Post on 01-Jul-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an bukanlah merupakan sebuah buku dalam pengertian umum,
karena ia tidak pernah diformulasikan, tetapi diwahyukan secara berangsur-
angsur kepada Nabi Muhammad SAW. Sesudai dengan situasi yang
menuntutnya. Al-Qur’an sendiri menyadari kenyataan ini sebagai sesuatu
yang akan menimbulkan keusilan di kalangan pembantahnya (QS. Al-Furqan:
32). Seperti yang diyakini sampai sekarang, pewahyuan Al-Qur’an secara
total dan secara sekaligus, itu tidak mungkin, karena Al-Qur’an diturunkan
sebagai petunjuk bagi kaum muslimin secara berangsur-angsur sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan yang ada.
Sebagian dari tugas untuk memahami pesan dari al-Qur’an sebagai suatu
kesatuan adalah mempelajarinya dalam konteks latar belakangnya. Latar
belakang yang paling dekat adalah kegiatan dan perjuangan Nabi yang secara
keseluruhan sudah terpapar dalam sunahnya, kita perlu memahaminya
lingkungan pergaulan Arab pada masa awal penyebaran islam dalam konteks
perspektif karena aktivitas Nabi berada di dalamnya. Oleh karena itu, adat
istiadat, lembaga-lembaga serta pandangan hidup bangsa Arab pada
umumnya perlu diketahui untuk memahami konteks aktivitas Nabi. Secara
khusus, situasi Mekah pra-Islam perlu dipahami secara mendalam. Apabila
tidak memahami masalah ini, kita tidak akan dapat memahami pesan-pesan
1
Al-Qur’an sebagai suatu keutuhan. Orang akan salah menangkap pesan-pesan
al-Qur’an sebagai suatu keutuhan. Orang akan salah menangkap pesan-pesan
al-Qur’an secara utuh, jika hanya memahami bahasanya saja, tanpa
memahami konteks historisnya. Untuk dipahami secara utuh, Al-Qur’an harus
dicerna dalam konteks perjuangan Nabi dan latar belakang perjuangannya.
Oleh sebab itu, hampir semua literature yang berkenaan dengan Al-Qur’an
menekankan pentingnya asbab an-nuzul (alasan pewahyuan).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Apa pengertian Asbabun Nuzul?
2. Apa fungsi Asbabun Nuzul?
3. Bagaimana redaksi periwayatan Asbabun Nuzul?
4. Bagaimana berbilangnya Asbabun Nuzul Ayat?
C. Tujuan Penulisan.
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan makalh ini adalah untuk
mengetahui beberapa hal berikut:
1. Pengertian Asbab Al-Nuzul
2. Fungsi Asbab Al-Nuzul
3. Redaksi periwayatan Asbab Al-Nuzul
4. Berbilangnya Asbab An-Nuzul ayat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asbab Al-Nuzul
Secara etimologis, asbab an-nuzul terdiri dari dua kata: asbab (jamak
dari sabab yang berarti sebab atau latar belakang) dan nuzul berarti turun.1
Banyak pengertian terminology yang dirumuskan oleh para ulama, di
antaranya:
1. Menurut Az-Zarqani;
“Asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta
hubungan dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang berfungsi sebagai
penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.2
2. Ash-Shabuni:
“Asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan
turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan peritiwan dan
kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau
kejadian yang berkaitan dengan urasan agama”.3
1 Drs. Ahmad Izzan, M.Ag, Ulumul Qur’an, Bandung, 2005, hlm. 1772 Drs. Rosihan Anwar, M.Ag. Ulumul Qur’an, Bandung, 2004, hlm. 603 Ibid.
3
3. Shubhi Shalih:
Artinya:
“Asbab an-nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau
beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa,
sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum
ketika peristiwa itu terjadi”.4
4. Mana’ Al-Qaththan:
Artinya:
“Asbab an-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya
Al-Qur’an, berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa
satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”.5
5. M. Hasbi Ash-Shidieqi:
Mengartikan asbab an-nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan
Al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya pada saat kejadian-kejadian itu
timbul dan suasana yang di dalamnya Al-Qur’an diturunkan secara
4 Ibid.5 Ibid, hlm. 61
4
langsung sesudah sebab-musabab itu terjadi maupun terkemudian lantaran
sesuatu hikmah.6
Kendatipun redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda, semuanya
menyimpulkan bahwa yang disebut asbab an-nuzul adalah kejadian atau
peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an, dalam rangka
menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul
dari kejadian tersebut. Asbab an-nuzul merupakan bahan sejarah yang dapat
dipakai untuk memberikan keterangan terhadap turunnya ayat Al-Qur’an dan
memberinya konteks dalam memahami perintah-perintahnya. Sudah tentu
bahan-bahan sejarah ini hanya melingkupi peristiwa masa Al-Qur’an masih
turun (‘ashr at-tanzil).
