Post on 26-Dec-2015
description
TAFSIR SEMANTIK ALA TOSHIHIKO IZUTSU
TAFSIR SEMANTIK ALA TOSHIHIKO IZUTSUPENDAHULUAN
Tafsir adalah usaha sungguh-sungguh memahami kalam Ilahi sebatas kemampuan manusia (Mufassir). Sejak masa Nabi Muhammad saw., al-Qur’an telah ditafsirkan untuk menjawab masalah yang dihadapi umat Beliau saw. Pada masa Nabi menafsirkan al-Qur’an untuk para Sahabat agar mereka dapat mengamalkan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an.
Setelah masa Nabi, berkembanglah pelan namun pasti beragam corak tafsir hingga sekarang ini. Semua itu tidak lain untuk menggali makna yang dikandung oelh al-Qur’an sehingga dapat diamalkan di setiap masa. Salah satu metode tafsir, yang sebenarnya telah muncul pada masa-masa awal Islam, itu adalah metode tafsir semantik.
POKOK BAHASAN
1. Biografi Toshihiko Izutsu2. Pengertian semantik sebagai metode penafsiran al-Qur’an3. Pendekatan semantik dalam kajian al-Qur’an
PEMBAHASAN
Biografi Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo[1][2] pada 4 Mei 1914 dan wafat pada 1 Juli 1993.[3] Ia
beruntung lahir dalam sebuah keluarga kaya pemilik bisnis di Jepang,[4] karena dengan keadaan yang seperti itu ia tidak lagi memikirkan hal-hal pemenuhan kebutuhan pokoknya, yang mana hal ini seringkali menjadi alasan atau dalih sebagian orang di negara kita.
Sejak masih kanak-kanak, ia sudah akrab dengan meditasi Zen[5] dan kōan,[6] hal ini dikarenakan ayahnya juga seorang ahli kaligrafi dan pengamal Buddha-Zen.[7]
Ia mengikuti kuliah pada fakultas ekonomi, Universitas Keio,[8] namun pindah ke departemen sastra Inggris.[9] Kemudian, sesuai dengan jurusannya Ia menjadi asisten riset pada tahun 1937.[10]
Hal menakjubkan hasil dari kerja kerasnya adalah terjemahan langsung pertama al-Qur'an dari bahasa Arab ke Jepang pada tahun 1958.[11] Terjemahannya yang akurat linguistiknya dan banyak digunakan untuk karya-karya ilmiah.[12]
Toshihiko Izutsu juga merupakan seorang Professor Emeritus yang fasih di lebih dari 30 bahasa, termasuk Arab, Persia, Sansekerta, Pali, Cina, Jepang, Rusia dan Yunani, dengan penelitian yang bergerak di tempat-tempat seperti Timur Tengah (khususnya Iran), India, Eropa, Amerika Utara, dan Asia telah dilakukan dengan pandangan untuk mengembangkan pendekatan filosofis berdasarkan perbandingan agama dalam studi linguistik teks-teks metafisik tradisional.[13] Ia mengajar di Institut Linguistik Kebudayaan dan belajar di Universitas Keio di Tokyo, Iran Imperial Academy of Philosophy di Teheran, dan Universitas McGill di Montreal.[14][15]
Beberapa karya tulis yang pernah dia hsilkan antara lain sebagai berikut[16]:· Ethico-Religious Concepts in the Quran (1966 republished 2002) ISBN 0-7735-2427-4· Concept of Belief in Islamic Theology (1980) ISBN 0-8369-9261-X· God and Man in the Koran (1980) ISBN 0-8369-9262-8
· Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (1984) ISBN 0-520-05264-1
· Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (1994) ISBN 1-883991-04-8
· Toward a Philosophy of Zen Buddhism (2001) ISBN 1-57062-698-7· Language and Magic. Studies in the Magical Function of Speech (1956) Keio Institute
of Philological Studies.Pengertian Semantik dalam Metode Penafsiran Al-Qur’an
Semantik berasal dari bahasa Yunani semantikos berarti “bermakna”. Adalah suatu studi tentang makna suatu simbol-simbol linguistik, melaui “kata”, “ekspresi”, dan “kalimat”.[17]Dalam arti, semantik adalah suatu ilmu yang menelaah lambang-lambang yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain dari kata-kata yang digunakan, atau ekspresi yang terbentuk, bisa juga dari kalimat-kalimat. Untuk melakukan telaah ini, maka dibuthkan pengetahuan mengenai makna kata, perkembangan dan perubahannya.
Dalam melakukan “penafsiran” terhadap al-Qur’an, Toshihiko berargumen bahwa suatu bahasa tidak dapat begitu saja di pindah ke dalam bahasa lain tanpa terjadi “kesalahan konsep” yang dibawa. Ia mencontohkan, dengan mengutip pendapat Profesor Morris Cohen dalam bukuPreface to Logic, bahwa sangat berbahaya untuk menyandarkan kesamaan antara kata Yunaniarête dengan ‘virtue’ dalam membahas pandangan Aristoteles tentang manusia dalam karyanya ‘virtous’.[18] Atau dalam konteks Indonesia menyamakan kata dzalim dalam bahasa arab dengan “zalim” dalam bahasa Indonesia.
Dalam bahasa al-Qur’an, yang berbahasa arab, makna-makna konseptual lebih banyak terjadi. Sifatnya yang begitu “unik”. Memiliki kekayaan kosa kata dan sinonim yang kaya. Kata yang bermakna tinggi bersinonim enam puluh sinonim, bahkan kata yang menunjuk kepada aneka jenis pedang sebanyak lebih kurang seribu kata.[19] Satu kata yang memiliki lebih dari satu makna dan tidak jarang mengandung pertentangan makna dari satu kata. Hal ini menyebabkan penelitian semantik sangat dibutuhkan untuk menafsirkan konsep-konsep yang terdapat dalam al-Qur’an.
Toshihiko mencontohkan tentang salih yang dengan mudahnya seringkali diterjemahkan dengan “righteous” atau “good” dalam bahasa Inggris. Hal ini, menurut Toshihiko, akan menghilangkan konsep kesatuan makna yang dikandung oleh kata salih itu sendiri[20]. Apa yang diusahakan Toshihiko lebih dari sekadar tafsir maudhu’I karena ia memberikan dasar-dasar semantik dalam menjelaskan konsep dalam bahasa lain (yang bukan bahasa aslinya). Karena hal ini merupakan masalah yang masih terjadi hingga kini dalam terjemahan al-Qur’an yang beredar di masyarakat bahkan dalam tafsir departemen agama sebagaimana kritik Qurasih Shihab yang beliau sampaikan ketika diminta analisis mengenai tafsir tersebut.[21]Contoh Pendekatan Semantik dalam Kajian al-Qur’an
Bagi pemakalah, apa yang diushakan oleh Toshihiko merupakan terjemahan tindakan dari kaidah tafsir: حادث اصطالح على الكتاب ألفاظ حمل يجوز tidak) ال diperkenankan membawa lafad-lafad al-Kitab al-Qur’an menuju pengertian bahasa kontemporer) serta beberapa kaidah lain yang berkaitan dengan bahasa.[22] Dari sini kita, umat Islam, dapat mengapresiasi apa yang telah diusahakn oleh Toshihiko dalam memahami al-Qur’an.
