Post on 20-Dec-2015
description
Ancaman Bagi Wanita yang Membuka Auratnya
PENDAHULAN
LATARBELAKANG
Ajaran Islam adalah petunjuk bagi manusia untnk mewujudkan suatu kehidupan
yang penuh rahmat . Wujud yang nyata dari rahmat Allah itu ialah keselamatan,
kesehatan, kewarasan, ketenuaman, kesejahteraan, kebahagiaan dan kemajuan, Hal-
hal inilah yang tercakup dalam ani kata hasanah dan dalam istilah hukum Islam
disebut maslahah (kemaslahatan).
Hukum Islam - pada hakikalnya - tidak lain adalah jaminan untuk mewujudkan
kemaslahalan dalam kehidupan umat manusia, Salah salu dari kemaslahatan adalah
pakaian, Budaya pakaian adalah salah satu ciri peradaban manusia sehagai makhluk
terhormatf Pakaian sebagai busana akan selalu disesuaikan dengan perkembangan
zaman dan tradisi yang ada. Ia selalu mengalami daur ulang, berputar, bervariasi
mengikuti jamannya. Dengan begitu dari pakaian yang dikenakan sexing ka.li dapat
diketahui identilas diri pemakainyaf Oleh karena itu, masalah pakaian adalah masalah
kemanusiaan, didalamnya terkait harkat dan martabat manusia, yang mana berpakaian
terkait dengan kewajiban uma: Islam untuk menutup aurat.
Pada zaman modem, begitu banyak mode pakaian sudah diciplakan orang, Mulai dari
yang sempit sampai yang longgar, mulai dari bahan yang sangat sederhana sampai
hahan yang sangat mahal, baik untuk kaum adam maupun kaum hawa. Temtama
untuk kaum hawa, karena tubuh perempuan biasanya dijadikan objek seksual bagi
lak-laki. Zaman sekarang, busana perempuan mulai dari mode yang terbuka
menampakkan perhiasannya, lalu yang sangat sempit yang rnennnjolkan sex appeal-
nya‘ sampai kepada mode yang sangat tertutup. Islam sebagai agama yang sempuma,
sejak 15 abad yang lalu sudah mengatur masalah busana ini, terutama untuk kaum
perempuan
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka penulis ingin menulis
membahas tentang
1. Pengertian aurat
2. Batasan Aurat bagi Wanita
3. Syarat-syarat Menutup Aurat
4. Ancaman Bagi Orang yang Membuka Auratnya
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aurat
Menurut pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai’ al-
mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara bentuk
pecahan katanya adalah ‘awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni aurat manusia
dan semua yang bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila
terlihat (ditampakkan).
Imam al-Raziy, dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat:
sau`atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan
semua hal yang menyebabkan malu.”
Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah juz 1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu
maa yastahyii minhu wa yasuu`u shahibahu in yura minhu (setiap yang menyebabkan
malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika terlihat)”.
Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, berkata,” Secara literal, aurat
bermakna al-nuqshaan (kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang
menyebabkan celaan). Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika
terlihat.“
Dalam kamus Lisaan al-’Arab juz 4/616, disebutkan, “Kullu ‘aib wa khalal fi syai’
fahuwa ‘aurat (setiap aib dan cacat cela pada sesuatu disebut dengan aurat). Wa syai`
mu’wirun au ‘awirun: laa haafidza lahu (sesuatu itu tidak memiliki penjaga
(penahan)).”
Imam Syaukani, di dalam kitab Fath al-Qadiir, menyatakan;
“Makna asal dari aurat adalah al-khalal (aib, cela, cacat). Setelah itu, makna aurat
lebih lebih banyak digunakan untuk mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu
yang seharusnya dijaga dan ditutup, yakni tiga waktu ketika penutup dibuka. Al-
A’masy membacanya dengan huruf wawu difathah; ‘awaraat. Bacaan seperti ini
berasal dari bahasa suku Hudzail dan Tamim.”
B. Batasan Aurat bagi Wanita
Batasan Aurat Menurut Madzhab Syafi’iy
Di dalam kitab al-Muhadzdzab juz 1/64, Imam al-Syiraaziy berkata;
“Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw
bersabda, “Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut. Sedangkan aurat wanita
adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Mohammad bin Ahmad al-Syasyiy, dalam kitab Haliyat al-’Ulama berkata;
“.. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak
tangan.”
