Post on 24-Apr-2015
description
Penatalaksanaan Skizofrenia
PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA
1. PENDAHULUAN
Skizofrenia adalah suatu kumpulan gangguan mental emosional dengan
karakteristik berupa gangguan proses pikir (asosiasi longgar, waham), gangguan persepsi
(halusinasi), gangguan alam perasaan (afek tumpul, datar atau tak serasi), gangguan
tingkah laku (bizzare, tidak bertujuan, stereotipi atau inaktivitas).1,2 Umumnya kesadaran
tetap jernih dan kemampuan intelektual tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif
tertentu dapat berkembang kemudian.2
Penyebab skizofrenia sangat kompleks dan tidak diketahui secara pasti, diduga
bersifat multifaktorial, berupa gabungan faktor biologik, psikososial dan lingkungan.
Dilaporkan faktor biologi adalah penyebab utama, tapi ternyata gangguan skizofrenia ini
adalah hasil interaksi faktor psikososial, faktor genetik dan lingkungan. 3
Pengobatan skizofrenia juga bersifat multidimensial, terdiri dari terapi somatik
(psikofarmakoterpai dan ECT) dan terapi psikososial (psikoterapi individual, terapi
perilaku, terapi berorientasi keluarga dan terapi kelompok).4 Psikofarmaka utama yang
digunakan untuk mengobati skizofrenia adalah golongan antipsikotik (neuroleptika/major
tranquilizers/ataractics). Secara umum anti psikotik mempunyai mekanisme kerja
memblokade dopamin pada reseptor pascasinaptik neuron di otak, khususnya di sistim
limbik dan sistem ekstrapiramidal. 5
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 1
Penatalaksanaan Skizofrenia
Bila penderita skizofrenia tidak mendapat pengobatan yang tepat atau adekuat dan
terlalu cepat berhenti, besar kemungkinan akan kambuh dan menjadi menahun. Jika
terapi dilakukan sedini mungkin, maka prognosisnya akan lebih baik. 1,3
Pada tulisan ini akan dikupas tentang penatalaksanaan skizofrenia yang lebih
mengutamakan pembahasan secara psikofarmakoterapi.
2. PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA
Penatalaksanaan skizofrenia merupakan suatu pendekatan multimodal oleh suatu
tim multidisipliner, walaupun demikian psikofarmakoterapi tetap merupakan pengobatan
utama pada skizofrenia. 1,3
Susunan tindakan penanganan skizofrenia hendaknya meliputi perawatan pasien,
apakah rawat jalan atau rawat inap di rumah sakit, pemberian farmakoterapi, pelayanan
psiko-edukasi, intervensi keluarga (pendidikan keluarga, konseling keluarga, pertemuan
keluarga, supportif terus-menerus, dll), rehabilitasi, dan program pendidikan khusus. 1
2.1 Psikofarmakoterapi
Medikasi antipsikotik diindikasikan untuk hampir semua episode psikosis akut dari
skizofrenia. Terapi harus dimulai sesegera mungkin karena penderita skizofrenia
mempunyai resiko mencelakai diri sendiri (atau bunuh diri) dan orang disekitarnya. 1,2
Bila memungkinkan, sebelum pasien mulai mendapat medikasi antipsikotik
sebaiknya dilakukan pemeriksaan fisik, neurologis dan status mental serta pemeriksaan
laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, glukosa darah, fungsi
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 2
Penatalaksanaan Skizofrenia
hati, fungsi ginjal, fungsi tiroid, skrining umum terhadap penyalahgunaan zat, tes
kehamilan pada pasien wanita, tes sipilis dan HIV bila relevan. Pemeriksaan EKG
dilakukan bila dicurigai adanya penyakit jantung dan pada semua pasien yang berumur
lebih dari 40 tahun. Perlu dinilai adanya gangguan pergerakan, khususnya yang
disebabkan diskinesia tardif untuk pedoman di dalam memilih obat antipsikotik.1,3
Pada kondisi gawat darurat dimana pasien tidak kooperatif untuk pemeriksaan,
medikasi antipsikotik dapat diberikan mendahului evaluasi medis. Obat antipsikotik
bersifat relatif aman sehingga umumnya medikasi antipsikotik dapat dimulai sebelum
hasil tes laboratorium diketahui, kecuali terapi dengan clozapine, dimana pemberiannya
hanya dimulai setelah pasien diketahui mempunyai hasil pemeriksaan jumlah dan hitung
lekosit yang normal. 1,6
2.1.1 Prinsip-prinsip Terapetik
Medikasi antipsikotik pada skizofrenia harus mengikuti prinsip-prinsip terapetik
sebagai berikut:1,3,5
Pastikan diagnosis, singkirkan kemungkinan gangguan mental organik dan
penyalahgunaan zat (keadaan intoksikasi atau lepas zat).
