Post on 20-Feb-2020
PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN DALAM TRADISI MELAYU
SAMBAS KALIMANTAN BARAT DAN RELEVANSINYA
DALAM TEORI MASLAHAH MURSALAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RIZKI PANGESTU
11150440000004
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M
ii
PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN DALAM TRADISI MELAYU
SAMBAS KALIMANTAN BARAT DAN RELEVANSINYA
DALAM TEORI MASLAHAH MURSALAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Rizki Pangestu
NIM.111500440000004
Pembimbing
Sri Hidayati, M.Ag.
NIP: 197102151997032002
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di
Fakultas Syaiah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 April 2019
RIZKI PANGESTU
NIM. 11150440000004
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur, segala puji bagi Allah Maha Pengatur dan Pemelihara
seluruh alam. Selawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan alam baginda
Nabi Muhammad SAW, keluarganya dan para sahabat beliau serta pengikutnya
yang senantiasa memegang ajarannya.
Alhamdulillah, Penulis berterimakasih dan bersyukur atas semua nikmat
dan pertolongan yang telah diberikan olehNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan salah satu tugas akhir perkuliahan yaitu skripsi.
Karya tulis ini penulis persembahkan untuk Ayahanda (Sarno) dan Ibunda
(Misnarti) tercinta, yang dengan kasih dan sayangnya, doa serta dukungan yang
selalu diberikan kepada penulis.
Kemudian ucapan terimakasih lainnya tak lupa penulis berikan kepada
segenap jajaran yang telah membantu penulis dan menyampaikan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. selaku ketua Program Studi Hukum
Keluarga, yang telah memberikan persetujuan judul yang penulis
ajukan, dan juga yang telah memberikan semangat hingga selesainya
skripsi ini.
3. Bapak Indra Rahmatullah, SH.I., MH. selaku sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga yang dengan sibuk mengurus proses perkuliahan
yang penulis jalankan.
4. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. selaku pembimbing skripsi, yang sudah
meluangkan waktunya dan selalu membimbing dan memberikan
arahan bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Segenap jajaran Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan ilmunya
dengan keikhlasan, semoga apa yang diajarkan bermanfaat bagi
penulis, Amin.
vi
6. Staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membantu
penulis dalam hal pengurusan akademik penulis di kampus.
7. Kedua Orangtua dan saudari penulis, Rini Suprapti (kakak) Ria Puspita
(kakak) dan Retno Yuni Setiowati (adik) yang selalu memberikan
semangat dan memberi dukungan baik materi dan non materi.
8. Bapak Parsito sebagai paman penulis, yang telah membantu penulis
menetap dirumah kediamannya saat penulis melakukan observasi di
lapangan dan membantu penulis dalam segala hal yang berkaitan
dengan penelitian, semoga kebaikannya di balas oleh Allah.
9. Seluruh narasumber, terimakasih telah bersedia untuk penulis
wawancarai dalam penelitian ini, semoga amal kebaikan mereka selalu
diberkahi oleh Allah.
10. Alumni MAN 2 Pontianak, dan khususnya kepada teman penulis Ade
Fahrizal yang membantu penulis saat penulis melakukan observasi.
Kemudian teman-teman Akbar, Dwi, Kael, Misbah, Suci, Agustina,
Tiara dan Almarhumah Wieka, yang sudah membuat hari-hari penulis
berwarna dan telah membuat penulis semangat untuk menyelesaikan
skripsi ini.
11. Teman-teman Hukum Keluarga 2015, yang banyak membuat penulis
belajar arti kehidupan anak kuliahan dari berbagai golongan, terutama
Noufal, Nia, Defanti, Ladina, Iqbal, Lutfi, Finza, Kahfi, Ilham,
Anaeka, dan teman teman lainnya yang tidak penulis sebutkan namun
tidak mengurangi rasa terimakasih penulis.
12. Kepada teman teman kosan yaitu Dani, Imam, Imron, Anwar, Asrofi,
Marda, yang telah membantu penulis dan disibukkan oleh penulis
dalam menyusun skripsi ini.
13. UKM Tim Sepak Bola UIN Jakarta dan teman-teman yang tergabung
di dalamnya, yang telah memberikan nuansa ceria saat penulis bermain
bersama di kala waktu luang, dan memberi semangat kepada penulis.
14. Dan kepada seluruh jajaran yang telah mendukung dari awal proses
penyusunan skripsi penulis hingga akhir dari skripsi ini.
vii
Semoga apa yang telah mereka dedikasikan kepada penulis dapat menjadi
amal kebaikan dan pahala yang akan dibalas dan dilipat gandakan serta
mendapatkan ridho dari Allah SWT.
Tiada kata yang indah jika dirangkai dan dibungkus dengan suatu tali
kasih antar sesama. Sekiranya terdapat kesalahan kata dari penulisan skripsi ini
penulis mohon maaf dengan setulus hati. Karena sejatinya kebenaran datangnya
dari Allah, dan kehilafan datangnya dari penulis sendiri.
Kepada Allah SWT, penulis mohon ampun atas segala khilaf dan salah.
Semoga Allah yang Maha Penyayang menjadikan sedikit karya ini sebagai ibadah
penulis kepada-Nya.
Jakarta, 27 April 2019
Penulis
Rizki Pangestu
viii
ABSTRAK
Rizki Pangestu. NIM 11150440000004 PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN
DALAM TRADISI MELAYU SAMBAS KALIMANTAN BARAT DAN
RELEVANSINYA DALAM TEORI MASLAHAH MURSALAH. Program Studi
Hukum Keluarga. Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan pembagian harta
peninggalan 1:1 antara anak laki-laki dan perempuan tradisi masyarakat Melayu
Sambas dan relevansinya dalam teori maslahah mursalah, mengapa pembagian
yang dilakukan oleh masyarakat Melayu menerapkan 1:1 antara anak laki-laki dan
perempuan, dan kolerasi pembagian 1:1 ini dengan hukum Islam.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif. Sumber data terdiri dari data primer, adalah penelitian lapangan (field
research), dan data sekundernya adalah studi pustaka (library research),
kemudian teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi
pustaka dengan metode induktif dan deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya jika
dilihat dari sekilas pembagian 1:1 yang dilakukan oleh masyarakat Melayu
Sambas tidak sesuai dengan hukum kewarisan Islam. Namun di Indonesia hal ini
bisa menjadi sah apabila dalam pembagian yang dilakukan oleh masyarakat
Melayu tersebut merujuk dari KHI. Apabila ingin melakukan pembagian secara
sama rata harus diketahui terlebih dahulu bagian secara Islamnya. Selanjutnya jika
ditinjau dari teori maslahah mursalah, pembagian 1:1 ini termasuk ke dalam
beberapa macam maslahah dalam guna menetapkan suatu hukum yakni,
maslahah mughah, maslahah mu‟tabarah dan masalahah mursalah.
Kata kunci: Harta Peninggalan, Waris Adat, Maslahah Mursalah.
Pembimbing : Sri Hidayati, M. Ag.
Daftar Pustaka : Tahun 1961 s.d Tahun 2019
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJIiv ................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 4
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................ 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 5
E. Tinjauan Penelitian (Review Studi Terdahulu) ......................... 5
F. Kerangka Teori.......................................................................... 7
G. Metode Penelitian.................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan ............................................................. 14
BAB II : HUKUM WARIS ADAT DAN HUKUM WARIS ISLAM
A. Hukum Waris Adat ................................................................. 16
B. Hukum Waris Islam ................................................................ 25
C. Perbedaan Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam........ 31
BAB III : LANDASAN TEORI MASLAHAH MURSALAH
A. Definisi Maslahah Mursalah .................................................. 33
B. Syarat Maslahah Mursalah ..................................................... 35
C. Dasar Hukum Maslahah Mursalah ......................................... 37
D. Macam-Macam Maslahah Mursalah ...................................... 38
E. Kehujjahan Maslahah Mursalah ............................................. 40
F. Tinjauan Maslahah Mursalah Terhadap Hukum Islam .......... 43
BAB IV : PEMBAGIAN WARISAN DI SAMBAS
A. Gambaran Umum Kecamatan Sambas.................................... 44
B. Pembagian Harta Peninggalan Melayu Sambas ...................... 46
x
C. Relevansi Maslahah Dalam Pembagian Harta Peninggalan
Melayu Sambas ....................................................................... 53
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 61
B. Saran ........................................................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 64
Lampiran-Lampiran ................................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia, memang tidak bisa dipungkiri bawha permasalahan
harta peninggalan (warisan) merupakan salah satu pokok yang sering
dibicarakan dan hampir setiap orang mengalaminya.
Pada dasarnya syari‟at Islam telah meletakkan aturan dan hukum
mengenai harta benda peninggalan dengan sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta
peninggalan, baik laki-laki maupun perempuan melalui hukum syara‟.
Seperti perpindahan harta peninggalan kepada ahli warisnya setelah
meninggal dunia, (QS. Annisa [4], 11).
Berkaitan dengan hal itu, Negara Indonesia belum mempunyai
hukum waris yang bisa diterapkan secara seragam. Hal tersebut
disebabkan adanya perbedaan latar belakang penduduknya, baik suku
maupun agama. Aturan-aturan era pemerintahan kolonial Belanda masih
punya andil besar dalam penerapan hukum waris di Indonesia.1
Hukum waris di Indonesia hingga kini masih sangat beragam.
Dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berlaku
bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum waris Adat,
hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam
Burgelick Wetbook (BW). Keanekaragaman hukum ini semakin terlihat
karena hukum waris adat yang berlaku pada kenyataannya tidak bersifat
1 NM. Wahyu Kuncoro, “Waris Permasalahan dan Solusinya Cara Halal dan Legal
Membagi Warisan”, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015) cet-1, h.6.
2
tunggal, tetapi juga bermacam-macam mengikuti bentuk
masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia.2
Hal ini tergambar jelas didalam banyaknya golongan terutama
yang menyangkut sifat kemasyarakatannya. Pada umumnya terdapat tiga
sifat yakni patrilineal, matrilineal dan parental atau bilateral. Ketiga sifat
ini sangat memiliki kaitan yang erat dan sistem yang beraneka ragam
dengan masalah kewarisan di Indonesia. Maksudnya adalah setiap sistem
yang berlaku dalam masyarakat patrilineal, matrilineal dan parental satu
sama lainnya menunjukkan adanya perbedaan hukum waris yang berlaku
bagi tiap-tiap masyarakat tersebut. Sebenarnya masalah waris ini sangat
erat kaitannya dengan masalah keluarga, dalam artian masalah waris ini
tidak terlepas kaitannya dengan masalah keluarga.
Akibat dari pola kehidupan masyarakat yang beragam inilah
menimbulkan dampak hukum yang beragam pula khususnya di bidang
kewarisan. Kemungkinan bakal terjadi disharmonisasi antara hukum
seperti KHI dengan stuktur dan pola budaya masyarakat. KHI disusun dan
diputuskan oleh elit-elit masyarakat di pusat pemerintahan dan pendidikan,
sementara sebagian besar warga masyarakat bermukim di pedesaan yang
sangat terkait dengan kondisi lokal. Kemungkinan besar masyarakat
memang masih menerima hukum kewarisan Islam secara simbolik, akan
tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat beberapa bagian subsistemnya
mengacu kepada kaidah lokal yang berlaku secara turun temurun.3
Hukum waris di Indonesia juga merupakan suatu hukum perdata
secara keseluruhan dan merupakan bahasan yang selalu ada dari hukum
kekeluargaan. Hukum waris terkait erat dengan ruang lingkup kehidupan
manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum,
2 M. Yasir Fauzi, “Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia” (Vol.9 No.2 Agustus 2016)
h. 54.
3 Edi Gunawan, “Eksistensi Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” (STAIN Manado:
Artikel) h.5.
3
yaitu adanya kematian, sehingga akan menimbulkan akibat hukum dari
peristiwa kematian seseorang, di antaranya adalah masalah bagaimana
kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal
dunia. Terhadap penyelesaian hak dan kewajiban sebagai akibat
meninggalnya seseorang tersebut diaturlah oleh sebuah aturan yaitu
hukum waris.
Dalam sistem waris di Indonesia juga dapat dijumpai tiga macam
bentuk sistem waris. Pertama, adalah sistem waris kolektif, kedua, sistem
waris individual dan ketiga, adalah sistem waris mayorat dan atau perorat.
Dari ketiga sistem waris ini yang telah disebutkan diatas, jika dikaitkan
dengan sistem kewarisan Islam yang membagikan harta kepada masing-
masing ahli waris, maka sejalan dengan sistem waris individual. Hazairin
juga mengatakan dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral, bahwa
konsep waris Islam sejatinya lebih cenderung kepada bentuk sistem
individual bilateral sesuai dengan tujuan ideal hukum waris dalam Islam.4
Sistem individual yang ada di Indonesia ini ternyata juga tidak
sama dengan apa yang terdapat dalam bentuk individual dalam Islam.
Khususnya dalam pembagian 1:1 yang dilakukan oleh masyarakat Sambas
dalam pembagian antara waris laki-laki dan perempuan yang di bagi sama
rata, hal ini berbeda dengan hukum Islam yang kita ketahui membagi
dengan bagian 2:1 khususnya antara anak laki-laki dan perempuan.
Masalah ini sangatlah penting untuk diteliti karena terkait dengan
harta waris dimana jika pembagiannya dirasa tidak adil, maka akan
mengakibatkan sengketa diantara ahliwarisnya, dan sekaligus mengkaji
lebih luas hukum waris adat yang ada di Indonesia, maka dari latar
belakang masalah yang tertera diatas, penulis mencoba mengabadikannya
dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi.
4 Hazairin, Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadith, (Jakarta, Timtamas
Indonesia, 1961) h. 16.
4
B. Identifikasi Masalah
1. Pembagian harta peninggalan 1:1 antara anak laki-laki dan perempuan
dalam masyarakat adat Melayu Sambas Kalimantan Barat.
2. Penyebab pembagian warisan dalam masyarakat Melayu Sambas yang
menerapkan pembagian 1:1.
3. Penyebab perbedaan antara hukum waris adat dan hukum waris Islam
mengenai pembagian warisan dalam praktiknya di masyarakat.
4. Pemberlakuan hukum Islam dalam pembagian hukum waris adat
setempat.
5. Pengetahuan masyarakat mengenai hukum waris Islam.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dalam penelitian ini terbatas pada
pembagian harta peninggalan 1:1 antara anak laki-laki dan perempuan.
D. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sistem
pembagian harta peninggalan 1:1 antara anak laki-laki dan perempuan
dalam tradisi Melayu Sambas dikaitkan dengan teori maslahah mursalah.
Adapun masalah diatas dapat penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Kenapa pembagian warisan dalam masyarakat Melayu Sambas
menerapkan 1:1?
2. Bagaimana kolerasi Hukum Islam dan Hukum Adat dalam pembagian
warisan masyarakat Melayu Sambas?
5
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang dicapai oleh penulis dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui pembagian kewarisan adat Melayu Sambas 1:1
antara anak laki-laki dan perempuan menurut teori maslahah
mursalah.
b. Untuk mengetahui penyebab pembagian warisan dalam masyarakat
Melayu Sambas menerapkan 1:1.
c. Untuk mengetahui bagaimana kolerasi Hukum Islam dan Hukum Adat
dalam pembagian warisan masyarakat Melayu Sambas.
F. Manfaat Penelitian
a. Untuk menjadikan bahan pengalaman dalam bidang penelitian bagi
penulis.
b. Bisa menjadi bahan pengetahuan bagi penulis tentang sistem
pembagian kewarisan dalam masyarakat Melayu Sambas Kalimantan
Barat.
c. Manfaat bagi dunia penelitian di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
d. Dapat menjadi bahan bacaan bagi civitas akademik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta baik untuk kepentingan akademik maupun untuk
kepentingan pengayaan pengetahuan.
G. Tinjauan Penelitian (Review Studi Terdahulu)
Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti
sebelumnya mengenai Hukum Waris. Diantara penelitian terdahulu,
pertama, yang dilakukan oleh Irwan dengan judul “ Pembagian Warisan
Dalam Tradisi Adat Melayu Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan
6
Barat Menurut Hukum Islam” 5 yaitu bahwa penelitian ini meneliti tentang
seluruh pembagian sistem kewarisan yang secara garis besar masyarakat
Melayu Sintang dalam hal penyelesaian membagi harta warisan masih
menggunakan asas musyawarah. Sistem pembagian mereka tidak sesuai
dengan hukum fara‟id atau hukum Islam, karena bagian ahli waris akan
ditentukan berdasarkan tarap sosial dan ekonomi dari para ahli waris.
Pendekatan penelitian ini menggunakan kaidah urf dimana pembagian
yang terjadi masih dalam koridor urf sahih yaitu urf yang dapat diterima
dalam hukum Islam.
Sedangkan skripsi ini membahas tentang pembagian harta
peninggalan masyarakat Melayu yang berada di Sambas, fokus penelitian
pada masyarakat Melayu Sambas ini diambil dari pelaksanaan pembagian
kewarisannya yang dibagi secara 1:1 antara laki-laki dan perempuan, tidak
diteliti bagian ahli waris yang lain. Penelitian ini menggunakan
pendekatan maslahah mursalah, dimana pembagian yang dilakukan oleh
masyarakat melayu Sambas ini di pandang baik atau buruk dari suatu
maslahat bagi umat.
