Post on 08-Feb-2016
A. Pihak yang berpekara
Perkara perdata yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan (damai), tidak boleh
diselesaikan dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting) tetapi harus diselesaikan melalui
pengadilan. Pihak yang merasa dirugikan hak perdatanya dapat mengajukan perkaranya ke
pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya, yakni dengan
menyampaikan gugatan terhadap pihak dirasa merugikan.
Perkara perdata ada 2 yaitu:
1. Perkara contentiosa (gugatan) yaitu perkara yang di dalamnya terdapat sengketa 2 pihak
atau lebih yang sering disebut dengan istilah gugatan perdata. Artinya ada konflik yang
harus diselesaikan dan harus diputus pengadilan, apakah berakhir dengan kalah-menang
atau damai tergantung pada proses hukumnya. Misalnya sengketa hak milik, warisan, dll.
Dalam Gugatan Contentiosa atau yang lebih dikenal dengan Gugatan Perdata, yang berarti
gugatan yang mengandung sengketa di antara pihak-pihak yang berperkara. Dikenal
beberapa istilah para pihak yang terlibat dalam suatu Gugatan Perdata yaitu:
1. Penggugat
Dalam Hukum Acara Perdata, orang yang merasa haknya dilanggar disebut sebagai Penggugat.
Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak Penggugat, maka disebut dalam gugatannya dengan
“Para Penggugat”.
2. Tergugat
Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena dirasa telah melanggar hak
Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak pihak yang digugat, maka pihak-pihak
tersebut disebut; Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan seterusnya.
3. Turut Tergugat
Pihak yang dinyatakan sebagai Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak
menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Namun, demi
lengkapnya suatu gugatan, maka mereka harus disertakan. Dalam pelaksanaan hukuman
putusan hakim, pihak Turut Tergugat tidak ikut menjalankan hukuman yang diputus untuk
Tergugat, namun hanya patuh dan tunduk terhadap isi putusan tersebut.
4. Penggugat/Tergugat Intervensi
Pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan adanya perkara perdata yang ada, dapat
mengajukan permohonan untuk ditarik masuk dalam proses pemeriksaan perkara perdata
tersebut yang lazim dinamakan sebagai Intervensi. Intervensi adalah suatu perbuatan hukum
oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan
melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang
berlangsung. Pihak Intervensi tersebut dapat berperan sebagai Penggugat Intervensi atau pun
sebagai Tergugat Intervensi. Dalam hal pengikut-sertaan pihak ketiga dalam proses perkara
yaitu voeging, intervensi/tussenkomst dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg.1 Tetapi
dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv,
yaitu berdasarkan Pasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv serta sesuai dengan prinsip bahwa hakim
wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materil maupun hukum formil. Berikut ini
penjelasan 3 (tiga) macam intervensi yang dimaksud, yaitu:
a) Voeging (menyertai) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada
penggugat atau tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging, Hakim memberi
kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, kemudian dijatuhkan putusan sela,
dan apabila dikabulkan, maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga
tersebut.
b) Intervensi / tussenkomst (menengah) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut
dalam proses perkara tersebut, berdasarkan alasan ada kepentingannya yang
terganggu. Intervensi diajukan karena pihak ketiga yang merasa bahwa barang miliknya
disengketakan/diperebutkan oleh Penggugat dan Tergugat.
Kemudian, permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan Putusan Sela.
Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa
bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi.
1 Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI 2007.
c) Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin) adalah penarikan pihak ketiga untuk
bertanggung jawab (untuk membebaskan Tergugat dari tanggung jawab kepada
Penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan
perkara oleh Tergugat secara lisan atau tertulis.
Setelah ada permohonan vrijwaring, Hakim memberi kesempatan para pihak untuk
menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau
mengabulkan permohonan tersebut.
Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang
dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi harus bersama-sama
dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya
permohonan banding dari intervenient (pihak intervensi) tidak dapat diteruskan dan yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri. Apabila permohonan dikabulkan, maka
putusan tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, dan
selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabungkan permohonan intervensi
ke dalam perkara pokok.
Dalam suatu gugatan perdata, orang yang bertindak sebagai Pengugat harus orang yang
memiliki kapasitas yang tepat menurut hukum. Begitu juga dengan menentukan pihak
Tergugat, haruslah mempunyai hubungan hukum dengan pihak Penggugat dalam perkara
gugatan perdata yang diajukan. Kekeliruan bertindak sebagai Pengugat maupun Tergugat dapat
mengakibatkan gugatan tersebut mengandung cacat formil. Cacat formil dalam menentukan
pihak Penggugat maupun Tergugat dinamakan Error in persona.
2. Perkara voluntaria yaitu yang didalamnya tidak terdapat sengketa atau perselisihan tapi
hanya semata-mata untuk kepentingan pemohon dan bersifat sepihak (ex-parte). Disebut
juga gugatan permohonan. Contoh meminta penetapan bagian masing-masing warisan,
mengubah nama, pengangkatan anak, wali, pengampu, perbaikan akta catatan sipil, dll.
Gugatan permohonan (voluntair) adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam
bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada
ketua pengadilan.2
Ciri-cirinya sebagai berikut :
1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party
only):
Benar-benar murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang sesuatu
permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum, misalnya permintaan izin dari
pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu.
Apa yang dipermasalahkan pemohon tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan lain.
2. Permasalahan yang dimohon penyelesaian kepada pengadilan negeri, pada prinsipnya tanpa
sengketa dengan pihak lain (withaout disputes of defferences with another party). Berdasarkan
ukuran ini tidak dibenarkan mengajukan permohonan tentang penyelesaian sengketa hak atau
pemilikan maupun penyerahan serta pembayaran sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga.
3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex parte.
