Post on 15-Mar-2019
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas karunia dan
izin-Nya skripsi ini dapat selesai penulisannya sesuai dengan ketentuan.
Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
sebagai suri tauladan umat serta pembawa panji-panji kebenaran dan
pembaharuan bagi kehidupan umat manusia.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mengakui banyak menemui
kesulitan dan hambatan terutama pengumpulan literatur bahan dan pengolahan
data. Namun, berkat bimbingan, dorongan, masukan serta support yang diberikan,
alhamdulillah, karya ilmiah ini dapat selesai.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dan bekerjasama dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Pada
kesempatan ini pula perkenankan penulis menyampaikan secara khusus ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, H. Kaswir dan Hj. Asnidar yang telah memberikan
dorongan moril maupun materil serta do’a yang tulus sampai selesainya
penyusunan skripsi ini serta studi penulis.
2. Kakakku Hildayuni, Abangku Zamis, Adik-adikku Elis Marni dan Desmiati
dan seluruh keluarga besar yang selalu memberikan dorongan, do’a,
perhatian, serta bantuannya pada penulis.
3. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag,
Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas segala kemudahan dan kesulitan
urusan administrasi di Jurusan.
5. Bapak Dr. H. Sirojudin Aly, M.A, Pembimbing Skripsi penulis. Terima
kasih atas bimbingan, pengarahan dan pencerahan yang diberikan
6. Seluruh dosen Jurusan Pemikiran Politik Islam yang telah membimbing,
mendidik dan mewariskan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang telah
diberikan dapat menjadi amal ibadah dan pahala disisi Allah SWT
ii
7. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Usuluddin dan Filsafat UIN Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada
penulis dalam pencarian literatur yang diperlukan.
8. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Pemikiran Politik Islam khususnya
angkatan 2004 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih
atas bantuan dan kerjasamanya selama studi.
9. Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti HMI,
LPI, Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) UIN Jakarta, serta rekan-rekan
lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Perjuangan akan terus
berlanjut.
10. Kawan-kawan seperjuangan MASAR yang banyak memberikan semangat
bagi penulis dan mendesak segera diselesaikanya penulisan skripsi ini.
Tebarkan selalu semangat dan persahabatan diantara kita.
11. Tak terlupakan kawan satu angkatan penulis Alumni Ponpes Darel Hikmah
Syukron Darsyah, S.Pdi, Jokef, S.Hi, M.Arizan,S.Ei Wahyu Ridas, S.Hi,
Diana Intan Dewi, S.Ei dan Dania Dewi, S.Ei. Terutama kepada Arizan yang
mendesak penulis sesegera mungkin menyelesaikan penulisan skripsi ini.
12. Thank you kepada Siti Suraidah, Amar, Salmi, dan Nurul yang banyak
membantu penulis baik dalam memberikan semangat dan bantuan moril
sejak penulisan skripsi ini hingga ujian skripsi.
13. Seluruh teman-temanku dari Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren
Darel Hikmah Pekanbaru (IKAPDH) Jakarta. Bayu Mustafa Arif dan Duta
yang selalu menghibur saat-saat penulis suntuk dan merasa jenuh dalam
penulisan skripsi.
Penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, baik isi, bahasa, tekhnik
penulisan, ketelitian, kerapian dan metodologi. Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan penyempurnaan
skripsi ini.
Terakhir, hanya kepada Allahlah semua dikembalikan. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat adanya. Amin.
Jakarta, 10 Juni 2008
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN
LEMBAR PERNYATAAN
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAAN
KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 7
D. Tinjaun Pustaka.................................................................................... 7
E. Metode Penelitian ................................................................................ 8
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 9
BAB II. PROFIL ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM
A. Riwayat Hidup ..................................................................................... 10
B. Karya-karya Abdullahi Ahmed An-Na’im........................................... 12
C. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatan............................... 14
BAB III. KONTEKSTUALISASI HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
A. Paradigma Islam Simbolik Formalistik ............................................... 25
B. Paradigma Islam Substantif ................................................................. 31
C. Paradigma Sekuler .............................................................................. 38
iv
BAB IV. PEMIKIRAN POLITIK ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM
A. Islam, Politik dan Negara .................................................................... 48
B. Islam dan HAM ................................................................................... 57
C. Konstitusionalisme .............................................................................. 67
D. Kewarganegaraan................................................................................. 73
E. Hukum Pidana...................................................................................... 77
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... . 88
v
Lembar Pernyataan
Dengan ini penulis menyatakan:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah-Jakarta
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini, penulis
cantumkan sumbernya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah-Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli atau
merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka penulis bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta
Jakarta, 10 Juni 2008
Hafiz
viii
PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Hafiz NIM:104033201090
Pembimbing
Dr. Sirojudin Aly, M.A
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
ix
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H./2008 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “PEMIKIRAN POLITIK ISLAM ABDULLAHI
AHMED AN-NAIM” telah diujikan dalam siding munaqasyah Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 25-6-
2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 25 Juli 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Hamid Nasuhi, M.A Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag NIP: 150326915 NIP: 150270808
Anggota,
Nawiruddin, M.A A. Bakir Ihsan, M.Si NIP: 150317965 NIP: 150326915
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perdebatan tentang hubungan Islam, politik dan negara belum
menemukan titik temu kesepakatan antara para ilmuan atau kalangan intelektual.
Perdebatan antara Islam dan negara merupakan subyek penting dan tetap belum
terpecahkan secara tuntas1. Pertautan antara Islam, politik, dan negara akan terus
menjadi perdebatan, baik pada tataran akademik maupun praktisi.
Di Indonesia misalnya perdebatan tersebut terlihat adanya pertarungan
yang dimulai dengan pertarungan ideologis antara golongan nasionalis Islam dan
nasionalis sekuler (1920-1930) kemudian diikuti oleh perdebatan antara Soekarno
dan Natsir antara agama dan negara (1940). Hal ini juga berlanjut tatkala
menentukan dasar ideologi negara pada saat kemerdekaan hingga berlangsung
saat ini meskipun berada pada konteks perdebatan yang berbeda.
Kontroversi hubungan Islam, politik, dan negara baik dalam tataran teori
maupun di sekitar implementasi nilai-nilainya telah berlangsung cukup lama. Di
satu pihak, ada sebagian kecil aspirasi rakyat yang menghendaki implementasi
syariat Islam dalam kehidupan politik, sedang dipihak lain, sebagian kecil
masyarakat juga cenderung menjalankan politik sekuler dan mendapat dukungan
yang secara politik sangat kuat.
Perdebatan tersebut diisyaratkan dengan persoalan problematik antara
politik (siyasah) dengan syariat yang juga melibatkan ketegangan antara ranah
1 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modrnisme hingga
Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 1
xi
duniawi dan profane. Banyak kita dapati para pemikir Islam klasik seperti al-
Mawardi, al-Gazali sampai ke Ibnu Taimiyah yang mempunyai keahlian di bidang
fikih siyasah pada umumnya. Karena itu, bisa dipahami kalau ketika mereka
membangun dan merumuskan konsepsi dan teori politik mereka, dalam banyak
hal dimulai dengan syariat.2 Dengan kata lain bahwa dalam menjalankan politik
(siyasah) haruslah berpedoman pada syariat yang dilaksanakan dengan baik dan
sempurna, karena itu politik tidak boleh mempunyai norma-norma atau ketentuan-
ketentuan sendiri yang seolah-olah terpisah atau bahkan melengkapi syariat itu.
Seorang pemikir seperti Ibn Khaldun, meskipun menempatkan siyasah
pada posisi yang tinggi namun tetap beranggapan bahwa perlunya penegakan
syariat baik bagi penguasa maupun warga masyarakat. Ini membuktikan bahwa
pentingnya penerapan syariat sebagai pijakan politik. Karena memang syariat
tidak pernah mengekang atau bahkan membatasi hak dan kebebasan masyarakat
selama tindakan dan prilaku masyrakat tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Indonesia, misalnya, dalam peta pemikiran dunia Islam, adalah negara
yang sangat menarik diteliti dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara,
mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Oleh karena itu Islam
telah, sedang dan terus memainkan perannya sesuai dengan proses-proses sosial
politik, meskipun peran itu ditunjukkan dalam dimensi-dimensi yang berbeda.
Tuntutan dan aspirasi memberlakukan syariat Islam, menjadi persoalan
serius setelah sekian lama rezim pemerintahan membungkam aspirasi tersebut.
Keinginan ini lahir berdasarkan fakta, dimana hukum-hukum formal selama ini,
baik di bidang pidana, perdata, pendidikan, dan sebagainya, dikatakan oleh
2 Azyumardi Azra, “Siyasah, Syariah dan Historiografi: Refleksi Sejarah Islam” dalam Muhammad Wahyuni Nafis, dkk, ed. Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, M.A (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 460
xii
kelompok yang menginginkan formalisasi syariat Islam adalah gagal dalam
mengemban misi hukum, keamanan dan keadilan serta menjunjung aspirasi
politik umat. Pengabaian nilai-nilai yang dianut dalam masyrakat, khususnya
aspek religiositas telah melahirkan konflik dan reaksi keras komponen
masyarakat.3
Islam bukan hanya sebagai agama yang hanya mengurus ukhrawi semata,
lebih dari pada itu, Islam juga sebagai sebuah ajaran yang mempunyai konsep
tentang tatanan kehidupan termasuk kepentingan politik. Hal ini dapat kita lihat
bahwa Nabi Muhammad saw selain sebagai pemimpin agama juga sebagai
pemimpin sebuah komunitas yang dikenal dengan negara Madinah. Madinah
sebagai sebuah negara memang menimbulkan perdebatan, namun dalam
memahami Madinah sebagai negara saat itu, tidaklah sama dengan memahami
negara dalam konteks zaman modern sekarang ini. Hal yang penting dicacat
dalam memahami Madinah sebagai sebuah negara adalah bahwa ketika itu
Madinah memiliki sebuah konstitusi yang dikenal dengan Piagam Madinah yang
mengatur perjanjian antara umat Islam dan non-Muslim, mempunyai sebuah
wilayah dan penduduk yang dapat dikategorikan sebagai sebuah negara pada
konteks sekarang ini.
Namun banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam
adalah agama individu, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas.
Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan mampu
melakukan aksi bersama. 4
3 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 4 4 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Jakarta: Mizan, 1997), h. 27
xiii
Indonesia, misalnya, merupakan negara yang unik karena meskipun
merupakan negara yang mempunyai penduduk yang mayoritas Islam, namun
Islam tidaklah menjadi agama negara. Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam
pengambilan kebijakan dan pelaksanaannya harus tetap mengedepankan prinsip-
prinsip etika moral Islam. Memang pelaksanaan syariat Islam dalam bentuk
hukum Islam cukup problematik dan dilematis dalam sebuah negara yang plural
(majemuk). Dalam hal ini kita perlu sedapat mungkin melakukan reinterpretasi
hukum Islam tertentu yang tidak sejalan dengan kondisi sekarang dan
kecenderungan universal untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan (hak asasi
manusia).
Tentu saja hal itu harus dilakukan dengan penggunaan metodologi yang
diakui para ulama, bukan yang ditawarkan oleh sebagian pemikir yang tak
memiliki latar belakang hukum Islam tetapi melakukan metodologi dan
pemahaman yang tak diakui oleh ulama.5 Hal tersebut menggambarkan bahwa
pentingnya memegang ajaran Islam, tidak selalu menjadikannya sebagai hal yang
harus diletakkan hanya dalam ruang privat saja. Jadi tidak serta merta menolak
hukum Islam tersebut atau hanya beranggapan bahwa syariat Islam hanya berlaku
pada masa lalu dan tidak sesuai dengan zaman sekarang.
Berdasarkan perdebatan tersebut, pada dasarnya, belum ada kesepakatan
yang mutlak dalam perdebatan tentang hubungan Islam dan negara, dalam hal ini
An-Na’im hadir sebagai seorang tokoh intelektual Muslim yang mencoba
menawarkan sebuah konsep ketidakterkaitan antara agama dan negara. Perlunya
5 Masykuri Abdillah, “Negara Ideal Menurut Islam dan Implementasinya Pada Masa
Kini”, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara & Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 85
xiv
pemisahan antara agama dan negara. Ia hadir sebagai penjembatan antara
pandangan fundamentalis dan sekuler.
Syariat Islam dinilai memiliki masa depan yang cerah untuk kedamaian
publik. Namun, bukan dengan cara memformalkan syariat karena upaya
memformalkan syariat sebagai hukum formal justru dapat menyebabkan ia
kehilangan otoritas dan kesuciannya. Hal itu diungkapkan Abdullah Ahmed An-
Na'im, pemikir Islam dari Sudan yang juga merupakan guru besar hukum Emory
University, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, di sela-sela peluncuran bukunya
dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Islam dan Negara Sekuler:
Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Kamis (2/8/2007) di kantor Lembaga
Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta.
Ia mengisyaratkan bahwa syariat Islam bisa mempengaruhi kehidupan
publik dan setiap kebijakan dalam perundang-undangan seperti undang-undang
perkawinan, peradilan agama Islam, dan lain-lain. Namun An-Naim juga
mengatakan bahwa Islam tidak dapat diselenggarakan oleh negara, juga tak dapat
dipisahkan dari kehidupan publik masyarakat-masyrakat Islam.6
An-Naim menjelaskan bahwa masa depan syariat itu cerah dalam
pengertian syariat bisa memberikan kekuatan kepada umat Islam untuk melakukan
hal-hal yang positif untuk keadilan sosial.
Ada kemungkinan pendekatan moral justru sangat popular dan sangat
dibutuhkan dalam pelaksanaan pemerintahan yang bersih. Ini menunjukkan bahwa
perlunya moral dalam urusan politik.7 Pendekatan syariat dan akhlak sangat
fundamental dalam Islam karena agama harus dipahami sebagai spiritual
6 Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007), h. 78
7 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, h. xxvi
xv
kemudian harus direalisasikan dalam bentuk tindakan yang bersifat moralitas serta
mencakup aturan prosedural (syariah), hal itu sesuai dengan misi Nabi
Muhammad dalam rangka penyempurnaan akhlak umat manusia.
Dari maksud An-Na’im di atas, menunjukkan bahwa umat Islam bergerak
karena kesadaran, tidak karena keuntungan-keuntungan material, seperti
kekuasaan politik, kepentingan kelas, atau kepentingan golongan sehingga
kebijakan yang ditetapkan harus mencerminkan kepentingan umat Islam
khususnya tanpa menghapus hak non-Muslim serta bukan sebagai wujud
kepentingan politik penguasa atau kelompok-kelompok elite tersebut.
Syariat harus dilandasi dengan Iman dan amal saleh sebagai kriteria
perubahan. Begitu juga penerapan syariat Islam baik di Indonesia maupun di
negara lain, baik dalam bentuk perundang-undangan maupun dalam sebuah
kebijakan harus melandasinya dengan sebuah keimanan yang kuat sehingga
menimbulkan kesadaran yang merupakan perubahan yang esensial bukan
berdasarkan pada kondisi materialnya.
Islam bukan agama aqidah semata, yang hanya mngutamakan hubungan
manusia dengan Tuhannya, Islam adalah akidah dan syariat.8 Oleh karena itu
akidah harus dijadikan sebagai pendorong lahirnya syariat dan setiap amalan
syariat harus didasari atas akidah.
Oleh karena itu dari uraian di atas, berdasarkan pandangan dan pemikiran
An-Na’im, penulis mencoba untuk melihat dan menggali lebih jauh tentang
hubungan Islam dan negara perspektif An-Naim. Hal tersebut akan dirangkum
8 Zainun Kamal, “Kontekstualisasi Syariat Islam”, dalam Komarudin Hidayat dan
Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara & Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 57.
xvi
dalam sebuah tulisan berbentuk Skripsi dengan Judul : “ Pemikiran Politik
Abdullahi Ahmed An-Na’im”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, serta agar
pembahasan tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka masalah-masalah
yang diangkat dalam pemikiran ini dibatasi pada pemikiran An-Na’im yang
berkaitan dengan Islam, politik dan negara, bagaimana hubungan Islam dan HAM,
Konstitusionalisme, Kewarganegaraan, dan Hukum Pidana. Berpijak pada
batasan-batasan serta latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu
merumuskan persoalan tersebut dalam pertanyaan: Bagaimana pandangan dan
pemikiran politik An-Na’im tentang hubungan Islam dan Negara
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan lebih spesifik bagaimana
pemikiran An-Na’im tentang Islam dan negara. Sedangkan tujuan penulisan
adalah untuk melengkapi tugas akhir dari perkuliahan untuk meraih gelar sarjana
(SI) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta serta pengembangan
dan sumbangan terhadap khazanah ilmu pemikiran politik Islam khususnya di
Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum penulis menyusun skripsi ini yang berjudul Islam dan Negara:
Studi Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im, penulis telah melakukan review
xvii
literatur sebagai upaya penulisan ini tidak sia-sia dan tidak dianggap hasil plagiat
skripsi karya orang lain. Menurut tinjauan penulis selama ini dan sejauh yang
penulis ketahui bahwa skripsi yang digarap oleh penulis ini belum ada yang
menulis dengan judul yang sama atau yang membahas tentang hubungan Islam
dan negara perspektif An-Na’im. Oleh karena itu sangat perlu menurut penulis
untuk mengkaji lebih dalam tentang pemikiran politik Abdullahi Ahmed An-Naim
terutama tentang hubungan Islam dan negara.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah berupa
pengumpulan data dari berbagai literatur baik data primer maupun data skunder,
penulis menggunakan jenis penelitian Library research (study kepustakaan) yaitu
dengan mengumpulkan karya-karya Primer yang ditulis secara langsung oleh
Abdullahi Ahmed An-Na’im sedangkan sumber sekunder yaitu karya lain yang
menguraikan yang berkaitan dengan tema kajian yang penulis ajukan baik berupa
buku-buku, artikel, maupun media masa yang kemudian dibahas dan dianalisis
lalu ditulis dalam bentuk karya ilmiah.
Analisa data dalam penulisan skripsi ini, penulis mengunakan dua metode
yaitu: metode deskriptis dan analistis yaitu dengan mendiskripsikan data-data
yang ada, kemudian menganalisanya secara proporsional sehingga akan tampak
jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok
permasalahan.
Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
xviii
CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan petunjuk
dari Dosen Pembimbing baik formal maupun informal
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, terarah dan menjadi standar
penulisan skripsi SI, maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang
masing-masing terdiri dari sub-sub bab, yaitu :
Bab Pertama merupakan bab pendahuluan yang berfungsi sebagai acuan
pembahasan bab-bab selanjutnya, sekaligus mencerminkan isi skripsi ini secara
global. Bab ini mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta
sistematika penulisan.
Bab Kedua akan membahas tentang profil Abdullahi Ahmed an-Na’im
yang menjelaskan riwayat hidup An-Na’im, karya-karyanya serta latar belakang
pendidikan, karier dan kegiatannya.
Bab Ketiga membahas tentang wacana dan kontekstualisasi hubungan
Islam dan negara yang menjelaskan tiga paradigma yaitu paradigma simbolik
formalistik, paradigma substantif dan paradigma sekuler.
Bab Keempat sebagai inti akan dibahas ide sentral yaitu pemikiran
politik Abdullahi Ahmed An-Na’im yaitu pandangannya tentang Islam, politik
dan negara, Islam dan HAM, konstitusionalisme, kewarganegaraan, dan hukum
pidana.
