Post on 07-Aug-2015
description
OBJEK KAJIAN TASAWUF DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI
Hasanudin Arinta Kusrin
Yayasan Bina Cendekia IndonesiaMembina dan membangun insan cendekia Indonesia denganIman, taqwa, ilmu pengetahuan dan teknologi..................................................
PENDAHULUAN :
Sebagai suatu disiplin ilmu, tasawuf sudah dikenal dan berkembang sejak dahulu,
mendahului ilmu psikologi. Tasawuf merupakan aspek esoterime dalam kajian
Islam yang perwujudannya adalah adanya kesadaran untuk berkomunikasi atau
berdialog dengan Tuhan.
Secara harfiyah istilah tasawuf berasal dari beberapa akar kata berikut: al-
shuffah, shufi, shaff, shuf, dan sophos.1 Al-Shuffah berasal dari istilah "ahl al-
shuffah" (penghuni serambi masjid Nabawi), kata shufi berarti sekelompok orang
yang disucikan, kata shaf berarti "barisan dalam shalat berjamaah", kata shuf
berarti "kain terbuat dari bulu domba yang biasa dipakai para sufi", sementara kata
sophos -berasal dari istilah Yunani— berarti "bijaksana".
Kelima substansi dari akar kata tasawuf tersebut ternyata mengandung
muatan arti "kehidupan jiwa dan mental seseorang". Istilah "ahl al-shuffah"
nampak bersifat materi, yakni sekelompok sahabat Nabi yang berdiam di serambi
Masjid Nabawi (dulu rumah Nabi), namun substansinya melekat kepada "makna
kejiwaan" untuk memperoleh tausiyah/nasehat-nasehat agama dari Nabi agar
jiwanya terjaga dari perbuatan-perbuatan yang akan mengotori jiwanya. Para ahli
shuffah masjid nabawi bukanlah sekelompok sahabat Nabi yang berusaha mencari
penderitaan hidup, melainkan sekelompok sahabat yang berusaha menyucikan
jiwanya untuk selalu siap mendapat "siraman ruhani" dari Nabi dan berperilaku
zuhud.
Ke empat istilah lainnya juga mengandung arti "kondisi kejiwaan atau
mental seseorang". Shaff berarti "barisan dalam shalat berjama'ah". Para sufi
mencontoh para sahabat yang senantiasa berebut untuk menempati barisan "shaff"
pertama, dengan harapan hatinya dekat dengan Nabi, jiwanya suci seperti Nabi.
Shuf yang berarti "bulu" juga melambangkan "hidup sederhana", dimana
kesederhanaan hidup para sufi berusaha dalam mencari materi, dan berjuang keras
dalam mencapai kesempurnaan ruhani. Demikian pula, kata sophos yang berarti
1 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 57Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
2
"bijaksana" melambangkan bahwa para sufi selalu bersikap bijaksana terhadap
siapapun. Sikap bijaksana merupakan sikap jiwa yang adil dan seimbang, jauh dari
jiwa zhalim.
Dalam pengertian yang cukup jelas di atas, Muhammad Aqil2 menghimpun
beberapa rumusan hakekat tasawuf sebagai berikut: (a) tasawuf merupakan
kehidupan spiritual (hayat ruhiyat), (b) tasawuf adalah kajian tentang hakekat, (c)
tasawuf adalah bentuk dari ihsan, aspek ketiga setelah Iman dan Islam, dan (d)
tasawuf merupakan jiwa Islam (ruh Islam). Keempat rumusan tasawuf itu secara
keseluruhan menekankan pada aspek kejiwaan, spiritual, dan kehidupan mental.
Aspek-aspek esoterik ajaran Islam yang banyak mengkaji tentang nafs, qalb,
ruh itu berkaitan dengan pensucian jiwa (tazkiyatun nufus), sehingga sikap
spiritualitas dalam Islam adalah upaya manusia untuk berbuat ihsan, sehingga
manusia mampu memahami dan menangkap makna hidup dan keberadaannya
di dunia ini. Dan ajaran Tasawuf sangat erat dengan upaya pensucian jiwa
tersebut.
Beberapa penjelasan tentang istilah dan pengertian tasawuf tersebut akan
semakin jelas bila dilihat dari sisi tujuan dan intisari ajaran tasawuf. Menurut
Harun Nasution,4 tasawuf bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat
Tuhan. Sedangan intisari ajaran tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi
dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan.
Kesadaran akan kedekatan dengan Tuhan, kemampuan berkomunikasi,
bahkan berdialog dengan Tuhan tidak mungkin dilakukan oleh manusia, kecuali
mereka yang mampu membersihkan dan menyucikan jiwanya dari segala kotoran
dan kejahatan. Kebersihan dan kesucian jiwa ini tentu tidak dilihat dari sisi fisik,
melainkan sisi jiwa, mental, dan spiritual. Oleh karena itu, bila tasawuf diposisikan
sebagai disiplin ilmu, maka tasawuf diartikan "suatu kajian mengenai cara dan
2 Muhammad Aqil bin Ali al-Mahdaliy, Madhal Ila al-Tasawuf al-Isldmiy (Kairo: Dar al-Hadits, 1993), h. 52,
sebagaimana dikutip oleh Ikhrom, Titik Singgung antara Tasawuf, Psikologi Agama dan Kesehatan Mental dalam
Teologia, Volume 19, No.1, Tahun 2008.
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
3
jalan yang dilakukan seorang muslim untuk senantiasa berdekatan dengan
Tuhannya", karena syarat utama untuk berdekat-dekat dengan Tuhan adalah
kesucian jiwa, mental, dan spiritual, maka semua cara dan jalan yang ditempuh
haruslah mengacu pada inti ajaran tersebut.
Jika ilmu pengetahuan (ilmu psikologi, misalnya) menggunakan "data
empirik", ilmu tasawuf menggunakan "data spiritual personal". Ilmu
pengetahuan berangkat dari "keraguan" yang merupakan produk akal, ilmu
tasawuf berangkat dari "keyakinan" yang merupakan produk qalbu. Ilmu
pengetahuan berpijak pada "akal rasional", ilmu tasawuf berpijak pada "hati (al-
qalb) atau rasa". Selanjutnya ilmu pengetahuan tentang Tuhan bertujuan untuk
"mengetahui dan mengenal Tuhan", sedangkan ilmu tasawuf bertujuan untuk
"tidak sekedar mengetahui dan mengenal Tuhan semata, tapi juga untuk merasa
dan menikmati bertaqorrub dengan Tuhan ".3
William James, seorang psikolog Amerika mengatakan bahwa kondisi
bertasawuf dicirikan dalam 4 hal, yaitu 4:
1. Adanya kondisi pencapaian (noetic) yang mampu mengupas hakikat
yang substansial berupa ilham-ilham (revealations) dan bukan
pengetahuan demonstratif.
2. Kondisi bertasawuf tidak mungkin digambarkan atau diungkapkan
(ineffability), sebab merupakan kondisi perasaan (states of feeling). Itlah
sebabnya, kondisi tersebut sulit diungkapkan dengan kata-kata terperinci.
3. Kondisi bertasawuf merupakan suatu kondisi cepat hiking (tranciency),
artinya tidak secara terus menerus berada pada diri para sufi dalam
rentang waktu yang relatif lama, namun tetap berpengaruh dalam ingatan
pelakunya.
4. Suatu kondisi yang pasif , dimana adanya ketundukkan kepada suatu
kekuatan lain yang mendominasi dan menghegemoni dirinya.
3 Ikhrom, op.cit.4 Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam, Telaah Historis dan Perkembagannya, Gaya media Pratama, Jakarta, 2008, h.2-3Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
4
Sedangkan R.M.Bucke membatasi ciri-ciri kondisi bertasawuf menjadi 7
identifikasi, yakni 5:
1. Cahaya eksisitensi batin (the subjective light)
2. Ketinggian moral (moral elevation)
3. Pancaran Akal (intellectual illumination)
4. Perasaan akan keabadian (sense of immorality)
5. Hilangnya rasa takut dari kematian (less of fear of death)
6. Hilangnya perasaan berdosa (less of sense of sin)
7. Keterkagetan (suddenness).
Menurut Martin Lings, tasawuf juga banyak berurusan dengan
penyembuhan kalbu dan pensucian serta pemurnian jiwa dari segala sesuatu yang
dapat menghalangi seseorang bertaqarub dengan Tuhan. 6.
Secara substansial embrio ilmu psikologi memiliki benang merah
persinggungan objek kajian dengan ilmu tasawuf yaitu jiwa manusia. Jiwa
manusia juga adalah objek kajian tasawuf, sehingga sampai sekarang masih
dipertanyakan apa itu jiwa menurut kedua ilmu tersebut.
Dalam bukunya berjudul “Misticism and Logic”, atau Tasawuf dan Ilmu
Logika, Bertrand Russel menyatakan bahwa sangat mungkin para filosof dapat
menyatukan mainstream tasawuf dan ilmiah, atau kecenderungan harmonisasi
keduanya, atau menjadi pemikiran tingkat tinggi sehingga seseorang bisa
melakukannya dapat dikatakan sebagai seorang filsuf atau sufi. Ia juga berkata
bahwa filsuf-filsuf besar merasakan kebutuhan akan keilmuan dan tasawuf.
