Post on 23-Dec-2015
description
1
Warna-warna yang bersahabat dengan anak dalam praktek kedokteran gigi anak
“ Child Friendly Colors In A Pediatric Dental Practice”Umamaheshwari N, Sharath Asokan1, Thanga Kumaran S2
Departments of Pediatric Dentistry, 2Periodontology and Oral Implantology, J. K. K. Nataraja Dental College and Hospital.
Komarapalayam, 1Pediatric Dentistry, K S R Institute of Dental Science and Research. Tiruchengode, Tamil Nadu, India
Oleh :SELVY CHAIRANI
160110090017
Pembimbing: Drg. Meirina Gartika, Sp.KGA
Elis N, drg
UNIVERSITAS PADJADJARANFAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG2014
BAB I
PENDAHULUAN
Kecemasan terhadap kedokteran gigi bagi anak telah menjadi masalah
selama beberapa tahun dan masih menjadi penghalang untuk perawatan gigi. Ada
banyak faktor yang menyebabkan kecemasan pada anak-anak. Anak mendapat
kecemasan langsung (dengan pengkondisian) atau melalui pembelajaran tidak
langsung (dari model atau informasi). Persepsi anak mengenai lingkungan
kedokteran gigi juga merupakan faktor signfikan yang menyebabkan kecemasan.
Perubahan ekspektasi anak-anak mendorong dokter gigi anak untuk
mengembangkan atmosfer yang lebih ramah anak di klinik gigi mereka. Elemen-
elemen lingkungan yang menghasilkan perasaan positif bisa mengurangi
kecemasan. Jika warna lingkungan klinik bisa memberikan dampak positif pada
perilaku anak, warna-warna tersebut mungkin dapat membuat anak nyaman,
sehingga mengurangi kecemasannya.
Warna adalah salah satu metode instan dalam menyampaikan pesan dan
maksud. survival kami bergantung pada kemampuan untuk mengidentifikasi
objek tertentu dan/atau sinyal peringatan dan warna adalah bagian integral proses
identifikasi tersebut. Diantara penggunaan lainnya, warna menstimulasi dan
bekerja secara sinergis dengan semua indra, menyimbolkan konsep dan pemikiran
abstrak, mengekspresikan fantasi atau pemenuhan keinginan, mengingat waktu
atau tempat dan menghasilkan respon estetik atau emosional. Warna telah
dipelajari dalam perspektif psikologis, biologis, antropologis, dan filosofis selama
1
2
beberapa waktu. Anak-anak mampu mengkategorikan warna menurut beberapa
dimensi, yang paling sering adalah apakah warna memiliki efek positif atau
negatif dalam emosi mereka atau apakah mereka setuju atau tidak setuju dengan
warna tersebut. Selain itu, mereka juga bisa menghubungkan warna dan emosi.
Penemuan hubungan antara warna dan emosi dan efeknya pada performa dan
produktivitas telah diadopsi di tempat kerja. Kebanyakan penelitian yang ada
mengenai rancangan lingkungan difokuskan pada orang dewasa sehat dan temuan-
temuan tersebut tidak bisa diperkirakan untuk anak-anak. Park (2009) melakukan
penelitian untuk meneliti nilai warna sebagai komponen lingkungan penyembuh
untuk ruang pasien anak.
Walaupun penelitian mengenai warna sebelumnya cukup sugestif, tidak
ada yang berfokus pada lingkungan klinik gigi anak. Pada praktek gigi anak,
beberapa anak bereaksi positif sedangkan yang lain menunjukan rasa cemas.
Penggunaan warna ramah anak di klinik gigi bisa menghasilkan lingungan yang
positif untuk semua anak. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk
mengevaluasi hubungan warna-emosi dengan tingkat kecemasan anak.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kecemasan pada Perawatan Gigi (Dental Anxiety)
Banyak pengertian/definisi yang dirumuskan oleh para ahli dalam
merumuskan pengertian tentang kecemasan. Beberapa ahli telah mengemukakan
pendapat tentang definisi kecemasan, antara lain :
1. Maramis (1995) menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu ketegangan,
rasa tidak aman, kekhawatiran yang timbul karena dirasakan akan
mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.
