Post on 29-Feb-2016
description
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanah Gambut
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan
organic (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik
penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk
sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya
lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah
cekungan yang drainasenya buruk.
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik
yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses giogenik yaitu pembentukan tanah
yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses
pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik.
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang
secara perlahan ditumbuni oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman
yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian
menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan
dibawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian
yang lebih tengan dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan
gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 2.1a dan 2.1b).
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut
dengan gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi
daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relative subur (eutrofik) karena
adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada
banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut
tersebut.
6
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil
pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk
kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar 2.1c). Gambut yang
tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang
pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah
kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hamper tidak ada
pengkayaan mineral.
Gambar 2.1. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah:
a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah
b. Pembentukan gambut topogen
c. Pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen
7
2.2. Klasifikasi Gambut
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai
Organosol atau Histosol yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan
berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g/cm3 dengan tebal > 60 cm atau
lapisan organik dengan BD > 0,1 g/cm3 dengan tebal > 40 cm.
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang
berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi
pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan
menjadi:
Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila
diremas kandungan seratnya 75%
seratnya masih tersisa.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:
Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral
dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur
biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai
atau laut.
Mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan
mineral dan basa-basa sedang.
Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari
pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik.
8
Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:
Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang
hanya dipengaruhi oleh air hujan.
Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang
mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan
lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut
ombrogen.
Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:
Gambut dangkal (50 100 cm),
Gambut sedang (100 200 cm),
Gambut dalam (200 300 cm), dan
Gambut sangat dalam (> 300 cm)
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:
Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan
mendapat pengayaan mineral dari air laut
Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak
dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan
Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah
tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.
Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan
oligotrofik. Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di
daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai. Tingkat kesuburan gambut
ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar
gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatera relatif lebih subur
dibandingkan dengan gambut di Kalimantan.
9
2.3. Karakteristik Tanah Gambut
Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik
dengan ketebalan > 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral
pada ketebalan 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik > 50 cm.
Tanah gambut atau tanah organik dikenal juga sebagai organosol atau histosol.
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, tanah gambut dipilah
menjadi:
a) Gambut pantai atau pasang surut, yaitu gambut yang dominan dipengaruhi
oleh pasang surut air laut;
b) Gambut pedalaman, yaitu gambut yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air
laut; dan
c) Gambut peralihan (transisi), yaitu gambut yang terdapat di antara gambut
pantai dan gambut pedalaman.
Penggolongan tanah gambut berdasarkan ketebalan bahan organik, tanah
yang mempunyai ketebalan gambut < 50 cm sebagai tanah bergambut.
Selanjutnya tanah gambut dibedakan berdasar kedalamannya, yaitu: gambut
dangkal (50-100 cm), gambut sedang (100-200 cm), gambut dalam (200-300 cm),
dan gambut sangat dalam (>300 cm). Tanah-tanah lainnya yang tergolong ke
dalam tanah yang banyak mengandung bahan organik dan terletak di dataran
aluvium ialah tanah gley humus yaitu tanah-tanah yang memiliki ketebalan
gambut < 30 cm dengan kadar karbon antara 15 hingga 30%.
Berdasarkan tingkat pelapukan, ketebalan lapisan bahan organik, suhu dan
kelembapan, maka diperkirakan sebagian besar tanah gambut yang ada di
Indonesia diklasifikasikan sebagai tropohemist atau troposaprist, dan sedikit
sulfihemist.
2.3.1. Sifat Fisik
Sifat fisik tanah gambut yang berpengaruh dalam pemanfaatannya untuk
pertanian yaitu daya menahan beban (bearing capacity), penurunan permukaan
gambut (subsiden), mengering tidak balik (irreversible drying), kadar air dan
berat isi (BD).
10
Daya menahan beban (bearing capacity)
Daya menahan beban tanah gambut umumnya sangat rendah, hal ini
berkaitan dengan berat isi gambut yang rendah. Daya topang terhadap tanaman
terutama tanaman tahunan tidak kuat sehingga sering dijumpai tanaman kelapa
sawit, kelapa tumbuh miring (tidak dapat berdiri tegak).
