Post on 06-Feb-2018
33
BAB III
KITAB FATHUL MU’IN
Bi SYARHI QURATI AL-’AIN BI MUHIMMATI AL-DIN
KARYA ZAINUDDIN IBN ABDUL AZIZ AL-MALIBARY
A. Gambaran Umum Kitab Fathul Mu’in
Kitab1 Fathul Mu’m merupakan karya Syaikh Zainuddin Ibn Syaikh
Abdul Aziz Ibn Zainuddin (pengarang Hidayah al-Adzk:ya Ila Tariqa al-A
ulya) Ibn syeikh Ali Ibn Syaikh Ahmad Asy-Syafi’i Al-Malibary al Fannani.
Zainuddin lbn Abdul Aziz M. Malibary menyelesaikan karyanya ini pada hari
Jum’at, 24 Ramadhan 892 H2.
Kitab ini merupakan syarah3 dan kitabnya Zainuddin Al-Malibary
sendiri yang berjudul “Qurrati a!-‘Ain bi Muhimmati al-Din” (Penghibur mata
dengan membahas ajaran agama yang penting), menjelaskan tujuan dan
manfaatnya serta menyempurnakan makna yang dipergunakan untuk
menghasilkan maksud tertentu. Yang menjadi pokok pembicaraan dalam kitab
1 Kitab secara bahasa adalah mengumpulkan sedangkan secara istilah adalah nama untuk
sesuatu yang khusus yang memuat abwab (bab-bab), fushul (fasl-fasl), furu’ (cabang-cabang) dan masa’il (masalah-masalah), lihat Syeikh Sayyid al-Bakri Ibn Sayyid Muhammad Syatha Dimyati, I’a nah al Thalibin, Semarang, Toha Putra, tt, Juz I, hIm. 21.
2 Zainuddin Ibn Abdulul Aziz al Malibary, Fathul Mu’in Bisyarhi Qurrata A- ‘Ain BiMuhimmati Al-Din, Semarang Toha Putera, tt, hlm. 152.
3 Syarah secara bahasa (Arab), memiliki arti sebagai berikut 1) memotong (qatha ‘a), 2) menyingkap (kasyafa), 3) menjelaskan (bayyana), 4) menafsirkan (fassara) mempelruas (wass‘a). Di dalam istilah fiqh, syarah bisa berarti penjelasan suatu istilah ataupun penjelasan dari sualu kitab secara keseluruhan. Kitab syarah selalu dibarengi dengan teks asli (matan) yang disyarah. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet I, 1997, hlm. 1165.
33
34
ini ialah membahas ilmu fiqh, kemudian diwujudkan dengan dalam sebuah
kitab secara singkat baik lafadz maupun artinya.4
Dalam kitab ini juga dipertegas bahwa sumber ilmu fiqh berasal dari al
Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas, faedahnya adalah untuk melaksanakan
semua perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya. Kitab Fiqh ini
berdasarkan madzhab Imam Mujtahid Abi Abdulillah Muhammad Ibn Idris
Asy-Syafi’i.
Kitab Fathul Mu’in ini diambil dari kitab-kitab mu ‘tamad (pegangan
para ulama) karangan gurunya Zainuddin Ibn Abdul Aziz al Malibary yakni
syeikh Syihabuddin Ahmad Ibn Hajar al-Haitami, juga dari mujtahid yang lain
seperti Wajihiddin Abdulurrahman Ibn Zihad Az-Zubaidi, Syaikhul Islam al-
Mujtahid. Zakria Al Anshari (820 H-920 H) dan Imam Ahmad Al-Mazjadi
Az-Zubaidi. Selain mereka juga terdapat Imam Nawawi (630 H - 676 H) dan
Imam Rafi’I (564 H — 624 H) sebagai sumber pengambilan serta ulama lain
seperti Syeikh Ibn Hajar dan lbn Ziyad.5
Menelaah Kitab Fathul Mu’in ini seakan kita melanglang buana karena
dalam kitab disamping pendapat Zainuddin M Malibary sendiri juga
ditampilkan pendapat-pendapat lain dari berbagai sumber yang terkadang
terjadi pro-kontra dalam suatu masalah. Namun demikian, sebagaimana
dinyatakan Azyumardi Azra, bahwa dalam penulisan kitab kuning tidak
4 Zainuddin Ibnn Abdul Aziz Al-Malibary, Fathul Mu‘in bi-Syarhi Qurata al-Ain bi
Muhimmati al-Din, Terj. Moch. Anwar “Terjemahan Fathul Mu’in”, Bandung, Sinar Baru, Algensindo, 1994, Cet I, hlm. 2.