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Aep Saifullah dengan judul
“Analisa Perbandingan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum
Kewarisan Islam”6 yaitu bahwa hukum kewarisan Adat Sunda dan hukum
kewarisan Islam pada prinsipnya sama. Persamaan dan perbedaan yang
mendasar dari kedua sistem hukum tersebut terletak pada pengertian,
proses terjadinya kewarisan, sumber rukun, syarat, sebab-sebab dan
penghalang yang mewarisi terjadinya kewarisan.
5 Irwan, “Pembagian Warisan Dalam Tradisi Adat Melayu Kabupaten Sintang Provinsi
Kalimantan Barat Menurut Hukum Islam” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017). 6 Aep Saifullah, “Analisa Perbandingan Hukum Kewarisan Adat Sunda dengan Hukum
Kewarisan Islam”. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007).
7
Sedangkan skripsi ini membahas tentang perbedaan antara
pembagian sistem waris adat Melayu dan sistem waris Islam dan
relevansinya dengan menggunakan teori maslahah mursalah, namun tidak
mencoba membenturkan dua hukum tersebut.
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Muhamad Fauzan dengan judul
“Pembagian Hak Waris 1:1 Bagi Ahli Waris Laki-Laki dan Perempuan
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Medan No.92/Pdt/G/2009?PA.Md.)7
yaitu bahwa hakim dalam menetapkan putusan yang mana pembagian
antara laki laki dan perempuan sudah dibagi menurut Islam yakni 2:1,
akan tetapi dalam faktanya anak perempuan lebih dominan dalam
mengurus pewaris, menemani berkomunikasi, mengurusi kepentingan
termasuk membayar biaya perawatan pewaris, maka menurut hakim tidak
adil jika hanya dilihat dari segi normatif saja.
Sedangkan dalam skripsi ini membahas tentang pembagian harta
peninggalan secara tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Melayu yang
mana pembagiannya adalah 1:1 dengan beberapa alasan seperti agar tetap
terjalin silaturrahmi yang baik antar ahli. Kemudian Pembagian ini ditinjau
menggunakan teori maslahah mursalah.
H. Kerangka Teori
1. Teori Kemaslahatan
Salah satu konsep yang dikembangkan ulama ushul fiqh dalam
mengistimbatkan hukum dari Nas adalah maslahah al-mursalah, yaitu
suatu kemaslahatan yang tidak ada Nas rinci yang mendukungnya, dan
tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma‟ yang
7 Muhammad Fauzan, “Pembagian Hak Waris 1:1 Bagi Ahli Waris Laki-Laki dan
Perempuan (Analisis Putusan Pengadilan Agama Medan No.92/Pdt/G/2009?PA.Md.). (Skripsi S-1
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
8
mendukungnya, tetapi kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah Nas
melalui cara istiqra‟ (induksi dari sejumlah Nas).8
Konsep maslahah, apabila ditarik kepada masalah sistem
kewarisan bilateral seperti yang dibangun oleh Hazairin maka dapat
dijelaskan kesesuaian pemikiran Hazairin tersebut dengan konsep
kemaslahatan secara umum. Adapun rincian kemaslahatan yang
ditimbulkan akibat penerapan sistem kewarisan bilateral diantaranya:
Pertama, terjaganya keutuhan keluarga pewaris dan terhindar dari
perpecahan keluarga yang sangat dilarang oleh Islam. Harus diakui,
ada sekian banyak keluarga yang tercerai berai dan terpecah ketika
pembagian harta warisan di anggap tidak adil oleh anggota keluarga
lainnya. Kedua, terpeliharanya adat (kebiasaan) shahihah atau adat
yang sejalan dengan syariah Islam.9
2. Teori Keadilan
Keadilan merupakan salah satu ajaran pokok dalam Islam yang
bersifat universal. Islam memerintahkan penegakan keadilan bagi
semua orang. Bahkan, Islam memerintahkan untuk menegakkan
keadilan meskipun terhadap non-muslim selama mereka tidak
menyerang dan mengusir umat muslim.
Menurut Aristoteles, keadilan mesti dipahami dalam pengertian
kesetaraan. Namun, kesetaraan perlu dibedakan antara kesetaraan
numerik dan kesetaraan proporsional. Aristoteles juga membedakan
keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan
8 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), cet.2, h.113.
9 Muchlis Samfrudin Habib, “Sistem Bilateral Ditinjau Dari Maqashid Al-syariah”,
(Jurnal Hukum dan Syariah Vol 9 No 1, 2017), h. 39.
9
distributif berlaku dalam hukum publik, sedangkan keadilan korektif
berlaku hukum perdata dan pidana.10
Di dalam keadilan terkandung makna perimbangan atau
keadaan seimbang dalam arti tidak ada diskrimiNasi dalam bentuk dan
cara apapun. Keadilan memiliki sifat haruslah memperhatikan hak-hak
pribadi atau golongan dengan cara memberikan hak itu kepada yang
berhak. Sehingga dalam penerapan hukum yang berlandaskan
keadilan, seseorang mujtahid atau hakim tidak hanya menguntungkan
satu pihak tetapi merugikan pihak lainnya.11
Hukum kewarisan bilateral apabila dilihat melalui perspektif
keadilan, maka dapat dikatakan bahwa hukum kewarisan bilateral
dibangun berdasarkan nilai-nilai keadilan yang ditegakkan oleh
mayoritas suku di Indonesia dalam masalah pembagian harta waris.
Jadi dalam konteks Arab, hukum kewarisan patrinial adalah hukum
yang sejalan dengan semangat keadilan, tetapi dalam konteks
Indonesia hukum kewarisan bilateral adalah hukum yang paling
sejalan dengan keadilan bagi masyarakat Indonesia. Keadilan dalam
sistem kewarisan bilateral dapat diwujudkan dengan pembagian
warisan sama rata, atau bisa juga dengan pembagian laki-laki lebih
besar di bandingkan dengan perempuan atau sebaliknya, tergantung
kadar peranan dan tanggung jawab ahli waris masing-masing dalam
keluarganya.
3. Pluralisme Hukum
Sampai saat ini sudah banyak konsep dan atribut mengenai
pluralisme hukum yang diajukan oleh para ahli. Para legal pluralist
pada masa permulaan (1970-an) mengajukan konsep pluralisme hukum
10
Muhammad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama”
(Jurnal Yudisial Vol. 8. No. 3 Desember 2015), h. 273. 11
Muchlis Safrudin, Sistem Kewarisan Bilateral Ditinjau Dari Maqashid Syariah, h. 39.
10
yang meskipun agak berbeda. Seperti yang dikemukakan oleh Grifiths,
yang mengacu pada adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu
arena sosial. Dalam arena pluralisme hukum itu terdapat hukum
Negara di satu sisi, dan di sisi lain adalah hukum rakyat yang
prinsipnya tidak berasal dari Negara, yang terdiri dari hukum adat,
agama kebiasaan-kebiasaan atau konvensi-konvensi sosial lain yang di
pandang sebagai hukum.Pandangan pluralisme hukum dapat
menjelaskan bagaimana hukum yang beraneka ragam secara bersama
sama mengatur suatu perkara dalam hal ini ialah kewarisan, kenyataan
adanya hukum lain di samping hukum Negara masih sulit diterima.
Padahal tidak dapat di pungkiri bahwa dalam sehari-hari terdapat
sistem hukum lain di luar hukum Negara (state law).12
I. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Data yang dikumpulkan
lebih mengambil bentuk kata-kata atau gambar dari pada angka-
angka.13
Melalui pendekatan penelitian:
a. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan atau field research adalah penelitian
yang sumber datanya diambil dari objek penelitian atau proses
terjun langsung secara aktif ke lapangan untuk meniliti objek
penelitian. Objek penelitian dalam hal ini adalah tokoh adat, tokoh
agama, aparat desa dan ahli waris dari masyarakat Melayu
Kecamatan Sambas Kalimantan Barat.
12
Sulistyowati Irianto, “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralismee Hukum dan
Konsekuensi Metodologisnya” (Article University of Indonesia, Juni 2017). 13
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
h.3.
11
b. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan atau library research yaitu untuk
memperoleh landasan teoritis yang ada kaitannya dengan judul
yang penulis akan bahas, dimana penelitian dilakukan melalui
media atau sumber sumber seperti buku, jurnal, makalah, artikel
dan website.
2. Sumber Data
a. Data Primer
Sumber data primer adalah bahan hukum yang bersifat
autoritatif14
, yaitu peneliti melakukan wawancara dan observasi
dengan mengamati dokumen hasil pembagian harta peninggalan di
tokoh adat dan Kantor Desa, atau terjun langsung ke wilayah objek
penelitian guna mendapatkan data-data yang dibutuhkan dengan
mempergunakan metode wawancara dan library research atau
telaah pustaka dengan membaca beberapa peraturan mengenai
kewarisan seperti, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Waris Islam,
hukum waris Adat, dan kitab fiqh. Serta mempelajari hal-hal yang
berkaitan dengan permasalahan yang penulis tulis sesuai dengan
judul.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder di dapat dari beberapa buku yang
berkaitan dengan tema penelitian penulis seperti jurnal, buku,
majalah dan data data dari penelitian terdahulu.15
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2016), cet.9, h. 181. 15
Peter Mahmud, Penelitian Hukum, h.195.
12
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data-data yang akurat dan sistematis pada
saat penelitian, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data
antara lain:
a. Wawancara (Interview)
Wawancara merupakan salah satu teknik yang dapat
digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Wawancara
adalah suatu kejadian atau proses interaksi antara pewawancara
dan sumber informasi atau orang yang diwawancarai melalui
komunikasi langsung.16
Wawancara yang penulis lakukan yaitu
dengan cara tanya jawab langsung dengan para pihak yang
berkaitan dengan penulisan skripsi ini seperti tokoh agama yaitu
Bapak Daeng Abu Bakar, dan Bapak Anhari dan tokoh adat
setempat yaitu Bapak Urai Riza Fahmi serta beberapa ahli waris
yang penulis paparkan hasil wawancaranya pada lampiran skripsi
ini.
b. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti
mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala
subyek yang diselidiki.17
Observasi penulis lakukan selama kurang
lebih satu bulan, yaitu pada bulan Januari 2019, yang mana penulis
mendapatkan hasil atau dokumen-dokumen (surat keterangan
pembagian harta peninggalan) yang peneliti peroleh dari lembaga
yang menyelesaikan yaitu seperti Kantor Desa dan tokoh adat.
Artinya observasi merupakan salah satu metode pengumpulan data
16
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Penelitian Gabungan
(Jakarta: Prenada Media, 2016) cet.3, h. 372.
17
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2016) cet.23, h. 145.
13
dengan cara melakukan penelitian secara langsung ke wilayah yang
dijadikan objek penelitian oleh penulis.
c. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan atau karya seseorang tentang
sesuatu yang sudah berlalu. Dokumen itu dapat berbentuk teks
tertulis gambar maupun foto.18
Sedangkan dokumentasi merupakan
pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen.
Dalam hal ini penulis mengambil dokumen berupa foto saat
wawancara dan dokumen yang terkait dengan judul penulis.
4. Metode Analisis Data
Analisis data yaitu suatu cara yang dipakai untuk menganalisa,
mempelajari serta mengolah kelompok data tertentu, sehingga dapat
diambil suatu kesimpulan yang konkrit tentang permasalahan yang diteliti
dan dibahas,19
di bagi kedalam beberapa tahap:
1. Analisis sebelum meneliti di lapangan
Sebelum melakukan penelitian di lapangan, penulis terlebih
dahulu melakukan analisis mengenai permasalahan yang terdapat
pada objek penelitian. Mengingat bahwa wilayah objek penelitian
tidak jauh dari tempat tinggal penulis maka dari itu penulis dengan
mudah mengetahui permasalahan yang ada terkait pembagian waris
yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Sambas.
18
A. Muri, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Penelitian Gabungan, h. 391. 19
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, h. 147.
14
2. Analisis selama di Lapangan
Setelah mendapatkan semua data-data yang dibutuhkan
dalam penelitian baik dari library research maupun field research
melalui wawancara, observasi dan berbagai dokumen yang
didapatkan. Data-data tersebut yang kemudian dianalisa dengan
menggunakan analisis kualitatif, yaitu proses mereview dan
memeriksa data, menyintesis data dan menginterpretasikan data
tersebut sehingga dapat menggambarkan dan menerangkan situasi
sosial yang diteliti.20
Menggambarkan secara jelas sehingga
muncul fakta-fakta hukum yang akan diteliti.
5. Pendekatan Penelitian
Sudut pandang yang digunakan sebagai pendekatan dalam
penelitian ini adalah pendekatan normatif yaitu cara mendekati masalah
yang di teliti berdasarkan pada hukum Islam, dalam arti melakukan
pemahaman pada teks Al Qur‟an dan Hadis, pendapat para ulama serta
kaidah ushul atau kaidah fikih yang ada kaitannya dengan permsalahan
yang di teliti.
J. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penyusunan karya ilmiah ini berlandaskan Buku
Pedoman Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang berguna untuk
menciptakan karya ilmiah yang utuh dan komprehensif, maka skripsi ini
dibagi dalam lima bab yang saling berhubungan antara satu dengan yang
lainnya.
Bab I, berisi pendahuluan yang menjelaskan arah yang akan di
capai dalam penelitian ini. Pendahuluan ini meliputi latar belakang
masalah, penegasan istilah dengan judul yang terkait pada skripsi ini,
20
Muri Yusuf Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Penelitian Gabungan, h. 400.
15
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, review studi terdahulu,
kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, berisi tentang uraian hukum waris Adat dan hukum Waris
Islam, serta perbedaan dari keduanya, yang terdiri dari beberapa sub bab,
yaitu, pengertian, dasar hukum, unsur-unsur pewarisan, asas-asas ukum
waris.
Bab III, berisi tentang tinjauan umum teori maslahah, terdiri dari
beberapa sub bab, yang pertama mendekskripsikan pengertian teori, dasar
hukum, kedudukan maslahah mursalah dan tinjauan maslahah mursalah
terhadap hukum Islam.
Bab IV, adalah gambaran umum Kecamatan Sambas, dan hasil
analisis mengenai pembagian harta peninggalan Melayu Sambas, dan
relevansinya dalam teori maslahah.
Bab V, merupakan bab penutup dari rangkaian bab-bab yang ada
dalam skripsi ini yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.
16
BAB II
HUKUM WARIS ADAT DAN HUKUM WARIS ISLAM
A. Hukum Waris Adat
1. Pengertian Hukum Adat
Sebagai pengantar dalam membahas sistem hukum warisan adat
terlebih dahulu kita pahami dengan pembahasan sistem hukum adat,
dengan maksud agar mudah dan dapat dipahami dengan baik bagaimana
sistem hukum warisan adat dalam penulisan ini.
Laksanto Utomo memberi pemahaman bahwa hukum adat di
Indonesia lebih sering di identikkan dengan kebiasaan atau kebudayaan
masyarakat setempat di suatu daerah. Mungkin belum banyak masyarakat
umum yang mengetahui bahwa hukum adat telah menjadi bagian dari
sistem hukum Nasional Indonesia.1
Sedangkan istilah adat juga dapat diartikan kebiasaan, sehingga
secara sederhana hukum adat atau adatrecht dapat diartikan ke dalam
bahasa Indoensia menjadi hukum kebiasaan.2
Menurut Soerjono Soekanto Adat istiadat mempunyai ikatan dan
pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan mengikatnya terhantung
pada masyarakat yang mendukung adat istiadat tesebut terutama
berpangkal tolak pada perasaan keadilannya.3
Selain itu, Komari mengutip pendapat A. Qodri Azizy dimana
memberikan bahwa konsepsi secara dinamis bahwa hukum adat Indonesia
1 Laksanto Utomo, Hukum Adat (Depok: Rajawali Pers, 2017), cet.2, h.2.
2 Komari, Eksistensi Hukum Waris di Indonesia (As-Syari‟ah Vol. 17 No. 2, Agustus
2015), h.158.
3 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), cet.15, h.73.
17
ini, lebih tepat disebut “hukum kebiasaan” (customary law) atau hukum
yang hidup di masyarakat (living law), sedangkan dalam pengertian yang
statis adalah kebiasaan atau adat-istiadat bangsa Indonesia yang telah
dijadikan sebuah disiplin dan dikategorikan secara baku.4
Selanjutnya, dari pemaparan diatas mengenai hukum adat yang
diartikan sebagai suatu kebiasaan, maka adanya kolerasi dari hukum adat
dan hukum Islam, seperti dalam hukum wakaf, termasuk hukum warisan
yang telah di adaptasi.5
2. Pengertian Hukum Waris Adat
Ada beberapa pengertian mengenai hukum adat waris yang
dikemukakan oleh para tokoh, diantaranya adalah:
Menurut Zainuddin Ali dalam buku karangannya yang mengutip
pendapat Betrand Ter Haar, “Hukum Waris Adat adalah proses penerusan
dan peralihan kekayaan materiil dan immaterial dari turunan ke turunan”.6
Sedangkan menurut Soepomo hukum adat waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
(immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya.7
Zainuddin Ali berpendapat bahwa hukum waris adat adalah
“seperangkat aturan yang mengatur penerusan dan pemindahan harta
4 Komari, Eksistensi Hukum Waris di Indonesia, h.158.
5 Komari, Eksistensi Hukum Waris di Indonesia, h.159.
6 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia (Jakarta: SInar Grafika, 2010),
cet.2, h.1.
7 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat (Jakarta: Balai Pustaka, 2013), cet.18, h.84.
