repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44287/1/M... · seperti...
Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44287/1/M... · seperti...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keragaman sumber ekonomi pondok pesantren berbanding lurus dengan
keragaman model pondok pesantren itu sendiri. Sumber ekonomi pondok pesantren,
selanjutnya disebut pesantren, menjadi modal kemandirian pesantren. Kemandirian
ekonomi pesantren pada gilirannya menjadi penopang ekonomi bangsa mengingat
pesantren umumnya bersentuhan dengan ekonomi kerakyatan dan masyarakat di akar
rumuput.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia yang sudah
tumbuh dan berkembang beberapa abad yang lalu. Pesantren diartikan sebagai tempat
tinggal para santri untuk menuntut ilmu-ilmu agama, yang lazim disebut dengan istilah
pondok, meunasah, surau, dan sebagainya. Santri adalah orang yang menuntut ilmu
agama Islam.1 Pesantren berbeda dengan pendidikan lain, karena pesantren merupakan
lingkungan pendidikan integral, yaitu lingkungan pendidikan yang menuntut santrinya
belajar secara menyeluruh dengan melibatkan sumber-sumber daya yang ada di
pesantren. Para santri dapat mengambil pengalaman secara integral.2 Dibandingkan
dengan lingkungan pendidikan parsial yang ditawarkan sistem pendidikan sekolah
umum di Indonesia sekarang ini, pesantren mempunyai kultur yang unik. Karena
keunikannya, pesantren digolongkan ke dalam subkultur tersendiri dalam masyarakat
Indonesia. Subkultur pesantren melembaga karena jumlahnya yang sangat banyak dan
tersebar di seluruh Indonesia. Keunikan ini pula pada gilirannya dapat menghasilkan
nilai ekonomis yang sangat besar bila dikelola secara profesional.3
Pada mulanya, identitas pesantren hanya sebagai lembaga pendidikan, penyiaran
agama Islam, reproduksi ulama, pemelihara Islam tradisional,4 dan sebagai pusat
1 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1994), hal. 18. Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1997), hal.19-20. 2 Marzuki Wahid, et al., Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi
Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Hidayah, 2001), hal. 13. 3 Ahmad Faozan, "Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi", Jurnal Ibda', Vol. 4, No. 1
(2006), hal. 2. 4 Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, hal. vii. Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 147.
2
memperjuangkan Islam terhadap sinkretisme Jawa.5 Dewasa ini pesantren turut serta
dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pesantren berupaya menjaga
eksistensi dan kemandiriannya dengan melakukan terobosan-terobosan dalam
menghadapi perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat. Dengan demikian fungsi
pesantren, selain sebagai pusat pengkaderan ahli-ahli (center of excellence) dan sebagai
lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource), juga sebagai lembaga
yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of social
change).6
Pengembangan peran pesantren pada ranah pemberdayaan ekonomi tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh-pengaru luar dan dalam pesantren. Dalam catatan M. Suparta,
pengaruh luar tersebut meliputi: pertama, ideologis-normatif, berupa orientasi-orientasi
ideologis yang diekspresikan dalam norma-norma nasional, seperti Pancasila, yang
menuntut sistem pendidikan untuk memperluas dan memperkuat wawasan nasional
peserta didik. Kedua, mobilisasi politik. Reformasi membuka ruang keterlibatan
pesantren pada ranah politik, termasuk pada politik praktis. Ketiga, mobilisasi ekonomi.
Kemajuan ekonomi mendorong perubahan perilaku ekonomi masyarakat. Penetrasi
modal asing dan kekuatan perusahaan dapat mengancam industri dalam negeri.
Ekonomi pesantren di antara entitas ekonomi yang harus berjuang menghadapi
liberalisasi ekonomi. Keempat, mobilisasi sosial. Mobilisasi massa bergerak seiring
dengan kemajuan masyarakat yang menuntut kemampuan sosial untuk mengelola
mobilisasi ini. Modal sosial yang kuat akan mengantarkan mobilisasi massa ke arah
kemajuan yang nyata. Karena itu, pesantren diharapkan mampu menyumbangkan kader-
kader bangsa yang menjadi modal sosial bagi pembangunan bangsa. Kelima, mobilisasi
kultural. Modernisasi telah menimbulkan perubahan-perubahan sosial-budaya di
masyarakat. Pesantren, sebagai sub-kultur khas Indonesia harus menghadapi mobilisasi
kultural ini. Artinya, pesantren sebagai lembaga pendidikan harus mampu menakar
kembali akar budaya yang selama ini dipraktikkan di pesantren, sehingga budaya
pesantren menjadi kondusif bagi pembangunan dan kemajuan bangsa.7
Pengelolaan ekonomi pesantren meliputi segala hal yang menyangkut
perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan sumber-sumber ekonomi. Mengelola
5 Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1983), hal. 2-3; Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hal.
