Post on 06-Feb-2018
JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562
TERBIT 2 KALI SETAHUN PADA BULAN JANUARI DAN JULI
PENGURUS
VOL. 11, NO. 1, JANUARI 2014
Penanggung Jawab Samsul Bahri
Ketua Penyunting
Damanhuri Basyir
Wakil Ketua Penyunting
Muhammad Zaini
Sekretaris Penyunting
Zulihafnani
Wakil Sekretaris Penyunting Nurlaila
Anggota Penyunting
Abd. Wahid Taslim H.M.Yasin
Zainuddin Firdaus
Fauzi Saleh Salman Abdul Muthalib
Muqni Affan Syukri Zulfan
Zuherni Safrilsyah
Lukman Hakim
Finansial Nuraini
Sirkulasi Nurullah
Muhammad Amin
Diterbitkan Oleh: SEAR FIQH, Banda Aceh
Alamat Redaksi: Kantor SEAR FIQH Jl. Tgk. Chik Pantekulu No. 13 Dusun Utara, Kopelma Darussalam,
Kota Banda Aceh, 23111, telp. 08126950111 WEBSITE: ALMUASHIRAH.COM
Email: muashirahjurnal@yahoo.com, searfiqh@yahoo.com
Media Kajian Al-Quran dan Al-Hadits Multi Perspektif
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 (i)
ISSN 1693-7562
Vol. 11, Nomor 1, Januari 2014
DAFTAR ISI
Daftar Isi, i
Burhanuddin A. Gani: Jumlah Rakaat Shalat Tarwih dalam Perspektif Sunnah Nabi Dan Implementasinya Pada Masa Kini / 1-19
Hasbullah Bin Mohamad: Shaykh Dawud Bin Abdullah Al-Fatanis Dealing
With The Authoritative Creedal Argumentation Of Revealed Sources With
Special Reference To Ward Al-Zawahir / 20-30
Siti Maimunah:
" " : / 31-50
Mira Fauziah: Beriman Kepada Qadha Dan Qadar Dalam Al-Qur'an / 51-64
Abdullah Usman: Keadilan Penguasa Dalam Pandangan Al-Quran / 65-73
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita menurut Perspektif Al-Quran Dan Hadits
/ 74-94
Muzakir Sulaiman / Penakaran Sifat Boros Dalam Al-Qur`an / 95-103
Pedoman Penulisan, 104
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 1
JUMLAH RAKAAT SHALAT TARWI DALAM PERSPEKTIF SUNNAH NABI DAN IMPLEMENTASINYA PADA MASA KINI
Burhanuddin A. Gani
Fakultas Syari'ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry
Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh
ABSTRACT
The problems discussed in this paper is twofold, namely: How does the
number of cycles of tarawih prayer practiced by Prophet Muhammad ?, how
implications for community practice in the current context? To find answers to the
problems mentioned above, the literature study done (library research). Literature
review of studies conducted with books relating to the issues discussed. From this
review of the literature, the data obtained to the desired depth and then analyzed
using descriptive method of analysis, ie, analyzing and describing the findings
obtained. From the results of research on a variety of sources related to this issue,
found that the number of tarawih rakaats prayers have occurred scholars dissent.
From the search results to the Hadiths which forms the basis of the number of
tarawih rakaats prayers, respectively, we can conclude that the Hadith-Hadith
Hadith used equally well grounded. The occurrence of differences of opinion,
because differ in understanding and interpreting the Hadith-Hadith about tarawih
prayers.
Kata Kunci: Shalat Tarawih, Bulan Ramadhan, Qiyam al-Lail
Pendahuluan
Shalat tarwih adalah salah satu ibadah malam pada bulan ramadhan
selain dari shalat witir, yang dilakukan setelah shalat isya berlangsung sampai
dengan waktu shubuh tiba. Ibadah ini khusus berlaku dalam bulan Ramadhan.
Ibadah ini dikenal serta diamalkan oleh umat Islam sejak Rasulullah saw hidup,
Sahabat, tbi'n sampai dengan sekarang ini. Mereka melakukannya adakalanya
secara berjama'ah maupun munfarid (sendirian), baik di rumah-rumah maupun di
mesjid-mesjid. Shalat tarwih hukumnya adalah sunnat muakkad.1
Banyak umat Islam yang mengamalkan ibadah ini dengan tekun karena
pelakunya dapat menghapuskan dosa di masa-masa yang lampau, demikian
maksud Hadth Nabi saw:
: )
2(Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ismail, dia berkata: telah menceritakan
kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Hamid bin Abdul Rahman dari
_____________ 1Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz I (Cet. IV; Beirut: Darul Fikri, 1983), 174. 2Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz I (Bandung: Dahlan, t.th), 305.
Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 2
Abi Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa
berpuasa di bulan Ramadhan dan mendirikannya (ibadah shalat malam,
tarwih dan witir) dengan iman dan ikhlas, Allah akan mengampuni
dosa-dosanya di masa-masa yang lampau.
Dalam Hadth yang lain juga disebutkan:
: )
3 (Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bakir, telah menceritakan
kepada kami Al-Laits, dari Aql dari Ibnu Syihhab, dia berkata telah
memberitakan kepada kami Abu Salamah bahwasanya Abi Hurairah ra.
berkata: saya mendengar Rasulullah saw. bersabda tentang ramadhan
yaitu barangsiapa mendirikan qiyam al-lail di dalamnya dengan penuh
keimanan dan keikhlasan, maka dia diampuni dosa-dosanya yang
terdahulu.
Harun Nasution mengatakan bahwa shalat tarwih ialah shalat sunat yang
dilakukan di malam hari bulan ramadn, juga ibadah ini disebut dengan istilah
Qiym ramadn. Shalat ini dinamakan dengan shalat tarwih adalah karena
shalat yang jumlah raka'atnya cukup banyak ini dilakukan sedikit santai dan
setiap habis salam terutama pada setiap empat raka'at beristirahat sejenak. Ini
sesuai dengan pendapat asy-Syarqwi bahwa shalat itu dinamakan tarwih, karena
beristirahat setiap dua kali salam.4
Para ulama telah berbeda pendapat tentang jumlah raka'atnya antara dua
puluh dan delapan raka'at bahkan ada yang mengatakan lebih dari ini. Pendapat
yang sangat menonjol di kalangan umat Islam masa kini adalah antara dua puluh
dan delapan raka'at. Kalau disimak apa yang pernah disampaikan para ulama
dahulu, mereka tidak seragam dalam menetapkan dan mengamalkan jumlah
raka'at shalat tarwih. Perbedaan pendapat seperti ini telah terulang lagi dengan
tajam di pertengahan abad keduapuluh antara dua ulama besar di Indonesia ini,
yaitu antara Sirajuddin Abbas dengan A. Hasan Bandung. Sirajuddin Abbas
berpendapat bahwa shalat tarwih itu duapuluh raka'at. Kalau tidak dikerjakan
duapuluh raka'at bukan tarwih namanya. Jika sekiranya duapuluh raka'at ini
bukan amalan Nabi, di samping sudah pasti Umar bin al-Khattb tidak akan
berani menyuruh jama'ah melakukan sebanyak itu, demikian juga jama'ah tidak
akan mau mengikutinya karena tidak bersumber dari Nabi saw.5 Sementara
A.Hasan berpendapat bahwa shalat tarwih yang resmi dikerjakan oleh Nabi
adalah delapan raka'at. Jika dikerjakan lebih dari ini, berarti tidak resmi dan
merupakan hak masing-masing pribadi jama'ah. Mengamalkan yang tidak resmi
dari Nabi, seperti yang diamalkan di masa Umar bin al-Khattb, tidak menjadi
pegangan bagi umat Islam, karena sahabat tidak mempunyai wewenang untuk
mengadakan atau meresmikan sesuatu ibadah yang mesti dikerjakan oleh umat
Islam.6
_____________ 3Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I (Bandung: Dahlan, t.th), 762. 4Harun Nasution dkk.,Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992),
941. 5Sirajuddin Abbas, Empat Puluh Masalah Agama, Jilid I (Cet. II; Jakarta:
PustakaTarbiyah, 1972), 334. 6A. Hasan Bandung, Soal Jawab Agama Islam, Jilid II, 449-450.
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 3
Polemik ini tidak hanya terhenti pada dua ulama ini saja akan tetapi telah
terjadi secara besar-besaran di kalangan umat Islam baik di kota-kota maupun
sampai ke desa-desa sejak dahulu sampai sekarang ini. Perbedaan pendapat ini
membawa pengaruh besar bagi umat Islam sendiri, sehingga mereka pecah
menjadi dua golongan besar, yaitu:
1. Golongan yang melakukan shalat tarwih dua puluh raka'at dengan kaifiyat-nya dua raka'at sekali salam. Dan mereka mengatakan ini adalah amalan dari
Rasulullah saw.
2. Golongan yang melakukan shalat tarwih dengan jumlah raka'atnya delapan raka'at dengan kaifiyat-nya ada dua-dua raka'at sekali salam, ada empat-empat
raka'at sekali salam. Mereka juga mengatakan bahwa ini adalah sunnah
Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Siti 'Aisyah Ummul Mukminin.
Kedua golongan ini saling menunding dan menyalahkan satu sama lain
bahkan telah tergiring kepada hal-hal yang tidak diinginkan dalam agama, seperti
saling mengkafirkan dan saling menyesatkan.
Dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, terutama di kalangan
organisasi terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama,
pelaksanaan shalat tarwih pada kedua organisasi tersebut secara nyata sangat
berbeda. Dalam hal ketentuan bahwa shalat tarwih adalah ibadah yang khusus
dikerjakan pada bulan Ramadan, waktunya adalah setelah shalat Isya. Shalat
Tarwih bisa dikerjakan berjamaah, maupun dengan cara munfarid (sendiri),
Shalat Tarwih hukumnya sunnah muakad, Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama memiliki kesamaan pandangan. Dengan kata lain, beberapa hal tersebut
tidak terdapat ikhtilaf atau disepakati oleh jumhur ulama, termasuk dari kalangan
NU maupun Muhammadiyah.
Namun demikian, pada cara pelaksanaannya, terjadi ikhtilaf yang banyak
antara Muhammadiyah dan Nahdhatul ulama. Di kalangan warga NU shalat
tarwih biasa dikerjakan dengan 20 rakaat, 2 rakaat sekali salam dan diakhiri
dengan 3 rakaat witir. Sementara di kalangan warga Muhammadiyah, tarwih
biasa dilaksanakan 8 rakaat, dan diakhiri dengan 3 rakaat witir. Pada
pelaksanaan shalat witir yang menutup shalat tarwih pun terdapat ikhtilf.
Kalangan Muhammadiyah melakukan shalat witir tiga rakaat sekali salam, dan
tidak ada qunut pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan NU
melakukan shalat witir 3 rakaat dengan dua rakaat salam, dan satu rakaat salam,
juga qunut witir pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Apa yang sudah
dipraktekkan di kalangan Muhammadiyah tersebut sebenarnya berbeda dengan
apa yang diterangkan dalam kitab Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai
jumlah rakaat shalat tarwih. Dalam Putusan Tarjih Muhammadiyah diterangkan
bahwa jumlah rakakat shalat tarwih plus witir tidak harus 11 rakaat (sudah
termasuk witir), tetapi bisa kurang dari itu, asalkan jumlah rakaatnya ganjil.
