Post on 09-Dec-2016
TESIS
PENGALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH YANG
SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN
WIWIN EKA EMAWATI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
PENGALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH YANG
SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN
WIWIN EKA EMAWATI
NIM. 1192462019
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
i
ii
PENGALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH YANG
SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana Universitas Udayana
WIWIN EKA EMAWATI
NIM. 1192462019
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL : 04 JULI 2014
Pembimbing I
(Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs.,SH.,MH)
Pembimbing II
(Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH) NIP. 19551126 198511 1 001 NIP. 19550306 198403 1 003
Mengetahui :
Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Universitas Udayana,
(Prof.Dr.I Made Arya Utama,SH.,MHum.) (Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 19650221 199003 1 005 NIP. 19590215 198510 2 001
iv
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal: 03 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana,
Nomor: 1867 / UN14.4 / HK / 2014
Tanggal 20 Juni 2014
Ketua : Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs.,S.H.,M.H
Anggota : 1. Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H
2. Dr. I Ketut Westra, S.H.,M.H
3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum.
4. Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H.
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa:
Nama : WIWIN EKA EMAWATI
NIM : 1192462019
Program Studi : Magister Kenotariatan
JudulTesis : Pengalihan Hak Milik Atas Tanah Yang Sedang
Dibebani Hak Tanggungan
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 20 Juni 2014
Yang membuat pernyataan
(Wiwin Eka Emawati)
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat dan karuniaNya, saya
dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini dengan judul “Pengalihan Hak Milik
Atas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan”. Dalam penulisan ini,
penulis menyadari masih terdapat kekurangan, oleh karena itu dengan kerendahan
hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun bagi penyempurnaan
tesis ini. Besar harapan penulis semoga tesis ini dapat memenuhi kriteria sebagai
salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulisan tesis inipun tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan
dari para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini Penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Yohanes
Usfunan, Drs., SH., MH, selaku Pembimbing Utama dan terima kasih Penulis
ucapkan kepada Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH, selaku Pembimbing Kedua
yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis
menyelesaikan Tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut
Suastika Sp.PD KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana beserta seluruh
jajaran dan staf atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan
menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima
kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), selaku
vii
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti
Ngurah Wairocana, SH.,MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister dan
kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Udayana.
Terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar
di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas
Udayana yang telah memberikan ilmu kepada para mahasiswa termasuk penulis,
Bapak dan Ibu seluruh staf karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan
Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi,
serta Bapak dan Ibu Komisaris, Direksi dan kepala bagian kredit Bank Perkreditan
Rakyat yang telah memberikan informasi dan arahan dalam penulisan Tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Mama tercinta
yaitu I Wayan Murja, SE.MM dan Ni Wayan Armini, SE, serta saudara tersayang
yaitu Dwi Ema Putra, SE., Wahyu Ema Aditya dan Novi Ema Sri Wahyuni yang
dengan sabar selalu mendoakan penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini,
kemudian penulis mengucapkan terima kasih kepada I Made Surya Winatha, SH.,
yang selalu sabar dan selalu memberikan perhatian yang besar terhadap penulis,
serta seluruh teman-teman Angkatan III Mandiri Magister Kenotariatan
Universitas Udayana yang telah membantu dan memberikan dorongan serta
semangat dalam penulisan tesis ini. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih
kepada para sahabat, yaitu Chriss dan Gek mas serta semua pihak yang namanya
viii
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak mendukung dalam
proses pembuatan tesis ini.
Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa/Ida
Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan
kepada kita semua dan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna
bagi masyarakat.
Denpasar, 6 Mei 2014
Penulis.
ix
ABSTRAK
PENGALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH YANG SEDANG DIBEBANI
HAK TANGGUNGAN
Latar belakang penulisan tesis ini adalah adanya pengalihan hak milik atas
tanah dengan hanya melakukan perjanjian dibawah tangan dimana status tanah
sedang dibebani hak tanggungan pada bank. Penelitian ini ditujukan untuk
mengkaji penyelesaian sengketa yang timbul dari adanya itikad tidak baik debitur
dengan tidak memenuhi prestasinya, sehingga merugikan pihak bank dan pihak
lain yang telah membayar lunas tanah yang telah dibelinya. Untuk itu perlu diteliti
bagaimanakah penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang
sedang dibebani hak tanggungan dan bagaimana perlindungan hukum terhadap
kedudukan pihak pembeli tanah.
Jenis penelitian dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, sekunder
dan tersier, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), Pendekatan kasus (case approach), Pendekatan analitis (analytical
approach). Didukung dengan adanya data penunjang berupa hasil wawancara
kepada para pihak terkait. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan
hukum yaitu teknik telaah kepustakaan yang nantinya pembahasan dilakukan
secara deskriptif, eksplanasi, kemudian dikaji (evaluasi) dan diberikan penalaran-
penalaran (argumentasi) dari hasil evaluasi tersebut, sehingga dapat memperoleh
kesimpulan mengenai persoalan yang dibahas pada penelitian ini.
Hasil penelitian terhadap permasalahan yang dikaji adalah penyelesaian
sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani hak tanggungan
dilakukan dengan menempuh jalur non litigasi yaitu negosiasi, sedangkan
perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah yaitu pembeli
tanah memiliki hak untuk mendapatkan seutuhnya kepemilikan tanah serta
pembeli tanah mempunyai hak tagih kepada debitur/pemilik tanah (sebagai
kreditur konkuren) terhadap piutang pembayaran kredit debitur/pemilik tanah
kepada bank.
Kata Kunci : Pengalihan Hak Milik Atas Tanah, Penyelesaian Sengketa, Hak
Tanggungan, Perlindungan Hukum.
x
ABSTRACT
TRANSFER OF PROPRIETARY RIGHTS OVER LAND THAT IS STILL
BURDENED WITH ENCUMBRANCE RIGHT
The background of this thesis is a transfer of property rights over land by
using underhand agreement only which the status of the land was still burdened
by encumbrance right in a bank. This study is aimed to examine the settlement of
disputes arising from the existence of debtor’s bad faith which does not meet the
performance, so that it detriments the bank and the others party who have paid off
the land that has been bought. For this, it’s necessary to study how the settlement
of disputes arising from the land purchasing that was still burdened by
encumbrance right and how the legal protection for the position of the land
buyers.
The type of research in this thesis is a normative legal research, which means
this research done by examining the primary legal materials, secondary and
tertiary, using the statute approach, case approach, and analytical approach. This
is supported by the supporting data in the form of interviews results from relevant
parties. The technique used for collecting legal materials is Literatures
Examining Technique which this discussion will done descriptively, explanatory,
and then evaluated and given reasoning ( arguments ) from the results of the
evaluation, so it can reach a conclusion regarding the matters discussed in this
study.
The research result of the problems studied here is settlement of disputes
arising from the purchasing of land that was still burdened by encumbrance right
done by using non-litigation such as negotiation, whereas the legal protection of
the land buyers position is the land buyers have a right to obtain the ownership of
land completely and they have the right to collect from the debtor / land owner (
as unsecured creditors ) toward the debtor’s credit payments claim / land owner
to the bank .
Keywords : Transfer of Proprietary Rights to Land, Disputes Settlement,
Encumbrance Right, Legal Protection .
xi
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai pengalihan hak milik atas tanah yang
sedang dibebani hak tanggungan.
Bab I, menguraikan latar belakang permasalahan yaitu terjadinya
pengalihan hak milik atas tanah yang hanya dilakukan dengan perjanjian dibawah
tangan, dengan status tanah masih dibebani hak tanggungan pada bank, hasil
pembayaran yang diperoleh dari jual beli tanah tersebut tidak dibayarkan kepada
bank sebagai bentuk kewajiban pembayaran hutang debitur, sehingga kredit
debitur/pemilik tanah macet, mengaharuskan bank untuk mengeksekusi objek
jaminan tersebut yang notabene telah dikuasai oleh pihak lain. Penelitian ini
ditujukan untuk mengkaji ketentuan hukum positif tertulis (perundang-undangan)
dan ketentuan perjanjian yang diberlakukan pada peristiwa hukum tertentu (in
concreto). Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka pada sub bab
ini diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
landasan teoritis dan metode penelitian yang digunakan.
Bab II menguraikan mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan
pengalihan hak atas tanah dan hak tanggungan. Konsep-konsep yang berkaitan
dengan pengalihan hak atas tanah yaitu pengertian hak atas tanah, hak individu
atas tanah, macam-macam hak atas tanah, dan peralihan hak atas tanah. Konsep-
konsep yang berkaitan dengan hak tanggungan yaitu pengertian hak tanggungan,
objek dan subjek hak tanggungan, asas-asas hak tanggungan, pembebanan hak
tanggungan, lahir dan berakhirnya hak tanggungan.
Bab III merupakan hasil uraian penelitian dari permasalahan pertama yang
diuraikan dalam 4 (empat) sub bab, yaitu tentang negosiasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa pada kredit bermasalah dengan jaminan hak tanggungan
yang telah dialihkan kepada pihak lain, hak tanggungan sebagai jaminan kredit
pada bank, kedudukan kreditur dalam penjaminan dengan hak tanggungan,
kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan. Hasil dari penelitian pada bab ini
menunjukkan bahwa dengan ditempuhnya cara efektif yaitu negosiasi yang
dilakukan oleh bank kepada debitur dan pihak lain yang terlibat, sengketa kredit
macet dapat diselamatkan dan hak-hak para pihak yang berkepentingan dapat
terpenuhi. Dengan demikian perjanjian kredit dan perjanjian jaminan tidak
kehilangan unsur validitasnya, adanya cara-cara efektif yang dilakukan oleh pihak
bank selaku kreditur sehingga kredit macet tersebut dapat diselamatkan telah
membuktikan bahwa norma-norma yang terkandung dalam perjanjian kredit dan
UU Hak Tanggungan adalah norma yang valid diterima dan dipatuhi oleh
masyarakat.
Bab IV merupakan hasil uraian penelitian dari permasalahan kedua yang
diuraikan dalam 2 (dua) sub bab, yaitu pembelian tanah yang dilakukan dengan
perjanjian dibawah tangan dengan membayar lunas tanah yang sedang dibebani
hak tanggungan, serta perlindungan hukum pihak pembeli tanah dengan
pembelian pembayaran lunas tanah yang sedang dibebani hak tanggungan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian
harus mengindahkan substansi perjanjian/kontrak berdasarkan kepercayaan atau
xii
keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Jika ditemukan adanya
itikad tidak baik dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, baik dalam
pembuatan maunpun dalam pelaksanaan perjanjian maka pihak yang beritikad
baik akan mendapat perlindungan hukum. Perlindungan terhadap kedudukan yang
dapat diperoleh pihak pembeli tanah yang telah beritikad baik berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut, yaitu : Setelah dibayarnya sebagian hutang debitur,
pihak pembeli tanah memiliki hak untuk mendapatkan bukti sertifikat hak milik
tanah untuk dilanjutkan dengan proses balik nama yang dilakukan oleh pejabat
yang berwenang; serta pihak pembeli tanah berkedudukan sebagai kreditur
(layaknya kreditur konkuren karena hanya termasuk perjanjian jual beli secara
umum), dalam hal menuntut pengembalian uang hasil pembayaran sebagian
hutang debitur/pemilik tanah kepada bank.
Bab V merupakan bab penutup yang menguraikan tentang simpulan dan
saran. Simpulan dari hasil penelitian ini adalah penyelesaian sengketa yang timbul
dari pembelian tanah yang sedang dibebani hak tanggungan didasarkan pada
ketentuan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, jika benda yang dijadikan objek jaminan
telah dijual oleh debitur kepada pihak lain, bank tetap dapat mengeksekusi objek
jaminan tersebut, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 7 UU Hak Tanggungan,
cara-cara alternatif yang diambil oleh bank yakni dengan menempuh jalur non
litigasi dengan cara konsultasi dan negosiasi kepada para pihak yang terkait,
karena cara ini dipandang dapat menyelesaikan sengketa kredit secara efektif dan
efisien dengan hasil yang memuaskan. Kemudian, perlindungan hukum terhadap
kedudukan pihak pembeli tanah yang beritikad baik atas pembelian dengan
pembayaran lunas tanah yang telah dibebani hak tanggungan adalah pembeli
tanah memiliki hak untuk mendapatkan seutuhnya kepemilikan tanah dengan
diberikannya sertifikat hak milik atas tanah, selain itu pihak pembeli tanah
mempunyai hak tagih kepada debeitur/pemilik tanah (sebagai kreditur konkuren)
terhadap piutang pembayaran kredit debitur/pemilik tanah kepada bank, dan
debitur/pemilik tanah secara hukum wajib membayar hutangnya sebagai bentuk
tanggung jawab dari kelalaian yang telah dilakukan. Saran yang dapat diberikan
adalah alangkah sangat baik untuk menghindari praktek nakal debitur, bank secara
rutin melakukan pengecekan terhadap objek jaminan, jika terjadi penyimpangan
dengan tujuan pertama fasilitas kredit debitur secara cepat dapat ditindaklanjuti,
dan perjanjian jual beli tanah hendaknya dibuat dihadapan pejabat umum yang
berwenang sehingga terjaminnya kepastian terhadap kedudukan para pihak dan
tidak tertipu oleh developer.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
PRASYARAT GELAR .......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...................................................... iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ..................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................. ix
ABSTRACT ............................................................................................ x
RINGKASAN ........................................................................................ xi
DAFTAR ISI ........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 12
1.3 Ruang Lingkup Masalah .......................................................... 12
1.4 Tujuan Penelitian
a.Tujuan Umum ...................................................................... 12
b.Tujuan Khusus ..................................................................... 13
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................. 13
a.Manfaat Teoritis ................................................................... 13
b.Manfaat Praktis .................................................................... 14
xiv
1.6 Landasan Teoritis .................................................................... 14
1.7 Metode Penelitian ................................................................... 47
a. Jenis Penelitian ................................................................... 48
b. Jenis Pendekatan ................................................................ 49
c. Sumber Bahan Hukum ........................................................ 50
d. Data Penunjang ................................................................... 51
e. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................... 51
f. Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum .................. 52
BAB II TEORI DAN KONSEP-KONSEP YANG BERKAITAN
DENGAN PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN HAK
TANGGUNGAN ......................................................................... 53
2.1 Teori dan Konsep Tentang Pengalihan Hak Atas Tanah .......... 53
a. Pengertian Hak Atas Tanah ................................................ 53
b. Hak Individu Atas Tanah ................................................... 58
c. Macam-Macam Hak Atas Tanah ........................................ 60
d. Peralihan Hak Atas Tanah .................................................. 78
2.2 Teori dan Konsep Tentang Hak Tanggungan .......................... 89
a. Pengertian Hak Tanggungan .............................................. 89
b. Objek Dan Subjek Hukum Dalam Hak Tanggungan ........... 93
c. Asas-Asas Hak Tanggungan ............................................... 95
d. Pembebanan Hak Tanggungan ........................................... 100
e. Lahir Dan Berakhirnya Hak Tanggungan ........................... 104
xv
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA YANG TIMBUL DARI
PEMBELIAN TANAH YANG SEDANG DIBEBANI HAK
TANGGUNGAN ....................................................................... 110
3.1 Negosiasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Pada
Kredit Bermasalah Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang
Telah Dialihkan Kepada Pihak Lain ....................................... 121
3.2 Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank ............ 131
3.3 Kedudukan Kreditur Dalam Penjaminan Dengan Hak
Tanggungan ........................................................................... 136
3.4 Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan ................ 143
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN
PIHAK PEMBELI TANAH ....................................................... 148
4.1 Pembelian Tanah Yang Dilakukan Dengan Perjanjian
Dibawah Tangan Dengan Membayar Lunas Tanah Yang
Sedang Dibebani Hak Tanggungan ........................................ 149
4.2 Perlindungan Hukum Pihak Pembeli Tanah Dengan
Pembelian Pembayaran Lunas Tanah Yang Sedang Dibebani
Hak Tanggungan .................................................................... 159
BAB V PENUTUP ................................................................................. 166
5.1 Simpulan ................................................................................ 166
5.2 Saran ...................................................................................... 167
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 168
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Daftar Informan
Lampiran II : Hasil Wawancara
Lampiran III : Perjanjian Kredit
Lampiran IV : Surat Pemberitahuan I, II, III
Lampiran V : Surat Panggilan
Lampiran VI : Permohonan Lelang dan Pengantar SKPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia dengan tanah adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena
kehidupan manusia tidak dapat lepas dari tanah. Tanah merupakan benda yang
sangat berharga bagi manusia, karena hampir semua kebutuhan manusia pasti
terkait dengan tanah, mulai manusia lahir sampai meninggalpun selalu
membutuhkan tanah. Manusia mempunyai hubungan emosional dan spiritual
dengan tanah. Tanah tidak hanya semata-mata dipandang sebagai komoditas yang
bernilai ekonomis, tetapi hubungan tanah dengan pemiliknya mengandung nilai-
nilai budaya, adat, ekonomis, dan spiritual tertentu.
Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling
disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit, karena pada
umumnya tanah mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti
hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak
istimewa kepada kreditur.1 Karena begitu berharganya tanah bagi kehidupan
manusia maka seringkali tanah menjadi pemicu timbulnya sengketa dalam
masyarakat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sengketa adalah perbedaan
nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau
badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan dan atau status
kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah
1Effendi Perangin, 1991.Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan
Kredit. Rajawali Pers, Jakarta. h.9
1
2
tertentu oleh pihak tertentu, atau status keputusan tata usaha negara menyangkut
penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah
tertentu.2
Jaminan kepastian hukum bagi pembeli tanah biasanya menjadi harapan
setiap orang, oleh karena itu ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan
kepemilikan tanah harus jelas, lebih-lebih yang berkaitan dengan debitur yang
sering kali karena kelalaiannya, menimbulkan wanprestasi dengan cara tidak
melunasi kewajibannya kepada kreditur. Namun, pihak debitur pada sisi lain telah
menerima pembayaran atau pelunasan sebidang tanah beserta bangunan, hal ini
sering menimbulkan masalah.
Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak (Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790, selanjutnya disingkat UU Perbankan). Secara sederhana dapat
dikatakan sebagai lembaga keperanataan antara kelompok orang yang untuk
sementara mempunyai dana lebih (surplus spending group) dan kelompok orang
yang untuk sementara pula kekurangan dana (defisit spending group).3
Terlihat dua fungsi utama bank, yakni fungsi pengerahan dana dan
penyaluran dana, maka terdapat dua hubungan yang lazim antara bank dan
2 Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, 2013. Hak Atas Tanah Dan
Peralihannya. Liberty Yogyakarta, Yogyakarta. h. 7
3Adrian Sutedi, 2010. Hukum Hak Tanggungan. Sinar Grafika, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Adrian Sutedi I), h.12
3
nasabah, yaitu: hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana; dan
hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur.4 Pada hubungan hukum antara
bank dan nasabah debitur, memberikan pemahaman bahwa bank merupakan
lembaga penyedia dana bagi para debiturnya. Hubungan tersebut dimaknai
sebagai hubungan nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
perjanjian bank dan nasabah yang bersangkutan.5
Tanggung jawab dalam suatu perjanjian dapat timbul apabila terjadi suatu
keadaan yang dinamakan wanprestasi.6 Wanprestasi ini merupakan suatu keadaan
dimana salah satu pihak, yaitu biasanya debitur tidak memenuhi kewajiban yang
merupakan hak dari kreditur.7 Kaitannnya dengan kegiatan yang dilakukan oleh
bank, maka akan terlihat adanya dua sisi tanggung jawab, yakni kewajiban yang
terletak pada bank itu sendiri dan kewajiban yang menjadi beban nasabah sebagai
akibat hubungan bentuk prestasi. Prestasi yang harus dipenuhi oleh bank dan
nasabah adalah prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian antara bank dan
nasabah terhadap produk perbankan.
Pada tahap penjajakan awal terdapat kasus yang terjadi pada PT. BPR
Bank Kertiawan yaitu bank memberikan kredit kepada nasabah selaku developer
guna menunjang usahanya dalam pembangunan rumah-rumah, yang nantinya
perumahan tersebut akan dijual kembali kepada pihak lain (sebagai pembeli
4Ronny Sautama Hotma Bako, 1995. Hubungan Bank dan Nasabah
Terhadap Produk Tabungan dan Deposito. Citra Aditya Bakti, Bandung. h.32
5Lukman Santoso Az, 2011. Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank.
Pustaka Yustisia, Yogyakarta. h. 58
6Ibid. h.77
7Ibid.
4
rumah), dan hasil pelunasan tanah beserta bangunan tersebut yang akan diberikan
kepada bank sebagai pelunasan kredit debitur. Seiring berjalan waktu debitur
wanprestasi, kemudian tanah dan rumah yang dijadikan jaminan telah dijual dan
penjualannya itu dilaksanakan hanya dengan mengadakan perjanjian di bawah
tangan antara developer dengan pihak lain selaku pembeli tanah dan rumah, tanpa
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank, karena sifatnya lebih
mudah, cepat dan tidak terlalu banyak memakan waktu.
Pada saat proses pemberian kredit, bank tidak serta merta memberikan
kredit kepada nasabah, oleh sebab itu nasabah (developer) memberikan jaminan
berupa sertifikat Hak Milik Atas Tanah kepada bank kemudian diikat dengan
perjanjian jaminan yaitu Hak Tanggungan. Perjanjian kredit di PT.BPR Bank
Kertiawan dilakukan secara tertulis yang dituangkan dalam bentuk formulir yang
dinamakan formulir perjanjian kredit. Isi perjanjian kredit telah ditentukan
terlebih dahulu dalam suatu bentuk tertentu (telah dibakukan) menunjukkan
bahwa perjanjian kredit tersebut adalah suatu perjanjian standar.
Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Jaminan kredit
yang diterima bank dari debitur termasuk sebagai salah satu objek yang berkaitan
dengan kepentingan bank. Jaminan pemberian kredit merupakan keyakinan bank
atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
Artinya bahwa pihak penerima kredit (debitur) harus memberikan jaminan kepda
bank (kreditur) yang nilainya sepadan dengan kredit yang telah diberikan. Adanya
jaminan tersebut akan memberikan kepastian kepada bank dalam memperoleh
kembali kredit yang diberika kepada debitur.
5
Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai jaminan yang baik
dan berharga sehingga akan dapat memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain dengan
memperhatikan aspek hukum yang terkait termasuk aspek hukum jaminan. Hal ini
dilakukan oleh pihak bank agar bank mendapat kepastian bahwa kredit yang
diberikan kepada masyarakat dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan
dapat kembali dengan aman.
Maka dengan adanya jaminan yang diikat dalam bentuk perjanjian
jaminan tertentu akan dapat mengurangi risiko yang mungkin terjadi apabila
penerima kredit wanprestasi atau tidak dapat mengembalikan kredit atau
pinjamannya. Dengan demikian, jaminan dalam perjanjian kredit ini bertujuan
untuk menjamin bahwa utang debitur (orang yang meminjam uang atau yang
menerima kredit) akan dibayar lunas. Apabila di kemudian hari debitur ingkar
janji, yaitu tidak melunasi utangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan
perjanjian kredit, akan dilakukan pencairan (penjualan) atas objek jaminan kredit
yang bersangkutan.
Terkait dengan kaitannya dengan tanah sebagai barang jaminan dalam
pemberian kredit, bank telah meletakkan persyaratan pembebanan Hak
Tanggungan yang memberikan hak istimewa bagi pihak bank (kreditor) dalam
perjanjian kredit dengan debitur. Pembebanan Hak Tanggungan dapat
memberikan kepastian hak bagi kreditur dalam memperoleh pelunasan piutangnya
jika debitur wanprestasi. Hal ini tercantum pada Pasal 6 UU No.4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42,
6
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya
disingkat UU Hak Tanggungan), bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang
Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Bank sebagai badan usaha yang wajib dikelola berdasarkan prinsip
kehati-hatian (prudent banking) yang dikenal dengan formula 5C‟s, yaitu
character, capacity, capital, collateral, dan condition8, tidak terlepas dari
ketentuan hukum yang berlaku agar dapat mengamankan dan melindungi
kepentingannya. Prinsip kehati-hatian tersebut penting untuk diterapkan oleh
pihak bank. Unsur collateral (jaminan) merupakan salah satu unsur penting yang
harus dipenuhi oleh pihak debitur dalam pengajuan perjanjian kredit.Berkaitan
dengan hal melayani anggota masyarakat yang memerlukan dana bank, masing-
masing bank mempunyai berbagai skim kredit tersendiri sesuai dengan
kebijakannya. Skim kredit yang ditawarkan bank kepada masyarakat memuat
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh kredit yang diatur
dalam skim kredit tersebut.
Setelah penelitian bank (kreditor) dianggap cukup sesuai standar
kelayakan pemberian kredit dengan kriteria bank, kemudian pihak bank dan
pemilik tanah datang ke Kantor Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya
disebut PPAT) yang wewenangnya meliputi daerah dimana tanah tersebut
terletak, untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pemberian Hak
8Kasmir, 2012.Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta, PT.
Rajawali Pers. h.95
7
Tanggungan itu dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut ditandatangani oleh pemilik
tanah selaku pemberi hak tanggungan, pemegang Hak Tanggungan yaitu pihak
bank, dua orang saksi, dan PPAT sendiri. Selanjutnya Akta Pemberian Hak
Tanggungan ini wajib didaftarkan pada kantor pertanahan yang wilayahnya
meliputi daerah tempat dimana tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu terletak
disertai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Pasal 6 dan Pasal 7 UU Hak Tanggungan memberikan kepastian hukum
kepada kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Pasal 6 UU Hak
Tanggungan menyatakan bahwa “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kemudian Pasal 7 UU Hak Tanggungan
menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tepat mengikuti obyeknya dalam tangan
siapapun obyek tersebut berada”.
Substansi dari Pasal 6 UU Hak Tanggungan menunjukkan hak yang
dipunyai pemegang Hak Tanggungan untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri apabila debitur cidera janji. Kemudian Pasal 7 UU Hak
Tanggungan menunjukkan jaminan kepentingan pemegang Hak Tanggungan,
walaupun obyek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan menjadi milik pihak
lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya untuk mengeksekusi.
8
Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
berlaku sebagai pengganti Groose Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas
tanah. Irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan
untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan.
Sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata
cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan
Hukum Acara Perdata (Pasal 14 ayat (2) dan (3) berikut penjelasan Undang-
Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah).9
Hak Tanggungan memang dirancang sebagai hak jaminan yang kuat,
dengan ciri khas eksekusi mudah dan pasti, akan tetapi dalam praktiknya banyak
menimbulkan kendala-kendala. Seperti terjadi dalam hal nasabah bank (debitur)
wanprestasi, dan tanah yang dijadikan jaminan oleh nasabah bank (debitur)
tersebut telah dibangun rumah, kemudian dijual kepada pihak lain (pembeli tanah
dan rumah) yang hasil penjualannya tidak diberikan kepada bank sebagai
kewajiban pembayaran kredit debitur.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa debitur telah cidera janji sehingga Bank
berhak untuk sekaligus menagih pelunasan atas seluruh sisa hutang debitur serta
untuk setiap saat melaksanakan hak eksekusi atas tanah dan rumah yang
digunakan sebagai jaminan. Pihak bank (kreditor) kesulitan dalam mengeksekusi
9Ardian Sutedi I, op.cit h.118
9
jaminan yang telah ditempati oleh pihak lain selaku pembeli tanah serta rumah
yang tetap ingin mempertahankan tanah dan rumah yang telah dibelinya.
Kondisi ini di sisi lain akan merugikan pembeli selaku pemilik tanah yang
baru sebab pada dasarnya yang berhak melakukan perbuatan hukum atas tanah
tersebut adalah orang yang namanya tercantum dalam sertipikat. Oleh karena itu
meskipun secara nyata (de facto) sudah menguasai tanah tersebut tetapi secara
hukum (de jure) pemilik tanah yang baru belum memenuhi ketentuan yang
berlaku dan dia tidak dapat melakukan perbuatan hukum atas tanah tersebut sesuai
ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan penjajakan tahap awal pada kasus yang terjadi di PT. BPR
Bank Kertiawan tersebut diatas maka terhambatnya proses pengeksekusian obyek
Hak Tanggungan yang dikarenakan terdapatnya pihak lain yang menguasai obyek
tersebut. Untuk mengetahui penyelesaiannya perlu diadakan suatu penelitian.
Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi pengertian pokok/dasar ketentuan
hukum positif tertulis (perundang-undangan) dan ketentuan perjanjian yang
diberlakukan pada peristiwa hukum tertentu (in concreto).
Hasilnya dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul “Pengalihan Hak
Atas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan. Dari penelusuran
kepustakaan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan jaminan hak
tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,
yaitu:
10
1. Tesis dari Ni Kadek Suninggita,SH, Nim. 0820112335, Magister Kenotariatan
Universitas Brawijaya, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Bank
Pada Perlawanan Pihak Ketiga Dalam Eksekusi Obyek Jaminan (Tanah)
Terkait Dengan Penyelesaian Kredit Macet Dari Debitur Wanprestasi. (Studi
Kasus Pada PT. Bank Sinar Harapan Bali dan Pengadilan Negeri Denpasar)”.
Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang diangkat adalah
bagaimanakah perlindungan hukum terhadap bank pada perlawanan pihak
ketiga dalam eksekusi objek jaminan (tanah) terkait dengan penyelesaian
kredit macet dari debitur yang wanprestasi dan Apakah akibat hukum dari
adanya perlawanan pihak ketiga terhadap eksekusi objek jaminan tanah)
tersebut.
2. Tesis dari A.A Ngurah Surya Wirawan,SH, Nim. 0820112301, Magister
Kenotariatan Universitas Brawijaya, dengan judul “Pelaksanaan Perjanjian
Kredit Pemilikan Rumah Dengan Jaminan Yang Belum Dikuasai Oleh PT.
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Sentra Kredit Konsumen Denpasar.”
Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang diangkat adalah
bagaimanakah pelaksanaan perjanjian kredit pemilikan rumah (KPR) dengan
jaminan yang belum dikuasai secara penuh atau mutlak pada BNI Sentra
Kredit Konsumen (SKK) Denpasar, bagaimanakah upaya BNI untuk dapat
menjamin kelangsungan pembayaran kredit debitor sebelum jaminan dikuasai
Dan bagaimanakah upaya BNI apabila debitor wanprestasi sedangkan jaminan
belum dikuasai.
11
3. Tesis dari I Wayan Sueden, SH, Nim. 1092461041, Magister Kenotariatan
Udayana, dengan Judul “Tinjauan Pendaftaran Tanah untuk Menjamin
Kepastian Hukum Hak Atas Tanah”. Adapun yang menjadi pokok
permasalahan yang diangkat adalah bagaimana prosedur pendaftaran tanah
dalam rangka mewujudkan kepastian hukum bagi kepemilikan hak atas tanah,
dan bagaimana manfaat pendaftaran tanah dalam jaminan kepastian hukum
kepemilikin hak atas tanah.
4. Tesis dari I Putu Herry Wirasuta, SH, Nim.0620112016, Magister
Kenotariatan Brawijaya, dengan Judul “Peralihan Hak Milik Atas Rumah
Dengan Kredit Pemilikan Rumah-Bank Tabungan Negara Yang Belum
Lunas”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang diangkat adalah apa
akibat hukumnya, peralihan hak milik atas rumah dengan kredit pemilikan
rumah-Bank Tabkungan Negara yang belum lunas, dan bagaimanakah
penyelesaian apabila angsuran kredit pemilikan rumah-Bank Tabungan
Negara macet.
Berdasarkan penelusuran dari beberapa tesis dengan judul dan pokok
permasalahan seperti yang dijelaskan tersebut diatas, menunjukkan bahwa
penelitian dengan judul “Pengalihan Hak Milik Atas Tanah Yang Sedang
Dibebani Hak Tanggungan” dan permasalahan yang hendak diteliti dalam
penelitian ini belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah keorisinalanannya dan keasliannya.
12
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan, terdapat suatu
masalah yang dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah
yang sedang dibebani Hak Tanggungan?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli
tanah yang beritikad baik atas pembelian dengan pembayaran lunas tanah
yang telah dibebani Hak Tanggungan?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Masalah yang di bahas nantinya dalam tesis ini hanya terbatas pada
penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani
Hak Tanggungan serta perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak
pembeli tanah yang beritikad baik atas pembelian dengan pembayaran lunas
tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian penulisan tesis ini adalah mencakup tujuan umum dan
khusus, yaitu sebagai berikut :
a. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam kerangka
pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process
(ilmu sebagai suatu proses). Paradigma ilmu tidak akan berhenti dalam
13
penggaliannya atas kebenaran dalam bidang lembaga jaminan hak tanggungan dan
untuk memahami gambaran Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Hal ini
berkaiatan untuk mengetahui secara mendalam tentang Pengalihan Hak Milik
Atas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan.
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah terurai sebagai
berikut:
1. Untuk mendreskripsikan dan menganalisa penyelesaian sengketa yang
timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan.
2. Untuk mendreskripsikan dan menganalisa perlindungan hukum terhadap
kedudukan pihak pembeli tanah yang beritikad baik atas pembelian
pembayaran lunas tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diperoleh dalam penelitian tesis ini adalah
sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi ilmu pengetahuan, dalam rangka pengembangan wawasan dan pengkajian
tentang Pengalihan Hak Milik Atas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak
Tanggungan.
14
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan sebagai
bahan masukan bagi kreditur dan debitur yang bertujuan untuk mengurangi
kendala yang selama ini dihadapi dalam proses eksekusi atas objek hak
tanggungan serta memberikan gambaran mengenai penyelesaian sengketa hukum
atas pembelian tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
1.6 Landasan Teoritis
Berkaitan dengan landasan teori ini dikemukakan teori, konsep, dan asas-
asas hukum serta pandangan sarjana yang berpengaruh mengenai penyelesaian
sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani Hak
Tanggungan dan kedudukan hukum pihak pembeli tanah atas pembelian tanah
yang dibebani Hak Tanggungan. Suatu teori pada hakekatnya merupakan
hubungan antara dua atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu.
Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat
diuji secara empiris.10
Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana,
suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji
kebenarannya.11
10
Burhan Ashshofa, 2004. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta,
Jakarta. h.19
11
Soerjono Soekanto, 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo
Persada, Jakarta. (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I). h.30
15
Menurut Snellbecker, teori adalah sebagai perangkat proposisi yang
terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan
menjelaskan fenomena yang diamati.12
Sedangkan menurut Kerlinger, teori adalah
A Theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions,
andpropositions that present asystematic view of phenomena by specifying
relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the
phenomena. Teori adalah suatu rangkaian konsep, definisi, dan proposisi
yang dipresentasikan secara sistimatis dengan menspesifikasikan hubungan
antara variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi suatu
fenomena.13
Sehingga dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa teori-teori sebagai
landasan untuk menjelaskan fenomena atau sebagai landasan untuk membahas
permasalahan penelitian merupakan pijakan untuk mewujudkan kebenaran ilmu
hukum yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controluer baar). Oleh
karena itu, dalam suatu penelitian semakin banyak teori-teori, konsep dan asas
yang berhasil diidentifikasi dan dikemukakan untuk mendukung penelitian yang
sedang dikerjakan maka semakin tinggi derajat kebenaran yang bisa dicapai.
