Post on 02-Jun-2018
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
1/16
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
2/16
URNA, Jurnal Seni Rupamerupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Jurusan Pen-
didikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya. URNAberisikan artikel konsep-
tual, resume penelitian, dan tinjauan buku. Bertujuan untuk mengembangkan dan
mengomunikasikan secara luas perkembangan seni rupa dan pendidikan seni rupa
baik yang sifatnya teoretis maupun pragmatis. Terbit dua kali setahun, tiap bulan
Juni dan Desember.
Penanggung Jawab : Eko A.B. Oemar
Ketua Penyunting : I Nyoman Lodra
Wakil Ketua Penyunting : Asy Syams Elya Ahmad
Penyunting Ahli : Djuli Djatiprambudi (Universitas Negeri Surabaya)
Martadi (Universitas Negeri Surabaya)
Sofyan Salam (Universitas Negeri Makassar)
Tjetjep Rohendi Rohidi (Universitas Negeri Semarang)
Penyunting Pelaksana : Salamun Kaulam
Asidigisianti Surya Patria
Muhajir Nadhiputro
Marsudi
Sekretaris : Nova Kristiana
Administrasi : Fera Ratyaningrum
Alamat Redaksi:
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri SurabayaGedung T3 Lt. 2, Kampus Lidah Wetan Surabaya 64732
Telp/Fax. 031-7530865 | E-mail: urna.jurnalsenirupa@yahoo.co.id
urna.jurnalsenirupa@gmail.com | Website: hp://www.urna-jurnalsenirupa.org
ISSN 23018135
2012 Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya
Gambar sampul depan: Dark Blue Face.Vector Graphics karya Salamun Kaulam (2010).
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
3/16
ISSN 23018135
Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 107213
d a f t a r i s i
Artikel:
PRESIDEN SUKARNO DAN
PELUKIS Le MAYEUR DI BALIMikke Susanto (Institut Seni Indonesia, Yogyakarta)
BENTUK PEWARISAN SENI UKIR DI SANGGAR
SUNGGING ADI LUWIHJEPARA
Sulbi Prabowo (Universitas Negeri Surabaya)
SIMBOLISME DALAM KESENIANJARANAN
Salamun Kaulam (Universitas Negeri Surabaya)
FUNGSI DAN MAKNA KESENIAN
SAPE` SONO MADURABudi Hariyanto (SMAN Pademawu, Pamekasan, Madura)
KONSTRUKSI SOSIAL DALAM DESAIN SAMPUL
AL QUR AN BERMOTIF BATIK
Tri Cahyo Kusumandyoko (Universitas Negeri Surabaya)
MAKNA TANDA PADA POSTER
FILM KUNTILANAK 2
Hendro Aryanto (Universitas Negeri Surabaya)
MEMOTIVASI DALAM PEMBELAJARAN SENI RUPA
Siti Mutmainah (Universitas Negeri Surabaya)
107
115
127
139
150
162
172
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
4/16
ISSN 23018135
Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 107213
Resume Penelitian:
PENGARUH TEKNIK TUKING TERHADAP
KEMAMPUAN MENGGAMBARAgus Mardiwasono (SMPN 1 Prambon, Nganjuk)
TINJAUAN VISUAL RAGAM HIAS PERLENGKAPAN
PENGANTIN MADURA (BUSANA DAN TEMPAT
DUDUK PENGANTIN)
Fera Ratyaningrum & Asidigisianti S.P. (Universitas Negeri Surabaya)
Tinjauan Buku:
SELAMAT DATANG PENTAFONIK SENIAnas Ahmadi (Universitas Negeri Surabaya)
Indeks Vol. 1, 2012
179
192
205
208
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
5/16
SIMBOLISME DALAM KESENIANJARANAN
Salamun Kaulam
Abstrak:Pada awalnya, kesenian jaranandilakukan orang dalam rangka upa-cara ritual (ritus) permohonan keselamatan dan keselarasan hidup. Bonekajaranan, penari, perapian, sesaji, trancedan seluruh prosesi pementasan adalahsimbol yang melekat pada pelaksanaan upacara ritual (ritus). Pada saat itu sim-
bol diyakini mempunyai makna yang kuat, bahkan merupakan syarat mutlakyang harus ada dalam suatu ritus. Keyakinan tentang makna simbol ada padaseluruh komunitas pendukungnya. Sekarang, terutama pada masyarakat mo-dern, pementasan kesenianjaranantidak lagi diyakini memiliki kekuatan untukmenyelamatkan desa, atau kemampuan supranatural lainnya. Maka simboldalam kesenianjarananjuga telah kehilangan kekuatan nilai simboliknya.
Abstract: At the beginning of its emergence, the art of jaranan were performed forritual ceremonies as a request for prosperity and harmony in life. Jaranan dolls, dancers,reworks, oers, trance and the whole processions of the performance were prominentsymbols aached to the rituals. In the past, these symbols were believed to have a strongmeaning, and even an absolute requisite for the rituals. The beliefs on the symbols werecomprehended and accepted by the whole supporting communities. Nowadays, particu-larly for modern societies, the performance ofjaranan is no longer believed to be able toprovide prosperity or other supra natural entities. Therefore, the meaning of symbols injaranan are currently fade away.
Kata kunci:kesenianjaranan, simbol, ritus
Manusia adalah mahluk budaya yang di dalamnya penuh dengan simbol.
