Post on 02-Oct-2021
COVER
01
BABAD TANAH
LELUHUR Cece Sukhiar – Tizar Sponsen – M.Abud
FEBRUARI 02, 2020 NOVEL SANDIWARA RADIO
Karang Sedana
BABAD TANAH LELUHUR
Api Berkobar di Karang Sedana
BABAD TANAH LELUHUR sebuah kisah kolosal dari tanah leluhur ratusan tahun yang silam di tanah
Pasundan yang diwarnai dengan kekerasan, ambisi, keserakahan, iri dan dengki serta cita-cita dan cinta
anak manusia.
BABAD TANAH LELUHUR IDE CERITA : CECE SUKHIAR PENGARANG CERITA : TIZAR SPONSEN NASKAH KARYA : M. ABOED SUTRADARA : M. ABOED – THOMAS A.G PRODUKSI : SWADAYA PRATHIVI TAHUN PRODUKSI : 1989 ILUSTRASI MUSIK :
HARRY SABAR TEHNIK DAN MONTAGE:
JIMMY MUMUH – YADI ENOZ NARATOR :
LUKMAN TAMBOSE 01-02 NENI SUMARDI / NENI HARYOKO 03-40
MULAI DISIARKAN :
1 SEPTEMBER 1989 – 27 DESEMBER 1992 JUMLAH EPISODE :
40 EPISODE ( 1.200 SERI dalam 600 TAPE CASSETTE ) LUKISAN COVER :
HARYOKO
Selamat menikmati…
EPISODE
01. API BERKOBAR DI KARANG SEDANA ............................................. *
02. KISAH SEPASANG ANAK HARIMAU .................................................
03. RAHASIA BUKIT TENGKORAK ..........................................................
04. SAYEMBARA PRABU SANNA ...........................................................
05. BIDADARI PENCABUT NYAWA ........................................................
06. BANYU CAKRA BUANA ....................................................................
07. KEMELUT HATI SANG PENDEKAR ...................................................
08. SATRIA CILIK KARANG SEDANA .......................................................
09. KUPU-KUPU BERCADAR PUTIH .......................................................
10. GEGER BUMI GALUH ......................................................................
11. RATU SEGARA KIDUL ......................................................................
12. AWAL KEBANGKITAN MATARAM HINDU .......................................
13. FAJAR MENYINGSING DI BUMI MATARAM ....................................
14. PERTARUNGAN DUA PUTERA MAHKOTA .......................................
15. RAHASIA PUNCAK GUNUNG WUKIR ...............................................
16. PUSAKA ARCA EMAS .......................................................................
17. RAWA RONTEK ...............................................................................
18. PEDANG ULAR EMAS ......................................................................
19. ANGKARA MURKA ..........................................................................
20. ANGKARA MURKA II .......................................................................
21. BARA TANAH MATARAM ................................................................
22. KEMELUT SEBUAH WARISAN ..........................................................
23. PETAKA ASMARA DEWA .................................................................
24. KISAH DI TANAH NAGA ...................................................................
25. SANG RAJA SURYA ..........................................................................
26. LAYU YANG TERKEMBANG .............................................................
27. PERGURUAN KEMBANG HITAM .....................................................
28. KABUT GUNUNG SALAK ..................................................................
29. REINKARNASI ..................................................................................
30. BAYANG BAYANG ANGKARA ..........................................................
31. MENDUNG DI PAGI HARI ................................................................
32. PERGURUAN TONGKAT MERAH .....................................................
33. KEMELUT DESA TAMIYANG ............................................................
34. GEMURUH DENDAM GEMURUH RINDU ........................................
35. KEMELUT DI KERATON INDRASAPA ................................................
36. PUSAKA SIMA .................................................................................
37. GELORA API CEMBURU ...................................................................
38. PRAHARA DI KAKI BURANGRANG ...................................................
39. GEGER KITAB ILMU SEJATI ..............................................................
40. CENGKAR KEDATON........................................................................
TAMAT ..................................................................................................
1 Api Berkobar di Karang Sedana
1
Pada akhir abad ke tujuh, tidak jauh dari perbatasan kerajaan Mataram
Hindu dan Galuh Pakuan, tepatnya di lereng gunung Ciremai
berdirilah kerajaan kecil bernama Karang Sedana.
Karang Sedana semula adalah sebuah negeri yang subur dan makmur.
Akibat musim kemarau yang berkepanjangan timbullah masa paceklik
yang hebat. Kekeringan melanda seluruh bagian dari kerajaan Karang
Sedana. Huru-hara dan segala macam tindak kejahatan terjadi di
mana-mana…
“Ambil semua benda dan harta yang mereka miliki !”
“Jangan,… jangan bawa kambing itu, Tuan. Lepaskan,
lepaskanlah Tuan. Kasihanilah kami. Itu adalah milik kami satu-
satunya.”
“Untuk menghidupi dirimu pun sudah tak sanggup heh?!
Masih ingin memelihara hewan segala. Bawa! Bawa seluruh benda
berharga mereka! Ayoo!!”
“Jangan bawa kambing satu-satunya ini Tuan...”
2 Api Berkobar di Karang Sedana
“Wanita tua sial, bumi Karang Sedana sudah tidak mampu
lagi memberi makan pada dirimu. Sebaiknyalah kau mati saja.”
“Ayoooo! Bakar seluruh rumah-rumah ini sebelum kita
tinggalkan. Bakar! Bakar! Tinggalkan cepat sebelum pasukan
kerajaan tiba.”
Demikianlah, hampir di berbagai tempat dan di berbagai sudut
kerajaan Karang Sedana tidak luput dari huru-hara dan berbagai
macam tindak kejahatan. Pihak kerajaan hampir dapat dikatakan tidak
mampu menanggulangi tindak kejahatan yang telah mewabah hampir
ke seluruh pelosok negeri.
***
“Hmm, itu ada seekor kelinci. Ah, aku harus yang lebih
dahulu mendapatkan dari kakang Seta dan kakang Saka. Diam. Diam
ya manis yaa. Kau sebentar lagi akan membuat pahala besar karena
menolong kami yang sedang lapar. Jika mati kau kelak akan masuk ke
Nirwana. Tenang ya. Aku yang akan lebih dahulu mendapatkannya.”
Gadis lincah yang nampak periang itu setelah berhasil menangkap
buruannya melenting, melompat tinggi dan berputar di udara.
“Kakang Saka, kakang Seta aku berhasil mengalahkan kalian.
Aku lebih dahulu berhasil menangkap kelinci ini.”
3 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kakang Seta, kakang Saka, dimana kalian?”
“Aku di sini Wulan” terdengar jawaban.
“Kakang Seta, aku menang. Aku berhasil.”
“Bantu kami menguliti kelinci ini, Wulan.”
Gadis yang dipanggil Wulan itu terbelalak matanya.
“He kenapa kau bengong saja? Ayo bantu kami. Aku akan
menyiapkan perapiannya.”
“Huh, kalian curang. Bagaimana kalian dapat mengetahui di
sekitar sini ada hewan seperti itu dengan waktu secepat itu. Pasti
kalian telah menyiapkan kambing kecil itu.”
Mendengar tuduhan si gadis bernama Wulan, kedua pemuda gagah itu
tertawa-tawa kecil.
“Kau ini benar-benar lucu adik Wulan. Bagaimana mungkin
kami dapat menyiapkan hewan seperti ini? Sedangkan usul lomba
menangkap buruan untuk makan, dari engkau sendiri !” sahut pemuda
yang tampaknya paling tua umurnya.
“Iya, tapi bagaimana kalian bisa mendapatkan hewan itu
dengan cepat?”
“Oh… Adik Saka, ceritakanlah. Bagaimana kita bisa
mendapatkan ini dengan cepat.”
“Ya?”
4 Api Berkobar di Karang Sedana
“Adik Wulan, ketika kami melihat kau melenting lompat
kesana kemari, kami hanya mengeterapkan aji Empat Arah Pembeda
Gerak.”
“Hm?! Empat Arah Pembeda Gerak?”
Anting Wulan masih tak mengerti. Apa hubungannya ilmu
pendengaran sakti itu dengan perlombaan menangkap hewan buruan
ini?
“Iya. Bukankah dengan aji itu kita dapat mendengar desir
angin segala arah maupun gerak hewan kecil pun di segala arah?”
“Aaah, Kakang curang! Kakang mempergunakan ajian untuk
memenangkan lomba ini.”
“Adik Wulan,… kau pun melompat ke sana kemari dengan
Kidang Mamprung!”
“Apakah Kidang Mamprung1 yang hebat itu bukan aji yang
sakti?”
“Sudahlah adik Wulan. Lepaskan saja kelinci itu. Mari,
bakarlah sendiri bagianmu ini.”
“Hmmm, baiklah.”
Beberapa saat kemudian yang dipanggil dengan sebutan Wulan itu
sudah kembali tertawa ceria, riang dan melupakan semua kekesalan
akibat kekalahannya dalam lomba mencari buruan. Akan tetapi,
siapakah mereka sesungguhnya?
1 Kijang Kabur
5 Api Berkobar di Karang Sedana
Mereka adalah tiga remaja dari kelompok Ning Sewu2 yang berjumlah
empat orang. Raden Seta Keling adalah orang pertama dari kelompok
Ning Sewu. Ia adalah seorang remaja yang telah mapan dalam
bersikap, cerdik dan ulet. Umurnya 27 tahun. Sedangkan orang kedua,
Dampu Awuk. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, kasar, pemarah
akan tetapi berjiwa bersih dan jujur. Saka Palwaguna berwajah
tampan, romantis, berusia 23 tahun. Sedangkan Anting Wulan adalah
orang terakhir dari kelompok Ning Sewu, gadis lincah periang akan
tetapi mempunyai sikap manja terutama kepada ketiga kakaknya.
Dan mereka berempat adalah murid eyang resi Wanayasa dari
Padepokan Goa Larang.
Selagi ketiganya menikmati santapan mereka, tak jauh dari
tempat itu terdengar langkah-langkah kuda dan suara obrolan
beberapa orang bersuara kasar yang terasa menyakitkan telinga.
“Kakang, agaknya kita menjumpai kelinci-kelinci gemuk.”
ucap seorang dari mereka.
“Hahahaha, bukan hanya kelinci gemuk. Tapi agaknya
mereka adalah kelinci-kelinci bodoh yang tidak mengenal gelagat.
Lihat saja, mereka masih nampak tidak menyadari bahaya.” timpal
kawannya sembari terbahak-bahak menjijikkan.
2 Cahaya Seribu
6 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ya, aku sangat berminat dengan daging panggang itu,
kakang. Bagaimana dengan kakang?”
“Kakang Ampal pasti lebih berminat dengan kelinci putih
bersih pemakan daging panggang itu.”
“Diam kalian! Bodoh kalian semua! Apakah kalian tidak
melihat sikap mereka yang sedikitpun tidak memandang kita? Mereka
telah benar-benar menghina kalian! Cepat beri hajaran pada mereka!”
bentak seorang lainnya yang tampaknya adalah orang yang dipanggil
dengan nama Kakang Ampal.
“Oh, baik Kakang.”
Namun ketiga orang Ning Sewu itu seperti tidak menganggap
ada orang-orang yang perlu mereka takuti. Mereka tetap asik
membalik-balik daging bakar di perapian mereka, sambil
menggigitinya dengan lahap. Tiba-tiba Anting Wulan berhenti
mengunyah.
“Ayo, tambah lagi adik Wulan. Kenapa kau berhenti?
Biasanya kau makan sangat banyak. Tidak seperti ini.” goda Seta
Keling.
“Huuh, bagaimana aku bisa berselera kakang Seta? Jika
dikerumuni anjing-anjing buduk seperti ini.” rutuk Anting Wulan
dengan tampang kesal.
“Kurang ajar! Heh! Ayo, beri hajaran mereka, cepat !” bentak
Ampal Saragi yang makin tidak sabaran.
7 Api Berkobar di Karang Sedana
“Gadis liar! Kau bicara apa tadi? Cepatlah kau berlutut dan
mintalah ampun pada kakang Ampal, dan pada kami semua. Barulah
kami akan mengampunimu.”
“Kakang, aku jijik sekali dengan anjing buduk ini.” Sungut
Anting Wulan sambil tidak mengacuhkan begundal yang
membentaknya.
“Biasanya anjing paling takut dengan api, adik Wulan.” jawab
Saka datar.
“Ah… i-iya. Kakang benar.”
Anting Wulan dengan gembira menyentil sepotong ranting
yang sedang membara dari perapian itu ke arah salah seorang
pengganggu itu. Ranting mencelat dan hinggap di dada orang tersebut.
Kontan orang tersebut berteriak-teriak ribut. Tangannya
bergedebukan berusaha mengeluarkan bara yang menyelusup masuk
ke rimbunan bulu dadanya yang lebat.
“Lucu sekali, lucu sekali kakang. Ternyata anjing buduk ini
bisa menghiburku, kakang. Nah ini, kuhadiahkan tulang-tulang
untukmu.” seru Anting Wulan sambil tertawa-tawa riuh. Sementara
tangannya dengan cepat kembali menyambitkan sepotong tulang yang
sedang dipegangnya ke arah orang tadi.
“Kurang ajar, ku cincang kau perempuan! Perempuan siluman
!”
8 Api Berkobar di Karang Sedana
Anak buah perampok yang telah dipermainkan habis-habisan oleh
Anting Wulan menjadi semakin kalap. Dia segera mencabut goloknya.
Dan tanpa rasa kasihan dan ragu, diayunkannya goloknya siap untuk
membelah gadis dihadapannya. Akan tetapi kali ini manusia-manusia
kasar ini kena batunya. Gadis yang dihadapinya dengan tenang
menyambar ranting kecil dan dikibaskannya pada sisi golok yang
menyambarnya.
“Iblis! Setan! Dia… dia… dia adalah gadis… gadis… gadis
Iblis, Kakang.”
“Mundur kau.” Ampal Saragi mendorong dada anak buahnya
itu hingga terjajar ke belakang, lalu mendengus, “Hmm, siapakah
kalian bertiga sebenarnya ?”
Tidak ada yang menjawabnya. Anting Wulan hanya menoleh
pada Seta Keling dan berkata jemu :
“Kakang, agaknya negeri ini benar-benar sudah parah. Ini
rombongan ke sebelas dari korban-korban kita.”
Mendengar ucapan adiknya itu, raden Seta Keling yang sudah
amat paham sifat kejam adik perempuannya itu menjadi khawatir.
Adiknya itu tidak akan segan-segan membunuh orang yang
dianggapnya adalah penjahat.
9 Api Berkobar di Karang Sedana
“Adik Wulan, jangan menurunkan tangan maut pada mereka.
Ingat pada pesan eyang Resi. Kita hanya diminta untuk
mengamankan, membantu menciptakan keamanan di Karang Sedana
ini.” Seta Keling mengingatkan.
Mendengar pembicaraan itu, kepala begundal itu semakin
naik pitam. Bentaknya :
“Kurang ajar! Kalian benar-benar terlalu memandang rendah
padaku. Aku, Ampal Saragi bukanlah anak kemarin sore seperti yang
kalian duga. Hm, terimalah ini !”
“Awas, adik Wulan.”
Ampal Saragi, pimpinan para begundal pengacau yang menjadi
berang itu menyentak kerikil-kerikil kecil dekat kakinya dengan
kekuatan dalamnya.
“Cukup baik seranganmu, Ampal. Kau ingin mengajak main
tendang-tendangan batu? Boleh. Ayo…”
Anting Wulan, gadis lincah dan juga amat nakal itu membalasnya
dengan serangan-serangan kerikil yang beruntun. Akan tetapi Ampal
Saragi lawannya tampak hanya berdiri tegak menanti datangnya
serangan itu dengan membuka dadanya.
10 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hahahaha, seranganmu benar-benar membuat aku geli. Ayo
maju, ajak kawan-kawanmu yang lain !”
“Huh, jangan kau tertawa dulu anjing buduk ! Aku belum
mulai !”
“Wulan, mundurlah. Biarlah sekarang aku yang
melayaninya.” Seru Seta Keling khawatir.
“Biarlah kakang, aku masih bisa mengendalikan diriku.”
“Tahukah kau, siapakah yang dikhawatirkan kakakku ini?
Justru adalah kau sendiri. Kakang aku minta ijin hanya mencabuti
jenggotnya saja. Tapi tentu setelah mematahkan kedua belah
tangannya Kakang.”
“Wulan! Jangan kau bunuh orang itu!”
“Agaknya jurus yang dibuka gadis ini cukup berbahaya. Aku
harus bersiap…”
Anting Wulan, si gadis manis yang merupakan orang keempat dari
kelompok Ning Sewu, membuka jurus Kincir Metu3. Salah satu jurus
andalan dari padepokan Goa Larang, ciptaan dari eyang Resi
Wanayasa.
Tubuh Anting Wulan bagaikan kapas ringannya berputar cepat dan
perlahan-lahan putaran tubuh tersebut mendekat ke arah Ampal Saragi
yang kini juga telah bersiaga penuh dan tanpa diketahui oleh lawannya
3 Pusaran Kekuatan
11 Api Berkobar di Karang Sedana
dengan kecepatan hampir tak dapat diperhitungkan, Anting Wulan
membuka serangan dari dalam putaran itu.
“Luar biasa ilmu gadis ini. Dalam putaran cepat tubuhnya,
gerak dan tenaganya menjadi semakin berlipat ganda. Apa yang harus
kulakukan padanya?”
“Ayo seranglah aku anjing buduk. Atau aku yang akan
menutup seranganku ini.”
“Kurang ajar, kubelah tubuhmu iblis betina!”
Dengan membabi buta, Ampal Saragi menyerang. Bayang-bayang
goloknya membabat kesana-kemari, tetapi Anting Wulan selalu saja
berhasil mengelakkannya.
“Cukup! Cukup, anjing buduk. Sekarang terimalah
seranganku ini.”
“Wulan ! Cukup !” Seta Keling segera berseru.
Ampal Saragi menyilangkan kedua tangannya untuk menahan
pukulan Anting Wulan yang tiba-tiba muncul dari putaran tubuhnya.
Bukkk, krrrkkk !! Benturan keras itu mendorong Ampal ke belakang
yang kemudian menjerit kesakitan. Kedua lengannya terkulai patah,
sehingga tak mampu menahan tubuhnya yang menjadi terjengkang
karena tiada lagi lengan yang dapat menahan bobot tubuhnya.
Tatapannya nanar setengah sadar setengah pingsan.
12 Api Berkobar di Karang Sedana
“Cukup, Wulan !” tak hanya sekedar berseru, Seta Keling
segera menghadangkan tubuhnya di antara adik perempuan
seperguruannya dan para begundal yang sudah sangat ciut nyalinya
itu. Lalu berkata penuh wibawa :
“Nah, bagaimana? Apa ada yang masih penasaran? Kami
adalah kelompok Ning Sewu. Kali ini kami hanya memberi peringatan
pada kalian, tapi lain kali jika kalian masih saja bertindak liar
mengganggu ketentraman umum, kami akan datang untuk mencabut
nyawa kalian. Mengerti kalian?!”
“Mengerti tuan…” jawab para begundal yang sudah lesu dan
pucat wajahnya itu.
“Nah, tinggalkanlah tempat ini, dan bawalah pemimpinmu itu
dan kemudian bubarkanlah kelompok kalian. Dan kau Ampal Saragih,
kaulah yang paling bertanggung jawab. Jika aku lihat masih ada anak
buahmu yang melakukan tindak kejahatan. Jadikanlah pelajaran
patahnya kedua lengan mu itu. Nah, tinggalkan tempat ini.”
“Wulan, eyang Resi berpesan khusus untukmu. Ingatkah
kau?”
“Iya kakang. Aku tidak boleh menurunkan pada para penjahat
sekalipun, karena kita harus mengusahakan agar tidak timbul dendam
dari musuh yang kita kalahkan.”
“Bagus adik Wulan.”
13 Api Berkobar di Karang Sedana
“Akan tetapi, pelajaran tetap harus diberikan pada manusia
bejat tadi, Kakang. Agar mereka menjadi kapok.”
“Betul adik Wulan. Akan tetapi harus diingat, kita bukan
segolongan dengan mereka. Jika kita juga mudah menurunkan tangan
maut sekalipun pada mereka rasanya kitapun hampir tidak berbeda
dengan mereka.”
“Iya. Aku tentu saja kalah. Karena kalian berdua, sedangkan
aku sendiri. Coba nanti jika ada kakang Dampu Awuk. Dia pasti
membenarkan sikapku.” jawab Anting Wulan dengan nada sebal.
“Ingat Wulan, semua tindak kita tidak lepas dari nama
Padepokan Goa Larang dan nama Eyang resi.”
“Sudah kakang Seta, kita kembali ke Banyuanyar. Kakang
Dampu sudah terlalu lama menunggu kita.” kata Saka Palwaguna
mengingatkan.
“Yah, kau benar adik Saka. Ayolah Wulan, kita kembali. Ayo
kita pergunakan Kidang Mamprung agar Dampu Awuk tidak terlalu
lama menunggu kita.”
“Ayo kakang, kita berlomba ke Banyuanyar.”
Bagaikan bayangan setan, ketiga remaja itu berkelebat cepat. Berlari
menuju ke arah timur Banyuanyar. Langkah yang terayun cepat itu,
seakan melayang tidak menyentuh bumi. Bahkan rumpun-rumpun dan
semak yang dijadikan pijakannya pun hampir tak bergoyang
14 Api Berkobar di Karang Sedana
dijejakinya. Inilah Kidang Mamprung, ilmu lari cepat khas padepokan
Goa Larang.
“Kakang Seta, adik Wulan di sebelah sana. Lihat !”
“Oya. Eh, sesuatu telah terjadi. Ayo kita lihat.”
“Ada apa? Apa yang terjadi?
“Kakang, lihat itu. Mayat-mayat ditutupi kain.”
“Apa yang baru saja terjadi di sini?”
“Menurut gadis itu, dia bersama keluarganya sedang
mengadakan perjalanan ke kotaraja4. Tetapi di sini beberapa saat yang
lalu datang sekelompok orang yang menamakan diri mereka Ning
Sewu.”
“Ning Sewu?!”
“Wulan !”
“Yah. Mereka menamakan dirinya Ning Sewu. Mereka minta
seluruh barang yang dibawa oleh korban karena tidak diberikan…”
“Jadi mayat-mayat itu …”
“Ya, kecuali anak gadisnya, seluruh rombongan itu dibunuh
oleh Ning Sewu yang sesungguhnya adalah perampok bejat.”
“Anjing keparat ! Kecoak katut! Kubunuh kau !”
4 Ibu Kota, Kota dimana sang Raja bertempat tinggal
15 Api Berkobar di Karang Sedana
Anting Wulan tersentak, dapat mengendalikan emosinya tangannya
segera terayun hendak memukul orang yang menghina nama Ning
Sewu.
“Tahan adik Wulan, kendalikan emosimu! Jangan
mengacaukan suasana.” seru raden Seta Keling yang melihat
perubahan pada airmuka adik perempuan seperguruannya itu. Lalu dia
kembali bercakap-cakap dengan orang tadi. “Eh, maafkan adik kami,
dia memang terlalu emosional melihat keadaan seperti ini.”
“Ya, benar. Kekejaman yang dibuat oleh kelompok liar itu
membuat dia menjadi lupa diri dan tidak dapat menjadikan emosinya.”
“Kakang, aku…”
“Ah, kau diamlah. Istirahatlah di situ.”
“Tapi kenapa anak itu menjadi marah justru ketika kami
mengatakan rombongan ini dibunuh oleh Ning Sewu, perampok bejat
!”
“Kurang ajar !”
“Wulan !”
“Ah, sudah Mamang. Janganlah salahkan dia lagi. Dia justru
akan menjadi semakin tersinggung dengan sikapmu itu.”
“Kakang, katakan saja kepada mereka. Siapakah kita
sesungguhnya?! Peristiwa ini tidak dapat didiamkan saja, Kakang.
Bukankah gadis itu dapat dijadikan saksinya?”
“Wulan aku kakangmu, minta dengan sangat agar kau tidak
berbicara dulu saat ini.”
“Haah” Anting Wulan menyergah kesal.
16 Api Berkobar di Karang Sedana
“Permisi Mamang, saya akan bicara dengan anak gadis itu…”
“Eh, apakah kau melihat wajah dari orang-orang yang
membunuh ayahmu?”
“Saya tidak dapat melihat wajah mereka. Mereka mengenakan
penutup wajah.”
“Sekarang apa yang akan kamu lakukan dan kemanakah
tujuanmu?”
“Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan.”
“Sanak keluarga, apakah kau masih punya?”
“Di kotaraja, tempat tujuan kami, saya mempunyai seorang
paman.”
“Kalau begitu kita kuburkan saja mayat keluargamu ini dan
nanti aku bersama kawan-kawanku akan mengantarkan menemui
Mamangmu”
“Tunggu dulu. Siapakah kalian sesungguhnya? Sekarang
kami justru menjadi curiga pada kalian.”
“Ya, kami adalah tiga orang sahabat yang sedang mengadakan
perjalanan darmawisata
“Hmm, tidak. Kami tidak percaya pada kalian. Sikap kalian
terutama sikap teman wanita kalian itu tidak dapat menyembunyikan
kekotoran niat kalian. Jadi kalian segera saja tinggalkan tempat ini
sebelum kami menangkap kalian dan menyerahkan kepada kepala
desa ini.”
“Ya, pergi saja kalian. Biar kami yang mengurus wanita ini.”
“Yaa. Pergi. Pergi. Pergi.”
17 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kraaakkkk! Bruugghhh!!”
Ketika para penduduk di sekitar tempat kejadian mulai menjadi
beringas, Anting Wulan pun tidak dapat mengendalikan diri lagi.
Akan tetapi karena dia memang mempunyai perasaan segan pada
kakak seperguruannya yang tertua, dia mencari cara pelampiasan yang
lain. Pohon besar di mana ia bersandar menjadi korban
pelampiasannya. Patah dibuatnya. Dan para penduduk yang semula
beringas kepada mereka seketika berubah sikapnya. Dan kini mereka
tak ubahnya bagaikan cacing kepanasan.
“Kawan-kawan dan mamang-mamang sekalian marilah kita
kuburkan saja mayat ini segera. Apakah kalian bersedia membantu
kami melakukan tugas mulia ini?” seru raden Seta Keling berwibawa.
“Kami… kami bersedia.”
“Bagus jika demikian. Mari segera saja.”
Segera setelah mayat-mayat keluarga saudagar itu dikuburkan ketiga
remaja kelompok Ning Sewu bersama dengan gadis dari keluarga
korban berpamitan dengan para penduduk dan beberapa saat
kemudian mereka pun telah berada dalam perjalanan menuju Desa
Banyuanyar untuk menjemput Dampu Awuk, saudara mereka.
18 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kakang! Kenapa Kakang tidak menjelaskan duduk
persoalannya? Siapa kita sesungguhnya dan siapa kelompok orang
yang membunuh satu keluarga tadi”
“Tuan? Siapakah tuan sesungguhnya?”
“Ya, seperti yang dikatakan Kakang Seta Keling. Kami adalah
tiga orang sahabat yang sedang melakukan perjalanan.”
“Tapi… saya telah merepotkan Tuan dan kawan-kawan
Tuan…”
“Ah tidak.. Tidak. Tidak, sama sekali tidak. Bolehkah kami
tahu siapa nama adik?”
“Intan Pandini…”
“Ooh, Intan Pandini. Adik Intan Pandini tidak perlu menjadi
ragu pada kami bertiga. Percayalah, kami akan menolongmu
menyelesaikan dendam keluargamu. Pembunuh itu akan kami
ditemukan !”
“Oh, terima kasih Tuan. Terima kasih. Saya percaya Tuan
akan dapat melakukannya. Saya telah melihat apa yang dapat
dilakukan kawan Tuan itu…”
“Oh ya, dia itu adalah adik kami termuda. Namanya Anting
Wulan. Dan itu adalah kakang Seta Keling.”
“Ayolah kita segera lanjutkan perjalanan kita.”
“Hmm, maaf Tuan. Apakah arah perjalanan kita tidak salah?
kotaraja berada di selatan kita, tapi kita sekarang menuju ke arah
timur…
19 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kita akan pergi ke Banyuanyar dahulu,” ucap Anting Wulan
cepat dengan nada ketus.
“Wulan…” sergah Saka pelan.
“Ya, kita akan pergi ke Banyuanyar dulu. Mari…”
***
“Aah… Kalian ini terlalu, meninggalkan aku sendirian sejak
kemarin.”
“Apakah di Banyuanyar ini tidak terjadi sesuatu sehingga kau
justru yang menjadi resah, Awuk?”
“Itulah, kalian pasti enak-enakan. Bermain-main dengan
perampok-perampok. Sedangkan aku kesepian di sini.”
“Ah…”
“Oh ya Intan. Ini adalah Dampu Awuk, adikku. Perilakunya
memang agak kasar tapi hatinya sangat baik. Baginya penjahat adalah
musuhnya nomor satu.”
“Kakang… Siapakah gadis hijau itu?”
“Adik Awuk, ini adalah Intan Pandini. Kedua orang tuanya
dibunuh oleh para perampok.”
“Dibunuh oleh kelompok Ning Sewu !”
“Apa? Ning Sewu?! Heeh, Anting Wulan kau… kau bilang
apa?” Dampu Awuk berpaling pada Saka Palwaguna, “Adik Saka, apa
yang telah terjadi?”
20 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tanyakan saja pada gadis itu…” seru Anting Wulan dengan
sinis.
“Kakang Seta, ceritakanlah segera. Jangan membuat aku
menjadi kebingungan dan kalap. Katakanlah segera Kakang.”
“Baiklah. Duduklah adik Awuk... Intan. Dengarlah cerita
kami. Keluarga Intan Pandini dibunuh oleh sekelompok orang
bercadar yang mengaku diri mereka adalah kelompok Ning Sewu.”
“Haaah! Bergejil busuk! Siapakah mereka kakang Seta?”
“Ketika kami datang, peristiwa itu sudah beberapa saat
terjadinya. Tapi percayalah, mereka akan terus mengulangi tindakan
mereka. Dengan demikian kita justru akan lebih mudah
menyelidikinya.”
“Cih, kurang ajar ! Aku pasti akan mematahkan leher manusia
busuk itu, sekalipun eyang Resi menghalangiku!”
“Awuk, sadarlah akan ucapanmu…” tegur Seta.
“Eh, Intan… ketahuilah. Kami berempat adalah kelompok
yang dikenal dengan nama Ning Sewu…”
“Ooh…”
“Ya, perampok pembunuh orang tua adalah orang-orang yang
sengaja hendak memfitnah dan merusak nama baik kami. Kami turun
dari perguruan kami adalah justru untuk mengamankan Karang
Sedana dari huru-hara dan kekacauan yang terjadi. Akan tetapi
rupanya mereka yang menjadi dendam dengan kami berusaha merusak
nama baik kami.”
21 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kakang, lalu apa yang akan kakang lakukan dengan gadis
ini?”
“Mengantarkannya ke sanaknya di kotaraja. Nah oleh karena
itulah rencana untuk esok hari kita rubah sedikit. Aku dan Anting
Wulan tetap akan ke kotaraja, akan tetapi akan melalui daerah barat
hutan-hutan di kaki gunung Ciremai yang belum pernah kita rambah.
Dan kau Awuk bersama dengan kakangmu Saka akan mengantarkan
Intan langsung ke rumah orang tuanya.”
“Kakang Seta…”
“Hmm?”
“Mengapa tidak kita saja yang mengantarkan Intan ke
kotaraja? Atau kita bersama-sama ke kotaraja melalui hutan di kaki
gunung Ciremai?”
“Heheheh. Ada apa Wulan? Kenapa kau tiba-tiba takut pergi
bersamaku melalui hutan di kaki gunung Ciremai?”
“Bukan begitu Kakang. Kurasa Kakang sebagai orang tertua
di antara kita dan juga orang yang paling bertanggung jawab dalam
kelompok Ning Sewu adalah yang paling tepat untuk menjelaskan
pada keluarga gadis ini.”
“Kukira masalahnya tidaklah menjadi seperti itu dik Wulan.
Adik Dampu maupun adik Saka mampu dan pantas untuk melakukan
tugas itu. Nah, istirahatlah kalian.”
***
22 Api Berkobar di Karang Sedana
“Apakah sebenarnya yang terjadi pada diriku? Aku tiba-tiba
saja menjadi gelisah dan ketakutan melihat kakang Saka berdekatan
dengan Intan pandini… Ah, Jagad Dewa Batara… Apakah… apakah
aku mencintai Kakang Saka saudara seperguruanku yang telah saling
menganggap sebagai saudara sedarah. Oh, dewata. Apa yang harus
kulakukan? Aku benar-benar ingin memiliki kakang Saka.”
“Adik Wulan, apakah kau yang berada di sana?”
“Oh, kakang Saka.”
“Adik Wulan, sedang apa kau di luar sini?”
“Ah, di dalam bilik udara panas sekali, kakang.”
“Hari sudah jauh malam. Beristirahat lah.”
“Mataku rasanya benar-benar tidak dapat dipejamkan,
Kakang.”
“Hmm?” Raden Saka melengak tak percaya.
“Kakang tidur saja lah. Sebentar aku masuk ke dalam.”
“Ah, adik Wulan… Apakah kau masih saja memikir-kan
orang tuamu?
“Eh…? Tidak kakang.”
“Atau barangkali peristiwa siang tadi? Atau hatimu masih
terguncang yang akibat ulah perampok yang merusak nama baik
kita?”
“Entahlah kakang.”
Anting Wulan menghela nafas. Lalu balik bertanya.
“Kakang…”
“Ya?”
23 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kasihan sekali ya gadis itu…”
“Pandini maksudmu?”
“Iya, Intan Pandini. Gadis semanis itu harus merasakan
penderitaan yang berat dalam masa-masa remajanya.”
Saka Palwaguna pun menarik nafas dalam-dalam.
“Iya. Kasihan sekali Pandini,” desahnya.
“Kakang…”
“Ya?”
“Kau… kau mencintainya?”
“Hah? Siapa?”
“Intan Pandini. Apakah kau mencintainya kakang?”
“Mencintai? Ah, entahlah. Aku tidak mengerti, yang pasti aku
tertarik padanya, kasihan dan… Entahlah, tapi kenapa kau tanyakan
itu?”
Anting Wulan tertawa kecil.
“Yah, tentu saja. Karena aku melihat sikap kakang yang manis
padanya. Eh… ayolah kita masuk saja kakang.”
“Ayolah.”
***
24 Api Berkobar di Karang Sedana
“Oh, Kakang… Aku menyayangimu. Aku mencintai-mu
kakang Saka. Duh junjunganku Kameswara 5 … Apa yang harus
hamba lakukan agar mengetahui isi hatiku dan mau menerima
penyerahan jiwa. Oh, dewa bathara… tolonglah hamba-Mu.”
Malam itu sebuah jiwa meratap, mengaku lemah tak mampu
berbuat apa-apa, tengah mengadu pada Tuhannya, berharap garis
hidupnya bersama dengan pujaan hatinya.
Begitulah manusia, saat ada keinginan hatinya maka segera
merengek pada Hyang Agung sang pencipta.
***
Keesokan harinya kelompok Ning Sewu bersiap-siap untuk
melakukan perjalanan melaksanakan tugas mereka. Dharma Bakti
pada setiap yang memerlukan pertolongan sebagai-mana menjadi
keharusan tugas seorang pendekar
“Adik Saka sampaikan salamku dan salam adik Wulan pada
keluarga Intan.”
“Akan saya sampaikan Kakang.”
“Dan jangan lupa tunggu kami di sebelah timur istana Karang
Sedana selepas senja. Walaupun mungkin aku terlibat dengan
5 Referensi tentang dewa Kameswara cukup samar, hanya ditemukan nama Kameswara seorang raja Kediri Jenggala yang dianggap titisan ketiga dari sang Hyang Wisnu. Raja tersebut bertahta tahun 1115 sampai 1130.
25 Api Berkobar di Karang Sedana
berbagai persoalan aku, akan mengusahakan tiba tepat pada waktunya.
Mari Wulan, pergunakan saja ilmu Kidang Mamprung agar kita tidak
terlambat.”
“Baik-baiklah di jalan Kakang Saka.”
“Terima kasih Wulan.”
“Ah, kenapa kau tidak memberi pesan padaku adik Wulan.
Kau jangan membuatku iri.”
“Iya. Baik-baiklah kakang Dampu. Aku pergi…”
“Kakang Awuk, ayo kita berangkat. Mari Pandini. Walaupun
kita hanya menggunakan gerobak kuda ini pasti kita akan tiba lebih
dulu.”
“Iya. Lereng dan kaki Ciremai pasti menyimpan rintangan
yang cukup berat. Hutan itu merupakan tempat yang aman untuk
persembunyian perampok-perampok.”
Demikianlah empat remaja dari kelompok Ning Sewu memecah
kelompoknya menjadi dua, akan tetapi tujuan mereka tetap sama yaitu
kotaraja Karang Sedana.
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan dari Raden Seta Keling dan
Anting Wulan yang mencoba untuk menyelidiki hutan di sekitar kaki
Gunung Ciremai.
“Wulan, tahan larimu.”
“Ada apa, kakang? Kenapa kita berhenti?”
26 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kita telah tiba diperbatasan kawasan yang kita tuju.
Sebaiknya kita berjalan saja secara wajar sebagaimana orang-orang
biasa. Bukankah kita akan memancing mereka keluar?”
“Ah, baiklah kakang. Eh, kakang... Bayangan matahari sudah
jauh lewat di atas kita. Waktu makan siang, kakang!”
“Ah, baiklah. Di sana adik Wulan, di pinggir sungai sana.
Ayo…”
“Desa terdekat yang akan kita jumpai masih jauh sekali,
hematlah sedikit bekal kita.”
“Aku mengerti kakang Seta. Perutku pun sudah terisi penuh.”
“Bukan aku melarangmu makan daging kering yang di tempat
itu. Aku tak ingin jika kau sampai makan buah-buahan karena lapar
atau bahkan daun-daun muda.”
“Aku mengerti. Hmm, dalam suasana kemarau yang panjang
kekeringan terjadi dimana-mana. Aneh sekali sungai ini, masih
menyimpan cukup banyak air. Kakang…”
“Hmm?”
“Mengapa para penduduk di sekitar sini tidak memanfaatkan
air ini, ya Kakang?”
“Aliran sungai kecil ini menuju ke arah tengah hutan dan
keluar di seberang sana…”
“Wulan, awas! Ada yang datang.”
“Iya, aku telah mendengarnya, Kakang.”
“Hey, siapa kalian? Ayo tangkap kedua orang itu. Tangkap!”
27 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tunggu, apa salah kami? Mengapa kalian ingin menangkap
kami?”
“Kalian telah memasuki daerah terlarang. Daerah kekuasaan
kami, tanpa izin!”
“Heh?! ke dalam kotaraja kami masuk tanpa harus meminta
izin. Kenapa ke dalam hutan kami diharuskan meminta izin segala?”
“Ke dalam kotaraja memang! Kalian dapat sesuka hati. Tapi
di sini… Hey, tangkap mereka!”
“Hmm, kalian benar-benar ingin mencari mati.”
“Kakang, Bajul. Agaknya mereka ini adalah mata-mata dari
kotaraja.”
“Diam kau kerbau! Ayo tangkap mereka cepat!”
“Wulan, buatlah mereka tidak berdaya. Jangan menurunkan
tangan terlalu kejam.”
“Baiklah Kakang.”
Rombongan laki-laki kasar yang berjumlah enam orang itu segera
mengepung dan kemudian perlahan-lahan maju untuk mempersempit
kepungan mereka. Dan beberapa saat kemudian tanpa diberi komando
lagi, mereka pun bagaikan babi kelaparan menerjang ke arah Anting
dan raden Seta Keling.
“Aduh…”
“Kerbau dungu, gentong nasi. Sekali gebrakan saja kalian
berenam dibuat terkapar begitu. Ayo bangun! Cincang mereka!”
28 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hey, Julid kemari kau. Yang lain cincang mereka!
“Baik, kang.”
“Kamu kembali ke markas beritahu kakang Loba Leungen
kalau ada orang yang datang.”
“Baik, kang.”
“Cepat pergi! Hey, kalian cepat serang, bunuh!”
“Anting, tahan begundal yang lari ke dalam hutan sana. Disini
biar aku yang mengurus.”
“Baik kakang.”
“Kurang ajar, mau kemana kau perempuan liar?”
“Kau yang mau ke mana? Tenang-tenang saja disini bersama
aku!”
“Hey, kalian! Bantu aku!”
“Tunggu! Tunggu! Mau ke mana kau? Mau memanggil bala
bantuan?!”
“Perempuan iblis, kubunuh kau!”
“Ayo bangun. Bangun! Serang aku lagi!”
“Ampun… ampun tuan Putri, jangan bunuh saya. Ampun…”
“Hmm, aku akan mengampuni jiwamu, jika kau katakan terus
terang di mana sarang kalian!”
“Tidak… tidak jauh dari sini tuan Putri. Tuan Putri dapat
mengikuti sungai kecil itu.”
29 Api Berkobar di Karang Sedana
“Bagus. Jika kau berbohong, aku tidak akan mengampuni
jiwamu. Hey, berapa banyak kawan-kawan di sana?”
“Dengar, totokanku itu membuatmu tidak berdaya sampai
beberapa jam. Nyawamu yang menjadi taruhannya, jika kau sampai
berbohong. Hayo katakan yang sesungguhnya, sarang kamu dan
jumlahnya kawan-kawanmu.”
“Betul betul sekali, sarang kami ada di sana. Di ujung sungai
kecil itu. Dan kawan-kawan kami banyak sekali.”
“Banyak sekali? Berapa jumlah mereka? Aku akan
membunuhmu jika sampai kau membohongiku!”
“Hmm, sekitar enam ribu orang.”
“Gila! Jangan bicara ngawur! Kubunuh kau!”
“Aww, jangan! Ampun tuan puteri. Saya berkata
sesungguhnya…”
“Hmm, baiklah. Akan kubuktikan kata-katamu. Jika kau
bohong, kau segera akan merasakan akibatnya.”
“Bagaimana Anting?”
“Oh, kakang Seta?! Ayo ikutilah aku segera.”
“Hendak ke mana kita?”
“Dari orang itu aku mendapat keterangan bahwa didalam
sana ada enam ribu orang kawannya.”
“Enam ribu? Kau yakin dia tidak berbohong?”
“Agaknya orang bodoh itu dapat dipercaya, Kakang. Ya, aneh
memang. Agaknya jika benar, ini sudah bukan kelompok pengacau
biasa.”
30 Api Berkobar di Karang Sedana
“Benar Wulan. Untuk mengumpulkan orang sebanyak itu
bukanlah hal yang mudah. Awas Wulan, hati-hati. Mungkin mereka
menempatkan penjaga lagi di sekitar kita. Pergunakan saja aji Empat
Arah Pembeda Gerak agar lebih aman.”
“Baik, kakang.”
Kemudian sepasang remaja perkasa dari kelompok Ning Sewu
nampak berkonsentrasi. Kedua tangannya menutupi telinganya.
Empat Arah Pembeda Gerak adalah sebuah Aji pendengaran sakti.
Keunikan dari aji ini ialah justru tidak mempergunakan telinga untuk
alat pendengarannya. Kekuatan getaran sakti dari batin mereka
membuat seluruh syaraf di bagian tubuh mereka menjadi sedemikian
pekanya, sehingga mampu mendengar dan membedakan gerak
maupun desir angin di empat arah.
“Kakang, sayup-sayup aku mendengar suara banyak orang
berlatih jauh di sana.”
“Kau benar. Dan beberapa puluh meter dari sini ada dua orang
berjaga di atas pohon.”
“Ayo kita selesaikan, Kakang.”
“Itu mereka, biar aku yang menyelesaikannya.”
“Hati-hati. Pohon itu tinggi. Jangan kau membuat kedua orang
itu jatuh.”
“Beres, Kakang.”
31 Api Berkobar di Karang Sedana
Anting Wulan segera bergerak cepat melumpuhkan kedua
penjaga itu. Totokan-totokan yang dilancarkannya tepat sasaran
sehingga membuat kaku otot-otot para penjaga itu. Sangat
menyakitkan keadaan tertotok seperti itu, tapi apa daya ketegangan
otot-otot mereka itu akan terus seperti itu sampai akhirnya mereka
lemas dengan sendirinya dalam beberapa jam kemuka.
“Nah, tenang-tenanglah kalian disini. Beberapa jam lagi
totokanku akan pulih. Jangan memaksakan diri untuk melepaskan
totokanku. Kau akan jatuh sebelum berhasil. Nah, selamat
beristirahat.”
“Wulan, Ayo kita teruskan perjalanan kita.”
“Hmm, itu mereka. Aneh sekali, siapakah mereka? Banyak
sekali. Apakah pemerintah Karang Sedana sang prabu Aji Konda tidak
mengetahui ada kegiatan pasukan sebanyak ini?”
“Benar kakang. Meraka nampak terpimpin dan terlatih.”
“Awas, Wulan. Merunduk! Mereka dapat melihatmu dari
sana!”
“Aku dapat melihatmu dari sini hehehe iya Siapa kalian anak
muda? Agaknya besar sekali nyali kalian berani datang ke tempat
kami.”
“Kau benar. Nyali kami memang sangat besar. Kami adalah
dua orang pengembara yang kini menjadi sangat heran melihat ada
kegiatan seperti ini di tengah hutan.”
32 Api Berkobar di Karang Sedana
“Eh Tuan, agar tidak terjadi kesalahpahaman… Dapatkah
kami mengetahui siapakah kalian dan kegiatan apakah yang ada di
tengah hutan ini?”
“Baiklah kau. Boleh mengetahui karena sebentar lagi kau
akan kukirimkan ke neraka. Kami adalah sekelompok orang yang
ingin menggulingkan Aji Konda yang tidak becus memerintah Karang
Sedana.”
“Eh… Lalu dari mana kalian bisa mendapatkan orang
sebanyak itu?”
“Cukup sudah! Kalian sudah tahu terlalu banyak. Ayo! Keluar
kalian kerbau dungu! Tangkap mereka!”
Begitu laki-laki tinggi kurus melambaikan tangannya, dari balik
gerumbul pohon keluar puluhan laki-laki bertampang seram. Di antara
mereka tampak beberapa orang yang baru saja dilumpuhkkan Seta
Keling dan Anting Wulan di pinggiran hutan. Tanpa harus mengulangi
komando gerombolan laki-laki kasar itu segera melompat menyerang
Seta Keling dan Anting Wulan.
“Apa yang terjadi, adik Loba Leungeun?”
“Oh, Ki Demang… Hanya sepasang kelinci yang tersasar.
Jangan khawatir, kami akan segera menyelesaikan-nya.”
“Tapi agaknya mereka bukanlah sepasang kelinci. Lihatlah,
sebentar lagi lumpuh seluruh orangmu adik Loba Leungeun…”
33 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tenang, biarlah saya yang turun tangan. Apa tidak sebaiknya
tuan masuk ke dalam dahulu? Nanti terjadi sesuatu yang dapat
merusak nama baik Tuan…”
“Hahaha, tidak apa adik Loba Leungeun. Bukankah mereka
tidak akan dapat keluar lagi? Lagi pula mereka tidak mengenal aku
hehehe. He, adik Loba Leungen kau uruslah. Habis anak buahmu
sebentar lagi.”
“Ah, baik Ki Demang.”
Loba Leungeun menjura sejenak, lalu mencelat menghadang
Seta Keling yang sedang sibuk menghajar anak buahnya. Bentaknya :
“Cukup anak muda! Layani aku! Ayo mundur kalian.”
Katanya pada para anak buahnya. Lalu segera menantang Saka dan
Anting Wulan, “Nah, majulah kalian! Lawanlah aku Ki Loba
Leungeun.”
Ki Loba Leungen seorang pendekar dari pantai selatan adalah seorang
ahli dalam hal aji tangan kosong. Hampir seluruh jurus-jurus ganas
dari golongan hitam dikuasainya. Kali ini, pendekar tinggi kurus itu
tampak sudah mulai mengeterapkan Aji Karang Ageung. Setiap gerak
tangan dan kakinya seakan hendak merobohkan bukit.
“Mundurlah Wulan, serahkan yang ini untukku!”
“Mengapa harus Kakang? Aku pun masih sanggup untuk
merobohkannya. Tidak lebih dari sepuluh jurus.”
34 Api Berkobar di Karang Sedana
“Baiklah, tapi hati-hati Wulan. Lawanmu kali ini bagaikan
memiliki tenaga sepuluh ekor gajah. Lawanlah dengan Kincir Metu.”
“Baik. Akan saya lakukan.”
Ki Demang Suwanda, Ki Sentana dan para tokoh dari kelompok
misterius seketika terbelalak melihat gerak dari Anting Wulan yang
tidak dapat diikuti oleh mata wajar mereka. Akan tetapi Ki Demang
Suwanda adalah salah satu tokoh sakti yang disegani di sebagian tanah
Pasundan, dapat mengenali gerak Kincir Metu.
“Mereka dari padepokan Goa Larang.”
“Heh? Maksudmu murid dari Resi Wanayasa?”
“Benar.”
“Hey, Loba Leungeun hati-hati. Kau menghadapi aji Kincir
Metu.”
“Jangan khawatir.”
“Mereka mengenal Kincir Metu. Berarti mereka bukanlah
orang sembarangan. Berbahaya sekali keadaan ini. Yah, aku harus
meninggalkan tempat ini.”
“Mundurlah adik Loba Leungen. Dalimar! Sarpo! Layani
kedua orang itu!”
“Wulan, tinggalkan tempat ini, cepat!”
“Kepung! Jangan beri kesempatan mereka untuk lolos!”
“Wulan, tinggalkan tempat ini. Aku menahan mereka
sebentar.”
35 Api Berkobar di Karang Sedana
Seta Keling terpaksa mendorong Anting Wulan yang kelihatan masih
saja keras kepala untuk tetap di tempat. Kemudian raden Seta Keling
melenting tinggi ke angkasa, menghindar dari serangan Dalimar dan
Darpo, dua tokoh andalan Ki Demang Suwanda. Belum lagi tubuhnya
turun dari angkasa, serangan Dalimar dan Sarpo kembali
mengejarnya. Untuk itu segera raden Seta Keling menyambutnya.
“Tenaga kedua orang ini benar-benar hebat. Wulan telah
berhasil melepaskan diri dari kepungan. Aku akan menyusul sebelum
aku semakin kerepotan dengan hadirnya tokoh-tokoh lainnya di arena
ini.”
“Jangan biarkan mereka lolos!”
Ki Demang Suwanda yang tidak ingin rencana besarnya terbongkar
karena lolosnya kedua remaja dari Goa Larang segera melenting
mengejarnya. Akan tetapi Kidang Mamprung, ilmu lari cepat yang
digunakan kedua remaja dari kelompok Ning Sewu tidak dapat
ditandingi Ki Demang. Beberapa saat saja kedua remaja sudah
berhasil menginggalkan pengejarnya.
“Cukup Wulan. Kita sudah jauh meninggalkan mereka. Kita
beristirahat sebentar. Hari sudah mulai gelap, Wulan. Tempat ini
kelihatannya cukup aman dan bersih untuk kita beristirahat, Wulan.”
36 Api Berkobar di Karang Sedana
“Benar kakang. Seluruh tubuhku juga sudah terasa lelah. Kita
lanjutkan perjalanan kita esok pagi, Kakang.”
Malam itu sepasang remaja murid dari eyang resi Wanayasa tidur di
alam terbuka. Rumput kering yang mengalasi tubuhnya mampu
membuatnya nyenyak hingga esok hari. Pagi-pagi sekali mereka
sudah melanjutkan perjalanannya hingga ketika matahari tepat di atas
kepala, barulah mereka menemukan desa pertama dalam
perjalanannya menuju kotaraja.
“Nasi sayur dan daging kering, Mang.”
“Ah, untuk dua orang, Den?”
“Iya. Kami juga minta sepoci tuak.”
“Iya, baik Den. Eeh, Aden orang baru di sini? Mamang baru
melihatnya kali ini.”
“Benar, Mang. Kami berdua berasal dari Banyuanyar.”
“Oo, Banyuanyar. Wah… wah jauh sekali, Den. Harus
mengitari hutan luas di kaki gunung itu. Eh, ini minumnya dulu, Den.”
“Sayang sekali ya, Mang. Jika dulu sebelum masa paceklik
seperti sekarang ini, perjalanan dari Banyuanyar ke desa ini bisa
dilalui hanya dalam waktu satu hari, Mang.”
“Ahahah, betul Den. Tapi yah… kalau bicara soal dulu
banyak sedihnya, Den. Kami bekerja, berdagang tidak pernah gelisah
seperti sekarang, Den.”
“Apakah di sini juga sering terjadi kekacauan, Mang?”
37 Api Berkobar di Karang Sedana
“Waah, sejak satu tahun yang lalu suasana di sini seperti
neraka, Den. Hampir lima sampai enam kali dalam satu Purnama
mereka datang mengacau kemari, Den. Akan tetapi dalam dua bulan
ini aneh sekali, Den. Mereka tidak pernah hadir ke desa kami.”
Pemilik Warung itu menjawab, sambil mengangsurkan dua porsi nasi
yang telah disiapkannya, “Eeh, ini makannya Den… Neng…”
“Iya. Terima kasih, Mang…” sambut Seta Keling.
“Terima kasih, Mang,” sahut Anting Wulan pula.
“Eeh, aden berdua pengantin baru?”
“Hihihi,” Anting Wulan terkikik mendengar pertanyaan
pemilik warung itu, “Dari mana Mamang menduga kami pengantin
baru?”
“Yaa. Hanya pasangan yang baru saja yang masih senang
keluyuran kesana kemari, Den. Kalau yang sudah karatan mah, yaa…
masing-masing Den.” sahut pemilik warung sambil tertawa.
Raden Seta Keling terbatuk mendengar ucapan ini. Dia
menjadi jengah oleh ucapan “karatan” yang diucapkan secara
bercanda oleh pemilik warung itu. Hal itu terasa cukup menyindir
dirinya. Ya, dia memang sudah dua puluh tujuh tahun, dan masih pula
sendiri. Anting Wulan terkikik mendengar celoteh pemilik warung itu.
Akan tetapi dia tidak merasa bahwa hal itu menyindir kakak
seperguruannya.
“Eeh… hehe, warung Mamang apa setiap hari seperti ini?
Sepi…”
38 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ya… yang datang, yang datang makan yaa ada juga, Den.
Tapi belum seperti dulu. Lagi pula beberapa hari ini banyak orang
yang takut mengadakan perjalanan jauh, Den.”
“Kenapa mereka takut, Mang?”
“Eh, anu… Mereka takut pada kelompok Ning Sewu, Den!”
jawab pemilik warung dengan suara takut-takut.
Kali ini Anting Wulan yang tersedak dan terbatuk-batuk.
Setelah itu dia berseru heran, “Ning Sewu?”
Anting Wulan dan juga Raden Seta Keling tersentak kaget mendengar
kata-kata dari pemilik warung. Kembali nama Ning Sewu menjadi
momok bagi penduduk. Mereka takut pada kelompok dengan Ning
Sewu.
“Apa Mamang tidak salah? Setahu kami, Ning Sewu adalah
sekelompok pendekar yang suka membela rakyat.”
“Ya, kami juga pernah mendengar cerita itu, Den. Semula
orang-orang yang makan di sini bercerita tentang kebaikan Ning
Sewu, Den. Tapi belakangan ini kabarnya Ning Sewu merampok dan
membunuh di mana-mana.”
Anting Wulan menjadi terkulai lemas.
“Huuh…”
“Ada apa Wulan? Tenanglah.”
“Kakang, sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini. Kita
lanjutkan perjalanan kita.”
39 Api Berkobar di Karang Sedana
“Sebaiknya kau habiskan dulu makanmu itu.”
“Aku sudah kenyang, Kakang.”
“Hmm, baiklah. Eh,… Ini uangnya Mang. Mari Wulan…”
“Wuihh, Den. Uangnya terlalu banyak, Den.”
“Ambil saja, Mang.”
“Anggap saja pemberian jadi Neng Sewu!” sela Anting Wulan
ketus.
“Heee? Pemberian dari Ning Sewu? Aneh. Apa maksudnya?
Ning Sewu... Ning Sewu… Hmm… ”
“Itu gerbang kotaraja, Kakang. Kita sampai tepat pada
waktunya. Kita langsung saja ke sana. Sebentar lagi senja akan datang.
Mungkin kakang Dampu Awuk dan kakang Saka sudah menunggu di
sana.”
“Hmm, ya baiklah. Tapi jangan terlampau cepat jalannya. Di
sini banyak prajurit kerajaan yang lalu-lalang. Kau bisa dicurigai.”
“Eeh, baik. Kau benar, Kakang. Aku seakan tidak sabar untuk
mendengar kabar tentang Intan Pandini.” Anting Wulan beralasan,
akan tetapi dalam hatinya, Anting Wulan berpikiran lain, “Ah, aku
berdusta. Aku justru tiba-tiba rindu ingin bertemu dengan kakang
Saka. Oh, dewata… semoga saja Intan Pandini segera hilang dari
kelompok kami. Semoga hilang dari ingatan kakang Saka…”
“Hey! Awas Wulan! Hey,… kenapa kau? Melamun?”
“Eh,… i-iya kakang. Aku melamun.”
“Ada sesuatu yang menyusahkan hatimu?”
40 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tidak kakang. Tidak… Hmm anu,… Bagaimana jika sampai
eyang Resi mendengar tentang sepak terjang Ning Sewu yang
mencemarkan nama baiknya.”
“Jangan khawatir Wulan, eyang Resi sudah mengenal kita
dengan baik. Tentunya tidak akan mudah percaya dengan cerita-cerita
yang tidak tentu kebenarannya.”
“Kakang! Mari cepat, ikuti kereta kuda itu. Orang itu
kakang…”
“Eh, sabar Wulan. Ini kotaraja. Jangan melakukan tindakan
yang dapat menimbulkan kecurigaan.”
“Ah, tapi kakang… laki-laki tua yang ada di dalam kereta tadi
adalah salah seorang tokoh yang kita temui di dalam hutan sana.”
“Hah?! Apa kau tidak salah Wulan? Kereta tadi adalah kereta
pembesar tinggi kerajaan Karang Sedana. Kurasa kau telah salah
lihat.”
“Aduuh, aku belum lagi pikun Kakang. Umurku belum lebih
dari dua puluh satu tahun!”
“Haah, aneh. Aneh sekali. Malam ini juga aku akan mencoba
menyelidiki istana Karang Sedana. Oh itu adik Dampu dan adik Saka,
lihat … dia memandang kemari. Ayo kita temui.”
Sesuai dengan rencana empat orang anggota kelompok Ning Sewu
berkumpul di sebelah timur istana Karang Sedana.
