Post on 30-May-2018
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
1/23
BAB IV
REPRESENTASI KONSTRUKSI WAHYUNASHR HAMID ABU ZAYD
TERHADAP EKSISTENSI AL-QURAN
A. Tema-tema PokokMafhum Al-Nash dan Klasifikasinya
Ali Harb menyebut Abu Zayd sebagai salah satu
mutakhashshish (spesialis) dalam studi Al-Quran.1 Abu Zayd
pertama kali mengkaji Al-Quran melalui bukunya Al-Ittijah
al-Aqliy fi al-Tafsir; Dirasah fi Qadhiyyah al-Majaz fi Al-Quran
inda al-Mutazilah (1993), sebuah studi tentang majaz Al-Quran
menurut Mutazilah. Kajian kedua dalam studi Al-Quran adalah
Falsafah al-Tawil; Dirasah fi Tawil al-Quran inda Muhidin Ibn
Araby (1996), sebuah kajian tentang metodologi takwil Ibn
Araby. Buku Mafhum al-Nass yang sedang dikaji ini merupakan
kajian ketiga. Beliau secara mendalam (tahliliyan) dan kritis
(naqdiyan) dalam studi ilmu Al-Quran.
Seperti umumnya buku dan kitab ilmu-ilmu Al-Quran, baik
yang klasik maupun kontemporer, Abu Zayd mengkaji ilmu-ilmu
Al-Quran, mulai dari pengertian wahyu, al-makkiy wa al-
madaniy, asbab al-nuzul, al-nasikh wa al-mansukh, al-Ijaz, al-
munasabah, al-manthuq wa al-mafhum, al-amm wa al-khash
sampai pada polemik tafsir dan takwil. Melihat daftar rujukannya,
1 Secara khusus Ali Harb mengomentari pemikiran Nasr dalam babberjudul Nashr Hamid Abu Zayd; Khitab Yunahidh al-Ushuliyah walakinnahu
Yaqifu ala Ardhiha. Lihat Ali Harb, Al-Nash wa al-Haqiqah Ii Naqd al-Nash,(Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafiy al-Islami, tth), hlm. 199-220.
1
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
2/23
bisa dikatakan bahwa buku ini merupakan kajian yang serius
terhadap ilmu-ilmu Al-Quran. Sesuai dengan jargonnya untuk
menggauli turats secara kritis (al-taammul al-naqdiy), Abu Zayd
mengutip dan mengkritisi karya-karya Al-Zarkasyi, Al-Suyuthiy,
Al-Ghazali, Al-Baqillaniy dan tokoh-tokoh klasik lainnya.2
Abu Zayd melengkapi buku ini dengan sebuah
pendahuluan (tamhid) yang cukup sempurna berjudul Al-Khitab
al-Diniy wa al-Manhaj al-Ilmy (Wacana Keagamaan dan
Metodologi Ilmiah). Dalam tamhid-nya ini, Beliau menjelaskan
telasi teks (baca: Al-Quran) dan kebudayaan secara teoritis.
Selain menuangkan pemikiran orisinalnya, ia juga mengutip
pendapat Amien Al-Khully (Maddah Tafsir), Hasan Hanafi (al-
Turrats wa al-Tajdid, 1981), Roman Jakobson (Linguistics and
Poetics, 1960), Al-Suyuthiy (al-Itqan fi Ulum al-Quran), Yourie
Lotman (Nadzariyat haul al-Dirasah al-Semiotika li al-Tsaqafat),
Ibn Quthaibah (Tawil Mukhtalaf al-Hadits, 1326 H.) dan Shahih
al-Muslim, untuk sekedar menjadi contoh atau untuk mendukung
pemikirannya. Referensi ini dapat menjadi bukti, betapa kuatnya
pengaruh linguistik dalam kajian-kajian Abu Zayd.
Abu Zayd menganggap bahwa peradaban Arab Islam
adalah peradaban teks. Artinya, seluruh ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Arab Islam tumbuh dan berkembang dalam
2 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum.., op.cit., hlm. 117-134.
2
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
3/23
pengaruh teks. Tapi bukan berarti bahwa hanya teks yang
menjadi faktor penentu. Beliau menegaskan bahwa peradaban
lahir sebagai hasil trialektika manusia, realitas dan teks. Ketiga
unsur inilah yang menentukan lahirnya sebuah peradaban.
Pergulatan antara manusia dengan realitas dalam bidang
ekonomi, sosial, politik dan budaya plus satu unsur khas
geografislah yang melahirkan peradaban. Oleh karena itu, Abu
Zayd menyebut peradaban Mesir Kuno sebagai peradaban
eskatologis, peradaban Yunani sebagai peradaban akal dan
peradaban Arab sebagai peradaban teks.3
Mafhum al-Nash adalah respons intelektual Abu Zayd
terhadap interpretasi pragmatis dan ideologis atas Quran yang
beliau jumpai selama melakukan kajian atas pemikiran
Mutazilah, wacana Sufi, dan wacana religio-politik sejak tahun
1950-an. Beliau yakin bahwa dengan mendefinisikan hakekat
obyektif teks, interpretasi ideologis dapat direduksi sebesar
mungkin. Teks haruslah dilihat sebagai sebuah teks linguistik
historis yang muncul dalam lingkungan kultural dan historis
tertentu. Langkah selanjutnya adalah bahwa teks haruslah dikaji
dan diinterpretasikan secara objektif dengan menerapkan
metodologi dan teori ilmiah yang dikembangkan dalam studi-
studi tekstual dan linguistik. Dalam hal ini, beliau berargumen
3Ibid., hlm. 9.