Hanya manusia yang menciptakan kebudayaan, hanya manusia pula yang men-
ciptakan simbol. Manusia sebagai animal rationale, lebih tepat memahami manusia
sebagai animal symbolicumatau binatang bersimbol, atau bisa dikatakan sebagaibinatang yang hidup dalam simbol. Rasio amat tidak memadai untuk mema-
hami bentuk-bentuk kehidupan budaya dalam seluruh kekayaan yang bermacam-
macam. Semua itu adalah bentuk-bentuk simbolik. (Cassirer. 1944; A. Nugroho.
1987: 36-40). Herusatoto (1984: 10) manggarisbawahi pandangan Cassirer, bahwa
manusia tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung
Salamun Kaulam adalah Staf Pengajar pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Surabaya. e-mail: salamunkaulam@gmail.com
127
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
6/16
tetapi melalui berbagai simbol. Kenyataan adalah selalu lebih daripada hanya tum-
pukan fakta-fakta, tetapi ia mempunyai makna yang bersifat kejiwaan.
Istilah atau kata simbol berasal dari kata Yunani symbolos yang berarti
tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto,
1984:10). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1989: 490) dijelaskan bahwa simbol
adalah lambang yang mengacu pada sesuatu seperti tada (lukisan, lencana, dan
sebagainya) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu. Di-
contohkan; gambar tunas kelapa sebagai lambang Pramuka; warna biru sebagai
lambang kesetiaan. Dari pengertian tersebut, seakan-akan simbol adalah kata
benda. Simbol tidak sekedar kata benda. Untuk menjelaskan pengertian simbol,
Herusatoto (1984: 11-12) membandingkan antara isyarat, tanda dan simbol. Isyarat
adalah suatu hal atau keadaan yang diberitahukan oleh subjek kepada objek, agar
objek mengetahuinya saat itu juga, tidak ditunda. Contohnya; peluit kereta api,
morse, gerak-gerik polisi yang mengatur lalu-lintas dan sebagainya. Tanda ialahsesuatu hal atau keadaan yang menerangkan atau memberitahukan objek kepada
subjek. Sedangkan simbol adalah sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pema-
haman subjek kepada objek. Contoh tanda; ada asap tanda ada api, ada kilat tanda
akan ada petir, tanda lalu-lintas, tanda baca, tanda ukuran dan sebagainya. Tanda
memberi pengertian yang sempit, terbatas atau bahkan tunggal. Sementara simbol
mempunyai arti yang luas dan memerlukan pemahaman makna yang terkandung
di dalam simbol atau lambang tersebut.
Menurut Victor Turner (dalam Winangun, 1990: 18-19) simbol adalah sesuatu
yang dianggap, dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikansifat alamiah atau mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas
yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan atau pikiran. Simbol
merangsang perasaan seseorang, tanda tidak mempunyai sifat merangsang. Simbol
berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yang disimbolkan, tanda tidak berpartisi-
pasi dalam realitas yang ditandakan. Simbol cenderung multivokal (banyak arti),
sedangkan tanda cenderung univokal.
Saidi (2008:29) setelah membahas berbagai pandangan tentang simbol, meru-
muskan bahwa simbol bisa diidentifkasi sebagai kata benda, kata kerja, dan kata
sifat. Sebagai kata benda, simbol dapat berupa barang, objek, tindakan, dan hal-
hal konkret lain. Sebagai kata kerja, simbol berfungsi menggambarkan, menyinari,
menyelubungi, menggantikan, menunjukkan, menandai, dan seterusnya. Sebagai
kata sifat, simbol berarti sesuatu yang lebih besar, lebih tinggi, sebuah kepercayaan,
nilai, prestasi, dan lain sejenisnya.
SIMBOL DAN BUDAYA JAWA
Manusia memang makhluk yang beraktivitas dan aktivitasnya itu bersifat
produktif. Aktivitas itu bisa berupa aktivitas pragmatis semata, atau aktivitas yang
bersifat religius atau ruhaniah dan transendental. Tetapi tidak semua hal, keadaan,
128 URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 127138
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
7/16
SALAMUN K., Simbolisme dalam Kesenian Jaranan 129
atau aktivitas manusia adalah simbol. Rangkaian bunga bisa sekedar dekoratif atau
bisa bermakna simbolis. Ia sekedar dekoratif jika hanya sebagai penghias ruangan,
sementara ia bisa bermakna simbolis, lambang cinta, atau bahkan bisa lambang
duka-cita. Membasuh kaki seseorang bisa sekedar membersihkan dari kotoran,
tetapi dalam konteks tertentu bermakna pengabdian.
Segala sesuatu yang telah diciptakan manusia melalui aktivitasnya yang bisa
berupa benda, bahasa, tulisan, adat istiadat, nyanyian, tarian, lukisan, dan lain
sebagainya bisa bermakna simbolik, bisa pula tidak. Namun dalam kepercayaan
Jawa, banyak hal atau keadaan yang sarat dengan muatan simbolik. Lebih luas lagi
dikatakan oleh Herusatoto (1984: 29) bahwa, simbolisme sangat menonjol pera-
nannya pertama-tama dalam religi. Perilaku manusia dalam melaksanakan ritual
keagamaannya selalu menggunakan berbagai simbol, begitu pula peralatan dan
tata cara pelaksanaan ritualnya.
Begitu pula kata Victor Turner (dalam Winangun, 1990: 18), bahwa mempela-jari ritus berarti juga mempelajari simbol-simbol yang digunakan dalam ritus itu.
