Post on 19-Jan-2016
description
MACAM-MACAM GAYA BELAJAR
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
yang Dibina oleh Dr. Endang Suarsini,M.Ked.
Oleh Kelompok 6 :
1. Yesi ( )
2. Ahmad Habibul Wahid (100341400718)
3. Asti Sevita (100341404375)
4. Efi Kurniasari (100341400701)
5. Irma Dwi Jayanti (100341400712)
6. Meisa Nisrina (100341400706)
The Learning University
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
April, 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan
sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena
itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia
yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara - negara
lain. Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu
pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal
maupun informal. Hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang
mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan
bangsa di berbagai bidang.
Setiap manusia sejak lahir pasti mengalami suatu perubahan.
Perubahan dapat terjadi akibat adanya proses belajar. Belajar merupakan
suatu proses perubahan dari tidak tahu menjadi tahu. Pada umumnya salah
satu tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar
dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya
sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia
mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Belajar terjadi
bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi
yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka.
Belajar dimulai dengan menempatkan kemampuan, pengetahuan,
ataupun keterampilan yang menjadi salah satu tujuan dalam proses
pembelajaran di puncak dari hirarki belajar tersebut, diikuti kemampuan,
ketrampilan, atau pengetahuan prasyarat (prerequisite) yang harus mereka
kuasai lebih dahulu agar mereka berhasil mempelajari ketrampilan atau
pengetahuan di atasnya itu. Dalam proses pembelajaran terdapat macam –
macam gaya belajar. Macam – macam gaya belajar dapat digolongkan
menjadi Somatis, Auditori, Visual dan Intelektual atau SAVI. Seorang
guru, sangat penting untuk mempelajari gaya – gaya belajar ini, untuk
memperlancar kegiatan belajar – mengajar. Oleh karena itu, perlu
mengangkat materi mengenai macam - macam gaya belajar dalam
makalah ini.
B. Rumusan Malasah
Berikut ini adalah rumusan masalah pada makalah ini:
1. Bagaimanakah karakteristik anak yang memiliki gaya belajar
Somatis?
2. Bagaimanakah karakteristik anak yang memiliki gaya belajar
Auditori?
3. Bagaimanakah karakteristik anak yang memiliki gaya belajar Visual?
4. Bagaimanakah karakteristik anak yang memiliki gaya belajar
Intelektual?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini sebagai berikut:
5. Untuk mengetahui karakteristik anak yang memiliki gaya belajar
Somatis.
6. Untuk mengetahui karakteristik anak yang memiliki gaya belajar
Auditori.
7. Untuk mengetahui karakteristik anak yang memiliki gaya belajar
Visual.
8. Untuk mengetahui karakteristik anak yang memiliki gaya belajar
Intelektual.
BAB II
KAJIAN TEORI
Gaya belajar seorang anak didik dikaitkan dengan persepsi dan indranya.
Cara melihat, mendengarkan, memperhatikan, menyimak, melakukan dan
meniru gerakan tubuh selama belajar berpengaruh terhadap peningkatan
kompetensi. Indra anak didik yang terlatih dengan baik akan mempercepat daya
tangkap dan mengaktifkan memori jangka panjang. Gaya belajar menurut Dave
Meier dalam bukunya The Accelerated Learning dikenal dengan sebutan
pendekatan SAVI. Pendekatan SAVI adalah salah satu pendekatan yang
mengintegrasikan unsur somatis, auditori, visual dan intelektual dalam
pembelajaran. Pendekatan SAVI ini dapat diterapkan dalam pembelajaran
faroidh (Anonim1, 2009)
Pendekatan SAVI
SAVI singkatan dari Somatis, Auditori, Visual dan Intektual. Teori
yang mendukung pendekatan SAVI adalah Accelerated Learning. Pendekatan
SAVI menganut aliran ilmu kognitif modern yang menyatakan belajar yang
paling baik adalah melibatkan emosi, seluruh tubuh, semua indera, dan
segenap kedalaman serta keluasan pribadi, menghormati gaya belajar individu
lain dengan menyadari bahwa orang belajar dengan cara-cara yang berbeda.
Mengkaitkan sesuatu dengan hakikat realitas yang nonlinear, nonmekanis,
kreatif dan hidup. Para pembelajar sukses, boleh jadi belajar dalam berbagai
cara yang berbeda tetapi satu hal yang sama-sama mereka miliki adalah
pendekatan aktif terhadap pembelajaran. Mereka tidak pernah duduk dengan
pasif mendengarkan atau membaca (Anonim1, 2009).