Dalam bukunya, Toshihiko menjelaskan (tentu ini merupakan bagian dari “tafsir”) tentang term-term tentang “baik dan buruk” dalam al-Qur’an.[23] Pertama pemakalah akan
menyebutkan mengenai tafsir toshihiko pada term “kebaikan” atau al-Birr. Beliau menulis dalam menjelaskan makna semantik dari Birr, sebagai berikut:Birr, yang artinya hampir sama dengan istilah shalih – walau tidak serupa – adalah kata birr, yang barangkali salah satu kata yang paing sukar dipahami dibandingkan dengan istilah-istilah moral lainnya dalam al-Qur’an. Namun, petunjuk penting untuk struktur semantik dasar dari kata ini dapat diperoleh bila kita membandingkannya dengan shalih. Sebagaimana yang kita ketahui, dalam semantik SLH kedudukan sangat penting diberikan kepada faktor-faktor yang berhubungan dengan keadilan dan cinta antara manusia. Dengan demikian –ambillah dua unsur yang mewakili – pengabdian kepada Allah dan memberi makan orang miskin di atas dasar pijakan yang hampir sama. Hal ini juga tak perlu mengherankan kita, karena al-Qur’an secara keseluruhan sangat memberi penekanan kepada keadilan dan cinta dalam perikehidupan social. Dengan kata lain, kesalahan tidaklah dapat terjadi bila kita mewujudkan keadilan dan rasa cinta kepada orang lain.Kini kata birr memberikan penegasan lebih jauh kepada pandangan tersebut. Sebuah ayat yang amat penting dari surah al-Baqarah, memberikan definisi yang kontekstual tentang kata ini, paling tidak dalam kerangka pemikiran al-Qur’an yang umum.Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan (birr), akan tetapi Sesungguhnya kebajikan (birr) itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa (al-Baqarah, 177)Pandangan yang sekilas terhadap unsur-unsur yang di sini disebutkan sebagai birr yang sesungguhnya membuat kita segera memahami bahwa kata itu hampir tidak dapat dibedakan sama sekali dengan salihat, atau iman yang sejati. Kita melihat betapa pada saat yang sama kata ini diterjemahkan dengan berbagai cara ke dalam bahasa Inggris. Istilah tadi sangat tepat diterjemahkan dengan “piety” (kesalehan), namun tidak pula kurang tepat bila disalin dengan “righteousness” (kebajikan, kebenaran, keadilan) atau “kindness” (kebajikan). Tetapi setiap terjemahan ini memiliki makna tersendiri, tidak ada kata yang tepat yang secara umum dapat meliputi semua pengertian dan bahkan barangkali masih terdapat makna lain dalm pengertian birr yang kompleks.[24]
Dari sini dapat kita ketahui bahwa Toshihiko sangat cermat dalam memberikan makna semantik pada konsep yang ia teliti. Hal ini semakin diperkuat dengan lanjutan dari pembahasanbirr di atas. Ia melanjutkan dengan menyebutkan tentang bagaimana al-Qur’an memberikan aspek-aspek pengertian birr yang kompleks. Pertama mengenai hubungan birr dengan taqwa.[25] Ia menyimpulkan bahwa birr adalah menunaikan segala kewajiban, bukan hanya menyangkut keagamaan namun juga sosial.[26] Kesimpulan ini beliau dapat dari penelitian terhadap ayat-ayat yang menyebutkan birr dan taqwa, misalnya pada QS. Al-Baqarah (2): 189[27] dan lebih lagi dikokohkan bahwa al-birr adalah “ketaqwaan yang sungguh-sungguh” yaitu pada QS. Ali Imran (3): 92.[28] Selanjutnya beliau kemukakan mengenai hubungan al-birr dengan ketaatan kepada ibu-bapak (QS. Maryam [19]: 14), serta al-birr dengan qist (QS. al-Mumtahanah [60]: 8).[29]
Sedangkan pada saat menjelaskan konsep semantik dari fasad ia menulis:Bahwa istilah fasad (atau kata yang berhubugan dengan kata kerja afsada) sangat komprehensif, yang mampu menunjukkan semua perbuatan buruk … dalam al-Qur’an kita menjumpai beberapa contoh penggunaan kata tersebut dalam konteks yang non-roligius. Misalnya dalam surah Yusuf, perbuatan mencuri mendapat julukan itu.Saudara-saudara Yusuf menjawab: “Demi Allah sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan (nufisda, dari afsada) di negeri (ini). Dan kami bukanlah orang-orang mencuri” . (QS. Yusuf [12]: 73)… sepintas dalam ayat lain, yang dapat dipandang dalam konteks religious menurut al-Qur’an, kata tersebut berarti melakukan kebiasaan liwat (sodomy) yang menjijikkan dan dikutuk.[30]
Semakin jelas dari sini bagaimana Toshihiko merangkum semua faktor yang mengitari suatu konsep. Tidak hanya bagaimana bahasa memberikan makna pada suatu kata namun lebih
lagi bagaimana al-Qur’an mengkhususkan penggunaan suatu kata. Hal ini akan, pada waktunya, menunjukkan betapa agung bahasa al-Qur’an itu.
ر� ب�ش� ه� ي�ع�لم� ا �ن�م� إ ول�ون� ي�ق� م� �ن�ه� أ ن�ع�ل�م� د� ل�ق� و�ذ�ا و�ه� م�ي� أ�ع�ج� �ل�ي�ه� إ د�ون� ي�ل�ح� ال�ذ�ي ان� ل�س�
ب�ين� م� ب�ي� ع�ر� ان� ل�س�Dan Sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.
KesimpulanDapat disimpulkan bahwa semantik adalah suatu studi tentang makna suatu simbol-
simbol linguistik, melaui “kata”, “ekspresi”, dan “kalimat”. Yang mana dalam sumbangannya dalam metode tafsir bermanfaat besar terutama pada “penjelasan” al-Qur’an yang ditulis dengan bukan bahasa Arab. Semantik sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam dua karyanya, Ethico Religious Concepts In The Qur'an dan God and Man in The Qur'an, telah berhasil mengungkap makna komprehensif dalam konsep-konsep yang seringkali dalam terjemahan disepele kan. Hingga pada waktunya nanti dapat dibedakan bahwa bahasa Arab adalah satu hal dan Bahasa Al-Qur’an merupakan hal lain, sebagaimana Toshihiko tekankan dalam kesimpulanEthico Religious Concepts In The Qur'an.
Daftar Pustaka
al-Tsabt, K. b. (1415 H). Qawa'id al-Tafsri Jam'an wa Dirasat. Madinah: Dar Ibn Affan.Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011.
Izutsu, T. (1993). Etika Beragama Dalam Al-Qur'an. (M. Djoely, Trans.) Jakarta: Pustaka Firdaus.Izutsu, T. (2002). Ethico Religious Concepts In The Qur'an. Canada: McGill-Queen's University Press.Izutsu, T. (2008). God and Man in The Qur'an. Malaysia: Islamic Book Trust.
Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation.Shihab, M. Q. (2007). Mukjizat Al-Qur'an. Bandung: Penerbit Mizan.
Shihab, M. Q. (2010). Membumikan al-Qur'an jilid 2. Jakarta: Lentera Hati.
[1] Tokyo adalah kota metropolitan, ibukota Negara Jepang. Terlitak di pusat pulau Honshu. Dibatasi oleh
Saitama (utara), Chiba (timur), Yamanashi (barat), Kanagawa (tenggara), dan Teluk Tokyo (barat-daya). Lihat, Tokyo. (2011). Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica[2]Lihat Tosihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Al-Qur'an, M. Djoely, Terj, (Jakarta: Pustaka Firdaus
1993)
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu, diakses pada 15 Juli 2012, 06:14 PM. Setelah
pemakalah cari dalam buku-buku karyanya, seperti God and Man in The Qur’an dan Ethico Religious in The Qur’an, tidak ditemukan uraian memadai tentang biografi beliau. Dalam Tosihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Al-Qur'an, M. Djoely, Terj, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1993) hanya terdapat uraian singkat mengenai tanggal lahir dan karir akademis beliau. Bahkan disayangkan dalam Britannica Encyclopaedia dan Encyclopedia Islam cetakan Leiden tidak tersedia pula biografi tokoh besar ini[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu[5] Berasal dari bahasa Sansekerta dhayana yang berarti “meditasi”. Merupakan aliran-utama penganut
Buddha di Asia Timur. Lihat, Zen. (2011). Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica[6] Yaitu pernyataan ringkas yang paradoks, bisa pula berupa pertanyaan. Hal ini dilakukan dalam rangka
meditasi dalam Zen Buddha, terutama sekte Rinzai. Contohnya, “Apakah Buddha itu”, jawabnya, “Tiga pound jerami”. Lihat, koan. (2011). Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica[7] http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu[8] Sebuah univesitas yang terletak di Tokyo. Merupakan bagian dari organisasi yang lebih besar yang di
dalamnya mencakup sekolah dasar (elementary school) dan sekolah menengah (secondary school). Lihat, Keiō University. (2011). Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica[9] http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu[10] http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu[11] http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu[12] http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu[13] Lihat, http://www.worldwisdom.com/public/authors/Toshihiko-Izutsu.aspx , diakses pada 15 Juli 2012,
06:14 PM[14] Sebuah Universitas yang dikenal luas dengan karya-karya di bidang ilmu Kimia, Kedokteran, dan
Biologi. Lihat McGill University. (2011). Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica[15] http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu[16] http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu[17] Eastman, Carol M. "Semantics." Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft
Corporation, 2008[18] Tosihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Al-Qur'an, M. Djoely, Terj, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1993),
h. 5[19] Muhammad Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur'an, (Bandung: Penerbit Mizan, 2007), h. 100[20] Tosihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Al-Qur'an, h. 332[21] Nama tafsir tersebut adalah al-Qur’an dan Tafsirnya, yang merupakan hasil kerja satu tim yang terdiri
dari 17 orang, Lihat Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an Jilid 2, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2010), h. 581-600[22] Lihat Khalid bin ‘Utsman al-Tsabt, Qawa'id al-Tafsri Jam'an wa Dirasat, jilid I, (Madinah: Dar Ibn
Affan, 1415 H), h. 230. Pada bagian buku ini terdapat kaidah-kaidah tafsir yang berkaitan dengan penggunaan “bahasa”. Pokok kajian utamanya yaitu bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab dengan keadaannya pada waktu diturunkan pada masa Nabi saw. lihat pada buku ini mulai halaman 213 hingga 235[23] Pembahasan mengenai hal ini terdapat pada Tosihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts In The
Qur'an, (Canada: McGill-Queen's University Press, 2002), h. 203-248[24] Tosihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Al-Qur'an, h. 337-339
[25] Tosihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Al-Qur'an, h. 339[26] Tosihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Al-Qur'an, h. 339[27] Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan (al-birr) memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung[28] Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (al-birr yang sempurna), sebelum
kamumenafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya[29] Tosihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Al-Qur'an, h. 340[30] Tosihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Al-Qur'an, h. 345
BOOK REEPORT AKU BELAJAR AKU BODOH 1JUDUL ASLI : ETHICO-RELIGIOUS CONCEPTS IN THE QUR’ANPENGARANG : TOSHIHIKO IZUTSUPENTERJEMAH : MANSURUDDIN DJOELYPENERBIT : PUSTAKA FIRDAUSCETAKAN : KE-IITAHUN : 1995HAL : 419
A. BIOGRAFIToshihiko Izutsu lahir di Tokyo, Jepang, 1914 (Litt. D., Keio) adalah profesor pada
lembaga studi kebudayaan dan linguistik, Universitas Keio, Tokyo, dan profesor tamu pada lembaga Studi Keislaman Universitas Mc. Gill, dimana ia menghabiskan enam bulan setiap tahun untuk mengajar Teologi dan Filsafat Islam. Karya-karyanya dalam bahasa Inggris: Language ang Magic: Studies in The Magical Function of Speech, Tokyo: Keio University, 1956; The Stuctur of The Ethical Terms in the Koran: a Semantical Analysis of the Koranic Weltaschauung, Tokyo: Keio University, 1964; dan The Concept of Believe in Islamic Theology, Tokyo: Keio Institute of Cultural and Lingustic Studies, 1965.
