Post on 10-Nov-2020
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Tebu
Tebu adalah tanaman yang menghasilkan gula dan hanya tumbuh di
daerah dengan iklim tropis. Tebu termasuk dalam keluarga Graminae. Umur
tanaman dari perkebunan hingga panen bisa mencapai sekitar 1 tahun. Di
Indonesia, Pulau Jawa dan Sumatra adalah pulau dengan budidaya tebu
terbesar.
Gambar 2.1 Tanaman Tebu
Terdapat lima spesies tebu, yaitu Saccharum spontaneum (glagah),
Saccharum sinensis (tebu Cina), Saccharum barberry (tebu India), Saccharum
robustum (tebu Irian) dan Saccharum officinarum (tebu kunyah). Karakteristik
morfologis tebu meliputi bentuk kerucut batang, susunan segmen paruh, bagian
agak datar, warna hijau kekuningan, batang memiliki lapisan lilin tipis, bentuk
kerucut pada tulang belakang. terbalik dengan 3-4 baris akar mata, warna daun
hijau kekuning-kuningan, lebar daun 4-6 cm, daun melengkung kurang dari ½
panjang daun [5].
2.1.1 Deskripsi Tanaman Tebu
1. Batang
Tanaman tebu memiliki batang tegak tanpa cabang. Batang tebu bisa
mencapai ketinggian 3 hingga 5 meter atau lebih. Tanaman tebu memiliki
warna hijau, merah tua, ungu atau kombinasi dari warna-warna ini. Pada batang
ada lapisan lilin putih agak keabu-abuan. Lapisan lilin biasanya ditemukan
pada tanaman muda.
4
2. Akar
Tanaman tebu memiliki sistem akar yang terdiri dari akar berserat hingga
1 meter. Ada 2 jenis akar di tebu ketika tebu masih dalam bentuk biji atau ketika
tebu masih muda, termasuk pucuk dan stek. Akar pucuk, seperti namanya,
berasal dari pucuk memiliki umur simpan yang panjang dan tetap selama tebu
terus tumbuh. Meskipun stek akar berasal dari stek batang tebu, stek akar tidak
bisa berumur panjang dan hanya ada saat tebu masih muda.
3. Daun
Daun tebu adalah daun yang tidak lengkap, hanya terdiri dari daun dan
pelepah, tanpa tangkai daun. Daun tanaman tebu berasal dari buku batang
tanaman tebu dalam posisi bergantian. Pelepah daun tanaman tebu akan
menjadi semakin sempit jika pelepah yang memeluk batang semakin tinggi.
Pada pelepah memiliki telinga daun, rambut dan penulangan bulu daun sejajar.
4. Bunga
Bunga-bunga yang terkandung dalam tebu adalah bunga tersusun atau
majemuk. Bunga tebu terdiri dari malai dengan pertumbuhan terbatas. Panjang
bunga majemuk bervariasi dari 70 hingga 90 cm. Setiap bunga di tanaman tebu
memiliki tiga daun kelopak, tiga benang sari, dua kepala putik dan satu
kelopak.
2.1.2 Klasifikasi Tanaman Tebu (Saccharum officinarum)
Tanaman tebu (Saccharum officinarum) memiliki klasifikasi sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Sub Kingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophytina (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (Berkeping satu)
Sub Kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae (Suku rumput-rumputan)
Genus : Saccharum
Spesies : Saccharum offinarum L.
5
2.2 Proses Pengolahan Tebu
Gambar 2.2 Proses Pengolahan Tebu [6]
a. Proses Pengolahan Awal
Setelah tebu dipanen, kemudian tebu dikirim ke pabrik sesegera
mungkin untuk menjaga kualitas tebu. Apabila truk pengangkut tebu telah
sampai di area pabrik, truk beserta tebu akan ditimbang terlebih dahulu. Tebu
dari truk pengangkut akan dipindahkan ke dalam cane carrier, dari cane
carrier tebu dibawa masuk ke dalam cane leveller. Lalu setelah dari cane
leveller tebu akan masuk ke cane cutter yang akan dipotong dan dicacah lebih
halus lagi.
Pada bagian ini, kualitas tebu yang akan digiling akan disiapkan.