Benar-benar murni dan mutlak satu pihak atau bersifat ex parte. Permohonan untuk
kepentingan sepihak (on behalf of one party) atau yang terlibat dalam permasalahan hukum
(involving onle one party to a legal matter) yang diajukan dalam kasus itu, hanya satu pihak.
Perbedaan antara contentiosa dan voluntaria dapat ditinjau dari :
1. Pihak yang berpekara :
Contentiosa, pihak yang berperkara adalah penggugat dan tergugat. Ada juga isitlah turut
tergugat (tergugat II,II, IV , dst). Pihak ini tidak menguasai objek sengketa atau mempunyai
kewajiban melaksanakan sesuatu. Namun hanya sebagai syarat lengkapnya pihak dalam
berperkara. Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohon agar tunduk dan taat dan taat
terhadap putusan pengadilan (MA tgl 6-8-1973 Nomor 663 K/Sip/1971 tanggal 1-8-1973
Nomor 1038 K/Sip/1972). Sedangkan turut penggugat tidak dikenal dalam HIR maupun
praktek.
2 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Cet. 2, hlm. 18.
Voluntaria, pihak yang berpekara adalah pemohon.
Istilah pihak pemohon dalam perkara voluntaria diatas tentunya tidak relevan jika dikaitkan
dengan UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sebab dalam UU tersebut dikenal
adanya permohonan dan gugatan perceraian. Permohonan perceraian dilakukan oleh
suami kepada istrinya sehingga pihak-pihaknya disebut pemohon dan termohon berarti
ada sengketa atau konflik . istilah pihak-pihak yang diatur dalam UU No. 7 tahun 1989
tentunya adalah suatu pengecualiaan istilah yang dipakai dalam perkara voluntaria.
2. Aktifitas hakim dalam memeriksa perkara :
Contentiosa, terbatas yang dikemukakan dan diminta oleh pihak-pihak
Voluntaria : hakim dapat melebihi apa yang dimohonkan karena tugas hakim bercorak
administratif.
3. Kebebasan hakim
Contentiosa : hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah ditentukan
undang-undang
Voluntaria : hakim memiliki kebebasan menggunakan kebijaksanaannya.
4. Kekuatan mengikat putusan hakim
Contentiosa : hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa serta orang-orang yang telah
didengar sebagai saksi.
Voluntaria : mengikat terhadap semua pihak.
5. Hasil akhir perkara :
Hasil suatu gugatan (Contentiosa) adalah berupa putusan (vonis)
Hasil suatu permohonan (voluntaria) adalah penetapan (beschikking).
B. Pemberian Kuasa (Lastgeving)
Pengaturan mengenai kuasa pada prinsipnya diatur dalam Bab XVI, Buku III Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), sedangkan aturan khususnya diatur pada
Herziene Indonesische Reglement (“HIR”) dan Reglement voor de buitengewesten (“RBg”).
1. Pengertian Kuasa Secara Umum
Dalam memahami pengertian kuasa secara umum, kita dapat merujuk pada Pasal 1792 KUH
Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan
kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan.3
Dalam suatu perjanjian kuasa, terdapat dua (2) pihak yang terdiri dari:
- Pemberi kuasa atau lastgever (instruction, mandate);
- Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu
untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmacht, full power), jika:
- Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk
mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam
surat kuasa;
- Dengan demikian, penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa penuh bertindak
mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa;
- Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang
perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa.4
Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat imperatif.5
Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam Undang-
Undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa tidak dapat 3 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. 25, hlm. 3824 Putusan MA No. 331 K/Sip/1973, tgl 4-12-1975, Rangkuman Yurisprudensi (RY) MA Indonesia, II, Hukum Perdata dan Acara Perdata, Proyek Yurisprudensi MA 1997, hlm. 57.5 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Cet. 2, hlm. 2.
dicabut kembali (irrevocable). Hal ini dimungkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal
hukum perjanjian, bersifat mengatur (aanvullend recht).6
2. Sifat Perjanjian Khusus
Beberapa prinsip hukum pemberian kuasa yang penting untuk diketahui, antara lain:
1. Penerima Kuasa Langsung berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa.
Pemberian kuasa mengatur hubungan hukum antara pemberi kuasa dan penerima kuasa,
dimana pemberi kuasa langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada
penerima kuasa untuk menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu:
Memberi hak dan kewenangan (authority) kepada penerima kuasa, bertindak untuk dan
atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
Tindakan penerima kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa,
sepanjang tindakan yang dilakukan penerima kuasa tidak melampaui batas kewenangan
yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
Dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan penerima kuasa dengan pihak ketiga,
pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materil atau principal atau pihak utama,
dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
2. Pemberian Kuasa Bersifat Konsensual
Sifat perjanjian kuasa adalah konsensual, yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan antara
pemberi kuasa dan penerima kuasa, serta berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara
mereka. Pasal 1792 KUH Perdata dan Pasal 1793 ayat (1) KUH Perdata pada pokoknya
menyatakan, pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat
dituangkan dalam bentuk akta otentik atau di bawah tangan maupun dengan lisan.
3. Bersifat Garansi-Kontrak
Kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas:
(i) Sepanjang kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
6 Bandingkan putusan MA No. 731 K/Sip/1975, tgl 16-12-1976, ibid., hlm. 292.
(ii) apabila penerima kuasa bertindak melampaui batas mandat, maka tanggung jawab
pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat yang
diberikan, sedangkan pelampauan itu menjadi tanggung jawab pribadi penerima
kuasa, sesuai dengan asas “garansi-kontrak” yang diatur dalam Pasal 1806 KUH
Perdata.
3. Jenis Kuasa
Pemberian kuasa terbagi atas 2 (dua) jenis, yakni: pemberian kuasa secara umum dan
pemberian kuasa secara khusus (Pasal 1795 KUHPerdata).