B. PEMBAHASAN1. Jangkauan dan Fokus Pengkajian
Islam yang lahir pada abad ketujuh di Arabia tidak diragukan lagi mewakili salah satu pembaharuan agama yang paling radikal yang pernah muncul di Timur. Sedangkan Al Qur’an, sebagai catatan otentik paling dahulu dari peristiwa besar itu, menggambarkan dalam kaitan-kaitan yang kongkret dalam hidup, tentang bagaimana dalam periode krisis ini norma-norma kesukuan yang menghormati zaman purba terlibat ke dalam konflik dengan ideal-ideal kehidupan yang baru, mulai berjalan terhuyung-huyung, dan setelah serangkaian upaya perlawanan yang susah payah dan gagal, akhirnya menyerahkan hegemoni kekuasaan yang sedang bangkit. Arabia pada zaman tersebut, dari masa pra-Islam yang menyembah berhala sampai pada masa awal Islam, merupakan sesuatu yang penting dan khusus bagi seseorang yang berminat dalam problem-problem pemikiran etis karena dapat memberikan materi kasus yang baik sekali bagi pengkajian kelahiran dan pertumbuhan sebuah kode moral. Dalam apa yang dikenal dengan Zaman Kebodohan (jahiliyah), maka periode penyembahan berhala sebelum kedatangan Islam, kebiasaan-kebiasaan dan ide-ide yang asing yang berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan musyrik telah melanda bangsa Arab yang nomadik. Terhadap bagian terbesar kepercayaan ini, Islam menolaknya dengan positif, karena secara esensial bertentangan dengan wahyu ketuhanan. Namun banyak sekali dari unsur-unsur kepercayaan itu yang bisa diangkat dengan beberapa modifikasi dalam bentuk dan substansinya dan berhasil dipahami sebagai ide-ide moral yang tinggi, untuk gabungkan ke dalam kode etik Islam yang baru. Dengan
teliti mengikuti transformasi semantik yang dialami kaitan-kaitan etis yang utama dalam bahasa Arab, selama periode sejarahnya yang paling kritis.
Ada tiga kategori konsep etis yang berlainan dalam al Qur’an, yakni: yang mengacu dan menggambarkan sifat etis dari Tuhan; yang menggambarkan berbagai aspek dari sikap manusia yang fundamental terhadap Tuhan; dan yang mengacu kepada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah tingkah laku yang mengatur hubungan etis di antara individu-individu yang memilikinya, dan hidup di dalamnya, sebagai komunitas agama Islam.
Kelompok pertama tersusun dari apa yang dinamakan Nama-nama Tuhan; kata-kata seperti ‘Pemurah’, ‘Penyayang’, ‘Pengampun’, ‘Adil’, ‘Agung’, menggambarkan aspek khusus dari Tuhan. Kelompok yang kedua berkaitan dengan hubungan etis mendasar antara manusia dan Tuhan. Kenyataan yang sebenarnya menurut konsep al Qur’an, adalah bahwa Tuhan merupakan sifat etis, dan bertindak atas manusia dengan cara etis membawa implikasi yang gawat, sehingga di pihak manusia diharapkan menanggapi dengan cara yang etis pula. Dan respon etis manusia terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan dalam pandangan al Qur’an adalah agama.
Kelompok ketiga berkaitan dengan sikap etis dasar seorang manusia terhadap sesamanya dalam komunitas. Kehidupan sosial individu dikuasai dan diatur oleh seperangkat prinsip-prinsip moral tertentu dengan semua kata-kata jadiannya. Serangkaian ketentuan ini merupakan apa yang kita sebut sistem etika sosial, yang segera dikembangkan dalam periode post-al Qur’an, ke dalam sistem yurisprudensi Islam skala-besar.
Secara semantik ini berarti bahwa pada umumnya tidak ada konsep utama dalam al Qur’an yang benar-benar bebas dari konsep Tuhan, dan bahwa dalam lingkungan etika manusia setiap konsep kuncinya hanyalah refleksi yang suram – atau imitasi yang sangat tidak sempurna – dari sifat ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu kepada respons khusus yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan ketuhanan.
2. Metode Analisa dan PenerapannyaAda berbagai cara bagi seseorang untuk mengetahui arti sebuah kata asing. Yang paling
sederhana dan paling umum – tapi sayangnya kurang dapat diandalkan – adalah dengan mengatakan dalam bahasa orang itu sendiri dengan kata yang sama artinya.
Muruwah mewakili ide moralitas yang paling tinggi dalam masyarakat Badui, kebijaksanaan dari segala kebajikan, atau lebih mudahnya, semua kebajikan gurun pasir yang ideal dikombinasikan menjadi satu. Kata muruwah sejauh menyangkut bentuk luarnya, tampaknya secara mengagumkan sesuai dengan ‘man-ness’. Kata ini dibentuk dari kata ‘man’, seorang radikal (sebagai lawan dari perempuan) dan seorang formator yang ke dalamnya dimasukkan pengertian abstrak tentang kualitas dan kepemilikan. Jadi secara etimologis kata itu berarti ‘hak menjadi manusia’, dan orang dapat dibenarkan menggunakan kata bahasa Inggris ‘manliness’ sebagai bentuk pengertian yang sama untuk murwah.
Dalam kamus bahasa Arab, Taj al-‘Arus oleh al Zabidi, kata hilm didefenisikan sebagai ‘tindakan pengekangan jiwa seseorang dan menahan sifat seseorang dari emosi kekerasan suatu kemarahan’. Dalam Muhit al Muhit oleh al Bustani, hilm adalah ‘keadaan jiwa tetap tenang
sehingga tidak dapat bergerak dengan mudah; dan tidak gentar menghadapi bencana apapun yang timbul’, keadaan tenang yang mantap meskipun terserang kemarahan’, dan lamban dalam membalas orang yang salah’.
Jahl sifat nafsu yang ganas yang cenderung mudah bergolak oleh profokasi yang paling kecilpun dan mendorong seseorang ke dalam semua jenis kenekatan; bahwa nafsu ini cenderung memanifestasikan dirinya dalam cara yang sangat ganjil, dalam rasa kehormatan yang angkuh mengkarakteristikkan bangsa Arab penyembah berhala, khususnya orang-orang Badui padang pasir; dan akhirnya bahwa dalam situasi spesifik secara al Qur’an, kata itu mengacu kepada sikap permusuhan yang ganjil dan keagresifan melawan kepercayaan Islam yang monoteistik, yang bagi pikiran orang-orang yang sezaman dengan Muhammad sukar sekali diterima secara etis, dan lebih lanjut mempersilahkan mereka meninggalkan adat yang dihormati sepanjang zaman dan pujaan-pujaan mereka.
3. Konsepsi Pesimistis Kehidupan DuniawiBarangkali gagasan yang paling mencolok tentang cita-cita moral Arab Kuno adalah bahwa
Islam memprokalmirkan suatu moralitas baru yang seluruhnya didasarkan pada kehendak Tuhan yang absolut. Sedangkan tuntutan yang terpenting dari kehidupan moral sebelum Islam adalah tradisi kesukuan, atau “adat istiadat nenek moyang kita”.
Prinsip moralita yang diperjuangkan dengan gigih oleh Nabinya itu bersumber pada semangat keyakinannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedang semua adat istiadat dan tradisi suku-suku tidak lain kecuali urusan duniawi yang tidak bernilai “kesucian” apapun. Realisme sederhana yag digolongkan dalam pandangan dunia orang-orang Badui dengan cara yang amat khas sangat dikenal di kalangan mereka yang tertarik dengan sifat dasar kebudayaan Arab. Bagi pikiran Arab yang realistis, dunia ini dengan berbagai rona dan bentuknya merupakan satu-satunya dunia yang ada. Tiada suatupun yang lebih jauh dari pikiran tersebut ketimbang kepercayaan pada kehidupan yang abadi, kehidupan di akhirat. Tak mungkin terdapat suatu kehidupan di luar batas dunia ini.
“Keabadian” yang sering diceritakan dalam puisi masa sebelum Islam, dan yang niscaya merupakan salah satu problem kemanusiaan yang paling serius dikalangan orang Arab penyembah berhala menjelang kelahiran Islam, terutama dimaksudkan suatu kehidupan yang abadi di dunia ini juga. Dari khasanah sastra yang terlihat dengan jelas bahwa mereka menyadari semua harta benda yang mereka kumpulkan dari seluruh perbuatan mereka di dunia akhirnya akan tidak berarti dan sia-sia – kecuali jika ditemukan sesuatu yang akan dapat mengekalkan seluruh kehidupan di dunia ini.
