Post on 02-Mar-2019
GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK
Rhipicephalus sanguineus
SITI RUKAYAH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
ABSTRAK
SITI RUKAYAH. Gambaran Sel Darah Putih pada Kelinci yang Divaksin dengan Ekstrak Caplak Rhipicephalus sanguineus. Dibimbing oleh RETNO WULANSARI dan TUTUK ASTYAWATI. Rhipicephalus sanguineus merupakan caplak berumah tiga. Caplak tersebut adalah vektor berbagai penyakit antara lain protozoa darah (Thelerosis, Anaplasmosis dan Babesiosis). Infestasi caplak dalam jumlah yang banyak merupakan kendala dalam pemeliharaan kelinci sebagai hewan kesayangan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon sel darah putih pada kelinci akibat pemberian vaksin ekstrak caplak Rhipicephalus sanguineus. Sebanyak 8 ekor kelinci dibagi dalam 2 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor kelinci yang tidak divaksin dan 4 ekor kelinci yang divaksin. Vaksinasi dilakukan 2 kali melalui subkutan dengan interval 2 minggu. Pengambilan contoh darah dilakukan pada minggu ke-0, 2, 4, 6 dan 7 setelah vaksinasi untuk melihat diferensial leukosit pada kelinci tersebut. Uji tantang dilakukan pada minggu ke-5 dengan menanam caplak pada daun telinga kelinci. Hasil penelitian menunjukkan pemberian vaksin ekstrak caplak R. sanguineus pada hewan coba kelinci cenderung meningkatan jumlah leukosit, heterofil, eosinofil dan limfosit. Vaksinasi ekstrak caplak R. sanguineus cukup efektif dalam memberikan respon sistem imun melalui gambaran sel darah putih.
GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG
DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus
SITI RUKAYAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul Skripsi : Gambaran Sel Darah Putih pada Kelinci yang Divaksin dengan
Ekstrak Caplak Rhipicephalus sanguineus
Nama : Siti Rukayah
NRP : B04104060
Disetujui
Drh. Retno Wulansari, MSi, PhD Drh. Tutuk Astyawati, MS
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan FKH IPB
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Sang Maha Agung, Maha Berkehendak,
atas segala karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul
Gambaran Sel Darah Putih pada Kelinci yang Divaksin dengan Ekstrak Caplak
Rhipicephalus sanguineus ini merupakan salah satu syarat kelulusan studi program
sarjana strata 1 pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Tiada keberhasilan yang kita peroleh mutlak karena usaha dan kekuatan
sendiri. Atas segala dukungan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini,
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua tercinta Bapak Suwono dan Ibu Kumiatun, Adik Heru
Pranoto serta keluarga besar penulis
2. Drh. Retno Wulansari, MSi, PhD dan Drh. Tutuk Astyawati, MS selaku dosen
pembimbing skripsi atas segala bimbingan, didikan, perhatian, waktu serta
kesabaran yang telah diberikan kepada penulis.
3. Drh. Endang Rahman, MS selaku dosen penguji atas segala masukan yang
diberikan kepada penulis.
4. Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi selaku dosen penilai atas segala masukan yang
diberikan kepada penulis.
5. Dr. Drh. Eko Sugeng Pribadi, MS selaku dosen pembimbing akademik
6. Staf Laboratorium Patologi Klinik Bagian Penyakit Dalam (Pak Jajat), Pak
Kosasih, Pak Dahlan dan Pak Ali Rizki
7. Teman-teman satu penelitian : Arin, Eki, Hari, Budi dan Muhammad
8. Teman-teman seperjuangan Ikhwah fillah, Sakha’s crew (Mbak Agil, Mbak
Kiki, Mbak Pritta, Mbak Iwid, Mbak Ramlah, Mbak Elia, Mbak Lilis dan
Tia), HAMAS, PJM 2008 (Burhan, Tri, Pras, Tiwi, Fauzan, Septi, Rio, April,
Nur, Aprian, Riri , Nazrul dan Rifi), DKM An Nahl dan Castra Jayecwara
IPA-4 2004.
9. Teman-teman Asteroidea 41, adik-adik ’42, ’43 dan ’44.
10. Semua pihak yang turut memberikan arti penting dalam perjalanan hidup
penulis termasuk penyelesaian skripsi ini.
Semoga karya ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi semua pihak. Kritik
dan saran yang membangun agar karya penulis menjadi lebih baik sangat penulis
harapkan.
Bogor, September 2008
Siti Rukayah
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Siti Rukayah. Penulis dilahirkan di Pati pada
tanggal 25 Maret 1986. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara dari
Bapak Suwono dan Ibu Kumiatun.
Penulis mulai mengenyam pendidikan di SD Brati 01 hingga lulus tahun
1998. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di
SLTPN 1 Kayen dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2001. Jenjang
Sekolah Menengah Umum (SMU), penulis selesaikan di SMUN 1 Pati hingga tahun
2004. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana dalam bidang
Kedokteran Hewan yang ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004 dan
menyelesaikan studi pada tahun 2008.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi
seperti DKM An Nahl (2005-2008) dan Himpunan Minat Profesi (Himpro)
Ornithologi dan Unggas (2005/2006). Dalam bidang akademik, penulis pernah
menjadi asisten mata kuliah Histologi Veteriner II (2007) dan asisten mata kuliah
Pendidikan Agama Islam (2008).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... x
PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................... 1 Perumusan Masalah .............................................................................. 2 Tujuan Penelitian ................................................................................... 2 Manfaat Penelitian ................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA Kelinci ................................................................................................... 3 Rhipicephalus sanguineus .................................................................... 4 Klasifikasi ................................................................................ 4 Morfologi ................................................................................. 5 Siklus hidup .............................................................................. 6 Kerugian akibat infestasi caplak .............................................. 8 Darah ..................................................................................................... 9 Leukosit ................................................................................................ 10 Heterofil ............................................................................................... 11 Eosinofil ................................................................................................ 12 Basofil ................................................................................................... 13 Monosit ................................................................................................ 14 Limfosit ................................................................................................ 15
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat ................................................................................ 17 Bahan dan Alat...................................................................................... 17 Metode Penelitian ................................................................................. 17 Perlakuan kelinci....................................................................... 17 Pengambilan darah.................................................................... 18 Pembuatan preparat ulas darah.................................................. 18 Penghitungan jumlah leukosit ................................................... 18 Diferensial leukosit ................................................................... 19 Analisa data .............................................................................. 19
HASIL DAN PEMBAHASAN Leukosit ................................................................................................ 20 Heterofil ............................................................................................... 22
Monosit ................................................................................................ 23 Limfosit ................................................................................................ 24 Eosinofil ................................................................................................ 26 Basofil .................................................................................................. 28
KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 30
LAMPIRAN................................................................................................... 33
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Data dasar fisiologis kelinci ....................................................................... 4
2. Nilai normal jumlah sel darah putih kelinci............................................... 11
3. Jumlah leukosit pada kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin ....... 20
4. Jumlah heterofil pada kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin ...... 22
5. Jumlah monosit pada kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin ...... 23
6. Jumlah limfosit pada kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin ....... 24
7. Jumlah eosinofil pada kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin ..... 26
DAFTAR GAMBAR Halaman
1. Caplak betina .............................................................................................. 6
2. Caplak jantan .............................................................................................. 6
3. Siklus hidup caplak ..................................................................................... 7
4. Pembentukan sel darah .............................................................................. 10
5. Heterofil ..................................................................................................... 12
6. Eosinofil .................................................................................................... 13
7. Basofil ....................................................................................................... 14
8. Monosit ..................................................................................................... 15
9. Limfosit ...................................................................................................... 16
10. Neubauer hemocytometer ........................................................................ 19
11. Gambaran leukosit kelompok kelinci yang tidak divaksin dan
yang divaksin .......................................................................................... 21
12. Gambaran heterofil kelompok kelinci yang tidak divaksin dan
yang divaksin .......................................................................................... 22
13. Gambaran monosit kelompok kelinci yang tidak divaksin dan
yang divaksin .......................................................................................... 24
14. Gambaran limfosit kelompok kelinci yang tidak divaksin dan
yang divaksin .......................................................................................... 25
15. Gambaran eosinofil kelompok kelinci yang tidak divaksin dan
yang divaksin .......................................................................................... 27
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1. Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan
yang divaksin pada minggu ke-2................................................................ 34
2. Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan
yang divaksin pada minggu ke-4................................................................ 35
3. Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan
yang divaksin pada minggu ke-6................................................................ 36
4. Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan
yang divaksin pada minggu ke-7................................................................ 37
5. Skema pembuatan vaksin ekstrak caplak R. sanguineus .......................... 39
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelinci sejak dahulu merupakan hewan peliharaan yang sudah dikenal oleh
banyak orang dan keberadaannya cukup dekat dengan manusia. Kelinci yang
dipelihara manusia dikembangkan sebagai hewan laboratorium, ternak penghasil
daging, ternak penghasil kulit/fur serta sebagai hewan kesayangan (pets animal).
