Post on 03-Mar-2019
26
BAB III
JALALUDDIN RUMI, TARIAN SPIRITUAL
DAN TAREKAT MAULAWIYAH
A. Riwayat Hidup dan Karya-Karya Tasawuf Jalaluddin Rumi
Jalaluddin Rumi memiliki nama asli Jalaluddin Muhammad bin
Muhammad al-Balkhi al-Qunawi.1 Oleh karena wilayah yang merupakan
tempat tinggalnya pada waktu itu dikenal dengan tanah Rum (Roma), yang
mana sekarang bernama Turki, maka beliau pun dikenal dengan Jalaluddin
Rumi.2 Adapun kata Maulana dalam nama Maulana Jalaluddin Rumi adalah
gelar yang diberikan oleh para muridnya, yang memiliki arti tuan kami.3
Al-Rumi dilahirkan di Balkh, sekarang bernama Afghanistan, pada
tanggal 6 Rabbiul Awal 604 H atau 30 September 1207 M.4 Al-Rumi adalah
putra dari Bahauddin Walad. Dia anak yang menjadi orang besar di antara
anak-anak Bahauddin yang lain.5 Sesuai yang diramalkan seorang tokoh sufi
bernama Fariduddin Attar,6 bahwa kelak al-Rumi akan menjadi orang besar.7
Jika dilihat dari kehidupan al-Rumi sejak kecil, pada usia lima tahun kondisi
psikologisnya sangat kacau. Secara spontan dia pernah melihat sosok-sosok
spiritual seperti Jibril, Maryam dan Ibrahim. Menurut ayahnya, karakter al-
Rumi dibentuk oleh Allah SWT.8
Al-Rumi memang berasal dari keturunan nabi, tepatnya dari Fatimah
Az-Zahra istri Sayyidina Ali. Dan karena itu pula keluarga al-Rumi sangat
1 http://khamush.com/melayu 2 Will Johnson, Menatap Sang Kekasih Rumi, terj. Dini Dwi Utari, Serambi, Jakarta, 2003,
hlm. 28 3 Mulyadhi Kartanegara, Jalal Al-Din Rumi Guru Sufi dan Penyair Agung, terj. Ilham B.
Saenong, Teraju, PT. Mizan Publika, Jakarta, 2004, hlm. 8 4 Ibid., hlm.1 5 Annemarie Schimmel, Dunia Rumi; Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi, terj. Saut
Pasaribu, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2002, hlm. 15 6 Fariduddin Attar adalah seseorang yang bertemu dengan rombongan Bahauddin sewaktu
perjalanan ibadah haji ketika mereka singgah di kota Nishapur. Attar juga menghadiahkan kepada Bahauddin salinan karryanya, Asrar Namah, yaitu buku tentang misteri-misteri Ketuhanan. Lihat Mulyadhi Kartanegara, op. cit., hlm. 2
7 William C. Chittik, Jalan Cinta Sang Sufi; Ajaran-Ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, terj. M. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam, Qalam, Yogyakarta, 2001, hlm. 2
8 Idries Shah, Butiran Mutiara Hikmah; Kumpulan Kisah Sufi, terj. Ilyas Hasan, Lentera, Jakarta, 2002, hlm. 9
27
berpengaruh.9 Ayahnya adalah seorang da’i dan ulama di Balkh. Karena
semakin dekatnya tentara Mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan yang
merasa iri hati dengan pengaruh dan kharisma Bahauddin Walad yang
bergelar raja ulama, maka Bahauddin beserta keluarganya pindah. Pada
awalnya mereka dengan diikuti pengikutnya melakukan haji ke Mekah lalu
berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, yang kemudian menetap di
Konya, sekarang bernama Turki. Al-Rumi menikahi seorang putri dari Lala
Syarafuddin dari Samarkhan tahun 622 H atau 1225 M pada waktu mereka di
Iran Tenggara, tepatnya di Laranda.10
Karena kepandaiannya, ayah al-Rumi diangkat oleh raja Konya
Alauddin Kaiqubad sebagai penasehatnya dan juga sebagai pemimpin sebuah
perguruan agama yang didirikan di Ibukota tersebut. Hal ini bertahan sampai
al-Rumi berusia 24 tahun karena ayahnya meninggal pada usia 80 tahun di
kota ini juga.11 Seperti pendapat Ibnu Arabi dalam bukunya Will Johnson
yang mengatakan bahwa ayah al-Rumi laksana danau yang besar, sedang al-
Rumi adalah samudra luas, maka al-Rumi pun menggantikan jabatan ayahnya
di perguruan agama tersebut.12
Bahauddin wafat pada tahun 628 H atau 1230 M. Sebelum wafat
Bahauddin sempat mengajar dan membimbing al-Rumi pada perguruan tinggi
yang didirikan oleh seorang guru sultan tersebut. Madrasah itu bernama
Madrasa-i Khudavandgar. Setelah kematian ayahnya, al-Rumi dibimbing
oleh Burhanuddin Muhaqqiq al-Tirmidzi, seorang murid ayahnya. Kemudian
dengan saran Burhanuddin, al-Rumi pergi ke Aleppo dan Damaskus untuk
meneruskan pendidikannya. Pada tahun 634 H atau 1236 M al-Rumi kembali
ke Konya dan terus mengajar di Madrasa-i Khudavandgar.13
Sampai kira-kira tahun 1240 M, al-Rumi menjalankan kehidupannya
sebagai seorang sarjana religius yang mengajar dan bermeditasi. Kemudian di
9 Ibid., hlm. 10-11
10Mulyadhi Kartanegara, op. cit., hlm. 3 11http://khamush.com/melayu 12Will Johnson, ibid. 13 Mulyadhi Kartanegara, op. cit, hlm. 4-5
28
akhir Oktober 1244 M, di tengah perjalanan pulang dari madrasahnya, dia
bertemu dengan orang asing yang cukup misterius baginya. Orang itu
bernama Syamsuddin dari Tabriz. Bagi al-Rumi, Syamsuddin adalah mentari
yang nyata yang menyalakan hidupnya, yang membakarnya dan
memangsanya ke dalam cinta yang penuh.14
Syamsuddin adalah seorang figur yang sangat misterius dan sosok
spiritual yang luar biasa. Latar belakang keluarga dan riwayat lengkap
pribadinya tidak diketahui secara pasti.15 Dia seorang yang penuh teka-teki
dalam tasawuf, seperti Nabi Khidhir yang memiliki kekuatan spiritual yang
luar biasa.16Kematiannya pun tetap merupakan sebuah misteri. Dalam kutipan
Jamil Ahmad dalam bukunya yang berjudul Seratus Muslim Terkemuka,
Nicholson menggambarkan Syamsuddin sebagai seseorang yang mengenakan
pakaian jubah hitam yang kasar, yang melintas cepat dan sesaat serta
menghilang secara tragis.17 Sedangkan menurut Nasr dalam bukunya yang
berjudul Spiritualitas dan Seni Islam yang diterjemahkan oleh Drs. Sutejo,
menyatakan bahwa Syamsuddin bagi al-Rumi bukanlah sekedar seorang guru
tetapi utusan Tuhan yang diutus untuk menyampaikan pengaruh spiritual
kepada al-Rumi untuk mengekspresikan dirinya dalam bentuk syair.18
Sedangkan berdasarkan sebuah data yang dikutip oleh Mojdeh Bayat
dan Mohammad Ali Jamnia dalam terjemahan Erna Novana, Syamsuddin
memiliki nama asli Muhammad Malikdad, kemudian diberi julukan matahari
agama atau Syamsuddin. Dia lahir di kota Tabriz, Persia tahun 1148 M. Di
masa kecil dia sudah menyukai perjalanan-perjalanan tasawuf. Dia ingin
sekali mengetahui hakikat cinta yang ada di dalam dirinya. Orang tua
Syamsuddin pun tidak mengerti tentang yang terjadi pada diri Syamsuddin.