102. 6 Ahmad Faozan, "Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi", hal. 2.
7 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, hal. 33-34.
3
segala sesuatu berkaitan dengan ekonomi pesantren agar dilakukan dengan baik, tepat
dan tuntas merupakan hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam.8 Dalam konteks
ekonomi, pengelolaan sumber utama bertumpu pada tiga aspek; produksi, konsumsi,
dan sirkulasi. Produksi menyangkut segala tindakan untuk menghasilkan sesuatu,
sedangkan konsumsi secara umum bermakna memanfaatkan hasil produksi. Adapun
sirkulasi adalah berkaitan dengan memindahkan hasil produksi.
Pesantren yang kegiatan utamanya sebagai lembaga pendidikan keagamaan secara
umum mengalami kendala pengelolaan ekonomi. Kendala tersebut, menurut Faozan,
meliputi kendala sumber daya manusia, kelembagaan, dan jaringan.9 Selain kendala
tersebut, pesantren juga mengalami persoalan modal atau kapital. Pesantren menghadapi
kendala sumber daya manusia karena selama ini pesantren focus pada kegiatan
pendidikan. Meluasnya peran pesantren pada bidang ekonomi menuntut keahlian-
keahlian tertentu. Meskipun kebanyakan pesantren telah bergelut dengan ekonomi,
meskipun terbatas dan terutama pada bidang pertanian. Sumber ekonomi pesantren
merambah ke bidang bisnis yang mungkin selama ini tidak dibayangkan oleh pesantren,
seperti mengelola SPBU.
Kelembagaan pesantren dengan modelnya seperti sekarang, kendali ada pada kyai
memiliki kelebihan dan kekurangan. Bidang ekonomi ditangani langsung oleh kyai akan
mendapat perhatian lebih dari kyainya, namun jika dia tidak memiliki kapasitas yang
memadai maka inovasi bisnis tidak berjalan dengan baik. Pesantren dapat memilih
model lain yaitu bidang ekonomi ditangani oleh lembaga khusus yang terpisah dari
struktur pesantren. Artinya, setiap bidang usaha mempunyai struktur tersendiri yang
independen. Meski demikian, secara emosional dan ideologis tetap menyatu dengan
Ponpes. Pemisahan lembaga ini dimaksudkan sebagai upaya kemandirian lembaga, baik
dalam pengelolaan atau pengembangannya. Adapun kontribusi yang diberikan pada
Ponpes, biasanya berupa semacam manajemen fee. Model kelembagaan seperti ini
biasanya mengadopsi sistem manajemen modern. Karenanya, tolok-ukurnya adalah
profesionalisme.10
Kemampuan sumber daya dan model pengelolaan ekonomi dapat berpengaruh
terhadap kemampuan membuka jaringan kerja ke luar pesantren. Jaringan ke luar dalam
8 Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktek, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003), Cet. Ke-1, hal. 1 9 Ahmad Faozan, "Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi", hal. 4.
10 Ahmad Faozan, "Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi", hal. 5.
4
kegiatan ekonomi mutlak diperlukan karena pesantren membutuhkan jaringan tersebut
baik untuk kepentingan pemasaran atau mendapatkan bahan baku. Dengan jaringan
yang luas, kendala modal pun dapat teratasi. Namun lagi-lagi, kekhasan pesantren bisa
jadi dapat memadukan berbagai model pengelolaan baik terkait dengan sumber daya
maupun sistem kelembagaannya. Dua pesantren di Parung Al-'Ashriyah dan Darul
Muttaqin, yang merupakan objek penelitian ini, akan membenarkan tesis tersebut.