Analisis penulisan tesis ini mempergunakan teori-teori dan konsep-
konsep, yaitu sebagai berikut: Teori Validitas dan Efektifitas Hukum, Teori
Perjanjian, Teori Perlindungan Hukum, Teori Pertanggungjawaban, dan Teori
Kepastian Hukum, Konsep Perbankan, Konsep Pinjam Meminjam/Kredit, Konsep
Prestasi dan Wanprestasi, Konsep Jaminan Kredit.
12
Nasution Bahder Johan, 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum.
Mandar Maju, Bandung. h.140.
13
Ibid.
16
a. Teori Validitas dan Efektivitas Hukum
Permasalahan pertama mengenai penyelesaian sengketa yang timbul dari
pembelian tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan, teori validitas dan
efektivitas hukum dapat dijadikan landasan berpijak untuk menjawabnya. Ketika
ingin mengetahui efektivitas dari hukum, maka terlebih dahulu harus dapat
mengukur sejauh mana aturan hukum ditaati atau tidak ditaati, jika suatu aturan
hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, maka
aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif.14
Seseorang menaati atau tidak menaati suatu aturan hukum, tergantung
pada kepentingannya, agar dapat diberlakukan terhadap masyarakat maka suatu
kaidah hukum haruslah merupakan hukum valid atau legitimate. Dari kaidah
hukum yang valid tersebutlah baru kemudian timbul konsep-konsep tentang
“perintah (command), larangan (forbidden), kewenangan (authorized), paksaan
(force), hak (right), dan kewajiban (obligation).15
Untuk memastikan bahwa suatu perbuatan hukum adalah perjanjian,
maka hal yang harus ditempuh adalah memeriksa validitas dari perjanjian
tersebut. “A valid contract is one that meets all of the legal requirements for a
binding contract”.16
Artinya, suatu perjanjian dapat mengikat para pihak,
tergantung kepada sah atau tidak sahnya kontrak yang dibuat oleh para pihak
14
Achmad Ali, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori
Peradilan (JudicialPrudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence) ; Volume 1 Pemahaman awal. Kencana, Jakarta. h.375
15
Munir Fuady, 2013. Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory).
Kencana, Jakarta. h. 116
16
Jane P.Mallor, et.al, 2007. Business Law; The Ethical, Global, And E-
Commerce Environment. McGraw Hill Companies,Inc., New York. h.279
17
tersebut. Sah atau tidak sahnya suatu kontrak dapat dipastikan dengan
menggunakan instrumen hukum yang menguji standar keabsahan perjanjian yang
mereka buat.
Suatu kaidah hukum yang valid belum tentu merupakan suatu kaidah
hukum yang efektif. Dalam hal ini, validitas suatu norma merupakan hal yang
tergolong ke dalam “yang seharusnya” (das sollen), sedangkan “efektivitas” suatu
norma merupakan sesuatu dalam kenyataannya (das sein). Dalam bukunya Reine
Rechtslehre (edisi pertama terbit dalam tahun 1934), yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Pure Theory of Law (Teori
Hukum Murni), Hans Kelsen menjelaskan sebagai berikut:
A legal norm becomes valid before becomes effective, that is, before it is
applied and obeyed; a law court that applies a statute immediately after
promulgation-therefore before the statute had a chance to become
“efective”-applies a valid legal norm. But a legal norm is no longer
concidered to be vallid, if it remains permanently ineffective. Effectiveness
is a condition of validity in the sense that effectiveness has to join the
positing of a legal norm if the norm is not to lose is validity.17
Jadi, menurut Hans Kelsen,18
suatu aturan hukum harus dalam keadaan
valid terlebih dahulu baru diketahui apakah aturan tersebut dapat menjadi
efektif. Jika setelah diterapkan ternyata peraturan yang sebenarnya sudah
valid tersebut ternyata tidak dapat diterapkan atau tidak dapat diterima oleh
masyarakat secara meluas dan/atau secara terus menerus, maka ketentuan
hukum tersebut menjadi hilang unsur validitasnya, sehingga berubah sifat
dari aturan yang valid menjadi aturan yang tidak valid.
Validitas dalam konteks penulisan tesis ini adalah peraturan yang
terdapat pada perjanjian kredit dan UU hak tanggungan, dan efektifitasnya adalah
bagaimana suatu norma itu apakah telah dilaksanakan dengan baik dan benar atau
tidak. Dalam permasalahannya pada pelaksanaan perjanjian kredit dengan adanya
17
Munir Fuady, op.cit. h.117
18
Munir Fuady, op.cit. h.117
18
perjanjian jaminan yaitu hak tanggungan yang telah dilaksanakan dengan baik dan
benar, apabila debitur wanprestasi yang pada akhirnya menimbulkan sengketa
antara para pihak yang terkait, maka terdapat cara-cara yang efektif dapat
ditempuh untuk menyelesaikan sengketa sesuai apa yang telah diperjanjikan para
pihak dalam perjanjian kredit tersebut. Terdapat dua cara di dalam penyelesaian
sengketa, yaitu cara penyelesaian sengketa secara litigasi (Pengadilan) dan cara
penyelesaian sengketa secara non litigasi (di luar Pengadilan).19
Penyelesaian secara litigasi pada umumnya hanya digunakan untuk
memuaskan hasrat emosional dalam mencari kepuasan pribadi dengan harapan
pihak lawan dinyatakan kalah oleh putusan pengadilan. Pada umumnya orang
mengajukan gugatan tidak memperhitungkan apakah nilai yang disengketakan itu
sebanding atau tidak dengan pengorbanan yang dikeluarkan selama menjalani
proses persidangan yang begitu panjang. Secara teori, proses litigasi memang
lebih memberikan kepastian hukum, karena diputuskan berdasarkan bukti-bukti
yang dimiliki dan putusannya dapat dilaksanakan dengan kekuatan eksekusi
(executie power), namun kenyataan dilapangan justru eksekusi yang dianggap
sebagai ujung tombak dalam meraih hak atas suatu kemenangan tidak bisa
memberikan kenyamanan dalam menikmati hasil kemenangan itu, bahkan pada
beberapa kasus eksekusi tidak mampu dijalankan (non eksekutable), karena
19
Jimmy Joses Sembiring, 2011. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar
Pengadilan. Visimedia, Jakarta. h. 5
19
adanya halangan dan ganggungan yang serius dari pihak termohon eksekusi dan
masyarakat luas.20
Eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau menjalankan
keputusan pengadilan.21
Eksekusi sebagai “pelaksanaan putusan”, yaitu pihak
yang dimenangkan putusan dapat memohon “pelaksanaan putusan” kepada
pengadilan yang akan melaksanakannya secara paksa (execution force).22
Menurut
Herowati Poesoko menyatakan bahwa eksekusi tidak hanya berkaitan dengan
putusan pengadilan dan groose acte melainkan istilah eksekusi terdapat di bidang
hukum jaminan, eksekusi objek jaminan yang adalah pelaksanaan hak kreditur
pemegang hak jaminan terhadap objek jaminan untuk pelunasan piutangnya.23
Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang
belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah
baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal tidak
responsif, dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan biasanya membutuhkan waktu
yang cukup lama dan melelahkan, dimulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, bahkan mungkin sampai tingkat Mahkamah Agung, hal ini sudah tentu
membutuhkan biaya yang cukup besar serta dapat mengganggu hubungan pihak-
20
D.Y. Witanto, 2011, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata Di
Lingkungan Peradilan Umum Dan Peradilan Agama Menurut PERMA Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Alfabeta, Bandung. h.8
21
Retnowulan Sutantio, 1979, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan
Praktek, Iskandar Oeripkantawinato, Bandung. h.111
22
Ibid.
23
Herowati Poesoko, op.cit. h.128
20
pihak yang bersengketa.24
Sebaliknya melalui proses di luar pengadilan
menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win solution”. Dijamin kerahasiaan
sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural
dan administrative, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam
kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.25
Penyelesaian sengketa secara non litigasi terdiri atas berbagai macam
cara yakni : konsultasi (consultation), negosiasi (negotiation), mediasi
(mediation), konsiliasi (conciliation), dan penilai ahli.26
Masing-masing cara
penyelesaian sengketa tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Para pihaklah
yang harus menentukan penyelesaian sengketa yang akan ditempuh dan siap
menerima konsekuensi atas pemilihan cara penyelesaian sengketa yang telah
disepakati bersama, sehingga tidak menguranginya unsur validitas perjanjian
kredit dan UU Hak Tanggungan tersebut.
b. Teori Perjanjian
Tahap awal terjadinya hubungan hukum antara para pihak yaitu pada saat
terjadinya perjanjian dengan jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh
kreditur dan debitur (selaku developer), dan juga perjanjian pembelian tanah dan
rumah yang dilakukan oleh developer dengan pihak ketiga. Para pihak dalam
suatu kontrak memiliki hak untuk memenuhi kepentingan pribadinya sehingga
melahirkan suatu perikatan.
24
Rachmadi Usman, 2012. Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori Dan
Praktik. Sinar Grafika, Jakarta. (selanjtnya disingkat Rachmadi Usman I). h.9
25
Ibid. h.10
26
Ibid.
21
Salah satu teori dari hukum kontrak klasik adalah teori kehendak.
Menurut Gr. Van der Burght mengemukakan bahwa selain teori kehendak sebagai
teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa teori yang dipergunakan
untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu:
a. Ajaran Kehendak (Wilsleer), dimana ajaran ini mengutarakan bahwa
faktor yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan adalah suara
batin yang ada dalam kehendak subyektif para calon kontrakan;
b. Pandangan Normatif Van Dunne, dalam ajaran ini kehendak sedikit pun
tidak memainkan peranan; apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada
hakikatnya tergantung pada suatu penafsiran normatif para pihak pada
persetujuan ini tentang keadaan dan peristiwa yang dihadapi bersama;
c. Ajaran kepercayaan (Vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan
kepercayaan yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan
oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi
terbentuknya suatu persetujuan.27
Terkait dengan teori yang dikemukakan oleh Gr. Van der Burght bahwa
dengan adanya kehendak para pihak untuk mengikatkan diri dalalm suatu
perjanjian, maka timbullah perjanjian utang piutang (perjanjian kredit).
Kemudian, dengan adanya pemikiran bahwa apabila para pihak menyatakan
sepakat dan berjanji mengikatkan diri yang dituangkan suatu perjanjian kredit
tersebut akan memenuhi kebutuhan para pihak itu, sehingga menimbulkan hak
dan kewajiban bagi para pihak. Selanjutnya bahwa adanya kesepakatan kedua
belah pihak mengikat diri dalam suatu perjanjian kredit, disertai pemberian
jaminan timbullah suatu kepercayaan kreditur, sehingga kredit dapat diberikan
kepada debitur.
Perjanjian diatur dalam buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) tentang perikatan yaitu Pasal 1313
27
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004. Hukum Bisnis Dalam
Persepsi Manusia Modern. PT. Refika Aditama, Bandung. h.40
22
yang menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Apabila
antara dua orang atau lebih tercapai suatu persesuaian kehendak untuk
mengadakan suatu ikatan, maka terjadilah antara mereka suatu persetujuan.
Linda A. Spagnola berpendapat mengenai perjanjian, bahwa “A contract
must be certain in its terms. It is generally accepted that there are four elements
that must be certain in a contract in order for there to be a valid offer : parties,
price, subject matter, and time for performance”28
. (Terjemahan bebasnya:
Persyaratan-persyaratan sebuah kontrak harus pasti. Agar sebuah kontrak dapat
dikatakan sah, terdapat empat elemen yang pada umumnya diterima sebagai
sesuatu yang harus pasti dalam sebuah kontrak, yaitu: para pihak, harga,
permasalahan dan waktu pelaksanaannya).
Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi perjanjian itu adalah suatu
perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan anatara dua pihak, dimana satu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak
melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksaaan janji
itu.29
Dalam hal pemberian kredit pada PT.BPR Bank Kertiawan, terlebih dahulu
membuat suatu perjanjian kredit yang telah disepakati dan ditandatangani oleh
pihak debitur dengan kreditur (Bank) dengan berakibat timbulnya hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi bagi para pihak.
28
Linda A. Spagnola, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principles
and Practical Applications), McGraw-Hill Companies, United States, h. 4
29
Wirjono Prodjodikoro, 1985. Hukum Perdata Tentang Persetujuan
Tertentu. Cet.VIII, Sumur, Bandung. h.11
23
Perjanjian juga dapat dipersamakan dengan kontrak. Menurut Catherine
Elliott dan Frances Quinn, bahwa:30
Normally a contract is formed when a effective acceptance has been
communicated to be offeree. A communication will be treated as an offer if it
indicates the terms on which the offeror is prepared to make a contract (such
as the price of the goods for sale), and gives a clear indication that the
offeror intends to be bound by those terms if they are accepted by the offeree.
Acceptance of an offer means unconditional agreement to all the terms of that
offer.
(Terjemahan bebasnya: Biasanya sebuah kontrak terbentuk ketika penerimaan
efektif telah dikomunikasikan kepada pihak penerima penawaran.
Komunikasi akan dianggap sebagai penawaran apabila penawaran tersebut
membuat persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh pihak yang menawarkan
untuk membuat sebuah kontrak (misalnya, harga barang yang akan dijual),
dan memberikan pernyataan yang jelas bahwa pihak yang menawarkan
bermaksud untuk terikat dengan persyaratan-persyaratan tersebut apabila
persyaratan-persyaratan tersebut diterima oleh pihak penerima penawaran.
Penerimaan suatu penawaran berarti kesepakatan tanpa syarat terhadap semua
persyaratan yang ditawarkan tersebut).
Menurut Bachsan Mustafa, Bewa Ragawino dan Yaya Priatna memberikan
definisi bahwa perjanjian adalah hubungan hukum kekayaan antara beberapa
pihak, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak menuntut atas suatu jasa
(prestasi) sedangkan pihak lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan tersebut (schuld) dan bertanggungjawab atas prestasi itu.31
Hak dan
kewajiban yang timbul dari diadakannya suatu perjanjian kredit yaitu debitur
berkewajiban untuk membayar kredit yang telah diberikan, apabila debitur lalai,
kreditur berhak untuk menuntut pelunasan kredit yang telah diberikan.
Asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap hutangnya,
tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak
30
Catherine Elliott and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason
Education Limited, England, h. 10
31
Bacshan Mustafa, Bewa Ragawino, Yaya Priatna, 1982. Azas-Azas
Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Edisi Pertama, Armico, Bandung. h.53
24
maupun tetap jika perlu dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (asas Schuld dan
Haftung).32
Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa asas ini sangat adil,
sesuai dengan asas kepercayaan di dalam hukum perikatan, dimana setiap orang
yang memberikan hutang kepada seseorang percaya bahwa debitur akan
memenuhi prestasinya dikemudian hari, setiap orang wajib memenuhi janjinya
merupakan asas moral yang oleh pembentuk Undang-Undang dikuatkan sebagai
norma hukum.33
Berdasarkan peristiwa ini, muncul suatu hubungan antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang yang membuatnya. Dalam perjanjian yang dibuat oleh nasabah
dengan bank yang dinamakan perjanjian kredit dan telah sepakat mengikatkan hak
milik atas tanah yang dimiliki oleh nasabah selaku debitur menjadi jaminan,
meskipun tanah tersebut telah dibangun rumah-rumah yang telah ditempati pihak
ketiga, terdapat hubungan hukum diantara kesemuanya tersebut. Akibat
hukumnya bagi masing-masing para pihak selain terikat kepada janjinya, juga
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak secara timbal balik, maka
perjanjian demikian itu termasuk kategori perjanjian obligatoir dan karenanya
melahirkan hak perorangan yang diatur dalam Buku III Burgelijk Wetboek
(selanjutnya disingkat B.W.).34
32
Mariam Darus Badrulzaman, 1997. Mencari Sistem Hukum Benda
Nasional.Alumni, Bandung. (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman
I), h.85
33
Ibid.
34
Herowati Poesoko, 2007. Parate Executie Obyek Hak Tanggungan
(Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT).
LaksBang PRESSindo. Yogyakarta. h.84
25
Tujuan ditetapkan terminologi kontrak adalah, pertama dengan kontrak
akan dapat menunjukkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, kedua suatu
saat nanti ada perselisihan antara pihak kontrak ini dapat memutuskan yang mana
pihak yang menyalahi kontrak, sehingga perselisihan itu dapat dipecahkan.
Menurut R.Subekti, dalam bukunya: “The debtor has done something what is in
contravention of the contract, it is obvios that he is default. Also when in the
contract is fixed a time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed
this time limit, it is clear that the debtor is in default”.35
(Terjemahan bebasnya:
Debitur yang telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kontrak itu
dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila dalam kontrak ditentukan
batas waktu pemenuhan kewajiban, akan tetapi debitur tidak mengindahkan limit
waktu tersebut, maka debitur dinyatakan bersalah). Bahwa debitur wanprestasi
dengan tidak melaksanakan kewajiban sampai pada batas waktu yang telah
diperjanjikan dalam perjanjian kredit, maka dari itu pihak kreditur (Bank) berhak
mengeksekusi benda yang telah dijadikan jaminan untuk pelunasan hutang
debitur.Begitu pula perjanjian antara developer dengan pembeli tanah dan rumah,
apabila setelah pembayaran lunas tanah dan rumah maka developer diharuskan
menyerahkan sertipikat hak milik atas tanah tersebut ke pembeli tanah.
Umumnya, suatu perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu,
dapat dibuat secara lisan dan andaikata debuat secara tertulis maka ini bersifat
sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian undang-
undang menentukan bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti
35
R. Subekti, 1982. Law In Indonesia, Centre For Strategic And
International, And Studies. Third Edition, Jakarta. h.55
26
maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya
semata-mata merupakan alat pembuktian saja tetapi merupakan syarat untuk
adanya bestnwaarde perjanjian itu.
c. Teori Perlindungan Hukum
Permasalahan kedua mengenai perlindungan hukum terhadap kedudukan
pihak pembeli tanah yang beritikad baik atas pembayaran lunas tanah yang telah
dibebani Hak Tanggungan, teori perlindungan hukum dapat dijadikan landasan
berpijak untuk menjawabnya. Fungsi hukum adalah untuk mengatur hubungan
antara negara atau masyarakat dengan warganya dan hubungan antara sesama
warga masyarakat tersebut agar kehidupan dalam masyarakat berjalan dengan
tertib dan lancar.
Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum untuk mencapai kepastian
hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan dalam masyarakat. Kepastian
hukum mengharuskan diciptakannya peraturan umum atau kaidah hukum yang
berlaku umum agar terciptanya suasana yang aman dan tentram dalam
masyarakat, maka kaidah dimaksud harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan
tegas.36
Dengan adanya kepastian hukum tersebut dengan sendirinya warga
masyarakat senantiasa akan mendapatkan perlindungan hukum karena mereka
sudah mendapatkan kepastian tentang bagaimana para warga masyarakat
menyelesaikan persoalan hukum, bagaimana mereka menyelesaikan perselisihan
yang terjadi dan sebagainya.
36
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung,
(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 15
27
Menurut Fitzgerald, menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond
bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan,
perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara
membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.37
Hukum dalam artiannya adalah
perjanjian kredit yang dibuat para pihak menimbulkan adanya hak dan kewajiban,
tujuan dari adanya perjanjian untuk menfasilitasi kepentingan debitur, dengan
syarat adanya pengikatan jaminan demi mendapatkan perlindungan akan
pemenuhan prestasi dari pihak debitur.
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia,
sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan
manusia yang perlu diatur dan dilindungi.38
Perlindungan hukum harus melihat
tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala
peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan
kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara
anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang
dianggap mewakili kepentingan msyarakat.
Menurut Philipus M. Hadjon dalam bukunya “Perlindungan Hukum Bagi
Rakyat Indonesia” mengemukakan bahwa perlindungan hukum dalam
kepustakaan hukum berbahasa Belanda dikenal dengan sebutan
37
Satjipto Raharjo, 2000. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
h.53
38
Ibid. h.69
28
“rechtbescherming van de burgers”.39
Pendapat ini menunjukkan kata
perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda. Kata
perlindungan mengandung pengertian terdapat suatu usaha untuk memberikan
hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan.
Dengan pembebanan hak tanggungan maka perlindungan pihak kreditur akan
terjamin, terbukti apabila debitur cidera janji, maka kreditur dapat langsung
mengeksekusi jaminan tersebut untuk pelunasan utang debitur.
Perlindungan hukum merupakan konsep yang universal dari negara
hukum. Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun
tindakan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, baik
perbuatan penguasa yang melanggar undang-undang maupun peraturan formal
yang berlaku telah melanggar kepentingan dalam masyarakat yang harus
diperhatikannya.
Philipus M. Hadjon membagi dua macam bentuk perlindungan hukum
yaitu perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif. Preventif artinya
perlindungan yang diberikan sebelum terjadinya sengketa, artinya perlindungan
hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya
perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang
muncul apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap norma-norma hukum dalam
peraturan perundang-undangan.40
39
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, h. 25
40
Ibid. h.15
29
Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Pasal 1365 KUHPerdata
menentukan bahwa : “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu mengganti kerugian tersebut”. Hal tersebut menunjukkan bahwa siapapun yang
karena perbuatan menimbulkan kerugian bagi orang lain, menurut hukum untuk
mengganti kerugian itu, bahkan oleh penguasa (badan atau pejabat tata usaha
negara) sekalipun.
Unsur-unsur perbuatan melanggar hukum menurut R. Soetojo
Prawirohamidjojo dan J.H Nieuwenhuis dalam buku “Perbuatan Pemerintah Yang
Dapat Digugat” karangan Johanes Usfunan, menyatakan : pengertian dan unsur-
unsur overheidsdaad adalah : Suatu kelakuan atau sebagai suatu kelalaian yang
menimbulkan kerugian. Unsur-unsurnya meliputi:
1. Harus ada perbuatan;
2. Perbuatan itu harus “onrechtmatige”;
3. Pelaku harus mempunyai kesalahan;
4. Unsur yang ditambah dari yurisprudensi yakni norma yang dilanggar
bermaksud untuk melindungi kepentingan pihak yang terkena.41
Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang
diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari
hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum,
meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang,
namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.
41
Johanes Usfunan, 2002. Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat.
Djambatan, Jakarta. h. 122-123
30
Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan
yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat
maupun penguasa. Kemudian berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta
menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subjek
hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban.
Kaitannya pada aktifitas perbankan dalam memberikan kredit dengan
debiturnya yang bertujuan untuk membangun rumah untuk dijual kembali,
perlindungan hukum dapat diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit dan
perjanjian pengikatan jaminan. Dalam perjanjian kredit tersebut telah tercantum
hak dan kewajiban para pihak harus menjalankan dan menaati isi perjanjian yang
telah disepakati. Akan jelas bahwa bentuk perlindungan hukum yang akan
diterima oleh debitur adalah terjamin hak-haknya untuk mendapatkan fasilitas
kredit dari bank demikian pula sebaliknya bagi bank selaku kreditur akan terjamin
pula untuk mendapatkan hak-haknya kembali atas kredit yang telah diberikan
kepada debitur sesuai dengan jangka waktu diperjanjikan.
Kaitannya dengan aktivitas Jual-Beli rumah perlindungan hukum dapat
diwujudkan dalam bentuk perjanjian jual-beli, perjanjian ini dapat dibuat dibawah
tangan atau secara otentik.Telah tercantum pula hak dan kewajiban para pihak
yang harus dijalankan dan ditaati bersama. Pembeli akan terjamin hak-haknya
mendapatkan bukti kepemilikan tanah dan rumah yang telah dibelinya, dan
penjual akan terjamin pula untuk mendapatkan pembayaran pembelian tanah
beserta rumah yang telah dijualnya.
31
Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan “segala kebendaan si berutang, baik
yang bergerak maupun yang takbergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru
akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya
perseorangan”. Disini Undang-Undang memberikan perlindungan bagi semua
kreditur dalam keududukan yang sama. Dari Pasal 1131 KUHPerdata dapat
disimpulkan asas-asas hubungan ekstern kreditur sebagai berikut:
1. Seorang kreditur boleh mengambil pelunasan dari setiap bagian dari harta
kekayaan debitur;
2. Setiap bagian kekayaan debitur dapat dijual guna pelunasan tagihan
kreditur; dan
3. Hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan harta benda debitur saja,
tidak dengan “person debitur”.42
Sesuai ketentuan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disingkat KUHPerdata) menentukan “kebendaan tersebut menjadi
jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya;
pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu
menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.
Dalam hal seorang debitur mempunyai beberapa kreditur, maka kedudukan
para kreditur ini adalah sama, namun jika kekayaan debitur tidak mampu
untuk dipergunakan melunasi hutang debitur dengan sempurna, maka para
kreditur ini dibayar berdasarkan asas keseimbangan, yang masing-masing
memperoleh piutangnya seimbang dengan piutang kreditur lain (asas
nonpondspondsgewijs).43
Para kreditur mempunyai hak dan kedudukan yang sama terhadap seluruh
harta kekayaan debitur, tidak ada yang didahulukan dalam pemenuhan
42
J. Satrio, 1998. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak
Tanggungan Buku 2. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. h.4-5
43
Herowati Poesoko. op.cit. h.81
32
piutanganya atau disebut dengan kreditur konkuren, kecuali kreditur mempunyai
hak istimewa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1133 KUHPerdata. Hak
Istimewa ini diatur dalam UU No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
d. Teori Pertanggungjawaban
Teori untuk menjawab permasalahan kedua mengenai perlindungan
hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah yang beritikad baik dapat juga
digunakan teori pertanggungjawaban sebagai landasannya. Prinsip tentang
tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perbankan. Di
dalam kaitannya dengan pemberian kredit dalam bidang perbankan diperlukan
kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang bertanggung jawab dan seberapa
jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.
Istilah tanggungjawab negara dalam Liability Convention 1972 dan
Deklarasi Stockholm 1972dituangkan dalam dua istilah yang berbeda, yaitu ;
Responsibility: lebih menunjuk kepada idikator penentu lahirnya
tanggungjawab yaitu standar perilaku yang telah ditetapkan terlebih dahulu
dalam bentuk kewajiban yang harus diataati serta lahirnya suatu
tanggungjawab, serta Liability: lebih menunjuk kepada akibat yang timbul
dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar itu, dan bentuk tanggungjawab
yang harus diwujudkan dalam kaitan dengan akibat atau kerugian yang timbul
akibat kegagalan memenuhi kewajiban tersebut, yaitu pemulihan (legal
redress).44
Berdasarkan sifat itu, menurut Soldie, istilah responsibility dan istilah
liability harus dibedakan, karena yang satu menunjuk standar perilaku, dan
kegagalan pemenuhan standar itu, sedangkan yang lainnya menunjuk pada
44
Ida Bagus Wyasa Putra, 2001. Tanggung Jawab Negara Terhadap
Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa. PT. Refika Aditama, Bandung. h.54
33
kerusakan atau kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi standar itu,
termasuk cara untuk memulihkan kerusakan atau kerugian itu.45
Menurut teori
pertanggungjawaban dalam membahas rumusan masalah kedua adalah lebih
cenderung kepada tanggungjawab dalam istilahnya Liability, karena teori ini akan
membantu dalam menjawab mengenai tanggung jawab dari pihak debitur
(nasabah bank) apabila tanah dan rumah dijual kepada pihak pembeli tanah dan
rumah dan penjualannya tersebut tidak diberikan kepada bank sehingga debitur
wanprestasi dan tanah dan rumah yang menjadi objek jaminan akan dieksekusi
bank.
Mengenai persoalan pertanggung jawaban pejabat menurut Kranenburg
dan Vegtig ada dua teori yang melandasi, yaitu :46
a. Teori Fautes Personalles yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak
ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah
menimbulkan kerugian. Menurut teori ini, beban tanggung jawab ditujukan
pada manusia selaku pribadi. Dalam hal seperti ini pada perjanjian kredit,
bahwa debitur lalai yang mengakibatkan munculnya kerugian bagi pihak
ketiga dipikul oleh Debitur. Debitur dituntut bertanggungjawab atas
pemenuhan prestasi oleh pihak kreditur (Bank) dan juga dituntut
bertanggungjawab atas penjualan tanah dan rumah yang telah dibayar lunas
oleh pihak pembeli tanah dan rumah.
45
Ibid.
46
Ridwan, HR., 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, h. 365
34
b. Teori Fautes de Servuces yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini tanggung. jawab dibebankan kepada jabatan.
Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah
kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan
ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada
tanggung jawab yang harus ditanggung. Dalam hal perjanjian kredit, apabila
debitor dalam jabatannya selaku developer lalai, jabatan debitor tersebut tidak
dapat dibebankan atas kerugian yang dipikul oleh kreditor (Bank), pribadi
debitorlah yang dibebani tanggungjawab untuk pemenuhan prestasinya
tersebut.
Dalam penulisan tesis ini menekankan pada keadaan dimana dikuasainya objek
jaminan yang telah diikat Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit bank oleh
pihak lain (sebagai pembeli tanah), pada saat tenggang waktu perjanjian Hak
Tanggungan ini masih berlangsung, namun objek jaminan yang telah diikat Hak
Tanggungan tersebut kemudian dialihkan ke penguasaan pihak lain tanpa
sepengetahuan kreditur dan debitur wanprestasi kepada bank, maka berdasarkan
atas teori tanggungjawab debitur memiliki tanggungjawab untuk melunasi
pembayaran hutangnya kepada bank sehingga bukti kepemilikan tanah tersebut
dapat diberikan kepada pihak lain yang telah melakukan pembelian dengan
membayar lunas tanah dan rumah yang dijadikan objek jaminan.
35
e. Teori Kepastian Hukum
Permasalahan kedua mengenai perlindungan hukum terhadap kedudukan
hukum pihak pembeli tanah yang beritikad baik atas pembayaran lunas tanah yang
yang telah dibebani Hak Tanggungan, teori kepastian hukum dapat pula dijadikan
landasan untuk menjawabnya. Kepastian hukum yang dimaksud dalam teori ini,
agar setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak kreditur dan debitur dapat
menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang terkait.
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis
dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Teori Kepastian Hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu.47
Bahwa kepastian hukum pada
pengertian pertama; yaitu dengan adanya pengaturan dalam KUHPerdata Pasal
1234 bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
47
Peter Mahmud Marzuki, 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana
Prenada Media Group, Jakarta. (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I),
h.137
36
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian pada pengertian kedua;
untuk bank adalah dengan adanya perjanjian kredit dengan diikuti dengan
perjanjian jaminan sebagai perjanjian acssesoir (perjanjian tambahan).
Kepastian hukum berkaitan dengan supremasi hukum, karena hukumlah
yang berdaulat. Teori kedaulatan hukum menurut Krabbe48
: bahwa hukumlah
memiliki kedaulatan tertinggi. Bahwa hukum dalam konteks kredit adalah
Perjanjian Kredit yang telah dibuat oleh para pihak (Kreditur-Debitur), sehingga
para pihak terikat dan tunduk dalam suatu perjanjian yang telah mereka buat.
Supremasi hukum tersebut secara konsepsional sama artinya dengan asas
legalitas dalam konsep negara hukum (rechtstaat) yang dikembangkan dalam
sistem hukum Eropa Kontinental. Asas ini mensyaratkan agar setiap tindakan
pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Atas dasar tersebut,
pengaturan yang jelas mengenai jaminan kepastian hukum atas pembelian tanah
sangatlah penting bagi masyarakat. Pelaksanaan perjanjian-perjanjian sehingga
melahirkan suatu perbuatan hukum dan mengakibatkan timbulnya hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi antara para pihak tersebut haruslah memberikan
kepastian hukum yang seimbang diantara mereka yang membuat perjanjian agar
tidak menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga yang terkait.
f. Konsep Perbankan
Bank sebagai lembaga keuangan diatur dalam UU Perbankan. Dalam
ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Perbankan dinyatakan bahwa Bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan
48
Soehino, 1998. Ilmu Negara. Liberty, Yogyakarta. h.156
37
menyalurkannya kepada masyarakat, dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak. Hal ini berarti dalam kegiatan sehari-hari bank pada umumnya
selalu berusaha menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat dalam
bentuk simpanan, dan kemudian mengelola dana tersebut untuk disalurkan
kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit.Ada tiga macam
nasabah dalam praktik-praktik perbankan: Pertama, nasabah deposan yaitu
nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank. Kedua, nasabah yang
memanfaatkan fasilitas kredit perbankan misalnya kredit usaha kecil, kredit
kepemilikan rumah, dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi
dengan pihak lain melalui bank (walk-in costumer).
Secara umum pihak-pihak yang terkait di dalam perjanjian kredit adalah
debitur (nasabah) dan kreditur (Bank). Pihak-pihak (debitur, kreditur) selalu
dibebani hak dan kewajiban. Suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu
perjanjian, mempunyai dua sudut : sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang
dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh
pihak lain, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi
dalam perjanjian itu.49
Dilihat dari segi fungsi dan tujuan usahanya, dikenal ada
empat jenis bentuk bank, yaitu Bank Sentral, Bank Umum, Bank Tabungan dan
Bank Pembangunan. Dan dilihat dari jenisnya dapat dibedakan antara Bank
Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Pasal 1 angka 3 UU Perbankan menyebutkan “Bank Umum adalah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
49
Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Subekti I), h. 29
38
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Pada Pasal 1 angka 4 UU Perbankan menyebutkan bahwa “Bank Perkreditan
Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan atau usaha secara konvensional
atau berdasarkan prinsip syariah tidak melayani lalu lintas pembayaran tetapi
melayani kredit untuk usaha kecil dan rakyat biasa”.
g. Konsep Pinjam Meminjam/Kredit
Pasal 1 angka 11 UU Perbankan dinyatakan, bahwa kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain,
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga. Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa
pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan
mutu yang sama pula (Pasal 1754 KUHPerdata).50
Perjanjian kredit mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak,
termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama, demikian pula
dengan masalah sanksi apabila si debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang
telah dibuat bersama.51
Jadi, untuk dapat dilaksanakannya pemberian kredit itu,
harus ada suatu persetujuan atau perjanjian antara bank sebagai kreditor dengan
50
Subekti, R., 1991, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut
Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. (selanjutnya disingkat
Subekti II), h.3
51
Kasmir, op.cit, h. 93
39
nasabah penerima kredit sebagai kreditor yang dinamakan perjanjian kredit.52
Dalam perjanjian kredit terdapatnya jaminan yang bertujuan untuk menjamin
bahwa piutang kreditur akan dibayar oleh debitur.
h. Konsep Prestasi dan Wanprestasi
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, menyatakan tiap-tiap
perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu. Ditinjau dari sifat prestasi yang harus dilakukan, secara
teoritis dikenal dua macam prestasi, yaitu:
1. Prestasi yang hanya dapat dipenuhi atau dilaksanakan oleh debitor
sendiri. Prestasi ini bersifat spesifik, dan pada umumnya merupakan
kewajiban atau prestasi yang lahir dari perikatan untuk melakukan
sesuatu, yang terbitnya semata-mata digantungkan pada keahlian diri
pribadi debitor.