Penurunan permukaan gambut (subsiden)
Lahan gambut dengan bertambahnya waktu semakin habis, hal ini akibat
adanya penurunan permukaan gambut (subsiden). Penyebab terjadinya subsiden
antara lain proses dekomposisi, dehidrasi yaitu penyusutan volume gambut karena
didrainase. Penyusutan gambut sangat tergantung kematangan/tingkat
dekomposisi gambut dan kedalaman saluran drainase. Gambut fibrist lebih cepat
mengalami subsiden dibanding saprist. Subsiden gambut bisa mencapai 26
cm/tahun.
Mengering tidak balik (irreversible drying)
Sifat fisik tanah gambut mengering tidak balik yang tidak bisa menyerap
air bila dibasahi sehingga mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar
dalam kondisi kering. Sifat kering tidak balik menyebabkan hilangnya fungsi
kimia gambut sebagai koloid/tempat pertukaran kation, sehingga gambut tersebut
tidak dapat berfungsi lagi sebagai media tanam. Gambut yang terbakar
menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut
yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah
permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.
Kadar air dan berat isi (BD)
Kadar air gambut berkisar 100 1.300% dari berat keringnya yang berarti
gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dalam kondisi jenuh,
kadar air tanah gambut dapat mencapai 4503.000% dari bobot keringnya. Oleh
karena itu gambut merupakan tempat untuk menyimpan air yang efektif.
Pengaturan permukaan air tanah pada tanah gambut sangat penting dalam
11
mempertahankan kelembapan gambut. BD gambut umumnya rendah dan
tergantung tingkat dekomposisi gambut. BD gambut fibrist kurang dari 0,1 g/cm3
dan gambut saprist berkisar 0,2 g/cm3 bila dibandingkan dengan tanah mineral
umumnya mempunyai BD 1,2 g/cm3, sehingga kandungan unsur hara tanah
gambut persatuan volume sangat rendah.
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga
beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan
beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga
tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak.
2.3.2. Sifat Kimia
Sifat kimia tanah gambut yaitu kemasaman tanah, kapasitas tukar (KTK)
kation dan basa-basa, fosfor, unsur mikro, komposisi kimia dan asam fenolat
gambut.
Kemasaman Tanah
Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan
asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat. Bahan organik yang
telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif seperti karboksil (COOH)
dan fenol (C6H4OH) yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat
sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam
jumlah banyak. Diperkirakan bahwa 8595% muatan pada bahan organik
disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut.
Tanah gambut di Indonesia sebagian besar bereaksi masam hingga sangat
masam dengan pH < 4,0. Hasil penelitian Halim (1987) dan Salampak (1999)
diperoleh nilai kisaran pH H2O (1:5) tanah gambut pedalaman Berengbengkel
Kalimantan Tengah sebesar 3,25 hingga 3,75. Sedangkan pH H2O tanah gambut
dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan lebih tinggi yaitu sebesar 4,14,3.
12
Kapasitas Tukar Kation dan Basa-basa
Nilai kapasitas tukar kation tanah gambut umumnya tinggi, hal ini
disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus
karboksil dan gugus hidroksil dari fenol. KTK tanah gambut ombrogen di
Indonesia sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat. Tanah
gambut di Indonesia, terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi
vegetasi penyusun gambut yang didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari
bahan kayu-kayuan. Bahan kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa
lignin yang dalam proses degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat.
Kandungan kation basa-basa (Ca, Mg, K, dan Na) umumnya terdapat
dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut,
kandungan abu semakin rendah, kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi tanah
menjadi lebih masam. Kandungan basa-basa yang rendah disertai dengan nilai
KTK yang tinggi, sehingga ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Rendahnya
kandungan basa-basa pada gambut pedalaman berhubungan erat dengan proses
pembentukannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan. Kejenuhan basa
(KB) tanah gambut pedalaman pada umumnya sangat rendah. Tanah gambut
pedalaman Bereng bengkel Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari
10%, demikian juga nilai KB tanah gambut dataran rendah Riau.