Bab Kelima adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan penulis
berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan penulisan skripsi ini.
xix
BAB II
PROFIL ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM
A. Riwayat Hidup
Abdullahi Ahmed An-Na’im dilahirkan di Sudan. Ia merupakan seorang
guru besar di bidang hukum yang mengkaji lebih dalam tentang agama dan hak
asasi manusia (HAM) di The Emory Law School, Atlanta. An-Na’im adalah
pemikir Muslim terkemuka dan ia dikenal sebagai pakar Islam dan hak asasi
manusia dengan perspektif lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu- isu
ketatanegaraan di negara-negara mayoritas muslim dan Afrika disamping isu-isu
tentang Islam dan politik. Dia juga telah menerbitkan lebih dari 30 artikel tentang
hak asasi manusia, konstitusionalisme, hukum Islam dan politik.
Sebagai salah seorang mahasiswa hukum di University of Khartoum di
Sudan, An-Na’im aktif di sebuah gerakan reformasi Islam (Islamic reform
movement) yang dipimpin oleh Mahmoud Mohamed Taha dalam sebuah
organisasi Persaudaraan Republik (Republican Brotherhood) sampai gerakan ini
dibubarkan oleh pemerintah Sudan pada tahun 1984. Kemudian ia juga yang
mempopulerkan pemikiran gurunya yang disampaikan dalam sebuah buku “The
Second Message of Islam”.
Organisasi ini didirikan Thaha sebagai partai Republik ditengah-tengah
perjuangan nasionalis Sudan pada akhir perang Dunia II. Keberadaan partai-partai
yang ada ketika itu sangat didominasi oleh kaum konservatif. Thaha mencoba
xx
mengembangkan dasar-dasar pemahamanya melalui penafsiran ulang Islam dalam
sebuah karya nya yang bejudul The Second Massage of Islam yang diterjemahkan
oleh An-Na’im dan diterbitkan pada tahun 1987 serta melalui buku inilah yang
banyak memengaruhi pemikiran An-Na’im. Namun pada tahun 1985, ketika
sebuah gerakan Islam fundamentalis mendapatkan tempat di Sudan dan setelah
dieksekusinya Mahmoud Mohamed Taha oleh rejim Sudan Ja’far Numeiry, An-
Na’im lalu meninggalkan daerahnya. Sejak pengasingannya dari Sudan, ia
memfokuskan pekerjaannya mambantu kaum muslimin menentukan cara hidup
secara islami serta mencakup hak asasi setiap manusia. Projek penelitian
internasionalnya mencakup kajian perempuan, hukum keluarga Islam, Islam dan
hak asasi manusia yang selalu disponsori oleh Ford Foundation.
An-Na’im juga menjadi juru bicara yang fasih tentang ide-ide Mahmoud
Mohamed Taha, menulis artikel dan berbicara dengan berbagai kalangan dalam
rangka melanjutkan pemikiran gurunya. An-Na’im sendiri bergabung dengan
Persaudaraan Republik ketika masih mahasiwa fakultas hukum Universitas
Khartoum. Ia menghadiri sejumlah kuliah yang langsung disampaikan oleh Thaha
dan selalu hadir dalam diskusi-diskusi informal di rumah gurunya. Sehingga buku
The Second Massage of Islam lah yang sangat mempengaruhi pemikiran An-
Na’im selanjutnya.
Sejak terbunuhnya Mahmoud Mohamed Taha, kelompok ini secara tidak
resmi diorganisasikan kembali menjadi komunitas sosial yang bergerak pada
xxi
usaha reformasi Islam menurut tradisi Thaha. An-Naim sendiri menekankan
bahwa pesan ini mewakili suatu pendekatan bukan aksi politik.9
B. Karya-karya Abdullahi Ahmed An-Na’im.
Prof. Abdullahi Ahmed An-Na’im selain memiliki hasil karya sendiri, ia
juga merupakan salah seorang editor buku sekaligus penerjemah bebarapa buku.
Beberapa karya An-Na’im ini penulis peroleh dari media internet.10
Beberapa karya pribadi yang langsung ditulis Abdullahi Ahmed An-Nai’im
adalah:
1. Islam and The Secular State: Negotiating The Future of Shari’a, kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, Islam dan Negara Sekular:
Menogosiasikan Masa Depan Islam Syariah, yang diterjemahkan oleh Sri
Murniati dan diterbitkan oleh penerbit Mizan. 2007. Buku ini menegaskan
kembali apa yang pernah diungkapkannya dalam karyanya Towards an
Islamic Reformation (1990) yang intinya menolak intervensi negara dalam
penerapan syariat Islam karena hal itu dinilainya bertentangan dengan sifat
dan tujuan syariat itu sendiri yang hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh
penganutnya. Menurut An Na’im, syariah akan kehilangan otoritas dan nilai
agamanya bila diterapkan melalui negara. Ia menekankan perlunya menjaga
9 Pengantar LKiS dalam Abdullahi Ahmed An-Nai’m, Dekonstruksi syariah: Wacana
Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasioanal dalam Islam (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. xiii
10 Dapat dilihat di www.law.emory.edu/aannaim atau juga dapat dilihat di Wikipedia, the free encyclopedia http://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na'im#Main_Publications. Diakses pada taggal 10 April 2008.
xxii
netralitas negara terhadap agama dan pemisahan secara kelembagaan antara
Islam dan negara, agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi
kehidupan umat dan masyarakat Islam
2. African Constitutionalism and the Contingent Role of Islam. Philadelphia, PA:
University of Pennsylvania Press (2006).
3. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and
International Law. Syracuse, NY: Syracuse University Press, 1990 (soft-cover
edition by American University in Cairo, 1992). Kemudian diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia (1994) oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani
dan diterbitkan oleh LKis Yogyakarta dengan judul Dekonstruksi Syariah:
Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional
dalam Islam. Arab (1994), Rusia (1999), dan Persia 2003.
4. Sudanese Criminal Law: General Principles of Criminal Responsibility
(Arabic). Omdurman, Sudan: Huriya Press, 1985.
Bebarapa karya An-Na’im sebagai editor adalah:
1. Human Rights Under African Constitutions: Realizing the Promise for
Ourselves. Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, 2003.
2. Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book. London:
Zed Books, 2002.
3. Cultural Transformation and Human Rights in Africa. London: Zed Books,
2002.
4. Proselytization and Communal Self-Determination in Africa. Maryknoll, NY:
Orbis Books, 1999.
xxiii
5. Universal Rights, Local Remedies: Legal Protection of Human Rights under
the Constitutions of African Countries. London: Interights, 1999.
6. The Cultural Dimensions of Human Rights in the Arab World (Arabic). Cairo:
Ibn Khaldoun Center, 1993.
7. Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: Quest for Consensus.
Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, 1992.
Karya An-Na’im sebagai Co. Editor
1. With Ifi Amadiume: The Politics of Memory: Truth, Healing and Social
Justice. London: Zed Books, 2000.
2. With J. D. Gort, H. Jansen, & H. M. Vroom: Human Rights and Religious
Values: An Uneasy Relationship? Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1995.
3. With Francis Deng: Human Rights in Africa: Cross-Cultural Perspectives.
Washington, DC: The Brookings Institution, 1990.
Beberapa karya yang pernah diterjemahkan oleh An-Na’im:
1. Terjemahan dalam bahasa Arab: Francis Deng: Cry of the Owl (a political
novel). Cairo: Midlight, 1991.
2. Terjemahan dalam bahasa Inggris: an Introduction: Ustadh Mahmoud
Mohamed Taha: The Second Message of Islam. Syracuse, NY: Syracuse
University Press, 1987.
C. Latar Belakang Pendidikan, Karir dan Kegiatan
Profesor Abdullahi Ahmed An-Na’im memperoleh gelar dibidang Hukum
di Universitas Khartoum, Sudan pada tahun 1970, kemudian melanjutkan ke
Cambridge University, Inggris dalam bidang kriminologi pada tahun 1973 dan
xxiv
memperoleh gelar LL.B dan Diploma. Kemudian pindah ke Edinburgh
University, Scotlandia dan memperoleh gelar Doktor pada tahun 1976. Kemudian
dia kembali ke Sudan untuk mengajar di University of Khartoum, hingga tahun
1985. Menjelang tahun 1979, ia menjadi kepala Departemen Hukum Publik di
Fakultas Hukum Universitas Khartoun.
An-Na’im menjadi guru besar agung dibidang hukum dari Universitas
California, Los Angles pada tahun 1985-1987, dan pada tahun 1988-1991, An-
Na’im juga guru besar agung di bidang HAM dari sebuah Universitas
Saskatchewan, Canada. Pada tahun 1995 An-Na’im memperoleh gelar Profesor
dari Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat dan sejak 15 tahun terakhir ini
beliau menetap dan mengajar di Amerika Serikat.
An-Na’im adalah murid dari Muhamed Thaha, seorang pemikir besar
Sudan, yang memiliki pemikiran yang dianggap oleh pemerintah Sudan sebagai
pemikiran yang aneh dan karena itu beliau dibawa ke pengadilan dan kemudian
digantung. Para pengikutnya juga dikejar-kejar oleh rezim pemerintah waktu itu
pada masa rezim Sudan Ja’far Numeyri. Dalam rangka menyampaikan pesan sang
guru, An-Naim memberikan ceramah dan tulisan-tulisan terutama untuk diluar
Sudan. Dia merasa bahwa merupakan tanggungjawabnya untuk mengambil dasar
ajaran Thaha dan mengembangkannya. Dia telah menulis untuk spesialisasi
bidangnya yaitu hukum publik yang merupakan interpretasi hukum Islam dari
perspektif ajaran gurunya.
Abdullahi Ahmed An-Naim merupakan seorang pakar Islam terkemuka
serta juga menekuni riset di bidang advokasi strategi reformasi melalui
transformasi budaya internal. Saat ini, lelaki kelahiran Khartoum, Sudan, ini
xxv
bekerja sebagai Profesor Hukum di The Emory Law School, Atlanta, Amerika
Serikat.
Pemikirannya sangat kontroversial. Ia berkali-kali menegaskan tidak
pernah ada dan tidak perlu ada negara Islam. "Kita butuh negara sekuler untuk
menjadi muslim yang baik," kata Naim kepada VHRmedia.com di Hotel Kristal,
Jakarta Selatan kepada Fathiyah Wardah Alatas, Rabu (1/8/2007). Ia
mempromosikan hasil riset empiriknya tentang penerapan syariat Islam di
berbagai negara: Turki, India, Mesir, Sudan, Uzbekistan, dan Indonesia. Dimuat
dalam buku Islam dan Negara: Menegoisasikan Masa Depan Syariah. Dalam
riset yang disponsori Ford Foundation ini, Na’im hanya ingin mengulangi
sikapnya bahwa syariah Islam tidak mungkin dapat dijadikan peraturan dan
hukum publik melalui institusi negara. Karena hal itu dinilainya bertentangan
dengan sifat dan tujuan syariah itu sendiri, yaitu dijalankan dengan sukarela oleh
penganutnya. Ia menekankan perlunya menjaga netralitas negara dan
memisahkannya secara kelembagaan dari agama.
Pengalaman Professional dan Pengalaman Mengajar11
Sejak dibubarkannya organisasi Persaudaraan Republik (Republican
Brotherhood) yang didirikan oleh gurunya, perjuangan An-Na’im dalam
mensosialisasikan ajaran gurunya tidaklah melalui sebuah partai politik yang
dilakukan oleh gurunya, tetapi melalui diskusi-diskusi publik, seminar-seminar,
terutama melalui mengajar di sebuah perguruan tinggi maupun universitas yang
memang menjadi profesi keahlian sehari-hari An-Na’im. Di bawah ini beberapa
pengalaman professional mengajar An-Na’im:
11 Dapat dilihat di www.law.emory.edu/aannaim
xxvi
• Juni 1995 sampai sekarang, Professor of Law, Emory University, Atlanta,
GA, U.S.A.
• Global Legal Scholar, School of Law, The University of Warwick,UK,
September 2007 sampai Agustus 2010.
• Scholars-in-Residence, the Ford Foundation, New York, NY, USA, May
sampai December, 2007.
• G.J. Wiarda Chair, Utrecht University Institute for Legal Studies, the
Netherlands, September 2005 to August 2006.
• Jeremiah Smith, Jr. Visiting Professor of Law, Harvard Law School,
Cambridge, MA, USA, Januari sampai Juni 2003.
• Juli 1993-April 1995 Executive Director, Human Rights Watch/Africa,
Washington, DC. U.S.A.
• Juli 1992 - Juni 1993 Scholar-in-Residence, The Ford Foundation, Office for
the Middle East and North Africa, Cairo, EGYPT
• Agustus 1991-Juni 1992 Olaf Palme Visiting Professor, Faculty of Law,
Uppsala University, Swedia
• Agustus 1988-January 1991 Ariel F. Sallows Professor of Human Rights,
College of Law, University of Saskatchewan, Saskatchewan, Kanada.
• Agustus 1985-July 1987 Visiting Professor of Law, School of Law, University
of California at Los Angeles (UCLA), Los Angeles, U.S.A.
• November 1976-Juni 85 Dosen and Guru Besar Hukum Luar Biasa; (Kepala
Departemen Hukum Publik 1979-85) University of Khartoum, Sudan.
Kuliah Umum dan Presentasi Internasional12
12 Ibid
xxvii
Dibawah ini beberapa kuliah umum, seminar, dan presentasi internasional
yang dilakukan oleh An-Na’im dalam rangka membumikan pemikirannya serta
memberikan pemahaman kajiannya tentang Islam, politik, dan negara,
konstitusionalisme, dan HAM (hak asasi manusia ).
• Kuliah Umum dan Launching Buku “African Constitutionalism and the Role
of Islam,” Centre for the Book, Cape Town, Africa Selatan, 9 Oktober , 2007.
• Kuliah , “Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari`a”, 30th
Convention of German Orientalist Society, Albert-Ludwigs-Universsitat,
Freiburg, Germany, 26 September , 2007.
• Kuliah Umum “Human Rights, Global Citizenship and Refugees,” Forced
Migration and Refugee Studies, American University in Cairo, 6 December,
2006.
• Kuliah Umum , “Interdependence of Islamic Philanthropy and Secularism,”
The John D. Gerhart Center for Philanthropy and Civic Engagement,
American University, Cairo, 5 Desember , 2006.
• Presentasi, “The Future of Shari`a is with a Secular State,” and “Shari`a and
Human Rights,” Conference on Shari`a in a Modern Context, The Association
of Democratic Muslims of Demark and Institute for Cross-cultural and
Regional Studies, University of Copenhagen, Denmark, 25-26 November ,
2006.
• Kuliah Umum “African Constitutionalism and the Role of Islam in State,
Politics and Society”, Faculty of Law and Departments of Religious Studies
and Political Science, University of Jos, 11 Nigeria, 1 September, 2006.
xxviii
• Kuliah Umum, “African Constitutionalism and the Role of Islam in Politics,
Economics and Society”, Centre for Democratic Research and Training,
Bayero University, Mambayya House, Kano, Nigeria, 31 Agustus, 2006.
• Kuliah Umum, “African Constitutionalism and the Role of Islam,” Islamic
Legal Studies and Faculty of Law, Ahmado Bello University, Zaria, Nigeria,
30 Agustus, 2006.
• Kuliah Umum, “African Constitutionalism and the Role of Islam in Politics
and Society”, University of Abuja, Nigeira, 29 Agustus , 2006
• Keynote presentation, “Citizenship and Legal Pluralism: An Islamic
Perspective,” Conference on the Possibility of Intercultural Law, Annual
Meeting of Association of Legal Philosophy, Conference Center Kaap Doorn,
Diebergen/Zeist, The Netherlands, 9-10 Juni, 2006.
• Keynote lecture, “Protection of Human Rights of Vulnerable Groups in the era
of Terrorism,” 4th National Roundtable on Anti-terrorism and Protection of
Minorities, Utrecht, the Netherlands, 7 Juni, 2006.
• Public lecture, “Cross-Cultural Dialogue Re-visited: Islam and Human
Rights,” Society for International Development – Netherlands Chapter, Free
University, Amsterdam, 15 May, 2006.
• Presentasi, “Islam, State and Politics: Separate but Interactive”, International
Conference on Human Rights and Renewal of Religious Discourse”, Cairo
Institute for Human Rights Research and Swedish Institute, Alexandria,
Egypt, 18-20 April, 2006.
xxix
• Kuliah Umum, “State Secularism: Reality and Experience”, Khartoum Center
for Human Rights and Development, Sharijah Hall, Institute of Afro-Asian
Studies, University of Khartoum, Sudan, 26 Desember, 2005.
• Seminar, “The Future of Shari`ah in Islamic Societies,” Center for Women
Studies, State Institute for Islamic Studies, Yogyakarta, Indonesia, 9 Februari ,
2005.
• Seminar, “The Future of Shari`ah in Islamic Societies,” Center for Languages
and Cultures, State Islamic University, Jakarta, Indonesia, 27 Januaryi, 2005.
• Seminar, “Islam, State and Society: Experiences and Prospects in India,”
Conference Hall, India Tea Center, Mumbai, India, 8 January, 2005.
• Seminar, “Islam, State and Society: Experiences and Prospects in India,”
General Education Centre, Aligarh Muslim University, Aligarh, India, 3
Januari, 2005.
• Seminar, “Islam, State and Society: Experiences and Prospects in India,” India
International Centre, New Delhi, India, 5 Januari, 2005.
xxx
BAB III
KONTEKSTUALISASI HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
Perdebatan ilmiah mengenai Islam dan politik muncul sejak tumbangnya
kekhalifahan Islam Ottoman 1924. Sebelumnya literatur mengenai pendekatan
Islam terhadap masalah kenegaraan baik dalam soal pemilihan imam, kualifikasi
pemimpin amir dan tata administrasi kekhalifahan tidak meragukan integrasi
Islam dalam politik. Setelah itulah muncul berbagai literatur yang banyak dibaca
kalangan umat Islam sehingga mengaburkan jati diri Islam dalam kehidupan
masyarakat dan lembaga-lembaga yang dibangun untuk mengendalikannya.
Wacana tentang relasi agama dan negara selalu mewarnai perdebatan fiqh
siyasah (fiqh politik) dalam Islam13. Fenomena yang mengedepan ini bisa jadi
dikarenakan keniscayaan sebuah konsep negara dalam pergaulan hidup
masyarakat diwilayah tertentu. Suatu negara diperlukan untuk mengatur
kehidupan sosial secara bersama-bersama dan untuk mencapai cita-cita suatu
masyarakat. Disini otoritas politik memiliki urgensi dan harus ada yang
terwakilkan dalam bentuk institusi yang disebut negara. Sehingga dirasa perlu
oleh kaum muslimin untuk merumuskan konsep negara.
Diskursus negara agama sebenarnya bukan diskursus baru dalam wacana
Islam Politik. Implementasi syariat Islam dalam negara modern jadi polemik
publik yang pasang surut. Panorama seperti ini hampir menjadi karakter utama
13 Perdebatan antara relasi Islam dan politik (negara) muncul pada abad Modern dan
Kontemporer yaitu ketika pertemuan Islam dengan Barat pada abad ke- 19 dan ke- 20 yaitu setelah terjadi penjajahan Barat ke dunia Islam. Abdul Rashid Molten, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), h. 30-32
xxxi
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ini bisa dilihat dari
maraknya organisasi keagamaan yang lantang menyuarakan isu negara agama di
pelbagai dunia Islam, seperti Ikhwan Muslimin (Mesir), Jamaat Islamiyah (India,
Pakistan dan Bangladesh) dan FIS (Aljazair). Historisitas negara agama tersebut
dapat disebut sebagai pilihan termungkin yang bisa dilakukan kalangan Islam
Politik untuk menjadikan syariat sebagai sistem kenegaraan.
