Post on 06-Feb-2018
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Perencanaan Wilayah
Perencanaan Wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang
dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih
baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam
wilayah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber
daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap,
tetap berpegang pada azas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2003).
Dalam upaya pembangunan wilayah, masalah yang terpenting yang menjadi
perhatian para ahli ekonomi dan perencanaan wilayah adalah menyangkut proses
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Perbedaan teori pertumbuhan
ekonomi wilayah dan teori pertumbuhan ekonomi nasional terletak pada sifat
keterbukaan dalam proses input-output barang dan jasa maupun orang. Dalam
sistem wilayah keluar masuk orang atau barang dan jasa relatif bersifat lebih
terbuka, sedangkan pada skala nasional bersifat lebih tertutup (Sirojuzilam, 2007).
Perencanaan Wilayah merupakan satu-satunya jalan yang terbuka untuk
menaikkan pendapatan per kapita, mengurangi ketimpangan pendapatan dan
meningkatkan kesempatan kerja (Jhingan, 2000). Perencanaan Pembangunan Daerah
adalah “Suatu usaha yang sistematik dari pelbagai pelaku (aktor), baik umum (publik)
Universitas Sumatera Utara
atau pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang
berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial,
ekonomi dan aspek lingkungan lainnya dengan cara:
1. secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah;
2. merumuskan tujuan dan kebijakan pembangunan daerah;
3. menyusun konsep strategi bagi pemecahan masalah (solusi), dan
4. melaksanakannya dengan menggunakan sumber daya yang tersedia sehingga
peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat
ditangkap secara berkelanjutan” (Solihin, D, 2005).
Menurut Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori perencanaan wilayah
dapat dibagi atas empat komponen yaitu :
(a) Physical Planning (Perencanaan fisik). Perencanan yang perlu dilakukan untuk
merencanakan secara fisik pengembangan wilayah. Muatan perencanaan ini
lebih diarahkan kepada pengaturan tentang bentuk fisik kota dengan jaringan
infrastruktur kota menghubungkan antara beberapa titik simpul aktivitas. Teori
perencanaan ini telah membahas tentang kota dan sub bagian kota secara
komprehensif. Dalam perkembangannya teori ini telah memasukkan kajian
tentang aspek lingkungan. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah
perencanaan wilayah yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Medan dalam
bentuk master plan (tata ruang, lokasi tempat tinggal, aglomerasi, dan
penggunaan lahan).
Universitas Sumatera Utara
(b) Macro-Economic Planning (Perencanaan Ekonomi Makro). Dalam perencanaan
ini berkaitan perencanaan ekonomi wilayah. Mengingat ekonomi wilayah
menggunakan teori yang digunakan sama dengan teori ekonomi makro yang
berkaitan dengan pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan,
distribusi pendapatan, tenaga kerja, produktivitas, perdagangan, konsumsi dan
investasi. Perencanaan ekonomi makro wilayah adalah dengan membuat
kebijakan ekonomi wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah.
Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan bidang aksesibilitas
lembaga keuangan, kesempatan kerja, tabungan).
(c) Social Planning (Perencanaan Sosial). Perencanaan sosial membahas tentang
pendidikan, kesehatan, integritas sosial, kondisi tempat tinggal dan tempat kerja,
wanita, anak-anak dan masalah kriminal. Perencanaan sosial diarahkan untuk
membuat perencanaan yang menjadi dasar program pembangunan sosial di
daerah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan demografis.
(d) Development Planning (Perencanaan Pembangunan). Perencanaan ini berkaitan
dengan perencanaan program pembangunan secara komprehensif guna mencapai
pengembangan wilayah.
Fianstein dan Norman (1991) tipologi perencanaan dibagi atas empat macam
yang didasarkan pada pemikiran teoritis. Empat macam perencanaan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a) Traditional planning (perencanaan tradisional). Pada jenis perencanaan ini
perencana menetapkan maksud dan tujuan untuk merubah sebuah sistem kota yang
telah rusak. Biasanya pada konsep perencanaan ini membuat kebijakan-kebijakan
untuk melakukan perbaikan pada sistem kota. Pada perencanaan tradisional
memiliki program inovatif terhadap perbaikan lingkungan perkotaan dengan
menggunakan standar dan metode yang professional.
b) User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna). Konsep
perencanaan ini adalah membuat perencanaan yang bertujuan untuk
mengakomodasi pengguna dari produk perencaan tersebut, dalam hal ini
masyarakat Kota. Masyarakat yang menentukan produk perencanaan harus
dilibatkan dalam setiap proses perencanaan.
c) Advocacy Planning (Perencanaan Advokasi). Pada perencanaan ini berisikan
program pembelaan terhadap masyarakat yang termarjinalkan dalam proses
pembangunan kota dalam hal ini adalah masyarakat miskin kota. Pada
perencanaan advokasi akan memberikan perhatian khusus terhadap melalui
program khusus guna meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin.
d) Incremental Planning (Perencanaan dukungan). Pada perencanaan yang bersifat
dukungan terhadap sebuah proses pengambilan keputusan terhadap permasalahan-
permasalahan perkotaan. Produk perencanaan ini bersifat analisis yang mendalam
terhadap permasalahan dengan mempertimbangkan dampak positif dan dampak
negatif sebuah kebijakan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Glasson dalam buku Tarigan (2005) menyebutkan tipe-tipe
perencanaan terdiri dari; physical planning and economic planning, allocative and
innovative planning, multi or single objective planning dan indicative or imperative
planning. Selanjutnya menurut Tarigan (2005) di Indonesia juga dikenal jenis top-
down and bottom-up planning, vertical and horizontal planning, dan perencanaan
yang melibatkan masyarakat secara langsung dan yang tidak melibatkan masyarakat
sama sekali. Uraian di atas masing-masing jenis itu dikemukakan sebagai berikut:
1. Perencanaan Fisik Versus Perencanan Ekonomi. Pada dasarnya pembedaan ini
didasarkan atas isi atau master dari perencanaan. Namun demikian, orang awam
terkadang tidak bisa melihat perbedaan antara perencanaan fisik dengan
perencanaan ekonomi. Perencanaan fisik (physical planning) adalah perencanaan
untuk mengubah atau memanfaatkan struktur fisik suatu wilayah misalnya
perencanaan tata ruang atau tata guna, perencanaan jalur transportasi/komunikasi,
penyediaan fasilitas untuk umum, dan lain-lain. Perencanaan ekonomi (economic
planning) berkenaan dengan perubahan struktur ekonomi suatu wilayah dan
langkah-langkah untuk memperbaiki tingkat kemakmuran suatu wilayah.
Perencanaan ekonomi didasarkan atas mekanisme pasar daripada perencanaan
fisik yang lebih didasarkan atas kelayakan teknis. Perlu dicatat bahwa apabila
perencanaan itu bersifat terpadu, perencanaan fisik berfungsi untuk mewujudkan
berbagai sasaran yang ditetapkan di dalam perencanaan ekonomi. Akan tetapi,
Universitas Sumatera Utara
ada juga keadaan di mana hasil perencanan fisik harus dipertimbangkan
perencanaan ekonomi, misalnya dalam hal tata ruang.
2. Perencanaan Alokatif Versus Perencanaan Inovatif. Pembedaan ini didasarkan
atas perbedaan visi dari perencanaan tersebut, yaitu antara perencanaan model
alokatif dan perencanaan yang bersifat inovatif. Perencanaan alokatif (alocative
planning) berkenaan dengan menyukseskan rencana umum yang telah disusun
pada level yang lebih tinggi atau telah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, inti
kegiatannya berupa koordinasi dan sinkronisasi agar sistem kerja untuk mencapai
tujuan itu dapat berjalan secara efektif dan efesien sepanjang waktu. Karena
sifatnya, model perencanaan ini kadang-kadang disebut regulatory planning
(mengatur pelaksanaan ). Dalam perencanaan inovatif (innovative planning), para
perencana lebih memiliki kebebasan, baik dalam menetapkan target maupun cara
yang ditempuh untuk mencapai target tersebut. Artinya, mereka dapat
menetapkan prosedur atau cara-cara, yang penting target itu dapat dicapai atau
dilampaui. Perencanaan inovatif juga berlaku apabila ada kegiatan baru yang
perlu dibuat prosedur atau sistem kerjanya, yang selama ini belum ada.
3. Perencanaan Bertujuan Jamak versus Perencanaan Bertujuan Tunggal.
Pembedaan ini didasarkan atas luas pandang (skop) yang tercakup, yaitu antara
perencanaan bertujuan jamak dan perencanaan tunggal. Perencanaan dapat
mempunyai dan sasaran tunggal atau jamak. Perencanaan bertujuan tunggal
apabila sasaran yang hendak dicapai adalah sesuatu yang dinyatakan dengan tegas
Universitas Sumatera Utara
dalam perencanaan itu dan bersifat tunggal. Misalnya, rencana pemerintah untuk
membangun 100 unit rumah di suatu lokasi tertentu. Perencanaan bertujuan ini
tidak mengaitkan pembangunan rumah dengan manfaat lain yang mungkin
ditimbulkannya karena tidak menjadi fokus perhatian utama. Perencanaan
bertujuan jamak adalah perencanaan yang memiliki beberapa tujuan sekaligus.
Misalnya, rencana pelebaran dan peningkatkan kualitas jalan penghubung yang
ditujukan untuk memberikan berbagai manfaat sekaligus, yaitu agar perhubungan
di daerah semakin lancar, dapat menarik berdirinya permukiman baru dan
mendorong bertambahnya aktivitas pasar di daerah tersebut. Terkadang ada juga
sasaran lain dengan dibukanya jalan baru yang bisa saja tidak dinyatakan secara
tegas dalam rencana itu sendiri. Misalnya, makin lancarnya komunikasi sehingga
masyarakat setempat makin terbuka untuk pembaruan dan makin lancarnya
perdagangan. Perencanaan ekonomi umumnya bertujuan jamak sedangkan
perencanaan fisik ada yang bertujuan tunggal tetapi ada juga yang bertujuan
jamak.
4. Perencanaan Bertujuan Jelas Versus Perencanaan Bertujuan Laten.
Pembedaan ini didasarkan atas konkret atau tidak konkretnya isi rencana tersebut.
Perencanaan bertujuan jelas adalah perencanaan yang dengan tegas menyebutkan
tujuan dan sasaran dari perencanaan tersebut, yang sasarannya dapat diukur
keberhasilannya. Dalam perencanaan, tujuan selalu dibuat lebih bersifat umum
dibandingkan dengan sasaran. Tujuan belum tentu dapat diukur walaupun bisa
Universitas Sumatera Utara
dirasakan, sedangkan sasaran biasanya dinyatakan dalam angka konkret sehingga
bisa diukur dengan tingkat pencapaiannya. Misalnya, tujuan perencanaan adalah
menaikkan taraf hidup rakyat, sasarannya adalah menaikkan pendapatan per
kapita dari $ 400 menjadi $ 500 per tahun, dalam jangka waktu tiga tahun yang
akan datang. Perencanaan bertujuan laten adalah perencanaan yang tidak
menyebutkan sasaran dan bahkan tujuannya pun kurang jelas sehingga sulit untuk
dijabarkan. Tujuan perencanaan laten sering dikejar secara tidak sadar, misalnya
ingin hidup lebih bahagia, kehidupan dalam masyarakat yang aman, nyaman, dan
penuh dengan rasa kekeluargaan.
5. Perencanaan Indikatif Versus Perencanaan Imperatif. Pembedaan ini
didasarkan atas ketegasan dari isi perencanaan dan tingkat kewenangan dari
institusi pelaksana. Perencanaan indikatif adalah perencanaan di mana tujuan
yang hendak dicapai hanya dinyatakan dalam bentuk indikasi, artinya tidak
dipatok dengan tegas. Tujuan bisa juga dinyatakan dalam bentuk indikator
tertentu, namun indikator ini sendiri bisa konkret dan bisa hanya perkiraan
(indikasi). Tidak diatur bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak
diatur prosedur ataupun langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, yang
penting indikator yang dicantumkan dapat tercapai. Dalam perencanaan itu
mungkin terdapat petunjuk atau pedoman, yaitu semacam nasehat bagaimana
sebaiknya rencana itu dijalankan, tetapi pedoman itu sendiri tidak terlalu
mengikat. Pelaksana di lapangan masih dapat melakukan perubahan sepanjang
Universitas Sumatera Utara
tujuan ingin dicapai dapat dicapai atau dilampaui dengan besaran biaya tidak
melampaui yang ditentukan. Perencana imperatif adalah perencanaan yang
mengatur baik sasaran, prosedur, pelaksana, waktu pelaksanaan, bahan-bahan,
serta alat-alat yang dapat dipakai untuk menjalankan rencana tersebut. Itulah
sebabnya mengapa perencanaan ini disebut perencanaan komando. Pelaksana di
lapangan tidak berhak mengubah apa yang tertera dalam rencana. Hampir mirip
dengan tipe perencanaan di atas adalah yang menggunakan bentuk kombinasi
lain, yaitu induced planning versus imperative planning. Pembedaan dalam
kombinasi terakhir ini lebih didasarkan atas kewenangan dari institusi terlibat.
Induced planning adalah perencanaan dengan sistem rangsangan. Perencanaan
dengan sistem rangsangan, yaitu apabila pemerintah pada level yang lebih tinggi
memberi rangsangan kepada pemerintah yang lebih rendah. Hal ini terjadi jika
pemerintah pada level yang lebih rendah mau melaksanakan program yang
diinginkan oleh pemerintah pada level yang lebih tinggi.
6. Top Down Versus Bottom Up Planning. Pembedaan perencanaan jenis ini
didasarkan atas kewenangan dari institusi yang terlibat. Perencanaan model up-
down dan bottom-up hanya berlaku apabila terdapat beberapa tingkat atau lapisan
pemerintahan atau beberapa jenjang jabatan di perusahaan yang masing-masing
tingkatan diberi wewenang untuk melakukan perencanaan. Perencanaan model
top-down adalah apabila kewenangan utama dalam perencanaan itu berada pada
institusi yang lebih tinggi di mana institusi perencana pada level yang lebih
Universitas Sumatera Utara
rendah harus menerima rencana atau arahan dari institusi yang lebih tinggi.
Rencana dari institusi yang lebih tinggi tersebut harus dijadikan bagian rencana
institusi yang lebih rendah. Umumnya terjadi adalah kombinasi antara kedua
model tersebut. Akan tetapi dari rencana yang dihasilkan oleh kedua level
institusi perencanaan tersebut, dapat ditentukan model mana yang lebih dominan.
Apabila yang dominan adalah top-down maka perencanaan itu disebut
sentralistik, sedangkan apabila yang dominan adalah bottom-up maka
perencanaan itu disebut desentralistik.