2. Prestasi yang sepenuhnya dapat dilakukan tanpa kehadiran debitor atau
prestasi yang tidak perlu dilaksanakan sendiri oleh debitor sendiri. Pada
jenis prestasi kedua, meskipun keberadaannya bergantung pada
keberadaan debitur tertentu, namun demikian pelaksanaannya dapat
dilakukan tanpa kehadiran atau tanpa bantuan debitur sendiri. Dalam
perikatan untuk memberikan sesuatu misalnya dalam perikatan jual beli,
kewajiban pembayaran oleh pembeli tidak harus dilakukan sendiri oleh
pembeli, melainkan dapat dilakukan oleh pihak lain untuk kepentingan
dan atas nama pembeli. Pembayaran yang telah dilakukan oleh pihak lain
tersebut demi hukum menghapuskan kewajiban pembeli untuk
melakukan pembayaran (kembali) kepada penjual. Selanjutnya dalam
perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, secara tegas telah dinyatakan
dalam Pasal 1241 KUH Perdata bahwa “Apabila perikatan itu tidak
dilaksanakannya, kreditor boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah
yang mengusahakan pelaksanakannya atas biaya debitor”. Dalam hal ini
perlu dicatat dan diperhatikan bahwa meskipun prestasi tersebut tidak
dilakukan sendiri oleh pihak yang berkewajiban (debitor), dan bahwa
pelaksanaanya oleh pihak ketiga menghapuskan demi hukum kewajiban
atau prestasi yang wajib dilaksanakan oleh pihak yang berkewajiban
tersebut, pelaksanaan oleh pihak ketiga atau kreditor tersebut adalah
dilakukan untuk dan atas nama debitor, dengan tidak menutup
52
Kasmir,op.cit. h.12
40
kemungkinan lahirnya hubungan hukum baru antara pihak ketiga dengan
debitor yang tidak melaksanakan sendiri kewajibannya tersebut.53
Dapat disimpulkan bahwa sesuai penjelasan tersebut diatas, prestasi dapat
dikatakan tidak terpenuhi, apabila:54
1. Dalam perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu serta perikatan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu:
a) Dalam hal ditetapkannya suatu waktu, dengan lewatnya waktu tersebut,
debitor belum juga melaksanakan kewajibannya;
b) Dalam hal tidak telah ditentukan suatu waktu tertentu, setalah debitor
diberitahukan mengenai saat pelaksanaan kewajiban atau prestasinya dan
dalam hal debitor tidak juga melaksanakannya, telah ditegur dengan pantas
oleh kreditor;
2. Dalam perikatan untuk tidak berbuat atau untuk tidak melakukan sesuatu,
dengan dilaksanakannya hal yang dilarang tersebut oleh debitor, maka
kewajiban atau prestasi penanggung telah lahir demi hukum, dan karenanya
perikatan yang diatur dalam perjanjian penanggungan menjadi jatuh waktu
dan dapat ditagih oleh kreditor.
Mengenai perikatan-perikatan untuk menyerahkan sesuatu, wanprestasi
biasanya berakibat penggantian kerugian hanya dalam beberapa hal diizinkan oleh
pembentuk Undang-Undang dilakukan oleh nele executie (eksekusi riil). Eksekusi
riilartinya bahwa atas barang itu sendiri diadakan penyitaan, jadi debitur itu
dipaksakan untuk menyerahkan barang tersebut, haruslah dalam Undang-Undang
53
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, 2003. Penanggungan Utang
dan Perikatan Tanggung Menanggung. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. h.91
54
Ibid. h.94
41
ternyata dengan tegas, bahwa eksekusi riil itu dibolehkan dalam suatu perjanjian
tertentu.55
Sifat perjanjian jaminan ini lazimnya dikontruksikan sebagai perjanjian
yang bersifat accessoir, yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang berkaitan
dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian pokok.
Suatu perjanjian jaminan tidak akan ada apabila tidak ada perjanjian
pokok, tetapi sebaliknya perjanjian pokok tidak selalu menimbulkan perjanjian
jaminan. Dengan demikian, perjanjian jaminan kredit ini dibuat atau ada, karena
adanya perjanjian yang mendahului, yaitu perjanjian kredit. Konsekuensi
hukumnya adalah apabila suatu perjanjian kredit telah dinyatakan tidak berlaku
atau gugur, akibatnya perjanjian jaminan kredit sebagai perjanjian ikutan secara
otomatis menjadi gugur. Jadi, kedudukan perjanjian jaminan kredit sebagai
perjanjian accesseoir itu akan menjamin kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi
keamanan pemberian kredit oleh kreditor.56
i. Konsep Jaminan Kredit
Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit sangat
berkaitan dengan kepentingan bank yang menyalurkan dananya kepada debitur
yang sering dikatakan mengandung resiko. Dengan adanya jaminan kredit yang
dikuasai dan diikat bank sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,
pelaksanaan fungsi tersebut akan terlaksana pada saat debitur ingkar janji. Hak-
hak jaminan kredit itu tidak berdiri sendiri, melainkan terkait kepada hak lain,
yang menjadi hak utamanya. Oleh karena itu, sifat hak-hak jaminan ini adalah
55
R. Soeroso, SH, 2010. Perjanjian Di Bawah Tangan, Pedoman Praktis
Pembuatan Dan Aplikasi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. h.28
56
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-
Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta. h.32
42
accessoir, yaitu mengikuti perikatan utamanya.57 Hal ini berarti apabila perikatan
utamanya telah musnah hak jaminannya musnah pula. Sifat ini melekat pada
semua hak jaminan kredit.
Pengertian jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang
debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya
dalam suatu perikatan.58
Menurut Lord Moulton dalam konsepnya mengenai
jaminan dalam kontrak menyatakan bahwa :
It is evident, both on principle and on authority, that there may be a
contract the consideration for which is the making of some other contract,
„if you will make such and such a contract, I will give you one hundred
pounds‟, is in every sense of the word a complete legal contract. It is
collateral to the main contract, but each has a independent existence, and
they do not differ in respect of their possessing to the full the character and
status of a contract.59
(Terjemahan bebasnya: Jelas, baik pada prinsip dan otoritas, bahwa
kemungkinan adanya pertimbangan uang dalam pembuatan beberapa
kontrak, „jika anda akan membuat perjanjian saya akan memberikan seratus
pounds‟, adalah ada dalam setiap kontrak hukum yang lengkap. Itu adalah
jaminan untuk kontrak, tetapi masing-masing pihak memiliki keberadaan
atau kekuatan tersendiri dan mereka tidak membedakan kehormatan/posisi
mereka dalam proses untuk memiliki penuh karakter dan status dalam
sebuah kontrak.)
Menjaminkan suatu benda berarti melepaskan kekuasaan atas benda
tersebut, kekuasaan yang dilepaskan itu adalah kekuasaan untuk menjamin
hutangnya.60
Penjaminan merupakan pengalihan hak atas benda jaminan dari
debitur ke kreditur hanya sementara sepanjang piutang kreditur belum lunas,
57
Ardian Sutedi I, op.cit. h. 115
58
Mariam Darus Badrulzaman, 2000, “Permasalahan Hukum Hak
Jaminan” dalam Hukum Bisnis, volume 11, (selanjutnya disebut Mariam Darus
badrulzaman II). h. 12
59
Paul Richards, 2004. Law Of Contract. Pearson Education Limited.
England. h.113
60
Herowati Poesoko, op.cit, h. 147
43
apabila piutang tersebut lunas maka posisi hak tersebut kembali kepada debitur,
namun sebaliknya apabila debitur wanprestasi kreditur diberi hak untuk menjual
benda jaminan itu guna pelunasan hutang debitur.61
Jaminan kebendaan bergerak adalah meliputi gadai dan fidusia.
Sedangkan jaminan kebendaan tidak bergerak adalah hipotik dengan hak
tanggungan atas tanah. Tujuan dari jaminan yang bersifat kebendaan adalah untuk
memberikan hak vershaal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya) kepada
kreditor, terhadap hasil penjualan dari benda-benda tertentu dari debitur untuk
pemenuhan piutangnya.62
Hak kreditur yang bentuknya prestasi sebagai kewajiban debitur dalam
menyerahkan pengembalian uang beserta bunganya kepada kreditur, masih
menunggu realisasinya dikemudian hari sesuai waktu yang disepakati, apabila
debitur tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi hutangnya, maka posisi
kreditur menjadi rawan akan kerugian yang diderita, terlebih lagi perjanjian kredit
hanya sebagai suatu perikatan yang hanya melahirkan hak perseorangan, yang
sifatnya relatif dan kedudukan kreditur sekedar sebagai kreditur konkuren.63
Hak tanggungan merupakan salah satu lembaga hak jaminan kebendaan
yang lahirnya dari perjanjian, dalam hak tanggungan terdapat benda tertentu yaitu
hak-hak atas tanah yang dijanjikan secara khusus sebagai jaminan pelunasan
hutang tertentu, sehingga hak tanggungan merupakan hak jaminan khusus pula.64
61
Herowati Poesoko, op.cit. h.148
62
Adrian Sutedi I, op.cit, h. 25
63J. Satrio I, op.cit. h.84
64
J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra
Aditya Bakti, Bandung. h.278
44
Menurut Steven Emanuel :
The mortgage is generally in the form of an outright conveyance, together
with a defeasance clause which provides that if the mortgagor pays the
principal and meets all other obligation of the note, the conveyance to the
mortgage will become void. The mortgage follows the debt, so that sale of
the note results in an automatic transfer of the mortgage.65
Artinya : penjaminan adalah sebentuk pengalihan hak, dengan kondisi
apabila si terjamin telah membayar si berpiutang sesuai dengan kewajiban
tertulisnya, maka pengalihan haknya secara otomatis menajdi nihil.
Penjaminan ini mengikuti utangnya, sehingga jika piutangnya diperjual
belikan, maka otomatis hak pertanggungannya juga beralih ke pihak yang
mendapatkan pengalihan hak tagih.66
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Hak Tanggungan,
sepanjang dalam perjanjian kredit sudah ditentukan (tertentu) jumlah
pinjamannya, maka hak tanggungan dapat menjamin utang yang belum ada, tetapi
sudah diperjanjikan dalam perjanjian kredit, yang kemudian hari akan melahirkan
perjanjian utang piutang secara riil.67
Jaminan dengan hak tanggungan dilakukan
dengan pembuatan Akte Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat
Pembuat Akte Tanah (PPAT) sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Akte Pemberian Hak Tanggungan ini wajib untuk didaftarkan. Setelah didaftarkan
pada Kantor Pertanahan, terbitlah Sertifikat Hak Tanggungan yang di dalamnya
memuat irah-irah dengan kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan. Hak tanggungan atas tanah dalam Pasal 1 angka 1
65
M. Khoidin, 2005. Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan.
LaksBang, Yogyakarta. h.35
66
Ibid.
67
Rachmadi Usman, 2009. Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika,
Jakarta. (selanjutnya disingkat Rachmadi Usman II), h.413
45
UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-
bernda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.68
Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, objek yang dapat
dibebani dengan hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah.69
Dalam Pasal 4 UU Hak Tanggungan tersebut
dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah
sebagai berikut :
1. Hak milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;
5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada
atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan
yang merupakan milik pemegang hak atas tanah.
Oleh sebab itu hak tanggungan merupakan bagian dari hak jaminan yang
khusus tertuju pada hak atas tanah, maka unsur-unsur pokok dari hak tanggungan,
sebagaimana termuat di dalam defenisi dari pada hak tanggungan. Unsur-unsur
pokok hak tanggungan tersebut adalah :
1. Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk perlunasan utang tertentu;Maksud
untuk perlunasan utang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat
membereskan dan menyelesaikan pembayaran utang-utang debitur yang ada
pada kreditur.
68
Adrian Sutedi I, op.cit, h. 49-50
69
Ibid, h. 51
46
2. Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai dengan Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA).
3. Hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi
dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu.
4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain. Maksudnya memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut
droit de preference. Keistimewaan itu ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan
pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, yang berbunyi :
Apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk
menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut
peraturan yang berlaku dan mengambil perlunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lain
yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur pemegang hak
tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. Hak yang istimewa ini tidak
dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.70
Unsur-unsur pokok dari hak tanggungan termuat di dalam defenisi dari
pada hak tanggungan tersebut diatas. Unsur-unsur pokok itu adalah : Hak
tanggungan adalah hak jaminan untuk perlunasan utang tertentu maksud untuk
perlunasan utang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan
menyelesaikan pembayaran utang-utang debitur yang ada pada kreditur, Objek
hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai dengan Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA), Hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas
tanah) saja tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain lazimnya
disebut droit de preference.
70
H. Salim, HS.,2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. h.96-97
47
Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak
tanggungan.71
Artinya apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak
tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui
pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil perlunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada
kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur
pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. Dalam hal
terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak
kreditur maka kreditur dapat mengajukan actio pauliana, yaitu hak dari kreditur
untuk membatalkan seluruh tindakan debitur yang dianggap merugikan.72
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan penelitian yang menyajikan bagaimana
cara atau prosedur maupun langkah-langkah yang harus diambil dalam suatu
penelitian secara sistematis dan logis sehingga dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya.73
Metode penulisan tesis adalah uraian tentang cara bagaimana mengatur
penulisan tesis dengan usaha yang sebaik-baiknya. Metode penelitian yang
digunakan dalam penulisan tesis ini meliputi:
71
Ibid.
72
Adrian Sutedi I, op.cit. h.169
73
Sutrisno Hadi, 1987. Metodelogi Riset Nasional. Akmil, Magelang. h.8
48
a. Jenis Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian hukum
normatif. Adapun penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-
asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, dan penelitian terhadap taraf
sinkronisasi hukum.74 Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang
dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan
menjadi acuan perilaku setiap orang.75 Penelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif karena mencakup penelitian taraf sistematika hukum yaitu bertujuan
untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok/dasar hak dan
kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek hukum.
Penelitian ini mengidentifikasi pengertian pokok/dasar peristiwa hukum
yakni Pasal 6 UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “Apabila debitur cidera
janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek
Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kemudian Pasal 7
UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tetap mengikuti
obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada”. Pengertian pokok/dasar
peristiwa hukum tersebut tercermin pada kasus pengalihan hak milik atas tanah
yang sedang dibebani hak tanggungan, yaitu Bank selaku pemegang hak
74
Zainuddin Ali, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta. h.25
75
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abulkadir Muhammad I),
hal.52.
49
tanggungan (kreditur) berhak menjual obyek hak tanggungan apabila debitur
cidera janji, walaupun objek hak tanggungan tersebut dikuasai oleh pihak lain.
b. Jenis Pendekatan
Terdapat beberapa jenis pendekatan dalam penelitian hukum, yakni
pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan konseptual
(conceptual approach), dan pendekatan analitis (analytical approach).76 Untuk
membahas permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian tesis ini, peneliti
menggunakan pendekatan:
1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan
melakukan telaah terhadap semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.77
Dalam
penelitian ini undang-undang dan regulasi yang ditelaah antara lain:
a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
b. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
c. Undang-Undang No.7 Tahun 1998 Tentang Perbankan
d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Pendekatan kasus (case approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan
cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu, yaitu
76
Peter Mahmud Marzuki, 2006. Penelitian Hukum. Kencana Prenada,
Jakarta. (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II), h.93
77
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki III), hal.93.
50
mengenai pengalihan hak milik atas tanah yang sedang dibebani hak
tanggungan yang terjadi di PT. BPR Bank Kertiawan.
3. Pendekatan analitis (analytical approach), yaitu pendekatan untuk
menganalisis permasalahan mengenai upaya penyelesaian sengketa dan
perlindungan terhadap pihak pembeli tanah dan rumah sebagai objek
jaminan hak tanggungan.
c. Sumber Bahan Hukum
1) Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif sehingga sumber data
utamanya adalah berupa bahan-bahan hukum yang mencakup bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier sebagai
berikut:Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai
kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi,
dokumen hukum, dan putusan hakim).78
Dalam penelitian ini bahan hukum
yang diteliti antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Undang –Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria;
3. Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1998 Tentang Perbankan;
78
Abdulkadir Muhammad I, op.cit., hal.81.
51
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan
hukum, dan media cetak atau elektronik).79 Dalam penelitian ini digunakan
bahan hukum sekunder antara lain buku ilmu hukum yang berkaitan dengan
hukum perdata, hukum jaminan, hukum perbankan, termasuk jurnal dan
tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pengalihan hak atas tanah yang
sedang dibebani hak tanggungan.
3) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (rancangan
undang-undang, kamus hukum, dan ensiklopedia).80
d. Data Penunjang
Data Penunjang adalah data yang berupa hasil wawancara mendalam dari
tokoh-tokoh kunci (key person) bidang hukum. Pengumpulan data penunjang
dilakukan dengan pedoman wawancara kepada pihak-pihak (Direksi, Komisaris,
serta Kepala Bidang Kredit PT. BPR KERTIAWAN Gianyar-Bali) yang ada
kaitannya terhadap permasalahan yang diteliti.
e. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah melalui teknik telaah kepustakaan (Study document). Bahan hukum
yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan pertama-tama dilakukan
79
Ibid.
80
Ibid.
52
pemahaman dan mengkaji isinya secara mendalam untuk selanjutnya dibuat
catatan sesuai permasalahan yang dikaji baik langsung maupun tidak langsung.81
f. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum yang digunakan digunakan
dalam penelitian ini teknik deskripsi, teknik eksplanasi, teknik evaluasi, dan
teknik argumentasi. Analisis dilakukan dalam rangka untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada dengan menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi
atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Dalam penelitian ini
permasalahan akan dideskripsikan serinci mungkin sehingga dapat tergambarkan
kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum yang terkait dengan
permasalahan, menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji permasalahan dari
bahan-bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan penalaran-penalaran
(argumentasi) dari hasil evaluasi tersebut, sehingga dapat memperoleh kesimpulan
mengenai persoalan yang dibahas pada penelitian ini.
81
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.58
53
BAB II
TEORI DAN KONSEP YANG BERKAITAN DENGAN PENGALIHAN
HAK ATAS TANAH DAN HAK TANGGUNGAN
Hal-hal yang terkait mengenai teori dan konsep pengalihan hak atas
tanah yaitu terdapat beberapa penjelasan mengenai pengertian hak atas tanah, hak
individu atas tanah, macam-macam hak atas tanah serta peralihan hak atas tanah.
Kemudian hal-hal yang terkait megenai teori dan konsep hak tanggungan
tercantum pula beberapa penjelasan mengenai pengertian hak tanggungan, objek
dan subjek hukum dalam hak tanggungan, asas-asas hak tanggungan, pembebanan
hak tanggungan, serta lahir dan berakhirnya hak tanggungan.
2.1 Teori dan Konsep Tentang Pengalihan Hak Atas Tanah
a. Hakekat Hak Atas Tanah
Hakekat hak atas tanah dapat dikaitkan dengan teori perjanjian. Dasar
dari pada teori perjanjian adalah adanya suatu kepentingan untuk memiliki sesuatu
hak sehingga melahirkan suatu perikatan. Hak atas tanah adalah suatu perbuatan
hukum para pihak, perbuatan hukum inilah yang melahirkan suatu perjanjian yang
dasarnya adalah kesepakatan. Terdapat beberapa teori untuk timbulnya
kesepakatan, yaitu “ajaran kehendak (Wilsleer), Pandangan Normatif Van Dunne,
dan Ajaran kepercayaan (Vetrouwensleer).82
82
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, loc.cit.
53
54
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, tanah diartikan sebagai
lapisan bumi paling atas, negeri, daerah, pulau, benua dan daratan.83
Dalam kamus
Hukum, tanah diartikan sebagai permukaan bumi/lapisan bumi yang diatas sekali;
keadaan bumi di suatu tempat; permukaan bumi yang diberi batas; daratan.84
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, tidak ada pengertian yang jelas mengenai
apa yang dimaksud dengan tanah, hanya saja dari bunyi Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2043, selanjutnya disingkat UUPA) menyatakan
bahwa “atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah
yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.
Jadi, yang dimaksud dengan tanah dalam perngertian yuridis adalah
permukaan bumi. Oleh karena itu, hak atas tanah pada asasnya adalah hak atas
permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan
lebar.85
Artinya hak atas tanah yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah
memiliki batas-batas yang telah ditentukan.
Seseorang yang mempunyai hak atas tanah pada dasarnya hanya
mempunyai hak atas permukaan bumi saja, tidak secara otomatis berhak
juga atas tubuh bumi, air maupun ruang yang ada di atas permukaan bumi,
83
Badudu-Zain, 1996.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta. h.1417
84
Sudarsono, 1999.Kamus Hukum. PT.Rineka Cipta, Jakarta. h.483
85
Boedi Harsono, 2007. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan
UUPA Isi dan Pelaksanaannya. Jambatan, Jakarta. (selanjutnya disingkat Boedi
Harsono I) h.18
55
hal ini dapat dilihat bahwa pemegang hak atas tanah tidak dengan sendirinya
wenang untuk menggunakan tubuh bumi, air maupun ruang yang ada di
atasnya.86
Bahwa setiap orang yang memiliki hak atas tanah tidak secara otomatis
memiliki segala apapun yang terkait pada tanah tersebut, seperti halnya bangunan
yang terdapat diatas hak milik orang lain yang belum tentu kepemilikan
bangunan tersebut dimiliki oleh pemilik tanah, melainkan dimiliki oleh pihak lain
yang berstatus sebagai penyewa, begitu pula dengan air yang tidak dapat dimiliki
secara otomatis tetapi hanya dapat dimanfaatkan sesuai dengan keperluan.
Meskipun demikian karena tidak mungkin pemegang hak atas tanah hanya
menggunakan permukaan bumi saja, maka kewenangan dari pemegang hak
atas itu diperluas, tidak hanya wenang menggunakan permukaan bumi saja,
akan tetapi wenang juga menggunakan tubuh bumi, termasuk wenang
menggunakan air dan juga ruang yang ada di atas permukaan bumi akan
tetapi penggunaannya ada syaratnya, yaitu sepanjang penggunaan tubuh
bumi, air serta ruang udara yang ada diatas permukaan bumi digunakan
untuk keperluan yang berhubungan langsung dengan penggunaan tanahnya
(dalam arti permukaan bumi) dan juga menurut batas-batas yang ditentukan
dalam peraturan perundangan yang berlaku.87
Demikianhalnya dalam hal melangsungkan kehidupan pemegang hak atas tanah
tidak mungkin hanya menggunakan permukaan bumi atau tanah saja, pemegang
hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan tubuh bumi atau
mempergunakan apapun yang terkait dengan permukaan bumi itu, seperti air dan
ruang yang terdapat diatasnya dengan mematuhi persayaratan yaitu
mempergunakan untuk keperluan yang berhubungan langsung dengan tanah dan
juga tidak dapat melampaui batas-batas yang telah ditentukan.
86
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit h.38
87
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, loc.cit.
56
Terkait dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA yang menentukan “hak-hak atas
tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi, air serta
ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
berhubungan langsung dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut
undang-undang ini dan peraturan-peraturan hokum yang lebih tinggi”. Sedalam
berapa tubuh bumi dapat digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada diatasnya
boleh digunakan, hal ini ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas
kewajaran perhitungan teknis kemampuan tubuh bumi serta kemampuan
pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundangan yang bersangkutan.88
Bahwa pemanfaatan segala yang terdapat di dalam tubuh bumi kesemuanya
terdapat batasan dan perhitungan teknis mengenai penggunaanya yang harus
sesuai dengan tujuan, kemampuan tubuh bumi, kemampuan pemegang hak, serta
tidak melanggar peraturan yang terkait mengenai pemanfaatan tubuh bumi
tersebut.
Oleh karena itu, pemegang hak atas tanah tidak dapat sembarangan
menggali tubuh bumi untuk mencari bahan galian, karena hal ini tidak termasuk
kewenangan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah, apabila ingin
menggali tanah untuk mencari bahan galian, hal ini dibutuhkan ijin tersendiri.89
Jadi terdapat batasan-batasan penggunaan tubuh bumi, pemegang hak atas tanah
tidak dapat sewenang-wenang menggali apapun yang terkandung di bawah hak
88
Boedi Harsono I. op.cit. h.19
89
Boedi Harsono I. op.cit. h.38
57
milik atas tanahnya, penggalian atas apa yang terdapat pada tubuh bumi harus
memiliki ijin dari pihak yang berwenang akan hal tersebut.
Hak atas tanah juga tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang ada
dalam tubuh bumi dibawahnya. Hal tersebut terdapat pada Pasal 8 UUPA yang
menyatakan bahwa “karena menurut ketentuan Pasal 4 ayat (2) hak-hak atas tanah
itu hanya memberi hakatas permukaan bumi saja, maka wewenang-wewenang
yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang
terkandung di dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Oleh karena itu maka
pengambilan kekayaan yang dimaksudkan itu memerlukan pengaturan tersendiri.
Ketentuan ini merupakan pangkal bagi perundang-undangan pertambangan dan
lain-lainnya.”
Hukum agraria kita menganut asas pemisahan horizontal (horizontale
scheiding), sesuai hukum adat kita tidak menganut asas perlekatan (asas accessie)
yang berarti bahwa apa yang ada atau melekat pada tanah merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan tanah, yang berarti menjadi milik si pemilik tanah,
pemilik tanah juga memiliki bangunan maupun tanaman yang ada diatas tanah
tersebut.90
Dalam hukum adat tidak menganut asas perlekatan (asas accessie)
yang berarti apapun yang melekat dan terkait dengan tanah secara otomatis
menjadi milik pemilik tanah, seperti tanaman maupun bangunan yang terdapat
diatas tanah adalah secara otomatis menjadi milik si pemilik tanah.
Sedangkan asas pemisahan horizontal yaitu apa yang melekat atau ada
diatas tanah tidak dengan sendirinya merupakan bagian dari tanah, pemilik tanah
90
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.39
58
tidak dengan sendirinya menjadi pemilik dari bangunan dan tanaman yang ada
diatasnya.91
Melainkan bahwa asas pemisahan horizontal berarti segala yang
terkait dan melekat diatas tanah tidak seta merta menjadi milik atau dimiliki oleh
pemilik tanah, bangunan dan tanaman yang melekat pada tanah tersebut tidak
secara otomatis dimiliki oleh pemilik tanah.
Bertitik tolak dari hal tersebut diatas, maka hak atas tanah tersebut adalah
hak yang diberikan oleh pemegang hak atas tanah yang kepemilikan tersebut
dimaksud hanya pada tanah permukaan bumi atau tanah yang secara tidak serta
merta dan otomatis memiliki juga tubuh bumi atau ruang yang terdapat diatasnya,
pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan tubuh
bumi, untuk kepentingan yang berkaitan dengan tanah dan terdapat syarat-syarat
yang harus dipatuhi oleh pemegang hakatas tanah, hal ini sesuai dengan asas
horizontal yang dianut oleh Hukum Agraria di Indonesia.
b. Hak Individu Atas Tanah
Hak individu atas tanah dapat dikaitkan dengan teori perlindungan
hukum. Karena hak individu atas tanah ini memberikan perlindungan tiap-tiap
individu atas kepemilikan tanah yang telah dimiliki apabila terjadi pelanggaran
maupun tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hak individu atas
tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (baik
perorangan secara sendiri-sendiri, kelompok orang secara bersama maupun badan
hukum) untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan, dan atau
91
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit.
59
mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu.92
Artinya, hak individu atas tanah
merupakan hak yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah untuk memakai,
menguasai, menggunakan dan atau mengambil manfaat dari tanah tersebut.
Penguasaan dan penggunaan tanah secara individual dijamin oleh
undang-undang, baik dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) maupun dalam UUPA. Dalam
UUD 1945 amandemen kedua pada Pasal 28 G dinyatakan bahwa “setiap orang
berhak atas perlindungan harta benda yang dibawah kekuasaannya.” Sedangkan
pada pasal 28 H ayat 4 UUD 1945 dinyatakan bahwa “setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun”.
Dalam UUPA Pasal 4 ayat (1) menyatakan “atas dasar hak menguasai
dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.” Pada Pasal 4 ayat (2)
menyatakan “hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh
bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam
batas-batas menurut Undang-Undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.” Maka dengan hal tersebut dapat dikatakan hak seseorang baik
92
Urip Santoso, 2005. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Prenada
Media, Jakarta. h.82
60
perorangan atau secara bersama-sama maupun badan hukum untuk memiliki
sesuatu hak milik pribadi, dalam artian memiliki adalah untuk menguasai,
menggunakan, dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu dan
kepemilikannya dijamin oleh Undang-Undang.
c. Macam-Macam Hak Atas Tanah
Pada sub macam-macam hak atas tanah ini, dapat dikaitkan dengan teori
kepastian hukum. Karena hak ha katas tanah yang dimiliki oleh individu memiliki
cakupan, batasan dan aturan tersendiri yang sangat jelas dan harus dipatuhi
masing-masing individu. Hal tersebutlah yang memberikan kepastian kedudukan
individu pemilik ha katas tanah. Macam-macam ha katas tanah yaitu :
1. Hak Milik
Pasal 20 ayat (1) UUPA menyatakan : Hak milik adalah hak yang turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah, dengan
mengingat ketentuan pasal 6. Pada dasarnya hak milik mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :93
1. Turun temurun;
2. Terkuat dan Terpenuh;
3. Hak milik dapat beralih dan dialihkan;
4. Hak milik mempunyai fungsi sosial;
5. Hak milik juga hak yang wajib daftarmenunjuk pada jangka waktu hak
milik yang tidak dibatasi.
93
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit. h.47
61
Adapun subyek Hak Milik atau yang dapat menjadi pemegang hak milik adalah:
Warga Negara Indonesia (selnjutnya disingkat WNI), dan Badan Hukum
Tertentu.94
Menurut penjelasan Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto mengenai
WNI pada Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa “Hanya Warga Negara
Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Karena yang dapat mempunyai hak milik
hanyalah WNI tunggal, maka apabila seorang Warga Negara Asing (selanjutnya
disingkat WNA) memperoleh hak milik karena percampuran harta yang
disebabkan adanya perkawinan maka yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu)
tahun setelah diperolehnya hak milik tersebut harus melepaskan hak milik tersebut
kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik (hal ini
diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UUPA). Oleh karena itu semua perbuatan hukum
yang sengaja untuk mengalihkan hak milik kepada orang asing atau seseorang
yang disamping mempunyai kewarganegaraan asing, adalah batal demi hukum
dan tanahnya jatuh kepada negara (diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA).
Kemudian selanjutnya penjelasan Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto
mengenai Badan Hukum Tertentu pada Pasal 21 ayat (2) UUPA menyatakan
“oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak
milik dengan syarat-syarat”. Pemilikan tanah hak milik oleh badan keagamaan
dan badan sosial diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa
“hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan
untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi.Badan-
94
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto. op.cit. h.50
62
badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan
dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial”. Pemerintah kemudian
mengeluarkan PP No.38 Th 1963 yang memuat badan-badan hukum apa saja yang
dapat mempunyai hak milik :
Bank-bank yang didirikan oleh Pemerintah;
Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan
berdasarkan UU No.79 Th 1958;
Badan badan keagamaan yang ditunjuk menteri agama;
Badan-badan sosial yang ditunjuk menteri dalam negeri setelah
mendengar menteri sosial.
Sedangkan menurut Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.9 Th 1999 Tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tantang Negara dan Hak Pengelolaan,
disebutkan bahwa badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik
adalah Bank Pemerintah, Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh
pemerintah. Alasan untuk tidak diperbolehkannya badan hukum mempunyai tanah
dengan hak milik adalah agar dihindari penyelundupan-penyelundupan terhadap
batas maksimum pemilikan tanah yang ditentukan dalam Pasal 17
UUPA.Disamping itu alasan lainnya adalah bahwa badan-badan hukum tidak
perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan
yang cukup bagi keperluannya yang khusus.
Terjadinya Hak milik :95
a. Menurut hukum adat
b. Terjadinya hak milik karena Penetapan Pemerintah
c. Terjadinya hak milik karena ketentuan Undang-Undang
95
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto. op.cit. h.56
63
Menurut Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto penjelasan mengenai
terjadinya hak milik menurut hukum adat ini berhubungan dengan hak ulayat.
Dalam hukum adat, terjadinya hak milik tersebut diawali dengan hak seorang
warga untuk membuka hutan dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum adat
dengan persetujuan Kepala Adat. Pembukaan hutan adalah pembukaan tanah
(pembukaan hutan) yang dilakukan bersama-sama ketua adat melalui 3 (tiga)
sistem penggarapan, yaitu matok sirah matok galeng, matok sirah gilir galeng, dan
sistem bluburan.96 Menurut Maria SW Soemardjono bahwa perolehan hak milik
menurut hukum adat tidak dengan cara serta merta, melainkan diawali dengan
pembukaan hutan oleh anggota persekutuan dengan sepengetahuan kepala
persekutuan, dilanjutkan dengan pemasangan tanda batas dan pengolahan
tanahnya menjadi tanah pekarangan atau pertanian, jika hubungan antara yang
bersangkutan dengan tanahnya sudah bersifat menetap (terus-menerus) maka
lambat laun hubungan tersebut menjadi hubungan milik.97 Bahwa menurut hukum
adat, hak milik tidak dapat diperoleh secara serta merta terdapat tatacara yang
harus dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama.
Kemudian selanjutnya penjelasan Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto
mengenai terjadinya hak milik karena penetapan pemerintah ini diatur dalam
PMNA/KBPN No.9 Th 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak
Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Perolehan hak milik karena penetapan
ini dimulai dengan suatu permohonan hak kepada pejabat yang
96
Urip Santoso,op.cit. h.94
97
Maria SW soemardjono, 2009.Tanah dalam perspektif hak ekonomi,
sosial dan budaya. Kompas, Jakarta. h.144
64
berwenang.Sedangkan mengenai siapa yang wenang memberikan keputusan
pemberian haknya hal ini diatur dalam PMNA/KBPN No.3 Th 1999 tentang
Pelimpahan Kewenangan dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah
Negara.
Terjadinya hak milik karena ketentuan undang-undang adalah terjadinya
hak milik karena Konversi, sebagaimana diatur dalam ketentuan Konversi.
Konversi disini adalah perubahan hak-hak atas tanah yang sebelum UUPA lahir
(hak lama) menjadi salah satu ha katas tanah yang ada dalam UUPA.Hak lama
adalah hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA lahir, yaitu baik hak barat
maupun hak adat. Hak barat adalah hak atas tanah yang tunduk pada hukum
perdata barat misalnya hak eigendom, hak erfpacht, hak postal, akan dikonversi
menjadi hak milik apabila pemegang haknya memenuhi syarat sebagai pemegang
hak milik. Sedangkan hak adat adalah hak atas tanah yang tunduk pada hukum
adat seperti hak milik, yayasan, andarbeni, hak atas druwe atau hak golongan,
pekulen atau sanggan yang bersifat tetap inilah yang akan dikonversi menjadi hak
milik apabila pemegangnya memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik.
Hapusnya hak milik berdasarkan Pasal 27 UUPA, hak milik atas tanah
dapat hapus apabila:
Tanah jatuh pada negara:
a. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA.
b. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.
c. Karena ditelantarkan.
d. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA
Tanahnya musnah.