41 Api Berkobar di Karang Sedana
“Bagaimana dengan perjalanan kalian? Ada hambatan?”
“Tidak kakang. Hanya rencana kami ubah. Kami tidak
memperkenalkan diri sebagai kelompok Ning Sewu. Karena
disepanjang perjalanan, kami banyak mendengar tentang nama Ning
Sewu yang mulai menakutkan bagi rakyat desa.”
“Aah, tapi Intan Pandini telah mengetahui siapa kita.”
“Kurasa, Intan Pandini dapat dipercaya. Dia sudah mengenal
betul siapa kita.”
“Ah aku rasa juga demikian Wulan. Adik Awuk, Saka dan kau
Wulan…”
“Ya, kakang?”
“Malam ini kita ke istana. Akan tetapi tidak seperti rencana
semula, menghadap dan menghaturkan sembah bakti dan
menyampaikan salam dari eyang Resi.”
“Loh? Kenapa jadi begitu, Kakang?”
“Aku melihat suatu keadaan yang cukup serius yang sebentar
lagi menimpa kerajaan Karang Sedana…”
Kemudian raden Seta Keling menceritakan semua pengalamannya
bersama dengan Anting Wulan di hutan kaki Gunung Ciremai dan
laki-laki tua yang dilihat Wulan di atas kereta pembesar kerajaan.
“Kita harus menjadikannya dahulu Kakang.”
“Benar. Kita harus menyelidikinya sebelum meng-hadap dan
terperangkap.”
42 Api Berkobar di Karang Sedana
“Bagus. Jika demikian marilah kita atur siasat kita.”
Sementara raden Seta Keling dan kawan-kawannya mengatur rencana
mereka, marilah kita jenguk keadaan istana Karang Sedana.
Malam itu, raja Aji Konda di dalam Keraton Karang Sedana sedang
ber-sinekawa 6 bersama dengan para pembesar istananya. Yang
menjadi pokok bahasan mereka adalah situasi kerajaan yang dirasakan
semakin memburuk, baik mengenai masalah perekonomian maupun
masalah keamanan.
“Paman Dalem, Paman Patih dan Kiai. Terima kasih atas
kesediaan Paman bertiga memenuhi undangan.”
“Daulat Paduka. Sabda Paduka kami junjung tinggi.”
“Iya, terima kasih. Paman-paman sekalian kiranya kita semua
cukup maklum atas kejadian serta keprihatinan yang menimpa di
sebagian besar kerajaan ini. Nah, untuk itu untuk kesekian kali kita
berkumpul, untuk memikirkan masalah ini. Bagaimana kini pendapat
paman-paman?”
“Ampun Tuanku, mengingat jumlah prajurit kita yang sangat
terbatas, rasanya tidak mungkin kita mengirimkan pasukan kita ke
segala penjuru kerajaan untuk mengamankan penduduk. Eh, jadi
maksud hamba, Tuanku dapat mengirimkan utusan pada sang
6 Melakukan pertemuan
43 Api Berkobar di Karang Sedana
mahaprabu Sanna di Galuh. Mohon agar sudi kiranya mengembalikan
tentara Karang Sedana atau meminjamkan tentara Karang Sedaana
untuk beberapa saat guna mengamankan negeri ini, begitu.”
“Aah, apakah itu mungkin, paman Widadung? Apakah bukan
malah aku yang justru akan disalah? Tidak mampu mengamankan
Karang Sedana. Aku ragu Paman… Eeh, bagaimana paman Dalem?
Kyai?”
“Hamba mengerti. Pasukan tuanku yang jumlahnya tidak
terbatas tidak mungkin diperintahkan keluar dari istana dalam jumlah
yang banyak. Untuk itu, hamba mengusulkan… bagaimana jika
Tuanku mengirimkan utusan dan meminta bantuan pada setiap
Padepokan dan perguruan-perguruan silat.”
“Ampun tuanku. Hamba rasa usul dari Kyai Sedawarna
kurang baik bagi kewibawaan Tuanku sebagai pimpinan dan
junjungan di Karang Sedana ini.”
“Hmm, usulmu sendiri bagaimana paman Dalem?”
“Ampun Tuanku. Tuanku dapat mengumpulkan para
penduduk untuk dilatih olah keprajuritan.”
“Aah, tetapi itu akan memakan waktu yang lama, Ki Sentana.”
“Ya, memang. Sedikit memakan waktu, tapi kita akan tetap
memiliki kewibawaan, Tuanku!”
Sementara perdebatan berlangsung di paseban, Raden Seta Keling dan
kawan-kawannya dengan berpakaian hitam-hitam, berkelebat di
antara dinding dan atap-atap istana Karang Sedana.
44 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kakang, lihatlah di bawah sana.”
“Itu pintu kayu besar yang terbuka itu adalah lumbung padi
istana.”
“Hmm, gudang istana… Coba kulihat tempat apakah di
bawah kita ini…”
“Hati-hati membuka gentingnya, Awuk. Bukan tidak
mungkin ada penjaga atau penghuni yang bersiaga di dalam.”
“Jangan khawatir, akan kuintip dulu Kakang.”
“Oh, Kakang! Gudang padi lagi. Banyak sekali padi di dalam
sini.”
“Ah,… ya-ya. Apa yang harus kita lakukan?”
“Kurang ajar Aji Konda. Dia asik-asik di dalam istana
sementara rakyatnya banyak yang kelaparan. Kita beri pelajaran saja
Kakang!”
“Iya, harus diberi pelajaran! Tutup rapat-rapat wajah kalian!
Kita pergi ke gedung besar yang terang itu.”
“Kakang, lihat di bawah sana!”
“Kenapa Wulan?” Seta Keling memandang ke arah yang
ditunjuk oleh Anting Wulan, “Aku melihat sang prabu Aji Konda
bersama… Eh, kurang ajar! Kau benar Wulan. Orang itu yang kita
lihat di hutan sana. Pengkhianat!”
45 Api Berkobar di Karang Sedana
Raden Seta Keling begitu melihat laki-laki tua yang ditunjukkan
Wulan tidak dapat menahan diri lagi.
“Hahahaha! Aji Konda! Keluarlah kau! Aji Konda, kemari,
temuilah aku malaikat pembuat perhitungan atas dosa-dosa manusia.
Hahahaha!”
Sang Prabu Aji Konda dan para pembantunya tersentak ketika
mendengar suara tantangan dari atas genteng di mana ia sedang
berbincang dengan pembantu-pembantunya dan tanpa membuang
waktu lagi raja yang memang memiliki ilmu dan aji kesaktian itu
bersama dengan pembantu-pembantunya melompat ke atas genteng.
“Turun kau tikus-tikus bodoh!”
“Mundurlah kalian! Siapakah kau sebenarnya? Ada apa kau
menyatroni kami tanpa sopan-santun seperti ini?”
“Hahahaha! Patih Widadung yang perkasa, dan Kyai
Sedahwarna. Aku telah mengenal kalian sebagai satria-satria yang
disegani di tanah Pasundan. Tapi jika aku boleh tahu siapakah laki-
laki tua di sebelah sang prabu Aji Konda?”
“Manusia-manusia liar, ketahuilah itu adalah penasihat Dalem
Sentana! Penasehat istana Karang Sedana.”
“Hahahaha, penasihat dalam Sentana atau penghianat dari
Karang Sedana?”
“Kurang ajar! Siapakah kalian ini, eh?!”
46 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kau tidak perlu tahu tentang aku, tapi aku tahu banyak
tentang dirimu. Hahahaha!”
“Kurang ajar!”
“Biar hamba yang memberi pelajaran, tuanku.”
“Tunggu paman Patih! Tunggu!” prabu Aji Konda berkata,
“Eeh… Apakah maksud dan tujuan datang kemari, katakanlah!”
“Bukankah sudah kukatakan, aku datang untuk membuat
perhitungan atas dosa-dosa seseorang. Nah, Aji Konda… Lumbung
padimu terlampau penuh isinya. Sedangkan rakyatmu diluar hidup
penuh keprihatinan!”
“Hemmm, lalu kau kemari hendak memberi pelajaran
padaku? Lakukanlah kalau kau memang mampu!”
“Mundurlah tuanku, biar hamba yang memberi pelajaran pada
mereka!”
“Baiklah, Paman. Tapi jangan bunuh mereka. Aku ingin tahu
siapa mereka sesungguhnya.”
“Baik, Tuanku.”
“Berikan padaku, Kakang!”
Ah, mereka dari padepokan Goa Larang. Ya, pasti itu adalah jurus-
jurus khas perguruan itu. Apa hubungan mereka dengan resi
Wanayasa? Putera nomer dua7 sang prabu Sanna maharaja Galuh. Aku
harus menghentikannya.
7 Seharusnya : Saudara nomor dua dari Prabu Sanna, raja Galuh
47 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tunggu! Berhenti, paman Patih! Tunggu! Anak muda aku
mengenal siapa kalian semua. Tinggalkan tempat ini dan sampaikan
salamku pada gurumu. Aku tidak ingin bertempur dengan kalian! Nah,
tinggalkan tempat ini segera.”
“Kakang, marilah kita tinggalkan tempat ini.”
“Baiklah, tapi ingat-ingatlah pesanku tadi. Perhatikan lah
rakyatmu dan perhatikan pula penasehatmu!”
“Kurang ajar!”
“Sabar paman! Sabar!”
“Aah, kurang ajar! Orang itu benar-benar menghina hamba
Tuan. Siapakah dia? Kenapa Tuanku diamkan saja?”
“Mereka adalah murid dari eyang resi Wanayasa dari
Padepokan Goa Larang.”
“Ooh, kelompok Ning Sewu?!”
“Benar. Marilah kita lanjutkan pembicaraan kita lagi.”
“Baik Tuanku. Eh, Hulubalang! Perketat pengamanan istana.
Aku tidak mau seperti tadi terulang lagi !”
“Celaka! Rahasiaku terbongkar. Untung baginda tidak
percaya begitu saja dengan kata-kata dari anak setan tadi. Aku harus
mempercepat rencana penyerbuan. Malam ini juga aku harus
meninggalkan istana Karang Sedana!” gerutu Ki Jaya Sentana.
48 Api Berkobar di Karang Sedana
Malam itu juga secara rahasia Prabu Aji Konda menghubungi Patih
Widadung dan Kyai Sedawarna untuk mengadakan pembicaraan
khusus.
“Paman Patih, dan Kyai… mungkin sudah maklum dengan
pertemuan yang tanpa kehadiran penasehat Dalem Sentana.”
“Mungkin Tuanku hendak membicarakan perihal Ki
Sentana?”
“Ya kau benar.”
“Tidak ada salahnya jika Paduka memperketat pengawalan
dan mengawasi Ki Sentana secara hati-hati.”
“Aahh, akan tetapi Tuanku... jika hal itu segera kita lakukan,
kita akan menyinggung perasaan Ki Sentana sebagai orang
kepercayaan Tuanku…”
“Tapi demi kepentingan besar, demi kepentingan seluruh
Karang Sedana… hal itu harus kita lakukan Tuanku.”
“Iya. Cukup Paman dan Kyai. Aku akan mengambil
keputusan.”
“Ah, daulat Tuanku. Keputusan Tuanku hamba junjung tinggi
!”
“Penjagaan dapat diperketat. Akan tetapi pengawasan
langsung kepada penasehat Dalem jangan dilakukan dahulu. Akan
tetapi Paman Patih dapat melakukan penyelidikan ke segala penjuru
Karang Sedana. Jangan kirim pasukan, akan tetapi cukup petugas
sandi.
49 Api Berkobar di Karang Sedana
“Daulat Tuanku. Akan hamba kirim petugas sandi sampai
keempat penjuru perbatasan Karang Sedana!”
“Hmm, Bagus! Jika demikian kukira pertemuan ini cukup.
Paman dapat segera melakukan tugas Paman kembali.”
Malam itu juga, Ki Sentana penasehat kerajaan Karang Sedana beserta
kelompoknya Ki Demang Suwanda, Ki Dalimar, Ki Darpo dan Ki
Mahendra mengadakan pembicaraan khusus dan akhirnya diputuskan
untuk mengadakan penyerangan secepatnya.
“Malam ini juga kita akan melakukan penyerangan ke Karang
Sedana. Bersiaplah kalian. Kalian sudah harus tiba besok malam di
gerbang kotaraja. Untuk rencana penyerangan, segera akan kalian
dapatkan dari pimpinan kelompok kalian! Nah bersiaplah!”
Keesokan harinya, sejak pagi hari hingga sore hari, istana dan gerbang
kotaraja kelihatan ada sedikit kesibukan. Pasukan-pasukan cadangan
yang berada di dalam barak dikeluarkan sampai akhirnya ketika senja
mulai turun…
“Tuanku! Tuanku bersiaplah! Tuanku!”
“Mereka datang?!”
“Ah, benar Tuanku. Di gerbang kotaraja pasukan kita sedang
berusaha menahan serbuan mereka!”
“Berapa banyak jumlah pasukan mereka, Paman?”
50 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ampun, Tuanku. Jumlah mereka banyak sekali. Hampir dua
kali lebih banyak dari pasukan Karang Sedana, Tuanku.”
“Jika demikian, kerahkan seluruh pasukan istana, paman
Patih. Jangan biarkan mereka menembus pintu kotaraja. Jaga seluruh
bagian dari dinding-dinding benteng kita!”
“Akan kami usahakan, Tuanku.”
“Apa Paman sudah melihat sendiri dengan mata paman
sendiri keterlibatan penasehat Dalem Sentana?”
“Ah, hamba memang belum melihat. Tapi hamba sudah
merasa pasti, Tuanku. Hamba tidak lagi melihat Ki Sentana setelah
pertemuan malam itu.”
“Ah, baiklah. Kembalilah ke medan sana. Aku akan segera
menyusul setelah menjelaskan masalah ini pada keluargakku.”
“Baik, Tuanku. Hamba segera berangkat.”
“Oh, ada apa ribut-ribut kanda Prabu? Apakah sesuatu telah
terjadi?”
“Iya Adinda. Karang Sedana istana kita yang semula selalu
tenang kini telah berubah, seperti yang kanda khawatirkan semula.”
“Maksud Kanda? Ee… apa yang telah terjadi?”
“Di mana putraku Angling Purbaya?”
“Ada di kamarnya. Dia masih tidur. Oh, ceritakanlah, Kanda.
Apa yang telah terjadi di luar sana?”
“Aah, kemarau yang berkepanjangan agaknya telah membuat
sebagian dari penduduk Karang Sedana menjadi lupa diri. Dan dengan
51 Api Berkobar di Karang Sedana
hasutan seseorang yang culas, sebagian dari penduduk Karang Sedana
telah bergerak.”
“Maksud Kanda, telah terjadi pemberontakan?”
“Benar Dinda.”
“Oh, celaka. Siapakah yang berdiri di belakang mereka
Kanda? Apakah negara tetangga kita ada yang terlibat?”
“Sampai saat ini Kanda belum tahu akan hal itu. Tapi satu hal
yang membuat Kanda kecewa ialah kemungkinan keterlibatan dari Ki
Sentana besar sekali.”
“Kurang ajar, Ki Sentana! Pagar makan tanaman! Oh,
sungguh busuk manusia itu, Kanda!”
“Sudahlah Dinda. Kanda akan segera melihat ke gerbang
kotaraja. Jaga Purbaya jangan biarkan dia main jauh dari dirimu.”
“Tunggu dulu, Kanda. Agaknya Kanda cukup cemas. Apakah
kekuatan pemberontak itu cukup besar?”
“Menurut paman Patih memang demikian. Akan tetapi
janganlah terlalu khawatir. Kanda akan berusaha untuk menahan
mereka. Kanda pergi!”
“Hati-hatilah, Kanda.”
“Hey, satria-satria Karang Sedana! Apa yang telah kalian
lakukan tadi dengan rekan-rekan kalian? Karena ingin menyelamatkan
nyawa kalian, gerbang ini kalian tutup sehingga semua kawan-kawan
kalian yang tidak berhasil masuk habis mati terbantai. Nah,
lemparkanlah kebawah sini anak panah dan semua senjata kalian, dan
bukalah pintu gerbang ini, maka kalian semua akan kami ampuni.
52 Api Berkobar di Karang Sedana
Hayoo, bukalah cepat gerbang kalian, dan kalian semua akan selamat.
Jangan memperbodoh diri kalian sendiri. Aku tahu jumlah dan
kekuatan kalian. Kekuatan kalian tidak lebih dari separuh kekuatan
kami. Ayo, menyerahlah!”
Ribuan para pemberontak yang nampak liar dan haus akan
pembunuhan, berteriak sambil mengacung-acungkan senjata mereka.
Ki Demang Suwanda yang merupakan salah seorang tokoh utama dari
kelompok pemberontakan kelihatan menjadi semakin geram, ketika
menyadari ancamannya tidak digubris oleh prajurit Karang Sedana.
“Keluarkan balok pendobrak yang telah kalian siapkan!
Hancurkan gerbang itu! Dan bunuh semua manusia di dalamnya!”
“Satu! Dua! Tiga”
“Hey, jangan biarkan mereka menghancurkan gerbang.
Hujani terus dengan anak panah kalian! Hooy, sayap kiri dan kanan,
pusatkan serangan kalian ke kereta pendobrak itu!”
“Bagaimana dengan gerbang timur dan barat, Hulubalang?”
“Baru saja hamba dapat laporan, bahwa kekuatan terbesar ada
di sini.”
“Oh, pertahankan terus dengan sekuat tenaga gerbang ini.
Yah, jika sampai bobol kita tidak akan dapat menahan arus serangan
pasukan sebanyak itu.”
53 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ya, kau benar Patih. Pasukan mereka sangatlah besar
jumlahnya. Dan,… oh agaknya sebentar lagi gerbang ini akan bobol.
Pasukan panah mereka di bawah sangat banyak yang balas menyerang
untuk melindungi pembawa kereta pendobrak itu.”
“Kita bantu menahan kereta itu dengan panah, paman Patih.”
“Baik, Tuanku.”
Melihat serangan dari kereta pendobrak yang bermuatan batang pohon
besar sangat berbahaya, maka prabu Aji Konda dan patih Widadung
kemudian ikut turun tangan membantu menahan lajunya serangan
pemberontak. Tameng itu terpental jatuh dan beberapa saat kemudian
terdengar teriakan dari beberapa orang korban pembawa kereta
pendobrak itu. Demikianlah, beberapa saat lajunya usaha pendobrak
mulai tertahan dengan serangan-serangan dari sang Prabu dan patih
Widadung.
Sementara itu, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk peperangan, di
sebelah selatan dari istana Karang Sedana tampak raden Seta Keling
dan adik-adiknya sedang beristirahat.
“Kakang, agaknya sebentar lagi Karang Sedana akan kembali
hijau. Hujan akan turun. Lihatlah, burung-burung pun sudah mulai
nampak banyak di sekitar Karang Sedana. Burung-burung sudah dapat
membaca bahwa hujan akan segera turun.
“Ha? Apa maksudmu dengan hujan?”
54 Api Berkobar di Karang Sedana
“Lihatlah itu, kakang Seta, kakang Saka, kakang Dampu…
Bukankah itu…”
“Oh, celaka! Mereka sudah mulai. Kita segera ke sana! Itu
adalah kobaran api ! Ya, dari arah Karang Sedana! Ayo, kita lihat !”
“Dinda! Sedang apa di sini? Mengapa tidak masuk ke dalam?”
“Kanda Prabu, sejak kepergian Kanda, dinda merasa sangat
cemas sekali. Dinda menjadi tidak betah dan serba salah di dalam
istana. Oleh karena itu, Dinda keluar dan menunggu Kanda di sini.
Sambil melihat-lihat orang-orang yang sibuk berlari kesana-kemari.”
“Bersiaplah, Dinda. Mungkin sebentar lagi Dinda akan
berangkat pergi dari istana ini.”
“Lalu, bagaimana dengan Kanda Prabu? Ikut bersama
Dinda?”
“Ah, Kanda masih akan berusaha menahan serangan mereka.
Jika tidak juga berhasil, maka Kanda akan segera menyusul.
Bersiaplah Dinda. Jangan kenakan baju Dinda, tapi kenakanlah baju
Bibi Emban.”
“Jadi maksud Kanda, dinda harus menyamar dan pergi
seorang diri tanpa ditemani kanda Prabu?”
“Iya. Dinda akan pergi tanpa Kanda. Tapi dinda akan diantar
oleh Karewang, hulubalang kerajaan. Bersiaplah Dinda. Dan… kau
juga Karewang.”
“Baik Tuanku, hamba akan kembali untuk berganti pakaian,
Tuanku.”
55 Api Berkobar di Karang Sedana
“Aaah, tidak ada waktu, Karewang. Kau masuklah ke dalam,
carilah pakaian dari seorang abdi dalem ku.”
“Hamba segera bersiap, Tuanku. Dan beberapa orang prajurit
akan hamba siapkan untuk membuka jalan di gerbang timur yang agak
lemah, Tuanku.”
“Ah tidak. Kau pergi seorang diri, Karewang.”
“Ah? Seorang diri…?”
“Ya. Dan kau tidak perlu melalui gerbang timur. Ikutilah saja
istriku. Dia akan menunjukkan jalan rahasia keluar dari istana ini
hingga sampai di luar kotaraja. Bawa istriku ke pada Kyai Sedawarna,
kawanku di gunung Sawal.”
“Ah, baik Tuanku. Hamba pamit untuk bersiap, Tuanku.”
“Baiklah.”
“Hapuslah air matamu Dinda, jangan menangis. Semua ini
mungkin sudah kehendak dewata. Pergilah cepat. Eh… dimana
Purbaya?”
“Dia sedang bermain di belakang, bersama Cempaka.”
“Ya, Cempaka emban pengasuh Purbaya bisa juga kau ajak.
Pergilah cepat padanya. Jika dia menanyakanku, aku sedang berusaha
mempertahankan Karang Sedana.”
“Jaga diri Kanda baik-baik. Dinda akan menunggu di sana.”
Sementara itu pergulatan dan usaha dari pihak pemberontak nampak
semakin membuahkan menampakkan hasil. Telah berkali-kali kereta
penggedor sempat menggedor gerbang utama Karang Sedana. Pintu
56 Api Berkobar di Karang Sedana
gerbang yang kokoh dan dilindungi hujan anak panah para prajurit,
perlahan-lahan mulai kelihatan rusak di sana-sini.
“Satu, Dua, Tiga!”
“Hahahaha! Hey patih Widadung! Sebentar lagi pintu itu akan
hancur. Dan Karang Sedana akan ku buat banjir dengan darah kalian
prajurit-prajurit bodoh! Hayo terus dobrak dan hancurkan gerbang
itu.”
“Hancurkan, hancurkan pintu gerbang itu. Ayo kita
hancurkan! Dobrak saja!”
“Setan gila, entah dari mana Ki Sentana dan demang gila ini
mengumpulkan orang liar sebanyak ini?
“Hooi, demang gila! Tidak bosan-bosankah engkau mengacau
disana-sini? Jika sang mahaprabu Sanna di Galuh mengetahui semua
ulahmu ini, maka tentu kau tidak akan diampuni untuk kedua
kalinya!”
“Hey, kau tidak perlu menakuti aku dengan nama Sanna. Aku
tidak takut pada dia. Justru persiapanku kalil ini untuk membalaskan
sakit hatiku padanya. Galuh satu saat juga akan aku hancurkan!”
“Gila, setan satunya ini benar-benar gila. Eeh, entah dimana
setan satunya si ular kepala dua dan Ki Sentana.”
Semangat juang dari pemberontak-pemberontak liar benar-benar
menggetarkan seluruh prajurit Karang Sedana. Mereka terus saja
57 Api Berkobar di Karang Sedana
maju, tanpa mengenal arti takut. Dan hampir dapat dipastikan bahwa
beberapa saat lagi gerbang utama dari Karang Sedana akan segera
hancur. Akan tetapi…
“Anting, hancurkan kereta itu.”
“Kakang Saka, kakang Dampu, lindungi aku!”
“Kurang ajar, ternyata kalian. Kau rasakan ini, anak muda tak
tahu diri.” bentak Ki Demang Suwanda geram.
“Mundur kalian, ini bagianku.”
“Setan! Kuremukkan kau bocah sombong!”
Ki Demang Suwanda adalah seorang tokoh sakti yang memiliki
beragam ilmu dari golongan putih maupun hitam. Dan salah satu ilmu
andalan yang menjadi kebanggaannya adalah Kelabang Seribu, yang
merupakan pukulan beracun yang sangat berbahaya.
“Kincir Metu!”
“Kau kira aku gentar dengan Kincir Metu mu, bocah?”
Kedua tangan Ki Demang nampak mulai menghitam, dan Patih
Widadung yang sejak tadi mengawasi pertempuran itu, mengenal
ganasnya ilmu pukulan beracun itu.
Ketika pertempuran antara raden Seta Keling dan Ki Demang
Suwanda telah mencapai puncaknya, pertempuran lainnya disekeliling
mereka tanpa dikomandokan berhenti dengan sendirinya. Dan arena
58 Api Berkobar di Karang Sedana
pertempuran mereka pun terbentuk karena angin pukulan mereka yang
mencapai beberapa tombak.
Para prajurit pemberontak dan prajurit Karang Sedana yang
menyaksikan dari atas benteng gerbang semua tampak melongong
melihat pertempuran tingkat tinggi. Di tengah arena, mereka hanya
mampu melihat kelebat orang bertempur tanpa dapat
membedakannya.
“Awas raden! Pukulan beracun Kelabang Seribu!”
“Hmm, Kelabang Seribu… Aku harus menghindarkan
persentuhan tangan dengannya. Racun itu sangat berbahaya.”
“Kurang ajar! Aku tidak bisa mengalahkan aji Kincir Metu.
Bagaimana aku dapat menyatakan diri sebagai tokoh golongan tua?
Huh! Aku harus mempercepat seranganku.”
“Serangannya semakin berbahaya saja, harus ku keluarkan
juru pamungkas Kincir Metu.”
“Sambut seranganku, mampus kau anak muda!”
“Tinggalkan tempat ini, naik ke gerbang!”
“Dimana Ki Sentana? Katakan padanya bahwa aku akan
menarik pasukan untuk sementara. Kita tidak akan dapat masuk tanpa
kereta pendobrak itu. Ayo, mundur!”
Kehadiran keempat anggota Ning Sewu di kotaraja kali ini benar-
benar menggembirakan seluruh prajurit. Harapan mereka yang semula
hilang kini telah tumbuh kembali.
59 Api Berkobar di Karang Sedana
Setelah mengalahkan Ki Demang Suwanda…
“Terima kasih atas bantuan kalian,” ucap patih Suwanda pada
raden Seta Keling dan saudara-saudaranya.
“Tinggal beberapa waktu di sini anak-anak muda bantulah
kami. Kelak aku akan datang untuk mengucapkan terima kasih ke
Padepokanmu, dan menghadap eyang remi Wanayasa.”
“Kami memang datang kemari atas perintah guru, untuk
membantu Karang Sedana dari gangguan pengacau. Akan tetapi yang
terjadi di sini, justru lebih dari sekedar pengacauan.”
“Hmm. Marilah anak-anak muda dan kau paman Patih, kita
beristirahat di dalam keraton.”
“Bagaimana paman Patih, apa kira-kira kita akan dapat
menahan serangan mereka yang berikutnya?”
“Ampun tuanku, beribu ampun. Hamba tidak bisa memberi
kepastian. Hamba ragu… Eh, hamba ragu dengan kemampuan kita
yang ada pada saat ini untuk menahan serangan pasukan
pemberontak.”
“Paman Widadung benar. Aku pun juga ragu jika dalam
situasi seperti ini. Eh sejak 3 bulan yang lalu kita terlena. Kita tidak
memulai menyiapkan kembali pasukan kita. Sejak Prabu Sanna
mengambil 5000 prajurit kita.”
“Tuanku tidak bersalah. Saat itu Tuan menyimpulkan bahwa
tidak perlu untuk menyiapkan prajurit karena keadaan dari Karang
Sedana yang memprihatinkan. Kemarau seakan-akan melumpuhkan
sebagian besar dari sendi-sendi perekonomian kita.”
60 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ooh, anak-anak muda… Apakah kalian mempunyai
pertimbangan atau usul untuk menyelesaikan masalah ini?
Katakanlah, mungkin justru kau yang dapat menolong kami seperti
yang baru saja kau lakukan.”
“Ampun tuanku sebelumnya hamba ingin me-nyampaikan
dulu salam dari guru kami. Eeh, mengenai masalah yang sekarang
sedang dihadapi oleh Karang Sedana memang sangatlah berat.
Pasukan pemberontak yang kita hadapi jumlahnya jauh lebih banyak
dari pasukan Karang Sedana. Maka untuk menghadapinya janganlah
dengan cara beradu dada.”
“Hmm, apa maksudmu anak muda? Bergerilya?”
“Hampir seperti itu, Tuanku. Tuanku dapat mengirimkan
beberapa orang berilmu untuk mengadakan pengacauan di tempat
mereka. Membakar persediaan makanan mereka dan perlengkapan
perang mereka. Dengan habisnya persediaan makan mereka, tidaklah
mungkin mereka masih berkeliaran di sekitar sini. Yaa, kira-kira itulah
usul dari hamba.”
“Hmm, bisa juga diterima usulmu. Tapi apa tidak ada usul
yang lain? Karena aku sangat mengkhawatirkan keselamatan orang-
orang yang bertugas ke sana.”
“Ampun, Tuanku. Jika hanya itu keberatan Tuanku dengan
usul kakang Seta, Tuanku dapat mempercayakan tugas itu pada kami.”
“Benar, Tuanku. Kedatangan kami kemari memang justru
untuk tugas itu aku.”
61 Api Berkobar di Karang Sedana
“Aku mengerti. Kalian adalah satria-satria yang pantang
mengenal takut. Kalian adalah satria-satria perkasa asuhan dari eyang
resi Wanayasa dari Padepokan Goa Larang. Tapi untuk masuk ke
dalam sarang pemberontak yang jumlahnya sekitar enam ribu orang
dan juga penuh dengan tokoh-tokoh sakti, sangatlah berbahaya!”
“Tugasi kami, Tuanku. Kami tidak takut dengan bahaya-
bahaya yang Tuanku ceritakan itu.”
“Ahh, jika sampai terjadi apa-apa dengan kalian, hmm…
bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan-nya.”
“Maafkan saya, Tuanku. Bagaimana jika Tuanku memohon
pertolongan pada Mahaprabu Sanna di Galuh?”
“Hmm, agaknya Mahaprabu Sanna di Galuh sedang
merencanakan pendudukan di luar pulau. Eeh, untuk itu lima ribu
pasukan dari Karang Sedana telah dimintanya.”
“Saya kira tidak ada jalan lain, Tuanku. Kami berempat akan
mencoba masuk ke dalam daerah pertahanan mereka dan membuat
kekacauan di sana.”
“Hmm, baiklah. Jika kau yang memaksa, pergilah. Aku akan
berdoa pada Hyang Widi untuk keselamatan kalian.”
“Terima kasih, Tuanku.”
“Eeh, tunggu! Kalian belum memperkenalkan diri.
Bagaimana aku bisa tenang menerima budi kalian, jika nama kalian
saja aku tidak tahu?”
“Ampun beribu ampun, Tuanku. Hamba berempat adalah
anak-anak desa yang hina yang dapat hidup sampai saat ini adalah
62 Api Berkobar di Karang Sedana
karena kemurahan hati eyang guru Wanayasa yang telah menolong
kami pada masa kecil. Eeh… saya adalah Seta Keling. Dan adik
seperguruan saya ini adalah Saka Palwaguna, Dampu Awuk dan
Anting Wulan.”
“Hmm,… Nah, Seta Keling berangkatlah segera setelah
kalian cukup beristirahat. Doaku bersama kalian.”
“Terima kasih, Tuanku. Hamba pamit !”
“Istirahatlah kalian. Sebentar lagi, jika senja sudah menjadi
gelap, kita sudah harus meninggalkan istana Karang Sedana untuk
mencari daerah pertahanan pemberontak.”
“Ah, iya kakang. Nasib kita baik sekali, kakang. Kita kini
menjadi orang terhormat. Baginda raja Aji Konda pun kelihatan segan
pada kita. Yah, kalian merasakan tidak, adik Awuk? Adik Wulan?”
“Kita menjadi orang terhormat hanya saat ini saja. Karena saat
ini kita membantu baginda Raja mengamankan Karang Sedana. Saat
lain jika kita bertemu mungkin sikap Baginda akan berubah. Tidak
lagi seperti ini.”
“Kau salah adik Awuk. Kita dihormati bukan karena bantuan
kita terhadap mereka tapi karena eyang guru Wanayasa.”
“Iya, kakang benar. Karena gurulah kita dihormati oleh prabu
Aji Konda.”
“Kalian salah. Kita dihormati adalah karena mahaprabu Sanna
dari Galuh. Coba saja, jika eyang bukan saudara dari mahaprabu
Galuh, apakah juga kita akan dihormati?”
63 Api Berkobar di Karang Sedana
“Haeehh, sudahlah. Jangan berbicara macam-macam.
Istirahatlah. Ingat, kalian mempunyai tugas yang sangat berat malam
nanti, kumpulkan tenaga kalian. Bersemedilah.”
“Baik kakang.”
Sang mentari senja menebarkan sayap-sayap merahnya hanya
beberapa saat saja. Dan ketika sang mentari perlahan-lahan meluncur
turun dari ufuk timur, Dewa Kegelapan yang sejak tadi telah
mengintip, menunggu kesempatan, kini telah muncul dan menebarkan
sayap-sayapnya menyelimuti alam semesta.
Di keremangan malam, udara terasa dingin menusuk tulang. Suasana
kerajaan Karang Sedana sunyi dan senyap. Hampir diseluruh bagian
jalan Karang Sedana tidak dapat ditemui bayangan seorang penduduk
sekalipun. Akan tetapi ketika malam semakin gelap, dari arah timur
Istana Karang Sedana terlihat empat bayangan berkelebat cepat
menuju ke arah luar kota.
“Berhenti sebentar adik semua.”
“Ada apa kakang? Kenapa kita berhenti di sini?” tanya Saka
Palwaguna.
“Kita akan mencari mereka. Saat ini kita belum mengetahui
tempat mereka beristirahat.”
64 Api Berkobar di Karang Sedana
“Mereka pasti beristirahat di sebuah daerah terbuka yang luas.
Mereka tidak mungkin mempergunakan kota atau desa untuk
beristirahat, karena demi pertimbangan keamanan.”
“Ya, tapi dimana lapangan luas itu? Oya coba kita lihat di
sebelah barat kita. Ayo, kita ke arah barat!”
“Awas, stop. Hati-hati ada beberapa ekor kuda menuju ke arah
kemari.”
“Benar, kakang Seta. Mereka pasti berada di sana. Penjagaan
sudah ada di sekitar sini. Kita teruskan perjalanan kita”
“Aku minta, berhati-hatilah kalian. Ayo!”
Raden Seta Keling dan kawan-kawannya semakin meningkatkan
kewaspadaannya ketika tahu bahwa mereka sudah tiba di tempat yang
ditujunya.
***
Sementara itu Roro Angken, permaisuri dari sang prabu Aji Konda
bersama dengan putranya raden Angling Purbaya, Cempaka pengasuh
puteranya, dan hulubalang Karewang yang mengawal pelariannya
melalui lorong rahasia dari puri istana yang terletak di pinggiran
benteng, mereka keluar dari kotaraja.
“Ibu, menuju ke manakah kita? Mengapa Ayahanda Prabu
tidak bersama kita?” raden Purbaya memecah kesunyian.
65 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kita akan meninggalkan istana, untuk sementara.
Ayahandamu nanti akan menyusul kita…” jawab ibunya yang tanpa
dapat menahan perasaannya lagi, kemudian dia pun merintih, “Ah,
kanda Prabu…”
“Jangan Bunda menangis, kenapa?”
“Aku menangis karena ayahmu tidak menyertai kita saat
ini…”
“Kenapa harus menangis? Bukankah Ayahanda akan
menyusul kita?” tanya raden Purbaya lagi.
Rara Angken tidak menjawab, dia memandang ke arah
hulubalang Karewang lalu berkata,
“Paman Karewang,…”
“Hamba Tuanku?”
“Bisakah kita beristirahat di sini?”
“Eeh, hamba kira bisa Tuanku. Kita sudah cukup jauh dari
kotaraja. Hutan kecil ini tidak mungkin disinggahi mereka, jika saat
ini mereka tidak berhasil menguasai kotaraja, Tuanku.”
“Cempaka,… ambilkan kain tebal untuk alas puteraku tidur.”
“Tidak ibunda. Purbaya tidak akan tidur.”
“Oh, kau harus beristirahat, anakku. Perjalanan kita masih
cukup panjang.”
“Tidurlah, Raden. Nanti Raden akan dibangunkan jika sudah
cukup beristirahat. Dan kita akan segera melanjutkan perjalanan.”
“Tidak bibi Cempaka. Aku tidak dapat tidur. Aku… Eh,
paman Karewang ceritakanlah, apa yang sebenarnya terjadi. Jika ini
66 Api Berkobar di Karang Sedana
memang perjalanan kunjungan ke gunung Sawal, kenapa tidak
memakai kerajaan? Kenapa kita berangkat secara diam-diam melalui
lorong bawah tanah yang gelap tadi? Kenapa aku disuruh memakai
pakaian orang lain yang tidak aku kenal. Ceritakanlah, pasti Paman
dan Ibunda menyembunyikan sesuatu.”
“Oh, ceritakanlah Tuanku. Agaknya raden Purbaya dapat
merasakan situasi yang tidak seperti biasanya, ia sudah boleh
mengetahuinya, hamba kira.”
“Ceritakanlah Paman. Jelaskanlah semua apa yang terjadi
padanya sejelas-jelasnya.”
“Ada apakah, Paman?”
“Karang Sedana kini sedang dilanda perang, Raden.”
“Perang? Yang sering diceritakan Ayahanda? Manusia saling
membunuh untuk mencari kemenangan?”
“Iya, Raden. Begitulah yang kini terjadi di istana sekarang
ini.”
“Jadi Ayahanda Prabu juga sedang berperang? Sedang
membunuh?”
“Ayahanda Raden saat ini sedang membela dan
mempertahankan haknya, Raden. Hak ibunda dan Hak Raden sendiri.
Ayahanda Raden kini sedang berjuang.”
“Apakah Ayahanda akan mati dalam peperangan itu, Paman?”
“Hmm,” hulubalang Karewang tersenyum kecil, “Ayahnda
Raden adalah seorang yang sakti. Yang memiliki beragam ilmu
67 Api Berkobar di Karang Sedana
kepandaian, Raden. Ayahanda akan selamat, janganlah Raden
khawatir.”
“Paman bohong! Paman dusta! Ayahanda pasti akan mati.
Seperti yang terjadi dalam perang yang pernah saya dengar. Ayahanda
pasti akan terbunuh. Paman dusta!”
“Ooh, anakku Purbaya…”
“Ibu juga dusta! Ibunda membohongi aku. Ayahanda pasti
akan mati. Jika tidak, kenapa ibu menangis? Kenapa kita harus pergi
dengan cara seperti ini?” Purbaya mulai terisak, “Kalian semua
dusta!”
“Dengarlah, Raden. Kita meninggalkan istana saat perang
sedang berlangsung. Bagaimana kuatnya dan besarnya pun jumlah
musuh, Ayahanda Raden pasti akan segera dapat meloloskan diri dari
kepungan mereka, Raden.”
“Paman bohong! Ayahanda pasti mati dalam peperangan itu.
Ayahanda adalah seorang kesatria. Ayahanda tidak mungkin
melarikan diri.”
“Kita teruskan saja perjalanan kita, paman Karewang. Iya,
benar Purbaya. Keadaan di Karang Sedana sangat berbahaya, oleh
karena itu kita pergi dari sana. Tapi itu belum berarti Ayahandamu
akan perlaya8 di sana.”
“Huh! Siapakah musuh-musuh Ayahanda, Bunda?”
8 Gugur, Tewas, Mati
68 Api Berkobar di Karang Sedana
“Oh, sudahlah anakku. Tidak perlu kau ketahui saat ini. Kelak
jika saatnya tiba, kau pun akan mengetahui dengan sejelas-jelasnya.”
“Ya! Jika saatnya telah tiba, akupun akan membalas
perbuatannya yang sudah menyusahkan kita.”
“Iya, mari Raden, kita lanjutkan perjalanan kita.”
Dengan isak yang tertahan dan langkah yang tersaruk-saruk, Roro
Angken melanjutkan perjalanannya meninggalkan Karang Sedana.
Untuk tiba di tujuan mereka masih harus melakukan perjalanan yang
panjang. Raden Angling Purbaya yang telah mengetahui duduk
permasalahannya kini justru berjalan dengan gagah disamping ibunya.
Seakan-akan siap menjadi pembela apabila ada seseorang yang
mengganggu ibunya yang kini sedang dirundung kesedihan.
Sementara itu, Raden Seta Keling dan ketiga adik seperguruannya
telah tiba di daerah yang ditujunya.
“Kakang, lihat itu di sana Kakang”
“Betul, Kakang. Cahaya temaram di tengah lapangan besar
itu, pastilah mereka.”
“Kalian benar. Lihat itu, di depan sana ada beberapa orang
penjaga. Agaknya itu adalah pos terdepan mereka. Ayo, kita dekati!”
“Sebagian besar dari mereka agaknya sudah tertidur, Kakang.
Hmm, kita harus mencari tempat perbekalan mereka.”
69 Api Berkobar di Karang Sedana
“Perbekalan mereka pastilah ditaruh dalam gerobak. agar
mudah dipindah-pindahkan.
“Iya, tapi tidaklah mudah mencari gerobak perbekalan mereka
di antara ribuan orang yang bertebaran dalam gelap seperti ini. Coba
kita kitari tempat ini, dari sudut sana agaknya kita dapat melihat
dengan sedikit jelas. Kalian lihat tiga api unggun yang jauh disana.
Kukira mereka adalah penjara tempat berbekalan.”
“Ayo, kita coba lihat ke sana.
“Ah, Awas kakang! Lihat itu disebelah kanan kita, banyak
tubuh-tubuh prajurit yang tidur bertebaran.”
“Kita tidak dapat lewat terus, Kakang. Terpaksa harus
mengitari prajurit yang berterbaran di kanan kita ini.”
“Kita lewati saja, Kakang. Bukankah kita dapat terus
melompati mereka. Sebagian besar dari mereka sedang tidur. Mereka
pasti tidak dapat melihat kita dalam suasana gelap seperti ini.”
“Ya, baik. Kita coba usul Wulan untuk melompati mereka.”
“Biar aku yang dahulu.”
“Aku coba, kakang.”
“Hati-hati Awuk, tubuh mereka bertebaran. Jangan sampai
menginjak mereka.”
“Jangan khawatir.”
Agar tidak membuang-buang waktu, akhirnya raden Seta Keling
menerima usul dari Anting Wulan. Gadis manis yang sedikit
pemberang mendahului kakak-kakaknya, melenting melompati para
70 Api Berkobar di Karang Sedana
prajurit yang sedang tertidur. Kemudian diikuti oleh Kakak
seperguruannya. Bayangan mereka berkelebat ringan, sempat dilihat
oleh beberapa orang prajurit. Akan tetapi gerakan mereka di dalam
keremangan malam tak dapat ditangkap oleh mata prajurit itu secara
utuh. Sehingga para prajurit itu mengira adalah sekawanan burung
malam yang sedang berkeliaran mencari makan.
“Lihat ! Dari sini jelas bukan?”
“Iya, Kakang. Gerobak-gerobak yang penuh berisi dengan
karung. Dikelilingi oleh tiga api unggun. Pada setiap api unggun ada
tiga orang penjaganya.”
“Kakang, apa yang akan kita lakukan sekarang? Kita langsung
membakar gerobak itu?”
“Ah… ya-ya. Kita tidak boleh membuang waktu lagi. Mana
minyak Jarak9 nya?”
“Ini kakang Seta.”
“Ah sudah, pegang saja. Kau yang bertugas membakar
gerobak itu. Aku, adik Dampu Awuk dan Anting Wulan akan
membungkam dahulu para penjaga malam itu.”
“Baik Kakang.”
“Siap kalian? Adik Awuk kau selesaikan yang sebelah kiri,
tiga-tiganya. Anting yang jauh di sebelah sana. Dan aku yang di
sebelah kanannya. Mulai !”
9 Minyak Jarak, Castor Oil (Ricinus communis) adalah minyak yang dihasilkan dari biji pohon Jarak. Tanaman ini cukup beracun.
71 Api Berkobar di Karang Sedana
Serangan ketiga remaja yang dilakukan dengan kecepatan tinggi
membuat sembilan penjaga malam di seputar api unggun tak dapat dan
tak sempat berteriak minta tolong. Sementara Saka Palwaguna
mempergunakan kesempatan tersebut untuk membasahi karung-
karung yang berisi bela; mereka dengan minyak jarak. Dan beberapa
saat kemudian…
“Kita berhasil. Berhati-hatilah. Sebentar lagi pasti ada seorang
di antara mereka yang melihat.”
“Kita akan menahan beberapa orang pertama yang akan
berusaha memadamkan api ini.”
“Ya, dan kita akan segera meninggalkan tempat ini, begitu api
ini cukup besar.”
“Apiii ! Apiii ! Hoy, Apiii !”
“Celaka! Api belum cukup besar membakar karung-karung.”
“Orang yang teriak jauh sekali, Kakang. Aku tak dapat
melihat orang itu lagi.”
“Bangun semuanya! Apiii ! Ada musuh datang! Padamkan api
!”
“Hayoo! Siapa yang maju ke arah api ini? Mati kalian semua!”
“Aah, kurang ajar! Kalian lagi rupanya! Ayo, serang mereka,
selamatkan perbekalan kita!”
72 Api Berkobar di Karang Sedana
Pertarungan segera berlangsung dengan serunya. Keempat kalinya
kelompok Ning Sewu mendapat perlawanan hebat dari pasukan
pemberontak. Ki Darpo dan beberapa orang temannya mengepung
Saka palwaguna. Sedangkan Ki Suwanda yang baru saja tiba bersama
dengan beberapa orang pembantunya segera menempatkan diri
menghadapi raden Seta Keling dan Anting Wulan. Sedangkan Dampu
Awuk dihadapi oleh gedug-gedug Jagalpati dan dua orang saudaranya,
Jagal Lanang dan Jagal Belo.
“Adik Wulan, tinggalkan aku! Lihat itu kakangmu Dampu
Awuk terdesak hebat,” seru raden Seta Keling.
“Baik, Kakang,” sahut Anting Wulan. Dia segera mendekati
Dampu Awuk. Lalu katanya pada Dampu Awuk, “Kakang, tinggalkan
yang dua itu!”
“Kali ini kau tidak akan kulepaskan anak muda. Dan usahamu
itu tidak akan berhasil dengan baik. Persediaan kami yang belum
sempat terbakar masih cukup untuk dua tiga hari dan waktu itu bagi
kami sangat cukup untuk keperluan mengusir Aji Konda.”
“Hey, jangan banyak mulut! Manusia busuk begundal
Sentana. Penghianat licik! Mana manusia licik itu? Mengapa dia tidak
tampil menghadapi kami?”
“Hey, kau tidak usah mencari Ki Sentana. Aku pun dan
kawan-kawan cukup untuk memusnahkan kalian. Ayo, jangan kasih
kesempatan mereka untuk bernafas!”
“Kakang! Anting terluka, Kakang.”
73 Api Berkobar di Karang Sedana
Pertempuran terus berlangsung dengan seru-nya. Raden Seta Keling
beserta tiga saudara seperguruannya bertempur bagaikan banteng
yang terluka. Mengamuk, membabat musuh-musuhnya. Akan tetapi
setiap dari anggota Ning Sewu dikepung oleh puluhan orang yang
seakan-akan tak pernah habis dan lagi tekanan dari kepungan mereka
semakin lama semakin memperberat dengan hadirnya tokoh hitam di
antara mereka. Sampai pada suatu saat…
“Hahaha, kau tidak akan bisa lolos, anak muda! Kau
tinggalkanlah kepalamu di sini, aku memerlukan tengkorak kepalamu
untuk senjata baru yang akan segera kuciptakan.”
“Aah, justru aku yang memerlukan batok kepalamu! Lihatlah
seranganku ini.” bentak Dampu Awuk.
“Hahaha, kau tak dapat menyerang dengan baik ya? Lima
orang ini adalah lima orang pembantuku dari Bukit Tengkorak. Aku
tidak takut dengan Kincir Metu-mu. Dan kau tidak akan dapat
mengeterapkan ajianmu. Sedetik kau bersiap karena kau akan terkapar
mati.”
“Untuk menghadapimu, aku tidak perlu mempergunakan
Kincir Metu!” kali ini raden Saka Palwaguna yang sesumbar.
“Adik Saka, tinggalkan tempat ini. Biarlah aku yang menahan
mereka.” seru raden Seta Keling.
Dengan sejuta kerepotan, Dampu Awuk, Saka Palwaguna dan Seta
Keling melompat, melenting dan menahan serangan kiri dan kanan
guna membuka kepungan yang berlapis-lapis. Ketiganya bertempur
74 Api Berkobar di Karang Sedana
sampai melindungi Anting Wulan yang sudah agak limbung
gerakannya. Hingga ketiganya tiba pada akhir kepungan, raden Seta
Keling dan Saka Palwaguna segera membimbing Anting Wulan, dan
kemudian bagaikan terbang mereka melesat meninggalkan arena
dengan aji Kidang Mamprung.
“Kurang ajar! Mereka berhasil melarikan diri,” Ki Demang
Suwanda mengumpat.
“Biarkan saja, Ki Demang. Mereka besok tidak akan
mengganggu kita. Karena saudaranya yang seorang berhasil dilukai
oleh adik Jagal Belo dengan pukulan beracunnya.” sahut Ki Darpo tak
acuh.
“Hmm, jika demikian kita akan mempergunakan waktu yang
tepat untuk kembali menyerang Karang Sedana. Siapkan
kelompokmu, Ki Darpo! Aku akan segera menyiapkan kelompokku.”
“Ya.”
Ki Darpo menjawab pendek.
***
“Ooh, aduh.”
“Tenanglah adik Wulan. Kami akan coba keluarkan racun ini
dari pundakmu. Duduklah…”
“Maaf, adik Wulan… Saya akan membuka baju bagian
atasmu.”
75 Api Berkobar di Karang Sedana
“Wah, Kakang, lihat ! Racun itu agaknya sudah sampai ke
pinggang nya. Cepat hentikan!”
“Hentikan jalan darah di sekitar perutnya, sebelum hancur isi
perutnya. Aku akan melukai pusat pukulannya yang telah hitam legam
ini.”
“Aah, darah hitamnya tidak keluar, adik Saka.”
“Adik Wulan, angkat… Angkat lengan kirimu.”
“Aah… aduh… Tidak bisa Kakang.”
“Celaka, Kakang.”
“Hmm… menelungkuplah Wulan. Adik Saka, keluarkanlah
racun itu dengan tenaga dalammu.”
“Adik Wulan, bantu aku. Salurkan tenaga yang ku kirim ini
ke pusat lukamu. Ayo…”
Tanpa berpikir panjang lagi, Saka Palwaguna membuka baju bagian
belakang dari anting Wulan dan segera menempelkan kedua telapak
tangannya di bagian pinggangnya.
“Aaah, lihat Kakang. Agaknya usaha kakang Saka berhasil.
Racun nya sudah berada di pinggangnya perlahan-lahan naik lagi ke
arah pundaknya, Kakang.”
“Oh iya. Lihat itu, luka yang ku toreh dengan ujung
pedangku,… lihat semula tidak mengeluarkan darah. Tapi kini…
Lihat!”
“Oh, benar kakang. Kakang Saka berhasil. Darah yang
menghitam yang telah bercampur dengan racun itu keluar, Kakang.”
76 Api Berkobar di Karang Sedana
“Terus adik Saka, adik Wulan. Kalian berhasil, darah itu
mulai keluar. Teruslah…”
“Celaka, Kakang. Agaknya adik Wulan sudah tidak kuat
lagi.”
“Tahan, adik Wulan. Sebentar lagi semuanya akan selesai.”
“Kakang! Wulan pingsan, Kakang.”
“Cukup! Cukup adik Saka. Darahnya telah memerah.
Racunnya sudah berhasil kau keluarkan. Istirahatlah adik Saka.
Kembalikan tenagamu. Adik Awuk, rapikan pakaian adik Wulan.”
“Tapi, Kakang… Eeh… aku… aku… Kakang sajalah. Aku
akan mencari angin di luar gua ini.”
“Biar… biar adik Saka. Kau istirahat saja, biar aku yang
melakukannya.”
Oh Dewata, entah apa yang terjadi dengan diriku? Anting Wulan
adalah adik seperguruan tapi yang kurasakan tidak hanya itu. Aku
merasakan sesuatu yang lain dalam hatiku tentang Wulan.
“Lho? Kakang kenapa diam saja? Rapikan baju adik Wulan,”
tegur Saka Palwaguna.
“Oh, iya-ya-ya. Adik Saka…”
“Bagaimana adik Wulan? Apakah kau masih merasakan
sesuatu di dalam tubuhmu?”
77 Api Berkobar di Karang Sedana
“Terima kasih kakang. Kalian semua telah menyelamatkan
jiwaku.”
“Ah, tidak apa adik Wulan. Semua yang kami lakukan adalah
hal yang memang sudah seharusnya. Bagiku, kau sudah kuanggap
seperti saudara sendiri, demikian pula kakang-kakangmu yang lain.”
“Aah, iya adik Wulan. Pergaulan kita selama 8 tahun lebih di
padepokan Goa Larang merupakan buktinya. Bukankah kita sudah
diangkat anak oleh eyang guru Wanayasa?”
“Hmm, iya-ya. Benar adik Wulan.”
“Adik Wulan, coba… kau gerakan tangan dan kaki mu.
Ayo…”
“Ah, sudah bisa Kakang.”
Saka Palwaguna tertawa senang.
“Tapi seluruh tubuhku ini masih terasa lemah. Dan tenagaku
belum pulih kembali.”
“Ehh, beristirahatlah adik Wulan. Nanti pasti tenaga-mu akan
pulih kembali.”
“He-eh. Tapi Kakang…”
“He? Ada apa Wulan?”
“Bagaimana dengan Karang Sedana? Ah, bagaimana dengan
Karang Sedana? Kalian tidak bisa diam saja di sini, Kakang.”
“Eeh, tapi… bagaimana denganmu, Wulan? Kami tidak
mungkin meninggalkanmu sendirian di sini.”
“Kenapa tidak mungkin? Ingat, kita diperintahkan
meninggalkan Goa Larang adalah untuk membantu Karang Sedana.”
78 Api Berkobar di Karang Sedana
“Iya, tetapi jika keadaannya seperti ini, bagaimana mungkin?”
“Mungkin saja, Kakang! Tinggalkan aku di sini. Tempat ini
cukup aman untukku. Aku akan tinggal di dalam gua ini begitu kalian
pergi dan tak akan keluar lagi sampai kalian kembali.”
“Eee… tapi jika…”
“Sudahlah. Tidak ada tapi-tapian, Kakang. Jika pasukan
pemberontak itu berangkat menjelang fajar, mereka akan tiba di
Karang Sedana tak lama lagi. Kakang Sudah terlambat. Tapi Kakang
masih dapat berbuat lain, menolong sang Prabu misalnya.
Berangkatlah, Kakang.”
“Baiklah jika begitu. Aku dan adik Dampu Awuk akan
berangkat. Biarlah adik Saka menemanimu disini.”
Anting Wulan mengangguk.
“Ayo, adik Awuk!”
“Ada apa adik Wulan? Apakah ada sesuatu yang membebani
pikiranmu? Kulihat sejak tadi, sejak kepergian kakang Seta dan adik
Awuk kau melamun dan kerap kali menarik nafas dalam-dalam.”
“Ah, tidak ada apa-apa kakang Saka.”
“Hmm?”
“Hanya… aku…. Aku merasa menjadi beban kalian saat ini.
Aku merasa karena aku kalian tidak dapat bahu-membahu berperang
di Karang Sedana.”
“Hehehe, masa kau sampai berpikir seperti itu, adik Wulan?
Aku tidak percaya. Kita sudah seperti saudara sendiri. Berjuang dan
79 Api Berkobar di Karang Sedana
selalu membela. Seharusnya pikiran seperti itu, tidak ada lagi dalam
angan-anganmu.”
Kau benar, Kakang Saka. Akan tetapi bukan itu yang menjadi beban
pikiranku. Kemelut yang ada di dalam dadaku adalah justru karena…
“Ehh, adik Wulan… Masukklah ke dalam gua. Kau perlu
istirahat dan jangan berpikir yang tidak-tidak.”
“Kakang…”
“Ya?”
“Aku… aku tiba-tiba merasa haus. Aku ingin minum
kakang…”
“Haus? Ah, baiklah. Kau tunggu disini. Aku akan mencoba
mencari air untukmu.
“Cepatlah kakang…”
“Baiklah.”
Tanpa merasa curiga sedikitpun dengan keadaan Anting Wulan, Saka
Palwaguna segera melompat cepat untuk memenuhi permintaannya.
Sementara itu raden Seta Keling dan Dampu Awuk yang sedang
menuju ke kotaraja Karang Sedana, berlari dengan sangat cepatnya.
kedua kakinya dengan gerak Kidang Mamprung seakan-akan tidak
menyentuh bumi. Hingga beberapa saat kemudian, kedua orang murid
eyang resi Wanayasa tiba tak jauh dari gerbang kotaraja.
“Lihat, Kakang. Mereka telah berhasil menghancur-kan
gerbang kotaraja itu.”
80 Api Berkobar di Karang Sedana
“Benar! Benar rupanya dugaan adik Wulan. Ayo kita lihat
segera keadaan sang Prabu.”
Keduanya mengelakkan serangan yang tiba-tiba muncul
menyerang mereka. Delapan orang pemberontak sudah mengayunkan
golok dan pedang ke arah mereka.
“Ayo, terus adik Awuk. Kita langsung ke istana cari sang
Prabu. Jangan layani mereka!”
“Hahahahaha, mau ke mana kau anak muda? Hooy, Jagal Pati,
Jagal Belo, Jagal Lanang hadapi dua anak muda sombong itu!
Pembunuh, perampok yang hendak mengaku satria.”
“Hey, apa maksudmu?”
“Bukankah kalian ini sesungguhnya perampok, dan
pembunuh juga seperti kami-kami ini? Hahahaha, memalukan! Masih
juga ingin mengaku sebagai satria.”
“Kakang, tiba-tiba saja aku jadi mencurigai orang ini,
Kakang!”
“Ayo, bunuh kedua orang ini. Cepat!”