Kebanyakan diskusi tentang Islam dan politik mengasumsikan bahwa
Islam tidak membedakan antara agama dan politik. Dunia keilmuan Barat pada
tingkat lebih luas juga dunia keilmuan Muslim menegaskan ketidak terpisahan
antara keduanya melalui perbandingan antara pemikiran politik Muslim dan
Kristen. Meskipun metaphor semacam ini mengalami perubahan dalam tulisan-
tulisan Kristen masa awal dan masa abad pertengahan, tetapi ide pemisahan
kekuasaan tetap berjalan, urusan Tuhan dan urusan Kaisar. Sebaliknya, di dalam
pemikiran Islam kerangka rujukannya adalah kesatuan keduanya: din wa-daulah,
“agama dan negara”.
Dalam merumuskan sebuah konsep negara terdapat beberapa pandangan
yang berbeda dari kaum muslimin itu sendiri. Hal ini disebabkan bukan karena
kompleksitas hubungan antara keduanya. Tetapi, lebih disebabkan oleh kenyataan
bahwa Islam tidak mungkin diterjemahkan dalam bentuknya yang tunggal.
Doktrin Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah satu.
Namun, bagaimana umat menerjemahkan ajaran-ajaran tersebut dan
mempraktekkannya di dalam kehidupan sehari-hari sangatlah bervariasi,
meskipun tetap ada benang merah yang menghubungkan antara satu penafsiran
xxxii
dengan penafsiran yang lain. Multitafsir merupakan ciri dari Islam yang tak
terhindarkan.
Kelompok pertama menawarkan sebuah konsep negara yang berdasarkan
pada agama yaitu menyatunya antara agama dan negara (integralistik) dimana
Islam diakui bukan hanya sekedar agama yang mengurus urusan ukhrawi lebih
dari itu Islam juga mengurus persoalan-persoalan duniawi termasuk persoalan
politik. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi
politik dan negara. Sehingga kelompok ini menolak bahkan sangat mengecam
sekali adanya pemisahan agama dan negara.
Namun sampai sekarang negara mana yang dapat dijadikan sebagai
representasi negara Islam, apakah Arab Saudi, Pakistan, Iran, dan lain-lain juga
belum dapat dipastikan atau dianggap sample sebagai negara Islam. Hal ini
disebabkan perbedaan pendapat para pemikir politik Islam dalam mendefinisikan
tentang hubungan agama dan negara.
Azyumardi menjelaskan bahwa beragam perbedaaan pemikirian tersebut
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Barat. Pada masa modern ekspansi dan dan
imprealisme dan kolonialisme Eropa ke wilayah Islam tidak hanya menciptakan
desintegrasi politik Islam tapi lebih jauh menggoncangkan jati diri umat Islam.14
Salah satu dampak terbesar dari penetrasi Barat ke dunia Islam adalah
menyangkut konsep dan sistem politik kenegaraan. Konsep dan sistem politik
Barat tentu saja asing dan karena itu bersifat ahistoris bagi masyarakat muslim
pada umumnya. Sebab itulah terjadi perdebatan dikalangan pemikir dan penguasa
muslim tentang konsep Barat seperti nation state, nasionalisme, dan lain-lain.
14 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modrnisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 2.
xxxiii
Kelompok kedua mempunyai pandangan bahwa Islam lebih dimaknai
pada penerapan nilai-nilai substansinya, agama tidak mesti dilembagakan dalam
sebuah institusi negara, namun tetap mengedepankan nilai-nilai Islam yang
bersifat universal sehingga bisa diterima oleh pihak manapun diluar Islam.
Kelompok ketiga mempunyai pandangan bahawa antara agama dan negara
harus dipisahkan satu sama lain (sekuler) karena memahami agama hanya pada
aspek pengurusan persoalan-persolan akhirat sementara masalah dunia (politik)
diserahkan pada manusia sesuai zaman masing-masing tanpa mengikutsertakan
agama dalam persoalan politik.
Namun meskipun ketiga-tiganya mempunyai pandangan yang berbeda
dalam memahami hubungan agama dan negara, tetapi ketiga pandangan tersebut
sama-sama mengakui peran penting negara. Dalam proses pencarian konsep
negara, umat Islam ada yang meniru Barat dan ada juga yang menolak Barat.
Maksudnya jika mereka menganggap bahwa Barat adalah segalanya, maka corak
pemikiran mereka akan meniru Barat. Namun sebaliknya, ada juga yang menolak
cara pandang Barat dan berasumsi bahwa Islam telah memiliki konsep negara
yang jelas.
Spektrum pendukung dan penentangnya pun cukup beragam. Ada yang
ekstrem, ada yang moderat. Pendukung yang bergaris ekstrem sampai
mengusulkan perubahan fundamental, dengan mengubah sistem politik menjadi
khilafah atau negara Islam. Sementara penentang bergaris keras mendesak
perlucutan total negara dari anasir agama
xxxiv
Kamaruzzaman dalam tulisannya15 membagi pandangan relasi agama dan
negara menjadi dua gerakan. Pertama gerakan Fundamentalisme yaitu kalangan
yang menginginkan adanya integrasi agama dan negara, sedangkan kelompok
kedua disebut gerakan modernisme yang terbagi dalam dua kelompok yaitu
modernisme Islam dan modernisme sekuler. Modernisme Islam berpandangan
bahwa antara agama dan negara dapat diintegrasikan namun tidak mempersoalkan
jika umat Islam mencontoh Barat. Adapun kelompok modernisme sekuler,
memisahkan antara agama dan negara dan pada waktu bersamaan mencontoh
gaya Barat dalam sistem kenegaraan.
Disini penulis mencoba menggambarkan beberapa pandangan yang ada
dalam memahami relasi antara agama dan negara, yang akan diklasifikasi
berdasarkan tiga paradigma yaitu pertama, Paradigma Islam Simbolik Formalistik,
kedua, Paradigma Islam Substantif, dan yang ketiga Paradigma Sekuler.
A. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik
Pengaruh agama pada politik bukanlah sebuah fenomena yang hanya
terjadi di dunia Islam. Tetapi adalah tidak mungkin bagi seorang ahli teori politik
akan mengabaikan peran Islam dalam kehidupan publik umat muslim. Pengaruh
yang paling besar dalam politik bangsa-bangsa Muslim dapat dilacak dengan jelas
pada kecenderungan partisipasi politik yang amat luas dikalangan penduduknya.
Jelas bahwa setiap hukum membutuhkan sebuah pemerintahan yang
mengadopsinya dan seperangkat aparat negara yang akan mengimplementasikan
dan menegakkan sangsinya. Oleh karena itu Islam (syariat) juga membutuhkan
15 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis
(Indonesia Tera, Magelang, 2001), h. 50.
xxxv
sebuah negara untuk menegakkan sangsinya16. Ini memberikan pemahaman
bahwa syariat membutuhkan kekuasaan politik dan otoritas agar bisa
diimplementasikan. Di pihak lain, hubungan yang maksimal antara agama dan
politik memerlukan komitmen total dan keterlibatan negara terhadap isi sebuah
agama yang spesifik.
Pemikiran ini yang mengatakan bahwa antara Islam dan politik tidak bisa
dipisahkan muncul dari pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala sesuatu,
termasuk persoalan negara dan politik. Din wa-daulah marupakan salah satu
jargon terpenting dari mazhab pemikiran seperti ini. Dalam pandangan aliran ini,
Islam merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna dan karenanya
memiliki sistem dan teori tentang politik, ekonomi, negara, dan sebagainya.
Dengan ini maka mereka mempunyai keyakinan bahwa umat Islam
mempunyai kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang berbentuk
kekhalifahan sebagimana yang pernah dipraktekkan oleh Nabi di Madinah dan
juga para khulafaurrasyidin pada kurun setelahnya.. Karena kepercayaan yang
teguh bahwa antara Islam dan politik harus disatukan, banyak orang memberi
penilaian terhadap kelompok ini sebagai penganut mazhab teokratis.17
Zuhairi Misrawi menyebutkan bahwa pandangan kelompok yang
menginginkan menyatunya agama dan negara dilatarbelakangi oleh dua hal18.
Pertama, sebagai tawaran alternatif bagi kegagalan sistem sekuler. Ini menjadi
16 Ahmed Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syabab (Jakarta:
Citra, 2006), h. 8. 17 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara
yang Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005), h. 8. 18 Zuhairi Misrawi, “Negara Syariat atau Negara Sekuler?,” diakses pada tanggal 5
April 2008 dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=148. html
xxxvi
alasan yang sering disebut-sebut guna membangun masyarakat yang islami.
Kedua, penyatuan agama dan negara sebagai suatu resistensi terhadap modernitas
Dalam tulisannya itu, Zuhairi Misrawi memasukkan Yusuf al-Qardlawi
sebagai pemikir muslim garda depan yang menyuarakan penyatuan agama dan
negara sebagai alternatif dari ketimpangan sistem sekuler yang telah memporak-
porandakkan nilai dan moralitas. Menurut Qardlawi tegasnya, Islam mempunyai
seperangkat nilai dan pemikiran guna membangun masyarakat yang berkeadilan
dan berkeadaban. Al-Quran dan Sunnah rujukan utamanya.19
Dalam menyikapi sekularisasi dan westernisasi atas nama modernisasi,
kaum Muslim dapat dipilah dalam dua kelompok besar, yaitu yang menerima dan
yang menolak. Masing-masing dapat dibagi lagi: ada yang cenderung bersikap
ekstrim, dan ada pula yang bersikap moderat. Yang ekstrim dari kelompok
penerima biasanya disebut secularist seperti Ataturk, sedangkan yang bersikap
moderat disebut reformist atau modernist seperti Muhammad Abduh, Ahmad
Khan, Fazlur Rahman. Adapun yang ekstrim dari pihak yang menolak biasanya
dicap revivalist atau fundamentalist seperti Al-Maududi dan Sayyid Qutb,
sementara yang moderat dijuluki conservative atau tradisionalist seperti
Muhammad bin Abd al-Wahhab.
Pendukung sekularisme menyatakan bahwa meningkatnya pengaruh
sekularisme dan menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekulerisasi
adalah hasil yang tak terelakan dari Pencerahan yang karenanya orang-orang
mulai beralih kepada ilmu pengetahuan dan rasionalisme dan menjauh dari agama
dan takhyul. Penentangan yang paling kentara muncul dari Islam Fundamentalis.
19 Ibid
xxxvii
Penentang sekularisme melihat pandangan di atas sebagai arogan, mereka
membantah bahwa pemerintahan sekuler menciptakan lebih banyak masalah dari
pada menyelesaikannya, dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah
lebih baik.
Sebuah pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang menerima dan
mengakui otoritas absolut dari Islam. Ia berupaya untuk membentuk sebuah tertib
sosial yang Islami sesuai ajaran yang dikandung Islam, pelaksanaan syariat, dan
berupaya untuk mengarahkan keputusan-keputusan politik dan fungsi-fungsi
publik sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai Islam.
Paradigma ini memahami Islam sebagai agama yang sempurna pada
prinsipnya tidak mengenal pemisahan agama dan negara. Merefleksikan adanya
kecenderungna untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam.
Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai oleh keinginan untuk menerapkan
syariah secara langsung sebagai konstitusi negara. Ada semacam kesadaran
teologis yang sangat kental, bahwa syariat dengan kesempurnaannya dapat
menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi umat Islam.
Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa penganut aliran ini pada umumnya
berpendirian bahwa Islam merupakan:
• Sebuah agama yang serba lengkap dimana terdapat sistem kenegaraan dan
poltik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada
sistem ketatanegaraan Islam
• Sistem kenegaraan atau politik yang harus diteladani adalah sistem yang telah
dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat Khulafa al-Rasyidin.20
20 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 1.
xxxviii
Kelompok ini sering dikategorikan sebagai kelompok revivalisme atau
fundamentalisme yang mengusung reaksi ekstrim terhadap meluasnya ide-ide
pemikiran Barat kedalam dunia Islam. Aliran agama yang lebih fundamentalis
menentang sekulerisme. Pada saat yang sama dukungan akan sekularisme datang
dari minoritas keagamaan yang memandang sekularisme politik dan pemerintah
sebagai hal yang penting untuk menjaga persamaan hak.
Kelompok ini juga sering dikategorikan sebagai kelompok muslim
skriptualis yang berusaha memperjuangkan formalisasi agama. Artinya, dalam
pandangan mereka, Islam harus mewarnai kehidupan, dan tidak boleh menjadi
sekedar agama privat. Islam harus asertif menjadi dasar negara, dan syariatnya
mesti diberlakukan dalam tiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
mengambil inspirasi dari karya-karya Sayyid Qutb (W.1966) dan Abul A’la Al-
Maududi (W. 1979), mereka yang dalam istilah John L. Esposito (1990),
menegaskan jargon bahwa doktrin Islam itu self-sufficiency, sehingga mendirikan
negara Islam menjadi doktrin agama.
Para pendukung arus ini secara mutlak menolak liberalisme dan ideologi-
ideologi Barat lainnya. Mereka mendukung adopsi yang komprehensif dari
sumber-sumber yang bersifat ilahiyah yang sakral sebagai suatu cara untuk
mengakhiri hegemoni Barat, dan sekaligus berupaya mengatasi berbagai masalah
sulit yang dihadapi masyarakat Muslim.
Tujuan utama dari sebuah pemerintahan Islam adalah untuk membentuk
sebuah masyarakat Islam, dimana Islam sejatinya tidak memandang masyarakat
Islam sekumpulan orang, tetapi masyarakat juga dilihat dari sisi hubungan sosial
xxxix
dan tertib sosial masyarakat dimana mereka tinggal. Oleh karena itu, sebuah
masyarakat Islam secara definitif adalah sebuah masyarakat yang ideal dimana
tertib sosial telah dibentuk dan diatur sesuai dengan nilai-nilai Islam, ajaran-
ajaran, dan aturan-aturannya.21
Pemikiran akan penyatuan agama dan negara setidaknya terlihat pada
tokoh seperti Abu A’la Al-Maududi yang sangat tidak tertarik dengan yang terjadi
di Turki yaitu adanya pemisahan agama dan negara yang pada gilirannya posisi
Islam terletak pada titik subordinat, jika tidak boleh dikatakan dikikis sama sekali.
Al-Maududi menulis teori-teori politiknya dilatari penolakan terhadap
teori-teori politik Barat dan memberi label Islam kepada sistem yang
dirumuskannya. Persoalan inilah yang membuat Al-Maududi sangat berlawanan
dengan kalangan sekuler, karena dia sangat anti terhadap sekularisme, oleh karena
itulah Al-Maududi mendukung berdirinya negara Islam.
Kelompok yang menginginkan formalisasi Islam dalam bentuk formal
dimana menyatunya agama dan negara beranggapan bahwa integrasinya agama
dan negara juga dibangun atas contoh dari Nabi, yang pada saat bersamaan
bertindak sebagai pemimpin spiritual sekaligus pemimpin komunitas politik.
Dipertahankannya institusi kekhalifahan juga didasarkan atas keyakinan bahwa
kekuasaan agama dan politik harus digabungkan dalam satu atap, sehingga
memungkinkan syariat bisa diterapkan dan kominitas muslim terlindungi.
Adnin Armas menyatakan bahwa sekularisasi akan menggiring kepada
sekularisme, sebuah ideologi yang mengeyampingkan peran Tuhan dalam
kehidupan manusia. Sebagaimana yang dikutif Adnin Armas dari Syed
21 Vaezi, Agama Politik, h. 10.
xl
Muhammmad Naquib al-Attas bahwa sekularisasi tidaklah sesuai dengan agama
Islam yang final dan otentik. Menurutnya sumber asli Islam adalah wahyu dan
bukan Budaya. Substansi Islam seperti iman dan amal, ibadah serta aqidah diberi
oleh wahyu dan diterjemahkan serta ditunjukkan oleh Rasulallah dalam perkataan
dan perbuatannya bukan tradisi dan budaya22.
Sementara Syamsudin Arif mengatakan bahwa sekularisme sebagai
ideologi, pada dasarnya memang tidak dapat bersenyawa dengan ajaran Islam
yang hakiki, yang menganggap kekuasaan politik sebagai sarana penegakan
agama. Dalam arti politik untuk kepentingan agama, bukan agama untuk
kepentingan politik sehingga kebenaran agama dan kekuasaan politik terkait erat
dan tak terpisahkan.23
B. Paradigma Islam Substantif
Kelompok ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang
serba lengkap dan bahwa Islam terdapat sistem kenegaraan, tetapi aliran ini juga
menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya
mengatur hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian
bahwa dalam Islam tidak terdapat system kenegaraan tetapi terdapat seperangkat
tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.24
Jenis pemikiran ini sebagaimana dikatakan Bachtiar Efendi, adalah sebagai
pikiran yang tengah-tengah25 yang mampu sebagai penengah antara pemikiran
22 Adnin Armas dalam “ Sebuah Catatan Untuk Sekularisasi Harvey Cox”, dalam
sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, h. 32. 23 Syamsudi Arif, Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama. Dalam sebuah Jurnal Islamia,
Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, h. 42. 24 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 2 25 Efendi, Jalan Tengah Politik Islam, h. 9.
xli
sekuler dan pemikiran teokrasi. Perhatian utama dari kelompok ini adalah bahwa
meskipun Islam meliputi nilai-nilai dan ide-ide tertentu, namun hal itu tidak serta
merta menggabungkan spritualitas dan politik. Sehingga mereka tidak
menentukan secara spesifik suatu bentuk pemerintahan. Mereka percaya bahwa
politik dan agama merupakan persoalan yang berbeda. Tetapi, antara keduanya
tidak mesti harus dihubungkan atau dipisahkan. Secara legal-formal dan simbolik
barangkali antara Islam dan politik tidak selamanya bisa diterima.
Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak mewajibkan pengikutnya
dengan cara apapun untuk mewujudkan ide-idenya dalam ranah politik. Mereka
berusaha menunjukkan bahwa Islam tidak mempunyai hubungan dengan politik
dan bahwa Islam adalah murni sebagai sebuah doktrin spritualitas dan bukanlah
sebagai sebuah doktrin politik. Meskipun demikian, secara substansial keduanya
sulit untuk dipisahkan. Menjadi sekuler, dalam pengertian yang sebenarnya bukan
perkara gampang-kalau tidak bisa sama sekali. Selalu saja terdapat nilai-nilai yang
akan mempengaruhi kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan politik. Termasuk
dalam hal ini nilai-nilai agama.26
Aliran dan model pemikiran yang kedua ini lebih menekankan substansi
daripada bentuk negara yang legal dan formal. Karena wataknya yang
substansialis itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan,
musayawarah, dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam), kecenderungan itu mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan
yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern, di mana negara
bangsa merupakan salah satu unsur utamanya.