2. Lazarus (1991) menyatakan bahwa kecemasan adalah reaksi individu
terhadap hal yang akan dihadapi. Kecemasan merupakan suatu perasaan
yang menyakitkan, seperti kegelisahan, kebingungan, dan sebagainya, yang
berhubungan dengan aspek subyektif emosi. Kecemasan merupakan gejala
yang biasa pada saat ini, karena itu disepanjang perjalanan hidup manusia,
mulai lahir sampai menjelang kematian rasa cemas sering kali ada.
3. Saranson dan Spielberger (dalam Darmawanti 1998) menyatakan bahwa
kecemasan merupakan reaksi terhadap suatu pengalaman yang bagi individu
dirasakan sebagai ancaman. Rasa cemas adalah perasaan tidak menentu,
panik, takut, tanpa mengetahui apa yang ditakutkan dan tidak dapat
menghilangkan perasaan gelisah dan rasa cemas tersebut.
Semua orang dapat mengalami kecemasan, namun apabila orang tersebut
mengalaminya pada waktu yang tidak seharusnya dan merasa kesulitan untuk
4
mengendalikan kondisi kecemasan yang dialaminya maka orang tersebut
dikatakan menderita kecemasan (National Institute for Clinical Excellence, 2004).
Ada tiga komponen yang mencakup kecemasan (Dadds et al., 2000):
1. Perubahan fisik
Perubahan fisik ini dapat bermacam-macam, namun, yang paling umum
dialami adalah nafas yang pendek, pusing, jantung yang berdebar-debar,
tubuh yang gemetar, ketegangan otot, berkeringat, rasa baal, tingling
sensation, mulut kering, rasa tidak nyaman pada perut, dan mual.
2. Pikiran
Jenis kecemasan yang berbeda dihubungkan dengan pikiran yang berbeda.
Pikiran tersebut misalnya berupa rasa takut diperhatikan orang banyak
ataupun merasa mengalami serangan jantung. Pada intinya penderita merasa
berada dalam kondisi yang berbahaya.
3. Perilaku
Reaksi yang paling umum yang ditunjukkan oleh penderita kecemasan adalah
sikap menghindar, misalnya apabila seseorang takut berada di kerumunan
orang banyak maka orang tersebut akan menghindari tempat-tempat
keramaian.
2.2 Etiologi Kecemasan
Penyebab terjadinya kecemasan pada individu hampir sulit untuk
diperkirakan dengan tepat. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat subyektif
kecemasan dari setiap orang, bahwa kejadian yang sama belum tentu dirasakan
5
sama pula oleh setiap orang. Dengan kata lain suatu rangsangan atau kejadian
dengan kualitas dan kuantitas yang sama dapat diinterprestasikan secara berbeda
antara individu yang satu dengan yang lainnya (Piaget, 2006).
Berdasarkan sumber timbulnya kecemasan, Freud (Dalam Calvin S. Hall,
1993) membedakan kecemasan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Kecemasan Neurotik (Neurotic Anxiety), yaitu kecemasan yang berhubungan
erat dengan mekanisme pembelaan diri, dan juga disebabkan oleh perasaan
bersalah atau berdosa, konflik-konflik emosional yang serius, frustasi, serta
ketegangan-ketegangan batin.
2. Kecemasan Moral (Anxiety of moral conscience/super ego), yaitu rasa takut
akan suara hati, di masa lampau pribadi pernah melanggar norma moral dan
bisa di hukum lagi, misalnya takut untuk melakukan perbuatan yang melanggar
ajaran agama.
3. Kecemasan Realistik (Realistic Anxiety), yaitu rasa takut akan bahaya-bahaya
nyata di dunia luar, misalnya takut pada ular berbisa.
Secara sederhana kecemasan disebabkan individu mempunyai rasa takut
yang tidak realistis, karena mereka keliru dalam menilai suatu bahaya yang
dihubungkan dengan situasi tertentu, atau cenderung menaksir secara berlebihan
suatu peristiwa yang membahayakan. Kecemasan juga dapat di sebabkan
penilaian diri yang salah, individu merasa bahwa dirinya tidak mampu mengatasi
apa yang terjadi atau apa yang dapat dilakukan untuk menolong diri sendiri.