“Sudah Awuk, jangan layani mereka. Tinggalkan tempat ini,
cepat. Biar aku yang melayaninya.”
“Adik Awuk, tinggalkan mereka. Kita langsung ke istana!
Cari Aji Konda!”
Seta Keling menjadi sangat gelisah melihat situasi yang
sangat berbahaya. Dia mengkhawatirkan sekali keadaan dari prabu Aji
Konda. Untuk itu dengan mengerahkan segenap kemampuan yang
ada, dia berusaha menahan serangan para tokoh pemberontak, dan
81 Api Berkobar di Karang Sedana
memerintah Dampu Awuk untuk segera pergi melihat keadaan sang
Prabu.
“Ah, aku harus cepat tiba di istana Karang Sedana. Huh,
agaknya para prajurit Karang Sedana tidak dapat lagi menahan arus
serbuan para pemberontak. Mereka sudah tiba di istana sang Prabu.
Oh, itu dia sang Prabu di halaman istana, sedang dikepung belasan
orang.”
“Maaf, Tuanku. Kami datang terlambat.”
“Terima kasih anak muda, mana kawanmu yang lainnya?”
“Hahahaha, hei ceritakanlah pada tuanmu, bahwa kawanmu
yang seorang sedang mengubur salah seorang temannya.”
“Hah? Benarkah anak muda? Salah seorang kawanmu telah
terbunuh?”
“Tidak betul, Tuanku. Mereka berhasil melukai Anting Wulan
dengan racun. Tapi kami telah berhasil menyembuhkannya. Dan kini
dia sedang beristirahat, Tuanku.”
“Aarrhh! Pengkhianat, manusia licik! Kali ini aku akan
mengadu nyawa dengan kalian!”
Prabu Aji Konda semakin menjadi kalap mendengarkan berita tentang
Anting Wulan. Bagaikan banteng yang terluka, prabu Aji Konda
melancarkan serangannya tanpa memperhatikan pertahanan bagi
keselamatan jiwanya. Pukulan-pukulan maut dilancarkan pada Ki
82 Api Berkobar di Karang Sedana
Suwanda. Beberapa saat kemudian pertempuran mereka meningkat
menjadi semakin cepat, mereka berloncatan saling menyerang dan
saling menghindar, desak mendesak. Hingga pada suatu saat, Ki
Demang Suwanda tidak dapat lagi menahan serangan dari sang prabu
Aji Konda yang melandanya bagaikan prahara.
“Terimalah ini.”
“Ayo, maju! Bunuh raja gila itu!”
“Semu maju, bunuh cepat Aji Konda!”
“Keadaan sang Prabu sangat mengkhawatirkan. Aku tidak
dapat berbuat banyak. Prajurit dan tokoh-tokoh dari golongan hitam
yang mengepungku, sedikitpun tidak memberiku kesempatan. Ya aku
harus meninggalkan arena ini.”
“Hamba datang, Tuanku.”
“Kakang Seta Keling, tiba!”
“Awas, jangan mendekat! Hujani anak itu dengan anak panah
dan tombak.”
Raden Seta Keling murid utama dari padepokan Goa Larang yang
telah memiliki ilmu Kincir Metu sampai pada tingkatan ke tujuh, kini
hanya nampak bayangannya saja. Tubuhnya berputar ringan bagaikan
gasing. Hujan anak panah dan tombak yang mengarah pada tubuhnya,
semuanya terpental patah sebelum menyentuh tubuhnya. Dan
perlahan-lahan putaran tubuh tersebut menuju mendekati Ki Suwanda,
Ki Darpo, dan Jagal Lanang, Jagal Belo yang baru saja datang.
83 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ayo Ki Demang, kita kepung anak muda ini.”
“Berbahaya Ki Darpo! Pergunakan saja senjata lemparmu!
Aku akan mencoba pisau kecilku ini untuknya.”
“Sekarang ganti aku yang menyerang, manusia busuk!
Rasakan ini!”
“Bantu Ki Demang, cepat!”
“Jagal Lanang, bantu aku cepat!”
Demikianlah, serangan yang mulai dibuka oleh raden Seta Keling kini
kembali terhambat dengan hadirnya gegedug-gegedug 10 hitam.
Sedangkan pertempuran antara prabu Aji Konda nampak tak seimbang
lagi. Sang Prabu yang sudah mulai kelelahan hampir tak dapat lagi
menahan serangan dari para tokoh hitam. Pada saat yang sedang kritis
tersebut, dari arah kejauhan terdengar derap kereta kuda.
“Hidup Ki Sentana! Hidup Ki Sentana!”
“Ki Sentana tiba. Lindungi keretanya, Ki Darpo.”
“Hee? Belum selesai juga? Hehehehe.”
“Manusia ular! Kau masih mengenal siapa aku?!”
“Kenapa Konda? Tentu saja aku mengenalmu. Lama sekali
aku kerja membantumu. Tapi maaf, kau tidak bisa mengendalikan
pemerintahan di Karang Sedana. Jadi untuk itu aku merebutnya. Aku
ingin menyelamatkan Karang Sedana.”
10 Tokoh
84 Api Berkobar di Karang Sedana
“Manusia licik ! Manusia busuk ! Kubunuh kau!”
“Heee, kenapa kau tidak bersikap lunak dan sopan padaku,
Konda? Mungkin aku dapat mengampunimu. Mengampuni
keluargamu.”
“Ah, Konda… Konda. Sudah… Sudah… hentikanlah.”
“Ki Demang, mundurlah. Aku masih ingin bicara
dengannya.”
“Baik, Tuanku.”
“Kenapa kau mundur, heh!? Ayo terus layani aku.”
“Konda… Konda… kuminta tenanglah. Dengarlah, demi
keselamatan keluargamu sendiri.”
“Jahanam! Babi ! Licik !”
“Ki Demang, bagaimana dengan keluarga kawanku ini?
Pertempuran sudah selesai, tapi aku tidak melihat mereka.”
“Hmm, maafkan kami. Kami tidak berhasil menemukan
mereka di seluruh bagian dari istana ini.”
“Hmm, agaknya kau sudah mempersiapkan jalan rahasia dari
istanamu ini, Konda.” Ki Suntana terkekeh penuh kemenangan.
“Konda, kau akan kulepaskan untuk bertemu dengan keluargamu,
asalkan kau mau menunjukkan simpanan harta kerajaan.”
“Persetan, kau tidak akan mendapatkan harta itu. Aku tidak
takut mati !” bentak prabu Aji Konda marah.
“Oow, begitu? Baiklah. Baiklah jika begitu. Ki Demang, kau
bisa berbuat sesukamu pada orang itu.”
85 Api Berkobar di Karang Sedana
“Baik, Tuanku. Akan segera hamba selesaikan manusia itu.”
Ki Sentana yang semula penasehat dalam Karang Sedana, penasehat
sang prabu Aji Konda kini berdiri tegak sambil memilin kumisnya
yang tipis. Memperhatikan jalannya pertempuran maut itu.
“Tahan kedua anak muda itu! Ayo, semuanya bantu kawan
kalian!”
Raden Seta Keling bersama Dampu Awuk kembali melibatkan diri
dalam pertempuran, berusaha untuk menolong sang prabu Aji Konda
yang nampak terdesak hebat.
“Terimalah ini !”
Sementara itu, jauh di pinggiran kerajaan Karang Sedana, Saka
Palwaguna yang sedang menemani Anting Wulan dengan tergesa dan
gelisah mencari air untuk minum Wulan.
“Masih cukup banyak air di sini. Aku harus segera
memberikan air ini pada Wulan. Dia nampak kehausan sekali.”
“Wulan, ini kubawakan air untukmu. Wulan… ini air yang
kau minta. Wulan?”
“Wulan? Kenapa kau? Apa yang terjadi denganmu?”
“Kakang, tubuhku… tubuhku terasa panas sekali. Aku haus
kakang. Beri aku minum.”
86 Api Berkobar di Karang Sedana
“Celaka, Wulan. Agaknya racun itu belum tuntas keluar
semua.”
“Kakang, beri aku minum, Kakang...”
“Jangan, adik Wulan. Kau tidak boleh minum dalam keadaan
seperti ini. Biarlah aku akan mencoba menolong-mu. Maaf, kubuka
baju atasmu…”
“Aku harus melihat pusat lukanya. Celaka, luka kecil yang
dibuat kakang Seta untuk mengeluarkan racun, kini kembali
menghitam.”
“Wulan, bantu aku. Aku akan mencoba mengeluar-kan racun
ini dengan tenaga dalamku.”
“Aku tak kuat, kakang.”
“Ah, celaka. Tenagaku tak akan dapat kusalurkan dengan baik
tanpa bantuan dari Anting sendiri yang terluka. Oh, dewata… aku
harus melakukannya. Ya, tidak ada jalan lain, hanya itulah jalan satu-
satunya untuk menyembuhkan-nya.”
Karena khawatir akan keselamatan adik seperguruannya, yang
sekaligus sebagai saudara angkatnya, raden Saka Palwaguna tanpa
sungkan segera menempelkan mulutnya pada pundak Anting Wulan
yang menghitam legam karena pengaruh racun ganas dari Jagal Belo.
Berkali-kali Saka Palwaguna menghisap dan memuntahkan racun itu
dari mulutnya. Sampai akhirnya ketika racun itu telah terhisap semua,
Anting Wulan tersadar dari pingsannya. Dan gadis pendekar yang
87 Api Berkobar di Karang Sedana
belum menyadari situasi, sangat terkejut saat merasakan dekapan dan
hisapan seorang laki-laki di tubuhnya.
“Kakang Saka! Kakang Saka! Apa yang baru saja kau lakukan
dengan diriku?” jerit Anting Wulan sembari mengibaskan tubuh Saka
Palwaguna.
“Wulan, aku… aku tidak melihat jalan lain lagi. Untuk
menolongmu. Aku tak dapat mengeluarkan racun itu dengan tenaga
dalamku, ketika kau menjadi pingsan. Jadi aku melakukan cara itu.
Wulan, maafkan aku, Wulan.”
“Aku… aku sebenarnya manusia yang tidak berbudi. Manusia
liar, kotor. Bukankah begitu, kakang Saka?”
“Tidak. Kau tidak bersalah Wulan. Kau tidak mengerti. Kau
baru tersadar dari pingsan. Jadi kau terkejut dan menjadi marah.
Siapapun akan memakluminya.”
“Bagaimana dengan pukulan tadi kakang? Apakah
melukaimu?”
“Tidak Wulan, hanya… ya masih terasa sakit sedikit.”
“Maafkan aku kakang Saka.”
“Sudahlah Wulan. Sekarang bagaimana dengan tubuh dan
tenagamu? Kurasakan tadi pukulanmu sudah berisi dengan tenaga.”
“Iya, kakang. Walaupun masih terasa lemah, tapi aku
merasakan sebagian tenagaku sudah pulih kembali, kakang.”
“Wulan, istirahatlah. Agaknya kau kini sudah sembuh benar,
tidak seperti sebelumnya.”
88 Api Berkobar di Karang Sedana
“Iya, kakang. Aku akan mencoba memulikan seluruh
tenagaku agar kita dapat segera menyusul kakang Seta dan kakang
Awuk…”
Ah, segar sekali kini tubuhku rasanya. Hmm, dimana kakang Saka?
Ah, itu dia. Agaknya dia juga banyak menguras tenaga dalamnya
selama dua kali menolongku. Ah, kakang Saka… tahukah kau, bahwa
selama ini aku mencintaimu, kakang? Tahukah kau bahwa selama ini
aku memendam rindu padamu? Ahh… Dewata,… jika tidak ada Intan
Pandini aku pun agaknya tak akan tahu perasaanku yang sebenarnya
pada kakang Saka. Aku selama ini ternyata begitu mencintainya. Aku
begitu cemburu melihat perhatiannya pada Intan Pandini. Oh…
bagaimanakah kakang? Bagaimana kah? Apakah kau juga
mencintaiku, kakang Saka?
Sementara itu, raden Saka Palwaguna yang juga sedang bersemadi
untuk memulihkan tenaganya, telah terjaga.
“Oh, kau sudah selesai Wulan? Bagaimana kini keadaan
tubuhmu?”
“Ah, sudah terasa jauh lebih baik, Kakang. Emm,… kakang
makanlah buah-buahan itu untuk menyegarkan tubuh Kakang.”
“Hee, Wulan? Darimana kau dapatkan ini?”
“Dari hutan kecil yang tak jauh dari goa ini.”
Saka Palwaguna tertawa senang.
“Cicipilah Kakang, maniiis sekali rasanya.”
89 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ya, kau baik sekali Wulan. Terima kasih.”
“Kakang yang baik sekali. Kakang telah menyelamat-kan
jiwaku, dan aku… ah, aku tak tahu harus membalas bagaimana untuk
itu.”
“Ah, sudahlah. Jangan kau membicarakan budi di antara
sesama kita. Entah bagaimana nasib kerajaan Karang Sedana. Aku
khawatir gerbang utama sudah berhasil mereka hancurkan. Dan…
hancurlah sudah. Prajurit Karang Sedana tidak mungkin dapat
menahan serbuan dari pasukan pemberontak…”
“Ee, kakang Saka. Bagaimana kalau kita susul mereka
sekarang?”
“Jangan Wulan. Banyak yang sudah terjadi dalam setengah
hari ini. Belum tentu kita dapat menemukan mereka. Dan lagi kau pun
belum sembuh benar.”
“Tidak kakang. Kita harus segera menyusul mereka. Kita tak
dapat berdiam diri di sini sementara kakang Seta dan kakang Awuk
sedang menyabung nyawa dengan para pemberontak.”
“Ah, tapi…”
“Tidak! Kakang pun harus ikut bersamaku sekarang ke
Karang Sedana,” tegas Anting Wulan.
“Baiklah, Wulan. Mari.”
“Ah,bagus kakang. Mari kita berlomba, siapa yang lebih
dahulu tiba di sana.”
“Jangan Wulan, kau belum sembuh benar. Hemat saja
tenagamu untuk persiapan pertempuran di sana.”
90 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kita lihat saja nanti di sana, Kakang!” seru Anting Wulan
sambil tertawa-tawa genit.
“Kakang! Bantu sang Prabu, Kakang!”
“Aduh, aku tak sempat lagi melompat ke sana.”
Pertempuran kelihatan semakin tak seimbang. Prabu Aji Konda sudah
tidak dapat mempertahankan kemantapan serangannya lagi. Demikian
pula dengan raden Seta Keling dan Dampu Awuk adik
seperguruannya sudah tidak dapat berbuat banyak dalam kepungan
para tokoh pemberontak.
Sementara itu Prabu Aji Panda yang sedang terkepung bersama
dengan Raden Seta Keling dan Dampu Awuk menjadi semakin
berbahaya keadaan mereka, hingga pada suatu ketika sang prabu Aji
Konda yang tak dapat lagi mempertahankan keseimbangan tubuhnya,
tak dapat meng-hindari serangan dari Ki Suwanda
“Aduhh,… Cepat! Cepat tinggalkan tempat ini anak muda!
Selamatkan dirimu! Oh, biarkanlah aku mati di halaman istanaku ini.”
Keadaan tiga orang yang terkepung pasukan pemberontak sudah
sangat memprihatinkan. Derasnya serangan dari segala penjuru
hampir tak dapat ditahan lagi. Goresan-goresan pedang yang
91 Api Berkobar di Karang Sedana
memercikkan darah di tubuh Aji Konda mewarnai beberapa bagian
tubuhnya. Sampai ketika keadaaan mereka tak tertahankan lagi…
“Eeh, curang… Kalian curang! Mengeroyok beberapa orang
ini dengan puluhan prajurit dan tokoh-tokoh yang sudah mempunyai
nama di dunia hitam.”
“Heh! Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau memakai topeng?
Apakah memang kau seorang pengecut hina?!”
“Eeh? Heheheh,… Ki Sentana aku bukan seorang pengecut
hina, dan aku pun bukan seorang penghianat hina. Aku hanya ingin
mencoba meluruskan yang tidak benar. Menolong yang sangat
membutuhkan pertolongan.”
“Aah, Ki Suwanda!”
“Iya?!”
“Lepaskan topeng orang gila itu! Aku ingin tahu siapa dia.”
dengus Ki Sentana marah.
“Ooh,… silahkan. Silahkan.”
“Tuanku, kita akan segera pergi dari sini. Pegang tangan
hamba…” bisik orang bertopeng pada sang Prabu.
“Serang mereka semua!”
“Terima kasih anak muda, atas semua bantuanmu pada
Baginda. Selamatkanlah dirimu, aku segera pergi !”
“Kejar orang itu, jangan biarkan dia lolos membawa sang
Prabu!”
92 Api Berkobar di Karang Sedana
Kedatangan laki-laki bertopeng hitam benar-benar telah mengubah
suasana di taman istana Karang Sedana. Kepungan yang semula ketat,
kini mulai berantakan. Bentakan dari laki-laki bertopeng itu amatlah
hebatnya. Dengan beberapa kali melenting sambil membawa tubuh
sang Prabu, laki-laki misterius itu sudah keluar jauh dari kepungan.
Dan Seta Keling serta Dampu Awuk memanfaatkan situasi itu.
“Awas kejar terus, jangan biarkan lagi mereka lolos. Ayo
kalian juga kejar kedua anak muda itu. Aku menghendaki mereka,
hidup atau mati !”
“Ampun, Ki… mereka semua berhasil melarikan diri prajurit
dan tokoh-tokoh pilihan yang mengejar juga tak berhasil menemukan
mereka.”
“Kurang ajar! Babi bodoh kalian semua! Perintahkan lakukan
pengejaran. Cari dan temukan Aji Konda dan keluarganya sekalian.
Tebar orang kalian sekarang juga. Mereka akan menerima hadiah
mereka setelah aku menerima kabar tentang Aji Konda!”
“Baik, Ki… Baik. Akan saya sebarkan prajurit untuk
melakukan penyelidikan.”
“Dan kedua anak muda itu lari ke arah sana, ke tengah
kotaraja. Cari dan bunuh kedua anak itu!”
“Baik, Tuanku… Ki Darpo! Kau bersama orang-orangmu,…
Jagal Pati,… Jagal Lanang dan Jagal Belo, dan beberapa kawan
lainnya pergi mencari Aji Konda. Dan aku akan meminta beberapa
93 Api Berkobar di Karang Sedana
orang perwiraku untuk mencari dan menangkap kedua anak muda itu
di dalam dan di sekitar kotaraja ini.”
“Berangkatlah, segera!”
“Ki Sentana… Eh sekarang Tuan sudah berhasil. Karang
Sedana sudah berada ditangan Tuan. Silahkan ambil Singgasana itu!”
“Hmm, tapi Ki Demang… Aku tidak akan bisa tenang duduk
di tahta Karang Sedana, selama aku belum dapat menangkap atau
membunuh Aji Konda.”
“Tuan bisa melakukannya sambil membina dan mencari
tambahan pengikut baru. Lakukan segera karena yang Prabu Sora
mungkin sebentar lagi akan menagih imbalan dari bantuannya yang
sekarang ini.”
“Hmm,… katakanlah pada Ranghyang Prabu Sora… Aku
ingat semua janjiku. Segera setelah beliau memerlukan bantuan
sejumlah besar tentara, aku akan menyiapkan dan mengirimkannya.
Tetapi kuharapkan pasukan Indra prahasta jangan dulu kau tarik. Aku
masih memerlukanya sementara ini untuk membina keamanan.”
“Baik-baik,… Ki Suntana.”
“Ki Suwanda, sebentar lagi aku akan menobatkan diri sebagai
kepala pemerintahan Karang Sedana yang bergelar Prabu Jaya
Sentana. tolong sampaikan ini padanya kelak….”
“Tunggu dulu adik Wulan, berhenti dulu. Agaknya
pertempuran sudah selesai. Jangan sembrono. Kita harus mencari tahu
terlebih dahulu situasi di dalam.”
94 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tetapi, Kakang… Bagaimana nasib kakang Seta dan kakang
Awuk?”
“Ya, kita akan mencari tahu. Tetapi tetap harus berhati-
hati…”
“Hmm! Jika sampai terjadi sesuatu dengan kedua Kakang-ku,
aku akan membuat perhitungan khusus dengan mereka, Kakang Saka.
Akan kubakar mereka yang mencelakakan dan membuat susah
Kakang-ku!”
“Sudahlah, adik Wulan… bukan mengumbar amarah-mu
yang perlu kita lakukan saat ini. Tetapi berpikir tenang.”
“Berpikir tenang di sini? Tanpa berbuat sesuatu?!”
“Tentu saja kita kan berbuat sesuatu. Kita kaan bertindak, tapi
tidak dengan sembrono. Dengarlah adik Wulan… kau rapikan
rambutmu dan pakai ikat kepalamu. Aku khawatir mereka akan
langsung mengenalmu.”
“Tapi, mereka juga akan mengenal Kakang!”
“Iya, mereka dapat mengenalku. Tapi mereka pasti akan lebih
mengenalmu, karena kau Wanita. Nah, ikat baik-baik rambutmu. Aku
ingin kau kelihatan seperti laki-laki, agar tidak terlalu menarik
perhatian.”
“Hmm!? Demi untuk kedua Kakang-ku, kulakukan ini. Jika
tidak, aku lebih senang mencukil mata laki-laki kurang ajar daripada
menghindar seperti orang ketakutan.”
95 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kita bukanlah takut, Wulan. Tapi seperti katamu tadi. Untuk
kepentingan Kakang Seta dan adik Awuk. Hmm, alismu sedikit
pertebal dan kulit wajahmu jangan seputih dan sehalus itu.”
“Iya, sebentar Kakang…”
Setelah menyiapkan penyamarannya, Anting Wulan dan Saka
Palwaguna yang justru mengurai rambutnya yang semula di gelung11
benar-benar tak dapat dikenali lagi. Dengan jalan yang dibuat-buat,
keduanya justru tak beda lagi dari orang desa orang yang ketakutan
pada para prajurit.
“Wulan, kendalikanlah dirimu. Jangan berbuat hal-hal yang
dapat merusak rencana kita untuk mencari tahu keadaan di dalam
kotaraja”
“Iya, aku mengerti Kakang.”
Dengan tertatih ketakutan, mereka tiba di pintu gerbang bersama
dengan beberapa orang penduduk yang juga ingin masuk. Akan tetapi
penjagaan di gerbang hanya ditujukan pada mereka yang ingin keluar
dari kotaraja. Dengan demikian kedua remaja itu berhasil memasuki
gerbang kotaraja Karang Sedana dan beberapa saat kemudian mereka
jauh dari halaman istana.
11 Sanggul.
96 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm, tidak ada sesuatu yang dapat kita jadikan petunjuk
dimana adanya kakang Seta dan kakang Awuk. Apa yang akan kita
lakukan kemudian?”
“Kita harus dapat mencari tahu di sini. Oya, kau ikutlah
aku…”
“Kemana kakang?”
“Wulan, kau ingat gadis yang kita tolong itu? Ayo…”
“Baiklah, kita ke rumah gadismu!”
“Hee?! Kau… kau masih bisa bercanda dalam situasi seperti
ini?”
“Heeh, kakang juga masih dapat teringat pada Intan Pandini
pada saat seperti ini!”
“Sudahlah, adik Wulan. Ayo kita cepat ke sana. Awas, hati-
hati prajurit yang sebelah kananmu, memperhatikan-mu.”
“Baik, Kakang.”
Setelah beberapa saat berjalan dengan dipimpin oleh Saka
Palwaguna yang memang telah mengenal daerah itu, maka Anting
Wulan dan Saka Palwaguna pun tiba di sebuah rumah yang cukup
besar. Mereka segera memasuki pekarangannya yang luas. Dengan
mengetuk pintu besar dihadapannya, mereka memberi salam.
“Sampurasun… sampurasun…”
Tidak butuh waktu yang lama, salam mereka mendapat
jawaban dari seorang pemudi cantik yang membukakan pintu dengan
segera.
97 Api Berkobar di Karang Sedana
“Rampes… Siapakah tuan? Hendak mencari siapa?”
“Intan, Apakah kau sudah tidak mengenali aku lagi?”
“Hmm, kakang Saka? Ah, tentu ini Anting Wulan.”
“Intan, dimana pamanmu?”
“Ada, Paman dan Bibi ada di belakang, sedang berbincang-
bincang dengan para tetangga.”
“Di belakang?”
“Iya, di kamar kecil di pintu belakang.”
“Siapa itu yang mencariku, Intan?”
“Oh, Paman… Kakang Saka yang dahulu mengantar kan aku.
Ini dia bersama kawannya… eeh?”
“Panuluh! Kawan saya namanya Sada Panuluh.”
“Ih, Kakang Saka?”
“Ya, Sada Panuluh adalah tetanggaku di Banyuanyar.”
“Eeeh, apa maksud kalian berkunjung dalam suasana seperti
ini?” bertanya orang tua paman si pemudi cantik.
“Justru itu, saya menjadi bingung melihat situasi yang tiba-
tiba saja menjadi seperti ini. Seakan-akan baru saja terjadi perang
besar.”
“Anak muda, aku Ki Cangkara tak ingin karena kedatangan
kau kemari jadi berurusan dengan para prajurit pemberontak.”
“Prajurit pemberontak?”
“Ya. Siang tadi Karang Sedana sudah jatuh ke tangan para
pemberontak.”
98 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ahh, kasihan sekali sang Prabu. Jika ia tidak mati dalam
pertempuran, tentu ia akan digantung bersama para pengikutnya serta
keluarganya.”
“Tidak… tidak. Sang Prabu serta keluarganya berhasil
melarikan diri.”
“Melarikan diri?”
“Ya. Dan kini para prajurit dan pengikut pemberontak sedang
berusaha mengejarnya. Keadaan di kotaraja saat ini sangat rawan,
anak muda. Tidak sembarang orang diperbolehkan meninggalkan
kotaraja dengan mudah.”
“Jika demikian, tinggallah di sini, kakang Saka, kakang… eeh
kakang Panuluh.”
“Dasar anak bodoh! Para prajurit pemberontak itu sebentar
lagi akan mengadakan pemeriksaan di setiap rumah.”
“Pemeriksaan?”
“Ya, mereka akan mencari dua anak muda pengikut sang
Prabu Aji Konda yang berhasil melarikan diri.”
“Dua orang pengikut Aji Konda?”
“Ya, orang anak muda yang berkepandaian tinggi menurut
prajurit pemberontak tadi di belakang.”
“Paak… paak… mereka datang, pak. Mereka datang!”
“Siapa mereka, pak?”
“Dia kakang Saka, Bi… Yang menolongku.” Intan Pandini
yang menjawab.
99 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ooh. Pak… mereka… mereka sedang menuju kemari, Pak.
Rumah Ki Sentul di ujung jalan ini sudah… sudah dimasuki
pemberontak itu, Pak.”
“Hmmm, celaka! Celaka anak muda. Celaka… kau harus
segera pergi meninggalkan rumahku, sebelum aku digantung karena
kehadiranmu.”
“Ah, kenapa begitu Paman? bukan kedua Kakang yang
menolongku ini tidak bersalah?”
“Ah, sudahlah Intan. Biarlah kami segera pergi dari sini.”
“Tunggu dulu anak muda, tunggu dulu. Pak,… bagaimana
jika para prajurit itu melihat mereka keluar dari rumah kita, Pak?
Justru keadaan kita akan menjadi semakin berat. Kita tidak dapat
menjelaskan kejadian yang sesungguhnya tentang kedua anak muda
ini.”
“Huh, baiklah anak muda. Aku terpaksa menerima kalian di
sini. Dan di hadapan para prajurit pemberontak nanti, kau akan ku akui
sebagai kemenakanku.”
“Buka! Buka pintu!”
“Ah itu dia mereka sudah datang, Bu. Ayo cepat bukakan
pintu.”
“Pak, aku takut pak. Aku takut Pak. Ayo kita sama-sama
menemuinya Pak.”
“Ya, sebentar Tuan. Kami datang.”
“Kenapa lama kali kau bukakan pintu untuk kami, heh!?”
100 Api Berkobar di Karang Sedana
“Maaf Tuan. Kami sedang berbicang di dalam dengan
kemenakan kami. Eh, di dalam sana cukup jauh dari sini, Tuan.”
“Hmm, yaa… Rumahmu cukup bagus Ki Sanak. Kau seorang
saudagar?”
“Ooh, tidak Tuan. Saya hanya seorang pedagang… Ya,
pedagang kecil. Nama saya Ki Cangkara dan semua penduduk di sini
tahu saya orang baik-baik Tuan.”
“Cepat geledah, dan periksa isi rumah ini !”
Wijaya yang merupakan pimpinan prajurit pemberontakan yang
sesungguhnya adalah seorang perwira dari kerajaan Indraprahasta,
segera memerintahkan enam orang anak buahnya untuk memeriksa
semua bagian dari rumah Ki Cangkara.
“Siapakah mereka ini, Ki Cangkara?”
“Mereka adalah kemenakan saya, Tuan.”
“Ketiga-tiganya?”
“Ya, ketiga-tiganya, Tuan.”
“Hmm, lalu di mana anakmu?”
“Eeh, saya tidak mempunyai anak, Tuan. Sehingga saya
memelihara mereka seperti anak saya sendiri.”
“Hmm, aku sedang mencari dua orang pelarian, dua orang
anak muda yang sakti dan tampan. Hmm, yaa… memang tidak bodoh
seperti dua orang kemenakanmu,” tiba-tiba Wijaya memukul Saka
Palwaguna.
101 Api Berkobar di Karang Sedana
Raden Saka, orang kedua Ning Sewu tentu dapat saja
mengelakkan serangan itu dengan amat mudah. Tapi mengingat
situasi dan rencana untuk tetap menyelidiki keadaan maka dia
menerima pukulan itu dan berlagak mengaduh. Nyi Cangkara sampai
terpekik melihatnya.
“Jangan Tuan. Jangan… Kenapa Tuan memukul kemenakan
saya, Tuan?”
“Huh, aku mencurigai mereka. Tapi aku telah salah duga,
agaknya mereka benar-benar orang bodoh.”
“Iya. Iya Tuan. Mereka adalah orang bodoh. Eh Saka,
Panuluh… minta maaflah kepada Tuan prajurit ini.”
“Maafkan saya tuan-tuan prajurit…”
“Panuluh, kau telah menimbulkan kecurigaan dari Tuan
prajurit ini…”
“Tidak! Aku tidak akan meminta maaf !”
Semua yang berada di ruang dalam rumah Ki Cangkara terkejut bukan
buatan mendengar pernyataan dan sikap dari Panuluh yang
sesungguhnya adalah Anting Wulan. Tidak terkecuali Saka
Palwaguna, kakangnya. Paman Cangkara dan istrinya menjadi pucat
dan ketakutan. Sedangkan Wijaya, pimpinan prajurit yang berkumis
lebat itu menggeram marah.
“Wulan, apakah kau ingin menyusahkan paman Cangkara?”
bisik Raden Seta Keling.
102 Api Berkobar di Karang Sedana
“Anak setan! Kukatakan kau harus meminta maaf lah pada
tuan Prajurit ini. Sebelum dia menjadi marah!” Ki Cangkara
membentak keponakannya yang baru beberapa saat saja diakuinya itu.
"
“Kakang Panuluh, mintalah maaf padanya.” kali ini Intan
Pandini yang berusaha membujuk Anting Wulan.
“Tidak, aku tidak akan meminta maaf! Sedikitpun aku tidak
salah!”
“Huh! Agaknya anak ini benar-benar tidak takut mati, Ki
Cangkara! Jangan salahkan kami, jika kami keluar dengan
meninggalkan bangkai di tempat ini !”
“Tuan prajurit, anak itu memang bersalah tapi …”
“Iya, eh… janganlah ia dibunuh Tuan…”
“Diam! Aku berbuat kasar adalah karena ulah dari
kemenakanmu sendiri!” masih dengan suara keras orang itu menyuruh
anak buahnya, “Hai Subang! Tangkap anak muda kurus dan kurang
ajar itu. Dan paksa dia berlutut di hadapanku!”
“Baik Tuan! Hei anak muda, ayo cepat berlutut sebelum
kubenturkan kepalamu di lantai secara paksa!”
“Aku lebih suka jika kau mau membenturkan kepalaku. Ayo,
silakan.” tantang Anting Wulan dengan sikap meremehkan.
“Eh? Kurang ajar bocah gelo12. Kupatahkan tangan mu!”
12 Gila, Sinting
103 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ayo lepaskan tanganku, dan benturkan kepalaku.” tantang
Anting Wulan dengan tenang, setelah menghindari sergapan prajurit
itu dan dengan langkah-langkah ringan malah berhasil menelikung
tangan si prajurit.
“Lepaskan tanganku jika kau berani bocah gelo!” maki
prajurit itu.
“Ayo, bunuh bocah itu !” seru si pemimpin pasukan itu setelah
melihat anak buah suruhannya tak berdaya dengan tangan tertelikung
oleh Anting Wulan.
“Nah, menggelindinglah kau sobat !”
“Ayo cepat bunuh anak itu, goblok!”
Segera saja beberapa orang prajurit lainnya mengayunkan pedang
mereka ke arah Anting Wulan yang dengan ringan menghindarinya
dengan berputar dan dari balik putaran itu segera mendorongkan
tubuh-tubuh prajurit yang segera limbung karena serangannya tidak
mengenai sasaran. Mereka jatuh bergedebukan, tapi dengan sigap
yang lainnya kembali menyerang dan membentak, “Mampus kau!”
“Kau harus mempertanggung jawabkan semua ulah
kemenakanmu, Ki Cangkara!”
“Tapi… tapi Tuan, mereka…”
“Ki Cangkara, kau tidak perlu khawatir. Kau tidak
bertanggung jawab atas semua perbuatan kami. Kamilah yang harus
mempertanggung jawabkan sendiri semua yang kami perbuat.”
104 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kau… kau… kedatanganmu benar-benar menyusah kan
kami. Tundukkan kepalamu, anak muda!” Ki Cangkara yang makin
panik dengan ancaman kepala prajurit itu mencoba memperbaiki
keadaan dengan menjitak kepala raden Seta Keling yang mulai
bangkit menengadah.
“Paman, jangan pukul kakang Seta. Jangan paman.”
“Kau, kau membela anak muda yang sudah menyusahkan
kita? Minggir kau!”
“Panuluh, cepat bereskan lawan-lawanmu!”
Anting Wulan yang sejak tadi asyik mempermainkan lawan-
lawannya, mendengar perintah dari Saka Palwaguna kakak
seperguruannya segera melaksanakannya. Gerakan nya yang semula
disesuaikan dengan kemampuan lawannya menjadi berubah. Gerak
kedua tangannya bekelebat cepat sambil membawa angin yang
menderu-deru.
“Kurang ajar! Agaknya kaulah kawan dari orang-orang yang
kami cari itu.”
“Maaf, aku tidak ada waktu untuk bermain-main denganmu.”
“Celaka, anak muda. Apa yang kau perbuat ini akan
menyusahkan kami. Eeh, jangan… jangan ganggu mereka.”
“Dengar perempuan tua, dan kau laki-laki pengecut!
Duduklah kalian di sana, cepat! Disana! Dengar, jangan ada yang
bergerak selama aku mengadakan pemeriksaan pada prajurit-prajurit
ini. Jika ada satu di antara kalian yang membuat gerak mencurigakan,
akan kubunuh kalian berdua!”
105 Api Berkobar di Karang Sedana
Intan Pandini yang mendengar ancaman Seta Keling itu,
menjadi ketakutan. “Jangan…” jeritnya.
“Dan kau Cah Ayu, diamlah! Diamlah kau ditempat-mu dan
jangan membuat pemeriksaanku terganggu!” bentak Seta Keling yang
disusul dengan gelak tawanya. “Kelak, jika aku mempunyai
kesempatan aku akan datang kembali menemuimu. Duduklah yang
baik disitu. Hahaha.”
Ah, kakang Seta mengerdipkan matanya padaku. Agaknya dia
sedang membuat suatu rencana. Intan Pandini pun segera memahami
sikap kasar Seta Keling padanya.
“Nah, aku akan segera mematahkan tangamu begitu kau tidak
segera menjawab pertanyaanku, atau kau tidak memberikan jawaban
yang memuaskan hatiku.”
“Kau akan segera mampus di kotaraja Karang Sedana ini,
anak muda! Kau tidak akan dapat lolos dari sini. Sebentar lagi kawan-
kawanku akan datang kemari, mencariku.”
“Hahaha, dengar! Aku tidak memerlukan kalimat itu dari
mulutmu.”
“Lepaskan aku! Lepaskan…”
“Pertanyaan pertama dariku… Dimana kini prabu Aji Konda
berada?”
“Iya… iya lepaskan tanganku anak muda. Aji Konda sudah
tidak ada di sini. Seseorang yang tak dikenal telah menolongnya.
Seorang laki-laki bertopeng hitam.”
106 Api Berkobar di Karang Sedana
Saka Palwaguna mendengus, “Hemm, Iya. Bagus. Pertanyaan
kedua. Siapa sebenarnya yang sedang kalian cari kali ini?”
“Dua orang muda yang kira-kira sebaya denganmu. Mereka
berhasil meloloskan diri dari kepungan ketika datang laki-laki
bertopeng.”
“Hm, ya. Bagus! Sekarang pertanyaan terakhir. Siapakah
kalian sebenarnya? Dari pasukan mana kalian?”
“Eeh… Galuh. Kami adalah rakyat biasa yang dilatih untuk
berperang.”
“Haaah! Kalian bohong!”
Raden Saka Palwaguna segera menggerakkan tangannya
memperkuat telikungannya.
“Aah,… aku berkata sebenarnya.”
“Kupatahkan tanganmu!”
“Aahhh, aku… baiklah… baiklah.”
Baru saja Saka Palwaguna akan mendapatkan keterangan dari Ki Jaya
yang sudah tak tahan mendapatkan siksaan darinya, pintu belakang
rumah Ki Cangkara digedor oleh prajurit pemberontak.
“Celaka, mereka datang Wulan. Kita harus segera tinggalkan
tempat ini.”
Segera sebelum para prajurit dari Ki Demang Suwanda tiba dan
mempersulit keadaannya, Saka Palwaguna dan Anting Wulan
melenting tinggi ke atas atap. Dan…
“Hahaha, terima kasih Ki Cangkara atas bantuanmu. Semoga
kau digantung oleh para prajurit pemberontak itu.”
107 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kakang, apa sekarang yang akan kita lakukan?”
“Kita akan meninggalkan kotaraja ini, dan kembali menuju
kakang Seta Keling.”
“Tapi, bukankah kakang Seta Keling dan kakang Dampu
Awuk belum kita temukan?”
“Tidak perlu. Kakang Seta sudah berhasil melepaskan diri
dari kepungan mereka. Pasti dia dan Dampu Awuk akan dapat
meloloskan diri dari kotaraja. Ayo cepat, hari sudah mulai senja. Kita
harus segera tiba di gerbang sebelum berita dari rumah Ki Cangkara
tiba di pusat.”
“Iya, benar Kakang. Kita akan kesulitan keluar dari kotaraja
ini. Eeh, tapi… tapi Kakang… perbuatanmu tadi…?”
“Ah, Wulan. Aku terpaksa melakukan itu. Demi keselamatan
mereka. Biarlah mereka membenci kita asalkan mereka dapat selamat
dari tuduhan para prajurit pemberontak itu. Ayo, cepat Wulan.”
Dengan tanpa membuang waktu lagi, kedua remaja dari padepokan
Goa Larang itu segera menuju ke gerbang kotaraja Karang Sedana.
Dan di muka gerbang tersebut telah menunggu belasan tokoh dari
golongan hitam, puluhan prajurit dan beberapa perwira dari pasukan
Ki Suwanda. Akan tetapi ketika beberapa orang tokoh mengerumuni
dan mulai menaruh kecurigaan, Saka Palwaguna dan Anting Wulan
segera menyerang dengan tiba-tiba. Dan kemudian melompat
108 Api Berkobar di Karang Sedana
membabat dan menyerang para prajurit yang menjaga pintu gerbang
dengan cepat.
“Wulan, kita akan tinggalkan tempat ini, cepat!”
Kedua remaja itu tanpa membuang waktu lagi segera mempergunakan
kesempatan yang berada di depannya. Tekanan dari lawan-lawannya
yang belum dirasakannya berat dimanfaatkan untuk segera
mengeterapkan aji Kidang Mamprung nya. Dan beberapa saat
kemudian keduanya sudah jauh meninggalkan lawan-lawannya.
***
Sementara itu, jauh diluar batas kerajaan Karang Sedana, empat orang
yang berpakaian lusuh dan kelihatan letih berjalan dengan langkah
tertatih-tatih. Keempat orang itu adalah Rara Angken sang permaisuri
dari Karang Sedana bersama dengan putranya Raden Angling
Purbaya. Cempaka pengasuhnya, dan Hulubalang Karewang yang
mendapat tugas dari prabu Aji Konda untuk membawa dan
menyelamatkan mereka hingga ke gunung Sawal.
“Paman Karewang, masih berapa lama lagi kita tiba di gunung
Sawal?” tanya Rara Angken dengan napas memburu.
“Oh, Tuanku. Kita belum lagi menyelesaikan separuh dari
perjalanan, Tuanku. Kita baru saja keluar dari perbatasan Karang
Sedana, Tuanku,” sahut Hulubalang Karewang dengan penuh iba.
“Oh, begitu jauhkah perjalanan ke sana, paman?”
109 Api Berkobar di Karang Sedana
“Benar Gusti. Akan tetapi hamba akan mencoba mempercepat
perjalanan kita dengan kuda, Tuanku. Kita nanti dapat mencari kuda
di desa yang kita temui, Tuanku.”
“Ah, tidakkah itu akan membahayakan kita, Paman?”
“Memasuki desa…?” Cempaka turut pula menyatakan
kekhawatirannya.
“Hamba kira tidak akan terjadi sesuatu yang akan
membahayakan kita. Kita kini sudah diluar batas kerajaan Karang
Sedana.”
“Oh, bagaimana Purbaya? Apakah kita beristirahat dulu atau
terus saja?”
“Ananda masih kuat, Bunda. Jika Bunda belum merasa lelah,
dapat Bunda teruskan perjalanan kita.”
“Bagus anakku. Eh, mari kita teruskan perjalanan kita,
Cempaka. Mari paman Karewang.”
“Eh, tunggu dulu Tuanku. Lihat di sana itu. Dua orang
berkuda agaknya sedang menuju ke arah kita, Tuanku.”
“Siapakah mereka itu, paman? Apakah mereka pasukan
pemberontak yang mungkin mengejar kita?”
“Ah, mereka memberi tanda pada kita untuk berhenti,
Tuanku.”
“Heh! Siapakah kalian? Mengapa kalian sampai ada di sini?”
“Eeh, kami adalah penduduk desa di pinggiran kerajaan
Karang Sedana, Tuan. Kami sedang dalam perjalanan menuju…
menuju gunung Sawal, Tuan.”
110 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm, gunung Sawal…”
“Iya.”
“Baiklah. Tapi mengapa kalian bisa sampai di hutan ini? Dan
bukankah kalian bisa mempergunakan jalan lain yang lebih aman dari
pada melalui hutan ini?”
“Kami sengaja mengambil jalan pintas. Agar dapat lebih cepat
tiba di sana, Tuan.”
“Hmm, apa benar kalian bukan penduduk Pandan Sari?”
“Eh, Pandan Sari? Desa manakah itu?”
Orang itu terkekeh.
“Hehehehe, aku curiga sekali pada kalian. Apung, coba kau
periksa mereka.”
Orang yang bernama Apung itu pun terkekeh, “Hehehe, iya-
iya Ki Podang. Mereka mencurigakan sekali. Mereka pasti penduduk
Pandan Sari yang melarikan diri. Dan mereka pasti membawa lari
harta mereka. Ayo, tunjukkan semua bungkusan yang kalian bawa.
Ayo!”
“Tunggu! Tunggu! Kau tidak bisa berbuat semaumu saja,
Kawan. Aku tidak mengijinkan kau menyentuh seorangpun yang jalan
bersamaku ini.”
“Aki, lihat Aki ! Orang ini berani melawan pada kita. Eh,
boleh ku hajar tidak?”
“Lakukan sesuka hatimu. Laki-laki kurang ajar itu harus di
hajar Apung! Tapi jangan kau ganggu anak kecil dan wanita itu.”
111 Api Berkobar di Karang Sedana
“Iya, iya Aki. Apung mengerti.” Lalu laki-laki yang bernama
Apung itu mendatangi Karewang. Katanya, “Heh, Sobat! Aki Podang
telah mengijinkan aku untuk memotong lidahmu yang sangat kurang
ajar itu.”
Lelaki bernama Apung itu mencabut sebilah pedang dari
pinggangnya.
“Hehehe, lihat sobat pedangku ini. Setiap pagi dan sore, dia
selalu kuasah dan kumandikan dengan air kembang.”
“Apung! Ayo jangan bicara saja! Dapatkan orang itu!”
“Iya… iya. Nah kini lidahmu itu. Darah dari lidahmu itu yang
akan memandikannya. Awas, jaga serangan pedangku ini !”
Laki-laki tinggi kurus berwajah bagai kanak-kanak itu kemudian
menyerang Karewang dengan sapuan pedangnya yang berkelebat ke
kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah. Akan tetapi serangan dari
laki-laki tinggi kurus yang bertubi-tubi itu bagi Karewang hanyalah
gerakan-gerakan kasar dari seorang yang baru memiliki dasar dari
gerakan silat. Oleh karena itu beberapa saat kemudian Karewang
sudah berhasil melemparkan Apung keluar dari arena pertempuran.
“Heh-heh, kurang ajar! Rupanya kau seorang yang cukup
berilmu. Pantas kau berani melarikan diri dari Pandan Sari. Sekarang
kau hadapilah aku!”
“Hey, aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Tapi kau tidak
juga mau percaya. Ayo, baiklah. Silakan kau maju.”
112 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm! Sombong sekali kau! Rasakanlah pukulan tanganku
ini!”
Dengan menggeram marah Aki Podang menyerang
Karewang. Agaknya aku tidak akan berhasil mengalahkan nya,
benaknya berkata. Maka segeralah dia berteriak pada Apung.
“Apung! Beri tanda kawan-kawan agar segera mereka datang.
Gunakan panah apimu!”
“Baik, Aki”
“Celaka, mereka akan memanggil kawan-kawannya. Aku
harus segera membereskan orang ini.” Karewang tersentak mendengar
teriakan Aki Podang itu.
Aki Podang yang mulai terdesak dan mulai beberapa kali terkena
pukulan dari Karewang tetapi tetap terus menerjang Karewang.
Sementara itu Apung melepaskan panah api ke angkasa.
“Celaka Aki… Celaka Aki Podang sudah tidak dapat
melawannya lagi. Aku harus cepat meninggalkan tempat ini.” pikir
Apung ketakutan.
“Aku menyerah, kawan. Aku menyerah. Jangan bunuh aku.”
Sesaat Karewang yang melihat dan membiarkan Aki Podang
terbirit-birit menuju kudanya itu berpikir. Lalu dia berbisik segera
pada Rara Angken.
113 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tuanku,… tuanku harus segera pergi dari tempat ini dengan
kuda itu, Tuanku.” katanya.
“Eh, tunggu dulu Aki Podang.”
“Aduh, mau apa kau lepaskan kudaku? Aku ingin kembali ke
Pandan Sari. Lepaskan kudaku.”
“Ayo! Turunlah Aki Podang!” bentak Karewang.
Aki Podang terbanting ke tanah, dibetot oleh Karewang yang
tidak ingin membuang-buang waktu.
“Nah, sekarang naiklah Tuanku. Kuda ini cukup besar untuk
dinaiki bertiga, Tuanku.”
“Lalu,… bagaimana dengan kau sendiri, Karewang?”
“Hamba akan berusaha menahan mereka, yang akan segera
datang...”
Aki Podang tertawa sinis. “Kalian terlambat, kawan-kawanku
sudah datang. Lihat!”
Karewang sangat terkejut ketika melihat debu yang mengepul dari
kejauhan, dari arah desa Pandan Sari. Karena itu, tanpa pikir panjang
disambarnya junjungannya sang permaisuri Rara Angken untuk
dinaikkan segera ke atas kuda, dan kemudian raden Purbaya serta
Cempaka. Tanpa membuang-buang waktu lagi dihentaknya tali
kekang kuda itu.
114 Api Berkobar di Karang Sedana
Sementara itu derap kuda dari arah desa Pandan Sari semakin
mendekat. Dan Hulubalang Karewang mementang dada menunggu
rombongan berkuda itu datang.
“Pegang kuat-kuat tubuhku, Cempaka!”
“Ibu, agaknya kuda ini sudah tak kuat lagi. Kasihan dia.”
“Kita harus pergi sejauh-jauhnya, Purbaya. Mereka adalah
orang-orang jahat yang suka membunuh.”
“Bunda,… Bunda,… apakah sudah benar arah yang kita tuju
ini?”
“Iya, paman Karewang mengatakan kita menuju ke sana.”
“Bagaimana Bunda, apakah Bunda terluka?”
“Tidak Nanda. Bagaimana denganmu Cempaka?”
“Saya juga tidak apa-apa. Kuda ini berjalan sudah tidak terlalu
cepat. Dan lagi tempat ini bukan tanah bebatuan.”
“Ayo, kita lanjutkan perjalanan kita.”
“Oh, celaka Tuanku, mereka mengejar kita.”
“Ingat Cempaka, kita sedang dalam perjalanan penyamaran.
Jangan memanggilku seperti biasanya dihadapan mereka.”
“Ah, baik. Baik Nyai.”
“Hahahaha, kau tidak boleh meninggalkan Pandan Sari. Kau
harus kembali ke desa Pandan Sari.”
“Tidak, aku tidak akan mengikutimu. Aku bukan penduduk
desamu.”
115 Api Berkobar di Karang Sedana
“Jika kau tidak mau ikut, kau akan kubuat terpaksa
mengikutiku. Bocah kecil ini akan ku bawa.”
Sambil tertawa-tawa, Aki Podang menyambar tangan raden Angling
Purbaya untuk dibuat sandera. Akan tetapi bocah kecil yang sejak tadi
telah memendam benci dan kemarahan justru membiarkan tangannya
disambar. Bersamaan dengan itu raden Purbaya menundukkan
kepalanya dan giginya yang tajam menggigit lengan Aki Podang.
“Aduh! Lepaskan! Lepaskan bocah gila!”
“Purbaya!”
“Bocah gila! Binatang rakus! Kau kira aku ini apa, digigit
seperti ini, heh?”
“Heh! Kakek-kakek peyot, kau ganggu ibuku dan paman
Karewang yang tidak memiliki sedikitpun kesalahan padamu!” sengat
bocah kecil itu.
“Baik! Baik, akan kulihat apakah kau dapat menggigit ku lagi
sekarang. Ayo!”
“Lepaskan aku! Lepaskan kakek peyot! Ini rasakan!”
“Hey, hey kau tidak dapat menggigitku lagi kucing liar!”
“Lepaskan anakku itu Aki. Lepaskan dia. Anak kecil itu tidak
tahu apa yang telah diperbuatnya.”
“Aku akan melepaskannya, tapi kau harus ikut dengan aku ke
Pandan Sari. Ingat jika kau macam-macam, anakmu ini akan
kupecahkan kepalanya!” ancam Aki Podang. “Ayo jalan ke sana!”
“Anakku itu lepaskan, Aki.”
“Baik. Ini… jaga anakmu itu baik-baik, ya!”
116 Api Berkobar di Karang Sedana
“Purbaya, kau jangan bertindak nakal. Kau jangan berbuat
apapun tanpa Ibu perintah.”
“Iya, Bu. Saya akan diam, jika tak ada yang mengganggu Ibu.
Tapi jika kakek itu masih mengganggu Ibu, saya akan melempar
kepalanya dengan batu!”
“Hehehehe, anak harimau! Heh, kau beruntung sekali
memiliki anak seperti itu, Nyai. Sudah, ayo jalan!”
“Bagus! Bagus Podang. Kau berhasil menggagalkan pelarian
lagi.”
“Tapi Ki, kami bukanlah penduduk desa ini. Kami berasal dari
desa kecil di pinggiran kerajaan Karang Sedana.” “Hmm,
benarkah demikian Podang? Orang ini bukanlah penduduk desa kita?”
“Tapi… tapi saya yakin mereka adalah penduduk dari desa…
desa kita Ki. Saya lihat keadaan mereka sangatlah men…
mencurigakan.”
“Hmm, lalu kemanakah laki-laki yang kau katakan memiliki
kemampuan ilmu silat tinggi itu?”
“Eeh, ketika laki-laki itu dikepung oleh banyak penjaga desa
kita, saya mempergunakan kesempatan untuk mengejar mereka. Tapi
ketika saya bertemu dengan Panggul di depan rumah Ki Dandung, dia
mengatakan bahwa laki-laki itu berhasil melarikan diri.”
“Hemm, siapakah laki-laki itu Nyai? Suamimu kah, hehh?”
“Bukan. Karewang adalah… paman dari anakku ini. Ayah
anak ini,… suamiku sudah lama pergi meninggalkan kami.”
117 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hemm, dan gadis manis itu siapa? Anakmu kah?”
“Dia… dia adalah adik saya, Ki.”
“Hemm, Podang. Siapkan kamar untuk mereka bertiga. Rawat
dan perlakukan mereka dengan baik. Mengerti?”
“Baik, Ki.”
“Beristirahatlah kalian. Tentu perjalanan panjang yang sudah
kalian jalani sangat melelahkan.”
“Tapi Ki, kami tidak ingin beristirahat terlalu lama di sini.
Kami memiliki tujuan dalam perjalanan kami.”
“Oo iya. Ya-ya-ya, aku mengerti. Tapi sementara ini
pergunakanlah kesempatan untuk beristirahat, Nyai. Kasihan adik dan
anakmu yang masih kecil itu…”
“Nah, ini kamar kalian. Masuk dan beristirahatlah. Ayo…
hehehe, ayo masuk. Kenapa kalian ragu, hemm? Ayo.”
“Ah, terima kasih.”
“Oh, tuanku… apakah yang akan terjadi dengan kita di sini?”
“Entahlah Cempaka, aku pun tidak tahu. Berdo’a sajalah pada
dewata agar kita diberi keselamatan olehnya. Anakku Purbaya,…
berbaringlah kau di ranjang itu. Ayo Cempaka, pergunakanlah waktu
ini untuk beristirahat.”
“Tapi Tuanku,… hamba… hamba rasanya tidak akan dapat
memejamkan mata sedikitpun di sini. Suasana di desa ini terasa aneh
sekali.”
118 Api Berkobar di Karang Sedana
“Yah, kau benar Cempaka. Agaknya penduduk desa ini
sangat tertekan hidup di desanya sendiri.”
“Iya, mereka merasa takut pada pengawal desa, dan pamong
desa mereka.”
“Iya, kukira sesuatu telah terjadi di desa ini. Ki Dandung
Amoksa kepala desa mereka walaupun nampaknya ramah, aku yakin
bukanlah orang yang baik-baik.”
“Hmm, lalu apa yang harus kita lakukan, Tuanku?”
“Aku tidak tahu, Cempaka. Kita lihat saja keadaan sementara
ini. Ohh, bagaimanakah nasib Karewang..?”
“Hamba yakin dia sedang mengupayakan kebebasan bagi
Tuanku.”
Rara Angken tampak sangat resah, dan terisak gundah.
“Bunda menyuruhku untuk beristirahat. Sedang Bunda sendiri
duduk menangis di kursi itu. Eeh, kenapa Bunda menangis? Bunda
takut berada sendirian di sini? Atau Bunda sedang memikirkan
Ayahanda di Karang Sedana?”
“Ya, aku khawatir dengan nasibmu, Nak. Kau adalah seorang
pangeran mahkota yang seharusnya tetap berada di istana.
Bergelimang dengan kemewahan. Tapi kini, kau di sini di sarang
manusia-manusia buas yang tidak mengenal arti kemanusiaan.”
“Ibunda tidak usah mengkhawatirkan Ananda. Ananda… eh,
entahlah… sedikitpun tidak merasa takut. Sudahlah. Bukankah Ibu
tadi mengajak untuk beristirahat? Berbaringlah Bunda.”
“Oh, anakku Purbaya. Purbaya.”
119 Api Berkobar di Karang Sedana
Pintu bilik itu terdengar diketuk.
“Siapa?”
“Aku, aki Podang.”
“Mau apa kau datang kemari?”
“Hehehe, aku diperintahkan oleh Ki Dandung untuk
menjemputmu.”
“Menjemputku? Mau apa Ki Dandung memanggilku?” tanya
Rara Angken.
“Entahlah, aku tidak tahu. Aku hanya mendapat perintah
untuk menjemputmu. Itu saja.”
“Oh, iya. Baiklah. Aku akan ke sana. Tunggu sebentar. Ayo,
bersiaplah Purbaya, Cempaka.”
“Eeh, eh jangan. Biarlah anakmu dan adikmu menunggu. Ki
Dandung hanya ingin bicara denganmu seorang.”
“Tidak! Aku harus ikut bersama ibuku.”
“Purbaya, kau tunggulah di sini. Ibu segera akan kembali.”
“Tidak Ibu. Aku harus ikut bersama Ibu.”
“Ayolah, Nyai. Kita segera pergi. Biarkan anakmu di
kamarnya. Ayo!”
“Lepaskan Ibu, lepaskan!”
“Setan, agaknya kau perlu diberi hajaran heh?!”
“Purbaya!”
“Ayo, minggir sana!”
“Kakek peyot! Jahat! Kupukul kau!”
120 Api Berkobar di Karang Sedana
“Lepaskan! Lepaskan!”
“Jangan! Jangan Ki Podang! Aku tidak akan ikut denganmu
jika kau menyakiti anaknya.”
“Hmm, heeh. Kau bukanlah tamu terhormat di sini. Kau
adalah tahanan kami. Jangan bertindak macam-macam terhadap kami.
Turuti saja kemauan kami, dan kau akan selamat !”
“Iya, aku memang tahanan kalian. Tetapi itu bukan berarti
kalian dapat berbuat sesuka hati kalian terhadap kami. Aku lebih suka
mati daripada menerima penghinaan kalian!”
Aki Podang terkekeh kembali.
“Bagus! Bagus, kau memang seorang wanita yang sejati,
Nyai. Kita lihat saja nanti. Kau boleh ikut, bocah setan. Tapi awas
jangan berbuat konyol seperti tadi dihadapan Ki Dandung, heh!”
“Purbaya anakku, apakah kau terluka Nak?”
“Tidak Bunda. Ananda tidak apa-apa.”
“Ayo, kita segera berangkat. Ki Dandung sudah sejak tadi
menunggu kalian.”
“Mari Purbaya. Kau tunggulah di sini, Cempaka. Kami segera
kembali.”
