Post on 16-Oct-2021
DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul Hamid Hakim Tentang Perluasan Makna Ahli
Kitab dan Implikasinya Terhadap Argumentasi Perkawinan Muslim
Dengan Wanita Ahli Kitab
Nasrullah
Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir FIAI UNISI Tembilahan-Riau
e-mail: anas.banjar@gmail.com
Abstrak
Artikel ini mendiskusikan suatu pendapat yang cukup
kontroversial dalam konteks keulamaan di Nusantara pada
akhir abad 20. Pendapat itu dikemukakaan oleh Abdul
Hamid Hakim dari Padang Panjang Sumatera Barat
tentang penafsiran perluasan makna ahli kitab dalam al-
Qur’an yang berdampak pada signifikansi hukum. Menurut
Hakim, konsep ahli kitab dapat ditafsirkan secara lebih
luas dari hanya sekedar makna klasik yang merujuk pada
Yahudi dan Nasrani an sich. Namun bisa dicakupkan pada
agama selain dua di atas dalam koridor syibh/serupa ahli
kitab seperti Majuzi, Shabi’in, Budha, Hindu dan
sebagainya. Dari segi corak pendapat mengenai batasan
makna ahli kitab, Hakim tergolong pada golongan yang
apresiatif dan inklusif dalam memaknainya. Dalam konteks
inilah lalu cakupan luas itu berdampak pada aspek hukum,
khususnya mengenai perkawinan muslim dengan wanita
ahli kitab dari golongan agama yang diperluas tersebut.
Hakim berkesimpulan bahwa sepanjang perkawinan
muslim dengan wanita ahli kitab dan bukan sebaliknya,
berdasarkan ayat ke 5 dari surat al-Maidah yang men-
takhsish keumuman larangan menikahi wanita musyrikat
dalam surat al-Baqarah ayat 221, maka bisa dibenarkan
dengan alasan tertentu yang ketat. Alasan perkawinan
menjadi dibenarkan jika suami muslim bisa menarik sang
istri kepada agamanya dan mendidik istrinya tersebut
sebagaimana pengalaman yang dilakukan beberapa
2 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
sahabat Nabi. Namun jika sebaliknya, sang suami
terancam dengan keimanannya maka perkawinan itu demi
hifz ad-din dan menampik mafsadat dalam teori kaidah
fiqih dan ushul fiqih, maka perkawinan itu pun demi hukum
dilarang/diharamkan.
Kata Kunci: Penafsiran, Ahli Kitab, Muslim, Wanita,
Perkawinan
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang merupakan kumpulan
firman-firman Allah yang telah diturunkan pada Nabi Muhamad SAW.
Di antara tujuan utama diturunkannya al-Qur’an adalah untuk menjadi
pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh
kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat. Agar tujuan itu dapat
direalisasikan oleh manusia, maka al-Qur’an datang dengan petunjuk-
petunjuk, keterangan-keterangan, aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan
konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang terperinci, yang
eksplisit maupun yang implisit.1
Dari sekian banyak konsep yang terdapat dalam al-Qur’an,
menurut Nurcholish Madjid,2 terdapat salah satu konsep ajaran Islam
yang sangat khas, yaitu konsep tentang para pengikut kitab suci atau
ahli kitab.3 Konsep ini dalam pemaknaan operasionalnya dipahami
1 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis
dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan bintang, 1994), hlm. 1. 2 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 59 . 3 Al-Qur’an menyebut istilah ahli kitab sebanyak 31 ayat. Untuk lebih detail
lihat Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-
Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H / 1987), hlm. 95-96.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 3
Nasrullah
sebagai sebuah sikap yang memberi pengakuan tertentu pada penganut
agama lain yang memiliki kitab suci. Termasuk di antara pengakuan itu
ialah mengakui akan hak-hak komunitas ahli kitab untuk menjalankan
syari’at dan toleransi hubungan sosial dengan mereka. Konsep ini
diakui oleh Criyl Glasse sebagai konsep yang pertama dan belum
pernah ada sebelum kedatangan Islam.4
Konsep ahli kitab dan permasalahannya cukup banyak diungkap
dan eksplorasi dalam al-Qur’an. Islam sebagai agama yang datang
sesudah kemunculan agama-agama Ibrahim atau semitik, sudah barang
tentu harus mempunyai suatu konsep kerukunan dan toleransi dalam hal
berinteraksi dengan agama-agama sebelumnya. Sebab Islam tidak hadir
sebagai realitas tunggal dan ekslusif dalam aras interaksi sosial. Secara
umum, Yahudi dan Nasrani adalah dua komunitas agama yang
termasuk ke dalam cakupan terma ahli kitab ini. Dua komunitas agama
tersebut diakui memiliki persambungan aqidah dengan kaum muslimin,
sebab berasal dalam rumpun agama semitik atau agama Ibrahim
sebagaimana telah disebutkan di atas.
Fazlur Rahman,5 seorang intelektual muslim yang disegani dalam
blantika studi Islam mengatakan, bahwa inti pesan yang dibawa Islam
pada hakekatnya sama dengan rangkaian pesan yang disampaikan oleh
Nabi-nabi terdahulu.6 Hal ini dapat dibuktikan, bahwa Allah sendiri
4 Criyl Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, alih bahasa Ghufron A. Mas’udi,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 15. 5 Fazlur Rahman, “Sikap Islam terhadap Yahudi”, dalam Mochtar Pabottinggi
(ed.), Islam Antara Visi, Tradisi dan Hegemoni Bukan Muslim, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1986), hlm. 171. 6 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 87.
4 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
telah menegaskan, bahwa diturunkannya al-Qur’an sebagai kitab suci
berfungsi “membenarkan” terhadap sebagian ajaran Taurat dan Injil
serta “mengoreksi” sebagian ajaran lainnya.7 Pada awal perkembangan
Islam, terma ahil kitab selalu menunjuk kepada dua komunitas agama
Yahudi dan Nasrani.8 Akan tetapi dalam perkembangan sejarah
keummatan muncul perbedaan pendapat akan makna dan cakupan ahli
kitab tersebut.
Perdebatan para ulama terlihat dalam pembahasan tentang apakah
ahli kitab hanya terbatas interpretasinya pada dua komunitas agama di
atas atau tidak. Ataukah interpretasinya lebih meluas cakupannya
kepada beberapa agama yang kitab sucinya “diduga keras” berasal juga
dari Tuhan, dan diakui sebagaimana agama samawi dan disamakan
seperti ahli kitab. Perbedaan penafsiran antara ulama tafsir maupun
ulama fiqih tentang makna dan cakupan ahli kitab menjadi semakin
bervariasi dan bersifat multi interpretasi.
Menurut hemat penulis, perdebatan pertama mengenai ahli kitab
biasanya diperselisihkan mengenai tentang batasan cakupannya. Pada
konteks ini, perbedaan disebabkan oleh kecenderungan pemakaian
metode dalam penggunaan interpretasi yang berbeda. Yakni,
kecenderungan di satu sisi yang lebih menitikberatkan kepada
pemahaman yang bersifat tekstual-normatif dan di sisi lain kepada
pemahaman yang bersifat interpretasi historis-kontekstual. Pada tataran
pedebatan berikutnya barulah merambat pada kontroversi tentang
kebolehan memakan makananan ahli kitab dan kebolehan orang
7 Lihat Ali ‘Imran )3): 3, al- (5) : 48, dan al-An’am (6) : 92. 8 Lihat al-Ankabut (29) : 46.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 5
Nasrullah
muslim mengawini wanita-wanita ahli kitab, sebagaiman sudah
maklum dalam disiplin fikih.
Ulama-ulama klasik umumnya, berpegang pada pemahaman
tekstual dari makna ahl kitab yang hanya memaknai dua komunitas
agama di atas, atau hanya beranjak pada penafsiran tambahan dengan
memasukkan agama Majusi dan Sabi’in. Pemahaman tekstual klasik ini
pada perkembangannya sampai saat ini berdampak kepada pandangan
ulama dan umat Islam terhadap ahli kitab menjadi eksklusif. Fakta ini
dikuatkan oleh pernyataan Alwi Shihab yang mengatakan bahwa,
sangat jarang para mufassir yang mengapresiasi konsep ini secara
positif.9 Dalam pengamatannya, bahwa pandangan positif tentang ahli
kitab dalam literatur tafsir yang diapresiasi masih sangat terbatas secara
kuantitatif. Ia hanya menyebut ada tiga kitab tafsir; yakni al-Manar
karya bersama dua modernis Muhammad Abduh dan muridnya Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha, al-Mizan karya Muhammad Husein at-
Thabathaba’i, dan al-Mubin karya Jawad Mugniah. Dengan ditemukan
data demikian maka menjadi hal yang wajar jika ulama klasik dan umat
Islam pada umumnya memiliki pandangan eksklusif terhadap
komunitas ahli kitab ini.
Pandangan muslim yang ekslusif pada kenyataan faktual dan
empiris dalam relasi sosial beragama nampaknya tidak cukup kuat
untuk membangun fondasi sebuah konstruk paradigma hidup dalam
pluralitas agama sebagaimana halnya dalam konteks keindonesiaan.
Padahal kalau kita menyadari secara lebih dalam, realitas pluralitas itu
9 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,
(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 57.
6 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
adalah bagian dari sebuah keniscayaan atau sunnatullah, termasuk
dalam hal ini adalah pluralitas agama.