7. Vertical Versus Horizontal Planning. Pembedaan ini juga didasarkan atas
perbedaan kewenangan antar institusi walaupun lebih ditekankan pada perbedaan
jalur koordinasi yang diutamakan perencana. Vertical planning adalah
perencanaan yang lebih mengutamakan koordinasi antar berbagai jenjang pada
sektor yang sama. Model ini mengutamakan keberhasilan sektoral, jadi
menekankan pentingnya koordinasi antar berbagai jenjang pada instansi yang
sama. Tidak diutamakan keterkaitan antar sektor atau apa yang direncanakan oleh
sektor lainnya, melainkan lebih melihat kepada kepentingan sektor itu sendiri itu
bagaimana hal ini dapat dilaksanakan oleh berbagai jenjang pada instansi yang
sama di berbagai daerah secara baik dan terkoordinasi untuk mencapai sasaran
sektoral. Horizontal planning menekankan keterkaitan antar berbagai sektor
sehingga berbagai sektor itu dapat berkembang secara bersinergi. Horizontal
planning melihat pentingnya koordinasi antar berbagai instansi pada level yang
Universitas Sumatera Utara
sama, ketika masing-masing instansi menangani kegiatan atau sektor yang
berbeda. Horizontal planning menekankan keterpaduan program antar berbagai
sektor pada level yang sama. Antara kedua model perencanaan itu harus terdapat
arus bolak-balik sehingga dihasilkan rencana yang baik.
8. Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung Versus yang
tidak melibatkan masyarakat. Pembedaan ini juga didasarkan atas kewenangan
yang diberikan kepada institusi perencanaan yang sering kali terkait dengan luas
bidang yang direncanakan. Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara
langsung adalah apabila sejak awal masyarakat telah diberitahu dan diajak ikut
serta dalam menyusun rencana tersebut. Perencanaan yang tidak melibatkan
masyarakat adalah apabila masyarakat tidak dilibatkan sama sekali dan paling-
paling hanya dimintakan persetujuan dari DPRD untuk persetujuan akhir.
Perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat misalnya apabila perencanaan itu
bersifat teknis pelaksanaan, bersifat internal, menyangkut bidang yang sempit,
dan tidak secara langsung bersangkut paut dengan kepentingan orang banyak.
Persetujuan DPRD pun umumnya tidak dimintakan untuk perencanaan seperti itu.
Perencanaan yang bersangkut paut dengan kepentingan orang banyak mestinya
melibatkan masyarakat tetapi dalam prakteknya masyarakat hanya diwakili oleh
orang-orang yang dikategorikan sebagai tokoh masyarakat. Dalam praktik, kedua
pembagian di atas tidaklah mutlak. Artinya, perencanaan sering mengambil
bentuk diantara keduanya. Perencanaan yang melibatkan masyarakat luas hanya
Universitas Sumatera Utara
mungkin untuk wilayah yang kecil, misalnya lingkungan, desa atau kelurahan,
dan kecamatan. Untuk wilayah yang lebih luas, biasanya hanya mungkin dengan
cara mengundang tokoh-tokoh masyarakat atau pimpinan organisasi
kemasyarakatan. Seringkali tokoh masyarakat atau organisasi kemasyarakatan
hanya dilibatkan pada diskusi awal untuk memberikan masukan dan pada diskusi
akhir untuk melihat bahwa aspirasi mereka sudah tertampung. Perencanaan yang
menyangkut kepentingan masyarakat banyak biasanya harus mendapat
persetujuan DPRD sebagai perwakilan dari kepentingan masyarakat.
Sebagai basis teoritis strategi pengembangan Kota Medan ini, didasarkan pada
referensi Buku, C.N. Osmond, Corporate Planning Its Impact On Management Long
Range Planning, 1971, yang dimodifikasikan dengan karakteristik perkembangan
Kota Medan) :
1. Core Strategy (Strategi Utama). Dalam upaya keberhasilan pengembangan Kota
Medan secara keseluruhan, maka pada periode 2006-2016 ini, adalah komitmen
serta kesungguhan untuk mewujudkan perkembangan kawasan Medan Utara,
yang disebut sebagai Strategi Utama pengembangan Kota Medan. Seluruh
kebijakan harus mendukung dapat terwujudnya pembangunan kawasan Medan
Utara, dan sekaligus melakukan peningkatan kualitas lingkungan pada kawasan
Medan Utara, yang pada akhirnya penerapan Strategi Utama pengembangan
kawasan Medan Utara ini akan menjadi salah satu landasan bagi keberhasilan
pembangunan Kota Medan secara keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara
2. Consequency Strategy (Strategi Konsekuensi). Sebagai konsekwensi dari
pelaksanaan Strategi Utama berupa kesungguh-sungguhan untuk
mengembangkan kawasan Medan Utara, maka konsekwensinya perlu
dilakukannya pembangunan sistem sarana prasarana oleh pemerintah kota di
kawasan Medan Utara, dan selanjutnya adalah mengembangkan kemitraan
dengan swasta, yang disebut sebagai Strategi Konsekuensi. Dalam Strategi
Konsekwensi ini, tugas utama pemerintah kota adalah melakukan pembangunan
sistem sarana dan prasarana (primer) kota, serta menjamin kepastian kekuatan
hukum bagi pembangunan di kawasan Medan Utara ini, dan dengan pelaksanaan
Strategi Konsekwensi ini, diharapkan pihak swasta akan dapat mengisi
infrastruktur selanjutnya (sekunder dan tersier), sesuai dengan penggunaan yang
telah ditetapkan.
3. Customer Strategy (Strategi Pelanggan). Guna memacu minat stakeholder untuk
membangun kawasan Medan Utara ini, maka strategi berikutnya adalah perlunya
pemerintah kota untuk melakukan Strategi Pelanggan, ialah untuk dapat menarik
“pelanggan” sebanyak mungkin untuk tertarik membangun di kawasan Medan
Utara. Dengan kata lain pemerintah kota harus dapat memberikan insentif, baik
dari aspek fisik, hukum, sosial dan ekonomi, guna menarik para stakeholder
untuk menanamkan investasinya di kawasan Medan Utara.
4. Control Strategy (Strategi Pengendalian). Pada saat ini, secara ekonomis para
investor lebih tertarik untuk membangun di kawasan Medan Selatan. Untuk
Universitas Sumatera Utara
mencegah kecenderungan terus menerus terjadinya aglomerasi dan eksploitasi di
kawasan Medan Selatan ini, yang akhirnya akan menjadi terjadinya degradasi
lingkungan, maka pemerintah kota harus cukup taktis untuk mencegah hal ini,
sehingga Pemerintah Kota Medan harus melakukan Strategi Pengendalian,
dengan menerapkan kebijakan disinsentif terhadap pembangunan di kawasan
Medan Selatan. Sudah barang tentu penerapan strategi pengendalian ini mutlak
harus didahului oleh kesungguhan pelaksanaan Customer Strategy (Strategi
Pelanggan) pada kawasan Medan Utara pada butir 3 di atas.
5. Culture Strategy (Strategi Kebudayaan). Untuk dapat mewujudkan dan
mensukseskan keseluruhan strategi tersebut di atas, maka pemerintah kota perlu
merubah dan menciptakan perilaku (mind set) masyarakat terutama dalam
menggunakan dan memanfaatkan ruang publik (public facility). Dalam bentuk
menerapkan Strategi Kebudayaan, yakni dengan menanamkan kesadaran akan
pentingnya peran masyarakat kota dalam mentaati peraturan dan hukum yang
berlaku, terutama dalam memanfaatkan ruang publik, serta dalam
keikutsertaannya dalam melakukan pembangunan di Kota Medan ini.
6. Sinergy Strategy (Strategi Sinergis). Mengingat peran Kota Medan yang sangat
tinggi dalam konteks nasional dan konstelasi regional Mebidang, serta besarnya
ketergantungan wilayah eksternal kota terhadap pemanfaatan fasilitas di Kota
Medan. Serta dilain pihak secara internal kompleksitas kaitan antar sektor dalam
pembangunan kota sangat tinggi, maka perlu dilaksanakan pula Strategi Sinergis
Universitas Sumatera Utara
dalam membangun Kota Medan ini. Ialah perlunya diciptakan suasana atau
semangat kerjasama yang sinergis, baik antar wilayah (administratif) Kota Medan
dengan wilayah sekitarnya (Mebidang), maupun kerjasama antar sektor-sektor
yang terkait, yang dampak dari pelaksanaan strategi ini, hasilnya tidak saja bagi
keberhasilan pembangunan Kota Medan itu sendiri, tetapi akan pula memberikan
pengaruh yang positif bagi pembangunan regional Mebidang (Master Plan Kota
Medan 2016).
2.2 Sistem Perencanaan Pembangunan Wilayah
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah dianggap sebagai perencanaan
untuk memperbaiki penggunaan sumber daya yang ada. Perencanaan adalah suatu
proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan,
dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Pembangunan daerah adalah
pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
yang nyata, baik aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses
terhadap pengambilan kebijakan, berdaya saing maupun peningkatan indeks manusia
(Kuncoro, 2005).
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2004 dikeluarkan
pemerintah untuk memperbaiki berbagai kelemahan perencanaan pembangunan yang
dirasakan dimasa lalu. Sasaran perbaikan yang diharapkan antara lain adalah
mewujudkan keterpaduan dan sinergi pembangunan antar dinas dan instansi dan antar
Universitas Sumatera Utara
daerah, keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran serta untuk lebih
mengoptimalkan pemanfaatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan
perencanaan.
Rencana pembangunan menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 terdiri dari:
1. RPJP
2. RPJM
3. RKP
4. Renstra kementrian/SKPD
5. Renja kementrian/SKPD
Ad 1. RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang)
Koordinasi pembangunan jangka panjang secara nasional dilakukan melalui
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), baik untuk pemerintah,
pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota untuk periode 20 tahun.
RPJP-Nasional, propinsi maupun kabupaten/kota berisikan visi, misi dan arah
pembangunan secara nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan terbentuknya
pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. RPJP ini selanjutnya dijadikan landasan utama penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM untuk periode 5 tahun).
Ad 2. RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah)
RPJM memuat strategi pembangunan, kebijakan umum, program
kementerian/lembaga/SKPD, program kewilayahan serta kerangka ekonomi makro
Universitas Sumatera Utara
yang mencakup gambaran perekonomian nasional/daerah secara menyeluruh,
termasuk kebijakan fiskal dan kerangka pendanaan. RPJM tersebut selanjutnya
dijadikan dasar utama untuk penyusunan Rencana Tahunan (Annual Planning) yang
bersifat operasional sesuai dengan kemampuan dana pada tahun yang bersangkutan.
Bahkan rencana tahunan yang harus dibuat tersebut telah menggunakan istilah lain
yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada tingkat nasional atau RKPD untuk
tingkat daerah yang mengisyaratkan bahwa rencana tahunan tersebutlah yang menjadi
rencana kerja pemerintah untuk tahun yang bersangkutan. RKPD/RKP tersebut
berisikan prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro, program
kementerian/lembaga, program kewilayahan dan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif.
Dengan mempedomani rancangan RPJP Daerah yang telah selesai disusun,
Pemerintah Daerah diwajibkan pula menyusun RPJM Daerah yang berisikan arah dan
strategi kebijakan pembangunan daerah dan program kerja satuan perangkat daerah,
baik yang bersifat lintas sektoral maupun lintas wilayah. Termasuk dalam RPJM
Daerah ini adalah rencana kerja dan kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat
indikatif. Agar perencanaan menjadi lebih kongkrit, maka target-target yang
ditetapkan perlu diusahakan secara kuantitatif, walaupun disadari hal ini tidak dapat
dilakukan untuk semua sektor. Target yang bersifat kuantitatif tersebut nantinya juga
sangat diperlukan pada waktu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
keberhasilan terhadap pelaksanaan program. Rancangan RPJM-Daerah yang telah
Universitas Sumatera Utara
selesai selanjutnya dijadikan dasar menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD) yang merupakan rencana tahunan (Annual Planning) bersifat operasional.
RKPD pada dasarnya merupakan jabaran dari RPJM Daerah yang berisikan rencana
kerja pembangunan daerah, prioritas, dan program pembangunan daerah, berikut
pendanaannya, baik yang dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung oleh
pemerintah daerah untuk tahun yang bersangkutan (Gani, J.Y, 2005).
Ad 3. RKP (Rencana Kerja Pemerintah)
Peranan RKP demikian penting karena dokumen perencanaan ini adalah
memadukan perencanaan pembangunan jangka menengah yang kurang operasional
dengan perencanaan anggaran yang sangat operasional sesuai dengan kemampuan
dana pada tahun yang bersangkutan. Dengan adanya RKP/D tersebut maka akan
terdapat keterpaduan antara perencanaan, program dan pendanaan sesuai dengan
prinsip Ilmu Perencanaan yaitu Planning, Programming and Budgetting System
(PPBS).
Disini sudah jelas terlihat bahwa SPPN-2004 berupaya untuk mewujudkan
perencanaan pembangunan terpadu, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat
daerah melalui keterkaitan yang erat antara RPJP, RPJM, Renstra SKPD, dan Renja
SKPD dan penyusunan anggaran. Keterpaduan ini sangat penting artinya untuk
mewujudkan proses pembangunan yang saling menunjang menuju kepada suatu arah
pembangunan masa depan nasional yang jelas. Sementara itu, masing-masing daerah
membuat perencanaan pembangunan untuk daerahnya berdasarkan visi dan misi
Universitas Sumatera Utara
Kepala daerahnya masing-masing tanpa melihat kaitan dengan RPJP, RPJM dan
RKPD daerah sekitarnya. Pada dasarnya, RKP tersebut merupakan jabaran dari
RPJM dan berisikan program dan proyek pembangunan yang kongkrit dan
operasional sesuai dengan dana pembangunan yang tersedia pada tahun bersangkutan.
Bahkan SPPN 2004 selanjutnya menetapkan pula bahwa RKP menjadi dasar
penyusunan RAPBN dan RKPD sebagai dasar penyusunan RAPBD. Dengan
demikian, sistem penyusunan RAPBD yang biasanya dilakukan oleh Tim KUA
(Kebijakan Umum Anggaran) sesuai dengan KEPMENDAGRI 29, tahun 2003 sudah
tidak berlaku lagi dan diganti dengan PERMENDAGRI 13 tahun 2006 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah. Secara sistematik, proses penyusunan perencanaan
pembangunan dapat dilihat pada gambar berikut:
5 Tahun
1 Tahun
RPJMD
Renstra SKPD
RPJPD
RKP
5 Tahun
Renja SKPD
RKPD
1 Tahun
NOTA KESEPAKATAN PIMPINAN DPRD DENGAN KDH
RKA SKPD
PEDOMAN PENYUSUNAN RKA-SKPD
KUA PPA
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang No.17, tahun 2003 tentang Keuangan Negara
mengamanatkan bahwa dalam proses penyusunan Rencana Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD), pemerintah diwajibkan menyusun Kebijaksanaan Umum
Anggaran (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dan Rencana
Kerja Anggaran (RKA). Penyusunan KUA dimaksudkan untuk dapat memilah dan
menentukan program dan kegiatan yang menjadi urusan daerah sehingga dapat
dibiayai dengan APBD. PPA dimaksudkan untuk dapat menentukan program dan
kegiatan yang diprioritaskan untuk dibiayai pada tahun bersangkutan berikut plafon
anggarannya, baik untuk tingkat program maupun untuk SKPD secara keseluruhan.