14 Annemarie Schimmel, op. cit, hlm. 20-21 15 Mojdeh Bayat, Mohammad Ali Jamnia, Para Sufi Agung, Kisah dan Legenda, terj. Erna
Novana, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2003, hlm. 152 16 Seyyed Hossein Nasr, ( Editor ), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi,
terj. Tim. Penerjemah Mizan, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 143 17 KH. Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, hlm. 199 18 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Drs. Sutejo, Mizan, Bandung,
1994, hlm. 131
29
Ketika ditanya apakah dia menginginkan pakaian yang mahal maka dia
menjawab sebaliknya. Bahkan dia menginginkan ada orang lain yang mau
mengambil bajunya. Jawaban ini hanya akan dimengerti oleh orang-orang
yang telah mencapai perkembangan tasawuf yang tinggi, bahwa yang
dimaksud adalah baju egoismenya.19
Ketika dewasa, Syamsuddin memiliki seorang syaikh bernama Abu
Bakr Silah Baf. Waktu berguru yang singkat membuat sang guru menyadari
bahwa Syamsuddin telah mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Demikian
sehingga Syamsuddin tidak perlu lagi berguru bahkan disarankan oleh
gurunya agar dia menjadi seorang guru.20 Akhirnya dia mengembara sampai
ke Konya dalam mencari murid yang ideal. Pada suatu hari dalam usianya
yang ke-60, dia bertemu dengan Jalaluddin Rumi.21
Syamsuddin adalah sang mentari dan cahaya kebenaran Ilahi (Ziya’ul
Haqq).22 Dia juga seseorang yang mengetahui misteri sang nabi.23 Hubungan
al-Rumi dengan Syamsuddin adalah persahabatan yang bersifat abadi dan
mistik.24 Pertemuan itu membuat al-Rumi mengaku bahwa Syamsuddin
adalah orang yang telah dirindukannya, sama seperti Syamsuddin yang
kabarnya juga mencari seseorang yang mampu menerimanya dalam
mencurahkan diri dan bersatu dalam cinta Ilahi.25 Bahkan setelah bertemu
dengan al-Rumi, Syamsuddin mengatakan lebih suka bertemu dengan al-
Rumi daripada menjumpai ayahnya yang mati kemudian hidup lagi.26
Demikian halnya dengan al-Rumi, dia lebih memilih menghentikan
aktivitasnya sebagai seorang guru dan pendakwah demi memperkuat
persahabatan dengan Syamsuddin.27
19 Mojdeh Bayat, Mohammad Ali Jamnia, op. cit., hlm. 153 20 Ibid., hlm. 154 21 Ibid., hlm. 155 22 Amin Banani, dkk., Kidung Rumi; Puisi dan Mistisisme dalam Islam, terj. Joko S.
Kahhan, Risalah Gusti, Surabaya, 2001, hlm. 14 23 Annemarie Shimmel; op. cit, hlm. 28 24 Ibid., hlm. 29 25 Will Johnson, op. cit, hlm. 31 26 Leslie Wines, Menari menghampiri Tuhan; Suatu Biografi Rumi, terj. Sugeng
Hariyamto, PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2004, hlm. 159 27 Mulyadhi Kartanegara, op. cit, hlm. 5
30
Namun kedekatan spiritual yang luar biasa antara al-Rumi yang waktu
itu berusia 37 tahun dengan Syamsuddin yang berusia 60 tahun,membuat
penduduk Konya kebingungan dan marah.28 Kemarahan para murid al-Rumi
pun memuncak ketika Syamsuddin memperkenalkan tarian yang diiringi
musik, kepada al-Rumi. Menurut Syamsuddin tarian dan musik dapat
dilakukan oleh pribadi yang telah berkembang secara spiritual sebagai cara
berkomunikasi lebih intensif dengan Allah SWT.29 Dengan demikian
Syamsuddin telah mengubah al-Rumi dari seorang ahli hukum Islam menjadi
seorang pecinta Allah.30 Bagi al-Rumi, saat Syamsuddin menyapanya, yang
terdengar adalah suara Ilahi melalui bibir jasmani Syamsuddin.31 Kekuatan
spiritual al-Rumi terletak pada kasihnya, yaitu suatu pengalaman kasih dalam
makna manusiawi tetapi berdasarkan pada Allah.32
Dalam waktu beberapa bulan, al-Rumi dan Syamsuddin melakukan
pengasingan di sebuah ruangan untuk melaksanakan latihan menatap Sang
Kekasih melalui kontak tatapan mata dua sahabat karib itu.33
Sekembalinya dari pengasingan, para muridnya memandang al-Rumi
sungguh berbeda. Gurunya begitu tunduk pada kata-kata Syamsuddin yang
dianggap gila.34 Syamsuddin yang tak diketahui asal muasalnya telah
mempengaruhi guru mudanya itu, sehingga masyarakat Konya tak mau
sedikitpun membuka mata terhadap Syamsuddin. Karena situasi semakin
memburuk, Syamsuddin pergi secara tiba-tiba seperti waktu kedatangannya.
Hal ini membuat al-Rumi putus asa dan kemudian menulis puisi yang
ditujukan kepada Syamsuddin dan disebarkan ke seluruh dunia Islam. Dia
berharap puisi-puisi itu akan diterima oleh Syamsuddin dan berkenan untuk
kembali.35
28 Leslie Wines, op. cit, hlm. 172 29 Ibid, hlm. 175 30 William C. Chittik, op. cit, hlm. 4 31 Annemerie Schimmel, op. cit., hlm. 27 32 Annemarie schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono dkk.,,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 412 33 Will Johnson, op. cit., hlm. 38 34 Ibid., hlm. 40 35 Ibid., hlm. 42-43
31
Kira-kira satu tahun berlalu, terdengar berita bahwa Syamsuddin
terlihat di Damaskus. Lalu al-Rumi mengutus putranya, Sultan Walad, untuk
menjumpai Syamsuddin dan membujuknya kembali. Sultan Walad pun
berhasil, dan karena keputusan ayahnya, akhirnya masyarakat Konya
mengerti apa dan siapa Syamsuddin. Syamsuddin pun kembali tinggal
bersama al-Rumi.36
Tetapi dengan keakraban yang timbul kembali, membuat kecemburuan
putra kedua al-Rumi yang bernama Alaeddin kembali bangkit. Sehingga pada
waktu Syamsuddin dan al-Rumi sedang bercakap-cakap, Syamsuddin
dipanggil keluar, dan sejak itu Syamsuddin tidak pernah kembali lagi. Al-
Rumi tidak percaya kalau Syamsuddin telah menghilang. Menurut para
cendekiawan, Syamsuddin telah dibunuh melalui kerja sama diam-diam
dengan Alaeddin.37 Pernyataan tentang pembunuhan Syamsuddin ini juga
dikemukakan oleh Aflaki, seorang penulis awal biografi al-Rumi. Peristiwa
ini terjadi sekitar tahun 646 H atau 1248 M, setelah Syamsuddin menikahi
gadis muda pelayan rumah al-Rumi.38
Karena rasa rindu yang memuncak pada diri al-Rumi, akhirnya dia
memutuskan untuk pergi sendiri ke Damaskus untuk mencari Syamsuddin.