3
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
4/23
bahwa satu-satunya cara untuk mengkaji dan
menginterpretasikan Quran adalah melalui metode linguistik (al-
manhaj al-lughawi) dalam pengertian biasanya. Buku ini
mengekspresikan proyeknya untuk merekonstruksi studi Quran
tradisional (Ulum al-Quran). Namun sayangnya, meskipun judul
buku ini adalah Mafhum al-Nash, beliau tidak mendefinisikan
secara jelas apa yang beliau maksud dengan nash/teks itu.4
Memang Abu Zayd tidak mengajukan definisi secara pasti
tentang apa yang dimaksudkannya dengan teks, terutama
dalam bukunya Mafhum al-Nash (Konsep Teks)), hal yang
seharusnya dia lakukan.5 Namun meskipun demikian, Abu Zayd
menyebutkan distingsi antara nash (teks) dan mushaf (buku).
Yang pertama (teks) lebih merujuk kepada makna (dalalah)
yang memerlukan pemahaman, penjelasan dan interpretasi,
sedangkan yang kedua (mushaf) lebih merujuk kepada benda
(syay), baik suatu benda estetik ataupun mistik.6
4 Tentang kritik Ali Harb dan Hasan Hanafi atas buku ini, lihat AliHarb, Naqd al-Nash. Beirut: al-Markaz al-Saqafi al-Arabi, 1995, edisi kedua,hlm. 199-220. Hasan Hanafi, Qiraat Mafhum al-Nash. Ard wa Murajaah,Hiwar al-Ajyal. Kairo: Dar Quba, 1998, hlm. 409-32.
5 Kritik tentang hal ini, lihat Hasan Hanafi, Qiraah Mafhum al-Nash:Ard wa Murajaah, dalam Hiwar al-Ajyal. Kairo: Dar Quba, 1998, hlm. 416; Jabir Aspur, Mafhum al-Nash wa al-Itizal al-Muasir, dalam Hawamish AlaDaftar al-Tanwir. Kuwait: Dar Saad al-Sabah, 1994, hlm. 72-3.
6 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash, op. cit., hlm. 15. Inimengingatkan kita akan distingsi Roland Barthes tentang teks dan karya(work), meskipun tidaklah sama persis. Karya, menurut Barthes, adalahsebuah obyek yang selesai, sesuatu yang dapat dihitung (computable), yangmenempati suatu ruang fisik, sedangkan teks adalah sebuah ranahmetodologis (methodological Field). Karya dipegang dalam tangan, teksdipegang dalam bahasa(The work is held in the hand, the tezt in languange).
Roland Barthes, Theory of the Text, dalam Robert Young (ed.), Untying theText: A Post-Structuralist Reader. London and New York: Roudledge and Kegan
4
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
5/23
Abu Zayd membagi teks menjadi dua, yakni teks primer
dan teks sekunder. Teks primer dalam pemikiran Islam adalah
Quran, sedangkan teks sekunder adalah sunnah Nabi, yakni
adalah komentar tentang teks primer.7Abu Zayd
mengklasifikasikan teks-teks keagamaan yang diproduksi oleh
para Sahabat dan Ulama lainnya sebagai teks-teks sekunder
lain, yang merupakan interpretasi atas teks primer dan teks
sekunder.8 Oleh karena itu, teks sekunder hanyalah interpretasi-
interpretasi atas teks primer; yang tidak bisa berubah menjadi
teks primer. Kalau teks sekunder menggeser teks primer maka
manipulasi atas teks primer akan menjadi tak terkontrol. Dalam
hal ini, dalam bukunya Al-Imam al-Syafii wa Tasih al-
Aydiyulujiya al-Wasatiyyah,9 Abu Zayd menuduh Imam Syafii
merubah teks sekunder menjadi teks primer, dan teks primer
menjadi teks sekunder.
Sebagaimana golongan filosof bahasa lainnya, Abu Zayd
juga melakukan sekularisasi dan historisasi terhadap semua
bentuk teks, termasuk Al-Quran. Teks Al-Quran adalah produk
budaya/peradaban selama kurang lebih 20 tahun. Tapi beliau
Paul, 1981 (dicetak ulang 1987), hlm. 39. Lihat. Editor: Abdul Mustaqim Sahiron Syamsudin, Studi Al-Quran Kontemporer; Wacana Baru BerbagaiMetodologi Tafsir, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 153.
7 Tentang teks primer dan teks sekunder, bandingkan dengan konsepFoucault dalam The Archeology of Knowledge & the Discourse on Language.New York (dll); Harpher Colophon Book, 1972. hlm. 221. Teks primer adalahteks original, sedangkan teks sekunder adalah komentar terhadapnya.
8 Nashr Hamid Abu Zayd, al-Tafkir, op.cit., hlm. 134-35.9
Kritik Abu Zayd atas al-SyafiI, lihatlah Abu Zayd, Al-Imam al-SyafiIwa Tas Is al-Aydiyulujiya al-Wasatiyyah. Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992.