Tabel 2.1 Komposisi Gambut Ombrogen di Indonesia dan Kapasitas
Tukar Kation
Komposisi Bobot KTK
Lignin
Senyawa humik
Selulosa
Hemiselulosa
Lainnya
Bahan organik gambut
%
64-74
10-20
0,2-10
1-2
13
Kesuburan alami tanah gambut sangat beragam, tergantung pada beberapa
faktor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi; (b) komposisi
tanaman penyusunan gambut; dan (c) tanah mineral yang berada di bawah lapisan
tanah gambut. Gambut digolongkan ke dalam tiga tingkat kesuburan yang
didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O dan kadar abunya, yaitu: (1) gambut
eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi; (2) gambut mesotrofik dengan
tingkat kesuburan yang sedang; dan (3) gambut oligotrofik dengan tingkat
kesuburan yang rendah (Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Kandungan hara pada tiga tingkat kesuburan gambut
Tingkat
Kesuburan
Bobot kering gambut
P2O5 CaO K2O Abu
Eutrofik
Mesotrofik
Oligotrofik
>10
5-10
0,25
0,20-0,25
0,05-0,20
>4,0
1-4,0
0,25-1
>0,10
0,10
0,03-0,1
Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, terutama
gambut pedalaman yang terdiri atas gambut tebal dan miskin akan unsur hara,
digolongkan ke dalam tingkat oligotrofik. Sedangkan pada gambut pantai pada
umumnya tergolong ke dalam gambut eutrofik karena adanya pengaruh air pasang
surut.
Fosfor
Unsur fosfor (P) pada tanah gambut sebagian besar dijumpai dalam bentuk
P-organik, yang selanjutnya akan mengalami proses mineralisasi menjadi P-
inorganik oleh jasad mikro. Sebagian besar senyawa P-organik berada dalam
bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Ester yang
14
telah diidentifikasi terdiri atas inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida,
dan gula fosfat. Ketiga senyawa pertama bersifat dominan.
Fraksi P organik diperkirakan mengandung 2,0% P sebagai asam nukleat,
1,0% sebagai fosfolipid, 35% inositol fosfat dan sisanya belum teridentifikasi. Di
dalam tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat dibandingkan ester lainnya,
sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dan kadarnya di dalam tanah
menempati lebih dari setengah P organik atau kira-kira seperempat total P tanah.
Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al membentuk garam
yang sukar larut, demikian juga terhadap Ca. Dalam keadaan demikian, garam ini
sukar dirombak oleh mikroorganisme.
Unsur Mikro
Pada tanah gambut kandungan unsur mikro umumnya terdapat dalam
jumlah yang sangat rendah, dan dapat menyebabkan gejala defisiensi bagi
tanaman. Group karboksilat dan fenolat pada tapak reaktif tanah gambut dapat
membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro, sehingga mengakibatkan
unsure mikro menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi
reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya
yang tidak bermuatan. Kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan bawah
umumnya lebih rendah dibandingkan lapisan atas. Namun dapat juga kandungan
unsur mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi apabila terjadi pencampuran
dengan bahan tanah mineral yang ada di lapisan bawah gambut tersebut.
Komposisi Kimia Gambut
Tanah gambut tebal di Indonesia umumnya mengandung kurang dari 5%
fraksi inorganik dan sisanya fraksi organik yaitu lebih dari 95%. Fraksi organik
terdiri senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20%, sebagian besar terdiri atas
senyawasenyawa non-humat yang meliputi senyawa lignin, selulosa,
hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, sejumlah kecil protein dan lain-lain.
Sedangkan senyawa-senyawa humat terdiri atas asam humat, himatomelanat dan
humin.
15
Gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh
bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar
adalah lignin yang umumnya melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan
kandungan komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa dan protein
umumnya tidak melebihi 11% (Tabel 2.3).
Tabel 2.3 Komposisi gambut hutan tropika tipe sangat masam
Komponen Asal Gambut
Sumatera Kalimantan
Komponen gambut
Larut dalam:
Eter
Alkohol
Air
Hemiselulosa
Selulosa
Lignin
Protein
4,67
4,75
1,87
1,95
10,61
63,99
4,41
2,50
6,65
0,87
1,95
3,61
73,67
3,85
Asam-asam Fenolat dalam Tanah Gambut
Dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob akan menghasilkan
beberapa senyawa dan gas, antara lain adalah metan, hidrogen sulfida, etilen,
asam asetat, asam butirat, asam laktat, dan asam-asam organik lainnya seperti
asam-asam fenolat. Sebagian besar dari asam-asam ini bersifat racun bagi
tanaman. Tanah-tanah gambut di Indonesia mempunyai kandungan lignin yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah gambut yang berada di daerah yang
beriklim sedang. Lignin tersebut akan mengalami proses degradasi menjadi
senyawa humat, dan selama proses degradasi tersebut akan dihasilkan asam-asam
fenolat.