Tapi dia kembali ke kotanya dengan tangan kosong. Setelah itu al-Rumi
merasa membutuhkan seorang pengganti Syamsuddin sebagai tempat
mengungkapkan berbagai perasaan dan pandangannya. Lalu dia mengangkat
Syaikh Shalahuddin Fariduddin Zarkub yang merupakan seorang darwis dan
juga seorang tukang emas. Shalahuddin pun kemudian wafat sekitar tahun
660 H atau 1261 M.39
36 Ibid., hlm. 45 37 Annemarie Schimel, Dunia Rumi; Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi, op. cit.,
hlm. 23-24 38 Jalaluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya, terj. Anwar Holid,
Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, hlm. 12 39 Mulyadhi Kartanegara, op. cit., hlm. 8
32
Kemudian al-Rumi menjadi guru lagi, dan murid-muridnya pun
bertambah dari berbagai kalangan.40 Akhirnya al-Rumi menyadari bahwa
dirinya dan Syamsuddin adalah satu jiwa yang hanya terpisah oleh jasad. Al-
Rumi menghabiskan sisa hidupnya dengan menyanyi dan menari yang
merupakan ungkapan kerinduannya pada Syamsuddin yang mengandung
hubungan spiritual dengannya. Syair-syairnya pun merupakan pujian yang
ditujukan untuk sang sahabat yang telah pergi.41 Sehingga syair-syairnya pun
diilhami oleh sahabatnya yang hilang itu, sehingga di salah satu karyanya
disebut Diwan -I Syamsuddin-I Tabriz, yang berarti kekasihku Syamsuddin
dari Tabriz.42
Di sela-sela al-Rumi mengajar dan menulis, bernyanyi menari dan
berdo’a serta mengurus keluarganya, para santri mulai mendekatinya untuk
menyusun sebuah Matsnawi.43 Awalnya al-Rumi menulis Matsnawi atas
permintaan Husamuddin selama lima belas tahun. Setelah penulisan
Matsnawi, al-Rumi jatuh sakit dan meninggal dunia pada hari minggu, 5
Jumadil Tsaniyah 672 atau 16 Desember 1273, bersama dengan terbenamnya
mentari di Konya.44
Al-Rumi terkenal di Barat sebagai mistikus dan pujangga dari dunia
Islam yang terbaik.45 Dia berkarya mulai sejak kehilangan Syamsuddin
sampai akhir hayatnya.46 Karya-karyanya bukan hanya bermanfaat bagi kaum
muslimin tetapi juga seluruh umat manusia. Kebesaran al-Rumi dalam
bersyair terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan
perasaannya ke dalam bahasa yang indah, sehingga memiliki kedalaman
makna pula.47
40 Annemarie schimmel, Dunia Rumi; Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi, op. cit.,
hlm. 32 41 Will Johnson, op. cit., hlm. 50-51 42 Annemarie Schimmel, Dunia Rumi; Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi, op. cit.,
hlm. 25 43 Ibid., hlm. 33 44 Mulyadhi Kartanegara, op. cit., hlm. 9 45 Amin Banani, dkk., op. cit., hlm. 6 46 William C. Chittick, op. cit. hlm. 6 47 http://khamush.com/melayu
33
Seluruh syair al-Rumi menunjukkan bahwa penampakan luar hanyalah
selubung yang menutupi makna dalam. Hal ini berarti bahwa perasaannya
dengan Syamsuddin sesungguhnya menggambarkan perpisahannya dengan
Sang Kekasih.48 Murid-murid al-Rumi mengaku bahwa syair-syair al-Rumi
adalah lautan yang tidak pernah kering. Oleh karena itu, sebuah pemahaman
untuk salah satu ajaran al-Rumi menunjukkan tingkat pemahaman terhadap
seluruh ajarannya.49
Pada tahun-tahun akhir kehidupan al-Rumi, ciri karya-karyanya adalah
tipe-tipe puisi didaktik, karena bersifat mendidik.50 Puisi-puisi ini
menggunakan gaya metafora, karena metafora menjadi refleksi kesadaran
kehadiran Tuhan yang mana merupakan hal yang lebih penting dibandingkan
dengan sebatas mempelajari obyek pengetahuan yang bisa dipelajari hanya
melalui buku.51 Misalnya dia menggunakan kata matahari, yang mengacu
pada gurunya, Syamsuddin, dan juga pada beberapa aspek yang dihadirkan
dari Sang Kekasih ke dalam diri Syamsuddin.52 Bagi al-Rumi, metafora
adalah jembatan menuju realitas yang menunjuk kepada suatu kebenaran
tinggi.53
Para penyair besar Persi banyak yang mendalami ajaran sufi. Oleh
karena itu para penulis sufi pun lebih suka memakai bahasa Persi dari pada
bahasa Arab. Dan hal ini juga disebabkan oleh kosakata bahasa Persi yang
banyak berasal dari bahasa Arab sebab pengaruh ajaran Islam.54 Syair al-
Rumi ditulis dalam bahasa yang bisa dipahami oleh kaum Muslim Persi dan
melantunkan kepedihan perpisahan dari Kekasih serta tentang kebahagiaan
saat bersatu dengan-Nya.55 Karya-karya al-Rumi memang membahas tentang
48 William C. Chittick, op. cit., hlm. 5 49 Ibid., hlm. 14 50 Amin Banani, dkk., op. cit., hlm. 11 51 Jalaluddin Rumi,, Jalan Menuju Cinta, terj. Asih Rahmawati, Terompah, Yogyakarta,
2000, hlm. 11 52 Ibid., hlm. 13 53 Amin Banani, dkk., op. cit., hlm. 17 54 William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi, terj. Zaimul Am, Mizan, Bandung,
2002, hlm. 15-16 55 Ibid., hlm. 61
34
cinta.56 Dalam karya prosanya, al-Rumi menjelaskan makna sifat-sifat Allah,
yang mana Dia menciptakan dunia untuk memanifestasikan sifat-sifat-Nya
itu.57
Dalam puisinya, Rumi menggunakan simbol dan parabel . Karena
simbol adalah satu-satunya alat bagi para ahli mistik untuk dapat
mengungkapkan realitas yang melampaui akal agar mudah dimengerti oleh
para pengikutnya.58
Jika kita berbicara mengenai sebab-sebab yang membawa al-Rumi
menciptakan karya-karya tasawuf, Al-Ma’arif, karya ayah al-Rumi,
merupakan satu-satunya karya yang berpengaruh terhadap al-Rumi setelah
Al-Qur’an dan Hadits. Meskipun demikian ada juga yang mengatakan bahwa
al-Rumi menulis syair-syair itu sebagai ungkapan kesedihannya atas
kepergian sahabatnya Syamsuddin.59 Ma’arif berisi tentang ilmu Ketuhanan,
yaitu sebuah ikhtisar tentang ajaran-ajaran rohani yang sangat dikuasai al-
Rumi.60
Banyak sekali karya al-Rumi yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa Barat dari bahasa Inggris sampai bahasa Swedia, dan juga
bahasa Italia.61 Karya-karya ini meluas sampai ke Iran. Karya ini mempunyai
pengaruh besar di anak benua Indo-Pakistan dan terkenal sejak awal abad ke-
14.62
Karya-karya al-Rumi yang utama adalah Diwan -i Syams-i Tabriz yang
memuat lebih dari 40.000 syair dan Matsnawi yang memuat sekitar 25.000
syair, di samping karya-karya yang berupa kumpulan-kumpulan hikmah dan
surat-suratnya.63
56 Ibid., hlm. 126 57 Ibid., hlm 121 58 Jalaluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya, op. cit, hlm 18 59 William C. Chittick,. Tasawuf Dimata Kaum Sufi, op. cit., hlm 173 60 William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi; Ajaran-Ajaan Spiritual Jalaluddin Rumi, op.
cit., hlm. 1 61 Amin Banani, dkk., op. cit., hlm. 6 62 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, op. cit., hlm. 415 63 William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, op. cit., hlm. 6
35
Diwan adalah kumpulan puisi pendek,64 yang terkesan bahwa al-Rumi
pada tahun-tahun berikutnya sangat mengenang perjalanan keluarganya untuk
pergi dari Balkh dalam menghindari tentara Mongol.65 Dinamakan Diwan -i
Syams-i Tabriz yang memiliki arti kekasihku Syamsuddin dari Tabriz, karena
penulisan puisi ini merupakan dorongan dalam diri al-Rumi oleh cintanya
pada Syamsuddin.66 Diwan yang melukiskan tentang harapan-harapan Rumi
oleh kembalinya Syamsuddin.67 Yang paling menarik dari Diwan adalah
bahwa al-Rumi menandatangani kumpulan syair ini dengan nama
Syamsuddin dari Tabriz, seakan-akan Syamsuddin yang menulisnya.68
Sedangkan Matsnawi merupakan karya terpanjang al-Rumi,69 yang
terdiri dari enam jilid yang semuanya hanya memiliki satu tujuan yaitu
hubungan yang erat dengan Sang Mutlak.70 Pada akhir abad ke-15, Matsnawi
disebut sebagai al-Qur’an dalam bahasa Persia atau al-Qur’an dari Persia. Di
dalamnya memuat puisi-puisi didaktik dan mistikal yang termasyur di daerah
pinggiran Timur dunia Islam.71
Matsnawi ditulis oleh al-Rumi atas permintaan murid sekaligus
sahabatnya, Husamuddin, karena melihat sebagian besar murid-murid al-
Rumi banyak menggunakan waktu mereka untuk membaca syair-syair
didaktis Sana’i dan Attar, yang juga seorang penyair. Sehingga Husamuddin
meminta gurunya untuk menyusun sebuah Matsnawi sebagaimana puisi-puisi
Sana’i dan Attar.72
Matsnawi bukan hanya sekedar text book saja yang hanya memberi
kisah-kisah baru, tetapi lebih dari itu adalah work book atau buku kerja, dalam
arti kerja nyata. Oleh karena itu Matsnawi harus dipraktekkan dalam
64 Jaluluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya, op. cit., hlm. 15 65 Leslie Wines, op. cit., hlm. 73 66 Amin Banani, dkk., op. cit., hlm. 12 67 Leslie Winnes, op. cit., hlm. 192 68 Ibid., hlm. 218 69 Ibid., hlm. 22 70 Ibid., hlm. 20 71 Amin Banani, op. cit., hlm. 5-6 72 William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi; Ajaran-Ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi,
op. cit., hlm. 7
36
kehidupan sehari-hari sehingga bisa menjadi teman hidup kita.73 Karena
Matsnawi merupakan karya terbesar al-Rumi yang ditulis selama 15 tahun
ketika dia sedang mabuk cinta Allah dan ingin kembali ke hadapan-Nya.