6
Secara umum kecemasan merupakan suatu keadaan yang normal pada setiap
individu, namun jika tidak dihadapi secara tepat maka akan menimbulkan
gangguan psikologis yang lebih jauh.
2.3 Kecemasan Anak pada Perawatan Gigi
Perilaku cemas dan takut pada anak dapat menjadi penghambat terhadap
pemeliharaan kesehatan gigi, antara lain karena perilaku yang tidak kooperatif dan
perilaku yang mengganggu ketika duduk di unit kursi gigi. Pengetahuan dasar
tentang perilaku seperti ini dapat membantu dokter gigi dan perawat gigi untuk
mencegah, meminimalisir atau menghadapi efek dari perilaku anak-anak tersebut
di ruang perawatan gigi (Parkin, 1991). Perilaku tidak kooperatif seorang anak di
ruang perawatan gigi biasanya didorong oleh keinginan untuk menghindari
keadaan yang tidak menyenangkan dan rasa sakit serta sesuatu yang akan terjadi
yang ditafsirkan olehnya sebagai ancaman terhadap kesehatannya (Finn, 2003).
Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memastikan bahwa seorang
anak cemas atau tidak, yaitu pertama anak harus mampu untuk menceritakan
kecemasannya dan penyebab kecemasannya tersebut. Berbeda dengan bayi dan
anak yang masih sangat kecil (balita) yang tidak dapat mengkomunikasikan
keadaannya, akan tetapi dari perilakunya pada situasi tertentu seringkali
menunjukkan ke arah kecemasan, walaupun emosi tersebut tidak dapat
diungkapkan oleh bayi atau anak yang masih sangat kecil tersebut (Graham,
1994).
Menurut Kent (2005), komponen akhir dari kecemasan adalah tingkah laku
yang dapat berwujud dalam beberapa bentuk. Masalah tingkah laku yang kurang
7
kooperatif terhadap perawatan gigi dapat ditunjukkan oleh anak-anak seperti
mendorong instrument agar menjauh darinya, menolak untuk membuka mulut,
menangis, membantah, atau meronta-ronta, hal ini seringkali dianggap sebagai
manifestasi dari kecemasan. Lebih lanjut Kent (2005) menggolongkan tingkah
laku seorang anak menjadi empat kategori, yaitu :
1. Sangat negatif, seperti menolak perawatan, meronta-ronta dan membantah,
sangat takut, menangis histeris, menarik diri.
2. Sedikit negatif, seperti tindakan negatif minor atau mencoba bertahan,
menyimpan rasa takut, gelisah atau menangis.
3. Sedikit positif, seperti berhati-hati menerima perawatan, dengan sedikit
menolak, dengan taktik bertanya atau menolak, cukup bersedia bekerja sama
dengan dokter gigi.
4. Sangat positif, seperti bersikap baik dengan operator, tidak ada tanda-tanda
takut, tertarik pada prosedur, dan membuat kontak verbal yang baik.
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Anak pada Perawatan Gigi
Sebelum menentukan diagnosis dan aplikasi teknik untuk mengontrol
kecemasan pada anak, harus terlebih dahulu mengetahui faktor yang
mempengaruhi kecemasan maupun perilaku anak (Finn, 2003; Sjahruddin dan
Arbani, 1990).
Berikut faktor yang mempengarhui rasa cemas anak pada perawatan gigi :
1. Riwayat Pengobatan
8
Riwayat pengobatan tidak tergantung dari beberapa kali jumlah kunjungan
berobat pada waktu yang lalu, tetapi tergantung dari kesan rasa senang
terhadap pengalaman berobat.
2. Kecemasan Orang Tua
Orang tua yang mempunyai perasaan cemas terhadap anaknya, terutama bila
pertama kali datang ke dokter gigi. orang tua yang sangat cemas
berpengaruh pada anak sehingga anak menunjukkan sikap yang tidak
kooperatif terutama pada kunjungan pertama.
3. Hubungan Keluarga
Hubungan kekeluargaan merupakan salah satu penyebab rasa cemas dan
takut. Umumnya anak belajar dengan cara meniru. Anak sulung akan
berusaha meniru orang tuanya, sedangkan adik akan meniru kakaknya. Jika
menurut kakaknya perawatan gigi itu suatu hal yang menakutkan dan
menyakitkan, adiknya akan menjadi takut dan cemas bila dihadapkan
dengan perawatan gigi.