Sebagaimana diketahui PSIKOLOGI adalah bidang keilmuan yang sangat
dekat dengan tasawuf. Sebagai ilmu, PSIKOLOGI yang sampai saat ini sudah
sangat jauh mengembara dan menghasilkan banyak produk ilmu turunannya. Ilmu
psikologi tumbuh dewasa dan sudah memisahkan diri dengan induknya ilmu, yaitu
FILSAFAT, tetapi belum sangat dekat kepada si pemilik ilmu yaitu Yang Maha
Mimiliki Ilmu Pengetahuan- Tuhan, Allah SWT. Paling tidak Psikologi telah
5 Abu Wafa, op.cit, h.2-36 Martin Lings, What is Sufism? Membedah Tasawuf (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), h. 100Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
5
melahirkan PSIKOLOGI AGAMA – Psychology of Religion. Paling jauh ketika
bersentuhan dengan aspek humanisnik dalam dimensi spiritual menjadi
PSIKOLOGI HUMANISTIK yang kemudian terus berkembang melampaui
kemampuan batin manusia yang terdalam dan bersifat ‘Trans’ kemudian menjadi
PSIKOLOGI TRANSPERSONAL dimana objek kajiannya diantaranya adalah
yoga, telepati, alih batin, dan spiritual / emotional Intelligences, dlsb. –
Ilmu psikologi hingga saat ini belum mengakomodasi dimensi al-Ruh dan
al-Fithrah. Artinya Ruh sebagai dimensi khas manusia hampir tidak pernah
ditinjau dalam dunia ilmu PSIKOLOGI (BARAT).
Selain jiwa manusia, objek kajian tasawuf juga bersinggungan dengan
masalah al-ruh, al-qalb, al-’aql dan al-nafs pada diri manusia. Dalam al-Qur’an
kita juga akan menjumpai beberapa pemahaman makna bahwa disatu sisi ada
esensi kandungan makna yang sama dan senada dari ke 4 objek kajian Tasawuf
tersebut yaitu ruh, kalbu, akal dan nafsu, baik dalam dimensi fisik maupun
metafisik.
Sedangkan kajian ilmu psikologi tidak membahas tentang al-ruh maupun al-
qalb manusia sebagai bagian terdalam yang bersentuhan pada diri manusia.
Kajian Islam tentang jiwa manusia sudah banyak dilakukan oleh para
intelektual Muslim, diantaranya dipelopori al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali.
Sekalipun pengkajiannya masih bersifat filosofis, namun setidaknya usaha mereka
telah menorehkan dan menelurkan benih bagi studi-studi psikologis di masa
mendatang. Al-Gazhali misalnya, sudah mengkaji dimensi struktur ruhaniyah
manusia yang meliputi :
1. Kalbu yang mempunyai dua arti, yakni a) fisik adalah jantung berbentuk
segumpal daging terletak di rongga dada kiri, b) metafisik sebagai akrunia
Tuhan yang halus (lathifah), bersifat ruhaniah dan ketuhanan (rabbaniyah)
2. Ruh yang memiliki makna dalam arti fisik merupakan nyawa atau sumber
hidup yaitu suatu yang halus dan indah dalam diri manusia yang mengetahui
dan mengenal segalanya sebagaimana kalbu dalam arti metafisik. Ruh
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
6
dalam arti metafisik manusia adalah diketahui lebih banyak sebagai urusan
Tuhan, dimana manusia hanya diberikan sedikit pengetahuan oleh Allah
(QS.al-Israa : 85).
3. Akal sebagai daya pikir atau potensi intelligensi yang memiliki sifat dan
makna yang sama dengan ketiga dimensi kajian lainnya. Menurut al-Ghazali
akal adalah yang pertama dijadikan Allah sebelum manusia diciptakan.
4. Nafsu dalam arti pertama yakni dorongan agresif (ganas) dan dorongan
erotik (birahi) yang dapat menjadi sumber malapetaka dan kekacauan bila
tidak dikendalikan dan diadabkan. Nafsu dalam arti kedua adalah ‘Nafs al-
muthmainnah’ yang lembut, halus dan tenang serta diundang Tuhan masuk
ke dalam surgaNya (QS al-Fajar : 27-28). Nafsu dalam arti ini semakna
dengan Kalbu dan Ruh dalam arti kedua.
Dari pendapat Ghazali tersebut dapat dikatakan bahwa Ruh, Kalbu, Akal
dan Nafsu mempunyai dua makna, yakni :
1. Dalam arti Fisik adalah fungsi-fungsi psikofisik bagi para psikolog.
2. Dalam arti Metafisik adalah kajian atau olahan ahli tasawuf atau sufi.
Dalam suatu temuan penelitian memperlihatkan, bahwa filsafat mistis Ibnu
Arabi juga telah banyak menguraikan butir-butir kajian penting tentang kejiwaan
yang kelak menjadi embrio bagi lahirnya studi-studi psikologi modern.
Pada masa itu, Ibnu Arabi sudah membahas mengenai psikologi empiris,
sifat-sifat dan fungsi-fungsi jiwa, dan teori mimpi yang di kemudian hari banyak
diungkapkan Sigmund Freud. Pengkajian Ibnu Arabi tentang jiwa manusia
mengenai butir-butir psikologis yang tidak terpisahkan dengan penghayatan
sufistiknya itu memberikan arti penting bagi pencarian titik persinggungan antara
kajian sufistik dan psikologi.
Kajian-kajian psikologis Ibnu Arabi dan Al-Farabi memberikan sumbangan
cukup strategis bagi pengkajian ilmu psikologi di masa berikutnya.
Ilmu Psikologi mencoba menjelaskan mengenai perasaan, motivasi,
perkembangan dan kognisi keagamaan yang tampaknya akan sulit dilakukan bila
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
7
TITIK TEMU TASAWUF DGN PSIKOLOGI
teori tentang daya, sifat, dan fungsi kejiwaan tidak didudukkan terlebih dahulu. Di
samping itu, kajian psikologi yang diartikan sebagai “ilmu jiwa manusia” secara
substansial juga sudah banyak dikaji oleh Al-Ghazali. Begitu juga yang dilakukan
oleh Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Razi yang sudah lebih dulu mengkaji kejiwaan
manusia sebelum pakar-pakar psikologi Barat bereksperimentasi dan berspekulasi
dengan jiwa manusia.
Jadi sesungguhnya para ilmuwan muslim di masa klasik sudah banyak
membahas “ilmu psikologi” secara terpadu. Dikatakan demikian, karena para
pemikir muslim yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu-ilmu
kontemporer tersebut merupakan para ahli sufi.
Gambar 1 : Perjumpaan Psikologi dengan Tasawuf
Menurut data sejarah, baik Ibnu Sina, Al-
Razi, Al-Ghazali, dan lainnya merupakan
ahli jiwa yang diakui di Timur dan di Barat.
Dan kajian tentang jiwa manusia mereka
tidak kering sebagaimana yang dikaji oleh
para psikolog Barat saat ini. Karena objek
kajian tidak semata diasumsikan sebagai materi (aspek fisik) yang
dieksperimentasi dan dimanefestasi dalam sikap, ucap dan gerak tubuh manusia
semata, melainkan kepada keterpaduannya dengan pengalaman-pengalaman
spiritual jiwa manusia (aspek metafisik) ketika berhubungan dengan Sang Pencipta
Jiwa manusia, yaitu Allah
SWT.
Gambar 2 :
Struktur Jiwa Manusia menurut Al-Ghazali
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
8
HD.Bastaman7, memaparkan bahwa dari tinjauan psikologisnya melihat apa
yang di jelaskan al-Ghazali tentang Kalbu, Nafsu, Ruh dan Akal masih belum
dapat membedakan secra tajam antara unsur Raga (Biologis), Jiwa (Psikologis),
dan Ruh (Spiritualistis). Makna jasmani (fisik) dari ke empat unsur tersebut masih
berbaur antara gambaran biologis dengan psikis, sedangka dalam arti ruhaniyah
(metafisik) masih berbaur dalam arti konotasi psikis dan spiritual. Makna jasmani
dan ruhaniyah menurut al-Ghazali, tepatnya dimaknai sebagai makna psikofisik
dan metafisik.
II. OBJEK KAJIAN TASAWUF
a. Al-Ruh.
Menurut Hanna Djumhana Bastaman8, beberapa karakteristik Ruh
dapat dijelaskan antara lain :
1. Berasal dari Tuhan, bukan dari tanah atau bumi
2. Ruh bersifat unik, tidak sama dengan akal budi, jiwa dan jasmani, Ruh
berasal dari Allah sebagai wahana untuk munajat mendekatiNya.
3. Ruh tetap hidup dalam tidur maupun tidak sadar (pingsan, koma dan
mati)
4. Ruh menjadi kotor dengan noda dan dosa dan dapat dibersihkan serta
disucikan.
5. Ruh sangat lembut dan sangat halus, karena itu mengambil
tempat/menempati wujud yang serupa dengan wadahnya sebagaimana
kita memahami zat cair, gas dan cahaya yang bentuknya serupa
dimana ruh berada.
6. Dalam beribadah menurut Tasawuf tidak hanya fisik tapi juga yang
terdalam adalah dengan ruh.
7 Hanna Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.78-79.8 HD.Bastaman, op.cit.h.95.Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
9
7. Tasawuf melatih untuk menyebut kalimat-kalimat Allah (dzikir) tidak
hanya dalam taraf kesadaran lahiriah tetapi menembus kesadaran
ruhaniyah. Dengan Dzikir, menyebut kalimah Allah, ruh menjadi
wahana menuju ke alam ketuhanan.
Al Qur'an telah membahas tentang hakekat asal-usul manusia yang di
awali dari proses kejadian manusia yaitu dari segumpal darah (QS. 96:1-5),
dan setelah melewati beberapa tahapan dan Allah SWT menyempurnakan
kejadiannya dengan dihembuskan-Nya kepada manusia ruh ciptaan Tuhan
(QS. 38:71-72).
Ruh itu sendiri adalah adalah zat murni yang tinggi, hidup dan
hakekatnya berbeda dengan tubuh. Tubuh dapat diketahui dengan
pancaindra, sedangkan ruh menelusup ke dalam tubuh sebagaimana
menyelusupnya air ke dalam bunga, tidak larut dan tidak terpecah-pecah.
Untuk memberi kehidupan pada tubuh selama tubuh mampu menerimanya.