5
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
6/23
tetap memandang Al-Quran sebagai sesuatu yang mulia.10 Iman
dalam hal ini tidak bertentangan dengan historisitas teks Al-
Quran. Ketika menurunkan wahyu kepada Muhammad, maka
sebenarnya Allah melakukan pemilihan terhadap aturan-aturan
bahasa. Dan dalam proses itu, tidak mungkin bahasa mengalami
kehampaan budaya. Oleh karena itu, tidak mungkin memahami
teks tanpa memahami konteks dan aturan-aturan bahasa.
Hubungan dialektis antara teks dan konteks menghasilkan
dua fungsi teks; fungsi alamiahnya sebagai pemberitahuan (al-
Ilam) dan fungsinya sebagai penghubung antara pembicara (al-
mutakallim) dan lawan bicara (al-mukhatab) atau antara
pengirim (al-mursil) dan penerima (al-mustaqbil). Dalam hal ini,
adalah tepat mengatakan bahwa Al-quran adalah al-risalah yang
mengharuskan adanya unsur pengirim (Allah) dan penerima
(Muhammad).
Dalam kasus Al-Quran, Allah sebagai al-mursil tidak
mungkin menjadi obyek kajian ilmiah. Maka kemudian, realitas
(yaitu aktivitas manusia sebagai mukhathab teks) dan budayalah
yang menjadi objek kajian itu. Maka selanjutnya adalah sangat
niscaya melakukan kritisisme ilmiah (metode kritik teks)
terhadap Al-Quran. Memahami Islam berarti berhadapan dengan
Al-Quran dan Hadits yang sarat dengan teks. Dan bahwa teks Al-10 Wawancara Prof. Dr. Nashr Hamid Abu Zayd, Tafsir Tidak Pernah
Berhenti dalam Panji Masyarakat, No. 30 Th 1, 10 Nopember 1997, hlm. 12-14.
6
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
7/23
Quran dan Hadis tidak turun atau terjadi dalam seketika, tetapi
keduanya turun dalam kurun waktu 23 tahun sesuai dengan
proses perkembangan masyarakat.11
Abu Zayd mengemukakan tiga ide tentang tekstualitas
Quran yang didasarkan atas ungkapan Quran sendiri: Pertama,
kata wahy dalam Quran secara semantik setara dengan
perkataan Allah (kalam Allah) dan Quran adalah sebuah pesan
(risalah). Sebagai perkataan dan pesan, Quran meniscayakan
dirinya untuk dikaji sebagai sebuah teks. Kedua, urutan
tekstual surat dan ayat dalam teks Quran tidak sama dengan
urutan kronologis pewahyuan.Urutan kronologis pewahyuan
(tanjim) Quran merefleksikan historisitas teks, sementara
struktur dan urutan yang ada seperti sekarang merefleksikan
tekstualitasnya. Sebuah genre spesifik dalam Ilmu Quran,
korelasi antara ayat dan surat (Ilm al-munasabah bayn al-ayat
wa al-suwar), telah diciptakan untuk menyediakan kepada
penafsir sebuah interaksi aktif dengan teks, karena dalam
korelasi ini tersimpan kemungkinan-kemungkinan yang bisa
terungkap dalam proses pembacaan.Ketiga, Quran terdiri dari
ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat yang jelas), yang merupakan
induk (backcone) teks, ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat
ambigu), yang harus dipahami berdasarkan atas ayat-ayat
11 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum.., op.cit., hlm. 26-27.
7
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
8/23
muhkamat. Keberadaan dua macam ayat ini merangsang
pembaca buakn hanya untuk mengidentifikasi ayat-ayat
mutasyabihat, namun juga melihatnya bisa menentukan bahwa
ayat-ayat muhkamat adalah kunci untuk melakukan penjelasan
dan klarifikasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat.12
Tekstualitas Quran mengarahkan pemahaman dan
penafsiran seseorang atas pesan-pesan Quran. Tekstualitas
Quran meniscayakan penggunaan perangkat-perangkat ilmiah,
yakni, studi-studi tekstual modern. Pengabaian atas aspek
tekstualitas Quran ini, menurut Abu Zayd akan mengarah
kepada pembekuan makna pesan, dan kepada pemahaman
mitologis atas teks. Ketika makna membeku dan baku (Frozen
and Fixed), ia akan dengan sangat mudah dimanipulasi sesuai
dengan interes ideologis seseorang atau pembaca.13 Namun,
pendapat terakhir ini agak membingungkan, karena ditempat
lain, Abu Zayd juga mengatakan bahwa makna hampir-hampir
baku (almost fixed) disebabkan karena historisitasnya.14
Rekontruksi pemikiran Islam yang ditawarkan dalam
Mafhum al-Nash nampak sejalan dengan proyek Hasan Hanafi
12 Abu Zayd, The Textuality of the Koran, Islam and Europe in Pastand Present. NIAS, 1997, hlm.47-48; Divine Attributes in the Quran: SomePoetic Aspects, dalam John Cooper at al. (eds.), Islam and Modernity.(London. NY: I.B. Tauris 1998), hlm. 195-97. Lihat. Moch Nur Ichwan, Thesis..,op.cit., hlm. 74.