16
Beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah adalah
asam vanilat, p-kumarat, p-hidroksibenzoat, salisilat, galat, sinapat, gentisat, dan
asam syringat. Asam-asam fenolat tersebut berpengaruh langsung terhadap proses
biokimia dan fisiologi tanaman, serta penyediaan hara di dalam tanah. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam fenolat bersifat fitotoksik bagi
tanaman dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat.
2.4. Gambut di Kecamatan Lintongnihuta
Penyebaran gambut di daerah ini cukup luas, sekitar 500 ha dengan
ketebalan rata-rata 6 m. Berdasarkan data literatur, hasil analisis gambut dari
daerah ini adalah sebagai berikut :
Kadar abu 4,99 %
Kadar air 75,04 %
Kadar belerang 0,18 %
Bulk density 0,14 %
pH 5
Nilai kalori 4.918 kal/gram
Karbon padat 27,75 %
Kandungan kayu 12,20 %
2.5. Arang
Masturin (2002), menyatakan arang adalah residu yang berbentuk padatan
yang mnerupakan sisa dari proses pengkarbonan bahan berkarbon dengan kondisi
terkendali di dalam ruangan tertutup seperti dapur arang. Arang adalah hasil
pembakaran bahan yang mengandung karbon yang berbentuk padat dan berpori.
Sebagian besar porinya masih tertutup oleh hidrogen, ter, dan senyawa organik
lain yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen, dan sulfur.
Peristiwa terbentuknya arang dapat terjadi dengan cara memanasi secara
langsung atau tidak langsung terhadap bahan berkarbon di dalam timbunan, kiln,
oven, atau di udara terbuka. Untuk menghasilkan arang umumnya bahan baku
dipanaskan dengan suhu diatas 5000C. Faktor yang berpengaruh terhadap proses
17
karbonisasi adalah kecepatan pemanasan dan tekanan. Pemanasan yang cepat
sukar untuk mengamati tahapan karbonisasi yang terjadi dan rendemen arang
yang dihasilkan lebih rendah. Sedangkan pemakaian tekanan yang tinggi akan
mampu meningkatkan rendemen arang (Masturin, 2002).
2.6. Arang Aktif
Arang aktif adalah arang yang diproses lebih lanjut sedemikian rupa,
sehingga daya serapnya tinggi dengan kadar karbon dan keaktifan yang bervariasi.
Arang aktif dapat dibedakan dengan arang berdasarkan sifat pada permukaannya.
Permukaan pada arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghalangi
keaktifannya. Sedangkan pada arang aktif, permukaannya telah bebas dari deposit
hidrokarbon dan mampu melakukan adsorpsi karena permukaannya lebih luas dan
pori-porinya telah terbuka.
Arang aktif dapat dibuat dari semua bahan yang mengandung karbon, baik
organik maupun anorganik seperti tulang, resin, kayu, serbuk gergaji, sekam padi,
gambut, batu bara, tempurung kelapa dan tempurung biji-bijan.
2.6.1. Pembuatan arang aktif secara kimia
Pada proses ini fasa pengarangan dan fasa pengaktifan berlangsung dalam
satu tahap. Bahan baku direndam dalam larutan pengaktif selama 12 24 jam
setelah ditiriskan, lalu diarangkan. Dengan adanya pemanasan pada suhu tinggi
diharapkan aktivator dapat masuk di antara pelat heksagonal dari kristalit arang,
sehingga dapat menyebabkan terjadinya pengikisan pada permukaan kristalit dan
membuka permukaan arang yang tertutup sehingga menjadi aktif. Hal ini dapat
terjadi karena arang aktif dengan strukturnya yang mirip grafit mempunyai lapisan
karbon heksagonal yang tidak terapatkan karena tiap atom karbon mempunyai
bilangan koordinasi tiga dan ikatan antar lapisan lemah, sehingga memungkinkan
terjadinya interkalasi di antara lapisan karbon.