B. Permasalahan Penelitian
Permasalahan penelitian adalah bagaimana model pengelolaan ekonomi pondok
pesantren: studi pondok pesantren al-'ashriyah dan darul muttaqin parung. Rumusan
masalah ini diturunkan dalam bentuk pertanyaan penelitian berikut:
1. Bagaimana peran dan relasi ekonomi antara pesantren dan pengelola ekonomi?
2. Bagaimana pengelolaan ekonomi pesantren dari perencanaan hingga
pemanfaatan ekonomi?
3. Bagaimana pemanfaatan ekonomi bagi pengembangan pesantren?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengungkap peran pesantren terutama kyai terhadap pengelolaan ekonomi dan
relasi keduanya.
2. Mengetahui model pengelolaan ekonomi pesantren.
3. Memetakan pemanfaatan ekonomi untuk pengembangan aspek pesantren dan
santrinya.
D. Landasan Teori
Penelitian terdahulu menunjukkan peran pesantren cukup signifikan dalam
mengembangkan ekonomi pesantren dan masyarakat. Penelitian Mutadho pada dua
pesantren, Baitul Hamdi dan Turus, di Pandeglang membuktikan tesis tersebut.
Pesantren Baitul Hamdi termasuk pesantren modern, dalam bahasa Murtadho pesantren
tanpa kyai karena manajemen sentral pesantren berada pada lembag (yayasan),
sedangkan pesantren Turus adalah pesantren salaf-khalaf, pesanten berkyai yang
menempatkan kyai sebagai manajemen sentral. Dua pesantren tersebut mengalami
sejarah perubahan; sepert pesantren Turus yang awalnya melaksanakan pengajaran
murni agama dari tahun 1942 hingga 1966, kemudian memadukan pendidikan pesantren
5
dengan pendidikan formal sejak 1966, dan pesantren mulai mengembangkan sektor
ekonomi sejak tahun 1998 dengan membuka Koperasi BMT Muamalat Pertiwi. Adapun
pesantren Baitul Hamdi konsen pada pengembangan sektor pertanian. Sektor yang
dikembangkan pesantren meliputi; perkebunan dan pertanian, peternakan, penyewaan
villa, pendopo, gedung, pabrik pengolahan rumput laut menjadi makanan Jelly. Namun
usaha kedua pesantren tersebut mengalami pasang surut seiring dengan persaingan
usaha yang semakin terbuka. Permasalahan utama yang dihadapi pesantren adalah
keterbatasan SDM yang berkualitas, terbatasnya modal pengembangan (investasi), dan
pesaing bisnis baru dari industri modern seperti bisnis waralaba dari perusahaan
nasional Indomart dan Alfamart.11
Hidayat (dkk.) menegaskan masalah pokok yang
dihadapi oleh sistem ekonomi rakyat pedesaan, terutama ekonomi pesantren, adalah
rendahnya kualifikasi dan lemahnya akses kelembagaan tradisional yang ada terhadap
berbagai sumber inovasi dari luar.12
Disertasi Supriyanto membenarkan pengelolaan ekonomi pesantren berdampak
positif bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pesantren yang melakukan pendidikan
ekonomi secara sadar dan terprogram dalam kurikulum pendidikan diniyah (agama),
dimotori kyai dan melibatkan anggota komunitas pesantren, dapat memberdayakan
ekonomi anggota komunitas pondok pesantren dan masyarakat seperti yang telah
dilakukan oleh pesantren.13
Keberhasilan pemberdayaan ekonomi karena pengelolaan
ekonomi pesantren melibatkan unsur kyai, pengurus, ustadz, santri dan alumni serta
masyarakat. Dua pesantren yang menjadi objek penelitian Supriyanto, Sidogiri Pasuruan
dan Pesantren Minhajut Thullab Parasgempal Banyuwangi, telah mengembangkan
ragam ekonomi dari sektor pertanian hingga keuangan. Pengelolaan ekonomi dilakukan
oleh koperasi pondok pesantren dan baitul mal wa tamwil (BMT). Lebih lanjut
Supriyanto menegaskan bahwa pendidikan ekonomi yang terintegrasi antara kurikulum,
teori, praktik dan dukungan lingkungan akan membawa hasil yang lebih baik. Teori ini
11
M. Murtadho, "Pesantren Dan Pemberdayaan Ekonomi: (Studi Kasus Pesantren Baitul Hamdi
Dan Pesantren Turus Di Pandeglang)", diunduh dari
http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/jurnal-penelitian/131-pesantren-dan-pemberdayaan-
