Post on 06-Feb-2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang mana mereka
perlu dilindungi harkat dan martabatnya serta dijamin hak-haknya untuk
tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratnya. Anak sebagai generasi
penerus bangsa, selayaknya mendapatkan hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan
secara memadai. Sebaliknya, mereka bukanlah objek (sasaran) tindakan
kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari siapapun
atau pihak manapun. Anak yang dinilai rentan terhadap tindakan kekerasan
dan penganiayaan, seharusnya dirawat, diasuh, dididik dengan sebaik-baiknya
agar mereka tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Hal ini tentu
saja perlu dilakukan agar kelak di kemudian hari tidak terjadi generasi yang
hilang (lost generation).1
Anak berhak mendapatkan pemeliharaan dan bantuan khusus keluarga
sebagai inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan alami bagi pertumbuhan
dan kesejahteraannya. Anak-anak hendaknya diberi perlindungan dan bantuan
yang diperlukan, sehingga mampu mengemban tanggung jawab dalam
masyarakat. Anak hendaknya diperlakukan dengan baik dalam lingkungan
keluarga yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian. Anak harus
dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan pribadi dalam masyarakat dan
1Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Nusantara, Bandung, 2006, hlm.18
1
dibesarkan dalam suasana perdamaian, tenggang rasa dan kemerdekaan.2
Maraknya aksi kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi pada anak, baik berupa
kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, tidak mendapatkan perlindungan
hukum dan hak asasi manusia yang memadai sehingga anak berulang kali
menjadi korban.
Nampaknya kita perlu menyadari bahwa permasalahan anak bukanlah
hal yang sederhana. Penanggulangan permasalahan anak adalah sangat
menuntut banyak pihak. Mereka bukan semata-mata tanggung jawab orang
tua, melainkan juga menjadi tanggung jawab negara dan pemerintah serta
masyarakat. Anak-anak adalah harapan masa depan bangsa dan menjadi
tanggung jawab kita sendiri untuk melindunginya.3 Karena itu segala bentuk
perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai
bentuk kekerasan atau kejahatan harus segera dihentikan. Sebagai contoh
bentuk pelanggaran hak-hak anak adalah kekerasan seksual termasuk
didalamnya pencabulan.
Menurut Seto Mulyadi (yang akrab dipanggil kak seto), anak Indonesia
berada dalam bayang-bayang kejahatan. Berdasarkan catatan KPAI (Komisi
Perlindungan Anak Indonesia) selama tahun 2003 terdapat 481 kasus
kekerasan. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus tahun 2004 dimana 221
kasus merupakan kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis
dan 106 permasalahan lainnya.4 Kemudian pada tahun 2007 kasus kekerasan
2Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.103-104.
3 Ibid. 4 http://www.tempointeraktif.com/berita, diakses pada tanggal 14 November 2008
2
seksual mengalami kenaikan, jumlah anak-anak yang menjadi korban terutama
korban pencabulan mencapai lebih dari 2000 anak.5 Melihat hal tersebut,
untuk melindungi anak sebagai korban agar senantiasa aman dan terlindungi
serta terhindar dari rasa trauma, maka yang harus dilakukan adalah
memberikan perlindungan, menegakkan hukum dan keadilan sesuai peratutan
perundang-undanngan yang berlaku.
Seperti pada kasus pencabulan yang terjadi di daerah Tukangan,
Yogyakarta. Seorang kakek (80 tahun) asal Muntilan, Jawa Tengah,
mencabuli bocah perempuan, sebut saja Bunga (6 tahun). Perbuatan tersebut
dilakukan saat korban bermain ke tempat pelaku pada hari Senin, 1 Oktober
2007, pukul 17.00 WIB. Kejadian tersebut berawal ketika Bunga meminta izin
ibunya untuk bermain ke rumah pelaku, karena ibunya sudah mengenali
pelaku dengan baik sehingga tidak ada perasaan curiga terhadap pelaku.