5. Ibid hlm. 11
35
disertakan rujukan (referensi) dan footnote dikarenakan tradisi akademik yang
berlaku waktu itu belum terkondisikan seperti sekarang. Dengan demikian
sulit untuk melacak secara pasti apakah yang ditulis di dalam kilab kuning
merupakan pendapat pribadi atau pendapat orang lain.6
Dalam penulisan kitab ini Zainuddin Ibn Abdul Aziz Al-Malibary pada
setiap bab menyebutkan al-Fashl,7 aI-Fur’i,8 dan masalah-masalah umum,
juga di tambahkan dengan al-Tanbih9, al-Khatmah10 dan Titima.11’’
Sebagaimana kitab-kitab fiqh Iainnya, Kitab Fathul Mu’in secara garis
besar ditulis dengan sistematika sebagai berikut :
a. Khutbah al-Kitab (Muqaddimah), dalam bagian ini Zainuddin Ibn
Abdul Aziz AI-Malibary menguraikan tentang posisi kitab (sebagai
syarah), isi tulisan, tujuan penulisan dan pengambilan sumber
hukum.
b. Bab Shalat, dalam bagian ini diuraikan mengelul had orang yang
meninggalkan shalat, syarat-syarat shalat, al-Thaharah (yang
mengulas tentang wudhu, tayamum. mandi, pembahasan mengenai
haid dan nifas najis cara buang air besar dan kecil). Lebih lanjut
dalam bab ini diuraikan tentang rukun shalat. sunnah-sunnah shalat,
6 Azyumardi Azra , Jaringan ulama Nusantara Abad VII-IX, Bandung : Mizan, 1998,
hlm. 76. 7 Al-Fashl secara bahasa pemisah diantara dua hal, menurut istilah nama untuk kata-kata
khusus yang mencakup Al-Far’I dan masalah-masalah umum. 8 Al-Far’I secar bahasa sesuatu yang dibangun pada sesuatu yang lain, menurut Istilah
nama untuk kata-kata yang mencakup masalah-masalah umum. 9 Titel/Judul pembahasan yang sesuai dengan isyarah yang telah disebutkan dalam
pembahasan sebelumnya yang dapat di pahami seara global 10 Nama untuk kata-kata khusus yang di letakan pada akhir kitab atau bab. 11 Akhir dari kitab atau bab, kata titimah sepadan dengan Al-Khatimah. Lihat syeik
sayyid Al-Bakri Ibn Sayyid Muhammad Syatha Dimyati, Op-Cit, hlm. 21.
36
sujud sahwi dan tilawah, hal-hal yang membatalkan shalat, adzan
dan iqamat, shalat-shalat sunnah (shalat ied shalat gerhana dan
shalat istisqa), shalat jamaah. shalat jum’at, shalat musafir dan di
akhiri dengan shalat jenazah.
c. Bab zakat dalam bab ini diuraikan mengenai harta yang wajib di
zakati zakat fitrah, orang-orang yang berhak menerima zakat
(mastahiq al- zakat) dan macam-macam shadaqah.
d. Bab al-shaum, dalam bagian ini diuraikan tentang syarat-syarat
puasa, i’tikaf dan puasa sunnah.
e. Bab al-Hajj dan Umrah pada bagian ini dikaji seputar haji yakni
rukun dan wajib haji, hal-hal yang diharamkan bagi orang yang
ikhram, al-udhiyah dan al-aqiqah serta nadzar.