Kualitas tebu meliputi tebu fisik, tingkat kebersihan dan kandungan gula yang
dikandungnya. Dari segi kuantitas, bisa dilihat saat penimbangan yang bisa
menentukan jumlah gula yang akan diproduksi.
b. Proses Penggilingan
Dalam proses ini, pemerasan tebu dilakukan untuk mendapatkan nira
sebanyak mungkin. Kompresi dilakukan dengan 5 set dari tiga pabrik rolling,
unit I ke V, setiap unit rolling memiliki 3 rol diatur pada sudut 120 ° dan
masing-masing kompresi terjadi dua kali. Memerah gula tebu adalah langkah
pertama dalam proses pembuatan gula. Tebu yang dapat digiling saat mencapai
kematangan, hasil rendemen pucuk tebu dekat dengan hasil rendemen batang
bawah dan kebersihan tebu mencapai > 95%.
6
Setelah tebu rusak, tebu berjalan ke penggilingan menggunakan lift
tebu, sebelum tebu masuk ke gilingan I, tebu harus melewati penangkap besi
yang berfungsi untuk menangkap besi dari bilah pisau yang mungkin terlibat
dalam serpihan tebu. Penggilingan dilakukan 10 kali menggunakan 5 unit
gilingan. Alat ini terdiri dari 3 rol yang terbuat dari besi yang memiliki
permukaan berbentuk V dengan sudut 300 yang digunakan untuk
memperlancar aliran nira dan mengurangi terjadinya slip dan disusun secara
seri dengan menggunakan tekanan hidrolik yang berbeda.
Tebu yang telah dicincang halus dibawa ke lift dan menuju ke gilingan
air pertama (getah) dari gilingan pertama ditampung dalam wadah I. Bubur dari
gilingan I dibawa oleh perantara I ke gilingan II kemudian digiling (diperah )
lagi. Air jus memasuki reservoir dan nira diperoleh dari wadah primary juice.
Ampas halus yang terdapat pada nira di gilingan I dan gilingan II akan
disaring pada juice stainer dan kemudian ampasnya dimasukkan pada gilingan
II. Lalu nira disaring dan ditampung dalam satu tangka dan siap dipompakan
ke stasiun pemurnian.
Ampas dari pabrik II dibawa oleh perantara II dan ditumbuk ke pabrik
III untuk diperah lagi. Ampas dari pabrik III dibawa oleh perantara III menjadi
tanah di pabrik IV. Nira yang diperoleh dari pabrik III dikumpulkan di bak III.
Nira digunakan untuk menyiram ampas yang keluar dari gilingan I untuk
ditumbuk di gilingan II.
Ampas dari pabrik IV dibawa oleh intermediate IV untuk digiling lagi
di pabrik V. Nira dari pabrik IV ditampung dalam bak IV dan digunakan untuk
menyiram ampas yang keluar dari gilingan I untuk ditumbuk di gilingan III.
Ampas yang keluar dari gilingan IV diberi air imbibisi sebelum dimasukkan ke
dalam gilingan V. Suhu air imbibisi adalah sekitar 60-70 0c dengan rasio 20-
25% dari kapasitas berat tebu per hari. Pemberian air imbibisi memiliki fungsi
untuk melarutkan nira yang masih tertinggal di ampas.
Nira dari pabrik III, IV, V masih mengandung ampas halus. Nira dan
ampas halus diangkut oleh conveyor melalui plat filter. Nira akan masuk ke
tabung setiap gilingan sementara ampas pergi ke gilingan II. Ampas tebu dari
penggilingan V kemudian diangkut dengan elevator ampas tebu melalui pelat
7
gilingan. Semakin banyak ulangan ampas tebu, semakin sedikit kadar nira yang
dikandungnya. Nira yang telah bebas dari ampas dari stasiun penggilingan I
dan II akan dipompa ke stasiun pemurnian.
Gambar 2.3 Proses Penggilingan Tebu [7]
2.3 Ampas Tebu
Ampas tebu adalah zat padat yang diperoleh dari pengolahan tebu di
industri gula. Sebagian besar digunakan sebagai bahan bakar boiler yang
menghasilkan limbah pembakaran dalam bentuk abu ampas tebu. Di dalam
ampas tebu terkandung senyawa selulosa 52.7%, lignin 24.2% dan
hemiselulosa 20.0% . Dihasilkan gula 5%, ampas tebu 90%, dan sisanya berupa
tetes (molase) serta air dari pengolahan tebu [8].
