Post on 26-Dec-2015
description
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR OS NASAL PRE
REPOSISI
A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh raqsa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi.
Fraktur adalah teputusnya jaringan tulang/tulang rawan yang umumnya sdisebabkan
oleh ruda paksa.
Kesimpulan :
Fraktur os nasal adalah truma tulang rawan pada nasal yang disebabkan oleh ruda
paksa, missal : kecelakaan, benturan hebat yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan,
deformitas, dan lain-lain.
B. ETIOLOGI
Trauma
o Langsung (kecelakaan lalulintas)
o Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi
berdiri/duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang)
Patologis : Metastase dari tulang
Degenerasi
Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat
C. MANIFESTASI KLINIK
Nyeri
Deformitas
Krepitasi
Bengkak
Peningkatan temperatur lokal
Pergerakan abnormal
Ecchimosis
Kehilangan fungsi
Kemungkinan lain
D. PENATALAKSANAAN MEDIK
1. Penatalaksanaan Awal
Pertolongan pertama ( emergency )
Resusitasi
Penilaian klinis
2. Enam prinsip umum pengobatan fraktur
a) Jangan membuat keadaan lebih jelek komplikasi pengobatan
latrogenik mal praktek
b) Pengobatan berdasarkan diagnosis dan prognosis yang akurat
c) Seleksi pengobatan
Menghilangkan nyeri
Memperoleh posisi fragmen yang baik
Mengusahakan penyambungan tulang
Pengembalian fumgsi yang obtimal
d) Mengingat proses penyembuhan secara alami
e) Bersifat realistic dan praktek dalam memilih jenis pengobatan
f) Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individu
3. AR sebelum melakukan pengobatan definitive.
a) Recognition ; diagnosis dan penilaian fraktur
Lokasi fraktur
Bentuk fraktur
Tahnik sesuai fraktur
Komplikasi yang mungkin terjadi
b) Reduction ; perlu bila restorasi frakturuntuk mendapatkan posisi yang dapat
diterima.
c) Retention ; mobilisasi fraktur.
d) Rehabilitasi
PATHWAY
E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko tinggi terhadap jalan nafas tidak efektif b/d perlukaan intra nasal
Nyeri akut b/d trauma jaringan os nasal
Ansietas b/d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
kondisi patologis, osteoporosis, neoplasma
Absorbsi calcium
Rentan fraktur
Trauma FacialLangsung/tidak langsung
Fraktur nasal
Deprasi saraf nyeri
Port de entre kuman
reposisi
Deficit pengetahuan
cemas
fiksasi
Pemasangan tampon pada
hidung
nyeri
Nafsu makan
Gangguan pemenuhan
nutrisi : kurang dari kebutuhan
Pola nafas tidak efektif Perubahan persepsi sensori ;
penciuman
perdarahan
Bersihan jalan nafas inefektif
Resti infeksi
Gangguan rasa
nyaman : nyeri
F. INTERVENSI
Resiko tinggi terhadap jalan nafas tidak efektif b/d perlukaan intra nasal
Tujuan :
Setelah dilakukan tindkan keperawatan selama 2 X 24 jam, potensi jalan nafas dapat
dipertahankan, dengan kriteria hasil :
Pola pernapasan normal
Bunyi napas jelas dan tidak bising
Aspirasi dapat dicegah
Intervensi :
Observasi frekwensi/irama pernapasan ; pernapasan cuping hidung, pernapasan
mengorok/stridor, dan serak.
Rasional : Dapat mengindikasikan terjadinya gagal pernapasan
Awasi tanda vital dan perubahan mental
Rasional : Takikardia/peningkatan gelisah dapat mengindikasikan terjadinya
hipoksia/pengaruh terhadap pernapasan.
Auskultasi bunyi napas
Rasional : Adanya mengi / ronchi menunjukkan secret tertahan.