Setelah kembali dari rumah pelaku, saat buang air kecil, kemaluan korban
terasa perih. Kemudian oleh ibunya kemaluan korban diperiksa dan ternyata
ditemukan bukti bahwa kemaluan korban bengkak, dan akhirnya Bunga
mengakui bahwa sewaktu bermain di tempat pelaku, alat kelamin Bunga
dibuat mainan oleh pelaku.6
Apa yang telah dipaparkan pada kasus di atas, menunjukkan bahwa
ada hak-hak anak yang dilanggar yaitu setiap anak berhak tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
5Jumlah Korban Pencabulan Anak Naik, terdapat dalam http://www.nandigramunited.blogspot.com/ppiindia-jumlah-korban-pencabulan-anak.html, diakses pada tanggal 14 November 2008
6 http://www.bluefame.com/index.php?showtopic=51296, diakses pada tanggal 14 November 2008
3
kemanusiaan. Anak juga berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi ( Pasal 4 UU No. 23 tahun 2002 tentang perindungan anak).7
Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak-anak
merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia.
Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan
bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan
perkembangan masyarakat Indonesia.8
Kenyataannya saat ini upaya perlindungan tersebut belum dapat
diberikan secara maksimal oleh pemerintah, aparat penegak hukum,
masyarakat dan pihak-pihak lain yang berhak membantu. Keadilan yang
diberikan oleh penerapan hukum melalui penjatuhan sanksi hukum yang
dijatuhkan pada pelaku tidak adil atau tidak sesuai dengan akibat yang
ditimbulkannya. Ketidakadilan hukum inilah yang disebut-sebut dapat
menjauhkan masyarakat yang tertimpa musibah (menjadi korban suatu
kejahatan) untuk bersedia berurusan dengan dunia peradilan.9
Dari segi pemerintah, upaya yang belum dapat diberikan secara
maksimal adalah kurangnya partisipasi dan sosialisasi tentang keberadaan
Undang-Undang Perlindungan Anak dan lembaga-lembaga perlindungan anak
seperti KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan LPA (Lembaga
Perlindungan Anak) kepada masyarakat, sehingga masyarakat kurang paham
tentang isi dari undang-undang tersebut dan peranan lembaga-lembaga
7 Hermma Lusyana, Perlindungan Anak Korban Kekerasan Seksual, terdapat dalam http://www.google.com/news/investigasihukum.html, diakses pada tanggal 14 November 2008
8 Wagita Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 679 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual,
PT. Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm. 81
4
tersebut. Karena kurang pahamnya tentang isi undang-undang dan peranan
lembaga-lembaga perlindungan anak, menyebabkan masyarakat takut atau
enggan untuk melaporkan tindakan kejahatan seksual seperti pencabulan yang
terjadi di lingkungan sekitarnya kepada aparat penegak hukum.
Kemudian upaya yang belum diberikan secara maksimal oleh aparat
penegak hukum dapat dilihat dari putusan yang dipakai untuk mengadili
pelaku dipandang tidak relevan untuk memberikan efek jera bagi si pelaku.
Aparat penegak hukum masih menggunakan KUHP untuk mengadili pelaku
pencabulan dan belum menggunakan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak., padahal dalam undang-undang tersebut
memberikan perlindungan yang lebih baik dibandingkan dengan KUHP.
Misalnya, dalam Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak ada sanksi
cukup tinggi berupa hukuman pidana penjara maksimal 15 (sembilan) tahun
dan minimal 3 (tiga) tahun dengan denda maksimal Rp 300 juta dan minimal
60 juta tindakan yang berhubungan dengan perkosaan dan percabulan terhadap
anak. Berbeda dengan yang terdapat dalam KUHP yang hanya menjatuhkan
hukuman pidana penjara maksimal 9 (sembilan) tahun dan minimal 5 (lima
tahun).
Putusan dalam KUHP tersebut masih bersifat rendah, seperti putusan
yang terdapat dalam Pasal 289 dan 292 KUHP.
Pasal 289 “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbutan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Pasal 292 “Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul
5
dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara peling lama lima tahun.”