Surat Kuasa Umum
Pemberian kuasa yang meliputi pelaksanaan segala kepentingan dari pemberi kuasa, kecuali
perbuatan hukum yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik (Pasal 1796 KUHPerdata).
Kuasa diberikan seluas-luasnya sehingga nyaris tanpa ada pengecualian, termasuk terhadap hal-
hal yang tidak disebutkan dalam surat kuasa.
Contohnya:
“Kuasa pengurusan dan pemeliharaan/perawatan penghunian rumah”.
Surat Kuasa Khusus
Pemberian kuasa yang hanya meliputi pelaksanaan satu/lebih kepentingan tertentu dari
pemberi kuasa. Perbuatan hukum/kepentingan dimaksud harus disebutkan/dirumuskan secara
tegas dan detail/terperinci (Pasal 1975 KUHPerdata).
Contohnya:
“Kuasa memasang hipotek atau membebankan hak tanggungan, kuasa untuk melakukan
perdamaian, kuasa bagi Advokat untuk mewakili perkara kliennya di pengadilan”.
Surat Kuasa Istimewa
Surat kuasa istimewa diatur dalam pasal 157 HIR (pasal 184 RBg)7, yang menyatakan Sumpah
itu, baik yang diperintahkan oleh hakim, maupun yang diminta atau ditolak oleh satu pihak
lain, dengan sendiri harus diangkatnya kecuali kalau ketua pengadilan negeri memberi izin
kepada satu pihak, karenasebab yang penting, akan menyuruh bersumpah seorang
wakil istimewa yang dikuasakan untuk mengangkat sumpah itu, kuasa yang mana hanya dapat
diberi dengan surat yang syah, di mana dengan saksama dan cukup disebutkan sumpah yang
akan diangkat itu. Dari hal tersebut, kita bisa lihat bahwa surat kuasa ini baru bisa digunakan
dalam pengadilan apabila seseorang dalam melakukan sumpah nya di pengadilan berhalangan
dengan sebab yang penting -contohnya dalam kondisi sakit. Jadi, tentang lingkup tindakan yang
dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa , hanya terbatas pada:
untuk mengucapkan sumpah tertentu atau sumpah tambahan sesuai aturan perundang-
undangan,
untuk memindah-tangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau meletakan hipotek
(hak tanggungan) diatas benda tersebut,
dan untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga.
Untuk kuasa istimewa ini dalam pasal diatas dinyatakan bahwa hanya dapat diberikan dengan
surat yang sah. Untuk surat sah sendiri, diberikan tafsir oleh para praktisi hukum, adalah surat
yang berbentuk akta otentik.8 Dengan kata lain, pembuatan surat ini harus dibuat dalam akte
notaris dan ditegaskan dengan kata-kata yang jelas, mengenai tindakan apa yang hendak
dilakukan oleh penerima kuasa.
Secara kesimpulan, surat kuasa istimewa ini memiliki dua syarat untuk dianggap sah,
yaitu bersifat terbatas (limitatif) dan bentuk akte otentik.
7 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Indonesia, CV Zakir, Medan, Cet. I, hlm. 121.8 R. Soesilo, RBG/HIR dengan penjelasan, Politeia, Bogor, 1985.
KuasaPerantara
Surat kuasa perantara disebut juga agen (agent). Dalam hal ini pemberi kuasa sebagai
principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai
agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa
yang dilakukan agen, mengikat principal sebagi pemberi kuasa, sepanjang tidak bertentangan
atau melampaui batas kewenangan yang diberikan. Kuasa ini berdasar dengan pasal 1972 KUH
Perdata yang mengatur secara umum tentang surat kuasa, dan pasal 62 KUHD yang
menyatakan Makelar adalah pedagang perantara yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (dalam
hal ini Presiden) atau oleh penguasa yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu.
Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan seperti yang
dimaksud dalam pasal 64 dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas
nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap. Sebelum
diperbolehkan melakukan pekerjaan, mereka harus bersumpah di depan raad van justitie di
mana Ia termasuk dalam daerah hukumnya, bahwa mereka akan menunaikan kewajiban yang
dibebankan dengan jujur.
4. Kuasa Menurut hukum
1. Wali terhadap anak di bawah perwalian
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(“UU Perkawinan”), wali dengan sendirinya menurut hukum menjadi kuasa untuk bertindak
mewakili kepentingan anak yang berada di bawah perwalian.
2. Kurator atas orang yang tidak waras
Menurut Pasal 299 HIR, seseorang yang sudah dewasa tetapi tidak bisa memelihara dirinya
dan mengurus barangnya karena kurang waras, dapat diminta untuk diangkat seorang Kurator.
Dengan demikian, Kurator sah dan berwewang bertindak mewakili kepentingan orang yang
berada di bawah pengawasan tersebut sebagai kuasa menurut hukum.
3. Orang tua terhadap anak yang belum dewasa
Menurut Pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan, orang tua dengan sendirinya menurut hukum
berkedudukan dan berkapasitas sebagai wali anak-anak sampai mereka dewasa. Oleh karena
itu, orang tua adalah kuasa yang mewakili kepentingan anak-anak yang belum dewasa kepada
pihak ketiga maupun di depan pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa dari anak tersebut.
4. Balai Harta Peninggalan sebagai Kurator Kepailitan
Menurut Pasal 15 ayat (1), Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”), dalam putusan pernyataan
pailit, harus diangkat kurator. Balai Harta Peninggalan atau Kurator dalam kepailitan
berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum (legal mandatory) untuk
melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, dan tugas itu dilakukan berdasarkan
perintah undang-undang tanpa memerlukan suarat kuasa dari debitur.