4. Faktor Sosial Ekonomi
Anak yang berasal dari golongan sosial ekonomi rendah mempunyai rasa
cemas yang tinggi dibandingkan dengan anak golongan sosial ekonomi
menengah dan tinggi. Alasan yang mendasarinya yaitu bahwa orang dari
golongan berpenghasilan rendah jarang berobat ke dokter gigi dibandingkan
orang dari golongan menengah ke atas.
5. Lingkungan atau Situasi yang asing
9
Suasana yang baru atau asing, dapat menyebabkan gangguan emosi karena
anak belum siap menerima lingkungan baru dan memerlukan penyesuaian.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dari lingkungan dokter gigi antara
lain sikap dokter gigi dalam menerima anak sebagai pasien, keterampilan
dan kecakapan bekerja, penentuan waktu dan lamanya kunjungan serta
suasana ruang tunggu dan kamar praktek yang memberikan kenyamanan
bagi anak.
2.5 Warna
Warna adalah bagian penting dalam hidup anak. Lingkungan anak termasuk
pakaian, mainan, dan aksesoris rumah mengandung banyak pesan psikologis
melalui warna. Goldstein mengklaim bahwa warna spesifik menunjukan respon
emosi spesifik. Klinisi telah menyatakan bahwa warna yang digunakan anak
dalam seni, contohnya, adalah manifestasi status emosi dari dalam dirinya. Dalam
penelitian ini diputuskan untuk menggunakan enam warna yang mudah
diidentifikasi: biru, hijau, pink, kuning, merah dan hitam. Warna-warna yang
dipilih berkorespondendsi dengan empat warna utama (biru, hijau, kuning dan
merah) dalam sistem Munsell; pink berhubungan dengan jaringan tubuh dan hitam
merupakan warna akromatis. Untuk menghindari corak spesifik dan masalah
pencetakan dalam menghasilkan warna tertentu yang bisa memberikan dampak
dramatis dalam penelitian ini, pensil warna karyon digunakan dibanding mencetak
warna di kertas.
10
Menurut wauters, thomson dan birren (Lasmono, 2009) menyatakan bahwa
warna-warna dapat dimanfaatkan untuk pengobatan dan menunjang kesembuhan,
karena dalam hal ini warna dapat memberikan suasana tenang , damai, nyaman,
antara lain:
1. Warna hijau dianggap memiliki kekuatan unyuk penyembuhan dan
kemampuan untuk menenangkan dan menyegarkan. Efek psikologis
warna hijau merupakan warna keseimbangan, sangat bermanfaat untuk
kondisi-kondisi emosional anak pada saat stress, emosi, dan mengalami
rasa takut di klinik/ rumah sakit
2. Warna biru berhubungan dengan hal positif, lebih produktif dan warna
kedamaian. Warna biru menimbulkan efek fisik memperkuat kondisi
tubuh dan pikiran, menenangkan kondisi jiwa anak yang sedih dan
menciptakan kondisi yang tenang pada pasien anak
3. Kuning adalah warna yang ceria, menyenangkan dan penuh energi.
Kuning juga merupakan warna persahabatan. Tidak heran warna kuning
identik dengan mainan anak-anak dan anak-anak menyukainya
(yayasanbsc,2013)
Sedangkan, Hubungan warna merah dan hitam secara psikologi dengan
kesehatan.
4. Hitam adalah warna yang gelap, suram, menakutkan. Hitam punya
reputasi buruk. Warna ini dipakai oleh para penjahat di komik atau film.
Hitam juga melambangkan duka dan murung.
11
5. Merah adalah warna yang punya banyak arti, warna ini tak cuma
mempengaruhi psikologi tapi juga fisik. penelitian menunjukkan
menatap warna merah dapat meningkatkan detak jantung dan membuat
kita bernafas lebih cepat. efek negatif dari warna merah adalah
merangsang kemarahan, agresifitas, bantahan, dan kecemasan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa anak-anak yang cemas dan tidak
cemas memilih kuning sebagai pilihan warna untuk emosi positif diikuti oleh biru.