Pemakaian bahan kimia sebagai bahan pengaktif sering mengakibatkan
pengotoran pada arang aktif yang dihasilkan. Pada umumnya aktivator
meninggalkan sisa-sisa berupa oksida yang tidak larut dalam air pada waktu
18
pencucian, oleh karena itu dalam beberapa proses sering dilakukan pelarutan
dengan HCl untuk mengikat kembali sisa-sisa bahan kimia yang menempel pada
permukaan arang dan kandungan abu yang terdapat dalam arang aktif. Hasil
penelitian Botha (1992) yang membuat arang aktif dari batubara, lalu mengekstrak
arang aktif tersebut dengan HCl 0,5 M menghasilkan arang aktif yang struktur
mikroporinya lebih lebar.
2.6.2. Pembuatan arang aktif secara fisika
Pada proses ini terdapat dua tingkat operasi, yaitu fasa pembentukan pori
dan fasa pengaktifan. Fasa pembentukan pori terjadi pada saat pengarangan bahan
baku, yang dilakukan pada suhu 400 6000C. Pengarangan di atas suhu 6000C
akan menghasilkan arang dengan modifikasi sifat yang sukar diaktifkan,
sedangkan arang yang dihasilkan pada suhu di bawah 6000C sangat efektif untuk
diaktivasi tetapi arang ini masih dilapisi oleh senyawa hidrokarbon sehingga
menutupi pori arang aktif yang terbentuk. Untuk membersihkan permukaan arang
dari senyawaan ini dapat dilakukan dengan jalan mengalirkan gas pada suhu 800
1.0000C.
Reaksi pengaktifan dengan gas seperti H2Odan CO2 reaksinya berjalan
secara endotermis, sehingga proses aktivasinya kurang efektif. Untuk mengatasi
hal ini salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memanaskan
permukaan luar dari unit aktivasinya sehingga distribusi panas merata. Ditinjau
dari tipe kiln, ada dua cara pembuatan arang aktif yaitu cara kiln tetap dan cara
rotary kiln.
a. Kiln Tetap
Cara ini menggunakan tungku bata tahan api untuk proses aktivasi arang
menjadi arang aktif. Pemanasan tungku dilakukan dengan bahan kayu atau burner
gas/solar. Suhu aktivasi berkisar 800-1.0000C. Setelah suhu arang dalam tungku
mencapai 9000C kemudian dialiri uap air panas dengan laju alir yang disesuaikan
dengan jumlah produk arang yang diolah dan kualitas arang aktif yang
19
diharapkan. Lama pemanasan tergantung pada kapasitas tungku dan jenis bahan
baku, laju alir uap dan suhu uap air.
Tungku aktivasi dibuat dari bata tahan api dan berbentuk empat persegi
panjang dengan ukuran panjang 3,6 m ; tinggi 1,60 m dan lebar 2,4 m dan
tersusun seri. Kapasitas produksi minimum untuk membuat arang aktif dengan
cara ini adalah 1 ton arang aktif/hari. Walaupun demikian, dalam praktek
kenyataannya dapat lebih rendah. Ukuran tungku ini dapat diperkecil untuk
menjamin proses pemerataan panas dan suhu tinggi pada proses aktivasi, sehingga
kualitasnya dapat lebih seragam dan daya adsorpsinya dapat lebih tinggi.
Kapasitas steam boiler untuk pembangkit uap dapat disesuaikan dengan kapasitas
produksi atau untuk steam boiler kapasitas lebih kecil akan memerlukan aktivasi
lebih lama.
Rendemen arang aktif terhadap bahan baku arang berkisar antara 30-50%
dan untuk arang yang berkadar karbon tinggi, rendemennya dapat mencapai 70%.
