Post on 07-Dec-2014
TOKSISITAS SUBKRONIK PEWARNA NON PANGAN PADA KERANG HIJAU
(Perna viridis) TERHADAP GINJAL MENCIT
PENDAHULUAN
Kerang merupakan salah satu hasil perikanan yang mempunyai kandungan gizi yang
cukup tinggi karena di samping mengandung protein juga mengandung vitamin B12,
riboflavin, thiamin, dan mineral (Fe, Cu, Mg, Zn, I, Ca, Na, K, dan Co), di mana komposisi
kerang tersebut sangat beraneka ragam tergantung dari spesies, jenis kerang, umur, musim
dan habitatnya (Djamar, 1984). Kerang hijau (Perna viridis) termasuk makanan yang baik
untuk kesehatan karena dalam 100 g daging kerang hijau (protein 11,9 g, lemak 2,24 g,
karbohidrat 3,69 g, serta mineral lainnya) (Murtini et al., 2008). Jenis kerang ini
dibudidayakan di perairan teluk Jakarta. Sebagaimana cara makan kerang ini adalah
menyaring air untuk “menangkap” makanannya yang berupa jasad renik dan detritus.
(Djamar, 1984).
Kerang hijau dipasarkan dalam keadaan segar maupun rebus. Penampilan kerang
hijau rebus kurang menarik pembeli karena warnanya yang pucat, oleh karna itu di campur
pewarna kuning dan merah untuk mendapatkan warna orange (Bambang, 1999). Akan tetapi,
pewarna yang dipakai pengolah adalah pewarna non pangan yang dilarang digunakan untuk
pangan (rodamin B dan kuning metanil) yang membahayakan kesehatan yang
mengkonsumsinya, karna tidak dapat dicerna oleh tubuh dan akan mengendap di hati,
sehingga menyebabkan keracunan.
Larangan penggunaannya dalam makanan tertuang dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor: 1168/Menkes/PER/X/1999. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
toksisitas rodamin B dan kuning metanil yang terdapat pada kerang hijau yang diberikan
pada mencit selama 4 minggu, dengan parameter kadar ureum dan kreatinin serta
histopatologi ginjal mencit putih jantan.
Kuning metanil mempunyai ikatan azo yang sangat berbahaya jika terhirup dan
menyebabkan iritasi. Amin aromatik merupakan iritan kuat yang dapat menyebabkan edema
dan perdarahan dalam paru-paru, nekrosis dan nefritis ginjal, nekrosis hati dan
methemoglobinemia. Jika terkena kulit dalam jumlah banyak akan menimbulkan iritasi.
Apabila tertelan, pewarna azo dapat menyebabkan mual, muntah, sakit perut, diare, demam,
lemah, hipotensi. Amin aromatik merupakan iritan yang kuat yang dapat diserap melalui
saluran pencernaan. Pada pemaparan yang kronis dapat menimbulkan kanker saluran urin
(Anon, 2005).
1
Pada penelitian sebelumnya, penggunaan pewarna non pangan pada kerang hijau
yang mengandung rodamin B dan kuning metanil merusak organ lambung pada manusia
yang mengkonsumsinya (Guyton,1999 ; Murtini, et al., 2010). Penelitian Sihombing (2001)
membuktikan bahwa rodamin B dan kuning metanil bersifat racun dan karsinogenik terhadap
tikus dan mencit. Zat pewarna tersebut ditambahkan pada kerang hijau (Perna viridis L)
untuk memberikan warna yang menarik, walaupun zat pewarna tersebut mempunyai
kelebihan tetapi dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Seperti di ketahui bahwa
berdasarkan PerMenkes No. 239 / Men Kes / Per/V/1985 (Bambang, 1999)
Penggunaan rodamin B dan kuning metanil pada produk olahan makanan terbukti
tidak aman karena bersifat toksik terhadap hati mencit (Dwiyitno et al. , 2009), lambung
mencit juga mengalami kerusakan meskipun tidak merusak usus mencit (Murtini et al.,
2010). Organ penting yang lain yang terpengaruh oleh adanya zat warna tersebut adalah
ginjal. Meningkatnya kadar ureum dan kreatinin dalam plasma adalah indikasi kerusakan
pada ginjal (Guyton, 1999).