Ampas tebu atau bagasse, adalah hasil samping dari proses ekstraksi
(pemerahan) cairan tebu. Pada satu pabrik dihasilkan ampas tebu sekitar 35–
40% dari berat tebu yang digiling. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian
Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) ampas tebu yang dihasilkan sebanyak 32%
dari berat tebu giling. Ampas tebu mengandung ligno-cellulose. Panjang
seratnya antara 1,7 sampai 2 mm dengan diameter sekitar 20 mikro. Bagasse
mengandung air 48 - 52%, gula rata-rata 3,3 % dan serat rata-rata 47,7%. Serat
ampas tebu tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri dari selulosa,
pentosan dan lignin [9].
Ampas tebu memiliki sifat fisik kekuningan, berserat, lunak dan relatif.
Ampas tebu yang dihasilkan dari tanaman tebu tersusun atas penyusun-
penyusunnya antara lain air (kadar air 44,5%), serat yang berupa zat padat
(kadar serat 52,0 %) dan brix yaitu zat padat yang dapat larut, termasuk gula
yang larut (3,5 %) [10].
8
Gambar 2.4 Ampas Tebu
Pada umumnya, pabrik gula di Indonesia memanfaatkan ampas tebu
sebagai bahan bakar pabrik. Selain digunakan untuk bahan bakar, ampas tebu
banyak digunakan sebagai pembuatan pulp, campuran dalam pembuatan
paving block, pembuatan silica gel, dan sebagai bahan pembuatan tisu.
2.3.1 Karakteristik Ampas Tebu
a. Berdasarkan analisis proksimat
Kadar Air : 21.8%
Kadar Abu : 2.5%
Volatile : 72.7%
Campuran Karbon : 3.5%
b. Berdasarkan analisis ultimat
Karbon : 47.0%
Hidrogen : 6.5%
Sulfur : 0.1%
Nitrogen : 0.9%
Oksigen : 44.0%
Abu : 2.5%
Nilai Kalor : 3596.98 J/Kg
c. Berdasarkan sifat fisik
Rentang diameter : 0-10 mm
Equivalent Mean Diameter : 1.7-2 mm
Natural packing density : 122 kg/m3
(Sumber: [11])
9
Tabel 2.1 Komponen Penyusun Serat Ampas Tebu [6]
Komponen Persentase (%)
Selulosa
Pentosan
Lignin
Komponen Lain
45
32
18
5
2.4 Biomassa
Biomassa adalah jenis bahan bakar padat selain batubara. Biomassa
mencakup beberapa komponen, yaitu kadar air, bahan mudah menguap, karbon
tetap dan abu. Parameter penting dalam biomassa adalah kandungan panas,
semakin tinggi kandungan karbon, semakin tinggi nilai kalor yang diperoleh.
[12].
Proses untuk meningkatkan nilai kalor diantaranya dengan densifikasi
dan torrefaksi. Proses densifikasi bertujuan untuk meningkatkan densitas dan
mengurangi masalah penanganan seperti penyimpanan dan transportasi. Secara
umum, pembriketan biomassa memiliki beberapa keuntungan:
Menaikkan nilai kalor per unit volume.
Mudah disimpan dan diangkut.
Memiliki ukuran dan kualitas yang seragam.
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk pembriketan biomassa.
Metode yang sering digunakan untuk skala kecil di negara berkembang adalah
metode menggunakan press ulir, karena pada metode ini menghasilkan briket
yang lebih padat dan kuat. Secara umum teknologi pembriketan dibagi menjadi
3 macam:
Pembriketan tingkat tinggi.
Pembriketan tekanan medium dengan pemanas.
Pembriketan tekanan rendah dengan bahan pengikat [12].
Proses pemanggangan atau torrefaksi adalah proses termokimia pada
suhu 200 hingga 300 ° C tanpa adanya oksigen, pada tekanan atmosfer dan
pada laju pemanasan partikel rendah (<50°C/mnt). Dengan metode ini,
bertujuan untuk meningkatkan karakteristik bahan bakar, seperti peningkatan
10
nilai kalor, pengurangan kadar air, grindability dan peningkatan sifat
higroskopis. Parameter yang mempengaruhi proses torrefaksi diantaranya yaitu
tempetarur, waktu, dan tipe biomassa[12].
Tabel 2.2 Nilai Kalor Beberapa Jenis Biomassa [8]
Biomassa Nilai Kalor
(kj/kg)
Referensi
Sekam Padi
Jerami
Ampas Tebu
Tandan Kosong Sawit
Kayu (dry)
Cangkang Kakao
16.054
17.999
17.619
15.900
17.700
16.998
Kwong et al. (2004)
Jamradloedluk et al.