Al-Haitsamiy, dalam kitab Manhaj al-Qawiim juz 1/232, berkata;
“..Sedangkan aurat wanita merdeka, masih kecil maupun dewasa, baik ketika sholat,
berhadapan dengan laki-laki asing (non mahram) walaupun di luarnya, adalah seluruh
badan kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Dalam kitab al-Umm juz 1/89 dinyatakan;
” ….Aurat perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak
tangan.”
Al-Dimyathiy, dalam kitab I’aanat al-Thaalibiin, menyatakan;
“..aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan”.
Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, juz 1/185, Imam Syarbiniy menyatakan;
” …Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak
tangan…”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanbaliy
Di dalam kitab al-Mubadda’, Abu Ishaq menyatakan;
“Aurat laki-laki dan budak perempuan adalah antara pusat dan lutut. Hanya saja, jika
warna kulitnya yang putih dan merah masih kelihatan, maka ia tidak disebut menutup
aurat. Namun, jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih
kelihatan, maka sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh
tubuh, hingga kukunya. Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang
masyhur. Al-Qadliy berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda
Rasulullah, “Seluruh badan wanita adalah aurat” [HR. Turmudziy, hasan shahih]
….Dalam madzhab ini tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di
dalam sholat, seperti yang telah disebutkan. di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-
lainnya.”[1]
Di dalam kitab al-Mughniy, juz 1/349, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa
” Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka
juga sepakat; seorang wanita mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya.
Jika seorang wanita sholat, sedangkan kepalanya terbuka, ia wajib mengulangi
sholatnya….Abu Hanifah berpendapat, bahwa kedua mata kaki bukanlah termasuk
aurat..Imam Malik, Auza’iy, dan Syafi’iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah
aurat, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Selain keduanya (muka dan telapak
tangan) wajib untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat…”
[1] Abu Ishaq, al-Mubadda’, juz 1/360-363. Diskusi masalah ini sangatlah panjang. Menurut Ibnu
Hubairah dan Imam Ahmad, dalam satu riwayat; aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan
kedua telapak tangannya. Sedangkan dalam riwayat lain Imam Ahmad menyatakan, bahwa seluruh
badan wanita adalah aurat.[Ibnu Hubairah, al-Ifshaah ‘an Ma’aaniy al-Shihaah, juz 1/86
Di dalam kitab al-Furuu juz 1/285′, karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan
sebagai berikut;
“Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak tangan
–ini dipilih oleh mayoritas ulama…..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy
Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib juz 1/215, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan,
““Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak
tangan..”.
Dalam Hasyiyah Dasuqiy juz 1/215, dinyatakaN, “Walhasil, aurat haram untuk dilihat
meskipun tidak dinikmati. Ini jika aurat tersebut tidak tertutup. Adapun jika aurat
tersebut tertutup, maka boleh melihatnya. Ini berbeda dengan menyentuh di atas kain
penutup; hal ini (menyentuh aurat yang tertutup) tidak boleh jika kain itu bersambung
(melekat) dengan auratnya, namun jika kain itu terpisah dari auratnya, …sedangkan
aurat wanita muslimah adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy, disebutkan, “Yang demikian itu
diperbolehkan.Sebab, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak
tangan…”
Mohammad bin Yusuf, dalam kitab al-Taaj wa al-Ikliil, berkata, “….Aurat budak
perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan tempat
kerudung (kepala)…Untuk seorang wanita, boleh ia menampakkan kepada wanita
lain sebagaimana ia boleh menampakkannya kepada laki-laki –menurut Ibnu Rusyd,
tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini-, wajah dan kedua telapak tangan..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanafiy
Abu al-Husain, dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidaayah mengatakan;
“Adapun aurat laki-laki adalah antara pusat dan lututnya…ada pula yang
meriwayatkan bahwa selain pusat hingga mencapai lututnya. Dengan demikian, pusat