Gambar 1. Struktur rodamin B Gambar 2. Struktur kuning metanil
Figure 1. Structure of rhodamine B Figure 2. Structure of methanyl yellow
Sumber/Source : Maryadele, 2006
Rodamin B
Rodamin B (Gambar 1) adalah zat warna sintetik yang tidak boleh digunakan untuk
makanan. Rodamin B memiliki rumus molekul C28H31N20Cl, berbentuk serbuk kristal,
berwarna hijau atau ungu kemerahan, tidak berbau dan sangat mudah larut dalam air ,
alkohol, HCl, NaOH yang akan menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan berfluoresensi
kuat. Rhodamin B biasanya dipakai dalam pewarna kertas, di laboratorium digunakan
sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co, Au dan Mg.
Menurut Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat dalam Hastuti (2005) memberikan
ciri-ciri makanan yang diberi rodamin B adalah warna makanan merah terang dan mencolok.
Rodamin B sangat berbahaya jika terhirup, mengenai mata, kulit, dan tertelan yang akan
menimbulkan iritasi.
2
Kuning metanil
Kuning metanil (Gambar 2) adalah zat pewarna sintesis yang digunakan pada
industri tekstil. Kuning metanil di gunakan sebagai indikator reaksi netralisasi asam-basa.
Pewarna Kuning metanil sangat berbahaya jika terhirup, mengenai kulit, mengenai mata dan
tertelan yang akan menimbulkan iritasi, keracunan dan kanker pada kandung dan saluran
kemih.(Anon, 2008). LD 50 pada tikus sebesar 4,5-4,98 gram/kg bobot tikus ( Yulianti,
2010). Keracunan senyawa kimia sulit dimonitor, tidak seperti keracunan mikrobiologis
yang dalam waktu singkat dampaknya sudah kelihatan. Sampai sekarang belum ada laporan
mengenai keracunan karena pewarna non pangan.
Pewarna sintetis biasanya banyak digunakan pada makanan anak-anak yang
warnanya menarik dan harganya murah. Siswa SDN Legowo Wetan 1 Ngawi keracunan es
krim yang dikonsumsi karena terdapat kandungan bahan pewarna sintetis rodamin B (Pratiwi
dalam Surya media online, 2011). Anon (2011) menuliskan bahwa belasan siswa SD Mancor
2 Kecamatan Wilangan Nganjuk keracunan makanan mie kering dan sosis yang diduga
makanan tersebut tercampur zat pewarna tekstil.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh toksik subkronik kerang hijau
(Perna viridis) yang di beri zat pewarna non pangan (rodamin B dan kuning metanil)
terhadap ureum dan kretinin darah serta gambaran histopatologi ginjal mencit.
BAHAN DAN METODE
BAHAN
Bahan yang digunakan adalah kerang hijau (Perna viridis L) diperoleh dari Kamal
Muara, direbus kemudian diberi pewarna campuran merah 5 sendok makan dan kuning 1
sendok makan dilarutkan dengan air 20 liter untuk merendam kerang yang telah direbus
oleh pengolah selama 10 menit dan sebagian tanpa pewarna, kemudian dibawa ke
laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP). Kemudian kerang rebus tersebut dibuat
menjadi tepung dengan cara dikeringkan dengan oven pada suhu 50oC. Selanjutnya tepung
disaring (ukuran 100 mesh). Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih galur
DDY berjenis kelamin jantan (20-25 gram,per ekor,umur 2-3 bulan 72 ekor) yang diperoleh
dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Jakarta. Sebelum digunakan dalam
percobaan, semua mencit dipelihara terlebih dahulu selama 1 minggu untuk penyesuaian
lingkungan, memastikan kesehatan dan berat badan.