(2004)
Wahyudi (2002)
Pratoto (2004)
Bergman (2005)
Syamsiro et al. (2011)
2.4.1 Potensi Sumber Daya Biomassa di Indonesia
Potensi biomassa di Indonesia sangatlah melimpah karena Indonesia
memiliki iklim tropis dan lahan pertanian serta perkebunan yang sangat luas.
Berikut merupakan data potensi biomassa di Indonesia tahun 2013:
Tabel 2.3 Potensi Biomassa di Indonesia [8]
Jenis Biomassa Ketersediaan
Bahan Baku (ton)
Potensi Energi
(Gj)
Potensi
Umum
(MWe)
Kelapa Sawit
Serat (fiber)
Cangkang
Tandan Kosong
Pelepah
Tebu
Ampas Tebu
Kelapa
Sabut Kelapa
12.823.950
6.136.541
23.988.298
9.559.395
1.119.301
180.778.665
108.861.141
118.757.608
73.470.505
15.464.755
1.231
759
827
582
119
11
Tempurung
Padi
Sekam
Jerami
Jagung
Tongkol
Batang dan Daun
383.760
13.016.712
90.370.365
4.263.116
14.920.906
13.262.898
180.592.857
1.056.602.982
62.470.849
156.177.123
59
1.432
8.376
495
1.238
2.5 Proses Densifikasi
Densifikasi adalah proses untuk meningkatkan sifat fisik suatu bahan
yang bertujuan untuk memudahkan penggunaan dan pemanfaatannya,
sehingga terjadi peningkatan efisiensi dari nilai bahan bakar yang digunakan.
[13]. Proses densifikasi memiliki tiga macam proses, yaitu extruding,
briquetting, dan pelleting.
a. Proses Extruding
Dalam proses ini, bahan dikompresi menggunakan sekrup (sekrup) atau
piston untuk melewati cetakan sehingga menghasilkan produk yang padat dan
padat..
b. Proses Briquetting
Proses ini membuat bahan yang berbentuk tabung dengan diameter dan
tinggi yang bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan.
c. Proses Pelleting
Proses pelleting terjadi karena adanya aliran bahan dari roll yang
berputar disertai dengan tekanan menuju lubang-lubang pencetak biopelet.
Peletisasi adalah proses pengeringan dan pembentukan biomassa
menggunakan tekanan tinggi untuk menghasilkan biomassa silinder padat
berdiameter maksimum 25 mm. Tujuan peletisasi adalah untuk menghasilkan
bahan bakar biomassa dengan volume lebih kecil dan densitas energi lebih
tinggi, yang dimana memudahkan dalam proses penyimpanan, pengangkutan,
dan mengubah energi menjadi bentuk energi yang lain [13].
Alat pellet mill terdiri atas cetakan (die) dan roller tempat die berputar
dan bersentuhan dengan roller tersebut. Bahan baku pelet akan dipanaskan dan
ditekan secara bergesekan melalui lubang yang terdapat pada cetakan. Pada
12
umumnya, pelet yang diproduksi mempunyai diameter 5-15 mm dan panjang
kurang dari 30 mm.
Keunggulan proses densifikasi dalam membuat pelet meliputi:
meningkatkan nilai kalor total per satuan volume, memudahkan transportasi
dan penyimpanan akhir produk, memiliki bentuk dan kualitas seragam. Di sisi
lain, kelemahan proses ini adalah tingginya biaya investasi dan kebutuhan
energi yang dibutuhkan, dan adanya karakteristik pembakaran yang tidak
diinginkan.
2.6 Biopelet
Biopelet merupakan bahan bakar padat hasil pengempaan biomassa
yang berbentuk silinder dan memiliki panjang 6–25 mm dengan diameter 12
mm dan dapat digunakan sebagai energi alternatif [14]. Di beberapa negara
seperti Jerman dan Austria, biopelet telah dikembangkan sebagai bahan bakar
alternatif yang berasal dari serpihan kayu. Pelet adalah hasil kompresi
biomassa dengan tekanan lebih tinggi dari briket, yaitu 650 kg/m3 berbanding
60 kg/m. Pelet yang memiliki kadar air rendah dapat meningkatkan efektivitas
pembakaran.
Biopelet memiliki karakteristik yang berbeda tergantung pada bahan
yang dibuat, sebagian besar biopelet untuk bahan bakar menggunakan zat
organik atau biomassa. Keuntungan utama menggunakan bahan bakar pelet
biomassa adalah penggunaan kembali bahan limbah yang baru saja dibuang.