Perubaha posisi secara periodik dan dorong pernapasan dalam
Rasional : Meningkatkan ventilasi ke semua segman paru dan mobilisasi sekret, menurunkan
resiko atelektasis dan peneumonia.
Dorong pemasukan cairan sedikitnya 2-3 liter perhari, hindari minuman karbonat.
Rasional : Pengenceran sekret mulut/pernapasan untuk meningkatkan pengeluaran.
Minuman karbonat ”busa” pada area orofaringdan mungkin untuk klien
menahannya, sehingga mempengaruhi jalan napas.
Nyeri akut b/d trauma jaringan os nasal
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam klien mampu mengontrol nyeri,
dengan kriteria hasil :
Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
Mengikuti program pengobatan yang diberikan
Menunjukan penggunaan tehnik relaksasi
Intervansi :
Kaji tipe atau lukasi nyeri. Perhatikan intensitas pada skala 0-10. Perhatikan respon
terhadap obat.
Rasional : Menguatkan indikasi ketidaknyamanan, terjadinya komplikasi dan evaluasi
keevektivan intervensi.
Dorong penggunaan tehnik menejemen stres, contoh napas dalan dan visualisasi.
Rasional : Meningkatkan relaksasi, memvokuskan kembali perhatian, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping, menghilangkan nyeri.
Kolaborasi pemberian obat analgesik
Rasional : mungkin dibutuhkan untuk penghilangan nyeri/ketidaknyamanan.
Ansietas b/d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam, klien memiliki rentang respon
adaptif, dengan kriteria hasil :
Tampak relaks dan melaporkan ansietas menurun sampai dapat ditangani.
Mengakui dan mendiskusikan rasa takut.
Menunjukkan rentang perasaan yang tepat.
Intervensi :
Dorong ekspresi ketakutan/marah
Rasional : Mendefinisikan masalah dan pengaruh pilihan intervensi.
Akui kenyataan atau normalitas perasaan, termasuk marah
Rasional : Memberikan dukungan emosi yang dapat membantu klien melalui penilaian awal
juga selama pemulihan
Berikan informasi akurat tentang perkembangan kesehatan.
Rasional : Memberikan informasi yang jujur tentang apa yang diharapkan membantu
klien/orang terdekat menerima situasi lebih evektif.
Dorong penggunaan menejemen stres, contoh : napas dalam, bimbingan imajinasi,
visualisasi.
Rasional : membantu memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi, dan
meningkatkan penigkatan kemampuan koping.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenitto, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Alih bahasa :
Monica Ester, Edisi 8. EGC : Jakarta.
Doengoes, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
perencanaan Keperawatan dan masalah kolaboratif. Alih Bahasa : I Made Kanosa,
Edisi III. EGC Jakarta.
Hinchliff, Sue. (1996). Kamus Keperawatan. Edisi; 17. EGC : Jakarta
Sudart dan Burnner, (1996). Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8. Vol 3. EGC : Jakarta.
fraktur nasal BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Memang di negara ini, kasus kecelakaan lalu-lintas sangat tinggi. Kecelakaan lalu-lintas
merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia, setelah penyakit jantung dan stroke. Menurut
data kepolisian Republik Indonesia Tahun 2003, jumlah kecelakaan di jalan mencapai 13.399
kejadian, dengan kematian mencapai 9.865 orang, 6.142 orang mengalami luka berat, dan 8.694
mengalami luka ringan. Dengan data itu, rata-rata setiap hari, terjadi 40 kecelakaan lalu lintas
yang menyebabkan 30 orang meninggal dunia. Adapun di Sulawesi Selatan, jumlah kecelakaan
juga cenderung meningkat di mana pada tahun 2001 jumlah korban mencapai 1717 orang, tahun
2002 sebanyak 2.277 orang, 2003 sebanyak 2.672 orang, tahun 2004 jumlah ini meningkat
menjadi 3.977 orang, tahun 2005 dari Januari sampai September jumlah korban mencapai 3.620
orang dengan korban meninggal 903 orang.
