Post on 30-Jun-2020
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Right Reserved
© 2013, Indonesia: Pontianak
Tim Penyunting Pelaksana:
Supriyanto, SP, M.Sc.
M. Pramulya, SP, M.Si.
Desain Sampul:
Cici Kasdiran
Cetakan pertama: Maret 2013
Penerbit: TOP Indonesia
Alamat: Jalan Purnama Agung VII
Pondok Agung Permata Y35, Pontianak Kalimantan Barat
Email: topindonesia45@gmail.com, topindonesia45a@yahoo.com
ISBN 978-602-17664-1-5
Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
Tanpa seizin tertulis dari penerbit
Sanksi Pelanggaran Pasal 72:
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal
49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah)
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
Volume 2 v
DAFTAR ISI
SAMBUTAN DEKAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI v
AGRIBISNIS
PENGARUH MODEL PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS
PERDESAAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN DAN
KESEJAHTERAAN PETANI BERKELANJUTAN
Dr. Ir. Suandi, M.Si. 3
MODEL STRUKTURAL SISTEM PENGENDALI PEMBANGUNAN
AGROINDUSTRI BERKELANJUTAN: KASUS PEMBANGUNAN
AGROINDUSTRI KELAPA SAWIT DI PROVINSI JAMBI
Safrial Hafids 15
KEARIFAN LOKAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEBERLANJUTAN
PERLINDUNGAN PANGAN PETANI (Desa Baru Pangkalan Jambu
Kec. Pangkalan Jambu, Kab. Merangin, Provini Jambi)
Rosyani, Elwamendri dan Dewi Sri Nurchaini 39
DAMPAK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT RAKYAT TERHADAP
PENDAPATAN WILAYAH DESA (PDRB) DI PROVINSI JAMBI
(Smallholders Oil Palm Estate Impact against Village Gross Regional Domestik
Product (GRDP) in Jambi Province)
Ir. Armen Mara, M.Si. dan Ir. Yanuar Fitri, M.Si. 51
PERANAN PERKEBUNAN BESAR KELAPA SAWIT DALAM
PENINGKATAN EKONOMI DESA DI PROVINSI JAMBI (The Role of Oil
Palm Large Estates in Rural Economic Improvement in Jambi Province)
Ir. Armen Mara, M.Si., Ir. Yanuar Fitri, M.Si. dan Fuad Mukhlis, S.P., M.Si. 63
PERANAN PENYULUHAN PERTANIAN PADA PETANI PADI DI
KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI
Kausar 77
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
Volume 2 xiii
PERSILANGAN DIALEL
Dwi Wahyuni Ganefianti, SriHendrastuti Hidayat, Muhamad Syukur,
Hermansyah dan Ardhan Adriansyah 405
KARAKTERISASI PLANTLET ANGGREK SPATHOGLOTTIS PLICATA
BLUME. HASIL IRADIASI SINAR GAMMA
Atra Romeida, Surjono Hadi Sutjahyo, Agus Purwito, Dewi Sukma dan
Rustikawati 417
PERAKITAN VARIETAS KEDELAI BERPOTENSI TINGGI DAN EFISIEN
PUPUK FOSFOR (P)
Dewi Suryati, Ali Munawar, Dwi Wahyuni Ganefianti, Alnopri, Riwandi, M.
Chozin, Hasanudin dan Dwinardi Apriyanto 425
RESPON BEBERAPA GALUR RUMPUT PALISADE (BRACHIARIA
BRIZANTHA (A.RICH.) STAPF.) INTRODUKSI TERHADAP BERBAGAI
TAKARAN PUPUK NITROGEN DI LAHAN KERING
Yakup dan karnadi Gozali 433
PERCEPATAN PENGEMBANGAN DURIAN UNGGUL (DURIO
ZIBETHINUS MURR. C.V. SELAT) MELALUI TEKNIK KULTUR
JARINGAN: PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP
PROLIFERASI KALUS DARI EKSPLAN DAUN MUDA
Zulkarnain, Neliyati dan Lizawati 441
SELEKSI MUTAN PERTAMA (M1) AKSESI BERAS MERAH LOKAL
BANGKA DENGAN PERLAKUAN DOSIS RADIASI SINAR GAMMA 200
GRAY
Mustikarini E.D., Zasari M. dan Kartika 457
SELEKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA TANAH SALIN
Rosmayati, Nini Rahmawati dan Isman Nuriadi 467
RESPON GENETIK BEBERAPA GALUR INBRED JAGUNG TERHADAP
CEKAMAN KEKERINGAN YANG DIINDUKSI OLEH PEG PADA FASE
PERKECAMBAHAN (Genetic Response of Maize Inbred Lines to Drought
Stress Induced by PEG on Germination Stage)
P.K. Dewi Hayati dan Dini Hervani 475
PENGARUH MUTASI FISIK MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA
TERHADAP KERAGAAN BUNGA MATAHARI (HELIANTHUS ANNUS L.)