Oleh karena itu, untuk memperkuat basis hidup dalam suasana
plural itu diperlukan suatu “paradigma baru” yang konstruktif dengan
dilandasi tentunya oleh semangat al-Qur’an yang lapang untuk
memahami konsep ahli kitab secara luas. Dalam pandangan ini, masih
ada kemungkinan untuk mengkaji ulang dan mendiskusikan terma ahli
kitab tidak hanya terbatas kepada kedua agama semitik tersebut, tetapi
menjangkau agama di luarnya bahkan sampai kepada agama yang
diyakini “diduga kuat” mempunyai kitab suci.10 Dengan demikian,
makna ahli kitab yang diperluas dan diapresiasi dengan baik dan lebih
positif merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk dikaji ulang,
apalagi di Indonesia yang memiliki tingkat pluralitas yang sangat tinggi
dalam bidang sosial, budaya, politik dan agama.11
Salah satu diskursus menarik tentang ahli kitab ditawarkan oleh
Abdul Hamid Hakim12 (selanjutnya disebut Hakim), yang
mengelaborasi perluasan makna ahli kitab dan sekaligus mengapresiasi
posisi ahli al-kitab secara cukup luas, di tengah banyaknya interpretasi
10 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyudin,
(Bandung: Pustaka, 1983), hlm.239. 11 Komaruddin Hidayat, ”Membangun Teologi Dialogis dan Inklusivistik”,
dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi
Batas Agama, (Jakarta: PT. Gramedia, 1998), hlm. 3. 12 Ia dikenal dengan gelar Angku-Mudo (Tuan Muda). Gelar ini sebagai
penghormatan karena kealimannya.Gelar ini diberikan oleh gurunya yaitu Syeikh
Abdul Karim Amrullah, ayah dari Buya Hamka, ketika ia menjadi muridnya di Surau
Jembatan Besi di Padang Panjang dan Maninjau serta sewaktu menjadi guru di
Perguruan Sumatera Thawalib Padang Panjang. Hakim dikenal sebagai pembaharu
yang tergabung dalam golongan Kaum Mudo yang berpikiran progresif. Lihat Hamka,
Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama
di Sumatera, (Jakarta: Umminda, 1982), hlm. 252.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 7
Nasrullah
yang ekslusif dan dampaknya berlanjut dalam aspek hukum Islam, di
antaranya mengenai hukum perkawinan muslim dengan wanita ahli
kitab.
Dalam konteks keulamaan di Indonesia ini, pendapat Hakim ini
dapat kita nilai cukup mengundang kontroversi dan melawan “arus
besar” pendapat ulama-ulama mazhab. Akan tetapi walaupun seperti
itu, sebuah pendapat atau ijtihad mesti harus ditempatkan sebagai
sebuah produk hukum yang berada dalam ruang relatifitas dan
membuka kesempatan untuk berbeda pendapat. Atas dasar itu
Pemikiran Hakim ini cukup penting untuk dikaji, paling tidak sebagai
media “perbandingan” untuk disandingkan pada pendapat-pendapat
konvensional. Oleh karena itu membahas pemikiran Hakim dalam
konteks ini, paling tidak ada dua manfaat yang bisa diambil. Pertama,
mengapresiasi salah satu pemikiran yang lebih luas pemaknaannya
terhadap ahli kitab di mana dalam literatur ulama salaf sulit ditemukan,
karena kecenderungan penafsiran saat itu yang masih bertumpu pada
metode yang bersifat teksual-normatif. Kedua, sekaligus apresiasi
terhadap ulama Nusantara, yang salah satunya adalah Hakim sebagai
ulama dan pengarang yang produktif, di mana karya-karyanya banyak
dipelajari di berbagai sekolah dan pesantren hingga saat ini
B. Sketsa Biografi Abdul Hamid Hakim
Abdul Hamid Hakim, dilahirkan pada tahun 1893, di sebuah desa
yang bernama Sumpur, di tepi Danau Singkarak, Sumatera Barat.
Ayahnya bernama Abdul Hakim, berprofesi sebagai pedagang di kota
Padang, dan ibunya bernama Cari. Hakim adalah anak ketiga dari enam
8 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
bersaudara. Kakaknya yang tertua bernama Muhammad Nur, yang
kedua adalah Husein. Adapun adik-adiknya antara lain bernama Hasan,
Halimah dan Sofya.13
Masa kecilnya dilewatkan di kota Padang, karena sang ayah
bekerja sebagai pedagang di kota tersebut. Di kota ini pula ia sempat
menamatkan sekolah tingkat dasarnya. Setelah menamatkan
pendidikan dasar, ia kembali ke kampungnya untuk melanjutkan
pendidikan di suatu madrasah yang khusus mempelajari al-Qur’an.
Setelah berhasil menamatkan madrasah di kampungnya, pada tahun
1908 ia berangkat ke daerah Sungayang, Batu Sangkar untuk belajar
berbagai ilmu dasar agama seperti; nahwu, sharaf, fiqih, tauhid, tafsir
dan hadis kepada Haji Muhammad Thaib Umar, salah seorang tokoh
pembaharu di Minangkabau yang termasuk golongan kaum mudo.
Lembaga pendidikan di Minangkabau waktu itu yang lazimnya
disebut surau, yang dikelola oleh Thaib Umar ini merupakan salah satu
lembaga pendidikan yang telah melakukan semacam perubahan materi
dan metode pengajaran ilmu-ilmu alat dan ilmu-ilmu keagamaan dari
corak lama ke corak yang lebih baru (terutama dalam penambahan
variasi kitab-kitab yang diajarkan) di Sumatera Barat.14 Hakim di surau
ini tercatat hanya menempuh studi selama dua tahun. Namun, berkat
ketekunan dan kecerdasannya, dalam waktu yang relatif singkat, ia
telah dianggap cukup mengenali dan memahami ilmu-ilmu alat dan
keagamaan dari berbagai kitab yang diajarkan gurunya itu.
13 Sanusi Latief, (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar
Sumatera Barat, (Padang: Islamic Centre, 1988), hlm. 199. 14 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1996), hlm. 142.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 9
Nasrullah
Setelah belajar selama dua tahun kepada Thaib Umar, pada tahun
1910, Hakim melanjutkan studinya ke Sungai Batang di daerah
Maninjau untuk belajar kepada Haji Abdul Karim Amrullah (Haji
Rasul), tokoh ulama kaum mudo yang terkenal berwatak keras dan
tanpa kompromi, terutama dengan kalangan adat. Sebagai murid yang
disayangi oleh sang guru, ia kemudian mengikuti Haji Rasul ketika dua
tahun kemudian yakni pada tahun 1912, sang guru pindah ke kota
Padang atas permintaan dari sahabatnya Abdullah Ahmad, untuk
membantu mengelola majalah al-Munir, yang merupakan salah satu
jurnal tempat para pembaharu menuangkan ide dan pemikiran mereka.
Ketika sang guru kemudian pindah lagi ke Padang Panjang pada tahun
1914, artinya dua tahun kemudian, karena diminta masyarakat kembali
untuk mengelola kembali pendidikan di Surau Jembatan Besi, yang
merupakan cikal-bakal dari lembaga pendidikan Sumatera Thawalib,
dengan setia ia juga mengikuti gurunya tersebut.15
Melalui bimbingan dan disiplin keilmuan yang diterapkan Haji
Rasul, terutama pada saat sang guru menekuni pengajian di Surau
Jembatan Besi, ia belajar lebih intensif dan sistematis, sejalan dengan
upaya sang guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi murid-
muridnya yang semakin hari semakin bertambah. Usaha tersebut
ditandai dengan merubah sistem pengajian dari halaqah menjadi sistem
klasikal pada tahun 1916 dengan dibukanya suatu lembaga pendidikan
yang bernama Perguruan Sumatera Thawalib.
15 Lihat Sanusi Latief, Riwayat Hidup, hlm. 200.
10 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
Selama belajar dengan Haji Rasul, ia tidak saja mendalami
kembali (muraja’ah) kitab-kitab yang pernah dipelajarinya dengan
Thaib Umar, melainkan juga dari kitab-kitab yang berfaham moderen
dan rasional, seperti kitab Risalah at-Tauhid karya Muhammad
Abduh.16 Kitab lain yang tidak kalah penting yang dipelajari olehnya
adalah kitab Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan muridnya
Rasyid Ridha, yang merupakan kitab tafsir yang memberi inspirasi
pemahaman al-Qur’an sesuai dengan semangat moderen.17
Dari semua disiplin ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari Hakim,
nampaknya ia lebih tertarik dan memfokuskan diri dalam spesialisasi
bidang fiqh dan ushul fiqih. Hal ini dibuktikan dengan persentase dari
buku-buku karangannya yang bisa dikatakan lebih banyak dalam kedua
bidang di atas, walaupun ia juga ada menulis karangan dalam bidang
akhlak. Selain belajar dengan Haji Rasul sendiri, ia juga diketahui
mempelajari kitab-kitab lain secara mandiri atau otodidak, mengingat
penguasaan ilmu alat dan wawasan ilmu-ilmu keagamaan yang ia
kuasai sehingga memudahkannya mengakses materi-materi kitab
apapun.
16 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,
(Jakarta: UII Pres, 1997), hlm. 94.
17 Pemikiran kedua guru dan murid ini mempengaruhi banyak gerakan
pembaharuan di dunia Islam pada awal abad 20 ini. Buku tafsir yang banyak berasal
dari tulisan-tulisan dari majalah al-Manar ini telah mewarnai khazanah penafsiran al-
Quran dengan coraknya Adab al-Ijtima’i, lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 71.
Bandingkan dengan Isnawati Rais, “Pemikiran Fikih Abdul Hamid Hakim: Suatu
Studi tentang Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, disertasi doktor IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000, hlm. 65.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 11
Nasrullah
Berkat kecerdasannya, yang diiringi dengan kesungguhan dan
minat baca yang luar biasa, Hakim tidak hanya mampu menguasai
materi pelajaran yang diajarkan gurunya, melainkan juga
mengembangkannya secara mandiri. Maka tidak mengherankan
pengetahuannya menjadi dalam dan luas. Karena itu ia pun dipercaya
Haji Rasul menjadi guru pengganti beliau, dan namanya pun semakin
dikenal di kalangan murid-murid sang guru. Oleh karena reputasi
keilmuan dan akhlaknya yang luhur, dalam suatu pertemuan di Pasa
Gadang, Padang Panjang, Haji Rasul memberi murid kesayangannya
itu gelar kehormatan yang disandangnya sampai ia wafat dengan
sebutan Angku Mudo.18
Profesinya sebagai guru bantu di Surau Jembatan Besi
selanjutnya telah mengantarkannya menjadi pendamping setia gurunya
dalam lembaga pendidikan Sumatera Thawalib yang didirikan Haji
Rasul pada tahun 1918. Lembaga pendidikan yang ditranformasi dari
Surau Jembatan Besi ini, menempatkannya sebagai wakil kepala,
mendampingi Haji Rasul sebagai kepala sekolah. Ketika Haji Rasul
meyatakan non-aktif dari jabatan kepala tahun 1922, karena terdapat
gejolak internal Thawalib yang tidak disenanginya, dengan isu
masuknya paham komunis,19 maka dia lah yang menggantikan posisi
tersebut sebagai pejabat kepala. Barulah kemudian pada tahun 1926,
ketika Haji Rasul meyatakan resmi mundur dari Thawalib, sang murid
18 Ibid. Lihat Sanusi Latief (ed.), Riwayat Hidup, hlm. 202.
19 Di antara tokoh-tokoh yang “diduga” menganut ideologi paham komunis
adalah Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin, Lihat Burhanuddin Daya, Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1995), hlm. 245.