ASAL manusia itu sendiri secara esensial bermula dari Allah SWT,
bersifat Nur (Cahaya), Ruh (Hidup) dan Ghaib (Tidak tampak oleh mata
kasar) ; sulit untuk didefinisikan oleh kata-kata, huruf, bunyi ataupun
sesuatu, melainkan hanya Allah saja yang dapat mengetahui dan memahami-
nya. Sedangkan USUL manusia berasal dari air dan tanah.
Jadi jika ditinjau dari asalnya manusia bersifat RUHANIYAH, dan
dari usulnya bersifat JASMANIYAH.
Misteriusitas al-ruh sudah lama menjadi perdebatan di kalangan ulama
Islam (teolog, filosof dan ahli sufi) yang berusaha menyingkap dan
menelanjangi keberadaannya. Mereka mencoba mengupas dan mengulitinya
guna mendapatkan kepastian tentang hakekat ruh.
Dalam bahasa Arab, kata ruh mempunyai banyak arti , diantaranya
yakni :
1. Kata روح untuk ruh
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
10
2. Kata ريح (rih) yang berarti angin
3. Kata روح (rawh) yang berarti rahmat.
Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa,
nafas, wahyu, perintah dan rahmat.
Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut
lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kalimat :
* روحاني digunakan روحانيون untuk menyebut semua jenis
makhluk halus yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin.
Ruh akan tetap menjadi misteri (rahasia) yang kepastiannya hanya
diketahui Allah semata. Firman Allah dalam QS.Al-Israa,[16]: 85 :
ن6 م8 أ>وت8يت>م: ا م6 و6 ب@ي ر6 ر8 م:أ6 ن: م8 وح> Cالر ل8 ق> وح8 Cالر ع6ن8 أ6ل>ون6ك6 ي6س: و6
Lل8يال ق6 Oإ8ال ل:م8 ال:ع8
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-
Isra': 85)
Tidak kurang dari 20 ayat yang berbicara tentang ruh atau semakna
dengan arti ruh dikabarkan pada beberapa surat dalam al-Quran, diantaranya
adalah :
a. Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa,
nyawa, nafas, wahyu, perintah dan rahmat.
b. Ruh berarti Malaikat Jibril, atau malaikat lain dalam QS. Al-
Syu-'ara' 193, al-Baqarah 87, al-Ma'arij 4, al-Naba' 38 dan al-Qadr
4.
c. Ruh bermakna Rahmat Allah kepada kaum mukminin dalam QS.
al-Mujadalah 22.
d. Ruh bermakna Kitab suci al-Qur'an dalam QS. Al-Shura 52.
Menurut Imam Ghazali dalam kitab ‘Misykat al-Anwar’, dijelaskan
bahwa al-Ruh memiliki martabat atau peringkat, yakni :
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
11
1. Ruh Hassas, yaitu ruh yang menerima perasaan, ia adalah ruh
hewan, ia ada dalam rahim ibu.
2. Ruh Hayal, yaitu ruh yang memelihara segala rupa perasaan, ia
tidak terdapat pada anak-anak yang masih muda umurnya
3. Ruh Akal, yaitu ruh yang mendapat ma’ani yang keluar dari panca
indera dan khayal manusia. Ruh ini tidak terdapat pada binatang
dan anak-anak.
4. Ruh Kudus, bersifat nabawi, yaitu khusus nagi para Nabi dan
awliya (wali). Dengan ruh ini dapat diketahui makrifat Malakut
langit dan bumi.
Sedangkan Syeikh Abdullah bin Husein al-Makki al-Idjlani membagi
4 potensi al-Ruh pada makhluk Allah SWT, yaitu :
1. RUH NAMIYA ; yaitu ada pada manusia, hewan dan tumbuh2an.
Pekerjaannya memelihara dan menumbuhkan.
2. RUH MUTAHARRIKA : terdapat pada manusia dan hewan, tidak
pada tumbuh2an. Disebut juga Ruh Hewani, karena semua hewan
bergerak karenanya.
3. RUH NATIKA : yaitu khusus pada manusia, tidak ada pada
tumbuh2an dan hewan; disebut juga Ruh Insan.
4. RUH QUDUS : yaitu penjelmaan dari Nur Dzat Allah bagi semua
Nabi dan Awliya yang ada mu’jizat dan karamah, mereka paham
akan semua ma’ani dan batin.
Jadi potensi ruh yang berkualitas ilahiyah dari seorang hamba adalah
tergantung dari kedekatannya dengan Allah SWT. Dan tasawuf melatih ruh
kita agar sampai kepada kualitas ruh ilahiyah.
b. Al-Qalb
Al-Qalb bermakna membalikkan, memalingkan atau menjadikan yang
di atas ke bawah yang di dalam keluar. Dalam bentuk masdarnya atau kata Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
12
benda mengandung arti lubuk hati, akal, kekuatan, semangat dan keberanian.
Dalam makna ruhaniyah (metafisik), ia tidak dapat dilihat dengan mata
kepala kecuali dengan mata batin (mukasyafah) dan merupakan tempat
menerima kasih sayang, pengajaran, pengetahuan, berita, ketakutan,
keimanan, keislaman, keihsanan dan ketauhhidan.
Menurut al-Ghazali, istilah Qalb mempunyai dua pengertian, yakni :
1. Mengacu kepada arti fisik yaitu sepotong daging berbentuk buah
sanubar (al-lahmu as-sanubari), yang terletak dibagian kiri dada
manusia. Didalamnya terdapat rongga berisi darah merah yang
merupakan pusat vitalitas dari aktivitas manusia. Kata sanubar dalam
bahasa Arab berarti buah pohon cemara atau sejenisnya mirip dengan
bentuk jantung manusia. Kata tersebut di-Indonesiakan menjadi
‘sanubari’ untuk menunjukkan perasaan hati yang mendalam,
sedangkan terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia adalah
JANTUNG.9
2. Menunjuk pada pengertian sebagai sesuatu yang halus (lathifah), yaitu
suatu hakekat dasar manusia yang bersifat perasa, mengetahui dan
mengenal (haqiqat al-insani al-mudrik al-‘ilm). Pengertian tersebut
mengandung unsur kualitas ketuhanan (rabbaniyah) bersifat
kerohaniahan (ruhaniyyah) dan mempunyai unsur pengetahuan
(‘aqliyyah) yang keduanya mempunyai hubungn dengan hati secara
fisik (jantung). Jadi di dalam jantung itu terdapat pusat aktivitas
manusia yang bersifat jasmaniyyah dan ruhaniyyah.10
Dari sisi ilmu kedokteran, pengertian jantung sebagai pusat aktivitas
manusia tentunya berbeda dengan pengertian dalam arti ‘sufistik’ menurut
al-Ghazali, yang melihat bahwa hati berpengaruh dalam menyaring dan
mengendalikan manusia melaksanakan fungsinya sebagai penentu kepada
9 Lihat E.Hasim, Kamus Istilah Islam, Pustaka, Banung : 1987, h.11610 Al-Ghazali, Ihya’…., juzIII, hal.4, sebagaimana dikutip Dr.Ahmad Ali Riyadi, M.Ag., Psikologi Sufi Al-Ghazali, Panji Pustaka, Yoyakarta :2008, h.25.Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
13
suatu pilihan antara yang baik dan yang buruk.
ALLAH menggunakan 3 macam kata yang semakna dengan Qalb
dengan arti ‘lubuk hati’ sebagaiman tercantum dalam al-Quran, yaitu :
1. Al-Qalb berarti lubuk hati yang masih bolak balik dan belum mantap
dalam memutuskan suatu keyakinan dan kekuatan untuk menerima
batin antara yang haq dan yang bathil. (QS: Al-Hadiid [57]:27, Qaf
[50]:37)
2. Ash-Shadr, asal katanya adalah kejadian, kembali, permulaan dari
segala sesuatu, kukuh hati dan dada. (QS: Az-Zumar[34]:22, Al-Hijr
[15]:47)
3. Al-Fuad, arti asalnya kematian, ketetapan, manfaat dan hasil.(QS: An-
Najm [53]:11, Al-Israa [17]:36)
Ketiga macam kata tersebut sering digunakan dalam al-Quran yang
secara umum berfungsi sama sebagai wadah dan media Allah menampakkan
ayat-ayat-Nya berupa gambaran/pemandangan batin mengandung isyarat,
pelajaran penuh hikmah, wadah terbitnya firasat berupa suara dan bisikan
ketuhanan yang mengandung perintah dan larangan, esensi kemanfaatan dan
kemudaratan, esensi keimanan dan kefasikan, esensi ketauhidan dan
kesyirikan, juga sebagai wadah lahirnya rasa cinta dan kerinduan, sedih dan
gembira, rasa keinsanan dan ketuhanan.
Apabila hati belum mantap menerima cahaya keimanan, keislaman,
keihsanan dan ketauhidan maka dinamakan QALB. Jika sudah mantap dan
sadar maka dinamakan SHADR, dan jika kesadarannya kokoh kuat tertanam
dalam lubuk hati maka dinamakan FUAD.
Al-Quran juga menunjukkan adanya indikasi-indikasi konkrit yang
menunjukkan dimilikinya potensi qalb Ilahiyah dalam diri setiap orang,
yakni :
1. Seseorang hatinya akan menjadi tentram dan senantiasa damai, apabila
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
14
selalu berdzikir menyebut dan mengingat Allah Ta’ala, kapan saja dan
di mana saja ia berada (Ar-Ra’d, 28:29)
2. Pada diri setiap orang ada wilayah hati atau kecenderungan untuk
senantiasa menghadirkan ketakwaaan dan menabur kerahmatan dan
syi’ar ajaran Allah Ta’ala baik dalam keadaan lapang maupun tidak
(Al-Hajj, 22:32).
3. Hati seseorang akan senantiasa bahagia karena keimanan semakin
bertambah dan terus naik ke hadirat Allah Ta’ala; hati berjumpa
dengan-Nya serta merasakan kebahagiaan dan kenikmatan (Al-Fath,
48:1-5).