Menurut Meier (2002:91) pembelajaran dengan pendekatan SAVI
adalah pembelajaran yang menggabungkan gerakan fisik dengan Aktifitas
Intelektual dan penggunaan semua indera yang dapat berpengaruh besar pada
pembelajaran (Anonim1, 2009)
Sesuai dengan singkatan dari SAVI sendiri yaitu Somatis, Auditori, Visual
dan Intektual, maka karakteristiknya ada empat bagian yaitu:
1) Somatis
Somatis berasal dari bahasa Yunani yaitu somatis yang berarti tubuh –
soma (seperti dalam psikosomatis). Jika dikaitkan dengan belajar maka dapat
diartikan belajar dengan bergerak dan berbuat. Jadi, belajar somatis berarti
belajar dengan indra peraba, kinestetis, praktis-melibatkan fisik dan
menggunakan serta menggerakkan tubuh sewaktu belajar. Hal ini dapat diambil
kesimpulan bahwa pembelajaran somatis adalah pembelajaran yang
memanfaatkan dan melibatkan tubuh. Menurut Meier (2005:92) pembelajaran
somatis adalah pembelajaran yang memanfaatkan dan melibatkan tubuh (indera
peraba, kinestetik, melibatkan fisik dan menggerakkan tubuh sewaktu kegiatan
pembelajaran berlangsung). De Porter dkk. (2000: 85) juga menyatakan
bahwa belajar somatis mengakses segala jenis gerak dan emosi, diciptakan
maupun diingat (Munir, 2007)
Pada dasarnya komponen somatis ini memberikan kebebasan anak didik
untuk bergerak saat menerima pelajaran, merangsang pikiran dan tubuh di dalam
kelas dalam menciptakan suasana belajar anak didik aktif secara fisik. anak
didik dapat menciptakan gambar atau menjalankan pelatihan belajar aktif,
misalnya dengan simulasi, permainan belajar dan yang lainnya (Meier,2005:95)
(Munir, 2007).
Menurut De Porter dkk. (2000: 85), anak didik yang belajar secara
somatis sering:
a. Banyak bergerak.
b. Belajar dengan melakukan, menunjuk tulisan saat membaca, menanggapi
secara fisik.
c. Mengingat sambil berjalan.
Adapun aktivitas yang sesuai dengan gaya belajar somatis dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Membuat model dalam suatu proses atau prosedur
2. Membuat suatu kegiatan untuk membuktikan atau mengkostruksi rumus
3. Memperagakan suatu proses atau seperangkat konsep
4. Memperagakan alat bantu saat mengajar untuk menimbulkan rasa ingin
tahu pada anak didik.
5. Menjalankan pelatihan belajar aktif (Anonim1, 2009).
“Somatic is learning by moving and doing”. Model belajar somatis,
biasanya anak lebih suka bergerak, berpindah dari satu tempat ke tempat lain,
dan praktik (doing) secara langsung. Strategi pembelajaran yang baik bagi anak
somatis adalah demonstrasi, role-playing, games, atau strategi-strategi
pembelajaran yang menekankan anak bekerja secara aktif dengan seluruh
tubuhnya. (Arifin: 2011)
Somatis di sini dinamakan dengan ’’Learning by moving doing’’ (Belajar
dengan belajar dan bergerak). Jadi cara belajar somatis adalah pola pembelajaran
yang menekankan pada aspek gerakan tubuh dalam belajar untuk merangsang
pikiran tubuh, ciptakanlah suasana belajar yang membuat orang bangkit dari
tempat duduk dan aktif secara fisik dari waktu ke waktu. Tidak semua
pembelajaran memerlukan aktifitas belajar fisik, tetapi dengan berganti-ganti
menjalankan aktivitas belajar aktif dan pasif secara fisik, akan membantu
pembelajaran pada setiap peserta didik. Jadi antara tubuh dan otak (pikiran)
adalah satu dan harus saling menggiring, karena tersebar diseluruh tubuh dan
terbukti tubuh tidak akan bergerak jika pikiran tidak beranjak (Arifin: 2011).
2) Auditori
Belajar Auditorial adalah sebuah gaya belajar seseorang yang lebih efektif
dengan cara mendengarkan informasi yang disampaikan secara lisan. Seperti
dalam pidato, ceramah maupun pembicaraan lain. Pelajar Auditorial sering
menggunakan kata-kata atau ujaran seperti “kedengarannya bagus” atau “ding
dong” ketika menemukan sebuah penyelesaian. Mereka (pelajar Auditorial) akan
lebih fokus pada apa yang ia dengar atau apa yang orang bicarakan (Anonim,
2008).
3) Visual
Gaya Belajar Visual (Visual Learners) menitikberatkan pada ketajaman
penglihatan. Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu
agar mereka paham gaya belajar seperti ini mengandalkan penglihatan atau
melihat dulu buktinya untuk kemudian bisa mempercayainya.
Ada beberapa karakteristik yang khas bagi orang-orang yang menyukai
gaya belajar visual ini. Pertama adalah kebutuhan melihat sesuatu
(informasi/pelajaran) secara visual untuk mengetahuinya atau
memahaminya, kedua memiliki kepekaan yang kuat terhadap
warna, ketiga memiliki pemahaman yang cukup terhadap masalah
artistik, keempat memiliki kesulitan dalam berdialog secara
langsung,kelima terlalu reaktif terhadap suara, keenam sulit mengikuti anjuran
secara lisan, ketujuh seringkali salah menginterpretasikan kata atau ucapan.