Pihak-pihak lain yang berhak membantu dalam kasus pencabulan ini
seperti KPAI yang berada di Tingkat Pusat dan LPA yang berada di Tingkat
Daerah belum memberikan upaya perlindungan yang maksimal terhadap anak,
terbukti bahwa masih banyak kasus tentang pencabulan terhadap anak yang
didiamkan saja oleh lembaga tersebut. Hal ini karena kurang aktifnya lembaga
tersebut dalam memberikan pengarahan atau sosialisasi terhadap masyarakat
Usaha perlindungan hukum bagi anak sudah ada sejak lama, baik
pengaturan dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam
pelaksanaannya, baik oleh pemerintah maupun organisasi sosial. Namun
demikian, usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang memadai sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Keadaan ini
disebabkan situasi dan kondisi serta keterbatasan yang ada pada pemerintah
dan masyarakat sendiri belum memungkinkan mengembangkan secara nyata
ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada.10
Adanya berbagai peraturan hukum yang secara jelas telah mengatur
ancaman sanksi pidana bagi pelaku pencabulan hendaknya segera
diimplementasikan oleh aparat penegak hukum dengan tetap memperhatikan
kondisi anak korban perbuatan cabul.
Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan anak sebagai korban
perbuatan cabul, agar senantiasa merasa aman dan terlindungi serta dapat
dihindarkan dari penderitaan yang ditimbulkan, maka yang harus dilakukan
10 Wagita Soetodjo, Hukum.... op.cit, hlm. 68
6
adalah melaksanakan perlindungan terhadap anak sebagai korban pencabulan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah ketentuan undang-undang yang ada saat ini sudah
melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul?
2. Bagaimana praktek penegakan hukum yang telah dilakukan oleh
LPA serta aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan,
penuntutan, dan putusan terhadap kasus pencabulan?
3. Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi oleh LPA serta aparat
penegak hukum dalam kasus anak sebagai korban pencabulan dan
apa solusinya?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana undang-
undang melindungi anak sebagai korban
perbuatan cabul.
2. Untuk mengetahui bagaimana praktek
penegakan hukum yang telah dilakukan
LPA serta aparat penegak hukum dalam
proses penyelidikan, penuntutan dan
putusan terhadap kasus pencabulan
3. Untuk mengetahui kendala-kendala apa
saja yang dihadapi oleh LPA serta aparat
7
penegak hukum dalam menangani kasus
anak sebagai korban pencabulan beserta
solusi-solusinya.
D. Tinjauan Pustaka
Masalah kejahatan kesusilaan termasuk pencabulan merupakan
perbuatan pidana yang diperlukan suatu tindakan penegakan hukum.
Untuk mengatasi masalah tersebut, hendaknya pelaku diberi hukuman
atau dipidana dan diperlukan juga suatu perlindungan terhadap anak yang
menjadi korban pencabulan tersebut.
Perbuatan cabul adalah suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan.
Pencabulan sendiri di beberapa negara mempunyai pengertian yang berbeda-
beda. Di Amerika Serikat pencabulan atau sexual assault adalah kontak atau
interaksi antara anak dan ornag dewasa di mana anak tersebut dipergunakan
sebagai alat pemuas seksual oleh orang lain yang berada dalam posisi
memiliki kekuatan atau kendali atas korban termasuk kontak fisik yang tidak
pantas, seperti memperlihatkan alat vital orang dewasa kepada anak.
Sedangkan Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk
pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang dan diancam
pidana11. Di Indonesia pengertian pencabulan dirumuskan dalam pasal 289
KUHP
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam
11 Marry, Findy, Farius, Carey (FK UI), “Child Molestation (Pencabulan Pada Anak)”, terdapat dalam http://www.freewebs.com, diakses tanggal 14 November 2008
8
karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Kejahatan pencabulan tersebut memiliki persamaan dengan kejahatan
perkosaan yaitu terletak pada unsur memaksa (dwingen) dengan kekerasan dan
ancaman kekerasan. Perbedaannya terletak pada orang yang dipaksa
bersetubuh pada perkosaan haruslah seorang perempuan sedangkan untuk
pencabulan korbannya bisa laki-laki atau seorang perempuan.12 Perbedaan
lainnya adalah jika dalam perkosaan terjadi kerusakan atau gangguan pada
vagina, tetapi terjadi kerusakan atau gangguan selain vagina seperti anus,
mulut, dan lain sebagainya, kejahatan kesusilaan tersebut digolongkan sebagai
perbuatan cabul.