Kelinci dijadikan sebagai hewan kesayangan karena keindahan penampilan yang
dimiliki dan jinak. Di Inggris, kelinci sudah lama dijadikan sebagai pet animal. Bagi
pecinta kelinci perlu diperhatikan masalah kesehatan dan kesejahteraan hewan
(animal walfare). Dalam pemeliharaan kelinci sering mengalami kendala. Salah satu
kendala tersebut adalah infestasi ektoparasit. Salah satu ektoparasit yang terdapat
pada kelinci adalah caplak Rhipicephalus sanguineus. Caplak tersebut merupakan
inang antara dari berbagai parasit darah dan virus, selain itu infestasi caplak dalam
jumlah yang banyak dapat menimbulkan anemia pada hewan. Menurut Soulsby
(1982), caplak juga dapat bertindak sebagai vektor penyakit bakterial, viral maupun
protozoa darah.
Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh caplak antara lain babesiosis,
anaplasmosis dan theleriosis (Astyawati 2002). Penyakit tersebut merupakan suatu
penyakit yang bermasalah baik pada manusia maupun hewan karena penyebaran luas
dan sulit dibasmi sehingga diperlukan pengobatan serius. Salah satu upaya untuk
menanggulangi adanya infestasi caplak adalah dengan vaksinasi. Vaksinasi atau
imunisasi merupakan pemberian antigen (vaksin) pada hewan dengan maksud
merangsang tanggap kebal protektif (Tizard 1982). Pemberian antigen diperoleh dari
agen menular pada hewan sehingga tanggap kebal dapat ditingkatkan dan tercapai
resistensi terhadap agen menular tersebut. Untuk merangsang sistem tanggap kebal
dikenal vaksinasi pasif dan vaksinasi aktif. Vaksinasi pasif akan menghasilkan
resistensi sementara dengan memindahkan antibodi dari hewan yang resisten ke
hewan yang peka sedangkan vaksinasi aktif meningkatkan tanggap kebal protektif
berperantara antibodi atau sel. Pada vaksinasi aktif perlindungan tidak langsung
dibentuk, akan tetapi apabila sudah terbentuk akan berlangsung lama dan mampu
terjadi perangsangan ulang.
Pengobatan infestasi caplak dengan vaksinasi ini diharapkan mampu
menanggulangi penyakit-penyakit yang disebabkan oleh caplak. Selain dengan
metode ini telah banyak dilakukan penelitian untuk menemukan ramuan alami
(herbal) atau kimiawi (pestisida) yang mampu menghambat pertumbuhan caplak
pada hewan. Akan tetapi kebaikan yang paling penting pada vaksinasi aktif ini adalah
adanya perlindungan yang berlangsung lama dan peningkatan tanggap kebal oleh
infeksi ulang antigen. Dalam penelitian ini digunakan kelinci sebagai inang sehingga
dapat diketahui seberapa infeksius caplak bisa menginfeksi kelinci yang sudah
divaksinasi dengan vaksin caplak R. sanguineus dengan melihat gambaran sel darah
putih pada kelinci tersebut.
Perumusan masalah
Pemberian vaksin caplak R. sanguineus pada kelinci mempengaruhi
perubahan gambaran sel darah putih sebagai reaksi tanggap kebal tubuh.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon sel darah putih
pada kelinci akibat pemberian vaksin ekstrak caplak Rhipicephalus sanguineus.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang respon
sistem imun pada kelinci yang divaksin ekstrak caplak R. sanguineus melalui
gambaran leukosit
TINJAUAN PUSTAKA
Kelinci
Pada awalnya kelinci adalah hewan liar yang sulit didomestikasi. Habitat asli
kelinci liar berada di Afrika Utara sampai Eropa. Bangsa pertama yang melakukan
penjinakan kelinci liar adalah bangsa Eropa pada tahun 1500. Dari daerah tersebut
kemudian menyebar ke beberapa daerah seperti Australia, Selandia Baru, Chili, dan
pulau-pulau di Pasifik dan Atlantik. Adanya penyebaran kelinci tersebut sehingga
menimbulkan sebutan yang berbeda-beda pada tiap daerah, di Eropa disebut rabbit, di
Indonesia disebut kelinci, dan di Jawa disebut truwelu. Kelinci memiliki kemampuan
untuk hidup dalam habitat sangat bervariasi mulai dari padang pasir hingga daerah
subtropis. Akan tetapi kelinci dapat berkembang biak paling baik di daerah iklim
sedang (Smith dan Soesanto 1988). Perkembangan kelinci di Indonesia merupakan
penyebarluasan progaram pemerintah pada tahun 1980-an yang bertujuan untuk
mencukupi kebutuhan protein hewani. Berikut adalah klasifikasi kelinci :
Kingdom : Animalia
Filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Lagomorpha
Famili : Leporidae
Subfamili : Leporinae
Genus : Oryctolagus, Lepus
Spesies : Oryctolagus spp, Lepus spp (Anonimus 2008a)
Ordo Lagomorpha memiliki dua pasang gigi seri pada rahang atas sedangkan
ordo Rodensia memiliki sepasang gigi seri (Percy dan Barthold 2001; Sarwono
2005). Saat ini perkembangan kelinci telah beragam sesuai tujuan produksinya antara
lain yaitu sebagai hewan percobaan laboratorium, hewan kesayangan (pets animal),
ternak penghasil kulit/fur dan ternak penghasil daging. Pemanfaatan kelinci sebagai
hewan kesayangan (pets animal) karena memiliki penampilan yang menarik dan
jinak. Sifat khas kelinci memiliki tabiat menarik yaitu memakan feses sendiri
(coprophagy). Kelinci sangat peka terhadap suhu dan kelembaban lingkungan yang
tinggi. Suhu ideal bagi kelinci berkisar 15ºC sampai 20ºC (Smith dan Soesanto 1988)
.
Tabel 1 Data dasar fisiologis kelinci
Karakteristik Nilai Berat dewasa
Jantan 1,5-7,0 Kg Betina 1,4-6,5 Kg Umur dewasa 4-10 bulan Lama hidup 5-10 tahun Suhu tubuh 38-40,1º C (rata-rata 39,5ºC) Pernapasan 35-56/menit Denyut jantung 205-300/menit Tekanan darah 90-130 sistol, 60-90 diastol Konsumsi oksigen 0,42-0,48 ml/g/jam Konsumsi makanan 5 gr/ 100 gr/ hr Konsumsi air 5-10 ml/ 100 gr/hr Gigi 2.033 1.023 Volume darah 45-80 ml/Kg Sel darah merah 5,0-8,0 x 106/mm3
Sel darah putih 3,0-12,5 x 103/mm3
Neutrofil 30-65% Eosinofil 0,5-5,0% Basofil 2-7% Limfosit 28-85% Monosit 2-16% (sumber: Smith dan Soesanto 1988; Malole dan Utami 1989) Rhipicephalus sanguineus
Klasifikasi
Menurut Williams et al. (1985) klasifikasi caplak anjing adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Chelicerata
Kelas : Arachnida
Subkelas : Acari
Ordo : Parasitiformes
Subordo : Metastigmata
Superfamili : Ixodoidae
Famili : Ixodidae
Genus : Rhipicephalus
Spesies : Rhipicephalus sanguineus
Berdasarkan ada atau tidaknya skutum pada punggung caplak diklasifikasikan
menjadi 2 yaitu caplak keras dan caplak lunak. Pada famili Ixodidae terdapat skutum
pada semua stadium sedangkan pada famili Argasidae tidak ada skutum pada semua
stadium. Rhipicephalus sanguineus adalah caplak coklat pada anjing atau disebut
brown dog tick karena berwarna coklat kemerahan. Caplak ini disebut sebagai caplak
sejati dan memiliki metamorfosis yang tidak lengkap (Levine 1985).
Morfologi
Tubuh caplak ditutupi oleh tegumen yang terdiri atas kutikula luar dan selapis
epitel yang mensekresikan kutikula yang mengeras dan memiliki perisai. Bagian
eksternal utama caplak adalah kapitulum (gnathosoma), idiosoma dan kaki.
Kapitulum adalah bagian mulut keseluruhan yang terletak pada anterior dari tubuh
caplak terdiri dari basis capituli yang mengadakan persendian dengan tubuh,
pedipalpus, chelicerae, dan gigi hypostome. Basis kapitulum pada caplak betina
berbentuk hexagonal. Pedipalpus terdiri dari empat sampai enam ruas, kadang
mengalami modifikasi sebagai suatu ibu jari dan cakar. Chelicera terletak pada
dorsal dari aspek kapitulum. Sepasang chelisera terdiri atas satu digit dorsal yang
tidak dapat digerakkan dan satu digit ventral yang dapat digerakkan. Fungsi dari
chelisera adalah untuk membuat sayatan pada jaringan induk semang pada saat
menempel (Sonenshine et al. 2002 dalam Mullen dan Durden 2002). Hypostome
berbentuk seperti gada yang memiliki gerigi atau kait yang berfungsi untuk
memperkuat pertautan caplak pada tubuh induk semangnya. Hypostoma caplak
menonjol dan bergerigi apabila dibandingkan dengan hypostoma tungau (Noble &
Noble 1989). Idiosoma merupakan bagian tubuh caplak tempat terdapatnya kaki.