Sedangkan RKA dimaksudkan untuk dapat memadukan antara program dan kegiatan
yang telah diprioritaskan pelaksanaannya dengan penyusunan anggaran sesuai dengan
plafon yang ditetapkan melalui Nota Kesepakatan antara Kepala Daerah dan DPRD.
Dengan cara demikian, keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran akan dapat
terlaksana dalam praktek (Sjafrizal, 2008).
Gambar 2.1 Proses Teknokratis dan Proses Politik Dalam Perencanaan Program dan Anggaran Sumber : RKPD Kota Medan Tahun 2007
TIM ANGGARAN PEMDA
RAPERDA APBD
Universitas Sumatera Utara
Ad 4. Renstra-SKPD (Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah)
Dalam praktek di daerah kelihatannya RENSTRADA lebih banyak
diperhatikan oleh Pemerintah Daerah karena Departemen Dalam Negeri mengaitkan
dokumen perencanaan ini dengan pertanggungjawaban Kepala Daerah. Karena itu
dalam penyusunan APBD, RENSTRADA ini lebih banyak dijadikan dasar,
sedangkan PROPEDA tidak terlalu banyak diperhatikan sehingga hanya tinggal di
dalam lemari. Sebenarnya kedua dokumen tersebut mempunyai sifat yang berbeda
dan saling mendukung satu sama lainnya.
SPPN 2004 memberikan ketentuan yang sangat jelas tentang kedua dokumen
perencanaan pembangunan ini. Di dalam SPPN dinyatakan secara tegas bahwa
Rencana Strategis (RENSTRA) adalah dokumen perencanaan untuk institusi,
sehingga ruang lingkupnya adalah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari institusi
yang bersangkutan. Pada tingkat pusat, dokumen yang disusun adalah RENSTRA-KL
karena institusi yang terlibat adalah kementerian dan lembaga. Sedangkan pada
tingkat daerah dokumen yang disusun adalah RENSTRA-SKPD karena institusi yang
terlibat adalah satuan kerja perangkat daerah seperti dinas dan instansi.
Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) yang sekarang bertukar nama
dengan RPJM adalah merupakan dokumen perencanaan yang mencakup kesatuan
wilayah tertentu baik secara nasional maupun pada tingkat daerah. Dalam satu
wilayah biasanya terdapat berbagai institusi baik yang tergabung dalam unsur
pemerintah, swasta maupun masyarakat. Karena itu, RPJM mencakup tidak hanya
Universitas Sumatera Utara
kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah saja, baik pusat maupun
daerah, tetapi juga yang dilakukan oleh 298 pihak swasta maupun kelompok
masyarakat lainnya. Karena itu, dalam mengelola kegiatan pembangunan, seharusnya
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lebih banyak memperhatikan RPJM
yang mencakup kegiatan pembangunan secara keseluruhan. Sedangkan RENSTRA
merupakan jabaran dari RPJM untuk institusi tertentu, dan juga dapat berfungsi
sebagai masukan untuk penyusunan RPJM yang sudah akan final melalui
Musyawarah Rencana Pembangunan (MUSRENBANG).
Sesuai dengan SPPN 2004, MUSRENBANG mempunyai dua fungsi utama.
Pertama, sebagai alat untuk melakukan koordinasi penyusunan perencanaan
pembangunan antar berbagai pelaku kegiatan pembangunan. Tujuan koordinasi ini
jelas adalah untuk dapat mewujudkan sistem pembangunan yang terpadu dan saling
menunjang satu sama lainnya sehingga proses pembangunan akan menjadi lebih
lancar. Kedua, sebagai alat untuk menyerap partisipasi masyarakat dalam penyusunan
perencanaan dengan mengikutsertakan berbagai tokoh masyarakat, cerdik pandai,
alim ulama dan pemuka adat. Tujuan utama dalam hal ini adalah agar perencanaan
yang disusun dapat disesuaikan dengan aspirasi masyarakat umum sehingga
dukungan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan akan dapat dioptimalkan. Ini
berarti bahwa, MUSRENBANG juga berfungsi sebagai alat untuk dapat mewujudkan
Perencanaan Partisipatif (Participatory Planning) yang merupakan salah satu bentuk
dari pelaksanaan demokrasi dalam pelaksanaan pembangunan.
Universitas Sumatera Utara
Disini MUSRENBANG sebagai pengganti RAKORBANG dilakukan secara
komprehensif, tidak hanya dalam rangka koordinasi program dan proyek yang akan
dilakukan setiap tahun, tetapi dilakukan untuk semua tingkat perencanaan, baik RPJP,
RPJM dan RKP. Hal ini dilakukan agar koordinasi dan singkronisasi dapat dilakukan
secara menyeluruh dan terpadu, baik secara sektoral maupun menurut tingkat
pemerintahan (Solihin, D, 2005).
Ad 5. Renja-SKPD (Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah)
Penyusunan rencana dan kegiatan kerja ini memperhatikan hal-hal yang telah
disepakati oleh masyarakat dan unsur pelaku pembangunan (stakeholder) dalam
musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah dan yang telah disampaikan dalam
Renja SKPD.
Gambar 2.2 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) Sumber : RKPD Kota Medan Tahun 2007
MUSRENBANG KELURAHAN
MUSRENBANG KECAMATAN
MUSRENBANG NASIONAL
MUSRENBANG PROPINSI
Universitas Sumatera Utara
Dalam Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah berisikan tujuan,
sasaran, program dan kegiatan. Indikator kinerja dan kelompok sasaran yang
menggambarkan pencapaian Renstra SKPD.
Dana Indikatif beserta sumbernya serta prakiraan maju berdasarkan pagu
indikatif artinya jelas sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program dan
kegiatan. Koordinasi penyusunan Renstra SKPD dan Renja SKPD dilakukan masing-
masing SKPD.
2.3 Teori Kota dan Rencana Tata Guna Lahan
2.3.1 Kota
Kota adalah sebagai gabungan sel lingkungan perumahan, atau tempat di
mana orang bekerja bersama untuk kepentingan umum. Jenis daerah perkotaan bisa
beragam sebesar beragamnya berbagai kegiatan yang dilakukan pada wilayah
perkotaan seperti perdagangan, transportasi, pengadaan barang dan jasa, atau
gabungan dari semua aktivitas tersebut (Gallion dan Eisner, 1992).
Sebuah kota adalah suatu pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen,
terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial. Kota adalah
salah satu ungkapan kehidupan manusia yang mungkin paling kompleks. Kebanyakan
ilmuwan berpendapat bahwa, dari segi budaya dan antropologi, ungkapan kota
sebagai ekspresi kehidupan orang sebagai pelaku dan pembuatnya adalah paling
penting dan sangat perlu diperhatikan. Hal tersebut disebabkan karena permukiman
Universitas Sumatera Utara
perkotaan tidak memiliki makna yang berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari
kehidupan di dalamnya (Zahnd, 2006).
Kota yang dipandang sebagai suatu obyek studi di mana di dalamnya terdapat
masyarakat manusia yang sangat komplek, telah mengalami proses interelasi antar
manusia dan antar manusia dengan lingkungannya. Produk hubungan tersebut
ternyata mengakibatkan terciptanya pola keteraturan daripada pengguna lahan yang
menghasilkan struktur ruang kota (Yunus, 2000).
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang struktur ruang kota, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Teori Konsentris; Menurut pengamatan Burgess, sesuatu kota akan terdiri dari
zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini mencerminkan
penggunaan lahan yang berbeda, seperti berikut:
Gambar 2.3 Teori Konsentris Sumber : Breter, 2001
Universitas Sumatera Utara
Seperti terlihat pada model di atas, daerah perkotaan terdiri dari dari (I)
kawasan pusat kota, (II) kawasan pabrik, (III) kawasan transisi, (IV) kawasan
pemukiman pekerja, (V) kawasan pemukiman yang lebih baik, dan (VI) Kawasan
pengembangan.
2. Teori Sektor; Munculnya ide untuk mempertimbangkan variabel sektor ini
pertama kali dikemukan oleh Hoyt. Secara konseptual, model teori sektor
menunjukkan persebaran zona-zona konsentrisnya. Jelas sekali terlihat disini
bahwa jalur transportasi yang menjari (menghubungkan pusat kota ke bagian-
bagian yang lebih jauh) diberi peranan yang besar dalam pembentukan pola
struktur ruang kota. Seperti pada gambar berikut ini :
Gambar 2.4 Teori Sektor
Sumber : Breter, 2001
Menurut gambar di atas teori sektor terdiri dari (1) Kawasan Pusat Kota (CBD),
(2) Kawasan pabrik, (3) Kawasan permukiman kelas rendah, (4) kawasan
pemukiman kelas menengah dan (5) Kawasan Permukiman kelas tinggi.
Universitas Sumatera Utara
3. Teori Multiple Nuclei (Teori Pusat Kegiatan Banyak); Teori ini pertama kalinya
dicetuskan oleh C.D. Harris dan FL. Ulman. Menurut pendapatnya, bahwa
kebanyakan kota-kota besar tidak tumbuh dalam ekspresi keruangan yang
sederhana, yang hanya ditandai oleh pusat kegiatan saja, namun terbentuk
sebagai suatu produk perkembangan dan integrasi yang berlanjut dan terus
menerus dari sejumlah pusat-pusat kegiatan terpisah satu sama lain dalam suatu
sistem perkotaan (multi centered theory). Pusat-pusat ini dan distrik-distrik di
sekitarnya di dalam proses pertumbuhan selanjutnya ditandai oleh gejala
spesialisasi dan deferensiasi ruang. Lokasi zona-zona keruangan yang terbentuk
tidak ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor jarak dari CBD serta membentuk
persebaran zona-zona ruang yang teratur, namun berasosiasi dengan sejumlah
faktor dan pengaruh faktor-faktor ini akan menghasilkan pola-pola keruangan yang
khas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
REMARKS : PORT ZONE INDUSTIAL
ZONE GOODS
TERMINAL AND PORT
GREEN OPEN AREA
CONSERVATION GREEN AREA
DEVELOPMENT GUIDE LINE
CITY CENTER CBD CITY SUB
CENTER
Gambar 2.5 Teori Multiple Nuclei Sumber : Breter, 2001
Berdasarkan gambar di atas struktur tata ruang kota terdiri dari (1) Kawasan
Pusat Kota, (2) Kawasan Industri, (3) Kawasan pemukiman kelas bawah, (4)
Kawasan pemukiman kelas sedang, (5) Kawasan pemukiman kelas atas, (6)
Kawasan industri ringan, (7) Kawasan sub pengembangan kota, (8) Kawasan sub
urban dan (9) kawasan industri sub urban.
CITY CENTER
Gambar 2.6 Peta Morfologi Kota Medan Sumber : Breter, 2001
NORTH
MIDDLE
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan perkembangan fisik Kota Medan bentuk morfologi Kota Medan
sesuai dengan Teori Morfologi Kota yaitu Teori Multiple Nuclei (teori pusat kegiatan
banyak) yang dicetus oleh oleh C.D. Harris dan FL. Ulman.
Seiring perkembangan kota, tumbuh berkembang mengikuti dinamika
perkembangan sesuai dengan kondisi kota tersebut. Seperti terjadi di kota-kota besar,
adanya pengelompokan fungsi-fungsi yang sejenis menimbulkan keuntungan
tersendiri. Pengelompokan akan berarti peningkatan konsentrasi pelanggan-
pelanggan potensial dan memudahkan dalam membandingkan satu sama lain.
Ilustrasi perkembangan kota dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Pada gambar diatas dapat dilihat perkembangan kota mengikuti pola kegiatan
dengan mengadopsi teori basis ekonomi, teori lokasi dan teori model bangkitan dan
tarikan lalu lintas (Breter, 2001).
Pembangunan kota terus berlanjut akibat proses urbanisasi sehingga menyebar
ke bagian pinggir kota, yang berakibat pada perubahan struktur ruang dan bentuk
kota (Burnley dan Murphy 1995; Davis et al. 1994; Nelson 1992). Burnley dan
Gambar 2.7 Ilustrasi Perkembangan Kota Sumber : Breter, 2001
Universitas Sumatera Utara
Murphy (1995) menjelaskan pembangunan sub urban dapat berakibat pada
ketimpangan wilayah perkotaan karena wilayah sub urban yang dibangun belum
dilengkapi jaringan infrastruktur yang memadai. Menurut Herbes (1987) daerah sub
urban yang baru dibangun oleh arus urbanisasi tumbuh dan berkembang mengikuti
pola perkampungan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Meskipun
kita menyadari sebagai proses pembangunan kota telah membawa implikasi terhadap
ketimpangan wilayah, namun dengan adanya literatur tentang perencanaan wilayah
dapat dijadikan sebagai dasar untuk mempersempit terjadinya ketimpangan wilayah (
Bahl dkk,1992).
2.3.2 Rencana Tata Guna Lahan
Suatu rencana tata guna lahan merupakan ekspresi kehendak lingkungan
masyarakat mengenai bagaimana seharusnya pola tata guna lahan suatu lingkungan
pada masa yang akan datang. Dalam rencana itu ditentukan daerah-daerah yang akan
digunakan bagi berbagai jenis, kepadatan dan intensitas kategori penggunaan,
misalnya penggunaan untuk pemukiman, perdagangan, industri dan berbagai
kebutuhan umum. Ditentukan pula azas dan standar yang harus diterapkan pada
pembangunan atau pelestarian di daerah itu. Di dalam suatu rencana tata guna lahan
biasanya tercantum naskah uraian dan beberapa peta. Di dalam uraiannya terkandung
kebijaksanaan-kebijaksanaan, sedangkan peta-peta menggambarkan penerapan
rencana pada ruang yang tersedia, baik secara umum maupun terperinci, dengan
menetapkan jenis penggunaan tertentu untuk daerah-daerah tertentu pula.
Universitas Sumatera Utara
Suatu rencana tata guna lahan biasanya merupakan bagian dari suatu rencana
menyeluruh. Dalam bagian-bagian lain dibahas persoalan transportasi, utilitas umum;
seperti listrik, gas dan air; berbagai macam prasarana masyarakat dan masalah-
masalah khusus yang membutuhkan perhatian, misalnya pembangunan ekonomi dan
pelestarian lingkungan.
Sifat rencana tata guna lahan bias berlainan karena jenis dan luas lingkungan,
struktur pemerintahan serta peraturan-peraturan negara bagian dan kotamadya atau
kabupaten yang mengatur soal perlahanan. Misalnya, suatu rencana tata guna lahan
untuk sebuah dusun di pedesaan barangkali akan lain sekali ruang lingkupnya dan
tidak begitu mendesak seperti rencana tata guna lahan di sebuah kota industri yang
besar. Sebuah rencana tata guna lahan di daerah pemukiman sekitar pusat kota
mungkin berorientasi lain daripada rencana tata guna lahan di daerah pusat kota.