3
METODE
Tepung kerang hijau (residu rodamin B dan kuning metanil), kemudian ditetapkan
kadar rodamin B (BPOM, 2006) dan kuning metanil (BPOM, 1995). Kadar residu Rhodamin
B sebesar 539 ppm dan Kuning metanil sebesar 11 ppm. Faktor konversi terhadap mencit (20
g ) terhadap bobot manusia 70 kg adalah 0,0026 (Gosh, 1971). Untuk 50 gram kerang rebus
dengan rendemen 29,66% yang merupakan dosis 1. Dosis tepung kerang dengan pewarna
yang diberikan mencit adalah dosis 1 (38,54 mg/20g mencit), dosis 2 (77,09 mg/20g mencit),
dosis 3 (18 mg/20g mencit, sedangkan tepung kerang tanpa pewarna, dosis kontrol negatif
(K) adalah 154,18 mg/20 g berat mencit.
Sedian uji dibuat dengan cara mensuspensikan tepung kerang kedalam 0,8 ml
CMCNa, kemudian diberikan secara oral selama 4 minggu dan diteruskan recovery tanpa
sediaan uji selama 2 minggu. Setiap kelompok dosis (18 ekor) setiap 2 minggu sejumlah
enam ekor diambil darah dan organ kemudian dianalisis. Parameter yang digunakan adalah
ureum plasma, kreatinin plasma diukur dengan Spotchem EZ-SP 4430 (Arkray Inc., 2008)
Pengamatan preparat histologi organ ginjal
Pengamatan preparat dilakukan dengan menggunakan mikroskop medan terang
dengan pembesaran 400 kali dengan menghitung kerusakan sel inti tubulus ginjal. Dilihat
jumlah tubulus pada 5 lapang pandang tiap preparat diamati jumlah sel inti yang mengalami
kerusakan dan dihitung secara persentase. Pengamatan ini ng dilakukan di Laboratorium
FKH IPB di Bogor.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Kreatinin Plasma
Pemeriksaan kadar kreatinin plasma mencit putih jantan dilakukan pada minggu
(2,4,6). Hasil analisis kreatinin disajikan pada Tabel 1. Kadar kreatinin plasma mencit pada
minggu (2,4,6) tidak beda nyata antar dosis yang diberikan selama waktu pemberian.
Berarti dosis kerang berwarna yang mengandung rodhamin B dan methanil yellow tidak
berpengaruh pada kadar kreatinin plasma mencit. Berarti tidak berpengaruh pada kadar
kreatinin darah mencit selama 28 hari pemberian secara terus menerus.
4
Tabel 1. Kadar Kreatinin Plasma Mencit Table 1. Creatinine content of mouse’s plasma
Kelompok dosis/Group
of dosage
Kreatinin Plasma/ plasma creatinine (mg/dL) (mg/dL)
minggu ke 2/Week 2nd
minggu ke 4/ Week 4th
minggu ke 6/ Week 6th
Kontrol / Control 0.333±0.05 0.316±0.04 0.300±0.00Dosis 1/Dosage 1 0.383±0.12 0.316±0.04 0.316±0.04Dosis 2/Dosage 2 0.300±0.00 0.300±0.00 0.300±0.00Dosis 3/Dosage 3 0.300±0.00 0.300±0.00 0.316±0.04
Kadar Ureum Plasma
Pemeriksaan kadar ureum plasma mencit putih jantan dilakukan pada minggu ke-
2,4, dan 6. Data hasil ureum dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kadar ureum plasma mencit Table 2. Ureum content of mouse’s serum
Kelompok dosis/Group
of dosage
Ureum Plasma/ serum ureum(mg/dL)
minggu ke 2/Week 2nd
minggu ke 4/ Week 4th
minggu ke 6/ Week 6th
Kontrol / Control 13.500 ±2.59 13.833±1.47 14.166±2.93Dosis 1/Dosage 1 15.333±4.13 12.50±3.73 11.000±2.76Dosis 2/Dosage 2 6.000±1.26 11.333±1.21 3.500±3.56Dosis 3/Dosage 3 13.000±5.25 9.500±3.72 11.167±2.71
Dari Tabel 2 dan uji statistik terhadap ureum plasma pada minggu ke-2 ada
perbedaan nyata pada dosis yang diberikan sedangkan pada minggu ke 4 dan 6 tidak ada
perbedaan nyata. Dalam hal waktu pemberian pada minggu ke-6 ada perbedaan nyata
sedangkan pada minggu ke-2 dan 4 tidak ada perbedaan yang nyata. Nilai rata-rata
normal kadar ureum pada tikus jantan sebesar 11,01 – 19,9 mg/dl ( Winarno & Sundari,
2010). Berarti pemberian kerang berwarna yang mengandung rodhamin B dan kuning
metanil dengan perbedaan dosis tidak berpengaruh nyata pada kadar ureum plasma
mencit selama percobaan.