Simbol merupakan manifestasi yang nampak dalam ritus. Simbol selalu diguna-
kan dalam ritus. Simbol selalu melekat pada ritus atau upacara keagamaan atau
kepercayaan tertentu. Dalam masyarakat Jawa, simbol dalam ritus bahkan sudah
dimulai sejak manusia masih dalam kandungan, kemudian berlangsung pula pada
masa-masa tertentu termasuk saat kematian. Pada dasarnya berbagai ritus dan
berbagai simbol yang hadir dalam ritus adalah media untuk mencari keselamatan
dan kebahagiaan hidup. Keyakinan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan
hidup tersebut berlaku untuk penganut agama apapun dan keyakinan kepercayaanapapun, termasuk keyakinan yang paling primitif sekalipun.
Menurut Subagya (1981: 114-215) para penganut agama asli Indonesia meya-
kini ada tata alam sakral yang sifatnya stabil, selaras dan kekal, yang mengatasi
segala apa yang terjadi dalam alam dunia yang dilakukan oleh manusia. Aturan
suprakosmis itu merupakan sumber segala kemuliaan dan kebahagiaan manusia.
Berbagai kaidah untuk menjadikan utuh hidup manusia bersumber dari keyakinan
aturan tersebut. Manusia harus menyesuaikan diri dengan tata aturan alam sakral
tersebut. Keselamatan akan tercapai jika terdapat kesesuaian atau keselarasan
antara hidup manusia dengan latar belakang mutlak itu, dan sebaliknya, yang me-
nyimpang, tidak cocok atau menentangnya, adalah disfungsional, salah, sesat dan
merupakan dosa. Maka ada alam transenden yang sifatnya vertikal dan alam nyata
yang horisontal, ada aktivitas transenden dan aktivitas nyata.
Timbulnya wabah, bencana alam, gempa bumi, kemarau panjang dan se-
bagainya diyakini sebagai akibat tidak terpeliharanya hubungan selaras antara
manusia di bumi dan tata alam sakral di atas. Situasi kritis itu disebut; pralaya,
kalatidha, kartayuga, gara-gara, kisa sirao. Upacara-upacara besar adalah merupakan
upaya konsolidasi tata alam yang berdimensi dua tersebut. Berkat konsolidasi itu
manusia menginkorporasi hidupnya yang penuh dosa dan duka nestapa ke dalam
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
8/16
dimensi vertikal, tempat di mana ia akan pulang kelak. Upacara besar (core ritual),
boleh dikatakan terdapat di seluruh nusantara, berupaya untuk memperbarui dun-
ia, meruwat segala yang usang dan lapuk. Berkat upacara besar, seluruh tata alam
dan umat dipulihkan bersama-sama. Intisari upacara itu adalah berkabung atau
penyesalan (metanonia), presentasi, doa dan kurban (katharsis), dan kegembiraan
telah memperbarui hubungan dengan tata alam sakral (paripatia).
Pertunjukan wayang yang masih bertahan sampai saat ini, dulunya juga di-
yakini sebagai ritus pemanggilan roh nenek moyang dalam rangka melindungi
seseorang, keluarga, atau masyarakat dari gangguan mara bahaya dan petaka,
hingga terwujud keselamatan dan kebahagiaan. Konon, nenek moyang kita per-
caya bahwa roh leluhur masih tinggal di sekitar mereka, di pohon, gunung yang
kemudian di-sebut gunung Hyangatau Di-Hyang(Dieng), atau Da Hyang, atau Dah
Yangdan sebagainya. Roh leluhur dianggap sebagai pelindung dan dapat memberi
pertolongan bagi yang masih hidup. Roh itu bisa dipanggil lewat shaman denganmedia bunyi-bunyian, pujian, nyanyian dan sesaji, dalam rangka pengormatan dan
permohonan perlindungan. Pementasan wayang, dalam bentuknya yang paling
awal dan sederhana diniatkan untuk upacara pemanggilan roh leluhur tersebut
(Mulyono, 1983: 53).
Upacara atau ritus pernikahan yang ribet, tidak lain juga dalam rangka
mengharapkan keselamatan dan kebahagiaan. Janur kuning sebagai lamang ke-
bahagiaan, berbagai dedaunan pada pintu masuk tarub melambangkan kekuatan
menyingkirkan gangguan, buah kelapa dan pisang raja berbuah melambangkan
derajat raja atau bangsawan. Siraman dan Midodareni adalah rangkaian ritus yangperlu dilalui, dan tentu saja akad nikah dan temu, yang dilanjutkan dengan ngabek-
ten, semuanya relatif masih dilakukan dengan keyakinan agar memperoleh berkah,
keselamatan dan kebahagiaan.
Upacara atau ritus bagi janin hingga lahir sampai berumur beberapa bulan
dilakukan dengan berbagai simbol yang menyertainya juga dalam rangka agar si
jabang bayi sehat, selamat dan selalu menikmati kebahagiaan. Dalam masyarakat
jawa dikenal istilah ngapati(empat bulan usia kandungan), mitoni(tujuh bulan usia
kandungan), dan ada pula upacara ngrujaki. Setelah lahir ada upacara sepasaran
(usia lima hari), selapanan(usia 35 hari) ada upacara potong rambut, dulu ada juga
upacarapangur. Pada usiapitunglapanada upacaratedaksiten(turun tanah).