Klinisi harus secara cermat menentukan gejala sasaran (target symtoms) yang akan
diobati.
Suatu antipsikotik yang telah terbukti efektif dan dapat ditolelir dengan baik efek
sampingnya oleh pasien, harus dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Apabila
tidak ada informasi tersebut, pemilihan antipsikotik umumnya berdasarkan
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 3
Penatalaksanaan Skizofrenia
pertimbangan efek samping obat karena pada dasarnya semua antipsikotik
mempunyai efek klinis yang sama pada dosis ekivalen.
Lama minimal percobaan suatu antipsikotik adalah 4 – 6 minggu pada dosis adekuat.
Bila tidak memberikan respons klinis, dapat diganti dengan antipsikotik lain
(sebaiknya dari golongan yang berbeda) sesuai dosis ekivalennya. Bila ditemukan
efek samping yang parah (misalnya distonia akut) yang mempengaruhi atau
mengurangi kepatuhan berobat pasien, pergantian obat dapat dipertimbangkan dalam
waktu kurang dari 4 minggu.
Pada umumnya jarang diindikasikan penggunaan lebih dari satu medikasi antipsikotik
pada waktu bersamaan karena tidak terbukti lebih efektif (tidak ada efek sinergis
antara 2 obat antipsikotik) dan meningkatkan potensiasi efek samping obat.
Harus dipertahankan dosis efektif serendah mungkin, yang diperlukan untuk
mengendalikan gejala selama episode psikotik.
Lakukan pemilihan obat antipsikotik berdasarkan pertimbangan: umur, kondisi medis
lain yang menyertai, kemungkinan interaksi obat, respons pemakaian obat
sebelumnya, profil efek samping obat, dan kesukaan/kesenangan pasien.
2.1.2 Fase-Fase Pengobatan
2.1.2.1 Fase Akut
Fase akut umumnya ditandai oleh simtom psikotik yang memerlukan penanganan
klinis segera. Fase akut skizofrenia dapat muncul sebagai episode pertama atau suatu
relaps/eksaserbasi akut dari episode-episode multiple. Tujuan pengobatan fase akut
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 4
Penatalaksanaan Skizofrenia
adalah untuk mengurangi/meredakan simtom-simtom akut dan memperbaiki peran
fungsional kehidupan pasien. Fase akut umumnya berlangsung selama 4 – 8 minggu. 1,3,5
Kebanyakan simtom akut psikosis dapat diatasi dalam 1 – 2 hari sesudah dimulai
medikasi antipsikotik, dan mencapai respons maksimal dalam 6 minggu setelah terapi
dimulai (dari dosis awal sampai mencapai dosis optimal). Biasanya fase akut dapat
diatasi dengan dosis sedang obat antipsikotik tertentu, misalnya klorpromazin 600 – 1200
mg atau antipsikotik lain dengan dosis ekivalen. 1,5
Pada pemberian peroral, dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran,
umumnya untuk pasien dewasa diberikan klorpromazid 3 x 100 mg atau antipsikotik lain
dengan dosis ekivalennya. Dosis awal dapat dinaikan setiap 5 – 7 hari (2 – 3 hari bila
ingin diperoleh respons yang cepat) sebesar 30 – 50% dosis awal sampai mencapai dosis
efektif (mulai timbul peredaan simtom target psikotik). Dosis ini kemudian dievaluasi
setiap 2 minggu (bila perlu dinaikan sebesar 30 – 50%) sampai mencapai dosis optimal
(keadaan dimana semua simtom target psikotik sudah dapat diatasi atau hanya
memperlihatkan gejala minimal). Dosis optimal ini dipertahankan minimal 6 bulan (fase
stabilisasi). 1,5
Jika remisi simtom akut psikotik tidak tercapai dengan dosis adekuat suatu
antipsikotik tipikal dalam waktu 6 minggu, perlu dipertimbangkan penggantian obat ke
obat antipsikotik atipikal. Pada kebanyakan kasus, pasien yang kurang berespons
terhadap suatu antipsikotik tipikal biasanya juga kurang berespons terhadap antipsikotik
tipikal lainnya. 1,5
Pada pasien non-kooperatif dengan simtom akut yang berat dan kecenderungan
melukai diri sediri atau orang lain disekitarnya (agitasi, hiperaktivitas psikomotor,
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 5
Penatalaksanaan Skizofrenia
impulsif, menyerang, gaduh gelisah, destruktif dan lain-lain), dapat diberikan
neurelptisasi cepat. Neuroleptisasi cepat (Rapid Neuroleptization/Psikotolisis/
Digitalisasi) adalah pemberian dosis berulang suatu medikasi antipsikotik secara
intramuskular (IM) dalam waktu singkat (setiap 30 – 60 menit) sampai dicapai sedasi
yang jelas. 1,5