bukanlah termasuk aurat. Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’iy
ra, lutut termasuk aurat. Sedangkan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat
kecuali muka dan kedua telapak tangan…”[2]
Dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’ disebutkan;
“Oleh karena itu, menurut madzhab kami, lutut termasuk aurat, sedangkan pusat tidak
termasuk aurat. Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’iy. Yang benar adalah
pendapat kami, berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Apa yang ada di bawah pusat dan
lutut adalah aurat.” Ini menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat.”[3]
[2] Abu al-Husain, al-Hidaayah Syarh al-Bidaayah, juz 1/43
[3] al-Kaasaaniy, Badaai’ al-Shanaai’, juz 5/123
Aurat Wanita; Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan
Jumhur ‘ulama bersepakat; aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan
kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt:
ظ�ه�ر� م�ا ال� إ �ه�ن� �ت زين �دين� �ب ي و�ال� وج�ه�ن� ف�ر� �ح�ف�ظ�ن� و�ي �ص�ارهن� �ب أ من� �غ�ض�ض�ن� ي �ات �م�ؤ�من ل ل و�ق�ل�
�اء ء�اب و�� أ هن� �ائ ء�اب و�
� أ هن� �ت �ع�ول ب ل ال� إ �ه�ن� �ت زين �دين� �ب ي و�ال� هن� �وب ي ج� ع�ل�ى خ�م�رهن� ب �ن� �ض�رب �ي و�ل �ه�ا من
ات ع�و�ر� ع�ل�ى وا �ظ�ه�ر� ي �م� ل �ذين� ال الط3ف�ل و� أ ج�ال الر3 من� �ة ب ر� اإل� �ولي أ �ر غ�ي عين� �اب الت و
� أ هن� �ت �ع�ول ب
:ه�ا ي� أ ج�ميع;ا �ه الل ل�ى إ �وا �وب و�ت هن� �ت زين من� �خ�فين� ي م�ا �م� �ع�ل ي ل هن� ل ج� ر�
� أ ب �ن� �ض�رب ي و�ال� اء 3س� الن
ح�ون� �ف�ل ت �م� �ك �ع�ل ل �ون� �م�ؤ�من ال
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-
laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki,
atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.”[al-Nuur:31]
Menurut Imam Thabariy dalam Tafsir al-Thabariy, juz 18/118, makna yang lebih
tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan.
Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan
selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada
laki-laki asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada
sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar
masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun
berpaling seraya berkata;
و�ج�هه ل�ى إ ار� ش�� و�أ و�ه�ذ�ا ه�ذ�ا ال� إ �ه�ا من ى �ر� ي ن�
� أ �ح� �ص�ل ت �م� ل �م�حيض� ال �غ�ت� �ل ب ذ�ا إ ة�� أ �م�ر� ال ن� إ م�اء� س�
� أ �ا ي
�ه �ف�ي و�ك
“Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas
menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan
wajahnya.”[HR. Muslim]
Imam Qurthubiy Tafsir Qurthubiy, juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr al-Mantsuur,
juz 6/178-182; Zaad al-Masiir, juz 6/30-32; menyatakan, bahwa ayat di atas
merupakan perintah dari Allah swt kepada wanita Mukminat agar tidak
menampakkan perhiasannya kepada para laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang
dikecualikan bagi para laki-laki penglihat. Selanjutnya, Allah swt mengecualikan
perhiasan-perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki penglihat, pada frase
selanjutnya. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan
yang boleh ditampakkan oleh wanita. Ibnu Mas’ud mengatakan, bahwa maksud frase
“illa ma dzahara minha” adalah dzaahir al-ziinah” (perhiasan dzahir), yakni baju.
Sedangkan menurut Ibnu Jabir adalah baju dan wajah. Sa’id bin Jabiir, ‘Atha’ dan
Auza’iy berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju.
Menurut Imam al-Nasafiy, yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) adalah
semua yang digunakan oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang,
dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) di sini
adalah “mawaadli’ al-ziinah” (tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat
di atas adalah “janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan
untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak
tangan, dan dua mata kaki”[4].
[4] Imam al-Nasafiy, tafsir al-Nasaafiy, juz 3/143. Dalam kitab Ruuh al-Ma’aaniy, juz 18/140,
dituturkan, “Diungkapkan dengan perkataan “al-ziinah” (perhiasan), bukan “anggota tubuh tempat
menaruh perhiasan”, ditujukan untuk memberikan kesan penyangatan dalam hal perintah untuk
menutup aurat.. Sedangkan yang boleh ditampakkan adalah muka dan kedua telapak tangan.. Imam
Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/285, menyatakan; menurut jumhur ulama tafsir, “illa ma
dzahara minhaa” diartikan muka dan kedua telapak tangan.