18
peninggalan secara turun temurun, baik yang berkaitan dengan harta benda
yang bergerak maupun harta benda yang tidak bergerak”.8
Kemudian H. Hilman Hadikusuma dalam bukunya hukum waris
adat menyatakan “istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab
yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam
hukum waris adat memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-
azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan dari pewaris kepada ahli warisnya .9
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 17110
dinyatakan bahwa
yang dimaksud dengan harta waris adalah “harta bawaan ditambah bagian
dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tahjiz), pembayaran
hutang dan pemberian untuk kerabat. Sedangkan harta peninggalan adalah
harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang
menjadi miliknya maupun hak-haknya. Jadi bisa dikatakan bahwa harta
waris adalah harta yang didapatkan setelah dibagi kepada ahli waris,
sedangkan harta peninggalan ialah harta yang akan dibagikan kepada ahli
waris.
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
hukum waris adat adalah salah satu aspek hukum dalam permasalahan
hukum adat yang meliputi norma-norma yang menetapkan harta kekayaan
baik yang material maupun immaterial, yang mana dari pewaris dapat
diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara
dan proses peralihannya dari harta yang dimaksud.
8 Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, h.2.
9 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015), cet.8,
h.7.
10
Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf d dan e.
19
3. Dasar Hukum Waris Adat
Sendi-sendi hukum waris adat seperti yang dikemukakan oleh Otje
Salman dalam bukunya kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum
waris, hukum waris ialah segala yang berkaitan dengan proses pengalihan
harta peninggalan dari seseorang (pewaris) kepada ahli warisnya”. Harta
peninggalan dibedakan antara yang dapat dibagi-bagi dengan yang tidak
dapat dibagi-bagi, harta peninggalan itulah yang merupakan objek
kewarisan.11
Menurut Hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan
adalah semua harta yang dikuasai suami istri selama mereka terikat dalam
ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta
perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta
penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami isteri, dan
barang barang hadiah. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh prinsip
kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku
terhadap suami istri bersangkutan.12
Dapat disimpulkan bahwa dasar hukum waris adat ini tidak tertulis
seperti hukum waris Islam atau perdata pada umumnya, namun hukum
waris adat sejatinya sama dengan hukum waris lainnya, yang mana
merupakan proses pembagian harta peninggalan dari pewaris kepada ahli
waris.
11
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris (Bandung:
Alumni, 1993), Cet 1, h. 55.
12
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni,1983), h. 156.
20
4. Unsur-Unsur Pewarisan dalam Hukum Waris Adat
Ada tiga unsur-unsur dalam pewarisan yang terdapat dalam hukum
waris adat, antara lain: 13
a) Pewaris, adalah orang atau subjek pelaku yang memiliki harta
warisan atau peninggalan baik ia masih hidup ataupun sudah
meninggal dunia.
b) Ahli Waris, dalam hukum waris adat adalah semua orang yang
berhak menerima bagian dari harta peninggalan, yakni anggota
keluarga dekat dari pewaris yang berhak dan berkewajiban
menerima harta peninggalan tersebut. Pada prinsipnya ahli
waris dalam hukum waris adat, ialah keturunannya. Keturunan
adalah orang yang memiliki hubungan darah antara ahli waris
dan pewaris.
c) Harta Waris, dalam hukum adat adalah harta kekayaan yang
dimiliki oleh pewaris dan akan dilanjutkan atau diteruskan
kepada ahli waris untuk dikuasai dan dimiliki oleh ahli waris
berdasarkan kekerabatan dan ketentuan yang berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Jadi, secara umum hukum waris adat itu mengatur tentang tiga hal
utama, dimana adanya pewaris, ahli waris siapa yang berhak mendapatkan
warisan dan harta waris, hal ini tidak jauh berbeda dengan unsur yang ada
di dalam hukum waris Islam.
5. Sifat Hukum Waris Adat
Sebelum memasuki sifat hukum waris adat, adakalanya kita
mengetahui sifat hukum adat itu sendiri, menurut Laksanto Utomo, sifat
hukum adat berbeda dengan hukum Romawi atau Eropa Kontinental
13
Ellyn Dwi Pospasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2018), cet.1, h.19-20.
21
lainnya. “Hukum adat bersifat pragmatis-realisme yang mana mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religious,
sehingga hukum adat mempunyai fungsi sosial atau keadilan sosial.
Memiliki ciri-ciri kekeluargaan, tunai, dan nyata”.14
Hukum Waris adat mempunyai corak yang khas dari alam pikiran
yang tradisional Indonesia. Oleh karena hukum waris adat bersendi atas
prinsip yang timbul dari aliran pikiran-pikiran yang komunal serta konkret
bangsa Indonesia. Hukum waris adat tampak memiliki perbedaan prinsip
dengan hukum waris Islam dan hukum waris Barat (BW/ Burgerlijk
Wetboek atau KUHPerdata), baik dalam hartanya maupun dalam cara-cara
pembagiannya.
Soerojo Wignjodipoero mengemukakan, bahwa sifat dari hukum
waris adat menunjukkan corak yang memang khas tersendiri yang
mencerminkan cara berfikir maupun semangat dan jiwa dari pikiran
tradisional yang didasarkan atas pikiran komunal atau kolektif,
kebersamaan dan konkret bangsa Indonesia.15
6. Asas-Asas Hukum Waris Adat
Asas-Asas hukum waris adat meliputi beberapa asas diantaranya
ialah sebagai berikut: 16
a) Asas Ketuhanan dan Pengendalian Diri
Asas ketuhanan dan pengendalian diri, yaitu adanya kesadaran
bagi para ahli waris bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang
dapat dikuasai dan dimiliki merupakan karunia dan keridhaan Tuhan
oleh karena itu apabila seorang telah meninggal dan meninggalkan
14
Laksanto Utomo, Hukum Adat (Depok: Rajawali Pers, 2017), cet.2, h. 7. 15
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Haji
Masagung, 1994), h.161.
16
Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, h. 9.
22
harta warisan, maka para ahli waris itu menyadari untuk membagikan,
sehingga tidak berselisih dan saling berebut harta warisan karena
perselisihan diantara para ahli waris akan memberatkan arwah pewaris
untuk menghadap Tuhannya.
b) Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak
Asas kesamaan dan kebersamaan hak, yaitu setiap ahli waris
mempunyai kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak untuk
mewarisi harta peninggalan pewarisnya, seimbang antara hak dan
kewajiban tanggung jawab setiap ahli waris untuk memperoleh
hartanya. Jadi bukan tergantung sama banyaknya, melainkan seimbang
berdasarkan hak dan tanggung jawabnya.
c) Asas Kerukunan dan Kekeluargaan
Asas kerukunan dan kekeluargaan, yaitu para ahli waris
mempertahankan untuk memelihara hubungan kekerabatan yang
tentram dan damai, baik dalam menikmati dan memanfaatkan harta
warisan tidak terbagi maupun dalam menyelesaikan pembagian harta
warisan yang sudah terbagi.
d) Asas Musyawarah dan Mufakat
Asas musyawarah dan mufakat, para ahli waris membagi harta
warisannya melalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang
dituakan dan bila terjadi kesepakatan dalam pembagian harta warisan,
kesepakatan itu bersifat tulus ikhlas yang keluar dari hati nurani
masing masing ahli waris.
e) Asas Keadilan
Asas keadilan, yaitu keadilan berdasarkan status, kedudukan
dan jasa sehingga setiap keluarga pewaris mendapatkan harta warisan.
23
7. Hukum Waris Adat Berdasarkan Sistem Kekerabatan
Hukum waris di Indonesia tidak terlepas dari sistem kekeluargaan
yang terdapat di Indonesia. oleh karena itu corak dan tata nilai hukum
waris di Indonesia mengikuti bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan
yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan.17
Setiap sistem
keturunan itu terdapat perbedaan dalam hukum warisnya yang satu sama
lain berbeda-beda, terdapat tiga prinsip pokok garis kekerabatan atau
keturunan di Indonesia yaitu:
a) Sistem Patrilineal
Sistem patrilineal adalah sistem kekeluargaan yang menarik
garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini
dikenal dengan garis keturunan bapak, pengaruh dan kedudukan
laki-laki lebih diutamakan dibandingkan perempuan.18
Sistem kekerabatan patrilineal diatas, berlaku adat
perkawinan dengan pembayaran jujur, dimana sesudah terjadi
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, maka istri
melepaskan golongan adat dari kerabat ayahnya dan masuk
kedalam golongan adat suaminya, oleh karena itu, hak dan
kedudukan suami lebih tinggi dari hak dan kedudukan istrinya.19
b) Sistem Matrilineal
Sistem matrilineal adalah sistem kekeluargaan yang
berdasarkan pertalian keturunan melalui keibuan yang menarik
garis keturunan dari pihak ibu terus keatas. Didalam sistem
17
Ellyn Dwi, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, h.1. 18
Oemar Muchtar, Perkembangan Hukum Waris Praktik Penyelesaian Sengketa Waris di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2019), cet.1, h.195.
19
Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, h.26-27
24
kekeluargaan ini, pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-
anaknya, karena hanya ditarik dari garis keturunan perempuan atau
garis ibu. Contoh sistem ini terdapat pada masyarakat
Minangkabau. 20
Sistem kekeluargaan matrinilineal di atas, mempunyai
perkawinan adat Semendo dan bila terjadi perkawinan seorang pria
dengan seorang wanita, maka pria sebagai suami melepas
kewargaan adatnya dan memasuki kewargaan adat istrinya.
Apabila hal ini dilihat dari sudut kekerabatan si istri, hak dan
kedudukan suami lebih rendah dari hak dan kedudukan istrinya.21
c) Sistem Parental atau Bilateral
Sistem parental atau bilateral adalah sistem yang menarik
garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun pihak
ibu. Dalam garis keturunan ini, anak laki-laki dan perempuan
sejajar yang artinya mereka memiliki hak waris masing masing atas
harta peninggalan orang tua mereka.22
Sistem kekerabatan parental atau bilateral mempunyai
sistem perkawinan yang tidak mengenal pembayaran jujur dan
perkawinan semendo. Selain itu, bila terjadi perkawinan antara
seorang pria dan wanita, mereka bebas memilih untuk menetap di
tempat suami atau istri atau memilih untuk membangun kehidupan
baru yang lepas daru pengaruh orang tua masing-masing.23
20
Oemar, Perkembangan Hukum Waris Praktik Penyelesaian Sengketa Waris di
Indonesia, h. 196.
21
Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, h.26-27. 22
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), cet.2,
h. 41-42. 23
Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, h.27.
25
Berdasarkan pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan
diatas, sangatlah jelas bahwasanya hukum adat di Indonesia sangat
di pengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada
masyarakat yang bersangkutan.
Disamping sistem kekerabatan diatas, hukum waris adat juga
mengenal adanya tiga macam sistem pewarisan diantaranya adalah sebagai
berikut:24
a) Sistem Pewarisan Individual, berdasarkan sistem ini, maka ahli
waris mendapatkan atau memiliki bagiannya masing-masing. Pada
umumnya sistem ini dijalankan oleh masyarakat yang menganut
sistem kemasyarakatan parental atau bilateral.
b) Sistem Pewarisan Koletkif, yaitu sistem kewarisan dimana para
ahli waris mewarisi harta peninggalan pewaris secara bersama-
sama (kolektif). Hal ini terjadi karena harta peninggalan itu
merupakan harta turun-temurun yang tidak dapat di bagi-bagi.
Misalkan harta pusaka yang terdapat di Minangkabau.
c) Sistem Pewarisan Mayorat, adalah sistem kewarisan dimana harta
peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak tertua, sama
dengan pewarisan kolektif namun diwarisi oleh anak tertua.
B. Hukum Waris Islam
1. Pengertian Hukum Waris Islam
Mawaris secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal
miras yang berarti warisan atau harta peninggalan.25
Dalam beberapa
24
Oemar, Perkembangan Hukum Waris Praktik Penyelesaian Sengketa Waris di
Indonesia, h. 198-199.
25
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), cet.2, h.1.
26
literatur hukum Islam, dijumpai beberapa istilah untuk menamakan hukum
waris Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraid, dan hukum kewarisan.26
Adapun yang dimaksud dengan fiqh mawaris seperti yang di
ungkapkan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Fiqhul
Mawaris ialah “Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang
mewarisi, orang-orang yang tidak dapat mewarisi, kadar yang dapat
diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pengambilannya”.27
Kemudian menurut Muhammad Amin Suma, hukum kewarisan
Islam yaitu “hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan
pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, serta
bagian dan kapan pembagian harta kekayaan pewaris dilaksanakan”.28
Secara terminologi, hukum kewarisan Islam adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemillikan harta peninggalan pewaris,
menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian
masing-masing.29
Menurut ketentuan Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam
(KHI) bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing.30
26
Muhibin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai pembaruan Hukum Positif di
Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.5. Lihat juga Destri, Haniah Ilhami, Pembaruan
Hukum Waris Islam di Indonesia (Gajah Mada University Press), h. 1.
27
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2001), h.5. 28
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005), h.108.
29
Mardani, Hukum Kewarisan di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), cet.2, h.1-2.
30
Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf a.
27
Jadi, dapat penulis simpulkan dari beberapa definisi diatas
bahwasanya yang dimaksud dengan hukum waris Islam adalah suatu
perkara yang membahas tentang harta peninggalan dari pewaris, baik itu
dari segi proses pembagian, siapa saja yang berhak menerima, dan berapa
bagian masing-masing yang dapat diterima oleh ahli waris.
2. Dasar Hukum Waris Islam
Dasar dan sumber utama dari hukum waris Islam adalah dari
hukum Islam itu sendiri yakni Nas atau teks yang terdapat dalam Alquran.
Seperti yang terdapat dalam Alquran surah an-Nisa ayat 7 Allah
Swt berfirman:
للرجال نصيب مما ت رك الوالدان والق ربون وللنساء نصيب مما ت رك الوالدان
ا قل منو أو كث ر نصيبا مفروضا والق ربون مم
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah di tetapkan” (QS. An-Nisa [4], 7).
Dari ayat diatas, jelaslah bahwasanya itu merupakan landasan
utama yang menunjukkan adanya hukum waris dalam Islam, baik laki-laki
maupun perempuan sama-sama mendapatkan hak bagian waris, berbeda
pada masa jahiliyah dimana perempuan dipandang sebagai objek dalam
artian benda yang bisa diwariskan.
28
3. Unsur-Unsur Pewarisan dalam Hukum Waris Islam
Terdapat beberapa unsur dalam pewarisan diantaranya adalah:
Pewaris, ahli waris dan harta waris. 31
a. Yang dimaksud Pewaris adalah seperti yang telah terdapat dalam
KHI Pasal 171 huruf b, pewaris adalah orang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan
Putusan Pengadilan beragam Islam, meinggalkan harta dan ahli
waris.
b. Yang dimaksud ahli waris seperti yang terdapat dalam KHI Pasal
171 huruf c, ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama islam dan tidak berhalangan karena
hukum untuk menjadi ahli waris.
c. Sedangkan harta waris yang terdapat dalam KHI Pasal 171 huruf e
juga dinyatakan yang dimaksud dengan harta waris adalah harta
bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah di gunakan
untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.
Jadi, secara umum, hukum waris Islam itu mengatur tentang tiga
hal utama, yaitu harta peninggalan dari pewaris, para pihak yang berhak
menerima harta peninggalan, serta besar bagian yang dapat diterima oleh
para ahli waris. Jika dilihat unsur-unsur yang terdapat dalam hukum waris
Islam ini sama dengan unsur yang terdapat dalam hukum waris adat.
4. Bagian Masing-Masing Ahli Waris
Pembagian harta waris dalam hukum kewarisan Islam dilakukan
dengan membagi sesuai kelompok-kelompok ahli waris yang telah di
31
Lihat Kompilasi Hukum Islam 171 huruf b-e.
29
tentukan oleh Nas. Kelompok-kelompok ahli waris tersebut terdiri dari
hubungan darah dan hubungan perkawinan:32
a. Menurut Hubungan Darah
1). Golongan laki-laki terdiri dari: Ayah, anak laki-laki saudara
laki-laki, paman dan kakek.
2). Golongan perempuan terdiri dari: Ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, dan nenek.
b. Menurut Hubungan Perkawinan
1). Terdiri dari anak, ayah, ibu, istri atau suami.
Kemudian berdasarkan pembagian kelompok tersebut, secara rinci
terdapat bagian masing-masing ahli waris ialah sebagai berikut:33
a) Anak perempuan, ½ bila hanya seorang. 2/3 bila dua orang atau
lebih. ashabah bila bersama anak laki-laki.
b) Anak laki-laki, Ashabah bila hanya seorang. ashabah bila bersama
anak perempuan.
c) Ayah, Ashabah bila pewaris tidak meninggalkan anak. 1/6 bila
pewaris meninggalkan anak.
d) Ibu, 1/3 bila pewaris tidak meninggalkan anak/ tidak meninggalkan
dua orang saudara atau lebih. 1/6 bila pewaris meninggalkan
anak/dua orang saudara atau lebih. 1/3 sisa sesudah diambil bagian
janda atau duda bila bersama dengan ayah (tidak pewaris
meninggalkan anak/dua saudara atau lebih.
32
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014) h. 92. Lihat juga Kompilasi
Hukum Islam Pasal 174 ayat 1 dan 2. 33
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), h.44.