Besarnya rendemen dipengaruhi bahan baku, proses pengolahan dan daya
adsorpsi arang aktif yang akan dihasilkan. Cara pembuatan arang aktif dengan
kiln tetap ini umumnya dibangun dalam skala industri menengah atau kecil.
b. Rotary kiln
Pembuatan arang aktif dengan rotary kiln (kiln berputar) adalah sistem
kontinyu yang umumnya dilakukan dalam skala besar. Teknologi ini cukup rumit
dan memerlukan biaya investasi yang relatif cukup besar tetapi cukup efisien
dalam operasionalnya. Teknologi ini sudah dapat dibuat di dalam negeri. Kiln
arang untuk proses aktivasi berbentuk tabung yang dilengkapi dengan ulir tetap
pada selimut dalam tabung. Bahan konstruksi dinding tabung bagian dalam adalah
bata tahan api dan bagian luar adalah logam untuk penahan. Pemanasan arang
dalam tabung dilakukan secara langsung dengan burner bersama uap air panas.
Suhu aktivasi sekitar 900-1.0000C. Lamanya aktivasi sekitar 2 - 4 jam. Ukuran
kiln tergantung pada kapasitas produksi dan lamanya aktivasi yang diinginkan.
20
Pembuatan arang aktif dengan cara rotary ini dapat dilakukan dengan
menggunakan pemanas listrik melalui beberapa elektroda bertegangan tinggi.
Mekanisme pemanasan adalah memanfaatkan daya hantar listrik pada arang,
sehingga berfungsi seperti kawat elemen listrik. Cara ini adalah merupakan
teknologi terbaru, namun kelemahannya adalah untuk mencapai suhu 9000C di
dalam kiln diperlukan bahan baku arang dengan kadar karbon yang tinggi agar
sifat daya hantar listriknya maksimal dan tidak terjadi penurunan suhu terutama
pada waktu dialirkan uap air panas. Kapasitas produksi yang umumnya dimiliki
oleh industri arang aktif adalah sebesar 1 ton/hari dengan kebutuhan bahan baku
2,5 kg arang tempurung kelapa berbentuk granular yang dapat menghasilkan 1 kg
arang aktif dan kebutuhan listrik minimal 12 kW.
2.7. Briket Arang
Briket arang adalah arang yang diolah lebih lanjut menjadi bentuk briket
(penampilan dan kemasan yang lebih menarik) yang dapat digunakan untuk
keperluan energi sehari-hari. Briket adalah bahan yang berbentuk serbuk yang
ditambahkan larutan perekat kemudian diproses akhirnya mempunyai bentuk,
ukuran, dan kerapatan tertentu. Briket digunakan sebagai bahan bakar alternatif.
Gambar 2.2 Briket
21
Arang dalam bentuk briket memiliki kelebihan dibandingkan dalam
bentuk arang, menurut Hendra Capah (2007) keuntungan dari briket arang adalah
sebagai berikut :
1. Memperbesar rendemen pada pembuatan arang karena arang yang diperoleh
dapat dipergunakan dalam pembuatan briket arang.
2. Bentuknya seragam dan lebih padat atau memperkecil tempat penyimpanan
dan transportasi.
3. Kualitas pembakaran lebih baik apabila digunakan tambahan yang sesuai.
4. Lebih menguntungkan karena pada umunya 40% terdiri dari bahan baku arang
yang nilainya lebih rendah dari arang.
Beberapa jenis briket yang biasa dilakukan diantarannya:
1. Jenis berkarbonisasi. Jenis ini mengalami terlebih dahulu proses dikarbonisasi
sebelum menjadi briket. Dengan proses karbonisasi zat-zat terbang yang
terkandung dalam briket bahan dasar tersebut diturunkan serendah mungkin
sehingga produk akhirnya tidak berbau dan berasap, namun biaya produksi
menjadi meningkat karena pada bahan dasar tersebut terjadi rendeman sebesar
50%. Briket ini cocok digunakan untuk keperluan rumah tangga serta lebih
aman dalam penggunaannya.
2. Jenis non karbonisasi. Jenis ini tidak mengalami dikarbonisasi sebelum
diproses menjadi briket dan harganya lebih murah. Karena zat terbangnya
masih terkandung dalam briket bahan dasarnya maka pada penggunaanya
lebih baik menggunakan tungku (bukan kompor), sehingga akan
menghasilkan pembakaran yang sempurna dimana seluruh zat terbang yang
muncul dari briket akan habis terbakar oleh lidah api dipermukaan tungku.
Briket ini umumnya digunakan untuk industri kecil (Mulia Arganda, 2007).