1. Ciri-ciri gaya belajar visual ini yaitu :
2. Cenderung melihat sikap, gerakan, dan bibir guru yang sedang mengajar
3. Bukan pendengar yang baik saat berkomunikasi
4. Saat mendapat petunjuk untuk melakukan sesuatu, biasanya akan melihat
teman-teman lainnya baru kemudian dia sendiri yang bertindak
5. Tak suka bicara didepan kelompok dan tak suka pula mendengarkan
orang lain. Terlihat pasif dalam kegiatan diskusi.
6. Kurang mampu mengingat informasi yang diberikan secara lisan
7. Lebih suka peragaan daripada penjelasan lisan
8. Dapat duduk tenang ditengah situasi yang rebut dan ramai tanpa
terganggu
4) Intelektual
Intelektual adalah pencipta makna dalam pikiran, sarana yang digunakan
manusia untuk berfikir, menyatukan pengalaman, menciptakan hubungan,
makna, rencana dan nilai-nilai dari hubungan tersebut. Intelektual adalah bagian
diri yang merenung, mencipta, memecahkan masalah dan membangun makna.
Intelektual adalah pencipta makna dalam pikiran, sarana yang digunakan
manusia untuk berfikir, menyatukan pengalaman, menciptakan jaringan syaraf
baru dan belajar. Intelektual menghubungan pengalaman mental, fisik,
emosional, dan intuitif tubuh untuk membuat makna baru bagi dirinya sendiri
(Roebyarto, 2008).
Gaya belajar intelektual bercirikan sebagai pemikir. Pembelajar
menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan
menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut.
“Intelektual” adalah bagian diri yang merenung, mencipta, memecahkan
masalah, dan membangun makna. Itulah sarana yang digunakan pikiran untuk
mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman,
dan pemahaman menjadi kearifan. Aspek intelektual dalam belajar akan terlatih
jika kita mengajak pembelajaran tersebut dalam aktivitas seperti:
1. Memecahkan masalah
2. Menganalisis pengalaman
3. Mengerjakan perencanaan strategis
4. Memilih gagasan kreatif
5. Mencari dan menyaring informasi
6. Merumuskan pertanyaan
7. Menerapkan gagasan baru pada pekerjaan
8. Menciptakan makna pribadi
9. Meramalkan implikasi suatu gagasan (Roebyarto, 2008)
BAB III
PEMBAHASAN
Pembelajaran dengan pendekatan SAVI adalah pembelajaran yang
menekankan bahwa belajar harus memanfaatkan semua alat indra yang dimiliki
anak didik. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan oleh guru dalam
pembelajaran di kelas adalah dengan menggunakan pendekatan SAVI (Somatic,
Auditory, Visualization, Intelectualy). Somatic adalah gerakan tubuh, yang
berarti bahwa belajar harus dengan mengalami dan melakukan. Auditory adalah
pendengaran, yang berarti bahwa indra telinga digunakan dalam proses
pembelajaran dengan cara mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi,
argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menaggapi. Visualization adalah
penglihatan, yang berarti bahwa belajar harus menggunakan mata melalui
mengamatai, menggambar, melukis, mendemonstrasikan media
pembelajaran dan alat peraga. Intelektual adalah berpikir, yang berarti bahwa
kemampuan berpikir harus dilatih melalui bernalar, mencipta, memecahkan
masalah, mengkontruksi, dan menerapkan. (Herdian, 2009).
Perbedaan anak didik dalam menerima informasi terbaik mempunyai cara
yang berbeda. Mereka juga memiliki proses dan menggunakan informasi terbaik
dengan cara yang berbeda pula. Cara memproses dan menggunakan disebut
beberapa kecerdasan atau bakat. Cara menerima informasi disebut gaya belajar.
Beberapa gaya yang berbeda ini merupakanperbedaan anak didik bagaimana
menerima informasi terbaik dengan cara yang berbeda. Hal ini dapat
mengakibatkan masalah serius di sekolah dan belajar rumah. Jika anak didik
menerima informasi terbaik visual sedangkan guru atau orang tua memberikan
sebagian besar informasi secara lisan, anak didik adalah pada kerugian besar.
Anak didik dapat menjadi korban tidak efektif pengajaran-pengajaran yang
hanya bergantung pada salah satu cara untuk menyajikan informasi. Berikut
adalah daftar sederhana empat besar gaya belajar:
1. Somatis
Beberapa anak didik, biasanya setidaknya 35%, belajar paling
efektif saat bergerak (kinestetik) atau hal-hal penanganan (sentuhan).