4. Hati manusia juga akan selalu condong dan cinta kepada keimanan,
ketaatan dan benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. (Al-
Hujurat, 49:7; Ali Imran, 3:8).
5. Manusia yang mengasah dan memelihara hatinya menjauhi larangan-
larangan Allah SWT danmendekatkan hatinya kepada ketaqwaan,
maka hatinya menjadi sangat peka terhadap keimanan dan kecintaan
kepada Allah, sehingga hatinya gemetar apabila disebut nama-Nya dan
bertambah-tambah rasa keimanan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya
(Al-Anfal, 8:2; Al-Hajj, 22:35, 54; Az-Zumar , 39:23).
6. Hati manusia senantiasa dekat dengan malaikat Jibril, karena beliau
senantiasa hadir ke dalam hati dengan membawa wahyu, irsyad,
hidayah dan firasat ketuhanan untuk membenarkan dan menguatkan
keimanan dan ketakwaan. (Al-Baqarah, 2:97, Asy-Syu’ara, 26:194)
7. Hati manusia juga dipenuhi dengan hakikat Islam dan ilmu empirik,
sehingga kepasrahan dan rasa ingin mengembangkaan aplikasi
keislamannya terus tumbuh subur dan berkualitas Ilahiyah. (Al-
An’am, 6:125; Az-Zumar, 39:22; Al-Ankabut,29:49).
8. Hati manusia senantiasa terjaga dan dijaga oleh Allah dengan
ditampakkan oleh-Nya kenikmatan dan rahasia surga. (As-Syu’ara, 26: Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
15
89-90).
Rasullah SAW dalam beberapa haditsnya menyatakan bahwa hati
manusia itu ada empat macam, yakni:
1. Hati yang bening, yaitu di dalamnya terdapat lampu yang bersinar.
Inilah hatinya orang-orang yang beriman.
2. Hati yang tertutup, inilah hati yang dimiliki oleh orang yang ingkar
(kafir) kepada Allah;
3. Hati yang dibalikkan, ini adalah hati yang dimiliki oleh orang yang
nifaq;
4. Hati yang di dalamnya bercampur dua perkara, yaitu dasar pokok
keimanan dan dasar pokok kemunafikan. Hati dalam kondisi seperti
inilah yang dapat mengalahkan salah satunya.
(H.R. Ahmad dari Hudzaifah bin Al Yaman RA)
Hati yang bening itulah yang dapat berfungsi baik dan benar potensi
ilahiyahnya, karena ia selalu disinari dengan Cahaya-Nya yang diproduksi
dari intisari ketaatan dalam beribadah, memuji serta mensucikan dzat-Nya.
Menurut al-Ghazali al-Qalb memiliki potensi yang mengandung
muatan-muatan sebagai wadah yang memperkuat potensi tersebut dan
disebut dengan ’tentara hati’ (junudulqalbi). Menurutnya, tentara hati
tersebut ada 3 jenis yaitu :
1. Al-Iradah (kehendak), berfungsi sebagai pembangkit dan pendorong
baik untuk mendatangkan sesuatu yang bermanfaat, seperti naluri
syahwat ataupun untk menolak sesuatu yang berbahaya (mudharat)
dan merugikan seperti emosi dan amrah (ghadab).
2. Al-Qudrah (kemampuan), berfungsi sebagai penggerak anggota tubuh
untuk berbagai tujuan yang tersebar di seluruh tubuh terutama dalam
otot-otot (al’adalat) dan urat-urat (al-authar).
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
16
3. Al-‘Ilm (instrument ilmu pengetahuan) dan al-Idrak (daya gerak dan
daya pencerap), berfungsi sebagai instrument yang menerima
rangsangan, seperti panca indera(al-khawasis), akni indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, alat perasa, dan alat peraba yang semuanya
tersebar di seluruh tubuh bagian luar dan dalam.
Sedangkan fungsi utama al-Qalb menurut al-Ghazali yakni sebagai
alat pengetahuan (‘ilmu) dan kehendak (iradah) :
1. Sebagai ‘ilmu yaitu ilmu pengetahuan tentang urusan duniawi dan
ukhrawi serta hakekat-hakekat yang seharusnya dapat diserap
dipahami secara rasional. Pemisalan hati dalam kaitannya dengan ilmu
pengetahuan diibaratkan cermin dengan gambar-gambar beraneka
warna. Benda yang terpantul akan jelas memiliki bentuk, begitu juga
dengan segala sesuatu yang diketahui jelas memiliki hakekat. Dan
setiap hakekat memiliki gambar yang tercetak jelas dalam cermin.
Masing-masing eksistensi tersebut merupakan bentuk yang berlainan
antara gambar, cermin dan bayangan. Dengan kata lain, seandainya
dikaitkan dengan suatu pengetahuan maka si pemilik pengetahuan,
adalah hati yang tercetak, di dalamnya gambaran dari segala
sesuatunya. Adapun obyek yang diketahuinya adalah hakekat dari
segala sesuatu, sedangka pengetahuan mengenai sesuatu adalah ibarat
kehadiran gambar tentang hakekat tersebut dalam cermin hati. Dalam
analogi yang lain, al-Ghazali mengilustrasikan bagaimana cara hati
untuk mengetahui yang dianalogikan hati dengan kolam. Hati adalah
laksana kolam yang kosong. Pengetahuan adalah ibarat air, dan indera
yang lima adalah ibarat anak sungai (anhar). Ada dua cara untuk
mengisi kolam tersebut, pertama dengan membiarkan atau
mengarahkan air ke dalamnya melalui kelima anak sungai itu sampai
kolamnya benar-benar penuh dengan air. Proses ini adalah analogi
dimana indera menangkap informasi mentah dan kemudian diproses
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
17
secara internal psikologis sehingga menjadi pengetahuan yang lebih
matang. Kedua, dengan menutup rpat-rapat anak sungai yang ada dan
menggali dasar kolam lebih dalam lagi sampai air akan memancar dari
dasar sungai dan memenuhi kolam. Demikian juga halnya seseorang
dapat memperoleh pengetahuan dengan menutup inderanya lalu
mengasingkan diri untuk membenahi akhlaknya dan menyelamnya ke
dasar jiwanya hingga air pengetahuan memancarkan darinya.11
Al-Ghazali juga mengatakan tidak semua cermin memancarkan dan
bisa memantulkan gambar dengan sempurna. Ada lima sebab yang
memungkinkan gagalnya sebuah cermin dalam merefleksikan obyek;
pertama, sebab kelemahan material cermin itu sendiri. Misalkan bila cermin
itu terbuat bahan yang berkualitas rendah. Kedua, adanya sebuah kotoran
yang menempel pada cermin, meskipun cerminnya sendiri adalah baik dan
sempurna. Ketiga, penempatan focus benda yang kurang tepat. Misalkan,
bila obyek yang diinginkan direfleksian diletakkan terlalu jauh dan
dibelakang cermin. Keempat, adanya obyek lain di antara cermin dan obyek
yang ingin direfleksikan. Kelima, ketidaktahuan orang yang ingin melihat
refleksi tentang di mana refleksi harus dicari.
2. Kehendak (iradah), yaitu suatu keinginan atau kehendak pada diri
manusia yang mengetahui dengan akalnya sebagai hasil yang akan
diperolehnya dengan jalan melakukan sesuatu untuk memperolehnya.
Jadi, hati dalam konteks ini menurut al-Ghazali adalah sebagai alat
untuk mencari ilmu pengetahuan sebagai hasil pemikiran dan
penalaran secara naluriah.12
Qalb mempunyai sifat dan karakter yang dipengaruhi oleh interaksi
yang terjadi antara pemenuhan fungsi memahami realitas dengan campuran
potensi yang berasal dari kandungan hati dan melahirkan suatu keadaan
psikologis yang menggambarkan kwalitas, tipe dan kondisi qalb. Proses
11 Ahmad Ali Riyadi, ibid. hal.27-28.12 Ahmad Ali Riyadi, op.cit.h.28Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
18
interaksi psikologis ini, oleh al-Ghazali dibagi menjadi dua aspek. Pertama,
aspek internal. Aspek ini tercermin dalam sifat dasar hati. Di antaranya; 1)
sifat sabu’iyyah (binatang buas). Cirri khas yang ada pada sifat ini adalah
pemarah dan emosional (ghadab). 2) sifat bahamiyyah (kehewanan).
Penekanan pada sifat ini adalah pada sifat syahwah. Seperti perilaku
kehewanan dangan menonjolkan kerakusan , ketamakan dan sejenisnya. 3)
sifat syaitahaniyyah (setan). Yaitu munculnya sifat-sifat keraguan,
keculasan, kelicikan dan penipuan. 4) sifat rabbaniyyah (ketuhanan).
Karakter yang muncul pada sifat ini adalah berupa hak ketuhanan termasuk
di dalamnya hak kepemimpinan mutlak, otoriter atas orang lain. Sedangkan
aspek yang kedua disebut aspek eksternal. Yaitu pengaruh norma-norma
baik dan buruk yang ditangkap oleh cermin hati. Bila perbuatan baik yang
ditangkap oleh cermin hati itu maka akan bersih dari kotoran. Tapi bila
pengaruh perbuatan jahat terhadap hati atau bekas yang ditinggalkan oleh
sifat-sifat tercela ibarat asap hitam yang menutupi cermin hati, sehingga
menghalangi dari cahaya ilahi.
Al-Quran juga menunjukkan adanya 9 indikasi pada diri manusia
yang hatinya bermasalah mengarah kepada kematian al-Qalb, yaitu :
1. Qalb menjadi bodoh dan tidak dapat memahami ayat-ayat Allah,
sehingga seseorang yang memiliki qalb yang bodoh, suka atau tidak
suka ia akan menjadi penghuni neraka jahanam. (Q.S. Al-A’raf,
7:179).
2. Hati merasa ketakutan karena banyak karat-karat dalam hatinya akibat
telah mekakukan kedurhakaan dan dosa yang bertumpuk-tumpuk.