30
e) Istri, 1/4 bila pewaris tidak meninggalkan anak. 1/8 bila pewaris
meninggalkan anak.
f) Suami, 1/2 bila pewaris tidak meninggalkan anak. 1/4 bila pewaris
meninggalkan anak.
Dapat disimpulkan terjadinya saling mewarisi dalam hukum waris
Islam adalah karena adanya hubungan darah dan hubungan perkawinan
serta syariat Islam telah menetapkan jumlah furudul muqaddarah (bagian
yang telah di tentukan) ada enam macam yaitu, 2/3, 1/3, 1/6, 1/2, 1/4, 1/8.
5. Asas-Asas Hukum Waris Islam.
Asas hukum kewarisan Islam yang disalurkan dari Alquran dan
As-Sunnah, antara lain:34
a. Asas Ijbari
Menurut hukum Islam bahwa peralihan harta dari seseorang
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan
sendirinya menurut ketetapan Allah, bukan kehendak ahli waris.
b. Bilateral
Asas bilateral dalam hukum waris Islam sama sama
mendapatkan hak secara proporsional antara pihak laki laki dan
perempuan.
c. Keadilan Berimbang
Menurut asas ini harus senantiasa terdapat keseimbangan
antara hak dan kewajiban, antara yang diperoleh dengan keperluan
dan kegunaan.
d. Individual
Yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi dan dimiliki secara
perorangan, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain.
34
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 284. Lihat juga Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, h. 5.
31
e. Akibat kematian
Asas ini menjelaskan bahwa harta peninggalan tidak dapat
beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang
mempunyai harta masih hidup.
C. Perbedaan Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam
Adapun perbedaan antara hukum waris adat dan hukum waris
Islam dapat penulis simpulkan dilihat sebagai berikut:
1. Proses Pembagian
Dalam hukum waris adat bagian ahli waris tidak mempunyai
aturan yang tertulis melainkan di bagi menurut sistem keturunan baik
secara kerukunan atau kesepakatan antara keluarga.35
Sedangkan dalam
hukum waris Islam telah ditentukan bagiannya oleh Nas. (QS. Annisa
Ayat 11,12)
2. Cara Mendapatkan
Dalam hukum waris Adat terdapat dua cara mendapatkan warisan,
yakni ketika pewaris masih hidup dalam hal ini hukum Islam lebih
mengenal dengan kata hibah, dan ketika pewaris telah meninggal. Namun
dalam hukum waris Islam membedakan antara hibah dan warisan, hukum
kewarisan Islam menyatakan, bahwa kewarisan ada kalau ada yang
meninggal dunia.36
3. Ahli Waris
Dalam hukum waris Adat dapat memberikan kepada anak angkat
hak nafkah dari harta peninggalan orangtua angkatnya, sedangkan dalam
35
Ellyn Dwi, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, h.119.
36
Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, h. 284
32
hukum waris Islam tidak mengenal ketentuan memberi kepada anak
angkat. Hanya saja dalam hukum Islam anak angkat diberi wasiat wajibah
dengan ketentuan tidak lebih dari 1/3.37
4. Sistem Hukum
Dalam hukum waris Adat dikenal dengan sistem sesuai dengan
sistem kekerabatan seperti patrilineal, matrilineal, dan parental atau
bilateral. Sedangkan dalam hukum Islam tidak mengenal dengan sistem
kekerabatan, namun mengutip Hazairin bahwa kewarisan Islam sejatinya
identik dengan sistem bilateral.38
5. Sifat Harta Waris
Dalam hukum adat harta peninggalan ada yang bersifat tidak dapat
dibagi-bagi atau pelaksanaan pembagiannya ditunda untuk waktu yang
cukup lama, atau hanya sebagian harta yang dapat dibagi-bagi. Namun
dalam hukum waris Islam harta peninggalan bersifat dibagi-bagi semuanya
tanpa ada harta yang tidak bisa dibagi selagi ahli waris telah melaksanakan
kewajiban yakni mengurus jenazah, menyelesaikan utang dan wasiat jika
ada.39
37
Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 209.
38
Hazairin, Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadith (Jakarta, Timtamas
Indonesia, 1961), h.16
39
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, h. 33
33
BAB III
LANDASAN TEORI MASLAHAH MURSALAH
A. Definisi Maslahah Mursalah
Masalahah Mursalah terdiri dari dua kata, yaitu kata maslahah dan
mursalah. Kata maslahah telah diserap ke dalam bahasa Indonesia
menjadi maslahat. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) membedakan
antara kata maslahat dengan kemaslahatan. Kata maslahat, menurut kamus
tersebut, diartikan dengan suatu yang mendatangkan kebaikan, faedah dan
guna. Sedangkan kata kemaslahatan mempunyai makna kegunaan,
kebaikan, manfaat kepentingan.1
Menurut bahasa aslinya, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab,
menurut bahasa aslinya kata maslahah berasal dari kata (Shalaha-
yahlauhu-shalhan) artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat.2
Sedangkan secara terminologi, maslahah dapat diartikan mengambil
manfaat dan menolak bahaya dalam rangka memelihara tujuan hukum
Islam.3
Nasroen Haroen mengemukakan dalam karangannya yang
mengutip dari Imam al-Ghazali bahwa pada prinsipnya maslahah
mursalah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam
rangka memelihara tujuan-tujuan syara‟.4 Imam al-Ghazali memandang
bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara‟, meskipun
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
BalaiPustaka, 1996), cet.2, h.634.
2 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah,
2010), h.221.
3 Husein Hamid Hasan, Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami (Kairo: Dar al-
Nahdhah al-Arabiyah, 1971), h. 3.
4 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet.2 h.114. lihat
juga Wahbah Az-Zuhaili, Al-wajiz fi Ushul Fiqh, h.95.
34
bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia
tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara‟, tetapi sering
didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.5 Misalnya di zaman jahiliyah
para wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka
hal tersebut mengandung kemaslahatan, sesuai dengan adat mereka, tetapi
pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara‟, karenanya tidak
dinamakan maslahah, oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali yang
dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak
dan tujuan syara‟ bukan kehendak dan tujuan manusia.
Menurut Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan maslahah
mursalah ialah maslahat di mana syari‟ tidak mensyari‟atkan hukum untuk
mewujudkan maslahah, juga tidak ada dalil syara‟ yang menunjukkan
dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu.6
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili dalam salah satu karangannya
“alwajiz fi ushulil fiqh”, yang dimaksud maslahah mursalah menurut para
ahli ushul ialah sifat yang selaras dengan hukum syariat beserta tujuannya,
akan tetapi tidak ditemukan dalil terperinci dari syariat tentang
keberadaannya, dan masalahat juga menghasilkan kaitan hukum untuk
mendapatkan kemaslahatan atau menolak dari adanya kerusakan terhadap
kehidupan manusia.7
Berdasarkan pada beberapa pengertian diatas, pembentukan hukum
berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari
kemaslahatan manusia. Artinya, dalam rangka mencari sesuatu yang
menguntungkan dan juga menghindari kemudharatan yang bersifat sangat
luas. Walaupun jika dilihat secara redaksi nampaknya ada perbedaan,
5 Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustashfa min „ilmi al-Ushul (Beirut: Dar al Kutub al-
Ilmiyah, 1980), h.286. 6 Abdullah Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 2014), h. 139.
7 Wahbah Az-Zuhaili, Al-wajiz fi Ushul Fiqh (Bairut, Darul Fikr, 1995), h.92.
35
namun hakikatnya ada satu persamaan yang mendasar, yaitu menetapkan
hukum dalam hal-hal yang kemanfaatannya dikehendaki oleh Allah untuk
hamba-hambanya, baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan
jiwa/diri, pemeliharaan kehormatan diri serta keturunan, pemeliharaan akal
budi, maupun pemeliharaan harta. Dalam artian mendatangkan
keuntungan, menarik manfaat, menolak mudarat, menghindari kerusakan
dan menghilangkan kesulitan.
B. Syarat Maslahah Mursalah
Muhammad Abu Zahrah menukil dari pendapat Imam Malik
bahwasanya beliau merupakan Imam Mazhab yang menerapkan dalil
Maslahah Mursalah. Untuk menerapkan dalil tersebut Imam Malik
mengajukan tiga syarat sebagai berikut:
1. Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai
sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syariat
(maqashid as-syari‟ah). Dalam artian maslahah tidak boleh
bertentangan sedikitpun dengan dalil yang qat‟iy, atau tidak boleh
menegaskan sumber dalil yang lain. Akan tetapi harus mencakup
tujuan maslahat yang di ingin di wujudkan oleh syara‟.
2. Maslahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat
yang sesuai dengan pemikiran yang rasional (dapat diterima oleh
akal), dimana jika maslahat itu di ajukan kepada kaum rasionalis
maka akan mudah dapat di terima.
3. Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka
menghilangkan kesulitan yang mesti terjadi (rafu haraj lazim)
yang mana seandainya maslahat itu tidak di ambil atau digunakan
oleh akal manusia, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.8
8 Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushu Fiqh (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2014), cet.17,
h.454.
36
Menurut Abdul Wahab Khalaf, maslahah mursalah dapat dijadikan
sebagai legislasi hukum Islam bila memenuhi syarat, antara lain ialah:
1. Berupa maslahah yang hakiki bukan maslahah yang sifatnya
dugaan, tetapi yang berdasarkan penelitian, kehati-hatian dan
pembahasan mendalam serta benar-benar menarik manfaat dan
menolak kerusakan.
2. Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan untuk kepentingan
individual.
3. Tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Nas
(Alquran dan Hadis) serta ijma‟ ulama.9
Jadi, maslahat yang dapat diterima ialah maslahat-maslahat yang
bersifat hakiki yaitu meliputi lima jaminan dasar, keyakinan agama,
keselamatan jiwa, keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan
serta keselamatan harta benda. Dari kelima jaminan dasar itu merupakan
tiang penyangga kehidupan dunia agar umat manusia dapat hidup aman
dan sejahtera.10
C. Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Berdirinya hukum syariat ialah untuk menghasilkan kemaslahatan,
dan pemeliharaan serta perwujudannya merupakan rahmat bagi seluruh
manusia. Nas-Nas Alquran maupun Hadis diketahui bahwa hukum-hukum
syari‟at Islam mencakup diantaranya pertimbangan kemaslahatan manusia,
seperti pada ayat-ayat berikut: 11
9 Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 2014), h. 145-146.
10
Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushu Fiqh, h.451. 11
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: PT Sygma, 2014),
h.215. Lihat juga Wahbah Az-Zuhaili Al-wajiz fi Ushul Fiqh (Bairut, Darul Fikr, 1995), h.94.
37
1. QS. Yunus: 57
قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما في الصدور وىدى ورحمة يا أي ها الناس
للمؤمنين
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran
dari Tuhanmu dan penyembah bagi penyakit-penyakit (yang berada)
dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
2. QS. Al-Anbiya: 107.
لمين ك إل رحمة للع أرسلن وما ..
Artinya: “Dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk
menjadi rahmat bagi semesta alam”.
3. QS. Al-baqarah: 185.12
ة ولتكب رواٱ لعسر ولتكملواٱليسر ول يريد بكم ٱللو بكم ٱيريد للو على ٱ لعد
كم ولعلكم تشكرون ما ىدى
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak meghendaki
kesukaran bagimu, hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, agar
kamu bersyukur”.
Atas dasar Alquran di atas, maka seiring dengan perkembangan
zaman yang semakin pesat dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup pun
mengalami perubahan pula, dan seiring dengan berubahnya kemaslahatan
manusia kemudian jika harus terpaku pada hukum-hukum yang telah di
tetapkan syara‟ maka akan banyak kemaslahatan manusia yang terabaikan,
12
Wahbah Az-Zuhaili Al-wajiz fi Ushul Fiqh (Bairut, Darul Fikr, 1995), h.94.
38
stagNasi dan terkesan syariat Islam tidak relevan dengan perkembangan
zaman.
Namun maslahah bukanlah hanya didasarkan pada pertimbangan
akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan juga diartikan bahwa
maslahah itu dapat mendatangkan kenikmatan dan mengindarkan
kerusakan, tetapi jauh lebih dari itu, oleh karena itu suatu maslahah yang
dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan tujuan syara‟ dalam
menetapkan hukum.
Kekuatan maslahah dapat dilihat dari segi tujuan syara‟ dalam
menetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung
dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia yaitu: agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta.
D. Macam-Macam Maslahah
Macam-macam maslahah dapat ditinjau dari dua sisi, antaralain:13
1. Dari segi kekuatan dan kepentingan kemaslahatan dalam menetapkan
hukum, masalahah terdiri dari tiga macam yaitu: maslahah dharuriyah,
maslahah hajiyah dan maslahah tahsiniyah.
a) Maslahah dharuriyah, kemaslahatan yang berhubungan dengan
kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat yakni
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan memelihara harta.14
Kelima kemaslahatan ini merupakan yang paling esensial bagi
kehidupan manusia, sehingga wajib ada pada kehidupan manusia.
Karena itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi
pemenuhan kebutuhan lima pokok tersebut. Namun segala usaha
atau tindakan yang secara langsung menyebabkan rusaknya satu
diantara lima unsur pokok tersebut adalah buruk, maka Allah
13
Wahbah Az-Zuhaili, Al-wajiz fi Ushul Fiqh (Bairut, Darul Fikr, 1995), h.92-93. 14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h.348-351.
39
melarangnya. Contoh dalam hal ini adalah Allah melarang murtad
agar kita memelihara agama.
b) Maslahah hajiyah, adalah kemaslahatan yang dibutuhhkan untuk
menyempurnakan atau mengoptimalkan kemaslahatan pokok..
Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan
kebutuhan pokok, tetapi secara tidak langsung menuju ke arah
dharuri dalam hal memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan
hidup manusia.15
Maslahah hajiyah jika tidak terpenuhi dalam
kehidupan manusia tidak langsung menyebabkan rusaknya lima
unsur pokok tersebut, akan tetapi secara tidak langsung memang
bisa mengakibatkan perusakan. Contoh: menuntut ilmu agama
guna menegakkan agama, makan untuk kelangsungan hidup.
Semuanya adalah perbuatan buruk yang dilarang, menjauhi
larangan tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat hajiyah.
c) Maslahah tahsiniyah adalah kemaslahatan yang sifatnya
komplementer (pelengkap), berupa kepatutan yang dapat
melengkapi kemaslahatan sebelumnya (Maslahah hajiyah)
kemaslahatan dalam bentuk tahsini ini jika tidak terpenuhi maka
kehidupan manusia menjadi kurang indah dan nikmat dirasakan
namun tidak dapat menimbulkan kerusakan.16
2. Ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, dari segi
maslahah menurut syara‟ , terbagi kepada tiga macam, yaitu:17
a) Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang diambil dari Nas
atau ijma‟ secara langsung atau tidak langsung yang memberikan
penunjuk pada adanya maslahah yang menjadi alasan dalam
menetapkan hukum
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h.348-351
16
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h.348-351.
17
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h.348-351, Lihat juga Asmawi, Perbandingan Ushul
Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), h. 127.
40
b) Maslahah al Mulghah, yakni maslahah yang ditolak, yaitu
maslahah baik oleh akal tetapi tidak diperhatikan oleh syara‟ dan
ada petunjuk syara‟ yang menolaknya. Yang mana akal
menganggapnya baik dan telah sejalan dengan syara‟, tapi
ternyata syara‟ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa
yang dituntut oleh maslahah itu.
c) Maslahah Mursalah atau yang biasa disebut dengan Istishlah
yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan
syara‟ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk
syara‟ yang menolaknya dan tidak ada petunjuk yang
menguatkannya.
E. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Seperti yang telah di singgung pada pembahasan sebelumnya
mengenai tiga bentuk macam maslahah, yaitu maslahah al-mu‟tabarah,
maslahah al-mulghah, dan maslahah al-mursalah.
Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah dapat diterima dalam fiqh
Islam, dan setiap maslahah wajib diambil sebagai sumber hukum selama
bukan dilatar belakangi oleh dorongan syahwat dan hawa nafsu dan tidak
bertentangan dengan Nas serta tujuan syari‟.18
Para Ulama ushul fiqh juga
sepakat menyatakan bahwa mashlahah mursalah dapat dijadikan sebagai
hujah dalam menetapkan hukum Islam. Adapun terhadap kehujahan
mashalah mursalah, pada prinsipnya jumhur ulama menerimanya sebagai
salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara‟ sekalipun dalam
penerapan dan penempatan syaratnya mereka berbeda pendapat.19
Ulama yang menggunakan maslahah mursalah ini adalah seperti
Najamudin al-Thufi, nama lengkapnya adalah Abu al-Rabi Sulaiman Ibn
18
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2014), cet.17,
h.460.
19
Nasrun Haroen , Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos, 1997), cet.1, h. 120-123.