Dalam pemakaian briket arang harus diperhatikan nilai kalor dari briket
pada tabel 2.4. Demikian juga untuk pengujian briket arang aktif perlu
diperhatikan beberapa persyaratan yang disajikan dalam tabel 2.5.
22
Tabel 2.4 Harga-harga Kalor Dari Beberapa Bahan Bakar
JENIS BAHAN BAKAR NILAI KALORI (kkal/kg)
Sekam padi 3397
Kayu campuran 4382
Sabuk kelapa 4412
Cangkang kelapa 4636
Kayu jati 4681
Kayu karet 4917
Batubara 4200
Minyak bakar 10500
Sumber : Helena (2002)
Keberadaan briket sebagai salah satu sumber energi pada prinsipnya harus
memenuhi syarat:
1. Tidak berasap
2. Tidak berbau
3. Dapat dinyalakan dengan cepat
4. Efisiensi pancaran panasnya tinggi
5. Cukup kuat selama penanganan dan pengangkutan
6. Padat dan kompak sehingga mengurangi bahaya pengangkutan dalam
pengiriman serta tidak memerlukan ruang penyimpanan yang besar
7. Kadar zat terbang (volatile) tidak kurang dari 3% dan lebih besar dari 20%
8. Kadar abu dibawah 80% dan memerlukan sedikit perhatian selama
pembakaran.
23
Tabel 2.5 Standarisasi Mutu Briket Arang Aktif
No Jenis penetapan Satuan Inggris USA Japan
1 Kadar air % 3.6 6,2 6-8
2 Zat terbang % 16.4 - 15-30
3 Kadar abu % 8.3 5,9 3-6
4 Fixed Carbon % 75.3 - 60-80
5 Nilai kalori kkal/gr 7289 6230 6000-7000
6 Sulfur % - 0,07 0,06
Sumber : Helena (2002)
2.8. Proses Pembuatan Briket Arang
Briket terhadap sesuatu material merupakan cara untuk mendapatkan
bentuk dan ukuran yang dikehendaki agar dapat dipergunakan untuk keperluan
tertentu. Gambut dapat diproses lebih lanjut menjadi briket dengan bentuk,
ukuran, dan kerapatan tertentu. Untuk mendapatkan briket dapat melalui proses
penekanan terhadap campuran gambut dan perekat yang kemudian dilakukan
proses pengeringan terhadap briket tersebut pada temperatur dan waktu tertentu.
Briket dapat digunakan sebagai bahan bakar setelah dilakukan pencetakan
menjadi briket berbentuk kubus atau bentuk silinder. Bagian tengah silinder yang
diberi lubang untuk mempermudah penyalaan briket tersebut pada awal
pembakaran.
Secara garis besar briket dapat dibedakan atas dua macam yaitu:
1. Briket yang memakai bahan pengikat. Hampir semua atau sebagian besar
briket mempergunakan cara ini.
2. Briket tanpa memakai bahan pengikat. Cara ini hanya dapat dapat dilakukan
terhadap material-material tertentu saja. Cara ini dapat dilakukan dengan
mempergunakan tekanan yang sangat besar.
24
2.9. Bahan Perekat
Untuk merekatkan partikel-partikel zat dalam bahan baku pada proses
pembuatan briket maka diperlukan zat pengikat sehingga dihasilkan briket yang
kompak. Berdasarkan fungsi dari pengikat dan kualitasnya, pemilihan bahan
pengikat dapat dibagi sebagai berikut :
1. Berdasarkan sifat / bahan baku perekatan briket :
Adapun karakteristik bahan baku perekatan untuk pembuatan briket adalah
sebagai berikut :
a. Memiliki gaya kohesi yang baik bila dicampur dengan semikokas atau batu
bara.
b. Mudah terbakar dan tidak berasap.
c. Mudah didapat dalam jumlah banyak dan murah harganya.
d. Tidak mengeluarkan bau, tidak beracun dan tidak berbahaya.
2. Berdasarkan jenis
Jenis bahan baku yang umum dipakai sebagai pengikat untuk pembuatan
briket, yaitu :
a. Perekat anorganik
Pengikat anorganik dapat menjaga ketahanan briket selama proses
pembakaran sehingga dasar permeabilitas bahan bakar tidak terganggu.