12 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
kesayangan inilah yang memegang tanggung jawab penuh terhadap
perguruan.
Aktivitas mengajarnya, selain Thawalib, ia juga tercatat mengajar
di lembaga Diniyah School pimpinan Zainuddin Labai dan di Diniyah
Puteri yang didirikan oleh Rahmah el-Yunusiyah. Selain itu, ia juga
dipercaya menjadi salah seorang penguji akhir pada perguruan-
perguruan cabang Thawalib yang berada dan tersebar di daerah-daerah
Sumatera Barat dan sekitarnya, dan juga mengajar di sekolah
Kulliyyatul Muballighin yang didirikan oleh organisasi
Muhammadiyah di Padang Panjang dalam mata pelajaran fiqih dan
ushul fiqih. Tidak ketinggalan kesibukannya ditambah mengajar
agama di sekolah Normal School untuk pemerintah, namun tugas ini
akhirnya ia serahkan kepada muridnya, Zainal Abidin Ahmad.20 Dalam
dunia perguruan tinggi, kiprah aktifitas mengajar pun dijalaninya. Ia
dipercaya menjadi salah seorang dosen sekaligus diamanahi sebagai
Wakil Rektor di Universitas Dar al-Hikmah yang didirikan pada tahun
1953, dengan Rektornya kala itu adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek.
Universitas ini pertama kali diresmikan oleh Menteri Agama saat itu,
K.H.M. Ilyas. 21
Dunia tulis menulis sebagai curah intelektual dan keulamaan,
juga telah lama ditekuni Hakim, terutama pada waktu dipercaya sebagai
wakil redaktur (muharrir) majalah al-Munir al-Manar, yang banyak
disebut sebagai kelanjutan dari majalah atau jurnal al-Munir yang sudah
tidak terbit lagi. Majalah ini dipimpin oleh Zainuddin Labai. Tulisan-
20 Sanusi Latief, Riwayat Hidup, hlm. 202.
21 Ibid., hlm. 203.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 13
Nasrullah
tulisannya sering dimuat di majalah ini, terutama menyangkut
persoalan ushul fiqih, fiqih dan akhlaq. Di samping menulis untuk
majalah atau jurnal, ia juga sangat menekuni dalam menulis buku-buku
yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab yang kesemuanya dipakai di
berbagai Perguruan Thawalib, bahkan dipakai juga hingga sekarang
dibanyak sekolah-sekolah, madrasah dan pesantren di Indonesia dan
juga sampai ke wilayah negara Asia Tenggara lainnya.22
Di antara karya-karyanya tersebut adalah: trilogi buku ushul fiqih
dan qawa’id fiqihnya, Mabadi’ ‘Awwaliyyah, as-Sullam, dan al-Bayan,
buku dalam bidang fiqih al-Mu’in al-Mubin (4 jilid), buku dalam
bidang akhlak Tahzib al-Akhlaq (3 jilid), dan buku syarah dari kitab
fiqih perbandingan Bidayah al-Mujtahid yang berjudul al-Hidayah ila
ma Yanbaghi min az-Ziyadah ‘ala al-Bidayah. Namun menurut data
yang dapat diketahui, buku karyanya yang terakhir ini tidak sempat ia
selesaikan, karena kondisi Hakim yang sudah mengalami kondisi sakit
yang berujung pada wafatnya pada hari Senin tanggal 13 Juli 1959 M,
atau tepatnya pada tanggal 7 Muharram 1379 H di Padang Panjang
dalam usia sekitar 66 tahun.23
C. Pengertian Teks dan Konteks Tentang Ahli Kitab
Sebelum menguraikan tentang berbagai pendapat para ulama
tentang ahli kitab, terlebih dahulu akan dijelaskan terma istilah tersebut
tersebut secara terpisah, yaitu antara kata ahli dan kitab. Kata ahli
22 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-
tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994),, hlm. 145. 23 Isnawati Rais, “Pemikiran Fikih”, hlm. 77, dan Sanusi Latief, Riwayat
Hidup, hlm. 206.
14 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
terdiri dari tiga huruf alif, ha dan lam yang secara literal mengandung
pengertian; ramah, senang atau suka24. Kata ahli juga mempunyai arti;
keluarga, sebuah masyarakat atau sebuah rumah tangga.25 Selain itu
digunakan juga untuk menunjuk kepada sesuatu yang mempunyai
hubungan yang sangat dekat, seperti ungkapan ahl ar-rajul, yaitu orang
yang menghimpun mereka, baik karena hubungan nasab maupun
agama, atau hal-hal yang setara dengannya, seperti profesi, etnis dan
komunitas.26 Kata ahli juga dapat disebut sebagai keluarga yang masih
mempunyai hubungan nasab, seperti ungkapan ahl al-bait, yaitu
sebutan yang digunakan terhadap orang yang masih mempunyai
hubungan keluarga dengan Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah putri
Nabi Muhammad SAW.
Kata ahli dalam al-Qur’an digunakan secara bervariasi yang
disebutkan sebanyak 125 kali.27 Misalnya menunjuk kepada suatu
kelompok tertentu, seperti ahl al-bait (al-Ahzab (33): 33), yang
ditunjukkan kepada keluarga Nabi Muhammad SAW. Kata ahli juga
menunjuk pada suatu penduduk (al-Qashash} (28): 45), keluarga (Hud
(11): 40) dan juga ditujukan terhadap suatu kelompok masyarakat yang
menganut paham dan ajaran tertentu (al-Baqarah (2): 105).
24 Kata “ahli” dalam bahasa Arab sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia
menjadi, mengandung dua pengertian; 1) orang yang mahir (paham sekali dalam suatu
ilmu atau kepandaian), dan ke 2) kaum, keluarga atau sanak saudara maupun orang
yang termasuk dalam suatu golongan. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 11. 25 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pondok
Pesantren al-Munawwir, 1984), hlm. 49. 26 Ar-Raghib al-Ashfihani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 25. 27 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras , hlm. 121-123.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 15
Nasrullah
Mengenai kata kitab yang terdiri dari huruf kaf, ta’ dan ba’, secara
literal mempunyai arti buku atau surat.28 Kata kitab juga dapat diartikan
sebagai tulisan atau rangkaian dari berbagai lafaz. Oleh karena itu maka
firman Allah29 yang diturunkan kepada rasul-Nya dapat dikatakan,
sebagai Kitab (baca: Kitabullah atau Al-Kitab), karena terdapat
rangkaian atau himpunan dari beberapa lafaz. Al-Qur’an memakai
terma ahli kitab dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 31930
kali dengan memiliki pengertian yang bervariasi dengan meliputi
makna tulisan kitab, ketentuan, dan kewajiban.31 Adapun kata al-kitab
yang menunjuk kepada kitab suci yang diturunkan Allah dalam
penggunaannya terkesan bersifat umum. Dengan demikian berarti
menunjukkan kepada semua yang diturunkan Allah, baik kitab suci
yang diturunkan kepada Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Isa maupun kitab
suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.32
Berdasarkan pejelasan tentang makna dan terma ahli kitab yang
diuraikan secara terpisah tersebut, kiranya secara umum makna terma
ahli kitab tersebut bila digabung manjadi satu, maka dapat dipahamai
dengan berbagai pengertian di antaranya; orang yang ahli kitab, sebutan
bagi Bani Nazhir dari kaum Yahudi dan Nasrani, orang Masehi33
(Nasrani) para pengikut kitab suci, atau orang yang berpegang pada
28 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hlm. 1275. 29 Lihat al-Baqarah (2): 282. 30 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi’, al-Mu’jam, hlm. 591-595. 31 Ar-Raghib al-Asfihani, Mu’jam, hlm. 440-445. 32 Lihat misalnya al-Baqarah (2): 53 dan al-Isra’ (17): 2. 33 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola, 1994), hlm. 12.
16 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
kitab suci, atau orang yang berpegang pada kitab suci selain al-
Qur’an.34
Dengan istilah lain, ahli kitab adalah sebutan bagi orang-orang
yang berpegang kepada agama yang mempunyai kitab suci yang berasal
dari Tuhan.35 Secara mudahnya, terma ahli kitab ini mengacu kepada
pengertian agama yang ditujukan kepada komunitas atau kelompok
pemeluk agama yang memiliki kitab suci yang telah diwahyukan Allah
SWT. kepada Nabi dan Rasul-Nya secara umum.
D. Berbagai Varian Batasan Ahli Kitab Menurut Para Ulama
Pada umumnya para ulama telah sepakat dalam masalah ini,
bahwa yang termasuk dalam kategori ahli kitab adalah komunitas
Yahudi dan Nasrani. Hanya para ulama berbeda pendapat dalam
memahami, adakah kaum ahli kitab, selain dari dua komunitas tersebut.