Kejahatan merupakan salah satu kenyataan sosial yang memerlukan
penanganan khusus, karena kejahatan dapat menimbulkan keresahan bagi
negara dan masyarakat pada umumnya. Dalam kenyataannya sangatlah sulit
untuk memberantas kejahatan secara tuntas, karena kejahatan selalu
berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Sedangkan hukum
yang berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan
masyarakat belum sepenuhnya dapat diterapkan dalam memberantas
kejahatan. Tindak pidana juga merupakan suatu perbuatan yang termasuk di
dalam makna kejahatan.
Menurut Arif Gosita, “Tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Undang-Undang hukum pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana. Jadi dalam arti luas, ini berhubungan dengan pembahasan masalah dari sudut hukum pidana dan kriminologi. Jadi berhubungan dengan kenisbian pandangan tentang kejahatan, delikuensi, deviasi, kualitas kejahatan yang
12 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 79
9
berubah-ubah : proses kriminalisasi dan deskriminalisasi suatu tindakan atau tindakan pidana mengingat, tempat, waktu, kepentingan, dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup orang (berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebudayaan pada masa dan di tempat tertentu)”13
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku manusia dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Barda Nawawi Arief melihat
penegakan hukum adalah perwujudan suatu sanksi pidana yang dapat dilihat
sebagai suatu proses perwujudan kebijakan melalui 3 (tiga) tahap14:
1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang
(Formulatif)
2. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana (Aplikatif)
3. Tahap pelaksana pidana oleh aparat eksekusi pidana
(Eksekutif)
Dalam penelitian tentang implementasi perlindungan hukum terhadap
anak korban perbuatan cabul ini, penegakan hukum yang akan diteliti adalah
penegakan hukum formulatif dan penegakan hukum aplikatif. Penegakan
hukum formulatif yaitu penegakan hukum oleh undang-undang. Tahapan
hukum formulatif merupakan suatu perencanaan dari pembuat undang-undang
mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi masalah tertentu,
dalam hal ini masalah tentang perlindungan anak, dan bagaimana
melaksanakan perencanaan tersebut. Sedangkan penegakan hukum aplikatif
yaitu tahap pemberian atau penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat
13 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Radar Jaya Offset, Jakarta, 1985, hlm. 12314 Muladi dan Barda Nawawi A, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984,
hlm. 91
10
penegak hukum mulai dari tahap penyidikan (kepolisian), penuntutan
(kejaksaan) sampai putusan (pengadilan).
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia yang
harus ditegakkan dan dilaksanakan. Dalam menegakkan hukum, harus ada tiga
unsur yang diperhatikan, yaitu:15
1. Kepastian Hukum
(Rechtssicherheit)
2. Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)
3. Keadilan (Gerechtigkeit)
Hukum mempunyai sifat memaksa, artinya dalam keadaan apapun
keterikatan hukum tidak dapat disimpangi. Barang siapa telah melakukan
pelanggaran hukum, harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, kecuali
ditentukan lain oleh ketentuan hukum.16
Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan
pidana, kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas (principle of
legality), yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus
ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang (Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali) seperti yang tercantum dalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang
telah ada dan berlaku bagi terdakwa sebelum orang dapat dituntut untuk
dipidana karena perbuatannya.17
15 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.145
16 Wasis SP, Penganta Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, 2002, hlm.1917 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.5
11
Dalam setiap penanganan perkara pidana, aparat penegak hukum
seringkali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan
yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus
dilindungi untuk memulihkan penderitaannya karena telah menjadi korban
kejahatan (secara mental, fisik, maupun material) dan kepentingan tersangka
sekalipun dia bersalah, tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak
asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum
ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Maka dari itu
pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak
bersalah).