Masing-masing kaki dibagi kedalam enam segmen yaitu coxa, trochanter, femur,
patella(genu), tibia dan tarsus. Bagian coxae sangat sedikit bisa digerakkan
sedangkan bagian lain dapat digerakkan. Pada stadium larva dapat dengan mudah
dikenali dengan adanya tiga pasang kaki sedangkan pada stadium nimpa dan dewasa
memiliki empat pasang kaki (Sonenshine et al. 2002 dalam Mullen dan Durden
2002).
Gambar 1 caplak betina (Pereira 2001) Gambar 2 caplak jantan (Pereira 2001)
Caplak jantan memiliki bentuk oval, berwarna coklat dan biasanya terlihat
aktif diantara rambut mantel. Pada tubuh caplak betina biasanya terdapat bekas spot
yang panjangnya kira-kira 12 mm dan berwarna biru keabu-abuan saat tidak makan.
Warna berubah menjadi merah gelap pada saat caplak kenyang menghisap darah
(Seddon 1968). Caplak betina memiliki skutum yang menutupi separuh dorsal bagian
anterior dari tubuhnya, sedangkan caplak jantan skutum menutupi seluruh bagian
dorsal permukaan tubuh sehingga mengakibatkan tubuh tidak elastis untuk
mengembang pada saat menghisap darah (Noble & Noble 1989).
Siklus hidup
Rhipicephalus sanguineus terdapat di seluruh dunia, hidup pada daerah yang
terletak antara 50º LU dan 35º LS. Caplak ini tidak dapat hidup pada tempat terbuka
dengan udara dingin akan tetapi dapat tahan dalam rumah walaupun dalam musim
dingin (Levine 1985). Rhipicephalus merupakan caplak yang berinduk semang tiga
yaitu dalam setiap siklus hidupnya dari telur, larva, nimfa dan dewasa membutuhkan
3 induk semang. Masing-masing stadium caplak harus berada dalam tubuh induk
semang, biasanya induk semangnya adalah anjing dan sering pada anjing yang sama
(Lord 2001). Akan tetapi stadium larva dapat hidup pada kelinci dan stadium nimfa
dapat hidup pada hewan lain yaitu domba, sapi dan anjing (Astyawati 2002).
Gambar 3 Siklus hidup caplak (Lord 2001)
Caplak betina yang sudah kenyang menghisap darah akan terlihat
menggembung dan akan berjalan sampai menemukan tempat yang sesuai untuk
bertelur. Dalam sekali bertelur dapat mencapai 2000-4000 butir telur. Lord (2001)
menyatakan caplak betina mampu bertelur sampai 5000 butir telur. Caplak betina
akan mati setelah bertelur dan tergantung pada temperatur serta kelembaban telur
akan menetas pada 19-60 hari (Yates 1992). Dalam waktu 17 sampai 30 hari telur
akan menetas menjadi larva. Larva akan mengalami pergantian kulit (moulting)
sebelum menjadi nimfa dan dewasa (Subronto 2006). Larva caplak dapat ditemukan
pada celah-celah, dinding, lantai, tirai, kain pelapis kursi dan sebagainya. Larva yang
dibebaskan akan aktif mencari induk semang dan dalam waktu 2-6 hari akan
menghisap darah. Larva yang berkaki 6 sering disebut ”caplak biji” yang menetas
dari telur harus menemukan induk semang dan harus menghisap darah (Noble &
Noble 1989). Kemudian larva akan jatuh dari induk semang dan berubah menjadi
nimfa. Nimfa memiliki 8 kaki yang akan mencari induk semang (Sonenshine et al.
2002 dalam Mullen dan Durden 2002). Nimfa akan menempel pada induk semang
dan menghisap darah dalam waktu 4-9 hari, selanjutnya akan berubah menjadi
dewasa dalam waktu 11-73 hari. Caplak jantan akan berkeliaran mencari betina yang
bisa dikawin sedangkan caplak betina menghisap darah sampai kenyang. Beberapa
caplak dapat bertahan hidup selama beberapa tahun tanpa menghisap darah (Romoser
2004). Menurut Gunandini 2002 (dalam Hadi dan Sigit 2006), dalam kondisi yang
tidak menguntungkan larva caplak yang tidak makan mampu bertahan hidup sampai
lebih dari 8,5 bulan, stadium nimfa yang tidak makan dapat bertahan hidup sampai
lebih dari 6 bulan, stadium dewasa tidak makan dapat bertahan hidup sampai lebih
dari 19 bulan.
Kerugian akibat infestasi caplak
Caplak merupakan inang antara dari berbagai parasit darah dan virus, selain
itu infestasi caplak dalam jumlah banyak dapat menimbulkan anemia. Menurut
Soulsby (1982), caplak dapat bertindak sebagai vektor penyakit bakterial, viral
maupun protozoa darah. Infestasi caplak pada umumnya menimbulkan kerusakan
mekanis pada kulit inang, dermatosis. Dermatosis merupakan peradangan pada kulit
yang disertai kebengkakan. Adanya kerusakan pada kulit inang secara langsung akan
mengurangi nilai estetika seekor kelinci sebagai pet animal.
Tick borne disease adalah penyakit yang dipindahkan dan berkembang dalam
tubuh caplak. Rhipicephalus sp, Boophilus sp, Ixodes sp, Dermacentor sp, Hyaloma
sp dan Amblyoma sp merupakan caplak famili Ixodidae yang terdapat di Indonesia.
Beberapa penyakit yang dapat ditimbulkan olek caplak tersebut antara lain babesiosis,
anaplasmosis dan theleriosis. Babesiosis merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh
parasit darah yaitu Babesia sp yang ditularkan melalui gigitan caplak R. sanguineus.
Menurut Lubis (2006), parasit darah ini mampu mengubah spesifisitas antigen di
permukaan sel sehingga berubah kepekaannya terhadap antibodi. Parasit Babesia sp
ditularkan oleh caplak berkulit keras. Babesia sp tertelan kedalam tubuh caplak saat
ia menghisap darah kemudian Babesia sp memperbanyak diri didalam sel epitel
saluran cerna dan menyebar kesemua tubuh caplak termasuk kelenjar saliva.
Darah
Darah merupakan cairan tubuh yang sangat penting disamping cairan
intertisial dan cairan intraseluler. Secara umum volume total darah mamalia berkisar
7 sampai 8 % dari berat badan. Sekitar 45 sampai 65 % dari seluruh isi darah adalah
plasma darah sedangkan sisanya 35 sampai 55 % adalah sel darah atau benda darah.
Unsur seluler darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit)
dan keping darah (trombosit) yang tersuspensi dalam plasma (Ganong 2003). Darah
dianggap sebagai jaringan khusus yang menjalani sirkulasi, terdiri dari sel-sel yang
terendam dalam plasma darah (Dellman and Brown 1989). Didalam sistem sirkulasi,
darah memiliki beberapa fungsi antara lain yaitu: (1) transportasi gas yaitu membawa
oksigen dari paru-paru menuju jaringan dan membawa karbondioksida dari jaringan
menuju ke paru-paru. (2) mendistribusikan nutrisi yang diserap pada saluran
pencernaan atau melepaskan dari cadangan jaringan lemak atau hati. (3) transportasi
sisa metabolisme dari jaringan perifer untuk diekskresikan. (4) mengalirkan enzim
dan hormon menuju target spesifik. (5) mengatur pH dan komposisi elektrolit cairan
interstisial. (6) membatasi kehilangan cairan tubuh. (7) mempertahankan tubuh
melawan toksin dan patogen. (8) membantu mengatur temperatur tubuh dengan
menyerap dan mendistribusikan ulang panas (Martini et al. 1992).
Sumsum tulang merupakan organ tempat dihasilkannya sel darah. Didalam
sumsum tulang terdapat sel yang disebut sel stem hemopoietik pluripoten yang akan
berdiferensiasi menjadi sel induk khusus. Selanjutnya sel ini akan berdiferensiasi
menjadi berbagai jenis sel darah tertentu (Ganong 2003).
Leukosit
Sel darah putih atau leukosit merupakan sel pembentuk komponen darah yang
memiliki nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Sel ini
membantu tubuh melawan berbagai penyaki infeksi sebagai bagian dari sistem
kekebalan tubuh. Menurut Cochran (2004), leukosit dibedakan menjadi granulosit
dan agranulosit. Leukosit granulosit memiliki butir khas dan jelas dalam sitoplasma
sedangkan agranulosit tidak memiliki butir khas dalam sitoplasma (Dellmann and
Brown 1989). Berdasarkan reaksinya terhadap pewarnaan, leukosit granulosit
dibedakan menjadi tiga yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil sedangkan leukosit
agranulosit dibedakan menjadi dua yaitu limfosit dan monosit. Nukleus granulosit
terlihat berbagai bentuk sehingga disebut juga polimorfonuklear (PMN).