Tidak bisa disangkal banyak sekali kepecayaan Jawa yang berhubungan de-
ngan pembebasan agar terhindar dari marabahaya dan sebaliknya menemukan
keselamatan dan kebahagiaan. Masih banyak upacara serupa, seperti nyadran, sela-
matan di kuburan, bersih desa dan masih banyak lagi lainnya, yang salah satunya
adalah upacara bersih desa dengan media kesenianjarananyang dipaparkan dalam
tulisan ini.
130 URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 127138
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
9/16
SALAMUN K., Simbolisme dalam Kesenian Jaranan 131
SEKILAS TENTANG KESENIANJARANAN
Kesenianjaranan, atau biasa disebut jaranan adalah salah satu jenis kesenian
rakyat atau kesenian tradisional yang sampai saat ini masih banyak ditampilkan.
Selain Jaranan ada juga kesenian sejenis itu tetapi dengan nama yang lain, yaitu;
Jaran Kepang, Kuda Lumping, Jathilan, atau Tari Kuda. Bentuk kesenian ini adalah
berupa pertunjukan tarian yang dilakukan oleh beberapa orang penari mengenda-
rai boneka kuda (dalam bahasa jawa boneka kuda itu dinamai jaranan). Tarian ini
biasanya dipentaskan dengan iringan, terutama, instrumen gamelan, (walaupun
dalam perkembanganya instrumen itu bisa bertambah dengan instrumen elek-
tronik).
TarianJaranan, sesuai dengan keragaman namanya juga memiliki keragaman
bentuk dan maksud pementasannya. Di dalam Eksiklopedi Nasional Indonesia
dijelaskan bahwa: kuda kepangatau kuda lumping, salah satu jenis kesenian tradisi-
onal yang menjadi pertunjukan rakyat di Jawa, berupa tarian menunggang kuda,yang dimainkan oleh sekelompok orang dengan iringan gamelan. Tokoh-tokohnya
merupakan kombinasi dari tokoh lucu seperti penthul dan tembem, atau penthul
dan kacung, dengan tokoh raksasa yang disebut barongan. Gamelan pengiringnya
terompet kecil, angklung, gong kecil, kendhang, kenong dan ketipung. Pakaian
pemainnya berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Namun, pada
dasarnya para pemain berpakaian ala kesatria, agak mirip pakaian wayang orang
(TIM, 1990: 205).
Soedarsono dalam bukunyaJawa dan Bali Dua Pusat Perkembangan Drama Tari
Tradisional di Indonesia, dalam Sugito (2005) menyebutkan bahwa tari kuda kepangialah sebuah tarian rakyat yang populer sekali di Jawa Tengah. Tari kuda kepang
ditarikan oleh empat orang penari, enam, delapan atau bisa lebih, yang masing-
masing menunggang boneka kuda yang dibuat dari anyaman bambu yang disebut
kepang (anyaman kepang, diagonal). Tarian ini juga disebut jathilan, dan di Yog-
yakarta bagian barat juga disebut incling. Di daerah Magelang tari kuda kepang
ini sejak dahulu sampai sekarang merupakan tarian rakyat yang populer sekali.
Semula instrumen musik pengiring tari kuda kepang hanya terdiri dari beberapa
angklung (alat musik dari bambu), satu kendang dan satugong bumbung(gong dari
bambu). Tetapi, lama kelamaan makin diperlengkapi.
Handajakoesoema (dalam Sugito, 2005) dalam artikel majalahJaya Bayapada
tanggal 7 Juli 1974 menerangkan sebagai berikut, Tetinggalan jaran kepang punika
ugi dipun wastani : Jathilan, ebleg, reog sarta tambahi mawi barongan, penthul tembem,
gendruwo, thithit thuwit, cepetan (pitik walik), Jaka Lodra, dhadhak merak, bujangganong
(ganongan). Saben daerah gadhah Rombongan Jaran Kepang ingkang benten corak rag-
amipun. Artinya kurang lebih, peninggalan kesenian kuda kepang ini juga bisa dis-
ebut:jathilan, ebleg, reogserta ditambah dengan barongan, penthul tembem, gendruwo,
thithit thuwit, cepetan(pitik walik),jaka lodra, dhadhak merak, bujangganong(ganongan).
Setiap daerah mempunyai grupjaran kepangyang berbeda coraknya.
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
10/16
Di Jawa Timur, kesenianjarananbanyak ditemui di daerah Tulungagung, Bli-
tar, Nganjuk, Kediri dan sekitarnya. Setiap daerah bahkan setiap kelompok kesenian
mempunyai ragam atau ciri tersendiri baik dari segi properti, alat musik, koreograf
dan sebagainya, sehingga kesenianjarananmempunyai berbagai ragam penampi-
lan. Di Yogyakarta, terutama dikawasan luar kraton kesenian yang semacamjaranan
dikenal dengan namaJathilan. Properti utamanya berupa boneka yang terbuat dari
sesek(anyaman bambu), bentuknya tidak terlalu besar maupun terlalu kecil. Ragam
geraknya lebih dinamis, cenderung dilakukan bersama-sama dan didominasi oleh
gerakan kaki. Di Ponorogo kesenian kuda kepang atau semacamjarananatau juga
jathilan ini dimainkan bersama dhadhak merak, bujangganong(ganongan), warokdan
Prabu Klana. Gerakan dalam tariannya lebih halus atau feminin. Kostumnya bagian
kepala berupa iket, yaitu ikat kepala dari kain hitam berbidang segi tiga.