B. Fungsi Asbab Al-Nuzul
Az-Zarqani dan As-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang
berpendapat bahwa mengetahui asbab an-nuzul merupakan hal yang sia-sia
dalam memahami Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba
memahami Al-Qur’an dengan meletakkannya dalam konteks waktu tertentu.
Namun, keberatan seperti ini tidaklah berdasar karena tidak mungkin
menguniversalkan pesan Al-Qur’an di luar masa dan tempat pewahyuan,
kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadap makna Al-Qur’an
dalam konteks kesejarahannya.
6 Drs. Ahmad Izzan, M.Ag., Ulumul Qur’an, Bandung, 2005, hlm. 177.
5
Sementara itu, mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang
terakumulasi dalam riwayat-riwayat asbab an-nuzul merupakan satu hal yang
signifikan untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an.
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan fungsi Asbab
Al-Nuzul dalam memahami Al-Qur’an yaitu sebagai berikut:
1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam
menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an. Umpamanya dalam Al-Qur’an
surat Al-Baqarah [2] ayat 115 dinyatakan bahwa timur dan barat
merupakan kepunyaan Allah. Dalam kasus shalat, dengan melihat dzahir
ayat di atas, seseorang boleh menghadap kea rah mana saja sesuai dengan
kehendak hatinya. Ia tidak berkewajiban untuk menghadap kiblat ketika
shalat. Akan tetapi, setelah melihat asbab an-nuzul-nya, kekeliruan
interpretasi tersebut sangat jelas sebab ayat di atas berkaitan dengan
seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan melakukan shalat di
atas kendaraan, atau berkaitan dengan orang yang berjihad dalam
menentukan arah kiblat.7
Contoh kedua, diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, bahwa
Marwan menemui kesulitan ketika memahami ayat:
Artinya:
7 Drs. Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung, 2004, hlm. 64
6
Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-
orang yang gembira dengan apa yang Telah mereka
kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap
perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu
menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi
mereka siksa yang pedih.
(QS. Ali Imran [3]: 188).
Marwan memahami ayat di atas sebagai berikut: Jika setiap orang
yang bergembira dengan usaha yang telah diperbuatnya dan suka dipuji
atas usahanya yang belum dikerjakan, akan disiksa, maka kita semua akan
disiksa. Ia memahami ayat tersebut seperti itu sampai Ibn bbas
menjelaskan bahwa ayat di atas diturunkan berkenaan dengan ahli kitab.
Ketika ditanya oleh Nabi tentang sesuatu, mereka menyembunyikannya
bahwa tindakannya di luar permintaan Nabi. Mereka beranggapan bahwa
tindakannya itu berhak mendapat pujian dari Nabi. Maka turunlah ayat
tersebut.8
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
Umpamanya dalam surat Al-‘Anam [6] ayat 145 dikatakan:
8 Ibid.
7
Artinya:
"Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -
Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah."
(QS. Al-‘Anam: 145).
Menurut Asy-Syafi’i, pesan ayat ini tidak bersifat umum (hasr).
Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat
di atas, Asy-Syafi’i menggunakan asbab an-nuzul. Ayat ini menurutnya,
diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau
memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka halalkan sendiri.
Mereka mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah dan
menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan
orang-orang kafir, terutama orang Yahudi, maka turunlah ayat di atas.
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an bagi
ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab
yang bersifat khusus (khusus as-sabab) dan bukan lafazh yang bersifat
umum (umum al-lafazh). Dengan demikian, ayat “zihar” dalam
permulaan surat Al-Mujadalah [58]. Yang (Khaulah binti Hakim Ibn
Tsa’labah), hanya berlaku bagi kedua orang tersebut. Hukum zihar yang
berlaku bagi selain mereka ditentukan dengan jalan analogi (qiyas).