Tindakan dan keterlibatan tubuh ini membantu mereka untuk memahami
suatu materi. Belajar somatis dapat disebut sebagai balajar dengan
menggunakan indra peraba, kinestetis, praktis, dan melibatkan fisik serta
menggunakan dan menggerakkan tubuh sewaktu belajar. Dalam
pelaksanaan kegiatan belajar pada saat ini otak merupakan organ tubuh
yang paling dominan. Pembelajaran yang dilakukan seperti merupakan
kegiatan yang sangat keliru. Anak-anak yang bersifat somatis tidak akan
mampu untuk duduk tenang.
Mereka harus menggerakkan tubuh mereka untuk membuat otak dan
pikiran mereka tetap hidup. Anak-anak seperti ini disebut sebagai
“Hiperaktif“. Pada sejumlah anak, sifat hiperaktif itu normal dan sehat.
Namun yang dijumpai pada anak-anak hiperaktif adalah penderitaan,
dimana sekolah mereka tidak mampu dan tidak tahu cara memperlakukan
mereka. Aktivitas anak-anak yang hiperaktif cenderung dianggap
mengganggu, tidak mampu belajar dan mengancam ketertiban proses
pembelajaran. Dalam satu penelitian disebutkan bahwa “jika tubuhmu
tidak bergerak, maka otakmu tidak beranjak“. Jadi menghalangi gaya
belajar anak somatis dengan menggunakan tubuh sama halnya dengan
menghalangi fungsi pikiran sepenuhnya. Mungkin dalam beberapa kasus,
sistem pendidikan dapat membuat cacat belajar anak, dan bukan
menggangu jalannya pembelajaran.
Istilah somatis sama artinya dengan kinestetik. “belajar somatis
berarti belajar dengan indera peraba, kinestetik, praktis melibatkan fisik
dan menggunakan serta menggerakkan tubuh sewaktu belajar”. Dalam
lingkup belajar somatis tidak menghendaki anak didik hanya duduk di
kursi sambil menuggu sajian materi dari guru melainkan dengan belajar
somatis anak didik terlibat sepenuhnya dalam pembelajaran. Belajar
somatis ini sesuai untuk anak didik yang memiliki gaya belajar kinestetik.
DePorter mengemukakan bahwa pelajar kinestetik suka belajar
melalui gerakan dan sentuhan. Oleh karena itu, seorang guru dituntut
untuk menerapkan pembelajaran kinestetik yaitu dengan cara mengajak
anak didik bergerak aktif ketika belajar sehingga suasana kelas menjadi
lebih hidup dan menyenangkan. DePorter mengemukakan hal-hal yang
perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran kinestetik antara lain :
1) Menggunakan alat bantu saat mengajar untuk menimbulkan rasa
ingin tahu dan menekankan konsep-konsep kunci
2) Menciptakan simulasi konsp agar anak didik mengalaminya
3) Jika bekerja dengan anak didik perseorangan, maka perlu diberikan
bimbingan paralel dengan duduk di sebelah mereka
4) Mencoba berbicara dengan setiap anak didik secara pribadi setiap
hari sekalipun hanya salam kepada anak didik saat meeka masuk
atau saat mereka ke luar kelas
5) Memperagakan konsep sambil memberikan kesempatan anak didik
untuk mempelajari langkah demi langkah
6) Menceritakan pengalaman pribadi mengenai wawasan belajar anda
kepada anak didik, dan dorong mereka untuk melakukan hal yang
sama.
Selain itu, Meier menegaskan bahwa orang dapat bergerak ketika
mereka:
1) membuat model dalam suatu proses atau prosedur
2) secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses
atau sistem
3) memeragakan suatu proses, system atau seperangkat konsep
4) mendapatkan pengalaman baru lalu membicarakannya dan
merefleksikannya
5) melengkapi suau proyek yang memerluka kegiatan fisik.
6) menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar dan
lain-lain)
7) melakukan tinjauan lapangan dan membicarakan tentang apa yang
dipelajari
8) mewancarai orang-orang di luar kelas
9) dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh
kelas.
Berdasarkan uraian di atas, inti belajar somatis adalah belajar yang
membuat anak didik melakukan aktivitas fisik dalam pembelajaran.
Makin banyak anak didik melakukan aktivitas dalam proses pembelajaran,
maka makin dalam anak didik menguasai materi tersebut. Banyak hal
yang dapat dilakukan untuk membuat anak didik aktif dalam
pembelajaran. Misalnya, dengan membimbing anak didik untuk
melakukan simulasi, bermain peran, permainan belajar dan lain-lain
sehingga suasana kelas menjadi hidup dan menyenangkan.
Dalam suatu pembelajaran misalnya Matematika, guru harus bisa
membimbing anak didik untuk mengaktifkan kegiatan fisik. Misalnya
anak didik membuat suatu model bangun ruang. anak didik bisa mencari
atau membuat sendiri modelbangun ruang yang diperintahkan oleh guru.