Persentase Kerusakan Tubulus Ginjal Mencit
Hasil persentase kerusakan tubulus ginjal mencit pada minggu ke 2 dapat dilihat pada
Gambar 3 dan Gambar 4.
5
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
Keru
saka
n /dam
age
K D1 D2 D3
Perlakuan /treatment
Gambar 3. Grafik kerusakan tubulus ginjal mencit (%) pada minggu ke-2
Figure 3. Histogram of tubulus damage of mouse’s kidney (%) at the 2nd week
Keterangan/Note : K : kontrol/control , D1 : dosis/dosage 1, D2 : dosis/dosage 2, D3 : dosis/dosage 3
Hasil pemeriksaan histopatologi dapat dilihat pada kerusakan tubulus, yang diamati dengan
menghitung persentase terhadap jumlah tubulus yaitu setiap pengamatan dihitung lima
lapang pandang tiap preparat. Kerusakan dilihat pada sel inti tubulus yang mengalami
degenerasi dan nekrosis.
Perubahan histopatologi organ ginjal bisa terjadi dengan pemeriksaan secara kimia
dengan meningkatnya kadar kreatinin plasma dan kadar ureum plasma. Pada percobaan ini
pemeriksaan kadar kreatinin dan kadar ureum tidak mengalami peningkatan tetapi pada
histopatologi organ ginjal mengalami kerusakan yang dilihat pada sel inti tubulus. Katagori
kerusakan histopatologi ginjal yaitu 0-30% masih ringan, 30-50% sedang dan ≥ 50% berat
(Junquira, 1989).
Hasil pemeriksaan histopatologi pada minggu ke-2 menunjukkan bahwa pada
kontrol negatif kerusakan pada sel inti tubulus sebesar 12,26%, berarti kerusakan ginjal
termasuk kategori ringan. Pada kelompok dosis 1 tidak ada perubahan patologi meskipun
ada kerusakan pada tubulus sebesar 13,63%. Dengan meningkatnya dosis 2, kerusakan
sebesar 17,12% terlihat bahwa terdapat pembendungan dan penebalan dinding pembuluh
darah berwarna merah muda, tubulus terjadi degenerasi. Dengan meningkatnya dosis 3
terjadi kerusakan sebesar 21,79% pada tubulus mengalami degenerasi meningkat. Pada
perlakuan minggu ke-2 kerusakan masih ringan karena kerusakan dibawah 30% dan tidak
bersifat toksik
6
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
Keru
sak
an/
dam
age
K D1 D2 D3
Perlakuan/treatment
Kontrol / Control Dosis 1 / Dosage 1
Dosis 2/ Dosage 2 Dosis 3 / Dosage 3
Keterangan/Note : a = Tubulus, b = Sel inti/ nucleus
Gambar 4. Histopatologi tubulus ginjal mencit pada minggu ke-2Figure 4. Hystopathological profile of mouse’s kidney at the 2nd week.
Hasil persentase kerusakan tubulus ginjal mencit pada minggu ke 4 dapat dilihat pada
Gambar 5 dan Gambar 6 adalah kerusakan tubulus ginjal.
a
b
7
Gambar 5. Grafik kerusakan tubulus ginjal mencit (%) pada minggu ke-4
Figure 5. Histogram of tubulus damage of mouse’s kidney (%) at the 4th week
Keterangan/Note : K : kontrol/control , D1 : dosis/dosage 1, D2 : dosis/dosage 2, D3 : dosis/dosage 3
Kontrol / Control Dosis 1/ Dosage 1
Dosis 2/ Dosage 2 Dosis 3/ Dosage 3
Keterangan/Note : a = Tubulus, b = Sel inti/ nucleus
Gambar 6. Histopatologi tubulus ginjal mencit pada minggu ke-4Figure 6. Hystopathological profile of mouse’s kidney at the 4th week.