Dalam karya ini ditekankan upaya pencapaian kebenaran, jalan mistik
paling terang menuju Tuhan dan merupakan pembuktian yang sangat jelas
akan eksistensi Tuhan.74 Para pengikutnya menyebut Matsnawi sebagai
wahyu tentang makna batin al-Qur’an. Karena karya ini membuat ajaran-
ajaran mistik al-Rumi yang indah dan kreatif melalui anekdot,75 hadis-hadis
nabi, dongeng, tema-tema foklor76 dan kutipan-kutipan dari al-Qur’an.77
Di dalam puisi-puisi ekstatis yang ada pada Diwan dan juga di bagian
akhir Matsnawi al-Rumi mengungkapkan perasaan bahwa segala sesuatu ada
di tangan Tuhan dan yang paling mengetahui cara menggunakan ciptaan-
ciptaan-Nya.78
Adapun karya yang ketiga yaitu Fihi Ma Fihi. Secara harfiah berarti
“Di dalamnya Ada di Sana”, atau dengan kata lain “Di dalamnya terdapat
seperti Apa yang Ada di Dalamnya.”79 Oleh karena itu dia merupakan karya
prosa al-Rumi yang paling penting dan merupakan pegangan yang sangat
bernilai dan petunjuk praktis menuju jalan Allah serta ungkapan kepribadian
al-Rumi.80 Karya ini ditulis oleh putra al-Rumi yang paling tua, Sultan
Walad,81 dan juga oleh pengikutnya setelah al-Rumi wafat, serta dari ingatan-
ingatan mereka dan dari catatan-catatan al-Rumi sendiri sebelum wafat.82
73 Anand Krishna, Masnawi 4, Bersama Jalaluddin Rumi Mabuk Kasih Allah, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 21-22 74 Fritz Meier, Sufisme Merambah ke Dunia Mistik Islam, terj. Sunarto, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004, hlm. V-VI 75 anekdot yaitu cerita singkat yang menarik dan mengesankan mengenai seorang tokoh.
Lihat Bidang Perkamuan dan Peristilahan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi I, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hlm. 35
76 Foklor yaitu cerita rakyat yang diwariskan tetapi tidak dibukukan. Lihat Ibid., hlm. 243 77 Mulyadhi Kartanegara, op.cit. hlm 12 78 Annemarie Schimmel, Dunia Rumi; Hidup dan Penyair Besar Sufi, op. cit., hlm. 104 79 Mulyadhi Kartanegara, Ibid. 80 Seyyed Hossein Nasr, Editor, Spiritualitas dan Seni Islam, op. cit., hlm. 138 81 Mulyadhi Kartanegara, Ibid. 82 Jalaluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya, op. cit., hlm. 14
37
Karya al-Rumi yang erat hubungannya dengan kandungan Fihi Ma Fihi
adalah Makatib atau disebut juga Maktubat. Makatib berisi kumpulan surat-
surat al-Rumi yang ditulis kepada para sahabat dekatnya. Surat-surat ini lebih
banyak mengungkapkan aspek kepribadian dan kehidupan batin para guru,
yang meliputi nasehat kepada para murid dan pujian kepada beberapa guru
yang mumpuni. Di samping itu juga berisi ajaran-ajaran dan petunjuk praktis
menuju jalan spiritual.83
Karya ini berisi 145 surat al-Rumi yang selain ditujukan untuk para
sahabat dekatnya, juga untuk para murid dan sanak keluarga. Sebagian isi
surat itu adalah rekomendasi untuk para pangeran dan kaum bangsawan yang
pernah menjadi sahabat al-Rumi,84 seperti juga dikatakan oleh William C.
Chittik dalam kutipan Mulyadhi Kartanegara.85
Kelima yaitu karya yang kemungkinan besar ditulis oleh al-Rumi,
Ruba’yyat. Kekuatan syair ini sebanding dengan Diwan dan Matsnawi, meski
tidak sepopuler kedua karya itu. Karya ini dipublikasikan dalam bahasa
Inggris berkat terjemahan selektif Arberry.86 Dinamakan juga dengan syair
empat baris atau kuatrain, yang berisi 1.600 kuatrain. Mencakup ide-ide
Rumi tentang tipe-tipe dalam sufisme, seperti tawakal, ikhlas, cinta, iman,
akal dan penyatuan. Selain itu juga merangkum beragam konsepsi cerdas dan
frase indah ke dalam bahasa sederhana dan bersifat ringkas.87
Karya selanjutnya adalah Maqalat-i Syams-i Tabriz yaitu percakapan
Syamsuddin Tabriz yang merupakan buah karya dari persahabatan spiritual
al-Rumi dengan Syamsuddin. Karya ini berisi dialog mistik antara
Syamsuddin sebagai guru dan al-Rumi sebagai murid.88
Yang terakhir yaitu Majlis-i Sab’ah atau tujuh pembahasan. Karya
prosa ini terdiri atas sejumlah pidato dan kuliah Rumi yang disampaikan
83 Seyyed Hossein Nasr, Editor, Spiritualitas dan Seni Islam, op. cit., hlm. 138-139 84 Mojdeh Bayat, Muhammad Ali Jamnia, Para Sufi Agung; Kisah dan Legenda, op. cit.,
hlm. 162-163 85 Mulyadhi Kartanegara, op. cit, hlm. 13 86 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, op. cit, hlm. 138 87 Mulyadhi Kartanegara, Ibid. 88 Ibid., hlm. 10
38
sebelum pertemuannya dengan Syamsuddin.89 Kebanyakan pidatonya dalam
bentuk nasehat dan konseling yang disampaikan dengan latar belakang yang
sesuai dengan kehidupan sehari-hari para pendengarnya.
Karya-karya al-Rumi tersebut merupakan warisan tertulis al-Rumi dan
merupakan ciri-ciri khas karunia yang mendasari pembentukan Tarekat
Maulawi yang didirikan oleh al-Rumi.90
B. Tarekat Maulawiyah
1. Sejarah dan Penyebaran Tarekat Maulawiyah
Tarekat berasal dari bahasa Arab يقه طر yang berarti garis sesuatu,
jalan, dan bisa juga bermakna keadaan. Tarekat juga berarti jalan atau cara
untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqamat) dalam rangka mendekatkan
diri pada Allah SWT. Dalam hal ini sufi melakukan latihan-latihan dalam
bidang kerohanian.91
Cikal bakal tarekat muncul pada abad ke-4 yang dipelopori oleh Abu
Said al-Muhari yang mendirikan tempat-tempat penginapan yang dikelola
secara khusus yang kemudian diubah menjadi markas sufisme. Kemudian
mulai menyebar di Irak, Mesir dan Maroko.92
Tarekat dapat diamalkan secara perorangan, tetapi biasanya
merupakan suatu lembaga. Pada mulanya tarekat merupakan perkumpulan
orang sufi yang berdiri spontan dan tanpa ikatan. Kemudian berkembang
menjadi organisasi sufi dengan peraturan-peraturan tertentu ke berbagai
wilayah-wilayah Islam. Hingga sekarang jumlah tarekat yang ada lebih dari
200 buah.93 Hal ini terjadi sejak sekitar abad ke-9 H.94 Sedangkan Tarekat
Maulawiyah sendiri muncul sebelum itu, yakni sekitar abad ke-7 H di
89 Ibid., hlm. 14 90 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, op., cit., hlm. 139 91 M. Muhsin Jamil, M.A., Tarekat dan Dinamika Sosial Politik; Tafsir Sosial Sufi
Nusantara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 47 92 Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukan Tasawuf; Gus Dur Wali?, Darul Falah, Jakarta, 1999,
hlm. 28-29 93 M. Muhsin Jamil, M.A., op. cit., hlm. 53 94 Hartono Ahmad Jaiz, op. cit. hlm. 30
39
Persia.95 Salah satu sumber terpenting dalam sejarah awal tarekat ini adalah
karya-karya al-Rumi.96
Selain karya-karya tulisannya, ada satu hal yang juga merupakan
sumber terbentuknya Tarekat Maulawiyah, yaitu sama’, yang meliputi
musik, nyanyian dan tarian spiritual. Jika dilihat dari riwayat kehidupan al-
Rumi sebagai pendiri tarekat ini, tarian spiritual muncul sejak terjalinnya
hubungan spiritual yang terjadi antara dua sahabat karib, al-Rumi dan
Syamsuddin.