ekonomi.html 12
Hamid Hidayat, Damanhuri, Sukendar dan Soemarno, "Model Pemberdayaan KOPONTREN
sebagai Lembaga Ekonomi Rakyat yang Mandiri dan Mengakar: Unit Usaha Agribisnis Jagung Hibrida
BISI-2", Penelitian Universitas Brawijaya. 13
Supriyanto, "Pemberdayaan ekonomi komunitas pesantren dalam perspektif pendidikan ekonomi
(studi multi situs di Pesantren Sidogiri Pasuruan dan Pesantren Parasgempal Banyuwangi Jawa Timur)",
Disertasi Universitas Negeri Malang, 2011. diunduh dari situs http://library.um.ac.id/free-
contents/index.php/pub/detail/html
6
juga dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian sebelumnya, bahwa pembinaan anggota
koperasi dalam bentuk pendidikan telah terbukti meningkatkan partisipasi dan kinerja
anggota koperasi. Struktur sosial pesantren dapat dimanfaatkan untuk mendukung
pemberdayaan ekonomi oleh komunitas pesantren.14
Pesantren membuktikan perannya dalam pemberdayaan masyarakat. Pesantren
berupaya melakukan proses perubahan untuk menjawab perkembangan modern. Suparta
menunjukkan perubahan orientasi seiring dengan perubahan sosial masyarakat. Figur
kyai menjadi penentu utama bagi perubahan pesantren tersebut.15
Murtadho membagi
model orientasi pesantasi pada empat tipe; Tipe A yaitu pesantren yang mempunyai
target output santri yang berkepribadian soleh dan mampu menguasai kitab-kitab klasik
dan mampu membaca kitab kuning sendiri serta mempunyai keahlian khusus tertentu.
Tipe B yaitu pesantren yang mempunyai target output santri yang berkepribadian soleh
dan mampu menguasai kitab-kitab klasik dan mampu membaca kitab kuning sendiri.
Tipe C yaitu pesantren yang mempunyai target output santri yang berkepribadian soleh
dan mempunyai keahlian praktis lain atau ketrampilan khusus misalnya trampil bahasa
asing, trampil di bidang pertaniaan, dan peternakan. Tipe D yaitu pesantren yang hanya
menghasilkan output santri yang berkepribadian soleh dan memahami ajaran-ajaran
dasar agama. Santri pesantren model ini belum tentu berkemampuan bisa membaca
kitab kuning secara sendiri ketika keluar dari pesantren.16
Penelitian ini mencoba menguji penelitian sebelumnya berkaitan dengan peran-
peran kyai dan unsur pesantren lainnya dalam pengelolaan ekonomi. Penelitian ini juga
berupaya mengetahui pemanfaatan hasil ekonomi pesantren apakah hanya
diperuntukkan untuk internal pesantren semata atau untuk masyarakat luas sebagai
wujud pemberdayaan pesantren.
E. Metode Penelitian
Penelitan ini termasuk dalam penelitian lapangan (field research). Penelitian
lapangan digunakan untuk mengungkap model-model pengelolaan ekonomi di
pesantren. Kekhasan di setiap pesantren memungkinkan adanya perbedaan model
pengelolaan ekonomi. Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif yang bermaksud
14
Supriyanto, "Pemberdayaan ekonomi komunitas pesantren". 15
M. Suparta, "Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Studi Kasus Pondok Pesantren Maskumambang
Gresik Dan Al-Fatah Magetan", Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, 2008. 16
M. Murtadho, "Pesantren Dan Pemberdayaan Ekonomi".
7
membuat pemeriaan (penyandaran) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
model pengelolaan ekonomi.17
Sumber data penelitian terdiri dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer
penelitian ini adalah keputusan dan praktik pengelolaan ekonomi pesantren. Sementara
data sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur atau kepustakaan lain yang
terkait dengan topik penelitian. Penelusuran data penelitian dilakukan dengan metode
wawancara dan observasi lapangan serta penelusuran dokumentasi yaitu penelusuran
sumber data yang berkaitan dengan data-data dan konsep-konsep pesantren dan
ekonomi pesantren.