Islam mengajarkan bahwa dunia ini adalah fana dan sia-sia, dan oleh karena itu kamu jangan sekali-kali terpedaya olehnya; jika kamu benar-benar ingin mendapatkan kehidupan yang kekal dan menikmati kebahagiaan yang abadi kamu mesti menganut suatu prinsip tentang kehidupan dunia lain dengan cara yang sangat mendasar dalam kehidupan kamu. Jahiliyah mengajarkan bahwa segalanya sia-sia dalam dunia ini dan tidak ada sesuatupun yang bisa dijumpai disebaliknya, maka kamu harus menikmati kehidupan yang sementara ini dengan mereguk
kenikmatan sejauh yang dapat dilakukan. Upaya mencari kenikmatan semata-matalah yang merupakan tujuan akhir yang mungkin dicapai bagi orang-orang yang mencintai dunia di zaman Jahiliyah.
Sikap mendasar manusia masa sekarang, dari sudut pandang al Qur’an, bukanlah hidup yang mengutamakan kesenangan duniawi seperti pada orang Arab masa pra-Islam, tetapi kesungguhan dalam mendekatkan diri dengan Hari Akhir. Siksaan hari kiamat yang sangat mengerikan sudah hampir tiba. Dan pada hari itu orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan harus mempertanggung jawabkan segala perbuatan mereka yang ceroboh selama di dunia.
4. Semangat Solidaritas KesukuanStruktur sosial Arab sebelum Islam pada dasarnya bersifat kesukuan. Sebuah suku, atau sub-
kelasnya, suatu marga, bagi orang-orang Arab sebelum Islam bukan hanya suatu unit atau basis kehidupan sosial yang tunggal, tetapi yang pertama dan terpenting adalah lambang sebuah prinsip perilaku paling tinggi, yang menyusun suatu pola yang komprehensif bagi keseluruhan kehidupan, baik dalam konteks kehidupan individu maupun masyarakat. Semangat kesukuan tak disangsikan lagi merupakan sumber pokok semua cita-cita moral yang atasnya masyarakat Arab dibina. Menghormati jalinan hubungan kekeluargaan yang berdasarkan ikatan darah melebihi segala apapun lainnya di dunia, dan bertindak demi kemuliaan suku, yang merupakan perjanjian suci yang harus dipatuhi oleh semua orang, yakni setiap individu yang menjadi anggota kelompok yang bersangkutan.
Kenyataan yang aktual, kaidah solidaritas kesukuan ini, sebagaimana setiap kaidah perilaku, kadang-kadang juga dilanggar, sekalipun para tokoh masyarakat padang pasir berkepribadian begitu kuat dan menentukan dalam memelihara loyalitas kepada ajaran-ajaran kesukuan.
Struktur sosial Jahiliyah pada dasarnya bersifat kesukuan, dalam pengertian bahwa cita-cita dari sebuah suku adalah Alpha dan Mega dari keberadaan manusia. Ikatan hubungan persaudaraan yang berdasarkan aliran darah, penghormatan yang hangat berbasiskan semua hal yang berkaitan dengan hubungan darah, ini, mensyaratkan orang harus berpihak kepada saudara sesukunya tanpa perlu memperhatikan apakah dia berada di pihak yang salah atau benar, mencintai sukunya sendiri, memandang rendah orang yang bukan berasal dari sukunya. Inilah yang menentukan ukuran akhir yang dengannya masyarakat Jahiliyah mengukur nilai-nilai moral seseorang.
Secara politis Muhammad sendiri diuntungkan dengan tidak menghiraukan luasnya peranan solidaritas kesukuan yang ada, bahkan sejak di kota Mekkah, terutama sekali sejak tahun pertama aktivitas kenabiannya. Muhammad melakukan sesuatu yang sangat berani denga berusaha untuk menghapuskan prinsip solidaritas kesukuan dan menggantikannya dengan kepercayaan Monotheistis. Ini memungkinkan lahirnya sebuah organisasi kemasyarakatan yang baru dengan sikap hidup ritualistis, sebagai manifestasi perintah eksternal yang musti dilaksanakan di dunia. Solidaritas kesukuan cenderung mengarahkan tindakan manusia ke arah pembelaan sanak saudaranya bahkan bila mereka bersekutu dengan musuh. Ini merupakan suatu fenomena yang sering terjadi di Arab setelah munculnya Islam.
Jadi Muhammad, ketika Hijrah ke Madinah, pertama sekali mencoba untuk menegakkan, sesuai dengan prinsip baru yang diajarkannya, persatuan yang melampaui batas kesukuan dari seluruh pengikutnya, dan mendeklarasikan bahwa orang-orang Muhajirin(takni mereka yang menyertainya sejak permulaan dalam menghadapi segala kesukarannya dan hijrah bersama dia dari Mekkah) dan orang-orang Anshar (yakni, mereka yang baru saja memeluk Islam di Madinah) harus menganggap diri sebagai “saudara” seagama, dan bahwa persaudaraan ini harus mampu menghilangkan semua kebiasaan lama dan peranan dari persaudaraan karena hubungan darah. Orang beriman haruslah menjadi sahabat orang beriman lainnya dan orang kafir temannya adalah orang kafir pula, tinggalkanlah segala bentuk hubungan yang dikarenakan hubungan darah dan keturunan.
Unsur kelembutan dan kerendahan hati, sehubungan dengan kebajikan manusia, merupakan imbangan dari kebajikan Tuhan, menjadi hal yang sangat penting dari Etika Islam. Sebagian besar, walaupun tidak semua, dari kewajiban moral yang diakui Islam diperoleh dari amal baik ini. Kebajikan diperintahkan agar dilakukan setiap saat kepada setiap orang beriman. Kebajikan mesti mengarahkan prinsip dari semua hubungan manusia dalam masyarakat dan juga dalam keluarga. Maka orang mesti bersikap hormat dan lembut kepada orang tuanya dan senantiasa merawat mereka dengan baik.
5. Islamisasi Nilai-nilai Kebajikan Arab Lamaa. Kemurahan Hati
Dalam kehidupan masyarakat padang pasir, kemurahan hati menempati kedudukan yang sangat tinggi di antara sifat-sifat mulia. Dalam masyarakat padang pasir, dimana kebutuhan material yang paling dasar sangat langka, keramahtamahan dan suka menolong merupakan aspek sangat penting dalam mempertahankan hidup. Tetapi di sana ada sesuatu yang lebih dari itu. Kemurahan hati menurut orang-orang Arab penyembah berhala erat sekali kaitannya dengan konsepsi orang Jahiliyah tentang “kehormatan”. Bagi orang Arab penyembah berhala, berderma bukanlah sekedar manifestasi alamiah dari perasaan solidaritas kesukuannya. Yang banyak melakukan kebajikan dipandang paling bermartabat di padang pasir. Para pemuka Arab berlomba-lomba berbuat kebajikan. Nilai-nilai kebajikan begitu dalamnya berakar di hati orang Arab. Orang yang memiliki sifat mulia, menurut mereka, tidak perlu memperdulikan hari esok.
Islam menolak setiap kedermawanan yang bertolak dari keinginan untuk bersikap pamer. Dandisme atau ksatriaan yang dilakukan untuk kepentingan diri sendiri, menurut pandangan Islam, tidak lain kecuali nafsu setaniah. Yang utama bukanlah perbuatan berderma, tetapi motif yang melatar belakanginya. Semua tindakan yang secara lahiriah menunjukkan kedermawanan sama sekali tidak ada harganya apabila kedermawanan sama sekali tidak ada harganya apabila berpangkal pada kesombongan dan keangkuhan. Orang pemurah yang sebenarnya adalah yang “membelanjakan hartanya di jalan Allah”, yaitu karena dorongan keimanan, dan dilakukan pada dasar kesalehan, yang dapat menjadi pengendali dengan baik.
b. Keberanian
Menjadi hal yang lazim di padang pasir bahwa keberanian atau kejantanan ditempatkan pada kedudukan yang sangat tinggi, melebihi nilai-nilai lainnya. Keberanian bukan hanya berkelahi dengan senjata, tapi juga lebih percaya diri dan agresif. Nilai-nilai kegagahan dan keberanian pada orang Arab penyembah berhala sering tak lebih baik daripada kekejaman dan kebuasan yang tidak berperikemanusiaan yang terjadi dalam permusuhan antar suku.
Islam tidak berbeda dengan Jahiliyah dalam menghargai keberanian dan mencemooh sikap pengecut. Islam sebagaimana di kalangan penyembah berhala, juga memberi penghormatan tertinggi kepada orang-orang yang tak pernah gentar menghadapi bahaya, yang dengan gagah dan berani menghadapi musuh pada setiap arena pertempuran.
Merupakan suatu aib yang keji bagi seseorang prajurit di masa Jahiliyah bila dituding sebagai orang yang kalah dalam pertempuran dan melarikan diri, dan aib itu juga menodai kehormatan sukunya itu sendiri. Demikian pula halnya dengan orang Islam, melarikan diri dari musuh ketika sedang bertempur di jalan Allah adalah pelanggaran yang sangat tercela terhadap agama dan Allah.
c. KesetiaanKesetiaan dan kepercayaan merupakan suatu ciri nilai yang paling tinggi dan paling nyata di
padang pasir, nilai kesetiaan orang Jahiliyah umumnya secara kekerabatan karena hubungan darah. Hal tersebut umumnya berlaku dalam batas kesukuan, dalam lingkungan yang sempit inilah kesetiaan memegang kendali yang mutlak dan tertinggi. Hal itu mewujudkan sebagai penyucian diri paling tidak memihak demi kekerabatan, kesetiaan paling tinggi kepada teman-teman dan juga ketaatan paling utama dalam memegang teguh perjanjian. Seringkali janji itu sendiri dalam meluas keefektifan nilai-nilainya bahkan melampaui batas kesukuan.