“Hemm, Podang. Bukankah aku menyuruhmu hanya
membawa wanita itu?”
“Maaf Ki Dandung, maaf. Mereka memaksa untuk pergi
berdua. Dan…”
121 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ki Podang benar, Ki Dandung. Kamilah yang memaksa
untuk pergi bersama. Ada apa? Apa maksudmu memanggilku?”
“Sebenarnya aku memanggilmu seorang diri adalah untuk…
Ah, Podang coba kau keluar sebentar.”
“Baik, Ki.”
“Hemm, aku memanggilmu untuk membicarakan masalah
yang bersifat pribadi. Hehehe… Aku memerintah disini seorang diri
tanpa seorang pendamping. Jadi aku ingin kau mendampingiku
disini.”
“Oh, apa maksudmu Ki Dandung?”
“Oh… Aku inginkan kau untuk menjadi istriku, Nyai.”
“Ah! Kau… kau… Mana mungkin, Ki. Aku sudah
mempunyai seorang suami. Aku bukanlah gadis ataupun janda.”
“Hehehe”
“Tidak! Ibu tidak boleh menikah denganmu!”
“Hmmm,” Ki Dandung menggeram. “Hehehe, anak manis.
Jika kau mempunyai seorang ayah seperti aku hehehe, kau akan hidup
senang. Dan tidak akan ada seorangpun yang akan berani
menghinamu. Hehehe.”
“Tidak Ki Dandung, maafkan aku. Aku tidak mungkin akan
menikah denganmu.”
Ki Dandung Amoksa kembali menggeram, “Nyai jika kau
tidak menikah denganku, kau akan mendapat susah di sini. Kau kini
sudah tak mungkin dapat keluar lagi dari Pandan Sari.
122 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hahh, agaknya aku kini berada di sarang perampok yang
berkedok sebagai kepala desa.”
“Hahahah! Iya-iya-iya. Nyai telah banyak tahu. Nah
bagaimana?”
“Kupecahkan kepalamu!”
“Purbaya, jangan!”
“Bocah gila itu telah berbuat onar! Tangkap dan kurung dia di
kamar depan.”
“Heem, mari anak setan. Mari hehehehe.” Dengan kegirangan
Ki Podang menjambak rambut Angling Purbaya dan menyeretnya.
“Lepaskan aku! Lepaskan kakek peyot! Lepaskan!”
“Jangan sakiti anakku, jangan Aki Podang!”
“Bawa dia ke belakang, Podang!”
“Lepaskan! Lepaskan Aki peyot!”
“Diaam! Dengar… dengarkan hai wanita malang. Kau harus
segera membuat keputusan. Jika tidak, anakmu lah yang akan menjadi
jaminannya. Pikirkanlah itu.”
Rara Angken tak berkata-kata, hanya dapat terisak dalam
ketidakberdayaannya.
“Lepaskan aku! Hiyaahh-hiyaaah. Lepaskan!”
“Heheheh, ayo berteriaklah sepuas hatimu nanti di dalam
sana. Ayo.”
“Kau kakek tua pengecut! Jika paman Karewang datang, akan
kusuruh pecahkan kepalamu!”
123 Api Berkobar di Karang Sedana
“Heh, heh,… disinilah tempatmu anak nakal. Ayo masuk
sana! Berteriaklah sepuas hatimu, sekuat tenagamu.”
“Lepaskan aku kakek peyot! Awas kalian jika sampai
mengganggu ibuku. Dandung gendut, kupukul kau. Lepaskan aku!
Lepaskan aku!”
Raden Purbaya berteriak-teriak tanpa menghiraukan lagi darah yang
menetes dari sela-sela bibirnya. Anak itu tidak memperhatikan lagi
keadaan dirinya, perhatiannya hanya tertuju pada ibundanya. Dia
cemas akan keadaan bundanya.
“Apakah yang harus aku lakukan Cempaka? Apakah aku
harus menerima lamaran begal jahat itu? Oh, aku harus bagaimana,
Cempaka? Katakanlah…”
“Oh, ehmm hamba tidak tahu, Gusti. Tapi Gusti, bagaimana
jika Gusti menceritakan saja siapa sesungguhnya Gusti dan Raden
Purbaya?”
“Aku tidak yakin mereka akan menjadi takut dan mundur,
Cempaka. Mereka adalah orang yang tidak pernah mau mengenal
aturan.”
“Oh… Emm, sayang sekali raden Purbaya bersama kita.
Bersama Tuanku. Ah, hamba mengerti bagi Tuanku sebagai seorang
wanita terhormat lebih baik mati bersimbah darah daripada harus
terhina oleh lelaki hidung belang seperti Ki Dandung.”
“Yah, kau benar Cempaka. Aku tidak dapat bertindak
sembarangan hari ini. Aku juga harus memikirkan anakku Purbaya.
124 Api Berkobar di Karang Sedana
Dia harus tetap hidup. Dia adalah satu-satunya penerus keturunan dari
kakanda Aji Konda.”
“Ah… Jika demikian memang tidak ada jalan lain, Tuanku.”
“Yah,… Memang tidak ada jalan lain, Cempaka. Purbaya
harus tetap hidup!”
“Oh, dewata. Seandainya hamba boleh memikul beban Gusti
Rara Angken, hamba bersedia.”
Rara Angken tersenyum mendengar perkataan gadis kecil
pengasuh puteranya itu. Dia amat berterima kasih sekaligus terharu
mendengar perkataan itu.
“Terima kasih, Cempaka. Tapi ini memang sudah bagianku.
Dewata sudah memberikannya padaku. Biarlah aku saja yang
memikulnya. Aku akan menerimanya dengan ikhlas dan pasrah, jika
ini memang sudah kehendaknya.”
“Oh, Gusti…” Cempaka memeluk Rara Angken majikannya
sambil terisak sedih.
“Ada apa kau datang menghadapku, Podang?”
“Bocah itu… Ki.”
“He? Bocah itu? Maksudmu bocah yang kau kurung tadi, anak
dari wanita itu?”
“Ah, benar Ki. Mereka mengganggu ketentraman pengawal-
pengawal yang tengah beristirahat di barak, Ki.”
125 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hah?! Mengganggu ketentraman? Apa lagi yang
diperbuatnya? Bukankah aku sudah perintahkan agar dikurung di
kamar tahanan?!”
“Iya, benar Ki. Tetapi sejak tadi bocah itu berteriak-teriak
memaki-maki.”
“Kurang ajar! Jika bukan putera dari wanita cantik itu, sudah
kuinjak kepalanya sampai hancur.”
“Emm… bagaimana sekarang, Ki Dandung? Apakah bocah
itu dapat dipindahkan ke ruang lain? Ke ruang tawanan khusus?”
“Eh? Kau kira dia siapa heh? Kenapa harus dipindahkan ke
tahanan khusus? Dengar, aku tidak akan mengalah lagi pada bocah
itu. Bawa bocah itu ke halaman belakang, dan siapkan tali. Aku akan
menjinakkan anak harimau itu!”
“Mana ibuku? Awas jika sampai kalian mengganggu ibuku!”
“Haehehehehe, bocah tidak tahu diri ! Agaknya kau mau
mencari mati bertindak gila seperti ini di sini. Ayo berlutut! Ayo
berlutut jika kau tidak ingin mati di desa Pandan Sari ini. Heh! Benar-
benar kau bocah sinting rupanya! Berlutut ! Heh, bocah sinting!
Rasakan ini !”
“Aah…”
“Ayo, berlutut atau kubuat hancur tubuhmu dengan cambuk
ini. Heheheh, agaknya lututmu sudah gemetar. Ayo, berlutut bocah
sinting dan aku akan mengampunimu !”
126 Api Berkobar di Karang Sedana
Kibasan cambuk yang mengenai tubuhnya membuatnya jatuh
tersungkur, akan tetapi Raden Purbaya anak yang keras kepala dan
tidak mengenal takut. Dengan cepat kembali berdiri menantang.
Kedua kakinya bergetar karena tak dapat menahan gejolak dari
hatinya yang merasa terhina dipermainkan dihadapan belasan
pengawal desa Pandan Sari. Dan beberapa saat kemudian, bocah itu
maju menyerang Ki Dandung.
“Kakek Gendut ! Kupukul kau!”
“Hehehehe, akan kulihat sampai dimana daya tahanmu anak
setan.”
“Aahh,…”
“Ayo! Bangkit lagi anak setan. Ayo bangkit ! Sekarang
rasakan lagi.”
“Aaah,… aduh-aduh… Ahh.”
“Agaknya kau sudah tidak mampu berdiri lagi. Nah sekarang
berlututlah, sebelum tubuhmu menjadi hancur.”
“Tidak! Aku tidak akan berlutut kakek Gendut!”
Ki Dadung Amoksa menggeram marah, lalu membentak
keras, “Podang! Podang, sudahkah kau siapkan tali itu?!”
“Sudah Ki. Itu di tiang sana.”
“Bagus! Ikat kaki anak itu, dan gantung di tiang itu dengan
kaki di bawah.”
“Baik, Ki Dandung.”
“Hehehehe, sekarang aku tidak minta kau berlutut. Tetapi
cukup dengan meminta ampun. Mintalah ampun padaku. Dan kau
127 Api Berkobar di Karang Sedana
akan segera ku ampuni. Dan berjanji kau tidak akan berbuat macam-
macam di desa ini. Dan…” Ki Dandung terkekeh merasa di atas angin,
“Mau menjadi anak dari Ki Dandung, heh!”
“Cuihhh!”
“Kurang ajar! Bocah setan! Agaknya kau memang ingin mati
di sini. Hiyaatt!”
“Aah,… Aaah… Aduuh… Ah…”
“Anak setan, kau akan ku gantung di sini sampai habis dan
hilang nyawamu. Hayoo, semua tinggalkan bocah ini !”
“Ki Dandung, tunggu Ki. Apakah memang aki berniat
menggantungnya hingga dia mati?”
“Hmm, ya. Kau lepaskan beberapa saat sebelum anak itu mati.
Aku memang masih memerlukan ibunya. Sekap dia di kamar tahanan
khusus!”
“Hehehehe, ada apa Nyai? Kudengar dari pengawal, kau ingin
bertemu denganku?”
“Benar Ki Dandung. Dimanakah anakku sekarang?”
“Ehemm, ada Nyai. Anakmu sekarang ku kurung di kamar
khusus. Tapi jangan khawatir dia dirawat sebagaimana mestinya. Ada
apa Nyai? Apa kau sudah berubah pikiran sekarang?”
“Iya, aku bersedia menikah denganmu,… asalkan kau
membawa anakku sekarang.”
128 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ouww, tapi bagaimana mungkin Nyai. Anakmu itu eh… ku
kurung jauh dari sini dan baru saja dia dibawa Aki Podang dan seorang
pengasuh.”
“Ah, kau… kau berdusta Ki Dandung! Pasti telah terjadi
sesuatu dengan anakku. Katakanlah yang sebenarnya. Apa yang kau
perbuat dengan anakku?”
“Ayoo, percayalah Nyai. Anakmu akan kuserahkan pada saat
hari perkawinan kita.”
“Kau boleh mengawiniku sekarang juga, Ki. Tapi
kembalikanlah anakku sekarang ini juga.”
“Ehehhehe, jangan khawatir Nyai. Hehe… anakmu selamat
berada di tanganku.”
“Ki Dandung! Ki Dandung!”
“Haeeeh! Podang gila, ada apa orang itu berani
menggangguku, gila!?”
“Ki Dandung! Ki Dandung!”
“Haeeh! Kucabut lidahmu, Podang! Ada apa kau berani
menggangguku dengan teriakan seperti itu, Podang.”
“Maaf, Ki Dandung. Saya datang membawa kabar yang
sangat penting.”
“Hah!? Kabar apa itu? Kabar apa, hayo katakan!”
“Tapi… tapi…”
“Tapi apa heh? Ayo cepat katakan!”
129 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tapi, Ki… apakah saya tak dapat bicara hanya berdua
dengan Aki?”
Ki Dandung Amoksa yang semula berteriak berang pada Ki Podang,
pembantunya kini menyadari adanya sesuatu kabar yang amat serius
yang dibawa oleh pembantunya. Setelah meminta ijin pada Rara
Angken yang telah menjungkir balikkan hatinya, Ki Dandung Amoksa
meninggalkan tempat itu.
“Katakan, kenapa kau berteriak-teriak seperti orang gila,
Podang.”
“Eh, ampun Ki. Tadi ada beberapa orang prajurit dari Karang
Sedana mencari Aki.”
“Hanya itu?”
“Anu, persoalannya,… persoalannya itu yang cukup serius.
Emm, mereka katanya sedang mencari pelarian dari Karang Sedana.”
“Hmm? Pelarian?!”
“Ya.”
“Agaknya Ki Darpo sudah memulai gerakannya.”
“Emm… Iya. Bahkan, Karang Sedana sudah jatuh ke tangan
mereka.”
“Hmm, kupikir gerakan yang dilakukan akan sia-sia. Tapi
kini mereka berhasil dan kini menikmati hasilnya. Lalu mau apa dia
mengirim prajuritnya kemari?”
“Hmm, ya mereka sedang mencari pelarian dari istana Karang
Sedana. Dua orang pelarian Ki.”
130 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ya, lalu apa hubungannya dengan kita? Mau apa dia kemari?
Mengirim utusan, heh?”
“Anu Ki… dua… dua orang pelarian itu terdiri dari
permaisuri dari sang prabu Aji Konda dan putranya, raden Purbaya.”
“Hah? Purbaya?!”
“Benar, Ki Dandung. Putera mahkota Karang Sedana berumur
sebelas tahun dan bernama raden Purbaya.”
Sesaat Ki Dandung Amoksa terhenyak dan seakan-akan tak tahu harus
berbuat apa menghadapi situasi ini. Akan tetapi beberapa saat
kemudian, Ki Dandung Amoksa yang sesungguhnya adalah kepala
begal yang punya nama itu, tersenyum licik.
“Hehehe, walaupun kita tidak ikut berjuang tapi kita tetap
akan menikmati hasil yang cukup besar. Aku akan menikmati hasil
yang jauh lebih besar dari Ki Jagal Lanang dan ah… hahaha bahkan
Ki Darpo. Itu adalah tuntutanku.”
“Tapi… tapi Ki Darpo adalah bukan tandingan kita...”
“Siapa yang akan bertempur dengan Ki Darpo? Aku pun
belum ingin mati, Podang. Lalu apa yang dia perbuat, Podang?”
“Dia mengatakan, pemimpin mereka Ki Jagal Pati berada di
sekitar sini, dan sebentar lagi tentu akan kemari, Ki.”
“Hmm, ya. Aku tidak akan membiarkan kedua tawanan yang
sudah menjadi milikku ini dibawa oleh Ki Jagal Pati. Aku sendiri nanti
yang akan membawanya ke Karang Sedana. Aku yang
menemukannya dan akupula lah yang akan mendapatkan hadiah dari
Ki Sentana.”
131 Api Berkobar di Karang Sedana
“He, Podang. Jika Ki Jagal Pati datang katakan aku sedang
keluar desa. Dan suruh dia datang kembali besok pagi. Dan…
hehehehe malam nanti, adalah malam pengantin tanpa perayaan
buatku.”
“Awas kalian semua, Aku… aku akan membalaskan semua
penghinaan kalian.”
“Siapakah itu di sana?”
“Rupanya ada orang lain di dalam sini. Siapakah dia, kawan-
kawan mereka kah?”
“Ooh, tidak puas-puasnya iblis-iblis itu berbuat angkara.
Keluargaku sudah dimusnahkan, seluruh kerabat pamong desaku
habis dibunuhnya.”
“Siapakah orang tua itu? Agaknya itu tawanan disini.”
“Kemarilah sobat, kita berbincang bersama.”
“Kenapa kau diam saja sobat, bunuhlah aku jika kau mendapat
perintah untuk itu.”
“Ah, tidak Kek. Saya juga disini juga seorang tawanan.”
“Heeh? Kau… kau seorang bocah cilik.”
“Iya kek.”
“Siapakah kau sebenarnya, bocah?”
“Saya bersama ibu, bibi dan paman saya sedang melakukan
perjalanan jauh. Tapi ketika melalui perbatasan desa Pandan Sari,
kami ditangkap. Kami dituduh hendak melarikan diri dari desa Pandan
Sari.”
132 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ouh… jadi kau bukan penduduk desa ini.”
“Saya tinggal di Karang Sedana, sedang dalam perjalanan ke
gunung Sawal.”
“Hemm… setan iblis. Iblis gila. Awas jika aku dapat keluar
dari sini, akulah yang akan menghabisi nyawa iblis itu. Hiaahhhh!!”
Kakek Tua tawanan dari Ki Dandung Amoksa mengamuk. Raden
Purbaya cepat menghindar dari sambaran kayu dan benda-benda lain
yang berterbangan.
“Seisi desa dibuat sengsara oleh kelompoknya. Awas kau
Dandung!”
“Kek… Kek?”
“Oh, kau… bocah. Aku tidak dapat menguasai diriku lagi.
Aku tidak dapat menahan gejolak emosiku lagi. Apakah kau tidak apa-
apa?”
“Ah tidak, Kek. Saya tidak apa-apa.”
“Iya, atau memang semua ini salahku juga. Semua salahku.
Aku yang tidak berhasil mendidik anak. Ya, semua akibat
perbuatannya pada akhirnya akulah yang menanggungnya.”
“Kek, ada apa Kek? Kenapa kakek menangis?”
“Ya, semua penderitaan yang kalian alami adalah tanggung
jawabku. Akulah yang bersalah.”
“Eh, tidak… tidak Kek. Kakek tidak bersalah. Semua derita
yang saya alami adalah akibat perbuatan dari Ki Dandung. Kakek
133 Api Berkobar di Karang Sedana
tidak bersalah. Justu kakek sendiri pun menderita akibat perbuatan Ki
Dandung. Kakek justru harus dikasihani.”
Kakek tua itu tersenyum pahit.
“Kau anak kecil, mana mungkin kau dapat tahu. Mana
mungkin kau dapat mengerti semua penderitaanku. Bocah,… tahukah
kau, bahwa akulah orang yang paling berdosa di desa Pandan Sari ini.
Aku orang yang patut dicerca, patut di hukum. Semua perbuatan
Dandung adalah menjadi tanggung jawabku. Karena Dandung adalah
putraku sendiri.”
“Hah? Dandung Amoksa iblis gendut itu putera kakek?”
Kakek tua itu kembali tertawa pahit.
“Kau terkejut bocah? Dan mungkin kau juga bertanya dalam
hati, jika Dandung puteraku, kenapa aku bisa sampai di tempat ini?
Aku yang bersalah. Sudah aku katakan aku yang bersalah. Dandung
puteraku tertua, dialah yang sebenarnya berhak menggantikanku
menjadi kepala desa di sini. Akan tetapi aku mendengar kabar
diluaran, bahwa anakku Dandung adalah pimpinan begal. Dan akupun
kemudian mengangkat adiknya sebagai penggantinya, karena aku
sudah merasa sudah tua. Ketika anak iblis itu mendengar aku
mengangkat adiknya, dia kembali pulang dari perantauan dan
menuntut haknya. Aku berhasil mengusirnya, tapi kemudian dia
kembali lagi. Kali ini bersama kawan-kawan dan kelompoknya.
Mereka menyerang desa ini dan membunuh adiknya sendiri.”
“Lalu kakek sendiri dibuatnya cacat olehnya juga?”
134 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ya, oleh perbuatannya. Dapat dikatakan oleh perbuatannya.
Seorang tukang masakku yang diupah olehnya, meletakkan racun
pada masakan yang kumakan. Aku cepat tersadar, dan memuntahkan
racun itu. Akan tetapi sebagian racun sempat masuk ke pembuluh
mataku. Oleh karena itu mereka berhasil menguasai desa ini karena
satt itu aku sedang dalam keadaan lemah. Aku sedang berjuang
mengeluarkan racun dalam tubuhku. Pada saat itu jugalah mereka
menangkapku dan mengikatku disini.”
“Benar-benar iblis gila, Ki Dandung. Rasa-rasanya jika aku
sanggup dan mempunyai kepandaian, akupun ingin membunuh
manusia iblis itu.”
“Hematlah emosimu, bocah. Di dalam tahanan ini kau hanya
akan diberikan makan sekali dalam sehari. Duduklah bersandar di
sampingku.”
“Hey, penjaga. Dimana aku bisa bertemu dengan Ki
Dandung?”
“Ki Dandung saat ini sedang tidak ada di dalam desa. Dia
sedang keluar. Ada urusan yang hendak diselesaikan.”
“Bawa aku ke rumahnya.”
“Ki Dandung berpesan, jika ada yang ingin menemuinya
diminta untuk kembali besok pagi.”
“Hey monyet! Tahukah kau berhadapan dengan siapa
sekarang ini?”
“Dengan tamu yang tidak kami undang!”
135 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kurang ajar! Agaknya mulutmu perlu di hajar!”
“He, jangan macam-macam kawan. Kau hanya datang
sendirian, sedang kami disini berempat. Kami dapat saja berbuat kasar
padamu jika kau tidak menuruti perintah kami.”
“Hey monyet besar, saat ini kau sedang berhadapan dengan
orang yang sangat ditakuti oleh pimpinanmu sekalipun. Hayo,
antarkan aku ke tempat Ki Dandung, atau akan kupatahkan leher
kalian semua!”
“Kau kira kami takut padamu yang hanya seorang diri itu?
Hayoo kawan, sikat tamu gila ini !”
“Hahaha, kalian hendak mencari penyakit sendiri agaknya.
Ayo majulah, siapa yang mengayunkan pedang lebih dahulu dia yang
akan kubuat celaka.”
Keempat penjaga itu terdiam ragu-ragu mendengar ancaman
yang penuh percaya diri itu.
“Ayo, kenapa kalian diam saja? Hmm, bagus agaknya kalian
masih waras. Masih takut pada kematian. Ayo sekarang masukkan
kembali pedangmu dalam sarungnya. Ayo masukkan pedangmu
dalam sarungnya. Ayo!”
Jagal Pati dan kedua saudaranya Jagal Lanang dan Jagal Belo adalah
tiga orang sakti dari golongan hitam yang merupakan pembunuh
bayaran. Jagal Pati dan kedua saudaranya adalah tokoh yang terkenal
keganasannya. Mereka sanggup membunuh korbannya sambil
tersenyum dan tanpa mengerdipkan mata sedikitpun.
136 Api Berkobar di Karang Sedana
Kini keempat anak buah dari Ki Dandung pun dapat dirontokkan
nyalinya tanpa menggerakkan tenaga sedikitpun.
“Bagus, bagus. Sekarang antarkan aku ke tempat tuan
Dandung Amoksa.”
“Baik Tuan, mari ikuti kami.”
“Siapa itu?”
“Saya, Ki. Mamik.”
“Ada perlu apa kau, monyet!”
“Ada yang mencari Ki Dandung.”
“Kurang ajar, kemana Ki Podang. Hee, kenapa kau datang
padaku? Dimana Ki Podang?”
“Sudah saya cari-cari, tidak ada Ki.”
“Hmm, siapa yang mencari aku?”
“Mmm,… orang itu mengaku bernama Jagal Pati, Ki.”
“Kenapa kau bawa orang itu kemari? Apa Podang tidak
berpesan padamu untuk tidak menerima tamu malam ini, hah?”
“Eh, sudah Ki. Sudah. Tapi anu, Ki… orang ini mengancam
akan membunuh kami, Ki.”
“Kurang ajar, Ki Jagal Pati mengganggu rencanaku saja. Pergi
katakan padanya, aku akan segera datang.”
“Ah, baik Ki… Baik.”
“Setan! Ular hitam itu memang tidak tahu diri !”
137 Api Berkobar di Karang Sedana
“Heh, kerbau gila. Kau tak dapat membohongiku. Kedua
orang pelarian itu pasti ada di tanganmu.”
“Heh? Kau bicara apa ular hitam?”
“Siapa yang tidak kenal kau Ki Dandung. Kau adalah begal
licik yang sanggup membunuh adik dan orang tuamu. Tapi padaku,
Jagal Pati si ular hitam, kau tak bisa membohongiku. Keluarkanlah
Dandung, kau juga akan memperoleh hadiah dari istana Karang
Sedana.”
“Ular hitam licik, aku mengaku kalah atas kejelianmu hingga
mengetahui kedua tawananku. Tapi kau tidak akan menemukan
mereka walaupun kau acak seluruh desa Pandan Sari ini hehehehe.”
“Hmm, Dandung… Dandung. Aku yakin kau tidak akan
berani membohongi kami, karena kau cukup tahu siapa kau dan siapa
yang memerlukan tawanan itu. Baiklah aku akan kembali besok sore,
kemari.”
“Ki, Ki Dadung… Celaka Ki… Ki. Penduduk desa
mengamuk, mereka sedang menuju kemari, Ki.”
“Kurang ajar! Bagaimana mereka sampai berani bertindak
seperti itu. Siapa yang memimpin mereka?”
“Kami tak mengenalnya, Ki. Tapi agaknya orang itu yang
kemarin meloloskan diri, Ki.”
“Hey, tunggu. Tunggu dulu Ular hitam!”
“Hey, uruslah sendiri urusanmu kerbau gila!”
“Tidak bisa, ini adalah urusanmu. Atau barangkali kau takut
hah?”
138 Api Berkobar di Karang Sedana
“Heh! Kau jangan memancing kemarahanku, Ki Dandung!”
“Memang aku memang akan memancing kemarahan mu, Ular
hitam. Dengarlah, orang yang memimpin gerakan penduduk itu adalah
salah seorang pelarian dari Karang Sedana. Dialah yang mengawal
kedua tawananku. Bukankah itu juga merupakan urusanmu?”
“Siapakah orang itu? Dimanakah mereka? Tunjukkan
padaku.”
“Ayo, antarkan kami, Mamik.”
“Baik, Tuan.”
“Yang manakah orang yang kau maksud, Ki Dandung?” tanya
Jagal Pati sesampainya di sekitar tempat kerusuhan penduduk desa.
“Hmm, aku pun belum mengenalnya. Orang itu berhasil
melarikan diri dari kepungan beberapa orang anak buahku.” Ki
Dandung menunjuk ke arah Karewang yang tengah membabat kesana-
kemari, “Hmm, itu dia pasti. Kau lihatlah gerakannya yang terlatih.”
“Iya, dia pastilah salah seorang perwira dari Karang Sedana.
Memang ini adalah urusanku, Dandung.”
Jagal Lanang segera membedol kuda mendekati Karewang.
“Heh, kau pemimpin orang-orang ini?”
“Iya, benar. Aku akan bertemu dengan pimpinan begal-begal
ini. Apakah kau pimpinannya?”
“Apakah kau ingin meminta kembali tawanan itu?”
“Ya aku menuntut agar keluargaku dikembalikan, dan semua
begal-begal yang ada di desa ini agar segera pergi dari sini.”
139 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm, kau menuntut keluargamu? Apakah kau tidak takut di
gantung jika keluarga orang itu mendengar kata-katamu?”
“Eeh, siapakah kau sebenarnya?”
“Agaknya kau sudah terlalu tua, sobat. Hingga tidak dapat
mengenaliku lagi. Atau memang pertempuran itu terlalu ramai hingga
kau tidak mengenaliku lagi.”
“Kau… kau… agaknya kalian semua disini adalah antek-
antek dari Ki Sentana. Aku akan mengadu nyawa dengan kalian.”
“Maaf, aku mempunyai banyak urusan yang harus
kuselesaikan, sobat. Aku tidak dapat lama-lama bermain denganmu.”
Karewang gugur di tangan Jagal Pati.
“Maaf Ki Dandung, aku akan segera pergi. Urusanku sudah
selesai disini.”
“Hahaha, terima kasih Ular hitam.”
Pertempuran yang semula berjalan cukup berimbang dengan adanya
Karewang kini menjadi berat sebelah, karena jago andalan mereka
telah gugur di tangan Ki Jagal Pati. Ki Dandung yang menjadi berang
kemudian turun tangan membunuh penduduk yang beberapa diantara
mereka sesungguhnya adalah kawannya bermain ketika kecil.
Dan beberapa saat kemudian, penduduk yang merasakan tekanan
semakin berat, segera melarikan diri dari arena pertempuran itu.
“Aki, bertemu juga dengan Karewang tadi?”
“Huh, anak goblok itu ketakutan di ancam oleh Ki Jagal Pati.
Sudahlah Podang, sekarang aku punya tugas untukmu. Malam ini juga
140 Api Berkobar di Karang Sedana
kau harus segera meninggalkan Pandan Sari dan usahakan tak lama
setelah fajar kau sudah berada di istana.”
“Iya, tapi Ki… sekarang sudah hampir tengah malam. Jika
harus tiba esok pagi, berarti saya harus berkuda semalaman, Ki…?!”
“Ya, ini perintah Podang. Carilah beberapa orang kawan
sekarang juga.”
“Ya-ya-ya, baik Ki. Tapi apa yang harus saya kerjakan di sana
nanti, Ki?”
“Mintalah untuk bertemu untuk bertemu dengan Ki Sentana
di sana. Ingatlah dia sekarang pasti sudah menjadi raja. Dan
katakanlah bahwa kau adalah utusanku, akan memberikan hadiah pada
Ki Sentana yaitu permaisuri dari Aji Konda dan puteranya. Mengerti?”
“Iya, Ki. Saya mengerti, Ki. Saya pamit saja sekarang.”
“Hmm, ya. Bagus. Bagus, Podang. Nah berangkatlah segera.
Jangan lupa ajak beberapa orang kawan.”
“Baik, Ki.”
“Hey, stop! Stop! Kau lihat di sana itu, ada perapian yang
menyala. Hahaha, mungkin ada seseorang yang membakar daging
atau apa. Ayo mari kita ke sana.”
Aki Podang yang sedang kedinginan dan kelaparan karena berkuda di
malam hari, segera mengarahkan kudanya ke arah perapian yang
dilihatnya dari kejauhan. Apung yang berkuda di sampingnya tidak
141 Api Berkobar di Karang Sedana
menghiraukan sedikitpun kata-kata Aki Podang. Dia mengikuti sambil
terkantuk-kantuk.
***
“Ah, kakang Saka, apa yang akan kita lakukan jika sampai
besok Kakang Seta dan Kakang Awuk tidak juga kembali?”
“Kita lakukan lagi penyelidikan seperti tadi siang dan itu akan
kita ulangi terus hingga kita dapat menemukan mereka, atau paling
tidak kita mendapatkan kabar tentang mereka yang benar-benar pasti.”
“Iya. Agaknya mereka tidak mengganggu Ki Cangkara dan
keluarganya. Siasat yang kakang lakukan pada para pemberontak itu
agaknya cukup mengena. Mereka menyangka Ki Cangkara pun
mendapat tekanan dari kita.”
“Iya, tapi aku tetap khawatir. Walaupun sedikit, mereka pasti
mencurigai keluarga Ki Cangkara. Tidakkah kau lihat, banyaknya
prajurit yang berkerliaran di sekitar rumahnya?”
“Iya, tapi itu berarti paling tidak mereka masih ada di dalam
rumahnya.” simpul Anting Wulan, “Agaknya samaran kita tadi siang
lebih sempurna dari yang kemarin.”
“Hehehe, iya. Wulan. Kau lucu sekali dengan samaranmu.
Agaknya nanti, jika kau sudah tua wajahmu akan seperti itu.”
“Tidak! tidak mungkin! Kakang pasti senang jika aku seperti
itu. Aku akan menarik perhatian semua orang untuk diolok-olok.”
142 Api Berkobar di Karang Sedana
“Huss! Sudah, aku hanya bercanda. Kau pasti tidak akan
seperti tadi jika sudah tua kelak. Kau pada dasarnya adalah seorang
gadis yang manis. Yaaah, jadi walaupun kelak umurmu sudah lanjut,
garis-garis kecantikanmu masih akan tetap nampak.”
“Ah, benarkah itu Kakang?”
“Tentu saja, masa aku kakangmu berbohong, hah?”
“Kakang… Kakang Saka… Cantik mana aku dengan Intan
Pandini?”
“Eh? tentu saja… ya, tentu saja kau. Akan tetapi… Intan, ya…
juga adalah seseorang gadis yang manis.”
“Mm, Kakang mencintai Intan Pandini?”
“Eeh… Mmm… aku… Wulan ada yang datang! Sembunyi !”
“Ah, kakang Seta! Kakang Awuk!”
“Oh, kalian masih di sini rupanya.”
“Kemana saja kalian, Kakang? Aku mencari-cari kakang. Aku
keluar masuk kotaraja sejak kemarin bersama kakang Saka.”
“Oh, kalian menyusulku ke sana?”
“Mana saya dapat tenang menanti kakang di sini?”
“Tapi bukankan keadaan tubuhmu saat itu masih lemah?”
“Ah, agaknya keadaannya yang masih lemah saat itu karena
racun yang kita keluarkan belum sepenuhnya, Kakang.”
“Eeh, berkat pertolongan kakang Saka, lewat tengah hari
racun yang masih mengendap dapat dikeluarkan seluruhnya. Saya
menjadi segar kembali, Kakang.”
143 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ha? Jadi racun itu bekerja lagi? Huh, sungguh berbahaya
sekali. Untung kau dapat mengeluarkannya adik Saka.”
“Menjelang sore, saya tiba di kotaraja. Tapi peperangan sudah
selesai. Kemana saja kakang berdua? Dari Ki Cangkara saya mendapat
keterangan bahwa prajurit pemberontak sedang sibuk mencari dua
anak muda yang membantu Aji Konda. Saya dapat pastikan bahwa itu
kakang berdua.”
“Ki Cangkara? Siapa itu?”
“Mmm,… calon mertua Kakang Saka…”
“Husss! Ki Cangkara adalah paman dari Intan Pandini. Adik
Awuk sudah mengenalnya ketika saya mengantar Intan bersamanya.”
“Hmm, aku melarikan diri dari kepungan pasukan dan tokoh-
tokoh pemberontakan karena kedatangan seorang laki-laki bertopeng
yang menyelamatkan baginda Aji Konda.”
“Oh, jadi baginda berhasil diselamatkan?”
“Baginda berhasil diselamatkan oleh laki-laki bertopeng yang
berilmu tinggi itu dan keluarga Baginda pun tidak berhasil ditemukan
Ki Sentana di dalam istana. Yah, jadi aku berkesimpulan mereka juga
berhasil menyelamat kan diri.”
“Lalu, Kakang sendiri? Kakang belum menceritakan
pengalaman Kakang.”
“Ah, tidak ada sesuatu hal pun yang terjadi pada diri kami.
Kami bersembunyi di sebuah gudang tua di samping istana, dan ketika
para prajurit memeriksa tempat kami, kami naik ke atas gudang itu.
Kami berdua bersembunyi sambil menyembuhkan luka dalamku.”
144 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hah? Kakang terluka?” Saka Keling terkesiap.
Sepengetahuannya, raden Seta Keling kakak tertuanya itu adalah
pemuda yang pilih tanding. Sehingga jika dia bisa terluka, maka tentu
lawannya adalah orang yang hebat pula.
“Pukulan beberapa tokoh termasuk Ki Suwanda tepat
mengenai dadaku. Ya, aku baru saja keluar dari persembunyianku dan
dalam kegelapan aku berhasil meninggalkan kotaraja.”
“Hahahaha, kakang pasti sudah kelaparan sejak kemarin! Ayo
ini, masih ada persediaan daging kering. Wulan, bakarkan daging
kering ini untuk Kakangmu.”
Keempat remaja seperguruan dari Padepokan Goa Larang duduk
mengitari perapian, berbincang sambil menikmati daging bakar di
malam yang dingin. Akan tetapi belum lagi mereka puas berbincang
dan menikmati makanan hangatnya, dari kejauhan mereka mendengar
derap kuda yang mendatanginya.
“Ada orang datang. Sembunyi !” bisik Saka cepat.
“Hmm, tidak ada orang. Heh, kau periksa ke sebelah sana,
Pung. Aku ke sana. Perapian ini menandakan baru saja ada orang di
sini.”
“Aah, baik Aki.”
“Hmm, ini ada gua yang cukup besar, coba kulihat ke
dalamnya.” Tapi tak lama Ki Podang memandang ke gua itu. “Hueh,
gua ini gelap sekali. Aah, tidak ada yang dapat dengan jelas kulihat
disini. Aah, sebaiknya kulihat di luar saja.”
145 Api Berkobar di Karang Sedana
“Eh, hey sedang apa kau di situ, Apung?”
“Ah, anu Aki… Ini… Daging. Ini saya temukan di sini, Aki.
Perut saya lapar, Aki.”
“Hmm, berikan itu padaku!”
“Ah, itu Aki… Masih banyak. Aki dapat membakar dan
makan sepuasnya.”
“Heeh-heeh. Berikan itu yang sudah kau bakar.”
“Kau ambil lagi yang lain!”
“Ooh, Aki curanggg!”
“Eeh, dengar goblok. Jika nanti perjalanan kita berhasil, kau
akan dapat menikmati daging bakar seperti ini bersama keluargamu
selama beberapa minggu, hehehe.”
“Wueeeh?! Benar Aki?”
“Iya… iya.”
“Sungguh saya dapat makan daging seperti ini, bersama
keluarga saya, selama seminggu? lebih dari seminggu? Tapi dari mana
Aki?”
“Dari aku. Aku yang akan memberikan padamu.”
“Hey, Aki bohong! Aki mana punya uang sebanyak itu,
hmm?” Apung meleletkan lidahnya.
“Dengar, berita yang kubawa untuk Ki Sentana ini akan
membuatnya gembira dengan demikian dia tidak akan segan-segan
memberi hadiah pada kita.
146 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ooh, saya sudah tahu sekarang! Aki akan mengabarkan pada
raja, Ki Dandung berhasil mendapatkan dua orang yang disebutkan
sebagai pelarian itu kan??”
“Sttt! Kau… Kau tahu dari mana, tolol?”
“Eh, saya yang pertama kali tahu Ki. Ketika pasukan dari
Karang Sedana datang mencari dua pelarian itu.”
“Eh eh, awas itu hangus dagingmu itu. Ayo, ayo makan cepat,
kita harus segera pergi dari sini.”
Keempat remaja yang bersembunyi dan mendengarkan semua
pembicaraan Ki Podang bersama Apung segera melompat turun dari
persembunyiannya ketika melihat kedua orang yang menghabiskan
persediaan daging keringnya hendak berangkat pergi.
“Tunggu kawan!”
“Heh!? Siapakah kalian?”
“Sabar kawan. Sarungkan kembali pedangmu. Kami hanya
ingin meminta keadilan dari kalian. Kalian sudah menghabiskan
persediaan daging kering dan kami, minta ganti rugi.
“Heheheh, kau bicara seolah-olah kau adalah sang pemenang.
Walaupun kalian berempat tetapi aku, Ki Podang tidak akan gentar
menghadapi kalian. Iya, aku sudah menghabiskan daging kering
kalian. Mau apa? Aku tidak bersedia untuk mengganti !”
“Hey, Podang! Agaknya kau pandai bicara dan tertawa seperti
halnya burung Kepodang. Aku ingin bertanya padamu, sebagai ganti
daging kering yang kau makan. Jika kau tidak bersedia menjawab,
147 Api Berkobar di Karang Sedana
tentu saja aku akan mengeluarkan semua persediaan daging keringku
yang kau makan tadi.”
“Hmm, kurang ajar! Jika aku saat ini tidak sedang
menjalankan tugas, kalian tentu akan kubuat menyesal bertemu
denganku malam ini. Apung, ayo!”
“I-iya?”
“Ayo, turun dari kudamu, Kepodang!”
“Dengar pertanyaanku yang harus kau jawab, adalah dimana
kedua tawanan yang akan kau serahkan pada Ki Sentana?”
“Kurang ajar, kau… Apung, serang mereka! Bunuh !”
“Baik, Aki.”
“Ayo, ayo cepat!”
Anting Wulan tertawa mengejek, “Apung, sarungkan saja
pedangmu itu. Aku akan mematahkan tanganmu bodoh, jika kau tak
mau menjawab pertanyaanku tadi.”
“Aduaduaduh… jangan patahkan tanganku, aduh-aduh.
Jangan keras-keras, tanganku sakit.”
Apung yang tidak tega melihat Ki Podang berkemik-kemik
kesakitan ditelikung oleh Anting Wulan, berteriak mengancam dan
maju menyerang.
“Wanita! Aku belah tubuhmu wanita cantik! Hiyaat!”
Dengan ringan, Anting Wulan menyepakkan kakinya dan
Apung segera pingsan terkena sabetan tumit wanita yang
dikatakannya sebagai wanita cantik itu.
“Ayo, cepat katakan. Dimana mereka berada?”
148 Api Berkobar di Karang Sedana
“Aduhh, jangan keras-keras. Tanganku sakit. Desa kami…
desa kami… aduh.”
“Dimana desa kalian, ayoh!?”
“Di desa Pandan Sari…”
“Dimana itu Kakang, desa Pandan Sari…”
“Tanyakan terus, Wulan. Aku sendiri tidak tahu. Agaknya itu
hanyalah sebuah desa kecil.”
“Sudaaah, lepaskan saya. Saya akan ceritakan semuanya.” Ki
Podang yang sudah kepayahan akhirnya menyerah.
“Bagus. Bukankah sejak tadi sebaiknya kau bersikap seperti
ini?”
“Ya, betul.”
“Ayo, ceritakan semua yang kau ketahui.”
“Begini, semula kami menangkap mereka karena kami
mengira dia adalah penduduk desa kami yang melarikan diri. Tapi
kemudian setelah tadi malam datang utusan dari kerajaan, kami baru
tahu bahwa mereka adalah pelarian dari Karang Sedana.”
“Hah? Utusan dari Karang Sedana?”
“Iya, utusan dari Karang Sedana yang dipimpin oleh Ki Jagal
Pati. Dan mereka akan kembali lagi besok sore untuk menjemput
kedua tawaran kami.”
“Di mana letak desamu itu?”
“Ya cukup jauh juga. Kami di sini dari desa kami kira-kira
menghabiskan waktu seperempat malam.”
149 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm, bagaimana Kakang Seta? Kita harus segera ke sana,
sebelum utusan dari Karang Sedana itu datang.”
“Ah, tapi… bagaimana dengan keadaan Kakang Seta dan adik
Awuk? Apa tidak perlu istirahat di sini?”
“Jangan khawatir, adik Saka. Aku sudah cukup beristirahat di
gudang itu. Ayo kita berangkat sekarang juga.”
“Ayo kisanak, kita berangkat sekarang.”
“Tapi saya… saya dapat tugas dari Ki Dandung untuk ke
istana Karang Sedana.”
“Hey, apa kau ingin kupatahkan tanganmu satu per satu?”
geram Anting Wulan.
“Jangan, aduh…”
“Sudah, Wulan. Aki Podang akan mengantarkan kita ke
Pandan Sari. Bukan begitu, Ki?”
“Aah,.. Iya. Baiklah.”
“Coba kau lihat keadaan kawanmu itu. Kita harus berangkat
segera, mungkin dia terluka.”
“Apung, ayo kita kembali.”
“Kembali ke mana, Aki?”
“Iya, kembali ke Pandan Sari, goblok! Ayo cepat bangun!”
“Tangan saya ini, Aki…”
“Kenapa?”
“Sakit, rasanya mau patah, Aki.”
“Cepat bersiap! Atau tanganmu itu akan kupatahkan benar-
benar?! Bangun !” bentak Anting Wulan.
150 Api Berkobar di Karang Sedana
“I-iya nona.”
“Ayo kita berangkat. Kau gunakanlah kudamu. Kami akan
mengikuti dari belakang.”
“Baik-baik-baik…”
“Awas, kau jangan main-main dengan kami. Jika matahari
terang esok pagi kita belum juga sampai. Tangan kalian akan
kupatahkan. Kedua tangan kalian.”
“Percayalah pada kami, Raden. Kita sudah menuju ke arah
yang benar.”
“Bagus jika demikian. Ayo, percepat lagi kudamu.”
Demikianlah, keempat remaja dari padepokan Goa Larang bersama
dengan Ki Podang, anak buah dari Ki Dandung Amoksa yang telah
dikuasainya berpacu dengan waktu menuju ke desa Pandan Sari.
Sementara itu di Pandan Sari, Ki Dandung sedang kalut memikirkan
persiapan esok hari menghadapi kelompok dari Ki Jagal Pati dan
utusan langsung dari istana Karang Sedana. Ki Dandung Amoksa tiba-
tiba saja khawatir jika sampai raden Purbaya yang telah disiksa tadi
sore meninggal dalam kamar tahanan khusus. Walaupun mereka
adalah musuh dari Ki Sentana, tapi bukan tidak mungkin Ki Sentana
menghendaki kedua tawanan itu hidup.
Akhirnya dia berteriak memanggil salah seorang pengawal-nya.
151 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hey, aku minta kau segera membawa bocah setan itu
kemari.”
“Hmm,… tapi Ki Dandung, hari sudah larut malam dan pagi
hampir saja tiba. Anak itu pasti sedang tidur di sana.”
“Hey, monyet! Aku minta kau membawa anak itu kemari,
segera! Atau kau ingin aku patahkan dulu sebelah kakimu itu?”
“Eh… Baik Ki. Baik.”
Anak itu harus diserahkan dalam keadaan hidup. Oh, dewata… Apa
apa yang akan terjadi jika ternyata bocah yang sore tadi kucambuki itu
ternyata mati dan Ki Suntana ternyata memerlukannya hidup-hidup?
Jika sudah demikian persoalannya, berlindung dengan guru pun tidak
akan ada artinya. Biar ku tunggu saja bocah setan itu disini.
“Awas kalian! Jika pamanku datang kemari kalian semua
akan dihajar. Akan dipecahkan kepala kalian. Lepaskan! Lepaskan!”
“Hehehehehe, bagus sekali. Kau ternyata mempunyai daya
tahan tubuh yang hebat. Kemarilah bocah! Lepaskan anak itu.”
“Eeh, tapi dia akan mengamuk, Ki…”
“Lepaskan kataku, monyet !”
“I-iya, iya Baik… baik, Ki.”
“Bagus, bagus bocah. Kemarilah, kulihat tubuhmu. Apakah
luka yang kau derita cukup serius.”
“Tidak! Tidak perlu kau melihat lukaku.”
“Hehehehe, agaknya kau tidak percaya dengan ku bocah?”
“Kau orang jahat Aku tidak percaya dengan mu!”
152 Api Berkobar di Karang Sedana
“Oh, hmm… aku minta maaf atas kejadian tadi siang. Hmm,
sini. Aku benar-benar akan melihat lukamu, Nak.”
“Lepaskan! Jangan sentuh tubuhku. Lepaskan, kau orang
jahat! Durhaka kepada orang tua!”
“Hei? Apa kau bilang? Siapa yang…” Ki Dandung
mengernyit heran, tetapi tak lama. “Ooh, rupanya orang gila itu.”
“Kau yang gila! Tua bangka yang tak tahu membalas budi
orang tua! Kau manusia durhaka !!”
“Hehehehe, bocah kau jangan mudah terpengaruh oleh
omongan orang yang tua gila itu. Kemari kulihat tubuhmu.”
“Tidak! Lepaskan!”
“Lihat luka-lukamu sudah mulai mengering. Basuhlah
tubuhmu dengan air hangat, bocah. Beristirahatlah di ruangan dalam
ini. Dan besok kau akan bertemu dengan ibumu.”
“Bohong! Aku tidak percaya padamu kakek penipu!”
“Aah, besok bahkan kalian akan pergi dari sini. Nah,
beristirahatlah! Kau membutuhkan tenaga untuk perjalanan
panjangmu bukan?”
“Aku tidak percaya dengan omongan manusia jahat
sepertimu. Kau pasti hendak menyiksaku seperti tadi lagi.”
“Hey pengawal! Bawa dia kebelakang! Basuh dan bersihkan
lukanya dan carikan baju yang lebih pantas untuknya.”
“Oh, baik Ki. Baik… Nah, mari kita ke belakang.”
153 Api Berkobar di Karang Sedana
Hahaha, ternyata anak itu tidak hancur tubuhnya. Bagus, bagus.
Senang hatiku sekarang. Kini aku dapat dengan tenang menemui
ibunya.
“Nyai… Nyai… buka pintunya, Nyai. Hari sudah pagi…”
“Ah, ada apakah Aki datang malam-malam kemari?”
“Hehehehe, kau manis sekali walaupun baru bangun dari
tidur.”
“Aki, mau apa datang kemari ?”
“Aku mencari kakakmu. Bangunkan dia.”
“Saya sudah bangun, Ki Dandung. Ada apa Tuan mencari
saya?
“Ooh tidak ada apa-apa. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu
hari perkawinan kita. Ayo Nyai… ikutlah aku keluar dari sini.”
“Tidak Ki. Kembalilah tidur. Saya akan menepati janji saya
nanti pada saatnya.”
“Aah, tidak Nyai… aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama
lagi… Ayolah ikutlah denganku, Nyai.”
“Tidak. Ki Dandung boleh kembali. Saya tidak akan bersedia
saat ini. Ki Dandung boleh memaksa saya, tapi saya tetap tidak
bersedia melayani.”
“Aah, apapun yang akan terjadi. Malam ini kau harus tetap
menuruti kemauanku, suka rela ataupun terpaksa. Kemarilah Nyai…”
“Pergilah, Ki. Jangan ganggu saya. Oh, jangan Ki. Lepaskan
saya.”
154 Api Berkobar di Karang Sedana
“Apapun yang terjadi, aku harus dapat menikmati tubuh
seorang permaisuri raja.”
“Oh, kau sudah mengetahui siapa aku? Tidak, lepaskan!
Lepaskan aku!”
“Siapa tau aku kelak berumur panjang, mempunyai keturunan
yang akan menjadi raja.”
Cempaka yang memang sedari tadi telah gelisah dengan
kedatangan kakek gendut itu mulai berpikir keras untuk
menyelamatkan majikannya.
Oh, aku harus menolong Gustiku ini. Tusuk kondeku ini akan
kutancapkan di tubuh Ki Dandung. Rasakan ini orang jahat!
“Waduh! Kurang ajar! Kurang ajar kau berani
menggangguku!”
Pukulan keras yang diayunkan pada tubuh Cempaka, emban pengasuh
raden Purbaya yang masih muda itu, membuat tubuhnya terlempar
beberapa depa. Tusuk konde yang semula dipegangnya jatuh tak jauh
dari Rara Angken. Dan dengan sigapnya permaisuri Aji Konda itu
menyambar tusuk konde dari Cempaka.
“Berhenti di situ, Ki Dandung! Aku akan menancapkan tusuk
konde ini ke dadaku jika kau maju selangkah.”
“Heh, jangan main-main dengan nyawamu, Nyai. Kau masih
mempunyai masa depan yang panjang dan bagus.”
155 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tidak! Masa depanku justru akan hancur. Masa depanku
akan menjadi busuk, jika kubiarkan kau menjamah diriku. Pergi !
Pergilah ! Tinggalkan aku di sini.”
“Iya. Baik, baiklah. Jangan bertindak bodoh. Aku akan pergi.
Ingatlah, jangan lakukan perbuatan bodoh itu.”
Hmm, celaka… Celaka aku jika wanita ini sampai mati. Aku
pasti akan berurusan langsung dengan penguasa baru Karang Sedana.
“Cepaaat! Pergi dari sini!”
“Baik. Baik, Nyai.”
“Dewata, kenapa jadi seperti ini nasib hambamu? Kakang
Prabu, bagaimanakah nasibmu kini? Maafkan aku kakang Prabu, aku
tidak dapat menjaga putramu Purbaya dengan sebaik-baiknya.
Kakang… Purbaya, dimanakah kau kini anakku?”
“Tuanku,… aduh. Tuanku…”
“Cempaka! Bagaimana keadaanmu?”
“Bagaimana Ki Dandung, Tuanku?”
“Iblis itu sudah pergi. Cempaka, bagaimana keadaanmu?”
“Saya… saya merasa nyeri sekali. Dada saya. Sakitnya…
sakitnya bukan kepalang.”
“Kasihan sekali kau, kau menderita karena menolongku,
Cempaka…”
“Tuanku, bagaimana kira-kira nasib raden Purbaya?
Dimanakah anak itu?”
156 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tenanglah Cempaka, jangan kau pikirkan asuhanmu itu.
Pejamkanlah matamu. Beristirahatlah.”
“Uhh… apakah kita akan berhasil tiba di gunung Sawal,
Tuanku. Kasihan sekali Baginda, tentu… tentu beliau telah menunggu
dengan gelisah di sana.”
“Sudah, tenangkan saja pikiranmu, Cempaka. Berdo’a saja
pada Dewata, agar Dia mau menolong kita semua.”
“Lepaskan aku! Manusia jahat! Kau bunuh adikmu sendiri.
Lepaskan, lepaskan aku!”
“Tuanku, itu raden Purbaya.”
“Hehehehe, mau kemana Kau? Ini sudah kubawakan anakmu.
Ah, kau lihatlah bocah, bukankah aku tidak membohongimu? Nah,
sana temui ibumu.”
“Ibu!”
“Anakku, Purbaya! Purbaya, apakah iblis itu membuatmu
susah?”
“Tidak, Bu. Saya tidak apa-apa. Bagaimana dengan ibu
sendiri? Ibu pasti menderita selama ini.”
“Aku pergi dulu, Nyai. Ingatlah, jangan berbuat bodoh seperti
yang akan Nyai lakukan tadi.”
“Eh, kenapa tiba-tiba Ki Dandung bersikap lain kepada kita,
Bunda?”
157 Api Berkobar di Karang Sedana
“Entahlah, mungkin dia tiba-tiba menyesal dan kasihan pada
kita, Purbaya.”
“Ah, tidak mungkin. Tidak mungkin Bunda. Dia manusia
iblis. Ya, hanya manusia iblis sajalah yang sanggup melakukan
perbuatan biadab, membunuh saudara dan menyiksa ayahnya sendiri.”
“Hey, darimana kau tau semua itu, Purbaya?”
Kemudian bocah kecil itu pun dengan suara yang tersendat karena
menahan emosi menceritakan semua kejadian yang ditemui di ruang
tahanan khusus. Semua cerita tentang misteri yang menyelimuti desa
Pandan Sari. Akan tetapi tanpa menceritakan pada ibunya tentang
perbuatan Ki Dandung yang menyiksanya dan menggantungnya di
halaman.
“Begitulah, Bunda. Bukankah dia adalah manusia iblis?!”
“Ya, orang itu benar-benar tidak waras agaknya. Berhati-
hatilah kau Purbaya.”
“Oh, Bunda… dimanakah bibi Cempaka? Aku tak melihatnya
sejak tadi.”
“Ah,… itu. Itu dia Purbaya.”
“Oh? Apa yang terjadi dengan bibi Cempaka, Bu?”
“Oh, Den… Bibi tidak apa-apa. Rindu bibi, rasa cemas bibi
sudah terobati dengan kehadiran Aden yang tak kurang suatu apapun.”
“Ibunda, apakah yang terjadi dengan Bibi? Apakah Ki
Dandung yang melukainya?”
158 Api Berkobar di Karang Sedana
“Iya, beberapa saat sebelum kau dibawanya kemari, dia
datang dan…”
“Datang dan melukai bibi Cempaka? Manusia jahat! Kubunuh
dia!”
“Oh, Purbaya… jangan! Jangan!”
“Lepaskan saya, Bu. Lepasakan saya. Saya akan memecahkan
kepalanya dengan kayu ini. Lepaskan!”
“Oh, Purbaya ingatlah Nak, Ki Dandung adalah seorang yang
amat ganas dan kasar. Kau akan celaka jika mencari perkara
dengannya.”
“Tapi, dia jahat sekali, Bu. Ki Dandung itu terlalu jahat, dia
harus di hukum!”
“Kau benar. Ki Dandung jahat dan harus dihukum. Tapi kau
tidak mungkin melakukannya. Kau adalah anak yang tidak
mempunyai kepandaian apa-apa. Kau harus dapat tetap hidup, untuk
mencari kepandaian. Dan kelak, kau dapat membalaskan semua
penghinaan yang kita terima ini.”
“Ya, saya ingin tetap hidup, Bunda. Saya akan membalaskan
semua penghinaan yang saya terima ini. Yang telah Ibu dan bibi
Cempaka terima.”
“Ohh, Purbaya anakku.”
Nun jauh di ufuk timur, mentari yang telah sekian lama menunggu
kesempatan untuk menjalankan tugasnya mulai menyinarkan cahaya
paginya yang gemilang. Gunung Ciremai yang tampak jelas dari desa
159 Api Berkobar di Karang Sedana
Pandan Sari masih diselimuti kabut tipis di sekitar kepundannya, akan
tetapi suasana di sekitar desa kecil itu nampak lengang. Hampir dapat
dikatakan tidak terlihat kegiatan sama sekali. Penduduk desa
mengunci pintunya rapat-rapat. Mereka khawatir akibat dari tindakan
sebagian penduduk yang mengadakan gerakan bersama Karewang,
semalam.
Akan tetapi suasana lengang itu tiba-tiba dipecahkan oleh langkah dua
ekor kuda yang menggemuruh memasuki batas desa kecil itu.
“Kita sudah sampai, anak muda. Hey, Apung… temani tamu
kita. Aku akan menghadap Ki Dandung.”
Ya, Dewa… Aku tak tahu bagaimana marahnya Ki Dandung
mendengar laporanku ini. Tapi biar, aku akan melemparkan semua
tanggung jawab ini pada Ki Dandung langsung.
“Hey, Podang! Kau sudah kembali? Bagaimana dengan tugas
yang kuberikan padamu?”
“Beb… beb… belum. Tapi saya… bertemu dengan seseorang
yang … yang sangat penting Ki. Dia berkata ingin bertemu dengan
Aki.”
“Wuaaah, kau gila, Podang! Masalah apa lagi yang kau bawa
padaku sepagi ini, heh? Siapa orang itu?”
“Orang itu… eh ada empat orang muda, Ki.”
“Hmm, empat orang muda?!”
“Iya.”
“Kurang ajar! Ayo kau ikut aku menemui mereka!”
160 Api Berkobar di Karang Sedana
Dengan tangan terkepal dan gigi gemeretak, Ki Dandung Amoksa
melangkah menunju beranda depan untuk menemui tamunya.
“Hmmm, monyet! Siapakah kalian ini? Kaliankah yang
memaksa Podang pembantuku untuk kembali kemari?”
“Benar, Ki. Saya datang kemari untuk meminta kedua
tawanan Aki. Permaisuri Aji Konda dan puteranya raden Purbaya.”
“Grrr... siapakah kalian anak muda? Agaknya kalian tidak
memandang sebelah matapun pada aku, Ki Dandung.”
“Kakang, sebaiknya kita tidak usah membuang-buang waktu
lagi. Kita paksa saja orang ini untuk menyerahkan kedua orang
keluarga istana.”