Hasil pemeriksaan histopatologi pada minggu ke-4 menunjukkan kerusakan kontrol negatif
12,07%. Pada kelompok dosis 1 terjadi kerusakan 13,44% tubulus mengalami degenerasi
dan nekrosis begitu juga terhadap kelompok dosis 2 kerusakan 15,59% mengalami
degenerasi dan nekrosis pada sel inti tubulus. Pada kelompok dosis 3 terjadi peningkatan
kerusakan 19,74% tubulus mengalami degenerasi dan nekrosis. Pada perlakuan minggu ke-4
kerusakan dapat di katagorikan ringan karena dibawah 30% dan tidak bersifat toksik.
Hasil persentase kerusakan tubulus ginjal mencit pada minggu ke 6 dapat dilihat pada
Gambar 7 dan Gambar 8 adalah kerusakan tubulus ginjal.
ab
8
0.0%
5.0%
10.0%
15.0%
20.0%%
Ke ru sa ka n
/da
mag
e
K D1 D2 D3
Perlakuan/treatment
Gambar 7. Grafik kerusakan tubulus ginjal mencit (%) pada minggu ke-6
Figure 7. Histogram of tubulus damage of mouse’s kidney (%) at the 6th week
Keterangan/Note : K : kontrol/control , D1 : dosis/dosage 1, D2 : dosis/dosage 2, D3 : dosis/dosage 3
Kontrol / Control Dosis 1/ Dosage 1
Dosis 2/ Dosage 2 Dosis 3/ Dosage 3
Keterangan/Note : a = Tubulus, b = Sel inti/ nucleus
Gambar 8. Histopatologi tubulus ginjal mencit pada minggu ke-6
a
b
9
Figure 8. Hystopathological profile of mouse’s kidney at the 6th week.
Setelah 2 minggu kontrol negatif terdapat kerusakan sebesar 10,71%. Pada kelompok dosis
1;Dosis 2; Dosis 3 terdapat kerusakan sebesar 13,93%;16,42%;19,06%. Pada masa recovery
selama 2 minggu ini terjadi penurunan kerusakan walaupun hanya sedikit, dengan kata lain
terjadi perbaikan kerusakan ginjal walaupun hanya sedikit, apabila waktu recovery
dipernjang kemungkinan pemulihan kerusakan ginjal akan lebih banyak. Perlakuan minggu
ke-6 kerusakan dapat dikategorikan kerusakan ringan >30% dan tidak bersifat toksik. Pada
perlakuan pemberian kerang berwarna pada mencit dalam dosis yang berbeda selama
percobaan memberikan kecenderungan kerusakan ginjal mencit meningkat walaupun pada
kategori kerusakan ringan. Hal ini berarti mengkonsumsi kerang rebus dengan pewarna non
pangan sebesar 200 gram secara berturut-turut selama 28 hari dapat menyebabkan
kerusakan ringan pada ginjal.
Kesimpulan
Kadar kreatinin plasma pada minggu ke-2, ke-4 dan ke-6 tidak berbeda nyata antar
tingkatan dosis dan waktu pemberian. Kadar ureum plasma pada minggu ke-2 ada beda
nyata antar dosis tetapi pada minggu ke-4 dan ke-6 tidak ada perbedaan yang nyata antar
tingkatan dosis. Histopatologi ginjal menunjukkan bahwa sejak minggu ke-2 terjadi
kerusakan pada inti tubulus ginjal. Kerusakan tubulus selama percobaan pada kontrol , dosis
1, dosis 2 dan dosis 3 berturut-turut sebesar 10,70-12,26%, 13,44-13,93%, 15,59 -17,12%
dan 19,06 - 21,79%. Kerusakan ginjal mencit dapat di kategorikan kerusakan ringan karena
kerusakan tidak melebihi 30%. Hal ini berarti apabila manusia mengkonsumsi kerang rebus
dengan pewarna non pangan sebesar 200 gram secara berturut-turut selama 28 hari dapat
menyebabkan kerusakan ringan pada ginjal.