Trauma yang terjadi kecelakaan lalu-lintas memiliki banyak bentuk, tergantung dari organ
apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim, disebut sebagai trauma benda tumpul. Ada
tiga trauma yang paling sering terjadi dalam peristiwa ini, yaitu trauma kepala, fraktur (patah
tulang), dan trauma dada.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh tekanan dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang
dikenai stress yang lebih besar daripada yang diabsorpsinya. Fraktur nasal adalah jenis trauma
wajah yang paling sering terjadi. Posisinya yang berada di tengah dan proyeksi anterior pada
wajah menjadi faktor predisposisi terjadinya trauma. Fraktur nasal disebabkan oleh trauma
dengan kecepatan rendah. Fraktur nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi bisa
menyebabkan fraktur wajah.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
1.2.2 Tujuan khusus
1.2.2.1
1.2.2.2
1.2.2.3
1.3 Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan
penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur yang
ada, baik di perpustakaan maupun di internet.
1.4 Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Teoritis
BAB III : Penutup
Berisikan kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontunuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk dan bahkan kontraksi otot
eksterm. (Keperawatan Medikal Bedah vol. 3, Brunner dan suddarth ,2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh ruda
paksa (Mansjoer et al, 2000).
Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah. Sedangkan jika disebabkan
oleh trauma kecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur wajah biasanya Le Fort tipe
1 dan 2. Selain itu, injury nasal juga berhubungan dengan cedera leher atau kepala.
Fraktur nasal adalah fraktur pada os nasal akibat adanya ruda paksa.
2.2 Anatomi Fisiologi Hidung
Hidung terdiri atas bagian internal dan eksternal. Bagian ekstrnal menonjol dari wajah dan
disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Nares anterior (lubang hidung) merupakan ostium
sebelah luar dari rngga hidung.
Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga hidung
kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum. Masing-masing rongga
hidung dibagi menjadi tiga saluran oleh penonjolan turbinasi (juga disebut konka) dari dinding
lateral. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung
vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir disekresi secara terus menerus oleh sel-sel goblet
yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan
silia.
Udara yang melewati kavitas nasalis dihangatkan dan dilembapkan, sehingga udara yang
mencapai paru akan hangat dan lembap. Bakteri dan partikel dari polusi udara terperangkap oleh
mukus; silia secara berkesinambungan mendorong mukus menuju faring. Kebanyakan mukus ini
akan ditelan, dan bakteri yang ada akan dihancurkan oleh asam HCl dalam getah lambung.
Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru. Hidung
bertanggung jawab terhadap olfaktori (penghidu) karena reseptor olfaksi terletak dalam mukosa
hidung. Fungsi ini berkurang sejalan dengan pertambahan usia.
Sinus paranasalis adalah rongga udara yang terdapat dalam os maksilaris, frontalis,
sfenoidalis, dan etmoidalis. Sinus ini dilapisi oleh epitel bersilia, dan mukus yang diproduksi
akan dialirkan menuju kavitas nasalis. Funsi sinus paranasalis adalah meringankan tengkorak
dan menciptakan resonansi untuk suara.
2.3 Jenis – jenis Fraktur Hidung
2.3.1 Fraktur hidung sederhana
Jika fraktur dari tulang hidung, dapat dilakukan perbaikan dari fraktur tersebut dengan anastesi
local.
2.3.2 Fraktur Tulang Hidung Terbuka
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung dan disertai
laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung.
2.3.3 Fraktur Tulang Nasoetmoid
Fraktur ini merupakan fraktur hebat pada tulang hidung, prosesus frontal pars maksila dan
prosesus nasal pars frontal. Fraktur tulang nasoetmoid dapat menyebabkan komplikasi
2.4 Etiologi
Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:
2.4.1 Mendapat serangan misal dipukul,atau terjatuh
2.4.2 Injury karena olah raga
2.4.3 Kecelakaan (personal accident)
2.4.4 Kecelakaan lalu lintas
2.5 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan.
Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut
dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan
arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur
seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan
tulang.
2.6 Manifestasi Klinis
2.6.1 Depresi atau pergeseran tulang-tulang hidung
2.6.2 Pada perabaan dirasakan nyeri
2.6.3 Pembengkakan jaringan lunak yang berdekatan dengan hidung
2.6.4 Epistaksis
2.6.5 Krepitasi
2.7 Komplikasi
2.7.1 Deviasi hidung
Deviasi dapat terjadi pada septum nasal, tulang nasal atau keduanya.
2.7.2 Bleeding
2.7.3 Saddling
2.7.4 Kebocoran cairan serebrospinal
2.7.5 Komplikasi orbital
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Oedem, hematoma, laserasi, robek atau perdarahan ( epistaksis )
2.8.2 Deformitas : cekungan atau hidung bengkok
2.8.3 Fraktur tulang (+) krepitasi ( baru )
2.8.4 Setelah 2 – 3 hari terjadi edema
2.8.5 Pemeriksaan tambahan
a. Dari pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan deformitas pada hidung, deviasi septum nasi
dan nyeri tekan hidung.
b. Dari pemeriksaan water positions, pada foto cranium anteroposterior, foto nasale lateral,
didapatkan kesan fraktur os nasal dengan aposisi et alignment baik dan tidak tampak
pembesaran chonca nasalis bilateral.
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Tujuan Penanganan Fraktur Hidung
a. Mengembalikan penampilan secara memuaskan
b. Mengembalikan patensi jalan nafas hidung
c. Menempatkan kembali septum pada garis tengah
d. Menjaga keutuhan rongga hidung
e. Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi septum, retraksi kolumela, perubahan bentuk
punggung hidung
f. Mencegah gangguan pertumbuhan hidung
2.9.2 Penatalaksanaan Medis
a. Deviasi
Tindakan yang dilakukan pada deviasi septum biasanya dengan septoplasty. Selain itu seiring
dengan perkembangan bedah plastic untuk komestika, maka dapat dilakukan rhinoplasty.
Rhinoplasty adalah operasi plastic pada hidung. Ada 2 macam :
Augmentasi rhinoplasty
Penambahan pada hidung. Yang harus diperhatikan tidak boleh menambahkan injeksi silicon.
Yang boleh digunakan adalah bahan dari luar, misalnya silicon padat maupun bahan dari dalam
tubuh sendiri misal tulang rawan, flap kulit/dermatograft.
Reduksi rhinoplasty : pengurangan pada hidung.
b. Bleeding
Terjadi bleeding karena lacerasi mucosal sebaiknya dihentikan 24 jam dengan nasal packing
atau jika persisten dan banyak dilakukan dengan membuka arteri sphenopalatine atau arteri
ethmoidal anterior. Tempat terjadinya bleeding seharusnya diidentifikasi dan jika dari
sphenopalatine maka eksplorasi septal dikeluarkan dan ketika arteri dibebaskan dari segmen
fraktur biasanya dihentikan dengan packing (balutan). Jika arteri ethmoidal masih terjadi
bleeding setelah fraktur ethmoidal maka dilakukan ‘clip’ dengan ethmoid eksternal yang sesuai.
c. Saddling
Biasanya terjadi pada fraktur kelas 3 dan hasilnya adalah kegagalan untuk mengekstrak tulang
nasal dari bawah tulang frontal atau terjadi malunion tulang nasal yang disebabkan fraktur
laybirith ethmoidal.
d. Kebocoran cairan serebrospinal
Ini jarang terjadi. Ini hanya akan terjadi jika fragmen tulang menginsersi ke dalam area dural
tear (air mata) maka akan terjadi kebocoran. Tindakan yang dilakukan dengan craniotomy
frontal. Perlu diperhatikan juga bahwa kebocoran bisa terjadi karena komplikasi dari meningitis
sehingga perlu diobservasi kondisi pasien post trauma dan periode discharge. Penanganan
dengan antibiotic prophylactic perlu dilakukan.
e. Komplikasi orbital
Tindakan dacryocystorrhinostomy dilakukan untuk mengatasi masalah.