Proses analisis data dimulai dengan mengelompokkan data pada klasifikasi yang
ditetapkan, terutama berkaitan dengan tiga tema utama; relasi kekuasaan dan peran
pesantren dan pengelola ekonomi; model pengelolaan ekonomi; dan pemanfaatan hasil
pengelolaan ekonomi. Setalah dikategorikan kemudian diperbandingkan antara satu data
dari satu pesantren dengan pesantren lain dan dengan teori yang berlaku. Model analisis
tersebut dilakukan untuk mencari hubungan antara konsep-konsep dengan data
penelitian dalam usaha untuk mengembangkan suatu teori.18
F. Waktu Penelitian
Penelitian ini membutuhkan waktu selama sepuluh bulan, mulai dari Maret-
Desember. Time line penelitian sebagai berikut:
No Bulan Kegiatan
1 Maret-Juni Seleksi proposal
2 Juli Presentasi dan perbaikan proposal
3 September Laporan Perkembangan
4 Oktober Penyampaian Draft Hasil Penelitian
5 November Penyerahan Hasil Final Penelitian
17
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2003), cet.ke-4, hal. 4. 18
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1989), cet.
ke-1, hal. 189-207.
8
BAB II
PESANTREN SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN EKONOMI
Sejak awal, pesantren merupakan potensi strategis yang ada di tengah kehidupan
masyarakat. Meski kebanyakan pesantren memosisikan dirinya sebagai institusi
pendidikan dan keagamaan, namun sejak tahun 1970-an beberapa pesantren telah
berupaya melakukan reposisi dalam menyikapi berbagai persoalan masyarakat, seperti
ekonomi, sosial, dan politik.
Dalam sistem pendidikan nasional, pondok pesantren1 merupakan salah satu
jenis pendidikan dalam satuan pendidikan luar sekolah yang dilembagakan. Selain
sebagai tempat pembinaan moral santri dan pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam,
pesantren memainkan peranan yang penting dalam merespon perkembangan sosial,
karena memiliki potensi dan peluang yang besar dalam pengembangan masyarakat. Hal
ini menjadikan pondok pesantren sangat kondusif memainkan peranan pemberdayaan
(enpowerment) dan transformasi masyarakat di era modern saat ini.2
Selain itu, pesantren diharapkan melakukan diversifikasi keilmuan unggulan
atau diversifikasi keahlian praktis tertentu. Hal ini guna membedakan pesantren satu
dengan pesantren lainnya, misalnya dengan meningkatkan keunggulan dalam keahlian
bidang ilmu agama, seperti kajian hadis, tafsir, dan fikih—ataupun dalam bentuk
keahlian praktis, semisal keahlian bahasa, pertanian, peternakan, dan keahlian praktis
lainnya.3 Artinya, secara riil, pesantren merupakan lembaga potensial untuk bergerak ke
arah ekonomi berbasis rakyat, sebagaimana kekuatan yang dimilikinya.4
A. Kemandirian Ekonomi Pesantren
1Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia—yang sudah tumbuh dan
berkembang beberapa abad yang lalu—yang mengajarkan ilmu-ilmu agama (Islam) dengan pondok
(asrama) sebagai tempat tinggal santri dan kiainya. Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah,
Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 771. Lihat pula Haidar Putra
Daulay, Historitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya,
2001), ix. Lihat Azyumardi Azra, ”Surau di tengah Krisis; Pesantren dalam Perspektif,” dalam M.
Dawam Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari Bawah, (Jakarta; P3M, 1985), 156
2Tim Kemenag RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta: Kemenag RI, 2005), h.
86.
3
Hal ini bisa dilihat pada keberhasilan Pesantren Gontor dalam menekankan kemampuan
berbahasa asing (Arab dan Inggris), pesantren Darul Falah Ciampea, Bogor, dalam hal keterampilan
pertanian. Pesantren-pesantren tertentu yang menekankan pada penguasaan ilmu alat (nahwu dan sharaf). 4Nur Syam, “Penguatan Kelembagaan Ekonomi Berbasis Pesantren” dalam A. Halim, dkk.,
Manajemen Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), h. 247.