Demikian pula untuk shalat witir, Tarjih Muhammadiyah memberikan beberapa
pilihan, tidak hanya 3 rakaat saja
Berbeda dengan Muhammadiyah, kalangan NU juga memiliki ciri khas
tersendiri dalam mengerjakan shalat tarwih dan witir, khususnya yang dikerjakan
berjamaah. Ciri khas, meski tidak dikerjakan oleh semua warga NU, yakni ada
pada suratan yang dibaca setelah membaca al-Fatihah, biasanya dimulai dari surat
at-Takastur sampai al-Lahab untuk shalat tarwih.
Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 4
Untuk melihat persoalan ini secara utuh, maka dibutuhkan kajian
komprehensif tentang persoalan tersebut di atas dengan tentu saja membahasnya
dengan tidak hanya menekankan pada kajian di seputar perbedaan pendapat ulama
akan tetapi lebih jauh melakukan kajian secara mendalam tentang bagaimana
konstruksi shalat tarwih pada masa Rasulullah dan praktek pada masa sahabat
dan selanjutnya mengaitkannya dengan praktek shalat tarwih dalam konteks
kekinian.
Kaifiyat Shalat Tarwi Nabi Muhammad saw. Setiap ibadah shalat yang dilakukan Rasulullah saw tentunya mempunyai
tata cara tersendiri, baik ibadah shalat wajib maupun shalat sunnat. Kaifiyat yang
dimaksudkan di sini adalah mencakup seluruh perbuatan shalat sejak dari
takbiratul-ihram sampai dengan raka'at dan salam. Demikian juga halnya dengan
shalat malam Nabi Muhammad yang dilakukan pada bulan ramadhan. Sepanjang
yang ditela'ah dari kitab-kitab adth telah ditemui dua versi konstruksi Shalat Tarwi Nabi saw: a. Dua-dua raka'at sekali salam
Ada beberapa adth yang menjelaskan versi konstruksi shalat tarwi Nabi, yaitu:
a. adth dari Ibnu Umar:
7 :
Artinya: Dari Ibnu Umar ia mengatakan adalah Rasulullah saw melaksanakan
shalat malam dua-dua raka'at [dua-dua rakaat sekali salam]. (HR. Ibnu
Majah).
Dalam sanad yang lain terdapat redaksi yang berbeda:
8 ) ( . :
Artinya: Dari Ibnu Umar, ia mengatakan adalah Rasuiullah saw bersabda: shalat
malam itu dua-dua raka'at (dua-dua rakaat sekali salam). HR. Ibnu
Majah).
Dalam suatu dialog antara Ibnu Umar dengan seorang abah tentang shalat malam Rasulullah saw Ibnu Umar memberikan komentar bahwa shalat
malam Rasulullah saw., dua-dua raka'at dan bila khawatir tiba waktu shubuh lalu
beliau melaksanakan shalat witir satu raka'at sebagaimana tersebut dalam matan
adth :
: )
9 ( . .
Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
saw tentang shalat malam, lalu Rasulullah menjawab bahwa shalat
malam itu dua-dua raka'at (sekali salam). Apabila salah seorang kamu
khawatir sampai waktu shalat subuh, maka shalatlah satu rakaat
_____________ 7Ibnu Majah, Sunan Bnu Majah, Juz I (Dar Al-Ihya AlBaby Al-Halaby, t.th), 546. 8Ibid. 9Ibid.
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 5
sebagai shalat witir (penutup terhadap shalat sebelumnya. (HR. Ibnu
Majah).
adth yang semakna dengan ini dapat dijumpai dalam Shahih Muslim, juga dari Ibnu Umar:
10 ( .
Artinya: Dari Ibnu Umar bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
tentang shalat malam, lalu Rasul menjawab bahwa shalat malam
dilakukan dua-dua raka'at (sekali salam). Apabila salah seorang kamu
takut tiba waktu shubuh maka hendaklah ia melaksanakan shalat witir
satu raka'at sebagai penutup pelaksanaan shalat sebelumnya. (HR.
Muslim).
adth Qauli ini menerangkan tentang kaifiyat shalat malam dua-dua raka'at sekali salam dan apabila salah seorang di antara kamu masuk waktu
shubuh shalatlah satu raka'at sebagai shalat witir.
Sementara itu, adth yang disampaikan melalui sanad Qutaibah sebagaimana tersebut di bawah ini:
:
11 Artinya: Qutaibah telah memceritakan kepada kami, al-Layts telah me-
nyampaikan kepada kami dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi saw,
beliau bersabda: Shalat malam dua-dua raka'at. Apabila ia khawatir tiba
waktu shubuh lalu ia berwitirsatu raka'at dan kerjakan witir satu rak'at
dan kerjakanlah witir pada akhir shalatmu (HR. Turmuzi).
adth-adth tersebut di atas dapat dibagi dua bahagian yaitu adth yang bersifat qaul dan adth-adth yang bersifat fi'l. Kedua-duanya menerangkan bahwa kaifiyat shalat malam Rasulullah saw adalah dua-dua raka'at
sekali salam dan akhir shalatnya terdapat shalat witir satu rak'at.
b. Empat-empat raka'at sekali salam
Pelaksanaan empat raka'at sekali salam hanya merujuk kepada adth Nabi saw yang disampaikan oleh Sitti 'Aisyah ra.:
:
.
12(. )
Artinya: Dari Abu Salamah ibn Abdir-Rahman bertanya kepada 'Aisyah
r.a.bagaimana shalat Rasulullah saw dalam bulan Ramadhan ? 'Aisyah
menjawab bahwa Rasulullah saw tidak pernah melebihkan di bulan
_____________ 10Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I (Bandung: Dahlan), 301. 11Imam Al-Turmudzi, Sunan Al-Turmudzi, Juz I (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983), 273. 12Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz II (Dar Asy-Syabi, t.th), 67.
Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 6
Ramadhan dan di luar Ramadhan dengan sebelas raka'at. Pertama-tama
beliau shalat empat raka'at, maka jangan kamu tanyakan tentang indah
dan panjangnya shalat Nabi, kemudian beliau lanjutkan dengan empat
raka'at lagi.Maka 'Aisyah jangan kamu tanyakan tentang indah dan
panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat tiga raka'at. Lalu Sitti
'Aisyah mengatakan : Wahai Rasulullah! Apakah kamu tidur sebelum
kamu berwitir ? Rasulullah menjawab : Wahai'Aisyah! Sesungguhnya
dua mataku ingin tidur sedangkan hatiku tidak.(HR.Al-Bukhari).
'Aisyah ra. telah menuturkan tentang perbuatan diri Rasulullah mengenai
shalat malam yang dilakukan ketika berada di rumahnya. Ia menuturkan kembali
kepada seseorang penanya, ini dapat dikatakan adth yang bersifat fi'li. 'Aisyah adalah salah seorang di antara isteri Nabi yang tahu persis sesuatu perbuatan yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah saw baik melalui penglihatan di dalam rumah
maupun kadangkadangdi luar rumah (kalau diikut-sertakan Rasul).
adth ini sebagai dalil bahwa kaifiyat Rasulullah shalat malam adalah empat raka'at sekali salam dan witir tiga raka'at. Dan perlu diingat bahwa
pelaksanaan ini hanya dilakukan sendirian di rumah, sedangkan 'Aisyah ra. sendiri
tidak ikut berbuat seperti amalan Rasulullah saw.
Tujuh maupun lima raka'at atau lebih sekali salam shalat Nabi tidak
dibicarakan disini, karena kafiiyatnya seperti ini hanya berlaku untuk shalat witir.
Bacaan Nabi saw, dalam shalat (tsani) pada malam itu tidak jelas, surat apa yang
dibacakannya, berapa jumlah ayat yang dibaca, baik pada raka'at pertama sampai
raka'at terakhir, tetapi secara umum dapat diketahui bahwa shalat Nabi sangat
lama dan bagus.
Bacaan dalam shalat ini Nabi saw, tidak memberikan suatu petunjuk yang
jelas, tetapi beliau hanya membaca ayat Al-Qurn sangat panjang dan indah
shalatnya, demikian berita yang disampaikan oleh Siti'Aisyah.
Dalam hal ini ulama salaf pernah mengupas secara lebar bahwa shalat
tarwi dengan tsaninya (bacaan) pada shalat delapan raka'at membaca satu surat al-Baqarah, apabila seorang imam melanjutkan dua belas raka'at lagi, jama'ah
melihat imam menyederhanakan shalatnya demikian kata Imam Malik. Dalam
riwayat yang lain dijelaskan pula bahwa Imam membaca sampai 200 ayat,
sehingga para makmum terpaksa memegang tongkat karena lamanya berdiri kami
tidak akan meninggalkan jama'ah hingga waktu fajar.13 Umar bin al-Khab mengajak kepada imam membacakan ayat dalam shalat tarwi dengan tiga macam bacaan, yaitu:
1. Beliau perintahkan dengan membaca 30 ayat dalam bacaan cepat 2. Membacakan dua puluh lima ayat (bacaan sederhana) 3. Membacakan dua puluh ayat (bacaan lambat)14
Badruddin Abi Muhammad bin Ahmad Al-'Ainy telah menyetir pendapat
orang lain dalam kitabnya'Umdah Al-Qari, al-Bukhary, bahwa bacaan dalam
shalat tarwi lama seperti shalat maghrib.15
_____________ 13An-Nawawi, Al-MajmuSyarah Al-Muhazzab, Juz III (Mesir: Al-Imam), 526. Lihat
juga Said Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, 175. 14An-Nawawi, Ibid., 527. 15Imam Badruddin Abi Muhammad bin Ahmad Al-Aini, Umdah Al-Qari; Syarah
Shahih Al-Bukhari, Juz VI (Dar Al-Fikr, t.th), 178.
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 7
adth-adth tentang Bilangan Rakaat Shalat Tarwi adth-adth yang membicarakan tentang bilangan rakaat shalat
Tarwi, di sini dibatasi dalam al-Kutub al-Sittah ada yang dihimpun di bagian judulnya adalah kitab dan ada yang dihimpun di bagian judulnya adalah bab.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab pertama, pengkajian adth tersebut harusnya berdasarkan pada matan tanpa mengkaji sanadnya dengan
tujuan untuk melihast berapa banyak adth yang membicarakan tentang raka'at shalat tarwi dan bagaimana konstruk shalat tarwi Nabi Muhammad saw dalam hal jumlah rakaatnya.
Secara umum adth-adth tersebut termaktub pada kitab dan bab dalam kutub al-Sittah. Di antara adth-adth tentang bilangan raka'at shalat tarwi yang dimuat dalam kutub al-sittah antara lain adalah:
1. adth-adth tentang shalat tarwi delapan rakaat a. adth dari Abi Salamah bin Abdurrahman dalam riwayat Shahih al-Bukhary
adalah sebagai berikut:
: .1
. ) .