“Poodaang! Poodaaang! Kemari kamu! Poodaang! Bunuh
mereka semua.”
“Tapi, Ki… Tapi, mereka … anu… anu, Ki.”
“Aah, Podang! Kau dengar perintahku, hah?!”
Anting Wulan jelas tertawa melihat situasi itu, katanya, “Ki
Dandung, kenapa kau berteriak-teriak sendiri? Jika kau tidak senang
dengan kedatangan kami, bertindaklah cepat. Jangan hanya berteriak-
teriak saja begitu.”
“Hmm, kurang ajar. Bocah-bocah sombong! Kuremukkan
kepala kalian!” ancam Ki Dandung, tapi anehnya dia masih berteriak,
“Poodaang! Ambilkan senjataku, Poodaang!”
“Sekarang, Ki?”
“Kau ingin bertempur atau menunjukkan senjatamu padaku?”
161 Api Berkobar di Karang Sedana
“Baiklah, kalian akan kuremukkan dengan kedua belah
tanganku ini.”
“Kau, ini sedang bertempur atau main lompat-lompatan?”
Melihat tingkah dan kesombongan wanita muda dihadapan nya, Ki
Dandung tidak dapat menahan diri lagi. Serangan-serangan yang
dilancarkannya susul menyusul secara beruntun mengarah ke tiap
bagian yang berbahaya di tubuh Anting Wulan. Akan tetapi karena
Anting Wulan mengelakkan semua serangan itu dengan gerak yang
berpindah-pindah dan Ki Dandung memburunya terus dan terpaksa
melompat-lompat mengejarnya ke depan, belakang dan samping
bagaikan orang yang kebingungan.
“Hey, bocah setan! Janganlah kau mengelak saja. Hadapilah
seranganku secara jantan!”
“Hahaha, kau lucu Ki Dandung! Bagaimana aku bisa
menghadapimu secara jantan, aku ini seorang wanita. Huu! Jangan
khawatir, Ki. Aku sedang menunggu senjatamu itu datang.”
“Nah, itu. Ambillah!”
Ki Dandung segera melompat meninggalkan Anting Wulan, dan
menyambar senjatanya yang dibawakan Ki Podang, pembantunya.
Sebuah bola besi berduri yang diikatkan rantai panjang. Dengan wajah
membara karena merasa terhina, Ki Dandung memutar-mutar senjata
mautnya yang telah banyak merenggut jiwa musuh-musuhnya.
“Mampuslah kini kau anak muda!”
162 Api Berkobar di Karang Sedana
Anting Wulan masih saja tertawa-tawa mendengar bentakan
Ki Dandung itu, sehingga dengan gemas dia kembali membentak.
“Jangan tertawa kau!”
“Dandung, sekarang jika aku menyambut serangan mu, kau
tentu akan puas jika kukalahkan.”
“Awas Ki, aku akan merampas senjatamu!”
“Lepas senjatamu!”
“Hey, Ki kenapa kau berikan senjatamu ini?”
“Ki Dandung, sudahlah. Serahkan kedua tawanan itu kepada
kami. Agar kami tidak memaksamu dengan cara yang tidak
menyenangkanmu.”
“Baiklah. Aku mengaku kalah, anak muda. Aku… aku akan
menunjukkan pada kalian dimana persembunyian kedua tawananku.
Ayo ikut aku…”
Hehehe, kalian semua akan kubawa ke barak para pengawalku.
Hadapilah nanti enam puluh orang pengawalku.
“Heeh, itu anak muda. Sudah tidak jauh lagi tempatnya.”
“Nah, inilah tempatnya. Tunggulah di sini. Aku akan
menjemputnya ke dalam.”
“Masuklah. Tapi awas jika kau sampai membohongi kami.”
“Baiklah, kalian tunggulah di sini.”
163 Api Berkobar di Karang Sedana
Ki Dandung pun segera masuk ke dalam barak prajuritnya, dan
keempat anggota Ning Sewu menunggu di luar sambil berjaga-jaga.
Mereka khawatir kakek gendut yang kelihatannya cukup licik itu akan
melarikan diri. Akan tetapi beberapa saat kemudian, Ki Dandung
muncul di ambang pintu besar itu.
“Heheheh, anak-anak muda. Aku sebenarnya mengizinkan
dan setuju kau membawa kedua tawanan itu. Akan tetapi para
pengawalku banyak yang tidak menyetujuinya, jadi…”
“Kurang ajar! Apa maksudmu gendut licik.”
“Orang ini benar-benar curang.”
“Hey, anak-anak! Keluarlah kalian, hadapilah orang-orang
yang hendak merampas tawanan itu!”
“Kurang ajar! Dia membawa kita ke tempat para prajuritnya,
akan kuberi pelajaran orang ini…”
“Ayo anak-anak, serang dan bunuh keempat anak muda itu!”
Aku agaknya …
“Adik Awuk, kau tahanlah dahulu mereka. Aku akan
dapatkan manusia licik itu!”
Ki Dandung segera menyelinap meninggalkan barak
prajuritnya. Dia berlari menuju ke bangunan lain yang merupakan
rumah penyekapan Rara Angken.
“Buka pintunya, Nyai. Buka pintunya cepat! Buka pintu!” dan
dengan penuh ketidaksabaran akhirnya pintu itu diterjangnya.
“Ada apa, Ki? Kenapa Aki jadi seperti ini?”
“Sudah, ayo kau ikutlah aku. Cepat!”
164 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kemana?…”
“Sudah, jangan banyak bicara. Ayo ikut saja, cepat! Sebelum
aku berbuat kasar lagi pada kalian.”
“Tapi,… tapi Cempaka sedang dalam keadaan sakit.”
“Aaah! Sudah tinggalkan saja anak itu, ayo cepat!”
“Tidak! Kami tidak akan meninggalkan Bibi Cempaka!”
“Anak setan, agaknya kau perlu dibuat susah lagi seperti
kemarin. Ayo cepat setan!”
“Lepaskan! Lepaskan Ki. Aku tak mau pergi bersama kau.”
“Ah, ayo aku ikut dengan aku, bocah!”
Kupecahkan kepalanya dengan rantai ini, pikir Purbaya. Dan
segeralah dia mengayunkan itu ke kepala Ki Dandung. Kakek gendut
kepala begal itu mengaduh.
“Aduh! Kurang ajar… kepalaku.”
“Lepaskan wanita itu, Ki Dandung!”
“Hmm, kau lagi anak muda. Tunggulah disitu. Aku akan
menyelesaikan pemuda sombong ini. Aku akan memecahkan
kepalamu kalau kau tidak segera menyingkir.”
“Ki Dandung, sadarlah kau! Menghadapi adikku saja, kau
tidak sanggup, apalagi menghadapi aku.”
“Hmm, kau tidak mungkin sehebat wanita itu, anak muda.
Wanita itu hanya memiliki kelebihan kecepatan geraknya saja, akan
tetapi aku pun merasa penasaran dengannya. Jaga seranganku!”
165 Api Berkobar di Karang Sedana
“Majulah kau anak muda, dan aku akan memecahkan kepala
anak ini, heh!”
“Kukira kau bukanlah seorang laki-laki pengecut, Ki
Dandung.”
“Aah, aku akan bertindak sesuai dengan naluriku, anak muda.
Aku bisa berbuat apapun jika keadaan memaksaku.”
“Ki Dandung… kau… jangan Ki. Jangan ganggu anakku.”
Rara Angken memelas meminta belas kasihan.
“Hehehehe, maafkan aku Nyai. Anak muda inilah yang
membuat aku jadi bertindak seperti ini. Minggirlah kau anak muda!
Biarkan aku lewat.”
“Jangan, Ki. Jangan bawa anakku!”
“Apa yang terjadi, Kakang?” Anting Wulan yang baru tiba
ditempat itu berbisik-bisik bertanya pada Seta Keling.
“Ayoo! Majulah kalian, aku akan segera memecahkan kepala
anak ini. Beri aku jalan!”
“Kakang, itukah keluarga dari sang Prabu?”
“Betul, Wulan. Minggir, berikan jalan padanya.”
“Anakku itu… Ki Dandung, lepaskanlah anakku itu, Ki.”
ratap Rara Angken.
“Tenanglah Tuanku. Hamba akan berusaha untuk
menolongnya.”
“Awas, jika aku mengetahui kalian mengikutiku. Akan
kulepaskan satu per satu tubuh dari anak ini. Ayo!”
166 Api Berkobar di Karang Sedana
“Oh, anakku… anakku Purbaya… Oooh…” Rara Angken
menggelosor pingsan karena tak tahan akan ketegangan suasana itu.
“Wulan, cepat tolong wanita ini,” seru Seta Keling. “Adik
Awuk dan Saka, ikuti mereka! Cepat!”
Saka Palwaguna dan Dampu Awuk segera melenting tinggi dan
melesat ke arah mana Ki Dandung menghilang. Sedangkan Anting
Wulan bersama Seta Keling berusaha menyadarkan Rara Angken
yang belum sadarkan diri.
Dan beberapa saat setelah memijit beberapa urat di sekitar tengkuk
Rara Angken, wanita itupun segera tersadar.
“Ah? Anakku? Anakku Purbaya! Anakku…”
“Tenanglah Tuanku. Tenanglah. Dua kawan hamba sedang
mencari kemungkinan untuk menolong raden Purbaya.”
“Hey, Ki Podang! Kemari kau!”
“Iya Tuan, iya-iya-iya.”
“Kemana tuanmu melarikan diri, heh!?”
“Saya ti-tidak tau, Tuan.”
“Dengar Podang, saat ini aku sedang benar-benar tidak ada
waktu untuk bermain-main denganmu. Kau tau, aku akan berbuat
sesuatu jika kau tidak juga menunjukkan kemana Ki Dandung
membawa raden Purbaya. Oleh karena itu, sebelum kau menyesali
dirimu, katakanlah kemana Ki Dandung pergi.”
“Anu…”
“Anu apa?”
167 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ke-ke sarang kami yang semula, Tuan. Sarang kami yang
semula itu di hutan bambu.”
“Hutan bambu? Sarang kalian? Apa maksudmu?”
Seta Keling kebingungan dengan jawaban Aki Podang itu.
Rara Angken yang teringat keterangan puteranya segera memberikan
penjelasan,
“Anak muda, mereka sebenarnya adalah sekumpulan
perampok. Mereka berhasil merebut desa ini dari tangan kepala desa
ini yang sebetulnya masih merupakan adik kandung dari Ki Dandung
sendiri.”
“Hee? Pantas saja kelakuan kalian tidak mencermin kan
kelakuan seorang pengawal desa. Ternyata kalian adalah sekumpulan
begal liar. Ayo, antarkan kami ke hutan bambu itu!”
“Tunggu anak muda. Dari anakku Purbaya, aku mengetahui
Ki Dandung anak durhaka itu menyekap ayahnya sendiri dalam
ruangan khusus. Ki Podang, lepaskan tawanan kalian itu.”
“Maksud Tuanku?”
“Lepaskan tawanan itu! atau kau akan kubuat seperti kayu ini,
heh!?”
“Eeh, iya-iya. Baik-baik… Baik Raden. Mari… mari.”
Sementara itu, Ki Dandung Amoksa menderap kudanya
keluar dari desa Pandan Sari. Raden Purbaya yang ditelikung
tangannya diletakkan di bagian depan, dekat dengan leher kuda.
168 Api Berkobar di Karang Sedana
Tertelungkup dengan tubuh terguncang-guncang di atas kuda seperti
itu sangatlah menyakitkan. Maka bocah itu pun berteriak-teriak ribut.
“Kakek Gendut, lepaskan aku!”
“Jangan macam-macam kau bocah, kupecahkan kepalamu
disini !” geram Ki Dandung. “Kali ini aku sudah tidak dapat main-
main lagi denganmu.”
“Ayo, lakukan itu. Aku tidak takut kau bunuh!” tantang Raden
Purbaya.
Mendengar ucapan itu, Ki Dandung segera menghentikan
kudanya. Lalu dengan suara bengis dia berkata, “Hmm, kau
menantangku?! Rasakan ini.”
Dengan sekali sentakan yang kuat, kepala begal itu
mencengkram bahu raden Purbaya, lalu melemparkan tubuh anak
berusia sebelas tahun itu ke tanah.
“Aah… ahh. Aduh.”
“Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau masih saja
menantangku,” desisnya.
“Hahaha, kau tidak akan berani membunuhku. Karena aku
merupakan jaminan dari nyawamu. Tanpa aku, mereka akan dengan
leluasa membunuhmu.”
“Huhh, anak setan. Rasakan ini !”
Tangan Ki Dandung segera melayang menempeleng raden
Purbaya berkali-kali.
“Aduh… aduh…”
“Mampus!”
169 Api Berkobar di Karang Sedana
“Terus, Ki. Bunuhlah aku! Bunuhlah aku jika kau berani.”
Walau mengaduh kesakitan, Purbaya malah semakin terus menantang.
“Hmmh! Anak setan!”
Ki Dandung menjadi semakin geram, akan tetapi dia menyadari bahwa
dia tidak dapat berbuat banyak dengan anak itu. Karena itu, pimpinan
begal dari hutan bambu itu kemudian menyambar tubuh raden
Purbaya yang masih saja berdiri menantangnya dan kembali melompat
ke atas pelana kudanya. Dan tanpa berkata sepatah katapun, dia
menarik kekang kudanya. Kemudian membentak keras untuk memacu
kudanya, “Hiyaaah!!”
Beberapa saat kemudian, tibalah Ki Dandung di tempat yang
ditujunya. Sebuah hutan bambu yang lebat dan nampak menyeramkan.
Musim kemarau yang melanda kerajaan Karang Sedana tak banyak
berpengaruh sampai kemari. Aliran sungai Sedana yang membawa
sisa-sisa airnya masih cukup untuk memberikan kesuburan bagi
kawasan ini. Akan tetapi tidak seorangpun yang berani mendekat
untuk memanfaatkan kawasan ini. Karena disinilah kelompok begal
dibawah pimpinan Ki Dandung selama bertahun-tahun bertempat
tinggal bersama dengan Ki Sampar Angin, gurunya yang sudah lama
mengasingkan diri.
“Hmm, tempat ini semakin tidak terawat. Sejak kutinggalakan
tiga bulan yang lalu. Aku harus memberi tanda sebelum memasuki gua
170 Api Berkobar di Karang Sedana
tempat guruku ini. Aku tidak ingin mati konyol masuk dengan begitu
saja.”
Ki Dandung Amoksa beberapa saat berdiri di depan goa, dimana dia
dulu tinggal bersama gurunya, Ki Sampar Angin. Ki Dandung
berteriak memanggil gurunya, untuk kemudian dia perlahan-lahan
melangkahkan kakinya memasuki mulut goa yang cukup besar. Ki
Dandung yang telah tiba di mulut gua segera memberikan tanda pada
gurunya bahwa dia telah datang.
“Guru, ini aku yang datang. Dandung muridmu.”
“Masuklah Dandung. Kemana saja kau selama ini?”
Dandung Amoksa segera bergegas setelah mendengar suara gurunya.
Dan kemudian laki-laki yang ganas pimpinan begal yang ditakuti oleh
banyak orang itu duduk bersimpuh membeberkan sembah pada laki-
laki yang kelihatannya sudah berumur lanjut. Akan tetapi diantara
temaramnya cahaya yang masuk kedalam dua itu masih dapat
ditangkap sinar mata Ki Sampar Angin yang memancarkan sinar
kebuasan yang penuh dengan pancaran nafsu keserakahan.
“Hey, kemana saja kau Dandung? Kau meninggalkan tempat
ini lebih dari 3 bulan. Hmm, siapa bocah yang kau bawa itu?”
“Maafkan saya, Guru. Saya mencoba untuk menjalan kan
siasat kita semula. Saya baru saja menguasai Pandan Sari dan pada
saatnya nanti saya tentu akan menguasai desa-desa lain di sekitarnya,
tapi saya harus melakukan itu semua dengan hati-hati karena jika
171 Api Berkobar di Karang Sedana
sampai baginda Sanna tahu, walaupun jauh beliau tentu akan
mengirimkan bala tentaranya, Guru.”
“Eh, bagus. Lalu siapakah bocah yang kau bawa itu?
Muridmu kah?”
“Dia… Hmmm, Dia adalah putra dari prabu Aji Konda yang
sudah berhasil direbut kekuasaannya, Guru.”
“Oh, Aji Konda dari Karang Sedana?”
“Benar, Guru. Saya bermaksud hendak memberikan bocah ini
kepada Ki Sentana yang kini menjadi penguasa di Karang Sedana.”
“Hee? Kau berubah pikiran melihat rencana mereka berhasil
Dandung? Darimana kau dapatkan bocah itu?”
Kemudian Ki Dandung menceritakan semua kesulitannya pada Ki
Sampar Angin gurunya. Tentang Ki Jagal Pati utusan Ki Darpo yang
ingin menguasai anak ini dan juga tentang keempat anak muda yang
tangguh murid dari padepokan Goa Larang.
“Hmm, Kau datang kembali padaku setelah menemui
kesulitan Dandung? Tapi siapakah empat pemuda tangguh yang kau
katakan itu?”
“Saya tidak tahu, Guru. Agaknya dia adalah murid dari
perguruan ternama.”
“Ah, baiklah. Kau beristirahatlah dulu. Biar aku yang akan
melayani orang yang mengejarmu itu. Lihatlah, lihatlah itu kedua anak
muda itu Dandung. Itukah mereka yang kau maksud?”
“Benar, Guru. Mereka adalah dua diantara empat anak muda
yang saya ceritakan tadi.”
172 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hey, kau lihatlah. Aku akan melayani mereka.”
“Pasti, Ki Dandung bersembunyi di dalam, adik Awuk,” ucap
Raden Saka yang melihat seekor kuda tidak jauh dari sebuah Goa yang
cukup besar.
“Jika demikian aku masuk melihatnya, kakang.”
“Hey, tunggu dulu adik Awuk. Berbahaya sekali jika kita
masuk saat ini. Di dalam mungkin banyak jebakan.”
“Tapi apa kita harus berdiam diri saja di sini, Kakang?”
“Sabar adik Awuk. Kita akan masuk, tapi kita akan mencari
mencari akal untuk itu. Bukan tidak mungkin di dalam tidak hanya Ki
Dandung sendiri.”
“Hey, kenapa kalian ragu anak muda? Masuklah kemari. Aku
menunggumu bersama bocah ini.”
“Siapakah Tuan yang berada di dalam? Aku merasa belum
mengenal Tuan. Aku hanya ingin berurusan dengan Ki Dandung yang
telah membawa lari anak itu.”
“Hey, anak muda. Darimanakah asal kalian? Apakah kamu
belum mengenal aku, sehingga berani masuk kemari di hutan bambu
ini.”
“Maaf, Tuan. Saya tidak mengenal Tuan dan maafkan saya
jika saya sampai mengganggu Tuan disini. Saya akan segera pergi dari
sini jika saya telah mendapatkan kembali anak itu.”
173 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hee, kurang ajar. Jika demikian kau menantangku. Anak
muda, dengarlah! Aku adalah Sampar Angin, penguasa hutan bambu
ini.”
“Heh! Siapapun adanya kau, aku tidak akan mundur sebelum
kau berikan anak itu!”
“Kurang ajar! Agaknya kau bukanlah penduduk daerah Galuh
ini, hah! Dan gurumu agaknya tidak menceritakan siapa sesungguhnya
Sampar Angin.”
“Keluarlah kalian, mari bertanding di luar sini. Aku akan
melayanimu hingga kau puas.”
“Hey, anak muda. Jika kau memang mempunyai keberanian,
masuklah kemari.”
“Baiklah, akan kulihat tampangmu di dalam sana.”
“Tunggu adik Awuk. Jangan sembrono. Kita tidak tahu
jebakan macam apa yang tengah mereka siapkan.”
“Tidak Kakang. Aku tidak sabar lagi jika harus menunggu
lama di sini. Kita harus berbuat sesuatu Kakang. Biarkan aku mencoba
masuk ke dalam, Kakang.”
“Ahh, baiklah. Jika kau memaksa, hati-hatilah adik Awuk.”
“Setan, curang kau!”
“Sudahlah adik. Jangan lanjutkan langkahmu lagi. Kita berada
dalam posisi yang tidak menguntungkan. Kita tunggu saja mereka di
sini.”
174 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hey, kenapa kau berhenti anak muda? Gerakanmu tadi
benar-benar kupuji. Jarang ada orang yang dapat menyelamatkan diri
dari sambaran serangan jarum beracun ku tadi. Kau hebat anak muda,
dalam keadaan yang cukup sulit kau masih dapat mempertahankan
nyawamu. Bagus, bagus. Agaknya kini aku tengah menghadapi
beberapa orang murid dari sebuah perguruan yang cukup mempunyai
nama. Jika begitu, ini… Kau ambillah anak ini dan kemudian kita akan
bertempur secara jantan. Heh, bocah! Pergilah kau keluar. Ayo!”
“Adik Awuk, itu dia raden Purbaya.”
“Kemarilah, Raden. Cepat! Kemari Raden!”
Raden Saka Palwaguna melesat ke depan untuk menjemput raden
Purbaya. Akan tetapi belum juga dia sampai di samping raden
Purbaya, seutas tali yang panjang meluncur dari dalam goa dan
menyambar raden Purbaya yang sedang berlari. Dan beberapa saat
kemudian tubuh raden Purbaya melayang kembali ke dalam gua.
“Kasihan sekali. Kasihan anak-anak muda.” Sampar Angin
terkekeh mengejek.
“Orang tua gila, jika kau benar-benar jantan dan berani,
keluarlah dan hadapi aku.”
“Hehehehe, lucu. Lucu sekali anak muda. Agaknya kalian
adalah murid dari si tua Wanayasa dari Goa Larang. Gerakan kakimu
tadi ketika hendak menyambar bocah ini adalah jurus Kincir Metu
yang dibanggakan si tua Wanayasa. Ayo, kita teruskan permainan kita
ini. Ah, ayo bocah. Kau pergilah keluar lagi.”
“Tidak, aku tidak akan kelular dari sini.”
175 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hey, benar kau tidak mau aku bebaskan?”
“Aku tidak mau kau permainkan dengan cara seperti tadi.
Lebih baik kau lemparkan aku keluar seperti kau menarikku tadi.”
“Eh? Eh? Kau… kau berani melawan perintahku?”
“Aku tidak taku pada siapapun juga!”
“Hemm, Guru… anak ini memang sangat keras kepala dan
sukar sekali ditundukkan, Guru.”
“Hehehe, bagus. Bagus sekali. Akan kulihat sampai dimana
kekerasan. He, benar kau tidak mau keluar dan tidak mau
kupermainkan seperti tadi? Jawab bocah setan!”
“Ya! Aku tidak mau keluar!”
“Hehehehe, baru kali ini aku Sampar Angin ditentang oleh
bocah sepertimu. Hey, perwira-perwira Karang Sedana pun tidak akan
berani berbuat sepertimu, anak setan. Eh akan kulihat sampai dimana
bukti kata-katamu.”
“Anak muda, ini kau terimalah bocah ini.”
“Adik Awuk, putuskan talinya!”
“Awas kakang, jarum beracun!”
“Hahaha, ayo anak muda. Ambillah bocah yang kalian
inginkan. Bocah itu sudah ada di hadapan kalian, hey apakah kau
begitu tega membiarkan anak itu terkapar di hadapanmu? Ayo…
ayo…”
176 Api Berkobar di Karang Sedana
“Guru, berhati-hatilah jangan sampai anak itu lepas dari
tangan kita.”
“Diam kau murid bodoh! Percuma aku mendidikmu bertahun-
tahun jika hanya seperti ini hasilnya. Tolol !”
Melihat keadaan yang menguntungkan Saka Palwaguna segera
memanfaatkannya. Pisau kecil yang terselip dipinggangnya melesat
cepat bagaikan kilat memotong tali yang mengikat raden Purbaya.
Bersama Dampu Awuk dia melesat mendekati raden Purbaya.
“Kurang ajar! Rasakan jarumku ini !”
“Awas, kakang!”
“Setan, agaknya kalian berhasil memaksa aku keluar dari
guaku. Dan itu berarti kalian mencari mati sendiri.”
“Kakang, kau jaga anak ini. Biar aku yang akan mencoba
menghadapi orang itu.”
“Anak ini tidak apa-apa, adik Awuk. Dia hanya tertotok jalan
darahnya saja. Nah, duduklah di sana Raden.”
“Awuk, mari kita hadapi bersama-sama.”
“Kalian hebat sekali anak muda berhasil mengambil anak ini
dari tanganku. Sekarang kalian boleh mencoba bersama-sama
menghadapiku.”
“Adik Awuk kita coba menghadapinya dengan Barisan
Sepasang Kincir. Aku mengambil bagian kanan.”
“Wanayasa tua terlalu bangga dengan jurus Kincir Metunya.
Kincir Metunya tidak ada artinya dihadapanku.”
177 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kincir Metu yang kami kuasai belum ada separuh nya dari
yang dimiliki Guru.”
Pertarungan yang terjadi antara Ki Sampar Angin dengan dua
pendekar dari Goa Larang sangat tidak seimbang. Serangan demi
serangan dari Kincir Metu hampir tak berarti sama sekali. Akan tetapi
pertarungan itu menjadi berlarut-larut karena Ki Sampar Angin
melayaninya sambil bermain-main. Sampai akhirnya pada suatu
ketika…
“Aah, agaknya kawan-kawanmu mulai berdatangan, anak
muda. Dandung! Kau boleh menangkap anak itu lagi !”
Kawan-kawan yang dikatakan oleh Ki Sampar Angin pada
Saka Palwaguna, ternyata adalah rombongan dari Pandan Sari yang
dipimpin oleh kakaknya Seta Keling dan Anting Wulan, membawa
serta Ki Pandan Sengkala dan Rara Angken beserta Cempaka.
“Raden, lari !”
“Berhenti, Ki Dandung!”
“Heey, mau kemana kau anak muda!?”
“Kakang, tinggalkan itu”
“Mau kemana kau?”
“Biarkan aku pergi!”
“Tunggu Dandung, hadapi aku saja! Lari raden Purbaya, lari
!”
“Ah, dimana anak iblis itu? Dimana kau Dandung.”
178 Api Berkobar di Karang Sedana
“Celaka, itu ayahku. Siapa yang melepaskannya?”
“Heeh, kemari kau Dandung. Aku sendiri yang akan
memecahkan kepalamu. Tidak orang lain!”
“Hey, mau ke mana kau Dandung? Berhenti !”
“Guru,… aku… aku…”
“Hey, kau takut pada orang tua buta itu? Siapa itu?”
“Guru… aku…”
“Hahaha, tentu saja dia takut pada orang tua itu. Ki Pandan
Sengkala ini adalah ayahnya sendiri yang telah dibuatnya cacat!”
“Ooh, benar? Orang itu ayahmu Dandung? Hehehe, hey
kenapa tidak kau bunuh saja orang itu dengan tanganmu sendiri?”
“Heh! Setan tua, agaknya kaulah yang merusak anakku
Dandung, hingga jadi gila seperti ini. Ayoo, hadapi aku Pandan
Sengkala!”
“Hahaha, Pandan Sengkala jika kau ingin mati, matilah
ditangan anakmu sendiri.”
“Sebaiknya Ki Pandan beristirahat. Biar kami yang
menghadapi Ki Sampar Angin itu.”
“Ja-jadi… orang tua itu adalah Ki Sampar Angin?”
“Benar Ki Pandan. Biarlah kami berempat mencoba
menghadapinya.”
“Ooh, siapakah kalian? Apakah kalian sanggup menghadapi
Ki Sampar Angin?”
“Nanti Ki Pandan akan mengetahuinya. Sekarang mundurlah
beberapa tombak biar kami yang menghadapi nya.”
179 Api Berkobar di Karang Sedana
“Baik. Semoga kalian berhasil, anak muda.”
“Pergunakan pedang!”
Keempat murid dari eyang resi Wanayasa kemudian menggelarkan
barisan Empat Kincir Angin. Keempat pemuda yang hampir delapan
tahun berguru di padepokan Goa Larang kini masing-masing
menempatkan diri di empat sudut yang berbeda. Serangan demi
serangan dilancarkan nya secara bergantian. Barisan Empat Kincir ini
merupakan suatu barisan penyerangan dan sekaligus barisan
pertahanan yang sangat kuat. Oleh karena itu, Ki Sampar Angin kali
ini mengalami sedikit kesulitan menghadapi barisan Empat Kincir ini.
“Wulan, Awuk segera bersiaga. Adik Saka, jurus Bayang-
Bayang Mata Angin!”
“Barisan Kincir Metu ini makin hebat saja,” keluh Ki Sampar
Angin. Akhirnya dia mengakui tambahan dua orang pada formasi
Kincir Metu itu cukup membuatnya kewalahan, “Kalian hebat anak
muda! Sekarang kalian terpaksa aku layani dengan senjataku!”
“Mau kemana kau Ki Sampar?”
“Nah inilah yang akan hadapi sekarang, anak muda! Jagalah
kepala kalian! Bandul diujung rantaiku ini walaupun kecil tetapi telah
kuolesi dengan racun yang amat hebat!”
“Kali ini kalian tidak akan aku ampuni, anak muda. Kalian
telah membuat aku susah dengan semua ulah kalian.”
“Hati-hati kakang! Orang ini pandai sekali mempergunakan
permainan rantai !”
180 Api Berkobar di Karang Sedana
“Desak terus dengan Bayangan Delapan Mata Angin, adik
Saka!”
Pertempuran antara Ki Sampar Angin dengan keempat remaja dari
Ning Sewu berjalan semakin serunya. Serangan-serangan yang
membadai dari rantai Ki Sampar Angin tak dapat masuk dan
menembus pertahanan dari barisan Empat Kincir yang kini sedang
menggelarkan jurus Bayang-Bayang Delapan Mata Angin. Kilatan
dan sambaran pedang dari Saka Palwaguna dan Seta Keling
membiaskan empat serangan ke arah yang berbeda membuat Ki
Sampar Angin harus benar-benar memikirkan lebih banyak
pertahanan daripada gerak serangan.
Sementara itu dipinggir arena pertempuran, raden Purbaya bertemu
kembali dengan ibundanya dan Ki Pandan Sengkala.
“Kau bocah kecil yang kutemui di ruang tahanan itu?”
“Benar, Kek. Saya adalah Purbaya.”
“Bagus, akhirnya kau selamat juga. Seandainya terjadi
sesuatu pada dirimu karena Dandung, aku akan semakin menyesali
nasib.”
“Perbuatan Ki Dandung adalah urusan Ki Dandung sendiri.
Kakek tidak usah menyesali diri dan merasa bersalah.”
“Iya… iya. Kau benar bocah kecil. Bagaimana dengan
pertempuran yang berlangsung? Apakah anak-anak muda yang
menolong kita itu dapat melayani Ki Sampar Angin?”
181 Api Berkobar di Karang Sedana
“Agaknya demikian. Kulihat tadi Ki Sampar Angin terpaksa
mengeluarkan senjata untuk menghadapi mereka.”
“Ya-ya-ya, itu aku juga mendengarnya. Dimana Ki Dandung
berada? Tunjukkanlah padaku, bocah.”
“Dia ada di sebelah kiri kakek, kira-kira delapan tombak dari
sini, tepat di depan gua”
“Terima kasih, bocah.”
“Hey, Dandung! Layani aku!”
“Hmm, kembali ke Pandansari ! Aku akan memaaf-kanmu,
cepat!”
“Bocah gila! Setan Iblis! Kubunuh kau!”
Ki Dandung tidak menyadari serangan-serangan dari ayahnya dapat
dengan cepat mengarah ke tubuhnya. Dan setelah Ki Dandung terlibat
dalam pertempuran, Ki Pandan Sengkala berusaha terus dan beberapa
saat kemudian mulai terdesak hebat oleh serangan-serangan dari
ayahnya sendiri. Sampai akhirnya…
“Hmm, muridku Dandung dalam bahaya, aku harus segera
menolongnya.”
“Mampus kau orang tua buta!”
“Awas! Ki Pandan!”
“Ayo tinggalkan tempat ini, Dandung.”
“Biarkan orang itu.”
“Awas kau orang tua jahat!”
“Hehehehe, aku pun belum puas menjajal Kincir Metumu itu.
Kelak aku akan datang menjumpai kalian dan juga si tua Wanayasa.”
182 Api Berkobar di Karang Sedana
“Terima kasih anak muda. Kau sudah menyelamat-kan
nyawaku. Kukira tadi ketika sambaran angin yang sudah kurasakan
mengarah ke tubuhku akan segera merenggut nyawaku, tapi lemparan
pedangmu itu tepat beberapa jari di depan dadaku menghadang senjata
Ki Sampar Angin. Terima kasih, anak muda… jika aku boleh tahu
siapakah kalian ini? Sayang sekali aku tidak dapat melihat wajah
tampan dan keperkasaan kalian.”
“Eeh, kami ini adalah kelompok Ning Sewu, Ki Pandan.”
“Ning Sewu?!”
“Ya…”
“Ooh, pantaslah kalian dapat menghadapi Ki Sampar Angin
kalian ternyata adalah murid padepokan Goa Larang.”
“Ah, aku juga mengucapkan terima kasih sekali lagi atas
pertolongan untuk anakku, tapi…”
“Ada apakah Tuanku? Mengapa Tuanku menangis seperti
ini?”
“Tidak…”
“Tuanku tidak usah khawatir. Untuk sementara ini Tuanku
dapat tinggal di tempat kami di Goa Larang. Disana Tuanku akan
aman, tidak ada yang mengganggu. Jika Tuanku berada di gunung
Sawal, saya khawatir mereka akan tetap mengganggu.”
“Ya, di gunung Sawal nanti sang Prabu menungguku, anak
muda.”
183 Api Berkobar di Karang Sedana
“Biarlah nanti kami akan memberitahukan sang Prabu di sana,
setelah mengantarkan Tuanku berdua ke padepokan kami.”
“Baiklah, terima kasih anak muda. Aku telah menyusahkan
kalian semua.”
“Tidak apa, Tuanku”
Mata Seta Keling kemudian tertuju pada Ki Podang.
“Eh, Ki Podang dengarlah! Aku mengampuni kalian sekali
tapi ingatlah jika aku singgah di Pandansari, dan aku masih mendengar
kalian masih saja membuat ulah di sana… Aku benar-benar akan
mengampuni kalian lagi. Tinggallah kalian di sana. Bantulah Ki
Pandan Sengkala memerintah desanya. Nah, Ki Pandan… kami
permisi.”
“Oh, selamat jalan anak-anak muda, dan kau bocah.”
“Semoga kelak kita berjumpa lagi, Kek. Ayo Bunda. Eh, bibi
Cempaka bagaimana? Apakah luka bibi masih terasa sakit?”
“Eh, tidak Purbaya. Rasa sakit sudah jauh berkurang setelah
diberikan obat oleh Tuan penolong itu,” sahut Cempaka sambil
berusaha tersenyum.
“Eeh… jika sudah siap… Ayo kita berangkat.”
Raden Seta Keling yang memimpin rombongan ke Goa Larang
memutuskan untuk melalui jalan kota agar dapat lebih cepat tiba di
Goa Larang. Lain halnya dengan perjalanan yang semula Rara Angken
lakukan, kini bersama keempat pemuda perkasa mereka justru
184 Api Berkobar di Karang Sedana
memacu kudanya ke arah kota Kancarupa yang ramai, di perbatasan
timur Karang Sedana dan Galuh.
Tiba-tiba Cempaka memegangi dadanya dan mulai mengeluh
kesakitan. Menyadari hal tersebut, Purbaya segera berseru, “Paman!
Paman Seta, berhenti sebentar. Bibi Cempaka lukanya terasa kembali
lagi.”
“Wulan, coba kau periksa kembali.”
“Baik, Kakang… Adik Cempaka bagian mana yang kau
rasakan sakit kali ini?”
“Ba-bagian yang tadi,… dadaku.”
“Ini kau telanlah lagi. Pil yang tadi aku berikan. Aku akan
mengobatimu nanti di penginapan kota.”
“Apakah luka bibi Cempaka berbahaya, bibi Anting?”
Anting Wulan tersenyum.
“Tidak. Tidak terlalu berbahaya. Luka itu akan sembuh jika
diobati dan banyak beristirahat.”
“Ayo, hari sudah hampir sore. Kita lanjutkan perjalanan kita.
Nanti kita beristirahat dan makan di sana.”
Ketika hari sudah menjelang sore, mereka tiba di Kota Kancarupa
sebuah kota yang ramai dengan pertemuan para pedagang dari Karang
Sedana dan Galuh. Rumah makan yang besar dan penginapan yang
bersih banyak dijumpai di setiap sudut kota Kancarupa.
185 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm, rumah makan ini cukup bersih dan juga disini
menyediakan kamar untuk penginapan. Mari Tuanku, hamba kira
tempat ini cukup baik untuk Tuanku.”
“Ah, dimanapun bagiku tidak apa. Tempat ini jauh lebih baik
dari pada hutan belantara yang beberapa hari ini kulalui. Eeh, tunggu
anak muda…”
“Ya, Tuanku?”
“Untuk menghindarkan kecurigaan orang, sebaiknya kau
jangan membahasakan diri seperti itu. Sebutlah aku dengan sebutan
Nyai atau apa saja.”
“Eh, benar Tuanku… Eh, Nyai. Saya harap Nyai pun mau
memanggil kami dengan sebutan nama saja.”
Rara Angken tersenyum, “Baiklah, Seta. Ayo kita masuk.”
“Bibi Anting, tolong turunkan bibi Cempaka.”
“Baiklah, Raden…. Mari adik Cempaka.”
“Kakang,… Aku merasakan sesuatu yang tidak wajar dengan
dua orang yang di sudut sana. Lihatlah, mereka selalu mencuri
pandang pada kita.”
“Iya, kau benar adik Wulan. Aku bahkan merasakan semua
ketidakwajaran ketika kita memasuki gerbang kota ini. Banyak mata
yang mencuri pandang seperti orang itu.”
“Biar aku coba tanyakan pada mereka apa maunya.”
“Jangan adik Awuk. Janganlah memancing keributan dalam
situasi kita yang seperti ini. Anting, kau naiklah ke kamar atas. Ajak
186 Api Berkobar di Karang Sedana
Nyai dan Cempaka beristirahat. Biar Purbaya menghabiskan sisa-sisa
makannya di sini.”
“Eeh, mari Nyai… Cempaka.”
“Ayo, kau habiskanlah makananmu, Purbaya. Kita akan
segera beristirahat.”
“Aku sudah selesai, Paman. Paman ingin segera naik?”
Ketika mereka baru saja hendak bangkit meninggalkan tempat
duduknya, dari arah pintu rumah makan masuklah seorang pengemis
tua yang jalan tersaruk-saruk meminta sedekah kesetiap meja tamu
yang sedang makan. Raden Purbaya yang tidak melihat seorangpun
yang memberikan sedekah, segera memanggilnya.
“Kek, kakek pengemis… Kemarilah.”
“Ooh, iya-iya. Ada apa Tuan kecil?”
“Naah, bukan kau mencari makan?”
“Benar Tuan kecil. Apakah Tuan kecil hendak memberi saya
sedekah untuk makan hari ini?”
“Ah, kau lihat di mejaku banyak sisa makanan yang utuh dan
belum kami sentuh. Ambillah, kau bisa makan semua itu sepuas
hatimu.”
Kakek itu terkekeh senang, “Ah, iya. Terima kasih, terima
kasih Tuan kecil.”
“Oh iya, aku menginap disini malam ini. Besok pagi dan siang
kau dapat datang kembali ke mari. Kami akan memberimu makan lagi
bukankah begitu, paman Seta?”
187 Api Berkobar di Karang Sedana
Raden Seta Keling tertawa kecil mendengar perkataan
Purbaya itu.
“Iya. Benar Purbaya. Kakek itu dapat datang kembali besok
saat kita makan di sini.”
“Aah, iya-iya. Terima kasih, Tuan.”
“Nah, Purbaya… Ayo, kita beristirahat di atas.”
“Mari, Paman.”
Malam harinya, suasana di sekitar penginapan tempat raden Seta
Keking dan rombongannya menginap dicekam oleh kesunyian yang
amat sangat. Akan tetapi di jalan raya yang lengang itu, pada setiap
jarak beberapa tombak tampak bayangan orang yang sedang berdiri.
Mereka kelihatan sedang dalam keadaan berjaga-jaga dan dalam
keadaan kewaspadaan tinggi. Suasana ketegangan yang menyelimuti
di sekitar penginapan kelihatan semakin memuncak. Dan hal itu pun
segera dirasakan oleh Raden Seta Keling dan kawan-kawannya.
“Adik Saka, adik Awuk. Aku merasakan suasana yang tidak
wajar yang tengah terjadi di sekitar kita.”
“Hmm, kesunyian ini, Kakak? Coba aku lihat keadaan di luar
dari jendela ini.”
“Kakang, lihat itu Kakang. Aku melihat dua orang yang
mencurigakan di sana dan di sana. Ooh, itu di sana aku melihat dua
orang lainnya.”
“Siapakah mereka? Kehadiran mereka sangat men-curigakan
sekali, Kakang.”
188 Api Berkobar di Karang Sedana
“Oh,… beritahu Wulan di kamar sebelah agar berhati-hati,
adik Saka.”
“Baik, Kakang.”
“Dimana adik Wulan, Nyai?”
“Ada dibalik pintu itu. Adik Wulan sedang mengobati
Cempaka.”
“Ahh…hmm…”
“Ada apa adik Saka? Kelihatannya engkau bingung sekali…”
“Eeh, ti-tidak… Nyai. Biar saya permisi ke sebelah dahulu.”
“Tunggu, Kakang. Aku sudah selesai.”
“Aah,” Seta Keling merasa lega.
“Ada apa, Kakang?”
“Kakang Seta meminta kau untuk berhati-hati. Suasana di luar
sangat mencurigakan.”
“Oh ya? Aku… aku tidak dapat merasakannya. Aku sedang
mencurahkan perhatianku pada Cempaka.”
“Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Luka dalamnya
sudah jauh berkurang. Kubantu penyembuhan-nya dengan tenaga
dalamku, kakang.”
“Baiklah jika begitu.”
“Tunggu, Kakang.”
Anting Wulan bergerak cepat ke arah jendela, lalu berseru
keras, “Siapa kalian?”
189 Api Berkobar di Karang Sedana
“Eeh… Kau mendengar sesuatu, Wulan?”
“Ya, Kakang. Langkah beberapa orang diatas genteng kita.”
“Haah, gerakannya sangat hebat. Bayangannya pun tidak
sempat kita lihat.”
“Sudah tentu adik Awuk, karena kita kehilangan waktu untuk
membuka jendela.”
“Aaaww! Aaww!”
“Celaka Nyai Rara Angken.”
“Ada apa Nyai? Apa yang terjadi?”
“Itu… Itu, di dinding bilik itu.”
“Paser! Apa ada yang datang kemari?”
“Tidak, Paman. Paser itu ditimpukkan ke dalam sini ketika ibu
sedang mencoba melihat keluar melalui jendela itu.”
“Kakang,… lihat. Agaknya paser itu membawa pesan.”
“Tunggu, adik Wulan. Aku khawatir gulungan daun lontar di
paser itu dibubuhi racun. Biar aku melihatnya. Hmm, eh adik Saka,…
bagaimana pendapatmu?”
“Tidak Kakang, paser ini tidak beracun, juga daun lontar itu.”
“Hmm, pesan ini agaknya untuk kita. Entah apa artinya. Kau
bacalah adik Saka.”
“Iya…”
Mencari makan dengan bekal kaleng dan tongkat. Mencari
teman dengan bekal kejujuran dan niat. Sepotong daging, semangkuk
sayur dan sepiring nasi yang diberikan tanpa pamrih dan hati bersih,
190 Api Berkobar di Karang Sedana
bernilai setinggi gunung dan sedalam lautan budi. Akan kami bayar
dengan taruhan nyawa kami.
Semua yang mendengar kalimat-kalimat yang dibacakan Saka
Palwaguna mengerutkan kening, mereka semua bertanya-tanya dalam
hati.
“Hihihi, aneh sekali. Seperti sajak seorang pengemis.”
“Hee? Pengemis ! Adik Saka…” seru Seta.
“Ya?”
“Eh… apakah?! Ah tapi tidak mungkin…”
“Kenapa kakang Seta? Ada apa?”
“Eeh, tadi sore ketika kau baru saja naik ke atas meninggalkan
meja makan,…”
“Ooh, pengemis yang saya beri makan itu, paman Seta?!” sela
Purbaya.
“Iya. Mungkin… Eeh, adik Wulan. Ketika kau baru saja naik,
raden Purbaya memberikan makan pada seorang pengemis tua yang
datang meminta sedekah.”
“Hmm, kakang… apakah mungkin pengemis itu adalah
seorang sakti yang sedang dalam penyamaran?” Anting Wulan
mengungkapkan dugaannya.
“Eh, aku tidak tahu. Mungkin saja…”
“Kakang, aku akan keluar dari sini. Kalian tunggulah, akan
kutanyakan pada orang-orang yang berjaga di sekitar penginapan ini.”
191 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tunggu adik Wulan, biar kau kutemani. Adik Saka dan adik
Awuk, kau tunggulah di dalam sini, ya…”
“Baik, kakang Seta.”
“Marilah, Wulan.”
“Eh, sobat. Siapakah kalian? Dan sedang apakah kalian
berjaga-jaga disini?” sapa Anting Wulan pada seorang gadis muda.
“Saya adalah salah satu orang yang bertanggung jawab atas
kehadiran mereka. Hmm, kami mendapat perintah dari guru kami,
untuk mengamankan penginapan ini dari pengacau yang sebentar lagi
tiba.”
“Pengacau? Siapakah pengacau yang kalian maksudkan?”
“Ki Darpo dan para begundalnya malam ini akan datang
kemari untuk merebut pelarian dari Karang Sedana.”
“Ki Darpo? Lalu… lalu siapakah kalian ini?”
“Eeh, maaf. Dari pakaian yang kalian kenakan, agaknya
kalian dari perguruan Pengemis Tongkat Merah?”
“Benar, Tuan. Saya adalah salah seorang murid dari
perguruan Tongkat Merah.”
Pembicaraan mereka terputus saat gadis muda murid
perguruan Tongkat Merah itu mendengar suara kaleng dipukul
beberapa kali. Dia berseru pada Anting Wulan dan Saka Palwaguna,
“Masuklah, Tuan. Mereka kini sudah tiba.”
“Hey, tunggu! Berhenti pencuri busuk!”
“Huh! Siapakah kau? Mengapa kau menghalangi kami,
bocah!?”
192 Api Berkobar di Karang Sedana
“Urungkanlah niatmu membuat kekacauan di sini. orang yang
kau cari kini berada dibawah lindungan kami.”
“Heh, bocah kecil, sungguh besar sekali mulutmu. Sadarkah
kau apa yang baru saja kau katakan?”
“Tinggalkan tempat ini. Sebelum kami melumatkan semua
begundal-begundalmu. Kami sudah tahu maksud kedatanganmu.”
“Hahaha, darimana kau tau rencana kami ini, bocah
sombong?”
“Tidak perlu kalian tahu! Kami hanya minta turunlah dari atas
atap penginapan ini.”
“Adik Jagal Pati, saat ini dihadapanmu ada seorang gadis
manis memaksamu untuk segera mengurungkan niatmu. Nah, kini apa
yang akan kau lakukan?”
Jagal Pati menggeram, “Hmm, sebaiknya kita tidak
membuang-buang waktu, kakang Darpo. Aku khawatir mereka akan
segera pergi meninggalkan tempat ini. Heh, kau lah yang turu, bocah!”
Jagal Pati yang menjadi tidak sabaran melihat Ki Darpo yang melayani
bicara panjang lebar untuk itu dia pun membuka serangan dorongan
tenaga guna melempar Sariti dari atas atap. Akan tetapi yang terjadi
justru sebaliknya. Jagal Pati tidak berhasil memukul pengemis wanita
itu. Serangan yang dilancarkannya dengan lincah dielakkan oleh
murid dari perguruan Tongkat Merah. Malah tongkat merah
ditangannya kini berputar deras di sekeliling tubuhnya dan tanpa dapat
dicegah lagi…
“Kurang ajar, siapakah gadis ini sebenarnya?”
193 Api Berkobar di Karang Sedana
“Adik Jagal Pati, jangan khawatir, kubantu kau!”
“Kakang Darpo, dimanakah Ki Sampar Angin dan Dandung
Amoksa?”
“Entahlah kemana orang tua gila itu.”
“Ki Jagal Pati, biar kita ubah rencana saja. Panggil semua
anak-anak, Ki Jagal !”
Siulan Ki Jagal Pati yang memecah kesunyian malam terdengar
hingga ke empat penjuru penginapan. Dan beberapa saat kemudian
puluhan bayangan berkelebat mendekat ke arah penginapan di mana
pelarian Karang Sedana berada. Di antara mereka tampak Jagal
Lanang dan Jagal Belo dan beberapa pimpinan begundal anak buah Ki
Darpo.
“Berapa banyak kawan yang kau siapkan, bocah bodoh? Kami
datang dengan empat puluh orang teman.”
“Kakang Darpo, cepat selesaikan bocah susah ini. Jika dapat
kita selesaikan jangan terlalu lama.”
“Kakang Seta, apakah kita akan berdiam diri saja sementara
mereka mengadu nyawa untuk kita?”
“Kau sabarlah Anting. Kau lihatlah, gadis itu kukira masih
dapat melayani Ki Darpo dan kawan-kawannya. Dan kawan-
kawannya yang lainpun kukira akan berhasil menahan tekanan dari
pasukan Karang Sedana.”
“Iya. Tapi kedua tanganku gatal sekali melihat keadaan ini,
Kakang.”
194 Api Berkobar di Karang Sedana
“Sebaiknya kita disini saja, Wulan. Kita dapat segera kembali
ke kamar jika terjadi apa-apa dengan Nyai Angken dan Purbaya.”
Ketika sedang asyik berbincang sambil memperhatikan suasana
pertempuran, raden Seta Keling dan Anting Wulan tiba-tiba
dikejutkan oleh suara kecil dari atas pohon yang tak jauh dari
tempatnya.
“Enak sekali duduk disini, Kek. Kau pandai sekali melompat
setinggi ini.”
“Kakang, lihat! Itu di atas sana.”
“Ooh, celaka! Kenapa bisa sampai begitu? Tunggu… tunggu
adik Wulan. Jangan terburu nafsu. Aku percaya dengan orang tua itu.
Eeh, sebaiknya kita lihat ke dalam saja. Ayo.”
“Adik Saka… Eeh, mereka semua kena totok jalan darahnya.”
“Celaka Kakang, kakek itu membawa lari Purbaya.”
“Anakku !! Anakku dibawa oleh kakek pengemis. Tolonglah
adik Seta.”
“Tenanglah, Nyai. Anak itu kukira tidak akan kemana-mana.
Kakek itu tidak akan bermaksud jahat dengan Purbaya.”
“Tapi, dimanakah anakku sekarang?”
“Ada Nyai. Mereka ada di luar. Mari… mari kita semua ke
halaman samping. Adik Dampu Awuk, dampingi Nyai bersama
Anting Wulan!”
Untuk lebih menjaga keamanan, akhirnya raden Seta Keling mengajak
permaisuri prabu Aji Konda untuk bersama-sama dengan mereka
keluar sambil mempelajari keadaan. Akan tetapi baru saja mereka tiba
195 Api Berkobar di Karang Sedana
di halaman samping, sebuah bayangan yang cepat meluncur dan
melancarkan serangan-serangan yang beruntun ke arah mereka.
“Hadapi dengan barisan Empat Bintang!”
Belum sempat barisan Empat Bintang digelar untuk menahan
maupun menyerang, tiba-tiba terdengar suara parau terkekeh-kekeh
berseru,
“Minggirlah anak-anak muda. Serahkanlah lawanmu itu
padaku. Sampar Angin… kenapa kau sekarang mulai kembali
menyibukkan dirimu dengan urusan anak-anak? Ayo, lepaskan
mereka Sampar Angin. Sore tadi anak ini sudah memberiku makanan.
Sepotong daging, semangkuk sayur dan sepiring nasi.”
“Ternyata kau adalah pengemis Dusta. Minggirlah Pungkur,
aku akan mengambil beberapa orang yang sangat kuperlukan di sini.”
“Sayang sekali, tongkatku ini masih tidak mengijinkan. Nah,
kau kepinggirlah bocah baik. Aku akan mengajar adat pada kakek
yang masih juga menyusahkan orang.”
“Ayolah Sampar Angin. Aku sudah siap melayanimu.”
“Eeh, pengemis rendah! Sampah kota, kuhancurkan kepalamu
dengan rantaiku ini.”
“Hebat! Hebat sekali Sampar Angin. Aku pun akan memutar
tongkatku seperti ini.”
“Hmm kakek pengemis itu benar-benar hebat. Ki Sampar
Angin dibuatnya tak berdaya dengan jurus-jurus Tongkat Merahnya.”
“He, Sampar Angin kuberikan waktu bagimu untuk segera
meninggalkan tempat ini. Dan jangan mengganggu mereka lagi. Saat
196 Api Berkobar di Karang Sedana
ini aku masih belum berminat untuk bertempur. Ayo pergunakanlah
kesempatan ini, sebelum aku berubah pikiranku.”
“Kau… kau memang unggul kali ini, Pungkur. Tapi aku akan
menemuimu satu saat untuk membalas penghinaan ini.”
Ki Sampar Angin yang menyadari keadaan segera meninggalkan
arena pertempuran setelah memberi tanda pada Ki Dandung Amoksa
yang juga terlibat pertempurang dengan beberapa orang pengemis dari
tongkat merah.
Demikian pula dengan Ki Darpo dan Jagal Pati yang juga mendapat
kesulitan untuk mengalahkan Sariti segera meninggalkan arena
mengikuti Ki Sampar Angin.
“Heheheh, lunas sudah hutangku bocah. Sepotong daging,
semangkuk sayur dan sepiring nasi sudah lunas kubayar malam ini
juga.”
“Kakek tua,… saya mengucapkan banyak terima kasih atas
semua bantuan Kakek. Eh, tapi jika saya boleh tau, darimanakah
kakek mengetahui rencana mereka?”
“Hahaha, anak muda. Peristiwa apakah yang tidak dapat
diketahui oleh Parang Pungkur? Apapun yang terjadi di dunia
kependekaran di tanah Jawa dan Pasundan ini, pasti kuketahui.
Tanyakan saja pada gurumu, siapakah aku ini.”
“Eh, baiklah jika demikian. Tapi ada satu hal yang ingin saya
tanyakan pada Kakek…”
“Oh… cukup! Stop-stop-stop. Simpanlah dulu pertanyaanmu
itu. Kau kembalilah beristirahat ke dalam kamarmu. Tidurlah dengan
197 Api Berkobar di Karang Sedana
tenang. Percayalah mereka tidak akan berani mengganggu kalian
untuk sementara.”
“Baiklah, Kek. Terima kasih. Eeh, Nona… Saya juga
mengucapkan banyak…”
“Eeh, cukup-cukup. Eh cukup kau mengucapkan terima kasih
padaku. Itu sudah cukup. Mereka semua muridku. Kau tidak perlu
mengucapkan terima kasih satu persatu pada mereka. Ah, sudah.
Pergilah sana, istirahatlah.”
“Eeh, iya Kek.”
“Marilah Kakang, kita kembali ke kamar. Mari Cempaka,
Purbaya.”
“Terima kasih, Kek.”
“Iya… iya.”
Malamnya mereka beristirahat dengan tenang mereka yakin bahwa
untuk malam ini mereka tidak akan mendapatkan gangguan lagi.
Keesokaan harinya mereka sarapan di rumah makan di bawah
penginapannya.
“Hey, dimana mereka Paman? Kemarin banyak berkeliaran
pengemis di luar rumah makan ini.”
“Ya, aneh sekali Kakang Seta. Kali ini diluar tidak ada
seorang pengemis pun. Apakah mereka semua sudah meninggalkan
kota ini, atau sedang berada di bagian lain dari kota ini?”
“Eeh, agaknya kedatangan rombongan mereka kemarin pun
sengaja untuk menolong kita. Bukannya karena sepotong daging yang
diberikan Purbaya.”
198 Api Berkobar di Karang Sedana
“Iya, tapi dari mana mereka mengetahui penyerangan Ki
Darpo dan kawan-kawannya?”
“Itulah yang menjadi dan membuat penasaran hatiku. Dan
juga apa maksud mereka membela kita sampai mempertaruhkan
nyawa banyak orang seperti itu?”
“Apakah benar dan mungkin guru dapat menjawab
pertanyaan ini?”
“Hmm, sudahlah. Kukira kita dapat meneruskan perjalanan
pagi ini juga, setelah makan kita selesai. Eeh, bagaimana Nyai?
Bukankah lebih cepat sampai, lebih baik?”
“Iya. Aku setuju. Lagi pula kelihatannya Cempaka sudah
pulih kembali kesehatannya. Ayo, Purbaya… percepat makanmu itu.”
“Iya Bunda… eh… Bu.”
“Kakang, apakah besok pagi kita akan sampai ke Goa Larang
dengan perjalanan seperti ini?”
“Sampai adik Wulan. Walaupun kita tidak jelas dengan arah
jalan daerah sini, aku yakin kita akan tiba di Goa Larang sebelum siang
hari.”
“Hey, apakah kalian tidak merasa sedang diikuti oleh
seseorang?”
“Hmm, ya. Seorang yang sedang berkuda di belakang kita.
Tapi apakah kakang Saka pasti orang itu mengikuti kita?”
“Aku yakin, Wulan. Orang itu mengikuti kita. Cobalah
hentikan kuda kalian.”
199 Api Berkobar di Karang Sedana
“Nah, kalian lihat. Orang itu menghentikan kudanya, Kakang
Seta. Siapakah orang itu, apakah kau dapat melihat dengan jelas?”
“Eh… seperti… seperti… Ah, tidak. Bukan-bukan.”
“Eh, siapakah dia? Kakang mengenalnya?”
“Tidak Wulan. Aku tidak mengenalnya. Ayo, kita lanjutkan
saja perjalanan kita.”
“Apakah orang itu bermaksud jahat pada kita?”
“Saya kira tidak, Nyai. Orang itu mengikuti kita tanpa
sembunyi-sembunyi.”
“Iya, tapi apa maksud orang itu mengikuti kita? Kakang
Awuk, kita lihat orang itu, ayo?!”
“Tunggu, adik Wulan. Tunggu.”
Anting Wulan menjadi penasaran dan menjadi tidak sabar ingin segera
melihat dan mengetahui siapakah orang yang berani mengikuti mereka
akan tetapi kakangnya Seta Keling, mencegahnya.
“Untuk apakah kau merepot-repotkan diri kembali ke sana?
Orang itu jelas-jelas tidak bermaksud buruk pada kita.”
