Post on 07-Feb-2016
description
Perkawinan Menurut Hukum Positif
Dan Hukum IslamOleh : Arif Ramdani
MASALAH PENCATATAN PERKAWINAN
Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Positif
Menurut Hukum Positif Landasan hukum keharusan adanya pencatatan perkawinan disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 2, yang intinya bahwa perkawinan yang tidak dicatat sesuai prosedur yang berlaku dianggap tidak berkekuatan hukum
Pasal 2 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Landasan Pencatatan Perkawinan
Tujuan Pencatatan Perkawinan
Dilangsungkannya suatu perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah memiliki beberapa tujuan diantaranya :
Pertama : Pegawai Pencatat Nikah dapat mengawasi langsung terjadinya perkawinan tersebut. Mengawasi di sini dalam artian menjaga jangan sampai perkawinan tersebut melanggar ketentuan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, Jika diketahui ada pemalsuan identitas, memakai wali yang tidak berhak, masih terikat perkawinan dengan laki-laki/wanita lain, beda agama atau adanya halangan perkawinan dan sebagainya, maka Pegawai Pencatat Nikah harus menolak menikahkan mereka.
Kedua : Dapat membatalkan perkawinan (melalui proses pengadilan), apabila dikemudian hari diketahui setelah berlangsungnya perkawinan bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perkawinan. Misalnya, isteri masih terikat perkawinan dengan suaminya yang pertama, atau masih dalam masa iddah, dan sebagainya.
Ketiga : Dengan adanya pencatatan, maka pernikahan baik secara hukum agama maupun hukum negara menjadi sah. Dan, ini penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak terutama soal pembagian harta waris, pengakuan status anak dan jika ada masalah, istri memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat suaminya /sebaliknya(fungsi perlindungan bagi istri/suami).
Pencatatan Pernikahan Menurut Hukum Islam
Dari sisi dalil naqli tidak ada nash yang secara eksplisit menyatakan keharusan pencatatan pernikahan.Namun dari sisi ijtihad dengan mempertimbangkan aspek mashlahat dan madharat, pencatatan pernikahan menjadi urgen dengan beberapa argumentasi sebagai berikut :
Kedua : Akan banyak sekali mudharat yang timbul jika tidak dilakukan pencatatan, misalnya : akan banyak pasangan yang belum menikah mengaku-ngaku sudah menikah , dengan adanya buku nikah (pencatatan pernikahan) maka menjadi alat bukti yang sangat penting.Dalam ajaran Islam, kemudharatan itu sedapat mungkin harus dihilangkan
Pertama : melihat tujuan-tujuan dari pencatatan pernikahan diatas sangat jelas banyak sekali mashlahatnya.
Kaedah Fikih Menyatakan : يزال الضرر
ار; ض>ر; و;ال; ر; ض;ر; : Dalam Haditsال;
Sesuatu yang mendatangkan maudharat harus dihilangkan
Jangan memberi mudharat kepada orang lain dan jangan menyengaja memudharatkan orang lain
Landasan Syar’i
Ketiga : Terdapat nash Al-quran yang memerintahkan agar setiap transaksi dicatat dengan baik, dalam firman Allah Ta’ala :
مGس;مDى Iج;ل; أ >ل;ى إ IنO >د;ي ب OمG Oت ;ن ;د;اي ت >ذ;ا إ Gوا ;م;ن آ Zذ>ين; ال [ه;ا ي; أ ;ا ي
GوهG Gب Oت ف;اك
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.
Ayat di atas memang tidak berbicara tentang persoalan pencatatan nikah. Akan tetapi maqasid al-syari’ah yang dituju pada ayat ini adalah untuk menghindari agar salah satu pihak di kemudian hari tidak memungkiri apa-apa yang telah disepakatinya atau mengingkari perjanjian yang telah dilakukannya dengan pihak lain. Paling tidak bisa dipahami dari ayat ini bahwa Allah melalui firmannya diatas berusaha menutup semua kemungkinan yang akan membawa kemudharatan. Pencatatan perkawinan merupakan perbuatan hukum yang penting karena akan menjadi bukti bila terjadi pengingkaran tentang adanya perkawinan tersebut. Bila transaksi jual beli saja harus dicatat dalam hukum Islam, apalagi perkawinan yang akan banyak menimbulkan hak dan kewajiban, tentu memerlukan pencatatan pula.