Keuntungan dari biopelet adalah nilai kalori yang lebih tinggi dan proses
pemindahan (transportasi) yang lebih mudah dari satu tempat ke tempat lain
karena keseragaman ukurannya [11].
Tabel 2.4 Standar Kualitas Biopelet [12];[13]
Parameter Satuan Indonesia
(SNI 8021-
2014)
Prancis
(ITEBE)
USA
(PFI)
Densitas
Kadar Air
Kadar Abu
Zat Volatile
g/cm3
%
%
%
Min. 0.8
Maks. 12
Maks. 1.5
Maks. 80
Maks.15
Maks. 6
Min. 0.64
Min. 30
13
Kadar Karbon
Nilai Kalor
%
Kal/gr
Min. 14
Min. 4000
Min. 60
2.6.1 Karakteristik Biopelet Ampas Tebu
a. Kadar Air (Moisture Content)
Kadar air adalah komponen penting yang dapat mempengaruhi kualitas
biopelet. Semakin kecil kadar air, nilai kalor yang dihasilkan akan semakin
besar, sehingga akan menghasilkan pelet yang mudah mengalami pembakaran.
Makin besar kadar air yang dihasilkan maka kualitas pelet akan menurun begitu
pula dengan nilai kalornya. Hal ini disebabkan karena energi untuk melakukan
pembakaran akan banyak terserap oleh air. Besarnya kadar air dapat diperoleh
dengan persamaan:
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 (%) =𝐴 − 𝐷
𝐴 − 𝐵 𝑥 100%
Keterangan: A = Berat sampel dengan cawan
B = Berat cawan
C = Berat sampel
D = Berat cawan dengan residu [14]
b. Kadar Abu
Kadar abu adalah sisa mineral yang tidak terbakar dalam proses
pembakaran. Semakin tinggi kadar abu maka kualitas pelet yang dihasilkan
semakin rendah. Nilai kadar abu dapat diperoleh dengan rumus:
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢(%) = 𝐸
𝐶 𝑥 100%
Keterangan: C = Berat sampel sebelum pengabuan (gr)
E = Berat abu/residu (gr)
c. Nilai Kalor
Nilai kalor adalah jumlah panas yang dihasilkan dari suatu gram bahan
bakar dengan menaikkan temperatur 1 gram air dari 3.5oC – 4.5oC, dengan
satuan kalori [19]. Nilai kalor terdiri dari HHV (Highest Heating Value) dan
LHV (Low Heating Value). HHV adalah nilai kalor ketika air berada dalam
fasa cair, sedangkan LHV nilai kalor ketika air berada dalam fase gas. Untuk
semua jenis biomassa, nilai HHV pada basis kering dan bebas abu adalah
14
20.400 kJ/kg (± 15%) [1]. Nilai kalor adalah parameter penting dalam
menentukan kualitas biopelet. Makin tinggi nilai kalor maka kualitas pelet
tersebut akan semakin baik.
d. Kadar Karbon
Kadar karbon yaitu komponen yang apabila terbakar tidak membentuk
gas karbon tetap. Kandungan karbon tetap terdapat pada arang [18].
e. Kadar Zat Menguap (Volatile Matter)
Volatile matter merupakan salah satu karakteristik yang terkandung
dalam biobriket. Komponen pertama adalah uap air yang muncul pada saat
temperatur mencapai 100oC dan rentang suhu sampai 900oC [18]. Kadar zat
menguap yang tinggi akan menghasilkan asap lebih banyak karena adanya
reaksi CO dengan alkohol. Proses pirolisis dengan suhu yang tinggi dilakukan
untuk mengurangi kadar zat menguap. Kadar zat menguap yang tinggi akan
mengurangi kualitas pelet, karena kandungan karbon semakin kecil dan nilai
kalor yang dihasilkan semakin rendah.