Suatu rencana tata guna lahan untuk suatu wilayah yang dikelola beberapa
pemerintahan, misalnya suatu wilayah metropolitan, mungkin akan dilandasi
rancangan pelaksanaan yang lain sama sekali daripada rencana sejenis untuk suatu
wilayah kotamadya atau kabupaten dengan pemerintahan tunggal. Dan suatu rencana
tata guna lahan untuk suatu lingkungan di dalam wilayah pemerintahan yang
memiliki sedikit saja atau sama sekali tidak memiliki peraturan-peraturan mengenai
perencanaan lingkungan barangkali akan lain sekali bila dibandingkan dengan
rencana tata guna lahan untuk wilayah pemerintahan yang memiliki perencanaan
yang kuat serta peraturan-peraturan pelaksanaan rencana tata guna lahan.
Universitas Sumatera Utara
Jangka waktu rencana tata guna lahan juga berbeda-beda, tergantung berapa
jauh jangkauannya ke masa depan. Suatu rencana jangka panjang biasanya menuju ke
sasaran yang terletak 20 atau 25 tahun yang akan datang, sedangkan suatu rencana
tata guna lahan yang dimaksudkan untuk melaksanakan program pembangunan
tertentu mungkin hanya menjangkau sasaran 5 tahun atau kurang. Misalnya, kota
Atlanta di Negara bagian Georgia, Amerika Serikat, memiliki peraturan yang
mengharuskan penyusunan rencana-rencana tata guna lahan berjangka waktu 1,5 dan
15 tahun yang masing-masing harus diperbaharui tiap tahun.
Oleh sebab perencanaan perkotaan bersifat menyeluruh dan integral, maka
suatu rencana tata guna lahan biasanya hanya merupakan unsur fungsional dari suatu
proses menyeluruh. Sekalipun merupakan unsur yang paling menentukan,
perencanaan perkotaan dilengkapi dengan unsur-unsur fungsional dan hasil-hasil
penelitian yang bersifat mendukungnya.
Undang-undang negara bagian Florida mengandung contoh tentang hal itu.
Berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-undang tentang Pengaturan Perencanaan
Menyeluruh serta Pengembangan Lahan Pemerintah Daerah Negarabagian Florida,
tiap kotamadya dan kabupaten harus menyusun serta mensahkan rencana menyeluruh
yang mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbaikan modal
2. Rencana tata guna lahan untuk masa depan
3. Sirkulasi lalu lintas
Universitas Sumatera Utara
4. Saluran pembuangan limbah manusia, sampah padat, saluran pembuangan air
hujan dan air minum
5. Pelestarian alam
6. Rekreasi dan ruang terbuka
7. Perumahan
8. Pengelolaan daerah pantai (hanya untuk kewenangan hukum daerah pantai)
9. Koordinasi antar instansi pemerintah
Unsur-unsur tambahan berikut ini bersifat mana suka tetapi yang pertama dan
kedua merupakan keharusan bagi pemerintah daerah yang berpenduduk lebih dari
50.000 jiwa:
a. Perjalanan Masal (Mass Transit)
b. Pelabuhan, penerbangan dan rencana-rencana fasilitas terkait
c. Kendaraan tidak bermotor (misalnya sepeda) dan lalu lintas pejalan-kaki
d. Parkir halaman
e. Bangunan umum dan fasilitas-fasilitas terkait
f. Pola kemasyarakatan
g. Pembangunan kembali daerah-daerah secara umum
h. Keselamatan
i. Pelestarian tempat-tempat bersejarah dan tempat-tempat dengan pemandangan
indah
j. Pembangunan ekonomi
Universitas Sumatera Utara
k. Unsur-unsur yang bersifat khas dan merupakan kebutuhan bagi daerah itu
Di samping merupakan unsur tunggal dalam suatu rencana menyeluruh,
rencana tata guna lahan menjadi titik pusat semua rencana menyeluruh itu dan
merupakan semacam tali pengikat yang menyatukan unsur-unsur lain. Bagi suatu
lingkungan masyarakat, rencana tata guna lahan ibarat sebuah rencana dasar bagi
pembuatan sebuah gedung: di dalamnya tercantum ketentuan mengenai kapan,
bagaimana, berapa banyak dan mengapa kegiatan tersebut harus dilakukan. Rencana
tata guna lahan merupakan kerangka kerja yang menetapkan keputusan-keputusan
terkait tentang lokasi, kapasitas dan jadwal pembuatan jalan, saluran air bersih dan air
limbah, gedung sekolah, pusat kesehatan, taman dan pusat-pusat pelayanan serta
fasilitas umum lainnya. Rencana tata guna lahan juga membuka kesempatan bagi
pembangunan perumahan, daerah perbelanjaan dan pembangunan ekonomi yang
memadai, di samping memberikan perlindungan bagi daerah-daerah serta sumber
daya lingkungan yang menentukan.
Dengan cara demikianlah rencana tata guna lahan meletakkan kerangka dasar
bagi hal-hal terperinci yang dicantumkan pada banyak segi lain di dalam rencana
menyeluruh, seperti transportasi, tenaga listrik, air bersih dan gas, fasilitas dan
pelayanan masyarakat rekreasi dan ruang terbuka, perumahan serta pelestarian
tempat-tempat dan benda-benda bersejarah dan kawasan yang berpemandangan
indah. Hal-hal itu diusahakan untuk mencapainya secara mencoba menciptakan suatu
pola pengembangan lahan yang masuk akal dan bukan pola pengembangan dan
Universitas Sumatera Utara
penyebaran yang acak-acakan, tidak teratur, tidak mantap dan mahal yang akan
terjadi jika tidak diciptakan pola pengembangan yang masuk akal, melainkan
konfigurasi khusus yang logis dan bertahap, didasarkan pada kebijakan-kebijakan
yang sudah disahkan.
Bagi pelaksanaan rencana tata guna lahan tidak ada penjadwalan pasti
berkaitan dengan jadwal pelaksanaan bagian-bagian lain di dalam proses perencanaan
menyeluruh. Penjadwalan bergantung pada hasil penelitian atau unsur rencana mana
yang sudah tersedia; kendala-kendala anggaran, penjadwalan, dan politik, juga para
kebutuhan-kebutuhan lain yang mendesak, misalnya situasi gawat di dalam
masyarakat yang harus segera diperhatikan atau pada syarat-syarat perencanaan
hukum pada pemerintahan federal, negara bagian atau daerah di bawahnya. Lagipula,
karena perencanaan perkotaan bersifat berulang-ulang dan terus-menerus maka jarang
adawaktu yang ideal bagi pelaksanaan rencana tertentu.
Tetapi karena hal-hal lain bernilai sama maka dapat disebut beberapa
penelitianyang biasanya mendahului persiapan penyusunan rencana tata guna lahan,
yaitu:
1. Penelitian kependudukan
2. Penelitian ekonomi
3. Analisis lingkungan
4. Identifikasi masalah-masalah, sasaran dan tujuan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur rencana menyeluruh yang bukan rencana tata guna lahan (seperti
unsur-unsur mengenai transportasi, listrik, air bersih dan gas, serta fasilitas umum)
mungkin mendahului, menyertai atau menyusuli persiapan perencanaan tata guna
lahan. Hal itu tergantung pada struktur, jadwal dan kendala-kendala yang terdapat
dalam proses perencanaan menyeluruh. Unsur-unsur rencana menyeluruh yang
biasanya menyusul sesudah tersusun rencana tata guna lahan meliputi:
a. Rencana-rencana untuk daerah yang lebih kecil, seperti daerah pemukiman, pusat-
pusat bisnis, lingkungan industri atau daerah-daerah pelestarian
b. Rencana-rencana fungsional untuk tujuan-tujuan khusus, seperti rencana untuk
perumahan atau tempat-tempat rekreasi.
Sekalipun mungkin ada tahapan analitis yang ideal (tentunya sampai batas-batas
tertentu bias terwujud) pertimbangan praktis mengenai anggaran, ketentuan hukum
dan hal-hal yang menimbulkan keresahan masyarakat yang sering menjadi faktor
penentu mengenai bagaimana dan kapan pelaksanaan rencana tata guna lahan
harus dilaksanakan (Catenese dan Snyder, 1988).
2.3.3 Proses Perencanaan Tata Guna Lahan
Proyek perencanaan tata guna lahan biasanya seperti dilukiskan pada gambar
1. sebenarnya proses ini lebih bersifat umum karena dapat diterapkan secara sama,
dalam bentuk yang bagaimanapun, pada semua perencanaan masyarakat, termasuk
perencanaan menyeluruh, Perencanaan tata guna lahan itu sendiri, dan perencanaan
tata guna lahan sebagai bagian dalam perencanaan menyeluruh. Dalam pengertian
Universitas Sumatera Utara
yang paling sederhana, proses itu meliputi tiga tahap (lihat segi empat di tengah) : (1)
dimana tempat anda, (2) kemana anda hendak pergi dan (3) bagaimana cara
pencapaiannya.
Tahapan pelaksanaan 10 langkah yang ditunjukkan dalam gambar itu akan
berganti-ganti, demikian pula berapa jauh keterkaitan tata guna lahan sebagai
masalah tersendiri atau sebagai bagian dalam suatu proses perencanaan yang lebih
lengkap. Misalnya saja, langkah 1 (“identifikasi permasalahan masyarakat dan
peluangnya”) mungkin sudah dikerjakan pada tingkat lebih menyeluruh sebelum
dilaksanakan proses perencanaan tata guna lahan, atau langkah itu mungkin perlu
dilaksanakan secara khusus untuk menggerakkan proses tersebut. Langkah 2 dan 3
mencakup pengumpulan dan analisa informasi, mungkin sebagian sudah atau belum
dapat diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya, tetapi sudah hampir dapat
dipastikan juga akan membutuhkan pengumpulan dan analisis informasi khusus
untuk keperluan perencanaan tata guna lahan.
Dalam mempelajari bagian ini mungkin akan bermanfaat bila melihat lagi
diagram dasar pada gambar untuk mengetahui bagian mana saja yang tepat untuk
berbagai bagian perencanaan tata guna lahan dan proses implementasinya.
10. HASIL
PEMANTAUAN DAN
KONDISI-KONDISI
YANG BERUBAH
9. PELAKSANAAN
PROGRAM DAN
PROYEK
8. WUJUDKAN
RENCANA MENJADI
PROGRAM DAN
1.IDENTIFIKASI
MASALAH-
MASALAH DAN
PELUANG-PELUANG
MASYARAKAT
DIMANA ANDA
BAGAIMANA UNTUK
SAMPAI KE SANA
ANDA HENDAK
KEMANA
2. KUMPULKAN
INFORMASI
3. ANALISIS
INFORMASI
4. TENTUKAN
SASARAN-SASARAN
MASYARAKAT
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8 Proses Perencanaan Tata Guna Lahan Yang Biasa Terjadi Sumber : Anthoby J.Catanese, James C.Snyder, 1988
2.4 Teori Pembangunan Wilayah
Pembangunan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk
memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan
menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Kebijakan pengembangan
wilayah sangat diperlukan karena kondisi fisik geografis, sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya
sehingga penerapan kebijakan pengembangan wilayah itu sendiri harus disesuaikan
dengan kondisi, potensi, dan isu permasalahan di wilayah bersangkutan.
Istilah pembangunan ekonomi digunakan secara bergantian dengan istilah
seperti pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan ekonomi, kemajuan ekonomi, dan
perubahan jangka panjang. Pembangunan ekonomi mengacu pada masalah
negara/masyarakat yang sedang membangun, sedangkan pertumbuhan mengacu pada
Universitas Sumatera Utara
masalah negara-negara maju. Pembangunan, menurut Schumpeter, adalah perubahan
spontan dan terputus–putus dalam keadaaan stasioner yang senantiasa mengubah dan
mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya. Sedangkan pertumbuhan
adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui
kenaikan tabungan dan penduduk. Menurut Boner, “ pembangunan memerlukan dan
melibatkan semacam pengarahan, pengaturan, dan pedoman dalam rangka
menciptakan kekuatan-kekuatan bagi perluasan dan pemeliharaan, sedang ciri
pertumbuhan spontan merupakan ciri perekonomian maju dengan kebebasan usaha
(Sjafrizal, 2008).
Menurut Todaro (2006) bahwa pembangunan harus berlangsung pada satu
tingkat perubahan secara menyeluruh sehingga suatu sistem sosial yang telah
diselaraskan dengan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan dasar pribadi dan kelompok
yang beraneka ragam dalam sistem tersebut akan bergerak menjauhi kondisi hidup
yang secara umum dianggap kurang memuaskan dan mengarah ke situasi atau
kondisi hidup yang secara material dianggap lebih baik.
Pencapaian tujuan pembangunan masyarakat tersebut, unsur penting dan
strategis sebagai fasilitator adalah pemerintah, yang diharapkan mampu memberikan
kemudahan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam perekonomian dan
pembangunan untuk mewujudkan perubahan pada kondisi yang lebih
menguntungkan. Pemerintah pada dasarnya merupakan alat bagi masyarakat untuk
dapat melakukan secara bersama hal-hal yang tidak dapat dilakukan secara individu.
Universitas Sumatera Utara
Kebutuhan yang semakin meningkat terhadap fasilitas dan pelayanan
pembangunan umum dalam masyarakat menuntut adanya institusi-institusi daerah
yang cekatan (Sarundajang, 1997).
Pembangunan secara umum dapat diartikan sebagai usaha yang memajukan
kehidupan masyarakat dari kondisi yang tidak baik menjadi kondisi yang lebih baik.
Siagian (1983) mendefinisikan bahwa pembangunan itu adalah sebagai usaha atau
rangkaian usaha yang pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan
secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam
rangka pembinaan bangsa (nation building).
Pembangunan ekonomi didefinisikan dalam tiga pengertian sebagai berikut:
1. Pembangunan ekonomi harus diukur dalam arti kenaikan pendapatan nasional riil
dalam suatu jangka waktu yang panjang. Definisi ini tidak memuaskan, karena
tidak mempertimbangkan berbagai perubahan misalnya pertumbuhan penduduk.
Jika suatu kenaikan dalam pendapatan nasional riil dibarengi dengan
pertumbuhan penduduk yang lebih cepat, maka yang terjadi bukan kemajuan
tetapi adalah sebaliknya yaitu kemunduran.
2. Meier dalam Siagian (1983) bahwa pembangunan ekonomi “sebagai proses
kenaikan pendapatan riil per kapita dalam suatu jangka waktu yang panjang”.
Baran dalam Siagian (1983) membenarkan “pertumbuhan (pembangunan)
ekonomi adalah kenaikan output perkapita barang-barang material dalam suatu
jangka waktu”. Definisi di atas menekankan bahwa pembangunan ekonomi
Universitas Sumatera Utara
dicerminkan oleh tingkat kenaikan pendapatan riil lebih tinggi dibandingkan
tingkat pertumbuhan penduduk. Definisi tersebut mengabaikan masalah yang
bertalian dengan struktur masyarakat, struktur penduduk, lembaga dan budaya
masyarakat, dan bahkan distribusi output di antara anggota masyarakat.