f. Bab al-Bai’, dalam bab ini dibahas mengenai riba, al-Qiradl, al-rahn,
orang yang bangkrut dalam usaha (al-muflis), hawalah, sulh,
wakalah, syirkah, syuf’ah, ijarah, ‘ariyah, ghosob, hibah, wakaf,
ikrar dan wasiat.
g. Bab al-faraidh, dalam bagian ini dikaji tentang pembagian harta
waris, hijab, ashabah, barang titipan, (wadi ‘ah) dan barang temuan
(luqathah).
h. Bab al-Nikah, dalam bagian ini dikaji tentang syarat, rukun nikah,
kafa’ah, mahar, walimah, ila, dhihar, thalak, ruju’, nafaqah, dan
Hadhanah.
37
i. Bab al-Jinayat, pada bagian ini ditulis mengenai riddah, had, ta’zir,
ash shiyal, jihad, qadha, gugatan (al-Da’wa), pembuktian (al-
bayyinat) kesaksian dan sumpah.
j. Bab memerdekakan budak, dalam bab terakhir ini dibahas mengenai
al khitabah, aI-tadbir dan umm al walad.
k. Bagian penutup, yakni ucapan pujian dan shalawat atas selesainya
penulisan kitab oleh Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al-Malibary dan
harapan-harapannya dengan wujudnya kitab Fathul Mu’in.
B. Pendapat Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al-Malibary Tentang Syarat
Perpindahan Madzhab
Kaitannya dengan perpindahan madzhab, dalam kitab Fathul Mu’in
dijelaskan, bahwa seseorang yang bermadzhab dengan salah satu madzhab
diperbolehkan untuk intiqal al-madzahib (berpidah dan satu madzhab ke
madzhab lain). Untuk lebih jelasnya maka dikutip persoalan ini sebagai
berikut:
“Apabila seorang awam berpegang kepada suatu madzhab, maka dia harus menurutinya. Jika tidak mau menurutinya, ia diharuskan memegang salah satu diantaranya madzhab yang empat, tetapi tidak boleh yang lainnya. Kemudian ia diperbolehkan berpindah madzhab ke madzhab yang lain secara keseluruhan, sekalipun dia telah mengamalkan madzhab yang pertama, atau dalam beberapa masalah tertentu, tetapi dengan syarat jangan terjadi rukhshah yang berturut-turut”. Pengertian mengambil rukhsah secara berturut-turut ialah mengambil dari setiap madzhab masalah-masalah yang paling ringan saja. Kemudian disadur menjadi suatu sikap. Dan janganlah seorang awam mentalfiq (mengacak) dan pendapat yang pada akhirnya menghasilkan hakikat yang tumpang tindih, padahal masing-masing dan kedua pendapat yang diacaknya itu tidak mengatakan demikian.”12
12 Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al-Malibary, Op-Cit, hlm.1698-1700.
38
Dalam masalah syarat perpindahan madzhab Zainuddin Ibn Abdulul
Aziz Al-Malibary juga mengambil ketentuan-ketentuan yang digunakan oleh
guru gurunya, sebagaimana disebutkan lebih lanjut dalam kitab Fathul Mu’in.
sebagai berikut:
“Di dalam kitab Fatawi Syeikh (guru) kami disebutkan, barang siapa ber taqlid mengikuti seorang imam dalam suatu masalah, maka ia diharuskan berpegang kepada ketentuan madzhab tersebut dalam masalah yang dimaksud dan semua hal yang berkaitan dengannya”.13 “Guru kami seorang ulama ahlu at-Tahqiq, Ibnu Ziyad, megatakan di dalam kitab al Fatawi”, yang kami simpulkan dari perumpamaan mereka adalah penggabungan madzhab yang di cela hanya terdapat pada kasus bila penggabungan tersebut di lakukan dalam satu masalah”)14 Dari penjelasan diatas, mengenai syarat perpindahan madzhab dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Madzhab yang boleh diikuti (untuk berpindah) hanya empat
madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).
b. Tidak mencari keringan dengan mengambil yang mudah-mudah dari
setiap madzhab.
c. Tidak mencampur adukan (talfiq) antara dua pendapat (qaul) yang
dapat menimbulkan kenyataan (haqiqat) yang tidak dikatakan oleh
keduanya.
d. Perpindahan madzhab tadi tidak dalam satu permasalahan
(qadhiyah).