13
Abu Zayd, Divine,Ibid., hlm. 192; The Textuality, hlm. 43.14 Abu Zayd, The Textuality, ibid., hlm. 51.
8
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
9/23
tentang tradisi dan pembaharuan (al-turas wa al-tajdid), yang
merupakan bagian dari pembaharuan yang meletakkan secara
bersama otentisitas dan kekontemporeran (al-asalah wa al-
mumarasah).15 Namun Abu Zayd membedakan dirinya dari
Hasan Hanafi dengan menekankan bahwa pembaharuan yang
didasarkan atas dasar-dasar ideologis dan mengabaikan
kesadaran ilmiah atas tradisi tidak lebih dari pada adopsi buta
(taqlid).16 Kritik Abu Zayd terhadap kecenderungan ideologis
Hasan Hanafi di sini masih lebih lunak ketimbang kritiknya dalam
Naqd al-Khitab al-Din.
Abu Zayd mempunyai dua tujuan dalam melakukan studi
Quran, yang juga merupakan tujuan ditulisnya Mafhum al-Nash.
Yakni, pertama adalah untuk mengaitkan kembali studi Quran
dengan studi sastra dan studi kritis (al-Dirasat al-Adabiyyah wa
al-Naqdiyyah). Menurutnya, studi Islam dan Quran didasarkan
pertama dan utamanya atas teks. Studi tentang Quran
sebagai sebuah teks linguistik meniscayakan penggunaan studi
linguistik dan sastra. Mengkaji Quran sebagai sebuah teks
semacam ini, baginya adalah jawaban terhadap seruan Amin al-
15 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah Fi Ulum al-Quran. Kairo: Al-Hayah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 1993, hlm. 18;Hasan Hanafi, al-Turas wa al-Tajdid, hlm. 11, 13. Lihat. Moch Nur Ichwan ,Thesis, op. cit., hlm. 20.
16 Inna al-tajdid ala asas al-Aidiyuluji duna istinadin ila wayinilmiyyin bi al-turas la yaqillu fi khuturatihi an al-taqlid, Nashr Hamid AbuZayd, Mafhum, op.cit., hlm. 17. Statemen ini merupakan kritik general ataskecenderungan ideologis para pemikir pencerahan sejak Jalal al-Din al-Afghani
sampai Hasan Hanafi.
9
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
10/23
Khuli dalam Manahij al-Tajdid-nya.17 Untuk melakukan hal ini,
Abu Zayd mengadopsi teori-teori mutakhir dalam bidang
linguistik, semiotik, dan hermeneutik dalam kajian-kajiannya
tentang Quran. Tujuan yang kedua adalah untuk mendefinisikan
pemahaman obyektif tentang Islam (al-mafhum al-mawdui li
al-Islam) yang terhindar dari kepentingan-kepentingan ideologis.
Abu Zayd sadar akan kenyataan bahwa selalu saja ada
kelompok-kelompok yang menggunakan Islam secara ideologis
untuk mendukung tujuan-tujuan politik dan ekonomi mereka.18
Mafhum al-Nash Dirasah Fi Ulum al-Quran diterjemahkan
akan berbunyi Konsep Teks (Kajian atas Ilmu-ilmu Al-Quran).
Teks dalam judul ini, dan juga dalam buku ini pula, maksudnya
adalah Al-Quran itu sendiri. Al-Quran adalah salah satu teks
dengan kandungan universal yang mengenainya sudah banyak
orang berbicara dan menulis, namun demikian tetap saja belum
diketahui dengan baik.19 Al-Quran dianggap sebagai kitab suci
yang lengkap, sempurna dan mampu mengatasi serta
melampaui teks-teks lain dalam sejarah. Mengapa? Sebab Al-
Quran merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah (melalui
17 Editor: Abdul Mustaqim Sahiron Syamsudin, Studi Al-QuranKontemporer.., op.cit., hlm. 152. Lihat. Amin al-Khuli, Manahij al-Tajdid Fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab. Kairo: Dar al-Marifah, 1961,hlm. 304-315.
18 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas}s}, op. cit., hlm. 21-2.19 Dengan mengambil kasus masyarakat Perancis sebagai contoh,
harus diakui bahwa, walaupun sudah terdapat berbagai macam terjemahanQuran, kitab ini masih berada pada dataran gagasan-gagasan sederhana,
bahkan terkena berbagai prasangka berabad-abad. Lihat. Mohammed Arkoun,Berbagai Pembacaan Quran, (Jakarta: INIS, 1997), hlm. 47-8.
10
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
11/23
Malikat-Nya) kepada umat manusia. Ruh dan spirit keilahian Al-
Quran-lah yang membuatnya tahan dari pelbagai kritik dan
gempuran.
Salah satu isu sentral yang dimunculkan dalam buku ini
adalah perbincangan di seputar Teks. Di sini, konsep Teks
merupakan konsep sentral dalam ilmu-ilmu Al-Quran. Al-Quran
sebagai sebuah teks, pada dasarnya merupakan produk budaya.