10
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2005. Pedoman pertolongan keracunan untuk Puskesmas. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta. 42-49 p.
Anonimous, 2008. Kenali zat kimia berbahaya dalam makanan 2. http://healindonesia.wordpress.com. Diakses pada tanggal 09 Juni 2008.
Anonimous, 2011. Belasan siswa SD Mancor Nganjuk kercunan mie dan sosis. http://Bursanasional.com./2251.Diakses pada tanggal 08 Oktober 2011.
Arkray, Inc. 2008. Spotchem EZ-SP 4430 Arkray. 57 Nishi Aketa-Cho, Higashi-Kujo, Minami-Ku, Kyoto 601-8045, Japan.
Bambang T. 1999. Identifikasi zat warna karsinogenik pada makanan jajanan anak-anak di Bengkulu secara kromatografi. Fakultas Perguruan dan Ilmu Pendidikan. Bengkulu
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 1995. Identifikasi Pewarna Methanil Yellow dalam Obat Tradisional Sediaan Cair. : Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta. hal 101-102
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 2006. Penetapan kadar pewarna Rhodamin B dalam makanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan, Jakarta . hal 40-41.
Djamar S J. 1984. Studi beberapa aspek biologi kerang hijau (Perna viridis L) di teluk Jakarta. Laporan penelitian.: Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Dwiyitno, Priyanto, N., Wulanjari, dan Atmawidjaja, S. 2009. Toksisitas Subkronik kerang hijau (Perna viridis) yang diberi pewarna sintetik terhadap hati mencit. Jurnal Pasca Panen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 4(2): 113-120
Gosh, M.N. 1971. Fundamentals of Experimental Pharmacology, Scientific Book Agency, Calcutta
Guyton, C.A. 1999. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Diterjemahkan oleh Andrianto P. EGC , Jakarta. 803 pp.
Hastuti, R.K. 2005. Keragaan Pedagang dan Penggunaan Pewarna sintetik ( Rhodamin B) Pada Terasi yang digunakan oleh Pedagang di Lingkar Kampus IPB Darmaga Bogor. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor . Bogor.
Junqueira, L.C., dan Carneiro, J. 2009 . Histologi Dasar. Edisi 10. Diterjemahkan oleh Tambayong J. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 369-371.
Maryadele J.O’Neil. 2006. The Merck Index, an encyclopedia of chemicals, drugs, and biologicals. fourteenth edition. Merck & Co.,INC. Whitehouse station, NJ, USA
11
Murtini, J.T.,Kurniawan, AD., Dewi, EN. 2008. Pengaruh waktu perndaman dan konsentrasi karboksilmetil kitosan untuk menurunkan kandungan logam berat Hg, Cd dan Pb pada kerang hijau (Perna viridis Linn.). JPB Perikanan 3(1) : 37-43
Murtini, J.T., Chomsamtun, S., dan Atmawidjaja, S. 2010. Toksisitas Pewarna non pangan pada kerang hijau (Perna viridis) terhadap organ lambung dan usus mencit. Prosiding Seminar Nasional Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan II. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 83-90.p
Sihombing, G. 2001. An Exploratory Study on Three Syntetic Coloring Matters Commonly Used as Food Colours in Jakarta. Badan Litbang Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
Surya online, 2011. Keracunan gara-gara minuman mengandung rhodamin B. Selasa 18 Oktober 2011. http//www.surya.co.id/2011/10/18. Diakses pada tanggal 18 Maret 2012.
Winarno, MW dan Sundari, D., 2010. Uji toksisitas sub kronik ekstrak daun kembang sungsang (Gloriosa superb L.) terhadap fungsi ginjal tikus putih. Bul.Penelit. Kesehat, 38 (4) 186-191.
Yulianti, W., 2010. Amankah makanan kita. Kesehatan.kompasiana. com/makanan /2010/12/26. Diakses tanggal 8 Agustus 2012.
12