(Q.S. Ali ’Imran, 3:151).
3. Hati menjadi terkunci mati dan disegel oleh Allah Ta’ala, karena
terlalu sering menentang dan mendustakan ayat-ayat-Nya. (Q.S.
Al-’Araf, 7:101).
4. Allah memerintahkan kepada para malaikat agar melakukan eksekusi
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
19
dengan pemancungan anggota tubuh orang-orang yang ingkar, karena
dalam dada mereka banyak virus kehancuran. (Q.S. Al-Anfaal, 8:12).
5. Allah akan mengisi hati orang-orang yang ingkar itu rasa yang
mendorong untuk melakukan pengingkaran dan memperolok-olok atau
mempermainkan kebenaran. (Q.S. Al-Hijr, 15:12).
6. Hati merasa tidak senang mendengar kebaikan dan kebenaran Allah
dan Rasul-Nya, bahkan mereka cenderung untuk menjauhkan diri dari
hal itu. Karena merasa khawatir kalau-kalau ayat-ayat-Nya akan
menghalangi kesenangan hidupnya di dunia. (Q.S. Az-Zumar, 39:45).
7. Hati sangat sulit menerima kebaikan, kebenaran dan tersentuh nasehat
ketuhanan. (Q.S. Al-Baqarah, 2:6; Al-Baqarah, 2: 74).
8. Hati penuh dengan prasangka-prasangka buruk bagi orang-orang yang
munafiq dan takut berjuang di jalan Allah. (Q.S. Al-Fath, 48:12)
9. Hati bura, bisu, tuli dari kebenaran sehingga ia tidak dapat menerima
dan melihat ayat-ayat Allah, bahkan ia tidak dapat menangkap berita
dan peristiwa-peristiwa yang bersifat transendental dari alam Malakut,
Jabarut dan Lahut secara mukasyafah (penglihatan alam gaib),
melainkan hanya kegelapan yang ditatap oleh hati itu. (Q.S. Al-
Baqarah, 2:18; Al-Hajj, 22:46)
c. Al-Aql (akal)
a. Pengertian akal (al-aql)
Secara etimologis, akal memiliki arti yang bervariasi, misalkan al-
imsak (menahan), arribat (ikatan), al-hajr (menahan), an-nahyu (melarang)
dan al-man’u (mencegah). Berdasarkan makna bahasa ini maka yang disebut
makna orang yang berakal adalah orang yang mampu menahan dan mengikat
hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat maka jiwa rasionalitasnya
mampu berekspresi. Akal merupakan organ tubuh yang terletak di kepala
yang lazimnya disebut otak (ad-dimag) yang memiliki cahaya (an-nur)
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
20
nurani yang dipersiapkan dan mampu memperoleh pengetahuan (al-
ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikah).
Kata akal berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti mengikat
atau memahami. Akal juga diartikan sebagai suatu energi yang mampu
memperoleh, menyimpan dan menelurkan pengetahuan. Akal mampu
menghantarkan manusia pada substansi humanistik atau potensi fitriyyah
yang memiliki daya-daya pembeda antara hal-hal yang baik dan yang buruk,
yang berguna dan yang membahayakan. Pengertian tersebut, dapat dipahami
bahwa akal merupakan daya berpikir manusia untuk memperoleh
pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi
manusia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan akal dengan 4 (empat)
pengertian : (1) Daya pikir (untuk mengerti), pikiran, ingatan; (2) jalan
atau cara melakukan sesuatu, dan upaya, ikhtiar; (3) tipu daya, muslihat,
kecerdikan, kelicikan, dan (4) kemampuan melihat atau cara-cara
memahami lingkungan.
Arti akal (secara harfiah) menuut Kamus-kamus bahasa Arab : al-
imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hijr (menahan), al-nahy (melarang)
dan man’u (mencegah).
Ibn Manzhur, mengartikan al-‘aql dengan 6 macam: (1) akal pikiran,
Inteligensi, (2) menahan, (3) mencegah, (4) membedakan, (5) tambang
pengikat, dan (6) ganti rugi.
Akal juga sering disamakan dengan ‘al-hijr’ (menahan atau
mengikat). Sehingga seorang yang berakal adalah orang yang dapat
menahan diri dan mengekang hawa nafsunya. Kata-kata Hamka----seorang
ulama-sastrawan Indonesia----mewakili pengertian itu: mengikat binatang
dengan tali, mengikat manusia dengan akalnya.
Para sufi memahami kedudukan akal dalam konteks “mengikat”,
“melekatkan”, dan “membatasi”. Pilihan makna ini berkaitan dengan Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
21
penciptaan alam semesta oleh Tuhan. Tuhan dianggap tak terbatas, tak
terjangkau. Namun, ketika ia ber-tajalli, maka setiap ciptaan-Nya senantiasa
terbatas. Ciptaan itu “mengikat” dimensi Tuhan yang tak terbatas itu. Jadi,
akal cenderung berkaitan dengan segala ciptaan Tuhan, bukan Tuhan sendiri
yang maha luas itu.
Fungsi “pengikatan” akal tersebut secara ilmiah-filosofis dipelajari
dalam semiotika (ilmu tanda) yang begitu populer di kalangan ahli sastra .
Betapapun watak semulanya untuk perbincangan ilmu sastra dan bahasa,
sebagaimana itu dimaksudkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan
Charles Sanders Pierce (1839-1913), semiotika sangat berguna bagi semua
disiplin ilmu. Makna dasar semeion (Yunani), yakni “tanda”, memiliki
kaitan erat dengan ayat yang hanya dapat dipahami oleh akal. Akal dalam
jenis ini yang oleh Al-Farabi dibedakan dengan intelek.
Menurut Al-Raghib Al-Isfahani, kata akal itu juga menunjuk pada
“potensi” dalam diri manusia yang disiapkan untuk memperoleh
pengetahuan. Kata itu semakna dengan kekuatan berpikir (al-quwwah
al-‘aqilat), pemahaman (al-fahm), tempat berlindung (al-malja’), menahan
(mana’ah), hati (al-qalb) dan ingatan (dzakirah). Makna dasar dan makna
sinonim itu menunjukkan bahwa akal adalah sesuatu yang memang sengaja
disiapkan Tuhan dalam diri manusia untuk menjalani kehidupannya di
dunia, dimana keberhasilan penggunaan akal sangat ditentukan oleh
seberapa besar potensi itu di aktualkan.
Toshihiko Izutsu berpendapat, dari sudut linguistik (ilmu kebahasaan),
kata ‘aql adalah kata yang “semitransparan”. Maksudnya, sebuah kata yang
belum begitu jelas makna sesugguhnya. Kata Arab telefun dan
dimuqratiyyah, adalah kata yang “transparan” dan mudah dimengerti karena
diadopsi dari kata Inggris telephon dan democracy. Walaupun sejauh
menyangkut persoalan telefon, terdapat kata arab hatif yang bersifat
“semitransparan”.
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
22
Untuk dapat mengerti kata ‘aql itu, maka ia harus dibuat “transparan”.
Kata nous dalam bahasa Yunani dianggap dapat mewakili kata akal yang
telah dibuat “transparan” itu. Nous itu tepat sekali dimaknai sebagai intelek.
Kata “intelek” atau kata akal yang telah ditransparansi itu memiliki makna
intelektual dan spiritual. Kata lain yang semakna dengan itu adalah
intellectus (Latin) dan vernunft (Jerman).
Kata-kata yang disebut di atas itu menunjuk sesuatu yang melebihi
penalaran logis. Jika kecerdasan praktis, rasio, atau reason menunjuk pada
kemampuan menalar secara logis, dengan langkah-langkah sistematis, yang
tentu membutuhkan fakta dan keterlibatan pancaindra, maka ‘aql dalam
pengertian intelek (atau nous) melebihi semua itu.
Seyyed Hossein Nasr, menyebut akal (dalam kepala) sebagai proyeksi
atau cermin dari hati (qalb), tempat keyakinan dan kepercayaan manusia.
Dengan itu, akal bukan hanya instrumen untuk mengetahui, melainkan juga
menjadi wadah bagi “penyatuan” Tuhan dan manusia. Teori Akal Aktif dari
Ibn Sina dan Al-Kindi maupun hierarki ilmu dari Al-Farabi dapat
menjelaskan hal itu. Dalam diri manusia, akal bersifat potent yang kemudian
mewujud dalam bentuk jiwa (spirit). Menurut Rhenis Meister Echart, “di
dalam jiwa seseorang terdapat sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak
mungkin dibentuk. Sesuatu itu adalah intelect.
Dengan mencermati keluasan makna, pada akhirnya secara umum
diketahui bahwa penggunaan kata al-‘aql dalam posisi sebagai kata maupun
kalimat mengandung dua potensi dan kecenderungan makna yang bersifat
“rasional dan intuitif”, atau mengandung muatan makna psikofisik dan
metafisik.
Kata dasar al ‘aql tidak ditemui dalam al Qur’an. Dipakai sebagai kata
kerja dalam 49 kali penyebutan 1 kali dalam bentuk lampau (past tense) dan
48 kali dalam bentuk sekarang (present tense) Penyebutannya meliputi :
‘aqluh 1 kali, ta’qiluun 24 kali, na’qil 1 kali, ya’qiluhaa 1 kali dan
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
23
ya’qiluun 22 kali.
Menurut Yusuf Qardhawi, penyebutannya dalam bentuk istifham
imkari(pertanyaan retoris) – afala ta’qiluun- karena Al Qur’an bermaksud
menarik perhatian manusia dan bertujuan memotivasi, memberi semangat,
dan mendorong manusia untuk menggunakan akalnya.
Materi al ‘aql mengalami pemadatan makna dalam Al Qur’an disebut
sebanyak 49 kali dalam 28 surah, yakni 31 kali dalam 19 surah yang
diturunkan di Makkah dan 18 kali dalam 9 surah yang diturunkan di
Madinah.