Cara umum tindakan neuroleptisasi cepat adalah dengan pemberian injeksi
haloperidol 5 – 10 mg per kali, dapat diulang tiap 30 – 60 menit samapi dicapai sedasi
yang jelas atau simtom akut psikotik dapat diatasi (pasien menjadi tenang/tertidur),
dengan dosis maksimal 100 mg dalam 24 jam. Perlu diingat bahwa sebelum dilakukan
pemberian dosis ulangan perlu dilakukan pemantauan vital sign. Umumnya sebagian
besar pasien sudah berespons sebelum mencapai dosis kumulatif 50 mg. 3,6,7
Pilihan utama obat pada neuroleptisasi cepat adalah antipsikotik berpotensi tinggi
seperti haloperidol atau serenace, walaupun dapat menimbulkan efek samping simtom
ekstrapiramidal. Simtom ekstrapiramidal yang muncul cenderung mudah diatasi dengan
pemberian antikolinegik, misalnya difenhidramin 50 mg IM atau IV, benzodiazepine
(cogentin) 2 mg peroral atau IM, diazepam 5 – 10 mg peroral/IV/IM. Pada pasien yang
lebih tenang dan kooferatif, neuroleptisasi cepat dengan pemberian IM dapat diganti
dengan pemberian oral haloperidol 5 – 10 mg. 5,7
Untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif dalam pengendalian perilaku,
neuroleptisasi cepat dapat dikombinasi dengan pemberian golongan benzodiazepin,
misalnya lorazepam (ativan) 2 mg IM atau diazepam 5 – 10 mg IM. Kombinasi ini adalah
aman dan bahkan lebih efektif dibanding dengan pemberian masing-masing obat secara
sendiri-sendiri. 5,6
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 6
Penatalaksanaan Skizofrenia
2.1.2.2 Fase Stabilisasi
Pada umumnya terjadi setelah 4 – 12 minggu setelah fase akut dikontrol. Terdapat
perbaikan gejala positif dengan regimen antipsikotik tertentu (sudah mencapai dosis
optimal), pada pasien mungkin terdapat gejala bingung, kekacauan dan disfori. 1
Pada fase ini simtom akut sudah dapat dikendalikan tetapi pasien masih mempunyai
resiko relaps jika pengobatan dihentikan atau dosis obat diturunkan terlalu dini atau
pasien berhadapan dengan stres yang berlebihan. Tujuan pengobatan fase stabilisasi
adalah untuk memfasilitasi kelanjutan pengurangan simtom yang telah diperoleh dari
pengobatan fase akut, mencegah relaps, mempertinggi adaptasi pasien terhadap
kehidupan di masyarakat dan konsolidasi menuju remisi.
Pengobatan dengan jenis dan dosis optimal obat yang sama pada fase akut harus
dipertahankan minimal 6 bulan. Penurunan dosis dan penghentian obat yang terlalu dini
akan memicu terjadinya relaps dalam waktu relatif singkat, biasanya 1 bulan setelah
penghentian obat. 1,5
Setelah 6 bulan, dosis obat dapat diturunkan perlahan-lahan setiap 2 minggu
sebesar 30 – 50% sampai mencapai dosis pemeliharaan (dosis efektif terkecil yang
mampu mencegah repals). Dengan mencapai dosis pemeliharaan, pasien memasuki fase
stabil. 5,6
Salah satu strategi menurunkan dosis yaitu dengan cara medikasi intermiten,
dimana antipsikotik hanya diberikan apabila pasien memerlukannya. Strategi ini
mengharuskan keluarga dan pasien mampu mengenali gejala dan tanda eksaserbasi awal
dari suatu relaps (misalnya ansietas, iritabilitas, gangguan tidur, tingkah laku aneh, ide
paranoid, gangguan persepsi). Bila hal ini dijumpai medikasi antipsikotik harus mulai
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 7
Penatalaksanaan Skizofrenia
diberikan kembali untuk periode tertentu, biasanya 1 – 3 bulan. Walaupun pendekatan ini
dapat meningkatkan rehospitalisasi, pendekatan terapi ini aman dan efektif untuk
beberapa pasien. Banyak studi melaporkan bahwa terapi intermiten kurang efektif dalam
mengurangi kejadian relaps dibanding dengan pemberian dosis pemeliharaan terus-
menerus. 6
Strategi lain adalah dengan cara pemberian intermiten medikasi depot dalam dosis
yang sama dengan pemberian oral. Bila ditemukan gejala prodormal dini dari kejadian
relaps, dapat ditambahkan medikasi oral. Pendekatan ini merupakan strategi efektif yang
membuat terapi dengan dosis kecil menjadi lebih aman. 5
2.1.2.3 Fase Stabil/Fase Pemeliharaan
Pada fase ini sudah dicapai remisi relatif. Tujuan pengobatan fase stabil adalah
untuk meminimalkan resiko dan konsekuensi relaps serta mengoptimalkan peran
fungsional dan kualitas hidup pasien.5,6