13 Ibid., 14 Ibid., 1698-1700.
39
C. Metode Istinbath Hukum Zainuddin Ibn Abdul Aziz Al Malibary Tentang
Syarat Perpindahan Madzhab.
Istinbath’15 sistem atau metode para mujtahid guna menemukan atau
menetapkan suatu hukum. Istinbath erat kaitannya dengan fiqih, dengan segala
kaitannya tak lain merupakan hasil ijtihad para mujtahid dalam menemukan
hukum dan sumbernya (Al-Qur’an dan Al-Hadits), sebagaimana dikatakan
oleh Abu Zahrah:
نصوص القران الكريم والسنة النبوية هي الثي يقوم عليها آل
16 اسثنباط في الشريعة االسال مية Artinya : “Nash Al-Qur ‘an dan Al-Sunnah adalah alat berpijak setiap
istinbath (pengambllan hukum) dalam syariat Islam”
Mengkaji tentang istinbath hukum syarat perpindahan madzhab tidak
bisa lepas dari kajian historis adanya konsep bermadzhab, dimana dalam
perspektif historis perkembangan menarik dapat di kemukakan di sini bahwa
setelah Rasulullah wafat, generasi muslim di hadapkan pada berbagai
problematika baru yang memaksa mereka menggunakan pertimbangan mereka
sendiri dan mencatat tradisi-tradisi yang sampai melalui rangkaian mata rantai
periwayat. Pada tahap ini, istilah fiqh kemudian memiliki sentuhan makna
15 Lebih jauh istimbath didefinisikan dengan satu kaidah dalam ilmu ushul fiqh yaitu
menetapkan hukum dengan cara ijtihad atau hal mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yang telah ditetapkan oleh syarah. Ushul fiqh, ialah ilmu yang menyelidiki keadaan dalil-dalil syarah serta menyelidiki bagaimana caranya dalil tersebut menunjukan hukum-hukum yang berhubungan dengan mukaIlaf. Lihat M Abdul Mujieb et.el, Kamus Istilah Fiqih Bandung: Pustaka Firdaus, Cet I, 1994, him. 129.
16 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar Al Fikr, Al-Arobi, t.t, hlm.115
40
yang lebih dekat kepada penggunaan kecerdasan (Exercise of Intellegence)
dan kental dengan watak intelektualnya.17
Secara garis besar sejarah perkembangan hukum Islam dapat dibagi ke
dalam lima periode, yakni periode Rasul, periode Sahabat, periode tadwin dan
Imam-Imam Mujiahid (masa ke emasan), periode Taqlid (masa kemunduran)
dan periode kebangkitan kembali (pembaharuan hukum Islam).18 Sementara
Abu Ameenah Bilal Philips, membagi perkembangan fiqh, secara tradisional
dibagi menjadi enam tahapan utama, sebagai berikut: (a) Fondasi, masa Nabi
Muhammad (609-632 M) (b) Pembentukan, masa Khulafaur-Rasyidin, sejak
wafatnya Nabi SAW sampai pertengahan abad ke-7 M (632-611) (c)
Pembangunan, sejak berdirinya Dinasti Umayyah (661 M) sampai
kemundurannya pada pertengahan abad ke-8 M, (d) Perkembangan, dari
berdirinya Dinasti Abbasiyyah pada pertengahan abad ke-8 sampai permulaan
kemundurannya sekitar pertengahan abad ke-l0 M, (e) Konsolidasi, runtuhnya
Dinasti Abbasiyyah sejak sekitar 960 M, sampai pembunuhan Khalifah
Abbasiyyah terakhir di tangan orang-orang Mongol pada pertengahan abad
ke-13 M, (f) Stagnasi dan Kemunduran, sejak penjarahan kota Baghdad 1258
M sampai sekarang.19
Keberadaan madzhab-madzhab di awali dari pendapat perseorangan
kemudian diikuti oleh murid-muridnya, lalu dianggap sebagai pendapat yang
17 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang : Aneka Ilmu, Cet I, 2000, hlm. 53. 18 Ibid., 59. 19 Lihat Abu Ameenah Bilial Philips, The Evolution of Fiqh Islamic Law and The
Madhabs, Terj. M. Fauzi Arifin “Asal Usul dan Perkembangan Fiqh” Bandung : Nusamedia, Cet I, 2005, thn. XVII.