Alat penegak hukum tidak hanya kepolisian dan kejaksaan. Akan
tetapi jika diartikan secara luas, maka penegakan hukum menjadi tugas dari
pembentuk undang-undang, hakim, instansi pemerintahan (bestuur), aparat
eksekusi pidana.18
Ada berbagai permasalahan yang terkait dengan penegakan hukum
yang berada pada instansi-instansi tersebut.
1. Kepolisian
a. Kurang responsifnya Polri dalam memberikan pelayanan
pada anggota masyarakat yang membutuhkan.19
b. Penanganan keluhan masyarakat dianggap belum
transparan. Sehingga masyarakat belum berani untuk
18 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 111-11219 Awaloedin Jamin, Masalah dan Issue Manajemen Kepolisian Negara RI dalam Era
Reformasi, Yayasan Brata Bhakti, Jakarta, 2005, hlm. 220
12
menyampaikan keluhan dengan bukti-bukti yang
memadai.20
c. Kurangnya kemampuan teknis profesional yang mampu
menghadapi transnasional crime untuk memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat dan menegakkan
hukum.21
2. Jaksa
a. Dalam menangani kasus Jaksa Penuntut Umum (JPU)
masih bersikap membatasi diri untuk menggali informasi
dari korban, sehingga fakta-fakta yang diungkap pengadilan
pun tidak maksimal.22
b. Dalam beberapa kasus misalnya tentang kasus kekerasan
seksual (pencabulan) JPU tidak berupaya untuk
menghadirkan saksi ahli seperti dokter atau psikolog untuk
mengetahui beratnya luka korban.23
c. Karena tidak maksimalnya fakta yang dapat diungkap
dalam persidangan mengakibatkan JPU pada akhirnya
menjatuhkan tuntutan yang ringan. Tuntutan yang ringan
ini, jelas tidak mewakili rasa keadilan bagi korban, padahal
JPU adalah aparat yang mewakili korban di persidangan.24
20 Ibid. hlm.21821 Ibid. hlm. 223
22 Ratna Batara Munti, Perjuangan Berat Perempuan Indonesia Menggapai Keadilan
di Tengah Berbagai Keterpurukan, terdapat dalam http://www.goggle.com/lbhapikjakarta, diakses tanggal 17 November 2008
23 Ibid.24 Ibid.
13
3. Hakim
Hakim maupun pengadilan sebagai aparat penegak hukum yang perannya
sangat penting dalam memutuskan suatu perkara, tidak luput dari berbagai
kekurangan yang ada, terutama ada sorotan yang kuat mengenai kekuasaan
kehakiman. Maka dari itu perlu ada parameter yang jelas tentang lembaga
peradilan tersebut mengenai kemandiriannya.
Tipe kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dilihat dari segi kemandirian
proses peradilannya, dimulai dari proses pemeriksaan perkara, pembuktian
sampai pada putusan yang dijatuhkan. Parameter mandiri atau tidaknya suatu
proses peradilan ditandai dengan ada atau tidaknya campur tangan (intervensi)
dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman yang dengan berbagai
upaya mempengaruhi jalannya proses peradilan baik secara langsung maupun
tidak langsung.25
Sementara itu dari segi kemandirian hakimnya sendiri parameter mandiri atau
tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan
ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan
profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari adanya campur
tangan pihak lain.26
4. LPA (Lembaga Perlindungan Anak)
a. Terbatasnya dalam memberikan tugas perlindungan karena
kurangnya partner.27
25 Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspita Sari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm.53
26 Ibid. hlm.5427 Sudiman Telaumbanua, LPA Harus Mampu Berikan Yang Terbaik Untuk Anak Nias,
terdapat dalam http://www.niasonline.net/2007/09/11.html, diakses tanggal 14 November 2008
14
b. Kurangnya LPA dalam berperan aktif melindungi anak
korban kejahatan.28
Berbicara tentang perlindungan anak, tidak lepas dari soal
kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik
secara rohani, jasmani maupun sosial. Hal ini diatur dalam Undang-undang
No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak29
Dalam Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1979 merumuskan hak-hak anak
sebagai berikut: 30
1. anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
2. anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk
menjadi warga negara yang baik dan berguna.
3. anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan
4. anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan
28 Ibid. 29 Darwan Prinst, Hukum…. op. cit,. .hlm. 79 30 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990,
hlm.16-17
15
dengan wajar.
E. Definisi Operasional
Dalam definisi operasional ini akan dijabarkan apa yang dimaksud
dengan implementasi, perlindungan hukum, anak, korban dan pencabulan.
Pengertian implementasi dalam kamus umum Bahasa Indonesia
adalah penerapan. Sedangkan penerapan disini memiliki dua arti, yaitu:31
a. sebagai pelaksana dari peraturan yang telah ada ke dalam tindakan
nyata di lapangan oleh para pelaksananya.
b. dapat pula berarti merupakan suatu usaha untuk menyesuaikan
suatu peraturan yang berlaku atau peratutan yang baru itu sebagai
acuan bagi peraturan saat ini.
Sementara pengertian implementasi dalam penulisan skripsi ini adalah
penerapan dari segi normatif yaitu penerapan penegakan hukum dalam
ketentuan undang-undang terhadap perlindungan anak korban perbuatan cabul
dan penerapan dari segi empiris yaitu penerapan untuk melakukan suatu
tindakan nyata oleh para penegak hukum (aparat hukum) dalam melindungi
anak korban pencabulan. Hal tersebut berkaitan dengan pengertian
perlindungan hukum. Jika implementasi lebih mengacu pada peranan undang-
31 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, terdapat dalam http//google.co.oid/kamusonline.com, diakses tanggal 17 November 2008
16
undang dan aparat penegak hukum dalam melindungi anak korban perbuatan
cabul, maka perlindungan hukum dalam judul skripsi ini lebih menitik
beratkan pada penegakan hukumnya berupa pemberian hukuman oleh aparat
penegak hukum mulai tahap penyidikan (kepolisian), penuntutan (kejaksaan)
sampai putusan (pengadilan).
Secara konsepsional, dalam hukum di Indonesia, terdapat beberapa
macam tentang pengertian anak
1. Menurut KUHP
Pasal 45 KUHP mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila
belum berumur 16 (enam belas) tahun. Jadi bila ia tersangkut
dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si
tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu
hukuman. Tetapi KUHP mengatur umur anak sebagai korban
pidana adalah belum genap berumur 15 (lima belas) tahun
sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 285, 287, 290, 292, 293,
294, 295, 297, dan lainnya. Pasal-pasal tersebut tidak
mengkualifikasikannya sebagai tindak pidana, apabila dilakukan
dengan/terhadap orang dewasa, akan tetapi sebaliknya menjadi
tindak pidana karena dilakukan dengan/terhadap anak yang belum
berusia 15 (lima belas) tahun.32
2. UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18
32 Darwan Prinst, Hukum… loc.cit.
17
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Jadi, yang dimaksud anak di sini adalah anak yang berusia antara 8
(delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
menikah.
Selain pengertian tentang anak di KUHP dan UU No. 23 Tentang
Perlindungan Anak, dalam definisi operasional ini akan dibahas tentang hak-
hak anak yang tercantum dalam KUHP, Undang-undang di luar KUHP dan
dalam Konvensi-konvensi Internasional.
1. KUHP, salah satu pasal yang menyebutkan
tentang perlindungan terhadap anak adalah
Pasal 289 yang memberikan sanksi sembilan
tahun penjara bagi barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbutan cabul,
2. Undang-undang di luar KUHP
a. Undang-undang Dasar 1945
Pasal 28B ayat (2) memberikan jaminan dan perlindungan terhadap
hak-hak anak, yaitu setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
b. Undang-undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 52 menyatakan bahwa :
18
1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu di akui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
c. Undang-undang No. 4 tentang Kesejahteraan Anak
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, ditentukan:
1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna.
