Post on 07-Mar-2019
1
Kesaksian Mengharukan Siti AisyahCatatan Ahmadun Yosi Herfanda
Sejujurnya, saya merasa canggung untuk membahas karya besar yang
berkisah tentang perempuan mulia yang bersaksi tentang manusia yang
paling mulia di dunia yakni Rasulullah SAW. Ini sungguh novel yang luar
biasa yang berkisah tentang manusia-manusia yang luar biasa, dari kaca
mata seorang perempuan yang sangat mulia, Siti Aisyah -- dikenal dengan
Humaira – tokoh utama novel yang juga menjadi judul karya Kamran
Pasha ini, dan tokoh-tokoh penting lain yang menjadi saksi sejarah
perjuangan Rasulullah beserta para sahabatnya.
Dalam novel ini sangat terasa Kamran Pasha memang jagoan berkisah
secara puitis sekaligus mengharukan. Gaya bertuturnya yang indah bagai
magnet yang langsung membetot perasaan pembaca sejak kalimat-kalimat
pertama. Gaya bertutur yang indah tanpa kehilangan kekuatan citraan dan
daya pencerahannya, serta pandangan kritisnya terhadap realitas umat Islam.
Dan, itu sangat terasa pada novel Humaira ini. Siapa pun akan terpesona
pada keindahan gaya bertutur Kamran Pasha seperti terasa pada kutipan
berikut ini:
“Aku tidak mengeluh karena ada saatnya aku berharap mati bertahun-
tahun lalu, atau bahkan tak pernah dilahirkan. Aku memandangi pepohonan
yang hidup mereka terdiri hanya dari mimpi akan matahari dan kenangan
akan hujan. Aku cemburu pada mereka. Ada kalanya aku berharap aku salah
satu bebatuan yang berjejer di bukit-bukit di luar Madinah yang diabaikan
dan dilupakan oleh orang-orang yang menginjak-injak mereka.” (Humaira,
Kamran Pasha, halaman 9).
2
Kisah yang diangkat ke dalam novel ini terjadi pada empat belas abad
silam, di tengah gurun pasir Arabia, ketika risalah pencerahan Nabi
Muhammad SAW telah menyapu seluruh Jazirah Arab dan menyatukan
suku-suku yang semula bertikai. Istri kesayangan Rasulullah, yakni Aisyah
binti Abu Bakar, yang berjuluk Humaira, melalui novel ini seakan
mengisahkan kesaksiannya atas perubahan Muhammad dari seorang nabi
menjadi salah satu negarawan yang paling berpengaruh di dunia.
Dengan pusat pengisahan (point of view) orang pertama (Aku), sebagai
saksi dan penutur peristiwa, Kamran Pasha begitu berhasil memasuki
relung-relung hati dan pikiran, sekaligus kesaksian, Siti Aisyah, dan
menuturkan fase terbesar perjuangan Rasulullah beserta romantika
kehidupan cintanya, dengan sangat memukau. "Novel historis paling indah
dan cemerlang yang pernah saya baca dalam beberapa tahun terakhir. Karya
Pasha ini menghidupkan masa sejarah awal Islam dan menyingkap kisah
hidup salah satu perempuan paling memukau dalam sejarah dunia. Anda
akan jatuh cinta pada buku ini,” komentar Reza Aslan, penulis No god but
God , tentang novel Humaira ini.
Dengan lihai dan tanpa terasa janggal, penutur kesaksian berpindah-
pindah ke tokoh-tokoh lain, dengan tetap menggunakan pusat pengisahan
orang pertama tunggal (Aku). Sehingga, sosok Siti Aisyah (Humaira)
sebagai tokoh utama tidak hanya muncul dari kesaksiannya sendiri, tapi juga
dari kesaksian tokoh lain, seperti kesaksian Abdullah bin Zubair (hlm 599-
606). Sementara, kesaksian tentang sosok Rasulullah beserta kemuliaan-
kemuliaannya, lebih banyak dituturkan oleh Siti Aisyah. Begitu juga sosok
dan karakter para sahabat sejak sebelum masuk Islam. Dalam Bagian Kedua
yang bertajuk Lahirnya Sebuah Kota (hlm 150-167), misalnya dituturkan
3
bagaimana Rasulullah, dengan penuh kasih sayang, memperhatikan Siti
Aisyah dan kawan-kawannya sedang bermain kuda-kudaan.