Ada pula jenis kesenianjarananatau kuda kepang yang disebut denganjaran-
andhor. Namajaranandhormungkin diambil dari alat musik yang bernamajedhor.Jedhor adalaha alat musik yang bentuknya menyerupai kendang tapi berukuran
besar, kedua bidang lingkaran lubangnya berukuran sama, serta masing-masing
lubang lingkaran ditutup dengan kulit kerbau, kambing atau sapi. Suara jedhor
yang menggema mendominasi keseluruhan pertunjukan. Ritme suara jedhorme-
nentukan gerak langkah baik dalam koreograf maupun keseluruhan pertunjukan.
Jaranandhormasih hidup di daerah Malang, Pasuruan dan sekitarnya serta pesisir
pantai utara Jawa Timur. (Sugito, 2005).
Ada juga jenis kesenian jaranan yang bernama jaranan pegon ialah kesenian
jarananatau kuda kepang yang pola gerak dan kostumnya berupa pola gerak dankostum wayang orang. Bentuk gerakannya didominasi oleh gerak-gerak yang be-
rasal dari gerakan wayang orang yang mengacu pada satria bambangan seperti
Gathutkaca. Pegonbila ditinjau dari istilah berasal dari katapegoyang artinya tidak
lengkap yang difokuskan pada instrumen yang tidak lengkap serta gerak wayang
yang tidak lengkap juga karena didominasi dari sekaran singget yaitu (jeda yang
menghubungkan ragam yang satu dengan ragam lainnya). Bentuk ragam geraknya
dipengaruhi oleh bentuk ragam gerakjarananjawa.
Kesenian jaranan yang bernama jaranan sentherewe lebih dipengaruhi oleh
gerakan tari remo yang berasal dari kesenian ludruk. Demikian juga kostum yang
digunakan dalam kesenian tersebut. Bila ditinjau dari istilah sentherewediambil dari
kata senthe(talas) dan rawe(bentuk tumbuhan yang menjalar yang mempunyai bulu
lembut yang sangat gatal). Sentherewebila gerak penarinya sampai klimaks maka
menjadi trancedan makan senthedan gerakannya seperti orang terkena rawe.
Dari berbagai pendapat diatas dapat dikatakan bahwa kesenian jarananpada
dasarnya adalah kesenian dengan format tarian yang menggunakan properti utama
berupa jarananatau kuda kepang, yaitu boneka kuda yang terbuat dari anyaman
bambu berbentuk meyerupai kuda. Pada umumnya bentuk pertunjukannya juga
mempunyai penampilan yang hampir sama, yang membedakan dari masing-
132 URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 127138
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
11/16
SALAMUN K., Simbolisme dalam Kesenian Jaranan 133
masing daerah ialah bentuk ungkapan gerak atau ragam gerak, kostum, melodi
iringan, dan bentuk instrumen, demikian juga cara membunyikan instrumen itu
sendiri. Perbedaan tersebut juga tidak dapat dipisahkan dengan etnis daerah yang
mempengaruhinya.
KESENIANJARANANDALAM PERGESERAN BUDAYA
Konon, pada awalnya pertunjukan kesenian jaranan (perlu dipahami bahwa
pada masa lalu tidak dikenal istilah kesenian untuk menamai pertunjukanjaranan)
merupakan kegiatan upacara ritual (ritus) yang berkaitan dengan kegiatan upa-
cara pemanggilan roh leluhur yang dilakukan oleh nenek moyang kita. Kegiatan
ritual itu tujuannya untuk mengatasi berbagai musibah yang menimpa kehidupan
manusia. Pada zaman primitif ada kepercayaan bahwa kerusakan lingkungan
alam, wabah penyakit, bencana dan sebagainya terjadi karena kekuatan roh nenek
moyang. Seiring dengan perjalanan waktu, setiap musibah, bencana atau berbagaimasalah dalam kehidupan yang dihubungkan dengan roh nenek moyang disusun
menjadi serangkaian cerita yang yang berkembang menjadi mitos. Mitos diyakini
oleh masyarakat, kemudian dilakukan kegiatan upacara ritual (ritus) dengan tujuan
agar musibah tidak datang lagi. Kegiatan yang berlangsung berulangkali kemudian
berkembang menjadi berbagai simbol yang digunakan untuk kegiatan ritual.
Simbol yang terbentuk pada hakikatnya merupakan manifestasi dari roh le-
luhur yang diyakini sebagai media dalam kegiatan ritual untuk mengatasi berbagai
masalah kehidupan. Benda yang diwujudkan sebagai simbol kemudian dikeramat-
kan agar memiliki daya magis. Keyakinan akan daya magis adalah awal muncul-nya totemisme. Sebagaimana yang dikatakan Prichard (dalam Sugito, 2005) bahwa
sifat manusia yang mempunyai hasrat untuk menunjukkan totemisme hanyalah
merupakan bentuk khusus dari suatu fenomena yang universal dari masyarakat
manusia, karena sudah menjadi kesatuan umum bahwa suatu objek atau kejadian
yang punya efek penting terhadap kesempurnaan materil spiritual masyarakat
cenderung untuk dijadikan objek dari sikap ritual.