(Physical Mutation with Irradiation Gamma Ray Influence on Sunflower
(Helianthus annuus L.) Performance
M.Haikal Catur Saputra, Juang Gema Kartika dan Syarifah Iis Aisyah 483
IDENTIFIKASI MORFOLOGI BUAH SALAK SUMATRA UTARA
(SALACCA SUMATRANA BECC.) DI BEBERAPA DAERAH KABUPATEN
TAPANULI SELATAN
Eva Sartini Bayu, Luthfi A.M. Siregar, Yusuf Husni dan
Hilda Mei Yeni Harahap 497
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
Volume 2 ix
FERMENTASI SILASE LIMBAH IKAN GABUS DENGAN
MENGGUNAKAN METODE KIMIAWI DAN MIKROBIOLOGI
Siti Hanggita R.J. dan Rodiana Nopianti 775
PENINGKATAN ASAM AMINO ONGGOK MELALUI FERMENTASI
DENGAN CAIRAN RUMEN
Wiwaha Anas Sumaja 785
EVALUASI TATA RUANG (RDTRK) BERDASARKAN PETA DAERAH
BAHAYA DAN RESIKO BANJIR KOTA SINTANG (Land Use Planned
Evaluation (RDTRK) on Sintang City Area Using Flood Hazard and Risk
Analysis, West Borneo)
M. Pramulya 793
EVALUASI KEBUTUHAN LISIN PADA AYAM BROILER (1-21 HARI)
BERDASARKAN TEKNIK SUPLEMENTASI
Samadi 805
KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA DI SEMPADAN SUNGAI DAN
KEBUN KELAPA SAWIT DI DESA BULUH CINA, KAMPAR
Defri Yoza, Yossi Oktorini dan Tuti Arlita 815
PENANGGULANGAN LIMBAH KELAPA SAWIT MELALUI PEMAN-
FAATN PELEPAH SAWIT SEBAGAI PAKAN BERKUALITAS UNTUK
PERTAMBAHAN BOBOT BADAN SAPI
R.A. Muthalib, Afreni Hamidah dan Endri Musnandar 825
LIFE CYCLE ANALYSIS (LCA) TANAMAN SAGU SEBAGAI SUMBER
ENERGI TERBARUKAN: ANALISIS ENERGI PADA PROSES EKSTRAKSI
TEPUNG SAGU DI MASYARAKAT Kalimantan BARAT
Sholahuddin 835
PENGGUNAAN TAHI MINYAK SEBAGAI PENGGANTI JAGUNG
DALAM RANSUM AYAM PEDAGING
Zubaidah dan Noferdiman 843
SIFAT FISIKO-KIMIA PAKN PELLET BERBASIS PELEPAH SAWIT
(Physico-Chemical Characteristics of Pelletized Feed Containing of Oil Palm
Fronds)
Yatno, J. Andayani, Nelson, T. Kaswari and B. Rosadi 851
TEPUNG CACING TUBIFEX SEBAGAI ATRAKTAN UNTUK
DOMESTIKASI IKAN SEMAH TERHADAP PAKAN BUATAN
Hendry Yanto 861
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
Volume 2 441
PERCEPATAN PENGEMBANGAN DURIAN UNGGUL (Durio zibethinus Murr. cv.
Selat) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN: PENGARUH ZAT PENGATUR
TUMBUH TERHADAP PROLIFERASI KALUS DARI EKSPLAN DAUN MUDA
Zulkarnain, Neliyati dan Lizawati
Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Email: dr.zulkarnain@yahoo.com
ABSTRAK
Durian Selat merupakan salah satu Buah Unggul Tropika yang memiliki bernilai ekonomi
tinggi karena memiliki cita rasa manis dan tekstur daging buah halus tidak berserat dengan
aroma tidak terlampau tajam. Hingga saat ini pengembangan durian Selat masih
mengandalkan bibit yang berasal dari biji atau hasil penyetekan dan penyambungan. Metoda
perbanyakan demikian memiliki keterbatasan dalam hal jumlah bahan induk dan juga jumlah
progeni yang dihasilkan, di samping karakter anak yang belum tentu sama dengan induknya.
Untuk mengatasi masalah tersebut, upaya yang dapat ditempuh adalah memanfaatkan teknik
kultur jaringan tanaman yang telah banyak digunakan untuk pengadaan bibit berbagai
tanaman, dan telah terbukti sangat menguntungkan secara ekonomis. Sehubungan dengan itu,
penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan satu paket teknologi yang efisien dalam
menghasilkan bibit durian Selat secara massal, cepat dan seragam. Penelitian ini terdiri atas 2
tahap percobaan, yaitu induksi proliferasi kalus dan induksi sifat-sifat embriogenik dari kalus
yang diproliferasikan. Pada tahap induksi kalus dilakukan uji terhadap sumber eksplan, yaitu
daun muda dan tangkai daun yang dikulturkan pada medium WPM dengan berbagai
konsentrasi Pikoram + BAP dan 2,4-D + TDZ. Dari percobaan ini diperoleh jenis eksplan
yang responsif dan kombinasi zat pengatur tumbuh yang efektif untuk induksi kalus. Kalus
yang terbentuk selanjutnya disubkulturkan pada medium dengan komposisi zat pengatur yang
sama namun dilengkapi dengan berbagai konsentrasi asam amino untuk menginduksi
munculnya sifat-sifat embriogenik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) proliferasi kalus
dipengaruhi oleh macam dan takaran serta kombinasi auksin dan sitokinin yang diberikan ke
dalam medium kultur, 2) Pikloram 3,0 mgL-1 tanpa BAP dan 2,4-D 4,0 mgL-1 + TDZ 1,0
mgL-1 mampu mendorong terjadinya proliferasi kalus pada eksplan yang dikulturkan, dan 3)
kalus yang diregenerasikan memperlihatkan karakteristik yang sama, namun ciri-ciri
embriogenik belum terlihat meskipun diperkirakan sudah ada tanda-tanda yang mengarah
pada sifat-sifat embriogenik.
Kata-kata kunci: kultur jaringan, kultur in vitro, mikropropagasi, hormon tanaman, auksin,
sitokinin, tanaman buah-buahan.
PENDAHULUAN
Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman tropis berasal dari Asia
Tenggara, telah menyebar dari Sri Langka, India sampai ke Papua New Guinea. Di Indonesia
dan Malaysia durian umumnya ditanam di pekarangan, sedangkan di Thailand durian
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
442 Volume 2
merupakan komoditas komersial yang telah dikelola secara agribisnis dalam bentuk
perkebunan yang dipelihara secara intensif.
Saat ini permintaan dan harga durian tergolong tinggi, hal ini memberi jaminan bahwa
durian yang masyarakat sering menyebutnya ”Raja Buah-Buahan” bisa memberikan
keuntungan yang cukup menjanjikan. Volume permintaan yang tinggi akan durian sering
tidak terpenuhi karena masih sedikitnya sentra penanaman durian di Indonesia, sehingga
prospek pengembangan durian sangat cerah.