8
4. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an,
umpamanya, ‘Aisyah pernah menjernihkan kekeliruan Marwan yang
menunjuk Abd Ar-Rahman Ibn Abu Bakar sebagai orang yang
menyebabkan turunnya ayat: “Dan orang yang mengatakan kepada orang
tuanya “Cis kamu berdua … “ (QS. Al-Ahqaf: 17). Untuk meluruskan
persoalan, ‘Aisyah berkata kepada Marwan, “Demi Allah, bukan dia yang
menyebabkan ayat ini turun. Dan aku sanggup untuk menyebutkan siapa
orang yang sebenarnya”.
5. Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat, serta untuk
memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya. Hal ini
karena hubungan sebab akibat (musabab) hukum, peristiwa dan pelaku,
masa dan tempat merupakan satu jalinan yang dapat mengikat hati.
C. Redaksi Periwayatan Asbabun Nuzul.
Ungkapan-ungkapan yang digunakan para sahabat untuk menunjukkan
sebab turunnya Al-Qur’an tidak selamanya sama.
Ungkapan-ungkapan itu beberapa bentuk sebagai berikut:
1. Sabab Al-Nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas, seperti:
9
(Sebab turunnya ayat ini demikian). Ungkapan ini secara definitif
menunjukkan Sebab Al-Nuzul dan tidak mengandung kemungkinan
makna lain.
2. Sebab Al-Nuzul tidak ditunjukkan dengan lafal sebab, tetapi dengan
mendatangkan lafal yang masuk kepada ayat dimaksud secara
langsung setelah pemaparan suatu peristiwa atau kejadian. Ungkapan
seperti ini juga menunjukkan bahwa peristiwa itu adalah sebab baik
turunnya ayat tersebut. Misalnya ialah Sabab Al-Nuzul yang diriwayatkan
oleh Muslim dari Jabir. Jabir berkata: “Orang-orang Yahudi berkata:
“Barang siapa yang menggauli isterinya dari kubulnya dari arah
duburnya, anaknya akan lahir dalam keadaan juling”, maka Allah
menurunkan ayat:
öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù
öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏds%ur
ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur
Nà6¯Rr& çnqà)»n=B 3 ÌÏe±o0ur úüÏZÏB÷sßJø9$#
ÇËËÌÈ
(Al-Baqarah: 223).
3. Sabab Al-Nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam hal ini
rasul ditanya orang, maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu
dengan ayat yang baru diterimanya. Para mufassir tidak menunjukkan
sebab turunnya dengan lafal Sabab Al-Nuzul dan tidak dengan
mendatangkan . Akan tetapi Sabab Al-Nuzulnya dipahami melalui
10
konteks dan jalan ceriteranya, seperti sebab turunnya ayat tentang ruh dari
Ibnu Mas’ud terdahulu.
4. Sabab Al-Nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas,
tidak dengan mendatangkan yang menunjukkan sebab, dan tidak
pula berupa jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan. Akan tetapi,
dikatakan:
Ungkapan seperti ini tidak secara definitive menunjukkan sebab, tetapi
ungkapan ini mengandung makna sebab dan makna lainnya, yaitu tentang
hukum kasus atau persoalan yang sedang dihadapi. Al-Zarkasyi
menyebutkan bahwa telah dimaklumi dari kebiasaan para sahabat dan
tabi’in bahwa jika salah seorang mereka berkata: “Ayat ini turun tentang
demikian, maka sesungguhnya ia maksudkan ayat ini mengandung hukum
ini; dan ini bukan sebab bagi turunnya ayat tersebut”. Namun, menurut
Al-Zarqani, satu-satunya jalan untuk menentukan salah satu dari dua
makna yang terkandung dalam ungkapan itu adalah konteks
pembicaraannya, tampaknya Al-Zarqani telah memberikan jalan tengah
untuk menyelesaikan persoalan ini. Selanjutnya, Al-Zarqani menjelaskan
bahwa jika ditemukan dua ungkapan tentang persoalan yang sama, salah
satu dari padanya secara nas menunjukkan sebab turunnya suatu ayat
atau kelompok ayat, sedang lainnya tidak demikian, maka diambil
ungkapan yang pertama, dan yang lainnya dianggap penjelasan bagi
11
hukum yang terkandunc, dalam ayat tersebut. Misalnya ialah riwayat
Muslim dari Jabir tentang sebab turun ayat yang
telah lalu dan riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Innu Umar berkata
“Ayat:
diturunkan pada (masalah) mendatangi (menggauli) perempuan-
perempuan pada dubur mereka.