Maksudnya adalah bahwa teks terbentuk dalam realitas dan
budaya lewat rentang waktu lebih dari dua puluh tahun. Apabila
teks tersebut terbentuk dalam realitas dan budaya maka banyak
unsur dan hal yang memiliki peran dalam membentuk teks-teks
tersebut. Terjadilah dialektika yang dinamis antara teks dengan
kebudayaan (lebih luas lagi: peradaban). Maka, salah satu hal
yang urgen untuk dikaji dalam buku ini adalah mengenai
mekanisme-mekanisme teks dari segi hubungan teks dengan
teks-teks lain dalam peradaban di satu pihak, dan dari segi
mekanisme-mekanismenya dalam memproduksi makna di pihak
lain. Selain itu juga diungkapkan perubahan yang menimpa
konsep teks dalam pemikiran (keagamaan).20
Pemilihan kata teks yang merujuk pada Al-Quran
dimaksudkan untuk menghindari konotasi teologis-mistis dalam
kajian ini. Sebagai kajian ilmiah, kesan semacam itu dibuang
20
Pengantar Penerjemah, Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Quran..,op. cit., hlm. Vii.
11
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
12/23
jauh-jauh seiring dengan tujuan Abu Zayd untuk menciptakan
kesadaran ilmiah terhadap tradisi intelektual Arab-Islam. Oleh
karena itu, Al-Quran sebelum disebut sebagai Al-Quran dalam
pengertian sucinya, diperlakukan sebagai teks tanpa atribut apa
pun sebagaimana teks-teks yang lain. Ini dilakukan untuk melihat
teks Al-Quran secara polos tanpa harus dimasuki bias-bias
ideologis yang selalu membayangi kajian kitab suci.
Sebagaimana pesan yang tertulis dalam buku ini, Al-Quran
menampik untuk dihadiri secara dogmatis dan ideologis. Menurut
Nashr Hamid Abu Zayd, Sebagaimana Allah tidak memiliki
ujung, demikian pula tidak ada ujung bagi pemahaman kalam-
Nya; setiap orang dapat memahami Al-Quran, sesuai dengan
potensi yang dibukakan kepadanya.Dan sejalan apa yang
dikutip Abdul Karim Soroush, Bahwa Tak ada yang sakral di
dalam masyarakat manusia. Kita semua adalah manusia-
manusia yang bisa salah. Meskipun agama itu sakral,
penafsirannya tidak sakral. Yang abadi adalah agama itu sendiri
dan bukan pemahaman kita tentangnya. Dan oleh karena itu
dapat dikritik, dimodifikasi, diverifikasi, dan didefinisikan
kembali21.
Dalam buku ini terdiri dari tiga bab dan persoalan penting,
yaitu format dan formatisasi oleh teks, mekanisme teks, dan
21
Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas Dan Tradisi Agama,(Bandung: Mizan, 2002), hlm. XVII.
12
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
13/23
pergeseran konsep dan fungsi teks.22 Dalam bab pertama, format
dan formatisasi oleh teks (Tasyakkul dan Tasykil), Al-Quran
ditempatkan dalam bingkai proses komunikasi. Apabila dalam
proses pembentukan formatnya, Al-Quran berhenti sampai
dengan meninggalnya Nabi maka dalam proses formatisasi oleh
teks, Al-Quran terus berinteraksi dengan kebudayaan melalui
penafsirnya. Oleh karena Al-Quran yang ada di hadapan kita
merupakan hasil proses komunikasi maka dalam pembentukan
formatnya banyak faktor yang terlibat, seperti kondisi penerima
pertama (Muhammad), sasaran daya yang mengelilingi mereka.
Sementara dalam proses formatisasi oleh teks, Al-Quran
membentuk budaya, dalam rangka mengubah situasi sosial dan
budaya menuju situasi yang dikehendakinya, tidak secara
langsung, tetapi melalui nalar manusia yang menafsirkannya.
Sebagai teks agama, aspek inilah yang menjadi karakter
utamanya. Namun demikian, konsep semacam ini dalam
kesadaran umat pada umumnya justru terabaikan.
Apabila dalam proses pembentukan formatnya, teks
diimani sebagai cuplikan dari teks yang azali maka dalam proses
formatisasi oleh teks, teks Al-Quran dianggap mampu mengubah
situasi dan kondisi secara langsung tanpa perantara nalar
manusia yang menafsirkannya. Hal ini terlihat sangat menonjol
22
Pengantar penerjemah, Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas..,loc.cit..
13
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
14/23
dalam penggunaan dalil-dalil Al-Quran untuk memberikan
penilaian suatu persoalan yang terjadi. Apabila dalam fase
pertama wahyu memperhatikan situasi dan kondisi maka dalam
fase belakangan wahyu dipakai untuk memaksa situasi dan
kondisi, dalam pengertian penggunaan dalil-dalil tersebut
mengabaikan situasi. Ini dapat terjadi sebagai akibat dari aspek
sakral yang menjadi tekanan di dalam memahami fenomena Al-
Quran maupun dalam pembentukan format dan formatisasi oleh
Al-Quran.