9
Istilah mandiri bisa dimaknai berdiri di atas kekuatan sendiri. Makna dari
‘kekuatan sendiri’ bukanlah sebuah usaha yang dilaksanakan secara sendirian, tetapi
lebih mengacu kepada sikap mental yang tidak bergantung pada orang lain. Dalam
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi, seseorang lebih mengandalkan pada
kekuatan sendiri ketimbang meminta bantuan orang lain. Jadi, pengertian
‘menggunakan kekuatan sendiri’ bisa dikaitkan pada usaha sendiri maupun bekerja
dengan kemampuan sendiri.5
Istilah kemandirian ekonomi juga bisa dimaknai dengan entrepreneurship. Istilah
entrepreneur sendiri berasal dari bahasa Perancis yang kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dengan arti between taker atau go-between (perantara). Menurut
Schumpeter, seorang entrepreneur tidak selalu seorang pedagang (businessman) atau
seorang manager, tetapi lebih dari itu adalah orang yang unik yang berpembawaan kuat,
pengambil risiko, dan memperkenalkan produkproduk inovatif dan tekhnologi baru ke
dalam perekonomian.6 Dengan kata lain, entrepreneurship tidak selalu berkonotasi pada
usaha atau perdagangan atau manajerial. Letapi lebih dari itu, entrepreneurship itu
berkenaan dengan mentalitas manusia, rasa percaya diri, efisiensi waktu, kreativitas,
ketabahan, keuletan, kesungguhan dan moralitas dalam menjalankan usaha mandiri.
Tujuan akhirnya adalah untuk mempersiapkan setiap individu maupun masyarakat agar
dapat hidup layak sebagai manusia.7 Dalam konteks ini, entrepeneurship bisa dimaknai
dengan kemandirian ekonomi.
Gagasan entrepreneurship atau kemandirian ekonomi pesantren itu sendiri
sejalan dengan tuntutan makro serta mikro pendidikan nasional Indonesia, yaitu
pendidikan pesantren harus memadukan tujuan pendidikan nasional dengan tujuan
pendidikan pesantren itu sendiri agar menghasilkan sosok santri yang memiliki
beberapa kompetensi. Dalam hal ini, M.M. Billah—sebagaimana dikutip oleh Pupuh
Faturrahman—mengemukakan beberapa komptensi yang hendaknya dimiliki oleh
lulusan pesantren:
1. Religious skillfull people, yaitu insan yang akan menjadi tenaga-tenaga terampil,
ikhlas, cerdas mandiri, tetapi sekaligus mempunyai iman yang teguh, dan utuh,
5
Arman Hakim Nasution, dkk., Entrepreneurship Membangun Spirit Teknopreneurship,
(Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007), h. 3.
6"Pengertian wirausaha dan Wiraswasta", http://www. E-dukasi.net/mapok/mp.full.php?id=183,
tanggal akses 23 Desember 2013. 7Arman Hakim, dkk., Entrepreneurship, h. 3.
10
sehingga bersikap dan berprilaku religius yang nantinya mengisi kebutuhan tenaga
kerja di dalam berbagai sektor pembangunan.
2. Religious community leader, yaitu insan Indonesia yang ikhlas, cerdas dan mandiri
dan akan menjadi penggerak yang dinamis di dalam transformasi sosial budaya
(madani), sekaligus menjadi benteng terhadap ekses negatif pembangunan dan
mampu membawakan aspirasi masyarakat, dan melakukan pengendalian sosial
(social control).
3. Religious intelectual, yang mempunyai integritas kukuh serta cakap melakukan
analisa ilmiah dan concern terhadap masalah-masalah sosial. Dalam dimensi
sosialnya, pondok pesantren dapat menempatkan posisinya pada lembaga kegiatan
pembelajaran masyarakat yang berfungsi menyampaikan teknologi baru yang cocok
buat masyarakat sekitar dan memberikan pelayanan sosial dan keagamaan, sekaligus
memfungsikan sebagai laboratorium sosial, di mana pondok pesantren melakukan
eksperimentasi pengembangan masyarakat, sehingga tercipta keterpaduan hubungan
antara pondok pesantren dengan masyarakat secara baik dan harmonis, saling
menguntungkan dan saling mengisi.8
Mengacu ketiga hal tersebut, maka model pendidikan pesantren di masa depan
adalah menghasilkan sosok santri yang mampu: 1). memiliki kebeningan hati (qalbun
salim); 2). mandiri dan bertanggungjawab; 3). memiliki jiwa kepemimpinan; 4).
bermental wirausaha (entreperneurship); dan 5). mengaplikasikan nilai-nilai Islam
dalam kehidupan sehari-hari.9
Dunia pesantren sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang beraneka ragam,
dari potensi kelautan, pertanian, perkebunan, peternakan, budidaya air tawar (perikanan),
home industri, pertambangan (sumber mata air), hingga taman wisata. Sayangnya,
pesantren kurang optimal menggarap dan memberikan kontribusi perekonomian bagi
masyarakat. Artinya, pengelolaan usaha ekonomi di lingkungan pesantren tidak tergarap
secara profesional.