65
2. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha (selanjutnya disingkat HGU) diatur dalam Pasal 28-34
UUPA dan Pasal 2-18 PP No.40 Th 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai. Dalam Pasal 28 UUPA, yang dimaksud dengan Hak
“Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan, dan
peternakan”.
Meskipun disebut Hak Guna Usaha, akan tetapi tidak semua bentuk
usaha dapat diberikan tanah HGU. Usaha yang akan diberikan dengan HGU
adalah usaha dibidang pertanian (dalam arti luas termasuk perkebunan), perikanan
dan peternakan, sehingga HGU peruntukannya adalah terbatas.98
Yaitu, adanya
keterbatasan dalam pemberian HGU untuk usaha hanya pada bidang pertanian,
perikanan, dan peternakan.
Luas HGU hanya diberikan untuk usaha yang memerlukan tanah yang
luas, maka HGU diberikan untuk tanah luas minimum 5 Ha dan jika luasnya 25
hektar atau lebih harus disertai investasi modal yang layak dan teknis perusahaan
yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.Luas maksimum HGU perorangan
adalah 25 Ha, sedangkan luas maksimum untuk badan hukum ditetapkan oleh
Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang
dibidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk
pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling berdayaguna dibidang yang
bersangkutan.
98
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit.h.64
66
Pasal 4 PP No.40 Th 1996 mengatur mengenai tanah yang dapat
diberikan HGU:
Ayat (1) : Tanah yang dapat diberikan dengan HGU adalah Tanah Negara
Ayat (2) : Dalam hal tanah yang akan diberikan dengan HGU itu adalah tanah
Negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU dapat
dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan statusnya
sebagai kawasan hutan.
Ayat (3) : Pemberian HGU atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu
sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketentuan HGU tersebut
baru dapat dilaksanakan setelah terselesaikannya pelepasan hak
tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Meskipun HGU hanya dapat diatas tanah Negara, akan tetapi dari
ketentuan Pasal 4 PP No.40 Th 1996 tersebut maka HGU dapat berasal dari tanah
kepunyaan orang lain, atau tanah hak. Hanya saja tanah tersebut oleh pemiliknya
harus dilepas dahulu kepada Negara, dengan memberikan ganti kerugian kepada
bekas pemiliknya, sehingga statusnya menjadi tanah Negara.99
Selanjutnya
pemegang HGU mengajukan permohonan hak kepada Negara (Badan Pertanahan
Nasional).
Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Th 1999
Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
dimungkinkan HGU diberikan oleh Negara diatas tanah ulayat setelah tanah
99
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit. h.67
67
tersebut dilepas oleh masyarakat hukum adat. Meskipun diberikan diatas tanah
hak ulayat, tetap saja HGU tersebut harus dengan proses pemberian hak melalui
penetapan pemerintah, dalam hal ini sesuai ketentuan dalam PMNA/KBPN No.9
Th 1999 dan PMNA/KBPN No.3 Th 1999.
Jangka waktu HGU dapat dirasa cukup dengan 25 tahun atau maksimum
35 tahun dan kemungkinan untuk diperpanjang 25 tahun, bahkan dapat
diperbaharui (25 tahun).100
Perpanjangan dan pembaharuan HGU dapat dilakukan
jika memenuhi syarat yang ditentukan sebagaimana termuat dalam Pasal 9 PP
No.40 th 1996:
a) Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan
tujuan pemberian hak tersebut;
b) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang
hak;
c) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Subyek HGU adalah WNI, tidak disyaratkan harus WNI tunggal dan
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia. Dalam hal pemegang HGU tidak lagi memenuhi syarat sebagai
pemegang HGU, maka dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan HGU tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila
jangka waktu tersebut HGU tidak dilepas atau dialihkan maka HGU tersebut
hapus karena hukum dan tanahnya jatuh ketangan Negara.101 Yaitu jika pemegang
100Sudargo Gautama, 1990. Tafsiran undang-undang pokok agraria. Citra
aditya bakti, bandung. h.139
101Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.69
68
HGU melanggar atau tidak mematuhi syarat yang telah ditentukan maka HGU
tersebut akan hapus dan tanah akan jatuh ke tangan Negara.
Seperti juga hak milik, maka HGU juga dapat beralih dan dialihkan,
dalam arti bahwa HGU dapat juga diwariskan maupun dialihkan kepada pihak
lain dengan suatu perbuatan hukum tertentu. Peralihan HGU diatur dalam Pasal
16 UUPA:
1. HGU dapat beralih dan dialihkan;
2. Peralihan HGU dapat terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan
dalam modal, hibah, pewarisan;
3. Peralihan HGU harus didaftar di Kantor Pertanahan;
4. Peralihan HGU karena jual beli kecuali melalui lelang, tukar menukar,
penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah;
5. Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita
acara lelang;
6. Peralihan HGU karena warisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau
surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.
Ada beberapa cara hapusnya HGU menurut Pasal 34 UUPA, yaitu:
a. Jangka waktu berakhir, dan tidak diperpanjang atau diperbaharui oleh
pemegang haknya;
b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktu berakhir,
karena:
Tidak dipenuhinya kewajiban pemegang hak
Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan (selanjutnya disingkat HGB) diatur dalam Pasal 35-
40 UUPA dan Pasal 19-38 PP No.40 Th 1999.Pasal 35 ayat (1) UUPA
menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan adalah “hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam
jangka waktu paling lama 30 tahun”.
69
Obyek HGB adalah hak atas tanahnya bukan bangunannya, seseorang
diberi hak untuk menggunakan tanah pihak lain guna mendirikan dan mempunyai
bangunan.102
HGB adalah hak atas tanah yang diberikan kepada seseorang untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah tersebut, jadi bukan hak untuk
menggunakan bangunan milik orang lain.
Perbedaan antara HGB dengan Hak “Menggunakan” Bangunan, yaitu
apabila seseorang diberi ijin untuk menggunakan bangunan orang lain yang sudah
berdiri diatas suatu bidang tanah maka dia memperoleh Hak Menggunakan
Bangunan, sedangkan apabila seseorang memperoleh suatu hak atas tanah yang
penggunaannya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan, maka dia
memperoleh suatu Hak Atas Tanah. Jangka waktu HGB paling lama 30 tahun
dapat diperpanjang 20 tahun serta dapat diperbaharui. Ciri-ciri HGB:
peruntukannya hanya untuk bangunan (mendirikan dan mempunyai bangunan),
sertadiatas tanah yang bukan miliknya.103
Terjadinya HGB :
a. Diatas tanah Negara dengan Keputusan pemberian hak oleh pejabat yang
berwenang. Kewenangan pemberian hak diatur dalam PMNA/KBPN No.3
Th 1999, sedangkan prosedur pemberian haknya diatur dalam
PMNA/KBPN No.9 Th 1999.
b. Diatas tanah hak pengelolaan : dengan keputusan pemberian hak oleh
pejabat yang berwenang berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan.
Mengenai prosedur pemberian HGB diatas tanah Hak Pengelolaan ini
mengacu pada PMNA/KBPN No.9 Th 1999
c. Diatas tanah milik : dengan akta pemberian HGB diatas tanah hak milik
yang dibuat oleh PPAT.104
102
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.81
103
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.74
104
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.75
70
Disamping dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak
tanggungan, HGB juga dapat dilaihkan kepada pihak lain. Pasal 34 PP No.40 Th
1996 menyatakan:
1. HGB dapat beralih dan dialihkan;
2. Peralihan HGB terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam
modal, hibah, pewarisan;
3. Peralihan HGB harus didaftar di Kantor Pertanahan;
4. Peralihan HGB karena jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar
menukar, penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah;
5. Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita
acara lelang;
6. Peralihan HBG karena warisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau
surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang;
7. Peralihan HGB atas tanah hak pengelolaan harus dengan persetujuan
tertulis dari pemegang hak pengelolaan;
8. Peralihan HGB atas tanah hak milik harus dengan persetujuan tertulis dari
pemegang hak milik yang bersangkutan.
Jadi, Seperti halnya hak-hak atas tanah yang lain, HGB ini dapat
dialihkan dengan ketentuan-ketentuan Pasal 34 PP No.40 Th 1996 tersebut diatas.
Hapusnya HGB berdasar pada Pasal 40 UUPA:
1) jangka waktunya berakhir;
2) dihentikan sebelum jangka waktu berakhir karena sesuatu syarat tidak
dipenuhi;
3) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
4) dicabut untuk kepentingan umum;
5) ditelantarkan;
6) tanahnya musnah;
7) ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).
4. Hak Pakai
Hak Pakai diatur dalam Pasal 41-43 UUPA dan Pasal 39-58 PP No.40 Th
1996. Hak Pakai adalah “hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang
71
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan Undang-Undang ini”. Ciri-ciri Hak Pakai :
1. Peruntukannya
Hak Pakai dapat digunakan untuk keperluan mendirikan bangunan dan
dapat untuk pertanian hak ini dapat dilihat dari kata menggunakan dapat
diartikan bahwa hak pakai bisa untuk bangunan sedangkan dari kata
memungut hasil diartikan hak pakai bisa untuk pertanian.
2. Hak Pakai diberikan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri
Dapat digunakan diatas tanah Negara, diatas tanah hak pengelolaan dan
tanah hak milik. Adapun cara terjadi Hak Pakai adalah:
Hak pakai diatas tanah negara terjadinya dengan keputusan
pemberian hak oleh pejabat yang berwenang (PMNA/KBPN No.3
Th 1999 jo PMNA/KBPN No.9 Th 1999)
Hak pakai diatas tanah hak pengelolaan diberikan dengan
keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang
berwenang berdasarkan usulan dari pemegang hak pengelolaan,
yang selanjutnya prosesnya seperti pemberian hak pakai diatas
tanah negara
Hak pakai diatas tanah hak milik terjadi dengan pemberian Hak
Pakai oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh
PPAT.105
Jangka waktu Hak Pakai dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: hak pakai
yang jangka waktunya ditentukan/dibatasi yaitu 25 tahun dapat diperpanjang 20
tahun serta dapat diperbaharui, dan hak pakai yang jangka waktunya tidak
ditentukan yaitu selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.106
Bahwa terdapat pembedaan mengenai jangka waktu hak pakai yaitu yang
ditentukan/dibatasi dan tidak ditentukan sepanjang tanahnya dipergunakan untuk
keperluan itu. Subyek Hak Pakai diatur dalam Pasal 42 UUPA:
105
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.82
106
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.84
72
a. Warga Negara Indonesia;
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Hak Pakai yang dapat dialihkan adalah hak pakai yang jangka waktunya
ditentukan, sedangkan hak pakai atas tanah Negara yang waktunya tidak terbatas
atau tidak ditentukan, yang diberikan kepada departemen, lembaga pemerintah
non departemen dan pemda, perwakilan negara asing dan perwakilan badan
internasional, badan keagamaan dan badan sosial adalah hak pakai yang bersifat
publikrechtelijk, yang tanpa right of disposal (tidak dapat dijual ataupun dijadikan
jaminan hutang).107 Bahwa hanya hak pakai dengan jangka waktu yang ditentukan
sajalah yang dapat dialihkan sedangkan hak pakai yang jangka waktunya tidak
ditentukan tidak dapat dialihkan atau dijual ataupun dijadikan jaminan hutang.
Pasal 54 PP No.40 Th 1996 mengatur mengenai peralihan hak pakai:
1) Hak pakai yang diberikan di atas tanah Negara untuk jangka waktu
tertentu dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat beralih dan
dialihkan pada pihak lain;
2) Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan apabila hak tersebut
dimungkinkan dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik
yang bersangkutan;
3) Peralihan hak pakai dapat terjadi karena: jual beli, tukar menukar,
penyertaan dalam modal, hibah, pewarisan;
4) Peralihan hak pakai harus didaftar di Kantor Pertanahan;
5) Peralihan hak pakai karena jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar
menukar, penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah;
6) Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita
acara lelang;
7) Peralihan hak pakai karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat
wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang
berwenang;
107
Urip Santoso, op.cit. h. 118
73
8) Peralihan hak pakai di atas tanah Negara harus dilakukan dengan izin dari
pejabat yang berwenang;
9) Peralihan hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus dengan persetujuan
tertulis dari pemegang hak pengelolaan;
10) Peralihan hak pakai atas tanah hak milik harus dengan persetujuan tertulis
dari pemegang hak milik yang bersangkutan.
Mengenai hapusnya hak pakai dalam UUPA tidak diatur. Hapusnya hak
pakai ini dapat dilihat dalam Pasal 55 PP No.40 Th 1996, yang menyebutkan
beberapa sebab hapusnya hak pakai, yaitu :
a. Berakhirnya jangka waktu hak pakai sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian
pemberiannya
b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau
pemegang hak milik sebelum jangka waktu berakhir, karena:
a) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak pakai dan atau
dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam hak pakai
b) tidak dipenuhinya syarat-syarat dalam kewajiban-kewajiban yang
tertuang dalam perjanjian pemberian hak pakai antara pemegang hak
pakai dengan pemegang hak milik atau perjanjian penggunaan hak
pengelolaan
c) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
c. Dilepas secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir
d. Dicabut berdasarkan UU No.20 Tahun 1961
e. Ditelantarkan
f. tanahnya musnah
g. pemegang haknya tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak
pakai.
5. Hak Sewa (untuk bangunan)
Hak sewa yang dimaksud dalam Pasal 16 e UUPA adalah hak sewa
untuk bangunan, bukan hak sewa tanah pertanian, sebab hak sewa tanah pertanian
masuk sebagai hak yang bersifat sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 53
UUPA. Hak sewa untuk bangunan ini diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45. Pasal
44 ayat (1) menyatakan “seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa
74
atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk
keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumalah uang
sebagai sewa”.
Hak sewa untuk bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan
hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah milik orang lain
dengan membayar sejumalah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu
yang disepakati oleh pemilik tanah dengen pemegang hak sewa.108
Artinya, hak
sewa bangunan dalam hal ini yaitu hak yang dimiliki untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan diatas tanah milik orang lain dengan menyewa tanah
tersebut dan terdapat jangka waktu yang disepakati bersama. Ciri-ciri hak sewa:
a. sebagaimana dengan hak pakai, maka tujuan penggunaannya sementara,
artinya jangka waktunya terbatas
b. umumnya hak sewa bersifat pribadi dan tidak diperbolehkan untuk
dialihkan kepada pihak lain ataupun untuk menyerahkan tanahnya kepada
pihak ketiga dalam hubungan sewa dengan pihak penyewa tanpa ijin
pemilik tanah
c. sewa menyewa dapat diadakan dengan ketentuan bahwa jika penyewa
meninggal dunia hubungan sewanya putus
d. hubungan sewa tidak terputus dengan dialihkannya hak milik yang
bersangkutan kepada pihak lain
e. hak sewa tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak
tanggungan
f. hak sewa dengan sendirinya dapat dilepas oleh pihak yang menyewa
g. hak sewa tidak termasuk golongan hak yang wajib didaftar menurut PP
No.24 Th 1997.109
Hak sewa ini tidak dapat dilakukan di atas tanah Negara, karena Negara
bukanlah berkedudukan sebagai pemilik tanah.110 Hak sewa hanya dapat di atas
tanah milik orang lain. Jadi obyek hak sewa adalah tanah milik seseorang, yang
108
Urip Santoso, op.cit. h.91
109Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h. 92
110
Urip Santoso, op.cit. h. 126
75
disewakan adalah tanahnya bukan bangunannya.111 Artinya obyek dari pada hak
sewa adalah tanah bangunan yang terdapat diatasnya tidak termasuk obyek hak
sewa.
6. Hak Yang Bersifat Sementara
i. Hak Gadai
Gadai menurut Hukum Adat : adalah hak yang timbul karena adanya
gadai tanah yang dilakukan pemilik tanah dengan pemegang gadai. Jual gadai
adalah penyerahan tanah atau empang oleh pihak kesatu (pemilik tanah) kepada
pihak kedua (yang menerima gadai) atas pembayaran sejumlah uang tunai, dengan
perjanjian pihak yang menyerahkan tanah dapat menerima kembali tanah itu atas
pembayaran kembali sejumlah uang yang sama sehingga merupakan pemindahan
hak untuk sementara waktu.112Artinya, jual gadai adalah penjualan tanah
sementara, yang nantinya tanah tersebut dapat kembali kepada pihak yang
menyerahkan tanah apabila telah dapat membayar kembali sejumlah uang yang
sama. Ciri-ciri dari gadai tanah menurut Hukum Adat adalah:
1. dilakukan secara lisan. Gadai tanah cukup dilakukan secara lisan antara
pemilik tanah dengan penerima gadai;
2. jangka waktu gadai tidak dibatasi. Gadai menurut hukum adat akan
berlangsung terus selama tanah tersebut belum dilakukan penebusan oleh
pemiliknya;
3. Tanah akan dikembalikan kepada pemilik apabila ada penebusan
(pengembalian pinjaman) kepada pemegang gadai;
4. Besarnya uang pengembalian adalah sejumlah uang yang pernah diterima
dengan menghitung memakai harga emas/beras yang berlaku pada waktu
penebusan, berapapun jangka waktu gadai telah berlangsung;
111
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit.h. 93
112
Eddy Ruchiyat, 1983. Pelaksanaan Landreform dan Jual Gadai Tanah,
Berdasarkan Undang-Undang No.56 Prp Th 1990. Armico, Bandung.h.55
76
5. Hak menebus tanah tidak akan lenyap karena waktu. Berapapun waktu
gadai sudah berlangsung, pemilik tanah masih berhak untuk meminta
kembali tanahnya;
6. Pemegang gadai tidak boleh memaksa pemilik tanah untuk segera
menebus tanahnya. Penebusan tanah tergantung pada kemauan dan
kemampuan pemilik tanah.
7. Pemegang gadai dapat mengalihkan gadai (dengan sepengetahuan pemilik
tanah menggadaikan kembali tanah gadai kepada pihak lain) dan
menganakkan gadai (tanpa sepengetahuan gadai menggadaikan kembali
tanah gadai kepada pihak lain).
8. Penebusan tanah gadai dapat beralih kepada ahli waris.113
Gadai menurut UU No.56 Prp Th 1960: dalam Penjelasan Umum angka
9a UU No.56 Prp Tahun 1960 menjelaskan “gadai adalah hubungan antara
seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai utang uang
kepadanya, selama uang tersebut belum dibayar lunas, maka tanah itu tetap berada
dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi (pemegang gadai)”.Ciri-ciri
gadai setelah berlakunya UU No.56 Prp Th 1960 :
1) jangka waktu gadai maksimun 7 tahun;
2) pemegang gadai tidak boleh memaksa pemilik tanah untuk segera
menebus tanahnya;
3) pemegang gadai dapat memindahkan gadai kepada pihak lain, baik dengan
sepengetahuan/seijin dan tanpa sepengetahuan/seijin pemilik tanah;
4) Penebusan gadai dapat diteruskan oleh ahli warisnya;
5) Hak gadai tidak akan berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai.
ii. Hak Usaha Bagi Hasil Tanah Pertanian
Hak usaha bagi hasil adalah hak yang timbul karena adanya perjanjian
bagi hasil dari tanah pertanian yang dilakukan antara pemilik tanah dengan
penggarap. Adapun pengertian dari perjanjian bagi hasil adalah perjanjian antara
seseorang yang berhak atas tanah dengan orang lain yang disebut penggarap,
dimana penggarap diperkenankan untuk mengusahakan/mengerjakan tanah
113
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.97
77
dengan pembagian hasilnya menurut imbangan yang telah disetujui bersama.114
Artinya, perjanjian yang dibuat antara pemilik tanah dengan penggarap yang
isinya penggarap diperbolehkan untuk mengusahakan/mengerjakan tanah tersebut
yang nantinya hasil dari garapannya dibagi menurut kesepakatan yang telah
disetujui bersama.
iii. Hak Sewa Tanah Pertanian
Hak Sewa yang masuk sebagai hak yang bersifat sementara adalah hak
sewa tanah pertanian, bukan hak sewa untuk bangunan yang disebut dalam Pasal
16 e UUPA tidak memberikan pengertian mengenai hak sewa tanah pertanian.
Hak Sewa Tanah Pertanian adalah suatu perbuatan hukum dalam bentuk
penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah kepada pihak lain
dalam jangka waktu tertentu dengan sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan
atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.115 Artinya, perjanjian sewa tanah
pertanian dengan jangka waktu dan uang sewa berdasarkan kesepakatan pemilik
tanah dan pihak lain.
iv. Hak Menumpang
Hak menumpang adalah hak untuk mempunyai bangunan diatas tanah
milik orang lain. Orang yang menumpang tidak dipungut uang sewa atau
pembayaran lainnya, hanya saja menjadi kewajiban bagi pihak yang menumpang
untuk membantu pekerjaan atau kepentingan pemilik tanah, dalam hal demikian
pemilik tanah akan membalas jasa berupa sandang pangan bagi keluarganya atau
114
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.103
115
Urip Santoso, op.cit. h.145
78
dengan perhitungan bagi hasil tetap.116 Bahwa, hak yang diberikan kepada
seseorang untuk dapat menumpang dengan tidak membayar uang sewa tetapi
memiliki kewajiban untuk membantu pekerjaan atau kepentingan pemilik tanah,
dan pemilik tanah akan membalas jasa seseorang tersebut berupa sandang pangan
atau perhitungan bagi hasil.
Hak menumpang sebenarnya adalah salah satu bentuk dari hak pakai,
tetapi sifatnya sangat lemah, karena setiap saat pemilik tanah dapat mengambil
kembali tanahnya jika ia memerlukannya.117
Bahwa hak menumpang tidak
memiliki kekuatan hukum, setiap waktu pemilik tanah dapat menagih tananhnya.
Hak menumpang ini hanya mengenai tanah pekarangan saja dan merupakan hak
atas tanah, karena memberi wewenang untuk menggunakan tanah yang
bersangkutan, dalam arti mendirikan rumah dan mendiaminya.118
Bahwa hak
menumpang hanya terbatas tanah pekarangan, merupakan hak atas tanah karena
seseorang diberi kewenangan untuk menggunakan tanah tersebut.
d. Peralihan Hak Atas Tanah
Peralihan hak atas tanah dapat dikaitkan dengan teori perjanjian dan juga
teori pertanggungjawaban. Dikaitkan dengan teori perjanjian karena suatu
peralihan hak atas tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum berdasarkan
atas kesepakatan kedua belah pihak. Dikaitkan dengan teori pertanggungjawaban
adalah apabila tidak terpenuhinya kesepakatan tersebut, maka akibat dari pada
116
Hilman, 1990.Hukum Perjanjian Adat. Citra Aditya Bakti, Bandung.
h.11
117
Boedi Harsono I. op.cit. h.291
118
Ibid.
79
kegagalan pemenuhannya adalah adanya peralihan hak atas tanah. Peralihan hak
atas tanah, meliputi :
1. Jual Beli
Jual beli dalam kehidupan sehari-hari, dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan hukum dimana seseorang melepaskan uang untuk mendapatkan barang
yang dikehendaki secara sukarela.119
Bahwa, perbuatan hukum yaitu membuat
suatu perjanjian untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki dengan penyerahan
uang secara sukarela.Dalam jual beli ada 2 (dua) pihak, yaitu pihak pertama
sebagai penjual yang mempunyai barang untuk diserahkan dan pihak kedua
sebagai pembeli yang membayar sejumlah uang untuk memperoleh barang dari
penjual.120
Bahwa terdapat dua pihak di dalam jual beli, pihak penjual dan pihak
pembeli.
Pengertian jual beli dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah
persetujuan saling mengikat antara penjual yakni pihak yang menyerahkan barang
dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual.121
Menurut
Pasal 1457 KUHPerdata “Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak
lain membayar harga yang telah dijanjikan”. Selanjutnya dalam pasal 1458
KUHPerdata, disebutkan bahwa “jual beli dianggap telah terjadi antara kedua
belah pihak, seketika setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan
119
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit. h.121
120
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit.
121
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit.
80
tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum disahkan maupun
hargannya belum dibayar”.
Jual beli dalam Hukum Perdata bersifat obligator artinya perjanjian jual
beli baru meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak
(penjual-pembeli) yaitu meletakkan pada penjual kewajiban untuk menyerahkan
hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk
menuntut pembayaran harga yang telah disetujui dan di lain pihak meletakkan
kewajiban kepada pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan
haknya, untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya.122
Bahwa, perjanjian jual beli adalah perjanjian timbal balik yang akibatnya terdapat
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi kedua belah pihak.
Menurut Soedharyo Soimin, jual beli adalah suatu persetujuan kehendak,
antara penjual/pembeli mengenai suatu barang dan harga. Karena tanpa barang
yang akan dijual dan tanpa harga yang dapat disetujui antara dua belah pihak,
tidak mungkin ada jual beli, atau jual beli tidak pernah ada”.123
Jadi yang
dimaksud jual beli menurut hukum perdata adalah “suatu perjanjian, dimana satu
pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tanah dan pihak lainnya
membayar harga yang telah ditentukan.124
Bahwa, jual beli adalah suatu perjanjian
yang mengikat para pihak terdapat ketentuan harga yang telah disepakati. Pada
saat kedua pihak telah mencapai kata sepakat, maka jual beli telah terjadi
meskipun tanah belum diserahkan atau harganya belum dibayar, meskipun jual
122
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit.
123
Soedharyo Soimin, 2004. Status Hak Dan Pembebasan Tanah. Sinar
Grafika, Jakarta. 87
124
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, 2013, op.cit. h.122
81
beli telah terjadi akan tetapi hak atas tanahnya belum beralih kepada pembeli.125
Bahwa terjadinya jual beli tersebut apabila kedua belah pihak telah terjadi kata
sepakat, walaupun tanah belum diserahkan dan harga belum dibayar tetapi hak
atas tanah tersebut belum beralih ke pembeli.
Pemindahan haknya masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain yang
berupa penyerahan (levering) yang harus dibuatkan akta oleh pejabat yang
berwenang, jadi sebelum dilakukan “balik nama” hak atas tanah tersebut belum
beralih/pindah kepada pembeli.126
Artinya, peralihan hak ke pembeli harus
dilakukannya “balik nama” dengan dibuatkan akta oleh pejabat yang berwenang,
sebelum dilakukan hal tersebut hak atas tanah belum beralih.
Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat:
Menurut Hukum Adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan
hakatas tanah yang bersifat terang dan tunai.127
Terang berarti perbuatan
pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan
sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan
hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum.128
Tunai
maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya
dilakukan secara serentak.129
Bahwa terang berarti perbuatan yang akan dilakukan
harus bersifat publik yaitu dilakukan di hadapan kepala adat, sedangkan tunai
berarti pembayaran dilakukan bersamaan dengan peralihan haknya.
125
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit.
126
Wntijk Saleh, 1977. Hak Anda Atas Tanah. Ghalia Indah, Jakarta. h.31
127
Adrian Sutedi, 2010. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya.
Sinar Grafika, Jakarta. (selanjutnya disingkat Adrian Sutedi II), h.72
128
Ibid.
129
Ibid.
82
Maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru
dibayar sebagian (tunai dianggap tunai), dalam hal pembeli tidak membayar
sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah,
akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.130
Bahwa apabila pembayaran
dilakukan sebagian dan pada akhirnya pembeli tidak dapat membayar sisanya,
maka penjual tidak dapat menuntut kembali tanahnya, melainkan dapat menuntut
secara utang piutang.
Ciri-ciri yang menandai dari jual beli tersebut antara lain, jual beli tersebut
serentak selesai dengan tercapainya persetujuan atau persesuaian kehendak
(consensus) yang diikuti dengan ikrar/pembuatan kontrak jual beli di hadapan
Kepala Persekutuan hukum yang berwenang, dibuktikan dengan pembayaran
harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk
memindahkan hak miliknya kepada pembeli, dengan terjadinya jual beli tersebut,
hak milik atas tanah telah berpindah, meskipun formalitas balik nama belum
terselesaikan.131
Kemudian ciri yang kedua adalah sifatnya yang terang, berarti
tidak gelap, sifat ini ditandai dengan peranan dari Kepala Persekutuan yaitu
menanggung bahwa perbuatan itu sudah cukup tertib dan cukup sah menurut
hukumnya.132
Bahwa ciri yang tercermin dalam jual beli adalah tunai yang
dilakukan secara bersamaan dengan dibuatnya kontrak jual beli dan terang yang
melibatkan Kepala Persekutuan yang ikut menilai bahwa perbuatan tersebut telah
mematuhi aturan.
130
Soerjono Soekanto, 1983. Hukum Adat Indonesia. Rajawali,
Jakarta.(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), h.211
131
Adrian Sutedi II, op.cit. h.72
132 Adrian Sutedi II, op.cit. h.73
83
Adapun prosedur jual beli tanah diawali dengan kata sepakat antara calon
penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik
yang akan dijual dan harganya.133
Bahwa, jual beli diawali dengan adanya
kesepakatan. Setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai
tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer yang fungsinya adalah hanya sebagai
tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli.134
Bahwa apabila kesepakatan telah
terjadi biasanya diberikan tanda jadi berupa panjer.
Apabila telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar, bila yang ingkar si
pemberi panjer, panjer menjadi milik si penerima panjer, begitu pula sebaliknya.
Jika para pihak tidak menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan
pelaksanaan jual beli tanahnya, dengan calon penjual dan calon pembeli
menghadap Kepala Desa (Adat) untuk menyatakan maksud mereka itu. Kemudian
oleh penjual dibuat suatu akta bermeterai yang menyatakan bahwa benar ia telah
menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa
benar ia telah menerima harga secara penuh, kemudian akta tersebut turut
ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa (Adat).135
Bentuk-bentuk pemindahan hak milik menurut sistem Hukum Adat
sebagai berikut:136
1) Yang mengakibatkan pemindahan hak milik untuk selama-lamanya;
2) Yang mengakibatkan pemindahan hak milik yang bersifat sementara:
133
Adrian Sutedi II, loc.cit.
134
Adrian Sutedi II, loc.cit.
135
Adrian Sutedi II, loc.cit 136
Adrian Sutedi II, op.cit. h.74
84
a. Jual Gadai
b. Jual Tahunan
Selain dari 3 (tiga) bentuk jual tanah diatas, Soerjono Soekanto menambahkan
bentuk jual gangsur. Menurutnya, walaupun telah terjadi pemindahan hak atas
tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah masih tetap berada di tangan penjual,
artinya bekas penjual masih tetap mempunyai hak pakai, yang bersumber pada
ketentuan yang disepakati oleh penjual dan pembeli.137
Jual Beli Tanah Menurut UUPA:
Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang
menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Apa yang dimaksud jual beli itu sendiri
oleh UUPA tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengingat dalam Pasal 5
UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat,
berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum, dan sistem Hukum
Adat.
Sejak berlakunya PP No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual
beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya.
Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan
perbuatan hukum yang gelap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).138
Akta
jual beli ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi perpindahan hak
dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah
memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan
hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan.
137
Adrian Sutedi II, loc.cit
138
Adrian Sutedi II, op.cit. h.77
85
Terdapat 2 (dua) syarat jual beli tanah, yaitu syarat materiil dan syarat
formil:139
a. Syarat materiil
Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut,
antara lain sebagai berikut:
i. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya
adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk
memiliki tanah yang akan dibelinya. Menurut UUPA, yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia
tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah
(Pasal 21 UUPA).
ii. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan. Yang berhak
menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari
hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik
sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual
sendiri tanah itu. Akan tetapi, apabila pemilik tanah adalah dua
orang maka yang berhak menjual tanah itu adalah kedua orang itu
bersama-sama, tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai
penjual.140
iii. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak
dalam sengketa. Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh
diperjualbelikan telah ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik
(Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal
35), hak pakai (Pasal 41).
Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, maka jual beli
tanah tersebut adalah tidak sah.Jual beli tanah yang dilakukan oleh
yang tidak berhak adalah batal demi hukum, artinya sejak semula
hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.141
b. Syarat Formal
Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT akan membuat
akta jual beli. Akta jual beli menurut Pasal 37 PP 24/1997 harus dibuat
oleh PPAT.Jual beli yang dilakukan tanpa di hadapan PPAT tetap sah
karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat (Pasal 5 UUPA),
sedangkan hukum adat sistem yang dipakai adalah sistem yang
kongkrit/kontan/nyata/riil. Kendatipun demikian, untuk mewujudkan
adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan ha katas tanah, PP
No.24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah
menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak
atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan
139
Adrian Sutedi II, loc.cit.
140
Effendi Perangin, 1994.Praktik Jual Beli Tanah. Raja Grafindo Persada,
Jakarta. (selanjutnya disingkat Effendi Perangin II), h.2
141
Ibid.
86
diahadapan PPAT.142 Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka
disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang
diperlukan kepada PPAT, yaitu:
a) Jika tanahnya sudah bersertifikat: sertifikat tanahnya yang asli dan
tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya.
b) Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah
tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang
mememerlukan penguatan oleh Kepala Desa dan Camat,
dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual
dan pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya
setelah selesai dilakukan jual beli.
Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak akta
tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada kantor
pendaftaran tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya (Pasal 40 PP No.24
Tahun 1997).
2. Pewarisan
Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena pewarisan atau sering
disingkat dengan waris, yaitu dengan meninggalnya pemegang hak atas tanah,
maka hak atas tanah tersebut dengan sendirinya (karena hukum) akan beralih
kepada ahli warisnya.143
Bahwa apabila pemegang hak atas tanah meninggal maka
karena hukum hak atas tanah tersebut beralih kepada ahli warisnya.
Peralihan hak tersebut kepada ahli waris, serta berapa bagian masing-
masing dan bagaimana cara pembagiannya diatur oleh Hukum Waris Almarhum
pemegang hak yang bersangkutan, bukan diatur oleh hukum tanah (hukum
agraria). Hukum Agraria memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang
berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti
142
Bachtiar Effendi, 1993. Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah.
Alummi, Bandung. h.23
143Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.119
87
pemilikannya oleh para warisnya.144
Karena peralihan haknya dengan sendirinya
karena hukum, maka pewarisan tanpa wasiat peralihan haknya tidak perlu
dibuatkan akta dari PPAT.Hanya saja peralihan hak atas tanah karena warisan ini
harus didaftarkan di Kantor Pertanahan.
3. Hibah
Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan
tidak ada penggantian apapun dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada
kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan
pada saat si pemberi masih hidup, hal inilah yang berbeda dengan wasiat yang
mana wasiat diberikan sesudah si pewasiat meninggal dunia.145
Bahwa hibah
dapat juga disebut sebagai hadiah yang diberikan secara cuma-cuma dengan tidak
terdapat imbalan dikemudian hari yang diberikan pada saat pemberi masih hidup.
Dalam Pasal 1666 KUHPerdata menyatakan :
Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu
hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu. Undang-Undang tidak mengakui lain-lain hibah
selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup.
Dalam hibah ada dua point yang hendak dicapai, yaitu :pertama, dengan
memberikan harta pada orang lain akan menimbulkan suasana keakraban dan
saling menyayangi antara sesama manusia; kedua, yang ingin dicapai dalam hibah
adalah terbentuknya suatu kerja sama dalam berbuat baik.146
Bahwa dalam hal
pemberian hibah diharapkan menimbulkan suasana keakraban dan saling
144
Boedi Harsono I,op.cit. h.329
145
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, 1996.Hukum Perjanjian
Dalam Islam. Sinar Grafika, Jakarta. h. 113
146
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.142
88
menyayangi serta menimbulkan kerjasama dalam berbuat baik.Akta hibah
berdasarkan Pasal 1682 KUHPerdata harus dibuat dimuka Notaris.