Selama enam bulan mereka bersama akhirnya dapat mengubah
kehidupan al-Rumi sepenuhnya.97 Dan setelah peristiwa kehilangan
Syamsuddin, al-Rumi menyelenggarakan pertemuan-pertemuan sama’
untuk mengenang Syamsuddin. Dari pertemuan-pertemuan sama’ inilah
akhirnya terbentuk sebuah lembaga tasawuf yang memiliki ciri tarian
berputar yang dipimpin oleh al-Rumi, yaitu Tarekat Maulawiyah.98
Menurut Syaikh H. Jalaluddin dalam bukunya Abu Bakar
Aceh,Tarekat Maulawiyah merupakan salah satu dari 41 macam tarekat
yang sudah diakui kebenarannya di Indonesia.99 Selain itu juga merupakan
tarekat besar keempat yang lahir dan tumbuh di Turki, setelah Tarekat
Qadiriyah, Tarekat Suhrawardiah dan Tarekat Syadziliyyah.100 Tarekat ini
berpusat di Turki dan awalnya berkembang di daerah sekitarnya. Seni yang
ada di dalamnya membuat Tarekat Maulawiyah mempunyai pengaruh besar
dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar
tahun 1648 M.101
95 Prof. Dr. H. abdullah Malik Karim Amrullah, op. cit., hlm 152 96 Seyyed Hossein Nasr, (Editor), Ensikloipedi Tematis spiritualitas Islam Manifestasi, op.
cit., hlm. 151 97 Ibid., hlm. 144 98 Mojdeh Bayat, Muhammad Ali Jamnia, op., cit., hlm. 159 99 Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat; Kajian Historis tentang Mistik,
Cet. XIII, Ramadhan, Solo, 1996, hlm. 303 100 A. J. Arberry, Pasang Surut Tasawuf, Terj. Bambang Herawan, Mizan, Bandung, 1985,
hlm. 113 101 http;//khamush.com/melayu
40
Pada masa sekarang, Tarekat Maulawiyah paling banyak ditemui di
Anatolia, Turki dan perkembangan terakhir ada di Amerika Utara.102 Pada
tahun 1925 M, kegiatan sama’ dalam Tarekat Maulawiyah di Turki sempat
dilarang. Tetapi sekitar tahun 1954 M, sama’ diperkenankan kembali.
Awalnya, sama’ dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi akhirnya
bisa mendatangkan kekaguman oleh banyak penduduk Turki yang
disebabkan oleh unsur-unsur yang terdapat di dalamnya sampai mencapai
ekstase.103
Banyak ahli mistik klasik yang diilhami dari musik darwis Tarekat
Maulawiyah ini. Kenyataannya, lagu-lagu terbaik dari musik klasik Turki
banyak digubah oleh seniman-seniman yang mempunyai hubungan dengan
Tarekat Maulawiyah.104 Ahli-ahli kaligrafi dan miniatur pun banyak yang
tergabung dalam anggota darwis Maulawiyah. Tarekat ini melengkapi
masyarakat Turki dengan karya-karya seni muslim yang pernah
diciptakan.105 Pengaruh Jalaluddin Rumi telah menjadi daya kekuatan hidup
dalam perkembangan mistisisme kesusastraan dan seniman Turki.106
2. Ajaran-Ajaran dalam Tarekat Maulawiyah
Ajaran sufi secara umum yang diambil dari ajaran Islam meliputi
tiga kategori, Pertama, Syari’at yang mencakup ilmu dan seliruh ajaran
Islam. Kedua, tarekat, yaitu jalan yang ditempuh dalam mengamalkan
syari’at. Sedangkan yang ketiga yaitu hakikat, adalah keadaan batin yang
dicapai dalam perjalanan spiritual.107
Adapun inti ajaran dalam tasawuf sendiri adalah maqamat, yang
diambil dari pengertian tahalli, takhalli, dan tajalli. Tahalli adalah
penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji, misalnya dengan cara tawakkal,
102 Syaikh Fadhlalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, Terj. Ibnu Burdah dan Shohifullah,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 41 103 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, op. cit., hlm. 235 104 Ibid., hlm. 413 105 Ibid., hlm. 413-414 106 Ibid., hlm. 417 107 William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi; Ajaran-Ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi,
op. cit., hlm. 15
41
qana’ah dan tawadlu’. Takhalli adalah pengosongan diri dari sifat-sifat
tercela, misalnya dengan cara zuhud, wara’ dan taubat. Sedangkan yang
ketiga yaitu tajalli, adalah manifestasi, terbukanya tabir antara manusia
dengan Illahi. Dalam kondisi ini seseorang telah mencapai ma’rifat sebagai
insan kamil.
Menempuh jalan sufi berarti harus menaati perintah dan menjauhi
larangan Allah sesuai dengan yang telah disunahkan nabi, seperti yang telah
tercantum dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 21 sebagai berikut :
لقد آان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن آان يرجو الله واليوم
آثيرا الآخر وذآر الله“Sesungguhnya dalam diri nabi terdapat teladan yang baik bagi mereka yang mengharap bertemu Tuhan dan haru kemudian, dan senantiasa mengingat-Nya.”108 Jadi secara khusus tarekat berarti mengikuti keteladanan nabi.109
Untuk sampai pada hakikat yaitu pencapaian Tuhan, seseorang harus
mengintegrasikan ketiga dimensi ajaran tersebut ke dalam pengalaman
rohani seorang sufi.110
Menurut para sufi, untuk memenuhi tujuan sebuah tarekat sebagai
jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT., seseorang harus berusaha
mengenal dirinya. Dengan mengenal dirinya itulah maka dia akan mengenal
Tuhannya.111 Cara yang utama adalah dengan mengenal nafsu dan sifat-
sifatnya, lalu mengendalikannya.
Dalam praktek tasawuf seseorang yang menempuh jalan tasawuf
harus dengan bimbingan seorang mursyid atau guru spiritual yang
membawa para muridnya untuk mencapai tujuan spiritualnya.112 Karena
108 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Al-Waah, Semarang, 1989, hlm. 670 109 William C. Chittick, op. cit., hlm. 16 110 Ibid., hlm. 17 111 M. Muhsin Jamil, M. A., Tarekat dan Dinamika Sosial Politik; Tafsir Sosial Sufi
Nusantara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 59 112 Idries Shah, op. cit., hlm. 53
42
seorang guru atau mursyid atau disebut juga syaikh, adalah sebagai
pembimbing sempurna pada jalan spiritual menuju Allah.113
Dalam Tarekat Maulawiyah yang dibimbing oleh al-Rumi memiliki
ajaran yang sangat dikonsekuensikan pada kehidupan spiritualnya, yaitu
tentang cinta Illahi. Cinta adalah kekuatan Ilahiah yang memunculkan
eksistensi alam semesta, memunculkan semua aktivitas makhluk dan
memenuhi hati manusia dalam mewujudkan kesatuan dengan Allah. Oleh
karena itu cinta sesungguhnya adalah Tuhan itu sendiri, sebagai Pencipta,
Pemelihara dan tujuan alam semesta. Cinta adalah realitas tunggal dan cinta
yang ada dalam diri makhluk sesungguhnya adalah manifestasi Cinta
Illahi.114
Hal di atas sesuai dengan inti tasawuf al-Rumi yaitu kesatuan
dengan Allah, sehingga sudah seharusnya manusia menghadapi hidup
dengan hati besar dan sadar akan tempat asal mula.115 Al-Rumi memandang
hubungan manusia dengan Tuhan sebagai suatu prinsip yang menyeluruh
tentang dasar keberadaan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan tentu
saja akan kembali hanya kepada Allah SWT.116
Cinta adalah penghubung atau pengikat antara manusia dengan
Allah. Cinta juga merupakan tangga menuju tauhid atau keesaan Allah.