5. Direksi atau pengurus badan hukum
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) sendiri
menentukan, yang berhak bertindak sendiri menurut hukum mewakili kepentingan Perseroan
di dalam dan di luar pengadilan adalah direksi, tanpa perlu memerlukan surat kuasa dari
Perseroan.
Apabila badan hukum tersebut berbentuk yayasan, maka menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”), pengurus yayasan
bertanggung jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan yayasan
serta berhak mewakili yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Berdasarkan
ketentuan ini, pembina atau pengawas tidak bertindak sebagai legal mandatory, akan tetapi
hanyalah organ pengurus yayasan saja. Dalam hal, apabila badan hukum berbentuk koperasi,
maka pengurus koperasi bertindak sebagai kuasa mewakili kepentingan koperasi di dalam dan
di luar pengadilan.
6. Direksi perusahaan perseroan
Perusahaan Perseroan (“Persero”) menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan, adalah Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) yang
dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha
Negara, yaitu berbentuk Perseroan Terbatas sebagaimana yang dimaksud dalam UU PT yang
seluruh atau sedikitnya 51% (lima puluh satu persen) saham yang dikeluarkan, dimiliki oleh
Negara melalui penyertaan modal secara langsung. Maka, prinsip-prinsip Perseroan Terbatas
berlaku terhadap BUMN sebagai Persero. Oleh karena itu, direksi berkedudukan sebagai kuasa
menurut hukum untuk mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan
surat kuasa dari pihak manapun. Ketentuan kuasa menurut hukum ini juga berlaku tidak
terbatas terhadap BUMN, tetapi meliputi Perusahaan Daerah.
7. Pimpinan Perwakilan Perusahaan Asing
Pimpinan perwakilan perusahaan asing yang ada di Indonesia dinyatakan sebagai legal
mandatory yang disejajarkan dengan wettelijke vertegenwoordig, berkedudukan dan
berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili kepentingan kantor perwakilan
perusahaan tersebut di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa khusus
dari kantor pusat yang ada di luar negeri.
8. Pimpinan Cabang Perusahaan Domestik
Menurut Putusan Mahkamah Agung No. 779 K/Pdt/1992, bahwa pimpinan cabang suatu bank
berwenang bertindak untuk dan atas pimpinan pusat tanpa memerlukan surat kuasa khusus
untuk itu. Maka dalam praktik peradilan juga telah mengakui, bahwa pimpinan cabang
perusahaan domestik, berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum sesuai
dengan batas kualitas pelimpahan wewenang yang diberikan Perusahaan Pusat kepada cabang
tersebut.
5. Bentuk Kuasa di Depan Pengadilan
Secara Lisan
Pihak yang memberikan kuasa selalu hadir bersama pihak yang menerima kuasa
Ditunjuk lisan ketika membuat gugatan lisan dilakukan didepan ketua PN. Maka ketika
itulah disebutkan maksud memberi kuasa.
Ditunjuk secara lisan dimuka persidangan. Pemberi dan penerima kuasa hadir di sidang
(dicatat dalam berita acara sidang)
Secara Tertulis
Dengan menunjuk nama orang yang diberi kuasa di dalam surat gugatan.
Surat Kuasa Khusus:
mencantumkan identitas pemberi dan penerima kuasa
Mencantumkan lawan dan objek perkara
Mencantumkan pengadilan tempat berperkara
Mencantumkan hal-hal yang dikuasakan
(jika perlu) cantumkan pemberian hak substitusi (memberikan kuasa kepada orang lain)
Contoh kuasa khusus:9
SURAT KUASA
Yang bertanda tangan dibawah ini :
N a m a : FIRDAUS Bin DAUS
TTL / Umur : Makasar, 26 Juni 1975 / 29 tahun
Pekerjaan : Tani
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : WNI
Alamat : Jalan Pelita jaya No. 20 Tembilahan Inhil Riau
Dengan ini menerangkan memberikan kuasa pekara No.… (tulis nomor perkara jika perkara sudah masuk
dipersidangan) kepada :
N a m a : ABDUL HADI HASIBUAN, SH
Pekerjaan : Pengacara / Advokat
Berkantor jalan Subrantas No. 09 Tembilahan.
KHUSUS
9 Dikutip dari: http://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/hukum-acara-perdata/
Untuk dan atas nama pemberi mewakili sebagai Penggugat, mengajukan gugatan …….terhadap H. SINAGA Bin H.
LUBIS di Pengadilan Negeri Tembilahan.
Untuk itu yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap dan menghadiri semua persidangan Pengadilan Negeri
Temvbilahan, menghadapi instansi-instansi, jawabatan-jawatan, hakim, pejabat-pejabat, pembesar-pembesar,
menerima, mengajukan kesimpulan-kesimpulan, meminta siataan, mengajukan dan menolak-saksi-saksi,
menerima atau menolak keterangan saksi-saksi, meminta atau memberikan segala keterangan yang diperlukan,
dapat mengadakan perdamaian dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh yang diberi kuasa, menerima uang
pembayaran dan memberikan kwitansin tanda penerimaan dan memberikan kwitansi tanda penerimaan uang,
meminta penetapan, putusan, pelaksanaan putusan (eksekusi), melakukan peneguran-peneguran, dapat
mengambil segala tindakan yang penting, perlu dan berguna sehubungan dengan menjalankan perkara serta dapat
mengerjakan segala sesuatu pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan oleh seorang kuasa/wakil guna
kepentingan tersbeut diatas, juga mengajukan permohonan banding atau kontra, kasasi atau kontra.
Kuasa ini berikan dengan berhak mendapatkan honorarium (upah) dan retensi (hak menahan barang milik orang
lain) serta dengan hak substitusi (melimpahkan) kepada orang lain baik sebagian maupun seluruhnya.