Akal menurut Abi Al-Baqa ‘Ayyub ibn Musa Al-Kufi, tercatat empat
nama yang menonjol: (1) al-lub, karena ia merupakan cerminan kesucian
dan kemurnian Tuhan. Aktivitasnya adalah berzikir dan berfikir; (2) al-
hujah, karena akal ini dapat menunjukan bukti-bukti yang kuat dan
menguraikan hal-hal abstrak, (3) al-hijr, karena akal mampu mengikatkan
keinginan seseorang hingga membuatnya dapat menahan diri, dan (4) al-
nuha, karena akal merupakan puncak kecerdasan, pengetahuan, dan
penalaran.
Menurut Yusuf Qardhawi, dalam Al Qur’an akal disebut pula dengan
term fu’ad, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Karena, ia termasuk
dalam salah satu dari tiga perangkat pokok ilmu pengetahuan : pendengaran,
penglihatan, dan fu’ad (kalbu). Allah SWT berfirman : “Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati ((fu’ad) semuanya
itu akan diminta pertanggungjawabannya” (QS.Al-Israa : 36). “ Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan
hati (fu’ad) agar kamu bersyukur” (QS.An-Nahl : 78).
Bentuk-bentuk sama’ “pendengaran”, abshar “penglihatan, dan af‘idah Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
24
-“kalbu” - disebut dalam Al Qur’an dalam beberapa surat. Begitu juga
dengan qalb -“hati” - sebagai ganti fu’ad juga terdapat dalam beberapa ayat
dalam Al Qur’an. Seperti dalam firman Allah SWT berikut ini :
“Allah telah mengunci mati hati (qulubihim) dan pendengaran mereka, dan
penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS.
Al Baqarah : 7). “Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut
pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu (qulubikum), siapakah
Tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?’”(QS Al
An’am : 46).
Juga disebutkan dalam QS. Al A’raf : 179, QS.An Nahl : 108, QS. Al
Isra’:46, QS.Al Kahfi : 57, QS. Al Hajj : 46, QS. Al Jaatsiyah : 2342.
Qardhawi melihat kata ‘fu’ad’ dalam beberapa ayat-ayat tersebut terkait
kuat atau merupakan satu kesatuan dengan fungsi pendengaran dan
penglihatan yang merupakan fungsi organik dari akal. Sedangkan term
‘fu’ad’ dan “af’idata, af’idati, af’idatu” yang lain karena tidak tersirat
dengan fungsi organik akal, - tercantum dalam Al-Qur’an seperti :
QS.14:37, QS.23:78, QS.32:9, QS.46:26, QS.67:23, QS.104:7, & QS.6:113
dan QS.28:10, QS.53:11, QS.11:120, & QS.25:32 -tidak dijelaskan.
Kata Al-’Aql banyak memiliki makna yang hampir sama, tetapi berbeda
pada segi yang lain. Semuanya membawa satu makna, namun pene-kanan
masing-masing kata itu berbeda. Diantaranya terdapat tujuh sinonim kata
akal itu: (1) ‘dabbara’ (merenungkan), (2) faqiha (mengerti), (3) fahima
(memahami), (4) nazhara (melihat, dengan mata kepala), (5) dzakara
(mengingat), (6) fakkara (berfikir secara dalam), dan (7) ‘alima (memahami
dengan jelas).
Selain itu, masih ada term lain yang dari segi fungsi yang
ditunjukkannya memiliki kemiripan dengan kata akal. Yang paling
mendekati adalah kata al-qalb (dalam arti pengganti fu’ad dan dikaitkan
dengan fungsi organik akal) dan beberapa ayat lainnya yang akan dijelaskan
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
25
terkait dengan Al-Qalb.
Dalam bahasa Persia dan Urdu, kata al-Qalb disebut ‘del’ dan dalam
bahasa Inggris disebut ‘Heart’. Dalam Al Qur’an, kata Qalb digunakan
untuk menunjuk kepada sesuatu yang berfungsi sebagai pengendali pikiran
dan kehendak, yang kita sebut akal.
Dalam al-Kafi, kata Qalb dalam surah Qaf ayat 37 ditafsirkan sebagai
akal (al-‘aql). “ Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat peringatan (dzikra) bagi orang-orang yang mempunyai qalb”.
Beberapa contoh ayat dalam Al Qur’an tentang al Qalb yang memiliki
arti secara tersirat dengan kata akal, yaitu :
“Tidaklah mereka merenungkan isi Al-Quran, ataukah hati mereka
sudah terkunci? “. (QS Muhammad [47]: 24)
“Mereka mempunyai kalbu yang tak dapat dimengerti”.
(QS Al-A’raf [7]: 179)
“Apakah mereka tidak melihat ke langit di atas kepala mereka dan
merenungkan bagaimana ia Kami bina dan hiasi”. (QS Qaf [50]: 6)
“Demikianlah Tuhan memberi pertanda-pertanda bagi kamu, semoga
kamu berfikir”. (QS Al-Baqarah [2]: 219)
“...kemudian mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya,
sedang mereka mengetahui”. (QS Al-Baqarah [2]: 75)
Lima contoh ayat di atas memperlihatkan bagaimana sinonim kata
‘aql, juga dipakai untuk melukiskan pekerjaan-pekerjaan akal manusia. Luas
dan banyaknya pilihan kata (diksi) ini menunjukan perhatian yang sangat
dalam terhadap kegiatan berfikir manusia.
Sinonim itu juga menunjukan tingkatan-tingkatan berfikir. Dari yang
sederhana, seperti melihat dan berfikir praktis, sebagaimana diwakili oleh
kata nadzar, sampai pemikiran-pemikiran yang mendalam, seperti diwakili
kata fakkara. Bahkan, lebih dari sekadar berfikir, manusia disuruh untuk
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
26
mengambil pelajaran dan merenungkan apa yang dipikirkannya,
sebagaimana ini diwakili oleh kata dabbara, taddabur.
Term-term lainnya yang berada dalam medan semantik kata akal
sebagaimana dipakai dalam Al Qur’an diantaranya adalah :
Kata Al Fikr yang dalam bahasa Indonesia kata ini menjadi “pikir”
dan “pakar” berasal dari Al Fikr yang dalam Al Qur’an menggunakan
istilah fakkara dan tafakkaruun. Menurut Quraish Shihab, kata “fikr”
berasal dari kata “fark” dalam bentuk “faraka” yang dapat berarti :
(1) mengorek sehingga apa yang dikorek itu muncul, (2) menumbuk
sampai hancur, dan (3) menyikat (pakaian) sehingga kotorannya
hilang. Salah satu bentuk berfikir adalah tafakur. Kata ini telah
mengalami pemadatan makna melebihi sekedar makna harfiahnya,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Fudhail bahwa tafakur adalah
cermin yang akan memperlihatkan padamu kebaikan dan
keburukanmu. Ibnu Qayyim Al-Jauziy juga berpendapat bahwa
bertafakur merupakan pekerjaan hati yang paling utama dan paling
bermanfaat. Kegiatan berfikir yang diselingi dengan refleksi berupa
tafakur akan mengarahkan seseorang kepada kedalaman makna obyek
ilmu pengetahuan. Dengan bertafakur dapat dipahami adanya
hubungan yang erat antara “pikiran” dan “perasaan” – hubungan
antara fikr dan dzikr.
Kata Al Dzikr, oleh Hanna Kassis (1983) dilihat sebagai hubungan
organik antara fikr dan dzikr melalui penulusuran kata fakkara. Kata
itu, disamping bermakna seperti disebut di atas, juga mengandung arti
to reflect (merenung) sehingga dalam proses berpikir terkandung juga
kegiatan yang bersifat refleksi (permenungan) terhadap obyek yang
dipikirkan itu. Ketika seseorang berpikir, ia tidak hanya memperoleh
informasi (data-data atau fakta-fakta) saja. Ia juga – dan ini yang
paling utama- memperoleh hikmah dan kebijaksanaan. Banyak orang
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
27
memiliki ilmu, tetapi sedikit saja yang memiliki kebijaksanaan. Dan
seutama-utamanya berfikir adalah berpikir menuju hikmah itu.
Semakin dalam seseorang berpikir, semakin tajam kekuatannya, dan
itu berarti semakin bijaksanalah dia. Al –Quran berulang-ulang
menandaskan bahwa hikmah itu dapat diberikan kepada siapa saja.
Siapa yang telah memperoleh hikmah, ia sesungguhnya telah diberi
nikmat yang banyak (QS Al Baqarah [2]: 269). Tadzakkur adalah salah
satu tugas akal yang paling tinggi. Dan dzakirah (ingatan) adalah
tempat penyimpanan pengetahuan dan informasi yang diperoleh
manusia untuk dipergunakannya pada saat dibutuhkan. Manusia,
menurut Qardhawi, tidak bisa hidup tanpa tadzakkur dan dzakirah.
Entah di dunia, entah di akhirat.
Ada perbedaan penekanan makna antara tafakkur dan tadzakkur.
Untuk memperoleh pengetahuan baru dan segar, maka tafakur
diperlukan. Sedangkan untuk mengingatnya, supaya tidak lupa dan
lalai, tadzakkur diperlukan. Imam Al-Ghazali mempertegas posisi
keduanya, “Setiap orang yang berpikir adalah ber-tadzakkur namun,
tidak setiap ber-tadzakkur itu berpikir.”
Kata ‘Ilm . Dari semua pekerjaan akal, akar kata ‘ilm dan kata
turunannya paling banyak disebut. Menurut Quraish Shihab ada sekitar
854 kali disebut. Istilah ini terdapat dalam Surah Makkiyah dan
Madaniyah secara seimbang dengan semua kata jadiannya: sebagai
kata benda, kata kerja, atau kata keterangan.
Kata itu digunakan dalam arti proses percarian pengetahuan dan objek
pengetahuan. Dari segi bahasa, ‘ilm berarti kejelasan. Setiap
turunannya termaktub makna “kejelasan” itu. Misalnya, ‘alam
(bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), a’lam (gunung-gunung), ‘alamat
(alamat). Tiap-tiap kata itu menjadi penjelas bagi apa yang ditunjuk.