3. Ada kecenderungan untuk mendefinisikan pembangunan ekonomi dilihat dari
tingkat kesejahteraan ekonomi. Misalnya pendapatan nasional riil per kapita naik
dibarengi dengan penurunan kesenjangan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan
masyarakat secara keseluruhan. Definisi ini mempunyai beberapa keterbatasan,
(a) kenaikan pendapatan nasional atau per kapita riil, si kaya bertambah kaya dan
si miskin bertambah miskin, berarti kesenjangan bertambah lebar; (b) dalam
mengukur kesejahteraan ekonomi harus hati-hati, output dapat dinilai dengan
kenaikan pendapatan nasional riil, dan (c) harus dipertimbangkan tidak saja
barang apa yang diproduksi, tetapi juga bagaimana barang tersebut diproduksi.
Pembangunan nasional didukung oleh pembangunan yang terjadi di wilayah.
Untuk itu diperlukan pendekatan yang penting didalami adalah teori yang berkaitan
dengan pengembangan wilayah, dan adapun teori tersebut adalah sebagai berikut:
2.4.1 Teori Lokasi dan Aglomerasi
Teori Lokasi memberikan kerangka analisa yang baik dan sistematis
mengenai pemilihan lokasi kegiatan ekonomi dan sosial, serta analisa interaksi antar
wilayah. Teori Lokasi menjadi penting dalam analisa ekonomi karena pemilihan
Universitas Sumatera Utara
lokasi yang baik akan dapat memberikan penghematan yang sangat besar untuk
ongkos angkut sehingga mendorong terjadinya efisiensi baik dalam bidang produksi
maupun pemasaran. Sedangkan interaksi antar wilayah akan dapat pula
mempengaruhi perkembangan bisnis yang pada gilirannya akan dapat pula
mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Sjafrizal, 2008).
Untuk menganalis pembangunan kota dan wilayah, kita harus memahami
sepenuhnya mengenai kekuatan-kekuatan aglomerasi dan deaglomerasi. Kekuatan-
kekuatan tersebut dapat menjelaskan terjadinya konsentrasi dan dekonsentrasi atau
dispersi kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya. Manfaat-manfaat yang
ditinbulkan oleh kegietan-kegiatan di atas dapat dikelompokkan dalam tiga kategori,
antara lain: yaitu (1) penghematan skala (scale economies), penghematan lokasi
(localization economies). dan penghematan urbanisasi (urbanization economies).
1. Penghematan skala (scale economies). Terdapat penghematan dalam produksi
secara internal bila skala produksinya ditingkatkan. Biaya tetap yang besar
sebagai akibat investasi dalam bentuk pabrik dan peralatan, yang memungkinkan
dilaksanakan pemanfaatan pabrik dan peralatan tersebut dalam skala besar dapat
membagi-bagi beban biaya-biaya tetap pada berbagai unit terdapat dalam sistem
produksi. Sebagai konsekuensinya, unit biaya produksi menjadi lebih rendah
sehingga dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain. Produksi pada skala
besar dimaksudkan untuk menghundari unit biaya operasi yang eksesif. Hal ini
dapat dipertanggungjawabkan hanya pada lokasi-lokasi yang melayani penduduk
Universitas Sumatera Utara
dalam jumlah besar, atau dengan perkataan lain mempunyai suatu pasar yang
luas. Jadi dapat disimpulkan bahwa terjadinya penghematan skala internal
memberikan manfaat pada konsentrasi penduduk dalam jumlah besar daripada
jumlah penduduk yang sedikit, industri dan kegiatan-kegiatan lainnya.
2. Penghematan lokalisasi (lokalization economies). Jenis kedua, kekuatan yang
terpenting konsentrasi industri diasosiasikan dengan penghematan yang
dinikmati oleh semua perusahaan dalam suatu industri yang sejenis pada suatu
lokasi tertentu. Hal ini disebabkan karena bertambahnya jumlah keluaran (total
output) industri tersebut. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan mengenai pabrik
tekstil. Kasus disuatu wilayah yang belum berkembang, dimana terdapat
kelayakan untuk mendirikan pabrik-pabrik modern ukuran kecil yang tidak
membutuhkan investasi modal yang eksesif dan dapat beroperasi tanpa dilayani
oleh tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang tinggi dan spesialistis.
Berkelompok dan terkonsentrasinya pabrik-pabrik sejenis pada suatu daerah
geografis tertentu, misalnya di daerah-daerah perkotaan, akan menciptakan
penghematan lokalisasi dan akan meningkatkan pertumbuhan kota-kota tersebut.
3. Penghematan urbanisasi (urbanization economies). Penghematan urbanisasi
diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total (penduduk, hasil industri,
pendapatan, dan kemakmuran) di suatu lokasi untuk semua kegiatan yang
dilakukan bersama-sama. Penghematan ini terkait pada kegiatan-kegiatan
industri-industri dan sektor-sektor secara agregatif
Universitas Sumatera Utara
Keuntungan aglomerasi baru dapat muncul bilamana terdapat keterkaitan
yang erat antara kegiatan ekonomi yang ada pada konsentrasi tersebut baik dalam
bentuk keterkaitan dengan input (Backward Linkages) atau keterkaitan output
(Forward Linkages). Dengan adanya keterkaitan ini akan menimbulkan berbagai
bentuk keuntungan eksternal bagi para pengusaha, baik dalam bentuk penghematan
biaya produksi, ongkos angkut bahan baku, dan hasil produksi serta penghematan
biaya penggunaan fasilitas karena beban dapat ditanggung bersama. Penghematan
tersebut selanjutnya akan dapat menurunkan biaya yang harus dikeluarkan oleh para
pengusaha sehingga daya saingnya menjadi semakin meningkat. Penurunan biaya
inilah yang selanjutnya mendorong terjadinya peningkatan efisiensi dan pertumbuhan
ekonomi yang berada dalam kawasan pusat pertumbuhan tersebut.
2.4.2 Teori tempat Sentral (Central Place Theory)
Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur herarkis pusat-
pusat kota atau wilayah-wilayah nodal, tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola
georafis tersebut terjadi secara gradual dan bagaimana pola tersebut mengalami
perubahan-perubahan pada masa depan, atau dapat dikatakan tidak menjelaskan
gejala-gejala (fenomena) pembangunan. Dengan demikian teori tersebut dapat
dikatakan bersifat statis. Agar teori tempat sentral mampu menjelaskan gejala-gejala
dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah. Salah satu
diantaranya adalah teori Perroux (kutub pertumbuhan) yang membahas perubahan-
Universitas Sumatera Utara
perubahan struktural pada tata ruang geografis. Atau dapat dikatakan teori tempat
sentral merupakan dasar dari teori kutub pertumbuhan.
Teori tempat sentral sebagian brsifat positif karena berusaha menjelaskan pola
aktual arus pelayanan jasa, dan sebagian lagi bersifat normatif karena berusaha
menentukan pola optimal distribusi tempat-tempat sentral. Teori tempat sentral
mempunyai kontribusi pada pemahaman interrelasi spasial dan kota-kota sebagai
sistem di dalam sistem perkotaan.
Teori tempat sentral tidak memberikan pejelasan secara lengkap mengenai
pertumbuhan kota karena teori tersebut diformulasikan berdasarkan pembangunan
daerah pertanian yang tersusun secara herarkis dan berpenduduk merata. Dengan
tumbuhnya kota-kota maka muncullah jasa-jasa yang tidak berkanaan dengan pasar
wilayah belakang. Sebagai contoh kehidupan kota metropolitan dapat mencipakan
kebutuhan-kebutuhan sendiri (internal), misalnya peningkatan penyediaan fasilitas
penyediaan air minum, listrik, angkutan umum, demikian pula kebutuhan fasilitas
parkir. Persoalan-persoalan yang dihadapai dalam pertumbuhan kota ternyata tidak
sesederhana seperti persoalan pemasaran barang-barangdan jasa-jasa yang dihasilkan
oleh tempat sentral. Analisis tempat sentral menekankan pada peranan sektor
perdagangan dan kegiatan-kegiatan jasa daripada kegiatan-kegiatan manufaktur.
Kegiatan manufaktur dianggap sebagai kegiatan produktif non tempat sentral. Hal ini
tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak kota-kota besar dan kota-kota lainnya sering
kali mengalami perluasan dalam hal lokasi manufaktur karena kota-kota yang
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan merupakan pasar tenaga kerja yang luas dan pada umumnya
memberikan keuntungan-keuntungan aglomerasi, dimana perusahaan-perusahaan
manufaktur lebih banyak melayani pasar nasional daripada pasar-pasar regional.
Model tempat sentral ternyata tidak berhasil menjelaskan timbulnya kecendrungan
yang kuat dalam masyarakat mengenai pengelompokkan perusahaan-perusahaan
karena pertimbangan keuntungan-keuntungan aglomerasi dan ketergantungan.
2.4.3 Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory)
Sebagaimana diketahui bahwa potensi dan kemampuan masing-masing
wilayah berbeda-beda satu sama lainnya, demikian pula masalah pokok yang
dihadapinya tidak sama. Sehingga usaha-usaha pembangunan sektoral yang akan
dilaksanakan harus disinkronisasikan dengan usaha-usaha pembangunan regional.
Hirschman mengatakan bahwa untuk mencapai tingkat pendapatan yang lebih tinggi,
terdapat keharusan untuk membangun sebuah atau beberapa buah pusat kekuatan
ekonomi dalam wilayah suatu negara, atau yang disebut sebagai pusat-pusat
pertumbuhan (growth point atau growth pole). Terdapat elemen yang sangat
menentukan dalam konsep kutub pertumbuhan, yaitu pengaruh yang tidak dapat
dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Pengaruh
tersebut semata adalah dominasi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata ruang
geografis dan dimensi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata ruang geografis dan
dimensi tata ruang (geographic space and space dimension. Proses pertumbuhan
adalah konsisten dengan teori tata ruang ekonomi (economic space theory), dimana
Universitas Sumatera Utara
industri pendorong (propulsive industries atau industries motrice) dianggap sebagai
titik awal dan merupakan elemen esensial untuk pembangunan selanjutnya.
Nampaknya Perroux lebih menekankan pada aspek pemusatan pertumbuhan
(Adisasmita, 2005). Hirschman berdalil bahwa pertumbuhan awalnya terbatas pada
wilayah-wilayah yang disukai, meskipun ketimpangan menyebar berdasarkan letak
geografis, meliputi terpencil dan pertumbuhan ini terjadi melalui dampak hubungan
dengan kutub-kutub pertumbuhan. Teori kutub pertumbuhan menyajikan dua fungsi
baik fungsi idiologi maupun fungsi politik. Di dalam suatu arti idiologis dan pada
suatu tingkat teoritis yang tidak dapat diambil melalui pertanyaan-pertanyaan sosial
yang lebih mendalam. Teori kutub pertumbuhan bersandar terhadap mekanisme harga
sebagai faktor penengah dan retribusi sumberdaya. Perroux menetapkan bahwa
sektor-sektor pertumbuhan didefinisikan dengan hubungan-hubungan ekonomi
dengan unit-unit lain di dalam ekonomi. Asumsi Perroux adalah tujuan sosial dari
perkembangan wilayah yang dimanfaatkan oleh agen-agen yang ingin memperoleh
keuntungan pribadi. Mengikuti pendapat Perroux, Boudeville mendefenisikan kutub
pertumbuhan wilayah sebagai seperangkat industri sedang berkembang yang
berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong lebih lanjut perkembangan
ekonomi melalui wilayah pengaruhnya (localized development pole). Teori
Boudeville dapat dianggap sebagai pelengkap terhadap teori tempat sentral yang
diformulasikan oleh Chirstaller dan kemudian diperluas oleh Losch. Boudeville
Universitas Sumatera Utara
mengemukakan aspek “kutub fungsional” dan memberikan pula perhatian pada aspek
geografis (Piche, 1982).
2.4.4 Teori Konvergen (Convergence Theory)
Bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana
dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan
semakin lancar. Teori Konvergen dapat terjadi jika negara yang bersangkutan telah
maju, maka ketimpangan pembangunan regional akan berkurang (Convergence). Dari
pandangan neo-klasik, ketimpangan wilayah dapat dihubungan dengan faktor
ketidaksempurnaan pasar dan sifat kelambanan proses pembangunan.
Menyamaratakan faktor harga antara wilayah dalam suatu wilayah melalui integrasi
akan meningkatkan faktor mobilitas sehingga dengan demikian akan ada pencapaian
keseimbangan atau pola pertumbuhan wilayah konvergen. Hal tersebut juga
ditanggapi rendahnya pendapatan wilayah akan meningkatkan para pekerja melalui
migrasi, sehingga menarik investor dengan biaya pekerja yang rendah. Teori
konvergen akan terus berlanjut sampai para pekerja dan penghasilan seimbang.
Karena wilayah yang produktivitas dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih
tinggi kedepannya akan lebih sulit menghitung hasil pengurangnya. Akibatnya, untuk
dapat menyeimbangkan perekonomian dapat dilakukan jika perekonomian berada
pada posisi yang lemah. Teori harga Factor Price Equalization (FPE) sudah menjadi
dasar pemikiran yang kuat dalam perdagangan bebas internasional sejak Heckscher
Universitas Sumatera Utara
berpendapat bahwa pada kondisi tertentu membuka perdagangan yang akan
menyamakan hasil- terhadap kesamaan faktor-faktor pada negara-negara lain, dan
Ohlin pada awal abad ini, dan disempurnakan oleh Paul Samuelson menyempurnakan
secara matematis. Dalam analisa integrasi perekonomian dunia, beberapa ahli seperti
Porter dan Krugman mulai melihat pentingnya jarak geografis. Bertil Ohlin membuat
asumsi bahwa dua faktor produksi merupakan hal yang penting di setiap negara, yang
sebahagian faktor tersebut merupakan hal yang tidak penting pada beberapa negara.
Komoditas bergerak dengan baik di perdagangan internasional, tanpa didukung pajak
atau biaya transportasi. Dari pandangannya, perdagangan bebas telah cukup mampu
menggantikan mobilitas internasional sehingga pergerakan terhadap perdagangan
bebas akan menyebabkan harga pada negara –negara menjadi sama. Dan jika kedua
negara melanjutkan untuk menghasilkan barang-barang pada perdagangan bebas,
faktor harganya sebenarnya akan menjadi sama tanpa pergerakkan. Kesamaan faktor
harga ini (FPE) dibuktikan secara matematis oleh Samuelson. Teori konvergen masih
digunakan sebagai model dalam literatur teori pertumbuhan, yang menyatakan bahwa
liberalisasi dalam asas dasar dapat meningkatkan proses konvergen melalui wilayah
(Hwang, 1996).
2.4.5 Teori Divergen (Divergence theory)
Divergence terjadi pada saat modal dan tenaga kerja ahli cenderung
terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan
regional cenderung melebar. Ketimpangan wilayah yang tinggi menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
pengangguran atau tingkat pendapatan yang cenderung menurun pada sebahagian
masyarakat. Untuk mengatasi ini diperlukan campur tangan pemerintah untuk
membuat kebijakan yang akan mengurangi ketimpangan wilayah (Jeong, 1995). Bila
wilayah miskin mampu untuk menaikkan pendapatan per kapita masyarakat secara
terus menerus, maka ketimpangan wilayah dapat dipersempit secara perlahan
(Dapeng, 1998).