Penyanjungan demikian tinggi terhadap kepercayaan dan kesetiaan diwarisi Islam dari orang Jahiliyah, dalam sosok budaya pengembaraannya yang asli. Dari al Qur’an sendiri maupun tradisi kerasulanlah nilai-nilai kesetiaan khas orang Arab padang pasir diambil oleh Islam sebagai suatu kode moralnya. Sebagaimana dengan gagasan-gagasan nomadic lainnya, Islam bukan hanya mengambil begitu saja nilai-nilai tersebut, tapi mengembangkannya secara khas, dan mengantarkannya ke alur kepercayaan monotheistis.
d. Islam Sebagai Suatu KebenaranJika wahyu yang diturunkan dengan perantaraan Muhammad merupakan suatu kebenaran,
maka selanjutnya tentu saja bahwa Islam, agama yang didasarkan pada wahyu itu, adalah juga suatu Kebenaran. Berdasarkan pengertian ini, kata haqq secara terus menerus digunakan sebagai lawan kata dari bathil.
Akibat dari semua ini adalah bahwa karena kesucian yang ditafsirkan bagi kata “kebenaran”, haqq, di dalam al Qur’an, dan, oleh karena itu, semua penggunaan bahasa yang menyangkalnya dengan cara apapun dianggap penghujjahan yang terang-terangan terhadap Allah dan agama-Nya.
e. Kesabaran
Sabr, “kesabaran”, “ketabahan”, atau “daya tahan”, merupakan suatu nilai yang menonjol dalam lingkungan hidup padang pasir di zaman Jahiliyyah. Kata ini adalah bagian dari shaja’ah, “berani”. Dipandang dari ilmu semantik, kata tersebut secara langsung bertentangan dengan kata jaza’, yaitu sifat tidak dapat menahan diri dan terlalu cepat bersikap bengis. Sabr itu sendiri berarti memiliki ketabahan dan kekuatan jiwa menghadapi kesengsaraan, penderitaan, dan kesulitan dalam kehidupan.
Nilai budaya suku pengembara lama ini, juga ditransformasikan oleh Islam ke dalam salah satu nilai utamanya, dengan melengkapinya dengan tuntutan keagamaan yang pasti: “Sabar di jalan Allah”. Sebagaimana di zaman Jahiliyah, teristimewa, sabr dalam Islam diperintahkan kepada setiap orang beriman yang sedang bertempur di medan melawan kaum kafir.
6. Dasar Dikotomi MoralDalam pandangan al Qur’an, semua sifat manusia dibagi dalam dua kategori yang secara
radikal saling bertentangan, mengingat kenyataan bahwa kategori-kategori tersebut sanat konkret dan secara semantik sungguh tepat untuk disebut dengan predikat “baik” dan “buruk”, atau “benar” dan “salah” – secara sederhana dapat kita namakan kelas yang memiliki sifat moral yang negatif secara berturut-turut. Standar penilaian terakhir yang dengannya pembagian ini dilaksanakan adalah kepercayaan yang semata-mata tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa, pencipta semua makhluk. Pada dasarnya, hampir seluruh lembaran al Qur’an mengajukan garis pokok dualisme mengenai nilai-nilai moral manusia; dasar dualisme tersebut menyangkut orang beriman dan orang yang tidak beriman. Dalam pengertian ini, sistem etika Islam merupakan suatu struktur yang sangat sederhana. Karena dengan standar nilai “kepercayaan” pokok tersebut, orang dengan mudah dapat menentukan kegolongan yang mana dari kedua kecenderungan seseorang dan tindakannya dapat dimasukkan.
Dengan kata lain, etika kehidupan di dunia ini tidaklah sederhana sebagai suatu sistem yang dapat mencukupi kebutuhan sendiri; sebaliknya strukturnya ditentukan oleh tujuan akhir (berkenaan dengan ilmu keakhiratan) yang untuknya dunia kini (al-dunya) dipersiapkan.
a. Para Ahli SurgaJika seseorang sungguh menginginkan termasuk ke dalam golongan “mereka yang diizinkan
hidup di taman firdaus, suatu kehormatan yang tinggi”, ditegaskan bahwa pahala surga diperuntukkan bagi yang taat beribadah: “yang selalu menegakkan shalat dengan baik”. (al Maidah, 23-24).
Rasa syukur (shukr) dan taubat (taubah) adalah dua unsur yang mencolok sekali dalam kutipan ayat al Qur’an, yang dengan jelas menjabarkan ide-ide yang mencirikan “Ahli Surga”. Taubat atau penyeasalan merupakan imbangan manusia dari rahmat Tuhannya yang tak dapat diduga. Perlu diperhatikan disini bahwa kata yang sama taubahberarti bertaubat dari pihak Tuhan. Manusia menyeru kepada Tuhan dengan taubat, dan Tuhan melimpahkan kepada manusia dengan rahmat-Nya. Kebaikan dan rahmat Tuhan yang tanpa batas bahkan bagi mereka yang tidak beriman kepada-Nya karena terjerumus dalam godaan dosa yang sangat mengerikan.
Jadi setiap yang beriman diperintahkan kembali kepada Tuhan melalui taubat yang tulus. Hal tersebut akan memungkinkan Tuhan mengampuni dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya, baik dengan sengaja atau tidak disengaja. Seseorang yang benar-benar telah bertaubat dengan sepenuh hati bahkan akan dibalas dengan pahala surga.
b. Para Ahli NerakaPara penghuni neraka terdiri dari mereka yang tidak memenuhi persyaratan sifat “positif”
apapun, atau memiliki ciri-ciri yang secara langsung bertentangan dengan sifat-sifat yang baik. Kaum kafir akan dilemparkan ke api neraka sebagai balasan atas fusuqmereka. Yakni perilaku jelek mereka di dunia yang menentang firman Tuhan.
Empat macam dosa yang terutama menegaskan orang-orang yang berhak mendapat “ganjaran” siksaan yang amat pedih dalam neraka jahannam: (1) kufr, (2) tindakan yang merintangi orang berbuat yang baik menurut agama, (3) pelanggaran terhadap kehendak Tuhan, dan (4) meragukan kebenaran Tuhan dan berpaling kepada Tuhan yang lebih dari satu (politheisme).
7. Struktur Inti konsep KufrKonsep kepercayaan atau keimanan, sebagai suatu nilai etiko religius tertinggi dalam al
Qur’an, mungkin paling baik dianlisis tidak secara langsung tetapi dilihat dari sudut pandangkufr, yakni dari sisi negatifnya. Mengenai kufr telah banyak kita ketahui, karena telah sering dijelaskan tentangnya atau pengertiannya yang kompleks.
Kafir adalah orang yang setelah menerima kebajikan Tuhan tidak memperlihatkan rasa terima kasih dalam perilakunya, atau justru bersikap menentang akan rahmat yang diberikannya, menciptakan kebohongan terhadap Tuhan, Nabi-nabi-Nya, dan terhadap wahyu yang dikirimkan kepadanya. Dengan demikian kata kufr sangat sering digunakan sebagai lawan kata dari iman “percaya”. Kufr sebagi penolakan manusia terhadap al Khalik, mewujudkan dirinya dengan cara yang sangat khas dalam berbagai tindakan kesombongan, kecongkakan, kepongahan.
a. Unsur yang menunjukkan rasa tak bersyukur dalam kufrPandangan sekular melihat kufr bukan sebagai suatu sikap manusia terhadap Tuhan, tetapi sebagai suatu hal yang sama sekali berbeda. Kufr dikemukakan sebagai suatu sikap yang benar-benar tidak mungkin bagi Tuhan untuk mengenakannya kepada manusia.Sifat kufr manusia terutama menjadi jelas jika kita mengamati perilakunya pada saat mengalami kesukaran. Kata dasar tersebut muncul dalam bentuk kafur, yang menurut al Baydawi, yang mengemukakan sikap yang melampaui batas dari kufr, dan menunjukkan tipe manusia yang melupakan semua kebajikan yang dinikmatinya, walaupun dia mengingat kesukaran sekecil apapun yang telah diterimanya.
b. Kufr sebagai lawan dari imanAsal kata KFR dalam al Qur’an secara semantik bersifat mendua yang berarti dapat digunakan dalam dua pengertian dasar: “tidak bersyukur” dan juga “tidak percaya”. Orang-orang kafir
merupakan orang-orang yang sungguh-sungguh mendasarkan akal sehat dan bersikap masa bodoh dengan apa yang dinamakan wahyu.
c. Hati orang kafirSebagai kebalikan dari suasana yang tenang dan tenteram ini, hati orang kafir seringkali digambarkan sebagai “mengeras seperti batu”. Qasat qulubuhum, hati mereka keras, atau telah membatu”, merupakan suatu perumpamaan bagi keadaan hati orang kafir yang dengan keras kepala menentang panggilan wahyu, sekalipun gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi-bumi jadi terbelah” (Ar Ra’d, 30/31). Karakterisitk kedua tentang hati orang kafir, adalah bahwa hati mereka “ditutupi” (fi akinnah), ada tabir pemisah (hijab) dengan wahyu. Orang kafir tidak dapat memetik keuntungan apapun dari agama yang diturunkan kepadanya. Mereka tetap buta dan tuli terhadap tanda-tanda Tuhan.