Dalam bab kedua, (Aliyyat al-Nash) mekanisme teks, buku
ini berbicara tentang bagaimana teks bekerja dalam
memproduksi makna, menurut logika apa teks bekerja. Ada dua
hal yang dikemukakan di sini. Pertama, teks bekerja, tentunya
melalui nalar mufassir, secara intertekstual. Fenomena Al-Quran
dilihat dalam kaitannya dengan teks-teks lain yang mendahului
atau yang ada pada saat Al-Quran muncul. Dalam tradisi Arab
dikenal teks-teks semacam syiir, nashr, sajperdukunan, amtsal,
risalah dengan karakteristiknya masing-masing. Dalam kaitannya
dengan teks-teks yang ada di dalam budaya ini teks Al-Quran
memiliki dua wajah, persamaan dan perbedaan. Melalui wajah
persamaan fenomena Al-Quran dipahami dalam perspektif teks-
teks tersebut. Melalui wajah perbedaan Al-Quran menempatkan
dirinya sebagai sesuatu yang lain dari teks-teks tersebut. Ia
14
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
15/23
memiliki wajah persamaan karena ia muncul dalam realitas
budaya yang memiliki muatan teks-teks tersebut. Sementara
wajah perbedaan yang dimilikinya mencerminkan kreatifitasnya
sebagai sesuatu yang baru bagi budaya terkait. Aspek kelainan
teks Al-Quran inilah yang justru mengundang perhatian
masyarakat Arab pada saat itu sedemikian rupa sehingga
mereka tidak dapat mengklasifikasikan teks tersebut ke dalam
teks-teks yang sudah ada. Kedua, teks Al-Quran bekerja secara
otonom setelah teks tersebut diubah menjadi mushhaf. Apabila
dalam bagian pertama teks bekerja dalam kaitannya dengan
teks di luar maka bagian kedua teks bekerja dalam kaitannya
dengan teks-teks lain dalam mushhaf itu sendiri. Dalam bahasa
ulama Al-Quran yufassiru badhuhu badhan (antar bagian-
bagian Al-Quran saling menafsirkan satu sama lain).
Dalam bab ini, Abu Zayd menjelaskan (1) relasi teks Al-
Quran dengan teks-teks lain dalam perjalan budaya dan (2)
proses produksi dilalah. Al-Ijaz, al-munasabah bayn al-Ayat wa
al-Suwar, al-Gumush wa al-Wudhuh, al-Am wa al-Khash, dan al-
Tafsir wa al-Tawil, merupakan bagian-bagian bab ini.
Lebih menarik lagi, pada bab terakhir, ketiga, (Tahwil
Mafum al-Nash wa Wadzhifatuhu) Abu Zayd menjelaskan proses-
proses pendefinisian teks, sehingga kemudian teks menempati
posisi khusu (tinggi) dalam peradaban Arab Islam, bahkan
15
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
16/23
sampai sekarang. Buku ini mengupas pergeseran konsep dan
fungsi teks, dari teks yang berfungsi sebagai tanda dengan
kekayaan makna yang dikandungnya, menjadi sesuatu yang
mati, tertutup dan miskin makna. Kajian ini didasarkan pada
tulisan Al-Ghazali mengenai Al-Quran dalam bukunyaJawahir Al-
Quran. Al-Ghazali dipakai sebagai objek kajian dalam masalah
ini karena Al-Ghazali dianggap sebagai tokoh ulama yang paling
berpengaruh di dalam mengubah realitas masyarakat umat Islam
pada masanya dan setelahnya. 23
Pada dasarnya apa yang dijelaskan oleh Nashr Hamid Abu
Zayd dalam buku ini tidak ada yang baru selain membahasakan
kesadaran yang pernah ada dengan bahasa kontemporer. Hal ini
didasarkan pada ilmu-ilmu yang dibahas di dalamnya merupakan
ilmu-ilmu lama. Penggunaan ilmu-ilmu tersebut sebagai objek
kajian dalam buku ini justru memperlihatkan bahwa ada
kesadaran ulama kuno terhadap tekstualitas Al-Quran meskipun
dalam kadar yang tidak menonjol. Pengakuan terhadap asbab
an-nuzul, nasikh-mansukh, dan makki-madani dalam ilmu-ilmu
Al-Quran menujukkan bahwa ada hubungan antara teks Al-
Quran dengan realitas. Faktor-faktor latar belakang, tempat dan
waktu ikut mempengaruhi format teks Al-Quran. Demikian pula
dengan mekanisme teks yang dijelaskan dalam bagian kedua
23
Pengantar penerjemah, Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas..,op.cit., hlm.xi.
16
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
17/23
buku ini. Kesadaran bahwa Al-Quran bekerja secara otonom dan
juga intertekstual dalam memproduksi makna dapat dilihat dari
bab-bab yang diketengahkan dalam buku ini diambil dari ilmu-
ilmu Al-Quran.
Kajian tentang konsep teks sebenarnya upaya untuk
menguak watak teks yang menjadi sentral kebudayaan kita.
Upaya mengkaji konsep teks berarti usaha mengungkapkan
hubungan ganda; pertama, hubungan teks dengan budaya,
dimana teks itu terbentuk, dan kedua, hubungan teks dengan
budaya dimana teks membentuk budaya. Dua poros ini akan
menjadi topik bahasan pada bagian pertama dalam buku ini.
Bagian ini terbagi menjadi lima bab secara berurutan, sebagai
berikut: konsep wahyu, penerima pertama teks, makki dan
madani, asbab an-nuzul, nasikh dan mansukh. Dalam bab-bab
tersebut, didasarkan atas asas dua poros tersebut (yaitu kaitan
antara teks dengan peradaban, baik teks sebagai yang terbentuk
oleh budaya maupun teks sebagai pembentuk budaya).