Keempat : Dalam pandangan hukum Islam,
Pemerintah ataupun penguasa dibenarkan
membuat segala jenis peraturan terutama
mengenai hal-hal yang tidak diatur secara tegas
dalam al-Quran dan Hadis Nabi sejauh tidak
bertentangan dengan keduanya. Ada sebuah
kaidah yang menyatakan Bahwa: على االمام تصرف
بالمصلحة منوط Kebijakan seorang pemimpin) الراعية
terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada
kemaslahatannya).
MASALAH HARTA BENDA PERKAWINAN
Pasal 35 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Menurut Hukum Positif
Menurut Hukum Islam
Harta Benda
Dimiliki Masing-masing Sebelum Pernikahan/Waris
an
Harta Suami
Harta Istri
Diperoleh secara bersama setelah
Pernikahan
Harta Bersama(Almaal
Almusytarok)
MASALAH PERCERAIAN
DALAM HUKUM POSITIF
Pasal 38 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan dapat putus dikarenakan:a. Kematian,b. Perceraian danc. Atas keputusan Pengadilan.
Penyebab Putusnya Hubungan Perkawninan
Pasal 39 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Perceraian
Pasal 19 Peraturan Pemerintah RI No.9 Tahun 1975
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok,
pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun
berturt-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya,
3. Salah satu Pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
Alasan sebagai dasar perceraian
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan terhadap pihak lain,
5. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit
yang mengakhibatkan tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri,
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
Alasan sebagai dasar perceraian
Pasal 116 Inpres No.1 Tahun 1991
1. Suami melanggar taklik – talak2. Peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
*Catatan: merupakan tambahan dari undang-undang
Alasan sebagai dasar perceraianMenurut Kompilasi Hukum Islam*
MENURUT HUKUM ISLAM
Hukum perceraian/Thalaq dalam Islam :
1. Hukum asalnya makruh kecuali jika diperlukan
karena kondisi tertentu dengan alasan syar’i.
2. Mubah dalam kondisi perilaku istri yang
melampaui batas syar’I dan sulit untuk
diperbaiki, maka sebagai pelajaran dengan
cara cerai.
Hukum Perceraian Dalam Islam
3. Mustahab, jika seorang istri mendapat
perlakuan kasar/terjadi kekerasan dari pihak
suami dan membahayakan pihak istri jika
pernikahan dilanjutkan
4. Wajib, jika terjadi iilaa : yaitu seorang suami
bersumpah tidak akan pernah menggauli
istrinya lagi, maka ditunggu sampai 4 bulan,
jika setelah 4 bulan masih tidak digauli maka
wajib bercerai.
Hukum Perceraian Dalam Islam
5. Haram, jika perceraiannya termasuk
perceraian yang bid’ah (thalaq bid’i)
diantaranya menceraikan istri pada saat
sedang haidh.
Hukum Perceraian Dalam Islam
Para fuqoha mengatakan bahwa syarat
berlakunya perceraian terbagi kepada tiga
bagian, ada yang berhubungan dengan pihak
yang menceraikan (Al muthalliq), ada yang
berhubungan dengan pihak yang diceraikan (Al
muthallaqah) dan ada yang berhubungan dengan
ucapan tahalaq (shigat thalaq).
Syarat Perceraian Dalam Islam
Pertama : Syarat sahnya perceraian yang
berhubungan dengan pihak yang menceraikan
(Suami) adalah :
1)Dia benar-benar suaminya yang sah melalui
akad nikah yang sah, atau sebagai wakil dari
suami yang sah yang diberi mandat untuk
menceraikan.
2)Sudah baligh
3)Berakal/tidak gila
4)Dengan kesadaran penuh untuk menceraikan,
bukan dengan main-main (iseng), marah atau
paksaan orang lain.
Kedua : Syarat sahnya perceraian yang
berhubungan dengan pihak yang diceraikan (istri)
adalah :
1)Benar-benar terdapat hubungan suami istri
dengan pihak yang menceraikan secara sah baik
yang sebenarnya atau secara hukum, atau dengan
kata lain bahwa dia statusnya sebagai istri dari
pihak suami yang menceraikannya, atau dalam
keadaan thalaq raj’i yang memungkinkan kembali
lagi.
2)Penetapan perceraian kepada pihak yang
diceraikan baik berupa isyarat, menyebutkan sifat
tertentu atau dengan niat.