Dengan demikian cinta merupakan jalan menuju kebenaran yaitu kembali
kepada Allah.117
Bagi al-Rumi, rasa cinta akan menimbulkan kerinduan yang
akhirnya akan melahirkan sebuah ekspresi yang luar biasa. Dalam Tarekat
Maulawiyah, hal ini diibaratkan dengan seruling bambu yang mampu
melantunkan suara merdunya karena rasa rindu pada rumpunnya. 118
113 Seyyed Hossein Nasr.,Editor, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, op.
cit., hlm. 166 114 Ibid., hlm. 162-163 115 Prof. Dr. H. Abdullah Malik Karim Amrullah, op. cit., hlm. 171 116 Seyyed Hossein Nasr, Editor, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, op.
cit., hlm. 162 117 Ahmad Najib Burhani, (Editor), Manusia Modern Mendamba Allah; Renungan Tasawuf
Positif, IIMAN dan Hikmah, Jakarta, 2002, hlm. 37 118 Ibid., hlm. 41-42
43
Adapun tarian spiritual adalah sebagai ekspresi kecintaan pada Illahi yang
memunculkan gerakan-gerakan yang eksotik dengan iringan musik dan
nyanyian-nyanyian sufi. Tarian ini sebagai sarana atau metode ritual Tarekat
Maulawiyah dalam penyadaran spiritual para darwis .119
C. Tarian Spiritual Tarekat Maulawiyah
1. Pelaksanaan Tarian Spiritual Tarekat Maulawiyah
Menurut Ibnu Al-Hujwiri, ada beberapa aturan dalam pelaksanaan
tarian spiritual, antara lain :
- Seorang syeikh perlu hadir selama pertunjukan
- Tempat yang digunakan harus bebas dari orang awam
- Penyanyi harus orang yang dihormati
- Hati harus dikosongkan dari pikiran-pikiran duniawi
- Tidak cenderung memandang kegiatan tarian sebagai hiburan dan tidak
ada paksaan untuk melakukan tarian
- Tidak melebihi batas-batas wajar, mengikuti yang terjadi selama
pertunjukan
- Harus bisa mengetahui dorongan-dorongan yang mengarah pada
ekstase
- Tidak berkomunikasi dengan pihak manapun yang terlibat dalam
konser tari, kecuali hanya berkonsentrasi kepada Allah
- Motivasi konsentrasi hendaknya berasal dari diri sendiri, bukan dari
orang lain,120 sehingga bisa mengendalikan emosi.
Tarian Spiritual perlu dilakukan secara terus menerus tanpa
berhenti dalam suatu pertunjukan tertentu. Hal ini sebagai tanda
kekhusukan pikiran dalam cinta ilahi.121 Bagi pemula, jasad mereka
cenderung menentang pengaruh yang datang, oleh karena itu perlu
119 Cyril Classe, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. Ghufron A. Mas’adi, P.T. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, hlm. 266 120 Ibnu Usman Al-Hujwiri, Kasyf Al-Mahjub; Menyelami Samudra Tasawuf, Terj. Ahmad
Afandi, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2003, hlm. 492 121 Ibid., hlm. 477
44
dilakukan secara terus menerus hingga bisa menerima pengaruh tersebut.
Sebagaimana Rasulallah sewaktu melihat Jibril pertama kalinya, beliau
merasa tidak tahan, tetapi pada akhirnya justru merasa menderita jika Jibril
tidak datang.122
Sedangkan untuk melakukannya diperlukan beberapa hal yang
merupakan perlengkapan dalam pelaksanaan tarian spiritual dalam Tarekat
Maulawiyah. Beberapa hal yang diperlukan adalah sebagai berikut :
a. Grup
Tarian spiritual harus dilakukan oleh orang khawash. Hal ini
disebabkan para darwis yang telah mencapai tingkat khawash akan
dapat mendengarkan musik dengan hati, sehingga lebih bisa
berkonsentrasi hanya kepada Allah.123 Penari terdiri dari empat puluh
orang laki-laki atau bisa juga lebih.
Selain para penari, dalam satu grup pelaksanaan tarian
spiritual juga terdapat satu penyanyi dan beberapa pemain musik.
Selain itu ada juga seseorang yang bertugas membantu penari yang
berputar dengan sangat bergairah dan menjadikannya terkendali
dengan cara menyentuh bajunya.124 Tarian tersebut dipimpin oleh satu
pemimpin dan satu pembimbing.
b. Musik
Musik yang digunakan pada awal upacara tarian spiritual
adalah pembacaan ayat suci al-Qur’an dan nyanyian puji-pujian untuk
menghormati nabi, yang ditulis oleh al-Rumi sendiri.125 Puji-pujian itu
sering disebut naat, yang terjemahannya sebagai berikut :
Engkau adalah kekasih Tuhan, Oh tuan kami, wali Tuhan, Nabi Sang Pencipta tiada tandingan Engkau adalah wujud murni Yang telah dipilih diantara makhluk-makhluk Tuhan Oh sahabat dan sultanku,
122 Ibid., hlm. 480 123 Leslie Winnes, op. cit., hlm. 157 124 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, op. cit., hlm. 413 125 Ibid.
45
Engkau adalah kekasih Sang Abadi Wujud dalam semesta yang amat tinggi Engkau yang terpilih diantara nabi-nabi dan cahaya mata kami Oh tuan, wali Tuhan! Oh sahabat dan sultan, Utusan Tuhan, Engkau tahu betapa lemah dan tak berdayanya umatmu. Engkau adalah pembimbing orang-orang tak berdaya dan rendah dalam semangat, Wali Tuhan, sultan kami, Engkau adalah pinus di taman nabi Engkau adalah musim semi di dunia ilmu Engkau adalah cendana dan pohon mawar di taman para nabi Engkau adalah keliling dunia atas Syamsi Tabriz telah memuji kebesaran nabi Engkau adalah yang telah dibersihkan, yang dipilih, tegar dan agung Oh engkau penawar hati Wali Ilahi.126 Setelah naat selesai, kemudian syaikh memotivasi para penari
dengan ulasan-ulasan tentang tarian spiritual yang disebut taksim.
Kemudian dilanjutkan dengan taksim seruling yang merupakan alat
musik utama dalam tarian spiritual. Meskipun demikian, kadang-
kadang juga dimainkan peralatan musik petik yang menggunakan
senar.127
Jenis musik terakhir yang digunakan dalam pelaksanaan tarian
sakral ini yaitu pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an dan diakhiri
dengan do’a. Menurut seorang filosof dan musikolog al-Farabi,
hanyalah suara manusia yang bisa menghasilkan musik yang
sempurna, karena suara manusia mampu menyentuh tiga sifat dari
seni musik itu sendiri, yaitu bisa membawa kesenangan dan
ketenangan, membangkitkan emosi tertentu dan perasaan tertentu,
serta mengungkapkan tentang imajinasi dan ide-ide inspiratif yang
126 Dr. Hj. Sri Mulyati, MA., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Prenada Media,
Jakarta, 2004, hlm. 343 127 Ibid., hlm. 344
46
muncul dari jiwa.128 Sehingga musik yang paling indah dan paling
sempurna dari suara manusia adalah seni pembacaan kitab suci al-
Qur’an. Hal ini disebabkan melodi dan lagu yang paling indah dan
paling dirindukan oleh para penghuni surga adalah perkataan Allah
SWT, yang merupakan firman-Nya.129
c. Pakaian
Pakaian konser yang digunakan dalam tarian spiritual Tarekat
Maulawiyah adalah pakaian khusus. Pakaian tersebut terdiri dari
sebuah baju putih panjang tanpa lengan dan baju atasan putih lengan
panjang yang menunjukkan sisi rohani yang suci. Sedangkan mantel
hitam yang dikenakan sebelum melakukan tarian menunjukkan sisi
jasmani atau ego seseorang. Selain itu darwis juga memakai ikat
pinggang untuk mengikat dirinya supaya tetap berada di jalan tasawuf
yang ditempuh. Topi panjang meninggi juga menghiasi kepala para
darwis sebagai ungkapan kemurahan Allah SWT.