Setelah mengalami perkembangan dalam hal penafsiran tentang ahli
kitab, para ulama banyak mengalami perbedaan dalam menafsirkan
konsep tersebut dengan berbagai argumentasi yang diajukan, terutama
mereka berbeda dalam menafsirkan surat al-Maidah (5):5, yang
menjelaskan boleh tidaknya memakan sembelihan ahli kitab dan
mengawini wanita-wanita mereka yang memelihara kehormatannya
(muhshanat), juga dalam menafsirkan tentang cakupan dan rincian
tentang golongan ahli kitab selain dua kaum Yahudi dan Nasrani.
34 Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar, hlm. 11. 35 Harun Nasution (ed.). Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
1992), jilid I, hlm.75.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 17
Nasrullah
Pada awal perkembangan Islam, terma ahli kitab digunakan untuk
menunjuk kaum yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani. Selain
kedua agama tersebut, misalnya kaum Majusi, tidak disebut sebagai ahli
kitab, walaupun pada masa Rasul dan sahabatnya agama tersebut sudah
dikenal. Akan tetapi walaupun tidak disebut sebagai ahli kitab, Nabi
Muhammad SAW. menganjurkan untuk memperlakukan kaum Majuzi
(Zoroaster) sebagaimana memperlakukan layaknya kaum ahli kitab.36
Kemudian pada masa tabi’in, sebutan untuk ahli kitab, terutama
dalam masalah cakupan, rincian, dan batasan siapa saja yang disebut
mulai mengalami perkembangan pemaknaan. Imam Asy-Syafi'i (W.
204 H) dalam kitabnya al-Umm, menerima riwayat yang disebutkan,
bahwa Atha’ (tabi’in) berkata: “Orang Kristen Arab bukan termasuk
ahli kitab. Kaum yang disebut ahli kitab adalah kaum Israel (Bani
Israel), yakni orang-orang yang diturunkan kepada mereka kitab Taurat
dan Injil”. Adapun orang lain (selain dari Bani israel) yang memeluk
agama Yahudi dan Nasrani, mereka bukan termasuk golongan ahli
kitab. Definisi ini didukung oleh ayat al-Qur’an yang menyebutkan,
bahwa Nabi Isa adalah Rasul khusus untuk Bani Israel (as}-Shaffat
(61): 6). Ayat ini juga mengisyaratkan terbatasnya apa yang dibawa
oleh Nabi Isa hingga datangnya Nabi Muhammmad SAW. Dengan
demikian Imam Asy-Syafii memahami ahli kitab sebagai komunitas
etnis, bukan sebagai komunitas agama yang dibawa oleh Nabi Musa
dan Nabi Isa.
36 Lihat uraian “Kata Pengantar” Nurcholish Madjid dalam Komaruddin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF. (eds.), Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta:
Gramedia, 2001), hlm. Xxx.
18 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
Bagi imam ath-Thabari, ahli kitab adalah pemeluk agama Yahudi
dan Nasrani dari keturunan manapun dan siapapun mereka, baik dari
keturunan bangsa Israel maupun bukan dari bangsa Israel.37 Adapun
Imam Abu Hanifah dan ulama Hanafiah lainnya menyatakan bahwa
yang disebut ahli kitab adalah siapapun yang mempercayai salah
seorang nabi atau kitab suci yang pernah diturunkan Allah SWT, tidak
terbatas pada kelompok Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian bila ada
yang percaya kepada shuhuf Ibrahim atau kitab Zabur, maka ia pun
termasuk dalam jangkauan pengertian ahli kitab ini.38Selain pendapat
di atas, sebagian ulama Salaf menyatakan, bahwa setiap umat yang
"diduga kuat" memiliki kitab suci dapat dianggap sebagai ahli kitab,
seperti halnya orang-orang yang beragama Majuzi.39
Asy-Syahrastani dalam menggolongkan termasuk atau tidaknya
suatu komunitas disebut ahli kitab, ia terlebih dahulu membagi tipologi
ke dalam dua golongan berdasarkan parameter kitab suci yang terdapat
dalam suatu komunitas agama. Pertama, bahwa pemeluk agama
Yahudi dan Nasrani yang secara jelas memiliki kitab suci yang
muhaqqaq disebut dengan ahli kitab. Kedua, mereka yang memiliki
serupa (syibh) kitab suci namun mereka tidak termasuk ahli kitab, akan
tetapi disebut sebagai syibh ahl al-kitab.40 Sedangkan Ibnu Hazm
memahami terma ahli kitab hampir sama dengan yang dikemukakan
37 Ibn Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), Jilid III, hlm. 321. 38 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 367. 39 Ibid. 40 Asy-Syahrastani , al- Milal wa an-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 209.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 19
Nasrullah
oleh ulama Salaf, tetapi Ibnu Hazm mengatakan, bahwa kaum Majuzi
termasuk dalam kelompok ahli kitab.41
Al-Qasimi mengemukakan, arti dari terma ahli kitab hampir sama
dengan yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, namun al-Qasimi
memasukkan etnis selain Bani Israel yang menganut agama Yahudi dan
Nasrani ke dalam terma ahli kitab, sampai diutusnya Rasulullah SAW.42
Penafsiran terma ahli kitab yang dilakukan oleh sebagian ulama,
terutama ulama kontemporer mengalami perkembangan yang lebih
luas, sehingga mencakup penganut agama lain yakni sepert Majuzi,
Sabi'in, Hindu, Budha dan Shinto. Semua itu termasuk dalam cakupan
ahli kitab. Pendapat ini dikemukakan oleh Maulana Muhammad Ali
yang menegaskan bahwa kaum yang menganut agama Majuzi, Sabiin,
Hindu dan Budha termasuk dalam golongan ahli kitab. Walaupun
agama-agama itu diklaim sudah berbau syirik, namun, para pemeluk
agama tersebut harus diperlakukan seperti ahli kitab bukan sebagai
kaum musyrik.43
Dengan demikian, pemeluk agama yang ada sekarang,
menurutnya termasuk selain Yahudi dan Nasrani, dapat dikatakan
bahwa ajaran mereka dan kitab suci yang dipegang, adalah wahyu yang
diturunkan kepada nabi dan rasul terdahulu, namun ajaran dan kitab
suci mereka mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan
zamannya. Bahkan agama Nasrani yang jaraknya tidak begitu jauh
41 Ibn Hazm, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) jilid VI, hlm. 445. 42 Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Tafsir al-Qasimi, (Kairo: Isa Babi al-
Halabi, 1377 H/1958M), jilid VI, hlm. 1863. 43 Maulana Muhammad Ali, Islamologi, alih bahasa R. Kaelan dan H.M.
Bachrun, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1977), hlm. 412.
20 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
dengan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW pun telah
mengalami perubahan.
Ath-Thabatabai menyatakan, bahwa penggunaan terma ahli kitab
dalam al-Qur’an hanya merujuk pada kaum Yahudi dan Nasrani.44
Adapun Fazlur Rahman pada dasarnya mengartikan istilah ahli kitab
sebagai kaum yang mengikuti para nabi yang memperoleh kitab suci
dari Allah SWT semenjak dulu sampai Nabi Muhammad SAW45 di
Mekkah dan Madinah. Mereka disebut dalam al-Qur’an sebagai
pemilik wahyu yang lebih awal.46
Menurut Rasyid Ridha, konsep ahli kitab sebenarnya lebih
bersifat umum dan tidak hanya menunjuk kepada kaum Yahudi dan
Nasrani dari suku bangsa Israel saja, tetapi mencakup berbagai suku
bangsa yang lain. Ahli Kitab menurutnya, bisa saja mencakup agama
di luar Yahudi dan Nasrani seperi Majuzi, Sabi'in, Hindu, Budha dan
Shinto. Menurut Rasyid Ridha, walaupun al-Qur’an mengindentifikasi
Yahudi dan Nasrani sebagai ahli kitab, namun bukan berarti kelompok
agama di atas tidak diakui sebagai ahli kitab. Argumen yang dibangun
Rasyid Ridha, bahwa dalam Kitab Suci al-Qur’an, memang tidak
memasukkan agama-agama kuno India dan Cina tersebut, karena
bangsa Arab kurang akrab mengenal istilah keduanya. Menurut Ridha
44Muhammad Husein ath-Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut:
Muassasah al-‘Alami li al-Matbu’ah, 1403 H/1983M), jilid III, hlm. 306-307. 45 Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka,
1996), hlm. 233. 46 Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer: Menuju Dialog Antar Agama, alih
bahasa Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 133.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 21
Nasrullah
hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an menghindari aspek ighrab (hal
asing) kepada audiensinya.47
Sedangkan Muhammad Abduh, berbeda pendapat dengan Ridha
yang nota bene adalah muridnya, sebagaimana tertera dalam tafsir Juz
’Amma-nya yang menyatakan, bahwa ahli kitab mencakup penganut
agama Yahudi, Nasrani dan Sabi'in, sebagaimana diungkapkan secara
implisit dalam al-Qur’an (2) ayat 62.48
Sayyid Quthub dalam tafsir fi Zhilal al-Qur’an-nya menyatakan,
ahli kitab adalah orang-orang yang menganut agama Yahudi dan
Nasrani dari dulu sampai sekarang, dari zaman kapan pun dan dari suku
bangsa mana pun.49 Pendapat ini juga dipegang oleh M. Quraish Shihab
yang menyatakan, ahli kitab adalah semua penganut agama Yahudi dan
Nasrani kapan, di manapun dan dari keturunan siapapun mereka.
Pendapat Quraish ini didasarkan pada penggunaan al-Qur’an terhadap
istilah ahli kitab yang hanya terbatas pada dua golongan Yahudi dan
Nasrani sebagai golongan yang nyata ada di Arab ketika itu.50
E. Tafsir Justifikatif Label Kekafiran dan Kemusyrikan Ahli
Kitab
Uraian mengenai kaitan antara ahli kitab dalam status apakah
mereka kaafir atau musyrik menjadi perlu dibahas. Hal ini dimaksudkan
47 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1393H/1973M), jilid
III, hlm. 258 dan VI, hlm. 272. 48 Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, alih bahasa Muhammad Bagir,
(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 272. 49 Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-‘Arabiah, t.t.),
jilid I, hlm. 135 dan jilid III, hlm. 199. 50 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 368.