3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
d. Undang-undang No. 23 tentang Perlindungan Anak
Dalam Pasal 3 Undang-undang No 23 Tahun 2002, yaitu:
“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.
3. Konvensi-konvensi Internasional
Hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of
the Child) yang diberikan perlindungan diantaranya adalah: hak untuk
mendapatkan perlindungan jika anak mengalami konflik dengan hukum,
hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami
eksploitasi sebagi pekerja anak, hak untuk mendapatkan perlindungan
19
khusus jika anak mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-
obatan, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika anak
mengalami eksploitasi seksual dan pelecehan seksual, hak untuk
mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan, penjualan dan
perdagangan anak.
Masalah korban bukanlah masalah yang baru. Korban mempunyai
peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Dapat dikatakan
tidak mungkin ada suatu kejahatan jika tidak ada korban kejahatan.33
Korban merupakan orang yang menderita atau dirugikan akibat
adanya pelanggaran hukum pidana maupun non-hukum pidana, atau orang
yang menderita karena adanya suatu perbuatan manusia atau yang bukan
perbuatan manusia. Yang termasuk dalam perbuatan manusia adalah
perbuatan kejahatan atau perbuatan melawan hukum atau perbuatan lainnya
yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan penderitaan kepada
orang lain.
Definisi korban dalam penelitian ini adalah orang yang menderita atau
dirugikan baik secara fisik maupun non-fisik akibat mendapatkan tindakan
kekerasan atau kejahatan yang dilakukan oleh orang lain melalui perbuatan
pencabulan.
Pada undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13
Tahun 2006) Pasal 5 ayat 1 dijelaskan tentang hak dari saksi dan korban,
antara lain:
1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan 33 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (kumpulan karangan), Akademika Pressindo,
Jakarta, 1983, hlm.43
20
harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya
2. memberikan keterangan tanpa tekanan
3. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
4. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
5. bebas dari pertanyaan yang menjerat
6. mendapat nasihat hukum
Sementara itu, pengertian pencabulan (ontuchtige handelingen) adalah
segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun
dilakukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat
kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. 34
Yang dimaksud pencabulan menurut penulis adalah perbuatan yang
biasa dilakukan sebelum persetubuhan misalnya mengelus-elus atau
menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut
seseorang dan sebagainya secara paksa. Perbuatan tersebut dilakukan bukan
terhadap istrinya yang sah atau korbannya tidak dalam ikatan perkawinan
yang sah.
Tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan cabul, dirumuskan
dalam Pasal 289, 290, 292, 293, 294 dan 296 KUHP yang semuanya
merupakan kejahatan kesusilaan.35
Dengan demikian, inti dari penelitian ini adalah hendak mengkaji
bagaimanakah langkah-langkah konkrit dari aparat penegak hukum dalam
34 Adami Chazawi, Tindak Pidana…. op.cit, hlm. 8035 Ibid. hlm. 77
21
melakukan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan beserta
kendala-kendala yang dihadapi serta bagaimanakah undang-undang
melaksanakan peranannya untuk melindungi anak korban kejahatan kesusilaan
terutama kasus pencabulan, sehingga dapat menawarkan solusi pemecahan
yang nantinya dapat bermanfaat.