Bagian kedua dari kajian ini mengenai mekanisme-
mekanisme teks, hubungan teks dengan teks-teks lain dalam
kebudayaan di satu pihak, dan mekanisme-mekanisme teks
dalam memproduksi makna di pihak lain. Di bawah bagian
terdapat lima bab yang secara berurutan sebagai berikut: Ijaz,
kesesuaian antar ayat dan surat, ambiguitas dan distingsi, amm
17
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
18/23
dan khash, tafsir dan tawil. Bagian ketiga dan terakhir
dimaksudkan untuk menyingkapkan perubahan yang dialami
oleh konsep dan fungsi teks. Perubahan ini menjadikannya
dominan dalam peradaban Arab-Islam hingga masa modern ini.24
B. Konsep dan Signifikansi Wahyu
C. Menentukan Wahyu Dalam Studi Al-Quran
Sebelum menetapkan keberpihakan dan memberikan judgement tentang
pandangan siapa yang benar dan salah dalam persoalan ini, ada baiknya untuk
melihat porsi dan proporsi persoalan tentang status al-Quran ini sebenarnya atau
secara umum untuk mengetahui serta memahami terlebih dahulu mengenai aspek-
aspek keberadaan al-Quran. Al-Quran yang sekarang ada di tangan umat Islam
adalah sebentuk mushaf yang sudah tertib terkodifikasi dan bahkan untuk saat ini
bisa dicetak dalam jumlah jutaan di atas kertas dan tinta. Apabila melihat
kenyataan semacam ini, dan kemudian dikaitkan dengan berbagai argumen, baik
historis, fenomenologis, maupun naqly, tentang status keberadaan al-Quran ini,
maka dapat dikatakan setidaknya al-Quran memiliki beberapa aspek:
1. Ketika al-Quran masih berupa Kalamullah murni yang belum
diwahyukan.
2. Ketika al-Quran diwahyukan secara verbatim oleh Allah kepada
Muhammad dan untuk selanjutnya Muhammad menyampaikannya juga
secara verbatim kepada umatnya.
24
Pengantar penerjemah, Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas..,op.cit., hlm. 24
18
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
19/23
3. Ketika Muhammad, generasi awal yang dilanjutkan dengan generasi-
generasi selanjutnya memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai ajaran al-
Quran dalam praksis nyata kehidupan.
4. Ketika al-Quran mewujud dalam sebentuk naskah tertulis dalam bahasa
Arab yang dikodifikasi, diperbanyak dengan kertas dan tinta; lalu dibaca
dan dipahami oleh Umat Islam seluruh dunia.
Pada level pertama, yaitu ketika al-Quran masih berupa Kalamullah yang
murni dan belum diwahyukan, jelas tidak ada seorang pun yang mampu
mengaksesnya. Nilai sakralitas al-Quran pada dataran ini tidak perlu diragukan
lagi, meskipun tidak seorang pun mampu menjangkaunya. Pada level ini hanya
Allah yang tahu apa dan bagaimananya.
Pada level kedua, yaitu ketika al-Quran diwahyukan secara verbatim kepada
Muhammad dan Muhammad kemudian menyampaikannya kepada umatnya, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan. Ketika Allah mewahyukan kepada
Muhammad tentu saja Allah memakai bahasa, idiom, logika yang bisa dipahami
oleh Muhammad agar wahyu bisa dipahami maksudnya oleh Muhammad. San
karena yang mendapat wahyu ini adalah seorang Arab, maka media yang dipakai
oleh Allah adalah bahasa Arab dan juga struktur logis informasi yang bisa
dipahami dalam konteks budaya Arab. Kenyataan bahwa al-Quran diturunkan di
Arab dan memakai bahasa serta logika Arab tentunya tidak harus
mengimplikasikan muatan pesan yang disampaikan hanya bernilai lokal dan tidak
bisa diaplikasikan untuk konteks yang berbeda. Di sisi lain, meskipun memakai
wahana bahasa Arab dan logika budaya Arab, tidak kemudian sakralitas al-Quran
19
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
20/23
dianggap turun. Sakralitas al-Quran ini tentunya lebih terletak dalam muatan
pesan yang disampaikan dan juga sumber pesan itu sendiri, yaitu Allah.
Selanjutnya, Muhammad menyampaikan apa yang diterimanya kepada
umatnya, juga secara verbatim, sebagaimana diyakini oleh Jumhur umat Islam.
Karena disampaikan secara verbatim, maka untuk ini sebenarnya Muhammad
tidak melakukan perubahan apa-apa, termasuk perubahan hasil pemahamannya
sendiri. Dalam hal ini posisi Muhammad dapat diibaratkan sebagai speakeryang
akan berbunyi sesuai dengan suara yang masuk pada dirinya. Dalam hal ini tidak
perlu ada kekhawatiran bahwa umatnya tidak mampu memahami apa yang
disampaikan oleh Muhammad kalau Muhammad tidak mengolahnya terlebih
dahulu untuk menyesuaikan dengan pemahaman masyarakatnya, karena sejak
awal Allah pasti lebih tahu kondisi masyarakat yang akan menjadi audiens
pertama bagi wahyu dan kemudian menurunkan wahyu sesuai dengan konteks
masyarakat penerimanya. Dari titik ini terlihat bahwa ungkapan wahyu yang
disampaikan oleh Muhammad kepada umatnya masih bernilai sakral karena
Muhammad belum melakukan intervensi selain bahwa bahasa Muhammad
(bahasa Arab) dan logika budaya Muhammad (logika budaya Arab) dipinjam
oleh Allah sebagai media untuk membumikan wahyunya.