C. Syarat-syarat Menutup Aurat
Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang tidak bisa
dikatakan melakukan “satru al-’aurat” (menutup aurat) jika auratnya sekedar ditutup
dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kehilatan.
Dalil yang menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari
Aisyah ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw
dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda,
“Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak
pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.”
Dalam hadits ini, Rasulullah saw. menganggap bahwa Asma’ belum menutup
auratnya, meskipun Asma telah menutup auratnya dengan kain transparan. Oleh
karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya,
yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi . Dalil lain yang menunjukkan
masalah ini adalah hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw
tentang kain tipis. Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap
isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku
khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.”
Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala
Rasulullah saw. mengetahui bahwasanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain
tipis, beliau memerintahkan agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya
tidak kelihatan warna kulitnya. Beliau bersabda,”Suruhlah isterimu melilitkan di
bagian dalamnya kain tipis.” Kedua hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas,
bahwasanya aurat harus ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya tidak tampak.
Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar Rumah
Selain memerintahkan wanita untuk menutup auratnya, syariat Islam juga
mewajibkan wanita untuk mengenakan busana khusus ketika hendak keluar rumah.
Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian tertentu yang harus dikenakan wanita
ketika berada depan khalayak umum. Kewajiban wanita mengenakan busana Islamiy
ketika keluar rumah merupakan kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban
menutup aurat. Dengan kata lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi,
sedangkan kewajiban mengenakan busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah
kewajiban di sisi yang lain. Dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan,
sehingga muncul persepsi yang salah terhadap keduanya.
Dalam konteks “menutup aurat” (satru al-’aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan
bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat.
Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu
menutupi warna kulit. Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja
mengenakan pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya
secara sempurna. Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi
dengan pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan
sempurna. Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang
dikenakan di atas pakaian biasanya. Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan
khimar sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika
berada di luar rumah, atau berada di kehidupan umum.
Walhasil, walaupun seorang wanita telah menutup auratnya, yakni menutup seluruh
tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangan, ia tetap tidak boleh keluar keluar
dari rumah sebelum mengenakan khimar dan jilbab.
Perintah Mengenakan Khimar
Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di
kehidupan umum adalah khimar dan jilbab. Dalil yang menunjukkan perintah ini
adalah firman Allah swt;
هن� �وب ي ج� ع�ل�ى خ�م�رهن� ب �ن� �ض�رب �ي و�ل
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya..”[al-Nuur:31]
Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung),
yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.
Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-’Arab menuturkan; al-khimaar li al-
mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada
pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk
menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. [5]
Khimar (kerudung) adalah ghitha’ al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga
mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[6]
Dalam Kitab al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran dinyatakan;
“Khumurihinna, bentuk jamak (plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna’
(penutup kepala). Dinamakan seperti itu karena, kepala ditutup dengannya
(khimar)..”[7]
Ibnu al-’Arabiy di dalam kitab Ahkaam al-Quran menyatakan, “Jaib” adalah kerah
baju, dan khimar adalah penutup kepala . Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits
dari ‘Aisyah ra, bahwasanya ia berkata, “Semoga Allah mengasihi wanita-wanita
Muhajir yang pertama. Ketika diturunkan firman Allah swt “Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka”, mereka membelah kain
selendang mereka”. Di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Mereka membelah kain
mereka, lalu berkerudung dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki
[5] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 4/257
[6] Imam Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz 2/336
[7] al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran, juz 1/311