Tetapi anak-anak yang cemas lebih memilih kuning sedangkan yang tidak cemas
lebih memilih biru. Hubungan beberapa suasana hati dengan warna tertentu lebih
terlihat dan tepat dibanding hubungan lainnya. Warna kuning berhubungan
dengan kebahagiaan, keceriaan, dan tingkat emosi positif; warna biru
berhubungan dengan rasa aman, tenang, nyaman; hijau dengan kesenyapan; merah
dengan kemarahan, agresi, giat; hitam dengan depresi atau kecemasan. Cimbalo
dkk menyimpulkan bahwa anak-anak yang merasa bahagia menggunakan kuning,
biru, hijau dan oranye untuk mewarnai, sedangkan ketika merasa sedih, mereka
cenderung menggunakan merah, hitam, dan cokelat.
Lawler dan Lawler menemukan bahwa anak-anak pra-sekolah mewarna
dengan krayon kuning setelah mendengar cerita bahagia dan dengan krayon hitam
setelah mendengar cerita sedih. Odom dkk melakukan penelitian untuk menguji
efek corak warna pada suasana hati. Hasil penelitian tersebut mendukung bahwa
kuning dipilih untuk menunjukan keceriaan dan kesenangan sedangkan biru
berhubungan dengan ketenangan. Park meneliti pilihan warna untuk ruangan
pasien anak di antara pasien rawat inap, rawat jalan dan anak-anak sehat. Ketiga
12
grup menunjukan pola pilihan warna yang mirip, kecuali untuk kuning. Kelompok
pasien rawat inap dan rawat jalan kurang memilih kuning dibanding anak-anak
sehat. Terlepas dari jenis kelamin, anak-anak sehat dan pasien anak memilih biru
dan hijau sebagai warna yang paling banyak dipilih dan putih untuk warna yang
paling sedikit dipilih.
Warna spesifik biasanya menimbulkan emosi khusus, tetapi emosi tertentu
tidak sama untuk setiap individu. Emosi yang dipicu oleh warna tergantung pada
kebangsaan, pengalaman masa lalu dan terkadang pilihan personal. Dalam
penelitian kami, satu anak memiliki pilihan berbeda untuk warna biru yang
biasanya berhubungan dengan emosi positf, ia menghubungkan warna itu dengan
ketakutan. Alasannya adalah ibunya mengatakan bahwa laut biru itu menakutkan
dan berbahaya. Satu anak menghubungkan warna hitam dengan emosi positif
karena dia suka melihat ikan hitam di akuarium. Anak lainnya mengatakan warna
kuning membuatknya takut karena ibunya memaksa ia memakan kuning telur
yang paling tidak ia suka. Komentar-komentar ini menunjukan bahwa hubungan
warna-emosi muncul dari pengalaman tunggal dan konkret. Pada beberapa anak,
respon individual terhadap warna bervariasi tetapi reaksi rata-rata anak bisa
menjadi dasar untuk mencapai kesimpulan.
Penelitian ini mencoba untuk memahami dengan lebih baik nilai warna
dalam lingkungan kedokteran gigi dan warna yang tepat untuk populasi pasien
gigi anak. Hasilnya menunjukan bahwa anak-anak memiliki warna pilihan dan
bisa memasangkan warna dengan emosi. Warna dan kombinasi spesifik bisa
mempengaruhi mayoritas masyarakat secara psikologis terlepas dari budaya atau
13
masa lalu. Warna kuning untuk emosi positif oleh anak-anak yang cemas dan
lebih muda memberikan lingkungan yang paling ceria dan positif. Warna biru
yang dipilih oleh anak-anak yang tidak cemas dan lebih tua memberikan
lingkungan yang menenangkan. Goethe (1840) membuat roda warna yang
menunjukan efek psikologis untuk setiap warna. Dia melihat bahwa biru
memberikan rasa sejuh dan kuning memiliki efek menghangatkan. Dia membagi
semua warna menjadi dua grup – sisi plus (dari merah ke oranye sampai kuning)
dan sisi minus (dari hijau ke violet sampai biru). Warna-warna sisi plus
menghasilkan kegembiraan dan keceriaan. Warna-warna sisi minus berhubungan
dengan kelemahan dan kegelisahan. Skema warna pelengkap terdiri dari dua
warna yang berkebalikan satu sama lain pada roda warna. Skema ini terlihat
paling baik ketika anda menempatkan warna hangat di atas warna dingin. Hal ini
menyatakan bahwa kuning dapat menjadi warna utama dan biru bisa menjadi
tambahan di lingkungan klinik gigi. Warna-warna seperti hitam dan merah dapat
dihindari.