“Kakang, aku tak dapat menahan rasa penasaranku. Maaf…”
sahut Wulan berkeras. Dia segera menghampiri penunggang kuda
yang berada di belakang rombongan itu. Dampu Awuk pun
menyusulnya.
“Adik Awuk, jangan! Biarkan saja adik Wulan menemuinya
sendiri. Kita tunggu saja di sini.”
“Tapi Kakang, kita belum tau siapa orang itu. Bagaimana jika
terjadi sesuatu dengan adik Wulan?”
200 Api Berkobar di Karang Sedana
“Percayalah, tidak akan terjadi sesuatupun dengan adik
Wulan. Lihatlah itu, mereka sudah berbicara.”
Dugaan kakaknya Seta Keling tak dipercayai sepenuhnya oleh Anting
Wulan. Untuk itu dara manis yang memiliki temperamen keras ini
melesat meninggalkan kudanya dengan aji Kidang Mamprung menuju
penunggang kuda yang jelas menujunya.
“Oh, kau… kau murid perguruan Tongkat Merah?”
“Eh, iya. Maafkan saya. Saya mengikuti kalian secara diam-
diam.”
“Hm, apa maksudmu mengikuti kami?” tanya Anting Wulan
dengan nada galak agar perempuan dihadapannya kalah gertak
sehingga tak sempat mengarang-ngarang cerita. “Apakah kau
bermaksud buruk?”
“Ah, sama sekali tidak Nona. Eh saya… saya menjalankan
perintah guru untuk menemani kalian sampai ke Goa Larang. Dan
menyampaikan surat beliau pada guru kalian.”
“Heh, aku tidak perlu kalian kawal. Dan tadi malam pun aku
tidak minta bantuan kalian.” sergah Anting Wulan ketus.
“Eh, saya tahu Nona. Tapi semua itu saya lakukan karena
melakukan perintah guru.”
“Apakah cara kau mengikuti kami ini atas perintah gurumu?
Heh, jika kau ingin pergi ke padepokan kami, jalanlah bersama-sama
kami. Ayo!”
“Eeh… maaf, terima kasih. Biarlah saya mengikuti kalian
dengan cara seperti ini…”
201 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kau lihatlah akibat perbuatanmu ini. Kau sudah menghambat
perjalanan kami !”
“Oh, kau… kau gadis pengemis itu…”
“Kakang, dia akan ke Goa Larang menemui guru. Sekaligus
menemani dan mengawal kita dalam perjalanan.”
“Itu perintah guru,” sela perempuan pengemis itu segera.
“Jika begitu, baik sekali. Kita dapat bersama-sama. Mari…”
“Eeh, biarlah saya berjalan di belakang saja…”
“Tak baik melakukan perjalanan bersama dengan cara seperti
itu. Kukira gurumu pun akan kecewa melihat caramu itu.”
“Ah, kakang. Apakah kita akan memaksa orang yang tidak
suka dengan kita.”
“Ah, ayolah…. Nanti kawan-kawanku akan menilai lain
sikapmu itu. Oya, sudahlah jika kau tidak mau.”
“Baiklah, aku ikut. Maaf jika aku mengganggu perjalanan
kalian.”
“Ayo kakang, kita lanjutkan perjalanan kita.”
Beberapa saat kemudian, Sariti sudah beriringan menuju padepokan
Goa Larang bersama-sama rombongan raden Seta Keling.
Sementara itu di istana Karang Sedana, penasehat dalam Sentana kini
telah menobatkan dirinya menjadi Prabu Jaya Sentana. Saat ini sang
Prabu Jaya Sentana tengah berbincang dengan beberapa penasehatnya
dan juga ditemani Ki Demang Suwanda yang merupakan utusan
202 Api Berkobar di Karang Sedana
khusus Ranghyang Prabu Sora dari Indraprasta untuk membantu Ki
Sentana dengan empat ribu pasukannya.
“Tuanku Prabu, Ki Darpo telah mengalami kegagalan untuk
menangkap kedua pelarian itu. Dan Aji Konda pun hingga saat ini
belum dapat kepasttian dimana berada. Dan siapakah orang bertopeng
yang menolongnya. Untuk itu saya menyarankan untuk sementara ini
pengejaran kita hentikan saja. Kita arahkan segala usaha kita untuk
mengumpulkan kekuatan.”
“Iya. Aku setuju dengan usulmu itu, Ki Demang. Akan tetapi
jika saja aku telah mempunyai kekuatan yang cukup, apakah mungkin
aku dapat mengambil kedua pelarian itu dari Goa Larang dan
melampiaskan dendamku pada anak-anak murid Goa Larang itu?”
“Kenapa tidak mungkin, Tuanku? Kenapa tidak mungkin?
Apakah Tuan khawatir karena padepokan Goa Larang itu dipimpin
oleh Resi Wanayasa, paman mahaprabu Sanna dari Galuh?”
“Benar Ki Demang. Hal itulah yang justru jadi bahan
pikiranku. Yang membuatku resah sejak kemarin, ketika kabar itu
kuterima.”
“Jangan khawatir, Tuanku. Percayalah baginda Ranghyang
Prabu Sora telah menjanjikan akan membantu apapun yang tuanku
inginkan, termasuk membalaskan dendam yang Tuanku katakan tadi.
Ah, asalkan mulai saat ini Tuanku harus mulai menyiapkan membina
sedikitnya sepuluh ribu prajurit untuk dipinjamkan pada Ranghyang
Prabu Sora.”
203 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm, ya. Aku mengerti Ki Demang. Hal itu telah aku
limpahkan pada Patih Darpo untuk segera dilaksanakan
pembinaannya.”
“Jika demikian halnya,… hamba kira, hamba sudah boleh
kembali dengan separuh pasukan hamba dahulu. Beberapa minggu
kemudian hamba akan kembali lagi kemari untuk mengambil pasukan
berikutnya.”
“Ya…”
“Dan tentu saja dengan membawa kabar tentang bantuan
khusus untuk membalaskan dendam Tuanku pada Goa Larang dan
pada pelarian itu.”
“Ya, bagus Ki Demang. Terima kasih atas semua
bantuanmu.”
Ternyata dibalik kebaikan dan bantuan yang diberikan Ranghyang
Prabu Sora dari kerajaan Indraprasta tersimpan pamrih besar, yaitu
persetujuan dari Ki Jaya Sentana yang kini telah bergelar prabu Jaya
Sentana untuk kelak menyediakan tentara sebanyak sepuluh ribu jiwa
kepada Indraprasta.
Sementara itu, rombongan remaja yang menuju ke Goa Larang telah
sampai pada batas desa terakhir sebelum tiba di padepokan mereka.
“Hey, berhenti sebentar!”
“Ada apa, Kakang? Kenapa kita berhenti disini?”
“Kita beristirahat sebentar. Di depan kita adalah desa Sumur
Opat. Desa itu adalah desa terdekat dengan padepokan kita. Cukup
204 Api Berkobar di Karang Sedana
banyak orang yang kita kenal di sana. Aku tidak ingin kita masuk ke
sana dalam keadaan yang lusuh. Hal itu akan menimbulkan kesan
yang khusus pada rombongan ini. Kita beristirahat di sini saja.”
“Bibi, apakah kau murid dari kakek pengemis tadi?”
“Benar adik kecil. Ada apa?”
“Kakek itu baik sekali, Bi. Dia berkata padaku jika ada jodoh
dia ingin sekali mengangkatku menjadi muridnya. Dan…”
“Hey, adik kecil… dari mana kau mendapatkan kalung ini?
Dari mana? Katakan heh!”
“Heh, kenapa kau jadi marah seperti itu.”
“Hayo kembalikan kalung, Purbaya!”
“Tidak! Anak ini pasti… Hayo katakan!
“Kembalikan
“Purbaya! Dari mana kau mendapatkan kalung itu?”
Raden Purbaya menahan kekesalan hatinya mendapat tekanan dari kiri
dan kanan. Ingin rasanya anak itu berteriak memaki mereka, tapi
Ibundanya Roro Angken yang berdiri tak jauh darinya memandangnya
dengan perasaan cemas dan khawatir jika saja benar anaknya Purbaya
mendapatkan kalang itu dengan cara yang tidak terpuji.
Sementara itu Raden Seta Keling mengamati kalung tersebut. Kalung
yang terbuat dari kulit, yang diukir gambar lima bulan yang saling
bergandengan sedangkan kalung yang dikenakan Sariti nyaris tak
berbeda. Hanya saja bulan yang saling menempel hanya tiga buah.
205 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hey, Purbaya! Kenapa kau tidak mau menjelaskan dari mana
kau mendapatkan kalung itu?” suara Seta Keling terdengar kesal.
“Ah… Kakek itu yang memberikan pada saya.”
“Guru? Yang memberikan padamu? Aah, kurasa tak masuk di
akal. Kalung ini sekaligus memberi tanda pada pemakainya sebagai
pimpinan atau anggota terhormat dari perguruan Tongkat Merah kami
!”
“Nah! Jika begitu, kenapa kau tidak menghormati pemegang
kalung itu? Kenapa kau berbuat kasar padanya? Apakah benar kau
murit murtad yang tidak berbakti pada perguruan?” dengan sengit
Anting Wulan membalikkan perkataan itu pada Sariti.
Sariti terhenyak. Dia terdiam sejenak.
“Eeh… Benar Nona katakan! Saya adalah murid murtad yang
harus di hukum. Ini kalungmu, Tuan kecil. Hukumlah saya murid
Tongkat Merah yang tak tahu diri.”
“Hey, apa ini? Sudah, bangunlah Bi. Aku bukanlah murid dari
perguruanmu. Kata kakek itu, nanti jika ada jodoh, aku akan menjadi
murid perguruanmu. Bangunlah!”
“Sudahlah, Nona. Beristirahatlah sebentar. Kita akan
melanjutkan perjalanan kita.”
Beberapa saat kemudian, ketika senja sudah mulai turun, rombongan
itu tiba di dusun yang sering dikunjungi. Dusun Sumur Opat adalah
sebuah dusun kecil yang terletak hanya beberapa jam perjalanan dari
Padepokan Goa Larang.
206 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kakang, malam ini kita beristirahat di mana? Kita tidak dapat
tidur di rumah kepala desa. Rombongan kali ini banyak sekali.”
“Ya. Kita langsung ke bale desa saja. Disana kita bisa
menemui Aki Sura penjaganya yang telah kita kenal.”
“Eh, Kakang… lihat itu,… Made Ludira. Dari bagian
perpustakaan. Mau apa anak itu keluyuran sampai ke sini?”
“Hmm, iya. Melihat gerak-geriknya mencurigakan sekali.
Biar akan kutegur dia.”
“Jangan! Jangan ditegur adik Awuk. Memang agak
mencurigakan sekali anak itu. Eeh, adik Saka dan kau Anting, coba
kau ikuti anak itu dan perhatikan saja gerak-geriknya. Aku curiga
dengan bungkusan yang dibawanya itu.”
“Baik, kakang Seta. Mari adik Wulan. Kita jalan kaki saja.”
Padepokan Goa Larang sudah dihadapan mereka. Penduduk desa
Sumur Opat yang berlalu-lalang banyak yang mengenal mereka.
Karena itu Anting Wulan dan kakangnya Saka Palwaguna mengikuti
Made Ludira, salah seorang saudara seperguruannya dari Goa Larang
dengan sangat hati-hati. Sambil sekali-sekali mengangguk dan
menjawab sapaan setiap penduduk yang menegurnya.
“Hmm, mau kemana anak itu? Dia terus saja. Apakah dia
ingin keluar dari desa Sumur Opat ini?”
“Kukira tidak, adik Wulan. Jika dia keluar dari Sumur Opat,
untuk apa dia melalui pusat keramaian desa ini?”
207 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kau betul Kakang. Lihat dia menuju rumah besar di ujung
desa ini. Aku curiga sekali dengannya, Kakang.”
“Betul. Terutama dengan bungkusan yang dipegangnya
dengan sangat hati-hati sekali.”
“Oh, rumah siapakah itu kakang?”
“Itu adalah lumbung padi yang tidak terpakai lagi adik Wulan.
Ayo kita coba dekati. Kita dapat mengintipnya dari samping itu, adik
Wulan. Ayo..!”
“Kurang ajar anak itu. Dia datang kemari ternyata untuk
melampiaskan nafsunya.”
“Hmm, mari Kakang kita beri pelajaran anak itu. Benar-benar
membuat malu nama eyang resi.”
“Sebentar adik Wulan. Aku ingin mengetahui lebih jauh lagi.
Aku masih merasa curiga dengan bungkusan yang dibawanya.”
“Kakang Made, Ayolah! Kenapa tidak ikut main dengan yang
lain?”
“Yaah… Aku saat ini tidak berselera untuk berjudi.”
“Kenapa? Apakah habis uang yang diberikan bapak Pendeta
itu? Minta saja. Bukankah bapak Pendeta itu menjanjikan akan
memberikan berapa saja yang kakang perlukan?”
“Yaa, justru itulah aku sedang menunggunya. Aku perlu uang
untuk duduk bersama kawan-kawan disana, dan juga untuk tidur
bersamamu.”
“Aah, kakang.”
208 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tunggu bapak Pendeta itu, di dalam saja yuk?!”
“Asal jangan lupa saja kalau kakang sudah dapat uang.”
“Setan! Iblis bejat ! Kubunuh anak itu!” desis Anting Wulan
dengan mata berkilat-kilat.
Anting Wulan yang melihat ulah dari Made Ludira, salah seorang
saudara seperguruannya di Goa Larang menjadi menggelegak
emosinya. Dan ketika saja Gadis itu siap untuk melompat, Saka
Palwaguna yang berada di sampingnya mencegahnya. Sebelah
tangannya memeluk tubuh Anting Wulan dan tangan yang lain
menutup mulut gadis yang sedang kalap itu.
“Tenang! Agaknya disini telah terjadi suatu peristiwa yang
lebih dari sekedar perbuatan kotor Made Ludira.”
“Ah, kau…”
“Ada apa Wulan? Mengapa kau…”
“Tidak! Tidak apa-apa, kakang!”
“Apakah kau marah dengan caraku tadi? Tapi saat itu aku
tidak menemukan cara lain untuk mencegahmu. Wulan, maafkan aku
jika itu membuatmu marah.”
“Kakang, Aku pun tak tahu apakah aku harus marah atau…
Ahh, Kakang Saka… Aku tidak marah dan juga tidak benci karena
perbuatanmu tadi.”
Melihat Anting Wulan yang masih terdiam, Saka
melanjutkan, “Wulan, jika kau memang marah, tundalah sementara.
Aku bersedia kau hukum kelak setelah selesai tugas kita ini.”
209 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tidak Kakang. Mari kita lihat apa yang akan terjadi dengan
anak bejat itu.”
“Awas! Merunduk Anting!”
Mereka berdua segera berindap merendahkan tubuh mereka.
Bersembunyi dengan memanfaatkan kegelapan situasi disekitar
lumbung bekas itu.
“Oh, agaknya itulah orang yang kita tunggu-tunggu.”
“Pendeta itu, Kakang? Kenapa dengan pendeta itu?”
“Pendeta itulah agaknya yang ditunggu Made. Dan lihatlah,
dia memasuki lumbung ini. Apakah kau pernah melihat, pendeta
memasuki tempat kotor seperti ini, Wulan?”
“Hm, ya. Kau benar Kakang. Tidakkah kau lihat tadi mata
pendeta itu tidak seperti halnya mata pendeta lainnya yang
memancarkan sinar welas asih.”
“Benar, adik. Aku melihat sinar yang kuat dan ganas yang
terpancar dari mata pendeta itu. Hati-hati, kita intai lagi !”
Pendeta bertubuh tinggi besar dengan tongkat besar yang ada di
tangannya, masuk ke dalam lumbung desa yang sudah tak terpakai
lagi. Dan ketika pendeta itu tiba di dalam, semua laki-laki bertampang
seram yang semula sibuk berjudi seketika tidak ada satu orang pun
yang berani mengeluarkan suara.
“Hemm, dimana Made Ludira? Aku mencari orang itu.
Apakah dia sudah datang?”
210 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ah, tuan Pendeta sudah datang. Saya… saya sudah sejak tadi
menunggu di sini.”
“Sebaiknya kita bicara di tempat lain saja. Ayo, cepat.
Kutunggu kau di luar.” Selesai berkata, si Pendeta bertubuh tinggi
besar itu melangkah keluar. Tapi kemudian dia berhenti dan
membentak pada orang-orang di tempat itu, “Hah! Kenapa kalian
semua diam saja? Ayo teruskanlah permainan kalian!”
“Heey, cepat Made!”
“Iya Tuan, sebentar… sebentar.”
“Aku pergi dulu, Nyi. Nanti aku kemari lagi menemuimu dan
kita dapat bermain sepuas hati kita.”
“Hm, kenapa tidak disini saja, tuan Pendeta? Apakah tuan
tidak membawa uangnya? Maaf, jika tuan tidak membawa uangnya,
saya tidak akan memberikan kitab ini. Saya mendapatkan kitab ini
dengan resiko yang besar.”
“Jangan khawatir, aku akan memberikan imbalan sesuai
dengan yang kujanjikan. Tapi akan kulihat dahulu, apakah kau
membawa barang yang benar-benar aku butuhkan.”
“Tuan dapat melihatnya nanti, Tuan. Ayo… kemana kita akan
pergi?”
“Itu, ke pinggir sungai kering di sana itu. Ayo.”
211 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm, anak bejat itu agaknya membawa kitab dari
padepokan kita, Kakang.”
“Ya. Aku kira begitu.”
“Kakang, tahukah kakang siapa pendeta itu? Agaknya pendeta
itu bukan dari biara di sekitar sini.”
“Kau benar adik Wulan. Pendeta itu berasal dari Jawa bagian
tengah. Agaknya dia orang Mataram. Kau perhatikan ikat kepala yang
dikenakannya.”
“Oh, lihat kakang. Mereka berhenti di tepi sungai kering itu
!”
“Awas, hati-hati adik Wulan. Jangan terlalu dekat. Kukira
pendeta itu bukanlah orang sembarangan. Gunakan saja ilmu Empat
Arah Pembeda Gerak. Kita akan dapat mendengarkan semua
pembicaraan mereka dari sini.”
“Baik, Kakang…”
“Mana Made? Keluarkanlah kitab itu. Ayo…”
“Iya tuan… Iya. Tapi kuharapkan pendeta mau sedikit
menambah imbalan yang dijanjikan. Karena, yaa… seperti yang saya
katakan tadi, ini saya dapatkan benar-benar melalui perjuangan dan
resiko yang sangat besar, Tuan.”
“Sudah. Jangan kau khawatir! Keluarkan saja kitab itu,
mari…”
“Iya… iya… Ini Tuan,… ini.”
212 Api Berkobar di Karang Sedana
“Huh, kurang ajar! Itu… itu kitab Kincir Metu, Kakang.
Pengkhianat !”
“Adik Wulan, tenang. Tenangkanlah dirimu. Kita masih
punya waktu. Kita lihat saja dulu. Aku ingin tahu lebih jauh siapakah
sebenarnya pendeta itu.”
“Huh,… baiklah Kakang. Tapi berjanjilah Kakang, bahwa
Kakang akan menyerahkan padaku pengkhianat itu.”
“Ah, adik Wulan… Tahanlah emosimu.”
“Aaah! Kitab apa yang kau berikan padaku ini, hah? Ini
bukanlah kitab Kincir Metu yang aku cari. Hey, ini kau ambil. Ayo!”
“Haaa, tuan Pendeta. Janganlah menghina kitab ini
sedemikian rupa, Tuan. Kitab inilah yang saya dan kawan-kawan
jadikan petunjuk untuk mempelajari Kincir Metu, Tuan.”
Pendeta itu terbahak-bahak dengan nada sangat mengejek,
“Hahaha, anak muda…. Anak muda. Jika hanya untuk kitab seperti
itu, buat apa aku jauh-jauh datang ke mari?”
“Tuan, bukankah semula tuan katakan pada saya bahwa Tuan
akan memenuhi undangan Guru dalam upacara sembahyang itu,
Tuan?”
Pendeta itu kembali tergelak, “Jadi kau pikir, aku benar-benar
akan ikut bersembahyang untuk keperluan Karang Sedana, ha? Untuk
keperluan orang lain? Aah, biarlah Karang Sedana mengalami
kemarau. Apa urusannya denganku? Jika memang si tua Wanayasa
gurumu itu ingin meminta hujan untuk mengembalikan kesuburan di
213 Api Berkobar di Karang Sedana
Karang Sedana, biarlah dia meminta bersama pendeta-pendeta lain
yang kurang pekerjaan seperti gurumu itu.”
“Eeh, jadi tuan datang kemari benar-benar untuk…”
“Aah, dengar Made! Kitab yang kau bawa ini tidak lebih dari
salinan dasar dari ilmu Kincir Metu yang telah disederhanakan oleh si
tua Wanayasa. Untuk murid-murid bodoh sepertimu. Kau selamanya
tidak akan bisa jadi seorang yang tangguh jika kau mempelajari kitab
seperti itu!”
“Kau! Kau menghinaku, tuan Pendeta. Janganlah Tuan ulangi
perkataan-perkataan yang menyinggung seperti tadi, Tuan! Aku dapat
berbuat apapun dengan Tuan di tempat yang sepi ini…”
“Hahaha, anak bodoh! Apa yang dapat kau perbuat denganku
di tempat yang sepi ini, ha?”
“Meremukkan mulutmu yang lancang itu, sudah pasti ! Ini kau
rasakan pendeta lancang !”
“Lepaskan tanganku! Lepaskan tanganku!”
“Ayo, pukul aku! Remukkan mulutku, anak muda. Baik,…
baik… kau boleh ulangi lagi. Nah, seranglah aku. Kali ini aku akan
memuaskan hatimu.”
“Baiklah… baiklah… Hiyaat!!”
Made Ludira salah seorang murid dari Goa Larang yang juga
merupakan adik seperguruan dari raden Saka Palwaguna dan Anting
Wulan, kini menjadi bulan-bulanan dari pendeta tinggi besar itu.
214 Api Berkobar di Karang Sedana
Pukulan-pukulan yang dilancarkan dengan tenaga dalam yang
sepenuhnya seakan kandas begitu menyentuh tubuh pendeta itu.
“Hahaha, apakah kau belum juga puas, anak muda? Dengarlah
Made, jika kau berhasil mendapatkan kitab itu, aku akan memberikan
ini untukmu…”
Pendeta itu dengan tenang merogoh kantungnya, dan
mengeluarkan sebuah kantung kain kecil. Kemudian dia
mengeluarkan beberapa batu permata berwarna-warni pada dampal
tangannya.
“Heh, kenapa kau terkejut melihat permata ini? Bukankah tadi
kau katakan tentang resiko besar? Jika kau berhasil mendapatkan kitab
yang asli, maka permata ini akan kuberikan padamu. Dengan batu-
batuan ini, kau akan dapat berjudi sepuas hatimu selama setahun tanpa
khawatir akan kehabisan uang!”
“Tapi… tapi… kitab… kitab yang kau maksudkan itu tak
kutemui dalam ruang kitab yang aku jaga.”
“Hahaha, sudah pasti. Bukankah sudah kukatakan, kitab itu
pasti disimpan langsung oleh si tua Wanayasa. Kau dapat mencarinya
di dalam kamar gurumu itu.”
“Baiklah, baiklah tuan Pendeta. Saya akan mencoba untuk
mendapatkan kitab itu.”
“Bagus! Bagus, anak muda.”
“Tapi jika saya sudah berhasil mendapatkannya, di mana saya
segera dapat bertemu dengan Tuan?”
215 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ah, kau datanglah ke tempat ini. Aku akan berada di sekitar
sini. Bawalah kitab itu kembali, aku tidak memerlukan yang seperti
itu. Hmm, untuk sementara biarlah permata ini kupegang. Nanti akan
segera menjadi milikmu jika kitab itu sudah kau dapatkan.”
“Baiklah,… saya segera kembali saja ke padepokan.”
“Nah, berangkatlah anak muda.”
“Adik Wulan, kita ikuti pendeta itu.”
“Tapi kakang, Made akan mencuri kitab pusaka guru.”
“Kukira, dia tidak akan mungkin melakukannya malam ini.
Adik Wulan, hampir satu bulan sudah kita meninggalkan padepokan.
Agaknya eyang resi sudah hampir siap rencananya. Yang
direncanakannya dulu pada kita.”
“Eeh, rencana apa Kakang?”
“Ah, sebentar… pendeta itu pergi dari sana. Kita ikuti. Aku
ingin tahu, apakah dia masih punya kawan atau kelompok. Ayo…”
“Cepat adik Wulan, langkah pendeta itu benar-benar cepat.”
“Kakang, dia menuju ke gubuk kecil itu. Bagaimana kita
mendekat ke sana?”
“Jangan adik Wulan, di tempat yang sunyi ini gerak dan nafas
kita pasti mudah terdengar oleh pendeta itu.”
“Hmm jika demikian, kita coba dengan Empat Arah Pembeda
Gerak. Kita harus tahu dengan pasti apakah ada orang lain di gubuk
itu.”
216 Api Berkobar di Karang Sedana
“Baiklah. Mari…”
“Kakang, agaknya tak ada seorang pun disekitarnya. Pendeta
itu hanya seorang diri, kakang. Kakang, aku ingin sekali berkenalan
dengan orang itu.”
“Jangan adik Wulan. Jika orang ini mempunyai kelompok,
aku ingin mengetahuinya secara tuntas.”
“Huh, aku akan keluar menjumpainya. Aku akan bertanya
pada orang itu tentang sesuatu yang tak ada hubungannya dengan kitab
itu, Kakang. Dan aku akan berusaha menyembunyikan ciri-ciri
perguruan kita.”
“Adik Wulan, tapi pendeta itu adalah orang yang amat
sakti…”
“Aah, percayalah Kakang. Mereka tidak akan mengetahui
siapa aku.”
“Yah,… pergilah sana. Aku menunggu di sini.”
“Terima kasih, Kakang. Aku akan pergi…”
Anting Wulan bergegas menuju gubuk kecil dimana Pendeta
tinggi besar tadi masuk. Dia lalu mengetuk pintunya seraya berseru-
seru.
“Kakang! Kakang Uday, apakah Kakang di dalam?”
“Hey, siapakah kau anak manis? Mengapa kau malam-malam
berkeliaran sampai ke tempat seperti ini?”
“Eeh, saya… saya sedang mencari suami saya. Saya adalah
penduduk desa di ujung sana itu, Tuan.”
217 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ah? Mencari suamimu sampai ke sini? Hahaha, berterus
teranglah anak manis. Aku mencurigaimu!”
Pendeta tinggi besar itu cepat menyergap kedua lengan Anting
Wulan dan menguncinya ke arah atas.
“Aah, lepaskan! Lepaskan saya.”
Gadis manis dan cerdik murid padepokan Goa Larang itu sudah
menduga akan datangnya serangan si pendeta tinggi besar yang
bertujuan membongkar kebohongannya. Akan tetapi Anting Wulan
segera mengendorkan seluruh syaraf-syaraf kekuatannya yang berisi
cadangan tenaga dalamnya. Oleh karena itu Anting merasakan cekalan
tangan pendeta itu.
“Aduh, aduh… Apakah salah saya? Apakah salah saya?
Lepaskan saya, saya tidak bersalah. Lepaskan… Lepaskan. Lepaskans
saya.”
Hm, ternyata dia benar-benar seekor kelinci yang tersasar
mencari suaminya, pikir pendeta tinggi itu mulai ragu atas
kecurigaannya tadi.
“Pergilah sana, jangan ganggu aku.”
“Tapi… tapi apakah benar Tuan tidak melihat suami saya?”
tanya Anting Wulan yang masih berusaha agar dapat tetap di tempat
itu dan meneliti keadaaannya.
“Aah, apa suamimu itu kurang waras, hah? Sampai-sampai
kau paksa dia tinggal di rumah?”
“Iya, benar Tuan…”
218 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hahaha, jika begitu kenapa kau harus susah dan repot
merawatnya, ha? Tinggalkan saja laki-laki seperti itu, hahaha. Kau
dapat mencari ganti laki-laki lainnya.”
“Oh, tidak mungkin tuan Pendeta. Saya begitu mencintainya.
Saya tidak mungkin meninggalkannya. Dia ayah dari satu-satunya
anak saya. Tuan,.. Tuan Pendeta apakah Tuan dapat menolong
menyembuhkannya? Jika Tuan dapat menolongnya, saya akan
mencarinya dan besok atau lusa, saya akan menyerahkan suami saya
itu pada Tuan.”
“Aah, aku tidak mempunyai banyak waktu, anak manis.
Besok sore mungkin aku sudah tidak berada di sini. Malam ini aku
sedang menunggu guruku.”
“Guru…? Guru Tuanku? Ah, tentu… tentu dia pandai
menyembuhkan orang seperti suamiku.”
“Sudahlah! Sudah cukup aku melayanimu, anak manis. Kau
lihat, aku sudah bosan dengan kehadiranmu. Ayo pergi !”
“Oh… oh, iya Tuan.”
Anting Wulan segera berlalu dari gubuk itu dengan langkah
yang dibuat seperti terseok-seok. Tak lama kemudian dia berbelok ke
gerumbul tempat Saka Palwaguna berjaga-jaga di sana.
“Wulan, kau benar-benar membuatku cemas ketika pendeta
itu mencengkram tanganmu.”
“Iya Kakang. Aku mengetahui dari pendeta itu, bahwa saat ini
dia sedang menunggu kedatangan gurunya.”
219 Api Berkobar di Karang Sedana
“Iya. Aku sudah mendengar semuanya, Wulan. Aku melihat
sambil mengeterapkan aji Empat Arah Pembeda Gerak. Akan tetapi
sayang sekali, kau tidak berhasil mengorek keterangan tentang siapa
dia dan dari perguruan mana asalnya.”
“Aku tak dapat memaksanya, Kakang. Dia sudah terlanjur
kesan dan tak tahan dengan kehadiranku. Akan tetapi aku
mendapatkan sesuatu yang dapat melacak asal usul dari pendeta itu,
Kakang.”
“Ooh adik Wulan, apa itu ?” seru Saka kagum.
“Hmm, aku melihat di lengannya ada sebuah tanda yang
mungkin merupakan ciri perguruannya.”
“Gambar apa itu, Wulan?”
“Gambar seekor kelelawar yang digurat pada kulit lengannya,
Kakang.”
“Hm, kelelawar? Ya rasanya eyang Resi pun tidak pernah
bercerita tentang tanda-tanda itu, Wulan.”
“Kakang, kita harus segera tiba di padepokan…”
“Oh, iya. Kau benar Wulan. Aku khawatir kesibukan eyang
Resi esok hari akan dimanfaatkan anak bejat itu.”
“Akan kuhajar anak bejat itu!”
“Jangan Anting Wulan, kau tidak boleh serampangan dan
semberono. Made Ludira adalah saudara seperguruan kita. Kita tidak
dapat menangkapnya dan menuduhnya begitu saja.”
“Akan tetapi Kakang, jelas-jelas anak itu sudah melakukan
pencurian kitab Kincir Metu di ruang kitab padepokan!”
220 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kita bisa dituduh memfitnah oleh saudara-saudara di
padepokan.”
“Kau yakin, eyang Resi dapat mempercayainya?”
“Hmm iya. Kau benar Wulan. Akan tetapi bukankah akan
lebih baik jika kita berhasil menangkap basah anak itu? Dengan
demikian seluruh padepokan tidak ada yang memiliki kesan bahwa
kita mengada-ada ataupun memfitnah.”
“Hmm, yah. Baiklah. Baiklah, Kakang.”
“Nah, jika demikian ayo kita segera kembali ke Sumur Opat.
Kakang Seta dan yang lainnya tentu bingung dengan kepergian kita
yang cukup lama ini. Ayo, Wulan.”
Kedua remaja yang telah berhasil menyelidiki gerak-gerik dari Made
Ludira akhirnya kembali ke Sumur Opat menemui rombongan
mereka. Mereka berniat untuk segera pergi mendahului rombongan
mereka ke padepokan, setelah membicarakannya dengan raden Seta
Keling, kakangnya.
“Hm, hal ini tidak bisa dibiarkan. Benar-benar gila anak itu.
Adik Saka, apakah kau dapat menerka gerakan pendeta itu, ketika
memberi hajaran pada Made Ludira?”
“Tidak, kakang Seta. Gerak yang dilakukan orang itu hanya
gerakan lumrah, akan tetapi berisi kekuatan yang hebat. Menghadapi
Made yang jauh tingkatannya, melihat sedikit pun tidak mengeluarkan
gerak maupun jurus-jurus perguruannya.”
221 Api Berkobar di Karang Sedana
“Mudah-mudahan saja eyang Resi mengetahui ciri yang
kulihat di lengannya.”
“Kukira gambar itu hanyalah sekedar guratan biasa yang
sengaja dibuat, adik Wulan. Sebab selama ini kita tak pernah tahu
tentang tanda-tanda seperti itu.”
“Iya. Eyang Resi memang tidak pernah bercerita tentang ciri-
ciri perguruan yang seperti itu.”
“Ya, jadi bagaimana? Bukankah sebaiknya saya mendahului
kakang ke padepokan itu, bersama adik Anting Wulan?”
“Ya, mungkin itu satu-satunya jalan terbaik untuk
menyelamatkan kitab itu, adik Saka. Akan tetapi, kau tidak perlu
berangkat saat itu juga. Kau dapat beristirahat beberapa saat. Nanti
ketika fajar mulai menyingsing, barulah kau berangkat. Dengan
Kidang Mamprung kau akan dapat tiba di sana sebelum hari menjadi
terang betul dan eyang Resi belum meninggalkan kamar semadinya.”
“Ah, baik kakang. Ayo, adik Wulan, kita beristirahat.”
Semuanya tertidur dengan nyenyaknya, akan tetapi keempat remaja
dari Goa Larang yang kini dilibat oleh masalah baru yang secara
langsung melibat perguruannya tidak dapat beristirahat dengan
tenang. Mereka hanya duduk santai sambil menunggu waktu dan
ketika langit di sudut timur mulai memancarkan fajar merah, Raden
Seta Keling dan Dampu Awuk melepaskan kepergian kedua adik
seperguruannya untuk lebih dulu ke Goa Larang.
222 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ayo kakang, percepat lari kita. Aku khawatir karena
terlambat dalam perjalanan ini, kita akan menyesal selama-lamanya.”
“Jangan khawatir Adik Wulan. Dengan Kidang Mamprung
kita akan tiba sebelum eyang Resi keluar dari kamar semadinya. Akan
tetapi, baiklah kita percepat perjalanan ini tidak ada salahnya jika kita
lebih cepat lagi.”
Padepokan Goa Larang adalah sebuah tempat di mana para anggota
dan murid-muridnya baik lahir maupun batin mereka telah dinyatakan
sebagai anggota atau murid-murid dari Padepokan tersebut adalah
yang telah menyatakan lulus dalam ujian saringan. Padepokan
mempunyai suatu keistimewaan yang sangat khusus yang tidak
dimiliki oleh padepokan-padepokan lain di tanah Jawa. Hampir setiap
tahun padepokan tersebut dikunjungi oleh Mahaprabu Sanna.
Maharaja besar di tanah Pasundan karena pimpinan nya adalah Eyang
Resi Wanayasa yang merupakan paman dari mahaprabhu Sanna.
“Oh, Kakang. Lihatlah itu padepokan kita.”
“Ya…”
“Rindu sekali Aku rasanya pada alam ini… Lihatlah
Kakang,… sungai kecil yang mengitari pagar padepokan kita. Dan
lihat, tanaman sayur mayur di sepanjang pagar dan sekitarnya, masih
dapat tumbuh walaupun kemarau melanda sampai ke tempat ini.”
“Iya Adik Anting. Semua itu dikarenakan karunia dewata,
yang masih menghidupi Sembilan Mata Air Dewa kita. Ayo adik
Wulan, kita temui Eyang Resi di kamarnya.”
223 Api Berkobar di Karang Sedana
“Mari Kakang…”
“Eyang,… eyang… kami datang Eyang.”
“Ooh, masuklah anak-anakku.”
“Sembah dan rindu kami haturkan pada Eyang.”
“Ya ya ya, demikian juga dengan aku Wulan. Perjalanan
kalian yang cukup lama itu, membuat kami semua di padepokan
merasa rindu pada kalian. Tapi dimanakah kedua kakangmu yang lain,
Wulan?”
“Eh, anu guru… mereka…”
“Mereka masih di sekitar desa Sumur Opat bersama dengan
beberapa orang yang akan menuju kemari. Kami berdua yang sudah
rindu dan tak tahan lagi mendahului mereka yang berkuda.”
“Hmm ya. Siapakah orang-orang yang bersama dengan kedua
saudaramu di Sumur Opat?”
“Diantaranya adalah Tuanku Rara Angken dan Raden
Purbaya yang berhasil kami temukan, Eyang.”
“Oh, ya ya ya. Rara Angken,… permaisuri dari Aji Konda?
Eh, apa yang sebenarnya terjadi di Karang Sedana? Oh Sampar Angin
juga ikut mencampuri persoalan muridnya?”
“Benar Guru, kami berempat sangat kerepotan
menghadapinya, Guru.”
“Iya, tapi bukankah kau berhasil menghadapinya dengan
Barisan Empat Bintang?”
“Benar, Eyang. Tapi bagaimana Eyang bisa tahu?”
224 Api Berkobar di Karang Sedana
“Yah, karena satu-satunya kepandaian kalian yang dapat
menghadapi tokoh setingkat denganku adalah dengan Barisan Empat
Kincir itu.”
“Eyang sebenarnya seperti apakah tokoh pengemis Parang
Pungkur itu?”
“Oh? Jadi kau bertemu dengan Ki… maksudku si gila
Pungkur itu?”
“Iya. Mungkin jika tidak ada pertolongan dari Kakek itu, kami
akan kerepotan menghadapi Ki Sampar Angin yang kembali mengejar
dan bergabung dengan tokoh-tokoh dari istana Karang Sedana.”
“Iya Eyang. Sebenarnya perjalanan kami cukup kami
rahasiakan. Begitu pula dengan penyerangan mereka. Tapi kakek itu
sudah mengetahui lebih dahulu.”
“Ya tentu saja dia akan dapat mengetahuinya. Dia adalah raja
pengemis di seluruh Jawa dan Pasundan. Murid-muridnya berkeliaran
diantara pengemis sungguhan di setiap wilayah. Jaringannya sangat
luas dan rapi, jadi kau tidak perlu heran jika dia mampu mengetahui
setiap kejadian besar di tanah Jawa dan Pasundan. Heeh, tapi kenapa
dia berkeliaran sampai kemari. Si Tua gila itu biasanya berada di
sekitar Mataram, di Jawa.”
“Oh ya? Ah, mungkin sebentar lagi pertanyaan Eyang itu
sebentar lagi akan terjawab. Seorang muridnya ikut bersama
rombongan kami. Dan menurutnya dia hendak menyampaikan surat
pada Eyang.”
225 Api Berkobar di Karang Sedana
“Baiklah, kita tunggu saja anak itu. Mudah-mudahan si Tua
gila itu tidak datang pada upacara sembahyang nanti. Aku tentu akan
merasa kewalahan dengan ulahnya yang pasti merepotkanku.”
“Eyang, apakah orang itu dapat digolongkan pada kelompok
pendekar golongan putih?”
“Oh, tentu saja Wulan. Dia adalah seorang pendekar yang
baik, akan tetapi kelakukannya yang agak brutal dan gemar menggoda
orang dapat merepotkan aku. Pungkur… Pungkur… dia itu sangat
baik. Baik sekali padaku.”
“Dan juga pada setiap orang?”
“Ya, juga pada setiap orang. Memangnya kenapa? Ada apa
Wulan, hingga kau berkata demikian?”
“Mereka membantu kami saat itu, cuma karena hendak
membalas budi kebaikan Raden Purbaya yang telah menolongnya
memberi makan dan tidak merendahkannya yang saat itu sedang
mengemis di tempat makan kami.”
“Ya ya ya, memang demikianlah tabiat Pungkur, si Tua gila
itu. Ah, kebetulan sekali kalian sudah selesai dengan tugas itu. Aku
sangat memerlukan bantuan kalian nanti siang pada upacara
sembahyang untuk memohon hujan.”
“Apa yang dapat kami lakukan untuk membantu Eyang
nanti?”
“Begini, begini…” Resi Wanayasa kembali terbatuk. “Nanti,
mungkin pamanmu Jatis akan memberikan petunjuk. Aku kira yang
harus kalian lakukan adalah melayani keperluan tamu-tamu kita yang
226 Api Berkobar di Karang Sedana
sudah datang sejak kemaren sore. Dan yang mungkin akan
berdatangan sebentar lagi. Nah, hari masih cukup pagi. Kalian dapat
beristirahat dulu sejenak.”
“Baik, Eyang. Kami pamit dulu ke belakang.”
“Kakang, kita akan mencari adik Made Ludira?” Anting
Wulan mengingatkan Raden Saka Palwaguna.
“Ya. Kita akan mencarinya, dan kemudian memperhatikan
gerak-geriknya.”
Baru saja kedua remaja hendak menuju ke belakang padepokannya,
dari arah samping kanan ruang utama terdengar teriakan beberapa
orang anggota padepokan.
“Paman Jatis, tolonglah paman Jatis. Di ruang tamu telah
terjadi sesuatu.”
“Ada apa? Ada apa? Pagi-pagi kau sudah berteriak seperti
orang gila.”
“Celaka paman, di kamar tamu kita ditemukan ada yang
meninggal.”
“Hah? Ada yang meninggal? Siapa yang meninggal?”
“Seseorang pendeta tamu kita…”
“Celaka, bagaimana itu bisa terjadi?”
“Saya tidak mengerti, paman Jatis. Tiba-tiba saja di ruang
tamu terjadi kegemparan ketika mereka menemukan seorang yang
227 Api Berkobar di Karang Sedana
meninggal dengan tubuhnya dalam keadaan menghitam, paman.
Agaknya orang itu mati karena keracunan.”
“Kau beritahu Eyang Resi ya, aku segera ke sana.”
“Adik Wulan, ayo kita lihat ke sana.”
“Maaf, maaf tuan-tuan Pendeta. Biar saya melihat
keadaaannya.” berkata Ki Jatis dengan sopan untuk menyibak
kerumunan para pendeta yang mengelilingi sesosok tubuh yang
menghitam dengan mulut berbuih.
“Celaka Wulan! Tentu kejadian ini berkaitan dengan Made
Ludira.”
“Maksud Kakang?”
“Ah, Eyang Resi pasti sedang menuju kemari. Meninggalkan
kamarnya dan…”
“Ayo kakang, kita lihat ke sana.”
“Ayo.”
Kedua remaja dengan cemas segera menuju ke ruang Gurunya,
dimana tadi mereka bertemu. Resi Wanayasa yang berpapasan dengan
kedua muridnya itu tidak lagi sempat memperhatikan kecemasan yang
membayang di wajah kedua muridnya. Dan ketika keduanya tidak tak
jauh dari ruang gurunya, mereka segera memperlambat gerak. Dengan
hati-hati mengendap-endap mendekati ruang Gurunya.
228 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hati-hati adik Wulan. Jangan sampai … Aku yakin ini semua
adalah akibat ulahnya. Pasti Made akan mempergunakan waktu
secepatnya pada saat semua dalam keadaan panik dan cemas seperti
ini.”
“Lihat, itu dia orangnya Kakang!”
“Licik sekali orang ini, untung kita segera dapat... Lihat
kakang, Made mendekati kamar Eyang Resi.”
“Sabar adik Wulan, kita tunggu. Iya, kita tunggu sebentar
hingga masuk dan mengambil kitab itu.”
Made Ludira yang telah merasa aman dan yakin bahwa tidak ada
seorang pun yang melihat dan berada di sekitarnya segera membuka
dan masuk ke dalam ruang kamar resi Wanayasa, gurunya.
“Pasti kitab itu diletakkan di dalam peti-peti ini. Aku akan
membukanya.”
“Ini ada beberapa buah kitab, menurut pendeta itu pasti inilah
kitab yang dimaksud. Hmm, eh kepalang basah sebaiknya kuambil
saja semuanya. Empat buah kitab ini. Nah, aku harus segera
meninggalkan padepokan ini untuk menukarkan kitab ini dan segera
pergi jauh dari sini. Hmm, agaknya tak ada seorangpun di sekitar sini,
sebagaimana rencanaku semula, mereka semua berada di kamar tamu
sial itu.”
229 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ayo kakang, anak itu sudah membawa keluar kitab-kitab itu
dari kamar Eyang Resi…”
“Baiklah, mari adik Wulan!”
“Tunggu adik Made!”
“Oh! Kakang Saka dan adik Wulan. Rupanya kalian sudah
kembali ke padepokan.”
“Baru saja adik Made. Apakah adik Made tidak mengetahui
baru saja ada pembunuhan di kamar tamu kita?”
“Eh, pembunuhan?”
“Iya.”
“Siapakah yang terbunuh kakang Saka?”
“Salah seorang pendeta, tamu kita. Ayolah kita melihat ke
sana, adik Made.”
“Lebih baik, kalian terlebih dahulu saja. Nanti aku menyusul
setelah mengambil peralatan persiapan upacara di belakang.”
“Adik Made… kenapa adik Made tidak tertarik?” Raden Saka
yang mulai kehabisan akal kemudian berseru pada beberapa orang,
“Paman Sanip, Paman Calung, kemarilah sebentar!”
Dalam hal ini diperlukan lebih banyak orang lagi untuk menjadi saksi
perbuatan Made Ludira. Melihat kedua orang yang dipanggil oleh
raden Saka Palwaguna itu mendekat ke arah mereka, maka Made
230 Api Berkobar di Karang Sedana
Ludira tampak berusaha segera menjauh. Anting Wulan yang melihat
gerak-geriknya segera bergerak cepat menghadang dan membentak.
“Hmm, mau kemana kau maling? Ayo, keluarkan kitab-kitab
eyang Resi !”
“He? Aku tidak mempunyai urusan denganmu! Minggir!”
“Apakah kau ingin merasakan pukulan-pukulanku, Made?”
“Sabarlah Wulan, sabar. Kalian adalah saudara-saudara di
perguruan ini. Jika kalian mempunyai persoalan, selesaikanlah secara
baik-baik.”
“Minggir kau Wulan, biarkan aku lewat.”
“Wulan, sudahlah. Jangan kau ribut dalam suasana seperti
ini.”
“Kupecahkan dadamu!” Made Ludira memaki.
“Berhenti !” tiba-tiba terdengar suara Ki Jatis disela-sela
keributan itu. “Ada apa kalian ribut dalam keadaan seperti ini?”
Made Ludira kaget bukan main mendengar suara gurunya itu. Tapi
dengan cepat dia melemparkan kesalahan pada Anting Wulan yang
sedari tadi menghalang-halangi rencananya untuk segera
meninggalkan Goa Larang.
“Guru, Wulan memukulku guru. Dia menghalang-halangi
aku, yang hendak melihat kejadian di kamar tamu kita.”
Anting Wulan tertawa muak, “Manusia busuk! Kau kira, kau
dapat lepas dari tanganku?”
231 Api Berkobar di Karang Sedana
“Wulan! Kenapa kau membuat keributan?” sergah Ki Jatis
dengan kesal.
“Paman akan menyesal kalau membiarkan anak setan ini pergi
meninggalkan tempat ini. Ayo, keluarkan isi bajumu sebelum aku
yang memaksanya!”
“Made Ludira, ada apa denganmu, hm? Apa yang telah kau
lakukan?”
“Saya… saya akan jelaskan pada paman semuanya. Nanti
paman. Setelah kedua orang itu sudah tidak ada lagi.”
Ki Jatis Pulut Sarumpa adik seperguruan Resi Wanayasa. Di
perguruan Goa Larang, dia dikenal dengan sebutan Mbah Jatis. Dia
adalah guru langsung dari Made Ludira. Maka tidak heran jika sang
guru berkeinginan untuk melindungi muridnya.
Ketika dia merasa bahwa dalam persoalan ini muridnya ingin
berbicara berdua saja, maka segera dia memerintahkan Saka
Palwaguna dan Anting Wulan untuk meninggalkan tempat itu.
“Hmm? Ah… Saka dan kau Wulan, kalian pergilah dari sini.
Tinggalkan tempat ini.”
“Ah, baiklah. Saya akan segera meninggalkan tempat ini.”
“Kau tidak akan kulepaskan, Made! Berhati-hatilah”
Dan kini masih tersisa dua orang lainnya di situ…
232 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ah, kau juga tinggalkan tempat ini adik Calung…”
“Baiklah kakang Jatis.”
Ki Calung menggamit Ki Sanip berlalu dari tempat itu.
“Nah, katakanlah cepat padaku, Made. Apakah kau sudah
membuat suatu kesalahan? Janganlah membuat malu aku, Made. Kau
adalah salah satu murid asuhanku.”
“Iya paman. Kedua anak itu mencurigai aku, paman.
Dikiranya aku telah melakukan pencurian.”
“Tapi apa yang kau sembunyikan di balik bajumu itu?”
“Ah, aku berhasil menemukan sebuah benda berharga dan
mereka berdua berniat hendak merampasnya, paman. Inilah lihat…”
Dengan tenangnya, Made Ludira merogoh saku dalamnya untuk
mengambil dan menunjukkan sesuatu yang berharga. Mbah Jatis
mendekat. Dia penasaran ingin mengetahui sesuatu yang menjadi
bahan pertengkaran antara Made Ludira, Anting Wulan dan Saka
Palwaguna. Akan tetapi ketika tangannya dikeluarkan, segera
diayunkan ke wajah mbah Jatis yang merupakan gurunya sendiri.
Mbah Jatis tidak menyangka akan perbuatan Ludira seketika menjadi
gelagapan. Dia merasakan pandangan dan tubuhnya seakan-akan
menjadi kehilangan bobot.
233 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kau gila, Made!”
“Maaf, guru! Selamat tinggal.”
“Tunggu! Mau lari kemana kau bocah setan!”
“Kakang Saka, kau serahkan bocah bejat ini padaku dan lihat
keadaan paman Jatis.”
“Minggir!”
“Agaknya tidak perlu lagi kau diberi hati anjing bejat!”
Anting Wulan segera melancarkan serangan, dan Made Ludira segera
terlempar. “Ayo bangun manusia busuk, manusia bejat. Bangun!”
“Hay, Tahan anakku Wulan! Apa yang terjadi sampai kau
menurunkan tangan sekejam itu pada saudaramu sendiri?”
“Oh, Eyang… Made Ludira telah membuat suatu kesalahan
besar yang tidak mungkin seisi padepokan ini bisa memaafkannya.”
“Hmm, apa yang telah dilakukan anak itu?”
“Itu… eyang dapat melihatnya sendiri. Apa yang terjadi
dengan paman Jatis. Dan apa yang kini disembunyikan oleh bajingan
ini di balik bajunya.”
“Hmm, Made Ludira… itu namamu bukan?”
“Benar, Eyang. Saya Made Ludira.”
“Apa yang sudah kau lakukan, anakku?”
“Saya… menemukan ini, Eyang.”
Made Ludira yang sudah merasa semakin terpojok dan putus asa tidak
melihat ada jalan lagi untuk menyelamatkan diri. Maka pemuda itu
234 Api Berkobar di Karang Sedana
segera memasukkan tangannya ke balik bajunya, mengambil bubuk
racun yang didapatnya dari pendeta tinggi besar di desa Sumur Opat.
Akan tetapi serangan yang kali ini dilakukan pada resi Wanayasa yang
merupakan mahaguru dari padepokan Goa Larang yang baru saja
berhasil menguasai Aji Kincir Metu tingkat ke sembilan.
“Awas Eyang, bubuk beracun!” Anting Wulan berteriak
memperingatkan.
“Hmm, bubuk beracun? Berbahaya sekali bila kukibaskan,
banyak anak-anak murid disekitar arena ini.”
Mahaguru dari padepokan Goa Larang itu kemudian menghisap bubuk
yang bertebaran disekitarnya. Bubuk beracun itu pun tampak seperti
berlomba masuk ke dalam mulut dari resi Wanayasa. Dan segera
setelah udara disekitarnya menjadi bersih, resi yang arif itu pun segera
melenting melompat menjauhi murid-muridnya, dan mengeluarkan
bubuk yang dihisapnya tadi.
Sementara itu, Anting Wulan segera melancarkan serangannya pada
Made Ludira yang segera saja terjengkang roboh dengan keluhan
pendek, lalu pingsan.
Dengan senyum penuh kemenangan, Anting Wulan berkata pada Saka
Palwaguna yang sedari tadi tidak banyak beraksi apa-apa, “Kakang
Saka, bantu aku mengambil kitab eyang guru.”
235 Api Berkobar di Karang Sedana
“Eh eh, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan anak itu,
Wulan?”
“Sebentarlah Eyang. Eyang akan segera tahu. Kakang, bawa
kemari kitab itu.”
“Ini Eyang,… kitab-kitab yang dicuri Made.”
“Oh, Kincir Metu dan… oh, kitab-kitab perguruan Goa
Larang. Oh iya ya… jadi anak itu telah memasuki kamarku dan
mengambil kitab-kitab ini.”
“Mana anak kurang ajar itu?!”
“Hey, Jatis! Kemarilah kau!”
“Ah, kakang Wanayasa. Hmm, anak itu… anak itu telah
berbuat kegilaan padaku, Kakang.”
“Ya, anak itu telah berbuat kesalahan pada seluruh isi
padepokan ini.”
“Pada seluruh isi padepokan? Apa maksud Kakang?”
“Made Ludira mencoba untuk membawa keluar kitab-kitab
ini. Dia telah berani memasuki kamarku dan mengambil kitab-kitab
perguruan kita.”
“Ah? Jadi… jadi anak itu benar-benar pencuri busuk?!”
“Bahkan, dia adalah pembunuh licik!”
“Hmm, apa maksudmu, Wulan?”
“Untuk berhasil masuk ke kamar Eyang, dia memancing
semua isi padepokan ini, termasuk Eyang untuk menjauhi dan
meninggalkan kamar ini.”
236 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ah, kau jangan menuduh sembarangan, Wulan. Anak itu
memang telah melakukan kesalahan besar. Mencuri kitab perguruan
kita… tapi, tapi kau tidak dapat menjatuhkan tuduhan seenaknya.
Belum tentu… belum tentu anak itu yang melakukan pembunuhan
pada tamu kita.”
“Paman, kedatangan saya yang mendahului kakang Seta dan
kakang Awuk adalah guna membongkar kebusukan anak itu.”
“Yah, marilah Jatis dan kalian berdua ikut ke kamar ku. Kita
bicarakan semua itu di dalam sana.”
“Hmm, baik kakang. Saya akan menyusul nanti, setelah
sedikit memberikan pengarahan penyelenggaraan mayat itu.”
“Masuk, dan duduklah di sini Jatis. Kita akan segera
mendengarkan cerita dari kedua anak kita ini.” Kemudian resi
Wanayasa mengarahkan pandangannya pada Saka Palwaguna, “Eh
ayolah Saka. Berceritalah. Bukankah kau juga mengetahui semua
masalah ini.?”
“Benar Eyang. Sesungguhnya saya mengetahui niat buruk
dari Made Ludira itu. Akan tetapi saya tidak dapat datang dan
menuduhnya begitu saja. Saya bermaksud akan menangkap basah
Made Ludira. Malam itu, ketika saya baru saja sampai di desa Sumur
Opat, saya melihat Made berjalan sambil memeluk bungkusan kain
kecil. Setelah mendapat ijin dari kakang Seta Keling, kami berdua
kemudian mengikuti Made yang mencurigakan itu Eyang.”
237 Api Berkobar di Karang Sedana
Kemudian Saka Palwaguna menceritakan semua pengalamannya
ketika mengintai perbuatan Made di desa Sumur Opat dan kemudian
mengintai pendeta tinggi besar yang ditemui Anting Wulan sampai
pada guratan gambar kelelawar di lengan pendeta itu.
“Hmm, jika kau memang mengetahui rencana dari anak busuk
itu, mengapa kau tidak menceritakannya pada kami. Sehingga terjadi
kejadian yang fatal seperti ini? Kakang dengan demikian kedua anak
ini juga turut bersalah.”
“Paman Jatis!” Anting Wulan berusaha menahan keras kata-
katanya. “Jika kami datang dan menuduh atau bahkan menangkap
anak itu, tentu kami akan dipersalahkan seisi padepokan ini. Dan kami
berdua akan dianggap memfitnah.”
“Ya! Tapi dengan caramu itu jadi berakibat seperti ini. Kau
dapat melaporkan perbuatan anak itu padaku, dan aku sebagai
pengasuhnya yang langsung akan mempertimbang kan hal itu.”
“Huh, mana mungkin hal itu dapat terjadi, paman Jatis?! Saya
tak dapat jika tanpa bukti. Peristiwa tadi saja sudah dapat dijadikan
contoh! Made yang sudah jelas-jelas tertangkap basah oleh saya, jelas-
jelas sudah terbukti. Saya masih tak dapat berbicara banyak. Paman
menyingkirkan saya!” Anting Wulan mendebat dengan sengit.
Mbah Jatis sudah ingin mendebat pula, tapi dia kehabisan kata-kata
dan alasan. Dia hanya bisa ber-ah-ih-uh dengan wajah berkemik-
kemik tegang.
238 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ah, sudah. Sudahlah Jatis. Sudahlah Wulan. Kita memang
tidak dapat menolak apapun yang telah digariskan oleh Dewata.
Pembunuhan itu agaknya memang sudah harus terjadi. Sekarang yang
justru menjadi masalah adalah kehadiran tokoh yang amat benar-benar
merisaukan hatiku.”
“Eyang, siapakah mereka itu?” tanya Saka.“Apakah Eyang
dapat mengetahui ciri-ciri orang itu dari gambar kelelawar yang
berada di lengannya?”
Resi Wanayasa menghela nafas.
“Saat itu kira-kira tiga puluh tahun yang lalu… Pamanmu
Jatis juga belum masuk ke perguruannya. Perguruan kami yaitu…”
“Cakra Buana!” desis mbah Jatis dengan nada penuh
kebanggaan.
“Ya, Cakra Buana…” Resi Wanayasa terdiam sejenak, “Saat
itu hiduplah seorang tokoh yang amat buas dan ganas. Tak ada seorang
pun yang dapat mengatasi kesaktiannya. Namanya tak seorang pun
yang mengetahui, begitu juga asal usulnya. Dia hadir dengan begitu
saja di tanah Jawa ini. Malang melintang dan menjatuhkan semua
tokoh sakti di tanah Jawa dan Pasundan ini. Orang itu dikenal dengan
nama si Jerangkong Hidup karena bentuk tubuhnya saat itu bisa
dikatakan lebih mirip dengan mayat daripada manusia hidup.