22 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang kedudukan kelompok
tersebut, terutama dalam pandangan ulama Islam.
Para ulama kebanyakan berpendapat bahwa ahli kitab termasuk
dalam kelompok orang-orang kafir. Seperti yang telah diinformasikan
oleh al-Qur’an, bahwa predikat kafir terlihat secara eksplisit diberikan
kepada mereka (al-Bayyinah (98): 1). Hal ini juga didasarkan pada
batasan dan pengertian yang diberikan secara umum oleh para ulama,
bahwa “mereka adalah orang yang mengingkari dan menolak kenabian
Muhammad SAW dan ajaran-ajaran yang dibawanya”.
Hal senada diungkapkan oleh al-Gazhali (W. 1111 H), bahwa
makna kekafiran yang terlihat dalam keyakinan ahli kitab ialah, adanya
sikap mendustakan Rasul SAW, tentang suatu hal yang diajarkannya.
Sedangkan kebalikannya, bahwa makna iman ialah membenarkan
adanya rasul yang berkenaan dengan semua ajaran yang dibawanya.
Maka menurut al-Ghazali, orang Yahudi dan Nasrani adalah kafir
karena mendustakan Rasul SAW.51
Akan tetapi perdebatan kembali muncul, mengenai apakah ahli
kitab termasuk kelompok musyrik atau tidak. Karena dalam posisi ini,
ada perbedaan dalam terma teologis antara kafir dan musyrik. Ath-
Thabathaba'i menyatakan, syirik pada dasarnya terbagi atas dua macam
yaitu; syirik zhahir dan syirik khafi. Pembagian syirik ini didasarkan
pada tingkat kejelasan terhadap perilaku syirik itu sendiri. Mereka yang
menganggap Tuhan itu berbilang, menjadikan patung dan berhala
sebagai sesembahan, adalah syirik zhahir. Sedangkan syirik khafi
51 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), hlm. 162.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 23
Nasrullah
termasuk dalam hal ini perilaku ahli kitab yang mengingkari kenabian,
terutama karena menganggap bahwa Isa al-Masih sebagai putera
Tuhan, adalah termasuk syirik. Mereka yang termasuk kategori syirik
khafi walupun secara umum berbuat syirik tetapi mereka tidak secara
tegas diberi predikat syirik.52
Dalam konteks ini, berhubung al-Qur’an sendiri tidak
mengungkapkan secara eksplisit, maka wajar para ulama berselisih
pendapat tentang posisi ahli kitab sebagai kelompok musyrik atau tidak.
Sebagian ulama ada yang tidak memasukkan mereka dalam kategori
musyrik, akan tetapi mayoritas ulama lainnya malahan meyatakan
bahwa terma musyrik mencakup pula orang-orang kafir dari kalangan
ahli kitab.
Termasuk dalam pendapat terakhir ini ialah, pendapat dari ar-
Razi yang mengatakan, bahwa terma musyrik mencakup pula orang-
orang kafir dari kalangan ahli kitab53 dengan argumentasi yang
didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat at-Taubah (9) ayat 30-
31. Rasyid Ridha berpendapat, bahwa ahli kitab dari kalangan Yahudi
dan Nasrani tidak termasuk kedalam golongan musyrik. Menurut Ridha
pengertian musyrik yang paling jelas dari ayat-ayat al-Qur’an adalah
orang-orang musyrik Arab yang tidak mempunyai kitab suci atau
"semacam" (syibh) kitab suci. Oleh karena itu, mereka disebut
ummiyyun, yaitu orang-orang yang belum pernah mengenal kitab suci
52 Muhammad Husein ath-Thabathabai, al-Mizan, jilid II, hlm. 202. 53 Fakhr al-Din ar-Razi, Tafsir al-Kabir, (Beirut : Dar al-Fikr, 1405 H/1985M),
jilid IV, hlm. 59. Bandingkan dengan M. Galib, Ahl al-Kitab: Makna dan
Cakupannya, (Jakarta : Paramadina, 1989), hlm. 74.
24 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
dari Allah.54 Atas dasar pengertian musyrik di atas, Ridha juga
berpendapat bahwa orang-orang Sabi'in, Majuzi, dan kelompok-
kelompok agama yang pernah "diduga" memiliki kitab suci atau serupa
dengan kitab suci seperti agama Hindu, Budha, dan Konfusius adalah
tidak termasuk musyrik.55
Pendapat Rasyid Ridha ini antara lain didasarkan pada penafsiran
beberapa ayat al-Qur’an seperti al-Baqarah (2): 105, al-Bayyinah (98):
1, al-Hajj (22): 17; yang menyebut istilah al-musyrikun berdampingan
dengan ahli kitab atau dengan kelompok Yahudi, Sabi’in, Nasrani dan
Majuzi, dengan menggunakan huruf ‘athaf waw (yang berarti “dan”).
Adanya huruf ‘athaf (kata penghubung), mengandung adanya makna
perbedaan antara hal-hal yang dihubungkan tersebut. Indikasi dalam
ayat ini berarti menunjukkan ada perbedaan antara musyrikun dengan
ahli kitab atau dengan kelompok Yahudi, Nasrani, Sabi’in dan
Majuzi.56Argumentasi dalam al-Qur’an, (at-Taubah (9): 31) yang
menyatakan bahwa kaum ahli kitab memiliki sifat kemusyrikan karena
menjadikan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan (arbab), menurut Ridha
hal ini tidak menjadikan ahli kitab sebagai kelompok musyrik.
Kalaupun dikatakan mereka memiliki sifat syirik, maka sifat
kemusyrikan tersebut adalah as-syirk fi ar-rububiyyah, yaitu
mengambil ketetapan agama dari manusia (dalam hal ini para rahib) dan
bukan dari wahyu. Di samping itu kaum ahli kitab pada dasarnya tetap
mempercayai dan iman kepada Allah dan para nabi terdahulu. Hal ini
54 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jilid II, hlm. 349 dan jilid VI, hlm. 186. 55 Ibid. 56 Ibid.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 25
Nasrullah
berbeda dengan kaum musyrik yang memiliki sifat asy-syirk fi al-
'uluhiyyah, yaitu mempercayai kekuatan-kekuatan tuhan-tuhan selain
Allah SWT.57
Berbeda dengan Rasyid Ridha, Sayyid Quthb berpendapat bahwa
ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani termasuk orang-orang
musyrik. Menurutnya, orang-orang Yahudi dan Nasrani hampir sama
dengan orang musyrik Arab yang mempercayai mitos-mitos dan
khurafat serta menganggap Allah mempunyai anak. Menurut Quthub,
orang-orang musyrik Arab pada awalnya hampir sama dengan orang-
orang Yahudi dan Nasrani yang menganggap dan menjadikan para
malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah, dan membuat patung-
patungnya untuk disembah dan diberi nama-nama perempuan seperti
latta, uzza dan manat, dengan maksud untuk lebih mendekatkan diri
dengan Allah.58
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili yang
menurutnya, bahwa secara eksplisit ahli kitab, identik dengan orang-
orang kafir (al-lazina kafaru) sebagaimana halnya orang-orang musyrik
(al-Bayyinah (98): 1). Terma kufr dalam ayat ini menurut Wahbah,
ialah orang-orang yang menentang dan menolak kerasulan Muhammad
SAW. Kekafiran ahli kitab dalam ayat ini sangat jelas, sama halnya
kekafiran orang-orang musyrik, yaitu sama-sama menentang dan
menolak ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW.59
57 Ibid, jilid V, hlm. 147. Bandingkan dengan buku Harifiddin Cawidu, Konsep
Kufr dalam Al-Qur’an, hlm. 167. 58 Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilal, jilid V, hlm. 209 59 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa asy-Syaria’ah wa al-
Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1411H/1991M), jilid XXX, hlm. 34.
26 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
F. Posisi Abdul Hamid Hakim dalam Penafsiran Ahli Kitab
Wacana perdebatan tentang ahli kitab dalam sejarah intelektual
Islam, memang melahirkan berbagai macam pendapat sesuai dengan
pemahaman dan argumentasi masing-masing ulama. Untuk memahami
perdebatan tersebut, dapat ditipologikan, bahwa kontroversi batasan
tentang ahli kitab, dapat dibagi menjadi dua corak interpretasi.
Pertama, ulama yang berpandangan “eksklusif”, yaitu
menafsirkan ahli kitab hanya mencakup dua komunitas agama Yahudi
dan Nasrani, hal ini didasarkan kepada pemahaman tekstual ayat-ayat
yang berhubungan dengan konsep ahli kitab di dalam al-Quran. Kedua,
adalah ulama yang memahami bahwa ahli kitab tidak hanya dimaknai
pengertiannya hanya kepada dua agama Ibrahim di atas. Namun, bisa
menjangkau kepada agama-agama lain di luar agama-agama Ibrahim,
di mana berdasarkan penafsiran dan petunjuk al-Qur’an dalam suatu
ayat bahwa “setiap umat telah diutus seorang Rasul yang
menyampaikan wahyu”.
Jadi menurut golongan ini, ahli kitab adalah suatu pemahaman
dari interpretasi terbuka atau “inklusif”. Yakni, dalam pengertian lain
pendapat ini menyatakan bahwa di luar kedua agama tersebut, agama-
agama lain juga berhak disebut sebagi ahli kitab, yang dalam
persyaratannya terdapat dalam agama tersebut sebuah kitab suci. Corak
interpretasi ini, pada dasarnya adalah anti-tesis terhadap corak berpikir
“eksklusif”.60
60 Menurut penulis, walaupun terma eksklusif dan inklusif dipakai dalam
teologi tentang “ide keselamatan”, namun istilah tersebut pada awalnya berangkat dari
aktivitas penafsiran atas teks agama, yang memandang secara tertutup dan terbuka.
Penafsiran yang dilandasi dengan muatan-muatan ideologinya masing-masing,
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 27
Nasrullah
Pembahasan yang dilakukan Hakim atas interpretasinya
mengenai ahli kitab kalau dicermati memang cukup kontroversial.