d. Kufr dan syirkSyirk tidak lebih dan tidak kurang sama dengan mengadakan kebohongan, yakni “mengadakan kebohongan terhadap Tuhan”, kemusyrikan politheisme akibat dari kemunculan arah “dari pada alasan-alasan yang jelas” yang sebenarnya hanya merupakan kebohongan belaka, dengan cara ini pula syirk sangat erat hubungannya dengan kufr.
e. Hawa sebagai penyebab terjadinya dalalAl Qur’n menyebutkan hawa (jamak ahwa’) sebagai penyebab utama dan perantara daripada dalal. Dia mengikuti hawa dalam hal-hal yang berkenaan dengan kepercayaan religius yang pasti menyimpang dari jalur yang benar. Dan mereka yang mengikuti orang yang mengikuti hawa’nya tak pelak lagi akan tersesat dari jalan Tuhan. Kata hawa’ itu berarti dapat dikatakan secara kasarnya, bersifat menyimpang dari jiwa manusia, yang lahir dari nafsu kebinatangan. Dalam konteks al Qur’an, kata tersebut selalu berarti suatu penyimpangan jahat yang besar kemungkinan menyesatkan manusia dari jalur yang benar. Maka dalam al Qur’an hawa’ merupakan pertentangan dari ‘ilm, “pengetahuan”, yakni memberikan pengetahuan tentang kebenaran.
f. Sikap yang sombongUnsur penting lainnya dalam struktur semantik dari konsep kufr adalah “kesombongan” atau “ keangkuhan”. “Kesombongan” pada sisi positifnya, bertentangan dengan “kepercayaan” (iman), mereka yang “sombong” tidak dapat “meyakini”, dan sebaliknya orang yang tidak mempercayai “tanda-tanda” kekuasaan Tuhan berarti menunjukkan sifat yang sombong”. Berbagai aspek yang menyangkut gejala yang berkenaan dengan kesombongan manusia terhadap Allah:
1. Bagha, perbuatan yang melanggar aturan yang berlaku dan tidak bijaksana terhadap orang lain, yang muncul akibat kesombongan diri.
2. Batira, bersuka ria secara berlebih-lebihan, bersuka ria dengan cara demikian dapat menimbulkan sikap keangkaraan dan kesombongan.
3. ‘Ata, keangkuhan dan diluar batas, menunjukkan sikap tinggi hati.
4. Tagha, orang yang menekankan tanpa memperhatikan aturan dan terutama sekali tanpa menghiraukan petimbangan-pertimbangan agama dan moral, yang tidak menghendaki apapun yang menghalanginya dan keyakinan yang tidak terbatas kepada kemampuan dirinya.
5. Istaghna’, membanggakan kekayaan yang dimiliki seseorang dan konsekuensinya “meyakini ketidakterbatasan akan kemampuan diri seseorang.
6. Jabbar, menyatakan dirinya berada pada suatu tingkatan tertentu, menganggap dirinya cukup “kaya” dan mapan sehingga biasanya cenderung ingin menguasai pihak lain.
g. Memperolok-olok wahyuPengungkapan paling lazim dari olok-olok ini dalam al Qur’an adalah ittikhadha huzu’anyang keduanya berasal dari kata dasar HZ.
h. Suka membantahOrang-orang kafir bersikap skeptis dan rasionalistis, mereka tidak mudah tunduk kepada firman-firman Tuhan yang dibawa oleh nabi, jika mereka menganggap kata-kata yang disampaikan tersebut bertentangan dengan apa yang dianggap benar oleh akal sehatnya. Oleh karena itu mereka cenderung terjerumus dalam “perbantahan” mengenai Tuhan dan misi kenabian Muhammad.
8. Kufr dalam Bidang Semantika. Fasiq
Siapa saja yang ingkar pada perintah tuhan dengan cara apapun dapat disebut fasiq, fasiqbersinonim dengan kafir, salah satu ayat yang menunjukkan bahwa kufr dan fisq memiliki arti yang persis sama: “dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar (yakhfuru), melainkan orang yang fasiq (fasiiqun, bentuk jamak dari kata fasiq)
b. FajirOrang yang berperilaku buruk tetapi dia masih menjadi anggota masyarakat muslim
c. ZalimBertingkah laku dengan cara tertentu hingga melampaui batas dan melanggar hak orang lain
d. Mu’tadiSeseorang yang melakukan sesuatu yang melampaui batas yang diakui secara umum, yang bertindak agresif dan tidak adil terhadap orang lain.
e. MusrifMelampaui batasan yang seharusnya, menunjukkan sikap yang berlebih-lebihan.
9. Kemunafikan religiusPengakuan keimanan hanya di mulut saja padahal hatinya tidak beriman, tidk ada
keselarasan antara perkataan dan perbuatan dalam hal yang berkenaan dengan keimanan religius yang merupakan salah satu gambaran yang khas dari fisq.
10. Orang yang beriman
Inti dari sifat-sifat moral yang positif”percaya” merupakan sumber dan pencipta nilai-nilai keislaman yang sebenarnya, dan tidak ada nilai yang mungkin ada dalam Islam yang tidak berdasarkan kepada kepercayaan yang sungguh-sungguh kepada Tuhan dan wahyu-Nya.Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah, gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya (haqqan). (al Anfaal, 2-4)
Defenisi verbal ini memperlihatkan bahwa “orang yang beriman dalam arti kata yang sesungguhnya” adalah orang yang benar-benar taat, yang hatinya senantiasa menyebut nama Allah sehingga mampu menimbulkan rasa kagum yang sangat kuat, dan yang sepanjang hidupnya ditentukan oleh suasana hati ketaatan yang mendalam.
Sifat yang fundamental dari perasaan berdosa dan kekhusukan terhadap Tuhan, kepasrahan yang sepenuhnya terhadap kehendak Tuhan, rasa syukur yang diungkapkan dengan tulus terhadap rahmat yang diterima dari-Nya, semua unsur ini mencirikan keimanan Islam yang paling tinggi yang terwujud dalam perbuatan baik (salihat).
C. PENUTUPBuku ini secara keseluruhan materinya berdasarkan ide-ide fundamental yang masing-
masing sistem linguistiknya – bahasa Arab dan bahasa Arab al Qur’an – mewakili sekelompok konsep yang sederajat. Jadi bahasa Arab al Qur’an sesuai dengan, secara kolektif, yang dapat kita namakan dengan wawasan al Qur’an, yang di dalamnya terdapat wawasan yang lebih luas yang dipersempit oleh bahasa Arab Klasik. Dengan cara yang persis sama, bahasa etika dalam al Qur’an hanya mengungkapkan suatu bagian dari keseluruhan wawasan al Qur’an.
PENDEKATAN SEMANTIK THOSIHIKO IZUTSU
Posted on Desember 30, 2012 by marsoheng under kaweruh
PENDEKATAN SEMANTIK THOSIHIKO IZUTSU
Oleh: Farid Isnan
1. A. PENDAHULUAN
v Latar Belakang
Berbagai disipilin ilmu baru dalam pendekatan Al-Quran mulai
bermunculan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
zaman, dan agama Islam itu sendiri. Selain hermeneutik dan
semiotik, semantik yang concern pada aspek linguistik
tampaknya mulai akrab ditelingan para mahasiswa Tafsir
Hadist, yang kesehariannya bergelut dengan kajian Al-Quran.
Dengan semantik, disiplin ilmu yang relative baru dan “asing”
tersebut, mereka berusaha mengurai arti makna kata dalam Al-
Quran yang merupakan salah satu objek kajianya.
Semantik pertama kali dipopulerkan oleh ilmuan jepang
Toshihiko Izutsu, seorang dosen tamu di Institute of Islamic
Studies, McGill University, Montreal, Kanada. Dia adalah
seorang professor pada lembaga studi kebudayaan dan
linguistik Keio University Tokyo. Analisis semantik dia gunakan
untuk menelaah kosa kata Al-Quran yang terkait dengan
masalah konkrit manusia, kemudian
menemukanwelthancauung Al-Quran terhadap masalah
tersebut.
Dengan munculnya beberapa model pembacaan (baca: tafsir)
baru pada Al-Quran seperti semantik, berkonsekuensi logis
terhadap munculnya pro-kontra. Terlebih dengan
menggunakan istilah yang terkesan “kafir”. Meskipun
sebenarnya pengkajian Al-Quran dari sisi kebahasaan bukanlah
sesuatu yang “aneh” dalam dunia keilmuan Islam. Sebut saja
Tafsir Al-Kasyaf karya Az-Zamakhsari (1144 M). Sebagian
ulama, rata-rata dari kalangan akademisi, ada yang setuju dan
bahkan menggunakan metode penafsiran baru tersebut. Tetapi
sebagian ulama konvensioanal cenderung menolaknya.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, makalah ini akan
mencoba meyajikan tentang semantik dan prosedural
operasinalnya. Disamping sudah barang tentu menjelaskan
siapa itu Thoshihiko Izutsu, backround pendidikannya,
dan track record hidupnya. Agar kita sebagai mahasiswa Tafsir
Hadits sedikit banyak mengenal apa itu ilmu semantik. Semua
itu diupayakan semaksimal mungkin, meski kami yakin akan
jauh dari sempurna. Semoga bermanfaat.
v Rumusan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan, maka kami akan
merumuskan beberapa masalah yang kami anggap penting
untuk dikaji dalam makalah ini. Yaitu:
ü Biografi Toshihiko Izutsu
ü Pembahasan, yang akan memuat :
Pengertian dan metode semantik Toshihiko Izutsu
Relevansi pendekatan semantic Al-Quran
ü Kesimpulan dan penutup
Dengan demikian, disamping memudahkan, pembahasanpun
akan lebih fokus pada hal-hal yang urgen dalam semantik Al-
Quran.