41
Abdul al-Qawiy ibn Abdul Karim ibn Sa‟id. Ia adalah seorang ulama fiqh
dan ushul fiqh mazhab hambali yang dilahirkan di desa Thufa Sharshar
Irak, wafat tahun 716 H (1316M).20
Pandangan al-Thufi ini bermula saat
melihat penurunan aktifitas ijtihad, pada masa itu mulai berkembang di
kalangan ulama taklid atau meniru, meskipun sebenarnya mereka memiliki
potensi untuk berijtihad secara mandiri.21
Menurut al-Thufi inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalam
Nas adalah maslahat bagi umat manusia seluruh bentuk kemaslahatannya
itu tidak perlu didukung oleh Nas, baik oleh Nas tertentu maupun oleh
makna yang dikandung oleh sejumlah Nas. Maslahat menurutnya adalah
dalil yang sangat kuat untuk menetapkan suatu hukum syara.22
Bagi al-Thufi maslahat diambil sebagai dalil syara‟ hanya dalam
bidang muamalah dan adat istiadat. Sedangkan dalam bidang ibadah,
maslahah tidak dapat dijadikan dalil. Pembagian ini menurut al-Thufi
karena ibadah merupakan hak yang khusus bagi syara‟ oleh karena itu
tidak mungkin mengetahui haknya baik dalam jumlah, cara, waktu dan
tempat kecuali berdasarkan penjelasan resmi dari Nas.23
Adapun dalam
bidang muamalah yang menjadi dasar adalah memberikan kemaslahatan
dan manfaat bagi manusia, karena manusialah yang lebih mengetahui
kemaslahatannya.
Adapun argumentasi al-Thufi mengenai kehujjahan maslahah
mursalah yaitu:
20
Mushtafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyri al-Islamy wa Najmuddin al-Thufi (Mesir: Dar
al-Fikr al-Arabi, 1964) h.67.
21 Qusthoniah, “Almashlahah dalam Pandangan Najmuddin Al-Thufi” (Jurnal Syariah
Vol 11, No.11 Oktober, 2013), h.39. 22
Mushtafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyri al-Islamy wa Najmuddin al-Thufi, h.127. 23
Qusthoniah, “Almashlahah dalam Pandangan Najmuddin Al-Thufi”, h.43.
42
1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan, khususnya
dalam bidang muamalah dan adat. Dasar ini menunjukkan bahwa
dalam menentukan sebuah maslahah hanya dilihat pada akal atau
nalar manusia, pandangan ini berbeda dengan jumhur ulama karena
menurut jumhur maslahah harus sesuai dengan Nas.
2. Maslahah merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. oleh
sebab itu maslahah tidak memerlukan dalil pendukung dari Nas.
3. Ruang lingkup maslahah terbatas pada persoalan muamalah duniawi
dan adat kebiasaan.
4. Maslahah merupakan dalil syara‟ yang kuat. Maslahah bukan hanya
sekedar hujjah namun ketika ia bertentangan dengan Nas, maka
didahulukan maslahah dari pada Nas.24
Sedangkan penolakan kehujjahan maslahah datang dari ulama
Zahiriyyah dan Syi‟ah, menurut mereka, apabila maslahah dapat diterima
sebagai dalil syara‟ maka akan mengakibatkan hilangnya kesucian hukum-
hukum syara‟ disebabkan unsur subjektif yang akan timbul dalam
menetapkan suatu kemaslahatan. Di samping itu, kemaslahatan itu sendiri
terletak antara dua kemungkinan, yaitu kemungkinana didukung syara‟
dan kemungkinan ditolak syara‟. Sesuatu yang keberadaannya masih
dalam “kemungkinan” tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan
hukum.25
F. Tinjauan Maslahah Mursalah Terhadap Hukum Islam
Permasalahan kehidupan manusia semakin hari terus bertambah
dan menjadi semakin berkembang pesat serta semakin kompleks.
Perubahan yang cepat ini pula harus di topang oleh perubahan hukum yang
mengatur pula, guna tidak adanya kekosongan hukum atau permasalahan
24
Mushtafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyri al-Islamy wa Najmuddin al-Thufi, h.127-132. 25
Nasrun Haroen , Ushul Fiqh 1, h.128.
43
yang dihadapi oleh umat Islam yang menuntut adanya jawaban
penyelesaiannya dari segi hukum. Semua persoalan tersebut tidak bisa kita
hadapi jika menggunakan metode lama dari umat terdahulu, karena hukum
berubah dengan adanya perubahan tempat dan zaman. 26
Kita akan menghadapi kesulitan menemukan dalil Nas atau
petunjuk syara‟ untuk mendudukkan hukum dari permasalahan yang
muncul. Untuk kasus waris adat Melayu contohnya kemungkinan kita
akan kesulitan untuk menggunakan metode lain selain maslahah
almursalah ini, yang menurut penulis maslahah mursalah lah yang tepat
untuk menangani atau meninjau kasus ini dalam menetapkan status
hukumnya.
Kegunaan maslahah mursalah ini dapat juga dinilai baik dan
buruknya dalam menetapkan hukum tetapi tidak sulit untuk menemukan
dalil atau Nas yang mendukungnya. Seperti yang di kemukakan oleh Amir
Syarifuddin „dalam upaya agar tindak tanduk umat Islam masyarakat
Melayu khususnya masih dalam koridor atau batas ketentuan tatanan
hukum agama, maslahah mursalah itu dapat dijadikan salah satu alternatif
sebagai dasar dalam berijtihad.27
26
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, h.364.
27
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, h.364.
44
BAB IV
ANALISA TEORI MASLAHAH DALAM PEMBAGIAN WARIS DI
SAMBAS
A. Gambaran Umum Kecamatan Sambas
1. Letak Wilayah 1
Kecamatan Sambas terletak di sebelah timur Ibu Kota Kabupaten
Sambas atau diantara 1º11º20º Lintang Utara serta 1º24º48º Lintang Utara
dan 109º09º16º Bujur Timur Serta 109º26º23º Bujur Timur.
Secara administratif, batas wilayah Kecamatan Sambas adalah:
- Utara : Kecamatan Teluk Keramat dan Kecamatan
Sebangkung
- Selatan : Kecamatan Sebawi dan Kecamatan Subah
- Barat : Kecamatan Subawi
- Timur : Kecamatan Subah dan Kecamatan Sajad
2. Luas Wilayah2
Luas Kecamatan Sambas adalah 246,66 km² atau sekitar 3.86
persen dari luas wilayah Kabupaten Sambas. Kecamatan Sambas terdiri
dari 18 desa. Desa terluas adalah Desa Lumbang dengan luas 40.00 km²
atau 16.22 persen dari luas Kecamatan Sambas, sedangkan untuk Desa
terkecil adalah Desa Pasar Melayu dengan luas 0.43 km, persegi atau 0,17
persen dari luas Kecamatan Sambas.
Luas penggunaan lahan sawah di kecamatan Sambas berkurang
menjadi dari 23.50 km² menjadi 19.76 km² atau hanya 8,01 persen dari
1 Kecamatan Sambas Dalam Angka 2018, Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas, h.2.
2 Kecamatan Sambas Dalam Angka 2018, Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas, h.4.
45
luas wilayah kecamatan Sambas. Untuk luas penggunaan lahan bukan
sawah dikecamatan Sambas meningkat menjadi 194,20 km² dari 190,46
km² atau 190,46 km² atau 78,73 persen dari luas kecamatan Sambas,
sedangkan luas lahan bukan pertanian di kecamatan Sambas 32,7 km² atau
13,26 persen dari luas wilayah Kecamatan Sambas.
3. Pendidikan3
Keberhasilan proses pendidikan sangat tergantung oleh tersedianya
sarana, dan prasarana serta tenaga pengajar yang memadai. Pada tahun
2017, jumlah prasarana SD yang tersedia sebanyak 32 sekolah, SLTP
sebanyak 10 sekolah dan SLTA sebanyak 13 sekolah.
Di tingkat Sekolah Dasar (SD), jumlah murid meningkat sebesar
2,04 persen pada tahun 2017, sementara itu jumlah guru menurun sebesar
3,28 persen dibandingkan 2016. Jumlah murid SD mencapai 7.217 orang.
Ditingkat sekolah menengah pertama SMP/MTs, jumlah murid
mengalami peningkatan dari 3.320 orang di tahun 2016 menjadi 3.481
orang di tahun 2017 atau naik sekitar 4,85 persen.
Untuk jenjang pendidikan menengah atas dan kejuruan jumlah
keseluruhan murid SMA/MA adalah 2.411 orang dan SMK sebanyak
1.306 orang di tahun 2017.
4. Agama4
Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
menjamin kehidupan umat beragama dan senantiasa mengembangkan
kerukunan hidup antara pemeluk agama/kepercayaan guna membina
3 Kecamatan Sambas Dalam Angka 2018, Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas, h.9.
4 Kecamatan Sambas Dalam Angka 2018, Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas, h.41.
46
kehidupan masyarakat dan sekaligus mengatasi berbagai masalah sosial
budaya yang mungkin dapat menghambat kemajuan bangsa.
Pada tahun 2017 jumlah prasana peribadatan di Kecamatan Sambas
sebanyak 144 buah yang terdiri dari 53 masjid, 64 surau, 14 mushola, 2
Gereja Khatolik 3 Gereja Protestan, 7 vihara dan 1 pura.
Sedangkan jika dilihat dari data agregat pemeluk agama di
Kecamatan Sambas tahun 2018 mayoritas memeluk agama Islam,
(49.361), Budha (4.737), Khatolik (1.577), Kristen (760), Hindu (6) dan
aliran kepercayaan lainnya (9).5
5. Dusun6
Kecamatan Sambas terdiri dari 18 desa dengan 58 Dusun,dan
jumlah penduduk 56.566, Desa yang terbanyak dusunnya ada 7 desa
dengan jumlah jumlah dusunnya masing-masing 4 dusun dan desa paling
sedikit jumlah dusunnya ada 3 desa dengan masing-masing 2 dusun
perdesa.
B. Pembagian Harta Peninggalan Melayu Sambas
1. Sistem Hukum
Sebagai mana yang penulis jabarkan pada bab sebelumnya bahwa
hukum kewarisan adat di Indonesia hingga saat ini masih sangat plural,7
dimana terdapat tiga yang mengatur yakni hukum adat, hukum Islam, dan
hukum perdata, serta di pengaruhi oleh sistem kewarisan dan sistem
kekerabatan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Hal
5 Data Agrergat Kependudukan Semester I Tahun 2018 web.disdukcapil.sambas.go.id
diakses tanggal 16 Februari 2019.
6 Kecamatan Sambas Dalam Angka 2018, Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas h.13.
7 Plural ialah sifat atau keadaan jama‟ (bermacam-macam).
47
tersebut disebabkan adanya perbedaan latar belakang penduduk baik suku
maupun agamanya.8
Dari tiga sistem hukum yang mengatur diatas, masing-masing
mempunyai corak tersendiri, seperti halnya hukum waris adat yang lahir
dari pikiran dan adat kebiasaan tradisional dengan berbagai bentuk
kekerabatan dan keturunannya yakni patrilineal, matrilineal atau bilateral.9
Dalam hemat penulis keadaan yang sangat beragam pada
masyarakat diatas banyak sekali mempengaruhi aspek lain dalam
kehidupan, seperti halnya dalam masalah kewarisan. Apalagi “di Sambas
ini merupakan suatu wilayah yang mayoritas masih menggunakan hukum
adat yang kental dan masih berlaku hingga saat ini”.10
Menurut hal sistem keturunan, dari hasil wawancara dengan tokoh
adat dan sebagian masyarakat, serta observasi yang penulis lakukan, dapat
dikemukakan bahwa sistem keturunan Masyarakat Melayu Sambas dalam
kewarisan yang digunakan adalah sistem keturunan bilateral atau parental,
sistem keturunan yang menarik garis keturunan dari orangtua, dimana
kedudukan laki-laki dan perempuan sama sama mendapatkan hak atas
harta peninggalan.
Sistem ini memiliki ciri khas tersendiri daripada sistem patrilineal
dan sistem matrilineal, yaitu yang merupakan ahli waris adalah semua
anak laki-laki dan perempuan tidak membedakan jenis kelamin, berbeda
dengan sistem patrilineal yang lebih mengutamakan laki-laki dalam hal
menerima warisan, dan matrilineal yang mengutamakan dari garis
keturunan perempuan saja.
8 NM. Wahyu, Waris Permasalahan dan Solusinya Cara Halal dan Legal Membagi
Warisan, h.6.
9 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Alquran, h.9.
10
Wawancara, Urai Riza Fahmi, Tokoh Adat Budaya Melayu Sambas, 16-Januari, 2019.
48
Kemudian, dari pihak yang mendapatkan harta peninggalan,
masyarakat Melayu Sambas menggunakan sistem Individual, artinya
semua ahli waris mendapatkan hak mewarisi secara perorangan atau
mendapatkan hak dari harta peninggalan secara individual.
Sistem pewarisan individual ini memang diberlakukan kepada
masyarakat yang bersistem keturunan parental atau bilateral (dimana
kedudukan laki-laki dan perempuan sama atau sederajat), sebagaimana
yang dianut oleh masyarakat Jawa, Aceh, Batak dan Kalimantan.11
Dilihat dari kedua sistem tersebut, sebenarnya tidak ada perbedaan
atau pertentangan antara hukum waris adat Melayu Sambas dan hukum
waris Islam, sebagaimana Hazairin mengungkapkan bahwa kewarisan
Islam di Indonesia sejatinya sama seperti kewarisan sistem keturunan
bilateral dan sistem pewarisan individual. 12
Namun, perbedaan dapat ditinjau dari pembagian yang dilakukan
oleh masyarakat adat Melayu Sambas seperti yang akan penulis bahas
pada point selanjutnya.
2. Penerapan Kewarisan
Melayu sambas merupakan suatu daerah yang masih kental dengan
perihal agama dan kepercayaan yang dianut serta kebudayaan yang masih
berlaku di masyarakat.13
Namun dalam hal perihal hukum Islam terutama
hukum tentang kewarisan Islam mereka belum memahami terlalu dalam,
sehingga penulis menemukan dari beberapa hasil wawancara oleh
sebagian masyarakat desa, masih menggunakan adat atau tradisi yang
berlaku sejak lama.
11
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 39.
12
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadith, h.16.
13
Wawancara, Anhari, Tokoh Agama, 16-Januari, 2019.
49
Dari hasil wawacara yang penulis lakukan terhadap responden,
mereka lebih sering mengenal hukum waris dengan sebutan harte pusake
yang mana yang dimaksud dengan harte pusake adalah suatu proses
pengalihan suatu harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris baik
itu barang yang bergerak ataupun tidak bergerak kepada ahli waris.
Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan juga di masyarakat
Sambas, bahwa pelaksanaan kewarisan yang digunakan adalah kewarisan
yang tidak berdasarkan ilmu fara‟id atau hukum Islam, hukum waris yang
masyarakat gunakan adalah berdasarkan adat atau kebiasaan yang terjadi
di masyarakat tersebut, karena mayoritas masyarakat sambas adalah
penduduk yang masih memegang kental hukum adat atau kebiasaan yang
berlaku.
Dalam hukum waris Islam berlaku pembagian 2:1 antara anak laki-
laki dan perempuan, akan tetapi pada kenyataannya terdapat pembagian
yang berbeda yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Sambas, dengan
pembagian 1:1 yang mana baik laki-laki maupun perempuan dibagi sama
rata, seperti yang penulis paparkan pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Pembagian Warisan
No Pembagian Waris Responden
1 Bagian 1:1 anak laki-laki dan perempuan 7
2 Bagian 2:1 anak laki-laki dan perempuan 3
Total Responden 10
Dari tabel diatas penulis melakukan wawancara dengan 10
responden, diantara 10 responden tersebut 2 orang diantaranya tokoh
agama, 1 orang tokoh adat, 1 orang pihak pemerintahan desa, dan 6 orang
ahli waris. Dari tabel diatas dapat dikemukakan bahwa dalam pembagian
harta peninggalan khususnya antara anak laki laki dan perempuan yang
dilakukan oleh sebagian masyarakat Melayu Sambas (responden) dalam
50
praktiknya mayoritas menggunakan pembagian 1:1. Namun terdapat
sebagian yang sudah menggunakan hukum waris Islam dalam
pembagiannya.
Ketentuan pembagian waris di Sambas sejatinya telah diatur pada
masa kerajaan Mufti14
, yang mana tidak terdapat perbedaan antara hukum
waris Islam dan hukum waris yang ada di Sambas, namun terjadi
perbedaan yang muncul dari segi pembagian yang mana dilakukan
pembagian sama rata antara laki-laki dan perempuan dengan alasan tidak
tega atau kasihan terhadap sesama saudara.15
Kasus lainnya yang peneliti temukan dalam pembagian yang
dilakukan oleh salah satu tokoh adat dalam pembagian harta warisan
dalam keluarganya, dimana setelah ayah beliau wafat, harta waris dibagi
sama rata meskipun masih ada Ibu sebagai ahli waris, sebelum harta dibagi
sama rata kepada anak, Ibu terlebih dahulu mendapatkan bagian 1/2 dari
harta peninggalan tersebut, baru kemudian setelah itu 1/2 dari sisa harta
tersebut dibagi secara sama rata kepada anak.16
Dalam keadaan seperti ini
orang tua tidak membedakan kedudukan anak laki-laki dan perempuan,
akan tetapi orang tua lebih dekat kepada anak perempuannya, hal ini
karena ketika anak laki-laki menikah ia akan meninggalkan rumah dan
menetap dirumah istrinya sehingga kedekatan antara orang tua dan anak
laki-laki tidak seperti anak perempuan.
Masyarakat Sambas tidak mengenal perbedaan antara harta
peninggalan dan harta waris, mereka lebih mengenal bahwasanya hukum
waris Adat adalah hukum waris Islam, karena bersandarkan kepada
14
Mufti: Kesultanan Sambas pada masa Kerajaan, diantara peninggalannya sekarang bisa
ditemukan di daerah Sambas bekas peninggalan kerajaan yang disebut Keraton Sambas atau Istana
AlwatzikHoebillah.