Salah satu jenis durian yang telah dilepas sebagai varietas Nasional oleh Menteri
Pertanian pada tahun 2005 adalah Durian Selat yang berasal dari Provinsi Jambi. Durian Selat
memiliki aroma, cita rasa dan tekstur daging buah khas, yang tidak kalah dengan varietas
durian import. Oleh karena itu Provinsi Jambi telah memberikan perhatian yang serius bagi
pengembangan Durian Selat.
Perbanyakan durian Selat saat ini dilakukan secara generatif menggunakan biji atau
secara vegetatif menggunakan sambung pucuk. Metoda ini terkendala oleh terbatasnya
jumlah pohon induk yang dapat dijadikan sebagai sumber setek. Di samping itu, jumlah
tanaman yang diregenerasikan juga sangat terbatas, yakni satu sambungan hanya
menghasilkan satu tanaman anak (Hartmann et al., 1990), sehingga menjadikan metoda
perbanyakan ini tidak ekonomis untuk skala komersial. Bahkan, perbanyakan vegetatif dapat
menurunkan produksi sebagai akibat akumulasi infeksi berbagai cendawan, bakteri dan virus
dari generasi ke generasi (Goleniowski et al., 2003). Sebagai akibatnya adalah jumlah
propagula yang dihasilkan juga sangat terbatas dengan kesehatan yang kurang terjamin,
sehingga perbanyakan tanaman dengan cara setek tidak dapat diandalkan untuk
memperbanyak tanaman durian dalam skala industri.
Untuk mengatasi masalah tersebut dapat ditempuh melalui aplikasi kultur jaringan.
Menurut Taji et al. (1997) kultur jaringan merupakan alternatif penyediaan bibit dalam skala
besar, seragam, cepat dan bebas penyakit. Perbanyakan melalui teknik kultur jaringan dapat
dilakukan melalui organogenesis dan embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik
merupakan suatu proses di mana sel somatik (baik haploid maupun diploid) berkembang
membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui
fusi gamet. Istilah embrio somatik pertama kali digunakan oleh Tolkin pada tahun 1964
(Purnamaningsih, 2002) yang menggambarkan pembentukan organisme dari suatu sel atau
kumpulan sel somatik. Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu
mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem akar dan meristem tunas. Dengan memiliki
struktur tersebut maka perbanyakan melalui embriosomatik lebih menguntungkan daripada
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
Volume 2 443
pembentukan tunas adventif yang unipolar. Di samping strukturnya, tahap perkembangan
embrio somatik menyerupai embrio zigotik. Secara spesifik tahap perkembangan tersebut
dimulai dari fase globular, fase hati, fase torpedo, dan planlet (Gaj, 2001).
Induksi embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah propagula
yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat. Di
samping itu, untuk mendukung program pemuliaan tanaman melalui rekayasa genetika,
penggunaan embrio somatik dapat mempercepat keberhasilan dengan peluang transformasi
yang lebih tinggi karena embrio somatik dapat berasal dari satu sel somatik. Untuk
penyimpanan jangka pendek maupun jangka panjang, embrio somatik dianggap merupakan
bahan tanaman yang ideal karena bila diregenerasikan dapat membentuk bibit somatik.
Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung maupun tidak
langsung (melewati fase kalus). Keberhasilan akan tercapai apabila kalus atau sel yang
digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma
padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati. Embrio somatik dapat
dihasilkan dalam jumlah besar dari kultur kalus, namun untuk tujuan perbanyakan dalam
skala besar, jumlahnya kadang-kadang dapat lebih ditingkatkan melalui inisisasi sel
embrionik dari kultur suspensi yang berasal dari kalus primer (Wiendi et al., 1991).
Penelitian embryogenesis somatik telah banyak dilakukaan pada tanaman budidaya
seperti bawang putih (Luciani et al., 2006), Dioscorea alata (Belarmino dan Gonzales, 2008),
peach (de-Alencar Maciel et al., 2010), Agapanthus praecox ssp. Minimus (Yaacob et al.,
2012) dan kakao (Quainoo dan Dwomo, 2012). Sementara itu Irawati (2005) melaporkan
pembentukan kalus embriogenik pada eksplan daun Caladium hibrida yang dikulturkan pada
medium MS yang mengandung 30 gL-1 sukrosa dan 10 gL-1 bacto agar + 1 mgL-1 2,4-D.
Embriogenesis somatik telah pula berhasil diinduksi pada tanaman Alstroemeria (Khaleghi et
al., 2008), Dianthus caryophyllus (Karami et al., 2007; Ali et al., 2008) dan Bauhinia variegata
(Banerjee et al., 2012). Embriogenesis somatik telah pula dilaporkan pada tanaman kopi, namun
tingkat keberhasilannya relatif rendah dan masih mengalami kesulitan dalam meregenerasikan
menjadi planlet (Neuenschwander dan Baumann, 1992; Priyono, 1993; Sreenath et al., 1995).
Usaha perbanyakan durian melalui kultur jaringan belum banyak dilaporkan. Hasil
penelitian Suharti (2002) menunjukkan bahwa kalus terinduksi pada eksplan yang di
tumbuhkan pada medium MS yang diberi perlakuan 2,4-D dan BAP dengan perbandingan
1:10. Kalus bewarna putih, friable, cepat membesar hingga delapan minggu setelah
penanaman ukurannya telah mencapai 6 kali ukuran awal, namun sub kultur pada medium
MS yang mengandung BAP tinggi yaitu hingga 5 ppm belum ada respons dari kalus untuk
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
444 Volume 2
terdiferensiasi menjadi organ. Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang induksi embryogenesis somatik tanaman durian dalam rangka mengatasi
masalah ketersedian bibit durian baik lokal maupun nasional.
