Peluang yang akan
dimanfaatkan dipilih dari yang paling sesuai dengan kekuatan yang akan
digunakan.
Pendekatan ST: Langkah pertama yang dilakukan yaitu menetapkan
terlebih dahulu kekuatan yang diduga paling mungkin digunakan.
Pendekatan ini berusaha merumuskan strategi dengan acuan awal kekuatan
yang dimiliki organisasi. Berdasarkan kekuatan ini kemudian dicari
31
bagaimana cara pemanfaatannya untuk menghindari atau mengurangi
ancaman eksternal.
2. Strategi menangani kelemahan
Pendekatan WO: Langkah pertama yaitu menetapkan kelemahan utama
yang perlu ditangani. Pendekatan ini bertujuan untuk merumuskan strategi
dengan fokus untuk perbaikan-perbaikan internal. Pendekatan ini berusaha
mempertanyakan peluang-peluang yang kemungkinan yang bisa lepas
karena kelemahan tersebut.
Pendekatan WT: Langkah pertama yaitu menetapkan terlebih dahulu
kelemahan utama yang perlu ditangani. Pendekatan ini berusaha untuk
merumuskan strategi yang berawal dari perasaan bahwa ada kelemahan
yang dirasakan oleh organisasi. Kemudian berpikir seandainya kelemahan
ini bisa diatasi, ancaman apa yang bisah dihilangkan.
3. Strategi menghadapi peluang
Pendekatan OS: Langkah pertama yaitu menetapkan terlebih dahulu
peluang yang ingin di raih. Perhatian utama pendekatan ini adalah
merumuskan strategi dengan menggunakan peluang sebagai acuan awal.
Kemudian dicari kekuatan yang paling sesuai untuk digunakan menangkap
peluang tersebut.
Pendekatan OW: Langkah pertama yaitu menetapkan peluang yang benar-
benar ingin diraih. Pendekatan ini berusaha merancang strategi dengan
acuan awal suatu peluang yang ingin dimanfatkan. Berdasarkan peluang-
peluang tersebut kemudian dicari kelemahan-kelemahan yang perlu
diperbaiki agar perusahaan mampu merebut peluang. Strategi ini dirasa
perlu karena seringkali suatu organisasi melihat peluang yang sedemikian
menarik dilingkungan eksternal, tetapi organisasi memiliki kendala serius
yaitu pada kelemahan internal yang menghambat kemampuan bersaing
untuk mengeksploitasi peluang tersebut.
4. Strategi menghadapi ancaman
Pendekatan TS: Langkah pertama yaitu menetapkan ancaman yang ingin
ditangani. Pendekatan ini berusaha merumuskan strategi dengan acuan
32
awal berupa ancaman yang dirasakan, kemudian mencari kekuatan yang
bisa diandalkan untuk mengatasi ancaman tersebut.
Pendekatan TW: Langkah pertama yaitu menentukan ancaman yang ingin
ditangani. Pendekatan ini berusaha merumuskan strategi yang berangkat
dari usaha untuk mengatasi ancaman. Selanjutnya berpikir kelemahan apa
yang dapat dihilangkan dan bagaimana mengatasi kelemahan tersebut agar
ancaman bisa diatasi.
2.10 Hasil Penelitian Terkait
Penelitian yang telah dilakukan mengenai optimalisasi sumberdaya ikan
maupun pengembangan perikanan akan menjadi bahan masukan untuk penelitian
yang akan dilakukan. Supeni (2010) meneliti mengenai optimasi pemanfaatan
sumberdaya perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Mamuju Sulawesi
Barat. Hasil penelitian yang diperoleh oleh Supeni (2010) yaitu status
pemanfaatan sumberdaya perikanan pelagis di perairan Kabupaten Mamuju secara
umum tereksploitasi di bawah nilai MSY, namun ikan kembung dan ikan terbang
produksinya melewati nilai tangkapan lestari. Dan apabila dilihat dari tingkat
pengupayaan pada umumnya telah melampaui effort optimalnya kecuali untuk
ikan layang. Adapun alokasi optimum unit penangkapan untuk sumberdaya
perikanan pelagis kecil tersebut yaitu purse seine 71 unit, bagan 36 unit, jaring
insang hanyut 96 unit, jaring insang lingkar 91 unit, payang 115 unit dan jaring
ikan terbang 84 unit. Strategi implementasi program optimasi pemanfaatan
sumberdaya perikanan pelagis kecil perlu memprioritaskan beberapa elemen-
lemen kunci berikut ini untuk keberhasilan program:
1. pengusaha/pemilik kapal
2. ketersediaan sumberdaya ikan
3. kemampuan permodalan terbatas
4. optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan
5. adanya peraturan pengelolaan yang jelas
6. pembuatan peraturan-peraturan pengelolaan
7. lembaga dinas perikanan dan kelautan kabupaten
33
Arifin (2008) melakukan penelitian dengan judul “Optimasi Perikanan
Layang di Kabupaten Selayar Propinsi Sulawesi Selatan”. Kesimpulan yang
diberikan pada penelitian tersebut yaitu: 1) prioritas urutan teknologi
penangkapan ikan layang di Kabupaten Selayar berdasarkan aspek biologi, teknis,
sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan adalah purse seine pada urutan
pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu pada urutan
ketiga. 2) alokasi dari jumlah unit penangkapan ikan layang yang optimum
digunakan di perairan Kabupten Selayar adalah purse seine sebanyak 61 unit,
jaring insang hanyut sebanyak 300 unit dan alat tangkap bagan perahu sebanyak
100 unit. 3) strategi pengembangan perikanan layang di Kabupaten Selayar adalah
optimalisasi usaha perikanan layang, penggunaan unit penangkapan ikan yang
hemat bahan bakar minyak, penyediaan modal usaha dengan bunga rendah dan
peningkatan peranan stakeholders dan masyarakat untuk pengawasan
pengoperasian alat tangkap.