2.6 Alat Ukur Kecemasan Pada Anak
1. Corah Dental Anxiety Scale (Corah’s DAS)
Para peneliti menetapkan bahwa Corah Dental Anxiety Scale (CDAS)
adalah alat ukur paling banyak digunakan dan DAS direkomendasikan digunakan
untuk mengukur kecemasan dental di klinik. DAS memiliki empat skala item
pengukuran kecemasan dental. Nilai untuk setiap rentang jawaban terdiri atas 1-5.
Total rata-rata dari setiap tingkat kecemasan adalah 4-20. Pengukuran keempat
14
pertanyaan sangat bervariasi, 2 pertanyaan berkaitan dengan kecemasan umum
dan 2 pertanyaan berhubungan dengan kecemasan yang lebih spesifik terhadap
tindakan rangsangan instrumen pada kinik gigi. Ada perbedaan lain antara
pertanyaan pertama dan tiga pertanyaan selanjutnya. Pada pertanyaan pertama
responden diminta untuk berspekulasi tentang perasaannya sebelum perawatan.
Sedangkan tiga pertanyaan lain meminta responden untuk menilai bagaimana
perasaan mereka ketika mereka berada dalam situasi yang ditentukan
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian cross-sectional dilakukan di Department of Pediatric Dentistry,
JKK, Nataraja Dental College and Hospital, Tamil Nadu, India. Protokol
penelitian dianalisis dan disetujui oleh the Institutional Review Board of JKK
Nataraja institution. Persetujuan tertulis didapat dari orang tua semua anak-anak
yang berpartisipasi. Total 300 anak berusia antara 6-12 tahun berpartisipasi dalam
penelitian ini. Mereka dibagi menjadi 2 grup: anak-anak yang lebih muda (6-9
tahun, n = 156) dan anak-anak yang lebih tua (9-12 tahun, n = 144). Pro forma
yang dipersiapkan khusus digunakan untuk mencatat informasi personal, juga
skala kecemasan gigi Corah dan gambar-gambar kartun wajah. Gambar wajah
meliputi dua emosi yang berbeda: kebahagiaan (emosi positif) dan ketakutan
(emosi negatif). Skala kecemasan gigi Corah dicatat oleh penguji A di ruang
tunggu. Setiap pertanyaan diberi nilai dari 1 (tidak cemas) sampai 5 (sangat
cemas) dan skor total berkisar dari 5 sampai 20). Nilai 9 atau lebih dianggap
cemas. Anak-anak dibagi menjadi grup cemas dan tidak cemas berdasarkan skor
kecemasan gigi Corah. Seluruh 300 anak diberi enam pensil krayon (biru, hijau,
pink, kuning, merah, dan hitam) oleh penguji B dan diminta untuk mengikuti
instruksi “Ketika kamu bahagia, warna apa yang kamu pilih untuk mewarnai
wajah yang bahagia?”. Mereka diperbolehkan untuk mewarnai dengan warna
yang mereka pilih untuk emosi positif. Kemudian gambar yang mewakili
ketakutan ditunjukan dan ditanyakan, “jika kamu merasa takut, warna apa yang
akan kamu pilih untuk mewarnai wajah ini?” dan mereka diperbolehkan
15
16
untuk mewarnai kartun tersebut dengan warna pilihan mereka. Kemungkinan
hubungan antara pilihan warna dan emosi kemudian dievaluasi. Uji Chi-square
(SPSS version 15) digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara variabel dan
P≤0.005 dianggap signifikan secara statstik.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Rata skor kecemasa gigi Corah untuk seluruh 300 anak adalah 8.62. total
104 anak (66.67%) dari grup yang lebih muda dinilai cemas dan 52 anak
(33.33%) dinilai tidak cemas. 56 anak (38.89%) dari grup yang lebih tua dinilai
cemas dan 88 anak (61.11%) dinilai tidak cemas. Kecemasanlebih banyak terjadi
pada anak-anak yang lebih muda dibanding yang lebih tua dan perbedaannya
signifikan secara statistik (P<0.001) seperti yang ditunjukan di Gambar 1. Untuk
emosi positif, 44% (n = 132) anak memiliki kuning, diikuti dengan biru 32.67% (n
=98), hijau 11.67% (n = 32), pink 11% (n = 33), merah dan hitam 0.33% (n = 1).