26 Ibid., h.10
xlii
Refleksi kaum substansialis dalam bidang politik, pada dasarnya adalah
melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang
menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik.27
Pandangan mereka tersebut tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam
format pemikiran dan kelembagaan politik mereka. Kalangan subtantif cenderung
menginginkan Islam sebagai dasar etik dalam mengatur kehidupan masyarakat,
tanpa harus terlibat jauh dalam formalisasi. Bagi mereka, bentuk negara dan
institusi politik dalam pandangan Islam bukanlah bagian dari dogma agama,
sehingga bersifat sakral.
Tentang negara Islam pandangan kelompok ini mengakui bahwa Nabi
memang telah membentuk tertib politik sesudah migrasi nya ke Madinah. Akan
tetapi, mereka tetap bersikeras bahwa ini bukan merupakan hubungan intrinsik
antara Islam dan politik. Timbulnya otoritas Nabi di Madinah dianggap sedikit
banyak sebagai event historis, suatu situasi khusus dimana keadaan sosial politik
mendorong kearah itu, dan bukan merupakan suatu tugas agama yang termasuk
dalam wahyu Ilahi.
Kemudian bentuk perjuangan terhadap berlakunya syari’at Islam,
paradigma Substantif-Inklusifistik lebih cenderung pada sistem kulturalisasi,
biarkan berjalan mengikuti keinginan masyarakat, bukannya pemaksaan melalui
pensisteman sebagaimana yang diperjuangkan oleh kaum simbolik formalistik.
Lebih jelasnya lagi kalau paradigma Substantif Inklusif menggunakan cara Battom
Up, berangkat dari perspektif masyarakat, sedangkan paradigma simbolik
27 M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 155.
xliii
formalistik bersifat Top Down, pemaksaan dari atas ke bawah melalui sistem
negara.
Nurcholis Madjid sebagaimana yang dijelskan oleh Fachri Ali bahwa
Islam yang dimaksudkan itu adalah sebuah ajaran teologis dimana artikulasinya
tidaklah harus selalau dibatasi oleh sekat-sekat kelembagaan dan peraturan formal
yang mengedepankan label Islam. Sehingga Islam menyatu dalam nilai-nilai
masyarakat umum. Dalam hal ini Nurcholis Madjid tidak melepaskan nilai-nilai
Islam dalam dirinya, melainkan lebih mengarahkan pengejawantahannya kepada
sesuatu yang lebih substansial dan kualitatif: pengembangan etika publik
berdasarkan nilai-nilai Islam. Nilai Islam yang dapat berlaku pada dataran
nasioanal itu hanyalah nilai Islam yang bisa dan orang Islam sanggup
merumuskannya secara universal dan dan inklusif. Karena itu orang tidak
berbicara tentang negara Islam lagi. Negara Islam itu ekslusif tidak inklusif dan
merupakan penemuan manusia.28
Ia mencontohkan bahwa dulu waktu zaman Umayyah dan Abbasiyah tidak
ada ekspresi seperti itu. Negara Umayyah disebut daulah Umayyah, zaman
Abbasiyah disebut Daulah Abbasiyah. Tidak mungkin mengatakan daulah
Umayyah dan Abbasiyah itu lepas dari Islam. Sampai sekarang pun ahli sejarah
mengatakan bahwa Daulah Umayyah dan Abbasiyah itu dijiwai oleh Islam atau
dikatakan negara Islam tapi dalam makna negara yang dijiwai oleh nilai-nilai
Islam. Kemudian Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa orang Islam sekarang
berbicara tentang keadilan, persamaan antar manusia, hak pribadi, yang semuanya
ada dalam ajaran Islam namun inklusif dan inilah substansi dari ajaran Islam.
28 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai-Nilai Islam dalam Wacana
Sosial Politik Kontemporer (Paramadina: Jakarta, 1998), h. 173.
xliv
Sebagaimana orientasi yang digunakan oleh paradigma Substantif-inklusif,
bahwa urusan agama biarlah berjalan secara kultural, maka yang bertugas
menjaga keberlangsungan syari’at Islam adalah umat Islam itu sendiri, terutama
para ulamanya. Hal ini kenapa ? karena agama adalah penghayatan jiwa, dan
Antara orang satu dengan lainnya berbeda pengalaman dalam merasakannya.
Maka orang yang lebih mengerti keadaan sebagimana tadi adalah orang itu sendiri
dan ulamanya, bukan orang lain, apalagi negara, selain ia tidak bertatap muka
secara langsung dengan masyarakat juga didalamnya sarat dengan kepentingan
individu dan golongan. Kemudian tugas pemerintah disini adalah hanya sebagai
penjaga perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan dan
kenyamanan rakyatnya. Dengan kata lain negara hanya mengurus Sesuatu yang
berkaitan dengan kemashlahatan publik saja, bukan ikut campur dalam masalah
prifat.
Dukungan negara bukan saja terasa anakronis, tapi juga salah arah. Negara
tidak berhak menelusup masuk ke dalam hubungan antara manusia dengan
Tuhannya. Dengan kata lain, negara tak berhak mengintervensi kehidupan
keagamaan seseorang. Yang mendesak dilakukan sekarang adalah menciptakan
suatu format kehidupan demokratis yang berkeadaban (civility) dan format
kewargaan yang inklusif (inclusive citizenship) tanpa menelikung
ajaran-ajaran normatif suatu agama. Dan itu sulit terwujud jika pemeluk agama
hanya puas menerapkan hal-hal simbolik dan menafikan hal-hal substansial yang
menjadi inti (core) agama.
Ketika Nurcholis Madjid memberi perumpamaan Pancasila, bahwa
Pancasila bukanlah Islam namun konsep musyawarah yang ada dalam butir
xlv
Pancasila sudah melambangkan dan mengedapankan nilai-nilai Islam. Sementara
musyawarah bukanlah hanya ajaran Islam bahkan orang selain Islam juga
mengakui musyawarah sehingga tanpa pun musywarah diberi label Islam, hal itu
sudah mencerminkan etika Islam. Inilah yang dimaksud Nurcholis Madjid Islam
yang hadir dan diterima Publik.
Nurcholis Madjid menyesali kecenderungan mereduksi Islam hanya pada
tata cara ibadah. Tetapi hal yang jauh lebih penting adalah bagaimana Islam dalam
konteks substansialisasi artikulasi ajaran-ajarannya. Memberikan makna yang
lebih luas dan dinikmati secara maknai bukan hanya oleh kalangan Islam sendiri.
Sehingga Islam benar-benar mempunyai fungsi dan peran dalam sebuah konsep
Rahmat-an lil alamin dan inilah yang menjadi kunci dari pemikirannya.29
Caknur ingin membebaskan pengertian Islam dari penjara-penjara
partikularisme. Karena akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang yang
berawal dari pemaksaan generalisasi. Maka dalam konteks pemikirannya, satu-
satunya jalan membebaskan Islam dari sifatnya yang partikularistik itu adalah
dengan mengembalikan fungsi dan peran Islam kepada konteks universal dan
abadi: Rahmata-an lil alamin.
Semangat universalisme memfokuskan perhatian pada masalah-masalah
yang menjadi agenda manusia secara universal tanpa tapal batas agama dan
budaya.30 Bagi Caknur bahwa corak-corak pemikiran yang bersifat partikularistik
itu adalah bersifat nisbi dan tak harus dimutlakkkan. Pemutlakan pemikiran-
pemikran dan lembaga-lembaga itu bukan saja bersifat kontraproduktif dalam
29 Pengantar Fachri Ali dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai-
Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Paramadina: Jakarta, 1998), h. xxxix. 30 Ibid., h. xi.
xlvi
kehidupan riil tapi juga sangat sulit menyesuaikan diri dalam kehidupan yang
sesunguhnya yang sangat dinamis.
Nurcholis Madjid melihat bahwa pemutlakan pemikiran dan lembaga
tersebut sangat bahaya karena akan menimbulkan ideologisasai agama yang
menghambat inklusivitas Islam sehingga akan menghambat percepatan
perkembangan dan penerimaan publik terhadap Islam. Gagasan politik dan negara
berlabel Islam merupakan representasi paling nyata dari sifat partikularistik Islam.
Sebagaimana dijelaskan Fachry Ali bahwa pendirian negara Islam lebih
merupakan respons sosiologis dalam struktur kejadian sosial politik.
Apakah lantas apa yang disampaikan dan dijabarkan Caknur keluar dari
nilai-nilai Islam dan beranjak dari pemikiran sekuler? Fachri Ali menjelaskan
bahwa partisipasi Caknur dalam menyumbangkan pikiran dan kritik-kritiknya
terhadap dunia politik Indonesia, tidaklah beranjak dari kesadaran sekular,
melainkan merupakan perwujudan dan konsekuensi logis dari persepsi
keislamannya sendiri.31
Republik Mesir, Kerajaan Arab Saudi, Kerajaan Konstitusional Malaysia,
dan Demokrasi Indonesia adalah varian-varian negara Islam modern. Kebebasan
beragama, toleransi, anti-diskriminasi, penegakan hukum, keadilan dan HAM
adalah partikular dari maqhasidus syariah inilah sesungguhnya secara substansial
dengan nilai-nilai Islam.
Azyumardi dalam buku "Islam Substantif Agar Umat Tidak Menjadi Buih"
menuliskan, politik Islam di Indonesia dalam arti formalisme sudah tidak laku
karena pada umumnya, masyarakat lebih memilih Islam substantif. Jadi, katanya,
31 Ibid., h. xivi.
xlvii
apabila Islam mau berperan dalam politik, perannya adalah pesan substantif, yaitu
mengembangkan pesan-pesan moral dan tema-tema sentral seperti keadilan dan
egalitarianisme, bukan menonjolkan simbol.32
Kesimpulannya, hal yang diinginkan oleh golongan Substantif-Inklusif
dalam hubungan agama dengan negara adalah bagaimana antara ulama dan
pemerintah (agama dan negara) bisa saling mengisi satu sama lain. Para ulama
mengurus bagaimana moral umat/rakyat baik, kemudian pemerintah mengurus
dan mengupayakan tentang bagaimana kesejahteraan, ketentraman dan
perdamaian rakyat bisa tercapai.
Dalam Islam, etika menjadi acuan bagi politik dan segala bentuk aturan
tingkah laku politik yang diambil dari norma-norma etika Islam. Dengan
demikian, perhatian utama politik, yakni usaha mengkontrol struktur Negara,
meraih kekuasaan untuk kebaikan, menyapu bersih keburukan dan menciptakan
kehidupan yang lebih baik, semuanya relevan dan dianjurkan oleh Islam.33 Islam
memberikan perhatian penting terhadap aktivitas-aktivitas ini, yang
membedakannya dengan yang lain adalah bahwa kehidupan politik harus
ditempatkan dalam kerangka kehidupan keagamaan dan spiritual yang lebih luas.
C. Paradigma Sekuler
Kata sekularisme telah banyak digunakan dalam berbagai cara dalam
sejumlah perspektif yang berbeda. Di negara-negara Protestan, sekularisme
diartikan sebagai kebijakan memisahkan gereja dari negara. Di negara-negara
32 Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih (Bandung: Mizan,
2000), h. 145. 33 Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam. Penerjemah Munir A. Mu’in dan Widyawati
(Bandung, Pustaka, 2001), h. 25
xlviii
Katolik, menekankan pembedaan antara orang awam dari kaum pendeta. Istilah
tersebut menunjuk pada dua aspek yang sama dan digunakan dalam hubungannya
dengan masalah-masalah dualitas, yaitu pertentangan atau pemisahan antara
gereja dan negara.
Masalah yang cukup menyita perhatian kaum Muslimin saat ini adalah
masalah hubungan agama dan negara. Masalah ini menjadi mendesak disebabkan
oleh munculnya negara-negara bangsa (Nation State) dan berhembusnya semangat
sekularisme yang dibawa oleh Barat modern. Modernisasi dunia Islam dimulai
pada abad ke -19. Berbagai perlawanan yang dilakukan untuk menandingi Barat
dimulai pertama kali oleh kekhalifahan Usmani dibawah pimpinan sultan
Mahmud II (1808- 1839).
Sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah
ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri
terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekulerisme dapat menunjang kebebasan
beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan
sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak
menganakemaskan sebuah agama tertentu34.
Pemikiran tentang sekulerisasi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Harvey
Cox dalam bukunya yang berjudul The secular City. Sehingga gagasan sekuler
nya tampak lebih popular dan terformulasi dengan lebih sistematis. Harvey Cox
berpendapat sekularisasi adalah pembebasan manusia dari proteksi agama dan
metafisika, pengalihan dari alam lain kepada dunia ini. (Secularization is the
liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his
34 Lihat http:/id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme yang diakses pada tanggal 5 April 2008
xlix
attention away from other worlds and toward this one)35. Harvey Cox
menegaskan bahwa sekularisasi membebaskan masyarakat dari kontrol agama dan
pandangan alam metafisik.
Di dunia Islam sekularisasi bukan hanya sebuah proses, tapi juga telah
menjadi paradigma, ideologi dan dogma yang diyakini kebenarannya dan digarap
secara sistematis dan terencana. Sekularissai dianggap sebagai prasyarat
transformasi masyarakat tradisional menjadi modern. Pendukung arus sekular
menyuguhkan analisis yang penuh optimis atas nilai-nilai Barat, dan
mengukuhkannya sebagai konsep Islam. Singkatnya arus ini tidak memberikan
peluang kepada warisan politik Islam untuk berkembang atau berevolusi.36
Dalam istilah politik, sekulerisme adalah pergerakan menuju pemisahan
antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi
keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum
keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil
dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi
hak-hak kalangan beragama minoritas.37
Sekulerisme, seringkali di kaitkan dengan Era Pencerahan di Eropa, dan
memainkanm peranan utama dalam Peradaban Barat. Prinsip utama Pemisahan
gereja dan negara di Amerika Serikat, dan Laisisme di Perancis, didasarkan dari
sekulerisme. Kelompok sekuler percaya bahwa Islam dan politik harus
dipisahkan. Dan tidak mungkin antara keduanya disatukan. Bagi mereka, Islam
adalah sistem keagamaan, tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan politik
35 Dikutip dari Adnin Armas dalam tulisannya Sebuah Catatan Untuk Sekularisasi
Harvey Cox, dalam sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, hal. 28.
36 Vaezi, Agama Politik, hal. 3. 37 Lihat http:/id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme yang diakses pada tanggal 5 April 2008
l
atau pemerinthan. Pola pemisahan agama dan negara ini, menolak eksistensi
“negara agama”, juga kaitan hukum keagamaan.
Pandangan An-Naim tentang sekuler, memang harus ada pemisahan antara
negara dan agama supaya dapat dijalankan oleh pemeluknya dengan suka rela
tanpa ada paksaan dari negara. Namun dalam pengertian sekulernya An-Naim
mendefinisikannya sebagai netralitas negara terhadap semua agama, sebagai
kerangka untuk mengatur peran politik agama, dan bukan sebagai alat untuk
meminggirkan agama dari domain publik.38
Islam tidak mempunyai sistem politik, dan apa yang dilakukan Nabi saw
pada masanya tidak bisa disebut sebagai pengalaman pemerintahan Islam klasik.
Bagi mereka kegagalan dunia Islam di dalam membangun sistem politik modern,
termasuk yang bertumpu pada demokrasi, diakibatkan oleh ketidak mampuan
melihat dan memperlakukan agama dan politik sebagai dua entitas yang berbeda
dan terpisah. Dalam sejarah Islam, pandangan seperti ini sering diasosiakan
dengan praktik politik Ataturkisme atau Kemalisme di Turki. Atau sering juga
dirujukkan kepada pemikiran-pemikiran Ali ibn Abd Raziq, pemikir Mesir pada
dasawarsa 1920-an.
Ali Abd Al-Raziq ( 1888-1966), seorang syaikh di Universitas al-Azhar
Kairo Mesir, telah memicu kontroversi yang meledak pada tahun 1952 ketika
bukunya, Al-Islam wa-Ushul Al-Hukm ( Islam dan Akar Pemerintahan),
menyatakan bahwa kekuasaan Agama dan administratif Nabi adalah terpisah.
Pemerintahan Muhammad atas komunitas Muslim Madinah bukanlah bagian dari
38 Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan masa depan
syariah. Penerjemah Sri Murniati (Jakarta: Mizan, 2007), h. 436
li
misi kenabiannya, dan para penerusnya, para khalifah hanyalah meneruskan
kekuasaan temporalnya.
Ia mengklaim bahwa khalifah tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, Hadits
maupun ijma’ ulama. Islam tidak memberikan aturan yang pasti tentang sistem
pengaturan dan pengelolaan negara. Baginya Muhammad hanyalah seorang Nabi,
bukan penguasa. Ia Cuma ditugaskan untuk mengajarkan akhlak dan agama,
bukan politik dan tata negara. Oleh karena itu, agama tidak mesti dibawa-bawa
dalam urusan kenegaraan. Urusan politik, pola pemerintahan, administrasi negara
dan lain-lain tidak ada sangkut pautnya dan karena itu tidak perlu dikaitkan
dengan agama.
Ali Abd Al-Raziq berargumen bahwa Nabi adalah pembawa misi agama,
ia tidak mempunyai sebuah pemerintahan dan juga tidak berusaha mendirikan
sebuah kerajaan dalam arti politik atau semacamnya. Sehingga ia berpendapat
bahwa upaya pendirian sebuah pemerintahan tidak dipandang sebagai bagian dari
ajaran Islam.
Penulis Pakistan Qamaruddin Khan, telah berpendapat bahwa teori politik
Islam tidak muncul dari Al-Qur’an tetapi dari keadaan dan bahwa negara
bukanlah merupakan hal yang dipaksakan secara ilahiyah ataupun yang sangat
dibutuhkan sebagai sebuah institusi sosial. Konstitusi muslim bersifat fleksibel
dan tidak semestinya menjadi institusi yang kaku dan tidak dapat dipertahankan
secara intelektual sebagaimana yang sudah terjadi. Ia telah menjadi alat untuk
mempertahankan status quo politik di dalam masyarakat muslim.
Menurut Al-Jabiri pertanyaan apakah Islam itu agama atau negara adalah
merupakan sebuah pertanyaan palsu karena tidak memantulkan realitas kaum
lii
Muslimin itu sendiri. Kemudian Al-Jabiri menjelaskan bahwa jika kita mau jujur
menalaah Al-Qur’an dan sejarah Islam, maka kita akan menemukan dengan jelas
fakta-fakta yang menunjukkan dengan jelas bahwa Islam sama sekali tidak
menentukan jenis dan bentuk negara. Masalah negara adalah merupakan sebuah
ijtihad. Singkatnya masalah negara menurut Al-Jabiri adalah masalah yang
tergolong pada apa yang dikatakan Nabi bahwa kamu lebih tahu tentang urusan
dunia mu.