41
paling kuat di daerah atau kota tertentu, ketika itulah mereka maka disebut
dengan madzhab sebuah kota atau daerah, yang seolah menjadi sebuah
konsensus (Ijma’) dan masyarakat kota atau daerah tersebut. Maka ada
madzhab Hijazi (madzhab Madinah dan madzhab Makkah), madzhab Iraqi
(madzhab Kufah dan madzhab Basrah) dan madzhab Syami, dan dalam
sejarahnya tiga madzhab besar ini adalah madzhab atas dasar kedaerahan.20
Dalam perkembangan berikutnya, madzhab yang semula sangat
terdominasi olah pendapat kedaerahan, lalu kembali lagi ke pendapat
perseorangan. Di antara sekian banyak madzhab yang paling populer ada
empat madzhab di kalangan ahli al-Sunnah wa al-jama’ah atau biasa disebut
dengan Madzhab Sunni. Jadilah nama (1) madzhab Hanafi, yang dinisbatkan
kepada nama mujtahid Abu Hanifah A1-Nu’man Ibn. Tsabit (W. 150/ 767),
(2) madzhab Maliki yang dinisbatkan kepada nama Malik Ibn Anas (W. 179/
795), (3) madzhab Al-Syafi’i yang dinsbatkan kepada nama Muhammad Ibn
Idris Al Syafi’i (W. 204/ 819) dan (4) madzhab Hanbali yang dinisbatkan
kepada nama Abu Abdulillah Ahmad Ibn Hanbal (W. 241/ 855).21
Bagaimanapun madzhab-madzhab hukum tersebut telah melahirkan
rumusan-rumusan metodologi bagi kajian hukum yang amat luas dan
komprehensip sehingga memberikan peluang dan kemudahan kepada generasi
muslim berikutnya untuk lebih mengembangkan kajian-kajian hukum dan
menjalankan ketentuan-ketentuan syari’ah secara lebih baik. Berkembangnya
madzhab-madzhab tersebut seharusnya membuat hukum Islam itu menjadi
20 A. Qadiri Azizy, Reformasl Bermadzhab, Jakarta: Traju, Cet I, 2003, hIm.15. 21 Ibid., hlm. 18.
42
lebih fleksibel, adaptif dan akomodatif terhadap ritme perubahan dan
dinamika masyarakat.
Akan tetapi, perkembangan berikutnya justru menampakkan
kecenderungan yang sebaliknya hukum Islam menemui titik anti klimaks dan
memasuki periode keterpakuan tekstual (Jumud) atau periode taqlid.
Zainuddin Ibn Abdul Aziz Al-Malibary dengan pendapatnya tentang
syarat perpindahan madzhab adalah termasuk tokoh yang hidup pada periode
taqlid (sejak pertengahan abad ke empat hijriyah), hal ini bisa dilihat dari hasil
karyanya yakni kitab Fathul Mu ‘in yang selesai ditulis pada tahun 982
Hijriyah. Dalam muqodimah (pembukaan) kitab Fathul Mu’in, Zainuddin Ibn
Aziz Al-Malibary dengan terang-terangan menyebutkan bahwa ia adalah
pengikut madzhab Syafi’i,22 disamping penjelasan bahwa kitab Fathul Mu’in
adalah syarah yang sumberya diambil dan ulama-ulama madzhab Syafi’i
seperti Syekh Syihabuddin Ahmad Ibn Hajar Al-Haitami, Syekh Wajihiddin
Abdulrrahman Bin Ziyad Az Zubaidi, Syekh Zakaria Al-Anshori, Syekh
Ahmad Al-Majadi Az-Zubaidi, Imam Nawawi, Imam Rafi’i juga Syekh Ibnu
Hajar dan Ibnu Ziyad.