Ada tiga strategi dasar dimana para pembuat kebijakan bisa membantu variasi
basis ekonomi wilayah. Masing-masing strategi ini memiliki tingkat risiko berbeda,
antara lain:
(a) jangkauan industri melibatkan perluasan hubungan ke depan dan ke belakang
untuk menambah rangkaian nilai wilayah;
(b) pengaruh industri melibatkankan kolaborasi industri dengan sektor perindustrian
lain di mana ada kemungkinan besar sinergi bisnis berdasarkan potensi
pengembangan wilayah di wilayah yang belum pernah di sentuh (white space);
serta
(c) jangkauan dan pengaruh industri melibatkan kombinasi satu industri atau lebih
dalam penambahan nilai dan pengembangan wilayah yang belum pernah
disentuh (white space development).
2.4.6 Pendapatan
Secara lengkap terdapat empat pelaku ekonomi yakni sektor rumah tangga,
sektor perusahaan (swasta), sektor pemerintah (publik), dan sektor luar negeri
Universitas Sumatera Utara
(internasional). Untuk menggambarkan bagaimana keempat pelaku ekonomi tersebut
berinteraksi dalam perekonomian dapat dilihat dalam diagram melingkar (circular
flow diagram) David Egg berikut ini:
Gambar 2.9 Sirkulasi Aliran Pendapatan dan Pengeluaran
Universitas Sumatera Utara
Aliran tersebut menggambarkan aliran pendapatan dari sektor perusahaan
kearah sektor rumah tangga sebagai akibat dari penggunaan faktor-faktor produksi
yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa. Aliran itu meliputi (1) gaji dan
upah, yang merupakan pendapatan tenaga kerja, (2) sewa yang merupakan
pendapatan dari tanah dan bangunan, (3) bunga, yang merupakan pendapatan dari
modal dan (4) keuntungan yang merupakan pendapatan pemilik perusahaan.
Sebagian dari pendapatan ini tidak diterima oleh rumah tangga. Keuntungan-
keuntungan perusahaan harus membayar pajak keuntungan, sedangkan pendapatan
rumah tangga yang lain harus membayar pajak perseorangan.
Setelah dikurangi pajak, pendapatan rumah tangga akan digunakan untuk
membiayai beberapa kegiatan pembelanjaan aatau ditabung. Yang paling penting
untuk membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Sisa pendapatan
rumah tangga, yaitu setelah dikurangi pajak, pengeluaran untuk konsumsi dan
pengeluaran untuk membeli barang impor akan ditabung di lembaga keuangan, yang
kemudian lembaga keuangan akan meminjamkan dana yang didapat dari tabungan
rumah tangga kepada penanam modal.
Menurut Sukirno ( 2007 ) untuk menghitung nilai barang-barang dan jasa-jasa
yang diciptakan oleh sesuatu perekonomian tiga cara penghitungan dapat digunakan,
yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Cara pengeluaran. Dengan cara ini pendapatan nasional dihitung dengan
menjumlahkan nilai pengeluaran/perbelanjaan ke atas barang-barang dan jasa
yang diproduksikan di dalam negara tersebut.
2. Cara produksi atau produk neto. Dengan cara ini pendapatan nasional dihitung
dengan menjumlahkan nilai produksi barang dan jasa yang diwujudkan oleh
berbagai sektor (lapangan usaha) dalam perekonomian.
3. Cara pendapatan. Dalam penghitungan ini pendapatan nasional diperoleh
dengan cara menjumlahkan pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor
produksi yang digunakan untuk mewujudkan pendapatan nasional.
Di dalam penghitungan pendapatan nasional digunakan istilah pendapatan,
yang dimaksud adalah pendapatan pribadi dan pendapatan disposebel. Pendapatan
pribadi dapat diartikan sebagai semua jenis pendapatan, termasuk pendapatan yang
diperoleh tanpa memberikan sesuatu kegiatan apa pun, yang diterima oleh penduduk
sesuatu negara.
Pendapatan disposebel adalah pendapatan pribadi dikurangi oleh pajak yang
harus dibayar oleh para penerima pendapatan. Dengan demikian hakikatnya
pendapatan disposebel adalah pendapatan yang dapat digunakan oleh para
penerimanya, yaitu rumah tangga yang ada dalam perekonomian, untuk membeli
barang-barang dan jasa-jasa yang mereka ingini. Tetapi biasanya tidak semua
pendapatan disposebel itu digunakan untuk tujuan konsumsi, sebagian darinya
Universitas Sumatera Utara
ditabung dan sebagian lainnya digunakan untuk membayar bunga, untuk pinjaman
yang digunakan untuk membeli barang-barang secara menyicil.
Untuk memudahkan mengingat hubungan di antara (i) pendapatan disposebel
(Yd) dan pendapatan pribadi (Yp), dan (ii) pendapatan disposebel (Yd) dengan
konsumsi dan tabungan, di bawah ini dinyatakan formula (rumus) dari hubungan
tersebut :
(i) Yd = Yp - T
(ii) Yd = C + S
Pendapatan Nasional merupakan gabungan dari pendapatan wilayah – wilayah
yang ada dilingkup perekonomian naisional. Peningkatan perekonomian wilayah
berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi Nasional. Untuk itu diperlukan
pembangunan disetiap wilayah guna menunjang perekonomian nasional.
r
r1
r0
0
S0=I0 S1=I1
sF
S,I
I1
I0
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.10 Tabungan dan investasi
Keadaan di pasaran modal pada mulanya adalah bersifat: keinginan untuk
melakukan investasi dan meminjam modal digambarkan oleh kurva I0 dan penawaran
tabungan adalah SF. Maka pasaran modal akan seimbang apabila investasi = I0 sama
dengan suku bunga = r0. Tabungan yang dilakukan oleh rumah tangga adalah S0=I0,
dan pengeluaran rumah tangga adalah C0. Pada keseimbangan ini pengeluaran
agregat adalah: C0 + I0 dan nilainya sama dengan YF (oleh karena YF = C0 + I0,
sedangkan S0 = I0, maka YF = C0 + S0 = C0 + I0). Dalam perekonomian dua sektor
yang mencapai keseimbangan berlaku keadaan: I = S.
2.4.7 Distribusi Pendapatan
Kemakmuran masyarakat tidak semata-mata hanya didasarkan pada
tolok ukur besarnya pendapatan nasional dan pendapatan per kapita saja,
namun juga bagaimana pendapatan nasional itu didistribusikan, apakah
pendapatan nasional didistribusikan secara lebih merata ataukah timpang.
Distribusi pendapatan dianggap kurang adil jika sebagian besar output
nasional dikuasai oleh sebagian kecil penduduk.
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada
umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah
tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran
konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur
Universitas Sumatera Utara
distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini
sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius data pengeluaran
konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai
pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya.
Pertumbuhan ekonomi yang selama ini dianggap sebagai salah satu
indikator perbaikan ekonomi tidak bisa mengukur tingkat kesejahteraan dan
distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu bisa
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tergantung dari mana sumber-
sumber pertumbuhan itu berasal. kesenjangan ekonomi atau
ketidakmerataan dalam distribusi pandapatan antara kelompok masyarakat
berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta
tingkat kemiskinan atau jumlah orang berada di bawah garis kemiskinan
(poverty line) (Tambunan, 2001). Keyakinan mengenai adanya efek menetes ke
bawah (trickle down effects) dalam proses pembangunan telah menjadi pijakan
bagi sejumlah pengambil kebijakan dalam pembangunannya. Dengan
keyakinan tersebut maka strategi pembangunan yang dilakukan akan lebih
terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dalam suatu periode yang relatif singkat. Untuk mencapai tujuan
tersebut, konsekuensi negatif yang dapat muncul sebagai akibat jalan pintas
yang diambil berdasarkan pengalaman masa lalu adalah pusat pembangunan
Universitas Sumatera Utara
ekonomi nasional dan daerah dimulai pada wilayah-wilayah yang telah
memiliki infrastruktur lebih memadai terutama Jawa. Selain itu
pembangunan akan difokuskan pada sektor-sektor yang secara potensial
memiliki kemampuan besar dalam mengasilkan nilai tambah yang tinggi
terutama sektor industri dan jasa.
Diantara para pengeritik pola pembangunan ekonomi yang telah
ditempuh oleh kebanyakan Negara berkembang, termasuk Indonesia,
terdapat banyak orang yang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi
yang pesat selalu dibarengi kenaikan dalam ketidakmerataan distribusi
pendapatan atau ketimpangan relatif. Dengan perkataan lain, para pengeritik
ini, termasuk banyak ekonom, beranggapan bahwa antara pertumbuhan
ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan terdapat suatu trade-off, yang
membawa implikasi bahwa pemerataan dalam distribusi pendapatan hanya
dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai kemerosotan dalam
distribusi pendapatan atau kenaikan dalam ketidakmerataan relatif.
Pertumbuhan versus distribusi pendapatan merupakan masalah yang
menjadi perhatian di negara-negara sedang berkembang (Arsyad, 2004).
Banyak negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan yang tinggi hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan
masalah kemiskinan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi banyak
dirasakan orang tidak memberikan pada pemecahan masalah kemiskinan
dan ketidakmerataan distribusi pendapatan ketika tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi tersebut diiringi dengan meningkatnya tingkat
pengangguran dan pengangguran semu di daerah pedesaaan maupun
perkotaan. Distribusi pendapatan antara kelompok kaya dengan kelompok
miskin semakin senjang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata telah
gagal untuk menghilangkan atau bahkan mengurangi luasnya kemiskinan
absolut di negara-negara sedang berkembang.
Data dekade 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan
distribusi pendapatan di banyak negara sedang berkembang, terutama
negara-negara dengan proses pembangunan ekonomi yang pesat atau
dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia,
menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju
pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi (Tambunan, 2001). Semakin
tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin
besar perbedaan antara kaum miskin dengan kaum kaya. Studi Ahuja (1997)
mengenai negara-negara di Asia Tenggara menunjukkan bahwa setelah
sempat turun dan stabil selama periode 1970-an dan 1980-an, pada saat
Universitas Sumatera Utara
negara-negara itu mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun
yang tinggi (Asian miracle), pada awal dekade 1990-an ketimpangan distribusi
pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali.
Menurut Sirojuzilam (2008) Pembangunan dilaksanakan secara umum
menyangkut beberapa aspek utama, mulai dari pembangunan di bidang ekonomi,
sosial, kelembagaan, dan aspek lingkungan. Akan tetapi di dalam proses
pencapaiannya akan selalu mengakibatkan terjadinya ketimpangan. Hal ini sekaligus
menolak pendapat kaum neoklasik yang terlalu optimis menyatakan bahwa pada awal
pembangunan memang akan dijumpai ketidakseimbangan atau ketimpangan, akan
tetapi pada akhirnya akan dicapai suatu keseimbangan atau kemerataan. Pada
prinsipnya ada beberapa bentuk ketimpangan yang terjadi antara lain distribution
income disparities, urban rural income disparities, dan regional income disparities
Berbagai macam alat pengukuran banyak dijumpai dalam mengukur tingkat
distribusi pendapatan penduduk. Diantara alat tersebut yang sangat umum
dipergunakan adalah Gini Indeks.
(1) Gini Indeks
Rumus:
n
Gi = 1 - ∑ ( Pi - Pi – 1 ) ( Qi + Qi-1 ), 0 ≤ Gi ≤ 1 i - 1
Dimana:
Pi = % kumulatif jumlah penduduk
Universitas Sumatera Utara
Qi = % kumulatif jumlah pendapatan
Gi = 0, Perfect Equality
Gi = 1, Perfect Inequality
(2) Kurva Lorenz
Kurva Lorenz secara umum sering dipergunakan untuk menggambarkan bentuk
ketimpangan yang terjadi terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Kurva
Lorenz digambarkan pada sebuah bidang persegi bujur sangkar dengan bantuan
garis diagonalnya. Semakin dekat kurva ini dengan diagonalnya, berarti
ketimpangan yang terjadi semakin rendah dan sebaliknya semakin melebar
kurva ini menjauhi diagonal berarti ketimpangan yang terjadi semakin tinggi.
Bentuk Kurva Lorenz biasanya digambarkan berdasarkan data yang diperoleh
setelah menghitung angka Gini atau seperti terlihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.11 Kurva Lorenz
(3) Kriteria Bank Dunia
100% B
% Qi
0
% Pi A
100%
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Kriteria Bank Dunia di dalam menentukan tingkat ketimpangan
yang terjadi dalam distribusi pendapatan penduduk, maka penduduk dibagi
menjadi tiga kategori yaitu:
a) 20% Penduduk pendapatan tinggi
b) 40% Penduduk pendapatan sedang
c) 40% Penduduk pendapatan rendah
dengan kriteria ketimpangan.
1) Tinggi, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan nasional <
12%,
2) Sedang, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan nasional
12%- 17%, dan
3) Rendah, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan nasional >
17%.
Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan menggunakan
Williamson Index dan ukuran ketimpangan lainnya. Selanjutnya dilanjutkan pula
dengan pembahasan tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia
yang dilanjutkan dengan faktor-faktor utama yang menentukan ketimpangan tersebut.
Terakhir dilakukan pembahasan tentang beberapa kemungkinan kebijakan yang dapat
dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk penanggulangan ketimpangan
pembangunan antar wilayah tersebut (Sjafrizal, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Ketimpangan pembangunan ekonomi dan penghapusan kemiskinan
merupakan permasalahan dalam pembangunan. Lewat pemahaman yang mendalam
akan masalah ketimpangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan dapat
memberikan dasar yang baik untuk menganalisis masalah pembangunan yang lebih
khusus agar permasalahan pembangunan ini bisa dipecahkan dengan perencanaan
pembangunan yang lebih baik (Arsyad, 2004).
Ketimpangan pembangunan ekonomi dapat mengakibatkan konsekuensi
sosial dalam pembangunan itu sediri. Konsekuensi dari ketimpangan pembangunan
ekonomi adalah rendahnya mobilitas sosial dan dapat menyebabkan kemiskinan
(Colclough, 1990).
Ketimpangan pembangunan ekonomi dari waktu kewaktu telah banyak
dianalisis secara empiris dengan menggunakan pendekatan teori-teori yang ada
(Harrison, 1984).
Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan
tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang
sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal
pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan
terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang”, dilihat dari
pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antar daerah dan disparitas
berkurang dengan signifikan.
Universitas Sumatera Utara
Ketimpangan pembangunan antar kecamatan dapat dianalisis dengan
menggunakan indeks ketimpangan regional (regional inequality) yang dinamakan
indeks ketimpangan Williamson (Sjafrizal, 1997):
Y
nfiYYiIW
∑ −
=
/)( 2
Dimana:
IW = Indeks ketimpangan wilayah kecamatan
Yi = Pendapatan per kapita di kecamatan i
Y = Pendapatan per kapita rata-rata Kabupaten / Kota i
fi = jumlah penduduk di kecamatan i
n = jumlah penduduk Kabupaten / Kota i
Masalah ketimpangan ekonomi antar daerah tidak hanya tampak pada wajah
ketimpangan perekonomian Pulau Jawa melainkan juga antar Kawasan Barat
Indonesia (Kabarin) dan Kawasan Timur Indonesia (Katimin). Berbagai program
yang dikembangkan untuk menjembatani ketimpangan antar daerah selama ini
ternyata belum mencapai hasil yang memadai. Alokasi penganggaran pembangunan
sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan ekonomi tersebut tampaknya perlu
lebih diperhatikan di masa mendatang. Strategi alokasi anggaran itu harus mendorong
dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menjadi alat mengurangi
kesenjangan/ketimpangan regional (Majidi, 1997).
Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal,
keterampilan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah
Universitas Sumatera Utara
merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan.
Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan
kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu
daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu, Ardani (1992) mengemukakan bahwa
kesenjangan/ketimpangan antar daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan
dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.
Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah
yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects)
mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan
daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang
mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya
menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad,1999).
Menurut Kuncoro (2002), konsep entropi Theil dari distribusi pada dasarnya
merupakan aplikasi konsep teori informasi dalam mengukur ketimpangan ekonomi
dan konsentrasi industri. Studi empiris yang dilakukan Theil dengan menggunakan
indeks entropi menawarkan pandangan yang tajam mengenai pendapatan regional per
kapita dan kesenjangan pendapatan, kesenjangan internasional, serta distribusi produk
domestik bruto dunia.
Untuk mengukur ketimpangan pendapatan regional bruto provinsi, Ying
menggunakan indeks entropi Theil. Indeks entropi Theil tersebut dapat dibagi/diurai
menjadi dua subindikasi, yaitu ketimpangan regional dalam wilayah dan ketimpangan
Universitas Sumatera Utara
regional antarwilayah atau regional (Ying, 2000). Dengan menggunakan alat analisis
indeks entropi Theil akan diketahui ada tidaknya ketimpangan yang terjadi di
kabupaten/kota. Rumus dari indeks entropi Theil adalah sebagai berikut (Ying, 2000):
I(y) = Σ (yj / Y)x log [(yj / Y) / ( xj / X) ]
Di mana:
I(y) = indeks entropi Theil
yj = PDRB per kapita kecamatan j
Y = rata-rata PDRB per kapita Kabupaten / kota j
xj = jumlah penduduk kecamatan j
X = jumlah penduduk Kabupaten / Kota j
Indeks entropi Theil memungkinkan kita untuk membuat perbandingan
selama kurun waktu tertentu. Indeks ketimpangan entropi Theil juga dapat
menyediakan pengukuran ketimpangan secara rinci dalam subunit geografis yang
lebih kecil, yang pertama akan berguna untuk menganalisis kecenderungan
konsentrasi geografis selama periode tertentu; sedang yang kedua juga penting ketika
kita mengkaji gambaran yang lebih rinci mengenai ketimpangan spasial. Sebagai
contoh ketimpangan antar daerah dalam suatu negara dan antar subunit daerah dalam
suatu kawasan (Kuncoro, 2002).
2.4.8 Penyebab Ketimpangan Pendapatan
Berikut ini akan dijelaskan beberapa faktor utama yang menyebabkan
atau memicu terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Pertumbuhan
Universitas Sumatera Utara
GNP per kapita yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan tingkat
hidup rakyat banyak. Bahkan pertumbuhan GNP per kapita di beberapa
negara sedang berkembang seperti Pakistan, India, Kenya, dan lain-lain telah
menimbulkan penurunan absolut dalam tingkat hidup orang miskin di
perkotaan dan pedesaan. Apa yang disebut dengan proses penetesan ke
bawah (trickle down effect) dari manfaat pertumbuhan ekonomi bagi orang
miskin tidak terjadi.
Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2004) mengemukakan 8
faktor yang menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan di negara-
negara sedang berkembang, yaitu:
a. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya
pendapatan per kapita;
b. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara
proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang;
c. Ketimpangan pembangunan antar daerah;
d. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal
(capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan
harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang
berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah;
e. Rendahnya mobilitas sosial;
Universitas Sumatera Utara
f. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan
kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-
usaha golongan kapitalis;
g. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang
berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai
akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor
negara-negara sedang berkembang; dan
h. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan,
industri rumah tangga, dan lain-lain.
Kecenderungan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan
sejalan dengan pertumbuhan ekonomi tidak saja terjadi di negara-negara
sedang berkembang saja, namun juga terjadi di negara-negara industri maju.
Studi dari Jantti (1997) dan Mule (1998) dalam Tambunan (2001)
memperlihatkan bahwa perkembangan ketimpangan pendapatan antara
kaum kaya dan kaum miskin di Swedia, Inggris, Amerika Serikat dan
beberapa negara lainnya di Eropa Barat menunjukkan suatu kecenderungan
yang meningkat selama dekade 1970-an dan 1980-an. Dari studi Jantti
disimpulkan bahwa semakin besarnya ketimpangan dalam distribusi
pendapatan di negara-negara tersebut disebabkan oleh pergeseran-
pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan-
Universitas Sumatera Utara
kebijakan publik. Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya
kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya andil
pendapatan dari istri di dalam jumlah pendapatan keluarga merupakan dua
faktor penyebab penting.
Ekonomi aglomerasi atau ekonomi eksternal yang tercipta karena
terkonsentrasinya para produsen telah diterima luas sebagai salah satu penyebab
terciptanya kota. Eksternalitas dalam spasial dalam arti berkaitan dengan kedekatan
(proximity) antar perusahaan, dimana perusahaan menerima keuntungan eksternal
(external benefits) dengan berlokasi saling berdekatan satu dengan yang lain.
Weber adalah salah seorang yang pertama-tama mengajukan pertanyaan
mengapa pabrik-pabrik cenderung berlokasi saling berdekatan. Menurut Weber,
ekonomi aglomerasi (deglomerasi) menentukan apakah industri terkonsentrasi di
suatu tempat atau tersebar di lebih dari satu tempat. Karena itu, ekonomi aglomerasi
disebabkan oleh faktor-faktor aglomerasi yang unik, bukan hanya karena orientasi
lokasi seperti orientasi tenaga kerja (labor orientation) dan transportasi (transport
orientation).
Hoover mengkritik teori aglomerasi Weber sebagai tidak membedakan tiga
kekuatan (forces) yang mempengaruhi biaya produksi (production costs), yaitu (i)
ekonomi skala besar (large-scale economies), suatu skala ekonomi internal terhadap
perusahaan pada suatu lokasi tertentu (Mills; Dixit,); (ii) ekonomi lokalisasi
(localization economies), eksternal terhadap perusahaan pada suatu lokasi tertentu
Universitas Sumatera Utara
tetapi internal terhadap industri (Henderson; Ogawa dan Fujita; dan Fujita dan
Ogawa); (iii) ekonomi urbanisasi (urbanization economies), eksternal terhadap
industri pada suatu lokasi tertentu tetapi internal terhadap kawasan perkotaan (Arnott;
Kanemoto; dan Upton).
Sebagian besar model ukuran kota (city size) yang menjelaskan keberadaan
ekonomi aglomerasi mendasarkan analisa mereka pada alokasi pertanian
(agricultural allocation theory) dari von Thunen. Dalam modelnya, von Thunen
memperlihatkan kota besar tunggal (a single large city) di tengah-tengah suatu
dataran yang subur. Produk-produk tertentu yang biaya transportasi paling tinggi di
produksi berlokasi paling dekat dengan kota dengan tujuan mengurangi biaya
transportasi. Terdapat hubungan terbalik (inverse) antara sewa tanah (land rent) dan
biaya transportasi, semakin jauh jarak suatu lokasi dari kota semakin rendah tingkat
sewa tanah. Keberlakuan hubungan ini dengan mudah diubah menjadi zona
konsentris (concentric zone) dari teori sewa-perkotaan (urban-rent theory). Caranya
adalah dengan mengubah pusat kota di tengah-tengah dataran menjadi distrik pusat
bisnis (central business district/CDB). Untuk selanjutnya distrik pusat bisnis akan
kita sebut sebagai DPB. Lokasi DPB berada tepat di tengah kota dikelilingi oleh
daerah pinggiran kota suburbs) dimana para konsumen dan pekerja tinggal. Semua
kegiatan produksi berlokasi di DPB.
Dua karya utama dalam ekonomi skala besar adalah makalah-makalah yang
ditulis berturut-turut oleh Mills dan Dixit. Mills mengasumsikan suatu kota berpusat
Universitas Sumatera Utara
tunggal (monocentric) dengan tiga jenis produksi: barang, transportasi, dan
perumahan. Mills selanjutnya menganggap adanya skala hasil yang meningkat
(increasing returns to scale), karena itu produsen barang bersifat monopoli. Mills
memperlihatkan secara analitis bahwa semakin besar tingkat peningkatan hasil
(increasing returns) dalam produksi barang, semakin tidak elastis (in elastic)
permintaan terhadap barang tersebut. Persyaratan ini diperlukan bagi produsen agar
dapat membayar nilai produk marginal (value of marginal product) dari faktor-faktor
produksi (inputs).
Model struktur kota yang bersifat lebih umum dikembangkan oleh Dixit.
Tema utama dari karya Dixit adalah ukuran kota optimum (optimum city size) yang
ditentukan oleh keseimbangan antara skala ekonomi produksi (economies of scale in
production) dan disekonomi (diseconomies) transportasi disebabkan oleh kemacetan
lalulintas (congestion). Dixit membuat asumsi bahwa hanya terdapat satu perusahaan
yang memproduksi komoditi tunggal dan skala hasil yang meningkat. Seperti model
yang dikembangkan oleh Mills, model yang dikembangkan oleh Mills, Dixit
beramsusi produsen barang adalah monopoli beralokasi di PDB. Namun
dibandingkan dengan model Mills, model yang dikembangkan oleh Dixit bersifat
umum. Dixit mengintegrasikan manfaat sebagai fungsi dari barang industri dan
perumahan (tanah). Model Dixit memperlihatkan analitis bahwa tingkat skala
peningkatan (degree of increasing returns) sama dengan rasio sewa tanah terhadap
nilai output.
Universitas Sumatera Utara
Sekalipun model Dixit memberikan sumbangan besar pada pemahaman kita
mengenai ekonomi aglomerasi dalam suatu rangka yang lebih umum, namun kritik
keras terhadap model ini adalah pemberlakuan skala ekonomi dalam sistem monopoli
dianggap terlalu sederhana. Skala peningkatan internal (internal returns to scale) bagi
produsen yang memiliki kekuatan monopoli susah untuk diterima sebagai penyebab
ekonomi aglomerasi. Model ini tidak memberikan banyak penjelasan terhadap
keadaan kota modern sebenarnya. Fenomena suatu kota modern adalah terdapat
banyak produsen dan terjadi perdagangan antarkota, keadaan ini jauh berbeda dari
keadaan pasar monopoli. Kritik ini juga berlaku pada model yang dikembangkan oleh
Mills.
Ketidakpuasan terhadap proposisi bahwa ekonomi skala besar merupakan
penentu konsentrasi industri di daerah perkotaan besar mengarah pada usaha-usaha
untuk mengembangkan model teoritis yang dapat menjelaskan keberadaan ekonomi
lokalisasi. Ekonomi aglomerasi dalam pengertian ekonomi lokalisasi dianalisa, antara
lain, oleh Henderson. Ciri utama dari model Henderson adalah mengasumsikan
terdapat banyak perusahaan kecil di daerah perkotaan yang masing-masing
memandang dirinya berhadapan dengan teknologi berskala hasil yang konstan
(constant returns to scale), sementara itu industri secara keseluruhan memperoleh
peningkatan hasil (increasing returns) yaitu skala ekonomi bersifat eksternal terhadap
perusahaan. Kita dapat menyebut jenis eksternalitas seperti ini sebagai skala ekonomi
ala Chipman, karena Chipman yang mengusulkan pendekatan ini. Karena itu, produk
Universitas Sumatera Utara
marginal tenaga kerja pribadi (private marginal product of labor) dalam industri
berbeda dengan produk marginal sosial (social marginal product). Keadaan ini
mempertahankan keberlakuan habisnya (exhaustion) penerimaan perusahaan untuk
pembayaran faktor-faktor produksi atau penerimaan sama dengan pengeluaran.
Pasar dicirikan oleh persaingan sempurna karena setiap perusahaan yang ikut
serta dalam persaingan (entering) diuntungkan oleh eksternalitas skala ekonomi
industri. Henderson mengintegrasikan faktor eksternalitas pada peubah (variable)
output dari fungsi produksi, karena itu kita anggap model Henderson memperlihatkan
ekonomi lokalisasi (Juoro, 1989).
Pendapatan merupakan salah satu variabel yang menentukan pengembangan
wilayah. Dalam proses pembangunan wilayah terjadi ketimpangan pendapatan
(Nishiola 1994).
Menurut Kim dkk (2003) ketimpangan pendapatan dapat dipengaruhi oleh
empat variabel yaitu pendidikan, kesempatan kerja, infrastruktur dan jaringan
informasi. Menurut Song dkk (2000) terdapat lima variabel yang menjadi faktor yang
mempengaruhi terjadinya ketimpangan pendapatan yaitu investasi, infrastruktur,
modal manusia, jumlah penduduk dan letak geografis. Menurut hasil penelitian
Rahman (2002) ketimpangan pendapatan dapat dipengaruhi oleh skill dan
penggunaan teknologi dalam proses produksi. Menurut Wilder dkk. (1999) perbedaan
tingkat pendidikan dan budaya masyarakat merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi ketimpangan pendapatan, sedangkan hasil penelitian Ding (2002)
Universitas Sumatera Utara
menanggapi tentang kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi ketimpangan.
Shangkar dan Shah (2003) kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan alokasi
dana pembangunan yang tidak berimbangan dapat menyebabkan ketimpangan
pendapatan. Menurut Mukhopadhaya (2003) menyatakan bahwa kebijakan
pemerintah terhadap kaum imigran dapat menyebabkan terjadi ketimpangan
pendapatan di masyarakat.
Sejumlah studi empirik berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab
ketimpangan distribusi pendapatan dari berbagai tinjauan. Beberapa studi
menyampaikan beberapa variabel makro-ekonomi berpengaruh terhadap distribusi
pendapatan seperti inflasi dan pengangguran menurut studi Mocan (1999) dan Blejer
dan Guererro (1990).
Sejumlah studi empirik lain secara spesifik menguji faktor lain seperti
faktor ekonomi dan institusional dalam mempengaruhi distribusi
pendapatan, antara lain oleh Li et al. (2000) yang menguji pengaruh korupsi
terhadap distribusi pendapatan, Tanninen (1999) menguji pengaruh
pengeluaran pemerintah terhadap distribusi pendapatan, serta Bourgignon
dan Morrison (1998) menguji pengaruh dualisme terutama hubungannya
dengan pertanian terhadap distribusi pendapatan. Beberapa penelitian lebih
lanjut menguji kombinasi faktor-faktor tersebut seperti pengeluaran
pemerintah, tingkat pembangunan, dan sebagainya dilakukan oleh Deininger
dan Squire (1998), Vanhoudt (2000), dan Barro (2000).