16 (
Artinya: Dari Abu Salamah ibn Abdir-Rahman bertanya kepada 'Aisyah
r.a.bagaimana shalat Rasulullah saw dalam bulan Ramadhan ? 'Aisyah
menjawab bahwa Rasulullah saw tidak pernah melebihkan di bulan
Ramadhan dan di luar Ramadhan dengan sebelas raka'at. Pertama-tama
beliau shalat empat raka'at, maka jangan kamu tanyakan tentang indah
dan panjangnya shalat Nabi, kemudian beliau lanjutkan dengan empat
raka'at lagi.Maka 'Aisyah jangan kamu tanyakan tentang indah dan
panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat tiga raka'at. Lalu Sitti
'Aisyah mengatakan : Wahai Rasulullah! Apakah kamu tidur sebelum
kamu berwitir ? Rasulullah menjawab : Wahai'Aisyah! Sesungguhnya
dua mataku ingin tidur sedangkan hatiku tidak.(HR.Al-Bukhari).
adth ini memberi pengertian bahwa shalat tarwi yang dilaksanakan Rasulullah tidak lebih dari delapan raka'at. Hal itu jika dilihat dalam bentuk
bilangan tetapi lama penyelesaian delapan rakaat itu tidak seperti delapan rakaat
yang dilakukan sekarang hanya dalam tiga puluh menit selesai sampai witir.
Dalam adth tersebut di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. melakukan shalat di malam-malam ramadhan dengan sebelas rakaat, beliau shalat
empat rakaat dan tidak merincikan empat rakaat sekali salam atau dua rakaat
sekali salam, tetapi harus diyakini shalat Nabi pada malam tersebut sangat lama
dan indah.
: .2
_____________ 16Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz II, (Dar Asy-Syabi, t.th), 67.
Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 8
Artinya: Dari Aisyah ra katanya rasulullah Saw shalat malam delapan raka'at. Dua
raka'at sambil duduk dan dua raka'at di antara azan dan iqamat. Beliau
mengekalkan amalan tersebut selama hayatnya. (H.R. Al-Bukhary)
Berdasarkan kedua adth tersebut di atas dapat dipahami bahwa ibadah rasulullah di bulan Ramadhan walaupun diperintahkan dngan aktivitas shalat
sunat terutama shalat sunat tarawih, namun rasul tidak pernah melupakan aktivitas
shalat yang biasa dilaksanakan di luar bulan Ramadhan. Dengan kata lain karena
bulan ini merupakan bulan yang istimewa dari sebelas bulan lainnya. Maka
pemanfa'atan waktu di bulan Ramadhan pun Nabi Muhammad mengistimewakan
dari bulan yang lain. Salah satu aktivitas yang ditambahkan Nabi adalah
penambahan sebelas raka'at dengan shalat witir.
Dalam adth tersebut di atas shalat malam yang dilaksanakan oleh rasulullah adalah delapan rakaat dengan shalat witrir dilakukan dalam kadaan
duduk sambil menunggu masuknya waktu shubuh
b. adth dari Jabir yang berbunyi:
)
17(Artinya: Kami bersama Rasulullah saw shalat di bulan Ramadhan dengan delapan
rakaat, kemudian ia berwitir. (HR. Ibnu Majah)
c. adth lain yang diriwayatkan oleh Jabir yang berbunyi:
18) ( Artinya: Rasulullah saw telah melaksanakan shalat bersama mereka dengan
delapan kemudian beliau berwitir. (HR. Ibnu Hibban)
d. adth yang tersebut dalam kitab Tanwirul Hawalik yang berbunyi:
19.Artinya: Ibnu Hibban telah meriwayatkan dalam kitab shahih dari Jabir bahwa
sesungguhnya Rasulullah telah melaksanakan shalat bersama mereka
dengan delapan rakaat, kemudian ia berwitir. Ini pendapat yang paling
ashah.
e. adth dari Saib bin Yazid:
:
,
20 .
Artinya: Dari Saib bin Yazid bahwasanya dia berkata: Umar bin al-Khab telah
memerintahkan kepada Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dari untuk
melakukan shalat tarawih bersama manusia dengan sebelas rakaat, imam
_____________ 17Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Aunul Mabud, Juz IV (Cet. II; Madinah Al-Munawwarah:
Al-Maktabah Al-Salafiyah, 1968), 250. 18Asy-Syaukani, Nailul Autar, Juz III (Cet.III; Mesr: Mushtafa Al-Baby Al-Halaby,
1961), 57. 19Jalaluddin As-Suyuthi Asy-Syafii, Tanwirul Hawalik: Syarah Al-Muwaththa, Juz I
(Mesir: Darul Ahya), 135. 20Al-Baihaqi, Sunan AL-Kubara, Juz II (Cet. I; Mesir: Dairatul Maarif Al-Usmaniyah,
1346 H), 496.
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 9
membaca beratus-ratus ayat sehingga kami memegang tongkat karena
lamanya berdiri dan kami tidak berpaling sampai keluar fajar (HR.
Baihaqi)
2. adth-adth tentang shalat tarwi dua puluh rakaat a. adth dari As-Saib bin Yazid Ash-Shabi menjelaskan:
21 Artinya: Dari Saib bin Yazid, ia berkata: umat Islam melakukan shalat tarawih
pada bulan ramadhan dua puluh rakaat, ia mengatakan mereka
membaca di dalamnya beratus-ratus ayat dan terpaksa memegang
tongkatnya karena lamanya berdiri. Ini terjadi pada masa khalifah
Uthmn bin Affn. (HR. Baihaqi).
b. adth
:
. : . 22
Artinya: Dari Ali bin Ab lib, ia berkata Seseorang imam shalat mendakwakan di bulan ramadhan dan memerintahkan umat Islam shalat tarawih 20
rakaat. Ia berkata Ali bin Ab lib shalat witir bersama mereka.
c. adth dari Ibnu Abbas ra. yang berbunyi:
23) (Artinya: Rasulullah saw melaksanakan shalat di bulan ramadhan tanpa berjamaah
dengan dua puluh rakaat dan witir. adth ini sanadnya dhaif. (HR. Al-Baihaqi)
d. adth dari Saib bin Yazid
Artinya: Dari Saib bin Yazid, ia berkata: umat Islam melakukan shalat tarawih
pada bulan ramadhan dua puluh rakaat, ia mengatakan mereka
membaca di dalamnya beratus-ratus ayat dan terpaksa memegang
tongkatnya karena lamanya berdiri. (HR. Malik)
e. adth dari Yazid bin Ruman
_____________ 21Ibid. 22Ibid. 23Ibid.
Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 10
Artinya: Dari Yazid bin Ruman bahwasanya dia berkata: umat Islam
melaksanakan shalat tarawih pada bulan ramadhan pada masa Umar
bin al-Khab 23 rakaat (HR. Malik).
Pendapat Para Ulama terhadap Riwayat tentang Jumlah Rakaat Shalat
Tarwi Dari uraian yang telah dijelaskan tentang jumlah raka'at shalat Tarwi
dalam adth-adth tentang bilangan rakaat shalat tarwi, dapat disimpulkan bahwa secara faktual ada beberapa versi bilangan jumlah rakaat. Dari sekian
versi bilangan jumlah rakaat dalam adth-adth Rasulullah, ulama kemudian memiliki beragam pendapat. Pendapat para ulama yang paling menonjol adalah
dua pendapat yaitu pendapat yang mengatakan shalat tarwi dua puluh rakaat dan pendapat yang mengatakan delapan rakaat, di samping itu ada pendapat yang
lain yang mengatakan lebih dari dua puluh raka'at.
Dalam Nailul Authar disebutkan perbedaan pendapat para ulama tentang
jumlah rakaat shalat Tarwi dan witir sebagaimana ditabulasikan berikut ini:
Perbedaan Pendapat Ulama tentang Jumlah Raka'at
Shalat Tarwi dan Witir
No. Nama Ulama Jumlah Raka'at
Tarwi Jumlah Raka'at
Witir
1 Imam Malik 36 3
2 Abdul Bar 40 7
3 At-Turmuzi 40 1
4 Aban ibn Usman 36 3
5 Zarrah ibn 'Awfah 43 3
6 Sa'd ibn Zubair 24 3
7 Muhammad ibn Nashar 20 3
8 Muhammad ibn Yusuf 20 3
Dari sekian banyak perbedaan pendapat para ulama tersebut sepenjang
penelitian penulis, tiga di antaranya yang merupakan pendapat masyhur dan
menjadi mainstream adalah sebagai berikut:
1. Pendapat yang mengatatakan jumlah raka' at shalat tarwi delapan raka' at 2. Pendapat yang mengatakan jumlah raka'at shalat tarwi adalah dua puluh
raka'at
3. Pendapat yang mengatakan jumlah raka'at shalat tarwi tiga puluh enam raka'at
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 11
Ad. 1. Pendapat yang mengatakan jumlah raka'at shalat Tarwi delapan raka'at adalah berdasarkan pada bilangan raka'at yang berasal dari shalat Rasulullah di
bulan Ramadhan sebelas raka'at termasuk witir tiga raka'at di dalamnya. adth yang meriwayatkan tentang ini:
:
.
. . )
24 (
Artiny: Dari Abi Salamah sesungguhnya Aisyah ditanya tentang shalat
Rasulullah pada bulan Ramadhan. Jawabnya: Rasulullah saw tidak
pernah melebihkan shalatnya pada bulan Ramadhan atau pun pada bulan-
bulan lainnya dari pada sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at tak
perlu ditanyakan tentang kebagusan dan kepenjangannya, kemudian
beliau shalat lagi empat raka'at juga tak perlu ditanyakan tentang
kebagusan dan kepanjangannya, kemudian beliau shalat lagi tiga raka'at
(witir). Lalu Aisyah bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah engkau tidak
tidur sebelum mengerjakan shalat witir? Jawab beliau: Wahai Aisyah:
sesungguhnya hanya kedua mataku yang tidur tidak hatiku.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah telah menguatkan adth di atas bahwa shalat tarwi dan witir sebelas raka'at adalah yang dikerjakan oleh Nabi saw bahkan ulama-ulama lain mendukung pendapat tersebut dengan
mengatakan bahwa yang disunatkan sebelas raka'at termasuk witir.
Ad.2. Pendapat yang mengatakan jumlah raka'at shalat tarwi adalah dua puluh raka'at berdasarkan kata-kata Umar bin al-Khab sebagaimana dinyatakan oleh Abdurrahman al- Jaziry dalam kitabnya: Sungguh telah jelas praktek Umar ra
bahwa bilangan raka'at shalat tarwi adalah dua puluh raka'at, akhirnya ia mengumpulkan orang-orang untuk shalat di masjid dalam jumlah raka'at tersebut,
para shahabat menyetujui praktek demikian.
Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa Muhammad ibn Basyir telah memberi
tahqiq apa yang diakui oleh Ibnu Qudamah tentang jumlah tarwi dua puluh raka'at adalah ijma' shahabat. Pendapat ini berdasarkan perbuatan Umar bin al-
Khab yang mengumpulkan para jama'ah dimami oleh Ubay ibn Ka'b sebanyak dua puluh raka'at dan pendapat tersebut tidak dibantah oleh shahabat-shahabat
lainnya.
Ad.3. Pendapat yang mengatakan`jumlah raka'at shalat Tarwi adalah tiga puluh enam raka'at hanya dilaksanakan oleh Imam Malik dan pengikutnya di Madinah
pada zaman Umar ibn Abdil-Aziz mereka shalat tiga puluh enam dan tiga raka'at
witir.