Padahal secara kultural ia berada dalam suatu masyarakat yang
konservatif dengan mayoritas ulama-ulama tradisional (kaum tuo) yang
dianggap literalis dalam pemahaman keagamaan. Tetapi Hakim dengan
menggunakan argumen yang cukup otoritatif dengan memegang
pendapat para ulama beraliran moderen semisal Rasyid Ridha
mengatakan, bahwa konsep ahli kitab tidak hanya dibatasi cakupannya
untuk kaum Yahudi dan Nasrani an sich, namun juga untuk umat
beragama tertentu yang lainnya.
Alasannya, menurut analisis Hakim yang mengutip tafsir al-
Manar berpendapat, bahwa kitab-kitab mereka, seperti kitab suci Kong
Hucu, Hindu dan Budha, bahkan sampai kepada agama yang dianut
oleh bangsa Jepang yang sering disebut agama Shinto itu pada asalnya,
semuanya tergolong kategori kitab “samawiyyah”. Artinya, bisa jadi
kitab-kitab tersebut mengandung prinsip ketauhidan, walaupun dalam
kenyataan sejarah eksistensi dari kitab-kitab suci agama-agama tersebut
telah terjadi semacam “penyimpangan” dan “perubahan” baik dari segi
redaksi maupun isi dan prinsip ajaran.
pastinya akan membentuk “pandangan dunia” tertentu dalam masalah interpretasinya.
Jadi pada prinsipnya kedua istilah tersebut bisa saling terpakai, baik tentang cara
berpikir tentang ide keselamatan, maupun tentang corak penafsirannya. Lebih lanjut
lihat artikel Ismatu Ropi, “Wacana Inklusif Ahli Kitab”, Jurnal Paramadina, Vol 1:
2 (1999), hlm. 96. Bandingkan dengan buku yang ditulis Tim Penulis Paramadina
yang diedit oleh Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina,
2004), hlm. 64. Lihat juga Alwi Shihab, Islam Inklusif, hlm. 84. Bandingkan
selanjutnya dengan buku yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan
pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan
Sosial Antar Umat Beragama, (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), hlm. 142.
28 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
Dari paparan ini dapat diambil suatu tesis bahwa pada prinsipnya
perbedaan antara Islam dan ahli kitab (Yahudi, Kristen, plus Hindu,
Budha, Kong Hucu, Shinto dan sebagainya tentu saja dalam pandangan
Hakim) bukan dilandaskan pada suatu perbedaan yang sifatnya
teologis-dikotomik antara muslim dan musyrik. Tetapi dapat
dianalogikan kepada perbedaan yang sifatnya teologis-
konsistensialistik dalam menjalankan ajaran agama seperti halnya
menyerupai perbedaan antara orang-orang Islam yang betul-betul
berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan para ahli bid’ah. Jadi,
sepertinya mereka kaum ahli kitab itu dianggap telah melakukan bid’ah
karena banyak ketentuan agama yang telah dilanggar “dibuat-buat”
untuk “kepentingan” tertentu sehingga telah berdampak pada
perubahan (tahrif) dan penyimpangan (tabdil) ajaran agama mereka.61
Lebih jauh Hakim memaparkan, bahwa kaum ahli kitab berbeda
dari orang-orang musyrik. Hal ini terbukti jelas menurut Hakim, ketika
al-Qur’an menyebutkan para pemeluk agama (Islam, Yahudi, Nasrani,
Shabiin dan Majuzi), maka antara pemeluk agama tersebut dan antara
“musyrik” terjadi dikotomi dalam pengklasifikasian golongan.62
Pembedaan antara muslim dan musyrik dalam konteks hubungan antar
agama dalam masa awal Islam menjadi sangat signifikan. Sebab akan
terkait dengan persoalan ajakan untuk berdakwah kepada mereka kaum
musyrik yang belum memeluk agama, seperti kaum pagan jahiliah
61 Hakim, Al-Mu’in al-Mubin, (Bukittingi: Mathba’ah Nusantara, t.t) jilid IV,
hlm. 55.
62 Ibid., hlm. 52.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 29
Nasrullah
Mekkah, di mana Nabi diperintah untuk menyampaikan risalah Islam
kepada mereka.
Kondisi Mekkah ini berbeda dengan Madinah sebagai kota
dengan penghuni masyarakat yang sudah memeluk suatu agama dengan
kebanyakan memeluk agama Nasrani, Yahudi dan sebagian majuzi.
Indikator kebahasaan yang bisa ditampilkan adalah adanya huruf
“athaf” (waw) yang menunjuk kepada unsur “perbedaan” antara yang
satu dengan yang lainnya. Dalam konteks ini antara penganut agama-
agama di atas dengan golongan “musyrik” terdapat diferensiasi
golongan. Lalu kemudian Hakim melanjutkan bahasannya, bahwa
menurutnya tidaklah logis menyamakan antara ahli kitab dengan
predikat sebagai kaum musyrik.63
Atas argumen tersebut, maka menjadi hal yang wajar, bila Hakim
berpendirian bahwa agama-agama Hindu, Budha dan agama-agama
Cina dan Jepang, juga termasuk agama ahli kitab. Dengan kata lain
tidak sebagai kaum yang musyrik. Dalam konstruk hukum Islam
kemudin pastilah ada perbedaan perlakuan antara musyrik dan kafir.
G. Pandangan Abdul Hamid Hakim Tentang Perkawinan Muslim
Dengan Wanita Ahli Kitab
Adapun mengenai permasalahan yang terkait dengan perkawinan
antara muslim dengan wanita ahli kitab, ditinjau dari pendapat para ahli
fiqih tentang hukumnya akan didapati bahwa pendapat para ulama
dapat kategorikan menjadi dua pendapat. Pertama, yang berpendapat
63 Ibid.
30 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
bahwa laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan semua wanita yang
non-muslimah, termasuk ahli kitab. Kedua, yang berpendapat bahwa
laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab.64
Pendapat pertama dianut oleh sebagian kaum Syi’ah yang
berpendapat bahwa laki-laki muslim diharamkan menikah dengan
wanita ahli kitab, karena mereka termasuk dalam pengertian
“musyrikat” pada firman Allah surah al-Baqarah (2) ayat 221. Ayat ini
berlaku umum, untuk semua orang musyrik, termasuk di dalamnya ahli
kitab. Di samping itu mereka beralasan dengan pendapat Ibnu Umar
yang menjelaskan, “mereka (wanita ahli kitab) tidak boleh dinikahi,
karena mereka mengakui bahwa Isa adalah Tuhan mereka, dan
keyakinan ini termasuk syirik besar”.65Walaupun, kemudian pendapat
Ibnu Umar ini dikritik, sebagaimana menurut riwayat al-Qurtubi,
bahwa an-Nuhas pernah berkata, “Pendapat ini (pendapat Ibn Umar)
menyimpang dari pendapat jama’ah sahabat”, sebab sebagian jama’ah
sahabat dan tabi’in berpendapat bahwa wanita ahli halal untuk dinikahi,
karena pernah terdapat sahabat yang pernah menikahi wanita Nasrani
seperti Utsman dan Huzaifah yang menikahi wanita Yahudi Madain.66
Pendapat kedua, merupakan pendapat mayoritas ulama yang
mengatakan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab.
64 Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut:
Dar. al-Fikr, t.t.), jilid IV, hlm. 75. 65 Ali ash-Shabuni, Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an,
(Beirut Dar al-Fikr, t.t.), jilid I, hlm. 287. 66 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut : Dar al-Fikr, 1997), Jilid II, hlm. 90.
lihat juga artikel Zarkasji Abdul Salam, ”Perkawinan Antar Orang Yang Berbeda
Agama (Muslim dengan Non Muslim)”. Jurnal Penelitian Agama, No. 9, IV (Jan-
April). 1995.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 31
Nasrullah
Mereka beralasan denga firman Allah surah al-Maidah (5) ayat 5.
Menurut mereka, wanita ahli kitab tidak termasuk pada kata
“musyrikat” yang terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 221 itu, tetapi
antara ahli kitab dan “musyrikat” itu dua kelompok yang berbeda
(differensiasi) antara satu dengan lainnya, seperti yang dijelaskan dalam
surah al-Baqarah (2) ayat 105 dan surah al-Bayyinah (98) ayat 1.
Hakim seperti halnya mayoritas ulama fiqih berpendapat, bahwa
dalam kondisi tertentu wanita ahli kitab boleh dinikahi oleh laki-laki
muslim.67 Pendapat ini didasarkan pada firman Allah :
ويم لكمٱلي حلبت أ ي ينوطعامٱلط وتواٱل
ٱليكتبأ لكمي حل
و همي ل حل صنتوطعامكمي يمحي منتمنٱل يمؤي صنتوٱل يمحي منٱلين وتواٱل
جٱليكتبأ
أ إذاءاتييتموهن ميصنينورهنمنقبيلكمي
ب فري يكي ومن دان خيأ متخذي ول مسفحين نغيي يم
ٱلي فقديوهوفۥحبطعمله 68ٱليخسينمنٱلأخرة
Tentang status wanita ahli kitab yang bisa dikawini, Hakim
mengklasifikasi dalam beberapa tingkatan dengan istilah kafirat yang
dibagi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan yang tidak
mempunyai kitab, seperti golongan pagan Arab. Kedua, golongan yang
mempunyai “semacam” kitab, seperti golongan Majuzi dan lain-lain.
Dan ketiga, golongan yang memiliki kitab yang jelas, seperti Yahudi
dan Nasrani. Golongan kedua, yaitu kaum yang memiliki “semacam”
67 Abdul Hamid, al-Mu’in, hlm. 51. 68 QS. Al-Maidah (5): 5.
32 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
kitab suci yang selanjutnya disebut sebagai syibh ahli kitab, menurut
Hakim bisa disamakan dengan kaum ahli kitab yang definitif. Oleh
karena itu golongan kedua ini juga pada dasarnya mempunyai ketentuan
yang khas seperti halnya kaum Yahudi dan Nasrani, di mana kaum ini
diperbolehkan mempunyai hubungan sosial dengan kaum muslimin.69
Dalam pembagian ini, kelihatannya Hakim mengutip pendapat dari asy-
Syahrastani.