Gambar 4 Pembentukan sel darah ( Anonimus 2008b)
Sel darah putih dibentuk didalam sumsum tulang, terutama granulosit
disimpan didalam sumsum tulang sampai mereka diperlukan didalam sirkulasi dan
sebagian lagi dibentuk di jaringan limfe (Guyton dan Hall 1997). Hemocytoblast
merupakan cikal bakal sel darah yang kemudian akan berdiferensiasi membentuk
jenis sel darah tertentu.
Respon leukosit merefleksikan adanya suatu proses fisiologis dan patologis di
dalam tubuh. Fluktuasi jumlah leukosit pada individu cukup besar pada kondisi stres,
aktivitas fisiologis, gizi, umur dan lain sebagainya (Dellmann and Brown 1989).
Table 2 Nilai normal jumlah sel darah putih kelinci
Jenis leukosit rata-rata range Neutrofil (x 109/L) 3-20 1,5-40 (%) 48 34-60 40-70 Band neutrofil (x 109/L) 0,2 0-0,2 Eosinofil (x 109/L) 0,26 0-1,8 (%) 1 0-2 0-5 Basofil (x 109/L) 0-0.84 (%) 2,5 0-1 0-7 Limfosit (x 109/L) 5,4 2-20 (%) 53 47 43-62 20-80 Monosit (x 109/L) 0,41 0-1,8 (%) 3 0-4 0-7 (sumber : Meredith 2002)
Heterofil
Neutrofil pada kelinci sering disebut dengan heterofil. Heterofil dewasa
berdiameter 10 sampai 12 µm, memiliki granular halus dan bening tidak menyerap
warna dan inti bergelambir. Heterofil terdiri dari dua tipe granular sitoplasmik yaitu
azurophilic (primer) dan spesifik. Menurut Deldar (1998); Meyer dan John (1998),
granular sitoplasmik berukuran lebih besar dan berwarna lebih merah pada bangsa
unggas, reptil dan beberapa mamalia (kelinci, marmot dan dutung/manatees) yang
kemudian disebut ”heterophils”. Heterophils dapat dibedakan dengan eosinofil
berdasarkan bentuk granularnya. Granular heterophil biasanya berbentuk seperti
tongkat atau oval sedangkan granular eosinofil berbentuk bulat. Heterofil tua
memiliki gelambir lebih banyak atau lebih jelas dari heterofil muda. Secara klinis
apabila jumlah heterofil muda meningkat dalam sirkulasi disebut left shift. Kondisi ini
ditemukan pada saat terjadi infeksi akut. Sedangkan apabila jumlah heterofil
abnormal dengan hipersegmentasi disebut right shift yang ditemukan pada infeksi
kronis atau stres (Dellmann and Brown 1989).
Hampir 90% dari granulosit dalam sirkulasi terdiri atas heterofil. Letak
heterofil terbanyak di perifer dalam sirkulasi dari kapiler. Apabila terjadi perlukaan
maka heterofil akan termobilisasi dari posisi perifer/marginal menembus dinding
kapiler di antara sel-sel yang disebut diapedesis. Masa hidup heterofil dalam aliran
darah sekitar 4-8 jam tetapi dalam jaringan sel tersebut dapat hidup lebih lama
(Kresno 2001). Menurut Tizard (1982), fungsi utama heterofil adalah penghancuran
bahan asing melalui fagositosis yaitu menghancurkan benda asing dengan segera oleh
karena itu disebut sebagai garis pertahanan pertama. Bersama dengan makrofag,
heterofil menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus dalam sirkulasi. Jumlah
neutrofil dalam sirkulasi darah meningkat cepat saat terjadi infeksi yang akut.
Gambar 5 Heterofil (Vanessa et al. 2005)
Eosinofil
Eosinofil termasuk leukosit granulosit yang berukuran hampir sama dengan
neutrofil. Jumlah eosinofil dalam sirkulasi berkisar 2 sampai 8% dari total jumlah
leukosit. Diameter eosinofil 10-15µm dengan granula berwarna merah didalam
sitoplasmanya sehingga dapat dikenal dengan nama asidofil. Eosinofil pada bangsa
unggas, reptil dan beberapa mamalia (kelinci, marmot dan dutung) dapat dibedakan
dengan heterofil melalui bentuk granula sitoplasma yang bulat sedangkan granula
neutrofil berbentuk tongkat atau oval (Meyer dan John 1998).
Eosinofil merupakan sel fagosit yang lemah bila dibandingkan heterofil. Pada
saat terjadi infeksi parasit maka eosinofil akan diproduksi dalam jumlah yang tinggi
kemudian akan bermigrasi menuju jaringan. Selain itu eosinofil juga ditemukan pada
tempat reaksi alergi. Eosinofil bermigrasi ke arah sel sasaran karena adanya
rangsangan mediator yang diproduksi oleh sel limfosit T, mastosit dan basofil yang
disebut eosinophil chemotacticfactor of anaphilaxis (ECF-A) (Kresno 2001).
Menurut Tizard (1982), enzim yang ada dalam eosinofil efektif menghancurkan larva
cacing selain itu enzim dalam eosinofil mampu menetralkan faktor radang yang
dilepaskan oleh sel mast dan basofil oleh karena itu sel ini juga berfungsi
mengendalikan atau mengurangi reaksi hipersensitivitas.
Gambar 6 Eosinofil (Vanessa et al. 2005)
Basofil
Basofil merupakan sel mieloid yang jumlahnya paling sedikit didalam darah
hewan piara. Jumlah basofil berkisar 0 sampai 15% dari total leukosit. Ukuran
diameter basofil mencapai 10 sampai 15µm dan memiliki inti bergelambir atau inti
tidak teratur (Dellmann and Brown 1989). Butir basofil mengandung heparin,
histamin, asam hialuron, kondroitin sulfat, serotonin dan beberapa faktor kemotaktik.
Antikoagulan heparin yang ada dalam basofil akan dilepaskan di daerah peradangan
untuk mencegah terjadinya pembekuan serta stasis darah dan limfa (Frandson 1992).
Basofil memiliki fungsi serupa dengan sel mast yaitu pada reaksi alergi yang
berkaitan erat dengan Ig E yang mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat
pada kedua sel tersebut. Adanya rangsangan alergen yang bereaksi dengan Ig E maka
basofil dan sel mast akan melepaskan berbagai mediator dan mengakibatkan reaksi
anafilaktik (Kresno 2001).
Gambar 7 Basofil (Vanessa et al. 2005)
Monosit
Monosit adalah leukosit terbesar yang memiliki diameter 12 sampai 18µm dan
jumlahnya mencapai 3 sampai 8% dari total leukosit yang ada. Sitoplasma monosit
lebih banyak dari limfosit dan berinti lonjong seperti ginjal atau seperti tapal kuda
yang memiliki lekuk yang dalam. Kromatin inti mengambil warna lebih pucat dari
limfosit. Monosit merupakan prekursor dari makrofag jaringan dan memiliki inti
pleomorphic. Monosit darah tidak pernah mencapai penuh sampai bermigrasi ke luar
pembuluh darah masuk ke jaringan. Monosit meninggalkan pembuluh darah perifer
dengan waktu paruh 20 sampai 40 jam dan diyakini tidak masuk kedalam sirkulasi
lagi (Jubb et al. 1991). Selanjutnya monosit didalam jaringan menjadi makrofag tetap
(fixed macrophag) seperti pada sinusoid hati, paru-paru, jaringan limfoid dan sumsum
tulang (Dellmann and Brown 1989). Monosit dalam aliran darah maupun makrofag
dalam jaringan disebut dengan sistem fagositik mononuklear (mononuclear
phagocytic system/ MPS).
Gambar 8 Monosit (Vanessa et al. 2005)
Sistem fagositik mononuklear memiliki peran utama dalam fagositosis dan
menghancurkan partikel asing dan jaringan mati, serta mengolah bahan asing
sehingga dapat membangkitkan tanggap kebal. Fagositosis yang dilakukan makrofag
serupa dengan neutrofil. Makrofag mengeluarkan berbagai sekresi antara lain
komplemen C2, C3, C4 dan C5 serta lisozim yang protektif sebagai antimikrobial.
Faktor lain yaitu kolagenase, elastase dan aktivator plasminogen yang dikeluarkan
pada waktu fagositosis (Tizard 1982).
Limfosit
Limfosit termasuk dalam leukosit agranular karena didalam sitoplasma tidak
ditemukan granula. Limfosit pada umumnya memilki inti bulat seperti kacang. Dalam
sirkulasi sering ditemukan limfosit besar dan limfosit kecil. Limfosit besar
merupakan bentuk limfosit yang belum dewasa, disebut sebagai prolimfosit.