Dilihat secara geografis antara Mekah dan Madinah adalah dua daerah
yang berdekatan jadi apa yang dianggap ada nilai lebih dalam ubudiyah yang
dipraktekkan oleh penduduk Mekah penduduk Madinah tentu berupaya untuk
mendapatkan nilai yang sama maka dalam pelaksanaan shalat tarwi yang
_____________ 24Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz II (Dar Asy-Syabi, t.th), 67.
Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 12
pertamanya disepakati dua puluhraka'at ditambah menjadi tiga puluh enam
sebagai penyamaan mendapatkan nilai tambah seperti yang dilakukan penduduk
Makkah yang pada sa'at Tarwi boleh thawaf karena dekat dengan Ka'bah. Sebagai bukti argumentasi di atas dalam kitab Fiqh Empat Mazhab
diterangkan bahwa pada masa khalifah Umar ibn Abdul-Aziz dua puluh raka'at
Tarwi masih ditambah lagi sehingga menjadi tiga puluh enam raka'at.Tujuan penambahan tersebut adalah untuk menyamai penduduk Makkah dalam hal
keutamaan sebab penduduk Makkah bisa melakukan thawaf di Baitullah setiap
empat raka'at satu kali thawaf. Maka oleh Umar ibn Abdul-Aziz menganggap baik
untuk menggantikan thawaf dengan shalat empat raka'at, sehingga menjadi tiga
puluh enam raka'at.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa penambahan jumlah
raka'at shalat tarwi yang dilakukan oleh para shahabat terutama Khulafaur-Rasyidin didorong oleh kesungguhan dalam menjalani dan memanfa'atkan
kesempatan yang didapat satu bulan dalam setahun yaitu bulan Ramadhan. Dan
apa yang dilakukannya bukan atas dasar mempertahankan prinsip sendiri pasti
mempunyai dasar yang kuat. Imam Abu Hanifah pernah ditanya tentang apa yang
dikerjakan oleh Umar bin al-Khab maka beliau menjawab shalat tarwi itu sunat muakkad dan Umar bin al-Khab tidak mengerjakannya berdasarkan pendapat pribadi ia bukanlah pelaku bid'ah, ia tidak memerintahkan melainkan
dari dasar yang ada padanya dan janji Rasulullah saw.
Di dalam ajaran agama Islam persatuan sangat diutamakan oleh karena
itulah setiap ibadah yang disyari'atkan sering berkaitan dengan jama'ah yang mana
antara lain seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya menuntut ummat Islam agar
melaksanakanibadah dalam keadaan berjama'ah dengan artian setiap ibadah yang
dikerjakan janganlah dikerjakan bersendirian.
Relevansi Jumlah Rakaat Shalat Tarwi Nabi Muhammad saw dan Implementasinya pada Masa Kini
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana relevansi konstruksi
shalat tarwi Nabi Muhammad saw. dan implementasinya masa kini, maka penulis akan melakukan perbandingan antara praktek shalat tarwi pada masa Nabi Muhammad saw dengan implementasi shalat tarwi pada masa kini, dalam konteks kekinian dan keindonesiaan. Untuk tujuan tersebut, maka penulis akan
mengemukakan praktek shalat tarwi yang diimplementasikan oleh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Pemilihan Muhammadiyah dan NU
sebagai poros penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa Muhammadiyah
dan NU merupakan ormas terbesar di Indonesia yang memiliki basis massa yang
sangat banyak yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan tentu saja implementasi
shalat tarwi yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan NU menjadi gambaran nyata dan konkrit tentang praktek shalat tarwi pada masa kini khususnya di Indonesia.
Muhammadiyah
Pembahasan masalah shalat tarwi dimasukkan pada sub bab tersendiri, disatukan dengan tuntunan mengenai shalat lail. Majelis Tarjih menjelaskan
bahwa shalat lail adalah shalat sunat yang biasa dilakukan oleh Nabi saw pada
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 13
waktu malam hari. Menurut Muhammadiyah shalat lail disebut juga shalat
tahajjud, qiyamul-lail dan qiyamu Ramadlan. Di samping itu juga sering disebut
dengan shalat witir. Shalat lail hukumnya sunnah, tetapi tarjih lebih senang
menggunakan istilah tathawwu untuk ragam shalat semacam ini.
Majelis Tarjih memberi pengertian bahwa: Qiyamu ramadhan ialah
shalat sunnat malam (qiyam al-lail) di bulan ramadhan. Qiyamu ramadhan pada
lazimnya disebut shalat tarwi25 a. Jumlah rakaat Shalat Tarwi
Jumlah rakaat yang dituntunkan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam
shalat tarwi adalah 11 rakaat, dikerjakan dengan cara dua-dua rakaat (sebanyak 4 kali) ditambah tiga rakaat witir.26
Pendapat tersebut didasarkan pada hadis Rasulullah saw yang artinya:
Beralasan hadis Ibnu Umar yang mengatakan: Seorang lelaki bangkit
berdiri lalu menanyakan: Bagaimana cara shalat malam, hai Rasulullah? Jawab
Rasulullah: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika engkau khawatir akan
terkejar shubuh, hendaklah engkau kerjakan witir atau satu rakaat saja. (HR.
Jamaah)
Juga berdasar pada hadist Ibnu Abbas, yang artinya: Lalu aku berdiri di
samping rasulullah; kemudian ia letakkan tangan kanannya pada kepala saya dan
digangnya telinga kanan saya dan ditelitinya, lali ia shalat dua rakaat kemudian
dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi kemudian dua rakaat, lalu shalat witir,
kemudian ia tiduran menyamping sehingga datang bilal menyerukan adzan. Maka
bangunlah ia dan shalat dua rakaat singkat-singkat, kemudian pergi shalat
shubuh. (HR. Muslim)
Juga hadis Rasulullah yang artinya: Diriwayatkan dari Zaed bin Khalid al-Juhany
ia berkata, sungguh saya mencermati shalat Rasulullah saw. pada suatu malam,
beliau shalat dua rakaat yang ringan-ringan, kemudian shalat dua rakaat yang
panjang (lama) sekali, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat
sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat
sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat
sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat
sebelumnya, lalu kemudian melakukan witir. Maka demikianlah, shalat tiga belas
rakaat. [HR Abu Dawud, bab fi Shalat al-Lail]
Dalil lain yang digunakan Dewan Tarjih Muhammadiyah adalah hadist
dari Abu Salamah yang artinya sebagai berikut: Diriwayatkan dari Abu Salamah
Ibn Abdul Rahman bahwa, ia bertanya kepada Aisyah r.a bagaimana shalat
Rasulullah saw di bulan Ramadlan. Aisyah menjawab: Baik di bulan Ramadlan
ataupun bukan bulan Ramadlan Rasulullah saw melakukan shalat (lail) tidak lebih
dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat; dan jangan ditanyakan tentang
baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Kemudian shalat lagi empat
rakaat; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat
_____________ 25Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yoyakarta, Tuntunan Ramadhan,
Tuntunan Qiyamul Lail, Tuntunan Shalat Idul Fitri dan Zakat Fitri, (Diperbanyak oleh Panitian
Pembangunan Gedung Dakwah dan Masjid Taqwa Muhammadiyah Daerah Istimewa Aceh, 1995),
12 26Ibid., 13. Lihat juga Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Fatwa-Fatwa Tarjih-Tanya Jawab Agama 6, Cet. III (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012),
64-65.
Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 14
yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat tiga rakaat. (HR al-Bukhari, Kitab
Shalat at-Tarwi, Bab Man Qama Ramadlan)
Nahdhatul Ulama (NU) NU memiliki basis massa tidak hanya dipelosok-pelosok pedesaan, tetapi
juga di pesantren-pesantren. Praktik shalat tarwi di lingkungan pesantren dan luar pesantren yang nota bene masih sama-sama NU ternyata memiliki ciri khas
sendiri-sendiri. Jumlah rakaatnya kalangan NU menyepakati yang 20 rakaat
ditambah dengan 3 rakaat witir. Ciri khas tersebut terletak pada suratan yang
dibaca setelah fatihah.27
Dasar-dasar yang digunakan NU berkaitan dengan shalat tarwi. Bahwa shalat tarwi secara berjamaah adalah mengikuti tuntunan dari shahabat Umar bin Khaththab r.a. dan Sahabat Umar beserta pada shabat yang lain
menjalankannya 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam kitab al-Muwaththa, juz I, yang artinya sebagai berikut:
Dari Yazid bin Hushaifah, Orang-orang (kaum muslimin) pada masa
Umar melakukan shalat tarwi di bulan Ramadhan 23 rakaat. Selain dasar di atas, sebagaimana ditulis KH Munawwir Abdul Fattah
dari Pesantren Krapyak Yogyakarta, bahwa Warga Nahdliyyin yang memilih
Tarwi 20 rakaat ini berdasar pada beberapa dalil. Dalam Fiqh as-Sunnah Juz II, disebutkan bahwa mayoritas pakar hukum Islam sepakat dengan riwayat yang
menyatakan bahwa kaum muslimin mengerjakan shalat pada zaman Umar,
Utsman dan Ali sebanyak 20 rakaat.28
Juga berdasar dari hadis Ibnu Abbas yang meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW shalat Tarwi di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 Rakaat ditambah Witir. (HR Baihaqi dan Thabrani).Ibnu Hajar juga menyatakan
bahwa Rasulullah shalat bersama kaum muslimin sebanyak 20 rakaat di malam
Ramadhan. Ketika tiba di malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun
Rasulullah tidak keluar. Kemudian paginya beliau bersabda:
Aku takut kalau-kalau tarwi diwajibkan atas kalian, kalian tidak akan mampu melaksanakannya.