4. Tukar Menukar
Menurut Pasal 1541 KUHPerdata menyatakan tukar menukar ialah “suatu
persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling
memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain”.
Definisi lain dari perjanjian tukar menukar adalah suatu perjanjian yang dibuat
antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, dalam perjanjian itu pihak yang satu
berkewajiban menyerahkan barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak
menerima barang yang ditukar.147
Bahwa perjanjian ini dilakukan untuk adanya
kesepakatan tukar menukar barang yang telah ditentukan.Unsur-unsur yang
tercantum dalam kedua definisi diatas adalah:148
a) Subjek hukum;
b) Adanya kesepakatan subjek hukum;
c) Adanya objek, yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak; dan
d) Masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukar-
menukar.
Dalam tukar menukar ini ada hak dan kewajiban yang timbul, yaitu hak
untuk menerima barang dari pihak lain dan kewajiban untuk menyerahkan barang
kepada pihak lain. Tukar menukar hak atas tanah dalam Hukum Agraria Nasional
berbeda dengan tukar menukar dalam Hukum Perdata. Tukar menukar hak atas
tanah dalam Hukum Agraria Nasional termasuk peralihan hak yang bersifat tunai,
terang dan riil, seperti halnya jual beli.149
Tukar menukar dalam hukum agraria
147
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit. h.143
148Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit.
149
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit, h.144
89
merupakan perbuatan hukum yang tunai, tidak perlu ada perbuatan hukum khusus
mengenai penyerahan hak miliknya atau lavering.Tukar menukar hak atas tanah
harus dibuat dengan akta tukar menukar oleh PPAT. Akta tukar menukar yang
dibuat PPAT inilah yang dipakai dasar untuk melakukan pendaftaran hak atas
tanah yang terjadi karena menukar tersebut di Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota.150
Bahwa akta tukar menukar inilah yang dipakai dasar
pendaftaran hak atas tanah.
2.2 Teori dan Konsep Tentang Hak Tanggungan
a. Pengertian Hak Tanggungan
Hak tanggungan dapat dikaitkan dengan teori validitas dan efektifitas
hukum.Pengaturan hak tanggungan terdapat pada UU No. 4 Tahun 1996, aturan
ini dapat menjadi valid apabila dalam penerapannya dapat diterima secara meluas
oleh masyarakat. Jadi apabila aturan hak tanggungan ini penerapannya dapat
diterima oleh masyarakat maka aturan hak tanggungan akan menjadi valid dan
dapat dikatakan efektif, sebaliknya apabila aturan hak tanggungan ini
penerapannya tidak dapat diterima oleh masyarakat maka aturan hak tanggungan
akan kehilangan unsur validitasnya.
Istilah Hak Tanggungan diambil dari istilah lembaga jaminan di dalam
hukum adat. Di dalam hukum adat istilah Hak Tanggungan dikenal di daerah
Jawa Barat, juga beberapa daerah di Jawa Tengah atau Jawa Timur dan dikenal
150
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit.
90
dengan istilah jonggolan atau istilah ajeran merupakan lembaga jaminan dalam
hukum adat yang objeknya biasanya tanah atau rumah.151
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan tanggungan sebagai barang
yang dijadikan jaminan dan jaminan itu diartikan sebagai tanggungan atau
pinjaman yang diterima.152
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
memberikan definisi atau pengertian Hak Tanggungan (Pasal 1 ayat (1) UU Hak
Tanggungan) sebagai berikut :
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur
tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan adanya unsur-unsur pokok Hak
Tanggungan, yaitu :
1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang;
2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA, objek Hak
Tanggungan terdiri dari hak-hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut
sifatnya dapat dipindahtangankan dan Hak Pakai atas Hak Milik dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang dapat disimpulkan dalam
Pasal 4 ayat (4) UU Hak Tanggungan bahwa Hak Tanggungan dapat juga
151
Djuhaendah Hasan, 1997. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah
Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas
Pemisahan Horizontal (Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga
Hak Tanggungan). Citra Aditya Bakti, Bandung. h.353 152
Ibid.
91
dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya
yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan. Pasal 4 ayat (5) UUHak Tanggungan
menentukan bahwa benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu tidak
terbatas hanya pada bendabenda yang dimiliki oleh pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan saja melainkan dapat juga meliputi benda-benda
yang dimiliki oleh pihak lain. Namun pembebanannya hanya dapat
dilakukan dengan penandatanganan serta oleh pemiliknya atau yang diberi
kuasa oleh pemilik pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan.
3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja,
tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHak
Tanggungan, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas
tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan tetapi juga berikut bangunan,
tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut (benda-benda yang berkaitan dengan tanah) baik merupakan milik
pemegang hak atas tanah tetapi juga yang bukan dimiliki oleh pemegang
hak atas tanah tersebut (Pasal 4 ayat (5) UUHak Tanggungan). Hak
Tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Pasal 4 ayat (4)
92
UUHak Tanggungan memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan
pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun
benda-benda tersebut belum ada tetapi baru ada di kemudian hari.
Pengertian “yang baru akan ada” adalah benda-benda yang pada
dibebankan belum ada sebagai bagian dari hak atas tanah;
4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu;
Menurut Pasal 3 ayat (1) UUHak Tanggungan, Hak Tanggungan dapat
dijadikan jaminan untuk :
a) Utang yang telah ada
b) Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya
dengan jumlah tertentu.
c) Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya
dengan jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan
diajukan ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau
perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang
bersangkutan.
Pasal ini sangat berarti bagi dunia perbankan dimana “utang, yang baru
akan ada” sering terjadi dalam perjalanan pemberian suatu kredit kepada
debitur.Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Menurut
Pasal 3 ayat (2) UUHak Tanggungan bahwa “Hak Tanggungan dapat
diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau
untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan
hukum.” Jadi undang-undang memungkinkan pemberian Hak
93
Tanggungan untuk beberapa kreditur yang memberikan utang kepada
satu debitur berdasarkan satu perjanjian utang piutang atau beberapa
kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan
beberapa perjanjian utang piutang bilateral antara masing-masing
kreditur dengan debitur yang bersangkutan.
5. Hak tanggungan memberikan hak preferent atau hak diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur lain.
b. Objek dan Subjek Hukum dalam Hak Tanggungan
Objek dan Subjek hukum dalam hak tanggungan dapat dikaitkan dengan
teori perjanjian. Dalam suatu perjanjian terdapat para pihak yang bersepakat untuk
melakukan suatu perbuatan hukum sehingga menimbulkan hak dan kewajiban
yang mengikat para pihak tersebut. Dalam hal pinjam-meminjam pada konteks
hak tanggungan para pihak dapat disebut sebagai pihak kreditur dan debitur:
Objek Hak Tanggungan:
Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang,
tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat:
1. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;
2. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi
asas publisitas;
3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera
janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum; dan
4. Memerlukan penunjukan dengan Undang-Undang.153
153
Salim HS, 2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada. h. 104
94
Dalam UU Hak Tanggungan pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 7, telah
ditunjuk secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang. Ada 5
jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan hak tanggungan, yaitu :
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha (HGU);
3. Hak Guna Bangunan (HGB)
4. Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas tanah negara;
5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada
atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan
merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya
dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang
bersangkutan.
Subjek Gak Tanggungan:
Subjek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 UU
Hak Tanggungan.
Pemberi Hak Tanggungan:
Dalam Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pemberi hak tanggungan
adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang
bersangkutan.” Pemberi hak tanggungan dapat perorangan atau badan hukum,
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek
hak tanggungan.
Biasanya dalam praktik pemberi hak tanggungan disebut dengan debitur,
yaitu orang yang meminjam uang di lembaga perbankan,kewajiban pemberi hak
tanggungan adalah sebagai berikut :
a. Utangnya wajib dibayar;
b. Sebagai jaminan pembayaran, debitur menyerahkan benda tertentu untuk
dibebani dengan hak tanggungan yang jika pemberi hak tanggungan ingkar
janji benda itu dapat dijual sebagai pelunasan piutangnya;
95
c. Benda yang diperuntukkan sebagai hak tanggungan sudah ada, pada saat
pendaftaran.154
Pemegang Hak Tanggungan:
Dalam Pasal 9 menyebutkan bahwa Pemegang hak tanggungan adalah
orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berpiutang. Pemegang hak tanggungan terdiri dari perorangan atau badan hukum,
yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Penerima hak tanggungan
disebut dengan istilah kreditur, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan
sebagai pihak yang berpiutang.
c. Asas-Asas Hak Tanggungan
Di dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dikenal
beberapa asas hak tanggungan. Asas-asas tersebut disajikan sebagai berikut :
1) Hak tanggungan memberikan hak preferent (droit de preference) atau
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-
kreditur lain (Pasal 1 ayat (1);
2) Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2);
3) Hak Tanggungan mempunyai sifat Droit de Suite (Pasal 7);
4) Hak Tanggungan mempunyai sifat accesoir;
5) Hak tanggungan untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada;
6) Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu hutang;
7) Hak Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah saja;
8) Hak Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah berikut benda
diatasnya dan dibawah tanah;
9) Hak Tanggungan berisi hak untuk melunasi utang dari hasil penjualan
benda jaminan dan tidak memberikan hak bagi kreditur untuk memiliki
benda jaminan;
10) Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial;
11) Hak Tanggungan mempunyai sifat spesialitas dan publisitas.155
154
Mariam Darus Badrulzaman, 2009. Serial Hukum Perdata Buku
Kedua; Kompilasi Hukum Jaminan. Mandar Maju, Bandung. (selanjutnya
disingkat Mariam Darus Badrulzaman III), h.51
155
H. Salim, HS.,2004. op.cit. h.102
96
Menurut pandangan sarjana H. Salim H.S penjelasan asas-asas dari pada
hak tanggungan tersebut adalah hak preferent yang artinya bila debitur cidera janji
atau lalai membayar hutangnya maka seorang kreditur pemegang hak tanggungan
mempunyai hak untuk menjual jaminan dan kreditur pemegang jaminan
diutamakan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil penjualan jaminan
tersebut. Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan
setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian dari utang yang dijamin tidak
berarti terbebasnya sebagian objek hak tanggungan dari beban hak tanggungan,
melainkan hak tanggungan itu tetap membebani seluruh objek hak tanggungan
untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Kemudian Sifat droit de suite disebut juga zaaksgelovg artinya pemegang
hak tanggungan mempunyai hak mengikuti objek hak tanggungan meskipun objek
hak tanggungan telah berpindah dan menjadi milik pihak lain. Contoh objek hak
tanggungan (tanah dan bangunan) telah dijual dan menjadi milik pihak lain, maka
kreditur sebagai pemegang jaminan tetap mempunyai hak untuk melakukan
eksekusi atas jaminan tersebut jika debitur cidera janji meskipun tanah dan
bangunan telah beralih dari milik debitur menjadi milik pihak lain. Sifat droit de
suite berasal dari perwujudan Pasal 7 yang menegaskan Hak Tanggungan tetap
mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada.Artinya benda-
benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu tetap terbeban Hak Tanggungan
walau di tangan siapapun benda itu berada.156
156
Boedi Harsono, 1997. Hukum Agraria Indonesia Sejarah
Pembentukkan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Cet.
Ketujuh, Djambatan, Jakarta. (selanjutnya disingkat Boedi Harsono II), h.15
97
Seperti perjanjian jaminan lainnya, hak tanggungan bersifat accesoir
artinya hak tanggungan bukanlah hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya,
keberadaannya, atau eksistensinya atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya
yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang lainnya. Dengan kata lain kelahiran
dan adanya hak tanggungan ditentukan oleh piutang yang dijamin pelunasannya.
Demikian juga hak tanggungan menjadi hapus otomatis kalau perjanjian
pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian lain yang menimbulkan utang
piutang hapus yang disebabkan karena lunasnya kredit atau lunasnya utang atau
sebab lain. Sifat ikutan (accesoir) hak tanggungan ini memberikan konsekuensi
dalam hal piutang beralih kepada kreditur lain maka hak tanggungan yang
menjaminnya demi hukum ikut beralih kepada kreditur baru tersebut. Pencatatan
peralihan hak tanggungan tidak memerlukan akta PPAT tetapi cukup didasarkan
pada akta beralihnya piutang yang dijamin. Pencatatan peralihan itu dilakukan
pada buku tanah dan sertifikat hak tanggungan yang bersangkutan serta pada buku
tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan.
Selanjutnya Fungsi hak tanggungan adalah untuk menjamin utang yang
besarnya diperjanjikan dalam perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang
dijamin hak tanggungan harus memenuhi syarat Pasal 3 ayat (1) UUHT yaitu :
a) Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang telah ditentukan dalam
perjanjian kredit. Besarnya utang yang ada dalam perjanjian kredit
biasanya merupakan jumlah maksimum atau plafond.
b) Utang yang akan ada telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu. Utang ini
merupakan utang yang akan ada karena terjadinya dimasa akan datang
tetapi jumlahnya sudah bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk
membayar Bank Garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajiban kepada
penerima Bank Garansi.
98
c) Utang yang akan ada tetapi jumlahnya pada saat permohonan eksekusi hak
tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian kredit atau
perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang.
Pasal 3 ayat (2) UUHT menegaskan bahwa hak tanggungan dapat
diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk
satu atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum. Dengan pasal ini
maka pemberian hak tanggungan dapat diberikan untuk :
a. Satu atau lebih kreditur yang memberikan kredit kepada satu debitur
berdasarkan perjanjian masing-masing secara bilateral antara kreditur-
kreditur dengan debitur.
b. Beberapa kreditur secara bersama-sama memberikan kredit kepada satu
debitur berdasarkan satu perjanjian.
Kemudian hak tanggungan memiliki asas sebagai perwujudan dari sistem
hukum tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat yang menggunakan asas
pemisahan horisontal. Dengan asas pemisahan horisontal ini maka dalam kaitan
dengan bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah dianggap bukan merupakan bagian dari tanah bersangkutan.Dengan
demikian setiap perbuatan hukum mengenai hak atas tanah tidak dengan
sendirinya meliputi benda-benda yang ada di atas tanah tersebut.Meskipun hukum
tanah nasional menganut asas pemisahan horisontal namun tidak berlaku mutlak.
Untuk memenuhi perkembangan dan kebutuhan masyarakat pembebanan hak
tanggungan dimungkinkan meliputi benda yang ada di atas tanah dan merupakan
satu kesatuan dengan tanah tersebut dan bangunan di bawah permukaan tanah.
99
Bangunan atau tanaman tersebut boleh ada pada saat pembebanan hak tanggungan
atau yang akan ada dikemudian hari.
Asas ini selanjutnya menurut pandangan sarjana tersebut diatas yaitu
sesuai tujuan hak tanggungan yaitu untuk menjamin pelunasan utang apabila si
berutang atau debitur cidera janji dengan mengambil dari hasil penjualan benda
jaminan itu, bukan untuk dimiliki kreditur sebagai pemegang hak tanggungan.
Ketentuan ini juga untuk melindungi kepentingan debitur dari tindakan sewenang-
wenang kreditur sebagai pemegang hak tanggungan.
Kemudian kreditur sebagai pemegang hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk mengeksekusi benda jaminan jika debitur cidera janji.
Dasar hukum untuk mengajukan eksekusi adalah Pasal 6 UUHT dan penjelasan
yang menegaskan “Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan tersebut.” Dengan sifat ini, jika debitur cidera janji maka kreditur
sebagai pemegang hak tanggungan dapat melakukan penjualan benda jaminan
secara langsung dengan bantuan kantor lelang negara tanpa perlu persetujuan
pemilik benda jaminan dan tidak perlu meminta fiat eksekusi dari pengadilan.
Hanya pemegang hak tanggungan pertama yang mempunyai hak Parate Eksekusi
bila terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan. Penjualan benda jaminan
yang dilakukan langsung oleh kreditur dengan bantuan Kantor Lelang Negara
tanpa persetujuan pemilik benda jaminan dan tidak perlu meminta fiat pengadilan
disebut Parate Eksekusi. Sifat hak tanggungan yang memberikan hak preferent
100
dan memberikan kemudahan dan pasti dalam pelaksanaan eksekusi adalah sifat-
sifat yang kuat dari hak tanggungan sebagai lembaga jaminan yang disukai di
lingkungan perbankan/kreditur.
Selanjutnya disebutkan Asas spesialitas atau disebut juga pertelaan adalah
uraian yang jelas dan terinci mengenai obyek hak tanggungan yang meliputi
rincian mengenai sertifikat hak atas tanah misalnya hak atas tanah Hak Milik atau
Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha, tanggal penerbitannya, tentang
luasnya, letaknya, batas-batasnya dan lain sebagainya. Jadi dalam akta Hak
Tanggungan harus diuraikan secara spesifik mengenai hak atas tanah yang
dibebani hak tanggungan. Hak Tanggungan mengadopsi sifat specialiteit yang
tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHak Tanggungan yang menentukan
“Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian yang jelas
mengenai obyek Hak Tanggungan. Uraian yang jelas mengenai obyek hak
tanggungan adalah uraian mengenai sertifikat hak atas tanah seperti disebutkan
diatas.” Sifat publisitas adalah Akta Hak Tanggungan harus didaftarkan di Kantor
Pertanahan dimana tanah yang dibebani hak tanggungan berada.
d. Pembebanan Hak Tanggungan
Pembebanan hak tanggungan dapat dikaitkan dengan teori kepastian
hukum. Dalam proses pemberian kredit dengan jaminan hak atas tanah,
diwajibkan untuk melakukan pembebanan hak tanggungan, hal ini disebabkan
agar para pihak mendapatkan kepastian akan kedudukannya dalam hukum
101
mengenai hak dan kewajiban yang diperoleh dan apabila nantinya terjadi suatu
sengketa.
Dalam kaitannya dengan tanah sebagai barang jaminan dalam pemberian
kredit, Bank Pemerintah telah meletakkan persyaratan pembebanan hak
tanggungan yang memberikan hak istimewa bagi pihak bank (kreditor) dalam
perjanjian kredit dengan debitur. Proses yang dijalani dalam pembebanan hak
tanggungan antara lain157
:
1. Perjanjian Kredit
Dalam hal ini para pihak, yaitu kreditur (bank) dan debitur membuat
perjanjian kredit. Perjanjian kredit ini dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu :
a) Perjanjian kredit di bawah tangan, yaitu perjanjian kredit yang
dibuat antara debitur sebagai peminjam dengan kreditur sebagai
pemberi pinjaman atau kredit.
b) Perjanjian kredit notariil, yaitu perjanjian kredit yang dibuat
dihadapan Notaris. Hal ini perlu dilakukan apabila jumlah
pinjaman yang diberikan sangat besar.
2. Pembebanan Hak Tanggungan
Keberadaan Hak Tanggungan tersebut ditentukan melalui pemenuhan tata
cara pembebanannya yang meliputi dua tahap kegiatan, yaitu :
1) Tahap Pemberian Hak Tanggungan:
157
Adrian Sutedi I. op.cit. h.91-93
102
a. Untuk keperluan pembebanan hak tanggungan, pertama debitur
harus menyerahkan kepada bank sertifikat hak atas tanah (Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas
Tanah Negara) yang akan dibebani hak tanggungan. Sertifikat
hak atas tanah tersebut dapat atas nama debitur sendiri atau atas
nama pihak ketiga.
b. Di samping harus menyerahkan sertifikat hak atas tanah debitur
atau pemilik tanah juga harus mengusahakan atau menyerahkan
kepada bank, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari
Kantor Pertanahan setempat, dapat pula langsung dimintakan
oleh bank kepada Kantor Pertanahan. Adapun yang dimaksud
dengan SKPT adalah Surat Keterangan yang memuat
keterangan mengenai :
i. Keabsahan dari sertifikat hak atas tanah;
ii. Status tanah tersebut dalam sengketa atau diletakkan
sita oleh pengadilan atau tidak;
iii. Tanah sudah atau belum dibebani hak tanggungan, dan
lain-lain yang berkaitan dengan pendaftaran tanah.
c. Demi menjamin keamanan, selain informasi yang diperoleh
dari SKPT, kreditur (bank) seharusnya mencari informasi
lainnya, antara lain dengan cara :
Melihat rencana tanah kota, untuk melihat peruntukkan
tanah tersebut di masa yang akan datang.
103
Memeriksa lokasi tanah.
d. Setelah penelitian kreditur (bank) dianggap cukup, kemudian
pihak bank dan pemilik tanah datang ke PPAT yang
wewenangnya meliputi daerah dimana tanah tersebut terletak,
untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
Pemberian hak tanggungan itu dilakukan dengan pembuatan
Aka Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah itu Akta
Pemeberian Hak Tanggungan itu ditandatangani oleh pemilik
tanah selaku pemberi hak tanggungan, pemegang hak
tanggungan, yaitu pihak bank, dua orang saksi, dan PPAT
sendiri.
2) Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan:
a) Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut selanjutnya
didaftarkan pada Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi
daerah tempat dimana tanah yang dibebani hak tanggungan itu
terletak. Disamping Akta Pemberian Hak Tanggungan itu,
untuk keperluan pendaftaran harus pula disertakan sertifikat
hak atas tanah yang bersangkutan. Pasal 13 ayat (2) UU No. 4
Tahun 1996 telah memberikan ketentuan bahwa PPAT wajib
mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor
104
Pertanahan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah
penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan.
b) Kantor pertanahan tersebut kemudian akan melakukan hal-hal
sebagai berikut :
Membuat buku tanah hak tanggungan
Mencatat di buku tanah hak atas tanah yang menjadi
objek hak tanggungan
Mencatat pembebanan hak tanggungan tersebut dalam
sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan
Mendaftar dalam daftar buku tanah hak tanggungan
Menurut Pasal 13 ayat (4) UU No. 4 Tahun 1996,
tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari
ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat
yang diperlukan bagi pendaftarannya, yang merupakan
saat lahirnya sertifikat hak tanggungan.
c) Sertifikat hak tanggungan dan sertifikat hak atas tanah
kemudian diserahkan kepada kreditur selaku pemegang hak
tanggungan untuk disimpan.
e. Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan
Lahir dan berakhirnya hak tanggungan dapat dikaitkan dengan teori
kepastian hukum. Lahirnya hak tanggungan memberikan kepastian akan
kedudukan para pihak dalam perjanjian yaitu kreditur memiliki hak untuk
105
memperoleh pelunasan hutang serta kedudukannya diutamakan dengan kreditur
yang lain, dan debitur mendapatkan kewajiban untuk memenuhi pembayaran
hutang tersebut. Berakhirnya hak tanggungan dengan adanya pencoretan (roya)
memberikan kepastian bahwa tidak ada lagi hal yang mengikat para pihak.
Lahirnya Hak Tanggungan:
Hak Tanggungan dinyatakan lahir pada tanggal buku tanah hak
tanggungan yaitu pada hari ketujuh setelah Kantor Pertanahan menerima secara
lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran dan jika hari ketujuh jatuh
pada hari libur buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya.
Hari dan tanggal lahirnya hak tanggungan menandai atau membuktikan lahirnya
hak preferent atau hak diutamakan bagi kreditur sebagai pemegang hak
tanggungan sehingga kreditur yang memegang hak tanggungan memiliki
kedudukan yang diutamakan atas jaminan yang dipegangnya.
Kreditur sebagai pemegang hak tanggungan yang telah memiliki hak
preferent tidak perlu khawatir pemilik jaminan akan mengalihkannya seperti
menjual, menyewakan, menjaminkan kembali atau disita pihak lain atas jaminan
tersebut karena undang-undang memberikan perlindungan dan kekuatan hukum
bagi pemegang hak tanggungan yang memberikan hak preferent.Pada saat
kreditur membebankan hak tanggungan, kreditur harus mengemukakan kepada
PPAT yang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan agar nilai hak
tanggungan yang ditetapkan kreditur dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan. Penetapan besarnya nilai hak tanggungan pada umumnya lebih
tinggi dari jumlah hutang pokok yang tercantum dalam perjanjian kredit.
106
Pencantuman nilai hak tanggungan yang lebih tinggi dari jumlah hutang pokok
karena dalam menentukan nilai hak tanggungan kreditur memperhitungkan
jumlah hutang pokok, ditambah besarnya bunga selama jangka waktu kredit dan
biaya lain yang dikeluarkan kreditur.
Sebagai tanda bukti ada atau lahirnya hak tanggungan, Kantor
Pertanahan setempat menerbitkan sertifikat hak tanggungan sebagaimana
ditegaskan dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUHak Tanggungan. Dengan kata
lain, sertifikat hak tanggungan merupakan bukti ada tau lahirnya hak tanggungan,
yang kelahirannya ditentukan pada saat pendaftaran benda yang menjadi objek
hak tanggungan tersebut dalam buku tanah hak tanggungan. Menurut ketentuan
dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUHak Tanggungan, bahwa Sertifikat Hak
Tanggungan dimaksud memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek
sepanjang mengenai hak atas tanah.
Berakhirnya Hak Tanggungan:
Hapusnya hak tanggungan diatur Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 UU
Hak Tanggungan. Yang dimaksud dengan hapusnya hak tanggungan adalah tidak
berlakunya lagi hak tanggungan. Ada empat sebab hapusnya hak tanggungan:
1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan;
2. Dilepaskan hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan;
3. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri;
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.
107
Terdapat enam cara berakhirnya atau hapusnya hak tanggungan, yaitu :
1. Dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara sukarela oleh
debitur.
Disini tidak terjadi cidera janji atau sengketa.
2. Debitur tidak memenuhi tepat pada waktunya, yang berakibat debitur
akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya. Teguran ini tidak
jarang disambut dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur dengan
sukarela, sehingga dengan demikian utang debitur lunas dan perjanjian
utang piutang berakhir.
3. Debitur cidera janji. Dengan adanya cidera janji tersebut, maka debitur
dapat melakukan parate executie dengan menjual lelang barang yang
dijaminkan tanpa melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari hasil
penjualan lelang tersebut. Dengan demikian, perjanjian utang piutang
berakhir.
4. Debitur cidera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat hak
tanggungan ke pengadilan ke pengadilan untuk dieksekusi berdasarkan
Pasal 224 HIR yang diikuti pelelangan umum. Dengan dilunasi utang
hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang piutang berakhir. Di sini
tidak terjadi gugatan.
5. Debitur cidera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi maka debitur
digugat oleh kreditur, yang kemudian diikuti oleh putusan pengadilan
yang memenangkan kreditur. Putusan tersebut dapat dieksekusi secara
sukarela seperti yang terjadi pada cara yang kedua dengan dipenuhinya
prestasi oleh debitur tanpa pelelangan umum dan dengan demikian
perjanjian utang piutang berakhir.
6. Debitur tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang
mengalahkannya dan dan menghukum melunasi utangnya maka putusan
pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang
hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur, dan mengakibatkan
perjanjian utang piutang berakhir.158
Setelah hak tanggungan hapus, dilakukan pencoretan catatan atau roya
hak tanggungan. Pencoretan catatan atau roya hak tanggungan ini dilakukan demi
ketertiban administrasi dan tidak mempunyai pengaruh hukum terhadap hak
tanggungan yang bersangkutan yang sudah hapus. Sehubungan dengan itu
sekaligus dalam UU Hak Tanggungan ditetapkan prosedur dan jadwal yang jelas
158
Sudikno Mertokusumo, 1996, Eksekusi Objek Hak Tanggungan
Permasalahan dan Hambatan,Yogyakarta, h. 35
108
mengenai pelaksanaan pencoretan dan kepada Kantor Pertanahan diberi hak
tanggungan itu.
Menurut Pasal 22 UU Hak Tanggungan setelah hak tanggungan hapus,
Kantor Pertanahan mencoret catatan hak tanggungan tersebut pada buku tanah hak
atas tanah dan sertifikatnya. Adapun sertifikat hak tanggungan yang bersangkutan
ditarik dan bersama-sama buku tanah hak tanggungan dinyatakan tidak berlaku
lagi oleh Kantor Pertanahan. Jika sertifikat sebagaimana dimaksud diatas karena
sesuatu sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat
pada buku tanah hak tanggungan.
Pencoretan hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas dasar
sebagai berikut:
1. Permohonan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan
melampirkan :
a) Sertifikat hak tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditur
bahwa hak tanggungan hapus karena piutang yang dijamin
pelunasannya dengan hak tanggungan itu sudah lunas, atau
b) Pernyataan tertulis dari kreditur bahwa hak tanggungan telah dihapus
karena piutang yang dijamin perlunasannya dengan hak tanggungan
itu telah lunas, atau
c) Pernyataan tertulis dari kreditur bahwa kreditur telah melepaskan hak
tanggungan yang bersangkutan.
2. Perintah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat hak
tanggungan yang bersangkutan didaftar dengan melampirkan salinan
penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan yang
memerintahkan pencoretan hak tanggungan, berhubung kreditur tidak
bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud di atas, atau
permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa nyang sedang
diperiksa oleh Pengadilan Negeri lain.159
Atas dasar itu Kepala Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan hak
tanggungan menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-
159
Adrian Sutedi I, op.cit. h. 84
109
undangan yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya permohonan pencoretan hak tanggungan tersebut. Pada buku tanah
hak tanggungan yang bersangkutan dibubuhkan catatan mengenai hapusnya hak
tersebut, sedang sertifikatnya ditiadakan. Pencatatan serupa dilakukan juga pada
buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang semula dijadikan jaminan. Sertifikat
hak atas tanah yang sudah dibubuhi catatan tersebut, diserahkan kembali kepada
pemegang haknya.160 Bahwa apabila sertifikat hak atas tanah telah dicatat maka
akan diserahkan kepada pemegang haknya.
Bertitik tolak pada hal tersebut maka mengenai Hak Tanggungan
dinyatakan lahir pada tanggal buku tanah hak tanggungan yaitu pada hari ketujuh
setelah Kantor Pertanahan menerima secara lengkap surat-surat yang diperlukan
bagi pendaftaran dan jika hari ketujuh jatuh pada hari libur buku tanah yang
bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Sedangkan mengenai hapusnya
hak tanggungan diatur Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 UU Hak Tanggungan.
160 Adrian Sutedi I, op.cit, h. 84-85
110
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA YANG TIMBUL DARI PEMBELIAN
TANAH YANG SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN
Penguraian Bab III ini pada hakekatnya untuk menjawab isu hukum
pertama. Karena itu penguraiannya sebagai berikut : Terdapat analisis kasus
dalam hasil wawancara yang dilakukan tanggal 3 Februari 2014 tentang
penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani
hak tanggungan. Ada 2 (dua) alternatif penyelesaian sengketa yaitu jalur litigasi
dan non litigasi. Penyelesaian sengketa yang dibahas disini adalah penyelesaian
sengketa pada jalur non litigasi yaitu proses pengeksekusian objek jaminan pada
tahap negosiasi.
Pertama, analisis kasus dipecahkan dengan pembenaran teoritik
mengenai negosiasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa pada kredit
bermasalah dengan jaminan hak tanggungan yang dialihkan kepada pihak lain.
Kedua, analisis kasus diperkuat dengan pembenaran teoritik mengenai kedudukan
hak tanggungan sebagai jaminan kredit pada bank.
Ketiga, kemudian analisis kasus tersebut diperjelas dengan pembenaran
teoritik mengenai kedudukan kreditur dalam perjanjian dengan hak
tanggungan.Keempat, selanjutnya analisis kasus didasarkan dengan pembenaran
teoritik mengenai kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan.
Hasil pembenaran teoritik tersebut disebutkan dalam literature dari
Adrian Sutedi, Mariam Darus Badrulzaman, Effendi Perangin, J. Satrio, Herowati
110
111
Poesoko, Subekti, M. Khoidin, Retnowulan Sutantio, Johanes Ibrahim dan
Lindawaty Sewu, Kasmir, Achmad Ali, serta Boedi Harsono. Dalam penelitian ini
ditemukan data dalam bentuk wawancara yang pada dasarnya mendukung dan
melengkapi penelitian yang berkaitan dengan “Pengalihan Hak Milik Atas Tanah
Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan.” Kasus mengenai penjualan objek
jaminan yang dilakukan oleh debitur yang wanprestasi kepada pihak lain pernah
terjadi di PT. BPR Bank Kertiawan. Hasil wawancara pada tanggal 3 Februari
2014 mengenai hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Menurut I Wayan Murja, SE., MM selaku Komisaris pada PT. BPR Bank
Kertiawan :
1. Bahwa pada tanggal 18 September 2008 telah terjadi suatu kesepakatan
perjanjian antara PT. BPR Bank Kertiawan (Kreditur) dengan Developer
(Debitur), dalam hal ini perjanjian kredit atas fasilitas kredit berupa
kredit Konsumtif sebesar Rp. 400.000.000,- selama jangka waktu 3 bulan
terhitung sejak tanggal 18 September 2008 sampai dengan 18 Desember
2008. Agunan yang dijaminkan adalah 2 bidang tanah milik debitur.
Adapun pihak yang terkait dalam perjanjian kredit tersebut adalah :
a) PT. BPR BANK KERTIAWAN memberikan pinjaman dana (kredit)
sebagai pihak kreditur selanjutnya disebut pihak I.
b) Pihak kedua yakni debitur (seorang developer) dengan memberikan
agunan yaitu jaminan 2 sertifikat kepemilikan hak atas tanah milik
debitur.
112
Alasan debitur meminjam dana (kredit) adalah untuk membangun rumah
di atas tanah-tanah milik debitur dengan tujuan nantinya akan di jual
kembali kepada pihak lain (user/nasabah/pembeli usaha debitur),
sehingga dana hasil penjualan usaha debitur tersebut nantinya akan
digunakan untuk melunasi pinjaman kredit debitur.
2. Bahwa Bank telah melakukan penilaian analisis standar kelayakan
pemberian kredit sesuai kriteria bank dan memeriksa SKPT (Surat
Keterangan Pendaftaran Tanah), guna memeriksa keabsahan sertifikat
kepemilikan atas tanah yang diberikan oleh debitur. Hasil analisis
dinyatakan permohonan kredit tersebut adalah layak untuk diberikan,
maka terlaksanalah pelepasan kredit tersebut berdasarkan perjanjian dan
juga pada saat itu dua (2) sertifikat kepemilikan atas tanah dibuatkan
menjadi satu Akte Pemberian Hak Tanggungan sehingga menjadi satu
sertifikat hak tanggungan, yang ditandatangani oleh debitur selaku
pemilik tanah, bank selaku pemegang hak tanggungan, dua orang saksi
dan juga PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)pada kantor notaris yang
wewenangnya meliputi dimana tanah tersebut terletak, atas nama bank
dan didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional.