Tubuhnya hanyalah terdiri dari tulang yang sedikit dibungkus kulit.”
“Lalu… apa hubungannya dengan pendeta yang saya temui
itu, Eyang?”
239 Api Berkobar di Karang Sedana
“Begini Wulan, jurus Andalannya yang menjatuhkan tokoh-
tokoh sakti,… maksudku di dunia kependekaran tanah Jawa dan
Pasundan ini, adalah jurus Kelelawar Sakti. Iblis buas itu dapat
bertempur seakan-akan tidak menginjak dan menyentuh tanah. Dia
menyerang musuh-musuhnya bagaikan kelelawar sakti dari angkasa.”
“Ah, Eyang… apakah eyang menduga bahwa pendeta yang
kami jumpai adalah salah satu ahli warisnya?”
“Oh... aku… aku tidak mengharapkan begitu. Semoga saja
iblis itu menghilang tanpa mewarisi ilmu dan kebuasannya.”
“Tapi kemana iblis Jerangkong Hidup itu sekarang, Eyang?”
“Iblis itu berhasil dikalahkan oleh resi Sanatadarma, dan
diajak bersama-sama mengasingkan diri. Sejak itulah Jerangkong
Hidup yang amat menggemparkan itu tidak terdengar lagi
namanya…”
“Eeh, apakah saat itu Eyang tidak dapat mengalahkan nya?”
“Haah, saat itu guruku pun yang sudah menguasai Kincir
Metu sampai ke tingkat sembilan belum dapat mengalahkannya.
Bahkan jika resi Sanatadarma tidak menolongnya, guruku pasti akan
mati di tangan iblis itu. Oleh karena itu aku mendirikan padepokan ini
bersama-sama dengan Jatis pamanmu dengan maksud untuk dapat
berkonsentrasi menguasai Kincir Metu hingga ke tingkatan terakhir,
yaitu tingkat ke sepuluh. Aku yakin jika kita berhasil mempelajari
Kincir Metu hingga ke tingkatan ke sepuluh, padepokan kita akan
semakin disegani. Dan kita pun dapat membantu mengamankan tanah
Pasundan ini dari rongrongan iblis dari manapun.”
240 Api Berkobar di Karang Sedana
“Eyang, saya dengar dari paman Jatis, eyang sudah berhasil
menguasai tingkat ke sembilan dari Kincir Metu?”
“Ya ya, itu memang benar. Aku yang bodoh ini baru berhasil
membuka tabir rahasia jurus perguruanku sampai tingkat yang ke
sembilan.”
“Ooh, bagus sekali Eyang. Dengan jurus yang sekarang pun,
Goa Larang sudah disegani di dunia kependekaran Jawa dan
Pasundan. Apalagi Eyang telah meningkat hingga ke tingkat ke
sembilan.”
“Yah, untuk itulah aku ingin agar kau segera memiliki yang
kumiliki ini. Umurku sudah lanjut, mungkin tidak lama lagi aku akan
meninggalkan dunia ini.”
“Aah, eyang belumlah terlalu tua. Bukankah eyang pernah
cerita, umur dari guru eyang, Mamang Kuraya lebih dari seratus
tahun? Dibanding dengan guru eyang Mamang Kuraya, eyang masih
jauh lebih muda.”
“Hmm, hahaha iya... iya... itu memang benar, Wulan. Guruku
Mamang Kuraya adalah seorang yang sangat arif dan bijaksana. Oleh
karena itu dewata memberkahi umur panjang padanya.”
“Hmm, tetapi...”
“Ah, sudahlah Anting. Aku harus kembali menjenguk jenasah
tamuku. Dan mempersiapkan penyelenggaraan upacara nanti siang.
Kau belum lagi beristirahat sejak kedatanganmu tadi pagi. Sudahlah,
beristirahatlah dahulu.”
241 Api Berkobar di Karang Sedana
Demikianlah akhirnya, setelah merasa tugasnya selesai kedua remaja
itu berpisah masing-masing masuk ke biliknya. Sedangkan Mbah Jatis
yang merasa terpukul dengan perbuatan muridnya Made Ludira
menjadi berang dan menemui Made di ruang khusus yang dijaga oleh
beberapa orang saudaranya.
“Anak bejat ! Merangkaklah kau ke dekatku sini. Ayo! Ayo
merangkak! Hmm kurang ajar, anak tidak tahu diri, rasakan ini.
Rasakan ini.”
“Ayo coba kau jelaskan, siapa pendeta kawanmu itu?!”
“Pendeta? Eeh,... Pendeta siapa yang guru maksudkan?”
“Aah, pasti kau berlagak bodoh lagi. Cepat katakan, siapa
pendeta yang kau temui di desa Sumur Opat? Yang akan mengupahmu
dengan butir-batir batu berharga itu?”
“Oh tidak, dari mana guru mengetahui semua itu?”
“Kedua anak itu melihatmu sedang mengadakan pertemuan
dengan pendeta itu. Ayo! Katakan siapa orang itu?”
“Saya,... saya... saya tidak tahu banyak tentang orang itu,
Guru.Saya bertemu dengannya ketika saya sedang...”
“Ah sedang main gila dengan wanita? Sedang berjudi di
pinggiran desa Sungai Opat?!”
“Be...benar guru. Am...ampunkan saya.”
“Perbuatanmu melakukan perjudian dan main gila dengan
wanita masih ada hukuman dan masa pertobatannya. Akan tetapi
untuk pencurian dan pembunuhan tak ada peraturan dalam perguruan
kita, karena selama ini Eyang Resi tidak pernah membayangkan akan
242 Api Berkobar di Karang Sedana
mempunyai murid dan anggota yang dapat melakukan perbuatan
murtad dan biadab, seperti yang kau lakukan itu. Untuk itu aku
serahkan masalahmu ini pada kakang Wanayasa.”
“Ampunkan saya, Guru. Ampunkan. Saat itu saya serasa tidak
mempunyai pilihan lain, Guru. Ampunkan saya Guru, ampunkan.”
“Hmm, dimana orang itu sekarang berada? Pendeta yang
menyuruhmu melakukan perbuatan biadab itu?”
“Dia, dia berada disekitar sungai kering, Guru. Tidak jauh dari
pinggiran desa Sumur Opat.”
“Hmm, akan kuberi pelajaran pendeta biadab itu, dan kubawa
menghadap kakang Wanayasa.”
“Hati-hati Guru, pendeta itu mempunyai kesaktian yang
tinggi. Pukulan-pukulan yang kulancarkan dapat diterimanya dengan
dada terbuka.”
“Tentu saja, jika itu pukulan dari kau yang bodoh!” ketus
Mbah Jatis karena merasa direndahkan oleh muridnya sendiri, lalu
sesumbarnya “Akan kulihat apakah dia dan juga gurunya akan mampu
menahan amukanku, Jatis Sarumpa dari Goa Larang!”
Sekelompok pendeta atas undangan dari resi Wanayasa berkumpul
mengadakan upacara memohon datangnya hujan guna mengatasi
kemarau yang berkepanjangan. Mereka berkumpul mengitari
sembilan mata air dewa yang menjadi tempat suci mereka. Setelah
selesai dengan kidung-kidung pujian, kemudian mereka satu persatu
menciduk air yang mulai berkurang kederasaanya dari sembilan mata
243 Api Berkobar di Karang Sedana
air dewa. Dan kemudian mereka berkeliling sambil memercikkan air
itu ke udara dan ketanah-tanah kering di sekitar mereka.
“Adik Wulan,...”
“Hmm?”
“Kenapa kakang Seta dan adik Awuk belum juga tiba dengan
rombongannya? Apakah mungkin telah terjadi sesuatu dengannya?”
“Aku kira, sebentar lagi juga mereka datang Kakang. Kita
tunggu saja.” Anting Wulan menjawab den
“Hmm, iya. Kita tunggu saja. Mudah-mudahan tidak terjadi
sesuatu apapun dengan rombongan itu.”
“Hey, lihat itu. Ada seorang penunggang kuda yang menuju
ke padepokan kita. Ayo kakang, kita tunggu di pintu pagar
padepokan.”
“Maaf sahabat, siapakah Anda? Dan apakah tujuan Anda
mengunjungi padepokan kami?”
Penunggang kuda tersebut sesaat terhenyak, akan tetapi ketika dia
menyadari di mana dia berada, segera saja dia melompat turun dari
kudanya.
“Kenapa padepokan ini kelihatan tidak seperti biasa? Sepi
sekali. Aku tidak banyak melihat murid dan penghuni padepokan ini
hilir mudik.”
“Kami sedang mengadakan upacara sembahyang di belakang
padepokan kami. Ada yang bisa kami bantu, kawan?”
244 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm, jika upacara itu sudah selesai aku ingin bertemu
dengan sang Resi. Aku datang membawa pesan dari sang mahaprabu
Sanna dari Galuh...”
“Kalau begitu, mari... silakan masuk dan menunggu sebentar
di dalam.”
“Hmm, baiklah...” sahut orang itu, lalu segera naik ke
kudanya dan menghelanya masuk ke padepokan. Kuda berjalan
lamban.
Sementara itu setelah selesai dengan upacara yang memohon
datangnya hujan, Resi Wanayasa segera memimpin penyelenggaraan
penguburan salah seorang pendeta tamunya.
“Kematian rekanku ini adalah akibat dari kekhilafan dan
kekurang mampuan kami untuk mendidik murid. Maka dengan ini,
aku Wanayasa menyatakan diri bertanggung jawab atas tewasnya
rekanku ini. Dan kelak aku akan datang mengunjungi biaranya
bersama dengan muridku sebagai pelaku pembunuhan ini.”
Tidak lama setelah penyelenggaraan penguburan oleh sang Resi para
undangan diminta untuk beristirahat. Dan kemudian resi Wanayasa
memanggil kedua muridnya, Saka dan Anting.
“Ada apa Eyang? Eyang memanggil saya?”
245 Api Berkobar di Karang Sedana
“Aku tidak melihat Jatis sejak upacara ini dimulai. Tahukah
kau dimana Pamanmu berada?”
“Tidak Eyang. Saya tidak melihat paman Jatis. Demikian pula
Wulan, juga tidak melihatnya.”
“Hmm, iya ya. Aneh sekali. Kemana adik Jatis? Hmm, jika
demikian kau bisa memerintah para murid dari padepokan agar
semuanya waspada. Perketat penjagaan. Aku khawatir jika kita
kedatangan tamu yang tidak diundang yang akan menyusahkan kita.”
“Ah, ya... Eyang. Hari ini kita kedatangan seorang tamu
khusus dari Galuh.”
“Dari Galuh?”
“Iya.”
“Siapakah dia?”
“Utusan dari kerajaan Galuh. Dari mahaprabu Sanna.”
“Oh iya, dari Sanna, kemenakanku. Hmm lalu dimana dia
sekarang? Suruh segera menghadapku. Dan kau Saka, laksanakan
perintahku tadi. Perketat penjagaan di sekitar padepokan.”
“Baik Eyang.” berbarengan Anting Wulan dan Saka
Palwaguna menjawab perintah guru mereka itu.
“Hamba menghaturkan sembah sujud pada Eyang Resi.”
“Bangkitlah Kisanak. Aku dengar dari kedua muridku, kau
adalah utusan dari Galuh. Dari anakku Sanna?”
“Benar Tuanku. Hamba adalah utusan sang Prabu untuk
menyampaikan pesannya.”
246 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ya ya ya, apa pesan darinya?”
“Sang Prabu memohon, agar sang Resi sudi mendidik dan
merawat raden Karmapala. Putra dari sang Prabu.”
“Maksudnya?”
“Sang Prabu hendak mengirimkan raden Karmapala untuk
belajar ilmu lahir dan batin di padepokan Eyang Resi.”
“Ah... Karmapala... Karmapala... siapakah dia itu? Adik dari
pangeran mahkota Sanjaya kah dia?”
“Raden Karmapala adalah putra dari sang Prabu dari seorang
selirnya.”
“Oh ya, baiklah. Katakan pada rajamu, aku menerima
Karmapala dengan senang hati di padepokan ini. Karmapala adalah
juga cucuku. Lalu kapan anak itu akan datang ke mari?”
“Sesegera mungkin, Tuanku. Dalam minggu-minggu ini
raden Karmapala akan berada di padepokan ini.”
“Hmm ya ya ya. Aku akan menunggu anak itu. Nah kau dapat
beristirahat beberapa hari di sini Kisanak. Baru kau berangkat kembali
ke Galuh.”
“Terima kasih Eyang Resi, akan tetapi saya harus segera
kembali ke Galuh.”
“Hmm, baiklah jika demikian sampaikanlah salamku pada
Tuanmu.”
“Saya akan sampaikan pesan Eyang. Saya permisi...”
247 Api Berkobar di Karang Sedana
Pagi harinya, setelah ditinggalkan oleh Saka Palwaguna dan Anting
Wulan rombongan raden Seta Keling dan kawan-kawannya
beristirahat beberapa saat untuk segera melanjutkan perjalanananya.
Dan ketika matahari telah memancarkan panas paginya, raden Seta
Keling pun mengisyaratkan rombongannya untuk meninggalkan desa
Sumur Opat.
Akan tetapi ketika rombongan itu tiba di daerah bukit Hutan Kayu, di
sebuah jalan yang cukup sempit untuk dilalui oleh beberapa kuda
sekaligus, tiba-tiba...
“Berhenti ! Siapakah Kisanak yang mengganggu perjalanan
kami?”
“Keluarlah jangan bersembunyi seperti babi pengecut !”
“Kakang, kita lihat ke depan sana. Kita cari orang itu.”
“Jangan adik Awuk. Biarkan saja mereka yang datang ke
mari. Jangan tinggalkan rombongan ini. Aku khawatir mereka kembali
yang datang.”
“Setan ! Babi pengecut !”
“Hahaha, kau benar anak muda. Pohon-pohon besar ini
berhasil menutupi kelemahanmu. Kau tidak berhasil menemukan
kami. Kau salahkan pohon-pohon ini. Hahahaha!”
“Setan ! Jika kau memang ingin mencari perkara dengan
kami, keluarlah ! Keluarlah ! Rasakan pisau-pisau kecilku ini !”
248 Api Berkobar di Karang Sedana
Dampu Awuk yang menjadi penasaran dengan orang yang mencari
perkara dengannya segera melemparkan pisaunya ke arah dimana
suara itu berasal. Dan demikian pula dengan Sariti yang segera meraih
dan melemparkan beberapa batu kecil ke beberapa tempat yang
dicurigainya.
“Hahaha, sia-sia saja seranganmu anak muda. Pengemis
cantik, seranganmu bisa aku hargai arahnya. Hahaha. Ayo Rakosa,
kita temui mereka.”
“Inilah aku anak muda. Akulah yang mengganggu perjalanan
kalian.”
“Heh, siapakah kalian berdua. Dan apakah maksud kalian
mengganggu perjalanan kami.”
“Kau benar Rakosa. Agaknya mereka adalah murid-murid
dari Goa Larang.”
“Saya semakin pasti ketika melihat arah perjalanannya.”
“Ah, kakang. Agaknya salah satu dari mereka adalah pendeta
maling itu.”
“Tuan pendeta, menyingkirlah dari hadapan kami ! Dan
biarkanlah kami melanjutkan perjalanan kami.”
“Guru, serahkanlah mereka semua pada saya. Saya akan
mencoba mengurus anak-anak sombong dari Goa Larang ini.”
“Hmm, silahkan Rakosa. Tapi hati-hatilah, mereka
kelihatannya cukup tangguh.”
“Jangan khawatir Guru, aku akan coba menjinakkannya.”
249 Api Berkobar di Karang Sedana
“Heh, anak-anak muda. Dengarlah ! Aku sengaja
menghadang di sini ketika melihat dan mencurigai kalian ketika tadi
pagi di Sumur Opat.”
“Hemm, apa maksudmu?”
“Aku mencurigaimu adalah murid dari Goa Larang.”
“Ya, memang aku dan saudaraku ini adalah murid dari
padepokan Goa Larang. Lalu apa maksudmu menghadang kami di
sini?”
“Hahaha,” orang yang bernama Rakosa itu tertawa mengejek.
“Aku akan mencoba dan membuktikan sendiri kehebatan dari Kincir
Metu. Dan sekaligus saat ini aku akan menyatakan pada dunia
kependekaran Pasundan dan Jawa, bahwa Kincir Metu bukanlah
termasuk dalam jajaran ilmu kelas satu. Justru saat ini aku akan
membuktikannya sendiri, bahwa Kincir Metu bukanlah apa-apa
bagiku.”
“Hah, jika demikian apa maksudmu menghendaki kitab
Kincir Metu?” sengat Sariti segera.
Orang bernama Rakosa itu terhenyak. Begitu pula orang yang
disebutnya sebagai guru.
“Hee? Hei bagaimana bocah itu bisa mengetahui itu,
Rakosa?”
“Sa... saya juga tidak mengerti Guru.”
Dampu Awuk tergelak, katanya :
“Lihat Kakang, Nyai. Kedua pencuri itu kini saling ribut
sendiri.”
250 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm, bocah-bocah gila. Agaknya kalian telah mendapatkan
bisikan dari setan tentang maksud kedatanganku ke mari. Hm, baiklah
! Kuakui kedatanganku ke mari memang untuk mengambil kitab itu
dari padepokanmu.”
Dampu Awuk makin keras tawanya, “Pendeta edan! Kau kira
untuk mengambil kitab dari padepokan kami semudah mengambil
jagung di kebun petani ?”
“Rakosapala, beri hajaran mereka !”
“Baik, guru.”
Pendeta tinggi besar yang dipanggil dengan nama Rakosapala
menggeram hebat. Beberapa saat kemudian jubah panjang yang
dikenakannya menggelembung besar berisikan kekuatan yang amat
dahsyat. Dan kemudian dengan hentakan tongkat besar yang
dipegangnya, tubuhnya melayang naik ke angkasa.
“Serahkan pendeta busuk itu kepadaku, Kakang.”
“Hati-hati adik Awuk, layani dia dengan Kincir Ngapung13.”
“Ya, jangan khawatir Kakang.”
“Agaknya benar, gambar yang di lengannya merupakan ciri
dari perguruannya. Lihatlah Kakang, gerak dari pendeta itu. Serangan-
serangan yang dilancarkannya dari udara mirip dengan gerak
kelelawar.”
“Hm, ya kau benar, Nyai…”
13 Kincir Terbang
251 Api Berkobar di Karang Sedana
Pertempuran antara Dampu Awuk dan Rakosapala berlangsung
dengan hebatnya. Serangan demi serangan saling mereka lancarkan.
Sengatan-sengatan ganas dari jurus Kelelawar Sakti dari pendeta
Rakosapala dengan kelincahan jurus Kincir Ngapung berhasil
dipunahkan. Dan demikian pula, Kincir Ngapung pun hingga saat ini
belum dapat mendesak Kelelawar Sakti.
“Hm, anak bodooh. Heh ayo, majulah kalian bersama-sama.
Hadapi aku Girindasana!”
“Kakang, biarlah aku membantumu menghadapi pendeta itu.”
“Baiklah Nyai, akan tetapi berhati-hatilah. Agaknya orang itu
sangat hebat kepandaiannya.”
“Aku akan berhati-hati, Kakang.”
Sariti segera berkelebat menghadang Girindasana.
“Kenapa berhenti tuan pendeta? Apakah kau mengaku kalah
dan bersedia untuk menyingkir?”
“Hahaha aku Girindasana mengaku kalah pada kalian? Huh,
benar-benar keterlaluan. Hei pengemis kecil, katakan apa
hubunganmu dengan si tua gila Parang Pungkur?”
“Aku adalah muridnya, murid dari perguruan pengemis
Tongkat Merah.”
“Hmm, jika begitu menyingkirlah kau. Aku tidak ada urusan
dengan kau.”
252 Api Berkobar di Karang Sedana
“Aku berada di tengah-tengah rombongan ini justru karena
perintah guruku. Bagaimana mungkin aku menyingkir??”
“Hm, anak gila ! jika memang kau tidak mau menyingkir,
jangan salahkan aku jika kau tidak dapat mengemis lagi.”
“Kaulah yang sebaiknya menyingkir tuan pendeta !”
“Lima tahun yang lalu boleh aku merasa takut dengan nama
besar perkumpulan Tongkat Merahmu dan Goa Larang, tapi saat ini?
Sekalipun kalian memusuhiku, aku tidak gentar sekalipun. Ayo,
bersiaplah kalian! Aku akan membuat kalian pulang dengan anggota
tubuh yang tidak lagi lengkap!”
“Hey, anak muda. Jika dalam beberapa jurus lagi aku tak
dapat mengalahkanmu, aku akan segera mengasingkan diri dari dunia
kependekaran ini.”
Demikianlah, pertempuran pun kini menjadi dua arena. Dampu Awuk
beserta Rakosapala. Raden Seta Keling bersama dengan pengemis
wanita murid Ki Parang Pungkur melawan pendeta Girindasana.
Angin pukulan yang berbahaya dan juga menerbangkan batu-batu itu,
membuat Rara Angken dan juga Raden Purbaya dan Cempaka
menyingkir jauhi arena.
“Hmm, aku masih memberikan kesempatan lagi padamu
pengemis cantik. Tinggalkanlah arena ini.”
“Aku lebih baik mati daripada harus meninggalkan arena ini.”
253 Api Berkobar di Karang Sedana
Pendeta Girindasana yang melihat kekerasan dari pengemis murid dari
Parang Pungkur, akhirnya tidak sabaran lagi. Dan kini dia
melancarkan serangan-serangan ganasnya dari udara yang membuat
kedua anak muda itu menjadi kelabakan.
Sementara itu Rakosapala yang juga belum berhasil menundukkan
Dampu Awuk, kini melengkapi serangan-serangannya dengan paser-
paser kecil yang disembunyikan di balik jubahnya. Serangan-serangan
dari Rakosapala yang kian menjadi tidak sabaran dengan
pertempurannya yang kian berlarut-larut menjadi membabi buta.
Hingga akhirnya…
Dampu Awuk yang melihat serangan-serangan paser yang berhasil
dielakkannya mengenai Rara Angken, menjadi semakin kalap dan
membalas serangan-serangan dari Rakosapala dan tanpa
memperhitungkan lagi pertahanan dan keselamatan dirinya. Untuk
itulah serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya dan
mendesak Rakosapala. Sementara itu ditempat lain, raden Seta Keling
dan murid dari Ki Parang Pungkur terdesak hebat oleh serangan dari
pendeta Girindasana.
“Ibunda… Ibunda sadarlah… Ibunda”
“Agaknya ibumu pingsan akibat serangan dari racun pada
paser itu, Raden.”
“Bibi Cempaka, apa yang harus aku lakukan?”
254 Api Berkobar di Karang Sedana
“Maaf Raden, Bibi pun tidak tahu apa yang sebaiknya kita
lakukan.”
“Apa sebaiknya kucabut saja paser ini, Bi?”
“Bibi… Bibi tak tahu, Raden.”
“Biar, akan kucabut saja paser ini.”
“Lihatlah,… lihatlah Bi. Di sekitar lengan ibunda yang
terkena paser itu terlihat hangus menghitam. Paser ini berbahaya, Bi.”
“Buanglah Raden, jika begitu…”
“Baiklah. Bunda… Bunda, sadarlah Bunda.”
“Ooh, tubuh ibumu panas sekali, Raden. Hm, akan kucoba
mengeluarkan racun itu dengan mengurut di sekitar lukanya yang
menghitam.”
“Lakukan terus, terus Bi. Lihatlah darah yang menghitam itu
keluar. Tentulah itu darah yang mengandung racun. Terus bibi
Cempaka !”
Cempaka, gadis remaja yang menjadi dayang pengasuh raden Purbaya
dengan memaksakan dirinya yang lemah dan takut akan darah
mencoba untuk terus memijat-mijat di sekitar luka Rara Angken untuk
mengeluarkan racun dari dalam tubuh majikannya.
Sementara itu di arena yang lain, raden Seta Keling beserta gadis
pengemis murid dari Aki Parang Pungkur terdesak hebat dan berada
dalam keadaan yang amat berbahaya.
“Hahaha, kini saatnyalah kalian kujatuhkan. Jangan khawatir
aku tidak akan membunuh kalian. Aku hanya ingin memberi pelajaran
255 Api Berkobar di Karang Sedana
pada Goa Larang bahwa Kincir Metu bagiku sama sekali tidak ada
artinya.”
“Hooi, pendeta edan ! Jangan layani mereka ! Layanilah aku
!”
“Hmm, agaknya kalian adalah pendeta-pendeta pencuri itu…”
“Siapakah kau orang gila?! Mengapa kau mencampuri
urusanku?!”
“Hahaha, tentu saja aku harus mencampuri urusan ini.
Bukankah kau berniat untuk memberi pelajaran pada Goa Larang?
Seta… ”
“Ya?!”
“Coba kau lihat wanita yang terluka itu, biarkan pendeta ini
jadi urusanku.”
“Ya, paman!”
“Hmm, agaknya kau adalah Jatis Purut, adik seperguruan dari
si tua Wanayasa.”
“Hm, agaknya aku juga cukup mempunyai nama hingga
dikenal oleh pendeta-pendeta yang jauh dari Pasundan.”
“Bagus Jatis, kebetulan sekali kau datang ke mari. Marilah
kita lihat apakah Kincir Metu-mu sanggup menahan ilmuku ini.”
“Bagus, aku pun ingin mencoba kehebatan Kelelawar Sakti
dari Jerangkong Hidup.”
“He?! Agaknya kau sudah mengenal ilmuku ini, Jatis?”
256 Api Berkobar di Karang Sedana
Mbah Jatis adik seperguruan dari resi Wanayasa, bukanlah seorang
resi yang saleh sebagaimana kakaknya resi Wanayasa. Jatis Purut
saudara dari pimpinan padepokan Goa Larang itu adalah seorang ahli
ilmu tangan kosong yang hebat dan telah menguasai Kincir Metu
sampai ke tingkat ke delapan. Satu tingkat diatas raden Seta Keling.
Jatis Purut yang juga merupakan maha guru dari padepokan Goa
Larang akhirnya mengeterapkan aji Kincir Metu tingkat ke delapan
berhasil menekan pendeta Girindasana.
“Heh, tinggalkan lawanmu itu Rakosa !” pendeta Girindasana
berseru lalu segera melesat meninggalkan mbah Jatis begitu tampak
olehnya kesempatan untuk keluar dari arena.
Mendengar seruan gurunya itu, Rakosapala pun segera
mencoba keluar dari pertarungannya dengan Dampu Awuk, akan
tetapi tidak semudah gurunya. Dampu Awuk masih melancarkan
beberapa serangan yang dengan sigap dielakkannya.
“Adik Awuk, biarkan orang itu pergi !” seru Seta Keling
“Pendeta palsu ! Pendeta bejat ! Ayoo, jangan lari ! Kita
selesaikan pertempuran kita ini !” maki Dampu Awuk.
“Sudahlah adik Awuk. Biarkan orang itu. Kemarilah…”
“Hmm, inikah gusti permaisuri dari gusti prabu Aji Konda?”
“Eh, benar paman. Apakah adik Saka dan adik Wulan sudah
menceritakan semua pengalaman kami ?”
“Iya, semuanya. Eh, bagaimana keadaannya?” jawabnya.
Ketika melihat ada perempuan asing disitu dia pun bertanya, “Hm,
siapakah gadis ini Seta?”
257 Api Berkobar di Karang Sedana
“Saya adalah Sariti, paman. Murid kakek Pungkur dari
perguruan pengemis…”
“Ooh, bagaimana keadaaannya Sariti? Kulihat tadi agaknya
kau yang menolong wanita ini.”
“Saya hanya berhasil mengeluarkan racun yang berada di
sekitar lukanya, paman. Sedangkan yang sudah jauh mendekati
jantung dan otaknya belum dapat saya bersihkan. Akan tetapi agaknya
untuk sementara keadaannya tidak akan bertambah parah. Saya sudah
memberikan obat yang menghentikan daya racun itu untuk beberapa
saat.”
“Hm, ya. Kalau demikian, ayolah kalian segera berangkat.
Bawa wanita itu ke padepokan. Mudah-mudahan kakang resi dapat
menolongnya.”
“Ayo, kita berangkat Raden,… Cempaka… Biarkan ibumu
dibawa oleh… eeh, bibi Sariti.”
“Maaf Nyai…” ucap Sariti, lalu dengan gerakan yang sigap
segera mengangkat tubuh Rara Angken dan menaikkannya ke atas
kuda. “Ayo kita berangkat.”
Sesampainya di Goa Larang, mbah Jatis segera menyerahkan Rara
Angken yang sudah tak sadarkan diri pada resi Wanayasa. Melihat
keadaan dari Rara Angken yang mengkhawatirkan, sang resi segera
saja berusaha mengeluarkan racun yang telah jauh bersarang di tubuh
korbannya. Akan tetapi beberapa saat kemudian …
258 Api Berkobar di Karang Sedana
“Racunnya telah jauh masuk ke dalam bagian-bagian yang
berbahaya. Amat sulit sekali untuk menolongnya. Sulit sekali…”
“Eh, apakah tak orang lagi yang dapat menyelamatkan
ibundaku, Kakek?”
“Aah, mungkin tidak ada raden…”
“Ada ! Ada Kek. Sahabat guru saya, Tabib Dewa pasti akan
dapat menyembuhkannya.”
“Ah? Oh iya iya iya. Kau benar. Kaukah murid dari sahabatku
Parang Pungkur?”
“Benar Kek. Saya Sariti, muridnya.”
“Oh ya ya ya. Kau benar. Ki Poho Sagala si Tabib Dewa itu
dapat menyembuhkan wanita ini. Aah, tapi bagaimana mungkin kita
dapat menemukan tempatnya di pesisir selatan?”
“Yah, jauh sekali di pesisir selatan. Untuk bisa ke sana bisa
memakan waktu setengah purnama.”
“Hmm, akan tetapi janganlah kau putus asa. Aku akan
menolong ibundamu sedapat mungkin. Begini saja, kau tinggalkan
ibumu disini. Biar aku yang merawatnya. Kau dapat beristirahat
dengan tenang di sini.”
“Ayolah Cempaka, ajak Purbaya beristirahat di luar.” berkata
Seta Keling. “Nanti aku akan carikan tempat untuk kalian
beristirahat.”
“Ah, tapi gusti hamba itu…”
“Biarkanlah disini saja. Eyang resi akan berusaha merawat
dan menolongnya.”
259 Api Berkobar di Karang Sedana
“Baiklah, Tuan. Mari Raden, kita keluar.”
Cempaka menggamit tangan raden Purbaya dan keluar dari
bilik itu. Mereka berdua berjalan-jalan lambat memutari pondok.
“Tempat ini menarik sekali sebenarnya Raden. Lihatlah,
halaman yang luas di samping kamar ini. Lihatlah itu, undak-undakan
rumput yang indah, agaknya tidak kalah indah dengan taman di istana
Karang Sedana. Dan coba Raden, lihat di sebelah sana itu, air terjun
jatuh ke atas undak-undakan itu. Pecah berderai di setiap undakan
batu. Ah, bukankah indah sekali, Raden?”
“Ya, tempat ini memang indah Bibi Cempaka. Tapi,… kita ke
sana saja. Aku ingin melihat orang-orang yang sedang berkumpul itu.”
“Hm, kelihatannya orang-orang di sana itu sedang berlatih
olah kanuragan, Raden.”
“Marilah Bibi, kita melihat mereka.”
“Bibi, aku ingin sekali mempelajari ilmu kepandaian seperti
itu. Aku ingin pandai seperti paman Seta, agar kelak aku dapat
membalaskan sakit hati ibundaku yang telah dihina oleh orang-orang
jahat !”
“Benar, Raden harus menjadi seorang yang tangguh seperti
mereka, agar kelak dapat merebut kembali Karang Sedana dari tangan
orang-orang jahat itu.”
“Aku berjanji, jika aku mendapatkan kesempatan untuk
mempelajari ilmu kepandaian seperti mereka, aku akan belajar
sepenuh hati, Bi”
260 Api Berkobar di Karang Sedana
“Baiklah, Raden. Bibi akan menyampaikan maksud Raden ini
pada ibunda, jika ibunda telah sembuh.”
“Bibi, darahku serasa bergolak. Dadaku berdebar kencang.
Keinginan itu semakin aku memperhatikan mereka berlatih, semakin
kuat.”
“Raden harus bersabar dan menunggu ibunda sembuh.”
“Tidak Bibi, aku akan menunggu kesembuhan ibunda sambil
mempelajari kepandaian berkelahi itu. Aku akan menemui paman
Seta, meminta agar aku diperkenankan belajar di sini.”
“Hmm, baiklah Raden. Mari… bibi antar menemui paman
Seta Keling.”
Mereka berdua kembali berjalan. Cempaka bertanya pada
seorang murid padepokan tentang keberadaan raden Seta Keling saat
itu. Dari murid padepokan itu, mereka menuju ke sebuah pondokan
yang ditunjukkan pada mereka. Cempaka mengetuk pintu bilik raden
Seta Keling.
“Siapa?”
“Saya Tuan, Cempaka.”
Pintu bilik terbuka.
“Oh, kau Cempaka… dan kau Raden. Ada sesuatu yang dapat
saya bantu?”
“Ah, Tuan… majikan saya Raden Purbaya berniat ingin
mempelajari ilmu olah kanuragan.”
“Oh ya?”
“Saya berharap agar Tuan dapat menolongnya.”
261 Api Berkobar di Karang Sedana
“Bagus ! Bagus sekali Raden. Tapi apakah itu tidak tergesa-
gesa? Raden pasti akan mempelajari ilmu tersebut, tapi tentu tidak saat
ini. Raden masih akan menunggu dan melihat perkembangan dari
kesehatan ibunda Raden. Bukankah Raden akan tinggal di sini untuk
waktu yang lama?”
“Paman Seta benar. Tapi entahlah Paman. Saya tidak dapat
menahan lagi gejolak dalam dada saya yang menuntut untuk
mempelajari ilmu itu.”
“Aku hargai semangatmu, Raden. Akan tetapi olah kanuragan
sesuai dengan namanya adalah ilmu yang berkaitan erat dengan olah
atau gerak dari semua bagian tubuh kita yang sebenarnyalah terbatas
kekuatannya. Nah, untuk dapat menguasai ilmu itu dengan baik, kita
harus mempelajari ilmu itu dengan baik secara berurut dari dasar
dengan amat teratur. Raden tidak bisa mempelajari itu dengan tergesa
dan dipengaruhi kekalutan emosi dan dendam.”
“Ah, iya paman Seta saya akan mencoba untuk melakukan
semua yang Paman katakan. Tapi… apakah saya dapat segera
memulainya? Segera mempelajarinya sementara saya menunggu
kesembuhan dari ibunda…”
“Eh, tapi apakah Raden tidak meminta ijin dari ibunda Raden
dulu?”
“Sudah Paman. Ibunda sudah memberikan saya ijin untuk
mempelajari ilmu kepandaian berkelahi itu. Ibunda saya
menghendaki saya dapat menjadi pemuda yang tangguh seperti paman
Seta.”
262 Api Berkobar di Karang Sedana
“Baiklah jika demikian aku akan menyampaikan semua
keinginanmu itu pada Eyang Resi. Kau beristirahatlah, nanti aku akan
memberikan kabar padamu.”
“Terima kasih paman Seta. Mari bibi Cempaka, kita kembali
ke kamar untuk beristirahat.”
“Aku melihat sinar mata yang penuh dendam dalam diri bocah
itu. Agaknya penghinaan yang diterimanya dalam beberapa hari ini
benar-benar telah menggoncangkan jiwanya. Yah, aku akan
menyampaikan permintaan anak itu pada eyang Resi.”
Permohonan dari raden Purbaya diterima oleh resi Wanayasa. Dan
untuk persiapan dasar dari anak itu sebagaimana halnya murid baru
diberikan pada Ki Luminta, pelatih olah kanuragan padepokan yang
merupakan pembantu Mbah Jatis.
Untuk menyampaikan kabar itu maka Raden Seta Keling
mengunjungi raden Purbaya di sebuah bilik pondokan yang telah
disiapkan untuknya tinggal. Cempaka menemaninya.
“Hai Bibi, besok aku sudah bisa mempelajari ilmu kepandaian
itu ! Terima kasih paman Seta. Saya berjanji akan mentaati petuah dan
peraturan yang ada di padepokan ini.”
“Bagus, aku pun berharap kau akan menjadi murid utama dari
padepokan ini. Belajarlah yang baik dan lupakan dendam dalam
dadamu untuk dapat berhasil menguasai olah kanuragan itu dengan
baik.”
263 Api Berkobar di Karang Sedana
“Saya akan mentaati semua kata-kata Paman.”
“Nah, ingatlah besok sebelum matahari terbit kau harus sudah
siap untuk berlatih. Paman Luminta yang akan memberikan dasar-
dasar ilmu dari padepokan ini, akan menjemputmu di sini. Mengerti?”
“Mengerti Paman. Saya akan bersiap pagi-pagi sekali sebelum
paman Luminta tiba.”
“Bagus! Nah, teruskanlah istirahatmu. Sebentar lagi kau akan
diberitahukan untuk makan bersama-sama di ruang makan, di ruang
besar itu.”
“Baik Paman.”
Raden Purbaya melonjak kegirangan dan menari-nari setelah raden
Seta Keling meninggalkan kamarnya. Berita yang dibawa raden Seta
Keling baginya seakan-akan menobatkannya menjadi seorang
pendekar yang tangguh.
***
Demikianlah, keesokan harinya ketika fajar belum lagi menyingsing
Raden Purbaya telah siap dengan semangat tinggi untuk mempelajari
jurus-jurus ilmu kesaktian yang kelak akan dipergunakannya untuk
membalaskan dendam ibundanya.
“Jika Raden ingin berlajar bersama kakak-kakak angkatan
pertama di sini, raden harus giat untuk mengejar mereka. Mengejar
264 Api Berkobar di Karang Sedana
ketinggalan Raden. Mereka sudah mulai sejak dua bulan yang lalu,
Raden.”
“Yah, saya mengerti paman Luminta. Saya akan mencoba
untuk berlatih sungguh-sungguh.”
“Bagus. Nah sekarang marilah kita mencoba melatih daya
tahan tubuh. Ayo kita berlari mengitari padepokan ini, Raden.”
Dengan semangat tinggi yang bergejolak di dalam dada, raden
Purbaya mengikuti Aki Luminta yang merupakan salah seorang
pelatih murid angkatan pertama di padepokan Goa Larang. Sang
mentari belum lagi terbit dan memancarkan sinarnya yang gemilang.
Suasana di sekitar padepokan serasa sangat dingin mencekam. Akan
tetapi dalam suasana yang demikian dinginnya titik-titik keringat telah
memenuhi seluruh tubuh raden Purbaya dan mereka masih saja terus
berlari.
“Ayo terus Raden! Raden harus terus berusaha hingga
melampaui batas akhir kekuatan Raden agar nanti Raden mendapatkan
tambahan kekuatan baru. Ayo Raden!” seru Ki Luminta sambil
tersenyum memberikan semangat.
“Baik, baik… baik Paman.”
“Cukup Raden. Kita beristirahat. Eit… eit, jangan Raden.
Jangan langsung duduk. Bergeraklah. Santai saja. Yaa beberapa saat
dulu, begitu… naah baru Raden dapat duduk.”
265 Api Berkobar di Karang Sedana
“Iya… iya Paman.” jawab raden Purbaya dengan terengah-
engah.
“Nah, kita dapat beristirahat beberapa saat. Lihatlah, agaknya
hari telah cukup terang. Sebentar lagi kita akan melanjutkan latihan
kita dengan berlari-lari kembali Raden. Akan tetapi tidak di tanah
datar seperti tadi, tapi di tengah sungai kering itu.”
“Paman, kenapa Paman tidak mengajarkan saya ilmu
kepandaian seperti yang dilakukan semua murid padepokan ini?
Kenapa paman hanya mengajarkan saya berlari-lari, seperti permainan
anak-anak saja.”
“Raden, yang saya ajarkan sekarang ini adalah merupakan
dasar dari setiap ilmu olah kanuragan. Olah kanuragan sesuai dengan
namanya adalah ilmu yang berdasarkan pada gerak tubuh. Walaupun
nanti akan berkembang hingga ke olah batin. Akan tetapi Raden,
semuanya harus memiliki dasar. Yaitu tubuh yang telah terbina. Jadi
jika Raden ingin menguasai ilmu olah kanuragan, yang sekarang saya
ajarkan adalah dasar yang sangat penting, Raden. Apa Raden sudah
mengerti?”
“Ah, iya Paman.”
“Nah, lihatlah. Lihatlah itu ada sungai kering. Kita sekarang
akan mencoba berlari di tengah sungai itu.”
“Tapi Paman, sungai itu dipenuhi oleh batu-batu besar
maupun kecil. Bagaimana saya bisa berlari di tengah sana?”
266 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm, lakukanlah nanti sedapat Raden. Memang yang kali
ini kita lakukan adalah sedikit berbeda dengan yang baru saja kita
lakukan.”
“Ah… lalu kapan saya dapat berlatih ilmu kanuragan yang
sebenarnya. Seperti yang dilakukan oleh murid-murid padepokan ini
di dalam sanggar besar itu.”
“Raden, nanti jika Raden sudah memiliki daya tahan tubuh
yang cukup dan keterampilan gerak yang akan kita lakukan sekarang.”
“Jika demikian, ayolah kita segera mencobanya Paman.”
“Ah, bagaimana Raden? Apakah Raden sudah tidak merasa
capai?”
“Iya Paman. Saya sudah merasa segar kembali. Ayo kita
lanjutkan latihan kita.”
“Baiklah, mari Raden.”
Ki Luminta memulai mendahului Purbaya berlari dan
meloncat-loncat di atas batu-batu besar dan kecil di sungai kering.
“Ayo Raden, ikutilah Paman!”
“Baik, Paman.”
“Awas, berhati-hatilah Raden. Jangan tergesa-gesa.
Pelajarilah situasinya dahulu, Raden. Ayo…”
“Hahaha, mudah sekali paman Luminta.” seru Purbaya
kegirangan.
“Hey, awas Raden !”
Purbaya yang tampak sangat girang karena mampu
mengimbangi lompatan-lompatan yang dilakukan guru barunya itu,
267 Api Berkobar di Karang Sedana
menjadi kurang berhati-hati. Dan akibatnya lompatan berikutnya dia
menginjak batu yang berguncang saat dihinggapinya. Akibatnya
tubuhnya limbung sesaat kemudian jatuh terjerembab.
“Aduh !... Aduh… Aduh…”
“Bagaimana Raden? Apakah ada yang terluka?”
“Ah…Ah… tidak Paman. Mari kita teruskan latihan ini.”
“Mari Raden.”
Dengan semangat yang dipaksakan, raden Purbaya terus berlari
mengikuti petunjuk dari Ki Luminta. Beberapa kali raden Purbaya
terpeleset terjatuh, akan tetapi hal itu tidak menjadikannya putus asa.
Purbaya berlatih terus dan terus berlatih.
***
Pintu bilik pondokan tempat Resi Wanayasa tinggal diketuk,
sang Resi yang tengah membolak-balik kitab catatan Aji Kincir Metu
mendongak, lalu berseru.
“Ya? Masuklah.”
Pintu pun perlahan terbuka. Seorang perempuan muda
berparas cantik tapi kusam dengan baju penuh tembelan memasuki
ruangan itu.
“Oh kau rupanya Sariti, murid dari aki Pungkur. Ada apa kau
datang ke mari, Nak?” sambil tersenyum ramah sang Resi
menyapanya.
“Saya… saya hendak menyampaikan surat dari guru saya.”
268 Api Berkobar di Karang Sedana
“Surat dari gurumu? Hmm apakah kau telah bertemu
dengannya di sekitar sini?” Resi Wanayasa yang tidak mengetahui
bahwa Sariti memang ditugaskan untuk menyampaikan surat dari
gurunya menjadi kebingungan. Disangkanyalah bahwa Ki Parang
Pungkur berada di sekitar Goa Larang dan memerintahkan muridnya
itu untuk menyampaikan pesan. Akan tetapi, mengapa tidak dia saja
sendiri yang menyampaikannya?
“Surat ini ada pada saya sejak kedatangan saya tiga hari yang
lalu.”
Resi Wanayasa manggut-manggut. Kebingungannya
terjawab.
“Tapi guru berpesan untuk memberikan surat ini pada saat
yang tepat, yaitu pada saat Eyang dalam keadaan tenang dan tidak
sibuk.”
Resi Wanayasa tersenyum, “Oh begitu. Tua gila Pungkur
gurumu itu memang ada-ada saja.”
“Eh, ini suratnya Eyang.”
Sariti menyerahkan kain bungkusan putih yang tergulung rapi pada
resi Wanayasa. Dan kemudian setelah membuka dan membaca
lembaran daun lontar yang berada di dalam bungkusan kain resi
Wanayasa tersenyum.
“Sudah berapa lama kau mengenal murid-muridku?”
“Baru beberapa hari ini saja, Eyang Resi.”
“Ooh… Apakah kau sudah mengetahui isi surat ini?”
269 Api Berkobar di Karang Sedana
“Belum Eyang. Apakah saya boleh mengetahui dan perlu
mengetahuinya?”
Mendengar pertanyaan Sariti itu, resi Wanayasa tergelak.
“Benar-benar tua gila Pungkur itu. Tidak waras dan sangat
usilan.”
“Eh, kenapa Eyang berkata seperti itu pada guru saya?” tanya
Sariti penasaran dan tidak senang.
Sang Wanayasa masih terkekeh sambil bertanya lagi,
“Sekarang siapakah di antara muridku yang kau kenal baik, hm?”
“Eh? Apa maksud eyang Resi?”
“Eh maksudku, siapa diantara ketiga orang murid laki-lakiku
itu yang kau kenal dengan baik?”
“Ah, saya… saya baru mengenal mereka Eyang. Kenapa?”
“Hm, gurumu menghendaki agar aku dan dia dapat mengikat
tali kekeluargaan, begitu…”
“Ah?! Jadi… jadi… jadi guru saya…”
“Heheheh, iya… iya. Dia ingin agar kau dapat menikah
dengan salah seorang muridku, begitu.”
“Ah, keterlaluan. Guru benar-benar telah keterlaluan telah
mempermainkan aku seperti ini.” Sariti tampak geram dan gusar kali
ini.
“Eeh, sebentar. Dengarlah dulu, Nak. Aku tidak menolak dan
juga tidak menerima permintaan gurumu itu. Tapi kau sampaikanlah
bahwa masalah itu aku serahkan pada kalian sendiri, ya… karena ini
memang adalah hak dan urusan kalian.”
270 Api Berkobar di Karang Sedana
“Saya permisi Eyang. Saya akan segera kembali.”
“Eh, iya. Baiklah. Sampaikanlah salamku pada gurumu itu.”
“Baik Eyang,…” sahut Sariti dengan suara bergetar menahan
gejolak perasaannya saat itu. Malu, marah, sedih, dan kecewa
tergetarkan pada suaranya saat itu.
Sariti murid dari perguruan pengemis tongkat merah segera berlari
menginggalkan ruang resi Wanayasa. Gadis perkasa ini merasa amat
tersinggung, karena merasa telah dipermainkan oleh gurunya yang
memang gemar membuat ulah. Raden Seta Keling dan saudara-
saudaranya merasa terkejut ketika melihat sikap dari gadis yang
memang sangat pendiam itu.
“Hey, tunggu Sariti. Ada apakah? Kenapa kau tiba-tiba
menjadi seperti ini?” sapa Seta Keling.
“Oh, maaf. Aku akan segera kembali. Eh… terima kasih
kakang semua, dan juga kau Wulan.”
“Iya, tapi kenapa kau tiba-tiba menjadi seperti ini?” bertanya
Anting Wulan. “Eh, apa yang terjadi denganmu?”
“Ah, tidak. Tidak ada apa-apa. Hanya saja saya harus segera
kembali. Pesan guru pun telah kusampaikan pada eyang Resi…
Permisi, dan sekali lagi, terima kasih.” cepat jawaban Sariti dengan
penuh keengganan dan tampak sekali ingin segera berlalu dari tempat
itu.
Tergesa-gesa Sariti menuju kudanya, dan kuda itu pun tak
lama kemudian telah berderap meninggalkan padepokan Goa Larang.
271 Api Berkobar di Karang Sedana
“Pastilah telah terjadi sesuatu dalam pembicaraannya dengan
eyang Resi.” gumam Anting Wulan.
“Hmm, aku akan menanyakannya,” Seta Keling berkata pula.
“Kau ikutlah, adik Saka.”
“Ah, biarlah. Aku saja yang menanyakannya pada eyang Resi
bersama-sama dengan Kakang Seta. Kalian tunggu saja di sini.”
“Eh, sebenarnyalah masalah ini tidak ada hubungannya
denganmu. Maslaah ini adalah masalah kakang-kakangmu.”
“Tapi masalah kakang-kakangku adalah masalahku juga.”
Resi Wanayasa terbatuk-batuk kecil, “Iya ya ya. Sudahlah,
kau boleh mengetahuinya.”
Resi Wanayasa mendesah.
“Parang Pungkur sahabatku itu menghendaki agar muridnya
itu, Sariti menikah dengan salah seorang muridku.”
“Hm, jadi… Maksud eyang Guru?” raden Seta Keling tiba-
tiba bertanya dengan wajah memerah. Resi Wanayasa cukup
menyadari hal itu.
“Yaah, aku tidak langsung menerima dan tidak juga
menolaknya. Semua aku serahkan pada Sariti dan juga pada kalian
murid-muridku.”
“Lalu kenapa Sariti jadi bersikap seperti itu, eyang Guru?”
272 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ooh, anak itu jelas-jelas merasa malu dan dia jadi merasa
amat tersinggung dengan sikap gurunya yang tidak menjelaskan dan
membicarakan dulu isi surat itu.”
“Oh?! Jadi Sariti tidak mengetahui isi surat itu?”
“Ya. Karena itulah dia amat terkejut ketika kujelaskan
maksud dari gurunya.”
“Tapi kenapa dia harus jadi bersikap seperti itu? Bukankah itu
sama saja dia menghina Kakang Seta?”
“Wulan !” raden Seta Keling menegur ucapan Anting Wulan
itu.
“Iya Kakang. Sikapnya yang langsung pergi meninggalkan
padepokan kita, seakan-akan dia tidak setuju dengan isi surat itu. Dan
itu sama saja dengan menghina Kakang Seta.”
“Lalu apa hubungannya denganku?”
“Bukankah Aki Parang Pungkur suka dan setuju dengan
Kakang?”
“Tidak, Wulan. Ki Parang Pungkur tidak menyebut nama
salah seorang pun dari kakangmu. Aku tidak akan memaksa
Kakangmu.”
“Hmm, maaf Eyang… saya belum memikirkan masalah itu.
Saya merasa belum siap untuk membina rumah tangga.”
“Aku tidak akan memaksamu, Seta. Tapi aku hanya
mengingatkan bahwa hal itu sudah seharusnya kau pikirkan. Umurmu
sudah cukup untuk itu. Oleh karena itu aku memberikan kesempatan
ini padamu dahulu.”
273 Api Berkobar di Karang Sedana
“Eh, maaf Eyang. Saya kira, saya belum dapat
melakukannya…”
“Hmm, yah… Baiklah jika memang demikian. Aku akan
menanyakan hal ini pada adikmu, Saka Palwaguna.”
“Aih, Sariti itu cantik sekali Kakang. Apalagi yang kakang
pilih dan kakang cari?”
Anting Wulan sebenarnya sangat terkesiap dengan ucapan
gurunya tersebut. Perempuan cerdik itu pun segera mencoba
mengalihkan pembicaraan dan membujuk agar Seta Keling segera
mengiyakan untuk berjodoh dengan Sariti. Tidak lain, tidak bukan
agar Sariti terhalangi dari Saka Palwaguna, pemuda idamannya
Mendengar ucapan Anting Wulan itu, Seta Keling termenung.
“Anting, agaknya kau tidak menyadari betapa aku sangat
mencintai mu. Akan tetapi agaknya kau… kau justru lebih
memperhatikan adik Saka,” keluh hati raden Seta Keling.
“Bagaimana Kakang, kami di padepokan ini sudah ingin
sekali mengadakan suatu perayaan besar.”
“Aah, sudahlah Wulan. Aku akan memberikan waktu bagi
kakangmu untuk memikirkannya. Akan tetapi ingatlah, Seta…
Janganlah hal tersebut sampai mengganggu konsentrasi latihan kalian,
ya. Aku akan segera menurunkan Kincir Metu tingkat ke delapan
padamu. Nah, dalam beberapa hari ini aku akan mencoba
menyempurnakan dahulu tingkat ke sembilan yang baru aku kuasai.
Nah,… tinggalkanlah aku sendirian disini.”
274 Api Berkobar di Karang Sedana
“Eh, Raden masih berada di sini? Belum berangkat latihan?
Bukan kah tadi pagi Raden katakan sore ini akan latihan lagi?”
“Ah, bibi Cempaka dari mana?”
“Dari menengok ibunda Raden. Emm, menurut Ibunda
mungkin besok Ibunda Raden sudah dapat dipindahkan ke dalam
kamar kita ini.”
“Ohh, benarkah itu Bi? Tadi pagi sehabis latihan, ibu tidak
bilang apa-apa pada saya.”
Cempaka tersenyum.
“Ketika Bibi tiba di kamarnya, eyang Resi baru saja selesai
mengobatinya lagi. Mungkin Ibunda baru saja mendengar dari Eyang
Resi. Wajah Ibunda Raden kelihatan sudah cerah… ”
Sampai disitu kata-kata Cempaka terpotong oleh suara
ketukan dan panggilan dari luar. Ki Luminta memanggil Purbaya.
“Raden, ayolah. Nanti hari menjadi semakin sore dan kita
tidak akan dapat berlatih di sungai itu, Raden. Kita harus cukup
berlatih di sungai itu sebelum hari menjadi gelap.”
“Paman Luminta, sebentar. Raden Purbaya tertidur dan saya
lupa membangunkannya. Tapi kini dia sedang bersiap. Sebentar
Paman…”
“Ooh, ya ya…”
“Ayolah Raden, Raden harus berlatih. Janganlah kecewakan
Ibunda Raden. Bukankah Ibunda menghendaki Raden menjadi
seorang pemuda yang tangguh, seperti paman Seta Keling.”
275 Api Berkobar di Karang Sedana
“Aah, baiklah. Saya akan pergi.”
***
“Iya, iya. Cukup Raden. Beristirahatlah. Hari sudah mulai
senja, Raden. Sebentar lagi kita lanjutkan berlatih mengelilingi
padepokan ini. Untuk latihan melompat tak dapat kita lanjutkan,
Raden. Karena Raden sudah tidak dapat melihat dengan jelas lagi
batu-batuan yang ada di sungai itu.”
“Ah, paman… sampai kapankah saya harus berlatih seperti
ini? Kapan saya bisa diberikan ilmu pukulan untuk menyerang
lawan?”
“Ah, nanti. Jika daya tahan tubuh Raden sudah cukup.”
“Akan tetapi sampai kapankah itu, Paman?”
“Nanti Raden. Jika Raden sudah dapat mengelilingi
padepokan ini hingga sepuluh kali putaran tanpa henti. Dan kini Raden
baru saja dapat enam kali putaran.”
“Oh? Benarkah Paman? Jadi jika saya dapat mengelilingi
padepokan ini hingga sepuluh kali putaran, paman akan mulai
memberikan saya ilmu untuk menyerang lawan? Seperti yang dilatih
oleh kakak-kakak seperguruan saya?”
“Iya. Iya Raden. Paman akan memberikannya, asalkan Raden
mampu mengelilingi padepokan ini hingga sepuluh kali putaran.”
“Saya akan mencobanya saat ini, Paman !”
276 Api Berkobar di Karang Sedana
Raden Purbaya tidak merasa puas hanya diberikan latihan ketahanan
tubuh oleh Ki Luminta. Raden Purbaya yang telah melihat kesempatan
untuk mempelajari ilmu olah kanuragan segera saja menyatakan
hendak mencobanya. Dia bertekat untuk dapat melaksanakan
persyaratan yang diajukan oleh Ki Luminta.
“Kau belum mampu, Raden. Janganlah memaksakan diri.
Mungkin jika Raden rajin berlatih setiap pagi dan sore, sepuluh hari
lagi Raden akan dapat melakukannya.”
“Saya dapat melakukannya sekarang, Paman!”
“Ooh, baiklah. Kalau begitu dapat mencobanya.
Beristirahatlah dahulu.”
“Tidak Paman, saya tidak merasa lelah lagi.”
“Tapi Raden baru saja berlatih melompat di atas batu sungai
itu…’
“Sudahlah Paman, hitunglah. Saya akan memulai putaran
pertama saya.”
Raden Purbaya yang telah melihat kesempatan untuk mempelajari
ilmu olah kanuragan segera saja bangkit dan berlari mengelilingi
padepokannya.
Putaran demi putaran dilakukan oleh raden Purbaya, telah lima
putaran berhasil dilaluinya.
“Hmm, luar biasa sekali semangat anak itu. Agaknya
keinginannya yang besar untuk mempelajari olah kanuragan membuat
tenaganya menjadi berlipat ganda. Sudah lima putaran dilaluinya
277 Api Berkobar di Karang Sedana
sedikitpun tidak terlihat tanda- tanda kelelahan. Padahal baru saja dia
berlatih di tengah sungai ini.”
Putaran ketujuh dan kedelapan dapat dilaluinya dengan lari yang
cukup tegar. Akan tetapi ketika anak yang baru berusia dua belas tahun
ini tiba pada putaran ke sembilan…
“Oh, aku harus dapat menyelesaikannya! Hingga ke putaran
ke sepuluh… Esok pagi aku sudah harus dapat mempelajari ilmu
pukulan itu.”
“Sudahlah Raden! Raden tidak perlu menyelesaikan sampai
ke putaran terakhir. Jangan memaksakan dirimu, Raden !”
“Tidak, Paman. Aku harus menyelesaikan sepuluh putaran
ini.”
Dengan langkah yang semakin limbung, raden Purbaya terus
memaksakan langkahnya hingga ke putaran terakhir. Dan segera dia
menemui Ki Luminta dengan langkah yang limbung.
“Ba… bagaimana Paman? Saya… saya berhasil, bukan?!”
“Iya. Raden berhasil. Dan mulai besok pagi saya akan mulai
mengajarkan… Oh! Raden! Raden!”
Raden Purbaya yang tak dapat lagi menahan rasa kegembiraan dan
rasa kelelahan yang luar biasa yang sekaligus menyerangnya menjad
pingsan tak sadarkan diri. Ki Luminta segera menyambar tubuh putera
dari prabu Aji Konda itu. Dan setelah mengurut dan memijat beberapa
jalan darahnya, raden Purbaya pun segera sadarkan diri.