Pada fase stabil/pemeliharaan, diberi antipsikotik dengan dosis efektif terendah
yang dapat mencegah relaps (dosis pemeliharaan/maintenance dose). Dosis ini
dipertahankan selama 1 tahun sampai dengan sumur hidup tergantung episode seangan
skizofernia pasien, umunya dipertahankan 1 – 2 tahun untuk episode pertama, 5 tahun
untuk episode kedua, dan seumur hidup untuk episode ketiga atau lebih. 1,3,5
Dalam medikasi, bila ditemukan pasien yang tidak mematuhi regimen antipsikotik
oral atau tidak efektif untuk medikasi oral dapat diberikan medikasi depot. Tersedia dua
macam preparat depot, yaitu haloperidol dekanoat (haldol dekanoat) 50 mg/ml dan
fluphenazine decanoat (modecate) 25 mg/ml, dapat diberikan setiap 2 – 4 minggu secara
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 8
Penatalaksanaan Skizofrenia
IM. Bila ditemukan gejala eksaserbasi awal pada pasien yang mendapat medikasi depot,
penggunaan medikasi depot diteruskan tetapi ditambah dengan pemberian medikasi oral
atau tambahkan suntikan kecil depot tambahan. 1,5,6
2.1.3 Obat Antipsikotik
Kepustakaan sekarang membagi obat antipsikotik menjadi antipsikotik tipikal
(antipsikotik konvensional/antipsikotik klasik) dan antipsikotik atipikal (novel
antipsychotics), dimana terdapat perbedaan mekanisme kerja dan profil efek samping di
antara kedua golongan tersebut. 1,5
Tabel di bawah ini memperlihatkan klasifikasi antipsikotik yang umum
dipergunakan beserta dosis pemakaiannya. 5
Antipsikotik Group Kimia Dose Anjuran (mg/hari p.o.)
Typical Chlorpromazine (Largactil) Thioridazine (Melleril) Trifluoperazine (Stelazine) Haloperidol (Serenace) Pimozide (Orap Forte)
Phenothiazine (aliphatic)Phenothiazine (piperidine)Phenothiazine (piperazine)ButyrophenoneDiphenilbutylpiperidine
150 – 600150 – 60010 – 155 – 152 – 4
Atypical Clozapine (Clozaril) Olazapine (Zyprexa) Quetiapine (Seroquel) Risperidone (Risperdal) Sulpiride (Dogmatil Forte)
DibenzodiazepineDibenzodiazepineDibenzothiazepineBenzisoxazoleBenzamide
25 – 10010 – 2050 – 400
2 – 6300 – 600
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 9
Penatalaksanaan Skizofrenia
2.1.4 Mekanisme Kerja Antipsikotik
Antipsikotik tipikal mempunyai mekanisme kerja dengan memblokade dopamin
pada reseptor pascasinaptik di jalur limbik dan ekstrapiramidal otak. Blokade ini
dipikirkan memperantarai efikasi antipsikotik tipikal dalam kemampuan mengurangi atau
menghilangkan simtom positif psikotik.1,5
Efek terapetik antipsikotik atipikal dapat diterangkan dengan mekanisme kerja
sebagai berikut: 1) Blokade reseptor D2 pada jalur mesolimbik akan mengurangi simptom
positif; 2) Peningkatan pembebasan dopamin dan blokade reseptor 5 HT2A pada jalur
mesokortikal akan mengurangi simtom negatif; 3) Ikatan dengan reseptor lain memberi
kontribusi terhadap efikasi dalam pengobatan simtom kognitif, agresif dan depresi; 4)
Antagonisme 5 HT2A pada jalur nirostriatal akan mengurangi simtom ekstrapiramidal dan
diskinesia tardif; 5) Antagonisme 5 HT2A pada jalur tubulo infundibular akan mengurangi
hiperprolaktinemia.1,8
2.1.5 Profil Efek Samping Antipsikotik
Efek samping obat antipsikotik tipikal dapat berupa: Blokade reseptor dopamin-2
(D2) pada jalur nigrostriatal menyebabkan simtom ekstrapiramidal, misalnya distonia
akut, akatisia, sindroma Parkinson (bradikinesia, rigiditas, resting tremor) dan diskinesia
tardif; Blokade reseptordopamin-2 (D2) pada jalur tuberoinfundibular menyebabkan
hiperprolaktinemia dengan manifestasi galaktorea, ginekomastia, amenorea, impotensi,
infertilitas dan kemungkinan percepatan osteoporosis; Blokade reseptor 1 menyebabkan
hipotensi ortostatik, sedasi, dizziness, inhibisi ejakulasi dan takikardia refleks; Blokade
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 10
Penatalaksanaan Skizofrenia
reseptor muskarinik/kolinergik (M1) menyebabkan mulut kering, pandangan kabur
(blurred vision), konstipasi, retensi urin, sedasi, hidung tersumbat, ejakulasi tertunda atau
retrograde, disfungsi memori, delirium, sinus takikardia dan kurang berkeringat; Efek
terhadap kardiovaskuler, misalnya perubahan EKG (pelebaran kompleks QRS,