3. Bahwa Fasilitas kredit telah didapatkan oleh debitur dan telah
dibuatkannya 2 rumah diatas tanah tersebut sesuai alasan perjanjian
kredit dan telah dijual kepada pihak lain. Akan tetapi debitur tidak dapat
memenuhi kewajiban pelunasan utang kredit sampai pada saat jatuh
tempo (wanprestasi). Pihak bank telah mengingatkan debitur dengan cara
113
melakukan pendeketan secara kekeluargaan, via telpon, dan bersamaan
dengan itu memberikan Surat Pemberitahuan/SP (Somasi) sesuai dengan
koletibitas kredit debitur. Sampai pada akhirnya bank menyatakan bahwa
fasilitas pembiayaan kredit yang diberikan kepada debitur adalah Non
Perfoming Loan (bermasalah), sehingga mengharuskan melakukan
tindakan pengeksekusian terhadap benda jaminan.
Menurut Ni Made Sumartini, SE selaku Direktur Utama pada PT. BPR
Bank Kertiawan :
1. Bahwa pada kenyataannya tanah-tanah tersebut telah dibebankan hak
tanggungan atas nama kreditur (PT. BPR Bank Kertiawan) berdasarkan
perjanjian kredit tanggal 18 September 2008 dan sertifikat hak tanggungan
yang dimiliki oleh bank.
2. Bahwa bank telah meyatakan pembiayaan fasilitas kredit yang diberikan
kepada debitur adalah Non Perfoming Loan (bermasalah) karena tidak
memenuhi kewajiban pembayaran sampai saat jatuh tempo berturut-turut
3x (Pasal 5 angka 1 huruf e Ketentuan Perjanjian Kredit Bank).
3. Bahwa dalam Ketentuan Perjanjian Kredit Bank Pasal 6 angka 3
menyatakan “Apabila debitur tidak menyelesaikan kreditnya sebagaimana
tersebut, bank berhak mengambil tindakan-tindakan hukum berupa apapun
yang dianggap baik atau diharuskan oleh ketentuan bank dan atau Bank
Indonesia dan atau ketentuan Undang-Undang / pemerintah yang berlaku.
4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU No. 4 Tahun 1996 menyatakan
bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun
114
objek tersebut berada. Dalam pasal 7 UU No. 4 Tahun 1996
mencerminkan sifat droit de suite disebut juga zaaksgelovg artinya
pemegang hak tanggungan mempunyai hak mengikuti objek hak
tanggungan meskipun objek hak tanggungan telah berpindah dan menjadi
milik pihak lain. Contoh objek hak tanggungan (tanah dan bangunan) telah
dijual dan menjadi milik pihak lain, maka kreditur sebagai pemegang
jaminan tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas jaminan
tersebut jika debitur cidera janji meskipun tanah dan bangunan telah
beralih dari milik debitur menjadi milik pihak lain.
Menurut I Ketut Sadiasa, Amd selaku Kepala Bidang Kredit pada PT.
BPR Bank Kertiawan :
1. Bahwa debitur tidak melakukan pembayaran kredit pada bulan pertama
pembayaran tersebut jatuh tempo, sehingga pinjaman atas nama debitur
digolongkan masuk dalam kolektibilitas 2 (perhatian khusus).
2. Bahwa bank tidak serta merta melakukan pengeksekusian atas objek
jaminan, melainkan mengambil tindakan dalam upaya penyelamatan kredit
debitur terlebih dahulu.
3. Atas kondisi tersebut Bank Kertiawan memberikan kebijakan yaitu
perubahan (addendum) perjanjian kredit untuk penyelamatan kredit
debitur dengan masa laku 1 bulan (18 November 2008 sampai dengan 18
Desember 2008).
4. Bahwa debitur pernah mengajukan restrukturisasi atas pinjaman debitur
tersebut dengan cara melakukan pembayaran pokok sekali sebesar Rp.
115
100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan perubahan (addendum) atas
perjanjian kredit debitur dengan fasilitas kredit sebesar Rp. 300.000.000,-
(tiga ratus juta rupiah) masa laku 3 (tiga) bulan yaitu 26 Desember 2008 –
26 Maret 2009.
5. Permohonan perubahan (addendum) atas perjanjian kredit debitur
dilakukan kembali karena debitur tidak dapat membayar kewajiban
hutangnya dengan masa laku 3 (tiga) bulan yaitu 31 Maret 2009 sampai
dengan 30 Juni 2009. Permohonan ini terus dilakukan sampai pada kali
terakhir perubahan (addendum) perjanjian kredit dengan masa laku 6
(enam) bulan yaitu 31 Desember 2009 sampai dengan 30 Juni 2010,
debitur tidak juga membayar sisa hutang tersebut kepada Bank Kertiawan.
6. Selama masa addendum terakhir tersebut tunggakan atas kewajiban dari
debitur sudah menjadi besar dan masuk dalam kolektibilitas kurang lancar.
Atas kondisi tersebut Bank Kertiawan telah beberapa kali memberikan
surat pemberitahuan kepada debitur mengenai tunggakan yang harus
diselesaikan dan suku bunga yang dikenakan.
7. Bahwa sampai pada surat pemberitahuan ketiga debitur tetap tidak
mengindahkan upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Bank dengan tetap
tidak membayar hutangnya sehingga bank mengambil keputusan untuk
mengeksekusi benda jaminan tersebut. Pada saat ini pinjaman debitur
masuk pada kolektibilitas diragukan.
8. Sebelum bank hendak melaksanakan permohonan proses pelelangan,
ternyata salah satu pihak lain yang telah membeli tanah dan rumah milik
116
debitur, melaporkan debitur sebagai pemilik tanah kepada pihak kepolisian
dengan dugaan tindak pidana penggelapan uang pembayaran tanah/rumah.
9. Dengan adanya pelaporan tersebut proses pelelangan terhadap tanah dan
rumah yang dijadikan objek jaminan di Bank Kertiawan menjadi
terhambat, oleh karena sertifikat hak milik tanah tersebut harus dijadikan
barang bukti dalam perkara tersebut, sehingga status tanah dapat
digolongkan bersengketa yang berakibat apabila tanah pada posisi
bersengketa, maka tidak dapat dilaksanakannya proses pelelangan.
10. Selama menunggu proses penyidikan kepolisian hingga dikembalikannya
sertifikat hak milik atas tanah tersebut kepada bank, dalam upaya
penyelesaian kredit Bank Kertiawan mengambil tindakan dengan tidak
melalui jalur litigasi, tetapi melalui jalur non litigasi yaitu terlebih dahulu
bernegosiasi kepada debitur dan kedua pihak lain yang telah membeli
tanah dan rumah tersebut.
11. Tindakan Bank Kertiawan tidak hanya pada sebatas bernegosiasi kepada
para pihak yang terkait, juga disertai dengan pengajuan permohonan
bantuan lelang kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL), apabila nantinya penyelesaian kredit macet ini menemui jalan
buntu maka objek jaminan dapat langsung dilelang. Kasus pengeksekusian
objek hak tanggunganini telah ditangani oleh lembaga lelang berdasarkan
permohonan eksekusi No.095/Krd.Adm/X.01/2010 dari Bank Kertiawan
yang di dalamnya menyatakan : bahwa fasilitas kredit pembiayaan atas
nama debitur tersebut telah dikatagorikan sebagai kredit bermasalah
117
(macet) Non Performing Loan (NPL); bahwa sesuai dengan ketentuan
dalam Perjanjian Pembiayaan maupun syarat-syarat umum Perjanjian
Pembiayaan, Bank akan mengupayakan penyelesaian nasabah dengan
melakukan penjualan agunan secara lelang melalui Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang dengan ketentuan hukum yang berlaku;
Sehubungan dengan penjualan/pelelangan agunan vide butir 2 diatas,
dengan ini PT. BPR BANK KERTIAWAN bertanggungjawab apabila
terjadi gugatan perdata atau tuntun pidana yang diajukan oleh pihak
manapun.
12. Bank Kertiawan juga meminta TIM Aprrasial terjun ke lapangan untuk
menilai harga pasar tanah dan rumah tujuannya adalah menentukan nilai
pasar yang wajar dari benda jaminan, dimana nilai pasar yang wajar
tersebut terdiri dari nilai yang rendah dan tertinggi. Nilai tersebut nantinya
akan dijadikan dasar untuk menjual benda jaminan kepada pihak-pihak
yang ikut di dalam pelelangan. Sehingga apabila proses di kepolisian telah
selesai dan sertifikat dikembalikan kepada bank, bank dapat langsung
melaksanakan pelelangan. Selama proses ini pinjaman debitur masuk pada
kolektibilitas kredit macet.
13. Bahwa keputusan tindakan yang diambil oleh Bank Kertiawan dengan
menempuh jalur non litigasi yaitu dengan bernegosiasi, mendapatkan hasil
salah satu pihak lain bersedia membayar sebagian hutang milik
debitur/pemilik tanah, dengan syarat apabila ia telah membayar hutang
debitur/pemilik tanah, tanah dan rumah yang telah dibelinya tidak
118
diikutsertakan di dalam pelelangan dan diberikan bukti kepemilikan hak
atas tanah tersebut kepadanya.
14. Bahwa dengan adanya itikad baik salah satu pihak lain dengan membayar
sebagian hutang debitur demi terpenuhinya hak dari pihak lain tersebut,
maka tindakan Bank Kertiawan adalah melakukan pengRoyaan terhadap 2
(dua) sertifikat hak milik yang diikat menjadi satu hak tanggungan
tersebut, dan membuat perjanjian kredit baru dengan membebankan hak
tanggungan pada 1 (satu) sertifikat hak milik atas tanah. Perjanjian baru
tersebut tetap mengikat debitur, apabila di dalam perjalanannya debitur
tidak dapat kembali membayar hutangnya, maka proses pengeksekusian
akan tetap dilakukan.
Kemudian wawancara juga dilakukan pada 3 (tiga) Bank Perkreditan
Rakyat yang berbeda, guna mendukung jawaban pada isu hukum penelitian ini,
yaitu pada PT. BPR Kanti, PT. BPR Bank Padma, PT. BPR Udary:
1. Menurut I Made Arya Amitaba, SE.MM selaku Direktur Utama PT. BPR
Kanti, bahwa sependapat mengenai penyelesaian kredit bermasalah
diharapkan menempuh jalur non litigasi terlebih dahulu, dengan
diadakannya pendekatan secara persuasif (kekeluargaan) kepada para
pihak yang terkait. Di samping bertujuan agar kredit macet tersebut dapat
cepat teratasi dan tidak berbelit-belit, pihak bank dapat juga mengetahui
bagaimana karakteristik nasabah, sehingga menjadi pembelajaran untuk
kedepannya agar lebih berhati-hati di dalam memberikan kredit.
119
2. Menurut Cokorda Gede Mahadewa, SE.,MBA.,MM, selaku Direktur
Utama PT. BPR Bank Padma, bahwa membenarkan dengan tindakan yang
diambil yaitu dengan menempuh cara pendekatan terlebih dahulu. Adanya
pendekatan-pendekatan kepada para pihak, menjadikan bank mengetahui
bagaiamana duduk permasalahan yang sebenarnya. Walaupun bank pada
posisi yang kuat, melihat itikad baik pihak lain tersebut, pihak bank juga
memiliki rasa perikemanusiaan dengan tidak melakukan eksekusi secara
langsung melainkan mempertimbangkan kembali pemecahan kredit
bermasalah tersebut agar tidak merugikan bank terutama, dan tidak juga
merugikan pihak-pihak lain yang terkait karena adanya itikad baik
tersebut.
3. Menurut Drs. I Made Suarja selaku Direktur PT. BPR Udary, bahwa
apabila terjadi permasalahan dalam perkreditan tentunya pihak bank tidak
ingin diselesaikan pada jalur pengadilan. Bank mengupayakan sebisa
mungkin untuk diselesaikan secara kekeluargaan, karena apabila
permasalahan diselesaikan pada jalur pengadilan, selain memakan biaya
yang cukup banyak, waktu yang cukup lama mengakibatkan
bertambahnya kerugian yang dialami bank, serta yang juga menjadi alasan
mengapa bank kami setuju untuk menempuh jalur non litigasi terlebih
dahulu dalam menangani kredit macet adalah masalah reputasi (nama
baik) bank, walaupun kredit macet diketahui murni kesalahan debitur,
namun yang dinamakan kredit macet adalah masalah yang timbul pada
120
bank yang bersangkutan, dampaknya tidak sehatnya bank tersebut di mata
masyarakat.
Berdasarkan kasus yang terjadi di PT. BPR Bank Kertiawan tersebut
tedapat suatu hambatan pengeksekusian terhadap objek hak tanggungan
dikarenakan debitur yang wanprestasi menjual objek jaminan kepada pihak lain
dan pihak lain yang merasa telah membayar lunas tanah dan rumah tersebut tetap
ingin mempertahankannya. Tindakan pengeksekusian yang dilakukan oleh bank
adalah dengan jalur non litigasi yaitu secara negosiasi terlebih dahulu.
Dengan demikian konsekuensi dari pembelian tanah dan rumah yang
statusnya masih terbebani hak tanggungan dengan cara hanya membuat perjanjian
di bawah tangan walaupun pembelian tersebut telah dilakukan secara lunas,
menyebabkan tidak dimilikinya kepastian akan status kepemilikan tanah dan
rumah tersebut bagi pihak pembeli, dikarenakan bukti kepemilikan hak atas tanah
masih terbebani hak tanggungan pada kreditur (bank).
Konsekuensi hukum mengenai hal tersebut adalah berdasarkan Pasal 6
UU Hak Tanggungan, yaitu bank berhak untuk mengeksekusi jaminan tersebut
apabila debitur tidak membayar hutangnya sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Akan tetapi apabila pihak lain sebagai pembeli tanah dan rumah ingin
menyelamatkan tanah dan rumah yang telah dibeli secara lunas agar tidak
dieksekusi bank, pihak pembeli dapat membayar lunas hutang debitur sehingga
hak tanggungan akan hapus dengan hapusnya hutang tersebut (Pasal 18 ayat (1)
huruf a UU Hak Tanggungan).
121
Mengenai pihak lain yang turut andil dalam pembayaran hutang debitur
diatur dalam ketentuan Pasal 1382 ayat (2) KUHPerdata menyatakan bahwa
“suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak
mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan
untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri,
asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang”.
3.1 Negosiasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kredit
Bermasalah Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Dialihkan
Kepada Pihak Lain
Penyelesaian sengketa melalui negosiasi merupakan perundingan atau
pertemuan langsung yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa tanpa
keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah.Para pihak yang bersengketa yang
secara langsung melakukan perundingan atau tawar-menawar, sehingga
menghasilkan suatu kesepakatan bersama.Para pihak yang bersengketa tentunya
telah berdiskusi atau bermusyawarah sedimikian rupa agar kepentingan-
kepentingan dan hak-haknya terakomodir menjadi kepentingan atau kebutuhan
bersama para pihak yang bersengketa.Inti sari dari pada kredit adalah
kepercayaan, maka menurut falsafah perkreditan yang asli dimana unsur
kepercayaan itu sebagai benang merah melintasi pertimbangan perkreditan, maka
jaminan kredit bukan merupakan syarat mutlak dalam perkreditan.
Konsekuensi adanya perikatan yang dibuat oleh para pihak (kreditur dan
debitur), maka hak dan kewajiban sebagai hasil kesepakatan akan mengikat pada
pihak kreditur dan debitur, selama masing-masing pihak memenuhi hak dan
122
kewajiban maka perikatan akan berjalan dengan lancar, namun manakala debitur
tidak memenuhi kewajibannya dan sampai dapat dikategorikan bahwa debitur
wanprestasi/ingkar janji, tentu pihak kreditur akan dirugikan kepentingannya.
Bahwa dalam perikatan yang konsekuensinya menimbulkan hak dan kewajiban
maka para pihak haruslah memenuhinya, apabila tidak dipenuhi maka akan
merugikan salah satu pihak dan akan menimbulkan sengketa.
Menurut Gr. Van der Burght, menyatakan dalam teori kehendak yang
dapat menimbulkan suatu kesepakatan, yaitu :Ajaran Kehendak (Wilsleer),
Pandangan Normatif Van Dunne, Ajaran kepercayaan (Vetrouwensleer).161
Berdasarkan teori tersebut tepatnya teori ajaran kepercayaan, menyatakan bahwa
kepercayaan tersebut timbul dari debitur yang sepakat mengikatkan dirinya dalam
suatu perjanjian kredit dengan kreditur, dan memenuhi segala persyaratan demi
terwujudnya suatu perjanjian kredit tersebut, maka timbullah hak dan kewajiban
bagi para pihak tersebut. Arti dari kepercayaan tersebut timbul dari pihak debitur,
dikarenakan perjanjian kredit ini adalah perjanjian baku, yaitu suatu perjanjian
yang berlaku dan akan mengikat antara pihak yang saling berkepentingan dan
yang isinya dituangkan dalam suatu bentuk tertentu yang dijadikan tolak ukur
oleh pihak yang satu tanpa membicarakan isinya terlebih dahulu dengan pihak
lain, tetapi para pihak dianggap telah menyetujuinya.
Praktek hukum di masyarakat, untuk menentukan sejak kapan seorang
debitur wanprestasi kadang-kadang tidak selalu mudah, karena kapan debitur
harus memenuhi prestasi tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam
161
Johanes Ibrahim, loc.cit
123
perjanjian yang prestasinya untuk memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu
yang tidak menetapkan kapan debitur harus memenuhi prestasi, agar ia memenuhi
kewajibannya, debitur harus lebih dahulu diberi teguran
(sommatie/ingebrekestelling).162
Dalam hal perjanjian timbal balik debitur dapat
dikategorikan wanprestasi dalam pemenuhan prestasinya, maka kreditur dapat
memberikan suatu surat teguran mengenai kewajibannya sebagai peringatan agar
debitur dapat segera memenuhi kewajibannya tersebut.
Perjanjian kredit telah tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak,
termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama, demikian pula
dengan masalah sanksi apabila si debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang
telah dibuat bersama.163
Bahwa dalam suatu perjanjian telah disepakati bersama
mengenai nominal kredit, bunga, serta jangka waktu, apabila debitur tidak dapat
memenuhi kewajibannya terdapat sanksi yang harus dipikul oleh debitur.
Sebelum kredit diberikan, untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah
benar-benar dapat dipercaya maka bank terlebih dahulu mengadakan analisis
kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek
usahanya, jaminan yang diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis ini
adalah agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman.
Pemberian kredit tanpa dianalisis terlebih dahulu akan sangat
membahayakan bank. Nasabah dalam hal ini dengan mudah memberikan data-
data fiktif sehingga kredit tersebut sebenarnya tidak layak untuk diberikan.
Akibatnya jika salah dalam menganalisis, maka kredit yang disalurkan akan sulit
162
Herowati Poesoko, loc.cit 163
Kasmir, loc.cit
124
untuk ditagih alias macet. Namum faktor salah analisis ini bukanlah merupakan
penyebab utama kredit macet.
Istilah kredit macet umumnya muncul setelah pihak debitur macet dan
gagal melakukan pelunasan kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Di dalam
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/267/KEP/DIR jo Surat Edaran
Bank Indonesia No.30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 tentang Kualitas
Aktiva Produktif ditetapkan secara tegas penggolongan kualitas kredit, yaitu :
a. Lancar (pass), apabila memenuhi kriteria :
1) Pembayaran angsuran pokok dan atau bunga tepat waktu, dan
2) Memiliki mutasi rekening yang aktif, atau
3) Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash
collateral)
b. Dalam perhatian khusus (special mention), apabila memenuhi kriteria :
1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang belum
melampaui 90 hari, atau
2) Kadang-kadang dapat cerukan, atau
3) Mutasi rekening relatif aktif, atau
4) Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan,
atau
5) Didukung oleh pinjaman baru
c. Kurang lancar (substandard), apabila memenuhi kriteria :
1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah
melampaui 90 hari, atau
2) Terjadi cerukan, atau
3) Frekuensi rekening relatif rendah, atau
4) Terjadi pelanggaran kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90
hari, atau
5) Terdapat indikasi masalah keuangan debiur, atau
6) Dokumentasi pinjaman lemah
d. Diragukan (doubtful), apabila memenuhi kriteria :
1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah
melampaui 90 hari, atau
2) Terjadi cerukan yang bersifat permanen, atau
3) Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari, atau
4) Terjadi kapitalisasi bunga, atau
5) Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit
maupun pengikatan jaminan
125
e. Macet (loss), apabila memenuhi kriteria :
1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah
melampaui 270 hari, atau
2) Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, atau
3) Dari segi hukum kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan
pada nilai wajar.
Berkaitan dengan kasus yang terjadi, pada awalnya kredit debitur
termasuk pada golongan kedua tersebut, ciri-cirinya debitur menunggak
pembayaran hutang pokok dan/atau bunga berturut-turut selama 3 (tiga) kali. Pada
golongan ini tindakan Bank untuk penyelamatan kredit debitur yaitu melalukan
pendekatan-pendekatan via telpon dan surat teguran mengenai pembayaran kredit
debitur.Pendekatan-pendekatan tersebut tidak diindahkan oleh debitur sehingga
kredit debitur masuk pada golongan kurang lancar, didasarkan dengan adanya
pelanggaran perjanjian debitur dengan adanya pengalihan objek jaminan tanpa
sepengetahuan Bank dan hasil penjualan tersebut tidak diberikan untuk pelunasan
hutangnya.
Pada tahap selanjutnya, kredit tetap berjalan dan debitur tetap tidak
melakukan pembayaran hutangnya, maka kredit memasuki golongan diragukan.
Hal ini didasarkan dengan tidak dibayarnya hutang debitur, pihak lain yang telah
membeli rumah ingin tetap mempertahankan tanah dan rumah yang menjadi objek
jaminan pada Bank, serta terhambatnya proses eksekusi dikarenakan tanah
tersebut berstatus sengketa, karena dalam proses penyidikan oleh kepolisian
dengan adanya pelaporan tindak pidana penggelapan uang pembelian rumah.
Kemudian pada akhirnya kredit debitur ini ditetapkan masuk pada kriteria
penggolongan kredit macet. Bank atau lembaga keuangan/pembiayaan manapun
tentunya tidak mengharapkan bahwa fasilitas kreditnya kepada nasabah (debitur)
126
akan menjadi kredit yang macet dan diselesaikan melalui pengadilan. Idealnya
bagi bank pengembalian fasilitas kredit tersebut dilakukan nasabah debitur dengan
lancar dan tepat waktu sesuai dengan apa yang telah dijanjikan.
Berdasarkan teori validitas dan efektifitas hukum menurut Achmad Ali
yaitu “ketika ingin mengetahui efektivitas dari hukum, maka terlebih dahulu harus
dapat mengukur sejauh mana aturan hukum ditaati atau tidak ditaati, jika suatu
aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya,
maka aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif.”164
Dalam perjanjian kredit
dan UU Hak Tanggungan telah secara tegas memuat sanksi-sanksi yang diberikan
apabila debitur melakukan hal-hal yang tidak sesuai dalam perjanjian.Segala
aturan yang termuat dalam perjanjian kredit dan perjanjian jaminan (UU Hak
Tanggungan) telah disepakati dan diterima oleh para pihak, kreditur
mengharapkan debitur dapat memenuhi prestasinya sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakati.
Namun demikian hal tersebut pada kenyataannya tidak selamanya dapat
ditemui. Situasi yang dihadapi kadang sebaliknya dimana fasilitas yang telah
diberikan ternyata tidak dapat atau tidak mampu dikembalikan oleh debitur
dengan lancar dan tepat waktu, sehingga fasilitas kredit tersebut menjadi macet.
Sebagai pihak yang menghadapi masalah, bank memiliki kebebasan untuk
menentukan lembaga mana yang akan dipilih untuk penyelesaian sengketa kredit
macet dengan nasabahnya. Pihak bank akan mempertimbangkan lembaga
164
Achmad Ali, loc.cit
127
penyelesaian sengketa yang dipandang dapat menyelesaikan secera efektif dan
efisien dengan hasil memuaskan.
Untuk mengantisipasi kredit macet ini terdapat cara-cara yang efektif
agar perjanjian kredit dan perjanjian jaminan tetap terjaga unsur validitasnya.
Terdapat 2 (dua) cara yaitu litigasi dan non litigasi. Kreditur sangat
mengupayakan agar penyelesaian kredit macet ini tidak sampai pada jalur litigasi,
maka upaya efektif yang ditempuh pertama kali adalah jalur non litigasi yaitu
negosiasi.
Penyelesaian sengketa secara litigasi pada umumnya hanya digunakan
untuk memuaskan hasrat emosional dalam mencari kepuasan pribadi dengan
harapan pihak lawan dinyatakan kalah oleh putusan pengadilan. Pada umumnya
orang mengajukan gugatan tidak memperhitungkan apakah nilai yang
disengketakan itu sebanding atau tidak dengan pengorbanan yang dikeluarkan
selama menjalani proses persidangan yang begitu panjang.
Secara teori, proses litigasi memang lebih memberikan kepastian hukum,
karena diputuskan berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki dan putusannya dapat
dilaksanakan dengan kekuatan eksekusi (executie power), namun kenyataan
dilapangan justru eksekusi yang dianggap sebagai ujung tombak dalam meraih
hak atas suatu kemenangan tidak bisa memberikan kenyamanan dalam menikmati
hasil kemenangan itu, bahkan pada beberapa kasus eksekusi tidak mampu
dijalankan (non eksekutable), karena adanya halangan dan ganggungan yang
serius dari pihak termohon eksekusi dan masyarakat luas.
128
Penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan biasanya
membutuhkan waktu yang cukup lama dan melelahkan, dimulai dari Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan mungkin sampai pada tingkat Mahkamah
Agung, hal ini sudah tentu juga membutuhkan biaya yang cukup besar serta dapat
menganggu hubungan pihak-pihak yang bersengketa.165
Berdasarkan hal
tersebutlah apabila terjadi persengketaan dalam bidang hukum jaminan, akan
ditempuh terlebih dahulu jalur non litigasi atau di luar pengadilan, apabila tidak
dapat memecahkan masalah langkah akhir yang dapat dilakukan adalah
menempuh jalur pengadilan (litigasi).
Tindakan bank yang termasuk cara negosiasi dilakukan pertama kali
untuk mengantisipasi adanya kredit macet yaitu melakukan
pengelolaan/pembinaan kredit (credit management) oleh bank pemberi kredit,
dengan tujuan untuk mencegah agar kredit yang diberikan oleh bank tidak
menjadi macet atau walaupun kredit tersebut menjadi macet masih bisa
diupayakan untuk diselamatkan atau dibayar kembali oleh debitur. Dengan kata
lain bahwa pengelolaan kredit oleh bank adalah melakukan upaya-upaya preventif
agar kredit tidak menjadi macet dan bila kredit akhirnya menjadi macet masih
dapat dilakukan upaya-upaya represif agar kredit tersebut dapat diselamatkan atau
dibayar kembali oleh debitur.
Fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada debitur telah dikatagorikan
sebagai kredit bermasalah (macet) atau yang biasa bank menyebutkan sebagai
Non Performing Loan (NPL). Karena debitur sama sekali tidak memenuhi
165
Rachmadi Usman, loc.cit
129
kewajibannya hingga melampaui batas waktu kredit jatuh tempo (bank selaku
kreditur telah menganggap debitur nonkooperatif) maka bank melakukan tindakan
yaitu dengan mengeksekusi benda jaminan dengan cara melelang jaminan tersebut
dengan bantuan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Pada kasus ini, Bank tidak langsung membawa kasus ini ke lembaga
lelang, melainkan sebelumnya telah dilakukan tindakan–tindakan seperti
pendekatan secara persuasif (kekeluargaan), penerbitan edaran surat sesuai dengan
tingkat kolektibitas kredit debitur (somasi) tetapi tetap saja debitur tidak
mengindahkannya sehingga jalan terakhir yang dapat dilakukan adalah
pengeksekusian terhadap benda jaminan. Proses pelaksanaan pengeksekusian
dimulai dengan bank meminta bantuan apprasial untuk memohon penilaian
terhadap benda jaminan. Apprasial merupakan pihak independen yang dicari oleh
bank untuk terjun langsung menilai harga dari pada benda jaminan tersebut yang
tujuannya adalah menentukan nilai pasar yang wajar dari benda jaminan, dimana
nilai pasar yang wajar tersebut terdiri dari nilai yang rendah dan tertinggi. Nilai
tersebut nantinya akan dijadikan dasar untuk menjual benda jaminan kepada
pihak-pihak yang ikut di dalam pelelangan.
Kedatangan apprasial untuk menilai jaminan, menyebabkan pihak lain (A
dan B) merasa terancam tanah beserta rumah yang telah dibelinya kepada debitur
akan diambil oleh bank. Sehingga menurut keterangan yang diberikan pihak lain
tersebut kepada apprasial, mereka telah melakukan pendekatan kepada debitur,
tetapi debitur tidak menanggapi secara positif, sehingga salah satu pihak lain (B)
mengambil tindakan untuk melaporkan debitur ke pihak kepolisian berdasarkan
130
Surat Laporan No. LP/376/VI/2010/Dit Reskrim, dalam perkara dugaan tindak
pidana penggelapan uang pembayaran tanah/rumah. Sedangkan pihak lain yang
satu lagi (A), menyatakan bersedia untuk membayar setengah dari pinjaman
debitur kepada bank (latar belakangnya adalah pihak lain di sini merasa hak
tanggungan yang dimiliki oleh bank adalah sangat kuat sehingga pihak lain (B)
tersebut memilih jalur aman agar tidak mengalami kerugian total).
Data dari penilaian jaminan yang didapat appraisal tersebut menjadi salah
satu persyaratan yang diajukan kepada lembaga lelang. Setelah data tersebut
diajukan tim dari lembaga lelang melakukan pendekatan ke lapangan, tidak serta
merta melakukan pelelangan. Hasil dari pendekatan yang dilakukan lembaga
lelang inilah, menghasilkan salah satu pihak lain (A) bersedia membayar setengah
kewajiban debitur. Apabila kedua pihak lain bersedia memenuhi kewajiban
debitur, maka pengeksekusian akan dibatalkan. Mengingat tidak keduanya
bersedia memenuhi kewajiban debitur, maka bank tetap menjalankan proses
eksekusi walaupun benda jaminan telah dialihkan kepada pihak lain.
Hal ini dapat dilakukan karena berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-
Undang No. 4 tahun 1996 dengan tegas menyatakan bahwa “Hak Tanggungan
mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”.Artinya benda-
benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan walau di tangan siapapun benda itu
berada tetap terbeban Hak Tanggungan.166
Jadi meskipun hak atas tanah yang
menjadi objek hak tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah
166
Boedi Harsono II, loc.cit
131
kepada orang lain, namun hak tanggungan yang ada tetap melekat pada objek
tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat.
Dapat dibuktikan bahwa dengan ditempuhnya cara efektif yaitu negosiasi
yang dilakukan oleh bank kepada debitur dan pihak lain yang terlibat, sengketa
kredit macet dapat diselamatkan dan hak-hak para pihak yang berkepentingan
dapat terpenuhi. Dengan demikian perjanjian kredit dan perjanjian jaminan tidak
kehilangan unsur validitasnya, adanya cara-cara efektif yang dilakukan oleh pihak
kreditur sehingga kredit macet tersebut dapat diselamatkan telah membuktikan
bahwa norma-norma yang terkandung dalam perjanjian kredit dan UU Hak
Tanggungan adalah norma yang valid diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
3.2 Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank
Bank adalah lembaga keuangan yang diperlukan yang dapat memberikan
dana berupa pinjaman kepada masyarakat untuk pengembangan usahanya. Secara
sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga keperanataan antara kelompok orang
yang untuk sementara mempunyai dana lebih (surplus spending group) dan
kelompok orang yang untuk sementara pula kekurangan dana (defisit spending
group).167
Arti dari perantaraan menurut Adrian Sutedi tersebut adalah bank
menghimpun dana masyarakat dari masyarakat yang untuk sementara kelebihan
dana, melalui piranti-pirantinya yaitu giro, tabungan, dan deposito, selanjutnya
bank menyalurkan dana masyarakat yang telah terhimpun itu, dalam bentuk kredit
kepada masyarakat yang untuk sementara memerlukan dana. Bahwa bank
167
Adrian Sutedi, loc.cit
132
berposisi sebagai lembaga tempat penyimpanan dana bagi masyarakat yang
mempunyai kelebihan dana dan lembaga tempat dimana masyarakat yang
membutuhkan dana bank dapat menyalurkan dana yang telah terhimpun dalam
bentuk kredit.
Ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
menyatakan bahwa “bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat, dalam
bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak”. Selain itu, dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998
dinyatakan bahwa “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Dalam hal memberikan kredit kepada masyarakat, harus adanya
keyakinan dari pihak bank bahwa dana yang diberikan dalam bentuk pinjaman
kepada masyarakat akan dapat dikembalikan tepat pada waktunya beserta
bunganya dan dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama oleh bank dan
nasabah yang oleh bank dan nasabah yang bersangkutan di dalam perjanjian
kredit.Untuk mengetahui kemampuan dan kemauan nasabah mengembalikan
pinjaman dengan tepat waktu,di dalam permohonan kreditbank perlu mengkaji
permohonan kredit, yaitu : Character (Kepribadian), Capacity (Kemampuan),
Capital (Modal), Collateral (Agunan) Condition Of Economy (Kondisi
133
Ekonomi).168
Bahwa dalam hal pemberian kredit, bank harus mengadakan
penilaian terhadap calon debitur, apakah calon debitur tersebut layak untuk
diberikan kredit atau tidak, standarisasi penilaian kelayakan pemberian kredit
pada bank dapat dilihat dari kepribadian calon debitur, kemampuan akan
membayar kewajiban setiap bulannya, penghasilan yang diperoleh calon debitur,
jaminan yang akan diberikan, serta kondisi dan keadaan calon debitur.
Di antara kelima tersebut diatas, salah satunya adalah Collateral yaitu
berupa barang-barang yang diserahkan oleh debitur kepada bank selaku kreditur
sebagai jaminan terhadap pembayaran kembali atas kredit yang
diterimanya.Jaminan adalah suatu tanggungan untuk menjamin kewajibannya
dalam suatu perikatan yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga
kepada kreditur.169
Bahwa jaminan adalah tanggungan yang fungsinya sebagai
pengamanan pelunasan kredit kepada bank, apabila terjadi kredit macet, jaminan
inilah yang akan dijual oleh bank untuk pelunasan hutang debitur.
Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling
disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit, sebab tanah
pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti
hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak
istimewa kepada kreditur.170
Bahwa dengan memberikan tanah sebagai jaminan
untuk pemberian kredit, akan menjadikan posisi bank semakin aman, karena tanah
tidak dapat berpindah-pindah, dan mempunyai tanda bukti hak yang sulit untuk
168
Kasmir, loc.cit 169
Mariam Darus Badrulzaman II, loc.cit 170
Effendi Perangin, loc.cit
134
digelapkan serta apabila dibebani hak tanggungan akan memberikan kedudukan
kreditur yang diutamakan untuk mendapatkan pelunasan hutang jika terjadi kredit
macet.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996
dinyatakan bahwa:
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Hak tanggungan ini merupakan lembaga hak jaminan yang kuat atas benda tidak
bergerak berupa tanah yang dijadikan jaminan, karena memberikan kedudukan
yang lebih tinggi (didahulukan) bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan
dibandingkan dengan kreditur lainnya.