Misalnya anak didik membuat bangun ruang dari kertas karton atau
menggunakan benda yang ada di sekitarnya yang bentuknya seperti
bangun ruang yang diinginkan. Hal ini bertujuan agar anak didik tidak
hanya menerima penjelasan dari guru tentang bangun ruang. Setelah
membuat model bangun ruang tersebut anak didik diarahkan untuk
mengidentifikasi bangun ruang tersebut, kemudian anak didik bisa
menunjukkan model bangun ruang tersebut kepada guru atau teman-
temannya. Dalam proses identifikasi inilah anak didik akan
berupaya menemukan suatu hal yang baru yang belum pernah dialaminya.
Guru harus memberikan ruang kepada anak didik untuk mengeksplorasi
pengetahuan mereka sendiri dalam menemukan sesuatu yang baru.
2. Auditori
Siswa yang memiliki tipe belajar auditori mengandalkan kesuksesan
belajarnya melalui telinga (alat pendengarannya), untuk itu maka guru
sebaiknya harus memperhatikan siswanya hingga ke alat pendengarannya.
Anak yang mempunyai gaya belajar auditori dapat belajar lebih cepat
dengan menggunakan diskusi verbal dan mendengarkan apa yang guru
katakan. Anak auditori dapat mencerna makna yang disampaikan melalui
tone suara, pitch (tinggi rendahnya), kecepatan berbicara dan hal-hal
auditori lainnya. Informasi tertulis terkadang mempunyai makna yang
minim bagi anak auditori mendengarkannya. Anak-anak seperi ini
biasanya dapat menghafal lebih cepat dengan membaca teks dengan keras
dan mendengarkan kaset (Syukur, 2004).
Pembelajar tipe ini suka belajar atau bekerja dengan suara dan
musik. Memiliki sensitifitas dalam nada dan ritme. Biasanya bisa
bernyanyi, memainkan alat musik, atau mengenali suara dari berbagai
instrumen. Musik tertentu memiliki pengaruh kuat ke emosinya (De
Porter, 2002).
Untuk pembelajar dengan gaya belajar auditori gunakan banyak
suara, irama dan musik. Bacakan materi menggunakan suara yang keras,
membuat sesi tanya jawab, berdiskusi, sambil mendengarkan musik
ataupun bekerja secara kelompok. Gunakan mnemonic (jembatan keledai)
dengan ritme menarik atau single lagu untuk menghafalkan sesuatu. Perlu
pemanfaatan konten yang menggunakan suara dalam asosiasi dan
visualisasi. Misalnya suara binatang ketika belajar mengenai biologi,
suara mesin ketika belajar kecepatan di fisika, dll (De Porter, 2002).
Relatif kecil jumlah anak didik, 19% atau lebih. Anak dengan gaya
belajar ini lebih suka mendengarkan atau mendiskusikan/berbicara sebagai
cara untuk menerima informasi. Sayangnya, ada ruang kelas di mana
sebagian besar informasi disajikan dengan kata yang diucapkan bahkan
meskipun itu tidak bentuk presentasi yang paling efektif untuk mayoritas
anak didik.
Menurut De Porter (2002), gaya belajar Auditori (Auditory Learners)
mengandalkan pada pendengaran untuk bisa memahami dan
mengingatnya. Karakteristik model belajar seperti ini benar-benar
menempatkan pendengaran sebagai alat utama menyerap informasi atau
pengetahuan. Artinya, kita harus mendengar, baru kemudian kita bisa
mengingat dan memahami informasi itu. Karakter pertama orang yang
memiliki gaya belajar ini adalah semua informasi hanya bisa diserap
melalui pendengaran, kedua memiliki kesulitan untuk menyerap informasi
dalam bentuk tulisan secara langsung, ketiga memiliki kesulitan menulis
ataupun membaca.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui gaya
belajar ini. Cara Pertama, adalah dengan menggunakan observasi secara
mendetail terhadap setiap siswa melalui penggunaan berbagai metode
belajar mengajar di kelas. Digunakan metode ceramah secara umum,
mencatat siswa-siswa yang mendengarkan dengan tekun hingga akhir.
kemudian memperhatikan siswa-siswa yang “kuat” bertahan berapa lama
dalam mendengar. Mengklasifikasikan mereka sementara dalam golongan
orang-orang yang bukan tipe pembelajar yang cenderung mendengarkan.
Dari sini bisa mengklasifikasikan secara sederhana tipe-tipe siswa dengan
model-model pembelajar auditori yang lebih menonjol.
Cara kedua, adalah dengan memberikan tugas kepada siswa untuk
melakukan pekerjaan yang membutuhkan proses penyatuan bagian-bagian
yang terpisah, misalnya menyatukan model rumah yang bagian-bagiannya
terpisahkan. Ada tiga pilihan cara yang bisa dilakukan dalam menyatukan
model rumah ini, pertama adalah melakukan praktek langsung dengan
mencoba menyatukan bagian-bagian rumah ini setelah melihat potongan-
potongan yang ada; kedua adalah dengan melihat gambar desain rumah
secara keseluruhan, baru mulai menyatukan; dan ketiga adalah petunjuk
tertulis langkah-langkah yang diperlukan untuk membangun rumah
tersebut dari awal hingga akhir.