perpanjangan interval QT), takikardia, aritmia dan miokarditis; Efek terhadap hati,
misalnya gangguan ringan terhadap tes fungsi hati dan joundice kolestatik; Efek
hematologis dapat bervariasi dari lekopeni sampai agranulositosis; Menurunkan ambang
kejang; Sindroma neuroleptika maligna, yaitu suatu reaksi idiosinkrasi yang jarang,
dengan karakteristik berupa hipertermia, rigiditas otot, iritabilitas otonomik, perubahan
tingkat kesadaran, peningkatan kadar kreatinin dan fosfokinase serum; bersifat fatal pada
20% kasus. 1,3,5
Efek samping antipsikotik atipikal berbeda-beda tergantung dari jenisnya, seperti
sebagai berikut: Clozapine: Sedasi, hipersalivasi, efek antikolinergik, kenaikan berat
badan, hipotensi posturnal. Efek yang serius: Agranulositosis, lowered sizure threshold;
Olazapine: Kenaikan berat badan, sedasi, pening, efek antikolinergik; Quetiapine:
Somnolen, pening, konstipasi, hipotensi posturnal, mulut kering; Risperidol: Insomnia,
ansietas, agitasi; Amisulpride: Insomnia, ansietas, agitasi.1,9
2.1.6 Kontra Indikasi Antipsikotik
Riwayat alergi yang serius terhadap antipsikotik.
Pada pasien yang mengkonsumsi zat yang akan berinteraksi dengan antipsikotik
sehingga menyebabkan depresi susunan saraf pusat (SSP) (misalnya alkohol, opioid,
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 11
Penatalaksanaan Skizofrenia
barbiturat, benzodiazepin) atau delirium antikolinergik (misalnya skopolamin dan
kemungkinan fensiklidin/PCP).
Resiko tinggi timbulnya kejang akibat organik atau idiopatik, misalnya epilepsi
(antipsikotik berpotensi menurunkan ambang kejang).
Glaukoma sudut sempit (pada penggunaan antipsikotik yang mempunyai efek
kolinergik yang bermakna).
Penyakit hati (antipsikotik bersifat hepatotoksik).
Penyakit darah (antipsikotik bersifat hematotoksik); klozapin dikontra- indikasikan
pada pasien yang mempunyai riwayat netropeni atau agranulositosis yang diinduksi
obat dan penyakit mieloproliferatif).
Kelainan jantung (antipsikotik bersifat menghambat irama jantung).
Demam tinggi (antipsikotik bersifat mempengaruhi termolegulator di SSP).
Penyakit SSP (Parkinson, tumor otak, dan lain-lain). 5,8,9
2.1.7 Interaksi Obat
Antipsikotik + antipsikotik lain = potensiasi efek samping obat dan tidak ada bukti
lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat anti-psikotik).
Antipsikotik + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat (hati-
hati pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit jantung).
Antipsikotik + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus dengan
gejala agitasi dan gaduh gelisah yang sangat hebat (acute adjunctive therapy).
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 12
Penatalaksanaan Skizofrenia
Antipsikotik + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat antipsikotik pada pagi hari
sebelum dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena angka mortalitas
yang tinggi.
Antipsikotik + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan
kejang meningkat. Oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar (dose-
related). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat antipsikotik
Haloperidol.
Antipsikotik + antasida = efektivitas antipsikotik menurun disebabkan gangguan
absorpsi. 5
2.1.8 Pemilihan Obat Antipsikotik
Pada dasarnya semua obat antipsikotik mempunyai efek primer (efek klinis) yang
sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping: sedasi,
otonomik, ekstrapiramidal). Onset efek sekunder (sekitar 2 – 6 jam) bisa mendahului
onset efek primer (sekitar 2 – 4 minggu). 5
Tabel di bawah ini memperlihatkan beberapa obat antipsikotik dengan efek
sekundernya/efek sampingnya: 5
Antipsikotik Gg-Eq Dosis (mg/h) Sedasi OtonomikEks.
PiramidalChlorpromazineThioridazinePerphenazineTrifluoperazineFluphenazineHaloperidolPimozideClozapine
1001008552225
150 – 1600100 – 900
8 – 485 – 605 – 602 – 1002 – 6
25 – 200
++++++
++
++++
++++
++++++
++++++
+++
+++++++++
++++++–
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 13
Penatalaksanaan Skizofrenia
Antipsikotik Gg-Eq Dosis (mg/h) Sedasi OtonomikEks.