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu penelitian yang menyangkut pengukuran ketimpangan distribusi
pendapatan yang terjadi di daerah di Indonesia antara lain di Kutai Kartanegara oleh
BPS (2005) yang menemukan koefisien Gini sebesar 0,31. Koefisien Gini ini
mengindikasikan ketimpangan distribusi yang cukup rendah. Hal ini didukung
dengan keberhasilan kebijakan dalam menurunkan kemiskinan di kabupaten tersebut.
Penelitian lain khususnya di Kabupaten Banyumas pernah dilakukan oleh Suroso dkk
(2005) yang menemukan ketimpangan distribusi pendapatan di Banyumas tahun 2005
dengan koefisien Gini sebesar 0,432. Koefisien Gini tersebut mengindikasikan
ketimpangan pendapatan yang cukup besar. Hasil ini juga menunjukkan
kecenderungan yang meningkat dibanding keadaan sebelumnya. Dibandingkan
dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, maka Kabupaten Banyumas yang memiliki
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah menujukkan
ketimpangan distribusi pendapatan yang relatif tinggi.
Pendapatan masyarakat yang merata, sebagai suatu sasaran merupakan
masalah yang sulit dicapai, namun berkurangnya kesenjangan adalah salah satu tolok
ukur keberhasilan pembangunan. Indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat
pemerataan pendapatan masyarakat adalah distribusi pendapatan masyarakat diantara
golongan penduduk (golongan pendapatan). Pendapatan masyarakat sangat
tergantung dari lapangan usaha, pangkat dan jabatan pekerjaan, tingkat pendidikan
umum, produktivitas, prospek usaha, permodalan dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut
menjadi penyebab perbedaan tingkat pendapatan penduduk. Indikator distribusi
Universitas Sumatera Utara
pendapatan yang didekati dengan pengeluaran per kapita akan memberikan petunjuk
aspek pemerataan pendapatan yang telah tercapai. Walaupun hal ini tidak
mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya namun paling tidak memberikan
petunjuk untuk melihat arah dari perkembangan yang terjadi. Selama ini untuk
mendapatkan informasi mengenai pendapatan sebenarnya menemui bermacam
kendala diantaranya: tidak terus terangnya responden memberikan informasi yang
sebenarnya, ada yang membesarkan ada pula yang mengecilkan. Selain itu terkadang
menjadi tidak etis pada sebagian orang untuk meminta informasi mengenai
pendapatan yang sebenarnya.
Sulitnya mendapatkan tingkat pendapatan yang sebenarnya menjadi alasan
penggunaan pendekatan pengeluaran untuk mengetahui distribusi pendapatan
masyarakat. Dalam realitanya tingkat pengeluaran akan berbanding lurus dengan
tingkat pendapatan. Semakin besar pendapatan masyarakat maka akan semakin besar
tingkat pengeluaran. Asumsi ini menjadi acuan dalam kajian untuk mengukur
distribusi pendapatan masyarakat.
2.5 Penelitian Terdahulu
No Pengarang Judul Permasalahan Metode dan Data Variabel
Hasil
1 Neuman M 2005
Notes on The Uses and scope of city planning theory
Bagaimana tentang teori perencanaan kota
Kajian teoritis
Kontribusi perencanaan kota terhadap keberhasilan pembanguna-n. Ada empat teori yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan, explanation,
prediction,
justification,
and
normative
guidance.
2 Ayatac H 2007
The International Diffusion of Planning Ideas: The Case of Istanbul, Turkey
Bagaimana penerapan konsep perencanaan Kota di Turkey
Metode ekploratif
Penerapan perencanaan di Turkey dengan penerapan konsep perencanaan difusi. Konsep
No Pengarang Judul Permasalahan Metode dan Data Variabel
Hasil
difusi adalah proses perencanaan dengan mengkombi-nasi pengalaman ekonomi, politik dan budaya Turkey.
3 Beauregar R, 2007
More Than Sector Theory: Homer Hoyts Contributions to Planning Knowledge
Bagaimana teori Hoyt dalam perkembangan kota
Metode deskriptif
Penerapan teori Hoyt terhadap perkemba-ngan ilmu perencanaan. produk perencana dapat memberikan manfaat
Universitas Sumatera Utara
kepada masyarakat kota.
4 Alexander.E.R, 2005
Institutional Transformation and Planning From Institutionalization Theory To Institutio-nal Design
Bagaimana Pola Kelembagaan Perencanaan Kota
Kajian Teoritis
Pola perencanaan kota dilaksanakan oleh sebuah kelembagaan khusus perencanaan yang berfungsi sebagai koordinasi perwakilan dan sosialisasi produk perencanaan.
No Pengarang Judul Permasalahan Metode dan Data Variabel
Hasil
5 Sanyal. B 2005
Planning As Anticipation Of Resistance
Bagaimana Dampak Akibat Kesalahan Dalam Perencanaan Pembangunan
Metode Survei
Akibat Kesalahan Membuat Perencanaan Sehingga Antisipasi terhadap perencanan sektor publik berakibat pada pembangu-nan sektor publik tidak tepat pada sasarannya.
6 Yabuta Masahiro, 1993
Economic Growth Models
Ketidakstabilan model pertumbuhan
Kajian teoritis
Perilaku perpaduan perdagangan
Universitas Sumatera Utara
with Trade Unions: NAIRU and Union Behavior
ekonomi telah membantu ekonomi kapitalis untuk menetapkan tahap kesinambu-ngan keseimban-gan pertumbuhan ekonomi.
7 Bergh dan Fink, 2009
Higher education, elite institutions and inequality
Pengaruh pendidikan terhadap ketimpangan
Deskriptif Hasil penelitian pengaruhnya terhadap ketimpangan pendapatan masih ambigu, karena pendidikan tinggi
No Pengarang Judul Permasalahan Metode dan Data Variabel
Hasil
meningkat-kan ketimpangan pendapatan di posisi teratas dari distribusi pendapatan, juga mengurangi ketimpangan pendapatan yang rendah.
8 Friseh, Michael
Measuring regional
Bagaimana membuat
Metode Eksplo-
Perencanaan mengguna-
Universitas Sumatera Utara
2002 capacity perencanaan untuk wilayah yang mengalami tekanan ekonomi.
ratif kan konsep partisipatif, pemberdaya-an masyarakat, untuk menciptakan lapangan kerja.
9 Basu, dkk 2009
A Theory of Employment Guarantees: Contestability, Credibility and Distributional Concerns
Faktor-faktor perencanaan, produktivitas sektor swasta, pemerataan pangsa pasar dan kebutuhan akan lapangan kerja umum terhadap distribusi pendapatan
Regresi Secara paradoks, hasil dengan seorang perencana yang hanya memperhati-kan pada efisiensi dapat menyebab-kan kurangnya efisien hasil apabila dibandingkan dengan seorang perencana
No Pengarang Judul Permasalahan Metode dan Data Variabel
Hasil
yang lebih memfokus-kan pada fungsi kesejahteraan yang juga mempengaruhi masalah kemiskinan.
10 Allmendinger, Philip
Towards a post-
Bagaimana menginterpre-
Kajian Teoritis
Interpretasi teori dapat
Universitas Sumatera Utara
2002 positivist typology of planning theory
tasikan sebuah teori perencanaan
membantu merancang sebuah ide atau gagasan program pembangu-nan sebuah kawasan.
11 Kim dkk (2003)
Impact of national developmentand decentralization policies on regional income disparity in Korea
Bagaimana pengaruh kebijakan desentaralisasi terhadap ketimpangan pendapatan wilayah di Korea
Metode regresi - Kebija-kan Desent-ralsasi - Pendapa-tan - Data Primer
Ketimpangan pendapatan dapat dipengaruhi oleh empat variabel yaitu pendidikan, kesempatan kerja, infrastruktur dan jaringan informasi.
12 Pierow. G.Y. 2003.
Regional Disparities in the Labour Market
Bagaimana bentuk ketimpangan wilayah bila ditinjau dari pasar tenaga kerja di Jemrman
Metode Deskriptif - Tenaga Kerja - Pedapatan - Data Sekunder
Pada saat beberapa kota di Jerman mengalami peningkatan penganggu-ran, ada beberapa kota yang mampu menurunkan
No Pengarang Judul Permasalahan Metode dan Data Variabel
Hasil
angka penggangguran karena kota-kota tersebut mampu manampung
Universitas Sumatera Utara
tenaga kerja lebih di sektor industri.
13 Alain Piche 1982
Regional disparities: towards a theoretical understanding of the canadian case
Kajian teoritis tentang Ketimpangan regional
Kajian teortis dan historis
Kebijakan pengembangan wilayah akan berkibat timbulnya ketimpangan wilayah.
14 Biles.R.S. 2000.
Regional disparities in welfare reform: appalachin poverty and the dilemmas of public policy
Bagaimanan membuat kebjikan untuk mengurangi ketimpangan
Metode ekploratif
Kebijakan publik perlu mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat dengan meningkat-kan program kesehatan dan pendidikan.
15 Wang.F. 1997
Regional disparities in china: the agricultural aspect
Bagaimana regional disparitas di Cina
Metode regresi - Sumber Daya Alam - Etos Kerja - Budaya
Terjadi ketimpangan wilayah antara kawasan timur dan barat Cina. Ketimpangan regional yang meningkat telah menimbul-
No Pengarang Judul Permasalahan Metode dan Data Variabel
Hasil
-Pendapa-tan - Data
kan banyak masalah sosial dan
Universitas Sumatera Utara
Primer - Data Sekunder
ekonomi.
16 Dijana Maria Plestina 2001
Politics and Inequality: A Study of Regional Disparities in Yugoslai-via
Bagaimana dampak ketimpangan ekonomi regional di Yugoslavia terhadap kondisi sosial politik
Metode survei - Pendapa-tan - Kondisi Sosial Politik
Masalah ketimpangan regional telah membawa implikasi terhadap kondisi stabilitas politik pada wilayah maju dan wilayah terbelakang.
17 Ositadinma. E, 1987
Regional socio-economic diparities in nigeria: policy implication
Tujuan dari studi ini adalah untuk meneliti ketimpangan regional di Nigeria dari tahun 1970 sampai 1985 dan menentukan apakah tren regional mencerminkan atau menggambar-kan model perkembangan ekonomi Kuznet atau Myrdal
Metodologi tersebut menggunakan statistic deskriptif
Studi menunjukan kecenderungan tren perkembang-an regional Nigeria menggambarkan model Myrdal dan membuat mereka kelihatan hampir serupa dengan India dan Brazil. Kebijakan pemerintah haruslah bertujuan untuk meningkat-kan SDM dan
Universitas Sumatera Utara
No Pengarang Judul Permasalahan Metode dan Data Variabel
Hasil
pendapatan masyarakat dimasa yang akan datang di setiap negara bagian dengan menekankan teknologi yang sesuai& intermediasi.
18 Francois Marier 2000
Technolo-gy and Infrastrukture in Regional Develop-ment Policies and the Evolution of Regional Disparities: The Case of New Brunswick 1986-1996
Menganalisa pertumbuhan sektor industri, perubahan-perubahan pada sosio ekonomi, dan pengaruh-pengaruh dari ketimpangan regional
Analisa shift-share - Pendapa-tan Regonal - Kondisi Sosial Ekonomi - Sektor Industri - Infras- truktur - Data Sekunder
Terjadi perubahan-perubahan di sector industri-industri. Perubahan sector ini mengakibat-kan terjadi ketimpangan wilayah.
19 Dapeng Hu 1998
Trade, Production Agglomeration, and Regional Disparity in develop-ping count-ries: Theor-ytical mod els and a
Apakah globalisasi meningkatkan ketimpangan regional? Kebijakan regional yang bagaimana yang efektif untuk mencegah
Metode regresi - Pendapa-tan - Globali sasi - Kebija kan - Infras truktur - Data
Globalisasi perekonomi-an telah menyebab-kan terjadinya ketimpangan wilayah di China.
Universitas Sumatera Utara
case study of China
ketimpangan wilayah?
Sekunder
No Pengarang Judul Permasalahan Metode dan Data Variabel
Hasil
20 Shiqiang zhan 2000
Regional Disparities and Economic Growth in China
Bagaimana bentuk tren ketimpangan pendapatan wilayah
Modeling econome-tric - Pendapa-tan - Jumlah penduduk - Pendidi- kan - Letak Geografis - Data Sekunder
Hasil menunjukan bahwa ketimpangan pendapatan antara penduduk kota dan penduduk desa telah meningkat selama tahun 1978-1997.
21 Inkina.S. 2007.
Russian Social Model: Is There Room For Regional Disparities?
Bagaima model pembangunan social dan ketimpangan wilayah
Metode survei - Pemban-gunan Sosial - Pendapa-tan - Data Primer
Ketimpangan wilayah terjadi di Rusia dapat dilihat dari bidang social masyarakat.
22 Ezcurra and Manuel. 2006
Regional disparities and national Develop-ment revisited the case of western europe
Hubungan antara ketimpangan regional dan tingkat perkembangan ekonomi di 14 negara Eropa bagian barat selama periode 1980-2002
Metodologi semi-parametric
Mengindikasikan adanya sebuah proses divergensi regional ketika sebuah tingkat perekembangan tertentu telah dicapai
Universitas Sumatera Utara
23 Machael B dan Daniel F 2007
Mobility and mean reversion in the dynamics of regional inequality
Bagai bentuk ketimpangan ekonomi wilayah
Metode Statistik - Pendapa tan - Infra struktur Wilayah - Data Sekunder
Menunjukan bahwa pendapatan regional Gini divergen, namun setelah ada kebijakan untuk meningkat-
No Pengarang Judul Permasalahan Metode dan Data Variabel
Hasil
kan pendapatan, maka ketimpangan wilayah mengecil.
24 Nelson dan Lorence 1995
Employ-ment In Service Activities and Inequality ini Metropolitian Area
Bagaimana pengaruh industri jasa terhadap ketimpangan pendapatan laki-laki di 125 kota Metropolitan Amerika Serikat
Metode regresi - Pendapa-tan - Kesem patan - Kerja Sektor Jasa - Data Sekunder
Ketimpangan pendapatan pekerja terjadi pada sektor industri jasa. Bila sektor industri jasa memperluas kesempatan kerja di suatu wilayah, maka akan terjadi ketimpangan wilayah.
25 Gabszewicz and Thise 1987
Price Competiti-on, Quality and Income Disparities
Bagaimana pengaruh kompetisi harga dan kualitas barang yang dihasilkan
Metode Regresi - Kompeti Si harga - Kualitas Barang - Pendapa
Kompetisi harga dan kualitas barang yang dihasilkan berpengaruh terhadap
Universitas Sumatera Utara
terhadap ketimpangan pendapatan
tan - Data Primer
ketimpangan wilayah.
26 Miguel dan Ezcurra 2005
Spatial Dispariti es in Pro ductivity and Indus tri Mix : The Case of The European Regions
Meneliti tentang kekuatan peranan respektif melalui faktor wilayah dan sektoral dalam konvegen dan divergen
Shift-share analysis - Tata Ruang - Industria lisasi - Data Sekunder
Ketimpangan wilayah dalam hal produktivitas sangat berhubungan dengan perbedaan intrinsik antar wilayah.
Universitas Sumatera Utara