Ciri-ciri yang menonjol dari hak tanggungan yang menyebabkan
memberikan jaminan kepastian bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya
bagi bank sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat dan
menyalurkan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat berupa pinjaman kredit
adalah:Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada
pemegangnya (droit de preference);Selalu mengikuti objek yang dijaminkan
dalam tangan siapapun objek itu berada;Hak Tanggungan bersifat mutlak;Mudah
dan pasti dalam eksekusinya.171
Hak tanggungan yang lahirnya dari perjanjian merupakan salah satu
lembaga hak jaminan kebendaan, hak tanggungan merupakan hak jaminan
171
Adrian Sutedi I, loc.cit
135
khusus, karena dalam hak tanggungan terdapat benda tertentu yaitu hak-hak atas
tanah yang dijanjikan secara khusus sebagai jaminan pelunasan utang tertentu.172
Bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah yang diberikan oleh debitur
sebagai jaminan pelunasan hutangnya.
Kreditur-kreditur yang tidak memperjanjikan hak jaminan khusus, seperti
kreditor konkuren, yang pada asasnya berkedudukan sama tinggi, mereka
harus bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pelunasan atas hasil
eksekusi harta debitur, sedangkan kreditur yang memperjanjikan hak jaminan
memberikan suatu kedudukan yang lebih baik kepada kreditor yang
memperjanjikannya.173
Apabila kreditur tidak membuat perjanjian jaminan maka kreditur akan
berkedudukan sebagai kreditur konkuren yang akibatnya jika terjadi kredit macet
posisinya sejajar dengan kreditur yang lainnya, sebaliknya apabila kreditur
memperjanjikan hak jaminan maka kedudukannya akan kuat dan diutamakan
dengan kreditur lainnya.
Hak jaminan kebendaan juga memberikan kemudahan kepada kreditur
yang bersangkutan untuk mengambil pelunasan, karena kepada krediturdiberikan
hak parate eksekusi.174
Bahwa apabila terjadi kemacetan terhadap kredit debitur,
kreditur diberikan kemudahan untuk menjual dengan perantara lelang objek
jaminan untuk mengambil pelunasan hutang debitur serta berkedudukan yang
diutamakan terhadap kreditur lainnya.Jadi, hak tanggungan disini adalah bentuk
dari perjanjian jaminan setelah perjanjian kredit disepakati, dapat diartikan
172
J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra
Aditya Bakti, Bandung. (Selanjutnya disingkat dengan J. Satrio II) h.278 173
Ibid 174
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya sisingkat J. Satrio III). h.7
136
sebagai bentuk keyakinan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur di dalam
pelunasan hutangnya dikemudian hari.
3.3 Kedudukan Kreditur Dalam Penjaminan Dengan Hak Tanggungan
Kedudukan kreditur dalam hal penjaminan dengan hak tanggungan dapat
diartikan sebagai jaminan hukum yang diberikan kepada kreditur dari kreditur-
kreditur lainnya, mengajukan hak untuk didahulukan dalam pelunasan hutang
yang menjadi prioritas hak dari kreditur yang ingin didahulukan dengan kreditur
lainnya.Pada asasnya janji menimbulkan perikatan, terutama adanya kesepakatan
kehendak yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian akan
menimbulkan suatu hubungan hukum yang mempunyai akibat hukum bagi para
pihak tersebut. Perjanjian yang disepakati oleh para pihak akan menimbulkan
hubungan hukum yang mengikat para pihak, serta menimbulkan hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi.
Perjanjian termasuk kategori perjanjian obligatoir dan karenanya
melahirkan hak perorangan yang diatur dalam Buku III Burgelijk Wetboek
(selanjutnya disingkat B.W.), menimbulkan akibat hukum bagi masing-masing
para pihak selain terikat kepada janjinya, juga menimbulkan hak dan kewajiban
bagi para pihak secara timbal balik.175
Bahwa konsekuensi dari perjanjian yang
telah disepakati menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan
mengikat para pihak sampai batas waktu yang telah disepakati bersama.
175
Herowati Poesoko, loc.cit
137
Dalam Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan “segala benda pihak yang
berutang, baik yang bergerak maupun yang takbergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatannya perseorangan.” Undang-Undang memberikan perlindungan bagi
semua kreditur dalam keududukan yang sama, dari Pasal 1131 KUHPerdata dapat
disimpulkan asas-asas hubungan ekstern kreditur sebagai berikut:
1. Seorang kreditur boleh mengambil pelunasan dari setiap bagian dari harta
kekayaan debitur;
2. Setiap bagian kekayaan debitur dapat dijual guna pelunasan tagihan
kreditur; dan
3. Hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan harta benda debitur saja,
tidakdengan “person debitur”.176
Asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap hutangnya,
tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak
maupun tetap jika perlu dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (asas Schuld dan
Haftung).177
Bahwa asas ini menitikberatkan kepada tanggungjawab debitur
apabila tidak dapat memenuhi pembayaran kewajibannya, debitur harus
memberikan benda harta kekayaan untuk melunasi kewajibannya tersebut. Asas
ini sangat adil, sesuai dengan asas kepercayaan di dalam hukum perikatan, dimana
setiap orang memberikan hutang kepada seseorangpercaya, bahwa ia akan
memenuhi prestasinya dikemudian hari, setiap orang wajib memenuhi janjinya
merupakan asas moral yang oleh pembentuk Undang-Undang dikuatkan sebagai
norma hukum.178
Bahwa asas ini sangat penting bagi hukum perikatan, adanya
176
J. Satrio I, loc.cit 177
Mariam Darus Badrulzaman, loc.cit 178
Mariam Darus Badrulzaman, loc.cit
138
tanggungjawab berupa kewajiban yang harus dipenuhi debitur untuk memenuhi
prestasi setelah ia diberikan suatu hak yaitu kredit.
Pada Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa “Kebendaan tersebut
menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya;
pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu
menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Apabila dalam
perjanjian terdapat seorang debitur yang mempunyai beberapa kreditur, maka
kedudukan para kreditur ini adalah sama, para kreditur ini dibayar berdasarkan
asas keseimbangan, yang masing-masing memperoleh piutangnya seimbang
dengan piutang kreditur lain (asas nonpondspondsgewijs), jika kekayaan debitur
tidak mampu untuk dipergunakan melunasi hutang debitur dengan sempurna.
Bahwa apabila dalam perjanjian terdapat beberapa kreditur maka kedudukan para
kreditur adalah sama, dalam hal kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi
hutang seluruhnya maka pembayaran pelunasan hutang kepada para kreditur akan
dibagi berdasarkan asas keseimbangan, sehingga masing-masing mendapatkan
pelunasan hutang yang seimbang.
Adapun dimaksud perkecualian dalam Pasal 1132 KUHPerdata adalah
bahwa undang-undang mengadakan penyimpangan terhadap asas keseimbangan
ini, jika ada perjanjian atau jika undang-undang menentukan.Penyimpangan yang
terjadi melalui perjanjian ialah jika ada perjanjian jaminan kebendaan sedangkan
penyimpangan karena undang-undang dinamakan privilege yaitu bukan
merupakan hak kebendaan, hanya merupakan hak untuk mendahulukan dalam
139
pelunasan/pembayaran piutang.179
Bahwa penyimpangan yang dimaksud karena
perjanjian yaitu adanya perjanjian jaminan, sedangkan penyimpangan karena
undang-undang yaitu adanya kedudukan istimewa kreditur terhadap kreditur
lainnya.Landasan bagi sahnya hak didahulukan dari pada kreditur-kreditur yang
lain yaitu adanya hak didahulukan, hak ini dapat diperoleh dengan adanya
perjanjian khusus antara debitur dan kreditur.180
Artinya perjanjian khusus disini
adalah perjanjian jaminan yang memastikan atau memberikan kedudukan
istimewa mendahului kepada kreditur dengan kreditur-kreditur lainnya.
Hak kreditur yang bentuknya prestasi sebagai kewajiban debitur dalam
menyerahkan pengembalian uang beserta bunganya kepada kreditur, masih
menunggu realisasinya dikemudian hari sesuai waktu yang disepakati, apabila
debitur tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi hutangnya, maka posisi
kreditur menjadi rawan akan kerugian yang diderita, terlebih lagi perjanjian
kredit hanya sebagai suatu perikatan yang hanya melahirkan hak
perseorangan, yang sifatnya relatif dan kedudukan kreditur sekedar sebagai
kreditur konkuren.181
Bahwa kreditur dalam hal ini bank tentunya bertindak hati-hati dan menghindar
sebagai kreditur konkuren, maka perlu mendayagunakan ketentuan-ketentuan
tentang lembaga jaminan, untuk mengantisipasi resiko manakala debitur tidak
memenuhi prestasinya yang akan merugikan kreditur.
Hak tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Dalam kenyataan,
banyak pihak pemberi hak tanggungan yang ternyata lalai atau sengaja melalaikan
kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya melakukan penjualan terhadap
barang jaminan. Dengan demikian perlu kiranya dikaji lebih jauh kedudukan
kreditur penerima tanggungan dalam hal terjadinya wanprestasi dari pemberi
179
Herowati Poesoko, loc.cit 180
Herowati Poesoko, loc.cit 181
J. Satrio III, op.cit. h.84
140
tanggungan.Menurut Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996 bahwa
Hak Tanggungan merupakan hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur terhadap kreditur-
kreditur lain.
Objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam
UUPA. Benda-benda (tanah) akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan
dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat sebagai berikut:182
1) Dapat dinilai dengan uang;
2) Harus memenuhi syarat publisistas;
3) Mempunyai sifat droit de suite apabila debitur cidera janji;
4) Memerlukan penunjukkan menurut UU.
Berkaitan dengan hal di atas yang dapat dijadikan objek hak tanggungan
adalah hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan menurut ketentuan
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agrariaadalah : hak milik (Pasal 25), hak guna usaha (Pasal 33), hak guna
bangunan (Pasal39), hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak
tanggungan (Pasal 41).
182
Salim HS, loc.cit
141
Hak tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu
perjanjian (perjanjian kredit) antara debitur dengan kreditur. Dalam perjanjian itu
diatur tentang hubungan hukum antara kreditur dan debitur, baik menyangkut
besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitur, jangka waktu pengembalian
kredit, maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan hak tanggungan.
Karena hak tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah
sebabnya, maka hak tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian
pokoknya.
Kredit yang diberikan oleh kreditur mengandung resiko, dalam setiap
pemberian kredit, bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa ada suatu
perjanjian tertulis. Maka dari itu diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai
keyakinan akan kemampuan debitur melunasi utangnya. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 8 UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan
dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai yang
diperjanjikan.
Para pihak (debitur, kreditur) selalu dibebani hak dan kewajiban. Suatu
perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut : sudut
kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-
hak atau manfaat, yang diperoleh oleh pihak lain, yaitu hak-hak menurut
dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu.183
Dalam suatu
perikatan yang menimbulkan hubungan hukum berkonsekuensi dengan adanya
183
Subekti I, loc.cit
142
hak dan kewajiban yang dipikul oleh para pihak, keduanya harus dipenuhi sesuai
dengan apa yang telah disepakati bersama. Jadi, hak tanggungan merupakan
jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
Maksud dari kreditur diutamakan dari kreditur lainnya, yaitu apabila
debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan dapat menjual barang
agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan utang debitur. Kedudukan
diutamakan tersebut tidak mempengaruhi pelunasan utang debitur terhadap
kreditur-kreditur lainnya. Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin
dengan hak tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu
antara kreditur dan debitur, yang meliputi hak kreditur untuk menjual lelang harta
kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan (objek hak
tanggungan) dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut
jika debitur cidera janji.
Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahului
daripada kreditur-kreditur yang lain (droit de preference) untuk mengambil
pelunasan dari penjualan tersebut, kemudian hak tanggungan juga tetap
membebani objek hak tanggungan di tangan siapa pun benda itu berada, ini berarti
bahwa kreditur pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda
tersebut, walaupun telah dipindahtangankan haknya kepada pihak lain (droit de
suite).Bahwa kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan ini sangat istimewa
yaitu dengan diberinya kedudukan yang diutamakan serta dilindungi oleh adanya
143
sifat droit de suite yaitu hak tanggungan tetap melekat pada objek hak tanggungan
dalam tangan siapapun objek tersebut berada.
Kreditur dapat mengajukan actio pauliana, yaitu hak dari kreditur untuk
membatalkan seluruh tindakan debitur yang dianggap merugikan dalam hal
terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak
kreditur.184
Bahwa apabila terjadi kenakalan yang dilakukan oleh debitur dengan
pengalihan tanpa sepengetahuan kreditur, maka kreditur memperoleh hak untuk
membatalkan segala tindakan hukum debitur yang dianggap merugikan kreditur.
Dengan demikian, dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditur tetap
diberikan hak-hak yang dapat menghindarkan dari praktik-praktik nakal debitur
atau kelalaian debitur.Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian
tanggungan seorang kreditur diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih
dahulu dari pihak pemberi tanggungan selain itu, pihak kreditur dapat pula
mengajukan actio pauliana dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan oleh
debitur tanpa izin kreditur.
3.4 Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan
Kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan dapat dikatakan sebagai
tanda bukti suatu hak atas tanah yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang
sama seperti putusan pengadilan, memiliki daya paksa apabila debitur wanprestasi
siap untuk dilakukannya pelaksanaan putusan layaknya putusan pengadilan.
184
Adrian Sutedi, loc.cit
144
Kekuatan eksekutorial tercermin dari adanya irah-irah dengan kata-kata “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.”
Jaminan adalah hak suatu benda yang diberikan oleh debitur (berhutang)
dan atau pihak ketiga kepada kreditur (berpiutang) sebagai tanggungan yang
diberikan debitur untuk menjamin pembayaran hutang debitur dalam suatu
perjanjian.Perjanjian jaminan timbul karena adanya perjanjian pokok, perjanjian
jaminan tidak dapat terlepas dari perjanjian pokok (sifat asessoir).Adanya
perjanjian pokok antara kreditur dan debitur maka kegunaan perjanjian jaminan
adalah untuk mengamankan kreditur manakala debitur wanprestasi, benda yang
dijadikan jaminan itulah sebagai penjaminnya.
Penjaminan adalah sebentuk pengalihan hak, dengan kondisi apabila si
terjamin telah membayar si berpiutang sesuai dengan kewajiban tertulisnya, maka
pengalihan haknya secara otomatis menajdi nihil.185
Penjaminan ini mengikuti
utangnya, sehingga jika piutangnya diperjual belikan, maka otomatis hak
pertanggungannya juga beralih ke pihak yang mendapatkan pengalihan hak
tagih.Menjaminkan suatu benda berarti melepaskan kekuasaan atas benda
tersebut.Kekuasaan untuk menjamin hutangnya yang akan dilepaskan.
Penjaminan merupakan pengalihan hak atas benda jaminan yang hanya sementara
sepanjang piutang kreditur belum lunas, pengalihan dilakukan dari debitur ke
kreditur, apabila debitur wanprestasi kreditur diberi hak untuk menjual benda
jaminan itu guna pelunasan hutang debitur, namun sebaliknya apabilapiutang
185
M. Khoidin, loc.cit
145
tersebut lunas maka posisi hak tersebut kembali kepada debitur.186
Bahwa
pemberian hak atas suatu benda kepada kreditur hanya sebatas memberikan
jaminan bahwa kredit yang telah diberikan kreditur akan dibayar oleh debitur
sesuai waktu yang telah disepakati, apabila kredit tersebut telah lunas, maka hak
tersebut akan kembali menjadi milik debitur, namun sebaliknya apabila debitur
wanprestasi maka benda tersebut dapat dijual oleh kreditur untuk pelunasan
hutang debitur.
Pihak kreditur mempunyai hak untuk menuntut agar debitur memenuhi
kewajibannya dan dimungkinkan menggunakan daya paksa sebagaimana yang
diatur oleh hukum apabila terjadi hal bahwa debitur wanprestasi/ingkar janji.187
Berarti apabila debitur wanprestasi/ingkar janji terhadap pembayaran
kewajibannya maka kreditur dapat mengeksekusi objek jaminan tanpa
memerlukan izin debitur. Eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan
atau mejalankan keputusan pengadilan.188
Retnowulan Sutantio mengartikan
eksekusi sebagai “pelaksanaan putusan”, yaitu pihak yang dimenangkan putusan
dapat memohon “pelaksanaan putusan” kepada pengadilan yang akan
melaksanakannya secara paksa (execution force).189
Bahwa pengeksekusian dapat
dilakukan secara paksa oleh pihak pengadilan hal tersebut berdasarkan hasil
putusan pengadilan yang dimenangkan oleh para pihak tersebut.
Sertifikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan
memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
186
Herowati Poesoko, loc.cit 187
Herowati Poesoko, loc.cit 188
Retnowulan Sutantio, loc.cit 189
Retnowulan Sutantio, loc.cit
146
Maha Esa”. Sepanjang mengenai hak atas tanah, sertifikat hak tanggungan ini
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti Groose
Acte Hypotheek.190
Kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan didasari
dengan adanya irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan,
sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai dengan
Pasal 14 ayat (2) dan (3) UU Hak Tanggungan. Eksekusi objek jaminan yang
adalah pelaksanaan hak kreditur pemegang hak jaminan terhadap objek jaminan,
apabila debitur cidera janji dengan cara penjualan objek jaminan untuk pelunasan
piutangnya,maka dari itu dapat dikatakan eksekusi tidak hanya berkaitan dengan
putusan pengadilan dan groose acte melainkan istilah eksekusi terdapat di bidang
hukum jaminan. Bahwa dalam hal terjadinya cidera janji oleh debitur, maka
kreditur dapat mengeksekusi dengan menjual objek jaminan yang digunakan
untuk pelunasan piutangnya.
Dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “apabila debitur
cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.” Hal ini
menegaskan bahwa kreditur diberikan hak khusus untuk menjual atas kekuasaan
sendiri apabila debitur cidera janji. Hak kreditur pertama untuk menjual barang-
barang tertentu milik debitur secara lelang tanpa terlebih dahulu mendapatkan fiat
190
Adrian Sutedi I, loc.cit
147
pengadilan disebut Parate Executie. Hak adalah hak khususyang diberikan oleh
kreditur pertama, secara pertama diberikan hak untuk melakukan penjualan
secara lelang tanpa mendapatkan fiat pengadilan terhadap objek jaminan untuk
pemenuhan pembayaran hutang debitur.
Maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya sertifikat hak tanggungan
sebagai perjanjian jaminan ini memberikan perlindungan terhadap kedudukan
kreditur apabila terjadi sengketa serta memberikan hak khusus yaitu hak pertama
kreditur untuk menjual barang yang dijadikan jaminan oleh debitur melalui lelang
karena sertifikat hak tanggungan ini memiliki kekuatan hukum yang sama dengan
putusan pengadilan tanpa terlebih dahulu mendapatkan fiat pengadilan.
148
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN PIHAK
PEMBELI TANAH
Pada bab ini, akan dibahas mengenai perlindungan hukum terhadap
kedudukan pihak pembeli tanah yang beritikad baik. Pembelian tanah walaupun
dilakukan dengan perjanjian di bawah tangan yang dilakukan oleh pihak pembeli
dengan penjual/pemilik tanah, telah menimbulkan suatu perbuatan hukum yang
berakibat adanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi diantara kedua pihak
tersebut.Dalam hal ini pihak pembeli telah memberikan prestasi kepada penjual
dalam bentuk pembayaran lunas tanah beserta rumah, tetapi penjual/pemilik tanah
belum memberikan sertifikat hak milik atas tanah tersebut.
Pada kenyataannya sertifikat tanah tersebut telah dibebankan hak
tanggungan pada PT. BPR Bank Kertiawan.Pemilik tanah berkedudukan sebagai
debitur pada Bank Kertiawan tidak dapat melunasi kewajiban hutangnya,
sehingga mengharuskan bank untuk melakukan pelelangan untuk melunasi hutang
debitur. Melihat kondisi tersebut pembeli tanah beritikad baik dengan membayar
sebagian hutang debitur. Adanya itikad baik pembeli tanah mengakibatkan tidak
dilakukannya proses pelelangan dan pihak pembeli tanah mendapatkan
perlindungan terhadap kedudukannya.
Adanya pembenaran teoritik sebagaimana disebutkan dalam literature
Soedharyo Soimin, Rachmadi Usman, D.Y Witanto. Deskripsi selanjutnya
sebagai berikut :
148
149
1. Pembelian tanah yang dilakukan dengan perjanjian dibawah tangan dengan
membayar lunas tanah yang sedang dibebani hak tanggungan. Pembelian
tanah dan rumah secara lunas dan perjanjiannya dilakukan di bawah
tangan tidak memberikan kekuatan kepastian hukum mengenai status
kepemilikan tanah bagi pihak pembeli, terlebih lagi status tanah sedang
menjadi jaminan dan pada proses sengketa dikarenakan debitur/pihak
pemilik tanah wanprestasi kepada kreditur/bank.
2. Perlindungan hukum pihak pembeli tanah dengan pembelian pembayaran
lunas tanah yang sedang dibebani hak tanggungan. Adanya itikad baik
pihak pembeli untuk membayar hutang debitur/pemilik tanah kepada
kreditur/bank, maka perlindungan hukum pihak pembeli tanah yaitu
sebagai kreditur layaknya kreditur konkuren dari piutang pembayaran
kredit debitur/pemilik tanah kepada bank.
4.1 Pembelian Tanah Yang Dilakukan Dengan Perjanjian Dibawah Tangan
Dengan Membayar Lunas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak
Tanggungan
Pengantar :
1. Jual Beli hak atas tanah harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah;
2. Atas Dasar tersebut menjadikan bukti bahwa telah terjadi jual beli sesuatu
hak atas tanah kemudian dibuatkannya dalam bentuk Akta Perjanjian Jual
Beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah;
150
3. Jual beli hak atas tanah yang dibuat hanya dalam bentuk perjanjian di
bawah tangan akan berakibat tidak dimilikinya kepastian hukum mengenai
status kepemilikan tanah bagi pihak pembeli.
4. Jika perjanjian jual beli hak atas tanah yang dilakukan di bawah tangan
dihadapkan dengan sertifikat hak tanggungan yang dimiliki oleh bank,
maka perjanjian jual beli tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sebagai
pembuktian kepemilikan hak atas tanah.
Suatu perbuatan dimana seorang menyerahkan uang untuk mendapatkan
barang yang dikehendaki secara sukarela sering disebut dengan istilah jual
beli.Terdapat 2 (dua) pihak dalam jual beli, yaitu pihak penjual (pemilik barang)
dan pihak pembeli (yang menyerahkan uang untuk mendapatkan barang dari
penjual). Dalam ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan “jual beli adalah
suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan.
Terdapatnya hak dan kewajiban masing-masing yang diperoleh para
pihak dalam jual beli tersebut.Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang
yang dijual, sedangkan pihak pembeli berkewajiban untuk membayar harga
barang yang dibeli kepada penjual. Jual beli adalah suatu persetujuan kehendak,
antara penjual/pembeli mengenai suatu barang dan harga, karena tidak mungkin
terjadi jual beli tanpa barang yang akan dijual dan tanpa harga yang dapat
disetujui antara dua belah pihak.191
Apabila tidak tercapainya kesepakatan, maka
191
Soedharyo Soimin, loc.cit
151
jual beli tidak akan pernah ada atau tidak akan terlaksana karena awal adanya
perbuatan hukum jual beli ini adalah dengan tercapainya persetujuan kehendak
untuk menjual barang yang dimiliki penjual, dan menentukan harga yang akan
diberikan oleh pembeli untuk mendapatkan barang tersebut.
Jual beliini hanya bersifat obligatoir, termasuk dalam perikatan yang
dianut di dalam Hukum Perdata.
Perjanjian jual beli meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan
hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak
untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui, dan di sebelah lain
meletakkan kewajiban kepeda si pembeli untuk membayar harga barang
sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang
yang dibelinya, hal tersebut merupakan suatu hak dan kewajiban secara
timbal balik antara kedua belah pihak, penjual dan pembeli.192
Pasal 19 UU Hak Tanggungan menentukan bahwa “jual beli tanah harus
dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT).” Artinya, jual beli hak atas tanah harus
dilakukan di hadapan PPAT.Hal demikian sebagai bukti bahwa telah terjadi jual
beli sesuatu hak atas tanah, dan selanjutnya PPAT membuat akta jual beli. Pasal
1868 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu akta otentik ialah suatu akta yang
didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akte
dibuatnya.” Jadi, yang membuat akta jual beli adalah pejabat umum.Pejabat ini
ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri.
192
Soedharyo Soimin, loc.cit
152
Benda-benda yang diperjualbelikan adalah harus benda-benda yang
berwujud saja.193
Dengan kata lain segala sesuatu yang dapat dijadikan objek jual
beli itu adalah harta benda atau harta kekayaan, atau segala sesuatu yang bernilai
kekayaan, termasuk pula misalnya perusahaan dagang, warisan, atau segala benda
yang dapat bernilai harta kekayaan. Ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata
menyebutkan “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat
menjadi pokok persetujuan.” Dengan demikian objek suatu persetujuan dapat
dijadikan objek jual beli, jual beli terjadi setelah hak milik itu berpindah sesudah
barang yang dibeli itu diserahkan.Sebelum dilakukan “balik nama” hak atas tanah
tersebut belum beralih/pindah kepada pembeli, hal ini berarti pemindahan hak atas
tanah masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain yang berupa penyerahan
(levering) yang harus dibuatkan akta oleh pejabat yang berwenang.194
Terdapat penyimpangan dari aturan ini, yaitu adanya itikad tidak baik
yang dilakukan debitur/pemilik tanah dengan pihak kreditur/bank serta pihak lain
selaku pembeli tanah. Jual beli hak atas tanah hanya dilakukan dengan membuat
perjanjian di bawah tangan, dan keteledoran pihak pembeli tanah telah
memberikan pelunasan harga tanah dan rumah tersebut.Hasil pembayaran yang
diberikan kepada pihak pembeli tanah tidak diberikan kepada bank untuk
pelunasan kredit debitur/pemilik tanah yang pada akhirnya tanah dan bangunan
haruslah dieksekusi guna untuk melunasi kredit debitur/pemilik tanah.
Peralihan hak atas tanah, pemerintah telah mengaturnya untuk harus
dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat
193
Soedharyo Soimin,loc.cit 194
Wntijk Saleh, loc.cit
153
PPAT) karena peralihan hak atas tanah tidak sama dengan peralihan benda-benda
lainnya, yang biasa secara dibawah tangan bahkan secara lisan.195
Dalam
kenyataannya masih banyak masyarakat yang masih melakukan peralihan hak,
seperti jual beli hanya di bawah tangan tidak dilakukan dengan akta PPAT. Jual
beli tersebut hanya dilakukan dengan cara membayar lunas harga tanah dan
diserahkan sertifikatnya dengan bukti pembayaran berupa kuitansi. Pembeli
merasa telah cukup dengan menerima sertifikat dan tanah dikuasai, meskipun
dalam sertifikat tersebut masih tercantum nama pemilik lama. Jual beli yang
hanya dilakukan di bawah tangan demikian tidak dapat digunakan sebagai dasar
pendaftaran peralihan hak untuk balik nama atas nama pembeli. Agar jual beli
dimaksud dapat dilakukan pendaftaran peralihannya di Kantor Pertanahan, maka
jual beli tersebut harus dibuat dengan akta jual beli oleh PPAT, termasuk
perbuatan hukum peralihan lainnya.
Pada kasus yang terjadi, Perjanjian Jual Beli yang dibuat dibawah tangan
dan bukti pembayaran lunas tanah dan rumah yang dimiliki pihak pembeli tanah,
tidaklah memiliki kekuatan hukum yang kuat bagi kedudukan pembeli tanah
sebagai tanda bukti kepemilikan hak atas tanah apabila dihadapkan dengan
sertifikat hak tanggungan yang dimiliki oleh bank, karena pada kenyataannya
sebelum dibangunnya rumah pada tanah milik debitur/pemilik tanah, debitur
memberikan agunan 2 sertifikat hak milik tanah tersebut pada bank untuk
dijadikan jaminan atas fasilitas kredit yang telah diberikan oleh bank dan
mengikatnya menjadi satu hak tanggungan.
195
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit
154
Pemberian hak tanggungan terjadi bilamana sebelumnya didahului
adanya perjanjian pokok berupa perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum
utang-piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan, sesuai dengan
sifat accessoir dari perjanjian jaminan hak tanggungan. Perjanjian pokok yang
telah dilakukan antara kreditur (bank) dan debitur (pemilik tanah) untuk
memperoleh fasilitas kredit ini adalah perjanjian kredit yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak kemudian diikuti dengan pengikatan jaminan yaitu
pembebanan hak tanggungan atas jaminan yang diberikan debitur/pemilik tanah.
Secara tegas dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Hak Tanggungan
bahwa “utang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dapat berupa
utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau
jumlah pada saat permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan dapat ditentukan
berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan
hubungan utang-piutang yang bersangkutan.” Oleh karena itu, berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Hak Tanggungan, sepanjang dalam
perjanjian kredit sudah ditentukan (tertentu) jumlah pinjamannya, maka hak
tanggungan dapat menjamin utang yang belum ada, tetapi sudah diperjanjikan
dalam perjanjian kredit, yang kemudian hari akan melahirkan perjanjian utang
piutang secara riil. Bahwa hak tanggungan juga mencakup hutang yang belum ada
tetapi sudah diperjanjikan dalam perjanjian kredit, seperti jumlah bunga yang
akan dibayar setiap bulannya.
Dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “apabila debitur
cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
155
objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.” Hal ini
menegaskan bahwa kreditur diberikan hak khusus untuk menjual atas kekuasaan
sendiri apabila debitur cidera janji.
Kemudian pada Pasal 7 UU Hak Tanggungan yang menegaskan “Hak
Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut
berada.” Artinya benda-benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu tetap
terbebani Hak Tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada.Pasal 20
ayat (1) huruf b menyatakan bahwa “apabila debitur cidera janji, maka
berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2), obyek hak tanggungan dijual
melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan
hak mendahului dari pada kreditur lain.”
Sertifikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan
memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.” Sertifikat hak tanggungan ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dan berlaku sebagai pengganti Groose Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak
atas tanah.196
Kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan didasari dengan
adanya irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan, sehingga
apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan
196
Adrian Sutedi, loc.cit
156
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai dengan Pasal 14
ayat (2) dan (3) UU Hak Tanggungan.
Dengan adanya ketentuan tersebut diatas kreditur (bank) sebagai
pemegang hak tanggungan, apabila debitur wanprestasi dapat melakukan eksekusi
dengan penjualan benda jaminan secara langsung melalui kantor lelang negara
tanpa perlu persetujuan pemilik jaminan.Perbuatan wanprestasi yang dilakukan
oleh debitur lambat laun pasti akan menyebabkan kredit bermasalah pada bank.
Apabila kredit bermasalah tidak ditangani secara tuntas, dikhawatirkan dapat
menjadi salah satu penghambat pertumbuhan kredit perbankan yang pada
gilirannya dapat mengganggu pencapaian pertumbuhan ekonomi. Kredit
bermasalah harus secepatnya diselesaikan agar kerugian yang lebih besar dapat
dihindari. Apabila kredit tetap tidak dapat diselamatkan untuk menjadi lancar
kembali, maka bank akan mengambil tindakan untuk mengeksekusi benda
jaminan. Pada saat ini bank kami sedang dihadapkan dengan kredit bermasalah
yang diakibatkan oleh debitur wanprestasi, juga dihadapkan dengan permasalahan
didalam mengeksekusi benda jaminannya karena telah dijual dan dikuasai oleh
pihak lain.
Berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, bank memang memiliki hak
untuk mengeksekusi jaminan tersebut apabila debitur tidak membayar lunas
hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dan apabila objek jaminan telah
dijual dan dikuasai oleh pihak lain dalam hal ini bank akan terlindungi dengan
adanya Pasal 7 UU Hak Tanggungan, yakni benda-benda yang menjadi objek hak
tanggungan akan selalu terbebani hak tanggungan walaupun di tangan siapapun
157
objek tersebut berada. Akan tetapi apabila pihak pembeli tanah ingin
menyelamatkan tanahnya, pihak pembeli tanah dapat melalukannya dengan cara
membayar lunas hutang debitur sehingga hak tanggungan tersebut hapus karena
hapusnya utang piutang tersebut (pasal 18 ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan).
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1382 ayat 2 KUHPerdata menyatakan
bahwa “suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga,
yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas
nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau, jika ia bertindak atas
namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang”.
Asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap hutangnya,
tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak
maupun tetap jika perlu dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (asas Schuld dan
Haftung).197
Asas ini sangat adil, sesuai dengan asas kepercayaan di dalam hukum
perikatan, dimana adanya kepercayaan dari setiap orang yang memberikan hutang
kepada seseorang,yakni percaya debitur akan memenuhi prestasinya dikemudian
hari, setiap orang wajib memenuhi janjinya merupakan asas moral yang oleh
pembentuk Undang-Undang dikuatkan sebagai norma hukum.
Pada dasarnya yang menyebabkan kredit macet, sebernarnya murni dari
debitur itu sendiri karena melalaikan kewajibannya dan debiturlah yang
seharusnya bertanggungjawab atas kelalaian yang telah dilakukannya. Istilah
tanggungjawab negara dituangkan dalam dua istilah yang berbeda, yaitu ;
Responsibility: lebih menunjuk kepada idikator penentu lahirnya
tanggungjawab yaitu standar perilaku yang telah ditetapkan terlebih dahulu
197
Mariam Darus Badrulzaman, loc.cit
158
dalam bentuk kewajiban yang harus diataati serta lahirnya suatu
tanggungjawab, serta Liability: lebih menunjuk kepada akibat yang timbul
dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar itu, dan bentuk tanggungjawab
yang harus diwujudkan dalam kaitan dengan akibat atau kerugian yang timbul
akibat kegagalan memenuhi kewajiban tersebut, yaitu pemulihan (legal
redress).198
Oleh sebab debitur/pemilik tanah melepas tanggungjawabnya, pihak
pembeli tanah yang merasa posisinya terdesak bersedia untuk memikul sebagian
tanggungjawab debitur/pemilik tanah. Melihat dari adanya itikad baik pembeli
tanah, maka bank memberikan kebijakan dengan adanya penggantian perjanjian
kredit lama dengan yang baru kemudian diikuti dengan peng-royaan terhadap
sertifikat hak tanggungan dan diikat kembali dengan hak tanggungan untuk 1
(satu) bidang tanah yang tersisa, dengan konsekuensi pihak pembeli tanah yang
bersedia membayar hutang debitur sebagian, akan mendapatkan haknya yaitu
diberikan sertifikat kepemilikan tanah untuk menjalankan proses balik nama, dan
untuk sebagian hutang debitur/pemilik tanah bank akan tetap menjalankan proses
eksekusi apabila dalam perjalanannya sebagian hutang debitur yang baru nantinya
mengalami kemacetan seperti kredit yang sebelumnya.
Bertitik tolak mengenai hal tersebut dapat dikatakan bahwa
debitur/pemilik tanah tidak dapat terlepas begitu saja dengan tanggungjawabnya.