Lebih jauh Al-Jabiri mengatakan: Sesungguhnya bentuk negara dalam
Islam bukanlah termasuk hal-hal yang diatur dalam Islam. Ia termasuk masalah
yang diserahkan kepada kaum muslimin agar mereka berijtihad sesuai dengan
pertimbangan manfaat dan kemaslahatan serta berbagai standar yang ada pada
setiap zaman. Karena itu mengatakan bahwa Islam agama sekuler menurut saya
sama salahnya dengan mengatakan bahwa Islam bukan agama sekuler karena
sekularisme dalam arti memisahkan agama dari negara tidak dikenal dalam Islam
karena tidak ada gereja dalam Islam. Adapun yang dimaksud dengan pemisahan
adalah terpisahnya ulama dari umara, tentara dari rakyat, yakni apa yang kita
sebut sekarang sebagai pemisahan agama dari politik dan tiadanya izin bagi
tentara untuk terlibat dalam partai-partai politik, maka inilah yang secara aktual
telah terjadi sejak muawiyah, dan inilah yang membentuk bagian terbesar dari
pengalaman historis umat Islam.39
Dalam pengertian Amien Rais bahwa sekularisme merupakan suatu
ideologi ataupun paham hidup yang mengajarkan bahwa agama merupakan
masalah pribadi dan masalah subyektif setiap individu yang hanya bermanfaat
39 Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah. Penerjemah
Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001), h. 19
liii
untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kejiwaan.40 Para pendukung sekularisme
berpendirian bahwa agama harus sama sekali terpisah dari urusan-urusan dunia.
Dalam pandangan mereka, konsep negara agama merupakan sebuah konsep yang
sudah usang dan tertinggal dan hanya terbatas pada zaman dimana manusia masih
miskin ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam mengatur tertib sosialnya,
sehingga mereka memerlukan agama dalam mengatur hubungan-hubungan antara
mereka dalam masalah hukum, ekonomi, politik ,dan kebudayaan.
Paradigma ini berpendapat bahwa negara bukan merupakan suatu
kewajiban agama. Dalam pengertian bahwa agama sama sekali tidak menyebut
kewajiban mendirikan negara, namun tidak pula mewajibkan untuk
mengabaikannya, melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum muslim.41
Para pemburu sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan agama dari
politik karena bagi mereka Islam hanya terbatas pada masalah moral dan
pribadi.42
Mereka menitikberatkan pandangan mereka pada sebuah konsep
rasionalitas. Rasionalitas sekuler beranggapan bahwa intelektual manusia sanggup
untuk membentuk pengetahuannya sendiri tanpa bantuan wahyu. Oleh karena itu
manusia mampu membangun ilmu pengetahuan alam, humaniora, filsafat, hukum
dan lain-lain tanpa bantuan Tuhan ataupun agama.
Hal inilah yang menyebabkan cara berpikir sekuler hanya menyisakan
sedikit ruang untuk agama. Sehingga pemikiran seperti ini telah membatasi peran
agama sebagai hanya mengatur hubungan antara manusia dengan penciptanya,
40 Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Mizan: Bandung,
1998), hal. 75. 41 Al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah, h. 19. 42 Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 8.
liv
tanpa harus turut campur dalam masalah tertib sosial dan politik. Hal ini
disebabkan karena hubungan sosial merupakan bagian dari urusan manusia bukan
urusan wahyu. Pemisahan agama dari politik hanyalah salah satu bagian saja dari
sekularisme. Menurut mereka, pemisahan agama bukan hanya dari poltik saja,
tetapi juga dari etika, seni, hukum, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
mereka tidak hanya mendukung negara sekuler, tapi juga hukum sekuler,
kebudayaan sekuler, ilmu pengetahuan sekuler dan seterrusnya.43
Anggapan tentang penyatuan agama dan politik, din wa-daulah, adalah
tidak berguna karena tiga alasan:44
Pertama, ia melebihkan keunikan politik muslim. Karena menurutnya
agama jelas merupakan hal yang sentral bagi kehidupan politik rakyat di seluruh
dunia, bukan hanya bagi kaum muslimin.
Kedua, tekanan pada din wa-daulah secara tidak sengaja mengabadikan
asumsi para orientalis bahwa politik Muslim, tidak seperti politik yang lain, tidak
dibimbing oleh perhitungan rasional berbasis kepentingan. Akibatnya, disebabkan
oleh selalu terlibatnya agama, Muslim lalu dianggap terlalu bernafsu, tak
terkendali, tak kenal kompromi, dan tak mungkin untuk diajak bernegosiasi.
Ketiga, asumsi din wa-daulah ikut menyumbang pandangan bahwa politik
merupakan sebuah jaring tak berjahit, yang bagian-bagiannya tidak dapat
dibedakan karena adanya interpenetrasi yang alami dan mutual antara agama dan
politik. Karena Islam dianggap memasukkan semua aspek kehidupan dan segala
sesuatu lalu diasumsikan bersifat politis, maka struktur politik menjadi
teremehkan.
43 Vaezi, Agama Politik, hal. 13. 44 Dale F. Eickelman , dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan,
1998), hal. 71.
lv
Turki sebagai salah satu contoh negara sekuler, apakah bentuk negara
sekuler mereka yang digagas Mustafa Kemal Ataturk sejak 1920an dapat
dijadikan salah satu model terbaik dari penerapan sekularisme? Meskipun dalam
banyak hal, banyak yang setuju dengan penerapan sekularisme di Turki. Namun,
untuk persoalan larangan mengenakan hijab (atau jilbab) bagi mahasiswi di
universitas, banyak muslim lainnya sangat tidak sepakat.
Negara paling sekuler pun harus tetap menjamin kebebasan menjalankan
keyakinan agama bagi setiap warga negaranya. Dalam hal ini, negara tidak perlu
mencampuri keinginan warga negaranya dalam menjalankan syariat agama
mereka masing-masing, termasuk menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti
hijab, kalung salib, dan lain lain. Ini seharusnya menjadi bagian terpenting dalam
penerapan sekularisme, yaitu jaminan atas kebebasan dan hak individu.
Menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im, sebagai ajaran suci, Syariah
haruslah dilaksanakan setiap Muslim secara sukarela. Karena itu, penerapannya
oleh negara secara formal dan paksa dalam bentuk formalisasi syariah akan
membuat ia kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya. Na'im dengan tegas
menolak formalitas syariah Islam yang dipaksakan oleh negara. Sebaliknya,
penerapan syariah harus sukarela agar bisa berperan positif dan mencerahkan bagi
kehidupan umat Islam sendiri.
Na'im juga menuturkan, harus ada pemisahan agama dan negara. Negara
haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip agama mana pun. "Syariah
harusnya menjadi semangat etis negara bahwa ada landasan moral pada setiap
kebijakan negara, walaupun tidak harus diterjemahkan dalam kebijakan yang
memihak kepada Islam saja. An-Na'im menawarkan pandangan jalan tengah
lvi
antara kaum fundamentalis yang menghendaki penyatuan agama dan negara
dengan kalangan sekuler liberal yang ingin pemisahan total keduanya.
Saya mendukung negara sekuler, tapi saya tidak mendukung masyarakat sekuler. Ada perbedaan mendasar. Pada masyarakat sekuler, agama tidak punya peran sama sekali dalam kehidupan sosial. Tapi, pada masyarakat religius yang tinggal dalam negara sekuler, faktanya justru masyarakat itu lebih religius dibandingkan dengan yang berada di negara Islam. Ini karena masyarakat mengikuti Islam atas kesadaran, bukan paksaan.45 Menurut An-Naim pemisahan antara negara dan Islam tidak berarti bahwa
Islam menurunkan Islam ke level privat karena prinsip-prinsip Islam sebetulnya
masih bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi kebijakan atau undang-
undang negara. Namun, pengajuan ini harus didukung oleh public reason yang
berarti bahwa berbagai argumen bisa diperdebatkan oleh semua warga negara
tanpa harus merujuk pada keyakinan agama.46
Syariah Islam dinilai memiliki masa depan yang cerah untuk kedamaian
publik. Namun, bukan dengan cara memformalkan syariah karena upaya
memformalkan syariah sebagai hukum formal justru dapat menyebabkan ia
kehilangan otoritas dan kesuciannya. Namun betapa pun, dia yakin bahwa Islam
tak dapat dislenggarakan oleh negara, juga tak bisa dilepaskan dari kehidupan
publik masyarakat-masyarakat Islam.47
45 Hasil wawancara Asrori S. Karni dan Basfin Siregar dari Gatra dengan An- Na'im
di Hotel Kristal, Jakarta ketika kunjungannya di Indonesia. Diakses pada tanggal 5 April 2008 dari situs http://groups.yahoo.com/group/telaga_hikmah/message. html.
46 An-Naim, Islam dan Negara Sekuler, h. 212. 47 Ibid., h. 78
lvii
BAB IV
PEMIKIRAN POLITIK ABULLAHI AHMED AN-NA’IM
A. Islam, Politik dan Negara
Subyek kajian Islam, politik, dan negara memang belum mencapai
finalnya di antara kalangan politikus Muslim, intelektual Muslim dan beberapa
tokoh lainnya serta masih menyelimuti perdebatan yang mendalam tentang
bagaimana idealnya hubungan antara Islam, politik, dan negara. Antara satu
pemikiran dengan pemikiran yang lain sudah mencerminkan perbedaan yang
sangat mencolok. Penerapan syariah Islam masih terus menjadi perdebatan.
Sejumlah kalangan menganggap syariah perlu diadopsi secara resmi dan
diterapkan oleh negara. Kalangan lainnya, menilai syariah cukup dijalankan
secara individual maupun komunal.
Memang Keterkaitan antara Islam dan politik sudah berlangsung sejak
masa awal Islam. Bahkan, ketika pertama kali Islam didakwahkan, nuansa-nuansa
politik sudah menyertai perjalanan agama yang dibawa Nabi Muhammad ini. Baik
mereka yang sejak awal menerima Islam dan karenanya berkewajiban untuk
membelanya atau mereka yang pada mulanya menolak Islam dan kerenanya ingin
menghentikanya- sama-sama mengambil langkah yang bersifat politik.
Islam merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik.
Antony Black dalam bukunya Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini yang diterjemahkan dari judul aslinya The History of Islamic Political
lviii
Though: From the Prophet to the Present terbitan Edinburgh University Press,
2001, menjabarkan bahwa pemikiran politik Islam terentang mulai masalah etika
politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Black juga
mengungkapkan bahwa pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran
politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno.48 Tapi keragaman khazanah pemikiran
politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan
agama dan negara. Bolehlah kita sebut pemikiran para pemikir Muslim yang
menginginkan pemisahan Islam, politik, dan negara sebagai pemikiran politik
Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam, politik, dan negara
sebagai pemikiran Islam politik.
Sebagaimana sudah dijelaskan di Bab III, bahwa setidaknya ada tiga
paradigma dalam menjawab hubungan Islam, politik, dan negara oleh karena itu
melalui paradigma ini pula, kita tahu bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah
pertarungan antara pemikiran politik Islam dan pemikiran Islam politik.49 Dalam
Bab ini penulis mencoba mendsikripsikan pandangan salah satu intelektual
muslim yaitu Abdullahi Ahmed An-Na’im sebagai salah seorang guru besar di
Emory Law University, Atlanta, Amerika Serikat yang konsen membicarakan
tentang subyek tersebut.
Abdullahi Ahmed An-Na’im sendiri menyatakan sebaiknya syariat
diterapkan oleh umat Islam tanpa harus melalui sebuah penerapan yang dilegalkan
oleh negara. Ia bahkan menyatakan, tak diformalkannya syariah akan menjadikan
umat Islam lebih baik. Karena pelaksanaannya, didasari oleh kesadaran umat
48 Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini.
Penerjemah Abdullahi Ali & Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2006), h. 17-25 49 Istilah politik Islam sering digunakan untuk sebutan gerakan Islam kultural tanpa
menjadikan Islam sebagai sebuah idologi sementara Islam politik sering diistilahkan dengan Islam struktural yang menghendaki Islam sebagai sebuah Ideologi.
lix
Islam sendiri bukan karena paksaan negara.50 Menurut dia, syariah memiliki masa
depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam karena dapat
berperan dalam menyiapkan anak-anak untuk hidup bermasyarakat, membina
lembaga, dan berhubungan sosial. Syariah akan terus memainkan peran penting
dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang
dapat direfleksikan dalam perundangan- perundangan dan kebijakan publik
melalui proses politik yang demokratis51. Namun, prinsip-prinsip atau aturan-
aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara
sebagai hukum dan kebijakan publik dengan alasan bahwa prinsip-prinsip dan
aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah, dan apabila pemberlakuan
syariah seperti itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara dan
bukan hukum Islam.
Intinya, negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip
agama mana pun. Netralitas di sini tidak berarti negara secara sengaja
memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat, melainkan
semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung,
berkeberatan, atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau
prinsip-prinsip agama. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Abdul
Rasyid Moten tentang sekularisme dunia ketiga ketika mengutip argumen
Gajendragadkar bahwa sekularis bukan berarti hilangnya agama dalam arena
umum. Sekularisme semata-mata berarti kenetralan negara dari agama, yang
50 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa
Depan Syariah. Penerjemah Sri Murniati (Jakarta: Mizan, 2007), h. 16 51 Ibid.,h. 15
lx
kemudian diinterpretasikan, sebagai kesempatan bagi semua agama untuk
melindungi negara dan berpartisipasi dalam urusan-urusan umum52.
Modernis Fazlurrahman yakin bahwa injeksi politik ke dalam lingkungan
agama telah bersifat merusak. Dia menyatakan bahwa ajaran-ajaran Islam harus
mengatur politik, tetapi apa yang sebaliknya terjadi adalah eksploitasi organisasi
dan konsep Islam oleh kelompok dan elit politik. Hasilnya adalah politik “hasutan
omong kosong”, bukannya politik yang terilhami oleh moral53. Slogan agama dan
politik dalam Islam tak terpisahkan kadang-kadang hanya dipergunakan untuk
menipu orang-orang awam agar menerima bahwa alih-alih politik atau negara
yang melayani tujuan jangka panjang Islam, tetapi pada kenyataannya bahwa
Islam justru hanya dijadikan untuk melayani tujuan-tujuan sesaat partai-partai
politik. Nafsu kekuasaan tanpa sungkan-sungkan mengangkangi nilai-nilai etik-
moral keagamaan.
Sebagai sebuah institusi politik, negara bukanlah sebuah entitas yang bisa merasakan, mempercayai, atau menindak. Manusialah yang selalu bertindak atas nama negara, menggunakan kekuasaan atau menjalankannya melalui organ-organya.54 Ide negara Islam menurut An-Naim merupakan suatu yang kontradiktif.
Negara adalah institusi politik. Islamic state adalah suatu kontradiksi. Istilah
Islamic di situ menurutnya digunakan secara ceroboh. Jadi gagasan itu merupakan
suatu gagasan yang sangat tidak koheren. Itu adalah suatu kesalahan sejarah. Ide
negara Islam adalah suatu ide pasca-kolonial. Ini bukan ide yang muncul dari
sejarah Islam. Negara adalah institusi politik dan birokratik dengan suatu hierarki
52 Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam. Penerjemah Munir A. Mu’in dan Widyawati
( Bandung: Pustaka, 2001), h. 7 53 Dale F. Eickelman , dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, (Bandung: Mizan,
1998), hal. 68 54 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 28.
lxi
dan kekuasaan yang ekspansif yang mengontrol hampir semua aspek kehidupan
kita, terlepas dari apakah kita menyukai hal ini atau tidak.
Syariah adalah sistem norma dalam Islam. Otoritasnya adalah religius dan
bukan sekular. Dalam arti ia tidak ada dalam wewenang negara. Dengan kata lain,
negara menyimpang jika ia menerapkan syariah. Menurut An-Na’im, bahwa
mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif Islam di kalangan
umat Muslimin, bukan melalui penerapan prinsip secara paksa oleh kekuatan
negara. Hal ini karena dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan
secara sukarela oleh para penganutnya. Sebaliknya, prinsip syariah kehilangan
otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan negara55. Karena itu, pemisahan
Islam dan negara secara kelembagaan sangat perlu agar syariah bisa berperan
positif dan mencerahkan bagi umat Islam. Pendapat ini disebut An-Na’im sebagai
netralitas negara terhadap agama. Azyumardi Menjelaskan bahwa alasan An-
Na’im ini berangkat dari asumsi, umat Islam di manapun, baik sebagai mayoritas
maupun minoritas-dituntut menjalankan syariah Islam sebagai bagian dari
kewajiban keagamaan. Tuntutan ini dapat diwujudkan sebaik-baiknya manakala
negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan; dan tidak berusaha
menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundangan negara.56
Menurut saya, saya membutuhkan negara sekuler untuk menjadi muslim yang lebih baik. Artinya, memerlukan negara yang membiarkan saya sendiri dan bukan memaksakan agama terhadap saya. Sehingga saya bisa menjadi seorang muslim sesuai pilihan saya. Jika negara memaksakan pandangan Islamnya terhadap saya, maka saya tidak bebas memilih bagaimana saya menjadi muslim. Bukan karena saya tidak punya pilihan57.
55 Ibid., h. 18 56 Azyumardi Azra, “Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah,” Republika, 26 Juli 2007. 57 Hasil wawancara Fathiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im melalui VHRmedia.com. Diakses pada tanggal 27 April 2008 dari
http://apri23.multiply.com/journal/item/7/ Buat_Pak_PeAceMan_Tuh_Kan_Pak.An_Naim_Liberal_Abiss. html
lxii
Negara sekular adalah negara yang netral dalam hal doktrin-doktrin
keagamaan. Dia tidak berpihak pada agama tertentu. Dia juga tidak mendukung
atau memusuhi agama tertentu. Kenetralan negara dalam hal doktrin keagamaan
inilah yang membuat agama mungkin berkembang dalam masyarakat. Karena
hanya masyarakat yang merupakan tempat di mana agama bisa berkembang dan
berada58. Dengan demikian, negara dan Islam harus secara institusional
dipisahkan. Negara tidak boleh bersifat Islam. Negara harus netral. Negara akan
menjadi korup jika ia mengklaim suatu keyakinan keagamaan tertentu. An-Na’im
hanya ingin menjelaskan bahwa syariah Islam tidak mungkin dapat dijadikan
peraturan dan hukum publik melalui institusi negara. Karena hal itu dinilainya
bertentangan dengan sifat dan tujuan syariah itu sendiri, yaitu dijalankan dengan
sukarela oleh penganutnya. Ia menekankan perlunya menjaga netralitas negara
dan memisahkannya secara kelembagaan dari agama.
Kemudian Azyumardi dalam tulisannya tentang An-Na’im itu melanjutkan
bahwa negara tetap tidak bisa dihindari dari kepentingan politik masyarakat yang
tinggal dalam sebuaha negara. Ungkapan itu dikutif sebagai berikut:
Namun, ini tidak berarti negara tidak dapat atau harus sepenuhnya bersikap netral, karena ia merupakan lembaga politik yang sudah tentu dipengaruhi kepentingan warga negara. Perundangan dan kebijakan publik memang seharusnya mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai warga negara, termasuk nilai-nilai agama. Tapi penting digarisbawahi, tulis An-Na’im, bahwa hal itu tidak dilakukan atas nama agama tertentu.59
58 Diskusi yang disampaikan Abdullahi Ahmed An-Naim di Freedom Institute, Rabu 1 Agustus 2007. Daikses pada tanggal 27 April
2008 dari http://www.freedom-institute.org. html
59 Azyumardi Azra, “Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah,”
lxiii
Dengan demikian, negara dan Islam harus secara institusional dipisahkan.
Negara tidak boleh bersifat Islam. Negara harus netral. Negara akan menjadi
korup jika ia mengklaim suatu keyakinan keagamaan tertentu, tegas An-Na’im.