Anamnesis + pemeriksaan fisik Pasca trauma Deformitas Epitaksis Tensi normal/turun TRAUMA TERTUTUP Tidak ada edema reposisi segera Edema reposisi setelah edema hilang TINDAKAN SEGERA
Bebaskan jalan napasTRAUMA HIDUNG Hentikan perdarahan
Infuse bila perlu
TRAUMA TERBUKA Pemeriksaan penunjang eksplorasi dan reposisi
Foto rontgen tulang hidung CT scan bila perlu
2.9.3 Reposisi fraktur nasal
Reposisi fraktur nasal adalah tindakan melakukan pengembalian dari fragmen tulang nasal yang
mengalami patah tulang kembali ke kedudukan semula.
Indikasi operasi : deformitas
Kontra indikasi operasi : Tidak ada kontra indikasi operasi fraktur nasal
Diagnosis banding : Fraktur naso etmoidalis kompleks
Fraktur maksila
Pemeriksaan penunjang : foto nasal, untuk menyingkirkan diagnosis banding dengan
foto waters
Menjelang operasi :
a. Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi yang akan dijalani
serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan persetujuan dan permohonan dari penderita
untuk dilakukan operasi (Informed consent).
b. Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi. Instrumen yang digunakan
untuk reduksi tertutup adalah elevator Boies atau Ballenger, forcep Asch dan Walsham.
c. Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi .
d. Antibiotika profilaksis, Cefazolin atau kombinasi Clindamycin dan Garamycin, dosis
menyesuaikan untuk profilaksis.
2.9.3.1 Tekhnik operasi
a. Reduksi tertutup
Pembiusan dengan anestesi umum. Posisi pasien terlentang, dikerjakan di kamar operasi dengan
anestesi general atau lokal. Disinfeksi lapangan operasi dengan larutan hibitan-alkohol 70%
1:1000. Lapangan operasi dipersempit dengan linen steril.
b. Reduksi Terbuka
Penderita dalam anestesi umum dengan pipa orotrakheal, posisi telentang dengan kepala sedikit
ekstensi. Desinfeksi lapangan operasi dengan larutan Hibitane dalam alkohol 70% 1: 1000,
seluruh wajah terlihat. Persempit lapangan operasi dengan menggunakan kain steril
2.9.3.2 Komplikasi operasi
Komplikasi awal :
a. Hematoma
Hematom cukup serius dan membutuhkan drainase. Harus dicari adanya hematom septal pada
setiap kasus trauma septal karena kondisi ini menyebabkan timbulnya infeksi sehingga kartilago
septal hilang dan akhirnya terbentuk deformitas pelana. Hematom septal harus dicurigai jika
didapati nyeri dan pembengkakan yang menetap; komplikasi ini perlu diperhatikan pada anak-
anak. Splint silastic dapat digunakan untuk mencegah reakumulasi darah pada tempat hematom.
b. Epitaksis
Epistaksis biasanya sembuh spontan tapi jika kambuh kembali perlu dikauter, tampon nasal atau
ligasi pembuluh darah. Perdarahan anterior karena laserasi arteri etmoid anterior, cabang dari
arteri optalmikus (sistem karotis interna). Perdarahan dari posterior dari arteri etmoid posterior
atau dari arteri sfenopalatina cabang nasal lateral, dan mungkin perlu ligasi arteri maksila interna
untuk menghentikannya. Jika menggunakan tampon nasal, tidak perlu terlalu banyak, karena
dapat mempengaruhi suplai darah pada septum yang mengalami trauma sehingga menyebabkan
nekrosis.
c. Infeksi
Infeksi tidak umum terjadi, tapi antibiotik profilaksis penting untuk pasien yang mempunyai
penyakit kelemahan kronis, immuno-compromised dan dengan hematom septal.
d. Kebocoran liquor
Kebocoran liquor jarang dan disebabkan fraktur ‘cribriform plate’ atau dinding posterior sinus
frontal. Kebocoran kulit cukup diobservasi selama 4 sampai 6 minggu dan biasanya terjadi
penutupan spontan. Konsultasi bedah saraf.