Tujuan secara umum dari penelitian ini adalah untuk merakit satu paket teknologi
(protokol) perbanyakan bibit tanaman durian kultivar Selat secara massal, cepat dan seragam
serta berkesinambungan. Sementara tujuan penelitian secara spesifik adalah: 1) mendapatkan
waktu inisiasi pembentukan kalus yang paling cepat, 2) mendapatkan jumlah kalus
embriogenik tertinggi, 3) mendapatkan waktu inisiasi pembentukan embrio somatik yang
paling cepat, dan 4) jumlah embrio somatik tertinggi.
METODE PENELITIAN
Perlakuan dan rancangan
Penelitian ini terdiri atas dua seri percobaan yang dilakukan secara paralel sebagai
berikut:
Percobaan Seri 1: Pengujian zat pengatur tumbuh Pikloram + BAP
Percobaan ini terdiri atas 2 faktor, yaitu Pikloram (1,0; 2,0 ; 3,0 ; 4,0; 5,0 mgL-1) yang
dikombinasikan dengan BAP (0 ; 0,5 ; 1,0 mgL-1). Dari ke dua faktor tersebut diperoleh 15
kombinasi perlakuan, di mana setiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali dan setiap ulangan
terdiri atas 4 botol dan setiap botol terdapat 1 eksplan. Percobaan ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap pola faktorial.
Percobaan Seri 2: Pengujian zat pengatur tumbuh 2,4-D + TDZ
Percobaan ini terdiri atas 2 faktor, yaitu 2,4-D (0,0; 0,5 ; 1,0 ; 2,0; 3,0; 4,0 mgL-1) yang
dikombinasikan dengan TDZ (0 ; 0,5 ; 1,0 mgL-1). Dari ke dua faktor tersebut diperoleh 15
kombinasi perlakuan, di mana setiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali dan setiap ulangan
terdiri atas 4 botol dan setiap botol terdapat 1 eksplan. Sama seperti percobaan Seri 1,
percobaan ini juga menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial.
Kultur dari kedua seri percobaan tersebut dipelihara dalam ruangan gelap dengan suhu
25 ± 1oC selama satu minggu, selanjutnya diinkubasi dengan pencahayaan 1000 lux
penyinaran 16 jam per hari. Pengamatan dilakukan setelah kultur berumur 1 minggu sampai
12 minggu. Peubah yang diamati adalah jumlah eksplan yang membentuk kalus, rentang
waktu terbentuknya kalus (dari sejak inisiasi kultur), karakteristik kalus (warna dan struktur),
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
Volume 2 445
yang terbentuk dari masing-masing eksplan dan persentase kalus embriogenik yang terbentuk
dari semua kalus. Untuk melihat kalus sifat-sifat embriogenik dari kalus dilakukan
pengamatan mikroskopik.
Data kuantitatif yang diperoleh disajikan dan dianalisis dengan cara pengurutan nilai
tengah (Zulkarnain, 2009). Sementara itu untuk parameter yang tidak dapat diukur secara
kuantitatif, dilakukan pengamatan secara kualitatif dan analisis dilakukan secara deskriptif. Di
samping diuji secara statistik dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, hasil pengamatan
yang berupa data kualitatif disajikan dalam bentuk visual berupa gambar/foto.
Pelaksanaan Percobaan
• Persiapan eksplan
Bahan tanaman yang digunakan untuk eksplan adalah durian (Durio zibethinus Murr.
cv. Selat) diperoleh dari pohon induk tunggal (PIT) milik petani yang berada di Desa Selat,
Kabupaten Muaro Jambi. Eksplan yang diambil adalah daun muda dan tangkai daun muda.
Eksplan disterilkan dengan mencuci pada air mengalir, selanjutnya direndam dalam larutan
anti bakteri (Agrept) dan anti jamur (Benlate) dengan konsentasi 2 g 100 mL-1 air selama 30
menit, lalu dibilas tiga kali dan dilanjutkan sterilisasi bertingkat dalam larutan NaOCl
1,575% selama 30 menit, NaOCl 1,05% selama 10 menit dan NaOCl 0,52 % selama 5 menit.
Selanjutnya eksplan dicuci dengan air steril sampai bersih, lalu bagian pelukaan dipotong
dalam air steril untuk selanjutnya siap dijadikan sebagai eksplan dan ditanam pada masing-
masing perlakuan.
• Persiapan media perlakuan
Medium yang digunakan adalah medium dengan komposisi WPM (Lloyd dan McCown,
1980) yang dilengkapi dengan vitamin dan sukrosa. Masing-masing dari larutan stok WPM
dimasukkan ke dalam gelas piala berisi lebih-kurang 200 mL air suling dan aduk secara
konstan. Selanjutnya ditambahkan zat pengatur tumbuh Pikloram + BAP dan 2,4-D + TDZ
dengan konsentrasi sesuai perlakuan. Sukrosa ditambahkan sebanyak 30 g, dan volume
larutan dijadikan 1 L dengan penambahan air suling. Kemasaman medium ditetapkan 5,8
0,02 dengan menambahkan NaOH 1 M atau HCl 0,5 M. Untuk membuat medium padat
digunakan Bacto agar sebanyak 8 g, yang dilarutkan dengan pemanasan sebelum medium
tersebut dibagi-bagi ke dalam botol kultur dan selanjutnya media disterilkan dengan otoklaf
pada tekanan 1,1 kg cm-1 (103 kPa) pada suhu 121oC selama 20 menit.
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
446 Volume 2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil pengujian awal terhadap berbagai sumber eksplan menunjukkan bahwa eksplan
yang bersumber dari potongan helai daun muda memperlihatkan respon yang lebih baik
dibandingkan dengan eksplan yang berasal dari tangkai daun. Oleh karena itu, pada penelitian
ini digunakan potongan helai daun muda sebagai sumber eksplan.
Pengaruh Pikloram + BAP terhadap perkembangan eksplan
Eksplan berupa potongan daun muda tanaman durian cv. Selat yang dikulturkan pada
medium WPM yang dilengkapi dengan berbagai tingkat konsentrasi Pikloram + BAP
umumnya memperlihatkan adanya respon perkembangan yang ditandai oleh kondisinya yang
tetap segar, baik disertai maupun tanpa pembentukan kalus, sampai dengan akhir masa
penelitian. Persentase eksplan yang memperlihatkan respon selanjutnya disajikan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Pengaruh pemberian Pikloram + BAP terhadap rata-rata persentase eksplan yang
memperlihatkan respon perkembangan.