Gambar 9 Limfosit (Vanessa et al. 2005)
Adanya perbedaan bentuk maupun fungsi limfosit dikarenakan sifat limfosit
yang mampu menerobos jaringan atau organ lunak di dalam tubuh. Menurut Tizard
(1982), fungsi utama limfosit adalah merespon terhadap antigen dengan membentuk
antibodi. Menurut Dellmann and Brown (1989), limfosit di bedakan menjadi 3 tipe
sel yaitu sel B, sel T dan sel null. Sel B ini jumlahnya hanya sedikit dan berperan
dalam respon imunitas humoral karena sel B memproduksi antibodi. Sel T
jumlahnya mencapai 70 sampai 75% dari limfosit. Sel ini diproduksi oleh timus dan
berperan dalam imunitas seluler. Sel null memiliki dua tipe cell mediated-cytotoxicity
yaitu sel N-K (natural killer function) dan sel K (antibody-dependent
cellularcytotoxicity).
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dimulai pada 3 Juli 2007 sampai Februari 2008. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Bagian Penyakit Dalam Departemen
Klinik, Reproduksi dan Patologi; Laboratorium Protozoologi Bagian Parasitologi
serta kandang Hewan Percobaan yang dikelola oleh Unit Pelayanan Teknis Hewan
Laboratorium (UPT Helab) Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah kandang pemeliharaan
kelinci, tempat pakan dan air minum, syringe, gelas objek, mikroskop cahaya, tabung
mikro, satu set hemocytometer dan label.
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci jantan
lokal dengan umur 6 bulan dan bobot badan mencapai 2 sampai 3 kg dan vaksin
ekstrak caplak R. sanguineus. Bahan lain yang digunakan yaitu pakan kelinci dan air
minum, alkohol 70%, metanol, kapas, pewarna Giemsa 10%, aquades, larutan Turk,
EDTA (ethylendiamine tetraacetic acid) cair, minyak emersi dan xylol.
Metode Penelitian
Perlakuan Pada Kelinci
Kelinci dipersiapkan di kandang individu dan diadaptasikan selama satu
minggu. Pakan kelinci berupa pelet dengan kadar protein 16% dan energi 2500 kkal.
Pakan diberikan sebanyak 200 gram per ekor per hari dan pemberian air minum ad
libitum. Sebanyak 8 ekor kelinci dibagi dalam 2 kelompok. Masing-masing kelompok
terdiri dari 4 ekor kelinci yang divaksin dan 4 ekor kelinci yang tidak divaksin.
Pada minggu ke-0 dilakukan pengambilan darah untuk mengetahui keadaan
normal kemudian dilakukan penghitungan dan pengamatan gambaran sel darah putih
(diferensial leukosit). Pada minggu ke-2 dilakukan pemberian vaksin ekstrak R.
sanguineus pada kelompok perlakuan (4 ekor kelinci) dan dilakukan pengambilan
darah serta pengamatan gambaran darah pada kedua kelompok (kontrol dan
perlakuan). Pemberian vaksin dilakukan sebanyak 2 kali dengan selang waktu dua
minggu. Vaksin diberikan sebanyak 1 ml (dosis 125µg dan 50µg oil adjuvant) secara
subkutan. Satu minggu setelah pemberian vaksin (minggu ke-5) dilakukan uji tantang
pada semua kelompok kelinci baik pada kelompok yang tidak divaksin maupun
kelompok yang divaksin dengan menanam caplak R. sanguineus pada daun telinga
serta dilakukan pengambilan dan pengamatan darah pada minggu ke-6 dan 7.
Pengambilan Darah
Darah diambil melalui vena auricularis pada tepi telinga. Sebelum diambil
darah, pada tempat pengambilan darah dibersihkan dulu dengan alkohol 70%
kemudian darah diambil dengan syringe 1 ml yang sebelumnya telah dibasahi dengan
EDTA sebagai antikoagulan.
Pembuatan Preparat Ulas darah
Darah segar yang telah diberi antikoagulan diteteskan pada gelas objek
kemudian dengan gelas objek yang lain diratakan dengan menempatkan salah satu
sisi ujung gelas objek kedua pada permukaan gelas objek pertama dengan membentuk
sudut 30-45º. Gelas objek kedua ditarik samapi menyentuh tetes darah, darah
dibiarkan menyebar sepanjang tepi gelas objek pertama. Sediaan dikeringkan
selanjutnya difiksasi dengan metanol selama 5 menit kemudian dimasukkan kedalam
pewarna Giemsa 10% selama 60 menit. Setelah itu dicuci dengan air mengalir lalu
dikeringkan.
Penghitungan Jumlah Leukosit
Darah segar yang telah diberi EDTA dihisap dengan pipet leukosit sampai
angka 0,5 kemudian dihisap larutan turk sampai angka 11 selanjutnya dikocok selama
3 menit dengan alat Dari dalam pipet 1-2 tetes dibuang dan pada kamar hitung
haemocytometer diteteskan satu tetes. Jumlah sel darah putih dihitung pada keempat
sudut kamar hitung.
Gambar 10 Neubauer hemocytometer (Brown 1980)
Keterangan W : daerah penghitungan leukosit
R : daerah penghitungan eritrosit
Diferensial Leukosit
Preparat ulas yang telah diwarnai dengan Giemsa diperiksa dibawah
mikroskop dengan perbesaran 100 x 10 kali menggunakan minyak emersi.
Penghitungan diferensial leukosit berdasarkan hasil pengamatan dengan menghitung
jumlah neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit dalam 100 butir leukosit.
Hasil penghitungan leukosit dinyatakan dalam persen.
Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan uji t (t-Test).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Leukosit
Jumlah leukosit normal pada kelinci menurut Jain (1993) berkisar 6,30-10,06
x 103 /µl. Leukosit atau sel darah putih merupakan sel pertahanan tubuh pada keadaan
normal jumlahnya tidak terlalu banyak, akan tetapi dapat meningkat apabila ada
invasi zat asing, parasit, alergi dan banyaknya jaringan yang mati. Leukosit memiliki
dua fungsi yaitu menghancurkan agen penyerang dengan proses fagositosis dan
membentuk antibodi (Guyton dan Hall 1997). Menurut Kresno (2001), fagosit
mononuklear terdiri atas monosit dan limfosit serta polimorfonuklear yang terdiri atas
neutrofil, eosinofil dan basofil.
Tabel 3 Jumlah leukosit pada kelompok kelinci yang tidak divaksin dan kelompok
yang divaksin (x 103/µl)
Waktu setelah vaksin (minggu) Hewan percobaan 0 2 4 6* 7 Non vaksin 7.19±1.14 6.73±0.27a 12.96±3.55a 9.14±2.75a 8.65±1.67a
Vaksin 7.51±1.10 6.79±0.48a 11.63±3.81a 10.36±2.51a 9.87±1.09a
Keterangan : uji tantang pada minggu ke-5 Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Dari hasil pengamatan dapat dilihat pada minggu ke-0 jumlah leukosit pada
kedua kelompok kelinci masih berada pada kisaran normal. Pada minggu ke-2 jumlah
leukosit pada kedua kelompok kelinci masih berada pada kisaran normal, hal ini
diduga pada kelompok kelinci yang divaksin belum merespon vaksin ekstrak caplak
yang diberikan. Pada minggu ke-4 terjadi peningkatan jumlah leukosit (leukositosis)
pada kedua kelompok kelinci. Peningkatan jumlah leukosit pada kelompok kelinci
yang divaksin merupakan respon tubuh kelinci terhadap masuknya benda asing
(vaksin) sedangkan pada kelompok kelinci yang tidak divaksin peningkatan jumlah
leukosit diduga karena faktor stres. Leukositosis merupakan peningkatan jumlah
leukosit total di dalam sirkulasi darah, biasanya sebagai akibat dari meningkatnya
jumlah total neutrofil yang bersirkulasi (Jain 1993). Leukositosis dapat bersifat
fisiologis dan patologis. Leukositosis fisiologis terjadi karena adanya respon terhadap
epinefrine sehingga dapat memobilisasi neutrofil dan limfosit dari pool marginal
menuju sirkulasi umum. Leukositosis fisiologis dapat disebabkan karena rasa takut,
aktivitas latihan, kortikosteroid dan stres. Menurut Chastain dan Ganjum (1986),
kondisi stres dapat menstimulasi kelenjar adrenal untuk mengeluarkan hormon
glukokortikoid sehingga meningkatkan jumlah leukosit. Kelinci merupakan hewan
yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan terutama cuaca. Kelinci sangat
peka terhadap cekaman suhu lingkungan dan kelembaban yang tinggi (Smith dan
Soesanto 1988).
0
5
10
15
0 2 4 6 7
waktu (minggu)
jum
lah
leuk
osit
(x10
00/u
l)
non vaksin
vaksin
Gambar 11 Gambaran leukosit kelompok kelinci yang tidak divaksin dan divaksin
Pada minggu ke-6 setelah uji tantang terjadi peningkatan jumlah leukosit pada
kelompok yang divaksin akan tetapi peningkatan ini tidak signifikan, sedangkan pada
kelompok yang tidak divaksin jumlah leukositnya masih berada pada kisaran normal.