15
Wawancara, Urai Riza Fahmi, Tokoh Adat Melayu Sambas, 16-Januari, 2019.
16
Wawancara, Urai Riza Fahmi, Tokoh Adat Melayu Sambas, 16-Januari, 2019.
51
ketentuan “adat bersendikan syara‟, syara‟ bersendikan kitabullah”
artinya dalam urusan agama, arahnya tetap ke agama, otomatis adat harus
bersendikan agama, jadi bisa dikatakan bahwa melayu identik Islam,
namun praktik dalam sehari-hari ada yang tidak menggunakan, maka di
bagilah secara adil dengan pembagian 1:1.17
Pembagian 1:1 ini banyak terjadi di kalangan masyarakat,
dampaknya adalah seolah olah hukum agama tidak berlaku, karena dalam
penerapan 1:1 ini berlandaskan keadilan dan juga melihat dari segi
ekonomi keluarga. Kemudian pembagian harta peninggalan juga
tergantung dari keluarga, kalau orangtuanya baik maka dilakukan
pembagian 1:1 hal ini didasari oleh rasa keadilan dan kasih sayangnya,
sehingga sebagian orang tua membagi sama rata antara anak laki-laki dan
perempuan, guna tidak adanya perpecahan antara ahli waris di kemudian
hari, dan semua harta dibagi tanpa adanya harta pusaka atau harta yang
tidak dapat dibagi.18
Dari hasil pengamatan yang dilakukan penulis juga di Sambas,
dalam pembagian harta peninggalan yang dilakukan oleh masyarakat
Melayu Sambas tidak terlepas dari tiga hal pokok atau unsur-unsur
pewarisan, yaitu: pewaris, ahli waris yang akan menerima harta
peninggalan, harta peninggalan dan ketentuan yang akan digunakan oleh
ahli waris.
Masyarakat Sambas mengenal bahwa pewaris adalah orang yang
telah meninggal baik Ayah maupun Ibu. Mengenai terjadinya proses
pembagian harta peninggalan, umunya tidak dibagikan secepatnya usai
pewaris meninggal dunia, akan tetapi dibagikan ketika kedua orangtua
telah meninggal dunia, jika salah satu orang tua masih hidup, maka harta
17
Wawancara, Urai Riza Fahmi, Tokoh Adat Melayu Sambas, 16-Januari, 2019. 18
Wawancara, Urai Riza Fahmi, Tokoh Adat Melayu Sambas, 16-Januari, 2019.
52
peninggalan masih dikuasai penuh oleh orangtua yang masih hidup,
kemudian apabila telah meninggal keduanya barulah di bagikan oleh ahli
waris. Karena di Sambas seorang anak diajarkan untuk hidup mandiri
terlebih dahulu dan lebih mengutamakan kehidupan orang tua khususnya
seorang Ibu.19
Untuk proses penyelesaian waris menurut wawancara yang penulis
lakukan kepada salah satu ahli waris ialah yang pertama dilakukan adalah
musyawarah antara semua ahli waris, dan menghadirkan salah satu tokoh
yang mumpuni dalam hal pembagian waris atau aparat desa guna
menghasilkan suatu hasil yang di sepakati. Dalam musyawarah ini, apabila
salah satu ahli waris tidak hadir atau tidak memberi persetujuan, maka
musyawarah tidak bisa dilaksanakan.20
Apabila terdapat perselisihan dalam hal waris ini, pada masa
lampau di selesaikan peran tokoh adat khususnya di kerajaan, namun
untuk sekarang sudah diselesaikan oleh Pengadilan Agama. Namun tidak
menutup kemungkinan untuk saat ini masih banyak yang menggunakan
peran tokoh yang mengerti tentang pembagian waris yang masih menjadi
patokan dalam penyelesaiannya dan masih sedikit yang menyelesaikan
pada ranah Pengadilan Agama apabila tidak bisa di selesaikan secara
musyawarah.21
Penyelesaian harta peninggalan yang dilakukan masyarakat
Melayu Sambas juga terdapat pada ranah lembaga pemerintahan daerah
seperti kantor desa yang mana penulis melakukan wawancara kepada salah
19
Wawancara, Urai Riza Fahmi, Tokoh Adat Melayu Sambas, 16-Januari, 2019.
20
Wawancara, Agustian, Ahli Waris, 18 Januari, 2019. 21
Wawancara, Urai Riza Fahmi, Tokoh Adat Melayu Sambas, 16-Januari, 2019.
53
satu perangkat desa dan mendapatkan berkas terkait hal penyelesaian waris
seperti pada lampiran-lampiran dari skripsi ini.22
Terdapat juga penyelesaian yang dilakukan dalam ranah keluarga
kemudian menghadirkan beberapa tokoh yang dianggap paham mengenai
hal kewarisan dan dibuat surat atau pernyataan yang di tanda tangani para
pihak yang terlibat ketika pelaksanaan sedang berlangsung.23
Dari beberapa ahli waris yang diwawancarai ada yang membagikan
harta disesuaikan dengan nilai uang, misalkan berupa tanah, kemudian
tanah itu dijual lalu uangnya dibagi sama rata antara ahli waris, ada juga
yang langsung membagikan tanpa menominalkan terlebih dahulu seperti
tanah. Oleh karena itu terkait proses atau cara dalam membagi harta
peninggalan yang berlaku, dikembalikan kepada ketentuan dari masing-
masing keluarga, setiap keluarga berbeda sesuai dengan kebiasaan dan
kesepakatan antara masing-masing keluarga.
C. Relevansi Maslahah Dalam Pembagian Harta Peninggalan Melayu
Sambas
Pengertian maslahah yang dikemukakan oleh Asmawi mengutip
pendapat Najm al-Din al-Tufi berpendapat bahwasanya makna maslahah
dapat di tinjau dari dua sisi, yang pertama dari urfi (adat-istiadat) dimana
maslahah merupakan sebab yang membawa kepada kebaikan dan
kemanfaatan, dan yang kedua dari sisi syara‟, dimana maslahah adalah
sebab yang membawa kepada tujuan syara‟, baik yang menyangkut ibadah
maupun muamalah.24
22
Wawancara, Resti Maulida, Sekretaris Desa, 25-Januari 2019. 23
Wawancara, Anhari, Tokoh Agama Sambas, 17-Januari, 2019.
24
Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maslahah” (Salam: Jurnal Filsafat dan Budaya
Hukum, November 2014), h.314.
54
Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa esensi maslahat itu adalah
terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta
terhindar dari hal-hal yang bisa merusaknya. Namun demikian,
kemaslahatan itu berkaitan dengan tatanan nilai kebaikan yang patut dan
layak25
Konsep maslahat secara literal diartikan dengan kebaikan-kebaikan
sekaligus lawan dari kejahatan dan keburukan. Dengan demikian bila
tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan berarti hukum Islam telah
menentukan dan memberi petunjuk kepada manusia tentang kebaikan-
kebaikan dan meninggalkan kejahatan dan keburukan atau yang sejenisnya
seperti kerusakan, penderitaan atau kesengsaraan.26
Bahasan awal konsep maslahat dikemukakan sebagai lawan dari
kejahatan dan keburukan atau kemudharatan (mafsadat). Dengan demikian
ketika hukum berupaya memelihara maslahat, maka daripadanya juga
menolak mafsadat. Misalnya pemberlakuan hukum waris hifzul mal
(menjaga harta), yang berarti menolak mafsadat berupa meninggalkan
keturunan yang lemah.27
Syariat Islam menetapkan aturan terutama pada permasalahan
kewarisan dengan bentuk yang sangat teratur dan adil, yang di dalamnya
ditetapkan bagian hak masing masing baik itu laki-laki maupun
perempuan, dengan porsi yang telah di tentukan, (QS. Annisa [4], 7).
Tujuan pokok penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan manusia akan selalu
25
Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam (Depok:
Kencana, 2017), h.189.
26
Syamsulbahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam Hukum
Islam dan Implementasinya pada Pengadilan Agama (Jakarta: Kencana, 2015), h.174. 27
Syamsulbahri, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam Hukum Islam dan
Implementasinya pada Pengadilan Agama, h.178.
55
berubah dan bertambah sesuai dengan kemajuan zaman. Dalam kondisi
semacam ini, akan banyak timbul masalah baru yang hukumnya belum
ditegaskan oleh Alquran dan sunnah.28
Ayat-ayat dalam Alquran mengenai hukum waris pada prinsipnya
telah sesuai dan sejalan dengan tujuan hukum, dan ayat-ayat tersebut jelas
masuk kedalam ketentuan Allah yang bersifat qath’i. Dimana telah
ditetapkan bagiannya secara rinci, seperti dalam surah Annisa ayat 11
“Lizzakari Mitsluhazzil Unsyain” bagian laki laki dua kali bagian dari
perempuan. Walaupun pada kasus lain perempuan tidak selalu
mendapatkan bagian yang lebih kecil dari pada anak laki-laki, contoh anak
perempuan bersama kakek.
Pertanyaannya apakah kata tersebut tetap diartikan secara hakiki
seperti selama ini di pahami. Jadi anak laki-laki akan mendapat dua kali
bagian anak perempuan, atau kedua kata tersebut akan diartikan secara
majas, misalnya secara fungsional. Jadi, anak yang berfungsi sebagai laki-
laki (yang menjadi kepala keluarga atau yang memegang tanggung jawab)
akan memperoleh bagian dua kali dari anak-anak lain yang tidak
mengemban fungsi tersebut, maka dari itu memberikan penafsiran baru
kepada kedua kata ini mungkin secara teoretis.29
Syamsul Bahri Sahilima mengutip pendapat Al-Satibi dalam al-
Muwafakat mengemukakan bahwasanya konsep maslahah (kebaikan)
sangatlah panjang. Dikatakan bahwa penyelidikan para ahli hukum islam
terhadap tujuan utama syara‟ tidak lain adalah demi kepentingan maslahah
(manfaat, kebaikan) bagi manusia. Karena sudah dapat dipastikan bila
suatu tindakan tidak memberikan suatu konteks maslahah pastilah
28
Mardani, Perbandingan Ushul Fiqh, h.131.
29
Al Yasa Abu Bakar, dkk Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek. (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1994), h. 176.
56
terlarang untuk dilakukan, sebaliknya bila dalam konteks itu maslahah
dapat terjadi berarti tindakan tersebut boleh dilakukan.30
Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Melayu Sambas, yakni
dalam pembagian harta warisan sesuai QS an-Nisa (4):11 menjelaskan
bagian laki-laki adalah dua kali lebih besar daripada bagian perempuan,
namun ketentuan tersebut ditinggalkan dan masyarakat Melayu Sambas
dalam pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan
menerapkan sama rata, karena upaya membantu sesama saudara, tidak
tega dan upaya menjaga silaturrahmi.
Penulis memperhatikan bahwa sistem kewarisan secara tradisi
dalam masyarakat Melayu Sambas jika ditinjau dari hukum Islam secara
sekilas dapat disimpulkan tidak sesuai dengan apa yang telah diterapkan
oleh hukum waris Islam. Namun hal ini merupakan salah satu bentuk dari
berbagai implementasi hukum waris yang ada di Indonesia.
Akan tetapi jika ditinjau dari maksud usaha mencari dan
menetapkan hukum, dari segi maslahah menurut syara‟ pada bab
sebelumnya yang telah penulis jelaskan terbagi dalam tiga macam sebagai
berikut.
Maslahah Mulghah, yakni maslahah yang ditolak, yaitu maslahah
baik oleh akal tetapi tidak diperhatikan oleh syara‟ dan ada petunjuk syara‟
yang menolaknya. Yang mana akal menganggapnya baik dan telah sejalan
dengan syara‟, tapi ternyata syara‟ menetapkan hukum yang berbeda
dengan apa yang dituntut oleh maslahah itu.
Maslahah Mursalah atau yang biasa disebut dengan Istishlah yaitu
apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara‟ dalam
30
Syamsulbahri, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam Hukum Islam dan
Implementasinya pada Pengadilan Agama, h.176.
57
menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara‟ yang menolaknya
dan tidak ada petunjuk yang menguatkannya.
Maslahah Mu‟tabarah, yaitu maslahah yang diambil dari Nas atau
ijma‟ secara langsung atau tidak langsung yang memberikan penunjuk
pada adanya maslahah yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum.
Pembagian harta peninggalan oleh masyarakat Melayu Sambas
yang menerapkan sama rata ini, menurut hemat penulis termasuk kedalam
beberapa macam maslahah yang di kemukakan diatas.
Pertama, maslahah mulghah, memang secara sekilas tidak
bertentangan dengan kaidah ini, karena tujuan pembagian 1:1 ini
membantu sesama ahli waris agar tetap hidup yang layak dengan bantuan
harta peninggalan tersebut guna mencukupi ekonomi keluarga yang
kurang mampu dan menjaga silaturrahmi agar tidak terjadi perpecahan
antar keluarga, akan tetapi karena syarat digunakannya maslahah itu tidak
boleh bertentangan terhadap hukum syara‟. Dimana hukum syara‟ telah
menyatakan bahwa bagian laki laki dua kali daripada bagian perempuan.
Dalam arti maslahah tidak boleh bertentangan dengan dalil yang bersifat
qat‟iy.
Namun menurut al-Thufi maslahah ini bisa dijadikan dalil hukum
dan hujjah syariah dalam menetapkan suatu hukum, karena permasalahan
yang dihadapi ini berkaitan dengan adat atau muamalah, al-Thufi juga
menegaskan bahwa maslahah terkadang harus diutamakan dan
didahulukan dari dalil-dalil hukum yang lain termasuk Nas dan ijma‟ para
ulama.31
Berarti jika merujuk kepada al-Thufi, pembagian 1:1 antara laki
laki dan perempuan yang dilakukan oleh Masyarakat Melayu bisa
dianggap suatu maslahat walaupun bertentangan dengan dalil. Akan tetapi
barangkali menurut al-Thufi adalah adanya ayat yang secara lahiriah yang
31
Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Depok: Kencana, 2017) h.182.
58
seolah-olah bertentangan satu sama lain sehingga menimbulkan
interpretasi yang akhirnya akan menjadikan Nas sebagai tempat perbedaan
pendapat.32
Kedua, masalahah mu‟rsalah, maslahah yang baik dan sesuai
dengan tujuan syara‟, memang terdapat dalil yang menolaknya, namun
apabila jika kita lihat konteks dalil qat‟iy pada tatanan sosiologis “mitslu
hadzil unsayain” ini mempu berasimilasi terhadap kehidupan yang terjadi
di Sambas, karena salah satu tokoh adat setempat mengatakan bahwa dasar
pembagian 1:1 tersebut terjadi agar membantu saudara agar tetap hidup
yang layak dengan bantuan harta peninggalan tersebut guna mencukupi
ekonomi keluarga yang kurang mampu dan menjaga silaturrahmi agar
tidak terjadi perpecahan antar keluarga.33
Dimana hal ini juga sesuai
dengan esensi maslahah itu sendiri “baik, patut dan bermanfaat” serta
sejalan dengan tujuan syara‟ yakni hifzul Nasl (memelihara keturunan)
agar hidup layak.34
Ketiga, maslahah mutabarah, maslahah yang diambil dari Nas
langsung atau tidak langsung, pembagian 1:1 tidak dijelaskan dalam
syariat akan tetapi hal ini dapat dikategorikan suatu maslahah jika diambil
secara tidak langsung melalui firman Allah dalam surah al-Baqarah (2),
ayat 233, dimana dinyatakan pada ayat tersebut jika terdapat “antarodhin”
(kerelaan) didalam pembagiannya dan jika merujuk pada Komplasi
Hukum Islam pada pasal 183 35
. “Penggunaan antarodhin sebagai illat36
pemberlakuan hukum dalam beberapa kasus hukum sangatlah fleksibel
32
Qusthoniah, “Almashlahah dalam Pandangan Najmuddin Al-Thufi”, h.46. 33
Wawancara, Urai Riza Fahmi, Tokoh Adat Melayu Sambas , 16-Januari, 2019. 34
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh , h.114. 35
Pasal 183: Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian
harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. 36
Illat adala suatu sifat yang ada pada asal dan sifat itu menjadi dasar untuk mengetahui
hukum pada bagain yang belum di tetapkan.
59
khususnya di bidang muamalah” 37
karena masalah waris ini termasuk
dalam katogeri muamalah maka hal itu merupakan hal yang baik.
Namun menurut Muhammad Amin Suma yang mengambil teori
keadilan Aristoteles, yang membagi keadilan distributif dan keadilan
komutatif. Jika pemilahan keadilan yang ditawarkan Aristoteles ini kita
gunakan dalam hal hukum kewarisan Islam jelas telah memenuhi rasa
keadilan. Bahwa dalam praktik masyarakat hukum saat ini banyak kaum
perempuan yang menjadi tulang punggung kehidupan ekonomi sebuah
keluarga, dan itu merupakan kenyataan sosiologis yang terjadi di tengah-
tengah masyarakat. Hanya saja partisipasi aktif kaum perempuan dalam
mensejahterakan ekonomi rumah tangga tidak otomatis mengubah hukum
waris Islam menjadi asas 1:1. 38
Maka dalam hal waris juga sejatinya tidak “harus” menggunakan
hukum faraidh (hukum waris Islam), karena ketika para ahli waris
menghendaki adanya sebuah kesepakatan atau kerelaan untuk
membagikan waris secara hukum adat, maka pembagian antara laki-laki
dan perempuan dibagi secara sama rata. Pembagian ini dianggap sah dan
tidak bertentangan dengan hukum syara‟. Sebagaimana di jelaskan dalam
Firman Allah Swt di dalam surah (Q.S Al Baqarah [2] 233).