Dari Gambar 1 terungkap bahwa, baik konsentrasi Pikloram maupun BAP secara
sendiri-sendiri memperlihatkan pengaruh yang berkorelasi erat dengan tingkat persentase
eksplan yang memberikan respon perkembangan. Terungkap dari penelitian ini, bahwa
semakin tinggi konsentrasi Pikloram maupun BAP yang diberikan, maka persentase eksplan
yang memberikan respon perkembangan juga semakin meningkat.
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
Volume 2 447
Pengaruh Pikloram + BAP terhadap jumlah eksplan yang membentuk kalus
Eksplan yang hidup terus berkembang meregenerasikan kalus yang semakin hari
semakin bertambah banyak. Namun demikian tidak semua eksplan yang hidup mampu
meregenerasikan kalus. Sebagian di antaranya tidak memperlihatkan perkembangan lebih
lanjut, sedangkan sebagian lagi meregenerasikan kalus setelah berumur 4 minggu setelah
tanam. Rata-rata persentase eksplan yang membentuk kalus disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Pengaruh pemberian Pikloram + BAP terhadap persentase eksplan yang
membentuk kalus.
Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa, Pikloram yang diberikan pada medium mampu
meningkatkan pembentukan kalus hanya sampai pada konsentrasi 3,0 mgL-1 (16,67%),
sedangkan pada tingkat konsentrasi di atas 3,0 mgL-1 pemberian Pikloram dapat menghambat
pembentukan kalus. Berbeda dengan Pikloram, kehadiran BAP di dalam medium kultur justru
dapat menekan pembentukan kalus, di mana persentase eksplan yang membentuk kalus
semakin sedikit seiring dengan meningkatnya konsentrasi BAP.
Pengaruh Pikloram + BAP terhadap kecepatan pembentukan kalus
Dari 15 kombinasi perlakuan yang diuji, tidak semuanya meregenerasikan kalus
meskipun seluruh eksplan yang dikulturkan memperlihatkan adanya respon terhadap
perlakuan yang diuji. Kalus sudah mulai terlihat berproliferasi pada permukaan eksplan
setelah 34 - 43 hari inisiasi kultur. Rata-rata kecepatan pembentukan kalus pada eksplan yang
dikulturkan pada medium WPM yang dilengkapi dengan berbagai tingkat konsentrasi
Pikloram + BAP disajikan pada Gambar 3.
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
448 Volume 2
Gambar 3. Pengaruh pemberian Pikloram + BAP terhadap kecepatan pembentukan kalus
(hari setelah tanam).
Dari Gambar 3 di atas terungkap bahwa, dengan hadirnya Pikloram di dalam medium
kultur proliferasi kalus tercepat ditunjukkan oleh perlakuan Pikoloram dengan konsentrasi 4,0
mgL-1, yakni rata-rata 35,50 hari setelah inisiasi. Sementara itu pada perlakuan BAP
proliferasi kalus tercepat diperoleh pada perlakuan BAP konsentrasi 0,5 mgL-1, yakni rata-rata
35,83 hari setelah inisiasi kultur.
Pengaruh Pikloram + BAP terhadap karakteristik kalus
Kalus yang berproliferasi dari permukaan eksplan secara umum memperlihatkan
karakteristik yang sama, yaitu berwarna putih kekuningan hingga kuning kecoklatan, dengan
struktur yang didominasi oleh struktur yang remah. Selengkapnya karakteristik kalus yang
diregenerasikan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh pemberian Pikloram + BAP terhadap warna dan struktur kalus yang
diproliferasikan.
Pikloram (mgL-1) BAP (mgL-1)
0,0 0,5 1,0
1,0 - putih kekuningan dan
remah
putih kekuningan dan
kompak
2,0 putih dan remah - -
3,0 putih, kekuningan, hijau
kecoklatan dan remah
putih, kekuningan,
kecoklatan dan remah -
4,0 putih dan remah putih dan remah putih dan remah
5,0 putih kekuningan dan
remah serta kompak - -
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
Volume 2 449
Pengaruh 2,4-D + TDZ terhadap perkembangan eksplan
Sama halnya dengan perlakuan Pikloram + BAP, eksplan yang dikulturkan pada
medium dengan berbagai konsentrasi 2,4-D + TDZ juga memperlihatkan respon
perkembangan, baik disertai maupun tanpa pembentukan kalus. Persentase eksplan yang
memperlihatkan respon selanjutnya disajikan (Gambar 4).
Gambar 4. Pengaruh pemberian 2,4-D + TDZ terhadap persentase eksplan yang
memperlihatkan respon perkembangan.
Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa, baik 2,4-D maupun BAP keduanya
memperlihatkan pengaruh terhadap perkembangan kultur. Namun demikian pemberian 2,4-D
yang dapat meningkatkan persentase eksplan yang memberikan respon terhadap perlakuan
hanya sampai tingkat konsentrasi 3,0 mgL-1. Sementara itu, pemberian TDZ tidak
berpengaruh terhadap perkembangan kultur, bahkan cenderung menghambat perkembangan
kultur.
Pengaruh 2,4-D + TDZ terhadap jumlah eksplan yang membentuk kalus
Sama halnya pada perlakuan Pikloram + BAP, tidak semua eksplan yang dikulturkan
pada medium dengan 2,4-D + TDZ mampu meregenerasikan kalus. Sebagian di antaranya
tidak memperlihatkan perkembangan lebih lanjut, sedangkan sebagian lagi meregenerasikan
kalus dengan karakteristik yang hampir sama antar perlakuan. Rata-rata persentase eksplan
yang membentuk kalus disajikan pada Gambar 5.