1. B. Biografi Toshihiko Isutzu
Toshihiko Izutsu lahir di Jepang pada tanggal 4 Mei 1914 dan
wafat pada 1 Juli 1993. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam
suasana agama Zen yang sangat kental. Ayahnya seorang
pemimpin agama Zen yang sangat militan dan ketat dalam
mendidik dan menanamkan penghayatan terhadap agam Zen,
sehingga Toshihiko pun mulai jenuh dan bosan dalam
menghayati agama tersebut. Kejenuhannya ini
dilampiaskannya dengan mempelajari berbagai bahasa,
termasuk bahasa arab, yang merupakan bahasa kitab suci
umat Islam, Al-Quran
Izutsu belajar di Fakultas Ekonomi di Universitas Keio, Jepang.
Kemudian dengan alasan ingin diajar oleh professor favoritnya,
ia kemudian pindah ke Departemen Sastra Inggris. Ia menjadi
asisten peneliti sejak tahun 1937 setelah lulus dengan gelar
B.A. Pada tahun 1958 ia telah berhasil menyelesaikan
terjemahan pertamanya, Al-Quran dari bahasa Arab ke bahasa
Jepang yang terkenal dengan keakuratan linguistiknya dan
banyak digunakan sebagai referensi karya- karya ilmiah dan
tugas-tugas akademik. Atas saran dari Shumei Okawa, Izutsu
belajar mengenai Islam di East Asiatic Economic Investigation
Bureau di tahun yang sama. Kemudian Rocke Fellen
Foundation, the human division memberikan dana bantuan
kepadanya untuk mendapat tambahan dua tahun study tour di
dunia muslim, yaitu pada tahun 1959- 1961.
Toshihiko Izutsu adalah seorang professor yang sangat
berbakat di bidang bahasa asing, Ia menguasai lebih dari 30
bahasa, termasuk bahasa Persia, Sankskerta, Pali, Cina, Rusia,
dan Yunani. Penelitian yang dilakukan Toshihiko Izutsu
bergerak di tempat- tempat seperti Timur Tengah (khususnya
Iran), India, Eropa, Amerika Utara dan Asia, dengan penekanan
pendekatan filosofis berdasarkan perbandingan agama dalam
studi linguistic teks-teks metafisik tradisional. Jadi tidak heran
jika beliau mampu mengkhatamkan Al-Quran dalam durasi
waktu 1 bulan setelah mempelajari bahasa Arab.
Izutsu memiliki keyakinan bahwa harmoni bisa dipupuk antara
masyarakat dengan menunjukkan bahwa banyak kepercayaan
yang diidentifikasi masyarakat itu sendiri dapat ditemukan
meskipun mungkin dalam bentuk yang berbeda, dalam
metafisika yang masyarakatnya sangat berbeda.[1]
Adapun karya tulis beliau yang pernah dihasilkan diantaranya
adalah:
1. Concept of Belief in Islamic Theology,
2. Sufism and Taoism: a Comparative Study of the Key
Philosophical Concepts,
3. Creation and the Timeless Order of Things: Essay in
Islamic Mystical Philosophy, Toward a Philosophy of Zen
Buddhism, Language and Magic: Studies in the Magical
Function of Speech,
4. Ethico- Religious Concepts in the Qur’an,
5. God and Man in the Koran: Semantiks of the Koranic
Weltanschauung.
Untuk karyanya yang telah disebutkan tersebut, Profesor
Nobuhiro Matsumoto, Direktur Institut Kebudayaan dan Studi
Bahasa Universitas Keio telah membimbing dan tak henti-
hentinya menaruh perhatian pada karya beliau tersebut. Selain
itu sahabat karib beliau, Takao Suzuki, juga membantu beliau
dalam membacakan bukti- bukti yang berkaitan dengan hasil
kajian beliau. Atas karya beliau ini jugalah sehingga beliau
mendapatkan beasiswa sumbanganFukozawa untuk pengajaran
dan studi lanjut dari Rektor Universitas Keio, Shohei Takamura.
Sehingga pada akhirnya buku- buku hasil kajian beliaiu ini
dapat dipublikasikan, Kebanyakan hasil kajian beliau ini adalah
materi- materi kuliah yang beliau sampaikan ketika beliau
berada di Institut Studi Islam, Universitas McGill, Montreal,
Kanada pada musim semi tahun 1962-1963 atas permintaan
Dr. Wilferd Cantwell Smith, selaku direktur.[2]
1. C. Pembahasan
v Pengertian dan Metode Semantik Toshihiko Isutzu
Istilah Semantik berasal dari Bahasa Yunani: semantikos, yang
berarti memberikan tanda. Berasal dari akar kata sema yang
berarti tanda. Semantik adalah salah satu cabang linguistic
yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa,
kode atau jenis representasi lain. Semantik biasanya
dikontraskan dengan dua aspek lain dari ekspresi makna
(Sintaksis), pembentukan symbol kompleks dari symbol yang
lebih sederhana, serta pragmatic, penggunaan praktis symbol
oleh seseorang atau komunitas pada suatu kondisi atau
konteks tertentu.[3]
Semantik Menurut Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik
terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu
pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian
konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat
yang menggunakan bahasa tersebut, tidak hanya sebagai alat
bicara dan berfikir, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah
pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.
Penerapan metode semantik terhadap al-Qur’an berarti
berusaha menyingkap pandangan dunia al-Qur’an melalui
analisis semantik atau konseptual terhadap bahan-bahan
dalam al-Qur’an sendiri, yakni kosa-kata atau istilah-istilah
penting yang banyak dipakai oleh al-Qur’an.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan dalam upaya mengetahui
arti dari sebuah kata asing, salah satu yang paling sederhana
adalah dengan mengartikan dengan kata yang sama dalam
bahasa itu sendiri. Akan tetapi upaya seperti ini sangat tidak
dapat diandalkan, karena tergolong dalam kategori penarikan
kesimpulan secara tergesa-gesa yang jauh lebih sering
menyesatkan daripada mencerahkan. Kata Dzalim
diterjemahkan sebagai penjahat, kesamaan antara
Dzalim=penjahat jika diberikan kepada pendengar dan
pembaca yang hanya mengetahui arti penjahat, tidak ada cara
lain bagi mereka untuk mempelajari arti Dzalim selain
meletakkannya kedalam kategori semantik dari penjahat.
Mereka tidak memahami secara langsung melainkan melalui
analogi dengan konotasi penjahat. Dengan melalui kategori
semantik dari kata lain yang dibentuk dalam kultur yang
terasing seperti ini, pengertian kata berada dalam bahaya
distorsi.
Lebih jauh sebelum Izutsu mengembangkan metode
semantiknya untuk memahami makna al-qur’an, ia
memposisikan al-qur’an sebagai sebagai sebuah teks atau
catatan otentik berbahasa Arab, dan mengesampingkannya
sebagai wahyu Illahi. Ini bertujuan agar pemaknaan terhadap
kosa-kata tersebut dapat dijauhkan dari bias idiologi atau
persepsi apapun yang dapat mempengaruhi proses pemaknaan
secara murni terhadap istilah yang berasal dari al-Qur’an
sendiri, disamping itu juga supaya kitab al-Qur’an dapat
dipahami dan dikaji secara ilmiah oleh siapapun.[4]
Selanjutnya Izutsu mulai menganalisa struktur kata atau
kalimat yang sedang dikaji. Pertama, ia mencari makna dasar
dan makna relasional dari suatu kata. Menurut Izutsu kategori
semantik dalam sebuah kata biasanya cenderung sangat kuat
dipengaruhi oleh kata-kata yang berdekatan yang termasuk
dalam daerah pengertian yang sama. Dan jika frekuensi
penggunaan kata tersebut dengan dihadapkan pada kata yang
berlawanan sering ditemukan, maka secara semantik kata
tersebut perlu memperoleh nilai semantik yang nyata dari
kombinasi spesifik ini. seperti kata kafir yang mempunyai dua
makna ketika dihadapkan dengan kata yang berbeda. Ketika
berhadapan dengan kata syakir, ‘seseorang yang berterima
kasih’, maka kafir tersebut bermakna ingkar terhadap nikmat
Tuhan. Akan tetapi jika kafir dalam suatu kalimat berlawanan
dengan kata mu’min, makna yang diperoleh mengarah pada
kafir teologis atau mengarah pada mengingkari keesaan Tuhan.
[5]
Oleh karena itu untuk mengetahui perubahan seperti ini, Izutsu
menekankan perlunya mencari makna dasar dan makna
relasional untuk memahami sebuah arti kata. makna dasar
menurut Izutsu, adalah sesuatu yang melekat pada arti kata itu
sendiri dan selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan.
Sementara dan makna rasional makna relasional adalah makna
konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang
sudah ada dengan meletakkan sesuatu itu pada posisi khusus,
berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata
penting lainnya dalam sistem tersebut. Makna relasional ini
terjadi ketika sebuah kata dikaitkan dengan kata yang lain.