Permasalahan-permasalahan umum yang biasa dihadapi oleh pesantren dalam
mengembangkan usaha ekonomi di lingkungannya adalah terbatasnya SDM
(sumberdaya manusia) berkualitas dan permodalan. Hal ini mengingat masih kuatnya
paradigma di kalangan masyarakat bahwa pesantren dipahami hanya sebagai tempat
8Pupuh Faturrahman, “Pengembangan Pondok Pesantren: Analisis Terhadap Keunggulan Sistem
Pendidikan Terpadu”, Jurnal Lektur, Seri XVI/ 202, h. 323. 9
Tim MQ Publishing, Welcome to Darut Tauhid: Berwisata Rohani, Melapangkan Hati
(Bandung: MQ Publishing, 2003), h. 52-53.
11
pengajaran dan pembelajaran ilmu agama untuk mencetak para calon ulama dan
mubalig. Paham ini masih kuat mendominasi pandangan kebanyakan pesantren.
Padahal, pesantren merupakan lembaga yang pantas dan strategis untuk
pengembangan masyarakat sekitar. Pesantren dianggap mempunyai elastisitas yang
tinggi dalam menyikapi setiap bentuk masyarakat yang ada, sekaligus mempunyai
bahasa-bahasa yang lebih diterima oleh masyarakat. Karena itu, pesantren perlu
dikembangkan lebih lanjut sebagai pusat pemberdayaan masyarakat.10
Apalagi, mesti
disadari bahwa tidak semua santri akan menjadi ulama, sehingga pihak pesantren harus
mulai mencoba membekali santri dengan ketrampilan di bidang pengembangan
ekonomi. Tujuannya, santri yang dihasilkan diharapkan mempunyai pengalaman dan
keahlian praktis tertentu yang nantinya dijadikan modal untuk mencari pendapatan atau
penghasilan ekonomi selepas dari pesantren.
Gagasan kemandirian ekonomi pesantren sebenarnya telah berkembang sejak
pertengahan 1990-an. Hingga kini, tradisi berekonomi ataupun entrepeneurship dalam
masyarakat pesantren terus digalakkan meski kurang optimal. Secara paradigmatik,
penerapan konsep pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat terus
disosialisasikan. Pesantren tidak hanya dipahami sebagai lembaga pencetak calon ulama,
tetapi juga dianggap sebagai satu bagian integral dari masyarakat yang perlu terlibat
aktif dalam proses perubahan sosial, utamanya di bidang ekonomi. Dalam hal ini,
pesantren mempunyai tiga fungsi utama yang senantiasa diembannya, yaitu: Pertama,
sebagai pusat pengaderan pemikir-pemikir agama (center of excellence); Kedua, sebagai
lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource); Ketiga, sebagai
lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent
of development). Ponpes juga dipahami sebagai bagian yang terlibat dalam proses
perubahan sosial (social change) di tengah perubahan yang terjadi.
Setidaknya, ada tiga potensi yang bisa dikembangkan untuk mewujudkan
kemandirian ekonomi pesantren.
1. Potensi ekonomi kiai
Kiai adalah figur sentral dalam pesantren. Ia adalah sosok yang memimpin
pesantren dengan kharisma tinggi, ibadah yang tekun serta pengetahuan keagamaan
yang luas dan mendalam. Karenanya, di samping memberikan pelajaran agama dan
10Paradigma tersebut mulai muncul pada 1970-an bersamaan dengan gagasan pembaharuan
pemikiran Islam di Indonesia sedang mulai digalakkan. Waktu itu Menteri Agama RI, Prof. Mukti Ali
mencoba menggulirkan dan mendorong perluasan horisontal dari kegiatan pendidikan pesantren yang
harus mencakup pelajaran, bukan hanya keagamaan.