Pembelajar visual akan cenderung memulai dengan melihat gambar
rumah secara utuh. Ia lebih cepat menyerap melalui gambar-gambar
tersebut sebelum menyatukan bagian-bagian rumah secara keseluruhan.
Pembelajar auditori cenderung membaca petunjuk tertulis mengenai
langkah-langkah yang diperlukan untuk membangun rumah, dan tidak
terlalu mempedulikan gambar yang ada. Sedangkan pembelajar kinestetik
akan langsung mempraktekkan dengan mencoba-coba menyatukan satu
bagian dengan bagian yang lain tanpa terlebih dahulu melihat gambar
ataupun membaca petunjuk tulisan. Dari pengamatan terhadap cara kerja
siswa dalam menyelesaikan tugas ini, kita akan lebih memahami gaya
mengajar siswa secara lebih mendetail.
Cara ketiga, merupakan cara yang lebih komprehensif yaitu dengan
melakukan survey atau tes gaya belajar. Namun demikian, alat survey
ataupun tes ini biasanya mengikat pada satu konsultan atau psikolog
tertentu sehingga jika kita ingin melakukan tes tersebut harus membayar
dengan sejumlah biaya tertentu, yang terkadang dirasa cukup mahal.
Namun demikian, karena menggunakan metodologi yang sudah cukup
teruji, biasanya survey atau tes psikologi semacam ini mempunyai akurasi
yang tinggi sehingga memudahkan bagi guru untuk segera mengetahui
gaya belajar siswa.
Dari ketiga cara mengetahui gaya belajar siswa di atas tergantung
kita untuk menggunakan cara yang mana. Cara pertama dan kedua
membutuhkan usaha yang keras dari kita dalam memetakan dan
mengklasifikasikan gaya mengajar siswa yang terdapat dalam satu kelas.
Namun demikian, kedua cara ini tidak membutuhkan biaya yang mahal.
Untuk lebih akurat, memang cara ketiga bisa diambil, namun
konsekuensinya tentu saja perlu mengeluarkan biaya untuk survey ataupun
tes gaya belajar (Zainudin, 2011).
Untuk siswa auditorial, belajar melalui mendengarkan kuliah, contoh
dan cerita serta mengulang informasi adalah cara yang mereka sukai. Para
auditorial mungkin lebih memilih merekam suara mereka daripada
mencatat. Itu karena mereka suka mendengarkan informasi berulang-
ulang. Mereka mungkin meminta guru untuk mengulang materi yang
diberikan, mereka tentu saja menyimak, tetapi mereka suka
mendengarkannya lagi.
Pelajar auditorial lebih suka menyelesaikan tugas atau pekerjaan
rumah sambil mendengarkan musik, sementara siswa lainnya akan merasa
terganggu dengan hal itu. Di luar negeri bahkan menyediakan sound
system di ruang kelasnya sebagai pembantu konsentrasi pembelajaran.
Para guru dapat membuat materi dan hapalan menjadi sebuah lagu dengan
melodi yang sudah dikenal baik. Misal ubahlah lirik lagu “balonku”
menjadi nama-nama Propinsi atau yang lainnya (Anonim, 2008).
Ciri-ciri gaya belajar Auditori yaitu :
Mampu mengingat dengan baik penjelasan guru di depan kelas, atau
materi yang didiskusikan dalam kelompok/ kelas
Pendengar ulung: anak mudah menguasai materi iklan/lagu di televisi/
radio
Cenderung banyak bicara
Tak suka membaca dan umumnya memang bukan pembaca yang baik
karena kurang dapat mengingat dengan baik apa yang baru saja
dibacanya
Kurang cakap dalam mengerjakan tugas mengarang/ menulis
Senang berdiskusi dan berkomunikasi dengan orang lain
Kurang tertarik memperhatikan hal-hal baru dilingkungan sekitarnya,
seperti hadirnya anak baru, adanya papan pengumuman di pojok
kelas, dll
Saat bekerja suka bicaa kepada diri sendiri
Penampilan rapi
Mudah terganggu oleh keributan
Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan
dari pada yang dilihat
Senang membaca dengan keras dan mendengarkan
Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika
membaca
Biasanya ia pembicara yang fasih
Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya
Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik
Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan
visual
Berbicara dalam irama yang terpola
Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama dan warna
suara
Karakteristik Pelajar Auditorial:
Baik dalam bercerita
Biasanya bawel
Menyelesaikan masalah dengan argumentasi
Memiliki banyak perbendaharaan celotehan, seperti “dengerin dong”,
“iya, aku dengar”
Menggerakkan bibir atau berbicara dengan dirinya sendiri ketika
fokus menyelesaikan tugas.