Sementara itu pada faktor 2,4-D terungkap persentase eksplan yang berkalus meningkat
pada pemberian 2,4-D sebanyak 3,0 mgL-1, namun tidak ada peningkatan yang berarti pada
konsentrasi lebih dari 3,0 mgL-1. Sedangkan pada faktor TDZ, peningkatan persentase eksplan
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
450 Volume 2
berkalus terjadi pada pemberian TDZ 0,5 mgL-1, namun tidak ada peningkatan pada
pemberian lebih dari 0,5 mgL-1.
Gambar 5. Pengaruh pemberian 2,4-D + TDZ terhadap persentase eksplan yang membentuk
kalus.
Pengaruh 2,4-D + TDZ terhadap kecepatan pembentukan kalus
Dari 15 kombinasi perlakuan yang diuji, tidak semuanya meregenerasikan kalus
meskipun seluruh eksplan yang dikulturkan memperlihatkan adanya respon terhadap
perlakuan yang dicobakan. Kalus sudah mulai terlihat berproliferasi pada permukaan eksplan
setelah 10 hari inisiasi kultur. Rata-rata kecepatan pembentukan kalus pada eksplan yang
dikulturkan pada medium WPM yang dilengkapi dengan berbagai tingkat konsentrasi 2,4-D +
TDZ disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Pengaruh pemberian 2,4-D + TDZ terhadap rata-rata kecepatan pembentukan
kalus (hari setelah tanam).
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
Volume 2 451
Pada faktor tunggal 2,4-D terungkap bahwa, proliferasi kalus tercepat ditunjukkan oleh
perlakuan konsentrasi 2,0 mgL-1, yakni rata-rata 10,00 hari setelah inisiasi. Sementara itu
pada perlakuan TDZ proliferasi kalus tercepat diperoleh pada konsentrasi 0,5 mgL-1, yakni
rata-rata 19,33 hari setelah inisiasi kultur.
Pengaruh 2,4-D + TDZ terhadap karakteristik kalus
Sepertihalnya pada pengujian Pikloram + BAP, kalus yang berproliferasi pada
permukaan eksplan yang dikulturkan pada medium yang dilengkapi dengan zat pengatur
tumbuh 2,4-D + TDZ juga memperlihatkan karakteristik yang relatif sama, yaitu berwarna
putih kekuningan hingga kuning kecoklatan, dengan struktur yang didominasi oleh struktur
yang remah. Selengkapnya karakteristik kalus yang diregenerasikan pada eksplan daun muda
durian yang dikulturkan pada masing-masing perlakuan yang diuji disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh pemberian 2,4-D + TDZ terhadap warna dan struktur kalus yang
diproliferasikan.
2,4-D (mgL-1) TDZ (mgL-1)
0,0 0,5 1,0
1,0 - - -
2,0 - Kuning kecoklatan dan
remah -
3,0 putih kekuningan dan
remah
kuning kecoklatan dan
remah hingga kompak
putih kekuningan dan
remah
4,0 - - kekuningan dan
kompak
5,0 putih kekuningan dan
remah hingga kompak
putih kekuningan dan
remah hingga kompak
putih kekuningan dan
remah hingga kompak
Pembahasan
Respon eksplan yang dikulturkan dalam sistem in vitro tidak selalu sama dan sangat
ditentukan oleh tipe eksplan, kondisi lingkungan kultur, komposisi medium, dan kehadiran zat
pengatur tumbuh - terutam auksin dan sitokinin - di dalam medium kultur. Kombinasi dari
dua atau lebih faktor tersebut seringkali menjadi faktor kritis dan sangat dibutuhkan untuk
menginduksi dan meningkatkan respon jaringan yang dikulturkan. Menurut Laslo and Vicaș
(2008), keseimbangan zat pengatur tumbuh endogen terhadap eksogen sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Ditambahkan oleh Winarto et al. (2010)
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
452 Volume 2
bahwa penambahan zat pengatur tumbuh eksogen ke dalam medium dapat mempengaruhi
kinerja zat pengatur tumbuh endogen yang ada di dalam jaringan eksplan. Oleh karenanya
jenis dan takaran zat pengatur tumbuh yang diberikan pada medium sangat penting untuk
diperhatikan guna menginduksi perkembangan eksplan ke arah yang dikehendaki.
Salah satu bentuk perkembangan eksplan yang seringkali dijumpai di dalam sistem
kultur in vitro adalah terjadinya proliferasi kalus dari permukaan eksplan yang dikulturkan.
Gamborg dan Shyluk (1981) menyatakan bahwa regenerasi kalus pada kultur in vitro adalah
konsekuensi dari perkembangan acak dan tidak merata dari sel-sel yang yang belum
terspesialisasi dan hilangnya struktur dari sel-sel yang terorganisasi. Pada percobaan ini,
persentase eksplan yang membentuk kalus lebih tinggi bilamana eksplan tersebut dikulturkan
pada medium yang dilengkapi dengan Pikloram 2,0 mg L-1 tanpa BAP (37,50% eksplan
membentuk kalus). Sementara itu pada perlakuan 2,4-D + TDZ persentase eksplan yang
membentuk kalus tertinggi diperoleh pada perlakuan 2,4-D 4 5,0 mg L-1 tanpa BAP. Hal ini
menunjukkan bahwa kehadiran Pikloram maupun 2,4-D di dalam medium kultur sangat
penting guna menstimulir proliferasi kalus pada eksplan yang dikulturkan.
Pemberian zat pengatur tumbuh merupakan langkah yang sangat penting untuk
mengoptimalkan induksi pembentukan kalus (Lim et al., 2009). Pada penelitian ini proliferasi
kalus terjadi dalam kurun waktu lebih-kurang 6 minggu setelah inisiasi kultur. Proliferasi
kalus tercepat diperlihatkan oleh perlakuan 2,4-D 2,0 mgL-1 plus TDZ 0,5 mgL-1, yakni rata-
rata 10 hari setelah inisiasi kultur. Sedangkan pada perlakuan Pikloram dan BAP proliferasi
kalus tercepat terjadi pada kombinasi Pikloram 4 mgL-1 plus BAP 0,5 – 1,0 mgL-1, yakni rata-
rata 34 hari setelah inisiasi kultur. Pembentukan kalus berawal dari sekitar permukaan luka
yang selanjutnya semakin berkembang dan menutupi permukaan eksplan.