Menurut AI-Zarqani, yang menjadi pegangan dalam menerangkan
sebab turun ayat tersebut adalah riwayat Jabir, karena riwayatnya
bersifat naqli dan jelas menunjukkan sebab. Sedangkan riwayat Ibnu
Umar merupakan Istinbath (panggalian hukum) dan dipahamkan
sebagai penjelasan bagi hukum mendatangi (menggauli) isteri-isteri
pada dubur mereka, yaitu haram.9
Namun secara lebih ringkasnya ada dua jenis redaksi yang digunakan
oleh perawi dalam mengungkapkan riwayat asbab an-nuzul, yaitu sharih
(jelas) dan muhtamilah (kemungkinan). Redaksi sharih artinya riwayat
yang sudah jelas menunjukkan asbab an-nuzul, dan tidak mungkin
menunjukkan yang lainnya. Redaksi dikatakan sharih bila perawi
mengatakan:
9 Ahmad Syadali, dkk. Ulumul Qur’an, Bandung, 2000, hlm. 109
12
Artinya:
“Sebab turun ayat ini adalah … “
Atau ia menggunakan kata “maka” (fa taqibiyah) setelah ia mengatakan
peristiwa tertentu. Umpamanya ia mengatakan:
Artinya:
“Telah terjadi … , maka turunlah ayat … “
Artinya:
“Rasulullah pernah ditanya tentang …, maka turunlah ayat … “
Contoh riwayat asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih
adalah riwayat yang dibawakan oleh Jabir yang mengatakan bahwa orang-
orang Yahudi berkata, “Apabila seorang suami mendatangi “kubul”
istrinya dari belakang, anak yang lahir akan juling.” Maka turunlah ayat:
öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù ö... ÇËËÌÈ
Artinya:
"Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-
tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”
13
Adapun redaksi yang termasuk muhtamilah bila perawi
mengatakan:
Artinya:
“Ayat ini diturunkan berkenaan dengan … “
Umpamanya riwayat Ibn Umar yang menyatakan:
Artinya:
“Ayat istri-istri kalian adalah (ibarat) tanah tempat bercocok tanam,
diturunkan berkenaan dengan mendatangi (menyetubuhi) istri dari
belakang”.
(HR. Bukhari)
Atau perawi mengatakan:
Artinya:
“Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan … “
Atau
14
Artinya:
“Saya kira ayat ini diturunkan, kecuali berkenaan dengan … “
Mengenai riwayat asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi
muhtamil, Az-Zarkasy menuturkan dalam kitabnya Al-Burnah fi ‘Ulum
Al-Qur’an:
Artinya:
“Sebagaimana diketahui, telah menjadi kebiasaan para sahabat Nabi dan
tabi’in, jika seorang di antara mereka berkata, “Ayat ini diturunkan
berkenaan dengan … “ Maka yang dimaksud adalah ayat itu mencakup
ketentuan hukum tentang ini atau itu, dan bukan bermaksud menguraikan
sebab turunnya ayat.
Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya ada beberapa riwayat
t e n t a n g s e b u a h a v a t . D a l a m h a l s e p e r t i i n i , u l a m a a h i i hadis
memiliki beberapa alternatif untuk menentukan riwayat-riwayat yang diterima
15
sebagai penjelasan tentang asbab an-nuzul ayat itu.
a. Bila salah satu di antara riwayat-riwayat itu bernilai shahih,, sedangkan
lainnya tidak, riwayat yang bernilai shahih-lah yang di terima sebagai
keterangan tentang asbdb an-nazul.