PiramidalLevomepromazineSulpirideRisperidoneQuetiapineOlazapine
252002
10010
50 – 300200 – 1600
2 – 950 – 40010 – 20
++++++++
++++++
+++++
Sebelum melakukan terapi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan
obat antipsikotik antara lain:
Gejala psikosis yang dominan, apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan
diri, hipobulia, isi pikiran miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi,
bicara kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien skizofrenia, pilihan obat antipsikotik
atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada pasien skizofrenia yang tidak dapat
mentolelir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai resiko medik dengan adanya
gejala ekstrapiramidal. 1,5
Profil efek samping, misalnya pada contoh sebagai berikut: chlorpromazine dan
thioridazine yang efek samping sedatif kuat terutama digunakan terhadap Sindrom
Psikosis dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran,
perasaan, dan perilaku. Sedangkan trifluoperazine, fluphenazine, dan haloperidol yang
efek samping sedatif lemah digunakan terhadap Sindrom Psikosa dengan gejala dominan
apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham,
halusinasi. Tapi obat terakhir ini paling mudah menyebabkan timbulnya gejala
ekstrapiramidal, pada pasien yang rentan terhadap efek samping tersebut perlu digantikan
dengan thioridazine (dosis ekivalen) dimana efek samping ekstrapiramidalnya sangat
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 14
Penatalaksanaan Skizofrenia
ringan. Untuk pasien yang sampai timbul “tardive dyskinesia” obat antipsikotik yang
tanpa efek samping ekstrapiramidal adalah clozapine. 1,5
Respons pengobatan terdahulu, apabila dalam riwayat penggunaan obat
antipsikotik sebelumnya, jenis obat antipsikotik tertentu yang sudah terbukti efektif dan
ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang. 1,5
Kesukaan atau kecocokan pasien terhadap antipsikotik tertentu berdasarkan
pengalaman terdahulu. 5
Cara atau rute pemberian, pada kebanyakan kondisi, pasien mendapat terapi
dengan obat antipsikotik oral. Kebanyakan obat antipsikotik mempunyai waktu paruh
panjang yang memungkinkan pemberian dosis sehari. Pada keadaan dimana pasien
menolak makan obat atau diperlukan onset yang sangat cepat, dapat diberikan obat
bermasa kerja pendek secara intra muscular (IM). Pemberian antipsikotik secara IM
menghasilkan kadar puncak plasma dalam 30 menit dan efek klinis dihasilkan dalam
15 – 30 menit. Pemberian antipsikotik secara oral menghasilkan kadar puncak plasma
dalam waktu 1 – 4 jam. Dosis antipsikotik untuk pemberian IM adalah kira-kira ½ dosis
yang diberikan secara oral. 5,8
2.1.9 Manajemen Efek Samping Antipsikotik
Pengobatan skizofrenia dengan antipsikotik sering menimbulkan efek samping,
yang sering merupakan alasan ketidakpatuhan berobat pasien.6 Berikut adalah beberapa
efek samping antipsikotik
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 15
Penatalaksanaan Skizofrenia
Efek samping ekstrapiramidal/sindrom parkinson, dapat diatasi dengan
pemberian obat antiparkinson, seperti trihexyphenidyl (artane) 3 – 4 x 2 mg/hari, sulfas
atropin 0,50 – 0,75 mg IM. Apabila sindrom parkinson sudah terkendali diusahakan
penurunan dosis secara bertahap. Untuk mentukan apakah masih dibutuhkan penggunaan
obat antiparkinson. Secara umum dianjurkan penggunaan antiparkinson tidak lebih dari 3
bulan (resiko timbul “atropine toxic syndrome”). Pemberian profilaksis antiparkinson
tidak dianjurkan, karena dapat mempengaruhi penyerapan/absorpsi obat antipsikotik
sehingga kadarnya dalam plasma rendah, dan dapat menghalangi manifestasi gejala
psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat antipsikotik agar tercapai
dosis efektif. 5
Akatisia, biasanya sukar diatasi khususnya pada fase kronis. Tindakannya,
turunkan dosis antipsikotik dan berikan antiparkinson atau beta bloker ( propanolol 30 –
90 mg/hari) dan benzodiazepin (diazepam 2 mg tiga kali sehari). 1
Distonia, dapat diatasi dengan antikolinergik atau antihistamin, seperti benztopine
mestylate 2 mg IM atau peroral atau diphenhydramine 50 mg IV. 1
Diskinesia tardif, tidak ada pengobatan yang spesifik. Penanganannya dengan
menurunkan dosis antipsikotik atau jangan berikan obat tersebut dan ganti dengan
klozapine. Selain itu berikan vitamin E 400 – 1200 mg. 1,5
Hipotensi ortostatik, berikan injeksi noradrenalin secara IM. Hipotensi ortostatik
seringkali dapat dicegah dengan tidak langsung bangun setelah mendapat suntikan
antipsikotik dan dibiarkan tidur sekitar 5 – 10 menit. 5
Sinrom Neuroleptik Malignan (SNM), merupakan kondisi yang mengancam
kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi obat antipsikotik. Penanganannya, hentikan segera
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 16
Penatalaksanaan Skizofrenia
pemberian antipsikotik, perawatan suportif, berikan dopamine agonist (bromokriptin 7,5
– 60 mg/hari dibagi dalam 3 dosis, L-dopa 2 x 100 mg/hari, atau amantadin 200 mg/hari.5
2.2 Terapi Elektro-Konvuls
Dewasa ini terapi renjatan listrik (ECT, electroconvulsive therapy atau TEK, terapi
elektro-konvulsi) masih banyak digunakan dalam psikiatri, terutama untuk mengatasi
gangguan psikotik berat dengan kecenderungan bunuh diri atau mencelakai orang lain.