Tembilahan, 2010
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa
Materi 6000
ABDUL HADI HASIBUAN, SH FIRDAUS BIN DAUS
6. Berakhirnya Surat Kuasa
Berdasarkan Pasal 1813 KUHPerdata, pemberian kuasa berakhir :
Dengan Penarikan Kembali Kuasa Penerima Kuasa;
Pemberi kuasa bukan hanya dapat menarik kembali kuasanya bila dikehendakinya, tapi dapat
pula memaksa pengembalian kuasa tersebut jika ada alasan untuk itu. Terhadap pihak ketiga
yang telah mengadakan persetujuan dengan pihak penerima kuasa, penarikan kuasa tidak
dapat diajukan kepadanya jika penarikan kuasa tersebut hanya diberitahukan kepada
penerima kuasa. Pengangkatan penerima kuasa baru untuk menjalankan urusan yang sama
menyebabkan penarikan kembali kuasa atas penerima kuasa sebelumnya terhitung sejak hari
(tanggal) diberitahukannya pengangkatan penerima kuasa baru tersebut.
Dengan Pemberitahuan Penghentian Kuasanya Oleh Penerima Kuasa;
Pemegang kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan memberitahukan
penghentian kuasanya kepada pemberi kuasa dan pemberitahuan tersebut tidak
mengesampingkan kerugian bagi pemberi kuasa kecuali bila pemegang kuasa tidak mampu
meneruskan kuasanya tersebut tanpa mendatangkan kerugian yang berarti.
Dengan Meninggalnya, Pengampuan Atau Pailitnya, Baik Pemberi Kuasa Maupun
Penerima Kuasa;
Setiap perbuatan yang dilakukan pemegang kuasa karena ketidaktahuannya tentang
meninggalnya pemberi kuasa adalah sah dan segala perikatan yang dilakukannya dengan pihak
ketiga yang beritikad baik, harus dipenuhi terhadapnya.
Dengan Kawinnya Perempuan Yang Memberikan Atau Menerima Kuasa (sudah tidak
berlaku lagi).
Selain karena alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata, berakhirnya
pemberikan kuasa dapat pula terjadi karena telah dilaksanakannya kuasa tersebut dan karena
berakhirnya masa berlaku atau jangka waktunya.
BENTUK PEMBERIAN KUASA DITINJAU DARI STATUS PENERIMA KUASA
Ditinjau dari penerima kuasa, kuasa dibedakan dalam dua bagian, yaitu :
1. Kuasa Advokat
Syarat Kuasa Advokat adalah Penerima kuasa harus berprofesi sebagai advokat sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang 18/2003 tentang Advokat yang dibuktikan dengan
Kartu Tanda Anggota Advokat
2. Kuasa Insidentil
Syarat Kuasa Insidentil adalah pemberian kuasa tersebut telah mendapat izin dari Ketua
Pengadilan dan Ketua Pengadilan hanya memberi izin hanya jika Penerima Kuasa memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
- Penerima Kuasa tidak berprofesi sebagai advokat/ pengacara
- Penerima Kuasa adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
dengan pemberi kuasa sampai derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat keterangan
hubungan keluarga yang dikeluarkan oleh Lurah/ Kepala Desa. (pengertian ”derajat ketiga”
mencakup hubungan garis lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping).
- Tidak menerima imbalan jasa atau upah
- Sepanjang tahun berjalan belum pernah bertindak sebagai kuasa insidentil pada perkara yang
lain.
Perdamaian dalam Hukum Acara Perdata
Penyelesaian melalui perdamaian dinilai jauh lebih efektif dan efisien,10 jika
dibandingkan dengan proses persidangan yang memakan banyak waktu karna penyelesaiannya
dinilai lambat. Biaya perkara mahal dan biaya itu semakin mahal sehubungan denga lamanya
waktu penyelesaian. Dengan demikian penyelesaian melalui perdamaian inipun menjadi salah
satu cara yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dilihat dari pengertiannya
mediasi adalah Proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui perundingan antara pihak
yang berperkara atau Perundingan yang dilakukan para pihak, dibantu oleh mediator yang
berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak memihak (imparsial)
serta sebagai pembantu mencari berbagai kemungkinan-kemungkinan penyelesaian sengketa
yang terbaik dan menguntungkan para pihak. Konsep dari mediasi ini sendiri pun ialah win-win
solution. Maka dari para pihak dapat melihat berbagai manfaat dalam penyelesaian melalui
perdamaian yakni
1. Penyelesaian bersifat informal
2. Penyelesaian sengketa dilakukan oleh para pihak sendiri
3. Jangka waktu penyelesaian pendek
4. Biaya ringan
5. Aturan pembuktian tidak perlu
6. Penyelesaian bersifat konfidensial (rahasia)
7. Hubungan para pihak bersifat kooperatif
8. Komunikasi dan fokus pada penyelesaian
9. Hasil yang dituju sama menang (win-win solution)10 M. Yahya Harahap, op cit., hlm. 238.
10. Bebas emosi dan dendam
I. Landasan formil prosedur mediasi
A. pasal 130 HIR / pasal 154 RBG
Pasal 130 HIR yang berbunyi :
1. Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak menghadap, maka pengadilan negeri,
dengan perantaraan ketuanya, akan mencoba memperdamaikan mereka itu. (IR. 239.)
2. Jika perdamaian terjadi, maka tentang hal itu, pada waktu sidang, harus dibuat sebuah akta,
dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk memenuhi perjanjian yahg dibuat itu; maka
surat (akta) itu berkekuatan dan akan dilakukan sebagai keputusan hakim yang biasa. (RV. 31;
IR. 195 dst.)
3. Terhadap keputusan. yang demikian tidak diizinkan orang minta naik banding.
4. Jika pada waktu mencoba memperdamaikan kedua belah pihak itu perlu dipakai seorang
juru bahasa, maka dalam hal itu hendaklah dituruti peraturan pasal berikut.