Pals (dalam Sugito, 2005) juga berpendapat bahwa totemistik adalah suatu
praktik yang terkait dengan kebiasaan pembagian dalam klan-klan yang berbeda,
atau kelompok keluarga. Setiap klan ini biasanya mengaitkan dirinya pada suatu
binatang tertentu (atau terkadang tumbuhan) yang dia akui sebagai totemnya dan
kemudian memujanya sebagai semacam Tuhan.
Sehubungan dengan kegiatan ritual pada masyarakat zaman primitif, ada
serangkaian gerak yang digunakan untuk memuja totem atau klan dari leluhur
manusia. Rangkaian gerak itu digunakan sebagai sarana kegiatan ritual. Sarana
lain yang pasti ada dalam kegiatan ritual berupa perapian, sesajian, mantra yang
dikaitkan dengan roh leluhur atau nenek moyang. Kegiatan ini digunakan sebagai
kegiatan religi yang menjadi perlakuan dalam kehidupan sosial manusia pada za-
man primitif (Sugito, 2005).
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
12/16
Berbagai macam properti serta gerakan koreograf dalam upacara ritual (ri-
tus) berkaitan dengan upaya berkomunikasi dengan kekuatan di luar manusia.
Sementara yang diyakini memiliki kekuatan itu adalah roh leluhur. Karena itu
pada hakikatnya berbagai macam benda, tingkah laku dan gerakan serta nyanyian
diciptakan dalam rangka persembahan kepada roh leluhur, dalam rangka mencari
perlindungan dan keselamatan hidup.
Dalam perkembangannya, kesenianjarananmengalami pergeseran nilai. Da-
lam suatu kegiatan pementasan, ia tidak lagi semata-mata tindakan ritual dan ber-
sifat sakral, tetapi dalam kegiatan itu ada upaya untuk menambah unsur kegiatan
yang sifatnya hiburan. Sehingga bisa dikatakan dalam wilayah budaya idealistik,
pertunjukan kesenian itu berupa upacara ritual yang sakral sekaligus hiburan. Un-
sur-unsur ritualnya dipertahankan sekaligus ditambahkan unsur hiburannya. Un-
sur hiburan tambahan itu bisa terdapat pada atraksi pertunjukan jaranannya atau
pada unsur musiknya, pada prosesinya atau semuanya sampai dengan kepanitiaandan susunan acaranya.
Sugito (2005) menyimpulkan bahwa beberapa kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat primitif masih tetap dilakukan oleh masyarakat pendukung seniman
jaranansaat ini. Aspek-aspek tersebut sebagai bukti adanya kesinambungan kegi-
atan ritual masyarakat primitif yang telah diwariskan kepada masyarakat seniman
pertunjukan jaranan. Unsur perapian yaitu pembakaran dupa atau kemenyan
adalah salah satu aspek yang masih digunakan sampai sekarang. Mantra yang
berhubungan dengan roh leluhur atau danyang atau yang melindungi lingkungan
desa (mbahu rekso)sebagai tempat tinggal masyarakat juga tetap dilakukan.Tranceyang dianggap sebagai kekuatan magis untuk mendatangkan roh leluhur juga
masih bisa ditemui. Jejak peninggalan kegiatan ritual tersebut dapat dilihat mulai
dari pengadaan sesaji yang digunakan sebagai sarana ritual sampai pada puncak
pertunjukanjaranan. Gerak yang dirangkai mulai awal sampai akhir merupakan
media yang mengantarkan pada tahap tranceatau kesurupan pada penarijaranan.
Beberapa aspek yang ada pada masa primitif terdapat juga pada pertunjukan
jaranan yang dilakukan dalam serangkaian kegiatan sosial. Kesamaan beberapa
aspek tersebut sebagai bukti bahwa pertunjukanjarananJawa awalnya merupakan
kegiatan ritual.
Ada tiga sarana penting dalam kegiatan ritual pada zaman primitif yaitu pera-
pian yang digunakan untuk pembakaran sesuatu yang dipercaya sebagai persem-
bahan. Pembakaran sebagai persembahan berkembang menjadi pembakaran yang
menggunakan benda yang berbau harum seperti ratus, kemenyan, kayu cendana
dan lain-lain. Setiap mengadakan upacara ritual (ritus), masyarakat primitif meng-
gunakan mantra yang ditujukan kepada yang menguasai alam maupun roh leluhur.
Mantra sebagai wujud dari pengakuan maupun permintaan yang dilakukan oleh
manusia. Semua sarana tersebut masih digunakan oleh seluruh kelompokjaranan.
Perapian digunakan untuk membakar kemenyan dipercaya sebagai makanan
134 URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 127138
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
13/16
SALAMUN K., Simbolisme dalam Kesenian Jaranan 135
dari roh halus. Terkadang perapian juga dimakan oleh penari yang telah trance
sebagai pertunjukan dari penari yang mempunyai kemampuan. Mantra yang
dibacakan oleh juru gambuh merupakan mantra yang minta perlindungan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa serta danyangyang ditempati dalam pertunjukan.
Gambar 1.Unsur perapian, kemenyan, dan mantra tetap dipertahankan sampai sekarang.(Foto: penulis).
Dalam kelompok masyarakat primitif, binatang dijadikan sebagai simbol to-
tem. Dari salah satu kelompok totem, kuda dipercaya sebagai dewa perlindungan.