Tindakan diam debitur/pemilik tanah pada saat proses pengeksekusian
menimbulkan tanggung jawab baru bagi debitur/pemilik tanah. Debitur/pemilik
tanah pada saai ini memiliki tanggung jawab (liability) tambahan yakni :
1. Tanggung jawab terhadap bank untuk melanjutkan sebagian hutang yang
belum terlunasi;
198
Ida Bagus Wyasa Putra, loc.cit
159
2. Tanggung jawab mengenai pengembalian uang dari pihak pembeli tanah
yang timbul karena 1 (satu) pihak pembeli tanah bersedia membayar
hutang debitur sebagian;
3. Tanggung jawab dalam ranah hukum pidana, yang timbul dikarenakan
pihak pembeli tanah ke-2 (dua) mengambil tindakan melaporkan kepada
pihak kepolisian berdasarkan Surat Laporan No. LP/376/VI/2010/Dit
Reskrim, dalam perkara dugaan tindak pidana penggelapan uang
pembayaran tanah/rumah.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pembelian tanah dengan
perjanjian di bawah tangan dengan membayar lunas tanah yang sedang dibebani
hak tanggungan, berakibat pembeli tanah tidak dapat menggunakan jalur hukum
memaksa untuk menyelamatkan tanah dan rumah yang telah dibelinya, karena
pihak pembeli tanah ini berada pada posisi yang sangat lemah, disebabkan tidak
dimilikinya kepastian terhadap status kepemilikan tanah yang kuat, yang hanya
dapat menggunakan jalur hukum memaksa debitur untuk membayar hutangnya
berdasarkan perjanjian utang piutang hanyalah bank dengan berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut diatas.
4.2 Perlindungan Hukum Pihak Pembeli Tanah Dengan Pembelian
Pembayaran Lunas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan
Pengantar :
1. Sengekta yang ditimbulkan dari adanya itikad tidak baik salah satu pihak
(debitur/pemilik tanah) dalam perjanjian dapat diselesaikan dengan
melalui jalur litigasi (pengadilan) atau non litigasi (di luar pengadilan).
160
2. Jika ditemukan adanya itikad tidak baik dari salah satu pihak, baik dalam
pembuatan ataupun pelaksanaan perjanjian maka pihak yang beritikad baik
akan mendapatkan perlindungan.
3. Itikad baik yang dilakukan oleh pihak pembeli tanah dengan membayar
sebagian hutang milik debitur/pemilik tanah kepada bank, mendapatkan
perlindungan dalam hal penanggungan (Pasal 1491 dan 1492 KUH
Perdata) dan ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata).
Terjadinya sengketa yang timbul karena adanya itikad tidak baik dari
debitur yaitu wanprestasi terhadap bank dan wanprestasi terhadap pembeli tanah
yang telah membayar lunas tanah dan rumah tersebut, dapat diselesaikan melalui
jalur pengadilan maupun luar pengadilan, yang lazim disebut Alternative Dispue
Resolution (ADR) (Alternatif Pengelesaian Sengketa). Pembuatan perjanjian-
perjanjian sehingga melahirkan suatu perbuatan hukum dan mengakibatkan
timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antara para pihak tersebut
haruslah memberikan kepastian hukum diantara mereka yang membuat perjanjian
agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak yang terkait.Berdasarkan teori
kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu:
Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara
terhadap individu.199
Pada perjanjian kredit dengan penjaminan hak tanggungan antara
kreditur dan debitur, telah tercantum jelas mengenai hak dan kewajiban para pihak
199
Peter Mahmud Marzuki, loc.cit
161
yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Mengenai kepastian dalam
keamanan hukum, kreditur sebagai pemegang hak tanggungan mendapatkan
kepastian terhadap kedudukannya di dalam pengambilan pelunasan piutangnya
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan yang
menyatakan bahwa:
Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-
kreditur lainnya.
Pemegang hak tanggungan berkedudukan sebagai kreditur preferent dan
dengan sendirinya mempunyai hak preferensi terhadap kreditur-kreditur lain (doit
de preference).200
Kedudukan sebagai kreditur preferent berarti kreditur yang
bersangkutan didahulukan di dalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi
benda pemberi jaminan tertentu yang dalam hubungannya dengan hak tanggungan
secara khusus diperikatkan untuk menjamin tagihan kreditur.201
Dengan demikian
kedudukan sebagai kreditur preferent baru mempunyai peranannya dalam suatu
eksekusi.
Pada sisi lain pada perjanjian Jual Beli yang dilakukan oleh debitur
sebagai pemilik tanah dengan pembeli tanah A dan B dilakukannya dengan
perjanjian di bawah tangan dan terdapat kwitansi bukti lunas pembayaran
sejumlah uang atas pembelian tanah dan rumah. Kepastian mengenai perbuatan
200
Rachmadi Usman, loc.cit 201
J. Satrio, loc.cit
162
apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan tersebut telah tercantum
di dalam perjanjian yang mereka buat. Tetapi pada kenyataannya tanah tersebut
masih terbebani hak tanggungan pada bank dan debitur/pemilik tanah tidak
menyerahkan hasil penjualan tanah tersebut kepada bank, sehingga
debitur/pemilik tanah wanprestasi pada bank.
Karena perjanjian jual beli hanya dilakukan dengan dibuatnya perjanjian
di bawah tangan dengan tidak terjadi dihadapan pejabat yang berwenang
mengenai hal tersebut, maka hal ini tidak termasuk di dalam jual beli benda-benda
tertentu, terutama mengenai objek benda-benda tidak bergerak yang pada
umumnya memerlukan suatu akta jual beli (Pasal 19 UU Hak Tanggungan).
Sehingga tidak memberi kepastian hukum mengenai kedudukan pihak pembeli
tanah (dapat dikatakan dilanggarnya hak pembeli tanah).Berdasarkan hal tersebut,
mengenai kepastian keamanan, pembeli tanah yang telah membayar lunas tanah
dan rumah berdasarkan perjanjian di bawah tangan tidak memiliki kepastian
hukum di dalam kedudukannya mempertahankan status tanah dan rumah yang
telah dibelinya.
Itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum
perjanjian.Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)
bahwa “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya
dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan substansi
perjanjian/kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau
kemauan baik dari para pihak. Jika ditemukan adanya itikad tidak baik dari salah
satu pihak yang membuat perjanjian, baik dalam pembuatan maunpun dalam
163
pelaksanaan perjanjian maka pihak yang beritikad baik akan mendapat
perlindungan hukum.
Adanya itikad baik pihak pembeli tanah yang bersedia membayar
sebagian hutang milik debitur/pemilik tanah kepada bank, maka dalam
perlindungannya tercantum dalam Pasal 1491 KUHPerdata memberikan
perlindungan berupa penanggungan bahwa “penanggungan yang menjadi
kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu
pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram; kedua terhadap
adanya cacad-cacad barang tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa
hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya.”
Kemudian pada Pasal 1492 KUHPerdata menyatakan bahwa “meskipun
pada waktu penjualan dilakukan tiada dibuat janji tentang penanggungan, namun
si penjual adalah demi hukum diwajibkan menanggung si pembeli terhadap suatu
penghukuman untuk menyerahkan seluruh atau sebagian benda yang dijual
kepada seorang pihak ketiga, atau terhadap beban-beban yang menurut keterangan
seorang pihak ketiga dimilikinya atas benda tersebut dan yang tidak diberitahukan
sewaktu pembelian dilakukan.” Kemudian terhadap pembeli tanah yang beritikad
baik atau karena salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dalam perjanjian maka
dapat menerima ganti kerugian sesuai ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata yaitu
bahwa “pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia,
jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak lain untuk memenuhi
persetujuan, ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai
penggantian biaya, kerugian dan bunga.”
164
Perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum berbahasa Belanda
dikenal dengan sebutan “rechtbescheming van de burgers”.202
Pendapat ini
menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa
Belanda. Kata perlindungan mengandung pengertian terdapat suatu usaha untuk
memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah
dilakukan. Philipus M. Hadjon membagi dua macam bentuk perlindungan hukum
yaitu perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif.203
Preventif artinya
perlindungan yang diberikan sebelum terjadinya sengketa, artinya perlindungan
hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya
perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang
muncul apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap norma-norma hukum dalam
peraturan perundang-undangan.
Terpecahkannya permasalahan kredit pada PT. BPR Bank Kertiawan ini
dikarenakan adanya itikad baik pihak bank, dengan melakukan cara represif guna
menyelesaikan persengketaan dengan menempuh jalur kekeluargaan yaitu
pendekatan-pendekatan dengan para pihak yang terkait, sehingga muncul itikad
baik dari pihak pembeli tanah yang bersedia membayar hutang debitur sebagian,
dan tidak dilanjutkannya proses pengeksekusian yang mengakibatkan hilangnya
tanah dan rumah yang telah dibeli pihak pembeli tanah. Dengan demikian
perlindungan terhadap kedudukan yang dapat diperoleh pihak pembeli tanah yang
telah beritikad baik berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, yaitu : Setelah
dibayarnya sebagian hutang debitur, pihak pembeli tanah memiliki hak untuk
202
Philipus M.Hadjon, loc.cit 203
Philipus M.Hadjon, loc.cit
165
mendapatkan bukti sertifikat hak milik tanah untuk dilanjutkan dengan proses
balik nama yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang; serta pihak pembeli
tanah berkedudukan sebagai kreditur (layaknya kreditur konkuren karena hanya
termasuk perjanjian jual beli secara umum), dalam hal menuntut pengembalian
uang hasil pembayaran sebagian hutang debitur/pemilik tanah kepada bank.
166
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis, berikut disajikan kesimpulan
yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini, yakni :
1. Penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang
dibebani Hak Tanggungan didasarkan pada ketentuan Pasal 6 UU Hak
Tanggungan, “apabila debitur cidera janji pemegang hak tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut.” Jika benda yang dijadikan objek
jaminan telah dijual oleh debitur kepada pihak lain, bank tetap dapat
mengeksekusi objek jaminan tersebut, hal ini didasarkan pada ketentuan
Pasal 7 UU Hak Tanggungan yakni “Hak Tanggungan tetap mengikuti
obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada”. Cara
penyelesaian sengketa yang ditempuh oleh bank yakni dengan menempuh
jalur non litigasi dengan cara konsultasi dan negosiasi kepada para pihak
yang terkait.
2. Perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah yang
beritikad baik atas pembelian dengan pembayaran lunas tanah yang telah
dibebani hak tanggungan, adalah pembeli tanah memiliki hak untuk
mendapatkan seutuhnya kepemilikan tanah dengan diberikannya sertifikat
166
167
hak milik atas tanah, selain itu pihak pembeli tanah mempunyai hak tagih
kepada debeitur/pemilik tanah (sebagai kreditur konkuren) terhadap
piutang pembayaran kredit debitur/pemilik tanah kepada bank, dan
debitur/pemilik tanah secara hukum wajib membayar hutangnya sebagai
bentuk tanggung jawab dari kelalaian yang telah dilakukan.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, terdapat beberapa saran yang
penulis dapat berikan, yaitu :
1. Kepada masyarakat disarankan agar perjanjian jual beli atas tanah dibuat
dihadapan pejabat umum yang berwenang yaitu Notaris/PPAT, sehingga
dapat terjaminnya kepastian hukum terhadap kedudukan para pihak (pihak
pemilik tanah dan pihak pembeli tanah), dari sengketa atas jual beli tanah
yang bersangkutan dapat diminimalisir.
2. Kepada masyarakat disarankan agar bersikap lebih selektif dan lebih
berhati-hati, sehingga tidak tertipu oleh developer dengan langsung
memberikan pembayaran lunas terhadap tanah dan rumah sebelum
terjadinya penyerahan bukti kepemilikan tanah.
168
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Ali, Achmad, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(JudicialPrudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence) ; Volume 1 Pemahaman awal. Kencana, Jakarta
Ali, Zainuddin, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ashshofa, Burhan, 2004. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta.
Spagnola, A., Linda, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principles and
Practical Applications), McGraw-Hill Companies, United States.
Badudu-Zain, 1996.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Bahder Johan, Nasution, 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Mandar Maju,
Bandung.
Darus Badrulzaman, Mariam, 1997. Mencari Sistem Hukum Benda
Nasional.Alumni, Bandung.
, 2000, “Permasalahan Hukum Hak Jaminan” dalam Hukum Bisnis,
volume 11.
,2009,Serial Hukum Perdata Buku Kedua; Kompilasi Hukum Jaminan.
Mandar Maju, Bandung.
Effendi, Bachtiar, 1993.Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah. Alummi,
Bandung.
Elliott, Catherine and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Education
Limited, England.
Fuady, Munir, 2013. Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory). Kencana,
Jakarta.
Gautama, Sudargo, 1990. Tafsiran undang-undang pokok agraria. Citra aditya
bakti, bandung.
168
169
Harsono, Boedi, 1997. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukkan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Cet. Ketujuh,
Djambatan, Jakarta.
, 2007. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan UUPA Isi dan
Pelaksanaannya. Jambatan, Jakarta.
Hasan, Djuhaendah, 1997. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda
Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas
Pemisahan Horizontal (Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya
Lembaga Hak Tanggungan). Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hadi, Sutrisno, 1987. Metodelogi Riset Nasional. Akmil, Magelang.
,2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada.
Ibrahim, Johanes., dan Lindawaty Sewu, 2004. Hukum Bisnis Dalam Persepsi
Manusia Modern. PT. Refika Aditama, Bandung.
Joses Sembiring, Jimmy, 2011. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan.
Visimedia, Jakarta.
Kasmir, 2012.Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Rajawali Pers, Jakarta.
Khoidin, M., 2005.Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan. LaksBang,
Yogyakarta.
Mahmud Marzuki, Peter, 2006. Penelitian Hukum. Kencana Prenada, Jakarta.
, 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1996, Eksekusi Objek Hak Tanggungan Permasalahan
dan Hambatan,Yogyakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Mustafa, Bacshan.,Ragawino, Bewa., Priatna, Yaya, 1982. Azas-Azas Hukum
Perdata dan Hukum Dagang. Edisi Pertama, Armico, Bandung.
Hadjon, M.,Philipus, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina
Ilmu, Surabaya.
170
Pasaribu, Cahiruman., dan Suhrawardi K.Lubis, 1996. Hukum Perjanjian Dalam
Islam. Sinar Grafika, Jakarta.
Perangin, Effendi, 1991. Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit.
Rajawali Pers, Jakarta.
, 1994. Praktik Jual Beli Tanah. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Poesoko, Herowati, 2007. Parate Executie Obyek Hak Tanggungan
(Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT).
LaksBang PRESSindo.Yogyakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 1985. Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu.
Cet.VIII, Sumur, Bandung.
Putra, Ida Bagus Wyasa, 2001. Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak
Komersialisasi Ruang Angkasa. PT. Refika Aditama, Bandung.
Mallor, P.,Jane, et.al, 2007.Business Law; The Ethical, Global, And E-Commerce
Environment. McGraw Hill Companies,Inc., New York.
Raharjo, Satjipto, 2000. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Richards, Paul, 2004. Law Of Contract. Pearson Education Limited. England.
Ridwan, HR., 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Ruchiyat, Eddy, 1983. Pelaksanaan Landreform dan Jual Gadai Tanah,
Berdasarkan Undang-Undang No.56 Prp Th 1990. Armico, Bandung.
Saleh, Wntjik, 1977. Hak Anda Atas Tanah. Ghalia Indah, Jakarta.
Salim,HS., H2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Santoso Az, Lukman, 2011. Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank. Pustaka
Yustisia, Yogyakarta.
Santoso, Urip, 2005. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Prenada Media,
Jakarta.
Satrio, J., 1998. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan
Buku 2. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
171
, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra
Aditya Bakti, Bandung
, 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Sautama Hotma Bako, Ronny, 1995.Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap
Produk Tabungan dan Deposito. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soedewi Masjchoen Sofwan, Sri,Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok
Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta.
Soehino, 1998. Ilmu Negara. Liberty, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, 1983,Hukum Adat Indonesia. Rajawali, Jakarta
, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung.
, 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemardjono, SW.,Maria, 2009.Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial dan
budaya. Kompas, Jakarta.
Soeroso, R., 2010. Perjanjian Di Bawah Tangan, Pedoman Praktis Pembuatan
Dan Aplikasi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.
Soimin, Soedharyo, 2004. Status Hak Dan Pembebasan Tanah. Sinar Grafika,
Jakarta.
Subekti, R., 1982. Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And
Studies. Third Edition, Jakarta.
, 1987, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
, 1991, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sudarsono, 1999.Kamus Hukum. PT.Rineka Cipta, Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2010. Hukum Hak Tanggungan. Sinar Grafika, Jakarta.
, 2010. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Sinar Grafika,
Jakarta.
Sri Wibawanti, Erna, dan R.Murjiyanto, 2013. Hak Atas Tanah Dan Peralihannya.
Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
172
Usfunan, Johanes, 2002. Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat. Djambatan,
Jakarta.
Usman, Rachmadi, 2009. Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika, Jakarta.
, 2012. Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik. Sinar Grafika,
Jakarta.
Widjaja, Gunawan, dan Kartini Muljadi, 2003. Penanggungan Utang dan
Perikatan Tanggung Menanggung. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Witanto, D.Y, 2011, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata Di
Lingkungan Peradilan Umum Dan Peradilan Agama Menurut PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
Alfabeta, Bandung.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum (BW) Terjemahan R.Subekti dan R. Tjitrosudibio,
2009, Cetakan XXXX, Pradnya Paramita, Jakarta.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3632)
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790)
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : I Wayan Murja, SE., MM
Jabatan : Komisaris PT. BPR Bank Kertiawan
Gianyar-Bali
Tempat/ Tanggal Lahir : Gianyar, 25 September 1961
Alamat : Jl. Buana Raya Gang Buana Kartika No.23
2. Nama : Ni Made Sumartini, SE
Jabatan : Direktur Utama PT. BPR Bank Kertiawan
Gianyar-Bali
Tempat/Tanggal Lahir : Tabanan, 22 Maret 1967
Alamat : Perum. Taman Krisna Permai No. 18
Dalung-Kuta-Badung
3. Nama : I Ketut Sadiasa, Amd
Jabatan : Kepala Bidang Kredit PT. BPR Bank
Kertiawan Gianyar-Bali
Tempat/Tanggal Lahir : Singaraja, 1 Januari 1971
Alamat : Jl. Akasia XVI Gang Markisa No. 10
Denpasar
4. Nama : I Made Arya Amitaba, SE., MM
Jabatan : Direktur Utama PT. BPR Kanti
Tempat/Tanggal Lahir :Gianyar, 25 April 1972
Alamat :Br. Palak Sukawati Gianyar
5. Nama : Cokorda Gede Mahadewa, SE.,MBA.,MM
Jabatan : Direktur Utama PT. BPR Bank Padma
Tempat/Tanggal Lahir : Gianyar, 28 Februari 1965
Alamat : Jl. Tukad Badung XII No.20P Denpasar
6. Nama : Drs. I Made Suarja
Jabatan : Direktur Utama PT. BPR Udary
Tempat/Tanggal Lahir : Gianyar, 31 Oktober 1969
Alamat : Jl. Pertukala No. 3 Denpasar
HASIL WAWANCARA
HASIL WAWANCARA – LOKASI : PT. BPR BANK KERTIAWAN,
KABUPATEN GIANYAR
NAMA INFORMAN : I WAYAN MURJA, SE., MM (KOMISARIS UTAMA)
1. Menurut bapak, bagaimana awal proses terjadinya kesepakatan mengenai
perjanjian kredit yang dilakukan antara bank dengan debitur?
Jawab :
Bahwa pada tanggal 18 September 2008 telah terjadi suatu kesepakatan
perjanjian antara PT. BPR Bank Kertiawan (Kreditur) dengan Developer
(Debitur), dalam hal ini perjanjian kredit atas fasilitas kredit berupa kredit
Konsumtif sebesar Rp. 400.000.000,- selama jangka waktu 3 bulan
terhitung sejak tanggal 18 September 2008 sampai dengan 18 Desember
2008. Agunan yang dijaminkan adalah 2 bidang tanah milik debitur.
Adapun pihak yang terkait dalam perjanjian kredit tersebut adalah :
a. PT. BPR BANK KERTIAWAN memberikan pinjaman dana (kredit)
sebagai pihak kreditur selanjutnya disebut pihak I.
b. Pihak kedua yakni debitur (seorang developer) dengan memberikan
agunan yaitu jaminan 2 sertifikat kepemilikan hak atas tanah milik
debitur.
Alasan debitur meminjam dana (kredit) adalah untuk membangun rumah
di atas tanah-tanah milik debitur dengan tujuan nantinya akan di jual
kembali kepada pihak lain (user/nasabah/pembeli usaha debitur), sehingga
dana hasil penjualan usaha debitur tersebut nantinya akan digunakan untuk
melunasi pinjaman kredit debitur
2. Apakah sebelum memberikan fasilitas kredit yang dimohon oleh debitur,
bank melakukan penilaian terhadap standar kelayakan pemberian kredit
kepada debitur?
Jawab :
Bank telah melakukan penilaian analisis standar kelayakan pemberian
kredit sesuai kriteria bank (dengan standar 5C yaitu : (character, capital,
capacity, collateral, condition) dan memeriksa SKPT (Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah), guna memeriksa keabsahan sertifikat kepemilikan
atas tanah yang diberikan oleh debitur. Hasil analisis dinyatakan
permohonan kredit tersebut adalah layak untuk diberikan, maka
terlaksanalah pelepasan kredit tersebut berdasarkan perjanjian dan juga
pada saat itu dua (2) sertifikat kepemilikan atas tanah dibuatkan menjadi
satu Akte Pemberian Hak Tanggungan sehingga menjadi satu sertifikat
hak tanggungan, yang ditandatangani oleh debitur selaku pemilik tanah,
bank selaku pemegang hak tanggungan, dua orang saksi dan juga PPAT
(Pejabat Pembuat Akta Tanah) pada kantor notaris yang wewenangnya
meliputi dimana tanah tersebut terletak, atas nama bank dan didaftarkan di
Badan Pertanahan Nasional.
3. Cara-cara atau tindakan apakah yang dilakukan bank untuk pertama kali,
setelah mengetahui bahwa debitur wanprestasi dan tanah yang dijadikan
objek jaminan telah dialihkan oleh pihak lain?
Jawab :
Tindakan yang ditempuh bank untuk pertama kali adalah mengingatkan
tunggakan kredit debitur dengan melakukan pendeketan secara
kekeluargaan, via telpon, dan bersamaan dengan itu memberikan Surat
Pemberitahuan/SP (Somasi) sesuai dengan koletibitas kredit debitur serta
mengupayakan adanya penyelamatan kredit debitur. Sampai pada akhirnya
bank menyatakan bahwa fasilitas pembiayaan kredit yang diberikan
kepada debitur adalah Non Perfoming Loan (bermasalah), dan debitur
tidak kooperatif di dalam menyelesaikan masalah, mengharuskan bank
melakukan tindakan pengeksekusian terhadap benda jaminan walaupun
tanah yang dijadikan jaminan telah dikuasai oleh pihak lain.
NAMA INFORMAN : NI MADE SUMARTINI, SE (DIREKTUR UTAMA)
1. Menurut Ibu, bagaimanakah posisi bank pada saat itu serta atas dasar apa
debitur tersebut dikategorikan Non Perfoming Loan?
Jawab :
Bahwa pada kenyataannya tanah-tanah tersebut telah dibebankan hak
tanggungan atas nama kreditur (PT. BPR Bank Kertiawan) berdasarkan
perjanjian kredit tanggal 18 September 2008 dan sertifikat hak tanggungan
yang dimiliki oleh bank. Bank telah meyatakan pembiayaan fasilitas kredit
yang diberikan kepada debitur adalah Non Perfoming Loan (bermasalah)
karena tidak memenuhi kewajiban pembayaran sampai saat jatuh tempo
berturut-turut 3x (Pasal 5 angka 1 huruf e Ketentuan Perjanjian Kredit
Bank). Jadi, berdasarkan ketentuan dalam Perjanjian Kredit Bank Pasal 6
angka 3 menyatakan “Apabila debitur tidak menyelesaikan kreditnya
sebagaimana tersebut, bank berhak mengambil tindakan-tindakan hukum
berupa apapun yang dianggap baik atau diharuskan oleh ketentuan bank
dan atau Bank Indonesia dan atau ketentuan Undang-Undang / pemerintah
yang berlaku. Mengenai penguasaan benda jaminan yang dilakukan pihak
lain, bank terlindungi oleh Pasal 7 UU Hak Tanggungan.
NAMA INFORMAN : I KETUT SADIASA, AMD (KEPALA BIDANG
KREDIT)
1. Bagaimanakah kronologisnya serta upaya-upaya penyelesaian apakah
yang ditempuh bank?
Jawab :
Debitur tidak melakukan pembayaran kredit pada bulan pertama
pembayaran tersebut jatuh tempo, sehingga pinjaman atas nama debitur
digolongkan masuk dalam kolektibilitas 2 (perhatian khusus). Bank tidak
serta merta melakukan pengeksekusian atas objek jaminan, melainkan
mengambil tindakan dalam upaya penyelamatan kredit debitur terlebih
dahulu, yaitu dengan cara :
a. Bank Kertiawan memberikan kebijakan yaitu perubahan
(addendum) perjanjian kredit untuk penyelamatan kredit debitur
dengan masa laku 1 bulan (18 November 2008 sampai dengan 18
Desember 2008).
b. Bahwa debitur pernah mengajukan restrukturisasi atas pinjaman
debitur tersebut dengan cara melakukan pembayaran pokok sekali
sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan perubahan
(addendum) atas perjanjian kredit debitur dengan fasilitas kredit
sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) masa laku 3 (tiga)
bulan yaitu 26 Desember 2008 – 26 Maret 2009.
c. Permohonan perubahan (addendum) atas perjanjian kredit debitur
dilakukan kembali karena debitur tidak dapat membayar kewajiban
hutangnya dengan masa laku 3 (tiga) bulan yaitu 31 Maret 2009
sampai dengan 30 Juni 2009. Permohonan ini terus dilakukan
sampai pada kali terakhir perubahan (addendum) perjanjian kredit
dengan masa laku 6 (enam) bulan yaitu 31 Desember 2009 sampai
dengan 30 Juni 2010, debitur tidak juga membayar sisa hutang
tersebut kepada Bank Kertiawan.
d. Selama masa addendum terakhir tersebut tunggakan atas kewajiban
dari debitur sudah menjadi besar dan masuk dalam kolektibilitas
kurang lancar. Atas kondisi tersebut Bank Kertiawan telah
beberapa kali memberikan surat pemberitahuan kepada debitur
mengenai tunggakan yang harus diselesaikan dan suku bunga yang
dikenakan.
e. Bahwa sampai pada surat pemberitahuan ketiga debitur tetap tidak
mengindahkan upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Bank
dengan tetap tidak membayar hutangnya sehingga bank mengambil
keputusan untuk mengeksekusi benda jaminan tersebut. Pada saat
ini pinjaman debitur masuk pada kolektibilitas diragukan.
f. Sebelum bank hendak melaksanakan permohonan proses
pelelangan, ternyata salah satu pihak lain yang telah membeli tanah
dan rumah milik debitur, melaporkan debitur sebagai pemilik tanah
kepada pihak kepolisian dengan dugaan tindak pidana penggelapan
uang pembayaran tanah/rumah.
g. Dengan adanya pelaporan tersebut proses pelelangan terhadap
tanah dan rumah yang dijadikan objek jaminan di Bank Kertiawan
menjadi terhambat, oleh karena sertifikat hak milik tanah tersebut
harus dijadikan barang bukti dalam perkara tersebut, sehingga
status tanah dapat digolongkan bersengketa yang berakibat apabila
tanah pada posisi bersengketa, maka tidak dapat dilaksanakannya
proses pelelangan.
h. Selama menunggu proses penyidikan kepolisian hingga
dikembalikannya sertifikat hak milik atas tanah tersebut kepada
bank, dalam upaya penyelesaian kredit Bank Kertiawan mengambil
tindakan dengan tidak melalui jalur litigasi, tetapi melalui jalur non
litigasi yaitu terlebih dahulu bernegosiasi kepada debitur dan kedua
pihak lain yang telah membeli tanah dan rumah tersebut.
i. Tindakan Bank Kertiawan tidak hanya pada sebatas bernegosiasi
kepada para pihak yang terkait, juga disertai dengan pengajuan
permohonan bantuan lelang kepada Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL), apabila nantinya penyelesaian kredit
macet ini menemui jalan buntu maka objek jaminan dapat langsung
dilelang. Kasus pengeksekusian objek hak tanggungan ini telah
ditangani oleh lembaga lelang berdasarkan permohonan eksekusi
No.095/Krd.Adm/X.01/2010 dari Bank Kertiawan yang di
dalamnya menyatakan : bahwa fasilitas kredit pembiayaan atas
nama debitur tersebut telah dikatagorikan sebagai kredit
bermasalah (macet) Non Performing Loan (NPL); bahwa sesuai
dengan ketentuan dalam Perjanjian Pembiayaan maupun syarat-
syarat umum Perjanjian Pembiayaan, Bank akan mengupayakan
penyelesaian nasabah dengan melakukan penjualan agunan secara
lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
dengan ketentuan hukum yang berlaku; Sehubungan dengan
penjualan/pelelangan agunan vide butir 2 diatas, dengan ini PT.
BPR BANK KERTIAWAN bertanggungjawab apabila terjadi
gugatan perdata atau tuntun pidana yang diajukan oleh pihak
manapun.
j. Bank Kertiawan juga meminta TIM Aprrasial terjun ke lapangan
untuk menilai harga pasar tanah dan rumah tujuannya adalah
menentukan nilai pasar yang wajar dari benda jaminan, dimana
nilai pasar yang wajar tersebut terdiri dari nilai yang rendah dan
tertinggi. Nilai tersebut nantinya akan dijadikan dasar untuk
menjual benda jaminan kepada pihak-pihak yang ikut di dalam
pelelangan. Sehingga apabila proses di kepolisian telah selesai dan
sertifikat dikembalikan kepada bank, bank dapat langsung
melaksanakan pelelangan. Selama proses ini pinjaman debitur
masuk pada kolektibilitas kredit macet.
k. Bahwa keputusan tindakan yang diambil oleh Bank Kertiawan
dengan menempuh jalur non litigasi yaitu dengan bernegosiasi,
mendapatkan hasil salah satu pihak lain bersedia membayar
sebagian hutang milik debitur/pemilik tanah, dengan syarat apabila
ia telah membayar hutang debitur/pemilik tanah, tanah dan rumah
yang telah dibelinya tidak diikutsertakan di dalam pelelangan dan
diberikan bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut kepadanya.
l. Bahwa dengan adanya itikad baik salah satu pihak lain dengan
membayar sebagian hutang debitur demi terpenuhinya hak dari
pihak lain tersebut, maka tindakan Bank Kertiawan adalah
melakukan pengRoyaan terhadap 2 (dua) sertifikat hak milik yang
diikat menjadi satu hak tanggungan tersebut, dan membuat
perjanjian kredit baru dengan membebankan hak tanggungan pada
1 (satu) sertifikat hak milik atas tanah. Perjanjian baru tersebut
tetap mengikat debitur, apabila di dalam perjalanannya debitur
tidak dapat kembali membayar hutangnya, maka proses
pengeksekusian akan tetap dilakukan.
HASIL WAWANCARA – LOKASI : PT. BPR KANTI
NAMA INFORMAN : I MADE ARYA AMITABA, SE.,MM (DIREKTUR
UTAMA)
1. Apakah di PT. BPR Kanti ini, pernah terjadi kasus debitur wanprestasi dan
tanah yang dijadikan objek jaminan telah dijual (dialihkan) kepada pihak
lain?
Jawab : Tidak Pernah.
2. Menurut bapak, apabila pada PT. BPR Kanti mengalami kasus tersebut,
cara penyelesaian bagaimana yang akan ditempuh?
Jawab :
Apabila bank kami mengalami hal serupa, kami sependapat mengenai
penyelesaian kredit bermasalah diharapkan menempuh jalur non litigasi
terlebih dahulu, dengan diadakannya pendekatan secara persuasif
(kekeluargaan) kepada para pihak yang terkait. Di samping bertujuan agar
kredit macet tersebut dapat cepat teratasi dan tidak berbelit-belit, pihak
bank dapat juga mengetahui bagaimana karakteristik nasabah, sehingga
menjadi pembelajaran untuk kedepannya agar lebih berhati-hati di dalam
memberikan kredit.
HASIL WAWANCARA – LOKASI : PT. BPR UDARY
NAMA INFORMAN : DRS. I MADE SUARJA (DIREKTUR)
1. Apakah di PT. BPR Udary ini, pernah terjadi kasus debitur wanprestasi
dan tanah yang dijadikan objek jaminan telah dijual (dialihkan) kepada
pihak lain?
Jawab : Tidak Pernah.
2. Menurut bapak, apabila pada PT. BPR Udary mengalami kasus tersebut,
cara penyelesaian bagaimana yang akan ditempuh?
Jawab :
Jika bank kami menghadapi kasus yang sama, kami membenarkan dengan
tindakan yang diambil yaitu dengan menempuh cara pendekatan terlebih
dahulu dan apabila pendekatan tersebut tidak dihiraukan debitur, barulah
menempuh jalan terakhir yaitu dengan pengeksekusian benda jaminan.
Adanya pendekatan-pendekatan kepada para pihak, menjadikan bank
mengetahui bagaiamana duduk permasalahan yang sebenarnya. Walaupun
bank pada posisi yang kuat, melihat itikad baik pihak lain tersebut, pihak
bank juga memiliki rasa perikemanusiaan dengan tidak melakukan
eksekusi secara langsung melainkan mempertimbangkan kembali
pemecahan kredit bermasalah tersebut agar tidak merugikan bank
terutama, dan tidak juga merugikan pihak-pihak lain yang terkait karena
adanya itikad baik tersebut
HASIL WAWANCARA – LOKASI : PT. BPR BANK PADMA
NAMA INFORMAN : COKORDA GEDE MAHADEWA, SE.,MBA.,MM,
(DIREKTUR UTAMA)
1. Apakah di PT. BPR Bank Padma ini, pernah terjadi kasus debitur
wanprestasi dan tanah yang dijadikan objek jaminan telah dijual
(dialihkan) kepada pihak lain?
Jawab : Tidak Pernah.
2. Menurut bapak, apabila pada PT. BPR Bank Padma mengalami kasus
tersebut, cara penyelesaian bagaimana yang akan ditempuh?
Jawab :
Apabila terjadi permasalahan dalam perkreditan tentunya pihak bank tidak
ingin diselesaikan pada jalur pengadilan. Bank mengupayakan sebisa
mungkin untuk diselesaikan secara kekeluargaan, karena apabila
permasalahan diselesaikan pada jalur pengadilan, selain memakan biaya
yang cukup banyak, waktu yang cukup lama mengakibatkan
bertambahnya kerugian yang dialami bank, serta yang juga menjadi alasan
mengapa bank kami setuju untuk menempuh jalur non litigasi terlebih
dahulu dalam menangani kredit macet adalah masalah reputasi (nama
baik) bank, walaupun kredit macet diketahui murni kesalahan debitur,
namun yang dinamakan kredit macet adalah masalah yang timbul pada
bank yang bersangkutan, dampaknya tidak sehatnya bank tersebut di mata
masyarakat.