Pasal 154 RBG yang berbunyi :
1) Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri
dengan perantaraan ketua berusaha mendamaikannya.
2) Bila dapat dicapai perdamaian, maka di dalam sidang itu juga dibuatkan suatu akta dan para
pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang telah dibuat, dan akta itu mempunyai kekuatan
serta dilaksanakan seperti suatu surat keputusan biasa.
3) Terhadap suatu keputusan tetap semacam itu tidak dapat diajukan banding.
4) Bila dalam usaha untuk mendamaikan para pihak diperlukan campur tangan seorang juru
bahasa, maka digunakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal berikut. (Rv. 31; IR.
130.)
B. Semula diatur dalam SEMA no.1 tahun 2002
sema ini terbit bertitik tolak dari salah satu hasi rakernas Mahkamah Agung. Alasan yang
memotivasi ialah untuk membatasi perkara kasasi secara substantif dan prosesual.
C. Disempurnakan dalam PERMA No.2 tahun 2003
Dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi penerbitan PERMA, antara lain
mengatasi penumpukan perkara dan SEMA No.1 Tahun 2002 belum lengkap. menurut Perma
instumen mediasi dianggap efektif untuk mengatsi menumpukan perkara di pengadilan,
khususnya pada tingkat kasasi dan didalam SEMA No.1 tahun 2002 belum sepenuhnya
mengintegrasikan mediasi kedalam sistem peradilan secara memaksa (compulsory) tetapi
masih bersifat sukarela (voluntary).
D. Disempurnakan kembali oleh PERMA No.1 tahun 2008
II. Ruang Lingkup tahap pramediasi
Tahap pramediasi merupakan persiapan ke arah proses tahap mediasi. Sebelum pertemuan
dan perundingan membicarakan penyelesaian materi pokok sengketa dimulai, terlebih dahulu
dipersiapkan prasarana yang dapat menunjang penyelesaian sengketa melalui perdamaian,
yakni:
A. Hakim memerintahkan menempuh mediasi
Hakim waib memerintahkan para pihak untuk lebih dahulu menempuh penyelesaian melalui
proses mediasi yang bersifat imperatif, bukan regulatif oleh karena itu mesti ditaati para pihak .
penyampaian perintah melakukan mediasi pada sidang pertama. Sidang harus dihadiri kedua
belah pihak. Permasalahan harus dihadirinya oleh kedua belah pihak . jika salah satu pihak tidak
hadir, menurut hukum acara dapat dilakukan tindakan yakni ,
1. Hakim berwenang menggugurkan gugatan (PS. 124 HIR)
2. Hakim berwenang menjatuhkan putusan verstek (PS.125 (1) HIR)
3. Berwenang memundurkan persidangan
B. Hakim wajib menunda persidangan
Berbarengan dengan akan dilakukannya proses mediasi, hakim wajib menunda proses
persidangan perkara secara mutlak hakim dilarang melakukan pemeriksaan perkara, tetapi
mesti menundanya.
C. Hakim wajib memberi penjelasan tentang prosedur dan biaya mediasi
Pada persidangan pertama hakim memberi penjelasan mengenai tata cara dan prosedur
mediasi meliputi, tata cara pemilihan mediator, cara pertemuan, perundangan, jadwal
pertemuan, tenggang waktu berkenaan dengan pemilihan mediator, proses mediasi serta
penanda-tanganan hasil kesepakatan. Selain itu, haki memberi penjelasan tentag biaya mediasi:
1. Mediasi yang dilakukan ditempat lain, biaya ditanggung para pihak berdasarkan kesepakatan
2. Bila mediator bukan yang disepakati bukan hakim, tetapi besal dari luar lingkup daftar
mediator yang ada di pengadilan, biaya mediator tersebut ditanggung para pihak berdasarkan
kesepakatan
D. Wajib memilih mediator
1. Para pihak wajib memilih mediator, sesuai dengan asa kebebasan berkontrak. Hakim tidak
berhak menunjuk mediator secara ex-officio dalam keadaan normal.
2. Pemilihan mediator diwajibkan dengan cara berunding yakni berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak.
3. Jangka waktu pemilihan mediator oleh para pihak yaitu paling lama satu hari kerja
terhitung sejak sidang pertama. Apabila para pihak tidak berhasil menyepakati mediator, salah
satunya cara wajib memilih mediator yang disediakan oleh pengadilan. Maka penunjukan
mediator oleh ketua majelis dituangkan dalam bentuk penetapan (ex-officio).
4. Bebas memilih mediator yang ada didaftar pengadilan maupun dari luar pengadilan .
E. Proses mediasi oleh mediator luar
Apabila proses mediasi menggunakan mediator dari luar daftar mediator yang dimiliki
pengadilan, perlu diatur perlakuan khusus mengenai hal-hal :
1. Proses mediasi tiga puluh hari kerja, terhitung dari tanggal pemilihan mediator oleh para
pihak.
2. Kewajiban menghadap hakim pada sidang lanjutan
3. Meminta akta penetapan perdamian atau menyatakan pencabutan gugatan. Miminta akta
penetapan ini bukan lah sebuah keharusan boleh saja hasil kesepakatan yang tidak dimintakan
akta perdamian ini berbentuk penjanjian biasa yang tunduk pada pasal 1338 KUH perdata.
Karan menjadi penjanjian biasa hal tersebut tidak dapat dmintakan eksekusi kepada
pengadilan, upaya yang bisa ditempuh hanyalah mengajukan gugatan perdata biasa agar pihak
yang ingkar dihukum memenuhi kesepakatan .