Dalam pertunjukanjaranan, kuda digunakan sebagai simbol kekuatan dari seorang
kesatria pada flosof jawa. Namun kuda kepang merupakan penggabungan dari
kedua simbol yang digunakan untuk sarana penghantar trance. Simbol totem me-
ngalami transformasi ke dalam perilaku sosial sehingga simbol hewan kuda diang-gap sebagai dewa perlindungan, kemudian berkembang sebagai properti dalam
pertunjukanjarananjawa. Maka berbagai sarana yang digunakan oleh masyarakat
primitif masih identik dengan berbagai sarana ritual yang digunakan dalam per-
tunjukanjaranan.
Dalam ritual primitif, gerak yang digunakan merupakan gerak yang mempu-
nyai makna flosofs murni digunakan sebagai persembahan. Dalam pertunjukan
jaranan, gerak yang dilakukan merupakan sarana penghantar tranceuntuk keleng-
kapan ritual yang dilakukan oleh masyarakat. Tujuan dan kelengkapan ritual pada
masyarakat primitrif dan pertunjukan jaranan masih sama yaitu untuk menang-gulangi berbagai musibah yang menimpa manusia. Setiap kegiatan ritual meng-
gunakan sarana sesaji sebagai kelengkapan ritual.
Keyakinan terhadap roh leluhur ada pada seluruh masyarakat primitif dan
pengakuan danyang atau cikal-bakal dari leluhur desa ada dalam kepercayaan
masyarakat pendukung pertunjukan kesenian jaranan. Sebagai persembahan ma-
syarakat menyelenggarakan kegiatan ritual untuk keselamatan manusia dan ling-
kungannya. Dari gambaran tersebut, terbukti bahwa dua kelompok masyarakat
yang berbeda zaman masih mempunyai kesamaan dalam kepercayaan terhadap
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
14/16
roh, hal ini menunjukkan adanya kesinambungan yang dilakukan masyarakat se-
cara turun temurun.
Dalam masyarakat primitif, pemimpin adat bertanggungjawab penuh pada
seluruh serangkaian kegiatan ritual. Sementara pada ritual yang ada pada pertun-
jukanjarananpelaksanaan ritual dipimpin oleh juru gambuh.Juru gambuhbertang-
gungjawab penuh pada serangkaian pelaksanaan ritual dan pertunjukan. Aspek
pelaksanaan ritual pada masa primitif terjadi juga pada aspek pelaksanaan ritual
dalam pertunjukanjaranan.
Musik yang digunakan dalam kegiatan primitif terdiri dari beberapa instru-
men dan vokal memiliki suasana magis untuk mendukung kekhidmatan dalam
pelaksanaan kegiatan ritual. Demikian juga fungsi musik dan vokal dalam pertun-
jukan jaranan untuk memberikan dinamika gerak tari pada pertunjukan jaranan
supaya penari mampu melakukan trance. Semua pelaksanaan kegiatan ritual baik
dalam masa primitif maupun dalam pertunjukan jarananselalu melibatkan orangbanyak. Aspek tersebut merupakan wujud dari kelangsungan dalam kegiatan
primitif yang masih ada dalam pelaksanaan pertunjukan jaranan. Perkembangan
yang didapatkan secara historis ada beberapa aspek pokok dari masyarakat primi-
tif, masih dilakukan oleh kalangan pelaku kesenianjaranan.
Dalam perkembangannya, kesenian jaranan telah mengalami berbagai sen-
tuhan modern, baik menyangkut bentuk pertunjukkan, urutan penyajian sampai
dengan maksud penyelenggaraannya. Memang unsur ritual masih dipertahankan,
namun disamping unsur ritual dimasukkan pula unsur tambahan yang sifatnya
hiburan dan cenderung bersifat profan. Bahkan untuk mengundang banyak pe-nonton, kesenian jaranan bisa pula dipentaskan di atas panggung pertunjukan.
Kehadirannya bisa berkolaborasi dengan kesenian lain seperti campursari ataupun
pertunjukan tarian lain.
Perubahan fungsi dari kegiatan ritual (ritus) ke pertunjukan hiburan bisa
dipahami sebagai akibat dari perubahan pemahaman dan keyakinan sebagian
besar masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang semula cenderung memiliki
keyakinan mistis telah berubah dan bahkan sekarang menolak atau tidak lagi ter-
lalu mempercayai hal-hal yang bersifat mistik. Karena itu perubahan fungsi pada
kesenianjarananbisa dianggap sebagai upaya mempertahankan dirinya agar tetap
hidup, sekalipun dalam perwujudannya yang lain.
Dalam wilayah budaya idealistik, upacara ritual yang semula dipimpin oleh
pimpinan adat, saat ini bisa saja kegiatan itu (upacara ritual plus) dibuka dalam upa-
cara resmi yang dibuka oleh pejabat atau setidaknya oleh panitia penyelenggara.
Dalam wilayah ini, ritus permohonan keselamatan atau bersih desa atau ritual lain
bisa saja tetap ada, tetapi tidak terlalu disakralkan, terutama oleh masyarakat pada
umumnya. Bahkan bisa saja kelompok senimanjaranantidak lagi melakukan ritual
bersih desa seperti yang diniatkan, tetapi kalau ada unsur perapian, kemenyan,
sesaji mantra dan sebagainya hanyalah semata-mata untuk syarat pelaksanaan
136 URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 127138
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
15/16
SALAMUN K., Simbolisme dalam Kesenian Jaranan 137
kegiatan pertunjukan kesenianjaranan.