Pengikat anorganik ini mempunyai kelemahan yaitu adanya tambahan abu
yang berasal dari bahan pengikat sehingga dapat menghambat pembakaran
dan menurunkan nilai kalor. Contoh dari pengikat anorganik antara lain
semen, lempung, natrium silikat.
b. Perekat organik
Pengikat organik menghasilkan abu yang relatif sedikit setelah pembakaran
briket dan umumnya merupakan bahan perekat yang efektif. Contoh dari
pengikat organik di antaranya kanji, tar, aspal, amilum, molase dan parafin.
25
1. Clay (lempung)
Clay atau yang sering disebut lempung atau tanah liat umumnya banyak
digunakan sebagai bahan perekat briket. Jenis-jenis lempung yang dapat
dipakai untuk pembuatan briket terdiri dari jenis lempung warna kemerah-
merahan, kekuning-kuningan dan abu-abu. Perekat jenis ini menyebabkan
briket membutuhkan waktu yang lama untuk proses pengeringannya dan
briket menjadi agak sulit menyala ketika dibakar.
2. Tapioka
Jenis tapioka beragam kualitasnya tergantung dari proses pembuatannya
terutama pencampuran airnya dan pada saat dimasak sampai mendidih.
Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi
dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan
puding, sop, pengolahan sosis daging, dan lain-lain.
3. Getah Karet
Daya lekat getah karet lebih kuat dibandingkan dengan tanah liat dan
tapioka. Namun, ongkos produksinya lebih mahal dan agak sulit
mendapatkannya karena harus membeli. Briket dengan perekat jenis ini
akan menghasilkan asap tebal berwarna hitan dan beraroma kurang sedap
bila dibakar.
4. Getah Pinus
Keunggulan perekat ini terletak pada daya benturannya yang kuat,
meskipun dijatuhkan dari tempat yang tinggi briket akan tetap utuh serta
mudah menyala jika dibakar. Namun asap yang keluar cukup banyak dan
menyebabkan bau yang agak menusuk hidung.
26
Tabel 2.6 Daftar Analisa Bahan Perekat
Jenis
Tepung
Air
(%)
Abu
(%)
Lemak
(%)
Protein
(%)
Serat
Kasar
(%)
Karbon
(%)
Tepung
Jagung
10,52 1,27 4,89 8,48 1,04 73,80
Tepung
7,58 0,68 4,53 9,89 0,84 76,90
Tepung
Terigu
10,70 0,86 2,0 11,50 0,64 74,20
Tepung
Tapioka
9,84 0,36 1,5 2,21 0,69 85,20
Tepung
Sagu
14,10 0,67 1,03 1,12 0,37 82,70
2.10. Perekat Tapioka
Gambar 2.3 Tepung Tapioka
Perekat tapioka umum digunakan sebagai bahan perekat pada briket arang
karena banyak terdapat dipasaran dan harganya relatif murah. Perekat ini dalam
penggunaannya menimbulkan asap yang relatif sedikit dibandingkan bahan
lainnya.
Perekat pati dalam bentuk cair sebagai bahan perekat menghasilkan briket
arang bernilai rendah dalam hal kerapatan, keteguhan tekanan, kadar abu dan zat
mudah menguap, tetapi akan lebih tinggi dalam hal kadar air, karbon terikat dan
nilai kalornya apabila dibandingkan dengan briket arang yang menggunakan
perekat molase.
27
Tepung bila diproses secara hidrolisa, dinding sel tepung berangsur-angsur
akan membentuk gelatin karena molase dari tepung mengubah sifat dirinya
menjadi kolodial dan kemudian terbentuk pasta, sifat ini disebut gelatinasi.
Terbentuknya gelatinasi untuk tepung kanji memerlukan panas sekitar 60-640C.
Kadar perekat dalam briket arang tidak boleh terlalu tinggi karena dapat
mengakibatkan penurunan mutu briket arang yang sering menimbulkan banyak
asap.
Tabel 2.7 Komposisi kimia pati
Komposisi Jumlah (%)
Air
Proton
Lemak
Abu
Serat Kasar
8-9
0,3-1,0
0,1-0,4
0,1-0,8
81-89