Melihat basil karya Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al Malibary (Fathul
Mu’in) dan guru-gurunya seperti Syekh Zakariya Al Anshory (826-926 H
1423-1520 M) maka masa hidupnya sekitar abad 10 Hijriyah, di mana
fenomena yang muncul dan sikap para ulama dan pengarang abad ini adalah
mereka pada umumnya menganut sikap taqlid dan sedikit sekali yang
22 Lihat Zainuddin Ibn AM A1-Malibaiy, Fathul Mu ‘in, Semarang : Toha Putra, tth, him.
3.
43
mencoba melakukan ijtihad untuk mentarjih pendapat-pendapat para ulama
sebelumnya. Sedangkan para penulis mengikuti cara otak-atik matan (teks
asli) lalu menjelaskannya, setelah itu mereka membuat hawasyi (penjelasan
atas penjelasan).23
Mengenai taqlid fuqaha pada umumnya berpegang pada teks nash A1-
Qur’an surat an-Nahl : 43
24 آنتم ال تعلمون نفسئلوا اهل الذآر ا
Artinya: “Tanyakanlah kepada ahli dzikir (orang-orang pandai) apabila kamu tidak mengetahuinya “. (QS. An-NahI: 43)
Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam tafsir al Maraghi menjelaskan
bahwa Ahl al-Zikri adalah Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat al-Anbiya, 21: 105.25.25 Sementara M. Quraish
Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah menguraikan:
Bahwa kata Ahl al-Dzikri pada ayat ini dipahami oleh banyak ulama
dalam arti para pemuka agama Yahudi dan Nasrani, Mereka adalah orang-
orang yang dapat memberi informasi tentang kemanusiaan para rasul yang
diutus oleh Allah. Mereka wajar ditanyai karena mereka tidak dapat dituduh
berpihak pada informasi Al-Qur’an sebab mereka juga termasuk yang tidak
23 Abdullah Mustofa, Al Maraghi Fat al Mubin F! Tabaqat al Ushuulyyin, Terj. Husein
Muhammad, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Yogyakarta : LKPSM Cet. I, 2001, hlm. 302. 24 Lihat Khairul Umam, Ushul Fiqh, Bandung Pustaka Setia, Cet I, 1989, him. 157.
Bandlingkan dengan Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf 1995, hIm. 161. Abdu1 Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan, Noer Iskandar, Al Barsany, Muhammad Tholchah Mansoer “Kaidah-Kaidah Hukum Islam” Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. VIL 2000, hIm. 355.
25 Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid 14, Terj. Bahrun Abu Bakar, et al, Semarang : Toha Putra, 1992, Cet II, hlm. 155.
44
mempercayainya, kendati demikian persoalan kemanusiaan para rasul mereka
akui. Ada juga yang memahami istilah ini dalam arti sejarawan, baik muslim
atau pun non muslim.26
Lebih lanjut ia mengatakan:
“Walaupun penggalan ayat ini turun dalam konteks tertentu, yakni obyek pertanyaan, serta siapa yang ditanya tertentu pula, namun karena redaksinya yang bersifat umum, maka ia dapat dipahami pula sebagai perintah bertanya apa saja yang tidak diketahui atau diragukan kebenarannya kepada siapapun yang tahu dan tidak tertuduh obyektifitasnya”27
Masa hidup Zainuddin Ibn Aziz Al-Malibary adalah masa dimana
fuqaha dan semua madzhab merasa bahwa setiap problem hukum yang
esensial telah dibahas dan diselesaikan secara menyeluruh oleh para fuqaha
besar sebelumnya, perkembangan selanjutnya pemahaman ini seolah menjadi
konsensus bahwa tidak ada seorang pun yang dianggap memiliki syarat-syarat
yang dibutuhkan untuk melakukan ijtihad mandiri. Sehingga ijtihad yang
berkembang dibatasi hanya untuk melakukan penjelasan, penerapan dan justru
pada umumnya merupakan interpretasi terhadap doktrin (hasil ijtihad ulama
terdahulu).