Oleh karena masyarakat pada umumnya sekarang tidak lagi menyakralkan
kegiatan ritualnya, maka kesenianjarananyang semula sangat sakral kini menjadi
lebih banyak bersifat hiburan. Kesenian jaranan di desa-desa bisa tampil dengan
berkolaborasi dengan iringan musik elektronik, terutama dengan musik campur
sari dan atau musik dangdut. Tanpa ada tambahan campur sari atau dangdut, disa-
dari oleh kelompok kesenian jaranan, bahwa penampilannya akan tidak diminati.
Oleh karena itu saat ini hampir setiap pertunjukan kesenianjarananboleh dikata-
kan selalu dilengkapi musik campursari dan dangdut.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa dalam wilayah budaya
idealistik, unsur-unsur budaya asli (ideational) masih dipertahankan namun faktor
ritual dan nilai sakralnya semakin tipis, sebaliknya unsur-unsur hiburan (idealis-
tik) muncul semakin kuat. Dalam situasi, kondisi dan konteks tertentu, kesenian
jaranan bisa benar-benar lepas dari kegiatan ritual, sehingga benar-benar munculdalam berbagai perwujudan yang sifatnya sangat profan. Kegiatan atau pentas ke-
seniannya bisa diselenggarakan dalam rangka kegiatan apapun, dilaksanakan oleh
siapapun dan dimanapun tempatnya serta kapan saja waktu penyelenggaraannya.
Musik kesenian jarananbahkan bisa menjadi komoditas massal dengan diwujud-
kannya dalam bentuk rekaman VCD atau DVD. Boneka jaranan maupun cemeti
ataupecutbisa diproduksi sebagai benda kerajinan yang berfungsi sebagai hiasan
atau benda sovenir.
Kesenian jaranan adalah salah satu kesenian tradisional yang semula ber-
fungsi ritual. Kesenian ini biasanya dipentaskan pada bulan Suro dengan berbagaipersyaratan khusus dalam rangka pemujaan terhadap roh leluhur agar desa se-
isinya terhindar dari mala petaka atau bencana. Dalam perkembangannya, kesenian
yang semula bersifat sakral bergeser menjadi sangat profan. Akhirya kesenian ini
bisa diperlakukan sebagai kegiatan apa saja, tidak terikat oleh tujuan, ruang dan
waktu.
KESIMPULAN
Dalam uraian awal dapat dipahami bahwa kesenian jaranan (jaran kepang,
jathilan, dan sebagainya) awalnya dilakukan dalam rangka upacara ritual (ritus)
permohonan keselamatan dan keselarasan hidup. Kegiatan itu merupakan upaya
mengembalikan kesesuaian dan keselarasan antara kehidupan manusia di dunia
dengan tata alam sakral. Maka istilah bersih desa, nyadrandan sebagainya, dalam
pementasan kesenianjaranan,slametandan sebaginya merupakan aktivitas transen-
den. Boneka jaranan, penari, perapian, sesaji, trancedan seluruh prosesi pemen-
tasan adalah simbol yang melekat pada pelaksanaan upacara ritual (ritus). Melalui
pementasan (upacara) itu diyakini oleh komunitas bahwa mereka telah memenuhi
syarat pembebasan dari malapetaka dan memasuki kehidupan baru yang harmo-
nis, aman dan tenteram. Pada saat itu simbol diyakini mempunyai makna yang
8/11/2019 Simbolisme Dalam Kesenian Jaranan
16/16
kuat, bahkan merupakan syarat mutlak yang harus ada dalam suatu ritus. Keyaki-
nan akan makna simbol tidak saja berada pada individu tertentu, kelompok kecil
tertentu, melainkan ada apa seluruh komunitas pendukungnya.
Pada perkembangan berikutnya, terutama pada masyarakat modern, pemen-
tasan kesenian jaranan tidak lagi diyakini memiliki kekuatan untuk menyelamat-
kan desa, atau kemampuan supranatural lainnya. Dengan demikian, simbol dalam
kesenianjarananjuga telah kehilangan nilai simboliknya. Mitos tentang kesenian
jarananperlahan memudar. Sebagai gantinya, kesenianjarananakhirnya hadir seke-
dar untuk hiburan, eksis sejajar dengan hiburan campursari atau dangdut. Atribut,
properti atau benda-benda pelengkap kesenian jarananjuga telah dikembangkan
menjadi benda kerajinan, untuk sekedar benda mainan atau benda hias.
DAFTAR PUSTAKA
Cassirer, Ernst. 1944.Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia. Terjemahan olehAlois A. Nugroho. 1987. Jakarta: Penerbit Gramedia
Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam BudayaJawa. Yogyakarta: PT. Hanindita.
Mulyono, Sri. 1983. Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang. Jakarta: Gunung Agung.
Saidi, Acep Iwan. 2008. Narasi Simbolik Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta:
Isacbook.
Subagya, Rachmat. 1981.Agama Asli Indonesia. Jakarta. Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan
Cipta Loka Caraka.
Sugito, Bambang. 2005. Jaranan Tulungagung (Kajian tentang Perubahan dan Perkembangan
Pertunjukan Kesenian Jaranan di Kabupaten Tulungagung). Tesis Program Pascasarjana
STSI Surakarta.
Tim. 1990. Eksiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
Tim. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Winangun, Y.W. Wartaya. 1990.Masyarakat Bebas Struktur; Liminalitas dan Komunitas Menurut
Victor Turner.Yogyakarta: Kanisius.
138 URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 2 (Desember 2012): 127138