Strategi untuk mempermudah proses belajar anak auditori :
Ajak anak untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi baik di dalam kelas
maupun di dalam keluarga.
Dorong anak untuk membaca materi pelajaran dengan keras.
Gunakan musik untuk mengajarkan anak.
Diskusikan ide dengan anak secara verbal.
Biarkan anak merekam materi pelajarannya ke dalam kaset dan
dorong dia untuk mendengarkannya sebelum tidur.
Bergabunglah dengan kelompok belajar untuk membantu
mempelahari bahan bahan pelajaran.
Ketika belajar sendiri, ucapkan informasi informasinya dengan suara
yang cukup di dengar
Gunakan alat perekam informasi yang penting , setelah itu lalu
dengarkan kembali untuk mengulang pemahamannya.
3. Visual
Setiap orang ditakdirkan berbeda, tak terkecuali dalam bagaimana
seseorang belajar. Setiap individu memiliki gaya belajar yang berlainan.
Bagi seorang guru, sangat penting mengetahui gaya belajar siswanya
sehingga cara mengajarnya dapat mencapai hasil yang lebih maksimal
dengan menyesuaikan gaya belajar siswa-nya.
Seringkali guru salah menilai jika ada siswa yang tidak bisa duduk
diam dan tenang. Seringkali malah siswa tersebut dianggap nakal. Bisa
saja siswa bertingkah seperti itu karena guru memberikan cara pengajaran
yang tidak sesuai dengan gaya belajar siswa tersebut sehingga dia susah
memahami pelajaran dan menjadi bosan.
Menurut penelitian, ada banyak kategori gaya belajar siswa. Namun,
gaya belajar yang banyak dibicarakan dan akan sedikit dibahas disini ada
tiga yaitu; visual/spatial, auditori/aural dan kinestetik/physical.
Pembelajar gaya visual, lebih suka menggunakan foto, membuat
gambar, bermain warna, dan peta untuk menyampaikan informasi dan
berkomunikasi dengan orang lain. Dia suka membaca, suka menulis, suka
mencoret-coret kertas, lebih menyukai membaca cerita dibandingkan
mendengar cerita, cepat dalam melakukan penjumlahan atau perkalian,
pintar dalam mengeja kata, dan sering mencatat segala yang diperintahkan.
Pembelajar tipe ini dapat dengan mudah memvisualisasikan benda,
rencana dan hasil pikiran mata. Juga memiliki kemampuan yang baik
tentang tata ruang sehingga mudah memahami peta. Untuk mengajar
pembelajar visual, digunakan foto, gambar, warna dan media visual
lainnya untuk membantu belajar. Memakai alat tulis (spidol, kapur dll)
minimal empat warna. Banyak menggunakan “kata visual” dalam
ungkapan. Contohnya: lihat, gambar, perspektif, visual, dan peta.
Menggunakan peta pikiran (mind map) untuk memberikan
penjelasan atau membuat catatan. Menggunakan diagram sistem
membantu memvisualisasikan hubungan antara bagian-bagian dari sistem.
Memakai teknik bercerita tertentu dapat membantu pembelajar tipe ini
untuk menghafal materi yang tidak mudah untuk “dilihat”(
http://edukasiana.com/?p=32_).
Beberapa profesi yang sebagian besar menggunakan gaya visual
adalah seni visual, arsitektur, fotografi, video atau film, desain,
perencanaan (khususnya yang strategis), dan navigasi.
4. Intelektual
Intelektual adalah pencipta makna dalam pikiran, sarana yang
digunakan manusia untuk berfikir, menyatukan pengalaman, menciptakan
hubungan, makna, rencana dan nilai-nilai dari hubungan tersebut.
Intelektual adalah bagian diri yang merenung, mencipta, memecahkan
masalah dan membangun makna. Intelektual adalah pencipta makna dalam
pikiran, sarana yang digunakan manusia untuk berfikir, menyatukan
pengalaman, menciptakan jaringan syaraf baru dan belajar. Intelektual
menghubungan pengalaman mental, fisik, emosional, dan intuitif tubuh
untuk membuat makna baru bagi dirinya sendiri. Belajar dengan gaya
belajar intelektual lebih memperhatikan aspek berfikir menghubungkan
suatu masalah dan penyebabnya bahkan membuat hipotesis atas suatu
penelitian. Gaya belajar intelektual mengutamakan pula kemampuan
pemahaman anak didik dalam kegiatan belajar mengajar.
Gaya belajar intelektual bercirikan sebagai pemikir. Pembelajar
menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan
menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman
tersebut. “Intelektual” adalah bagian diri yang merenung, mencipta,
memecahkan masalah, dan membangun makna. Itulah sarana yang
digunakan pikiran untuk mengubah pengalaman menjadi pengetahuan,
pengetahuan menjadi pemahaman, dan pemahaman menjadi kearifan.