Hadits tersebut di atas disepakati kesahihannya dan tanpa
mengesampingkan hadits lain yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebutkan
rakaatnya. (Dalam hamsy Muhibah, Juz II, hlm. 466-467)
Pada suatu malam Rasulullah saw. keluar dan shalat di masjid, maka ada
beberapa bermakmum padanya dan pada pagi harinya orang bicara, bahwa
ia telah shalat bersama Rasulullah semalam, maka berkumpullah orang-
orang dan ikut shalat bersama Nabi saw. Dan pada pagi hari mereka juga
memberitahu kepada kawan-kawannya sehingga banyak orang yang shalat
di malam ketiga, dan Rasulullah saw. tetap keluar untuk shalat bersama
mereka, kemudian pada malam keempat penuhlah masjid sehingga tidak
muat masjid karena banyaknya orang, tetapi Rasulullah saw sengaja tidak
keluar kecuali setelah adzan subuh untuk shalat subuh, kemudian setelah
_____________ 27http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-
shalat.html, Diakses pada tanggal 17 Desember 2012. 28http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-
shalat.html, Diakses pada tanggal 17 desember 2012.
http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.html
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 15
shalat subuh menghadap kepada Shahabat dan membaca dua kalimat
syahadat lalu bersabda: Amma badu, sebenarnya keadaanmu semalam
telah aku ketahui, tetapi sengaja aku tidak keluar karena kuatir kalau-kalau
shalat malam ini diwajibkan atas kalian sehingga kalian mereasa tidak kuat
melaksanakannya. (HR. Bukkhari dan Muslim)
Demikianlah dasar shalat tarwi di kalangan NU, meskipun tidak terlalu panjang tetapi sudah dianggap cukup untuk mengambil cara pelaksanaan
shalat tarwi yang 20 rakaat. Shalat tarwi dikerjakan dengan cara dua rakaat salam. Pada tiap
rakaat pertama biasanya setelah al-Fatihah membaca surat-surat pendek, yang
diawali dengan surat at-Takastur, demikian seterusnya hingga pada surat al-
Lahab. Sementara untuk rakaat yang kedua suratan yang dibaca adalah surat al-
Ikhlas. Para imam Tarwi NU umumnya, demikian Munawir Fattah memilih shalat yang tidak perlu bertele-tele. Sebab ada hadits berbunyi: "Di belakang Anda
ada orang tua yang punya kepentingan. Maka, 23 rakaat umumnya shalat
Tarwi lengkap dengan Witirnya selesai dalam 45 menit.29 Tetapi di lingkungan pesantren terkadang berbeda. Ada beberapa
pesantren NU yang mengerjakan tarwi dengan membaca surat-surat yang panjang. Dalam 20 rakaat tarwi ada yang sampai menyelesaikan 2 juz al-Quran. Apa yang dilakukan di pesantren tidak berbeda jauh dengan shalat
tarwi di Masjidil Haram, Makkah. Di sana, 23 rakaat diselesaikan dalam waktu kira-kira 90-120 menit. Surat yang dibaca imam ialah ayat -ayat suci Al-
Quran dari awal, terus berurutan menuju akhir al-Quran.30
Kesimpulan
Shalat tarwi adalah ibadah yang khusus dikerjakan pada bulan Ramadhan, waktunya adalah setelah shalat Isya. Shalat Tarwi bisa dikerjakan berjamaah, maupun dengan cara munfarid (sendiri). Shalat Tarwi hukumnya sunnah muakad. Semua keterangan di atas tidak terdapat ikhtilaf atau disepakati
oleh jumhur ulama, termasuk dari kalangan NU maupun Muhammadiyah.
Ikhtilaf bab shalat Tarwi terdapat pada cara pelaksanaannya, lebih khusus lagi pada jumlah rakaatnya. Di kalangan warga NU shalat tarwi biasa dikerjakan dengan 20 rakaat dan diakhiri dengan 3 rakaat witir. Sementara di
kalangan warga Muhammadiyah tarwi biasa dilaksanakan 8 rakaat, dan diakhiri dengan 3 rakaat witir. Pada pelaksanaan shalat witir yang menutup shalat
tarwi pun terdapat ikhtilaf. Kalangan Muhammadiyah melakukan shalat witir tiga rakaat sekali salam, dan tidak ada qunut pada separuh terakhir bulan
Ramadhan. Sedangkan NU melakukan shalat witir 3 rakaat dengan dua rakaat
salam, dan satu rakaat salam, juga qunut witir pada separuh terakhir bulan
Ramadhan. Apa yang sudah dipraktekkan di kalangan Muhammadiyah tersebut
sebenarnya berbeda dengan apa yang diterangkan dalam kitab Putusan Tarjih
Muhammadiyah mengenai jumlah rakaat shalat tarwi. Dalam Majelis Tarjih diterangkan bahwa jumlah rakakat shalat tarwi plus witir tidak harus 11 rakaat
_____________ 29http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-
shalat.html, Diakses pada tanggal 17 desember 2012. 30http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-
shalat.html, Diakses pada tanggal 17 desember 2012.
http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.html
Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 16
(sudah termasuk witir), tetapi bisa kurang dari itu, asalkan jumlah rakaatnya
gasal. Demikian pula untuk shalat witir, Tarjih Muhammadiyah memberikan
beberapa pilihan, tidak hanya 3 rakaat saja
Berbeda dengan Muhammadiyah, kalangan NU juga memiliki ciri khas
tersendiri dalam mengerjakan shalat tarwi dan witir, khususnya yang dikerjakan berjamaah. Ciri khas, meski tidak dikerjakan oleh semua warga NU,
yakni ada pada suratan yang dibaca setelah membaca al-Fatihah, biasanya dimulai
dari surat at-Takastur sampai al-Lahab untuk shalat tarwi. Jika dikaitkan dengan konstruksi shalat tarwi pada masa Rasulullah
saw., maka apa yang dipraktekkan dalam konteks kekinian khususnya
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama di Indonesia maka dapat dikemukakan
bahwa kedua organisasi massa terbesar di Indonesia tersebut memiliki landasan
yang sangat kuat dalam adth-adth Rasulullah serta amalan para abah Rasulullah.
Penulis berasumsi bahwa nampaknya Muhammadiyah lebih menekankan
praktek shalat tarwi pada masa Rasulullah terutama dalam hal jumlah rakaatnya. Akan tetapi dari segi waktu pelaksanaannya dan bacaan dalam shalat
tarwi ternyata sangat berbeda dengan konstruk shalat tarwi pada masa Rasulullah. Muhammadiyah memilih pelaksanaan shalat tarwi di awal malam sepanjang ramadhan sementara pada praktek shalat tarwi Rasulullah di bulan ramadhan adalah pada malam pertama sampai dengan ketiga dilaksanakan di
Masjid dan malam selanjutnya dilaksanakan di rumah saja. Hal ini tercermin
dalam adth sebagai berikut:
:
)
( .
31.
Artinya: Siti Aisyah ra. telah menceritakan bahwa Rasulullah saw. telah keluar
pada suatu malam ke mesjid, lalu ia shalat dan para abah juga ikut shalat bersamanya. Pada esok harinya para abah menceritakan kepada orang-orang lain, lalu mereka semakin banyak shalat bersama
Nabi (pada malam ketiga). Pada malam keempat Rasulullah saw. tidak
keluar lagi bersama mereka. Rasulullah saw. hadir kembali pada waktu
subuh dan Rasulullah saw. bersabda: saya tidak keluar tadi malam
untuk shalat bersama kamu karena saya khawatir shalat ini akan
diwajibkan kepada kamu sedangkan kamu tidak akan mampu
melakukannya. Setelah Rasulullah saw wafat, ibadah ini tetap
berlangsung seperti sediakala.32
_____________ 31Sahih Bukhari, bab Kitab al-shalatu tarwi 32Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz II, (Dar Asy-Syabi, t.th), hlm. 763.
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 17
DAFTAR PUSTAKA
A. Hasan, Tanya Jawab, Jilid I, Penerbit CV Diponegoro, Bandung, 1977.
------------, Soal Jawab Agama Islam, Jilid II.
A. Qadir Hasan, Al-Muslimun, Nomor 124, Januari 1982.
A1-Hamid al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyyah.
Abdul Wahab Khallaf, Sejatah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,
disadur oleh Wajidi Sayadi, Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001.
Abdullah bin Hijazi Asy-Syarqawi, Fathu Al-Mubdi: Syarah Mukhtaar Az-Zabid, Juz II, t.t, t.tp., t.th.
Abdur-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh 'ala al- Madhhib Al-Arba'ah, Juz. I,
(Bairut, Libanon: Dar al-Kutub, 1990.
Abi Zakariyyah Mahyuddin bin Syarif al-Naway, al-Majmu Syarh al-
Muhadzdzab Beirut:Dar al-Fikr, t.th.
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz I, Musthafa -Al-Baby Al-Halaby, cetakan
pertama, 1371 H-1952 M.
------------, Sunan Abu Daud, Juz II, Musthafa -Al-Baby Al-Halaby, cetakan
pertama, 1371 H-1952 M.
Ahmad Ash-Shawi, Ash-Shawi Ala Jalalaini, Juz III, Daru Haya' Isa Al-Babi Al-
Halabi Wasyirkah, t.th.
Al-Asqalani, Fath Al-Bari, Juz IV, Mesir: Al-Azhar, 1938.
Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, Juz II, Dai-rati Al-Ma'arif Al-Usmaniyhn, Cetakan
ke satu, 1346.
Al-Hamid al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyyah, Cet. I; Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996.
Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Sayuthi, Al-Asybah wa An-Nadhair, Daru
Ihyai Isa Al-Baby Al-Halaby wa Syirkah.
Al-Kirmani, Syarah Shahih Al-Bukhari, Juz. I, (Mesir: Muassiah Al-Islamiyah,
1937.
Al-Qashthalani, Irsyadu As-Sari Syarah Shahih Bukhari, Jilid II, Cet. VI; Dari Al-
Fakdi Li Thiba'ati An-Nasyri wat-TausiI, , 1304 H.
An-Nasaiy, Sunan An-Nasaiy. Juz III, Mushthafa Al-Baby Al-Halaby wa
Auladuhu, Mesir.
An-Nawawi, Al-MajmuSyarah Al-Muhazzab, Juz III, Mesir: Al-Imam.
Arif Abdul-Fattah, Ruh Shalat dalam Islam, Semarang: PT.Salam Setia Budi, t.th.
Ash-Shan'ani, Subulu As-Salam, Juz II, Multazam Ath-Thabi'i Wan-Kasyri
Dahlan, Bandung, t.th.
Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 18
As-Said bin Umar Asy-Thari, Al-Qayuti An-Nafis fi Mazahibi Al-Idrisi.
Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz III, Cet. III; Mesir: Musthafa Al-Babi Al-
Halabi, 1371 H - 1952 M.
Bahauddin Abdurrahman bin Ibrahim al-Muqaddsi, al-Uddah: Syarah al-Umdah
(Cet. I; Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1990.
Departemen Pendidikan dan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Edisi
Ketiga Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Harun Nasution dkk.,Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.html, Diakses
pada tanggal 17 desember 2012.
Ibnu Abidin, Hasyiah Daru Al-Mukhtar, Juz II, Cet. II; Mesir: Musthafa Al-Babi
Al-Halabi Wa Auladuhu, 1386 H-1966 M.
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Daru Al-Kutubi Isa Al-Baby Al-Halaby wa
Syirkah, l373 H/1952 M.
Ibnu Qasim Al-Ghazi, Al-Bajuri, Juz I, Al-5abi Al-Halabi Wa Auladuhu bi
Mishra, 1343.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ilm al-Muwaqqin an Rabbil lamn, Jilid I,
Mesir: Dr Al-Hadith, 2002.
------------, 'Aunul Ma'bud, Juz IV Shahibul Al-Maktabah Al-Salaiyah AI-
Madinah Al-Munawarah, Cetakan kedua, 1388 H/1968 M.
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz II, (Mesir: Al-Masyru Al-Tsaqafah Al-Islami
Biharakati Al-Khasyni.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, [Terj.] Cet.III; Jakarta:
Pustaka Amani, 2007.
Idris Al-Marbawi, Kamus Marbawi, Juz I, (Mesir: Musthafa Al-Baby Al-Halaby
Wa Auladuhu, 1350 H.
Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (Bandung: Dahlan, t.th.
------------, Sahih Bukhari, Juz II, Dar Asy-Syabi, t.th.
Imam Al-Turmudzi, Sunan Al-Turmudzi, Juz I, Beirut: Dar Al-Fikr, 1983.
Imam Badruddin Abi Muhammad bin Ahmad Al-Aini, Umdah Al-Qari; Syarah
Shahih Al-Bukhari, Juz VI, Dar Al-Fikr, t.th.