III. Klasifikasi mediator dan yurisdiksi proses mediasi
A. Klasifikasi mediator
1. Mediator dalam lingkungan pengadilan
a. Menurut pasal 6 (1) PERMA , yang dapat dicantumkan sebagai mediator dalam daftar
mediator pengadilan :
(1) Berasal dari kalangan hakim
(2) Boleh juga yang bukan hakim
(3) Sudah memiliki sertifikasi sebagai mediator
b. Jumlah meditor pada setiap pengadilan
Pasal 6 (2) menegaskan bahwa pada setiap pengadilan memiliki sekurang-kurangnya dua orang
mediator.
c. Setiap pengadilan wajib memiliki daftar mediator
Daftar mediator tersebut harus mencantumkan nama yang disertai riwayat hidup dan
pengalaman kerja. Hal itu penting guna iformasi para pihak.
2. Mediator di luar lingkungan pengadilan
selain mediator yang tercantum dalam daftar mediator di pengadilan, para pihak dapat dan
bebas menyepakati mediator di luar pengadilan.
B. Syarat mediator
1. Telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi
tempat pelatihan atau pendidikan yang diakui, terbatas pada lembaga yang telah diakreditasi
oleh Mahkamah Agung.
2. Memiliki sertifikat mediator
sertifikat dari lembaga yang diakreditasi oleh MA sebagai bukti yang bersangkut benar qualified
sebagai mediator
3. Netral dan tidak memihak
syarat ini dianggap meliputi sikap independen, sehingga pengertiannya mencangkup :
a) bersikap bebas dan merdeka dar pengaruh siapapun
b) bebas secara mutlak dari paksaan dan direktiva pihak manapun
c) bersifat imparsial
d) tidak boleh diskriminatif
Menurut yahya harahap dalam bukunya menyebutkan, patokannya adalah kesepakatan para
pihak, bukan pada faktor hubungan darah atau pekerjaan. Siapapun dapat bertindak sebagai
mediator asalkan para pihak sepakat dan orang itu memiliki sertifikat mediator. Namun
demikian, pemilihan mediator seperti itu, lebih baik dihndari karena potensial mengandung
pertentangankepentingan ( conflict of interest)
IV. Ruang lingkup tahap mediasi
A. Para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen
Dokumen yang berkaitan dengan duduknya perkara seperti masalah yang disengketakan,
penyelesaian yang diinginkan dan gantu rugi atau pemulihan yang diminta. Serta surat-surat
bukti yang mengandung fakta tentang yang disengketakan. Tenggang waktu penyerahan paling
lambat dalam waktu tujuh hari kerja terhitung dari tanggal para pihak memilih mediator atau
ketua majelis menunjuk mediator. Dokumen surat tersebut diserahkan secara timbal balik ke
masing-masing para pihak.
B. Kewajiban dan peran mediator
1. Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan para pihak, dua kali pertemuan dalam
seminggu dianggap layak dan realistis jiaka dihubungkan dengan proses yang dianut mediasi
adalah expedited procedure .
2. Mediator wajib memperhatikan Kehadiran para pihak. Para pihak dapat didampingi oleh
kuasa hukum kehadiran kuasa hukum hanya sebagai pendamping pihak principal.
3. Mediator sebagai pembantu atau helper yang bersifat netral dan tidak memihak yang
berfungsi mencari berbagai kemungkinan penyelesaian yang akan ditempuh oleh para pihak.
Seperti mendorong atau menulusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari alternatif
penyelesaian. Mediator wajib berperan sebagai pembantu yang cakap seperti :
1. Mampu memodifikasi sengketa dengan jelas
2. Mampu dan berperan meluruskan persamaan persepsi
3. Mampu dan berperan membangun jalinan komunikasi yang harmonis dan bersahabat
diantara para pihak
4. Dapat mengontrol buruk sangka para pihak
5. Dapat memberi dan mengemukakan analisis yang cermat atas masalah yang kompleks
6. Mampu mengarahkan pertemuan dan pembicaraan atau perundaingan menuju pokok
permasalahan
Apabila fungsi dan peran yang disebut di atas dapat dilaksanakan mediator dengan
penuh kerendahan hati dan menjauhkan sikap arogansi kemungkinan besar mediator dapat
mengantarkan para pihak menuju gerbang perdamian berdasarkan konsep win-win solution
4 .Mediator dapat mengundang ahli
Berdasarkan kesepakatan para pihak dan permintaan para pihak. Ahli uang dapat diundang
haruslah memiliki keahlian yang kompetemn dalam bidang tertentu yang berkaitan langsung
dengan masalah yang disengketakan jika bertentang mediator dapat menolak untuk
mengundang ahli, hal ini harus sesuai urgensi dan relevansi terhadap perkara yang
disengketakan. Biaya pengudangan ahli tsb ditanggung oleh para pihak
C. Sistem proses mediasi
Mengenai tata cara pertemuan perundingan ini terdapat tiga sistem yakni,
1. Tertutup untuk umum
Sistem Proses mediasi pada asasnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak
menghendaki lain. Dengan demikian setiap perundingan bersifat konfidensial yaitu hanya
terbtas dihadiri para pihak seperti para pihak, kuasa hukum (jika ada) dan mediator. Oleh
karena itu segala sesuatu pernyataan , keterangan dan pendapat yang dikemukakan dalam
setiap pertemuan tidak boleh dipublikasikanoleh salah satu pihak ataupun mediator.
2. Terbuka untuk umum atas persetujuan para pihak
Sistem Proses open court ini kebolehannya apabila para pihak menghendaki dalam arti
menyetujuinya dengan dinyatakan secara tegas. Sistem ini sebenarnya diperlukan agar tidak
menimbulkan persoalan dikemudian hari.