278 Api Berkobar di Karang Sedana
“Raden terlalu memaksakan diri hingga membuat paman
cemas. Ayo, sekarang marilah pulang dan raden harus benar-benar
beristirahat malam ini. Malam baru saja tiba. Pergunakanlah malam
yang masih penuh ini untuk beristirahat sebaik-baiknya.”
“Mari, mari kita kembali Paman.”
***
“Bagaimana Raden, apakah sudah hilang kelelahan yang
Raden paksakan semalam?”
“Sudah Paman. Hanya saja otot-otot saya masih terasa kaku
karena belum digerakkan. Semalam-malaman saya tidur, Paman.”
“Baiklah, jika demikian. Nanti juga hilang semua kekakuan
itu. Nah, sekarang perhatikanlah Raden. Jurus pertama yang akan
Paman ajarkan adalah merupakan jurus pertama dari Aji Kincir Metu
yang merupakan tingkatan pertama. Perhatikanlah,… ini adalah
gerakan pembuka dari Aji Kincir Metu.”
Aki Luminta mulai bergerak perlahan-lahan. Tubuhnya
merendah membentuk kuda-kuda, lalu tak lama kemudian kedua
tangannya mulai bergerak melancarkan gerak berupa pukulan dan
tangkisan secara beruntun. Empat gerakan masing-masing ke empat
arah mata angin.
“Nah, itulah Raden… Itu adalah jurus pertama yang diberi
nama Gerbang Dewata. Ayo, sekarang ikuti Paman.”
279 Api Berkobar di Karang Sedana
“Iya.. iya. Kaki… kaki nya dalam posisi kuda-kuda sejajar
tubuh ya. Dan keduanya agak ditekuk sedikit. Ya bagus. Nah,
sekarang lihat gerak dari kedua tangan yang berada disamping
pinggang itu… hmm iya begitu. Diangkat tinggi ke atas, dan putar !”
“Hupp! Hiyaah!!”
“Iya, bagus! Sekarang lihatlah gerak dari serangannya. Hiat,
hiyah!”
“Hup hup hait hait haiit hup hait hait”
“Bagaimana paman?”
“Bagus Raden, akan tetapi Raden baru… yah, hanya sampai
tahap menghapalkan gerak. Raden belum lagi mengisi gerak serang
tadi dengan tenaga Raden. Raden bisa mencobanya perlahan-lahan,
jangan terburu-buru.”
“Saya akan mencobanya lagi, Paman. Paman duduklah di sana
saja.”
Purbaya kembali memperagakan jurus Gerbang Dewata yang
baru saja dipelajarinya, kali ini dengan gerakan yang lebih perlahan-
lahan akan tetapi setiap pukulan dan hentakan yang dilakukannya
dengan menambahkan tenaganya.
“Hahaha, bagus Raden!”
“Ah, kau raden Seta…”
“Oh, Paman. Betulkah saya telah melakukannya dengan
baik?”
280 Api Berkobar di Karang Sedana
“Iya, kau telah melakukannya dengan baik. Berlatihlah terus,
dan gerakanmu itu pasti akan semakin menjadi baik.” Raden Seta
Keling menyemangati Purbaya. Lalu katanya pada Ki Luminta, “Eh
maaf paman Luminta, saya mengganggu latihan Paman. Raden
Purbaya, saya membawa kabar gembira untukmu.”
“Oh, ada apa Paman?”
“Ibundamu, sudah ada di kamarmu. Dan kini sedang bersama
Cempaka.”
“Oh, paman Luminta bisakah saya meminta waktu untuk
melihat keadaan Ibu?”
“Hmm,” Ki Luminta tersenyum dan memb elai kepala murid
barunya itu. “Pergilah Raden. Jenguklah ibumu.”
“Oh, terima kasih paman Luminta, paman Seta.”
Sambil membungkuk cepat pada keduanya, raden Purbaya
segera bergegas berlari ke pondok yang dia tempati di padepokan itu.
Sebentar saja dia sudah berada di biliknya, dan langsung menemui
Rara Angken.
“Oh, Ibunda… Ibunda sudah sembuh?!”
“Oh, ya… Purbaya. Bunda sudah tidak lagi merasakan rasa
sakit seperti waktu-waktu yang lalu.”
“Ah… tapi… ah, Ibunda… apa tidak dapat bangun dari
tempat tidur ini?”
“Iya. Bunda masih belum dapat menggerakkan anggota tubuh.
Kedua tangan dan kaki Bunda seakan-akan tidak ada.”
“Oh… apakah akan selamanya seperti ini keadaan Ibunda?”
281 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tentu saja tidak, Purbaya. Nanti jika eyang Resi berhasil
menemukan obatnya, pasti racun yang masih tersisa di dalamnya akan
dapat dipunahkan. Oh ya, bagaimana dengan latihanmu Purbaya?
Apakah kau berlatih giat?”
“Jangan khawatir, Bunda. Nanda akan berlatih siang-malam
agar dapat menjadi seorang yang tangguh. Dan kelak dapat
membalaskan penghinaan yang telah kita terima selama ini.”
“Ah, Cempaka… kini aku benar-benar membutuhkan
pertolonganmu sepenuhnya untuk merawat dan memperhatikan
Purbaya anakku.”
“Jangan khawatir Gusti. Itu memang sudah menjadi tugas dan
kewajiban saya. Beristirahatlah Gusti. Bukankah tadi eyang Wanayasa
juga menyarankan agar Gusti banyak beristirahat?”
“Yah, baiklah Cempaka.”
“Ya, benar. Tidurlah Bunda. Biar saya akan menjaga Bunda
di sini.”
“Kau bermainlah di luar. Bunda dapat beristirahat sendiri.”
“Ah, tapi bukankah…”
“Sudahlah, Raden. Biarkanlah ibunda Raden beristirahat
sendiri. Ayo kita bermain di luar.”
“Ah, baiklah. Saya akan bermain di luar.”
“Eh, kemarilah Raden. Saya ingin bicara sebentar…”
“Ada apakah Bi? Kenapa kita harus bicara di sini?”
282 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm,… Raden tadi eyang Wanayasa berpesan pada saya
agar dapat menjaga ibunda dengan baik. Keadaaan Ibunda saat ini
masih dalam keadaan serius. Eyang Resi hanya berhasil menahan
gerakan dari racun itu, sedangkan untuk mengeluarkannya beliau
belum dapat. Oleh sebab itu ibunda Raden tidak dapat menggerakkan
anggota tubuhnya.”
“Jadi, Ibunda sekarang masih dalam keadaan yang kritis?”
“Selama ibunda Raden dapat beristirahat dengan tenang, dia
akan selamat.”
“Baiklah, segalanya kuserahkan pada eyang Resi. Mudah-
mudahan atas perkenan Dewata, Ibunda dapat diselamatkan… Ah,
saya akan kembali berlatih di tepi sungai sana. Mudah-mudahan saja
paman Luminta masih menunggu di sana.”
Di sisi lain dari padepokan Goa Larang, raden Seta Keling
tengah melatih kembali gerakan-gerakan ilmu Kincir Metu-nya.
Sebelum akhirnya suara dari resi Wanayasa menghentikan gerakan-
gerakannya yang perlahan tapi penuh tenaga itu.
“Berhentilah sebentar, anakku. Kau sendiri saja disini?
Dimana saudara-saudaramu yang lain?”
“Mereka semua sejak pagi tadi turun ke desa, Eyang.”
“Hmm ya ya ya. Duduklah Seta, ada yang ingin kusampaikan
pada kalian sebenarnya. Tapi biarlah kusampaikan saja hal ini
padamu, dan nanti dapat kau sampaikan pada saudara-saudaramu yang
lain.”
283 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ya. Eh, berita apakah itu Eyang?”
“Hmm, begini. Dalam surat yang dibawa oleh Sariti yah,
disamping membicarakan urusan perjodohan, Aki Pungkur juga
mengabarkan bahwa golongan hitam di daerah Jawa bagian tengah
sedang mempersiapkan suatu pertemuan untuk menggalang persatuan
diantara mereka.”
“Jadi, apa yang akan Eyang lakukan sekarang?”
“Ya, mempersiapkan diri kalian. Aku menghendaki kelak
kalianlah yang dapat mewakiliku. Mewakili Goa Larang untuk
menggagalkan rencana mereka. Oleh karena itu aku ingin sesegera
mungkin mempersiapkan kalian. Katakanlah jika nanti saudara-
saudaramu kembali. Aku akan memulainya besok pagi.”
“Baiklah, Eyang. Akan segera saya sampaikan begitu mereka
kembali. Oh ya, Eyang saya mendengar banyak dibicarakan oleh
seluruh penghuni padepokan ini bahwa kita akan kedatangan tamu
dari Galuh. Siapakah dia Eyang?”
Resi Wanayasa yang arif itu tersenyum.
“Ooh, itu … Itu adalah cucuku. Raden Karmapala.”
“Raden Karmapala putera dari mahaprabu Sanna di Galuh?”
“Iya-iya-iya, benar. Dia adalah putera dari Sanna. Dan dia
datang ke mari untuk mempelajari lahir-batin di padepokan ini. Akan
tetapi dia akan tetap mengirimkan sejumlah pengawal walaupun
yah… secara sembunyi-sembunyi.”
“Haah, padepokan kita akan menjadi semakin semarak
dengan kehadiran raden Karmapala.”
284 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ya, tentu saja. Mudah-mudahan saja kita dapat menjaganya.
Karmapala adalah seorang anak yang sangat nakal.”
“Masih cukup pantas Eyang. Bukankah raden Karmapala
masih sangat muda sekali?”
“Oh iya-ya. Masih sangat muda sekali. Umurnya… hmm,
baru empat belas tahun. Kira-kira dua tahun lebih tua dari raden
Purbaya.”
“Ya, itulah Eyang. Karmapala masih pantas berlaku nakal
dalam usianya yang semuda itu.”
“Ya ya, semoga saja anak itu tidak terlalu manja dan
menyusahkan kita. Nah, teruskanlah latihanmu Seta. Aku akan
kembali ke bilikku.”
“Eeh, orangnya itu sangat tampan lho.”
“Iya, saya sudah tahu banyak tentang pangeran dari Galuh itu.
Mbah Jatis semalam bercerita tentang raden Karmapala.”
“Emm, kapan menurut beritanya raden Karmapala akan
datang?” tanya Cempaka.
“Kalau menurut mbah Jatis semalam, katanya dalam waktu
dekat ini dia akan datang. Mungkin hari ini atau mungkin juga besok.
Yah, yang jelas kita semua di padepokan ini sudah mengadakan
persiapan untuk menyambutnya. Eh, hei… ayo makannya ditambah,
Raden.”
“Raden, mau ditambah nasinya?” tawar Cempaka.
285 Api Berkobar di Karang Sedana
“Sudahlah Bi. Saya sudah cukup kenyang. Terima kasih Bi
Parmi.”
“Eh, bagaimana tentang kesehatan Ibunda Raden? Bibi dengar
kemarin sudah dipindahkan ke bilik Raden?!”
“Iyah, benar Bi. Keadaan Ibunda saya sudah semakin
membaik.”
“Nah, ini airnya Bibi tambahkan.”
“Terima kasih, Bi… Tentang raden Karmapala, Bi Parmi…
apakah dia masih sangat muda?”
“Eeh, malah Bibi dengar raden Karmapala itu berumur hampir
tidak berbeda dengan Raden sendiri, yaah sekitar empat belas tahun
menurut Mbah Jatis.”
“Ooh, jadi Raden dapat memanggilnya Kakang. Dia dua tahun
lebih tua dari Raden.” berkata Cempaka.
“Aah, dua pangeran kecil yang tampan tinggal di padepokan
ini. Ah, Cempaka kau hanya mengurus raden Purbaya seorang
pangeran. Tapi aku sebentar lagi akan mengurus dua orang pangeran.
Raden Purbaya itu dan juga raden Karmapala yang sebentar lagi akan
tiba.”
“Ah, terima kasih Bi Parmi. Saya akan segera kembali.”
“Nah, ini Cempaka… makanan untuk Gusti-mu.”
Cempaka segera menerima sebuah nampan makanan yang
bertutupkan daun pisang dari Nyai Parmi, pengurus dapur padepokan
Goa Larang. Raden Purbaya membungkuk menghaturkan terima
kasihnya.
286 Api Berkobar di Karang Sedana
“Iya, terima kasih Bi Parmi. Hm, saya permisi. Mari
Raden…”
Demikianlah raden Purbaya terus berlatih tanpa menyia-nyiakan
sedikitpun waktunya untuk bermain-main. Dengan ataupun tanpa Ki
Luminta dia berlatih tanpa mengenal lelah.
***
Padepokan Goa Larang yang asri dan memiliki udara segar di
pagi hari, selalu dipecahkan keheningannya dengan bentakan-
bentakan orang-orang yang berlatih olah kanuragan. Bentakan-
bentakan itu memanglah hal yang biasa dalam olah kanuragan.
Bentakan maupun teriakan itu dimaksudkan untuk menaikkan
semangat, memompa tenaga pada setiap pukulan dan tendangan, dan
juga pada gilirannya memungkinkan untuk mengagetkan dan
menciutkan nyali lawan.
Demikianlah pada pagi itu, Ning Sewu tengah berlatih dengan
diperhatikan oleh resi Wanayasa.
“Cukup! Cukup anak-anak! Duduklah, aku kini sudah tahu
sejauh mana perkembangan ilmu kalian,” seru resi Wanayasa.
“Saya yang bodoh tidak berhasil mengembangkan lebih jauh
dari ilmu Kincir Metu kebanggaan kita,” Anting Wulan menjura.
“Demikian pula saya, Eyang. Saya adalah satu-satunya yang
paling bodoh. Hingga saat ini saya tidak berhasil untuk menyerap dan
287 Api Berkobar di Karang Sedana
menyamai ilmu dari kakang-kakang saya. Bahkan adik Wulan sendiri
sudah mengatasi saya.”
“Hmm, yah… sudahlah Awuk. Aku mengerti kenapa kau bisa
sampai seperti itu. Semata-mata bukanlah karena kau bodoh. Kau
mempunyai kemampuan yang sama dengan kakang-kakangmu. Akan
tetapi sikapmu dalam mempelajari ilmu banyak mempengaruhi
keberhasilanmu itu. Ketergesaan dalam menyerap ilmu dapat
mengakibatkan hal seperti yang kau alami itu. Nah, dalam pertemuan
ini aku akan mencoba membuka lebih banyak tentang Kincir Metu.”
Resi Wanayasa terbatuk sesaat.
“Ahh, Kincir Metu adalah termasuk salah satu ilmu kelas satu
dunia. Dan ilmu ini terdiri dari sepuluh tingkatan. Kau Awuk sudah
berhasil mempelajari hinggga tingkatan ke lima... Anting ke enam...
Saka ke enam… dan kakangmu Seta sudah berhasil pada tingkatan
khusus, tingkatan ke tujuh. Untuk dapat menguasai ke tingkatan tujuh,
delapan, sembilan dan sepuluh… kalian tidak dituntut hanya sekedar
mempelajari dan berlatih saja. Akan tetapi pada tingkatan ini kalian
harus benar-benar menghayati dan mengadakan satu bentuk tirakat.
Untuk itu kalian bisa langsung menanyakan pada Seta kakangmu itu
yang telah berhasil tingkatan ke tujuh.”
“Eyang guru, bukankah Eyang sudah menguasai ilmu ini
hingga ke tingkatan ke sembilan. Kenapa Eyang tidak bisa
mengajarkannya pada kami?”
“Eeh, Seta… coba kau jelaskan hal itu pada adikmu Wulan.”
288 Api Berkobar di Karang Sedana
“Adik Wulan, baik aku maupun eyang Resi tidak dapat
menjabarkan Kincir Metu pada tingkatan ke tujuh ini, seperti yang
pernah aku katakan. Tingkatan ke tujuh itu hanyalah berupa
pengulangan dari tingkatan sebelumnya, akan tetapi dengan pecahan-
pecahan gerakan khusus yang kita dapatkan melalui gerak otomatis
hal itu tidak akan terbayangkan oleh adik sekalian jika tanpa
pendalaman seperti yang dikatakan eyang Resi.”
“Nah, ini kuberikan salinan dari tiap-tiap tingkatan pada
kalian. Dan untukmu Awuk, tingkatan ke enam dapat kau mintakan
pada Mbah Jatis di ruang kitab. Nah, kini kalian dapat meninggalkan
tempat ini. Jika aku memerlukan kalian, aku akan menghubungi kalian
ke bukit Batu Larang di sebelah padepokan kita.”
“Eh, jadi kami harus di sana mempelajari kitab ini, Eyang?”
tanya Anting Wulan meminta kejelasan.
“Ya, bahkan disanapun kalian tidak boleh sering
berhubungan. Penguasaan ilmu itu kelak akan lahir dari tirakat kalian
masing-masing dan tidak akan mungkin dari pengarahan kakangmu.
Kalian dapat mengambil masing-masing satu gua untuk tempat kalian.
Aku memberikan waktu kalian tiga bulan. Nah, kita akan bertemu
kembali setelah kalian berhasil menguasai ilmu itu.”
“Baiklah Eyang. Jika demikian kami akan bersiap-siap untuk
segera pergi,” kata Raden Seta Keling sebelum berpamitan.
“Berangkatlah anakku. Do’aku menyertai kalian.”
***
289 Api Berkobar di Karang Sedana
Beberapa saat setelah raden Seta Keling berangkat meninggalkan
padepokannya untuk mendalami Kincir Metu pada tingkatan khusus,
jauh di sebelah timur gerbang Goa Larang tampak debu mengepul.
Serombongan penunggang kuda bergerak cepat menuju padepokan
dari resi Wanayasa.
“Hey, rombongan itu datang!” seru Nyai Parmi sambil
tergopoh-gopoh memasuki padepokan, “raden Karmapala datang!”
Nyaris seisi padepokan bergegas berkerumun di sekitar
gerbang padepokan. Resi Wanayasa sendiri pun tampak sudah berada
di gerbang utama padepokannya. Tak lama kemudian lima orang
penunggang kuda memasuki padepokan dan menghentikan kudanya.
“Selamat datang cucuku, Karmapala. Apakah kau masih
mengenalku, eyangmu?” sambut sang Resi pada orang termuda dari
para penunggang kuda itu.
“Ooh, engkaukah eyang Wanayasa?”
Resi Wanayasa terkekeh.
“Hehehehe, benar cucuku. Akulah Wanayasa.”
Raden Karmapala turun dari kudanya lalu berlutut dan
menjura dengan khidmat, “Eyang Wanayasa, saya menghaturkan
sembah bakti pada Eyang.”
“Ya, bangunlah Karmapala cucuku. Bagaimana keadaan
ayahandamu selama ini?”
“Ayahanda prabu selama ini berada dalam keadaan sehat-
sehat saja, Eyang.” jawab Karmapala dengan suara tegas.
290 Api Berkobar di Karang Sedana
“Bagus, bagus. Ngger, tahukah kau kenapa dan untuk apa kau
dikirim kemari. Ke padepokan yang sunyi ini?”
“Ayahanda prabu menghendaki saya kelak dapat menjadi
seorang pemuda yang kuat lahir dan batin.”
“Ya-ya-ya. Bagus, bagus sekali cucuku. Nah, untuk sementara
ini kau boleh beristirahat dahulu cucuku. Nanti kita akan dapat bicara-
bicara lagi.”
Resi Wanayasa menoleh pada para penghuni padepokan yang
berkerumun itu. Lalu berkata dengan suara lebih keras agar terdengar
oleh orang yang dimaksudkan.
“Jatis! Uruslah rombongan pengantar dari Galuh itu. Dan…
Hey, Parmi!”
“Ya, saya Eyang?!”
“Kau antarkanlah cucuku ke tempatnya untuk beristirahat.”
“Baik Eyang. Eeh.. marilah Raden, ikuti saya…”
“Hey, paman Rimbun kemarilah!” raden Karmapala berseru
pada seseorang, “Bawa semua perlengkapanku!”
“Baik, baik Raden.”
“Oh iya Eyang, saya nanti akan tinggal bersama-sama dengan
paman Rimbun di sini.”
“Iya tuan Resi, saya mendapat perintah untuk menemani
raden Karmapala dari mahaprabu Sanna, ayahandanya.”
“Hm, ya-ya. Jagalah junjunganmu itu sebaik-baiknya.”
“Oho, iya-iya-iya. Iya tuan Resi. Akan saya lakukan dengan
sebaik-baiknya tuan Resi.”
291 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ayolah paman Rimbun, kita segera beristirahat.”
“Baik Den,… eh mari tuan Resi.”
Sambil terbatuk-batuk resi Wanayasa bergumam, “Heeh,
semoga anak itu tidak merepotkanku. Sikapnya yang manja sewaktu-
waktu dapat saja membuat ramai padepokan ini. Aku akan bertindak
tegas jika sampai anak itu berbuat ulah di padepokan ini.”
“Nah, inilah kamar untuk tuanku. Silahkan Den.”
“Tunggu, Bi… Hoh, siapa namamu?”
“Parmi, Den. Nama saya Parmi. Orang-orang di padepokan
ini semua memanggil saya dengan sebutan Bi Parmi.”
“Heh, Bi apakah kamar ini sudah dibersihkan betul-betul?”
“Sudah, sudah Den. Bahkan kain alas kasurnya pun sudah
kami ganti dengan yang baru, Den. Seluruh lantai kamar ini dua kali
sudah kami sikat.”
“Hm, baiklah. Paman Rimbun, masukkan barang-barangku ke
dalam sana !”
“Ya? Ya, baik Den.”
“Eh, jika Raden sudah tidak memerlukan saya, saya segera
akan kembali Den.”
“Hm, baiklah kau boleh pergi. Oh, tapi sebentar… dimana
letak kamar mandi? Aku hendak membasuh mukaku sebelum
beristirahat.”
“Eh, di ujung sana itu Den. Di sana, di bawah sana. Di bawah
Sembilan Mata Air Dewa, Den.”
292 Api Berkobar di Karang Sedana
“Jadi aku harus berjalan sekian jauh, setiap kali aku akan
membasuh muka atau mandi?”
“Eh,.. emm iya. Iya Den. Tetapi jika hanya untuk membasuh
muka, saya dapat membawakan airnya Den.”
“Nah, cepat. Aku tunggu di sini.”
“Hey, paman Rimbun. Paman Rimbun! Paman Rimbun!?”
“Eh, iya. Iya Den. Iya Raden”
“Sedang apa Paman di dalam?”
“Anu… anu setelah merapikan perlengkapan Raden,
paman… paman tertidur di bawah amben, Den.”
“Ah, paman. Tahukah paman, kenapa Ayah sampai
membawaku ke padepokan ini?”
“Ya tentu saja tahu, Den. Ayahanda Raden ingin agar Raden
mempelajari ….”
“Stop! Sudah Paman. Aku tahu semuanya. Aku akan
mempelajari semua ilmu sakti dari padepokan Eyangku ini… Heeh,
Paman. Lihatlah, ada anak sebaya denganku di padepokan ini.
Panggillah, aku ingin bertemu dan bermain dengannya.”
“Oh, baik Den.”
“Hee! Bocah, bocah kecil, tunggu dulu !”
“Ada apakah Paman memanggil saya?”
“Heh, itu lihatlah pangeran Karmapala ingin berjumpa
denganmu.”
293 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tapi saya hendak pergi ke pancuran untuk membasuh tubuh
saya yang kotor ini…”
“Heh, kau gila apa? Junjunganmu pangeran Karmapala
memanggil mu! Ayo, ayo cepat ke sana!”
“Baiklah Paman.”
“Den Karmapala, anak gunung ini benar-benar tidak tahu
sopan-santun, Den. Dia hendak menolak panggilan Raden.”
“Hee? Benarkah kau menolak panggilanku.”
“Ah, sama sekali tidak Raden. Saya hendak lebih dahulu
membasuh tubuh dan wajah saya.”
“Siapakah namamu?”
“Purbaya, Raden.”
“Nah, Purbaya… aku ingin sekali berkawan denganmu. Mulai
saat ini aku akan tinggal di padepokan Eyangku ini.”
“Baik Raden. Ah, maaf jika sudah tidak ada yang Raden
perlukan dengan saya, saya hendak ke pancuran sana untuk membasuh
tubuh saya.”
“Heh, jika demikian marilah kita bersama-sama ke sana. Aku
pun ingin melihat pancuran itu. Mari, kau pun ikut Paman Rimbun!”
“Eh, baik Den.”
Mereka pun keluar ruangan pondok itu. Di tangga, tampak
Nyai Parmi membawakan wadah berisi air dengan wajah
kebingungan.
“Loh? Den… Raden… ini airnya sudah Bibi bawakan.”
294 Api Berkobar di Karang Sedana
“Saya akan ke pancuran sana, Bi.”
“Hehehehe, pakai saja air itu untuk membasuh mukamu, Bi.”
kekeh Ki Rimbun dengan tampang yang menyebalkan.
“Huuh, bagaimana raden Karmapala ini. Sudah jauh-jauh
aku bawakan air dari pancuran, eeh malah dia kini pergi ke pancuran.
Huuh dasar anak raja!” gerutu Nyai Parmi kesal.
“Heii, sejuk sekali tempat ini Purbaya.”
“Mari Raden kita ke bawah sana. Hup!” Purbaya melompat
ke bawah dari sebuah tebing tanah dan hinggap ke sebuah undak batu.
“Mari Raden, melompatlah kemari.”
“Jangan Raden,” Ki Rimbun memperingatkan, “Awas, undak
batu itu terlampau tinggi. Sebaiknya Raden melalui tangga batu sana
itu.”
“Oh iya, jika Raden takut jatuh, raden bisa melalui tangga batu
di sebelah sana itu.”
“Hee? Masakkan aku takut melompati tebing yang rendah
ini?”
“Oh, jangan Raden. Nanti kaki Raden dapat terkilir. Tempat
ini terlampau tinggi Den!” seru Ki Rimbun berkeras.
“Heii, Paman! Kau ini ingin membuatku malu? Minggir!”
“Oh, iya. Baiklah, saya akan menunggu di bawah Den.” Lalu
Ki Rimbun segera melompat seperti Purbaya, lalu dia berseru, “Raden
dapat menjejak pada batu kecil itu, baru melompat kemari. Ayo!”
“Lihatlah paman! … Eit, aaahh… Aahh…”
295 Api Berkobar di Karang Sedana
Ki Rimbun segera menangkap Karmapala yang terpeleset
sebelum dia sempat jatuh terjungkal.
“Hey, kenapa kau menangkapku Paman?”
“Ampun Raden, tadi saya melihat Raden goyah memijak
cadas itu. Saya khawatir Raden akan jatuh terguling ke bawah sini.”
“Kurang ajar! Kau menghinaku paman.!”
“Ampuun, ampun Raden. Ampunkan hamba… Paman…”
“He, Paman! Awas jika sampai kau sekali lagi menghinaku!”
“Ayo kita ke pancuran itu Purbaya.”
“Ohh, sejuk sekali air ini. Lihatlah Purbaya kita seakan-akan
berada di dunia lain. Lihatlah, beberapa belas tombak disekeliling kita
matahari seakan-akan hendak membakar padepokan ini. Sedangkan di
sini, cahayanya yang buas itu seakan-akan tidak berdaya menembus
keperkasaan pohon-pohon perkasa yang masih dilindungi
kesegarannya oleh Mata Air Dewa ini.”
“Iya, Raden. Saya selalu melakukan latihan bersama paman
Luminta di sekitar sini.”
“Latihan? Latihan apa Purbaya?”
“Latihan lompatan seperti yang saya lakukan tadi. Dari sungai
kering di sana itu hingga ke mari. Dan saya selalu beristirahat di
tempat ini.”
“Hmm, latihan lompatan?!”
“Itu hanyalah sekedar latihan keterampilan gerak dan daya
tahan tubuh,” jelas Purbaya kemudian.
296 Api Berkobar di Karang Sedana
“Apakah kau tidak diajarkan ilmu olah kanuragan di sini?”
“Ah, saya baru mendapatkan satu jurus serangan.”
“Satu jurus serangan?! Ahahahaha! Satu jurus serangan itu
yang baru kau dapatkan di sini?”
“Yah, karena saya pun belum lama belajar di sini.”
“Hee?! Belum lama? Jadi kau bukan berasal dari padepokan
ini?”
“Iya Raden, saya bukan berasal dari padepokan ini.”
“Hmm, lalu dari manakah kau berasal? Dari desa di sekitar
Karang Sedana ini ataukah dari Galuh sana?”
“Eh.. ehh, saya….”
Belum sempat raden Purbaya menjawab karena dia masih
berpikir harus menjawab seperti apa pada pangeran yang tampak
tinggi hati itu, tiba-tiba terdengar suara perempuan dari arah atas
mereka.
“Radeeeen! Raden diminta untuk segera kembali. Eyang
Wanayasa ingin segera bertemu.” suara Nyai Parmi menyeru-nyeru.
“Katakan saja nanti, Bi !” balas Karmapala. “Aku masih ingin
bermain-main di sini.”
“Tapi Raden, Eyang Wanayasa…”
“Sudahlah ! Katakan saja nanti aku akan menjumpainya!
Pergilah ke sana, kau!”
“Baiklah...” sahut Nyai Parmi.
Nyai Parmi kemudian berseru pada Purbaya, “Raden, jika
begitu nanti tolong antarkan Raden Karmpala ke bilik Eyang Resi.”
297 Api Berkobar di Karang Sedana
“Baik, bi Parmi.” balas Purbaya.
“Hee? Kau memanggil Raden pada Purbaya? Pada bocah
ini?”
Raden Karmapala dan juga Ki Rimbun menjadi terkejut ketika Bi
Parmi memanggil Purbaya dengan sebutan Raden.
“Eh, iya Raden…”
“Heeh, siapakah sesungguhnya bocah ini?”
“Aku adalah putera dari ayahanda Aji Konda dari Karang
Sedana, yang kini telah tersingkir.”
“Ooh, jadi kau adalah putera mahkota dari kerajaan Karang
Sedana? Kerajaan kecil yang menguasai wilayah sekitar sini?”
“Benar, Raden. Karang Sedana adalah sebuah kerajaan kecil
yang berada di bawah kekuasaan Galuh dan menjunjung tinggi
kebesaran ayahanda Raden, mahaprabu Sanna di Galuh.”
“Aah, bagus. Bagus. Jadi tidak salah agaknya aku memilihmu
sebagai kawanku, Purbaya.”
“Ah, Raden… sebaiknya Raden segera menemui eyang Resi.
Eyang Resi pasti akan kebingungan jika Raden tidak segera datang
menemuinya.”
“Hm, ah baiklah. Katakan saja pada eyang Resi aku akan
segera ke sana setelah aku membasuh wajahku di pancuran itu. Mari
Purbaya…”
“Heii, ayo kau cepat tinggalkan tempat ini, Bi ! Aku nanti
akan pergi bersama Purbaya.”
298 Api Berkobar di Karang Sedana
“Eh, baik. Baik Raden…”
***
Sementara itu di Karang Sedana, sang Prabu Jaya Sentana sedang
berbincang dengan Ki Suwanda dan beberapa orang tamu
undangannya.
“Tuanku, mereka inilah yang telah berjanji akan membantu
rencana kita itu. Ini Ki Sampar Angin dan muridnya.”
“Hm, apakah kau sudah mengerti semua rencana yang akan
kami jalankan, hmm?”
“Sudah Tuanku, melakukan suatu gerakan khusus ke
padepokan Goa Larang.”
“Hm, baiklah. Apakah kira-kira akan berhasil gerakan yang
akan kau pimpin itu Ki Sampar? Apakah kau cukup mengerti kekuatan
yang akan kau hadapi di sana?”
“Ya. Hamba sudah jelas dengan kekuatan yang akan hamba
hadapi di sana. Untuk melakukan gerakan ini, Ki Demang sudah
menjanjikan dana yang cukup untuk kami. Dengan dana yang
disediakan itu, hamba yakin akan dapat mengerahkan kawan-kawan
dari dunia hitam.”
“Carilah tenaga lebih banyak lagi. Aku tak ingin rencanaku
kali ini masih gagal juga. Dan ingat, serangan ini adalah serangan dari
musuh-musuh Ki Wanayasa yang mendendam padanya. Dan juga
pada Ning Sewu. Jadi bukan dari aku, prabu Jaya Sentana.”
299 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hamba mengerti, Tuanku. Pemerintah di Galuh hamba jamin
tidak akan mengetahui semua rencana Tuanku ini.”
“Bagus! Bagus Ki Sampar. Nah, jika rencana berhasil aku
akan memberikan hadiah khusus bagimu.”
“Terima kasih, Tuanku. Ah, tapi… ampun Tuanku… Tuanku
jangan khawatir peristiwa penyerangan ini akan diketahui oleh prabu
Sanna di Galuh. Lalu bagaimana dengan gerakan yang telah Tuanku
laksanakan di sini? Apakah sang prabu di Galuh tidak
mengetahuinya?”
“Apa yang kulakukan di sini? Semua yang terjadi di sini
memang sudah menjadi kehendak rakyat Karang Sedana. Mereka
sudah tidak senang lagi dengan kepemimpinan yang dilakukan Aji
Konda. Untuk itulah aku membantu usaha rakyat Karang Sedana. Dan
prabu Sanna di Galuh telah ku kirimkan laporan semua kejadian yang
terjadi di sini.”
“Semua yang Tuan katakan adalah benar semata. Hamba juga
menyaksikan sendiri selama beberapa tahun terakhir ini. Kekacauan
terjadi di seluruh bagian Karang Sedana.”
“Bagus, bagus Ki Sampar. Agaknya engkau sudah mengerti
siapa Aji Konda dan siapa aku. Heheheh, baiklah. Aku kira sudah
cukup pertemuan kita kali ini. Ki Darpo, antarkan Ki Sampar ke ruang
istirahat. Nah, Ki Sampar, beristirahatlah sementara di sini. Dan jika
engkau sudah merasa segar, lanjutkanlah tugas dan rencanamu.”
“Terima kasih. Hamba permisi, Tuanku.”
300 Api Berkobar di Karang Sedana
***
“Hmm, aku harus segera menemui muridku, Dandung. Semua
tugas menghubungi kawan-kawanku dan juga kakangku Prabangkara
akan kuserahkan pada Dandung. Dan aku akan bersenang-senang di
kotaraja Karang Sedana sampai semua tamuku tiba.”
“Dimana anak bodoh itu? Kemarin ku suruh dia menunggu di
sini.”
“Hueh, aku mendengar suara orang bertempur di ujung sana,
coba kulihat.”
Kuda berderap kembali.
“Haah, suara Dandung muridku. Dengan siapakah dia
bertempur?”
“Haah, kurang ajar. Siapakah pendeta itu? Dia mampu
mempermainkan muridku.”
“Guru! Pendeta ini sudah menghina kita…”
“Mundurlah kau Dandung bodooh, kau bukanlah lawan
pendeta itu.”
“Hahahaha, sekarang gurunya sudah datang. Kau kelihatan
gagah kembali gendut ! Bukankah tadi, kau sudah meminta ampun
padaku?!”
“Heh! Siapakah kau pendeta murtad?!”
“Benar, kau memang benar Aki Tua. Aku memang pendeta
murtad. Mengapa kau kelihatan marah padaku? Apakah kau kecewa
berjumpa denganku?”
301 Api Berkobar di Karang Sedana
“Kaulah yang akan menyesal bertemu denganku kepala
gundul !”
“Baiklah. Akan kulihat sampai dimana kepandaianmu Aki
Tua. Nah, cobalah kau terima batu ini. Hup!!!”
Pendeta tinggi besar dan berkepala gundul itu ternyata adalah
Rakosapala, murid dari pendeta Girindasana. Batu sebesar anak
kerbau yang berada di sampingnya dengan sekali sentak telah diangkat
hingga ke atas kepalanya. Dengan ringan sekali batu tersebut
diayunkannya hingga meluncur cepat ke arah Ki Sampar Angin.
Ki Sampar Angin yang melihat batu besar meluncur ke arahnya segera
saja dia melompat meninggalkan kudanya dan bersamaan dengan itu
tangannya meraih rantai kecil dari balik jubahnya. Dan beberapa saat
kemudian batu besar yang meluncur kearahnya telah berada di ujung
talinya dan berputar-putar siap untuk dikembalikannya.
“Anak sombong, tertawalah. Sebentar lagi kepalamu akan
pecah berkeping-keping.”
“Oh… Ternyata orang ini ilmunya luar biasa sekali. Tidak
kusangka.”
“Ayolah mana tawamu tadi? Ayo, bangun. Bersiaplah, aku
akan menyerangmu lagi.”
“Hmm, akan kucoba dengan kelelawar saktiku.”
“Ah, kelelawar sakti… hee! Tunggu, tunggu kepala gundul.”
302 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ada apa Aki Tua? Apakah kau mengenal ilmuku ini dan
takutkah engkau ?”
“Apa hubunganmu dengan si gundul Girindasana?”
“Heh, kenapa kau tanyakan nama itu, apakah kau takut?”
“Jangan membuatku marah kepala gundul. Aku hanya tidak
ingin kesalahan tangan membunuh murid kawanku.”
“Oh, agaknya kau mengenal guruku.”
“Tentu saja! Dimana dia?”
“Dia berada tak jauh dari sini. Di desa sebelah barat sana!”
“Heh, lalu masalah apa yang terjadi dengan muridku?”
“Murid Aki si gendut itu keterlaluan sekali. Dia
menghadangku dan hendak merampas kudaku. Hahaha, ya tentu saja
dia aku beri pelajaran.”
“Heemmm,” Dandung Amoksa menggeram marah.
“Heh, ayolah Dandung. Kita temui kawanku dulu,
Girindasana. Untung saja dua tahun yang lalu dia mempertunjukkan
Kelelawar Sakti-nya padaku. Jika tidak tentu aku sudah kesalahan
tangan padamu, gundul”
Kuda berderap.
***
“Cukup Paman. Cukup. Aku tidak mau lagi menuruti perintah
gilamu ini. Aku kemari untuk mempelajari ilmu-ilmu sakti dari
perguruan ini. Janganlah kau ajarkan aku berlari-lari seperti ini !”
303 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tapi Raden, yang paman berikan ini merupakan…”
“Dasar dari ilmu olah kanuragan. Itu kan yang akan Paman
ucapkan? Saya sudah tahu! Saya tidak butuh itu. Saya bukanlah
Purbaya yang bodoh yang mau saja Paman perdayai dengan
permainan anak-anak seperti ini. Janganlah perlakukan saya seperti
anak-anak.”
“Raden tidak akan dapat dengan baik menguasai ilmu sakti
jika tidak memiliki daya tahan tubuh yang baik, Raden.”
“Aku tidak percaya! Berikan aku jurus-jurus ilmu sakti saja.
Janganlah menyuruhku untuk melakukan hal-hal yang tidak berarti.”
“Tapi Den…”
“Ataukah Paman tidak percaya dengan kata-kataku? Paman
boleh coba. Daya tahan yang dimiliki Purbaya itu tidak akan berarti
padaku. Ayo Purbaya, seranglah aku dengan jurus yang telah kau
lengkapi dengan daya tahan tubuhmu.”
“Sudahlah Raden, biarlah nanti hal ini akan Paman bicarakan
dengan Mbah Jatis.”
“Mbah Jatis? Siapakah dia?”
“Mbah Jatis adalah pengasuh semua murid padepokan. Dia
adalah adik seperguruan dari eyang Resi.”
“Hee? Kenapa harus menanyakan pada Mbah Jatis segala?
Bukankah eyang Resi kemarin telah memerintahkan Paman untuk
melatih saya?”
“Iya, benar. Tapi permintaan Raden adalah diluar kebiasaan.
Semula raden Purbaya juga berpendapat seperti Raden.”
304 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hee? Ayo Purbaya, kita coba saja. Seranglah aku dengan
ilmu yang kau miliki itu, dan dengan daya tahan tubuh yang
dibanggakan paman Luminta.”
“Jangan Raden.”
“Sudahlah Paman. Aku juga ingin sekali membuktikan ilmu
yang baru kupelajari ini. Hupp!!”
“Naah, bagus. Ayo serang aku.”
“Hait, hiyaah… hiyaah!”
Purbaya pun mulai menyerang Karmapala dengan Gerbang
Dewata yang selama ini dilatihnya. Dengan mudah Karmapala
mengelakkan serangan itu dan segera membalaskan beberapa pukulan
pada Purbaya yang langsung terbanting jatuh dan mengaduh
kesakitan.
“Mana paman? Mana daya tahan tubuh yang akan Paman
banggakan itu? Ilmu itupun tak ada artinya buatku.”
“Hoo, Raden… agaknya Raden sudah mendapatkan beberapa
jurus ilmu olah kanuragan.”
“Benar Paman. Bukankah tidak ada artinya jika aku kemari
hanya mempelajari ilmu-ilmu yang justru jauh lebih rendah dari yang
kumiliki sekarang?”
Purbaya meringis bangkit.
“He, bagaimana Purbaya? Bukankah tidak ada artinya ilmu
lompat-lompatan dan permainan lari yang kau pelajari itu.”
“Aku akan mencobanya lagi, Raden. Hupp! Hiyaah!”
305 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ini aku tambahkan agar kau dapat lebih jelas mengetahui
siapa yang unggul di antara kita.”
Jurus-jurus yang dilancarkan Purbaya tidak ada artinya sama sekali
untuk menghadapi raden Karmapala yang sudah terlatih. Raden
Purbaya menjadi bulan-bulanan pukulan dari raden Karmapala.
Sampai pada suatu saat raden Purbaya menjadi nekat menyerang raden
Karmapala dengan membabi buta dan berhasil menyergap raden
Karmapala.
“Lepaskan! Lepaskan Purbaya! Purbaya, jangan memeluk
seperti ini.” jerit raden Karmapala yang menjadi tidak berkutik dengan
sergapan itu, sementara Purbaya terus menyerang sambil berteriak-
teriak riuh.
Raden Purbaya yang kini berhasil memeluk tubuh raden Karmapala
yang hampir tak berbeda besarnya, terus merangkulnya dan sedikitpun
tidak memberi kesempatan pada raden Karmapala melancarkan
pukulan. Malah kini raden Purbaya yang merangkulnya, membanting
tubuh Karmapala ke tanah berkali-kali.
“Sudah… Sudah… Cukup Raden, cukup!! Cukup sudah
lepaskan raden Karmapala. Ayo lepaskan Purbaya. Sudah… sudah!”
Mendengar perintah dari gurunya itu, Purbaya pun menyudahi
bergumul dengan raden Karmapala.
“Anak itu curang sekali. Dia memeluk tubuhku dan
menyerangku tidak dengan aturan.” sungut raden Karmapala.
306 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hahahah, dalam suatu perkelahian banyak macam cara
dipergunakan orang, Raden. Yang dilakukan oleh raden Purbaya tadi
pun banyak dipergunakan oleh jago-jago berkelahi dari seberang
lautan.”
“Hee?! Tapi yang dipergunakan oleh Purbaya adalah cara
berkelahi anak-anak kampung!”
“Raden memang benar. Tapi mana ilmu yang sudah selama
ini raden kuasai? Mana? Bukankah tidak ada artinya dibandingkan
pelukan raden Purbaya? Raden tidak berdaya sama sekali.”
“Tapi, mengapa saya mengalahkan dia dengan jurus yang
bukan menjadi jurus kebanggaan saya, kebanggaan padepokan Goa
Larang? Mengapa saya harus mengalahkan dia dengan gerakan yang
dikatakannya sebagai gerakan anak kampung?” tanya Purbaya.
“Hmm, itu karena Raden belum mempelajari Aji Kincir Metu
dengan baik. Dan yang baru Raden dapatkan itu memang hanyalah
baru gerak pembuka yang kurang berarti dari Kincir Metu.”
Ketika Ki Luminta sedang memberikan pengarahan pada raden
Purbaya, tiba-tiba telinganya yang cukup peka mendengarkan
dengusan tawa yang mengejek padanya.
“Heheheheheheheeheh…”
“Hm, siapa itu? Ayo keluar, jangan sembunyi. Heeh, siapakah
Kisanak? Tempat ini hanyalah rimbunan beberapa pohon, Kisanak
tidak akan dapat bersembunyi dengan baik. Ayo keluarlah!”
307 Api Berkobar di Karang Sedana
Aki Luminta yang merasa penasaran dengan tawa yang dirasakan
asing itu segera melompat ke beberapa tempat yang diduga tempat
persembunyian orang misterius yang mentertawakannya itu. Akan
tetapi beberapa kali dia mencari ke setiap tempat yang dicurigainya
tidak juga dapat dia menemuinya.
“Bagaimana Paman?”
“Tidak ada. Mungkin orang itu sudah meninggalkan tempat
ini. Sudahlah, ayo kita lanjutkan saja latihan.”
“Ahh, baik Paman.”
“Coba kau buka lagi jurus Gerbang Dewata-mu”
“Baik.”
“Bagus, bagus Raden. Eeh, sekarang lihatlah. Paman akan
memberikan jurus berikutnya.”
“Oh?! Terima kasih Paman. Terima kasih.”
“Nah, lihatlah.”
Ki Luminta memperagakan jurus berikutnya dari Gerbang
Dewata.
“Sekarang kau coba tirukan itu…”
“Hup! Hiyaah!”
“Bagus, tetapi gerak kakimu harus benar-benar bersamaan
dengan serangan tangan kiri ke dada lawan. Perhatikan lagi…”
***
308 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm, jika begitu biar anak itu aku yang tangani saja
Luminta. Kau boleh mengurus raden Purbaya saja. Aku akan berusaha
mengendalikan anak itu.”
“Terima kasih, Guru. Jika demikian saya kembali ke sanggar,
melihat anak-anak yang lain.”
“Aah, tunggu dulu Luminta. Ada yang sedikit akan kuminta
penjelasan darimu.”
“Apakah itu, Guru?”
“Tadi kau katakan bahwa raden Karmapala sudah memiliki
jurus-jurus dari luar padepokan ini. Apakah kau bisa mengenali jurus
itu?”
“Oh, maaf Guru, saya tidak bisa mengenalnya. Akan tetapi
menurut penglihatan saya, bukanlah aji atau ilmu yang termasuk
dalam ilmu kelas satu dunia.”
“Hmm, yayaya. Oh ya… Lalu sampai mana kau memberikan
bimbingan pada raden Purbaya?”
“Kemarin saya baru saja memberikan jurus kedua dari
tingkatan pertama dari Kincir Metu.”
“Hmm, apakah anak itu cukup rajin berlatih?”
“Oh, luar biasa sekali Guru. Semula saya mengira karena dia
adalah seorang anak yang masih kecil, saya merencanakan hendak
memberikan latihan ketahanan tubuh dan keterampilan tubuh untuk
waktu yang panjang. Akan tetapi saya melihat ketahanan dan
semangatnya amat luar biasa. Jadi saya percepat pemberian jurus
pembukaan dari Kincir Metu.”
309 Api Berkobar di Karang Sedana
“Hmm, bagus… bagus. Berikan terus sesuai dengan
kebutuhannya. Jangan paksakan anak itu dan juga jangan terlampau
lamban.”
“Baik Guru.”
“Hmm, bagus. Bagus Luminta. Kira-kira demikianlah yang
dikehendaki eyang Resi. Nah, jika kau sudah mengerti dan jelas, kau
boleh segera pergi.”
“Sudah jelas semuanya, Guru. Jika demikian saya mohon
pamit.”
***
“Ooh, apakah jurus Gerbang Dewata ini cukup bagus, Mbah?
Purbaya dapat dengan mudah kukalahkan, kupatahkan serangannya?”
“Jika jurus itu hanya berdiri sendiri, memang tidak berarti
Raden. Tapi jika digabung dengan jurus dan serangan berikutnya,
Gerbang Dewata ini akan menjadi satu dasar gerak yang baik. Hmm,
Mbah dengar Raden sudah pernah mempelajari ilmu kanuragan di
istana Galuh?”
“Benar Mbah. Banyak pengawal-pengawal Ayahanda yang
memberi petunjuk pada saya.”
“Coba Raden tunjukkan ilmu-ilmu apa saja yang telah Raden
pelajari itu?!”
“Baik Mbah…”
310 Api Berkobar di Karang Sedana
“Aah, tunggu… tunggu… tunggu dulu. Stop Raden. Siapa
yang mengajarkan Raden ilmu itu? Melihat gerakan Raden, tentu yang
mengajarkan Raden berasal dari seberang lautan.”
“Oh, benar Mbah. Ini saya dapatkan dari paman Pakih Sulung
yang berasal dari tanah Melayu. Dia adalah salah seorang pengawal
Ayahanda prabu.”
“Hmm, coba Raden perlihatkan lagi yang lain. Yang Raden
dapatkan dari guru yang lain.”
“Baik, Mbah.”
“Nah, bagaimana Mbah? Apa Mbah juga mengenal ilmu yang
baru saja saya mainkan?”
“Hmm, ya ya ya. Itu adalah Kepalan Sakti dari selatan.”
“Hee?! Hebat sekali Mbah. Mbah tahu nama… nama aji-aji
yang saya miliki. Tapi… eh, apakah aji yang Mbah miliki lebih baik?
Lebih hebat dari aji yang saya ini?”
Mbah Jatis tertawa.
“Hm, mungkin ya tapi mungkin juga tidak.”
“Ah? Apa maksud Mbah?”
“Setiap aji atau ilmu itu memiliki kekhasan dan keragaman
daya serang yang berbeda-beda. Kehebatan sebuah aji, daya serang
sebuah aji akan tergantung sekali pada orang yang menerapkannya.”
“Ah, maksud Mbah?!”
“Kepalan Sakti Selatan mu itu jelas kehebatannya akan
berbeda jika gurumu sendiri yang mempergunakannya. Jadi jika
311 Api Berkobar di Karang Sedana
Raden ingin menjadi seorang yang tangguh, persiapan dasar Raden
harus benar-benar sempurna.”
“Saya akan mencoba menuruti segala petunjuk Mbah.”
“Bagus jika demikian. Untuk selanjutnya, dilarang untuk
mempelajari lagi segala bentuk atau aji kanuragan dari luar padepokan
ini. Dan untuk yang sudah Raden miliki itu, Raden dilarang untuk
mempergunakannya apalagi mengembangkan ilmu itu.”
“Ooh, tapi apakah tidak sayang Mbah? Justru jurus Kepalan
Sakti Selatan saya ini jauh lebih baik dari jurus yang dimiliki Purbaya.
Jurus yang didapatkannya dari padepokan ini.”
“Hmm, hehehe. Jika Purbaya telah memiliki tiga jurus saja,
pasti Raden sudah bisa dikalahkannya. Kemaren Raden mengalahkan
nya karena raden Purbaya baru memiliki jurus pembukaannya saja.”
“Ooh? Apakah Mbah dapat membuktikannya?”
“Boleh, bagaimana caranya Raden?”
“Saya akan menyerang Mbah dengan ilmu dan aji yang telah
saya miliki. Dan Mbah melawan dengan aji Kincir Metu jurus satu dan
dua seperti yang Mbah katakan hebat itu. Tapi Mbah tidak boleh
mempergunakan tenaga Mbah yang kuat.”
Mbah Jatis terbahak.
“Hahahaha! Boleh. Boleh Raden. Hmm, Mbah akan menutup
kedua mata ini. Hmm, ikat kepala ini cukup tebal… Nah, ayo. Ayo
silakan Raden serang Mbah.”
“Ah, Mbah sungguh-sungguh?!”
312 Api Berkobar di Karang Sedana
“Iya, ayo seranglah Mbah. Jangan ragu-ragu Raden. Mbah
tidak akan mempergunakan tenaga Mbah yang kuat seperti yang kau
katakan tadi. Nah, Ayo… Lihat Mbah akan duduk di batu ini agar
mudah kau pukul.”
“Baiklah!”
Raden Karmapala yang masih merasa besar kepala dengan ilmu dan
aji yang dimilikinya segera menyerang Mbah Jatis dengan Kepalan
Saktinya. Akan tetapi, mahaguru dari padepokan Goa Larang ini
hanya sedikit menggerakkan tubuhnya. Serangan dari raden
Karmapala luput dan tangan kirinya mendorong sambil mencubit
perut dari raden Karmapala.
“Hup! Hup! Hiyaaah!!”
“Hahahaha. Bagaimana Raden? Ayo. Ayolah serang terus
Mbah ini.”
“Hoo, aku akan mencoba menyerang orang tua sombong ini
dari belakang. Biar dia tahu rasa!”
“Ayo Raden, serang Mbah. Ayo, kenapa diam saja? Hey, ayo.
Ayo seranglah.”
“Ayo tertawalah, sebentar lagi Kepalan Saktiku akan
menghantam tengkukmu.” raden Karmapala tertawa dalam hatinya.
“Hupp! Hiyaaah!”
“Hup! Hahahaha, Hey… bagaimana Raden?”
“Ah, kenapa Mbah menggunakan ilmu sihir?”
“Ilmu Sihir? Hahaha, mana ilmu sihirnya Raden? Ini adalah
salah satu ilmu padepokan Goa Larang. Bukan ilmu sihir.”
313 Api Berkobar di Karang Sedana
“Tapi bagaimana mungkin Mbah bisa mengetahui serangan
saya dengan mata tertutup bila itu bukan ilmu sihir?”
“Ah, bukan Raden. Ini bukanlah ilmu sihir. Mbah mengetahui
serangan dan gerakan Raden dengan mempergunakan ilmu Empat
Arah Pembeda Gerak. Raden boleh pergi kemana pun, ke arah
manapun. Mbah dapat menunjuknya, bahkan menangkap Raden.”
“Oh, baiklah.”
Raden Karmapala bergerak.
“Coba dimana saya sekarang ini Mbah?”
“Ah itu, bukankah Raden berada di sana?!”
“Setan betul dia dapat menunjuk dengan tepat dimana aku
berada.”
“Tunggu dulu Mbah, sebentar.”
“Raden tidak usah bicara, saya akan menunjuk dimana Raden
berada… Hmm, di sana. Raden kini sudah berada di atas pohon itu.”
“Hee, hebat sekali Mbah. Ajarkan saya ilmu Mbah yang
hebat-hebat.”
“Ah, bagus. Bagus Raden. Sekarang kita mulai berlatih lagi.
Ayo, ulangi gerakan yang Mbah ajarkan tadi. Jurus Gerbang Dewata.”
Dengan semangat yang tinggi, kini raden Karmapala mengikuti ajaran
dan perintah dari Mbah Jatis. Hari demi hari raden Karmapala berlatih
dan berlatih.
“Ayolah Raden, satu putaran lagi.”
“Baiklah akan saya coba lagi, Mbah.”
314 Api Berkobar di Karang Sedana
Sementara itu raden Purbaya yang menerima didikan dari Ki Luminta
kini sudah menginjak jurus ketiga dari Kincir Metu tingkat pertama.
Untuk itu kini latihannya sudah di gabungkan dengan rombongan
murid tingkat dasar padepokan Goa Larang.
“Hup hiya hiya hup hup hiya hiya hup heit hiya heit hiya”
“Ya ya, cukup. Cukup sudah latihan kita hari ini.”
“Ah kemari Raden. Paman ingin bicara sebentar.”
“Ya, ada apa Paman?”
“Mulai hari ini, setiap kali Raden sudah bisa terus latihan
bersama-sama di sini. Dan Raden bisa juga latihan sendiri
menggunakan tempat ini. Nah, tanpa harus ke pinggir sungai kering
sana itu, ya.”
“Tapi saya kira saya masih membutuhkan latihan di pinggir
kali sana itu Paman. Saya akan latihan di sana sendiri, sebelum atau
sesudah latihan bersama di sini.”
“Ya, itu terserah padamu. Jika kau memang suka di sana. Tapi
harus kau ingat dulu, aku memberi latihan di pinggir sungai sana
karena khusus mempersiapkanmu agar dapat mengejar dan dapat
bersama-sama latihan dengan kakak-kakakmu yang beberapa saat
sudah mendahuluimu.”
“Saya mengerti, Guru. Tapi biarlah, saya tetap memperguna
kan pinggiran sungai itu untuk berlatih.”
“Hey, sudah selesai latihannya?”
“Ada apakah? Apakah Raden ingin melihatnya?”
315 Api Berkobar di Karang Sedana
“Ya, sayang sekali. Aku ingin melihat perkembangan ilmu
olah kanuragan sahabatku Purbaya.”
“Yah, sayang sekali. Besok Raden datanglah lebih pagi jika
Raden ingin melihat latihan di sini.”
“Hee? Mana mungkin? Mbah mengajarku dari pagi-pagi baru
selesai sekarang ini. Apakah kau tidak bisa latihan lebih siang sedikit
agar aku dapat melihat kalian berlatih?”
“Apalagi yang hendak Raden lihat? Aji yang mereka latih
sedikitpun tidak berbeda dengan yang Raden dapatkan dari Guru.”
Raden Karmapala tidak mengacuhkan ucapan Ki Luminta itu.
Dia malah mendekati Purbaya.
“Hey Purbaya. Sudah sejauh mana kau dapatkan aji-aji dari
paman Luminta?”
“Sudah sampai pada jurus tiga, tingkatan dasar Kincir Metu.”
“Aah, hanya baru jurus tiga? Aku yang lebih akhir datang
kemari sudah mendapatkan empat jurus dari Kincir Metu dasar. Hey
untung aku tidak belajar dengan paman Luminta.”
“Aku harus memiliki lima jurus dari tingkat dasar Kincir
Metu. Aku ingin sekali ikut dalam pesta pendadaran14 itu. Ya, aku
harus memiliki lima jurus itu.”
14 Penentuan tingkatan.
316 Api Berkobar di Karang Sedana
Raden Purbaya bertekat untuk mendapatkan dan menguasai lima jurus
dari Kincir Metu. Untuk itu setiap selesai berlatih bersama kakak-
kakak seperguruannya secara diam-diam dia memperhatikan dan
mencatat setiap gerakan jurus keempat dan kelima dari Kincir Metu.
“Hup hait hup hup hait hiyat hiyat,… Oh, ada yang
mengintipku. Siapa yaa?”
Purbaya berhenti dan berdiri.
“Paman siapa yang mengintip latihanku? Keluarlah. Semua
ini aku lakukan karena aku ingin ikut pesta pendadaran itu. Aku tidak
bermaksud sedikitpun mencuri belajar untuk maksud yang buruk.
Sungguh paman!”
“Heheheheheheeh!!!”
Raden Purbaya tersentak ketika mendengarkan suara tawa yang
sebenarnyalah bukan tawa dari murid padepokan Goa Larang. Tawa
yang pernah didengarnya ketika dia sedang berlatih bersama Ki
Luminta.
Bersambung.
… Kisah Sepasang Anak Harimau.
317 Api Berkobar di Karang Sedana
318 Api Berkobar di Karang Sedana