Perlengkapan yang lain adalah anting-anting yang
menunjukkan penghambaan. Hal ini disebabkan oleh beberapa
kelompok persaudaraan zaman dulu yang mana penerima anting-
anting berarti menjadi pengabdi bagi pemberi. Ini menandakan bahwa
para darwis hanya mengabdi kepada Allah sebagai pemberi
segalanya.130 Adapun pakaian darwis yang berbentuk seperti pakaian
wanita (rok panjang dan lebar) mensimbolkan bahwa mereka adalah
gadis-gadis pelayan Sang Raja Abadi, yaitu Allah SWT.131
d. Waktu dan Tempat
Waktu pelaksanaan tarian spiritual biasanya pada hari jum’at
tengah hari sesudah shalat jum’at berjamaah.132 Hari jum’at dipilih
128 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, op. cit.,
hlm. 614-615 129 Ibid., hlm. 604. 130 Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi; Memahami Islam Secara
Fenomenologis, terj. Ivor Normand, Mizan, Bandung, t. th., hlm. 86-88 131 Ibid., hlm. 170 132 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, op. cit., hlm. 413
47
karena hari jum’at merupakan hari baik bagi umat Islam. Tempat yang
digunakan adalah sebuah majelis khusus sehingga efektif untuk
berkonsentrasi kepada Allah.
e. Gerak
Setelah pujian untuk menghormati nabi dan ulasan dari syaikh
selesei, pada awal tarian, para darwis bergandengan tangan seiring
dengan alat musik yang dimainkan, kemudian membentuk lingkaran
seraya menyebut nama Allah. Mereka membungkukkan badan dan
melangkah ke kanan saat mengucap Allah. Dan mengulanginya
berkali-kali hingga lingkaran itu berputar cepat. Beberapa saat
kemudian, seorang darwis yang berada di tengah lingkaran mulai
berputar-putar dengan merentangkan kedua tangan. Gerakan ini
semakin cepat sesuai dengan musik yang dimainkan hingga bajunya
mengembang dan bertahan kira-kira sampai sepuluh menit.
Kemudian darwis tersebut memberi hormat kepada gurunya
yang ada di dalam lingkaran itu. Tanpa terkesan lelah dan pusing,
kemudian kembali bergabung dengan darwis-darwis lain yang masih
melingkar dan menyerukan nama Allah, sambil meloncat ke kanan.
Lalu enam orang yang lain membentuk lingkaran lagi dengan
meletakkan tangan mereka di atas bahu temannya dan berputar
semakin cepat sampai mencapai puncak dalam konsentrasi kemudian
gerakan mereda dan mereka kembali tenang.133
Dalam tarian ini para darwis membutuhkan pengendalian yang
besar dari seluruh anggota tubuh. Untuk hal ini dilakukan dengan
meletakkan sebuah paku besar di lantai yang diselipkan di antara ibu
jari dan jari kedua kaki kanan, kemudian menggunakannya sebagai
poros untuk berputar, tetapi sesekali dibantu dengan kaki kiri untuk
berputar. Dengan keadaan ini para darwis harus bisa mempertahankan
133 A.J. Arberry, op. cit., hlm. 115-116
48
posisi supaya tetap berada di tempat yang sama selama menari.134
Gerak tubuh para darwis ini berfungsi sebagai pendukung untuk
memudahkan zikir kepada Allah. Zikir ini dilakukan dengan
pemusatan anggota jiwa kepada kebenaran Ilahi yang diwakili dengan
menyebut nama-nama Allah secara lisan dan hati, maupun dalam hati
saja.135 Gerakan dalam tarian ini hanya berputar terus, namun untuk
memudahkan pemahaman dalam perolehan pengalaman spiritual
maka penulis menggunakan istilah gerak awal, tengah dan akhir
(gambar lihat lampiran).
Adapun posisi tangan yang dilakukan adalah dengan
merentangkan, tepatnya telapak tangan kanan mengarah ke langit
sementara tangan kiri mengarah ke bumi. Gerakan-gerakan ini
dilakukan dengan penuh konsentrasi dan dengan tempo yang mula-
mula lambat dan kemudian langkah kaki memutar semakin cepat
mengikuti tempo musik, tanpa kehilangan kontrol.136 Dengan
demikian terjadi sebuah pengalaman spiritual yang berbeda bagi
setiap penari, karena kondisi jiwa yang berbeda-beda.
Setelah mencapai ekstase, musik mulai mereda, kemudian
seorang hafizh di antara para penyanyi membaca ayat-ayat al-Qur’an.
Ketika hafizh memulai bacaan al-Qur’annya, para penari tiba-tiba
berhenti dan mundur ke pinggir ruangan dan duduk. Setelah selesai,
pemimpin tari berdiri dan memulai doa di depan sang syaikh. Doa
yang dibacanya biasanya cukup panjang. Doa ini biasanya ditujukan
untuk kesehatan dan hidup sang sultan, atau para penguasa negara.137
Untuk melengkapi tulisan ini, penulis menyertakan beberapa
hal yang menjelaskan tentang simbolisme dalam tarian spiritual dalam
134 Annemarie Schimmel, Dunia Rumi; Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi, op. cit.,
hlm. 12. 135 Martin Ling, Wali Sufi Abad 20, Cet. III, terj. Abdul Hadi W.M., Mizan, Bandung,
1993, hlm. 84 136 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, Terj, Arif Anwar, Pustaka Sufi,
Yogyakarta, 2003, hlm. 249. 137 Dr. Hj. Sri Mulyati, MA., op. cit., hlm. 344
49
hubungannya dengan jasmani dan ruhani para darwis. Beberapa hal
berikut adalah alasan-alasan dalam pelaksanaan tarian spiritual Tarekat
Maulawiyah yang merupakan cara kerja aspek jasmani dan rohani bagi
para darwis, yaitu :
- Keadaan jasmani akan mengikuti keadaan rohani
- Kekayaan rohani dapat diperoleh melalui praktek penguatan hati
yang mendatangkan rahmat Ilahi melalui sisi rohani manusia
- Kedekatan dengan dunia rohani akan menyebabkan ekstase,
sehingga dapat mencapai maqam persatuan dengan Allah
- Penyebutan nama Allah akan menembus wujud dalam keduniaan
dan melepas ruhnya sehingga terbuka lah hijab yang menutupi
realitas dan kebenaran Ilahi
- Dalam melakukan peribadatan, aspek lahir dan batin saling
terjalin.138
2 Maqam-Maqam yang Dilewati dalam Tarian Spiritual
Ada beberapa maqam139 yang harus dilewati oleh para darwis
dalam tarian spiritual Tarekat Maulawiyah, yaitu :
Pertama, tawajud, yaitu usaha yang dilakukan untuk mencapai
ekstase. Dalam tasawuf usaha ini dilakukan dengan gerak awal lahiriah
yaitu melalui tarian spiritual.140 Sebelumnya para darwis harus matang
dalam hal spiritual dengan melakukan beberapa disiplin atau latihan-
latihan (riyadhah) yang ketat dan selalu mengingat Allah secara terus
menerus (dzikrullah).141 Usaha ini yang dilakukan para darwis ini sesuai
138 Seyyed Hossein Nasr, dkk, Warisan Sufi, terj. Gafna Razha Wahyudi, Pustaka Sufi,
2002, hlm. 605-606 139 Maqam adalah istilah sufi untuk menyebut stasiun yang dilalui dalam perjalanan
spiritual. Lihat Seyyed Hossein Nasr, (Editor), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam Mnifestasi, op. cit., hlm. 614
Maqam merupakan tingkatan yang harus diusahakan oleh seorang sufi dalam rangka menuju ma’rifatullah (mengenal Allah) yang mana sifatnya adalah permanen atau tetap. Lihat Prof. Dr. H. Amin Syukur, MA., Tasawuf Kontekstual; Solusi Problem manusia modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 22
140 Ibnu Usman Al Hujwiri, op. cit., hlm. 488. 141 Fritz Meier, op. cit.,hlm. 111
50
dengan sabda nabi yang menyatakan bahwa jika kita membaca al-Qur’an
hendaknya menangis, tetapi jika tidak bisa menangis, maka hendaknya
diusahakan untuk menangis.142 Hal ini karena usaha untuk melakukan
sesuatu demi Allah itu diperbolehkan.