Pada minggu ke-7 jumlah leukosit kedua kelompok kelinci berada pada kisaran
normal akan tetapi pada kelompok yang divaksin jumlah leukosit cenderung lebih
tinggi. Hal ini dikarenakan pada kelompok yang divaksin sebelumnya telah terpapar
antigen yang serupa sehingga menimbulkan respon imun sekunder yang pada
umumnya lebih cepat dibanding respon primer (Kresno 2001). Adanya sel memory
menyebabkan terjadinya peningkatan sensitivitas terhadap antigen.
Heterofil
Jumlah heterofil normal pada kelinci berkisar 0,85-2,61 x 103/µl (Jain 1993).
Netrofil atau disebut heterofil merupakan garis pertahanan seluler pertama. Dari hasil
pengamatan pada minggu ke-0 dan 2 jumlah heterofil pada kedua kelompok kelinci
masih berada pada kisaran normal. Pada minggu ke-2 setelah pemberian vaksin
kelompok kelinci yang divaksin jumlah heterofil berada pada kisaran normal, hal ini
dikarenakan kelinci belum merespon vaksin ekstrak caplak yang diberikan.
Tabel 4 Jumlah neutrofil pada kelompok kelinci yang tidak divaksin dan kelompok
yang divaksin (x 103/µl)
Waktu setelah vaksin (minggu) Hewan percobaan 0 2 4 6* 7 Non vaksin 1.92±0.84 1.73±0.69a 2.22±0.74a 2.27±1.04a 1.55±0.17a
Vaksin 2.08±0.46 1.45±0.45a 2.72±0.64a 3.14±0.88a 2.58±0.68a
Keterangan : uji tantang pada minggu ke-5 Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Pada minggu ke-4 pada kedua kelompok kelinci mengalami peningkatan
jumlah heterofil. Peningkatan jumlah heterofi ini pada kelompok kelinci yang
divaksin akibat respon terhadap pemberian vaksin kedua (booster) sedangkan pada
kelompok yang tidak divaksin peningkatan jumlah neutrofil diduga karena faktor
stres. Kondisi stres dapat menstimulasi kelenjar adrenal untuk mengeluarkan hormon
glukokortikoid sehingga merangsang aktifitas sumsum tulang untuk menghasilkan
neutrofil lebih banyak (Chastain dan Ganjum 1986; Jain 1993).
01000200030004000
0 2 4 6 7
waktu (minggu)
jum
lah
hete
rofil
/ul
non vaksinvaksin
Gambar 12 Gambaran heterofil kelompok kelinci yang tidak divaksin dan divaksin
Setelah uji tantang pada minggu ke-6 kedua kelompok kelinci mengalami
peningkatan jumlah heterofil. Peningkatan jumlah heterofil pada kedua kelompok
disebabkan oleh infestasi caplak. Saliva caplak berisi antigen yang dapat menginduksi
respon kekebalan tubuh (Tizard 2000). Pada minggu ke-7 jumlah heterofil kedua
kelompok kelinci berada pada kisaran normal, hal ini disebabkan oleh adanya
mekanisme tubuh untuk menyingkirkan antigen dalam tubuh.
Monosit
Jumlah monosit normal pada kelinci berkisar 0,04-0,63 x 103/µl (Jain 1993).
Pada minggu ke-0, 2, 4, 6 dan 7 jumlah monosit pada kedua kelompok kelinci relatif
stabil hal ini dikarenakan masa edar monosit yang singkat didalam sirkulasi darah
hanya 24 jam atau kurang kemudian monosit masuk kedalam jaringan menjadi
makrofag (Swenson 1984; Guyton dan Hall 1997)
Tabel 5 Jumlah monosit pada kelompok kelinci yang tidak divaksin dan kelompok
yang divaksin (x 103/µl)
Waktu setelah vaksin (minggu) Hewan percobaan 0 2 4 6* 7 Non vaksin 0.43±0.19 0.24±0.05a 0.38±0.17a 0.47±0.21a 0.22±0.07a
Vaksin 0.51±0.23 0.30±0.06a 0.32±0.09a 0.36±0.10a 0.27±0.15a
Keterangan : uji tantang pada minggu ke-5 Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Monosit berperan penting dalam fagositosis. Pada saat fagositosis makrofag
akan melepaskan enzim lisozim, kolagenase, elastase dan aktivator plasminogen yang
berperan dalam proses persembuhan luka. Makrofag dapat mengolah antigen untuk
merangsang tanggap kebal dan memberikan kontribusi langsung pada perbaikan
jaringan yang rusak dengan membuang jaringan yang mati (Tizard 2000).
0100200300400500600
0 2 4 6 7
waktu (minggu)
jum
lah
mon
osit/
ul
non vaksinvaksin
Gambar 13 Gambaran monosit kelompok kelinci yang tidak divaksin dan divaksin
Limfosit
Jumlah limfosit normal pada kelinci berkisar 1,40-3,80 x 103/µl (Jain 1993).
Pada minggu ke-0 kedua kelompok kelinci memiliki jumlah limfosit berada diatas
kisaran normal (limfositosis). Limfositosis ini dapat bersifat fisiologis dan patologis.
Limfositosis fisiologis dapat terjadi karena pelepasan epinefrine yang disebabkan
oleh stres fisik maupun emosi (Jain 1993). Limfositosis patologis dapat terjadi karena
inflamasi, vaksinasi, hipoadrenocorticism, dan limfoid leukimia .
Tabel 6 Jumlah limfosit pada kelompok kelinci yang tidak divaksin dan kelompok
yang divaksin (x 103/µl)
Waktu setelah vaksin (minggu) Hewan percobaan 0 2 4 6* 7 Non vaksin 4.38±0.26 5.90±1.72a 7.49±0.58a 5.79±1.97a 6.22±1.15a
Vaksin 4.52±0.74 4.60±1.03a 5.93±1.09a 6.10±1.41a 6.22±1.56a
Keterangan : uji tantang pada minggu ke-5 Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Pada minggu ke-0, 2, 4, 6 dan 7 kedua kelompok kelinci mengalami
peningkatan jumlah limfosit (limfositosis). Peningkatan jumlah limfosit minggu ke-2
dan 4 pada kelompok kelinci yang divaksin merupakan respon tubuh terhadap
stimulasi antigenik dari vaksin yang diberikan sehingga mengakibatkan limfositosis
patologis sedangkan pada kelompok kelinci yang tidak divaksin peningkatan jumlah
limfosit diduga karena faktor stres. Beberapa kondisi yang mengakibatkan
limfositosis adalah peradangan kronis (infeksi bakteri, jamur, virus dan protozoa
khususnya Babesia dan Theileria), penyuntikan katekolamin, dan limfositik leukimia
(Jain 1993). Menurut Tizard (1982) fungsi utama limfosit adalah merespon terhadap
antigen dengan membentuk antibodi
Dalam proses tanggap kebal, limfosit dibedakan menjadi sel B dan sel T. Sel
B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang berperan dalam respon imunitas
humoral untuk memproduksi antibodi sedangkan sel T akan berperan dalam respon
imunitas seluler (Dellmann and Brown 1989; Swenson 1984). Keberadaan jaringan
rusak dan invasi mikroorganisme di dalam tubuh akan merangsang aktifitas sel
makrofag untuk merubah antigen tersebut menjadi partikel imunogenik sehingga akan
merangsang kerja sel T dan sel B (Jain 1993).
010002000300040005000600070008000
0 2 4 6 7
waktu (minggu)
jum
lah
limfo
sit/u
l
non vaksinvaksin
Gambar 14 Gambaran limfosit kelompok kelinci yang tidak divaksin dan divaksin
Pada minggu ke-6 dan 7 terjadi peningkatan jumlah limfosit pada kedua
kelompok kelinci. Peningkatan jumlah limfosit pada kedua kelompok ini disebabkan
karena infestasi caplak pada uji tantang yang dilakukan pada minggu ke-5. Limfosit B
berkaitkan dengan kekebalan humoral dengan memproduksi antibodi untuk melawan
bakteri ekstraseluler dan virus sedangkan limfosit T merespon antigen seperti jamur,
sel tumor, dan organisme patogen intraseluler (Swenson 1984). Adanya Babesia sp di
dalam tubuh caplak diduga menjadi penyebab tingginya jumlah limfosit. Babesia sp
yang hidup didalam tubuh caplak merupakan organisme intraseluler yang dapat hidup
didalam sel darah merah. Parasit darah ini mampu mengubah spesifisitas antigen di
permukaan sel sehingga berubah kepekaannya terhadap antibodi (Lubis 2006).
Eosinofil
Jumlah eosinofil normal pada kelinci berkisar 0,23-0,47 x 103/µl (Jain 1993).