Ketiga : Syarat sah yang berhubungan dengan
ungkapan thalaqnya (shigat thalaq), yaitu :
1)Dipastikan atau diduga berat lafadznya ditujukan
untuk menceraikan atau dapat dipahami dari
makna yang terkandung dalam lafadz tersebut
tujuannya benar-benar untuk perceraian.
2)Adanya niat untuk menceraikan dengan lafadz
yang diucapkannya, syarat ini khususnya bagi
yang menceraikan dengan bahasa sindiran
(kinayah), karena bagi yang menceraikan dengan
bahasa yang tegas dan jelas tidak perlu lagi
ditinjau kembali dari sisi niatnya.
Perceraian dapat terjadi karena
diceraikan oleh pihak suami (muthalliq),
atau karena gugatan istri melalui
pengadilan dengan sebab-sebab yang
dibolehkan secara hukum
Proses perceraian dianggap terjadi/sah secara
syar’I jika sudah terpenuhi syarat-syarat
sebagaimana telah dijelaskan, tetapi tetap akan
lebih mashlahat dilakukan melalui proses
Pengadilan dan dicatatkan sebagaimana
mestinya sesuai aturan Undang-undang, agar
statusnya jelas dan tidak terjadi tindakan yang
merugikan bagi salah satu pihak atau
melanggar secara syar’i
MASALAH HAK ASUH ANAK
Pasal 105 Inpres No.1 Tahun 1991/ KHI,dibawah pemeliharaan ibunya
Pasal 23 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
bahwa orang tua mempunyai kewajiban yang sama dalam perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak.
Menurut Hukum Positif
Hak Asuh Anak Dalam Pandangan Hukum Islam.
Syaikh Muhammad Al Munajjid salah seorang
ulama Saudi mengatakan : seorang istri yang
diceraikan suaminya lebih berhak mengasuh
anaknya sampai usia 7 tahun selama ia belum
menikah lagi, apabila sudah menikah lagi atau
setelah usia 7 tahun maka hak asuh berpindah
kepada pihak yang berikutnya, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits nabi.
Hak Asuh Anak Dalam Pandangan Hukum Islam.
يا : قالت امرأة أن عمرو بن الله عبد عنابني إن الله له رسول بطني كان هذا
حواء له وحجري سقاء له وثديي وعاءينتزعه أن وأراد طلقني أباه مني وإن
عليه الله صلى الله رسول لها فقال " " تنكحي لم ما به أحق أنت وسلم
حسنه أبي والحديث صحيح في األلباني.داود
Hak Asuh Anak Dalam Pandangan Hukum Islam.
Dari Abdullah Bin ‘Amru Ra, bahwasannya ada seorang wanita mengadu kepada Rasulullah, ia berkata : wahai Rasulullah sesungguhnya anakku ini dibesarkan dalam perutku, dan diberi minum dari air susuku dan ada dalam buaianku, sementara bapaknya telah menceraikanku dan dia dia ingin memisahkan ia denganku, maka Rasulullah menjawab : engkau lebih berhak mengasuhnya selama belum menikah. (Hadits dihasankan oleh Albani dalam shahih Abu Dawud)
Hak Asuh Anak Dalam Pandangan Hukum Islam.
Apabila ibunya sudah menikah lagi kepada siapa hak asuh berikutnya berpindah ?
Sebagian ulama mengatakan nenek dari ibunya lebih berhak, tetapi Ibnu Taimiyah berpendapat Bapaknya lebih berhak karena ia lebih dekat dengan anaknya daripada neneknya.
Hak Asuh Anak Dalam Pandangan Hukum Islam.
Begitu juga apabila ibunya meninggal atau kafir/murtad atau fasik, maka perpindahan hak kepada Bapaknya.
Hak Asuh Anak Dalam Pandangan Hukum Islam.
Sekalipun ibunya lebih berhak mengasuh anaknya sampai usia 7 tahun, tetapi kedua orang tuanya tetap mempunyai tanggungjawab yang sama untuk mendidik dan membesarkan anaknya.
Maha Suci Engkau Ya Alloh dan Dengan Memujimu “ Aku Bersaksi Bahwa tiada Ilah selain Engkau, Aku memohon ampunan-Mu dan Aku senantiasa bertaubat hanya Kepada-Mu