Hal di atas menyatakan bahwa tawajud dilakukan dengan cara
kontemplasi dengan ayat-ayat Allah. Tujuan tawajud adalah ekstase atau
wajd. Wajd dapat diperoleh jika ada stimulus, dan dalam hal ini stimulus
tersebut dilakukan dengan gerakan awal tarian.143 Orang-orang yang
melakukan tawajud, dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Meniru dan hanya bermain-main dalam bertawajud
2. Melakukan tawajud karena ingin mendapatkan ahwal melalui tiruan-
tiruan. Hal ini dilakukan setelah melakukan zuhud, sehingga tawajud
pada bagian ini berfungsi membersihkan hati dan sekaligus menghibur.
3. Melakukan tawajud sebagai jalan keluar dan usaha penumpahan
terhadap segala sesuatu yang dirasakan dalam hati. Ini bisa disebut
juga pelepasan emosi atau ekspresi jiwa atas kecintaan yang dirasakan
kepada Allah.144
Kedua, Wajd, yaitu sesuatu yang dirasakan karena sangat cintanya
kepada Allah. Cinta ini muncul karena di dorong rasa ingin dekat akibat
kerinduan dan cinta kepada Allah. 145 wajd dimaknai sebagai sesuatu
keinginan atau hasrat yang menyala-nyala untuk mencapai Allah.146
Ada juga yang mengartikan wajd sebagai kenikmatan yang dialami
seseorang ke dalam hati seorang darwis sebagai tanda terbukanya tabir
yang membatasi hubungan manusia dengan Tuhannya.147
Wajd dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu wajd yang batil dan
wajd yang benar. Kedua wajd ini bisa menghasilkan gerakan-gerakan
142 Ibid. 143 Dr. Abdul Muhaya, M.A, Bersufi Melalui Musik; Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh
Ahmad Al-Ghazali, Gama Media, Yogyakarta, 2003, hlm. xiii 144 Ibid., hlm. xiv 145 Ibnu Usman Al Hujwiri op. cit., hlm.486 146 Ibid., hlm. 487. 147 Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A, op. cit., hlm. 25
51
lahir, mempengaruhi batin seseorang, dan dapat merubah kondisi mental
seseorang. Adapun perbedaannya menurut Suhrawardi seperti yang dikutip
oleh Abdul Muhaya sebagai berikut :
Ada empat pendekatan untuk mencapai wajd yang digambarkan
oleh Ibnu Ajibah dalam kutipan Seyyed Hossein Nasr, yaitu:
1. Mencari Wajd, tingkat ini tergolong lemah sebab seorang darwis
masih dalam taraf latihan yang sangat dasar.
2. Wajd emosi, yaitu emosi yang tiba-tiba menguasai hati darwis tanpa
diupayakan. Hal ini bisa berupa hasrat yang menggairahkan dan
menggelisahkan ataupun ketakutan dan kecemasan.
3. Ekstase pertemuan yang disebut wijdan. Ini terjadi ketika darwis
mulai merasakan kehadiran Allah dari hatinya.
4. Tingkat terakhir ini merupakan kelanjutan dari yang ketiga setelah
terjadinya tingkat ketiga, kemudian terjadilah tingkat yang keempat
ini, yaitu ekstase atau wajd itu sendiri. Wajd disini berarti puncak
dalam melakukan gerakan-gerakan dan berkonsentrasi kepada
Allah.149
Adapun iringan musik pada tasawuf berfungsi untuk memperkuat
wajd yang lemah melalui kekuatan syair, lagu dan musik, sehingga
seorang sufi akan sampai pada tingkat wajd yang lebih kuat.150
148 Dr. Abdul Muhaya, M.A, op. cit., hlm. xv. 149 Seyyed Hossein Nasr, (Editor), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam Manifestasi, op.
cit., hlm. 607-608. 150 Dr. Abdul Muhaya, M.A., op. cit., hlm. xiv.
Wajd Batil Wajd Benar
1. Muncul dari dorongan hawa nafsu, terjadi pada siapa saja yang hatinya masih bergantung dengan selain Allah.
2. Pelakunya tertutup oleh hijab nafsu yang bersifat materi.
1. Muncul dari keinginan hati, terjadi pada siapa saja yang hatinya hanya mencintai Allah.
2. Pelakunya tertutup oleh hijab al Qalbi yang bersifat samawi.148
52
Wajd dalam bahasa inggris diartikan ekstase, yang artinya fly
(terbang), sedangkan secara terminologi yaitu suatu perasaan yang
ditimbulkan oleh rasa cinta yang sungguh-sungguh kepada Allah serta
kerinduan untuk dapat bertemu dengan-nya. Perasaan itu akan semakin
menggelora ketika sedang mendengarkan musik spiritual, seperti perasaan
tenang, merinding, takut, dan pasrah kepada Allah. Oleh karena itu
pengaruh yang dirasakan itu sangat kuat yang akhirnya melahirkan
gerakan-gerakan yang disebut dengan tarian spiritual pada tengah gerakan
sampai akhir gerakan.151
Seorang sufi yang sudah berada dalam kesadaran kecintaan hanya
kepada Allah, jika di beri lantunan syair dan lagu-lagu cinta kepada Allah,
maka rasa cinta dan rindunya kepada Allah akan meningkat. Dalam
kondisi ini bisa mencapai ekstase yang ditandai dengan gerakan-gerakan
spontanitas yang mengekspresikan kecintaannya kepada Allah melalui
tarian spiritual.152
Wajd harus dilakukan secara terus menerus supaya dapat mencapai
tingkatan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh karena kegiatan yang
dilakukan terus menerus secara psikologis adalah membantu kerja otak
kita untuk lebih berkonsentrasi sehingga merasa lebih mampu dan terbiasa
dari sebelumnya.153
Maqam yang ketiga dalam tarian spiritual yaitu wujud. Wujud
yaitu suatu kondisi spiritual seseorang yang telah lepas dari sifat-sifat
kemanusiaan dan yang dirasakan hanyalah hal-hal yang berhubungan
langsung dengan Allah. Dalam keadaan wujud, hati seorang sufi adalah
selalu terpaut dengan Allah serta melakukan tarian spiritual hanya karena
Allah dan semata-mata untuk Allah SWT.
Tingkatan atau maqam ini merupakan maqam tertinggi dalam
tarian spiritual karena merupakan penemuan kebahagiaan setelah
151 Ibid., hlm. xiv-xv 152 Ibid., hlm. xv-xvi 153 Drs. H. Abdul Qadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, terj. Subhan, Gema
Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 207.
53
mengalami berbagai usaha yang bisa membuatnya menderita.154 Wujud
juga disebut penyatuan dengan Tuhan.
Seorang darwis dikatakan menerima cahaya manifestasi sifat-sifat
Ilahi di saat dia melihat sesuatu, dirasakan pula Allah melihatnya.
Pengetahuan tentang segala sesuatu adalah pengetahuan tentang Allah itu
sendiri. Darwis dikatakan menerima cahaya keagungan Nama Ilahi,
ketika ia melihat sifat-sifat Allah ada dalam dirinya. Misalnya dia
merasakan Allah adalah satu-satunya Dzat yang Maha Mengetahui, maka
segala pengetahuan yang dimilikinya adalah pengetahuan Allah. Demikian
juga tentang kehidupan yang ada padanya sesungguhnya adalah kehidupan
milik Allah. Sedangkan darwis dikatakan menerima cahaya keagungan
esensi Ilahi hanya ketika dia sudah sepenuhnya melupakan dirinya, dalam
arti tidak sedikit pun menemukan ego dalam dirinya, karena yang ada
hanyalah milik Allah SWT.155
154 Ibnu Usman Al Hujwiri, op. cit., hlm. 486 155 Murtadha Muthahhari, S.M.H, Thabathba’i; Menapak Jalan Spiritual, terj. M.S.
Nasrullah,Pustaka Hidayah, Bandung, 1995, hlm. 141-142