Gambar 2 memperlihatkan emosi negatif, 56.67% (n = 170) anak memilih hitam,
42.67% (n=128) memilih merah, dan 0.33% (n=1) memilih biru, 0.33% (n=1)
memilih kuning. Hubungan antara warna dan emosi sangat signifikan (P<0.001).
pilihan warna untuk emosi positif dan negatif dibandingkan berdasarkan tingkat
kecemasan dan grup usia. Anak-anak yang cemas dan tidak cemas memilih
kuning diikuti dengan biru untuk emosi positif. Namun, dibandingkan dengan
usia, anak-anak berusia lebih muda yang cemas secara signifikan memilih kuning
(65.38%) dan anak-anak berusia lebih tua yang tidak secara signifikan memilih
biru (54.55%) (P<0.001) seperti yang ditunjukan di gambar 3. Di sisi lain, gambar
4 menunjukan bahwa anak-anak yang cemas dan tidak cemas memilih hitam dan
merah untuk emosi negatif. Pilihan warna untuk emosi negatif diantara anak-anak
17
18
yang cemas dan tidak cemas (P=0.44) dihubungkan dengan grup usia tidak
signifikan secara statistik (P=0.43 dan 0.44 masing-masing).
Gambar 1. Distribusi berdasarkan usia dan kecemasan anak.
Gambar 2. Prevalensi pilihan warna untuk emosi dan hubungannya.
Gambar 3. Pilihan warna untuk emosi positif diantara anak-anak yang cemas dan tidak cemas
BAB V
SIMPULAN
Penelitian ini mencoba untuk meningkatkan area penelitian warna di
lingkungan klinik gigi dan juga mengkorelasikan pilihan warna dengan emosi
anak-anak di klinik gigi. Penggunaan warna-warna “ramah anak” seperti kuning
(warna hangat) dan biru (warna sejuk) di klinik gigi bisa menghasilkan perilaku
positif dalam pikiran anak. Penelitian di masa depan dengan ukuran sampel yang
lebih besar rentang sampel warna yang lebih banyak dan berbagai saturasi bisa
menentukan hubungan kuat antara warna-warna yang berbeda dengan emosi anak.
19
20
DAFTAR PUSTAKA
Calvin S. Hall. 1999. A Primer of Freudian Psychology. Plume Publisher.
Dadds, M.; et al. 2000. Early Intervention for Anxiety Disorders in Children and Adolescents. Canberra: Department of Health and Aged Care.
Finn, S.B. 2003. Clinical pedodontics. Philadelphia : W.B. Saunders Company. 32-38.
Graham-Pole, J and Turner, C. 1994. Children awaiting medical procedures: Do children and their mothers agree on child’s level of anxiety?. Journal of Pediatric Psychology, 19, 723-725.
Kent, G.G. and A.S. Blinkhorn. 2005. Pengelolaan tingkah laku pasien pada praktik dokter gigi. Ed 2. Diterjemahkan oleh Johan Arief Budiman. Jakarta: EGC. Hal.2, 63-86.
Lazarus, Richard S. 1991. Progress on a cognitive-motivational-relational theory of Emotion. American Psychologist.
Maramis, W.F. 1995. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press.
National Institute for Clinical Excellence. 2004. Management of panic disorder and generalised anxiety disorder in adults. London: Abba Litho Sales Limited.
Parkin, Stanley F, dkk, 1991. Notes on Pediatric Dentistry. Part of Read International P.L.C. First Published, London.
Piaget Jean. 2006. Part I: Cognitive development in children: Piaget development and learning. Journal of Research in Science Teaching. Vol 2, Issue 3, pages 176–186.
Umamaheshwari, M.et all. 2013. Child friendly colors in a pediatric dental practice. Journal of indian society of pedodontics and preventive dentistry.