Aspek intelektual dalam belajar akan terlatih jika kita mengajak
pembelajaran tersebut dalam aktivitas seperti:
1. Memecahkan masalah
2. Menganalisis pengalaman
3. Mengerjakan perencanaan strategis
4. Memilih gagasan kreatif
5. Mencari dan menyaring informasi
6. Merumuskan pertanyaan
7. Menerapkan gagasan baru pada pekerjaan
8. Menciptakan makna pribadi
9. Meramalkan implikasi suatu gagasan (Roebyarto, 2008).
Di atas merupakan cara untuk terlatih dalam gaya belajar
intelektual. Memecahkan masalah, biasanya diberikan melalui kegiatan
diskusi maupun tanya jawab, menganalisis masalah dapat diberikan
melalui diskusi atau ketika membuat laporan praktikum. Mengerjakan
perencanaan strategis biasa dilatih melalui pembuatan proyek, memilih
gagasan alternatif dapat ditunjukkan ketika diskusi,Tanya jawab atau
bahkan ketika ujian dengan soal essay. Mencari dan menyaring informasi
dapat ditunjukkan dengan guru memberikan post test. Merumuskan
pertanyaan dapat ditunjukkan melalui diskusi maupun Tanya
jawab,menerapkan gagasan baru pada pekerjaan dapat ditunjukkan melalui
kegiatan praktikum maupun proyek. Menciptakan makna pribadi dan
meramalkan implikasi suatu gagasan dapat ditumbuhakan dengan
pembuatan proyek atau praktikum. Gaya belajar ini tidak lepas dalam
pembelajaran guru terhadap anak didiknya karena gaya belajar ini penting
untuk dapat meningkatkan cara berpikir anak didik agar dapat berpikir
kritis atas sesuatu yang ada dan memiliki pemahaman terhadap materi
yang disampaikan guru.
BAB IV
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dari makalah ini sebagai berikut:
1. Anak yang memiliki tipe gaya belajar Somatis yakni anak yang memiliki
karakteristik lebih nyaman belajar dengan melakukan suatu tindakan dalam
bentuk apapun.
2. Anak yang memiliki tipe gaya belajar Auditori akan lebih mudah menerima
pelajaran dan lebih nyaman belajar dalam bentuk mendengarkan.
3. Anak dengan gaya belajar Visual akan lebih mudah mengerti yang sedang
dipelajarinya jika dinyatakan dalam bentuk yang bias dilihatnya.
4. Anak dengan gaya belajar Intelektual akan lebih mampu menganalisis suatu
masalah dan menyelesaikan masalah tersebut dengan berpikir.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Siswa dengan Gaya Belajar Auditorial. (Online),
(http://sdn3bojonglopang.wordpress.com/2008/09/03/siswa-dengan-gaya-
belajar-auditorial-bagaimana-menghadapinya/), diakses tanggal 13 April
2012
Anonim1.2009. Penerapan Model Pembelajaran Nht dengan Pendekatan Savi
dalam Meningkatkan Hasil Belajar anak didik. (Online),
(http://abstrak.digilib.upi.edu/Direktori/skripsi/fpmipa/pend._ilmu_komput
er/0608670_penerapan_model_pembelajaran_nht
%28numbered_head_together
%29_dengan_pendekatan_savi_dalam_meningkatkan_hasil_belajar_tik_
anak didik/bab_ii.pdf), diakses 14 April 2012
Arifin, Zainal. 2011. Dave Meier. (Online),
(http://derizzain.multiply.com/journal/item/87?&show_interstitial=1&u=
%2Fjournal%2Fitem), diakses 4 April 2012
De Porter, Bobbi dan Hernachi, Mike. 2002. Quantum Learning. Bandung:
Kaifa
Herdian. 2009. Model Pembelajaran SAVI. (Online),
(http://herdy07.wordpress.com/2009/04/22/model-pembelajaran-savi/),
diakses 4 April 2012
Macam-Macam Gaya Belajar; Posted by' Admin on December 20, 2011
(http://belajarpsikologi.com/macam-macam-gaya-belajar/)
Munir. 2007. Gaya Belajar Anak Styles Of Learning. (Online),
(http://munirmisbahul.blogspot.com/2007/11/gaya belajar anak styles of
learning.html), diakses tanggal 14 April 2012
Roebyarto. 2008. Pendekatan SAVI,(Online),
(http://roebyarto.multiply.com/journal/item/21?&show_interstitial=1&u=
%2Fjournal%2Fitem), diakses 16 April 2012.
Syukur, Fatah dan Drs, M.Ag. 2004. Teknologi Pendidikan. Semarang: RaSAIL
Zainudin, Akbar . 2011. Mengetahui Gaya Belajar Anak. (Online), diakses
tanggal 13 April 2012 (http://www.gayabelajar.net/mengetahui-gaya-
belajar-anak.html),