2.6.2 Kualitas Pelet Biomassa
Kualitas pelet dapat dilihat melalui dua faktor:
a. Ketahanan Mekanis (densitas)
Pelet yang memiliki densitas lebih tinggi memiliki kelebihan diantaranya,
memiliki ketahanan pada saat proses transportasi dan kerja pelet lebih efisien
pada saat dilakukan pembakaran. Pelet dengan kualitas yang baik memiliki
ciri-ciri permukaan yang halus dan hampir tidak ada retakan pada saat keluar
dari proses penggilingan. Pengujian kualitas pelet dapat dilakukan dengan cara
menyentakkan pelet ke permukaan yang keras untuk melihat apakah pelet
tersebut mudah hancur dan kemudian terpisah [3].
b. Kadar Air (Moisture content)
Semakin rendah kadar air, maka semakin besar energi yang dihasilkan pada
pembakar pelet. Pelet yang baik memiliki nilai kadar dibawah 10%, sedangkan
pelet dengan kadar air diatas 10% akan tetap terbakar, namun memiliki
efisiensi yang rendah[3].
15
2.7 Pembuatan Biopelet
a. Penggilingan
Ukuran biopelet yang tepat sesuai dengan standar akan membantu sistem
pembakaran yang digunakan, lebih efisien dalam proses pembakaran, dan
mengurangi kadar abu yang dihasilkan. Ukuran biomass lalu diperkecil dengan
cara penggilingan. Sebelum digiling, pelet diayak terlebih dahulu sehingga
pelet yang memiliki ukuran yang lebih akan dipindahkan ke penggiling.
Tabel 2.5 Ukuran biomassa untuk berbagai jenis sistem pembakaran [3]
Jenis Sistem Pembakaran Ukuran (mm)
Hand Firing
a. Natural Draft
b. Forced Draft
Stoker Firing
a. Chain Grate
Natural Draft
Forced Draft
b. Spreader Stoker
Pulverized Fuel Fired
Fluidized Bed Boiler
25-75
25-40
25-40
15-25
15-25
75% dibawah 75 μ
<10
b. Pengeringan
Untik memproduksi pelet dengan kualitas yang baik, kelembaban bahan
baku harus berada pada rentang 10-20%. Bahan baku pelet yang memiliki
kelembaban diatas 20% maka harus dikeringkan terlebih dahulu.
c. Pencampuran
Proses pencampuran ini dilakukan jika pelet yang akan diproduksi terdiri
dari beberapa bahan baku. Fungsi dari pencampuran ini adalah untuk
meningkatkan sifat pengikat dari biopelet tersebut. Sifat pengikat yang rendah
akan bermasalah nanti pada proses densifikasi. Selain itu, nilai kadar air dapat
dikurangi dengan cara mencampurkan pelet kadar air yang tinggi dengan pelet
16
kadar air rendah, sehingga apabila telah melakukan proses ini tidak
memerlukan pengeringan lagi.
d. Persiapan
Untuk menghasilkan pelet berkualitas tinggi, bahan baku yang digunakan
harus sesuai dengan beberapa kriteria. Penambahan beberapa zat aditif
dilakukan untuk meningkatkan kualitas biopelet yang akan dihasilkan, yaitu:
Kualitas pengikat
Pengikat berfungsi sebagai lem yang dapat menyatukan pelet dan
menghasilkan sinar yang lembut. Ada beberapa biomassa yang memiliki
kandungan lignin, sehingga lignin tersebut dapat dijadikan sebagai zat
pengikat. Namun, jika biomassa yang digunakan tidak memiliki zat
pengikat yang cukup, alternatif lain yang dapat digunakan sebagai zat
pengikat adalah minyak sayur.
Steam Conditioning
Proses ini hanya dilakukan untuk produksi dengan skala besar. Pada
proses ini bahan baku dikontakkan dengan uap kering dan air untuk
mendapatkan suhu yang sesuai sehingga kadar air yang terdapat dalam
biomassa dapat mengaktifkan lignin sebagai zat pengikat alami dan
untuk memperoleh kekuatan yang dimiliki pelet tersebut.
e. Pelletizing
Setelah proses persiapan, selanjutnya partikel dipindahkan ke sebuah
pelet mill, dengan menggunakan conveyor. Pada pelet mill, pelet akan dipotong
sesuai dengan panjang yang diinginkan.
Teknolgi pelletizing
Beberapa teknologi yang umum digunakan dalam proses pelletizing,
antara lain:
1. Piston Press
2. Screw Press
3. Hydraulic Piston Press
f. Pendinginan
Pada proses ini, pelet dibersihkan dan dipisahkan dari kotoran-kotoran.
Selanjutnya pelet didinginkan pada suhu kamar. Hal ini akan membuat lignin
17
sebagai perekat alami akan menambah kekuatan pelet dan untuk menjaga
kekuatan pelet selama penyimpanan dan pendistribusian.