Jumlah eosinofil minggu ke-0 dan ke-2 pada kedua kelompok kelinci masih berada
pada kisaran normal. Pada minggu ke-4 pada kedua kelompok kelinci terjadi
peningkatan jumlah eosinofil (eosinofilia). Peningkatan jumlah eosinofil pada
kelompok yang divaksin merupakan respon antigen yang telah diberikan sedangkan
pada kelompok yang tidak divaksin peningkatan jumlah eosinofil disebabkan adanya
infestasi parasit lain yaitu Sarcoptes scabiei. Menurut Martini et al. (1992) eosinofil
merupakan sel fagosit terhadap komponen asing yang telah bereaksi dengan antibodi.
Peningkatan jumlah eosinofil (eosinofilia) ini merupakan gejala klinis terhadap
adanya parasit dan reaksi alergi pada tubuh kelinci.
Tabel 7 Jumlah eosinofil pada kelompok kelinci yang tidak divaksin dan kelompok
yang divaksin (x 103/µl)
Waktu setelah vaksin (minggu) Hewan percobaan 0 2 4 6* 7 Non vaksin 0.45±0.12 0.29±0.07a 1.00±0.22a 0.61±0.31a 0.67±0.33a
Vaksin 0.40±0.05 0.43±0.14a 0.79±0.20a 0.76±0.37a 0.798±0.18a
Keterangan : uji tantang pada minggu ke-5 Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Jumlah eosinofil akan meningkat didalam sirkulasi pada saat terjadi respon
alergi atau infeksi parasit (Martini 1992, Kresno 2001). Pertumbuhan dan diferensiasi
eosinofil dirangsang oleh sitokin dan aktivasi sel T menyebabkan akumulasi eosinofil
di tempat infestasi parasit dan reaksi alergi.
Pada minggu ke-6 dan ke-7 setelah dilakukan uji tantang dengan menanam
caplak pada kelinci terjadi peningkatan jumlah eosinofil pada kedua kelompok.
Peningkatan jumlah eosinofil ini disebabkan oleh infestasi parasit (caplak) dan reaksi
alergi. Eosinofil efektif dalam menyingkirkan antigen yang merangsang pembentukan
Ig E. Eosinofil juga terdapat dalam jumlah yang banyak pada tempat-tempat reaksi
alergi, selain itu ia juga bertanggung jawab terhadap terhadap kerusangan dan
inflamasi (Kresno 2001).
0
200
400
600
800
1000
1200
0 2 4 6 7
waktu (minggu)
Jum
lah
eosi
nofil
/ul
non vaksinvaksin
Gambar 15 Gambaran eosinofil kelompok kelinci yang tidak divaksin dan divaksin
Eosinofil memiliki kemampuan fagositosis terhadap partikel asing akan tetapi
tidak seefisien neutrofil. Dalam respon alergis, granula sel ini mengandung substansi
yang dapat menghambat induksi edema pada jaringan dengan melakukan fagositosis
terhadap granul sel mast dan menghambat sekresi dan aktivasi histamin sel mast
(Kresno 2001 dan Tizard 1982).
Basofil
Persentase jumlah basofil normal pada kelinci mencapai 0,4-1% dari total sel
darah putih (Jain 1993). Persentase basofil yang kecil ini menyebabkan basofil sulit
ditemukan. Menurut Swenson (1984), basofil hanya berada pada peredaran darah
perifer dalam jumlah yang sangat sedikit bahkan tidak ada. Jain (1993) menambahkan
jumlah basofil cenderung meningkat didalam darah perifer pada keadaan dimana
terjadi juga eosinofilia.
Jumlah basofil akan meningkat apabila terjadi reaksi alergi atau
hipersesitivitas. Dari hasil pengamatan basofil tidak ditemukan, hal ini
mengindikasikan tidak adanya reaksi hipersensitivitas pada kelinci. Basofil berperan
sebagai reseptor imunoglobulin E (Ig E) yang dikeluarkan pada saat terjadi reaksi
alergi. Kerja basofil didukung sel mast didalam jaringan, dimana sel mast memiliki
komposisi, fungsi, dan morfologi yang hampir sama dengan sel basofil (Martini et al.
1992).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Pemberian vaksin ekstrak caplak R. sanguineus pada hewan coba kelinci
cenderung meningkatkan jumlah leukosit, heterofil, eosinofil dan limfosit.
2. Vaksinasi ekstrak caplak R. sanguineus cukup efektif dalam memberikan
respon sistem imun melalui gambaran sel darah putih.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran imunologis dari
kelinci yang divaksinasi untuk melihat Ig E sebagai respon akibat pemberian
vaksin.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai vaksinasi ekstrak caplak dengan
menggunakan hewan coba yang lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2008a. Rabbit. http://en.wikipedia.org/wiki/Rabbit [27 Mei 2008]
Anonimus. 2008b. White Blood Cell. http://en.wikipedia.org/wiki/Image:Illu_blood_cell_lineage.jpg [27 Mei 2008]
Astyawati, T. 2002. Investigasi in Tick by vaccination. Pusat antar Universitas Ilmu
Hayat, IPB (Laporan Penelitian). Brown BA. 1980. Hematology : Principles and Procedures.. Philadelphia :
Lea&Febiger Chastain CB dan Ganjum VK. 1986. Clinical Endocrinology Companion Animals.
Philadelphia : Lea & Febiger. Cochran PE. 2004. Laboratory Manual for Comparative Veterinary Anotomy and
Physiology. Canada : Thomson Delmar Learn Deldar A. 1998. Textbook of Veterinary Histology, 5th edition. Editor : H. Dieter
Dellmann and Joann Eurell. Lippincott Williams&Wilkins : USA. Dellmann HD dan Brown EM. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner edisi ke-3.
Jakarta : UI Pres Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak edisi ke-4. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi ke-20. Jakarta : EGC
Penerbit Buku Kedokeran Guyton AC dan Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. I Setiawan,
LMAKA Tengadi, A Santoso, penerjemah; I Setiawan, editor. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari : Textbook of Medical Physiology
Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea and Febiger. Jubb KVF, Kennedy PC dan Palmer N. 1991. Pathology of Domestic animal 4th
edition, 3th vol. USA : Academic Press Inc Kresno SB. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium edisi ke-4.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Levine ND. 1985. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Terjemahan G. Ashadi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Lord C. 2001. Brown Dog Tick-Rhipicephalus sanguineus Latreille http://creturs.ifas.ufl/urban/medical/brown_dog_tick.htm. [19 Mei 2008] Lubis FY. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran 152 : 27-29 Malole MBM dan Utami S. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Martini F, Obar WC, Garrison CW dan Wekh K. 1992. Fundamental of Anatomy and
Physiologi, 2nd ed. New Jersey : A Simon and Schucter Company. Englewood Cliffs.
Meredith A dan David AC. 2002.Rabbits. didalam Anna Meredith, Sharon Redrobe,
editor. BSAVA Manual of Exotic Pets. Ed ke-4. Barcelona : Grafos. Meyer DJ dan John WH. 1998. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and
Diagnosis. Third Edition. USA : Saunder An Imprint of Elsevier Mullen G dan Durden L. 2002. Medical and Veterinary Entomology. Oxford :
Academic Press An Imprint of Elsevier Noble ER dan Noble GA. 1989. Parasitolog iBiologi Parasit Hewan. Edisi ke-5.
Terjemahan Wardiarto. Yogjakarta. : Gajah Mada University Press Percy DH dan Barthold SW. 2001. Pathology of Laboratory Rodents and Rabbits.
Iowa.: Iowa State University Press. Hlm 284 Pereira MC. 2001. The Veterinary Parasitology Images and Gallery Arthropoda :
Insecta and Acari http://icb.usp.br/~marcelp/Rhipicephalus.htm [21 Mei 2008] Romoser WS. 2004. Medical Entomology A Textbook Public Health and Veterinary
Problems Caused by Arthropods. Revision Edition. Boston : Kluwer Academic Publisher
Sarwono B. 2005. Kelinci Potong dan Hias. Agromedika Pustaka : Jakarta. Hlm 1-6 Seddon HR. 1968. Disease of Domestic Animals in Australia : Arthropod Infestation
(Tick and Mites). Canberra : Commonwealth of Australia
Sigit SH dan Hadi UK. 2006. Hama Permukiman Indonesia. Bogor : UKPHP-IPB Smith JBBV dan Soesanto M. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : UI Pres Soulsby EJL. 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals.