Misalnya, gunung menjadi jelas karena langsung terlihat pada bibir
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
28
seseorang.
Makna dasar lain dari kata ‘ilm adalah, menjangkau sesuatu sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya. Ia juga dipakai untuk menyebut
suatu pengenalan yang sangat jelas terhadap suatu objek. Karena itu,
menurut pandangan Al-Quran, seseorang yang menjangkau sesuatu
dengan benaknya, tetapi jangkauannya itu masih disertai keraguan,
maka ia tidak bisa disebut sebagai orang yang mengetahui apa yang
dijangkaunya itu. Kondisi ini bukan ‘ilm, tetapi zhann. Secara
semantik, jalan yang dilalui kata ‘ilm sedikit berbeda dengan kata ‘aql.
Bila kata ‘aql mengalami pemadatan makna dalam makna dasarnya,
maka kata ‘ilm justru dalam makna relasionalnya. Makna dasar kata
‘ilm sama pada setiap sistem yang memakainya, baik pra-Islam, Al-
Quran, maupun teologi Islam. Namun, makna relasionalnya menjadi
berbeda sejauh menyangkut sumber ilmu itu sendiri.
Kata Nazhar, oleh Quraish Shihab, diartikan sebagai “nalar”,
digunakan secara tegas sebagai “memandang dengan mata kepala dan
mata hati”. Secara harfiah, dekat dengan kata al fahsu (penyelidikan)
atau kontemplasi ( al-ta’ammul). Juga semakna dengan melihat (ra’yu)
dan memandang dengan mata (bashar). Secara istilah, ia
menggambarkan proses pengertian terhadap sesuatu hal atau objek.
Mula-mula melalui pandangan mata (kepala) yang memaksa seseorang
memperhatikan suatu objek . Setelah itu, ia akan berpikir untuk
meyakinkan dirinya tentang kebenaran objek tersebut. Mungkin makna
itu dapat diwakili oleh kalimat pleonastis berikut: melihat dengan
mata kepala sendiri. Seseorang akan betul-betul yakin terhadap
sebuah objek jika ia melihat secara langsung dengan mata kepalanya
sendiri. Metode empiris dalam ilmu pengetahuan dapat dijelaskan
melalui penelusuran kata “nazhar” itu. Pengetahuan yang dihasilkan
melalui metode ini cukup akurat, karena telah melalui penyelidikan
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
29
yang mendalam (al-ma’rifat hashila al-ba’da’ fahshi).
Kata al Albaab atau ’uqul adalah bentuk jamak dari term ‘lubbu’
artinya ‘isi’, yaitu antonim dari ‘kulit’. Seakan-akan Al Quran ingin
menunjukkan bahwa manusia terbagi atas dua bagian yaitu kulit dan
isi. Bentuk fisik bagian luar manusia adalah ‘kulit’ sedangkan ‘isi’nya
manusia adalah ‘akal’. Menurut Imam al-Biqa’i berkata, “Albab
adalah yang memberi manfaat kepada pemiliknya dengan memilah sisi
substansial dari kulitnya”. Al Harali berkata, “Ia adalah sisi terdalam
akal yang berfungsi untuk menangkap perintah Allah dalam hal-hal
yang dapat diinderai, seperti halnya sisi luar akal yang berfungsi untuk
menangkap hakikat-hakikat makhluk, mereka adalah orang-orang yng
menyaksikan Rabb mereka melalui ayat-ayatNya. Term ‘ulul albaab
atau ulil albaab’ terulang dan disebut dalam Al Quran sebanyak 16
kali, 9 diantaranya dalam ayat-ayat Makkiyah, tujuh lainnya terdapat
dalam ayat-ayat Madaniyah. Empat ayat Madaniyah diantaranya
dengan redaksi memanggil “yaa ulil-albaab” yaitu : 1). QS al
Baqarah [2]: 179, 2) QS. QS al Baqarah [2]: 197, 3) QS al Maa’idah
[5]: 100, dan 4) QS al Thalaq [65]: 10-11.
Al-Ghazali mengartikan akal sebagai potensi yang disiapkan untuk
menerima ilmu pengetahuan, tidak menjelaskan bagaimana proses berpikir
seperti yang dibahas para psikolog. Menurutnya, ada beberapa pengertian
tentang akal, pertama, akal diartikan sebagai suatu sifat yang membedakan
manusia dengan hewan dan merupakan potensi yang dapat menerima dan
memahami pengetahuan-pengetahuan yang berdasarkan ilmu nadlari ( idrak
al-‘ulum an-nadlariyyah). Kedua, akal diartikan sebagai suatu sifat yang
membedakan manusia dengan hewan dan merupakan potensi yang dapat
menerima dan memahami pengetahuan-pengetahuan yang telah tersimpan
dalam diri anak yang mumayyiz. Sebutan ini, sebagai ilustrasi karena anak
tersebut mampu membedakan antra perkara yang memberi dan tidak
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
30
memahami antara yang baik dengan yang tidak baik atau ilmu-ilmu yang
sudah tertanam dalam diri manusia, atau kumpulan pengetahuan aksiomatis
tentang kemungkinan segala yang mungkin dan kemustahilan atas segala
yang mustahil. Ketiga, akal adalah pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh
dari pengalaman manusia. Keempat, akal adalah al-gharizah (naluri) yang
telah tertanam dalam pribadi seseorang dan mampu memperhitungkan akibat
yang akan timbul dari segala sesuatunya dan mampu menundukkan serta
mengalahkan hawa nafsu yang mengajak kepada kesenangan sesaat.
Gharizah dalam artian etimologis berarti insting, tabi’at, perangai, kejadian,
ciptaan dan sifat bawaan. Sedangkan dalam arti istilah adalah potensi laten
(bawaan) yang ada pada psikofisik manusia yang dibawanya sejak lahir dan
yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi tingkah laku manusia, baik
berupa perbuatan, sikap, ucapan dan sejenisnya.
Dari pengertian keempat tersebut, al-Ghazali menyimpulkan bahwa
yang paling merupakan dasar atau pokok pengertian tentang akal adalah
sesuai dengan pengertian yang pertama. Sementara pengertian yang kedua
adalah cabang pertama. Sedangkan pengertian yang ketiga merupakan
cabang dari pengertian pertama dan kedua. Pengertian pertama dan kedua
diperoleh secara naluriah (thabi’i), sedangkan yang ketiga dan keempat
diperoleh secara empiris (al-iktisab). Untuk memperkuat pendapatnya
tersebut, al-Ghazali mengambil hadis Nabi SAW; “tidak ada sesuatu
ciptaan Allah SWT yang lebih mulia di sisi-Nya kecuali akal.” Sedangkan
yang sesuai dengan pengertian terakhir (keempat), mengambil hadis Nabi
SAW.; ” manakala manusia bertakarrub, mendekatkan diri pada Allah,
melalui pintu-pintu kebajikan dan berbagai amal shaleh, maka
bertaqarrublah engkau dengan akalmu.”
b. Fungsi dan Tingkatan-tingkatan Akal
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
31
Secara psikologis, al-Ghazali menyebut segala bentuk aktivitas akal
mengarah kepada proses berpikir manusia. Akal diartikan sebagai hakikat
manusia yang mengetahui, mengenal dirinya sendiri dan mengetahui hal-hal
di luar dirinya.
Ditinjau dari fungsi dan peranan akal, al-Ghazali membagi akal
menjadi dua bagian; akal teoritis (al-‘aql annadlari) dan akal praktis
(al-‘aql al-‘amali). Kedua akal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Akal teoritis berpusat pada otak sedangkan akal praktis
berpusat pada seluruh badan. Akal praktis mempunyai daya-daya jiwa untuk
membuat manusia beraktivitas dan menyempurnakan badan sesuai dengan
tuntutan manusia. Akal teoritis berguna untuk menyempurnakan substansi
pengetahuan immateri dan abstrak.
Potensi manusia secara psikologis oleh al-Ghazali dibagi dengan
berbagai tingkatan akal, yakni:
Pertama, akal material (al-‘ aql al-hayyulani). Akal ini adalah
tingkatan akal yang paling rendah dan bersifat akal potensi yang belum
pernah teraktualisasikan. Akal ini merupakan akal bawaan sejak manusia
dilahirkan dan siap menerima perkembangan selanjutnya karena proses
lingkungan dan hereditas.
Kedua, akal terlatih (al-‘aql bilmalakah). Akal yang telah memiliki
pengetahuan-pengetahuan yang lebih kompleks. Pada tingkat ini seseorang
mampu mengetahui sampai kepada pengetahuan-pengetahuan aksiomatis.
Yaitu kemampuan berakal tanpa diusahakan seperti perasaan dan naluri
manusia.
Ketiga, akal abstrak (al-‘aql bilfi’li). Akal yang sudah mempunyai
kemampuan berfikir sebagai hasil kegiatan berpikir intelek dan tidak hanya
mengetahui pengetahuan-pengetahuan aksiomatis tapi mampu mengolah
ilmu-ilmu pengetahuan yang didapatkan dari potensi yang dimiliki dan
pengaruh dari lingkungan karena perkembangan manusia baik secara fisik
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
32
maupun praktis. Pada tingkatan ini kegiatan intelek manusia bersifat aktif
yakni mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana
yang menguntungkan dan mana yang tidak menguntungkan.
Keempat, akal perolehan (al-‘aql al-mustafad). Akal pada tingkatan
ini menyadari pengetahuan-pengetahuan itu secara aktual dan menyadari
kesadarannya secara faktual. Akal pada tingkat ini berbeda dengan akal pada
tingkat sebelumnya dari segi aktivitasnya. Pada tingkat ini, akal bersifat
aktif menciptakan pengetahuan baru dengan berdasarkan pada tingkatan
sebelumnya.
d. Al-Nafs.