Kedua, Izutsu menjelaskan pandangan keduniaan yang dimiliki
Al-Qur’an. Dan ini adalah langkah terakhir dan paling utama
dalam kajian semantik. Dalam langkah ini Izutsu mengajak kita
mempertanyakan tentang bagaimana al-Qur’an memakai kata
itu dan bagaimana hubungan kata itu dengan kata-kata yang
lain, di manakah posisinya, fungsinya, pengaruhnya dan
sebagainya. Izutsu cenderung menyetujui teori pluralistic yang
menyatakan bahwa pandangan suatu bangsa mengenai apa
yang baik dan buruk atau benar dan salah, berbeda dari satu
tempat ke tempat lain dan dari waktu ke waktu. Juga berbeda
secara fundamental bukan dalam tingkatan suatu skala
kesatuan perkembangan kultural yang dapat dijelaskan
sejauhnya mengenai rincian hal yang remeh temeh, akan tetapi
berbeda dalam divergensi-divergensi kultural yang lebih
mendasar yang akar-akarnya tertanam dalam kebiasaan-
kebiasaan bahasa dari masing-masing komunitas individual. [6]
Akan tetapi Meskipun diturunkan dalam bahasa Arab, konsep-
konsep yang terkandung dalam al Qur’an bermuara pada
pandangan dunia yang berbeda dengan pandangan dunia Arab
Jahiliyah. Dengan analisis semantik, saling hubungan antara
kosa kata dengan konsep-konsep yang terkandung dalam ayat-
ayatnya, seringkali memunculkan makna baru yang berbeda
dengan pemaknaan orang Arab Jahiliyah. Dalam metode
analisa semantiknya ini Izutsu berusaha membuat al-Qur’an
menginterpretasikan konsep-konsepnya sendiri dan bicara
untuk dirinya sendiri, dengan mengeksplorasi data-data yang
berasal dari al-Qur;an itu sendiri. [7]
v Relevansi Pendekatan Semantik Al-Quran
Setelah kita mengetahui tahapan operasional dalam semantik,
sekarang saatnya untuk menunjukkan relevansinya. Dalam
pembahasan kali ini akan dicoba menerapkan teori semantik
pada salah satu kata kunci dalam Al-Quran. Dan dengan
begbagai pertimbangan, kami memilih kata nisaa sebagai
obyek terapan dari teori tersebut.[8]
Kata nisaa dalam berbagai bentuknya, niswah, nisa_ukum,
nisa_ikum, nisa_uhum, nisa_ihim, nisa_ihim, nisa_ihinna,
dan nisa_ana, terulang sebanyak 56 kali dalam Al-Quran, dan
kesemuanya mewakili objek perempuan, yang meski
disebutkan dalam konteks yang berbeda-beda. Seperti:
1. Tentang wanita haidh dan keadaanya.
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah : “Haidh
itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh….(QS.Al-Baqarah:
222)
1. Tentang wanita sebagai perhiasan.
Dijadikannya indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepaada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-
anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. (QS. Ali-Imran:
14).
1. Perempuan sebagai bagian dari proses regenerasi.
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya
Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak.
(An- Nisa: 1).
1. Tentang hak perempuan dalam pewarisan.
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya. (QS.
An-Nisaa: 7)
1. Perempuan dapat berkarir atau berkarya.
Karena) bagi laki-laki dianugerahkan hak (bagian) dari apa
yang diusahakan, dan bagi perempuan dianugerahkan hak
(bagian) dari apa yang diusahakannya (QS.AnNisa: 32)
1. Tentang posisinya dalam bidang keluarga.
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagikaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka(laki-laki) atas
sebagian yang lain(wanita). (QS. An-Nisaa: 34)
1. Tentang potensi wanita dalam syahwat (libido).
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan
nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita. (QS. Al-A’raf :
81)
Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi)
nafsu(mu), bukan(mendatangi) wanita? (QS.An-Naml:55)
1. Nisaa dalam pengertian sebagai perempuan yang
memiliki potensi untuk taqwa.
Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain jika kamu bertaqwa (QS. Al Ahzab: 32).
Dilihat dari komponennya, nisaa berarti perempuan secara
umum, tak peduli dia kaya atau miskin, cantik atau tidak, baik
bariman maupun kafir. Nisaa yang memiliki makna dasar
perempuan secara umum tersebut jika diterapkan pada sebuah
ayat akan menampakkan beberapa fungsi darinya, sebagai
makna relasional. Seperti jika dilihat kombinasi pada ayat-ayat
di atas, akan menunjukkan adakalanya nisaa menunjukkan
pada sosok mahkluk yang memiliki potensi nafsu. Atau
adakalanya dia adalah makluk sebagai oposisi biner dari kaum
laki-laki yang memiliki fungsi yang sama penting dalam proses
regenerasi.
Maka, jika ditelaah secara komprehensif, akan
diperoleh welthancauung Al-Quran tentang kata nisaa dari segi
semantis, yaitu kata yang digunakan dalam konteks sebagai
oposisi biner kaum laki-laki yang memiliki hak-hak dan
kewajiban yang setara meski tak sama. Begitupun dia,
perempuan, memiliki signifikansinya sendiri dalam laju
kehidupan dan memiliki beberapa potensi-potensi, dan lain
sebagainya.
Dari analisa semantik pada ayat-ayat di atas, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan kata nisaa menunjukkan objek
perempuan secara umum, dengan segala peran dan
kedudukannya. Antara lain:
ü Dalam ranah sosial. Yaitu perempuan memiliki kesempatan
yang sama untuk berkarir dan mendapatkan reward atas apa
yang telah dikerjakan, dan juga hak untuk mendapatkan harta
pusaka.
ü Dalam aspek alamiah. Yaitu sebagai penyempurna laki-laki
dalam melaksanakan peran reproduksi dan regenerasi yang
“operasionalnya” dibatasi dengan siklus haidl. Disamping
perempuan sebagai objek yang memiliki potensi seks dan
sesuatu yang indah yang berpotensi untuk sangat disayangi
dan dibanggakan.
ü Dalam ranah sepiritual. Yaitu, perempuan miliki potensi
untuk menjadi hamba yang unggul dengan sebuah ketakwaan.
1. D. Kesimpulan dan penutup
Metode pembacaan Al-Quran dengan menggunakan
pendekatan bahasa sebetulnya bukanlah hal baru. Tetapi
lantas dikemas dengan nama semantik adalah berkat jasa
Toshihiko Izutsu. Beliau adalah professor kenamaan asal Jepang
yang mahir dalam berbahasa asing, bahkan konon kabarnya
beliau menguasai 30 bahasa asing, termasuk bahasa Arab,
Yunani, Sankskerta, Persia, dan Cina. Beliau adalah orang
pertama yang berhasil menerjemahkan Al-Quran kedalam
bahasa Jepang.
Semantik berasal dari Bahasa Yunani: semantikos, yang
berarti memberikan tanda. Berasal dari akar kata sema yang
berarti tanda. Semantik Menurut Toshihiko Izutsu adalah kajian
analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan
suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian
konseptualweltanschauung (pandangan dunia) masyarakat
yang menggunakan bahasa tersebut, tidak hanya sebagai alat
bicara dan berfikir, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah
pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.
Dalam metode semantik, izutsu menggunakan dua tahapan
dalam mengkaji dan menganalis struktur suatu kata. Tetapi,
sebelum kedua hal tersebut dioperasionalkan dalam Al-Quran,
terlebih dahulu izutsu menempatkan Al-Quran hanya sebagai
teks otentik yang berbahasa arab, mengesampingkan wahyu
ilahi. Pertama, di cari makna dasar dan makna relasional dari
suatu kata. Menurut Izutsu kategori semantik dalam sebuah
kata biasanya cenderung sangat kuat dipengaruhi oleh kata-
kata yang berdekatan yang termasuk dalam daerah pengertian
yang sama. Dan jika frekuensi penggunaan kata tersebut
dengan dihadapkan pada kata yang berlawanan sering
ditemukan, maka secara semantik kata tersebut perlu
memperoleh nilai semantik yang nyata dari kombinasi spesifik
ini.
Kedua, menjelaskan pandangan keduniaan yang dimiliki Al-
Qur’an. Dan ini adalah langkah terakhir dan paling utama
dalam kajian semantik. Dalam langkah ini Izutsu mengajak kita
mempertanyakan tentang bagaimana al-Qur’an memakai kata
itu dan bagaimana hubungan kata itu dengan kata-kata yang
lain, di manakah posisinya, fungsinya, pengaruhnya dan
sebagainya.
Demikian makalah ini disampaikan, yang pasti masih sangat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya memohon kerelaan
teman-teman untuk memberikan saran dan kritiak untuk
menjadikannya semakin lebih baik. Tetapi, terlepas dari itu
semua saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk kita semua. Amin.
[1] Wikipedia, Toshihiku Izutsu, di akses dari
http//en.wikipedia.org/wiki/Toshihiku-izutsu, diakses pada
tanggal 22 Nopember, Pukul 16.27
[2] Toshihiku Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan
Semantik terhadap AlQuran, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Yogya, 2003), hal xvii.
[3] . http://id.wikipedia.org/wiki/Semantik diakses pada tanggal
22 Nopember pada pukul 19.23 WIB
[4] . Toshihiko Izutsu, op.cit hal. 11
[5] . Toshihiko Izutsu,Etika Beragama dalam Al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka firdaus, 1993) hal, 41
[6] . ibid hal, 8
[7] . ibid hal, 3
[8] Diambil
dari firman-nigroho.blogspot.com/2010/07/pendahuluan-al-
quran-secara-khusus-, diakses pada tanggal 23 Nopember pada
pukul 20.00 WIB, dengan revisi.