Biasanya TEK lebih cepat menghilangkan gejala psikotik hebat daripada obat.8
TEK baik hasilnya pada jenis gaduh gelisah katatonik dan stupor katatonik. Terhadap
jenis paranoid hasilnya kurang baik dan yang paling kurang baik ialah terhadap
skizofrenia simplex dan hebefrenik; bila hanya gejala hanya ringan lantas diberi TEK,
kadang-kadang gejala menjadi lebih besar.3
Frekwensi dan jumlah dilakukan TEK tergantung pada keadaan penderita, TEK
dapat diberikan: secara “block”, 2 – 4 hari berturut-turut 1 – 2 kali sehari; 2 – 3 kali
seminggu; TEK “maintenance”, sekali setiap 2 – 4 minggu. TEK dihentikan setelah
pasien menunjukan perbaikan yang jelas dan dilanjutkan dengan psikofarmaka.3
2.3 Psikoterapi dan Rehabilitasi
Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisa tidak membawa hasil yang diharapkan,
bahkan ada yang berpendapat tidak boleh dilakukan pada penderita dengan skizofrenia
karena justru dapat menambah isolasi dan otisme. Yang dapat membantu penderita ialah
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 17
Penatalaksanaan Skizofrenia
psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta bimbingan yang praktis dengan
maksud untuk mengembalikan penderita ke masyarakat. 3
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain,
perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi, karena bila ia
menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk
mengadakan permainan atas latihan bersama. Pemikiran atau falsafah atau kesenian
bebas dalam bentuk melukis bebas atau bermain musik bebas, tidak dianjurkan sebab
dapat menambah otisme. Bila dilakukan juga harus ada pemimpin dan ada tujuan yang
lebih dulu sudah ditentukan. 3
Perlu juga diperhatikan lingkungan penderita. Bila mungkin diatur sedemikian rupa
sehingga ia tidak mengalami stres terlalu banyak. Bila mungkin sebaiknya ia
dikembalikan ke pekerjaan sebelum sakit, dan itu tergantung pada kesembuhannya
apakah tanggungjawabnya dalam pekerjaannya itu akan penuh atau tidak. 3
2.4 Lobotomi Prefrontal
Dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan bila penderita
sangat mengganggu lingkungannya. 3
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 18
Penatalaksanaan Skizofrenia
3. KESIMPULAN
Gangguan jiwa berat-skizofrenia-yang ditandai dengan ketidakmampuan pasien
mengintegrasikan tiga fungsi mental pikiran, perasaan, dan tingkah laku. Bila tidak
mendapat pengobatan yang tepat atau adekuat dan terlalu cepat berhenti, besar
kemungkinan akan kambuh dan menjadi menahun. Jika terapi dilakukan sedini mungkin,
maka prognosisnya akan lebih baik.
Pengobatan skizofrenia bersifat multidimensional, terdiri dari terapi somatik
(psikofarmaka dan ECT) dan terapi psikososial (psikoterapi individual, terapi perilaku,
terapi berorientasi keluarga dan terapi kelompok). Pada terapi psikofarmaka,
psikofarmaka utama yang dipergunakan adalah antipsikotik, baik yang bersifat tipikal
maupun atipikal. Pengobatan skizofrenia terdiri dari 3 fase, yaitu fase akut, fase
stabilisasi dan fase stabil. Pengobatan fase akut berlangsung selama minimal 6 minggu,
fase stabilisasi pengobatannya harus dipertahankan selama minimal 6 bulan untuk
mencegah terjadinya relaps, dan pengobatan fase stabil dipertahankan minimal 1 tahun
sampai seumur hidup tergantung pada episode skizofrenia pasien.
Pemberian dosis obat pada terapi skizofrenia dilakukan penaikan dosis secara
perlahan sampai mencapai dosis efektif pada fase akut dan dosis optimal pada fase
stabilisasi, yang kemudian di turunkan secara perlahan sampai mencapai dosis efektif
terkecil pada fase stabil. Pengobatan pada fase stabil dan stabilisasi dapat berbentuk
medikasi oral atau depot.