selendang, dia akan membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai
kain, ia akan membelah kainnya.” Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi
dengan kain yang mereka miliki.”[8]
Di dalam kitab Fath al-Baariy, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, “Adapun yang
dimaksud dengan frase “fakhtamarna bihaa” (lalu mereka berkerudung dengan kain
itu), adalah para wanita itu meletakkan kerudung di atas kepalanya, kemudian
menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri. Itulah yang disebut dengan
taqannu’ (berkerudung). Al-Farra’ berkata,”Pada masa jahiliyyah, wanita
mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian depannya. Setelah itu,
mereka diperintahkan untuk menutupinya. Khimar (kerudung) bagi wanita mirip
dengan ‘imamah (sorban) bagi laki-laki.” [9]
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;
“Khumur adalah bentuk jamak (plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa
menutupi kepala. Khimaar kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung
(al-miqaana’), Sa’id bin Jabir berkata, “wal yadlribna : walyasydadna bi
khumurihinna ‘ala juyuubihinna, ya’ni ‘ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai`
[8] Ibnu al-’Arabiy, Ahkaam al-Quraan, jilid III/1369
[9] al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 10/106
minhu (walyadlribna : ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka,
yakni di atas leher dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya).”[10]
Imam Syaukaniy dalam Fath al-Qadiir, berkata;
“Khumur adalah bentuk plural dari khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup
kepala oleh seorang wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna
al-qath’u min dur’u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli tafsir mengatakan; dahulu,
wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah
baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan kalung
mereka terlihat. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan kain kerudung
mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini tampak”.[11]
Dalam kitab Zaad al-Masiir, dituturkan;
“Khumur adalah bentuk jamak dari khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu
ra`sahaa (apa-apa yang digunakan wanita untuk menutupi kepalanya). Makna ayat ini
[10] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir, juz 3/285; lihat juga Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy,
juz 18/120; Durr al-Mantsur, juz 6/182
[11] Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/23
(al-Nuur:31) adalah hendaknya para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna’)
di atas dada mereka; yang dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting,
dan leher mereka.”[12]
Perintah Mengenakan Jilbab
Adapun kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam
surat al-Ahzab ayat 59. Allah swt berfirman :
�ن� أ �ى �د�ن أ ك� ذ�ل هن� يب ب ج�ال� من� �هن� �ي ع�ل ين� �د�ن ي ين� �م�ؤ�من ال اء س� و�ن ك� �ات �ن و�ب و�اجك� ز�� أل ق�ل� ي: �ب الن :ه�ا ي
� �اأ ي
حيم;ا ر� ا غ�ف�ور; �ه� الل �ان� و�ك �ن� �ؤ�ذ�ي ي ف�ال� ف�ن� �ع�ر� ي
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.
[al-Ahzab:59]
Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat
untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah
(baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-
[12] Ibnu Jauziy, Zaad al-Masiir, juz 6/32; Imam Nasafiy, Tafsir al-Nasaafiy, juz 3/143; Ruuh al-
Ma’aaniy, juz 18/142
Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar
(lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain
apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju
kurung.”[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari
mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut
dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]
Di dalam kamus Lisaan al-’Arab dituturkan; al-jilbab ; al-qamish (baju); wa al-jilbaab
tsaub awsaa’ min al-khimaar duuna ridaa’ tughthi bihi al-mar`ah ra’sahaa wa
shadrahaa (baju yang lebih luas daripada khimar, namun berbeda dengan ridaa’, yang
dikenakan wanita untuk menutupi kepala dan dadanya.” Ada pula yang mengatakan
al-jilbaab: tsaub al-waasi’ duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang
berbeda dengan baju kurung, yang dikenakan wanita). Ada pula yang menyatakan; al-
jilbaab : al-milhafah (baju kurung).[13]
Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir al-Kasysyaf menyatakan, “Jilbab adalah pakaian luas,
dan lebih luas daripada kerudung, namun lebih sempit daripada rida’ (juba).[14]
[13] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 1/272
[14] Imam Zamakhsyariy, Tafsir al-Kasysyaf, juz
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, “Jilbaab adalah tsaub al-
akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar daripada kerudung). Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, jilbaab adalah ridaa’ (jubah atau mantel). Ada
pula yang menyatakan ia adalah al-qanaa’ (kerudung). Yang benar, jilbab adalah
tsaub yasturu jamii’ al-badan (pakaian yang menutupi seluruh badan). Di dalam
shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu ‘Athiyyah, bahwasanya ia
berkata, “Ya Rasulullah , salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab.