وعلى لمن أراد أن يتم الرضاعة والوالدات ي رضعن أولدىن حولين كاملين
ل تضار ل تكلف ن فس إل وسعها المولود لو رزق هن وكسوت هن بالمعروف
فإن أرادا فصال عن لك وعلى الوارث مثل ذ والدة بولدىا ول مولود لو بولده
هما وتشاور فل جناح عليهما وإن أردتم أن تست رضعوا أولدكم فل جناح ت راض من
37 Albert Al-Fikri, “Diskursus Hukum Kewarisan An-Taradhin” Menjembatani Dialetika
Kewarisan Maternalistik dan Paternalistik di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi” (Jurnal At-
Turas, Vol. V. No. 1, Januari 2018), h. 35. 38
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.124.
60
للو بما ت عملون وات قوا اللو واعلموا أن ا عليكم إذا سلمتم ما آت يتم بالمعروف
بصير
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma‟ruf, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya, janganlah seorang itu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajian
demikian, apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut, bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Pembagian harta peninggalan pada dasarnya adalah sebuah
permasalahan mua‟malah, kasus 1:1 ini bisa saja di kategorikan sebagai
hadiah atau hibah pihak laki-laki kepada perempuan, apabila pemberian itu
tidak dipaksa oleh salah satu pihak dalam arti seperti ayat di atas
“antarodhin” (kerelaan), apabila terjadi demikian maka hal itu tidak
bertentangan dengan hukum Islam bahkan perbuatan tersebut merupakan
perbuatan yang mulia dengan semangat saling membantu antara keluarga
dan tidak mengharapkan imbalan apapun.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 183 menjelaskan
kebolehan bentuk lain terhadap pembagian harta peninggalan yaitu: “Para
ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta
warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”. Secara normatif,
pembagian warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
tertera secara kongkrit dalam Alquran yang menunjukkan dalil qath’i.
61
Namun dalam kenyataannya, masyarakat sering melakukannya secara
berulang-ulang dengan cara perdamaian. Boleh jadi karena dalam
kenyataannya ahli waris yang menerima bagian besar, secara ekonomi
telah berkecukupan, sementara ahli waris yang menerima bagian sedikit,
masih berada dalam suasana kekurangan. Kebiasaan yang terjadi berulang
ulang dalam masyarakat dan menimbulkan kemaslahatan disebut dengan
“urf” atau “adat” yang artinya kebiasaan. Dan ini sejalan dengan kaidah
hukum Islam “al- „adat muhakkamah” (kebiasaan itu dapat dijadikan
hukum). Secara sosiologis, dalam masyarakat sering terjadi suatu tindakan
yang terjadi secara berulang-ulang dan dapat membawa kebaikan.39
Berdasarkan pemaparan diatas, menurut hemat penulis, pembagian
harta peninggalan yang terjadi di Sambas adalah sejalan dengan konsep
maslahah karena kapasitasnya sebagai permasalahan muamalah. Akan
tetapi sistem ini haruslah berdasarkan keputusan bersama dari semua ahli
waris, dimana para ahli waris mengadakan musyawarah sesuai ketentuan
yang berlaku dalam keluarga agar tetap terpenuhi hak dan kewajiban
diantara ahli waris.
Namun mengenai pembagian 1:1 yang terjadi di Sambas ini
menurut peneliti apa yang telah ditentukan dan ditetapkan manusia
tentang konsep pewarisan yang berkeadilan dan sistem hukumnya,
tentulah masih tetap utama konsep keadilan menurut Allah SWT,
karena Allah Maha Mengetahui atas segalanya, menurut peneliti
hendaknya sebelum pembagian harta peninggalan di lakukan melalui
sistem adat, para ahli waris hendak mengetahui dan dilakukan
pembagiannya secara hukum waris Islam, dan setelah bagian masing-
masing ahli waris telah diketahui, barulah kemudian dibagi secara
hukum adat. Agar tradisi adat masih berlaku dan tidak hilang.
39
Khisni, Hukum Waris Islam (Semarang, Unissula Press 2017) , h.23.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada
bab-bab sebelumnya, maka pada bagian penutup ini akan menarik
beberapa kesimpulan diantaranya yakni:
Masyarakat Melayu Sambas dalam melakukan pembagian harta
peninggalan atau warisan masih mayoritas menggunakan tradisi yang ada
dimana dalam pembagian antara anak laki-laki dan perempuan dianggap
sama yaitu 1:1. Asas yang di gunakan adalah asas individual dan
pewarisan bilateral. Dimana bilateral adalah seorang menerima hak atas
warisan dari kedua belah pihak garis kerabatan, yaitu dari garis keturunan
perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Dalam pembagian harta
peninggalan yang dilakukan pada masyarakat Melayu Sambas 1:1
dikarenakan ditentukan oleh keluarga melihat berdasarkan tarap sosial dan
ekonomi para ahli waris, serta guna tetap terjaga silaturrahmi yang baik
dalam keluarga. Untuk waktu pembagian harta peninggalan umumnya
dilakukan apabila kedua orangtua telah meninggal dunia, apabila masih
ada salah satu orang tua yang hidup maka harta peninggalan masih
dikuasai oleh orangtua yang masih hidup tersebut.
Jika ditinjau secara sekilas, tradisi pembagian 1:1 antara laki-laki
dan perempuan tidak sesuai dengan ketentuan hukum kewarisan Islam.
Dikarenakan dalam hukum waris Islam, semua sudah teratur secara jelas
seperti bagian laki laki adalah dua kali dari bagian perempuan.
Namun jika kemudian pembagian 1:1 antara anak laki-laki dan
perempuan jika ditinjau dari teori maslahah mursalah dalam menetapkan
63
hukum, dapat di kategorikan dan masuk ke dalam beberapa macam
maslahah.
Pertama maslahah mulghah, maslahat yang di tolak karena ada
dalil yang secara tegas menyatakaan pembagian 2:1 antara laki-laki dan
perempuan.
Kedua maslahah mursalah, maslahah yang dainggap baik oleh
akal dan sesuai dengan tujuan syara‟, memang terdapat dalil yang
menolaknya, namun apabila jika kita lihat konteks dalil qat‟iy pada tatanan
sosiologis “mitslu hadzil unsayain” ini mempu berasimilasi terhadap
kehidupan yang terjadi di Sambas.
Ketiga, maslahah mutabarah, maslahah yang diambil dari Nas
langsung atau tidak langsung, pembagian 1:1 tidak dijelaskan dalam
syariat akan tetapi hal ini dapat dikategorikan suatu maslahah jika diambil
secara tidak langsung melalui firman Allah dalam surah al-Baqarah (2),
ayat 233, dimana dinyatakan pada ayat tersebut jika terdapat “antarodhin”
(kerelaan) didalam pembagiannya maka hal itu merupakan hal yang baik.
Kemudian pembagian ini jika ditinjau dalam ketentuan hukum
waris yang terdapat pada Kompilasi Hukum Islam ialah pembagian harta
peninggalan 1:1 yang di lakukan oleh masyarakat Melayu Sambas dapat
diterima jika telah diketahui terlebih dahulu pembagian secara hukum
waris Islamnya. Ini didasarkan pada pasal 183 tentang pembagian secara
damai atau kekeluargaan, dengan syarat diketahui terlebih dahulu
pembagian secara islam oleh masing-masing ahli waris.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis utarakan diatas, maka
penulis akan mengutarakan saran-saran sebagai berikut:
64
1. Penulis menyarankan untuk pemerintah setempat agar mengadakan
penyuluhan atau pengenalan terhadap hukum waris Islam khususnya
seperti Kompilasi Hukum Islam, agar masyarakat mengenal lebih jauh
tatanan hukum Waris yang ada di Indonesia saat ini.
2. Penulis menyarankan untuk masyarakat, agar terhindar dari menolak
hukum agama dalam hal ini faraidh maka pembagian harta
peninggalan sebelum di lakukan secara adat atau tradisi haruslah
diketahui terlebih dahulu pembagian secara Islamnya hal ini sesuai
dengan Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam.
65
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
Ash-Shiddieqy. Teungku Muhammad Hasbi, Fiqh Mawaris. Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001.
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2011.
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-wajiz fi Ushul Fiqh. Bairut, Darul Fikr, 1995.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas. Kecamatan Sambas Dalam Angka.
2018.
Bakar, Al Yasa Abu, dkk. Hukum Islam di Indonesia Pemikirandan Praktek.
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994.
Departemen Agama R. Alqurandan Terjemahannya. Bandung: PT Sygma, 2014.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers,
2011.
Fauzan, Muhammad. “Pembagian Hak Waris 1:1 Bagi Ahli Waris Laki-Laki dan
Perempuan (Analisis Putusan Pengadilan Agama Medan
No.92/Pdt/G/2009?PA.Md.). Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Fauzi, M. Yasir. Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia.Vol.9 No.2 Agustus,
2016.
Gunawan, Edi. “Eksistensi Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia”. STAIN
Manado: Artikel)
Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2015.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni,1983.
Hamid Al-Ghazali, Abu. al-Mustashfa min „ilmi al-Ushul.Beirut: Dar al Kutub al-
Ilmiyah, 1980.
66
Hamid Hasan, Husein. Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami.Kairo: Dar
al-Nahdhah al-Arabiyah, 1971.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hazairin. Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadith. Jakarta:Timtamas
Indonesia, 1961.
Ilhami, Destri Haniah. Pembaruan Hukum Waris Islam di Indonesia. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2014.
Irwan. “Pembagian Warisan Dalam Tradisi Adat Melayu Kabupaten Sintang
Provinsi Kalimantan Barat Menurut Hukum Islam”. Skripsi S-1 Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2017.
Khallaf, Abdullah Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama, 2014.
Khisni. Hukum Waris Islam. Semarang, Unissula Press, 2017.
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta, Kencana, 2016.
Mardani. Hukum Kewarisan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Muchtar, Oemar, Perkembangan Hukum Waris Praktik Penyelesaian Sengketa
Waris di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2019.
Muri, Yusuf, A. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Penelitian
Gabungan Jakarta: Prenada Media, 2016.
Nurcholis, Madjid. Islam Doktrindan Peradaban, Sebua Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramedina, 1992.
Pospasari, Ellyn Dwi. PemahamanSeputarHukumWarisAdat di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2018.
Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Romli. Pengantar Ilmu Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam. Depok:
Kencana, 2017.
Saifullah, Aep. “Analisa Perbandingan Hukum Kewarisan Adat Sunda dengan
Hukum Kewarisan Islam”. Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
67
Salihima, Syamsulbahri. Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam
Hukum Islam dan Implementasinya pada Pengadilan Agama. Jakarta:
Kencana, 2015.
Salman, Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris. Bandung:
Alumni, 1993.
Soepomo. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Balai Pustaka, 2013.
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2016.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana, 2004.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2016.
Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. (Jakarta:
Kencana, 2008.
Utomo, Laksanto. Hukum Adat. Depok: Rajawali Pers, 2017.
Wahid, Muhibin Abdul. Hukum Kewarisan Islam Sebagai pembaruan Hukum
Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Wahyu, Kuncoro, NM. Waris Permasalahan dan Solusinya Cara Halal dan Legal
Membagi Warisan. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015.
Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Haji
Masagung, 1994.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah, 2010.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2014.
Zaid, Mushtafa. al-Maslahah fi al-Tasyri al-Islamy wa Najmuddin al-Thufi.
Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1964.
Internet:
http://web.disdukcapil.sambas.go.id. Data Agregat Kependudukan Semester I
Tahun 2018
68
Jurnal dan Artikel
Al-Fikri, Albert. Diskursus Hukum Kewarisan An-Taradhin Menjembatani
Dialetika Kewarisan Maternalistik dan Paternalistik di Kabupaten
Sarolangun, Provinsi Jambi. Jurnal At-Turas, Vol. V. No. 1, Januari 2018.
Asmawi. Konseptualisasi Teori Maslahah. Salam: Jurnal Filsafat dan Budaya
Hukum, November 2014.
Habib, Muchlis Safrudin. Sistem Bilateral Ditinjau Dari Maqashid Al-syariah.
Jurnal Hukum dan Syariah Vol 9 No 1, 2017.
Komari. Eksistensi Hukum Waris di Indonesia. As-Syari‟ah Vol. 17 No. 2,
Agustus 2015.
Qusthoniah. Almashlahah dalam Pandangan Najmuddin Al-Thufi Jurnal Syariah.
Vol 11, No.11 Oktober, 2013.
Sulistyowati, Irianto. Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum
dan Konsekuensi Metodologisnya. Article University of Indonesia, Juni
2017.
Wahyudi, Muhammad Isna. Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama.
Jurnal Yudisial Vol. 8. No. 3 Desember 2015.
PERTANYAAN WAWANCARA
Hari/ Tanggal : Rabu, 16-Januari-2019
Tempat : Dinas Pendidikan
Objek wawancara : Urai Riza Fahmi
Jabatan : Tokoh Adat Melayu
1. Apa perbedaan dan persamaan yang mendasar antara hukum waris Melayu
dengan hukum waris Islam?
“Tidak ada perbedaan antara hukum waris Melayu dengan hukum waris
Islam, karena di sambas masih kental dengan budaya kerajaan Islam, maka
dari itu pembagian hukum waris adat melayu di sesuaikan dengan hukum
Islam”.
2. Bagaimana eksistensi hukum waris adat melayu dan hukum waris Islam
dalam praktiknya di masyarakat?
“masyarakat disini beranggapan bahwa hukum waris adat itu adalah hukum
waris islam karena ketentuan adat di Melayu ini tetap Islam tidak ada
ketentuan yang lain.”
3. Apakah terdapat persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam
hukum waris adat melayu?
“Ada perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, cuma tergantung
keluarga ada yang menyamaratakan kedudukan antara pembagian laki-laki
dan perempuan jika yang laki-laki tersebut mempunyai sisi keadilan terhadap
saudarinya maka masih menggunakan hukum islam namun pembagiannya
sama rata, seperti keluarga saya”
4. Apakah pembagian 1:1 yang terjadi di kalangan masyarakat sudah mencakup
kemaslahatan?
“sudah mencapai kepatutan, namun tergantung keluarga apabila pihak laki-
laki meminta 2 bagian maka di bagikan secara hukum Islam, namun apabila
pihak laki-laki merelakan maka hal itu sudah mencapai rasa keadilan diantara
keluarga.
5. Apa landasan hukum waris adat melayu membagi harta peninggalan dengan
menggunakan 1:1 ?
“Adat bersendikan syara‟, syara bersendikan kitabullah” artinya dalam
pembagian agama kita arahnya ke agama, otomatis adat bersandar pada
kitabullah, jadi melayu identic dengan hukum Islam”.
6. Apakah terdapat hak opsi (pilih) dalam menyelesaikan pembagian antara
kedua hukum tersebut?
“Ada, tergantung dari pihak keluarga”
7. Lebih banyak mana keluarga ahli waris yang memakai sistem kewarisan
Islam atau adat?
“Untuk saat ini banyak yang menggunakan hukum waris adat karena
masyarakat beranggapan itu adalah huku waris yang adil. Kembali lagi
kepada keluarga dari pihak yang ingin membagikan kewarisan.”
8. Dalam hal hukum waris, sejauh mana pemahaman masyarakat sambas
tentang hukum waris ?
“masyarakat sebenarnya tahu tentang pembagian hukum waris Islam, namun
dalam praktiknya banyak yang membagi sama rata guna tidak terjadinya
cekcok antara keluarga karena masalah perihal waris orang bisa saja dapat
bunuh membunuh antara sesame saudara”.
9. Sejauh mana peran tokoh adat dalam menyelesaikan mengenai prkatiknya di
masyarakat?
“Kalau dulu ada dari kerajaan namun untuk saat ini penyelesaian masalah
waris di tangani oleh pengadilan Agama”
Hari, Tanggal : Rabu, 16-01-2019
Tempat : Masjid Babul Jannah
Objek wawancara : Daeng Abu Bakar
Jabatan : Ulama Sesepuh Sambas
1. Apa perbedaan dan persamaan yang mendasar antara hukum waris adat
Melayu dengan hukum waris Islam?
“Tidak ada perbedaan antara hukum waris tersebut, di sambas ini hukum
yang mengatur tentang waris itu masih seperti yang diatur oleh agama”
2. Bagaimana eksistensi hukum waris adat melayu dan hukum waris Islam
dalam praktiknya di masyarakat?
“Ada segelintir masyarakat yang menggunakan hukum waris adat, tapi yang
saya temukan lebih mengenal sistem waris Islam, ketika dalam praktiknya
ada yang menggunakan hukum adat tetapi langsung di beritahu agar
menggunakan hukum Islam, agar tidak melanggar hukum”.
3. Apakah terdapat persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam
hukum waris adat melayu?
“Tidak ada persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam
hukum waris”
4. Apakah pembagian 1:1 yang terjadi di kalangan masyarakat sudah mencakup
kemaslahatan?
“Ada yang mau melaksanakan tetapi itu melanggar hukum islam, jika pihak
laki laki ingin di samaratakan maka di hibahkan ke para pihak, dalam artian
hukum islam dulu yang digunakan”.
5. Apa landasan hukum waris adat melayu membagi harta peninggalan dengan
menggunakan 1:1 ?