Alasan utama lainnya menurut An-Na’im untuk menekankan pentingnya
netralitas negara atas agama karena hal itu merupakan syarat mutlak pemenuhan
ajaran-ajaran Islam dan perwujudannya sebagai kewajiban-kewajiban keagamaan
bagi setiap individu muslim. Ketika umat Islam ingin mengusulkan kebijakan atau
perundang-undangan yang bersumber dari agama atau keyakinnanya,
sebagaimana seluruh warga negara memiliki hak yang sama, mereka harus
mendahulukan nalar public ( public reason ).
Nalar publik adalah bahwa alasan, maksud dan tujuan kebijkan publik atau
perundang-undangan harus didasarkan pada pemikiran warga yang pada umumya
bisa menerima atau menolak60. Nalar dan penalaran publik, dan bukan keyakinan
dan motivasi personal, mutlak adanya bagi kaum muslim, baik sebagai penduduk
mayoritas atau minoritas, karena sekalipun muslim sebagai mayoritas mereka
tidak lantas bersepakat terhadap kabijakan dan perundang-undangan yang cocok
dengan kayakinan Islam mereka. Keseluruhan proses formulasi dan implementasi
kebijakan dan perundang-undangan publik tunduk kepada kesalahan dan
kekeliruan manusia, dan selalu bisa ditentang dan dipertanyakan tanpa melanggar
kehendak Tuhan. Inilah pertimbangannya mengapa persolan kebijakan dan
perundang-undangan publik harus didukung oleh nalar publik, termasuk di
kalangan Muslim yang bisa saja tidak bersepakat dalam semua persoalan seperti
itu, tanpa harus melanggar kewajiban-kewajiban agama mereka.
60 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 22-23
lxiv
Baginya, Islam tidak bisa dipisahkan dari politik. Tapi Islam harus
dipisahkan dari negara. Sebab negara adalah produk politik dan Islam adalah
produk Tuhan. Dan sebagai Muslim, mereka akan berperilaku secara politik
sebagai seorang yang beriman dan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
publik. Namun sebagai produk politik, negara harus dipisahkan dari Islam.
Pernyataan bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan bukan hanya pernyataan
menyangkut Islam, tapi itu berkaitan dengan semua agama. Semua agama bisa
mengklaim hal yang serupa. Sifat agama menjadikan orang yang beriman akan
bertindak secara politik sebagai orang yang beriman. Perilaku orang beriman akan
diresapi dengan keyakinan-keyakinan keagamaan mereka.
Di samping itu, negara menurutnya adalah institusi politik, warganya
diperlakukan setara. Jadi ide negara syariah berarti mengesampingkan
kemungkinan perlakuan yang sama terhadap warga negara. Dalam sistem negara
sekular, dalam pandangannya bahwa kita tidak bisa melakukan diskriminasi
terhadap warga non-Muslim atau kepada warga yang Muslim seperti yang ada
dalam sistem syariah. Gerakan syariah adalah tren yang berbahaya. Sebab apa
yang diharamkan (illegitimate) dan dianggap salah, hanya didasarkan dari sudut
pandang Islam. Inilah yang dimaksud An-Na’im bahwa negara syariah jelas
melanggar HAM internasional, seperti yang disuarakannya dalam artikel-
artikelnya.
Penegasan An-Na’im bahwa pemisahan Islam dan negara bukan berarti
tidak memberikan peran pada Islam dalam kebijkan publik, perundang-undangan
atau kehidupan publik secara umum, tapi peran itu harus didukung oleh apa yang
disebut Nalar Publik, dan harus tunduk kepada prisai-prisai konstitusonal serta
lxv
perlindungan hak-hak asasi manusia. Karena menurut An-Na’im bahwa tuntutan
pemisahan yang tegas tanpa memperhitungkan peran publik agama tidaklah
realistis dan menyesatkan.61
Dalam sebuah wawancara Fathiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im, ketika
ditanya apakah negara mayoritas muslim harus melaksanakan hukum syariah?
An-Na’im menjawab bahwa:
Bukan sebagai negara, melainkan sebagai masyarakat. Sebagai muslim kita harus melaksanakan syariah. Tapi ada perbedaan antara menjalankan dan menerapkan. Menjalankan bersifat sukarela, sedangkan menerapkan berarti ada pemaksaan dan ini berlawanan dengan semangat syariah. Karena syariah menghormati kebebasan memilih dan kepercayaan orang, bukan atas dasar pemaksaan. Kaum muslim tentu tidak sepakat jika negara memaksakan syariah62. Menurut pendapat saya bahwa pelaksanaan syariat Islam berdasarkan
kesadaran umat Islam itu sendiri sebagaimana yang dimaksud An-Na’im, secara
teori benar tetapi realitasnya sulit dilaksanakan dan bahkan Islam akan terus
meredup, tidak berpengaruh. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peran ulama dalam
memberikan pemahaman keagamaan kepada masyarakat agar tidak menyalahi dan
menyelewengkan ajaran Islam (syariat) sehingga masyarakat tidak hanya
memahami atau melaksanakan ajaran Islam berdasarkan kemauannya sendiri.
Pemisahan Islam dari negara harus dilakukan demi menjaga netralitas negara
terhadap ajaran agama lain, tetapi bukan menghilangkan peran ulama dalam
masyarakat Islam.
B. Islam dan HAM
61 Ibid., h. 62
62 Hasil wawancara Fathiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im melalui VHRmedia.com
lxvi
Manusia pada hakikatnya, secara kodrati dinugerahi hak-hak pokok yang
sama oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi manusia
(HAM). Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang
melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan
harkat dan martabat manusia. Pada gilirannya, hak-hak dasar atau hak-hak pokok
yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, hak-
hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Tujuan utama HAM bagi An-Na’im adalah untuk meyakinkan
perlindungan yang efektif terhadap beberapa hal penting yang merupakan hak
semua manusia di mana pun berada, termasuk di negara yang tidak menjamin
keberadaan hak itu dalam undang-undang dasar63. Sehingga bagaimanapun dan
dalam bentuk apa pun bahwa penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia
tetap menjadi hak setiap manusia. Deklarasi HAM bertujuan melindungi
keluhuran manusia dan menaikkan taraf kesejahteraannya di manapun berkat
universalitas nilai moral dan politik yang dikandungnya. Dengan universalitsas
yang dikandungnya, maka setiap kekuasaan hukum dan konstitusi di sebuah
negara bertugas untuk melindunginya. HAM mengatur hubungan antar individu
dan semua hubungan ini harus berdasarkan nilai persamaan dan menghargai orang
lain. Ketika itu terjadi dalam masyarakat, maka akan tergambar dalam kehidupan
bernegara. Jadi, yang bisa dilakukan oleh negara adalah seperti yang sudah
dilakukan oleh masyarakat.
Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang
menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya.
63 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 179
lxvii
Melalui deklarasi universal HAM 10 Desember 1948 merupakan tonggak
bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Islam
sebagai agama, pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life
yang berarti pandangan hidup. Islam menurut para penganutnya merupakan
konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia. Begitu juga
dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia, Islam pun mengatur mengenai hak
asasi manusia. Harmonisasi antara tradisi Islam dan konsep HAM modern adalah
sesuatu yang niscaya, sehingga hukum Islam pra-modern yang menghambat
kemungkinan itu haruslah ditafsir ulang64. Mereka yang mendukung gagasan
HAM menegaskan bahwa hukum-hukum (Islam pra-modern) itu adalah rumusan
manusia, karena itu perumusannya kembali bukan saja tidak boleh, bahkan
diperlukan.
Dalam Islam, konsep HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri
dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam
sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam. Karena
dalam demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang
spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita
temukan didalamnya konsep tentang penegakan HAM. Bahkan HAM dalam Islam
telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu65. Fakta ini mematahkan
bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hak asasi manusia, hal ini
terbukti dengan adanya jaminan Islam terhadap HAM melalui berbagai cara.
64 Budhy Munawar Rahman, “HAM dan Persoalan Relativitas Budaya” dalam
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara & Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 471
65 Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta: Republika, 2004), h. 91
lxviii
Menurut Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, setidaknya ada tiga hal yang
membuktikan keterkaitan Islam dengan HAM.66 Pertama, dalam al-Qur’an
memang tidak dipaksakan untuk memeluk agama Islam dan “dibebaskan untuk
tidak beragama.” Seperti yang ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 29
yang berarti : “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa ingin
beriman, hendaklah ia beriman. Barangsiapa ingin kafir, biarlah ia kafir.” Kedua,
model masyarakat yang dikembangkan Rasul di Madinah melalui piagam
Madinah merupakan deklarasi HAM pertama di dunia. Dalam piagam tersebut
setiap masyarakat Madinah dibolehkan menganut agama masing-masing dan tidak
mengganggu orang untuk beribadah. Karena itu para sarjana memandang bahwa
piagam ini merupakan teks sebagai pengakuan Hak Asasi Manusia. Walaupun
kemudian teks ini dilanggar oleh kelompok non-Muslim, namun harus diakui
sumbangsih Islam terhadap cetak biru HAM di muka bumi ini. Sebab teks-teks
tentang HAM di barat mulai dikenal pada abad ke-13 dengan munculnya Magna
Charta (1215). Ketiga, dalam Islam dikenal 5 prinsip hak asasi manusia yang
seringkali kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih: a) Hak perlindungan terhadap jiwa
atau hak hidup; b) Hak perlindungan keyakinan; c) Hak perlindungan terhadap
akal pikiran; d) Hak perlindungan terhadap hak milik; e) Hak berkeluarga atau
hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik.67 Lima prinsip inilah
yang selalu menjadi nafas dalam pengkajian hukum Islam. Artinya semua
ketentuan hukum harus berlandaskan lima prinsip tersebut.
66 Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 105
67 Masdar F. Mas’udi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam E. Shobirin Nadj dan
Naning Mardiniah (ed.), Diseminasi Hak Asasi Manusia, 2000, h. 66-67.
lxix
Rasulallah Muhammad SAW mengatur perlindungan hak-hak sipil
golongan Islam dan non-Muslim dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah adalah
suatu aturan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika Ia masuk ke
Madinah setelah meninggalkan Makkah. Inilah sebuah piagam yang memberikan
jaminan kesetaraan hidup beragama. Tidak ada pemaksaan hidup beragama.
Dengan Piagam Madinah, warga setempat merasakan keadilan hidup beragama,
dapat menjalankan ajaran agama yang memberdayakan, yang menjamin integrasi
bangsa, yang menjamin adanya pluralitas atau kemajemukan bangsa, yang
menjamin kemajuan bagi semua. Tak ada eksploitasi satu kelompok terhadap
kelompok yang lain.
Hukum Islam, syari’ah, memiliki reputasi yang buruk – terutama di Barat,
dan juga dibeberapa negara Muslim sekuler. Ia dianggap sebagai sebuah konsep
yang merepresi perempuan, melanggar hak asasi manusia, dan terbelakang.
Namun Abdullah An-Na’im, professor ilmu hukum pada Emory University di
Atlanta, Amerika Serikat mengatakan bahwa para fundamentalis memang
memahami konsep syari’ah secara lain. Menurutnya syari’ah justru memiliki segi
positif dan masa depan. Menurut cendekiawan muslim dan aktivis yang pernah
diusir dari negaranya, Sudan, karena prinsipnya tentang penegakan HAM, prinsip
dan nilai-nilai HAM sangat dibutuhkan oleh setiap orang agar terlindungi diri
secara pribadi dan masyarakat dari kesewenang-wenangan kekuasaan.68
Pakar hukum Islam asal Sudan ini, Abdullah Ahmed An-Na’im
menegaskan, semangat hukum Islam tidak berbeda dengan Hak Asasi Manusia
(HAM). Ia berpendapat masalah HAM dan syari’ah lebih baik dipahami dengan
68 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 17
lxx
menggunakan dua kerangka yaitu inherennya keterlibatan manusia dalam
pemahaman dan praktik Islam, di satu pihak, dan universalitas HAM di pihak lain.
Pendekatan ini lebih realistis dan konstruktif daripada sekadar mengungkapkan
kecocokan atau ketidakcocokan Islam dengan HAM dan mengambil keduanya
dalam pemahaman yang absolut dan statis. Ketika kita menguji dinamika dan
perkembangan hubungan Islam dan HAM, kita akan menemukan bahwa Islam
sebenarnya sangat mendukung HAM.69 Untuk merealisasikan tujuan-tujuan
tersebut, Muslim tidak harus mengabaikan agamanya hanya untuk mengakui
HAM. Mereka juga tidak boleh mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis
kelamin, ras, kebangsaan maupun agama.70
Guru Besar Hukum Islam yang menjadi guru besar di sejumlah
universitas di Amerika Serikat itu berulang kali menyatakan bahwa hukum Islam
mempunyai semangat serupa dengan HAM. Namun pada saat yang sama, An-
Na’im mengingatkan, hukum Islam tidak bisa dijadikan hukum nasional dengan
alasan apa pun. Jika itu yang terjadi maka negara cenderung menafsirkan hukum
Islam sesuai dengan kepentingan politiknya, kata An-Na’im yang diusir dari
Sudan karena pandangan-pandangannya yang dinilai tidak sesuai dengan
kepentingan politik pemerintah.
Menurut Na’im, umat Islam sedunia boleh saja (berhak) menerapkan
hukum Islam, asal tidak melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam
maupun di luar komunitas Islam. Artinya dalam mengklaim dan menggunakan
hak-hak perorangan dan kolektif untuk menentukan nasib sendiri, kaum Muslimin
juga harus mengakui dan menjamin hak-hak yang sama bagi orang lain.
69 Ibid., h. 177 70 Ibid
lxxi
Persoalannya, menurut Na’im, jika syari’ah historis (Na’im menggunakan
istilah historical shari’ah untuk menamakan syari’at Islam) diterapkan sekarang,
akan menimbulkan masalah serius menyangkut masalah-masalah
konstitusionalisme, hukum pidana, hubungan internasional dan hak-hak asasi
manusia. Dan menurutnya, yang paling merasakan akibatnya adalah masyarakat
non-Muslim dan kaum wanita. Bagi masyarakat non-Muslim mereka akan
menjadi masyarakat kelas dua dengan status dzimmi, dan bagi wanita, mereka
akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan minimnya akses
ke dalam kehidupan publik. Bahkan kaum laki-laki pun, katanya, juga akan
merasakan dampaknya, yaitu mereka akan kehilangan kebebasan karena disekat
berbagai undang-undang.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Na’im mengajukan konsep perubahan
dalam hukum publik di negara-negara Islam dengan membangun suatu versi
hukum publik Islam yang sesuai dengan standar konstitusionalisme, hukum
pidana, hukum internasional dan hak-hak asasi manusia modern. Untuk tujuan itu,
Na’im menafikan kesakralan syari’ah, karena syari’ah bukanlah bersifat ilahiyyah
(wahyu yang langsung datang dari Allah). Syari’ah, menurutnya, adalah “the
product of process of interpretation of analogical derivation from the text of the
Qur’an and Sunna and other tradition” (hasil dari proses penafsiran, derivasi
melalui qiyas terhadap teks al-Qur’an, Sunnah dan tradisi yang lain).71 Oleh
karena nya Pemahaman atas syari’ah seperti apapun selalu merupakan produk
ijtihad dalam artian pemikiran dan perenungan umat manusia sebagai cara untuk
memahami makna al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
71 Abdullah Ahmed An-Naim, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human
Right, And International Law.(Syracuse: Syracuse University Press, 1990), h. 11
lxxii
An-Na’im begitu simpatik kepada HAM dan tidak begitu simpatik kepada
syariah. Syariah dalam makna baru versi An-Na’im yang punya masa depan,
bukan syari’ah seperti yang diyakini kaum Muslimin pada umumnya. An-Na’im
menitikberatkan pemahamannya tentang hak asasi manusia melalui dua kekuatan
utama yang menjadi sumber motivasi seluruh tingkah laku manusia yaitu
kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas.72 Dengan kata lain, syari’ah
sebagai hukum yang praktis tidak dapat mengesampingkan konsepsi hak-hak asasi
manusia yang berlaku pada suatu waktu.
Menghubungkan Islam dan HAM bagi An-Na’im merupakan hal yang
sangat penting bagi mayoritas umat Islam agar motivasi mereka untuk berpegang
pada norma-norma HAM tidak hilang begitu saja hanya karena memahami norma
tersebut sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena apabila
mereka percaya bahwa hak-hak tersebut sesuai dengan sistem kepercayaan
mereka, komitmen dan motivasi mereka untuk melindungi hak-hak tersebut akan
bertambah. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa untuk bisa menjustifikasi secara
moral atas klaim HAM, tanpa melakukan diskriminasi kepada orang lain, umat
Islam harus menyadari bahwa orang lain pun memiliki hak yang sama dengan
umat Islam.
Adnin Armas mengatakan bahwa An-Na‘im, menghabiskan waktu
menulisnya tentang Islam dan Negara Sekuler dalam rangka menegosiasikan masa
depan syariah selama 3 tahun (2004-2006) dengan dibiayai Ford Foundation.73
Dalam persoalan hubungan Islam dan HAM, An-Na’im menjelaskan bahwa
72 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan sipil, Hak Asasi
Manusia, dan Hubungan Internasional Dalam Islam ,(Yogyakarta: LkiS, 1994), h. 313 73 Adnin Armas, “ Abdullahi ahmed An-na’im lebih simpatik kepada HAM ketimbang
syariah,” artikel ini diakses pada tanggal 25 Juni 2008 dari http://khalidwahyudin.wordpress.com.html
lxxiii
apabila dihadapkan dengan pilihan antara HAM dan Islam, maka An-Naim akan
lebih berpihak pada Islam, kalau ajaran Islam tersebut tidak bertolak belakang
dengan konsep universalitas HAM, namun apabila ajaran Islam bertolak belakang
bahkan bertentangan dengan konsep HAM, An-Na’im tidak ragu akan berpihak
pada HAM dibandingkan pada Islam. An-Na’im dalam pernyataannya sebagai
berikut:
“Sebagai seorang Muslim, jika saya dihadapkan pada pilihan antara Islam dan hak-hak asasi manusia, saya pasti memilih Islam. Akan tetapi, jika dihadapkan pada argument bahwa ternyata ada konsistensi antara agama yang saya anut dan hak-hak asasi manusia, saya akan dengan senang hati menerima hak-hak asasi manusia sebagai ekspresi nilai-nilai agama dan bukan sebagai penggantinya. Sebagai Muslim pendukung hak-hak asasi manusia, saya mesti terus mencoba mencari cara untuk menjelaskan dan mendukung klaim bahwa hak-hak asasi manusia sesuai dengan Islam, benar-benar diperlukan dari perspektif Islam, meskipun tidak sesuai dengan beberapa interpretasi manusia atas syariah.” 74
Menurut An-Na’im, semua umat Islam tunduk pada hukum Islam.
Pertanggungjawaban umat Islam atas pelaksanaan hukum Islam tidak boleh
melibatkan negara atau pemerintah. Pertanggungjawaban umat Islam menurut
peneliti masa depan hukum Islam itu ditujukan hanya kepada Allah. Bahkan ia
menegaskan bahwa, Tidak ada seorangpun yang bisa menyatakan bahwa orang
lain itu murtad atau musyrik. Masalah tersebut merupakan wilayah otonomi orang
yang bersangkutan. An-Na’im, oleh karenanya, mendukung sekularisme, sebuah
negara yang secara netral membuat hukum yang berlaku bagi seluruh warganya,
seraya memberikan cukup ruang kebebasan bagi mereka untuk tetap
mempraktekan agama yang mereka percayai dalam kehidupan mereka sehari-hari.