Nabi menjawab,”Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya”.[15]
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “al-jilbaab huwa al-ridaa`
fauq al-khimaar (jubah yang dikenakan di atas kerudung). Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah,
Qatadah, al-Hasan al-Bashriy, Sa’id bin Jabiir, Ibrahim al-Nakha’iy, ‘Atha’ al-
Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan
(al-izaar) sarung pada saat ini. Al-Jauhariy berkata, “al-Jilbaab; al-Milhafah (baju
kurung).”[16]
[15] Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 14/243
[16] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/519
Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu al-Qadiir, mengatakan;
“Al-jilbaab wa huwa al-tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar
dibandingkan kerudung). Al-Jauhari berkata, “al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung).
Ada yang menyatakan al-qanaa’ (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu
jamii’ al-badan al-mar`ah.”[17]
Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain berkata;
” Jilbaab adalah al-mulaa`ah (kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut
oleh wanita, yakni, sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang wanita
hendak keluar untuk suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak”[18]
D. Ancaman Bagi Orang yang Membuka Auratnya
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
Qاء س� و�ن �اس� الن ه�ا ب �ون� �ض�رب ي �ق�ر �ب ال �اب �ذ�ن �أ ك Qاط� ي س م�ع�ه�م� Qق�و�م ه�م�ا ر�� أ �م� ل �ار الن �ه�ل أ من� �ف�ان صن
و�ال� �ة� ن �ج� ال �ن� ل �د�خ� ي ال� �ة ل �م�ائ ال �خ�ت �ب ال م�ة ن س�� �أ ك ه�ن� ء�وس� ر� Qت ال� م�ائ Qت م�ميال� Qات� ع�اري Qات� ي �اس ك
�ذ�ا و�ك �ذ�ا ك ة ير� م�س من� �وج�د� �ي ل ريح�ه�ا ن� و�إ ريح�ه�ا �جد�ن� ي
“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku
tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti
[17] Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/304
[18] Imam al-Suyuthiy, Tafsir Jalalain, juz 1/560
ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka
auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak,
kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan
mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR.
Imam Muslim].
Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah
satu mukjizat kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini
bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut. Sebagian ‘ulama berpendapat,
bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan
tidak pernah bersyukur atas karunia Allah. Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa
mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap
sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan
yang lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan
pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka
digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar
seperti punuk onta.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi
berbeda.
هن� ء�وس ر� ع�ل�ى Qت م�ميال� Qت ال� م�ائ Qات� ع�اري Qات� ي �اس ك Qاء س� ن �ع�د� ب اه�م�ا ر�� أ ال� �ار الن �ه�ل أ من� �ف�ان صن
�اب �ذ�ن �أ ك Qو�اط س�� أ م�ع�ه�م� Qج�الو�ر ريح�ه�ا �جد�ن� ي و�ال� �ة� ن �ج� ال �ن� ي �ر� ي ال� �ة ل �م�ائ ال �خ�ت �ب ال م�ة ن س�
� أ �ل� مث
�اس� الن ه�ا ب �ون� �ض�رب ي �ق�ر �ب ال
“Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya
sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-
lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga,
dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang
digunakan untuk menyakiti umat manusia “[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang
menampakkan sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-
lenggok.
Sumber
Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah.2012. Masuliyatul Marah al
Muslimah
Qoidud Duwal.2009.KONSEP JILBAB DALAM ISLAM.SKRIPSI
Farahwahida Binti Mohd Yusof & Nur Afzan Binti Muhamad. Aurat Wanita Muslim
Menurut Perspektif Islam: Penerimaan Dan Pengamalan Di Kalangan Masyarakat
KESIMPULAN
Syariat Islam telah mewajibkan wanita untuk menutup anggota tubuhnya yang
termasuk aurat. Seorang wanita diharamkan menampakkan auratnya di kehidupan
umum, di hadapan laki-laki non mahram, atau ketika ia melaksanakan ibadah-ibadah
tertentu yang mensyaratkan adanya satru al-’aurat (menutup aurat).
Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Seseorang
baru disebut menutup aurat, jika warna kulit tubuhnya tidak lagi tampak dari luar.
Dengan kata lain, penutup yang digunakan untuk menutup aurat tidak boleh
transparan hingga warna kulitnya masih tampak; akan tetapi harus mampu menutup
warna kulit.
Ancaman bagi yang tidak menurut aurat adalah tidak mencium bau surge alias
neraka, karena tidak amanah, tidak tunduk kepada aturan sang Khalik