Imam Bukhari, Shahih Bukhari Syarah Al-Kirmani, Juz I, Muassiah Al-Islamiyah,
Mesir, 1336 H-1937 M.
Imam Jalaluddin As-Sayuthi Asy-Syafi 'iy, Tanwiru Al-Hawalik, Syarah Al-
Muwaththa', Juz I, Daru Ahya, Mesir, (t.t.).
Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.
Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz. I, Bandung: Dahlan, t.th.
-------------, Shahih Muslim, Juz.II, Semarang: Maktabah TohaPutra, t.th.
http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://da.ru/
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 19
Imam Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab, Juz IV, Mesir: Lisyirkati Al-
Ulama' Al-Azhar.
Kumpulan Fatwa Majlis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh,
I967.
M.Alfatih Suryadilaga (ed.), Studi Kitab Hadis, Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2003.
Mahmud Syaltout, Mintaujihati Al-Islam. Daru Asy-Syuruqi bil Qahirah, t.th.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-Fatwa Tarjih-
Tanya Jawab Agama 6, Cet. III; Yogyakarta; Suara Muhammadiyah,
2012.
Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yoyakarta, Tuntunan Ramadhan,
Tuntunan Qiyamul Lail, Tuntunan Shalat Idul Fitri dan Zakat Fitri,
(Diperbanyak oleh Panitian Pembangunan Gedung Dakwah dan Masjid
Taqwa Muhammadiyah Daerah Istimewa Aceh, 1995.
Muhammad Al-Allan AlShiddiq Al-Syafii, Dall Al-Falihn: Syarah Riyadhu
al-Shalihin, Juz III, t.p., t.th.
Muhammad Idris Asy-Syafi'iy, Al-Um, Juz I, Cet. I; Mesir: Maktabah A1-Kulliah
Al-Azhariah, 1381H-1961 M.
Muhammad Syarbaini Al-Khatib, Mughni Al-Muhtaj, Juz II, (Mesir: Al-Baby Al-
Halaby Wa Auladuhu, 1958.
Muhammad Syarbaini Al-Khatib, Mughni Al-Muhtaj, Juz II, Mesir: Al-Baby Al-
Halaby Wa Auladuhu, 1958.
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Indonsia, Jilid VII.
Sayid Sbiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. I, Beirut: Dr al-Fikr, 1987.
-------------, Fiqh al-Sunnah, Jilid. II, Beirut: Dr al-Fikr, 1987.
Sirajuddin Abbas, Empat Puluh Masalah Agama, Jilid I, Cet. II, Jakarta:
PustakaTarbiyah, 1972.
Syihabuddin Abi al-Abbas Ahmad bin Idris bin Abdirrahman al-Shanhaji al-
Mishry, al-Dzakhirah fi Furu al-Malikiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, t.th),
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih, Jakarta: CV Mulja.
------------, Pedoman Shalat, Cet. XXIII: Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1994.
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Jilid I, Cet. IV; Suriah: Dar
al-Fikr, 2004.
http://d_a.er.ah/
Hasbullah bin Muhammad: Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani's 20
SHAYKH DAWUD BIN ABDULLAH AL-FATANIS DEALING WITH
THE AUTHORITATIVE CREEDAL ARGUMENTATION
OF REVEALED SOURCES WITH SPECIAL REFERENCE
TO WARD AL-ZAWAHIR.
Hasbullah bin Mohamad
ABSTRAK Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's telah menggunakan pendekatan
yang signifikan dalam penggunaan dalil-dalil dari sumber wahyu (naqliyah)
dengan hanya menerima dalil-dalil yang memiliki otoritas dari al-Quran dan
Hadith sebagai hujjah utama di dalam akidah. Beliau banyak menggunakan nash
al-Quran secara langsung sebagai dalil-dalil akidah karena kedudukan al-Quran
tidak dipertikaikan lagi otoritasnya. Sementara di dalam penggunaan Hadith-
Hadith, beliau hanya menerima Hadith Shahih dan Hadith Hasan sebagai hujjah
dalam akidah. Sebaliknya Hadith Dha'if hanya boleh digunakan di dalam Fadha'il
al-Amal dan perkara cabang syariat (furu') di samping ia bertindak sebagai hujjah
tambahan bagi hujjah utama akidah dari sumber yang lebih kuat.
Key Word: Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's, Creedal Argumentation
Introduction
Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's (d. 1263 AH/1847AD) is one of
the most influential and prolific Malay scholars of the nineteenth century whose
works are considered among the most important references of the Malay
Archipelago. He authored at least sixty-nine works of which the most well-known
are Munyat al-Mualli (1242 AH), Furu' al-Masail (1257 AH), al-Durr al-
Thamin (1232 AH), Minhaj al-'Abidin (1240 AH), and Sullam al-Mubtadi (1252
AH). Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's has written substantially in diverse
disciplines yet his main contributions are in Islamic creed, Islamic jurisprudence,
and Sufism. His creedal thought would be illustrated within his significant creedal
works which are al-Durr al-Thamin (1232 AH) and Ward al-Zawahir (1245 AH).
A study of the sources and methodological approaches of Shaykh Dawud
bin Abdullah al-Fatani'ss Ward al-Zawahir reveals the doctrinal climate that
prevailed in Mecca and the Malay Archipelago. The doctrinal climate in the
Mecca (ijaz) regions in the late eighteenth and early nineteenth centuries (18th-
19th AD) was one of dispute concerning the Islamic creed (Aqidah) and the
various religious acts of worship (fiqh). Thus, as a response to the theological
background in Mecca and the Malay Archipelago, Shaykh Dawud bin Abdullah
al-Fatani's as in his Ward al-Zawahir, focuses the prime creedal objective i.e.
knowing God (ma'rifat Allah). Towards this end, Shaykh Dawud bin Abdullah al-
Fatani's emphasizes the need to refer to the authoritative prime sources of
religious scholarship -the divinely revealed texts (naqliyah) and sound
ratiocination ('aqliyah)- when formulating the creedal argumentation. For that,
they must avoid blind imitation (taqlid) and learn the proofs and evidences of the
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 21
existence of Allah to the level of certitude (yaqin) whether it is in a general
schema (ijmali) or in detail (tafshiliy).
Therefore, Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's attempts to refer to the
authoritative sources and qualified scholarship in the interpretation of the revealed
sources (naqliyah) so as to guard against deviation and exceeding the proper
limits of methodological practices. In regard of the authority of the naqliyah, he
asserts that only the undisputable arguments of the Quranic verses and authorized
Hadith of the authentic one (Shahih) and fair (Hasan) are valid for the
authoritative argumentation.
Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss Ward al-Zawahir
Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss Ward al-Zawahir is a great
creedal work that has been claimed to be the most comprehensive work in ushul
al-din in jawi script. Due to its comprehensive discussion and a large number of
pages (430 pages) as compared to other creedal works written in the classical jawi
script, Ward al-Zawahir needs to be reviewed and examined in order to verify
such a claim. Ward al-Zawahir distinguishes the optimal use of creedal proofs of
the naqliyah and 'aqliyah especially compared to other previous Malay scholars in
their creedal works of jawi script.
As a commentary work (shar'i) on the al-Laqanis Jawharat al-Tawhid, his
Ward al-Zawahir, like the other Malay scholars methodology of commentary
(shar), attempted to translate from the original language particularly from Arabic
into Malay accompanied by related commentaries. Ward al-Zawahir is a
commentary (shar) to his work 'Iqdat al-Jawahir, which was translated and
commented from the text (matn) of al-Laqanis Jawharat al-Tawhid in the form of
poetic meter into jawi script according to the Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ahs
creed. In Ward al-Zawahir, Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's referred
mainly to the commentaries of Jawharat al-Tawhid written by previous scholars
such as 'Abd al-Salam ibn Ibrahims Ittiaf al-Murid, Amad ibn Muammad Ibn
'Ali al-Suaymis Shar Ittiaf al-Murid, 'Abd al-Mu'i al-Shamlawis Tufat al-
Muarrarah, and Shar Tufat al-Muarrarah of Sayyid 'Ali al-Wafai.
Other than these major references of his Ward al-Zawahir, he cited the
opinions of qualified scholars in Aqidah, taawwuf, Shafi'i fiqh, Hadith, and tafsir.
In his creedal discussion, the opinions of prominent scholars of kalim
(mutakallimin) such as al-Ash'ariy (d. 330 AH), al-Bagillani (d. 403 AH), al-
Asfirayny (d. 418 AH), al-Baghdadi, Imam al-aramayn al-Juwayni (d. 478 AH),
al-Ghazaly (d. 505 AH), al-Shahrastani (d. 548 AH), Ibn 'Asakir (d. 571 AH), al-
Razy (d. 606 AH), al-Subky (d. 771 AH), al-Sanusy (d. 895 AH), and al-Laqiny
(d. 1041 AH) were cited numerous times in Ward al-Zawahir. He also cited the
opinion of other mutakallimin who have a distinct relationship with the two
important seminal creedal works, namely al-Sanusis Umm al-Barahin and al-
Laqanis Jawharat al-Tawhid, that have dominated the creedal thought of the
Muslim community particularly in the Malay Archipelago. His dependence upon
these sources obviously shows that he consistently upholds the Asharites
thinking in the company of other relevant schools of thought based on the
authority of the naqliyah and 'aqliyah.
The emphasis on the propositions (adillah) whether literal revealed
sources (naqliyah) or logical interpretive reasoning ('aqliyah) in Ward al-Zawahir
Hasbullah bin Muhammad: Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani's 22
is noticeable because he has paid serious attention to the authoritative sources of
the naqliyah especially the transmissions of Hadith. His insertion of the
transmissions of the Companions (rawy al-a'la) who narrated the Hadith from the
Prophet (P.B.U.H) or by mentioning the direct sources as stated in the
compendium of the source-critics of Hadith (takhrij) are among the advantages of
Ward al-Zawahir. The existence of these elements has conferred an authority to
the sources in Ward al-Zawahir compared especially to other creedal works of the
Malay scholars indicated his creedal reform within his writing of jawi script.
Regarding the presentation of the naqliyah, Shaykh Dawud bin Abdullah
al-Fatani'ss Ward al-Zawahir determines that these revealed sources must be
authoritative and only receives from the Hadith of Shahih, Hasan and consensus
(ijma'), whereas the Hadith dha'if is applicable to the branches of religious
practices (furu') and the merit of certain deeds (fadhail al-amal). For that, he
included the well-recognized authoritative sources that of al-Bukhari and Muslim
as well as the well-known sources of Sunan al-Sittah and Sunan al-Tis'ah. Apart
from that, he reported from other the sources from Ibn Abu Shaybah, Ibn Abu al-
Dunyy, Abu Ya'la, al-'Uqayli, al-abarani, Abu al-Shaykh, Abu Nu'aym, al-
Bayhaqy, al-Daylamy, Ibn 'Asakir, and Ibn al-Najjar which are partly associated
with fadhail al-amal. Similarly, he included the isnad of Companions (rawy al-
a'la) from Abu Hurayrah, Ibn 'Umar, Ibn Mas'ud, Anas ibn Malik, Jabir, and
'Aishah. He sometimes stated the Hadith marfu', which is attributed to the
Prophet (P.B.U.H) and sometimes without any reference to further review its
authority. Thus, some of these sources require further verification to determine its
authority.