Berdasarkan surah al-Maidah (5): 5 di atas, Hakim berkesimpulan
bahwa, laki-laki muslim dibolehkan menikah dengan wanita ahli kitab,
dan pengertiannya di sini tidak hanya terbatas pada orang-orang Yahudi
dan Nasrani, tetapi termasuk pula di dalamnya penganut agama Majuzi,
Sabiin, Hindu, Budha, Konfusius, Shinto dan agama-agama lain yang
dapat dikategorikan sebagai ahli kitab. Menurut Hakim agama-agama
tersebut pada asalnya menganut paham monteisme dan memiliki kitab
suci, namun karena perjalanan waktu terjadilah perubahan-perubahan
(tahrif), seperti yang dialami kitab suci Yahudi dan Nasrani.70 Fakta
sejarah dan penjelasan al-Qur’an menunjukkan bahwa kepada setiap
umat telah diutus Allah para Rasul. Al-Qur’an menjelaskan:
ا إن ريسلينكبق أ خلفيهانذيرٱلي ةإل م
أ ني 71بشياونذيراوإنم
69 Abdul Hamid, al-Mu’in, hlm. 50.
70 Ibid., hlm. 55. Hakim sependapat dengan ath-Thabari yang menafsirkan
kata “musyrikat” yaitu perempuan yang dilarang untuk dikawini adalah wanita
musyrik Arab jahiliyah, yang mana mereka tidak mempunyai kitab suci. Lihat Abdul
Hamid, ibid., dan lihat juga ath-Thabari, Jami' al-Bayan, jilid II, hlm. 54-55. 71 QS. Fathir: 24.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 33
Nasrullah
ينويقول ب هٱل نر م نزلعلييهءايةلأ كفروالوي نتمإنۦ
ماأ نذر
مهاد قوي 72ولك
Untuk mendukung dan memperkuat pendapatnya tentang
bolehnya laki-laki muslim mengawini wanita-wanita ahli kitab dalam
pengertian yang lebih luas dari Yahudi dan Nasrani seperti disebutkan
di atas, maka ia menguatkan pendapatnya dengan alasan salah satu
qa'idah fiqih, yang menjelaskan, bahwa hukum asal dari pernikahan
adalah al-ibahah (kebolehan), kecuali kalau ada dalil yang
mengharamkannya. Ketentuan hukum ini menurut Hakim mencakup
atas boleh menikahi siapa saja. Di sini Hakim berpandangan mengikuti
nalar Imam Syafi’i yang mengatakan demikian.73 Berbeda dengan
pendapat Abu Hanifah yang menganggap bahwa nikah adalah terkait
bagian ibadah..74
Dengan kemubahan yang melekat seorang muslim boleh
menikah dengan siapa saja termasuk menikah dengan sesama muslim
atau non-muslim, selama tidak ada larangan nash dan asas kerelaan
sesuai perjanjian yang kukuh (mitsaqan ghalizhan).75 Adapun larangan
nash mengawini wanita-wanita musyrik yang disebutkan oleh firman
Allah pada surat al-Baqarah (2): 221, ternyata kemudian ketentuan
hukum yang umum ini telah di-takhshish dalam akhir surat an-Nisa’
(4): 22-24, walaupun sebelumnya telah menyebutkan wanita-wanita
72 Ar-Ra’ad (13) : 7. 73 Az-Zabidi, Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm.
214. 74 Ibid. 75 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi
Berbasis Al-Qur’an, (Depok: KataKita, 2009), hlm. 329.
34 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
yang haram dinikahi oleh seorang muslim beserta sebab-sebabnya.
Setelah itu di akhir ayat ke 24, Allah menegaskan bahwa selain dari
wanita-wanita yang telah diharamkan Allah itu boleh saja dikawini oleh
seorang muslim, termasuk wanita-wanita penganut dari berbagai agama
yang tergolong ke dalam kelompok ahli kitab di atas. Kemudian
kembali Hakim menegaskan bahwa tidak ada yang dapat
mengharamkan sesuatu yang dibolehkan kecuali dalam nash yang dapat
dan telah me-nasikh-kan ayat-ayat yang mansukh atau men-takhshish-
kan ketentuan umum ayat di atas.76
Adapun tujuan dari dibolehkannya perkawinan antara muslim
dengan wanita ahli kitab dan syibh ahli kitab pada konteks itu adalah
untuk kepentingan dakwah Islam. Hakim berpendapat, bahwa
perkawinan adalah salah satu media yang efektif untuk penyiaran dan
pengembangan Islam. Artinya dengan perkawinan ini diharapkan para
suami mampu menarik istrinya untuk masuk Islam. Alasan Hakim
karena umumnya waktu itu, suasana domain rumah tangga masih dalam
paradigma paternalistik. Jadi, ungkapan “perempuan mengikuti agama
suaminya”, masih berlaku ketika itu.77
Oleh sebab itu, pada kondisi tertentu dibolehkannya muslim
menikahi wanita ahli kitab dan syibh ahli kitab menjadi sesuatu yang
bisa dimaklumi jika terdapat unsur mashlahah. Apalagi didukung dan
76 Abdul Hamid, al-Mu’in, hlm. 55. Bandingkan dengan Rasyid Ridha, Tafsir
al-Manar, jilid VI, hlm. 19. 77 Hakim tidak menjelaskan secara eksplisit hukum perkawinan muslimah
dengan laki-laki ahli kitab, kecuali hanya sekedar mangemukakan pendapat al-Qaffal,
yang manyatakan seorang wanita muslim haram menikah dengan laki-laki musyrik,
karena biasanya wanita cenderung dan terpengaruh kepada agama suaminya. Lihat
Abdul Hamid, al-Mu’in, hlm. 56.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 35
Nasrullah
dikuatkan data oleh faktor sejarah yang telah membuktikan, betapa
perkawinan seperti itu telah mempercepat proses Islamisasi,
sebagaimana yang terjadi pada kasus di China, waktu Islam mulai
masuk ke sana.78 Pada kesempatan ini, Hakim mengutip adanya sebuah
pernyataan di dalam suatu riwayat yang telah disebutkan, bahwa wanita
Nasrani yang dikawini oleh Utsman kemudian masuk Islam dan ia telah
menjadi seorang muslimah yang taat. Jadi, bisa dipahami pendirian dari
apa yang menurut Hakim menjadi penting dalam perkawinan itu, ialah
terjadinya proses islamisasi yang merupakan salah satu tujuan dan
target yang ingin dicapai dengan perkawinan seorang muslim dengan
wanita kitabiyyat tersebut.79
Akan tetapi Hakim juga menyadari, kemungkinan adanya fakta
keterbalikan dari kenyataan di atas. Seperti misalnya dalam banyak
kasus rumah tangga, banyak wanita-wanita justru yang berhasil
menarik suaminya yang muslim untuk mengikuti agamanya, tidak
sedikit juga wanita tersebut tetap bertahan dengan agama lamanya.
Artinya ungkapan "wanita tergantung agama suaminya" menjadi tidak
berfungsi dan tujuan dari dakwah juga tidak tercapai. Bahkan, justru
akan mengorbankan agamanya sendiri. 80
78Ibid. 79 Ahmad Husnan, Ilmiah Intelektual dalam Sorotan: Tanggapan terhadap Dr.
Nurcholish Madjid, (Solo: Ulul Albab Press, 1993), hlm. 77. 80 Dewasa ini, dalam banyak keluarga, urusan tentang rumah, pendidikan anak,
termasuk pendidikan agama dan keyakinannya banyak diatur dan dikendalikan oleh
ibu. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kecenderungan keagamaan anak lebih
banyak dipengaruhi oleh ibu mereka, bukan oleh ayah. Atas dasar itu perubahan
hukum bisa terjadi karena ada motif yang juga berbeda dari ketentuan hukum
sebelumnya yang juga mesti harus diperhatikan. Lihat ibid.
36 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
Sehubungan dengan pendapat terakhir ini, Hakim berkesimpulan
lain. Pada kondisi-kondisi tertentu seperti kekhawatiran bahwa laki-laki
muslim yang akan mengawini wanita kitabiyyah bisa ditarik oleh
istrinya untuk masuk agamanya, disebabkan faktor suami tergolong
kurang kuat imannya, rendah akhlaknya, dan lebih rendah tingkat
intelektualnya di banding istrinya, maka maka perkawinan itu
hukumnya menjadi dilarang (baca:haram). Hal ini dalam rangka
mencegah kemungkinan terjadinya kemudaratan (sadd adz-dzari’ah)
seperti terjadinya pemurtadan, yang artinya tidak tercapainya unsur
maqashid syari'ah tentang hifz ad-din, dalam sebuah perbuatan hukum.
Atas dasar itu kondisi seperti ini mesti dihindari.81
Berdasarkan kekhawatiran dan pertimbangan-pertimbangan
manfa’at dan mafsadat seperti itulah, maka bisa dimaklumi keputusan
yang diambil oleh Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 8 Juli 1980
yang mengeluarkan fatwa tentang diharamkannya secara mutlak
perkawinan antar agama, karena mafsadah-nya lebih besar dari
manfaat-nya.82
81 Ibid., hlm. 53. Bandingkan dengan Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus
Hermeneutika: Membaca Islam Dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Nawesea
Press, 2006), hlm. 64.
82 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
(Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1997), hlm. 122. Fatwa ini menurut Atho’ Mudzar
didasarkan pada waktu tahun 80-an, fenomena Kristenisasi semakin memprihatinkan.
Menurut para ulama keadaan ini telah mencapai titik rawan bagi kepentingan
pertumbuhan masyarakat muslimin, sehingga pintu bagi kemungkinan perkawinan
antar agama itu harus ditutup sama sekali, karena banyak terjadi kasus konversi
agama. Lihat Atho’ Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), hlm.