London : Bailliere Tindall Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Hlm 99-101 Swenson MJ. 1984. Duke’s Physiology of Domestic Animal. 10th Edition. London :
Cornell University Press Tizard I. 1982. Pengantar Imunology Veteriner. Canada : W. B. Saunder Company Tizard I. 2000. Veterinary Immunology An Introduction. Sixth edition. Canada
W. B. Saunder Company Vanessa KL, Heathet LT, dan Kenneth SL. 2005. Small Mammal Hematology :
Leucocyte Identification in Rabbits and Guinea Pigs. http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/lester/index.php [13 agustus 2008] Williams RE, Hall RD, Broce AB dan Scholl PJ. 1985. Livestock Entomology. New
York : A Wiley-Interscience Publication. John Wiley & Sons. Yates JR. 1992. Rhipicephalus sanguineus Latreille.
http://www.extento.hawaii.edu/kbase/urban/site/brdgtick.htm [22 Mei 2008]
Lampiran 1 Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin pada minggu ke-2
Group Statistics
perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean non vaksin 4 6725.0000 265.36139 132.68069 leukosit vaksin 4 6787.5000 475.00000 237.50000 non vaksin 4 236.8388 59.83916 29.91958 monosit vaksin 4 301.0813 61.42237 30.71118 non vaksin 4 1731.9050 688.37289 344.18645 heterofil vaksin 4 1452.9563 453.33318 226.66659 non vaksin 4 291.3088 68.93055 34.46528 eosinofil vaksin 4 434.9188 137.39972 68.69986 non vaksin 4 5896.4712 1718.33413 859.16706 limfosit vaksin 4 4598.5438 1031.02503 515.51252
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
F Sig. t df
Sig. (2-tailed) Upper Lower
leukosit Equal variances assumed
3.340 .117 -.230 6 .826 -62.50000 272.0485
6 -728.17884 603.17884
Equal variances not assumed
-.230 4.706 .828 -
62.50000 272.0485
6 -775.15225 650.15225
monosit Equal variances assumed
.118 .742 -1.498 6 .185 -64.24250 42.87608 -169.15649 40.67149
Equal variances not assumed
-1.498 5.996 .185 -
64.24250 42.87608 -169.17382 40.68882
heterofil Equal variances assumed
2.737 .149 .677 6 .524 278.9487
5 412.1189
8 -729.47006 1287.36756
Equal variances not assumed
.677 5.190 .527 278.9487
5 412.1189
8 -768.86456 1326.76206
eosinofil Equal variances assumed
1.474 .270 -1.868 6 .111
-143.6100
0 76.86043 -331.68071 44.46071
Equal variances not assumed
-1.868 4.420 .128
-143.6100
0 76.86043 -349.24250 62.02250
limfosit Equal variances assumed
1.105 .334 1.295 6 .243 1297.927
50 1001.958
68
-1153.7770
7
3749.63207
Equal variances not assumed
1.295 4.912 .253 1297.927
50 1001.958
68
-1291.5893
8
3887.44438
Lampiran 2 Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin pada minggu ke-4
Group Statistics
perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean leukosit non vaksin 4 11237.5000 1278.91556 639.45778 vaksin 4 9750.0000 708.28431 354.14216 monosit non vaksin 4 384.3000 171.44420 85.72210 vaksin 4 318.2125 92.07079 46.03540 heterofil non vaksin 4 2223.3625 735.18578 367.59289 vaksin 4 2720.7963 636.96850 318.48425 eosinofil non vaksin 4 999.9875 223.53111 111.76555 vaksin 4 788.4750 196.07344 98.03672 limfosit non vaksin 4 7492.5025 580.21997 290.10999 vaksin 4 5931.4413 1089.70652 544.85326
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
F Sig. t df Upper Lower leukosit Equal
variances assumed
.866 .388 2.035 6 .088 1487.50000
730.97395
-301.128
82
3276.12882
Equal variances not assumed
2.035 4.682 .101 1487.50000
730.97395
-430.565
61
3405.56561
monosit Equal variances assumed
3.895 .096 .679 6 .522 66.08750 97.30126
-172.000
12
304.17512
Equal variances not assumed
.679 4.598 .530 66.08750 97.30126
-190.764
69
322.93969
heterofil Equal variances assumed
.017 .901 -1.023 6 .346
-497.4337
5
486.37100
-1687.54
071
692.67321
Equal variances not assumed
-1.023 5.881 .347
-497.4337
5
486.37100
-1693.41
742
698.54992
eosinofil Equal variances assumed
.035 .859 1.423 6 .205 211.51250
148.66989
-152.269
63
575.29463
Equal variances not assumed
1.423 5.900 .205 211.51250
148.66989
-153.772
41
576.79741
limfosit Equal variances assumed
1.130 .329 2.529 6 .045 1561.06125
617.27537
50.64284
3071.47966
Equal variances not assumed
2.529 4.574 .057 1561.06125
617.27537
-71.1330
9
3193.25559
Lampiran 3 Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan yang
divaksin pada minggu ke-6 Group Statistics
perlakuan N Mean Std.
Deviation Std. Error Mean leukosit non vaksin 4 9137.5000 2749.65907 1374.82953 vaksin 4 10362.5000 2513.09073 1256.54536 monosit non vaksin 4 470.9575 212.76378 106.38189 vaksin 4 363.1250 100.55378 50.27689 heterofil non vaksin 4 2271.7863 1039.52553 519.76276 vaksin 4 3140.0000 881.79816 440.89908 eosinofil non vaksin 4 605.8750 307.46013 153.73006 vaksin 4 762.0000 372.09676 186.04838 limfosit non vaksin 4 5788.8800 1967.14228 983.57114 vaksin 4 6097.2500 1405.16888 702.58444
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
F Sig. t df Upper Lower leukosit Equal
variances assumed
.002 .967 -.658 6 .535 -
1225.00000
1862.54195
-5782.47
596
3332.47596
Equal variances not assumed
-.658 5.952 .535 -
1225.00000
1862.54195
-5791.38
391
3341.38391
monosit Equal variances assumed
.881 .384 .916 6 .395 107.83250 117.66424 -
180.08151
395.74651
Equal variances not assumed
.916 4.276 .408 107.83250 117.66424 -
210.69276
426.35776
heterofil Equal variance .146 .715 -1.274 6 .250 -
868.21375 681.57562 -2535.96
799.54172
s assumed
922
Equal variances not assumed
-1.274 5.845 .251 -868.21375 681.57562
-2546.78
094
810.35344
eosinofil Equal variances assumed
.224 .653 -.647 6 .542 -156.12500 241.34401
-746.672
52
434.42252
Equal variances not assumed
-.647 5.794 .542 -156.12500 241.34401
-751.797
89
439.54789
limfosit Equal variances assumed
.308 .599 -.255 6 .807 -308.37000
1208.73367
-3266.03
474
2649.29474
Equal variances not assumed
-.255 5.429 .808 -308.37000
1208.73367
-3343.08
917
2726.34917
Lampiran 4 Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan yang
divaksin pada minggu ke-7
Group Statistics
perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean non vaksin 4 8650.0000 1671.82535 835.91267 leukosit vaksin 4 9862.5000 1090.39366 545.19683 non vaksin 4 217.8750 73.53726 36.76863 monosit vaksin 4 270.7500 147.78222 73.89111 non vaksin 4 1545.5625 167.99980 83.99990 heterofil vaksin 4 2583.7500 681.78021 340.89010 non vaksin 4 666.4375 325.86720 162.93360 eosinofil vaksin 4 788.5000 178.69434 89.34717 non vaksin 4 6220.1250 1146.19576 573.09788 limfosit vaksin 4 6224.0000 1556.01050 778.00525
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
F Sig. t df Lower Upper Lower Upper Lower leukosit Equal
variances assumed
2.723 .150 -1.215 6 .270 -1212.50000 997.99278 -
3654.50035
1229.50035
Equal variances not assumed
-1.215 5.161 .277 -1212.50000 997.99278 -
3754.00274
1329.00274
monosit Equal variances assumed
1.762 .233 -.641 6 .545 -52.87500 82.53380 -254.82793 149.07793
Equal variances not assumed
-.641 4.400 .554 -52.87500 82.53380 -274.04192 168.29192
heterofil Equal variances assumed
2.773 .147 -2.957 6 .025 -1038.18750 351.08695 -
1897.26632
-179.10868
Equal variances not assumed
-2.957 3.363 .052 -1038.18750 351.08695 -
2090.28273
13.90773
eosinofil Equal variances assumed
4.092 .090 -.657 6 .536 -122.06250 185.82324 -576.75558 332.63058
Equal variances not assumed
-.657 4.655 .542 -122.06250 185.82324 -610.59682 366.47182
limfosit Equal variances assumed
.130 .730 -.004 6 .997 -3.87500 966.29879 -
2368.32296
2360.57296
Equal variances not assumed
-.004 5.515 .997 -3.87500 966.29879 -
2419.63531
2411.88531
Lampiran 5 Skema pemuatan ekstrak caplak R. sanguineus
Caplak betina dewasa
Direndam dalam larutan PBS (pH 7,4)
Diseksi
Organ disentrifuse 5000g (15 menit)
Supernatan dibuang, organ disuspensikan dalam PBS
Disimpan – 20°C
Sentrifuse 15000g (1jam, 4°C)
Supernatan difiltrasi dengan miliophore (0,22 µm)
Sonifikasi (10 menit)
Digunakan Disimpan - 20°C