b. Bila dua riwayat atau lebih sama-sama shahih, dilakukan tarjih terhadap
rMayat 1ru. Pen-taijih-an itu dilakukan dengan mengarnbil hadis yang lebih
tinggi tingkat atau derajat keshahihannya atau hadis yang, perawinva
mengalami dan melihat langsung peristiwanya. Misalnya, riwayat Bukhari
dari Ibmi Mas'ud dengan riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas tentang
masalah ruh pada Surat a]-Isrd', 17: 85. Riwayat yang berasal dari Ibnu
Mas'ud dipandang sebagai asbdb an-nuzf-nya karena Ibnu Mas'ud Nadir dan
melihat ketika peristiwa itu berlangsung, sedangkan riwayat dari Ibnu
Abbas tidak dipandang kuat. Manna al-Qaththan menjelaskan bahwa jika
benar ayat itu Makkiyah dan diturunkan sebagai jawaban atas sebuah
pertanyaan, pengulangan pertanyaan yang sauna di Madinah ridak
memerlukan penurunan wahyu untuk kedua. Tujuan utamanya adalah agar
Rasulullah Saw. menjawab mvab pertanyaan tersebut dengan avat yang
diturunkan sebelumnya.
c. Bila dua riwayat atau lebih sama-sama shahih dan tidak bisa ditarjih,
kedua riwayat itu harus dikompromikan. Misalnya, riwayat Bukhari melalui
jalur ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas tentang Li’an (menuduh istri berbuat
zina tanpa mengajukan empat saksi yang kuat) yang tersebut dalam surat
an-Nur (24) ayat 6-9. Jika dibandingkan dengan riwayat Bukhari dan
16
Muslim dari Sahl bin Sa'ad, kedua riwayat sama-sama shahih dan sangat sulit
dilakukan tarjih. Langkah terbaik adalah mengompromikan kedua riwayat
itu. Peristiwa yang sama terjadi ketika peristiwa Hilal terjadi dan kebetulan
Uwainir mengalami kejadian serupa, ayat di atas diturunkan sebagai
jawaban atas persoalan mereka. Menurut Azzarqani, tidak ada keraguan
apa pun untuk menempuh jalan kompromi tentang persoalan ini.
Bahkan, lebih utama dilakukan kompromi dari pada menolak salah
satunya karena tidak ada 11j1mij.,mi amok mengompromikannya.
d. Bila ada dua riwayat atau lebih yang sama-sama shahih, kemudian sangat sulit
untuk di-tarjih clan atau dikompromikan karenajarak waktu ~zsbdban-
nuzfildari ayat tersebut sangat berjauhan, peristiwa itu dipandang sebagai
asbdb an-nuzid dan nuzul ayat itu berulang. Namun, Manna al-Qaththan
berpendapat bahwa perulanganturun sebuah ayat tidak begitu jelas
hikmahnya. Karena itu, is lebih menekankan pada upaya pen-tarjih-an.
Misalnya, riwayat Balhaqi dan a]-Bazzar dari Abu Hurairah tentang asbdb
an-nuzfil surat an-Nahl (16) ayat 126-128 bahwa ayat-aver itu turun pada
waktu Perang Uhud. Sebaliknya, menurut riwayat at-Tirmidzi dan Hakim
dari Ubay [)in Ka'ab, ayat-ayat itu turun pada waktu penaklukan kola
Mekkah (hathu Makkah). Karena kedua riwayat itu tidak bisa
dikompromikan karena masanya berjauhan.
BAB III
PENUTUP
17
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada baba sebelumnya maka dapat
disimpulkan beberapa hal berikut:
1. Asbab al-Nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi
turunnya ayat al-Qur’an, dalam rangka menjawab, menjelaskan dan
menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
2. Fungsi asbab an-nuzul, di antaranya adalah mengatasi keraguan ayat yang
diduga mengandung pengertian umum.
3. Redaksi periwayatan Asbab An-Nuzul ada dua jenis, yaitu Sharih (jelas)
dan Muhtamilah (kemungkinan).
4. Ada 4 alternatif yang digunakan oleh ahli ulama hadis untuk menentukan
riwayat-riwayat yang diterima sebagai penjelasan tentang asbab al-nuzul
ayat.
B. Saran.
Tiada gading yang tak retak, tiada kesempurnaan di dunia ini, maka kritik
dan saran yang bertujuan untuk membangun makalah ini menjadi suatu
bacaan yang bermanfaat sangat diharapkan, terima kasih penulis ucapkan.
DAFTAR ISI
Anwar Rosihan, 2004. Ulumul Qur’an. Bandung; Pustaka Setia
Izzan Ahmad, 2005. Ulumul Qur’an. Bandumh; Pustaka Setia
18
Syadali Ahmad, 2000. Ulumul Qur’an. Bandumh; Pustaka Setia
19