Sedangkan kesaksian-kesaksian terhadap peristiwa-peristiwa besar
sering juga dituturkan oleh pengarangnya berdasar rujukan dan hasil
penelitiannya. Dan, pada tahap ini, sang pengarang kerap menggunakan
pusat pengisahan orang pertama jamak (Kami) sebagai saksi dan penutur
peristiwa sejarah (hlm 267-384), dan kadang berseling atau berganti Aku.
Maka, novel ini menjadi mata rantai kesaksian-kesaksian panjang
tentang kehidupan Siti Aisyah, bersama Rasulullah, para sahabat, juga
musuh-musuhnya, dan berbagai peristiwa penting yang melibatkan mereka
pada zamannya, yang dituturkan secara memukau. Detik-detik terakhir
kehidupan Rasulullah yang sangat mengharukan pun dikisahkan dalam
novel ini, yakni detik-detik wafatnya sang Nabi dalam pelukan Humaira, tak
lama setelah momen puncak kemenangannya. Sebagai seorang janda muda
yang dihormati, Aisyah pun menemukan dirinya berada di pusat imperium
muslim yang baru terbentuk dan kemudian beralih peran sebagai seorang
guru bangsa, pemimpin politik, dan bahkan panglima perang.
Materi yang diangkat ke novel ini memang sudah luar biasa. Sebuah
awal kelahiran peradaban baru, sekaligus penegakan iman dan Tauhid, yang
disertai perjuangan yang penuh intrik dan kekerasan. Penuh konfliksekaligus
keteladanan, penuh kekejaman sekaligus cinta dan kasih sayang, penuh
kepencundangan sekaligus kepahlawanan, penuh pengkhianatan sekaligus
kesetiaan. Berikut ini kutipan adegan mencekam, ketika Humaira berjalan di
tengah pertempuran antara pasukan Ali dan pasukan Muawiyah, dengan
tubuh tertutup haudah, di bawah hujan anak panah, melintasi hamparan
mayat-mayat korban perang yang berdarah-darah. Gambaran situasi
sepeninggal Rasulullah, ketika perjuangan menegakkan agama Allah telah
4
bergeser menjadi konflik politik dan perebutan kekuasaan antar umat Islam
sendiri.
“Ketika kegilaan menyebar, untaku melintasi samudra prajurit
berjumlah duapuluh ribu yang saling bantai secara brutal. Anak-anak panah
menyerang haudahku dari segala sisi, tapi lapisan ganda cincin-cincin besi
menyelamatkanku, meski haudah itu kini mulai tampak seperti kulit landak.
Aku berhasil melihat pertempuran melalui sebuah lubang kecil di tirai
haudah, tapi yang dapat kulihat adalah pemandangan darah dan kematian
yang mengabur serta bau busuk menyengat yang membuatku ingin muntah.”
Ditulis dalam prosa yang indah dan berdasarkan riset teliti, novel luar
biasa ini menjadi kisah yang sangat menyentuh. Meskipun begitu,
pengarangnya, Kamran Pasha, novel ini tetaplah fiksi – karena ia telah
mengangkat, mengemas, dan menempatkan kisah-kisah di dalamnya sebagai
fiksi. Peranan imajinasi Kamran Pasha, tentu, sangat besar, dalam
menuturkan kisah-kisah di dalamnya, dalam merekonstruksi adegan-adegan
luar biasa di seputar perjuangan Rasulullah, dengan sudut pandang seorang
novelis.
Karena itu, dengan berendah hati, Kamran Pasha tidak ingin
menempatkan novelnya ini sebagai rujukan utama sejarah, dan ia pun
menyebut sederet buku-buku lain yang harus pembaca jadikan sumber
sejarah Islam dan kehidupan Nabi Muhammad, seperti dikatakannya pada
catatan penutupnya. “Buku ini adalah karya fiksi. Kendati berdasarkan pada
peristiwa-peristiwa sejarah, buku ini bukanlah sejarah dari peristiwa-
peristiwa tersebut,” tegas Kamran Pasha pada catatan penutupnya itu.
Pamulang, 21 Oktober 2010