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 19
Penatalaksanaan Skizofrenia
DAFTAR PUSTAKA
1. Resna L: Tinjauan Klinis dan Aspek Farmakoterapi Neuroleptik pada Penderita
Skizofrenia Anak, Majalah Psikiatri Jiwa, Juni 2001, XXXIV, No. 2: 141-160.
2. Muslim R: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III,
Jakarta, 2001: 46.
3. Maramis WF: Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University Press, Surabaya,
1994: 215-234.
4. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Sinopsis Psikiatri (Edisi Bahasa Indonesia), Edisi
II, Jilid I, Jakarta, Binarupa Aksara, 1997: 695-6, 723-9.
5. Muslim R: Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, Edisi III, Jakarta,
2001: 14-22.
6. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Sinopsis Psikiatri (Edisi Bahasa Indonesia), Edisi
VII, Jilid II, Jakarta, Binarupa Aksara, 1997: 374-5, 571-7.
7. Kaplan HI, Sadock BJ: Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat (Edisi Bahasa Indonesia),
Edisi I, Jakarta, Widia Medika, 1998: 407-413.
8. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, et al: Farmakologi dan Terapi, Edisi IV,
Jakarta, Gaya Baru, 1995: 148-162.
9. Winotopradjoko M, Patra K, Hamid TBJ, et al: Informasi Spesialite Obat Indonesia,
Edisi Farmakoterapi, Volume XXXIII, Jakarta, PT Anem Kosong Anem, 2000.
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 20
Penatalaksanaan Skizofrenia
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………. ii
DAPTAR ISI ……………………………………………………………………………iii
1. PENDAHULUAN............................................................................................1
2. PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA..........................................................2
2.1 Psikofarmakoterapi...........................................................................................2
2.1.1 Prinsip-prinsip Terapetik...................................................................2
2.1.2 Fase-Fase Pengobatan.......................................................................2
2.1.3 Obat Antipsikotik..............................................................................2
2.1.4 Mekanisme Kerja Antipsikotik..........................................................2
2.1.5 Profil Efek Samping Antipsikotik.....................................................2
2.1.6 Kontra Indikasi Antipsikotik.............................................................2
2.1.7 Interaksi Obat....................................................................................2
2.1.8 Pemilihan Obat Antipsikotik.............................................................2
2.1.9 Manajemen Efek Samping Antipsikotik...........................................2
2.2 Terapi Elektro-Konvuls.....................................................................................2
2.3 Psikoterapi dan Rehabilitasi..............................................................................2
2.4 Lobotomi Prefrontal..........................................................................................2
3. KESIMPULAN................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................2
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 21
Penatalaksanaan Skizofrenia
PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA
Oleh,
NURAINI SM.
9 7 0 1 0 0 1 0 2
Pembimbing,
Dr. Raharjo Suparto, SpKJ
SMF PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 22
Penatalaksanaan Skizofrenia
2002
PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA
Makalah Ini Dibuat Untuk Melengkapi Persyaratan Kepanitraan Klinik Seniordi SMF Psikiatri Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh,
NURAINI SM.9 7 0 1 0 0 1 0 2
Pembimbing,
Dr. Raharjo Suparto, SpKJ
SMF PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 23
Penatalaksanaan Skizofrenia
UNIVERSITAS SUMATERA UTARAMEDAN
2002KATA PENGANTAR
Assalammualaikum Wr. Wb.
Dengan rasa syukur dan hati lega, penulis telah selesai menyusun paper ini guna
memenuhi persyaratan Kepanitraan Klinik Senior di Bagian Psikiatri Rumah Sakit
Umum Dr. Pirngadi Medan dengan judul “Penatalaksanaan Skizoprenia”. Paper ini
berisi tatacara penatalaksanaan skizofrenia dari segi psikofarmaka, ECT, psikososial dan
diulas sedikit tentang obat-obat antipsikotik.
Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Dr. Raharjo Suparto, SpKJ atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti Kepanitraan
Klinik Senior di Bagian Psikiatri Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan serta dalam
penyusunan paper ini.
Bahwasanya hasil usaha penyusunan paper ini masih banyak kekurangannya,
tidaklah mengherankan karena keterbatasan pengetahuan yang ada pada penulis. Kritik
dan saran yang sifatnya membangun sangat penlis harapkan guna perbaikan penyusunan
paper lain dikemudian kesempatan.
Harapan penulis semoga paper ini dapat bermanfaat dalam menambah
pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan penatalaksanaan
Skizofrenia di masyarakat.
Medan, Oktober 2002
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 24
Penatalaksanaan Skizofrenia
Penulis
KKS Bagian Psikiatri RSU Dr. Pirngadi Medan/RSUP HAM Nuraini SM. 25