Komplikasi lanjut :
Komplikasi ini berupa obstruksi jalan nafas, fibrosis/kontraktur, deformitas sekunder, synechiae,
hidung pelana dan perforasi septal. Penatalaksanaan terbaik dari komplikasi ini adalah dengan
mencegah terjadinya komplikasi itu sendiri.
2.9.3.3 Perawatan Paska bedah
a. Infus Ringer Laktat / Dekstrose 5 % 1 : 4 dilanjutkan selama 1 hari
b. Antibitika profilaksis diteruskan setiap 8 jam , sampai 3 kali pemberian .
c. Analgetika diberikan kalau perlu
d. Penderita sadar betul boleh minum sedikit , sedikit
e. Bila 8 jam kemudian tidak apa apa boleh makan bubur ( lanjutkan 1 minggu )
f. Perhatikan posisi tidur , jangan sampai daerah operasi tertekan.
g. Rawat luka pada hari ke 2 – 3 , angkat jahitan hari ke-7.
2.10 Asuhan Keperawatan
2.10.1 Pengkajian
Hidung diperiksa ke dalam untuk menyingkirkan kemungkinan dimana cedera dapat
diperburuk oleh fraktur septum nasal dan adanya hematoma submukosa septal. Jika terjadi
hematoma dan tidak dialirkan, hematoma ini pada akhirnya akan menjadi abses yang
menghancurkan kartilago septum. Deformitas pelana hidung akan terjadi.
Segera setelah cedera biasanya terjadi perdarahan banyak dari hidung eksternal dan internal
ke dalam faring. Terdapat pembengkakan yang jelas pada jaringan lunak yang berdekatan
dengan hidung dan seringkali deformitas tertentu. Oleh karena pembengkakan dan perdarahan,
diagnosis yang akurat dapat ditegakkan hanya setelah pembengkakan menghilang.
Cairan jernih yang mengalir dari salah satu nostril menandakan fraktur lempeng kribrifomis
dengan kebocoran cairan serebrospinal. Karena cairan serebrospinal mengandung glukosa,
cairan ini dapat dengan mudah dibedakan dari mukus hidung dengan menggunakan dipstick.
Biasanya, inspeksi dan palpasi yang cermat akan menemukan setiap deviasi tulang atau
gangguan pada kartilago hidung dan membantu menyingkirkan perluasan fraktur ke dalam
tulang tengkorak.
2.10.2 Diagnosa Keperawatan
Pre operasi :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen fisik
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan deformitas tulang
Post operasi :
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah
2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
3. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan injury/trauma dan pembedahan.
2.10.3 Intervensi Keperawatan
Perawat menginstruksikan klien untuk memasang kantung es pada hidung selama 20 menit
sebanyak 4 kali sehari sampai pembengkakan menghilang. Pasien yang mengalami perdarahan
dari hidung (epitaksis) karena cedera untuk alasan yang tidak jelas biasanya ketakutan dan
gelisah. Penggunaan sumbatan untuk menghentikan perdarahan biasnya tidak nyaman; obstruksi
jalan napas nasal oleh penyumbat mendorong pasien untuk bernapas melalui mulut. Hal ini
menyebabkan membran mukosa mulut menjadi kering. Bilas mulut kan membantu
melembabkan membran mukosa dan untuk mengurangi bau serta rasa dari darah yang
mengering dalam orofaring dan nasofaring.
http://satriadwipriangga.blogspot.com/2011/11/fraktur-nasal.html