Wahyuni (2008) melakukan penelitian mengenai pengembangan teknologi
penangkapan ikan tepat guna untuk sumberdaya ikan pelagis di kota Sorong. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa Teknologi penangkapan sumberdaya ikan
pelagis yang terdapat di Kota Sorong adalah jaring insang (gillnet), bagan perahu
(boat liftnet), pancing tonda (trolling lines) dan pancing tuna (handlines).
Selanjutnya, berdasarkan pendekatan biologi, teknik, sosial dan ekonomi,
diperoleh teknologi penangkapan ikan pelagis tepat guna adalah bagan perahu
(boat liftnet) menempati prioritas pertama, selanjutnya pancing tonda (trolling
lines) dan pancing tuna (handlines). Dan strategi pengembangan teknologi
penangkapan ikan yang tepat untuk sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong lebih
diprioritaskan pada peningkatan kualitas penanganan hasil tangkapan,
pengembangan alat tangkap berkelanjutan, peningkatan kualitas sumberdaya
nelayan dan aparat, peningkatan kelembagaan dan permodalan, peningkatan
sarana dan prasarana penangkapan, serta peningkatan jumlah hasil tangkapan.
Muksin (2006) melakukan penelitian dengan judul “Optimalisasi Usaha
Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Kota Tidore Kepulauan Provinsi
Maluku Utara”. Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa potensi sumber daya
ikan cakalang di Kota Tidore telah mengalami over fishing pada tahun 2004
34
dengan tingkat pemanfaatan sebesar 128,59% dan kelebihan upaya penangkapan
sejak tahun 2000 hingga 2004 sebesar 126,81 % sampai 161,00%. Adapun nilai
MSY untuk ikan cakalang tersebut adalah 7.582,69 ton dan upaya optimum
sebesar 11.229 hari, pada kondisi optimal dan berkelanjutan diarahkan pada
perluasan daerah penangkapan lebih jauh dari kewenangan wilayah Kota Tidore
Kepulaun yaitu > 4 mil pada daerah Halmahera Selatan (Bacan) yang merupakan
daerah potensial untuk ikan cakalang, peningkatan kemampuan teknologi armada
penangkapan (kapasitas umpan, palkah, alat navigasi dan alat komunikasi),
peningkatan pengetahuan dan ketrampilan nelayan (pelatihan dan penyuluhan),
peningkatan jumlah rumpon minimal 12 unit. Kebijakan pemerintah daerah
setempat dalam menghadapi kondisi tingkat pemanfaatan dan pengupayaan
sumberdaya cakalang yang telah mengalami over exploited dengan cara
melakukan konservasi, pengawasan dan pengontrolan daerah penangkapan dan
musim penangkapan.
Ghaffar (2006) meneliti mengenai optimasi pengembangan usaha
perikanan mini purse seine di Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan.
Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa tingkat optimum untuk pemanfaatan
ikan-ikan pelagis yang menjadi target penangkapan mini purse seine secara
bioekonomi diperoleh pada produksi sebesar 3.783.376,09 kg per tahun dengan
jumlah total effort optimum 8.723 trip per tahun. Khusus untuk mini purse seine,
effort optimum adalah 4.108 trip per tahun dari total effort optimum (47%) atau
setara dengan 26 unit armada penangkapan. Sedangkan untuk usaha perikanan
mini purse seine, diketahui bahwa usaha tersebut layak untuk dikembangkan di
Kabupaten Jeneponto dengan nilai NPV positif sebesar Rp 74.233.466, IRR 40%
dan BC ratio 1,72. Titik impas (BEP) dicapai pada hasil penjualan
Rp 188.378.333 atau hasil tangkapan 187.255,78 kg dengan masa pengembalian
investasi selama 3,66 tahun.