103.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 37
Nasrullah
Maka dari itu, problem perkawinan antar/beda agama ternyata
tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada banyak beban yang harus
ditanggung terutama beban sosial yang masih memaknai identitas
kesamaan agama sebagai bagian penting perkawinan. Maupun beban
psikis, berupa masa depan perkawinan tersebut. Antara kedua belah
pihak, barangkali saling menyatakan kecocokan atas dasar cinta, akan
tetapi dengan adanya perbedaan agama, tentu menimbulkan masalah
tersendiri yang tentunya harus dipikirkan lebih matang dan penuh
pertimbangan baik dan buruknya. Sebagai bahan untuk
mempertimbangkan masalah itu, maka analisis hukum melalui teori
maslahah dan mafsadah bisa membantu dalam upaya melihat kausa
hukum ('illat), baik ditinjau dari aspek yang membolehkan ataupun
aspek yang melarang perkawinan antar agama tersebut.
Maka berkaca dari pendapat Hakim di atas ia sesungguhnya ingin
merekonstruksi sebuah argumentassi hukum berbasis pada pembacaan
melalui tafsir atas ahli kitab bersama dengan pendekatan sejarah
sunnah, lalu ia konteks-kan dengan teori kaedah fiqih dan ushul fiqih,
sehingga lahirlah sebuah pemaknaan hukum. Dalam hal ini, Hakim
pada dasarnya menganut suatu paradigma pluralitas hukum didasarkan
pada relatifitas tafsir. Dalam artian lain, Boleh atau tidaknya sebuah
hukum dimungkinkan akibat pembacaan dan pandangan penafsiran
beserta perangkat analisis yang digunakan. Dalam kasus penafsiran
yang berimplikasi pada pemaknaan hukum mengenai perkawinan
muslim dengan wanita ahli kitab secara gamblang membuktikannya.
38 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
H. KESIMPULAN
Pemikiran Hakim tentang ahli kitab secara eksplisit dapat
disimpulkan, bahwa ahli kitab ini menurutnya tidak harus dibatasi
pemaknaannya hanya untuk agama Yahudi dan Nasrani saja. Akan
tetapi meliputi juga agama lain seperti golongan syib ahli kitab, seperti
Majuzi, Sabi’in, Hindu, Budha, Kong Hucu dan agama Shinto. Hakim
juga tidak memasukkan mereka sebagai kaum musyrik (seperti agama
pagan penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci seperti pada
masa Rasulullah). Akan tetapi, mereka tetap diposisikan secara asal
sebagai agama yang pernah memiliki kitab suci yang berasal dari Tuhan
dan Nabi-nabi yang diutus oleh-Nya. Adapun kitab-kitab suci mereka
pun bersifat samawiyah, walaupun diklaim oleh banyak umat, kitab-
kitab suci mereka telah terdapat penyelewengan dan perubahan (tahrif),
sebagaimana terjadi dalam sejarah kitab Yahudi dan Nasrani.
Menurut Hakim, pada awalnya antara orang muslim dan ahli kitab
tidak ada perbedaan yang tajam dalam posisi ketauhidan. Mereka sama-
sama sebagai umat Rasul yang pernah diutus masing-masing Nabi
kapada mereka. Akan tetapi kemudian hari banyak terjadi perubahan
dan penyimpangan dalam sebagian ajaran kaum ahli kitab, sehingga
menyebabkan terjadi beberapa perbedaan. Perbedaannya secara
analogis Hakim mengilustrasikan orang-orang yang taat menjalankan
agama sesuai dengan pedoman al-Qur`an dan as-Sunnah (Islam)
dengan orang-orang yang suka melakukan perbuatan bid’ah dalam
beragama (ahli kitab). Jadi posisi ahli kitab jelas bukan termasuk kaum
yang musyrik laiknya kaum Pagan Jahiliyah, walaupun bisa dikatakan
sebagai kafir karena tidak beriman kepada Nabi Muhammad.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 39
Nasrullah
Signifikansi pemaknaan yang luas terhadap ahli kitab dan tidak
memasukkan mereka ke dalam terma cakupan orang-orang yang
musyrik adalah adanya kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita-
wanita ahli kitab. Kebolehan ini didasarkan atas ayat 5 surat al-Maidah
yang dalam pemahaman Hakim telah men-takhshish keumuman ayat
221 surah al-Baqarah yang melarang menikahi wanita-wanita musyrik,
yang dalam pemaknaan Hakim al-musyrikat dalam ayat itu lebih
diartikan sebagai wanita musyrik Arab yang tidak memiliki kitab suci
dan menyembah berhala. Mengenai perkawinan antara muslimah
dengan laki-laki ahli kitab Hakim masih memandang secara
paternalistik dan sesuai dengan kondisi budaya di masyarakat waktu
Hakim hidup, bahwa wanita masih banyak mengikuti agama suaminya.
Atas dasar itu Hakim mengutip pendapat al-Qaffal, bahwa karena faktor
tersebut, dilarang perkawinan antara muslimah dengan laki-laki ahli
kitab.
Perkawinan muslim dengan wanita ahli kitab juga pada tataran
tertentu (kasuistik) Hakim melarangnya, apabila terdapat suatu hal yang
bisa membahayakan agamanya. Karena aspek hifz ad-din harus lebih
diutamakan di atas yang lain. Jadi, dalam kerangka berpikir Hakim,
peran teori dan metode ushul fiqih tidak bisa diaibaikan. Sebab dari
teori-teori itulah pemikiran hukumnya dibangun, terutama kaitan antara
aspek maslahah dan mafsadah, dan perbenturan dalam menerapkan
konsep maqashid asy-syari'ah.
40 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Tafsir Juz ‘Amma, alih bahasa Muhammad Bagir,
Bandung: Mizan, 1999.
Ali, Maulana Muhammad, Islamologi, Alih bahasa R. Kaelan dan HM.
Bacrun, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1977.
Arkoun, Mohammed, Islam Kontemporer: Menuju Dialog antar
Agama, alih bahasa Ruslani, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2001.
Asfihani, ar-Ragib, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar
al-Fikr, t. t.
Baqi’, Muhmmad Fu’ad Abd al-, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-
Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Fikr,1408 H / 1988 M.
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat,
Bandung : Mizan, 1994.
Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus
Sumatera Thawalib, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1995.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indobnesia, Jakarta: Balai Pusaka, 1993.
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufr dalam al-Qur’an: Suatu Kajian
Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan
Bintang, 1991.
Galib, M., Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, Jakarta: Paramadina,
1998.
Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama: Membangun
Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Depok: KataKita, 2009.
Glasse, Criyl, Ensiklopedi Islam Ringkas, alih bahasa Ghufron
A.Mas’adi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 41
Nasrullah
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta: Umminda,
19982.
Hakim, Abdul Hamid, al-Mu'in al-Mubin, jilid IV, Bukittinggi:
Nusantara,t.t.
Hazm, Ibn al-, Muhalla, Beirut : Dar al-Fikr, t.t.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. (eds.), Passing Over:
Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia, 2001.
Husnan, Ahmad, Ilmiah Intelektual dalam Sorotan: Tanggapan
terhadap Dr. Nurcholish Madjid, Solo: Ulul Albab Press,
1993.
Latief, Sanusi (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar
Sumatera Barat, Padang: Islamic Centre, 1998.
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pengurus Pusat
Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang
Hubungan Sosial Umat Beragama, Yogyakarta: Pustaka SM,
2000.
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
Jakarta: Sekretariat Mesjid Istiqlal,1997.
Mudzhar, Muhammad Atho’, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia :
Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta : INIS, 1993.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Mebangnun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina,
2000.
_______, Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan,
Jakarta: Paramadina, 2000.
42 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
_______, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta:
Pondok Pesantren Krapyak, 1984.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,
Jakarta: UII Press, 1997.
_______, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dan
Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Partanto, Pius A dan Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,
Surabaya: Arkola, 1994.
Qasimi, Jamal al-Din al-, Tafsir al-Qasimi, Kairo: Isa al-Babi al-
Halabi, 1377 H/1458 M.
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilal al-Qur'an, Beirut: Dar al- ‘Arabiah, t.t.
Rahman, Fazlur, Tema Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyudin,
Bandung: Pustaka, 1983.
_______, Islam, alih bahasa Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1996.
_______,“Sikap Islam Terhadap Yahudi”, dalam Mochtar Pabottinggi
(ed.), Islam antara Visi, Tradisi dan Hegemoni Bukan Muslim,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986.
Ropi, Ismatu, “Wacana Inklusif Ahl al-Kitab”, Paramadina,
Vol.1,No.2. 1999.
Rahardjo, Dawam M, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina,
1996.
Rais, Isnawati, “Pemikiran Fiqih Abdul Hamid Hakim : Suatu Studi
tentang Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, disertasi
doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.
Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 43
Nasrullah
Razi, Fakhr al-Din al-, Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H/
1985 M.
Rida, Rasyid, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al- Fikr,1393 H/ 1973 M.
Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
Salam, Zarkasji, “Perkawinan Antar Orang Yang Berbeda Agama :
Muslim dan Non- Muslim”, Jurnal Penelitian Agama, No.9,
Tahun IV, 1995.
Shabuni, ‘Ali ash-, Rawa’i al-Bayan 'an Tafsir Ayat al-Ahkam min al-
Qur'an, Beirut: Dar al- Fikr, t.t.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,
Bandun: Mizan, 1999.
Sirry, Mun’im A (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis, Jakarta : Paramadina, 2004.
Thabari, Ibn Jarir , Jami' al-Bayan 'an Tafsir al-Qur'an, Beirut: Dar al-
Fikr, t.t.
Thabathabai, Muhammad Husein ath- al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,
Beirut: Muassasah al-‘Alami li al-Mathbu’ah, 1403
H/1983M), jilid III.
Wahyudi,Yudian, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam
Dari Kanada dan Amerika, Yogyakarta: Nawesea Press, 2006.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Hidakarya Agung, 1996
Zabidi, Az-, Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
44 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 1, April 2017
Zuhaili, Wahbah az-, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa asy-Syaria’ah wa
al-Manhaj, Beirut: Dar al-Fikr, 1411H/1991M, jilid XXX.