“Melayu bersyariatkan kepada hukum Islam”
6. Apakah terdapat hak opsi (pilih) dalam menyelesaikan pembagian antara
kedua hukum tersebut?
“menurut saya menggunakan hukum islam lebih utama”.
7. Lebih banyak mana keluarga ahli waris yang memakai sistem kewarisan
Islam atau adat?
“Lebih banyak hukum waris islam yang digunakan oleh masyarakat melayu”.
8. Dalam hal hukum waris, sejauh mana pemahaman masyarakat sambas
tentang hukum waris ?
“masyarakat sambas mengetahui adanya hukum waris Islam”.
9. Sejauh mana peran tokoh adat dalam menyelesaikan mengenai prkatiknya di
masyarakat?
“Peran tokoh adat dalam praktiknya kalau saya menemukan pembagian yang
sama rata maka saya ingatkan untuk kembali pada hukum Islam”.
Hari/ Tanggal : 17 Januari 2019.
Nama : Anhari
Tempat : Rumah Pak Anhari
Objek wawancara : Tokoh Agama
1. Apa perbedaan dan persamaan yang mendasar antara hukum waris Melayu
dengan hukum waris Islam?
“Tetap sama seperti hukum Islam”
2. Apakah terdapat persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam
hukum waris adat melayu?
“kedudukannya sama, pembagiannya yang berbeda”
3. Apakah pembagian 1:1 yang terjadi di kalangan masyarakat sudah mencakup
kemaslahatan?
“Relative, karena mereka menganggap bahwa perempuan dapat 1:1 kasihan
karena tidak mampu, tapi kalau laki lakinya kurang mampu mungkin ia akan
mengambil bagiannya lebih besar daripada perempuan”
6. Apa landasan hukum waris adat melayu membagi harta peninggalan dengan
menggunakan 1:1 ?
“Kalau melihat pembagiannya ya surah Annisa”
7. Apakah terdapat hak opsi (pilih) dalam menyelesaikan pembagian antara
kedua hukum tersebut?
“Tidak ada opsi pilih, tetap didahulukan hukum Islam.”
8. Lebih banyak mana keluarga ahli waris yang memakai sistem kewarisan
Islam atau adat?
“Fifty-fifty bisa jadi”
9. Dalam hal hukum waris, sejauh mana pemahaman masyarakat sambas
tentang hukum waris, KHI misalnya ?
“Sepertinya jika menyelesaikan pada tahap Pengadilan Agama hanya pada
waktu-waktu yang sudah mentok atau sudah ada niat yang tidak bagus antar
ahli waris, namun jika normal-normal saja maka dibagi secara kekeluargaan
yang melibatkan beberapa tokoh sebagai saksi.”
10. Sejauh mana peran tokoh adat dalam menyelesaikan mengenai prkatiknya di
masyarakat?
“Kedudukan tokoh agama yang dianggap berilmu dalam masalah ini menjadi
bahan rujukan bagi mereka dan kepala desa sebagai mediator dan
administrator. Mereka lebih lega karena menghadirkan tokoh ini”.
Hari/ Tanggal : 25 Januari 2019
Tempat : Kantor Desa Durian
Jabatan : Sekertaris Desa
Nama : Resti Maulida
1. Bagaimana menurut bapak tentang kebiasaan masyarakat disini tentang
masalah kewarisan?
“Yang jelas, untuk masalah warisan ini dimulai dari pihak keluarga terlebih
dahulu, di rembukkan antar sesame keluarga terlebih dahulu, baru kemudian
setelah itu ada beberapa ahli waris yang datang ke pihak pemerintahan desa”.
2. Mengenai pembagiannya lebih cendrung ke hukum adat atau Islam?
“Untuk sampai saat ini, praktik pembagian yang terjadi di masyarakat lebih
cendrung masih menggunakan hukum adat dimana dalam pembagiannya
menerapkan sama rata 1:1”.
3. Selaku aparat desa, bagaimana menyikapi keinginan dari perbedaan ahli waris
dalam pembagiannya?
“Kalau saya menanggapinya terhadap pembagian yang dilakukan oleh
masyarakat itu harus dirembukkan terlebih dahulu secara kekeluargaan, apalagi
masalah waris ini sering terjadi permasalahan yang mengakibatkan perpecahan
diantara ahli warisnya ini, jadi harus ada rapat keluarga atau istilahnya
musyawarah keluarga, barulah nanti jika tidak terjadi atau terjadinya
kesepakatan, maka akan di tangani atau pihak desa sebagai mediator dalam
warisan itu”.
4. Apakah masyarkat disini mengetahui adanya hukum positif tentang waris, KHI
misalnya?
“Mungkin kurang mengetahui, karena saya juga tidak mengetahui secara detail
atau khusus tentang pengetahuan masyarakat, karena masih banyak yang
menggunakan hukum adat dalam menerapkan hukum waris ini”.
11. Apakah setiap ada pembagian warisan aparat pemerintah harus tahu dan
dilibatkan ?
“Iya ada, jadi pihak desa seperti kepala desa mengetahui untuk surat ahli
warisnya”.
12. Berarti masyarakat disini lebih memakai hukum adat daripada hukum Islam?
“Ya, lebih cendrung ke hukum adat“.
Hari/ Tanggal : Kamis, 24 Januari 2019
Tempat : Masjid Babul Jannah
Objek wawancara : Hermanto (Ahli Waris)
1. Kapan orang tua bapak/Ibu menikah dan berapa lama usia pernikahan
almarhum?
“Kalau orang tua saya menikah dilihat dari umur ibu saya sekarang sudah 80
tahun”
2. Siapa ahli waris yang ditinggalkan?
“Ibu dan 5 anak, anak laki-laki 2, anak perempuan 3”.
3. Bagaimana proses pembagian harta peninggalan dari pewaris terhadap ahli
waris?
“Yang sudah dibagi sekarang, karena bapak telah meninggal dan ibu masih ada,
jadi harta waris tidak dibagi secara hukum syariat, jadi istilahnya dibagi secara
rata adil, 3400 persegi di bagi sama rata 5 orang, Cuma tadi pembagiannya tidak
melalui pengadilan agama hanya secara keluarga”.
4. Apakah dengan cara itu sudah dianggap adil?
“Itu sudah ada kesepakatan, kebetulan adik adik ikhlas dengan pembagian sama
rata”.
5. Bagaimana jika ada yang tidak setuju dengan proses pembagiannya ?
“Untuk sementara tidak ada yang tidak setuju, dalam bahasa kita tidak ada yang
complain”.
6. Sejauh mana pemahaman bapak/ibu terhadap hukum waris, apakah di jalankan
sesuai ketentuan hukum Islam atau lebih mengutamakan adat dan tradisi disini?
“Kalau saya mohon maaf saja, memang tidak mengetahui mengenai pembagian
hukum waris islam”.
Hari/ Tanggal : 18 Januari 2019
Tempat : Kantor Desa Dalam Kaum
Objek wawancara : Agustian (Kepala Desa, Sekaligus Ahli waris)
1. Kapan orang tua bapak/Ibu menikah dan berapa lama usia pernikahan
almarhum?
“Bapak saya meninggal tahun 2000 kalau ibu saya meninggal tahun 2016,
kira kira 70 tahunan umur perkawinan mereka”.
2. Siapa ahli waris yang ditinggalkan?
“Ahli waris yang di tinggalkan ialah anak laki-laki 5 orang, anak perempuan
2 orang total ada 7 anak.”
3. Bagaimana proses pembagian harta peninggalan dari pewaris terhadap ahli
waris?
“Pembagiannya, pertama sebelum ibu saya meninggal sudah ada pembagian
harta waris secara kekeluargaan, lalu mendapatkan tanah dengan luas 80x80,
jadi separuh dari tanah itu telah dijual, kemudian uang dari hasil penjualan
tanah tadi diberikan kepada anak-anaknya, di bagi 7 anak tadi, tapi tidak ada
perbedaan jumlah yang di dapat antara adik beradik kami, tidak menggunakan
1; ½ antara laki dan perempuan, dalam artian 7 beradik itu di bagi sama rata,
di bagi adil, jadi dapatlah uangnya sekian, tetapi mama saya di kasi terlebih
dahulu uang tersebut baru kemudian sisanya di bagikan rata ke anak-anak,
kemudian dari sisa tanah tadi yang tidak di jual di bagikan ke 7 anak lagi, duit
dan tanah di bagi sama rata, anak anak yang dari jawa pun hadir ketika proses
pembagian harta kebetulan kakak saya ada yang tinggal di jawa.”
4. Apakah dengan cara itu sudah dianggap adil?
“Kalau menurut kamek (saya), karena adanya kesepakatan maka tidak ada
yang dirugikan, berarti udah adil, udah tanda tangan semua, semua adik
beradik kumpul sepakat pokoknya tidak ada lagi dikemudian hari tuntut
menuntut”
5. Bagaimana jika ada yang tidak setuju dengan proses pembagiannya ?
“Kalau kamek si bagaimana ya kalau orang tidak mau setuju maka ia tidak
tangan, kalau satu saja ahli waris tidak mau tanda tangan maka tidak bisa di
lakukan pembagian, biarpun ahli waris jauh seperti kerja di Malaysia ia harus
tanda tangan atau ditelpon diberi tahu akan pembagian waris ini, berarti
semuanya telah setuju”.
6. Sejauh mana pemahaman bapak/ibu terhadap hukum waris, apakah di
jalankan sesuai ketentuan hukum Islam atau lebih mengutamakan adat dan
tradisi disini?
“Kalau diantara ahli waris dalam keluarga saya, mereka semua sudah
mengetahui perempuan ½, laki-laki 1, tinggal dikembalikan lagi terhadap
keluarga antara adik-beradik bagaimana kita membagi adil, biarpun dalam
ahli waris itu terdapat laki-laki dan perempuan, namun ketika kita telah
sepakat untuk bagi adil maka diperbolehkan, namun harus ada hitam di atas
putih guna tidak ada tuntutan dikemudian hari oleh cucunya misalkan”.
Hari/ Tanggal : 25 Januari 2019
Tempat : Teras Masjid Babul Jannah
Objek wawancara : Asparudin (Ahli Waris)
1. Kapan orang tua bapak/Ibu menikah dan berapa lama usia pernikahan
almarhum?
“Kira kira orang tua saya menikah tahun 1952”
2. Siapa ahli waris yang ditinggalkan?
“Ada lima anak yang di tinggal oleh orang tua, perempuan 1 orang laki-laki 4
orang”.
3. Bagaimana proses pembagian harta peninggalan dari pewaris terhadap ahli
waris?
“Kalau kami adik beradik, menerapkan bagi rata, sedangkan dalam islam 1
untuk laki-laki dan ½ untuk perempuan, namun kami membagi sama rata
antara ahli waris baik laki ataupun perempuan”.
4. Apakah dengan cara itu sudah dianggap adil?
“Bagi kami itu sudah adil”.
5. Bagaimana jika ada yang tidak setuju dengan proses pembagiannya ?
“Setuju semua”.
6. Sejauh mana pemahaman bapak/ibu terhadap hukum waris, apakah di
jalankan sesuai ketentuan hukum Islam atau lebih mengutamakan adat dan
tradisi disini?
“Kalau saya hanya tau sedikit saja, sebatas persentase pembagian laki dan
perempuan, dimana laki mendapatkan 1 bagian dan perempuan mendapatkan
½ dari bagian laki-laki, karena laki-laki akan menanggung perempuan, tapi
dalam pembagian keluarga kami menggunakan pembagian sama rata 1:1
tidak ada perbedaan antara laki dan perempuan.”
Hari/ Tanggal : Urai Riza Fahmi
Tempat : Kantor DiNas Pendidikan
Objek wawancara : Tokoh Adat Sekaligus (Ahli Waris)
1. Kapan orang tua bapak/Ibu menikah dan berapa lama usia pernikahan
almarhum?
“1964 orang tua saya menikah”.
2. Siapa ahli waris yang ditinggalkan?
“Ada 7 orang, 1 istri 3 anak laki-laki dan 3 anak perempuan”.
3. Bagaimana proses pembagian harta peninggalan dari pewaris terhadap ahli
waris?
“Harte pusake dibagi, dimisalkan 1 juta, 50% dari 1 juta itu di bagi ke ibu,
dan sisanya di bagi rata kepada kami ahli waris”.
4. Apakah dengan cara itu sudah dianggap adil?
“Adil menurut kami, karena ibu kami yang di utamakan terlebih dahulu”.
5. Bagaimana jika ada yang tidak setuju dengan proses pembagiannya ?
“Selama ini tidak ada yang tidak setuju dengan pembagiannya”.
6. Sejauh mana pemahaman bapak/ibu terhadap hukum waris, apakah di
jalankan sesuai ketentuan hukum Islam atau lebih mengutamakan adat dan
tradisi disini?
“Saya tahu bahwa hukum islam menerapkan lebih besar antara laki dan
perempuan, tapi dilihat dari kondisi orang tua, maka dari itu kita utamakan
untuk orang tua terlebih dahulu, sehingga kita mengambil keputusan
bahwa hasil pembagian waris itu 50% untuk ibu, sisanya untuk anak anak
dibagi secara rata, karena lebih mengutamakan orang tua”.
Hari/ Tanggal : Jumat, 18 Januari 2019
Tempat : Rumah Ibu Juniah
Objek wawancara : Juniah (Ahli Waris)
1. Kapan orang tua bapak/Ibu menikah dan berapa lama usia pernikahan
almarhum?
“Kurang tau saya kapan menikah dan berapa lama usia perkawinan
mereka, kira kira orang tua menikah tahun 1945 kalo di itung dari anak
yang pertama”.
2. Siapa ahli waris yang ditinggalkan?
“5 orang anak, 2 laki dan 3 perempuan”.
3. Bagaimana proses pembagian harta peninggalan dari pewaris terhadap ahli
waris?
“Jadi, harta itu diberikan atau di bagikan secara sama rata antara laki-laki
dan perempuan, tidak ada perbedaan antara laki laki dan perempuan”.
4. Apakah dengan cara itu sudah dianggap adil?
“Iya adil”.
5. Bagaimana jika ada yang tidak setuju dengan proses pembagiannya ?
“Harta yang diberikan oleh orang tua, oleh kami adik beradik dibagi sama
rata ibarat tanah juga dibagi sama rata, dalam proses pembagian harta
waris saudara saya (ahli waris) telah meninggal 2 orang, namun tetap di
bagi sama rata terhadap 5 ahli waris yang tadi, meskipun 2 orang tadi telah
meninggal diberikan ke anaknya”
6. Sejauh mana pemahaman bapak/ibu terhadap hukum waris, apakah di
jalankan sesuai ketentuan hukum Islam atau lebih mengutamakan adat dan
tradisi disini?
“Sebenarnya di hukum islam pembagiannya berbeda hanya tau sedikit
saja, akan tapi saya dan ahli waris lainnya yaitu adik saya tidak mau
membagi secara hukum islam, biarlah dibagi sama rata. Maka dari itu saya
menggunakan sama rata”
Hari/ Tanggal : Jumat, 18 Januari 2019
Tempat : Kantor Desa Pendawan
Objek wawancara : Nur Aini (Ahli Waris)
1. Kapan orang tua bapak/Ibu menikah dan berapa lama usia pernikahan
almarhum?
“Kira-kira menikah tahun 1964, kira kira 55 tahun lama pernikahannya”.
2. Siapa ahli waris yang ditinggalkan?
“7 orang anak, 6 laki laki dan 1 perempuan”.
3. Bagaimana proses pembagian harta peninggalan dari pewaris terhadap ahli
waris?
“Dari hasil warisan berupa tanah di jual, kemudian uangnya di bagikan
sama rata, jadi tidak ada istilah perbedaan laki-laki dan perempuan”
4. Apakah dengan cara itu sudah dianggap adil?
“Semuanya menganggap adil, tidak ada yang protes”.
5. Bagaimana jika ada yang tidak setuju dengan proses pembagiannya?
“Semuanya setuju dengan proses pembagian sama rata tersebut”.
6. Sejauh mana pemahaman bapak/ibu terhadap hukum waris, apakah di
jalankan sesuai ketentuan hukum Islam atau lebih mengutamakan adat dan
tradisi disini?
“Ada sedikit pemahaman tentang hukum islam, tapi karna memandang
semuanya setuju di bagi sama rata maka pembagian dilakukan secara sama
rata”.
Saat Mewawancarai Pak Urai Riza Fahmi Tokoh Adat sekaligus AhliWaris
Bersama Pak Anhari selaku tokoh agama.
Saat Mewawancarai Bpk.Agustian Kpl Desa Dalam Kaum Sekaligus AhliWaris
Saat penulis menunggu Ibu Resty sebagai Sekdes untuk diwawancarai.
Bersama Bapak Camat Saat Penulis meminta data kependudukan di Kantor
Kecamatan Sambas
Saat bersama Ibu Juniah(ahli waris) dan anaknya.
Wawancara Bersama Pak Asparudin (ahli waris).
Penulis berada du Keraton Alwatzikoebillah
Penulis bersama staff Kecamatan Sambas saat meminta Geografi Kecamatan
Penulis sedang mewawancarai ahli waris
Penulis sedang mewawancarai Ahli Waris
Penulis sedang Mewawancarai Tokoh Agama Bapak Daeng Abu Bakar.
Bersama Pak Urai Riza Selaku Ahli waris dan sekilgus pemuka/Tokoh Adat