3. Sengketa publik mutlak terbuka untuk umum
Sistem proses ini mutlak terbuka untuk umum untuk segala sengketa publik. Dengan syarat
apabila objek mediasi sengketa publik, misal
a. Lingkungan hidup
b. Hak asasi manusia
c. Perlindungan konsumen
d. Pertanahan
e. Perburuhan yang melibatkan kepentingan banyak buruh
D. Mediasi menghasilkan kesepakatan
Hasil kesepakatan mediasi haruslah berbentuk tertulis dalam perumusannya dibantu oleh
mediator dan kesepakatan yang telah tercapai tersebut ditanda-tangani oleh para pihak. Hal
tertulis pun oleh dalam akta otentik maupun dibawah tangan (onderhandse acte). Selain dibuat
dalam tertulis keepakatan tersebut wajib mencantumkan klausul pencabutan perkara.
Mediator memeriksa kembali hasil kesepakatan sangat penting diperhatikan karna
kemungkinan bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Setelah kesepakatan
tercipta para pihak wajib menghadap hakim pada sidang lanutan yang sudah dijadwalkan. Lalu
hakim dapat mengukuhkan hasil kesepakatan menjadi penetapan akta perdamian, asalkan ada
permintaan dari para pihak karana hakim tidak dapat mengeluarkan penetapan para pihak
secara ex-officio.
E. Proses mediasi gagal
Apabila dijangka waktu yang telah ditetapkan untuk waktu mediasi tidak juga membuahkan
kesepakatan untuk para pihak, situasi ini disebut dengan gagal menempuh perdamaian atau
mediasi. Oleh karnanya yang harus dilakukan mediator adalah Mediator wajib memberitahu
hasil kepada hakim dalam bentuk tertulis, yang berisi gagalnya penyelesaian melalui mediasi .
setelah diketajui proses mediasi gagal majelis hakim melanjutkan pemeriksaan perkara yang
tunduk pada hukum acara yang berlaku.
V. Syarat Formil putusan perdamaian
A. Persetujuan perdamian mengakhiri perkara
Persetujuan perdamaian harus mengakhiri perkara secara tuntas dan mencakup keseluruhan.
Perdamian harus membawa para pihak terlepas dari semua sengketa. Dengan demikian
dapatllah dikukuhkan dalam bentuk penetapan akta perdamian.
B. persetujuan perdamaian berbentuk tertulis
Syarat yang kedua ini digariskan pasal 1851 KUH perdata mengenai bentuk persetujuan :
1. Harus berbentuk akta tertulis :
Boleh akta dibawah tangan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Atau pun juga
berbentuk akta Otentik.
2. Persetujuan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan . Bila tidak tertulis, dinyatakan tidak sah
(Ps.1851 (2) KUH perdata)
C. Pihak yang membuat persetujuan perdamian adalah orang yang mempunyai kekuasaan
Syarat ini berkaitan dengan ketentuan perjanjian yang diatur dalam hal pasal 1320 jo pasal
1330 KUH perdata. Mengenai pasal 1320 tentang tidak cakap yaitu orang yang belum dewasa
dan orang yang berada dibawah pengampunan. Erta pasal 1330 tsb tentag tidak mempunyai
kewenangan meliputi badan hukum yang belum mendapat mengesahan dari menteri hukum
dan HAM .
D. Seluruh pihak yang terlibat dalam perkara ikut dalam persetujuan perdamaian
Syarat ini berkenaan dengan tidak boleh kurang dari pihak yang terlibat dalam membuat
persetujuan. Kesepakatan yang tidak mengikutertakan seluruh pihak peggugat dan tergugat
dianggap mengandung cacat plurium litis consortium yaitu tidak lengkap pihak yang berdamai
E. Putusan perdamian yang bertentangan dengan Undang-undang dapat dibatalkan
Putusan akta perdamaian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum yang digariskan pasal 1337 KUH perdata. Begitu juga halnya putusan itu tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan pasal 1859, 1860, 1861, dan 1862 KUH perdata. Apabila
putusan tersebut mengandung salah satu cacat yang disebut dalam pasal-pasal dimaksud,
dapat dijadikan alasan untuk menuntut pembatalan terhadapya.
F. Kekuatan hukum yang melekat pada penetapan akta perdamaian
Kekuatan hukum pada akta pada putusan atau penetapkan akta perdamian diatur dalam pasal
1858 KUH perdata dan pasal 130 ayat (2)(3) HIR.
1. Disamakan kekuatanya dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap
Hal ini ditegaskan pada kalimat akhir pasal 130(2) HIR bahwa putusan akta perdamian
memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
2. Mempunyai kekuatan eksekutorial
Selain berkekuatan hukum tetap akta perdamian ini juga berkekuatan eksekutorial. Sesaat
setelah putusan dijatuhkan, langsung melekat keuatan eksekutorial padanya. Apabila salah
satu pihak tidak menaati atau melaksanakan pemenuhan yang ditetapkan dalam perjanjian
secara sukarela, dapat diminta eksekusi kepada PN (Ps.195 HIR)
3. Putusan akta perdamaian tidak dapat dibanding
Putusan akta tidak dapat dibanding (130 (3) HIR), penjelasan pun ada dalam putusan MA
No.975 K/sip/1973 yang mengataka berdasarkan pasal 154 RBG/ 130 HIR putusan perdamaian
merupakan putusan yang tertinggi .
Memperhatikan kekuatan yang langsung melekat pada putusan akta perdamaian,
penyelesaian perkara melalui sistem ini sangat efektif dan efisien. Segala upaya hukum
tertutup, sehingga dapat langsung diminta eksekusi apabila pihak ingkar memenuhi perjanjian
secara sukarela.
Sumber:
http://www.hukumacaraperdata.com/2012/06/01/istilah-pihak-pihak-dalam-gugatan-
perdata/#more-131
http://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/hukum-acara-perdata/