Para ulama Pada periode taqlid, tidak berijtihad sebagaimana ulama
besar alasan yang muncul adalah bahwa seluruh persoalan telah dikaji dan
dibahas, sehingga tidak lagi membutuhkan ijtihad. Seiring dengan perjalanan
tersebut, muncullah sebuah konsep baru tentang madzhab, yaitu satu dan
empat mazhab tersebut harus diikuti oleh seorang muslim agar ke-Islamannya
absah. Pada gilirannya konsep ini tertanam kokoh di kalangan umat dan juga
26 M. Quraish Shihab, Tafsir A1-Mirahgi, Jakarta : Lentera Hati, 2004, Cet II, Vol 7, hlm.235-236
27 Ibid.,
45
fuqaha. Akibatnya agama Islam menjadi terbatas dalam kerangka empat
madzhab yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.28
Dengan deskripsi di atas maka istinbath hukum yang digunakan
Zainuddin Ibn Abdul Aziz Al-Malibary tentang syarat-syarat perpindahan
madzhab lebih mengacu pada teks normatif Al-Qur’an (QS. An Nahl : 43)
sebagaimana pandangan fuqaha yang bertaqlid dengan metode penalaran
bayani, sekaligus interpretasi dari Zainuddin Al Malibary sendiri di dalam
memahami beragamnya madzhab hukum.
Metode bayani yang digunakan oleh fuqaha di atas adalah metode
yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (sematik) : kapan suatu lafadz
diartikan secara majas, bagaimana memilih salah satu arti dan lafadz
musytarak (ambigu), mana ayat yang umum, yang diterangkan (‘am,
mubayan, lex generalis) dan manapula yang khusus, yang menerangkan
(khash, mubayyin, lex specialis) mana ayat yang qath ‘i (yang artinya tidak
dapat berubah) dan mana pula yang dzanni, (yang artinya masih mungkin
untuk dikembangkan) dan seterusnya.29
Lebih lanjut dapat dijabarkan bahwa pendekatan bayani merupakan
studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan teks
(wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak. Adapun akal hanya menempati
kedudukan sekunder yang bertugas menjelaskan dan membela teks yang ada,
28 Ameenah Bilal Philips, Op-Cit, hIm. 147. 29 Amir Mu’allim Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta, UII
Press, Cet. I, 2004, him. 72.
46
oleh karenanya kekuatan pendekatan ini terletak pada bahasa, baik pada
tataran gramatikal dan struktur maupun sastra.30
Dengan bahasa lain apa yang dilakukan Zainuddin Ibn Abdulul Aziz
Al-Malibary dalam mengetengahkan syarat perpindahan madzhab tidak jauh
berbeda dengan fuqaha pada massanya (qarnu at-taqild) yakni membaca nash
syara’, menta’wilkannya31 dan mencari persesuaian antar berbagai hal yang
sepintas nampak bertentangan, serta mengistinbathkan hukumnya dengan cara
meninjau ucapan para imam, menta’wilkan dan mentarjihkan, namun lebih
jauh Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al Malibary sekaligus membuat konklusi
hukum atas realitas yang ada yaitu keberadaan imam-imam besar madzhab
yang memiliki produk hukum yang berbeda-beda (khilafiyah)32 dengan
membuat syarat perpindahan madzhab.
30 Ibid.,hlm. 108. 31 Ta’wil secara lughawi berarti pengembalian, tetapi dalam rangka penafsiran A1-Qur’an,
kata itu telah mengalami perkembangan makna bagi ulama salaf, ta’wil sama maksudnya dengan tafsir. Tetapi bagi ulama mutaakhirin, ta’wil berarti memilih satu makna yang dipandang lebih kuat dari banyak maknanya karena terdapat alasan yang kuat untuk itu, lihat. Harun Nasution, et.al (eds) Ensikiopedi Islam 3, Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1988, hlm. 972, Mana’u al-Quthan, Mabahis Fl Ulum Al Qur ‘an, Semarang : Toha Putra, t.th, hlm.. 325
32 32 lihat M. Abdul Mujieb, et.aI, Op. Cit, hlm. 118