Dalam perspektif bahasa kata ”nafs” memiliki beberapa arti, seperti:
jiwa, darah, tubuh, dan orang.
Dr. M. Quraish Shihab M.A. menyatakan bahwa kata nafs dalam Al-
Quran mempunyai beberapa makna, dapat diartikan sebagai totalitas
manusia, seperti termaktub dalam surat Al-Maidah ayat 32, juga menunjuk
maksud surat Al-Maidah ayat 32, serta menunjuk kepada apa yang terdapat
dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku, seperti maksud
kandungan firman Allah: (Ar-Ra’d, 13: 11).
Selanjutnya beliau menyatakan bahwa kata ”nafs” digunakan juga
untuk menunjuk kepada diri Tuhan (kalau istilah ini dapat diterima) seperti
firman-Nya: (Al-An’am, 6:12). Pengertian nafs di sini adalah yang
berhubungan dengan eksistensi seorang manusia sebagai hamba Allah
Ta’ala, hal mana ia memiliki potensi yang khusus dalam diri setiap hamba.
Al-Nafs juga disebut sebagai elemen dasar psikis manusia, karena
mampu mewadahi dan menampung dimensi-dimensi lainnya, seperti :
al-’aql, al-qalb, l-ruh, al-fithrah. Secara esensial, al-Nafs mewadahi juga
potensi-potensi psikis lainnya seperti taqwa (baik, positif), potensi fujur
(buruk, negatif). Pemahaman al-Nafs sebagai elmen dasar psikis manusia Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
33
seperti yang dijelaskan adalah pemahaman seluruh ayat yang menguraikan
jiwa manusia dengan menggunakan istilah al-Nafs.13
Dalam pandangan Al-Quran, nafs diciptakan Allah Ta’ala dalam
keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia
berbuat kebaikan dan keburukan dan karena itu sisi dalam manusia inilah
yang oleh Al-Quran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar,
sebagaimana firman-Nya: (Asy-Syams, 91:7-8), dimana pengertian
mengilhamkan dalam surat tersebut berarti memberi potensi agar manusia
melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat
mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Dalam kajian Tasawuf, nafs dikenal memiliki delapan kata ganti, dari
kecenderungan yang paling dekat pada tindakan buruk sampai ke tingkat
kedekatan kepada kelembutan Ilahi. Yakni:
1. Nafsu Ammarah Bissu’, yaitu kekuatan pendorong naluri sejalan
dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan, sebagaimana firman-
Nya: (Yusuf, 12:53).
2. Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang telah mempunyai rasa insaf dan
menyesal sesudah melakukan pelanggaran. Ia tidak berani melakukan
pelanggaran secara terang-terangan dan tidak pula mencari-cari secara
gelap untuk melakukan sesuatu, karena ia telah menyadari akibat-
akibat dari perbuatannya, namun ia belum mampu mengekangnya.(Al-
Qiyamah, 75: 2)
3. Nafsu Musawwalah, yaitu nafsu yang telah dapat membedakan mana
yang lebih baik dan mana yang buruk, tetapi ia lebih memilih yang
buruk dan belum mampu memilih yang baik, bahkan mencampur
adukkan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana firman-Nya:
(Yusuf,12:83; Al-Baqarah, 2:42).
4. Nafsu Mulhamah, yaitu nafsu yang memperoleh ilham dari Allah
13 Prof.Dr.Baharuddin, M.Ag., Paradigma Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2007, h.92Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
34
SWT., dikaruniai ilmu pengetahuan. Ia telah dihiasi akhlak mahmudah
(akhlak yang terpuji), dan ia merupakan sumber kesabaran, ketabahan,
dan keuletan, sebagaimana firman-Nya: (Asy-Syams, 91:7-10)
5. Nafsu Muthmainnah, yaitu nafsu yang telah mendapat tuntunan dan
pemeliharaan yang baik sehingga jiwa menjadi tenteram, bersikap
baik, dapat menolak perbuatan jahat dan keji serta dapat menjauhkan
diri dari godaan manusia, syetan, jin maupun iblis, dan dapat
mendorong untuk melakukan kebajikan dan mencegah kejahatan.
Kondisi jiwa yang tenang itu dapat difahami sebagaimana firman
Allah Ta’ala: (Ar-Ra’d, 13:28)
6. Nafsu Radhiyah, yaitu nafsu yang redha kepada Allah, yang
mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan kesejahteraan.
(Al-Maidah, 5:119; Al-Mujadilah, 58:22; Al-Bayyinah, 98:8).
7. Nafsu Mardhiyah, yaitu nafsu yang telah mencapai ridha kepada
Allah SWT. Keridhaan tersebut terlihat pada anugerah yang telah
diberikan-Nya berupa: senantiasa dapat dengan tulus melakukan
dzikir, mendapatkan kemuliaan, serta akhlak yang mulia dan agung.
(Al-Fajr, 27:30).
8. Nafsu Kamilah, yaitu nafsu yang telah sempurna bentuk dan dasarnya,
sudah dianggap cukup untuk mengajarkan irsyad (petunjuk) dan
menyempurnakan penghambaan diri kepada Allah SWT. Orang ini
dapat disebut sebagai mursyid dan mukammil (orang yang
menyempurnakan) atau Insan Kamil. Dalam taraf ini jiwa orang itu
telah demikian dekat dengan Allah SWT, bahkan mereka sudah
merasakan diri menyatu dengan-Nya, seperti yang telah dialami oleh
Al-Hallaj, Rabiah Al Adawiyah, Syeikh Siti Jenar dari Tanah Jawa
dan Syeikh Abdul Hamid Al Banjari dari Kalimantan Selatan.
Nafs juga merupakan suatu potensi Ilahiyah yang tugas utamanya
adalah:
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
35
1. Menggerakkan dan mendorong jasad dan seluruh anggota jasad
melaksanakan dan mengimplementasikan segala bentuk kebenaran
yang telah mantap dianalisa oleh akal fikiran, dirasakan oleh qalb dan
disaksikan oleh inderawi secara nyata dan integritas.
2. Aplikasi dan implementasinya berupa perkataan, sikap, gerak-
gerik dan tingkah laku yang bersifat rahmatan lil ’alamin.
3. Integritas itu adalah terpadunya secara utuh dan kokoh antara
pemikiran, ucapan, i’tikad hati dan perilaku dalam aktifitas hidup
dan kehidupan yang baik dan benar, baik dalam tatanan horizontal
lebih-lebih vertikal.
Al-Ghazali melihat al-Nafs atau Jiwa dan potensinya secara garis
besar dalam 3 potensi, yaitu :
1. Jiwa Nabati (jiwa vegetative), berfungsi untuk pertumbuhan
(alquwwah al-munniyyah) yang menyediakan makanan sebagai subsidi
kepada organ tubuh (al-quwwah al-mauludiyyah).
2. Jiwa Hewani (jiwa sensitif), jiwa yang mempunyai organ-organ yang
merasakan (al-mudzakarah), dan bergerak dengan kemauan sendiri (al-
muharrikah).
3. Jiwa Insani (jiwa rasional), jiwa yang mempunyai potensi rasional
(‘alimah) dan memilki kemampuan untuk mengolahnya (‘amilah).
Secara sufistik al-Ghazali membagi tingkatan jiwa menjadi dari yang
terendah sampai yang tertinggi, yakni :
1. Jiwa yang memerintah (an-Nafs al-‘amarah bis as-su’);
Jiwa ini memerintah dan menyuruh seseorang untuk melakukan
kejahatan, yang biasanya jiwa ini dimiliki oleh orang-orang awam
pada umumnya. Jiwa ini belum dibersihkan dari segala sumber
kejahatan yang menguasai jiwanya (ghadab dan syahwah: dengki/al-
hasad, pemarah/al-ghadab, sombong/al-khabair, culas/al-ghurur, dan
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
36
bakhil/al-bukhl, dll.). Allah SWT mengatakan dalam QS. Yusuf
[12]:53 yakni : “Dan aku tidak membebaskan diriku dari keslahan,
kecuali jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang
diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
2. Jiwa yang penuh penyesalan (an-Nafs al-lawwamah);
Jiwa ini menyadari adanya pikiran-pikiram, keinginan, dan cela diri
sendiri. Pada tahap jiwa ini adalah awal perjalanan rohani menuju
Allah dan proses penghilangan pelanggaran-pelanggaran dalam
kondisi yang terombang ambing antara jalan Tuhan dan jalan Syetan.
Yang berujung pada jiwa penyesalan dan akhirnya kembali kepada
jalan Tuhan.
3. Jiwa yang tenang (an-Nafs al-muthma’innah);
Jiwa ini adalah jiwa yag tenang membawa ketentraman dan kedamaian
bersama Tuhan setelah mengalami proses interaksi dengan
lingkungannya. Allah mengingatkan bahwa jiwa yang al-
mutma-‘innah adalah jiwa yang akan kembali kepadaNya dalam
keadaan tidak gelisah dan mengeluh menuju surganya Allah SWT.
(QS.al-Fajr [89]:27).
Wallahu ‘alam bishshawab….
DAFTAR PUSTAKA
Ali Riyadi, Ahmad, Psikologi Sufi Al Ghazali, Panji Pustaka, Yogyakarta: 2008
Al-Taftazani, Abu Wafa’ al-Ghanimi, Tasawuf Islam, Telaah Historis dan
Perkembangannya, Gaya Media Pratama, Jakarta:2008.
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta:2007
Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta: 1970
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
37
Ikhrom, Titik Singgung antara Tasawuf, Psikologi Agama dan Kesehatan
Mental, Jurnal Teologia, Volume 19, No.1, Tahun 2008
Jalaluddin, H., Psikologi Agama, Rajawali Press, Jakarta: 2008
Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Kalam Mulia, Jakarta:
1996
Lings, Martin, What is Sufism? Membedah Tasawuf , Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta: 1987
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta:
1995
Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).
38