Warna kalus yang muncul yaitu putih kekuningan dan putih lehijauan dengan struktur
yang remah dan sebagian kecil kompak. Hal ini mengindikasikan bahwa kalus yang
berproliferasi pada permukaan eksplan daun tanaman durian cv. Selat berpotensi
memunculkan sifat-sifat embriogenik yang apabila disubkulturkan pada medium yang tepat
akan beregenerasi menjadi embrio lengkap. Kalus dengan karakteristik yang serupa yang
kemudian berkembang menjadi kalus berwarna putih dengan struktur kompak, sebelum
akhirnya meregenerasikan struktur globular berwarna hijau, juga dilaporkan oleh Sha-Valli-
Khan et al. (2002) pada kultur in vitro tanaman Bixa arellana. Pembentukan struktur globular
berwarna hijau ini merupakan tanda-tanda awal dari embriogenesis sebagaimana dilaporkan
oleh Sudhersan dan Abo-El Nil (2002) dan Zulkarnain (2003) pada kultur in vitro Swainsona
formosa. Namun perkembangann kalus dalam penelitian yang dilaporkan ini belum
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
Volume 2 453
memperlihatkan tanda-tanda ke arah pembentukan embrio somatik. Hal ini diduga karena
singkatnya batas waktu untuk mengamati perkembangan eksplan lebih lanjut dan perlu
adanya keterlibatan faktor lain untuk menginduksi timbulnya sifat-sifat embriogenik.
Upaya mendapatkan kalus yang embriogenik dapat dilakukan dengan memodifikasi
sejumlah faktor lingkungan, terutama komposisi medium. Selain itu massa kalus yang
berhasil diproliferasikan perlu disubkultur pada medium baru yang masih segar karena
pemeliharaan kultur yang terlalu lama pada media yang tetap akan menyebabkan terjadinya
defisiensi unsur hara dan air akibat evapotranspirasi di dalam wadah kultur. Oleh karenanya,
tindakan subkultur menjadi sangat penting guna menjaga kehidupan massa kalus yang
berkesinambungan. Untuk itu Dodds dan Robert (1985) mengajurkan untuk melakukan
subkultur dengan ukuran kalus antara 5 – 10 mm atau seberat 20 - 100 mg supaya ada
pertumbuhan yang cepat pada medium baru. Subkultur dapat pula dilakukan 28 hari sekali (2
- 6 minggu sekali). Namun waktu yang tepat untuk memindahkan kultur, tergantung dari
kecepatan pertumbuhan kalus.
Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan besarnya peluang untuk
mendapatkan kalus yang bersiat embriogenik dari eksplan daun mudah tanaman durian cv
Selat dengan pemberian zat pengatur tumbuh, terutama Pikloram dan 2,4-D pada konsentrasi
masing-masing 3,0 hingga 5,0 mgL-1 yang dikombinasikan dengan BAP atau TDZ
konsentrasi 1,0 hingga 3,0 mgL-1. Diharapkan melalui teknik kultur jaringan upaya
mendapatkan tanaman durian cv. Selat yang seragam, bebas dari penyakit dan dalam jumlah
besar dapat terwujud. Taji et al. (2002) menyatakan bahwa embriogenesis somatik memiliki
arti penting dalam teknik kultur jaringan yang ditujukan untuk perbanyakan tanaman. Akan
tetapi proses ini dibatasi oleh banyak faktor karena embrio somatik hanya akan berkembang
dari massa kalus yang embriogenik, dan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan kalus
dengan sifat-sifat embriogenik ada kalanya sangat lama. Di samping itu, faktor-faktor lain
seperti hormon tanaman, hara dan kondisi lingkungan harus dioptimasi terlebih dahulu agar
embriogenesis dapat berlangsung.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil yang didapatkan pada penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
454 Volume 2
1. Induksi proliferasi kalus pada eksplan potongan daun muda durian cv. Selat di dalam
sistem in vitro dipengaruhi oleh macam dan takaran serta kombinasi auksin dan sitokinin
yang diberikan, di mana pemberian Pikloram 3,0 mgL-1 tanpa BAP dan 2,4-D 4,0 mgL-1 +
TDZ 1,0 mgL-1 merupakan kombinasi zat pengatur tumbuh yang mampu mendorong
terjadinya proliferasi kalus pada sebagian besar eksplan yang dikulturkan.
2. Semua kalus yang diregenerasikan pada permukaan eksplan memperlihatkan karakteristik
yang sama, namun ciri-ciri embriogenik belum terlihat meskipun diperkirakan sudah ada
tanda-tanda yang mengarah pada sifat-sifat embriogenik.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dan untuk keberhasilan kultur jaringan durian cv.
Selat, disarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Perlu waktu yang lebih lama untuk melihat perkembangan kalus sehingga benar-benar
dapat dipastikan sifat-sifat embriogeniknya yang dimanifestasikan dalam bentuk
pertumbuhan embrio somatik.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji parameter-parameter lain yang
berperan penting dalam induksi kalus embriogenik dari berbagai sumber eksplan yang lain
selain potongan daun muda dan tangkai daun.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A., H. Afrasiab, S. Naz, M. Rouf dan J. Iqbal. 2008. An efficient protocol for in vitro
propagation of carnation (Dianthus caryophyllus). Pakistan Journal of Botany 40:
111-121.
Banerjee, P., S. Maity dan N. Banerjee. 2012. High frequency somatic embryogenesis and
plantlet regeneration of Bauhinia variegata, a multipurpose tree legume. Indian
Journal of Fundamental and Applied Life Sciences 2: 87-95.