74 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 50-51
lxxiv
An-Na’im menyoroti bahwa adanya ketegangan antara syari’ah dan HAM
terutama berkaitan tentang perbudakan, diskriminasi berdasarkan gender dan
agama serta hak non-Muslim. Kemudian mengeksplorasi cara-cara menyelesaikan
ketegangan tersebut melalui reformasi Islam bahwa ia tidak menerima aspek
syari’ah ini sebagai hukum Islam yang final dan konklusif. Menurut An-Na’im
bahwa secara moral tak dapat dipertanggungjawabkan bagi syariah untuk
melanjutkan pengabsahan perbudakan75. Adapun diskriminasi hukum keluarga
dan hukum perdata syariah dalam pandangan An-Na’im mencakup hal-hal sebagai
berikut:76
• Seorang laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau Yahudi,
tetapi seorang laki-laki Kristen atau Yahudi tidak boleh mengawini perempuan
Muslim
• Perbedaan agama adalah penghalang dari seluruh pewarisan. Sehingga
seorang Muslim tidak akan dapat mewarisi dari maupun mewariskan kepada
non-Muslim
Adapun diskriminasi berdasarkan gender dalam hukum keluarga dan perdata
mencakaup hal-hal sebagai berikut:
• Laki-laki Muslim dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu
bersamaan, tetapi perempuan Muslim hanya dapat kawin dengan seorang laki-
laki dalam waktu bersamaan.
• Seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan istrinya, atau seorang dari istri-
istrinya dengan meninggalkan begitu saja tanpa akad, talaq, tanpa
berkewajiban memberikan berbagai alasan atau pembenaran tindakannya.
75 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 329-335 76 Ibid., h. 337
lxxv
Sebaliknya seorang perempuan Muslim dapat bercerai hanya dengan kerelaan
suami atau dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkannya dengan
dasar-dasar khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya untuk
mengurus istri.
• Dalam pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian lebih sedikit
dari bagian laki-laki Muslim ketika keduanya berada pada tingkatan yang
sama dalam hubungannya dengan seorang yang meninggal.
Mengenai hal diatas itu An-Na’im menekankan tentang tidak adanya
pembenaran historis berbagai hal berkenaan dengan diskriminasi berdasar agama
atau gender tersebut dan menilai bahwa perbudakan dan diskriminasi atas dasar
agama dan gender adalah melanggar penegakan hak asasi manusia. Hal tersebut
adalah titik konflik dan ketegangan yang paling serius antara syari’ah dan hak
asasi manusia universal.77 Karena menurutnya pengakuan Deklarasi Universal
HAM sebagai norma hak asasi manusia universal lebih merupakan hasil proses
konsensus global daripada sekedar sebuah hasil pemaksaan. Deklarasi HAM tidak
mewakili suatu kerangka kerja teologis atau metafisis tertentu karena ia tidak
menetapkan agama apapun sebagai sumber justifikasi. Ini memungkinkan
penganut agama manapun untuk membangun komitmen atas deklarasi tersebut
berdasarkan norma yang dianut.78
Dalam berbagai hal, ide An Na’im ini sangat absurd, sebab beberapa
perangkat hukum dalam syari’ah Islam meniscayakan campur tangan negara,
untuk mencegah terjadinya kekacauan dan keonaran. Dalam pelaksanaan hukum
77 Ibid, h. 340 78 Sukron Kamil dan Chaeder S. Bamualim, ed. Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda
Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non Muslim (CSRC: Jakarta, 2007), h. 10
lxxvi
kriminal, pengaturan ekonomi, pernikahan, talak, wasiat, dan lain sebagainya,
rasanya sulit
membayangkan negara untuk tetap netral. Di Indonesia saja, urusan pendidikan
Islam, pernikahan, zakat, haji, pemakaman Islam, wakaf, dan sebagainya, telah
melibatkan campur tangan negara. Dan itu berjalan biasa-biasa saja. Na’im juga
terlihat tidak konsisten dalam mengapresiasi prinsip HAM. Apa yang mendorong
Na’im mengabsolutkan dan mengidealkan International Convention of Human
Rights. Bukankah ia juga produk pikiran manusia yang dipengaruhi oleh setting
sosial-politik dan kerangka filosofis religius sekuler para pencetusnya. pemikiran
An Na’im ini bisa menuntun orang untuk menganggap bahwa Islam adalah hasil
rekayasa manusia.
C. Konstitusionalisme
Konstitusi adalah simbol dari kedaulatan rakyat. Konstitusi adalah acuan-
acuan tetap yang harus dipatuhi oleh negara agar bisa mengoperasikan
kekuasaannya dengan persetujuan warga negaranya. Hanya dengan demikian
negara bisa dan absah menarik kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh
warganegara, maka dalam artian ini, konstitusi berarti sarana bagi rakyat untuk
mengontrol operasi kekuasaan negara. Konstitusi adalah sarana bagi demokrasi.
Inilah inti pengertian dari konstitusionalisme. Hal yang sama pentingnya menurut
An-Na’im adalah Kemampuan masing-masing dari setiap warga negara secara sah
menentang kebijakan atau hukum apapun lewat cara perundang-undangan, juga
lewat alat politik79.
79 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 160
lxxvii
Konstitusionalisme, sebagai paham dan semangat (spirit) sebenarnya
menegaskan pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui konstitusi
yang tidak bisa dicukupkan dari akomodasi tekstual. Artinya, memperbincangkan
problematika ketatanegaraan tidaklah sekadar berhenti pada proporsi tekstualitas
semata, melainkan pula melakukan lompatan lebih jauh membangkitkan semangat
untuk terus menerus mendorong perubahan yang berkeadilan dengan sandaran
akar konstitusionalisme. Di sinilah tantangan para teoritisi konstitusi untuk secara
terus menerus mengoreksi dan menggali akar-akar konstitusi dengan
mentransmisikannya dalam merespon situasi-situasi kekinian.
Konstitusionalisme bukanlah sekadar urusan bongkar pasang teks berikut
institusinya melalui konstitusi, melainkan sebagai lompatan pemikiran kritis dan
tindakan nyata untuk memberikan kepastian jaminan hak-hak kesejahteraan sosial
sebagai hak-hak dasar warga negara yang tidak boleh sedikitpun diabaikan oleh
penyelenggara kekuasaan. Begitulah salah satu cara memaknai teori dan hukum
konstitusi agar kian lebih maju secara substantif, bermartabat dan membumi bagi
seluruh warga bangsa.
Konstitusionalisme menyediakan kerangka hukum dan politik untuk
merealisasikan dan melindungi persamaan status, HAM, dan kesejahteraan
seluruh warga negara. Sedikit negara-negara kontemporer yang bisa dikualifikasi
sebagai penganut sistem konstitusionalisme dalam arti yang sepenuhnya maupun
secara parsial.80 Hal ini dimaksudkan An-Na’im adalah karena negara tersebut
gagal dalam memenuhi tuntutan hak asasi manusia serta adanya perlakuan
diskriminasi terhadap status warga negara terutama terhadap status perbudakan,
80 Ibid., h. 141
lxxviii
perempuan dan non-Muslim bahkan kadang-kadang hilangnya hak
kewarganegaraan penuh mereka. Sehingga yang harus pertama-tama dipahami
adalah filosofi dari konstitusionalisme, yaitu sebagai prinsip keutamaan hak
rakyat.
Karena konstitusionalisme berpendirian bahwa kekuasaan sungguh-
sungguh terbatas dan hak-hak warga negara benar-benar ada, maka sebuah
konstitusi harus bersifat membebaskan. Fungsi pembebasan dari sebuah konstitusi
hanya bisa berjalan apabila konstitusi itu memenuhi dua syarat. Pertama, memiliki
paradigma emansipatoris yang menekankan pentingnya penegakan hak-hak dasar
setiap warga negara. Kedua, konstitusi itu bersifat terbuka baik untuk didialogkan
dengan kenyataan riil yang berkembang maupun untuk diperbaiki.
Penolakan maupun penerimaan terhadap konstitusioanalisme menurur An-
Naim harus berpedoman pada dua argumen yaitu pertama bersifat moral dan
kedua bersifat empirik. Yang dimaksud moral di sini adalah bahwa dalam
mengambil keputusan harus menempatkan posisi diri kita berada dalam posisi
orang lain sehingga tidak terjadi keberatan di antara dua pihak dan saling
mendapatkan keadilan dari prinsip konstitusionalisme sedangkan argument
empiris adalah kenyataan bahwa konstitusionalisme telah menjadi pilihan bebas
mayoritas rakyat di seluruh dunia, termasuk umat Islam.81
Konstitusionalisme merupakan suatu perangkat aturan yang memuat
prinsip dasar dan impian bangsa mewujudkan masa depan. Oleh sebab itu,
perubahan terhadap konstitusi memerlukan paradigma yang jelas sesuai dengan
prinsip konstitusionalisme yang antara lain adalah: (1) pembatasan wilayah
81 Ibid., h. 143
lxxix
kekuasaan negara, (2) pengaturan cabang kekuasaan yang seimbang, (3) jaminan
terhadap hak asasi manusia, (4) prinsip kedudukan politik yang demokratis, (5)
independensi peradilan, (6) kontrol sipil terhadap militer, (7) prinsip
desentralisasi, (8) jaminan melakukan perubahan konstitusi, serta (9) melibatkan
masyarakat.82
Konstitusionalisme adalah paham moderen tentang perlindungan warga
negara. Ia bukan pertama-tama sebagai aturan-aturan ketatanegaraan, melainkan
prinsip final tentang hak warga negara. Itulah sebabnya di dalam sejarah awal
perkembangan paham itu, eksplisit diakui hak warga negara untuk melakukan
perlawanan bersenjata terhadap penguasa yang otoriter. Baru kemudian konstitusi
dipahami sebagai sarana untuk mengatur kehidupan politik secara permanen, yaitu
dengan berfungsi sebagai lembaga intermediasi di dalam mengatur hubungan
antara pemerintah dan rakyat. Paham konstitusionalisme lalu menjadi identik
dengan prinsip negara hukum, karena pasangan prinsip itu beroperasi untuk tujuan
yang sama, yaitu ketertiban dan kepastian. Dengan itu kita dibiasakan untuk
menjalankan aktivitas politik dan kenegaraan secara prosedural. Dan demokrasi
dalam konteks ini juga dipahami sebagai mekanisme prosedural untuk menjamin
berlanjutnya ketertiban politik dan kepastian hukum. Dari sinilah kemudian
diterima suatu kredo universal tentang keniscayaan hubungan antara demokrasi,
negara hukum dan konstitusionalisme. Saling mengandalkan dan saling
membutuhkan.
Dalam konteks ini perlu juga diterangkan bahwa sistem di belakang
perkembangan moderen dari paham konstitusionalisme adalah pandangan bahwa
82 J. Kristiadi, “Kambing hitam itu bernama UUD 1945,” artikel diakses pada tanggal 14
Mei 2008 dari http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=623&id=29&tab=3. html
lxxx
manusia merupakan mahluk rasional yang mampu mencapai kesepakatan
berdasarkan akal pikirannya. Karena itu, paham konstitusionalisme itu sendiri
tidak diturunkan dari suatu pandangan transendental tentang ideal dari sebuah
kehidupan politik, atau dari sebuah tujuan hidup (common good) yang sudah final,
melainkan dari suatu tuntutan historis tentang prasyarat kebebasan dan hak
individu, demi dapat bekerjanya rasionalitas. Artinya, karena kontrak sosial di
antara individu harus didasarkan pada kesepakatan bebas, maka pertama-tama hak
dan kebebasan individu haruslah dianggap primer. Di sini jelas bahwa
konstitusionalisme adalah suatu rumusan historis untuk menyelamatkan hak dan
kebebasan individu dari hambatan dan tekanan-tekanan kekuasaan, yang contoh-
contoh buruknya bertebaran sepanjang sejarah manusia.
Melihat fenomena kedaulatan yang mendasari problem konstitusionalisme
dalam syariah, An-Na’im berpandangan bahwa terjadi ambivalensi83. Meskipun
merupakan kepercayaan bagi Islam bahwa otoritas tertingggi berada di tangan
Tuhan, namun tidak dengan sendirinya menunjukkan siapa yang berwenang atas
kedaulatan itu. Pada waktu Nabi masih hidup klaim tersebut masih mungkin dan
tidak diperselisihkan namun setelah Nabi wafat kalim tersebut lantas
menimbulkan masalah terutama setelah masa khulafaurrasyidin bahwa kalim
tersebut telah terdistorsi dan bahwa mereka ini sebagai instrumen kehendak Ilahi
yang diapresiasikan melalui syariah juga mengundang masalah bagaimana
khalifah itu mempertanggungjawabkan perbuatannya.84
An-Na’im berpandangan bahwa perlu rumusan baru tentang batasan-
batasan kedaulatan yang pada akhirnya dapat berjalan beriringan dengan
83 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 160 84 Ibid., h. 161
lxxxi
konstitusi. Pembatasan hak non-Muslim dan partisipasi perempuan Muslim dalam
penyelenggaraan urusan negara. Ini tentu saja tidak konsisten dengan konstitusi
modern yang mensyaratkan persamaan dan tidak ada diskriminasi diantara warga
negara85. Sehingga menurut An-Na’im semua aspek syariah historis yang
berhubungan dengan perempuan dan dzimmi adalah melanggar prinsip persamaan
di depan hukum konstitusi.
D. Kewarganegaraan
Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara,
maka akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan seseoarang yang
dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara dalam sebuah negara.
Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur
warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga
negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga negara lain. Pengaturan
mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari
dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud
dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum
mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada
prinsip hubungan darah.
Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah
hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan
85 Ibid., h. 162
lxxxii
dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan
negara di Eropa termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan
kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara
otomatis diakui sebagai warga negara. Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di
beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor
pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya.
Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis
kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan
orangtuanya itu.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu
ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau
pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang
ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu
negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di
atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status
kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau
mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status
kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi).
Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan
kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat
mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang
bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Kewarganegaraan adalah anggota dalam sebuah komunitas politik
(negara), dan dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam politik.
lxxxiii
Seseorang dengan keanggotaan tersebut disebut warga negara. Istilah ini secara
umum mirip dengan kebangsaan, walaupun dimungkinkan untuk memiliki
kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum
merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak
berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa
menjadi bangsa dari suatu negara.86
Pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa warga negara
merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap
negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik
terhadap negaranya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka adanya hak dan
kewajiban warga negara terhadap negaranya merupakan suatu yang niscaya.87
An-Na’im mengajukan HAM sebagai kerangka untuk menggarisbawahi
dan menyelesaikan ketegangan yang ada ketimpangan pemahaman masyarakat
Islam saat ini terhadap konsep kewarganegaraan. Istilah kewarganegaraan yang
digunakannya sebagai sebuah bentuk keanggotaan dalam komunitas politik dalam
sebuah wilayah negara. Konsep kewarganegaraan harus menandakan adanya
pemahaman bersama tentang kesetaraan posisi semua manusia dan partisipasi
politik yang inklusif dan efektif untuk menjamin akuntabilitas pemerintah dalam
menghargai dan melindungi hak asasi manusia semua pihak. Dengan demikian
individu maupun komunitas, di mana pun berada harus mengakui adanya
kesamaan warga negara. Karena itulah menurut An-Na’im kesediaan menerima
86 Dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/. Diakses pada tanggal 6 Mei 2008. 87 Tim ICCE, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2005), h. 83
lxxxiv
paham kewarganegaraan berdasarkan HAM universal adalah merupakan prasyarat
moral, hukum, dan basis politik.88
Kewarganegaraan selalu berkaitan dengan keseimbangan hak dan
kewajiban masyarakat. Menolak kewarganegaraan penuh bagi seseorang yang
dilahirkan dan menetap sebagai penduduk di dalam wilayah suatu negara menurut
An-Na’im tidak dapat diterima secara moral dan politik, kecuali jika orang itu
memilih dan memperoleh kewarganegaraan lain. Bagi An-Na’im adalah hak
seluruh warga negara untuk secara terus menerus dan signifikan mempengaruhi
formulasi dan penetapan kebijakan publik serta pengundangan hukum-hukum
publik. Hal tersebut adalah pembenaran moral dan pragmatis bagi kedaulatan
negara.89 An-Naim menjelaskan meskipun adanya pembenaran politik dan
sosiologis di masa lalu menyangkut pembatasan dan diskualifikasi terhadap
perempuan, perbudakan dan non- Muslim pada saat ini pembenaran tersebut tidak
sah.
Konsep ummah sebagai wakil kolektif kedaulatan Tuhan dan kedaulatann
manusia itu, dapat menjadi landasan konstitusionalme aktif hanya jika cakupan
ummah dalam syariah direvisi dengan memasukkan seluruh warga negara atas
dasar kesamamn mutlak, tanpa diskriminasi karena perbedaan agama maupun
jenis kelamin.90 Oleh karena itu An-Na’im secara tegas menolak adanya status
kewarganegaraan yang bersifat mayoritas dan minoritas dalam hak dan kewajiban.
Prinsip aturan berdasarkan mayoritas, tak dapat dipertahankan kecuali jika
minoritas memperoleh hak hukum dan kesempatan menjadi mayoritas sehingga
pandangan-pandangannya suatu saat dapat diberlakukan.
88 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 198 89 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 163 90 Ibid., h. 164
lxxxv
Dengan adanya kebebasan bagi setiap warga negara tanpa adanya
diskriminasi antara minoritas dan mayoritas dalam menjalankan keyakinan dan
kepercayaan keagamaan, maka negara tidak dapat memaksakan seseorang untuk
meninggalkan atribut esensial bagi kebebasan dan martabat kemanusiaannya
hanya karena ia bukan bagian dari mayoritas. Sehingga manurutnya bahwa suatu
kebijakan dan hukum selalu dibangun atas dasar rasional yang dihormati dan
didukung oleh seluruh warga negara tanpa memandang ras, jenis kelamin, agama
dan kepercayaan.
An-Na’imi menolak adanya istilah dzimmah sebagai warga negara tidak
penuh dalam sebuah status kewarganegaraan dan tidak bisa dipertahankan lagi
sebagaimana yang dipahami oleh sebagian umat Islam. Baginya umat Islam tidak
saja harus menghapus sistem dzimmi dalam syari’ah secara formal, tapi juga
menolak nilai-nilai diskriminasi yang terdapat di dalammya.91 Pandangan ini
menunjukkan bahwa adanya persamaan status kewarganegaraan dalam sebuah
negara manapun.
Pandangannya ini berawal dari pemahamannya tentang konsep universal
HAM sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa tujuan utama HAM
menurutnya adalah untuk menjaga dan menjamin hak dasar seluruh manusia
dimanapun berada. Menurut An-Na’im relasi konsep warga negara berbasis HAM
di kalangan muslim hanya bisa dicapai melalui:92 Pertama, tarnsisi aktual dari
konsep dzimmi menuju konsep warga negara dalam era pasca kolonial. Kedua,
bagaiman menjaga dan mengembangkan transisi ini melalui reformasi Islam yang
kuat secara metodologis dan berkelanjutan secara politik agar nilai-nilai HAM
91 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 202 92 Ibid
lxxxvi
berakar kuat dalam doktrin Islam. Ketiga, konsolidasi dua elemen pertama agar
konsep ini menjadi diskursus lokal yang mampu menyelesaikan persoalan
keterbatasan dan kelemahan konsep ini sekarang dan praktiknya dalam
masyarakat Islam.