In Ward al-Zawahir, Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's included the
literal Quranic verses as the main creedal proofs without any further
interpretation or explanation. He sometimes briefly interpreted the meaning
(mufradah) of certain verses which could be observed especially in the Surat
Yusuf, al-Kahf, and Maryam. He occasionally attached some verses related to the
Quranic interpretation based on transmitted tradition (tafsir bi al-mathur) such
as al-sabab al-nuzul particularly from al-abaris and al-Suyuis works quoted
from Ibn 'Abbas, 'Alqamah, 'Ikrimah, Muqatil, and Kisaiy. Thus, these indicate
his special treatment to the authority of creedal argumentation especially that of
the naqliyah.
The Quran and Commentary Based on Tradition (Tafsir bi al-Mathur)
Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's includes the literal Quranic
verses as the main creedal proofs without any further interpretation or
explanation. This is due to his attitude towards the Quran as the undisputable
argument based on its transmission which has consensually been agreed upon as
mutawatir. He prefers to employ the literal Quranic verses (nuu al-Quran) in
Ward al-Zawahir on the basis as the undisputed creedal authority of the Quranic
verses. He sometimes attempts to briefly explain either from the view of scholars
(mufassirin) or through his own understanding particularly to translate the
meaning (mufradah) of the verses into Malay to facilitate the readers to
understand these verses. The use of Quranic verses and hadith in large quantity in
Ward al-Zawahir is significant to support one another in the respective creedal
issues particularly that could only be proven by the revealed sources (naqliyah),
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 23
like the unseen matters (sam'iyyat). The employment of the literal Quranic
verses in almost all parts of Ward al-Zawahir is due to his consideration that such
verses are the undisputable arguments along with its interpretation.
Apart from the use of literal Quranic verses, he sometimes utilizes the
commentary based on tradition (tafsir bi al-mathur) by bringing up
the transmissions that of al-sabab al-nuzul as well as the views of the Companions
and Successors. In this respect, his Ward al-Zawahir refers to al-sabab al-nuzul
and the views of the Companions and Successors such as Ibn 'Abbas (d. 68 AH),
'Alqamah (d. 62 AH), 'Ikrimah (d. 105 AH), Muqatil (d. 150 AH), and Kisaiy (d.
189 AH) as well as the well-known figures of the Israiliyyat like Ka'b al-
Abar (d. 32 AH) and Wahb al- Munabbih (d. 114 AH). For that, he refers to the
mufassirins works of tafsir bi al-mathur such as al-abaris Jami' al-Bayan and
al-Suyuis al-Durr al-Manthur along with the commentaries that contain both
the tafsir bi al-mathur and al-ray such as al-Qurtuby, al-Razy, and al-
BayDhawi. For instance, Ward al-Zawahir explains the reference to al-sabab al-
nuzul as narrated by Ibn Abbas describing the question in the grave and talqin as it
quotes:
Narrated from Ibn 'Abbas on the verse, Allah says: Allah keeps firm those
who believe, with the firm word, in worldly life and in the Hereafter. And
Allah sends astray the wrongdoers, and Allah does what He wills.
According to Ibn 'Abbas, the verse explains about shahadatayn (ashadu an
la ilaha illa Allah) while being questioned in the grave. 'Ikrimah views that
yuthabbit Allah they will be asked about their belief of Muhammad,
Tawhid, and the answers would be on the basis of their faith, either mumin
or kafir. Al-sabab al-nuzul of this verse that the Prophets aunt, afiyyah
'Abd al-Muththalib, when she was buried, the Prophet sat on her tomb, and
said: the Munkar and Nakir will ask you about your religion, so that you
answer them that my nephew is our Prophet. The Companions asked the
Prophet: do you teach your aunt, then what about us? Then Allah revealed
this verse: Allah keeps firm those who believe, with the firm word
The above attachment of al-bab al-nuzul clearly shows that Shaykh Dawud bin
Abdullah al-Fatani's attempts to employ the commentary based on tradition (tafsir
bi al-mathur) as the authoritative naqliyah by inserting the Hadith of al-Bukhary,
Muslim, Abu Dawud, and others from al-Barra Ibn 'zib. In this respect, the al-
sabab al-nuzul comes with the authoritative transmission along with reference to
the view of Ibn 'Abbas and 'Ikrimah. Even, there are also the hadith ai related
to the talqin and the question of the dead as in Ward al-Zawahir with the isnad
marfu' from Ibn Abu Shaybah, Ibn Jarir, Ibn Al-Munzir, al-Bayhaqy, al-
abaranis al-Awsa, and Ibn ibbans ai as well as the reported hadith of the
Sunan al-Sittah. As such, he seems to maintain with the Quran as
definite undisputable sources in Ward al-Zawahir. In fact, a brief explanation
of the meaning (mufradah) of the Quranic verses in the Malay version provides a
proper understanding of textual interpretation to the Malay readers.
The Authority of Hadith
Hasbullah bin Muhammad: Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani's 24
Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss Ward determines the
authoritative sources of the naqliyah especially the transmission of Hadith
(riwayah) that of authentic (Shahih) and fair (Hasan) whether from solitary
Hadith (Ahad) or recurrent (mutawatir). Regarding the authority of
the naqliyah, he states:
The names of Allah are strictly determined by God alone. These names
only come from the revealed sources of the Quran, and Hadith. The
sources of hadith must be authoritative, which are only from the authentic
hadith (Shahih) and fair ones (Hasan).
As the above, Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss methodology to be in
line with the muhaddithin and fuqaha of the Ahl al-Sunnah that only recognizes
the Hadith Sahih and Hasan as the authoritative creedal argumentation instead of
the Hadith Dha'if whether it is mutawatir or ahad. Such method differs from
Mu'tazilite who only accepts the mutawatir.
Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss emphasis on the authoritative
naqliyah could be observed since his Ward al-Zawahir attempts to verify the
sources of hadith treatises, especially that of al-Shaykhayn of al-Bukhari (d. 256
AH) and Muslim (d. 261 AH). In Ward al-Zawahir, he often reveals the term al-
Shaykhayn and al-aiayn referring to both of them of the reported Hadith as
either its literal speech (lafdhi) or meaning (maknawiy). In addition, Shaykh
Dawud bin Abdullah al-Fatani's sometimes includes the authentic Hadith which is
reported by only one reporter of al-aiayn either al-Bukhari or Muslim while
sometimes he attempts to attach such transmission (of Bukhari or Muslim) with
accompaniment of other similar attested transmissions in respective creedal
matters. Even there are similar attested hadith reported by numerous chains of
transmitters (isnad) which would strengthen its authority and thus, its
authority becomes more reliable (ziyadat thiqah) when these transmissions
reported together along with the isnad of al-Shaykhayn.
He occasionally quoted from the undisputable transmitted sources of the
hadith mutawatir as well as the sources gathered the authoritative hadith such as
Ibn Khuzaymahs ai, al-akims al-Mustadrak, and Ibn ibbans ai. His
attachment of the hadith mutawatir in Ward al-Zawahir among them are; Hadith
of the Isra and Mi'raj, the miracle of release water from the Prophets hands, the
moon divided into two portions, the Quran was sent down in seven modes (sab'at
aruf), the blessing and punishment in grave (barzakh), and the questions of
Munkar and Nakir in grave.
Likewise, his reference to the transmissions of the well-known sources of
the Sunan al-Sittah and Sunan al-Tis'ah especially Abu Dawud (d. 275 AH), al-
Tirmidhy (d. 279 AH), Ibn Majah (d. 273 AH), and Amad ibn anbal (d. 241
AH). These indicate his attempt to authorize the transmissions. However, Ward
al-Zawahirs references to aHadith, which are from other sources such as Ibn Abu
Shaybah (d. 235 AH), Ibn Abu al-Dunya (d. 281 AH), Abu Ya'la (d. 307 AH), al-
'Uqayly (d. 322 AH), Ibn Hibban (d. 354 AH), al-abarani (d. 360 AH), Abu al-
Shaykh (d. 369 AH), al-Hakim (d. 405 AH), Abu Nu'aym (d. 430 AH), al-
Bayhaqy (d. 458 AH), al-Daylamy (d. 509 AH), Ibn 'Asakir (d. 571 AH), and Ibn
al-Najjar (d. 636 AH) need further clarification.
In fact, his approach of the commentary (shar) with great emphasis on the
authoritative literal revealed argumentations distinguished himself from the other
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 25
Malay scholars in dealing with the hadith in their works. For instance, in dealing
with the concept of predestination (qaDha and qadr), he noted the need for the
authoritative proofs (i.e. Hadith maqbul of the ai and asan) by the reference
to the al-Shaykhayn and supported by al-Tirmidhi and others of the Sunan al-
Sittah. He states:
Reported by al-Tirmidhi (with his chains of transmissions) of the
Prophet (P.B.U.H) said: Do not believe a Muslim until he believes in
good and bad of the destiny (qadr). Whenever God determined it to be
good, then it be. But if He determines bad, it to be bad, then let it be. This
Hadith also reported by al-Shaykhayn (al-Bukhari and Muslim) and the
four people (scholars) who have sunan (Shahib al-sunan), the Prophet
(P.B.U.H) says: None of the person (nafs) who was born, but surely
has been determined by God the place of heaven and hell as well as to be
woeful or happy.
Apart from the quoted sources of the Sunan al-Sittah, the Hadith was also quoted
from al-abarani, Ahmad, Abu Nu'aym as well as sourced from the Companions
(rawi al-adil) such as Abu Hurayrah, Ibn 'Umar, Anas, 'Aishah, and
Mu'adh ibn Jabal. In this respect, the superiority of the authoritative
naqliyah (dalil sam') is well recognized.
Likewise, the priority of the naqliyah was complied in dealing with
creedal discourse whose subject was not attainable through the intellect and senses
especially pertaining to the unseen matters (sam'iyyat). For that, besides his
employment of authoritative naqliyah particularly that from al-Jalalayn,
he sometimes referred to the revealed sources that of the elevated Hadith (marfu')
which is directly attributed to the Prophet (P.B.U.H) and also sourced
from the Companion (rawy al-adil). In addition, he also sometimes referred to the
other hadith sources of the similar attested hadith. Thus, the numerous chains of
transmitters (isnad) would elevate the authority of the Hadith, which support one
another. For instance, regarding the question in the graves, he referred to the
different isnads, which are similar to the attested Hadith literally and
interpretively (lafdh and ma'nawy). He says:
Reported by Ibn Abu Shaybah, Ibn Jarir, Ibn al-Munzir, al-abarani and
Ibn ibbans ai from Abu Hurayrah marfu' the Prophet (P.B.U.H)
says: O me in the Hands of God that the dead when delivered in his grave
you will hear Ghaws voice, so you turn away from it if he is mukmin,
his prayer (alah) will be on his head, and charity on the right and
fasting on the left and charitable, good deeds (ma'ruf), and courtesy (isan)
sitting on his legs
Despite his reference to the Hadith marfu and the source of the
Companions (rawi al-a'la) in Ward al-Zawahir, it did not sufficiently reflect on
the authenticity of the Hadith. However, he has given significant credit to his
work by stating his cited sources to facilitate the efforts for further verification of
these hadith. He sometimes verified the position of the hadith which parallels his
creedal attitude of the authoritative Hadith of the Shahih and Hasan. Hence, this
indicates his consistency with his creedal methodology of the Hadith. For that, he
notices:
Al-afi Ibn Kathir asserts that there is Hadith reported by Ahmad:
Cheer for all believers (mukminun) the spirit that they were in heaven as a
Hasbullah bin Muhammad: Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani's 26
martyr walking in heaven and will eat the fruits and see the beauty
and pleasure, and it would honor God who provided for them from the
privilege (karimah).Isnad of this Hadith is authentic and reliable which
assemble three of four imam madhhab. So that the transmission of
the Shafi'i from Malik ibn Anas from Zuhri.