Belarmino, M. M. dan J. R. Gonzales. 2008. Somatic embryogenesis and plant regeneration in
purple food yam (Dioscorea alata L.). Annals of Tropical Research 30: 22-33.
de-Alencar Maciel, S., P. C. P. F. Junior, R. A. da-Silva dan J. E. Scherwinski-Pereira. 2010.
Morpho-anatomical characterization of embryogenic calluses from immature zygotic
embryo of peach palm during somatic embryogenesis. Acta Scientiarum 32: 263-267.
Dodds, J. H. dan L. W. Roberts. 1985. Experiments in Plant Tissue Culture. Cambridge
University Press, Cambridge.
Gaj, M. D. 2001. Direct somatic embryogenesis as a rapid and efficient system for in vitro
regeneration of Arabidopsis thaliana. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 64: 39-46.
Gamborg, O. L. dan J. P. Shyluk. 1981. Nutrition, media and characteristic of plant cell and
tissue culture. Dalam T. A. Thorpe [ed.], Plant Tissue Culture: Method and
Application in Agriculture, 21-44. Academic Press, Inc., New York.
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
Volume 2 455
Goleniowski, M. E., C. Flamarique dan P. Bima. 2003. Micropropagation of oregano
(Origanum vulgare x aplii) from meristem tips. In Vitro Cellular and Developmental
Biology - Plant 39: 125-128.
Hartmann, H. T., D. E. Kester dan F. T. Davis-Jr. 1990. Plant Propagation: Principles and
Practices. Prentice-Hall International, Inc, Englewood Clifts, New Jersey.
Irawati. 2005. Pembentukan kalus dan embryogenesis kultur pelepah daun dan daun
Caladium hibrida. Berita Biologi 7: 257-261.
Karami, O., M. Esna-Ashari, K. Piri dan P. Almasi. 2007. Efficient regeneration of carnation
(Dianthus caryophyllus L.) via somatic embryogenesis. Propagation of Ornamental
Plants 7: 3-8.
Khaleghi, A., A. Khalighi, P. Azadi dan M. Mii. 2008. Induction of embryogenic callus and
plant regeneration from nodes of greenhouse grown plants of Alstroemeria cv. Fuego.
Journal of Food, Agriculture and Environment 6: 374-377.
Laslo, V. dan S. Vicaș. 2008. The influence of certain phytohormons on organogenesis
process for in vitro culture of apricot (Armeniaca vulgaris). Analele Universităţii din
Oradea, Fascicula: Protecţia Mediului 13: 200-205.
Lim, Z. X., A. P. K. Ling dan S. Hussein. 2009. Callus Induction of Ocimum sanctum and
estimation of its total flavonoids content. Asian Journal of Agricultural Sciences 1: 55-
61.
Lloyd, G. B. dan B. H. McCown. 1980. Commercially feasible micropropagation of mountain
laurel (Kalmia latifolia) by use of shoot tip culture. Proceedings of the International
Plant Propagators' Society 30: 412-427.
Luciani, G. F., A. K. Mary, C. Pellegrini dan N. R. Curvetto. 2006. Effects of explants and
growth regulators in garlic callus formation and plant regeneration. Plant Cell, Tissue
and Organ Culture 87: 139–143.
Neuenschwander, B. dan T. W. Baumann. 1992. A novel type of somatic embryogenesis in
Coffea Arabica. Plant Cell Report 10: 608-612.
Priyono. 1993. Embriogenesis somatik langsung pada kultur in vitro eksplan daun kopi
arabika (Coffea arabica). Jurnal Pertanian Indonesia 3: 16-20.
Purnamaningsih, R. 2002. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dan beberapa
gen yang mengendalikannya. Buletin AgroBio 5: 51-58.
Quainoo, A. K. dan B. I. Dwomo. 2012. The effect of TDZ and 2, 4-D concentrations on the
Induction of somatic embryo and embryogenesis in different cocoa genotypes. Journal
of Plant Studies 1: 72-78.
Sha-Valli-Khan, P. S., E. Prakash dan K. R. Rao. 2002. Callus induction and plantlet
regeneration in Bixa arellana L., an annatto-yielding tree. In Vitro Cellular and
Developmental Biology - Plant 38: 186-200.
Sreenath, H. L., H. M. Shanta, K. H. Babu dan M. M. Naidu. 1995. Somatic embryogenesis
from integument (perisperm) cultures of coffee. Plant Cell Report 14: 670-673.
Sudhersan, C. dan M. AboEl-Nil. 2002. Somatic embryogenesis on Sturt's desert pea
(Swainsona formosa). Scientific Correspondence 83: 1074-1076.
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013
456 Volume 2
Suharti, N. 2002. Penggunaan bebeberapa senyawa anti jamur dan bakteri dalam
mengantisipasi kontaminasi pada kultur in vitro tanaman durian. Laporan Penelitian.
Lembaga Penelitian Universitas Andalas, Padang.
Taji, A. M., W. A. Dodd dan R. R. Williams. 1997. Plant Tissue Culture Practice. University
of New England, Armidale.
Wiendi, N. M. A., G. A. Wattimena dan L. V. Gunawan. 1991. Perbanyakan Tanaman:
Bioteknologi Tanaman I. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winarto, B., N. A. Mattjik, A. Purwito dan B. Marwoto. 2010. Aplikasi 24-D dan TDZ pada
regenerasi kalus dari anther Anthurium. Jurnal Hortikultura 20: 1-9.
Yaacob, J. S., A. I. M. Yussof, R. M. Taha dan S. Mohajer. 2012. Somatic embryogenesis and
plant regeneration from bulb, leaf and root explants of African blue lily (Agapanthus
praecox ssp. minimus). Australian Journal of Crop Science 6: 1462-1470.
Zulkarnain. 2003. Breeding Strategies in Sturt"s Desert Pea (Swainsona formosa (G.Don) J.
Thompson) using In Vitro and In Vivo Techniques. PhD Dissertation, The University
of New England, Armidale, Australia.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman Secara Modern.
Bumi Aksara, Jakarta.