E. Hukum Pidana
Hukuman adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena
melanggar suatu norma hukum. Apabila yang dilanggar adalah norma hukum
disiplin, ganjarannya adalah hukuman disiplin, untuk pelanggaran hukum perdata
diberi ganjaran hukuman perdata, untuk pelanggaran hukum administrasi diberi
ganjaran hukuman administrasi dan ganjaran atas pelanggaran hukum pidana
adalah hukuman pidana.93
Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan
kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.
Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan, antara yang
satu dengan yang lain tidak saja berlainan, akan tetapi kadang-kadang saling
bertentangn. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya ini manusia
bersikap dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan
dan hak orang lain, maka hukum memberi rambu-rambu berupa batasan-batasan
tertentu, sehingga manusia tidak sebebas-bebasnya untuk berbuat dan bertingkah
laku dalam rangka mencapai dan memenuhi kepentingannya itu. Fungsi yang
demikian itu terdapat pada setiap hukum termasuk didalamnya hukum pidana.
93 E.Y. Kanter dan S.R Siantar, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya (Jakarta: Storia Grafika, 2002), h. 12
lxxxvii
Hukum pidana berfungsi:94
1. Melindungi kepentingan manusia dari perbuatan yang menyerang atau
memperkosa kepentingan tersebut.
2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi
perlindungan atas berbagai kepentingan.
3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara
melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.
Masalah administrasi hukum pidana Islam juga merupakan isu yang
menonjol dan masih dalam perdebatan yang cukup panjang tentang penerapan
syari’ah yang tidak hanya terjadi di kalangan ilmuan Barat, namun juga terjadi di
antara ilmuan Muslim karena hal ini akan mengakibatkan reaksi politik yang
sangat keras apabila penerapannya yang prematur dan sewenang-wenang atas
hukum pidana syari’ah.
Penerapan hukum Islam atau syariah sebetulnya bukanlah hal baru. Ia
telah sejak lama dipraktekkan oleh beberapa negara muslim, seperti Arab Saudi,
Afghanistan, dan Sudan. Undang-undang Islam di negara-negara ini secara keras
diberlakukan, terutama menyangkut hukum pidana (hudud). Agaknya, persoalan
pidanalah yang menjadi ciri khas apakah sebuah negara muslim dianggap
menerapkan syari’ah Islam atau tidak. Persoalan utama menyangkut
pemberlakuan syari’ah Islam bagi Luthfi Assyaukanie bukannya apakah kita bisa
menerapkan hukum pidana semacam itu atau tidak, tapi siapkah kita menerima
94 Adawi Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, teori-teori
Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 15-16
lxxxviii
dampak buruk dari pelaksanaannya. Terlalu banyak persoalan yang muncul akibat
penerapan hukum syari’ah di dunia modern.95
Hampir semua negara yang menerapkan syariat Islam mengalami
persoalan besar, baik karena berbenturan dengan hukum positif yang dianut dunia
internasional maupun kelemahan penerapannya sendiri akibat basisnya yang
rapuh. Penerapan syari’ah sering kali dianggap bertentangan dengan prinsip-
prinsip penologis (soal-soal kriminalitas) dan norma-norma hak asasi manusia
(HAM) modern.
Basis penerapan syari’ah juga kerap dianggap lemah, karena bersifat
diskriminatif, khususnya yang menyangkut hukum-hukum prosedural, seperti
dalam kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan non-Muslim. Abdullahi
Ahmed An-Na’im, memberikan contoh bagaimana hukum Islam di Sudan sangat
tidak memadai ketika harus menerapkan hukum zina bagi warganya yang non-
Muslim. Dalam hukum pidana Islam yang berlaku di negeri itu, para pelaku zina
dari ahlul kitab (non-Muslim) tidak dikenakan sanksi hudud. Tapi, ketika
beberapa kasus menyangkut non- Muslim terjadi, masyarakat merasa resah dan
menganggap hukum Islam telah berlaku diskriminatif. Malangnya, ketika
pemerintah hendak memberlakukannya kepada mereka (ahlul kitab), masalah baru
muncul. Siapa yang berhak memutuskan sebuah agama dianggap ahlul kitab.
Apakah pengadilan yang harus menggunakan keyakinan tertuduh sebagai
95 Luthfi Assyaukanie, “Ambiguitas Penerapan Syariat Islam,” artikel diakses pada
tanggal 19 Mei 2008 dari http://www.freedominstitute.org/ id/index.page=profile&detail=artikel&detail=.html.
lxxxix
standarnya atau standar pengadilan sendiri. An-Na’im mengakui bahwa persoalan
ini sangat problematik dan tak pernah bisa diselesaikan peradilan Sudan.96
An-Na’im berpendapat bahwa tujuan dan urgensi keberadaan Hukum
Internasional adalah untuk mengatur hubungan antar masyarakat internasional
dengan standar persamaan dan keadilan, agar tercipta rasa aman dan makmur bagi
setiap elemen yang tercakup di dalamnya. Negara adalah salah satu elemen utama
yang diatur Hukum Internasional tersebut, karena negara sendiri terdiri dari
elemen-elemen yang memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban
internasional, di samping juga setiap negara memang berkesempatan untuk
berinteraksi dengan elemen internasional secara lebih luas. Salah satu alasan An-
Na’im mengapa negara-negara Islam diwajibkan menghormati standar-standar
Hukum Internasional khususnya yang berhubungan dengan administrasi hukum
pidana, karena negara harus melindungi hak-hak warga asing beberapa
diantaranya adalah non-Muslim.97
Atas dasar inilah An-Na’im beranggapan bahwa tolak ukur utama legalitas
Hukum Internasional sebenarnya serupa dengan Hukum Dalam Negeri, yakni
bagaimana menyeimbangkan kemaslahatan setiap individu dan (atau) negara
dalam memerankan kebebasan individunya dengan kemaslahatan kolektif untuk
mewujudkan keadilan menyeluruh yang paripurna. Kerena pada kenyataannya,
kontradiksi antara Hukum Internasional dan Hukum Dalam Negeri memang
sering terjadi dengan sebab ketidak-samaan lahan terapan kedua jenis hukum
tersebut. Betapapun hal ini tidak akan menafikan persamaan tujuan utama kedua
hukum tadi.
96 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah II : kritik Konsep, Penjelajahan lain (Yogyakarta: LKiS, 1996), h. 46
97 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 195
xc
An-Na’im senantiasa mengakui legalitas dan keampuhan Hukum
Internasional sebagai sebuah instrumen Hukum yang harus ada, demi tercipta dan
terjaganya keamanan dan stabilitas Hak Asasi Manusia di semua penjuru dunia.
Tapi An-Na’im juga tetap keras mengkritik bahwa selama ini timbul pencitraan
bahwa Hukum Internasional adalah murni produk Barat, sementara yang lainnya
hanya berperan sebagai pelaksana dan (bahkan) pengikut saja. Menurutnya harus
ada pembangunan image building yang baru, di mana Hukum ini harus bisa
dipandang sebagai Hukum Internasional sebenarnya, yang diproduksi, ditetapkan
dan dipatuhi oleh setiap komponennya. Dalam pemahaman An-Naim bahwa
semakin surutnya penerapan hukum harus dipahami tidak semata-mata akibat
dominasi Barat atas seluruh dunia Muslim, melainkan juga kesadaran kaum
Muslimin sendiri atas tidak memadainya konsep-konsep syari’ah yang ada.98
Memang ada sebagian muslim yang tidak menginginkan penerapan
syari’ah dalam kehidupan politik, dengan alasan bahwa konsep syari’ah tidak
memadai, namun juga tidak bisa dipungkiri bahwa pertemuan Islam dan Barat
juga sangat mempengaruhi rasa percaya diri kaum muslimin terhadap peradaban
Islam sendiri, termasuk dalam hal pembuatan kebijakan hukum yang sangat
mempengaruhi dunia Islam sehingga terjadi penolakan terhadap hasil hukum
tersebut.
Sebagai penegasan, An-Na’im menekankan bahwa Muslim tidak
diperbolehkan untuk menjadikan sejarah sebagai sumber Hukum Islam, baik
dahulu maupun mendatang. Juga tidak menyetujui al-Qur’an dan Sunnah sebagai
landasan Hukum Islam yang disama-ratakan baik dahulu, kini dan mendatang.
98 Ibid., h. 201
xci
Karena An-Na’im mengira bahwa sejarah hanyalah frame tempat dua sumber
Hukum Islam (al-Qur’an dan Sunnah) tersebut ditetapkan. Dengan kata lain, An-
Na’im mengafirmasi bahwa sebagaimana Qur’an dan Sunnah telah menjadi
Sumber Hukum dalam rangka memecahkan permasalahan yang terjadi zaman
dahulu, al-Qur’an dan Sunnah juga harus menjadi Sumber Hukum Modern yang
bisa memecahkan permasalahan-permasalahan masa kini.
Dari paparan dimensi historis di atas, ada beberapa kaidah-kaidah penting
dalam Hukum Islam menurutnya yang bertentangan dengan Hukum Internasional,
yakni masalah permusuhan terhadap non-Muslim dan penggunaan kekerasan
terhadap non-Muslim, regulasi penggunaan kekerasan dan perjanjian damai.
Na’im yakin bahwa kaum Muslim seluruhnya akan menemukan pola keimanan
yang lebih mudah terhadap Islam, yang terwujud dengan perdamaian dan
kebebasan yang sempurna, yang jauh lebih baik dibanding dengan penggunaan
kekerasan ataupun ancaman untuk menggunakannya.
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa An-
Na’im sangat mendukung nalar publik, termasuk juga persoalan hukum pidana.
Bahwa menurutnya sebelum menetapkan hukum pidana melalui proses legislatif,
hukum pidana tersebut harus berusaha merangkum kesepakatan rakyat seluas
mungkin dan aspirasi serta hak-hak minoritas etnik, agama, dan politik harus
dihormati.99
Konsep riddah sebagaimana yang dipahami oleh sebagaian ahli hukum
Islam sebagai had yang pelakunya harus dihukum mati, bagi An-Naim justru ini
sangat bertolak belakang sekali dengan semangat HAM dan kebebasan beragama.
99 Ibid., h. 198
xcii
Ia sangat mengecam sekali hukuman mati yang diberikan pada sang pelaku.
Baginya, konsep hukum riddah dan semua konsekusensi perdata dan pidananya
harus dihapuskan100 hal ini dilakukan agar supaya dapat menyingkirkan
keberatan-keberatan konstitusional dan hak asasi manusia (HAM).
Memang keyakinan tidak bisa dipaksakan kepada penganut keyakinan
agama tertentu termasuk agama Islam, namun kalau alasan murtad atau keluar
dari agama Islam dengan motif hanya ingin mencari kelemahan dan mengobok-
obok agama Islam maka pelakunya berhak dihukum meskipun bukan hukuman
mati karena sudah melakukan kejahatan penghinaan terhadap sebuah agama dan
hal ini tanpa disadari juga telah melanggar HAM.
100 Ibid., h. 207
xciii
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
Perdebatan hubungan agama, dan negara di dunia Barat terutama agama
Kristiani dan Katolik telah menemukan jawaban bahwa adanya pemisahan antara
kedua unsur tersebut antara agama dan negara atau antara gereja dan negara,
namun di beberapa negara muslim masih terjadi perdebatan yang hebat antara
pemikir-pemikir Islam tentang bagaimana hubungan antara keduanya karena
beberapa pemikir Islam ada yang menginginkan adanya integritas agama dan
negara, Islam dan negara, namun ada juga yang mencoba mencontoh Barat tetapi
tetap mengedepankan nilai-nilai moral dan etika Islam, bahkan ada yang sama
sekali menginginkan pemisahan total keduanya sebagaimana yang dipahami
Barat.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab III, bahwa ada tiga
paradigma yang menjelaskan hubungan Islam dan negara, Abdullahi Ahmed An-
Naim merupakan salah seseorang intelektual muslim yang intens mengkaji
tentang hubungan Islam dan negara. Ia mencoba menawarkan sebuah konsep
negara sekuler namun tetap menjadikan Islam sebagai pijakan moral dalam
pengambilan kebijakan dan pembuatan undang-undang. Meskipun ia menolak
sebuah konsep negara Islam namun ia tetap mengakui peran Islam di ruang publik
xciv
yang prosesnya melalui apa yang disebutnya sebagai Nalar Publik dan menolak
sebuah bentuk masyarakat sekuler.
Tentang hubungan Islam dan negara dari perspektif An-Na’im, maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya:
1. Ada dua hal besar. Pertama mengenai syari’ah, yang ditafsirkan ulang dan
bahwa syari’ah merupakan hasil penafsiran manusia. Syari’ah harusnya
menjadi semangat etis negara bahwa ada landasan moral pada setiap kebijakan
negara, walaupun tidak harus diterjemahkan dalam kebijakan yang memihak
kepada Islam saja. Kedua adalah tentang sekularisme. Sekularisme itu sesuatu
yang sebenarnya netral agama. Bukan benci agama. Dalam salah satu bab
bukunya dia menunjukkan bahwa sekularisme itu meskipun wujud dasarnya
adalah pemisahan agama dan negara, tapi wujud konkretnya berbeda dari satu
ke lain negara.
2. Butir-butir pokok pemikirannya adalah bahwa Islam dan negara itu secara
institusional harus dipisahkan. Bukan hanya Islam, tapi juga agama-agama
lain. Tetapi Islam dan politik tidak boleh dipisahkan. Oleh sebab itu dia
memisahkan apa yang dia sebut sebagai religion in public space dengan
religion in the state. Dan bahwa ia sangat menentang sekali bentuk yang
kedua ini.
3. Sebagai seorang pakar HAM, menurutnya setiap kebijakan yang diambil harus
tunduk pada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin
kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, gender,
dan lain-lain.
xcv
Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena
itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk
menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan
dalam pemerintahan sepanjang zaman. Dalam rangka menyusun teori politik
mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam",
melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad
kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap
menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk
dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis
mengenai aktifitas sosial-politik umat manusia.
xcvi
DAFTAR PUSTAKA
Abd ar-Raziq, Ali. Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan: Kajian Khilafah dan
Pemerintahan Dalam Islam. Yogyakarta: Jendela, 2002. Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam. Wajah Baru Islam di Indonesia. Yogyakarta:
UII Press, 2004. Al-Jabiri, Muhammad Abid. Agama, Negara, dan Penerapan Syariah.
Penerjemah Mujiburrahman. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001. An-Na’im, Abdullahi Ahmed. Dekonstruksi Syariah. Penerjemah Ahmad Suaedy
dan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LkiS, 1994. _________. Dekonstruksi Syariah (II ), Kritik Konsep, Penjelajahan Lain.
Yogyakarta: LkiS, 1996. _________. Islam Dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah.
Penerjemah Sri Murniati. Bandung: Mizan, 2007. _________. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, And
International Law. Syracuse: Syracuse University Press, 1990. Anwar, M. Syafii. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modrnisme
hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. _________. Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih. Bandung: Mizan,
2000. Black, Antony. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini.
Penerjemah Abdullahi Ali & Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi, 2006.
Brown, Carl. L. Wajah Islam Politik, Pergulatan Agama & Negara Sepanjang
Sejarah Umat. Jakarta: Serambi, 2003. Bustamam Ahmad, Kamaruzzaman. Wajah Baru Islam di Indonesia. Yogyakarta:
UII Press, 2004.
xcvii
Chazawi, Adawi. Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Efendy, Bachtiar. Islam dan Negara: Tarnsformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998. ________. Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara
yang Tidak Mudah. Jakarta: Ushul Press, 2005. Eickelman, Dale F, dan James Piscatori. Ekspresi Politik Muslim. Bandung:
Mizan, 1998. ________. Politik Muslim; Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masyarakat
Muslim. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1998. Esposito, Jhon L. Islam dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang, 1990. ________. Islam Kekuasaan Pemerintahan, Doktrin Iman & Realitas Sosial.
Jakarta: Inisiasai Press, 2004. Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia. Ciputat: Ciputat Press, 2005. Hidayat, Komaruddin, dan Ahmad Gaus AF, ed. Islam, Negara dan Civil Society,
Gerakan Dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 2005.
Ismail, Faisal. Islam, Transformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2001. Kamaruzzaman. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan
Fundamentalis. Magelang: Indonesia Tera, 2001. Kamil, Sukron, dan Chaider S. Bamualim, ed. Syariah Islam dan HAM, Dampak
Perda Syariat Islam Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim. Jakarta: CSRC, 2007.
Kanter, E.Y. dan S.R Siantar. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002. Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Jakarta: Mizan, 1997. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi
Tentang Perdebatan Dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 2006. Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 1992.
xcviii
______. Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 1998. Moten, Abdul Rasyid. Ilmu Politik Islam. Penerjemah Munir A. Mu’in dan
Widyawati Bandung: Pustaka, 2001. Nafis, Muhammad Wahyuni, dkk, ed. Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali. M.A, Jakarta: Paramadina, 1995. Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993. Tim ICCE. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani. Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2005. Urbaningrum, Anas. Islam-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta:
Republika, 2004. Vaezi, Ahmad. Agama Politik, Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syabab.
Jakarta: Citra, 2006. Referensi Jurnal Islamia. Melacak Akar Peradaban Barat. Vol. III No. 2 Referensi Media Massa Azra, Azyumardi. “Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah,” Republika, 26 Juli
2007 Referensi Internet www.law.emory.edu/aannaim Armas, Adnin. “ Abdullahi ahmed An-na’im lebih simpatik kepada HAM
ketimbang syariah,” artikel ini diakses pada tanggal 25 Juni 2008 dari http://khalidwahyudin.wordpress.com.html.
Assyaukanie, Luthfi. “Ambiguitas Penerapan Syariat Islam.” Artikel diakses
pada tanggal 19 Mei 2008 dari http://www.freedominstitute.org/id/ index.page=profile&detail=artikel&detail=dir&id=330. html.
Diskusi yang disampaikan Abdullahi Ahmed An-Na’im di Freedom Institute,
Rabu 1 Agustus 2007. Diakses pada tanggal 27 April 2008 dari situs http://www.freedom-institute.org. html
http://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na'im#Main_Publications.
Diakses pada taggal 10 April 2008.
http:/id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme yang diakses pada tanggal 5 April 2008
xcix
Kristiadi, J. “Kambing hitam itu bernama UUD 1945.” Artikel diakses pada
tanggal 14 Mei 2008 dari http://www.csis.or.id/scholars opinion view.asp?op id=623&id=29&tab=3. html
Misrawi, Zuhairi. “Negara Syariat atau Negara Sekuler?.” Artikel diakses pada
tanggal 5 April 2008 dari http://islamlib.com/id/index.php?page-article&id=148.html
Hasil wawancara Fatiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im melalui
VHRmedia.com. Diakses pada tanggal 27 April 2008 dari http://apri23.multiply.com/journal/item/7/buat Pak PeAceMan Tuh Kan Pak. An Naim Liberal Abiss.html.
Hasil wawancara Asrori S. Karni dan Basfin Siregar dari Gatra dengan An- Na'im
di Hotel Kristal, Jakarta ketika kunjungannya di Indonesia. Diakses pada tanggal 5 April 2008 dari situs http://groups.yahoo.com/group/ telaga hikmah/message.html.