The above clearly shows his verification of the quoted sources of Hadith.
However, he frequently referred to the hadith from the sources related to the merit
of certain deeds (Fadha'il al-Amal) as in al-'Uqaylys al-u'afa, Ibn 'Adys al-
Kamil fi al-Dhu'afa, Abu Nu'ayms ilyat al-Awliya, al-Bayhaqys Shu'ab al-
iman, and al- Daylamis Musnad al-Firdaws. Likewise, the hadith from other
sources contain Hadith Shahih, Hasan, and Dha'if such as the hadith of Ibn Abu
Shaybah, Ibn Abu al-Dunya, Abu Ya'la, al-abarani, Abu al-Shaykh, Ibn 'Asakir,
and Ibn al-Najjar require further verification through the examination of the
chains of transmitters (isnad) and the textual Hadith (matn).
In addition, there were reported hadith without any reference to either the
sources of takhrij or the isnad of the Companions as well as Successors (rawiy al-
a'la) in Ward al-Zawahir. Otherwise, Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's
cited either the Prophet (P.B.U.H) said so or even partly reported
or that only brought through storytelling and narrative techniques (ikayah). Thus,
these complicated verification the transmitters of the Hadith. For instance, he
qoutes:
The transmission (riwayah) states that there is a river under 'Arash that
Jibril had been bathing in and when he removed the water from his body, then He
created the angels from the teardrops, while the other riwayah reports
that some angels were created from fire (nar) and some others from the dew.
The riwayah is that God created the angels for one-third of the numbers of the
creations in the universe; meanwhile others indicate that the number of the angels
consists of two-thirds of the creations
Elevated Hadith (marfu'), Weak Transmissions (riwayat dha'ifah), and the
Merit of Certain Deeds (Fadha'il al-Amal)
Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss Ward al-Zawahir frequently
refers to the Hadith marfu' and the isnad of the Companions (rawy al-adil), which
significantly facilitates in detecting the original sources and its authority.
He also refers to the Hadith marfu' that from al-Shaykhayn i.e. al-Bukhari and
Muslim. Likewise his reference especially to the Sunan al-Sittah and Sunan al-
Tis'ah as well as from other transmissions such Ibn Abu Shaybah, Ibn Abu al-
Dunya, Abu Ya'la, al-'Uqayy, Ibn Hibban, al-abarani, al-Hakim, Abu al-Shaykh,
, Abu Nu'aym, al-Bayhaqy, al-Daylamy, Ibn 'Asakir, and Ibn al-Najjar. While the
Hadith marfu' which refers to isnad of rawy al-a'la of the Companions is most
abundant in Ward al-Zawahir such as from Abu Hurayrah, Ibn Mas'ud,
Ibn 'Abbas, Anas, Ibn 'Umar, Aishah, Abu Sa'id al-Khudry, 'Ali ibn Abu Thalib,
Jabir, and Mu'adh ibn Jabal. Thus for, his reference to the Hadith marfu' and the
isnad of rawy al-a'la needs further verification, as these transmissions have yet to
determine its authority, but he simplifies it to merely mention as reported from
Hadith marfu' or from the Companion without any justification.
Although he highly strives to deliver its sources, there are also
transmissions that have proven Dha'if after examination through the study of the
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 27
source-critics (takhrij) and the science of criticizing of the reporters of Hadith (al-
jarh wa al-ta'dil). He even verifies the position of the Hadith Dha'if as he states:
Reported by Ibn 'Asakir in his Tarikh by which Dha'if isnad from Anas
marfu' that a man is dead with nothing of the Quran except Surat al-Mulk
-he had recited and memorized- when the angel (malak) came to him in
the grave. The Surat (al-Mulk) then covered his face, and the angel said (to
the Surat al-Mulk): You come from the Book of Allah (al-Quran), so I
hate to harm you, but if you want to intercede him, you might go
to your God for the intercession (shafinah). This chapter (Surat al-
Mulk) then went to God (Rabb al-'Alamin), and asked: O my Lord! Your
servant (reader) had recited me with the few chapters of the Quran and
learnt from me (the Quranic verses), will you burn and torment him in the
fire? While I (the Quranic verses) am in his cavity (of reading and
memorization) - (O Allah! I plead You to intercede him) if you punish
him, while I am in his cavity (recitation), please eliminate me from Your
Book (al-Quran). The Almighty replied: You attempt to intercede him,
therefore I give permission to you (Surat al-Mulk) to intercede him.
The above transmission reported by Ibn 'Asakirs al-Tarikh and al-Daylamis al-
Firdaws from Anas is Dha'if in which such Hadith could be classified of the
Fadha'il al-Amal pertaining to the benefits of reciting Surat al-Mulk in
connection with the torment of the grave. In fact, there are some authoritative
hadith (i.e. ai) reported by Muslim, Amad ibn anbal, and al-Darimi
concerning the Quran would be considered as intercession (shafa'ah) to the
readers in hereafter. Similarly, the attested Hadith reported by al-
Tirmidhi with the isnad asan. Thus, by the attachment of numerous isnad, he
attempts to maintain with his creedal approach to deal with the authoritative
Hadith.
Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss approach in certifying the
authoritative hadith within the use of Hadith marfu' and the isnad of the
Companions (rawi al-a'la) has provided a significant effort to the authority of
Hadith. However, the transmissions whose authority could not yet be identified
and therefore, these transmissions require further verification with the help of the
science of source-critics (takhrij) as well as the science of criticizing of the
reporters of Hadith (al-jarh wa al-ta'dil). Thus, his Ward al-Zawahirs approaches
of the revealed sources (naqliyah) seem consistent with his authoritative creedal
argumentation with some inadequacies of the method of certification.
Regarding the weak Hadith (Dha'if), Shaykh Dawud bin Abdullah al-
Fatani's attempts to employ the hadith Dha'if based on his attitude that such
Hadith is applicable in the branches of religious practices (furu') and the merit of
certain deeds (Fadha'il al-Amal) . Thus, hadith Dha'if is arguable in Fadha'il al-
Amal except for those of the very weak Hadith which are the fabricated Hadith
(mawDhu'), abandoned Hadith (matruk), and denounced one (munkar). The use of
Hadith in Ward al-Zawahir was plentiful and obvious, especially in Fadha'il al-
Amal. He consistently attempts to maintain with his attitude of the authoritative
Hadith as well as the Dha'if one, as he sometimes verifies the cited hadith
including the Dha'if in his composition. Among the Hadith dha'if in Ward al-
Zawahir as he verifies:
Hasbullah bin Muhammad: Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani's 28
Reported by Syafi'y in Rawy al-Riyain that people who died on Friday
night will not be tortured. This is to honour him, as reported by the isnad
Dha'if from Anas ibn Malik: The torment of the grave would be removed
for those who died in the month of Ramadhan. According to him,
yatamil is imposed specifically to disobeying Muslims ('aah).
Based on the above Hadith Dha'if pertaining to Fadha'il al-Amal which is in line
with his creedal attitude as he clearly stated in Ward al-Zawahir and Jam' al-
Fawaid indicating that the Hadith Dha'if serves to support the authoritative
traditions connected therewith. Thus, he attempts to gather many similarly
attested hadith of the subject matter for the sake of authority. These transmissions
of the numerous isnad would be classified as the shawahid and mutaba'ah.
Therefore, with the strength of undisputable authority of the isnad and coupled
with the way he facilitates the understanding of the meaning of the
Hadith enables him to provide solid creedal argumentation.
Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss attitude of dealing with Hadith
Dha'if, which is to support and strengthen his authoritative creedal argumentation
in Ward al-Zawahir to be consistent with his employment of the Hadith Dha'if
along with the ai and asan. For that, his citation of the reported hadith of the
muaddithun which usually associated with Hadith Dha'if and Fadha'il al-Amal
indicates the usage of hadith Dha'if in Ward al-Zawahir. Among those of
reporters are: Ibn Abi Shaybah, Ibn Abi al-Dunya, Abu Ya'la, al-'Uqayli, al-
abarani, Abu al-Shaykh, Abu Nu'aym, al-Bayhaqy, al-Daylami, Ibn 'Asakir,
Ibn Mandah, al-Bazzar, and Ibn al-Najjar.
Based on the observation of these circumstances, it would signify that the
role of the Hadith Dha'if cited in Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss Ward
al-Zawahir serves as Fadha'il al-Amal as well as to support the authoritative
arguments which would function as the mutaba'ah or shawahid. Thus, his creedal
approach and consistency of the authoritative Hadith has not changed. Concerning
the fabricated Hadith (mawdhu'), Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's seems
to maintain with his attitude of weak Hadith (Dha'if), indicates that the Hadith
mawdhu' (i.e. very weak) is totally rejected in all religious circumstances. His
Ward al-Zawahir even attempts to validate certain hadith as mawDhu such as the
Hadith of the quantity of the prophets, which is based on Ibn al-Jawzis
verification. Despite the existence of hadith Dha'if in Ward al-Zawahir, generally
it is difficult to detect fabricated Hadith. This would indicate that he seems
consistent with the creedal approach of the authoritative Hadith even though he
could have accidentally or unintentionally attached such hadith due to human
factor, or overlooked the aspect of the Israelites (Israiliyyat) transmissions.
Regarding the Israiliyyat, there were especially the narrations pertaining
to the story of the previous prophets, and the ancients such as in the story of
Prophet dam, Nuh, Ibrahim, Yusuf, Yunus, Sulayman, 'Isa and Maryam, Ashab
al-Kahf, and al-Ifk ('Aishah). The commentary based on transmissions of the
Israiliyyat were frequently cited in the form of a narrative telling without its
sources and chains of transmitters (isnad), hence the unknown sources
complicated the examination of its authority. In addition, the incomplete
transmissions (usually in the form of narrative story) as in Ward al-Zawahir
caused the process of verification became difficult. The story of the prophets and
events of the past were associated with the Israiliyyat sources such as the story of
Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 29
'Adam, Nuh, Luth, Ibrahim, Yusuf, Yunus, 'Isa and Maryam, and Sulayman in
relation to Balqis, Hud-hud, karamah of his minister (wazir - if Barkhiya), and
magic (sir). For instance, he presented the Israiliyyat of Sulayman, Hud-hud,
if Barkhiya, and Balqis in a very long story, in which a part describes:
Some of the privileges (karamah) of if Barkhiya is that the Prophet
Sulaymans minister brought him the throne ('arash) of Balqis from Saba
to the