F. Metode Penelitian
1. Objek Penelitian
a. Ketentuan undang-undang yang ada saat ini kaitannya dengan
perlindungan anak sebagai korban perbuatan cabul
b. Praktek penegakan hukum oleh LPA serta aparat penegak hukum dari
proses penyelidikan, penuntutan dan putusan dalam kasus pencabulan
c. Kendala-kendala yang dihadapi oleh LPA serta aparat penegak hukum
dalam kasus anak sebagai korban pencabulan dan solusinya
2. Subjek Penelitian
Populasinya adalah instansi atau lembaga yang berwenang dalam
perlindungan anak serta aparat penegak hukum yaitu meliputi:
c. Polisi
Penulis dalam melaksanakan penelitian mengambil polisi sebagai subjek
penelitian karena fungsi dari kepolisian itu sendiri adalah menegakkan
hukum, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi dalam hal ini
menerima laporan dari masyarakat tentang tindak pidana yang terjadi
kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap laporan
22
tersebut.
d. Jaksa
Penulis memasukkan jaksa sebagai subjek penelitian karena jaksa berperan
membuat surat dakwaan atau penuntutan terhadap terdakwa dalam proses
persidangan. Penulis ingin mengetahui apakah jaksa dalam membuat surat
dakwaan atau penuntutan terhadap terdakwa menggunakan Undang-
Undang Perlindungan Anak atau menggunakan KUHP sebagai acuannya.
e. Hakim
Penulis memasukkan hakim sebagai subjek penelitian karena tugas hakim
adalah menerima, memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
kepadanya. Penulis ingin mengetahui apakah hakim dalam mengadili
pelaku pencabulan sudah selayaknya menerapkan undang-undang yang
lebih melindungi para anak dalam hal ini Undang-Undang Perlindungan
Anak, seperti diketahui bahwa dalam KUHP tidak diatur secara jelas
tentang masalah perlindungan anak sehingga sering diputus dengan
putusan yang biasanya meringankan terdakwa.
f. LPA (Lembaga Perlindungan Anak)
Penulis menganggap bahwa LPA relevan menjadi subjek penelitian
dikarenakan LPA merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk
memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang dalam situasi
tertentu seperti anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang
23
tereksploitasi secara ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan dan
anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.
Diambil sampel dari populasi yang dipilih dengan purpossive random
sampling, yaitu menentukan sampel berdasarkan tujuan penelitian terhadap
satu populasi yang homogen, misalnya kelompok orang dalam profesi
tertentu.36
Pertimbangan pemilihan sampel ditentukan sendiri oleh peneliti,
dikarenakan mereka dianggap berkompeten dalam permasalahan yang akan
diteliti.
3. Sumber Data
1. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari
subjek penelitian yang berupa wawancara
2. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti secara tidak
langsung melalui kepustakaan (library research) dan studi dokumen.
4. Teknik Pengumpulan Data
1. Data primer, dilakukan dengan cara wawancara atau interview yaitu
mengadakan tanya jawab dengan responden atau subjek penelitian untuk
memperoleh keterangan yang diperlukan oleh peneliti. Wawancara
dilakukan dengan berpedoman pada kerangka permasalahan dengan
memberikan kesempatan kepada responden untuk menyampaikan
pendapatnya.
36 , Pedoman Penyususnan Tugas Akhir, FH UII, Yogyakarta, 2008, hlm. 13
24
2. Data sekunder, dilakukan dengan cara:
a. Studi kepustakaan, yakni dengan menelusuri dan mengkaji berbagai
literatur seperti buku-buku dan peraturan perundang-undangan.
b. Studi dokumen, yakni dengan mencari, menemukan dan mengkaji
berbagai dokumen resmi seperti putusan pengadilan dan hal lainnya
yang berhubungan dengan masalah penelitian.37
5. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif yaitu pendekatan dari sudut
pandang ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku maupun
pandangan pendapat para ahli yang digunakan untuk mengolah dan
menganalisa data-data di lapangan yang disajikan dalam pembahasan,
sedangkan yuridis empiris yaitu pendekatan dari sudut pandang hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang diterapkan oleh aparat penegak hukum.
6. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif yaitu menguraikan,
membahas, menafsirkan temuan-temuan penelitian dengan sudut pandang atau
pendekatan dalam bentuk yuridis normatif dan yuridis empiris. Analisis data
ini merupakan proses untuk merumuskan kesimpulan atau generalisasi dari
pertanyaan penelitian yang diajukan.38
37 Ibid. hlm. 1438 Ibid. hlm. 15
25