Namun pada level ketiga, ketika Muhammad dan Umatnya memahami dan
menjalankan pesan-pesan al-Quran, maka pemahaman dan aplikasi mereka ini
tidak bernilai sakral sebagaimana al-Quran yang sakral. Pemahaman dan
pelaksanaan tersebut pasti sangat dipengaruhi oleh konteks hidup orang-orang
yang melakukan pemahaman dan aplikasi. Muhammad sebagai pengemban
20
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
21/23
Risalah juga termasuk disini, karena selain kedudukannya sebagai Rasul yang
memiliki amanah menyampaikan Risalah tanpa manipulasi, ia juga manusia biasa,
seorang Muslim yang terkena khitab al-Quran. Pada dataran ini tentu saja
aplikasi nilai-nilai al-Quran oleh Muhammad tidak bernilai sakral sebagaimana
sakralitas al-Quran, meskipun pernyataan tidak sakral ini tidak kemudian harus
diterjemahkan bahwa hasil pemahaman dan perilaku Muhammad jangan diikuti,
karena selain keyakinan Umat Islam bahwa perilaku Muhammad akan selalu
mendapat kontrol dari-Nya, jelas Muhammad-lah mendapatkan wahyu, sehingga
pasti dia adalah orang yang lebih memahami maksud pesan wahyu dibandingkan
yang lain. Oleh karena itu, mengikuti perilaku Muhammad dalam menerjemahkan
pesan al-Quran merupakan sesuatu yang logis, khususnya dalam tata hubungan
vertikal dengan Allah. Meskipun demikian, tetap saja harus disadari aspek-aspek
historis kehidupan Muhammad dan aspek-aspek normatif universal ajaran
Islamnya.
Sementara itu pada level keempat, yakni al-Quran yang sekarang ada di
hadapan kita, yang dicetak di penerbitan dengan kertas dan tinta serta dijilid rapi
berbentuk buku; maka kertas, tinta dan jilidan tersebut tidak bernilai sakral.
Namun itu tidak berarti orang bisa bersikap sembarangan terhadap benda yang
bernama al-Quran itu, karena dibalik benda tersebut terkandung Kalamullah,
wahyu langsung dari Allah. Hal ini bisa dianalogikan-meskipun mungkin terlalu
kasar-dengan surat cinta yang berasal dari sang kekasih. Kertas dan tinta yang
tergores di atasnya adalah kertas dan tinta yang bisa dijumpai dimana-mana,
namun surat cinta tersebut sangat bernilai dan disakralkan oleh yang
21
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
22/23
memilikinya karena di dalamnya terkandung ungkapan hati sang kekasih.
Meskipun demikian, penghargaan yang berlebihan pada kertas dan tinta surat
cinta tersebut yang sampai melebihi penghargaan terhadap pesan dan ungkapan
hati yang terkandung di dalamnya, tentunya dapat dikatakan sebagai sebuah sikap
yang tidak selayaknya.
Dari empat tataran ini mungkin dapat dipetakan kembali pada dataran mana
al-Quran itu merupakan produk budaya dan pada dataran mana dia merupakan
produk ketuhanan. Pada level pertama jelas Kalamullah adalah bersifat murni
ilahiah sehingga tidak diragukan lagi sifat ketuhanannya. Pada level kedua-pun
mungkin agak susah untuk menyebut bahwa al-Quran itu produk budaya,
sebagaimana pandangan Abu Zayd. Tidak sebagaimana asumsi Abu Zayd,
sebenarnya variabel budaya yang terlibat dalam level ini lebih sekedar dipinjam
untuk memunculkan ide-ide ketuhanan (Kalamullah). Paling jauh mungkin bisa
dikatakan bahwa Kalamullah memakai media variabel budaya.25 Sementara itu
pada level ketiga dan keempat tidak bisa dipungkiri bahwa pada dataran
lahiriahnya, yaitu ketika umat Islam mengejawantahkan pesan al-Quran dalam
kehidupan nyata dan ketika al-Quran dikodifikasi dan diterbitkan melalui kertas
dan tinta, maka ekspresi perilaku dan hasil terbitan al-Quran tersebut adalah
produk budaya.
D. Relevansi Konsep dan Konstruksi Wahyu Nashr Hamid Abu Zayd
25 Mungkin ini yang dimaksud Abu Zayd bahwa Marhalahal-Tasyakkul dan Marhalah
al-Tasykil itu tidak bersifat kronologis, dimana yang satu harus mendahului yang lain. Abu Zayd
menyebutkan dua fase itu untuk menggambarkan dua aspek teks yang bisa saja terjadi pada saatbersamaan. Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash..., h. 86
22
8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid
23/23
Dalam Pemahaman Studi al-Quran
23