12
menjadi pemimpin spiritual para santrinya, ia seringkali menjadi ‘dokter psikosomatis’
bagi masyarakat sekitar. Ia juga menjadi rujukan bagi santri dan pendukungnya. Segala
kebijakan yang dituangkan dalam ucapan-ucapannya seringkali dijadikan pegangan.
Sikap dan tingkah laku keseharian kiayi dijadikan referensi atau panutan. Bahasa-
bahasa kiasan yang dilontarkannya menjadi bahan renungan bagi santri dan para
pengikutnya.
Apalagi dalam sejarahnya, kiai dianggap sebagai pemilik, pengelola, dan
pengajar sekaligus imam (pemimpin) pada acara ritual keagamaan.11
Ia berperan
penting dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah
pesantren. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak
bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta
ketrampilannya. Dengan kata lain, perkembangan sebuah pesantren bergantung
sepenuhnya kepada kemampuan pribadi kiainya. Kelangsungan hidup sebuah pesantren
sangat bergantung pada kemampuannya dalam mengelola pesantren.12
Posisi kiai yang serba menguntungkan itu lambat laun membentuk sebuah
mekanisme kerja pondok pesantren, baik yang berkaitan dengan struktur organisasi dan
kepemimpinan, arah kebijakan pengembangan kelembagaan pondok pesantren, maupun
kebijakan pengelolaan ekonomi pesantren.
Keunikan sekaligus daya tarik pesantren—yang melekat pada sosok kiai—inilah
yang bisa melahirkan potensi ekonomi. Figur seorang kiai merupakan magnet bagi
calon santri, wali santri, dan masyarakat untuk menimba ilmu. Kedalaman ilmu sang
kiai inilah menjadi awal terbangunnya potensi ekonomi bagi pesantren yang
dipimpinnya. Selain itu, ketokohan seorang kiai yang menjadi panutan bagi masyarakat
dan pemerintah setempat akan melahirkan sebuah kepercayaan yang pada akhirnya bisa
menciptakan peluang dan akses ekonomi.
Dari situlah, jalur-jalur komunikasi dengan masyarakat dan pemerintah akan
membuahkan peluang dan potensi ekonomi bagi pesantren. Lebih dari itu, seorang kiai
atau pemiliki pesantren pada umumnya adalah orang-orang yang telah mandiri secara
ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa ia sejak awal telah mempersiapkan diri secara
sungguh-sungguh dalam mendirikan dan mengelola pesantren, tidak hanya dari aspek
mental, tetapi juga sosial dan ekonomi. Jiwa dan semangat entrepreneurship inilah yang
11
Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai; Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang,;
Kalimashada Press, 1993), h. 45. 12
Beberapa pesantren gulung tikar lantaran kiainya meninggal dunia dan tidak memiliki
keturunan yang kapabel sebagai penerus lembaga yang dipimpinnya.
13
mendasari kemandirian perekonomian pesantren. Jika aset dan jiwa entrepreneurship ini
dipadukan, maka hasilnya dapat dijadikan dasar membangun tatanan ekonomi
pesantren.
2. Potensi ekonomi santri
Potensi ekonomi kedua yang melekat pada ekonomi pesantren adalah ekonomi
santri atau murid.13
Banyak santri yang mempunyai potensi/bakat bawaan, seperti
kemampuan membaca al-Quran, kaligrafi, pertukangan, dan sebagainya. Bakat bawaan
ini sudah seharusnya selalu dipupuk dan dikembangkan. Karena itulah, pihak pesantren
perlu melakukan penelusuran potensi/bakat dan minat santri, kemudian membina dan
melatihnya. Dalam hal ini, pesantren perlu menciptakan atau menggembangkan wadah
kreasi dan inovasi bagi para santri yang produktif. Hal ini guna mewadahi sekaligus
mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh para santri, sehingga para lulusan
pesantren tidak sekadar menguasai ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga memiliki
ketrampilan atau kemampuan di bidang yang lain. Hal ini kita sadari, karena tidak
semua lulusan pesantren akan terjun ke masyarakat sebagai seorang ustad atau dai,
tetapi sebagian mereka tentunya akan menggeluti bidang lain di masyarakat. Alhasil,
para lulusan pesantren akan semakin kaya dengan ragam dan corak kemampuan dan
keahlian mereka.14
Di sisi lain, pesantren yang didiami oleh santri yang jumlahnya cukup banyak
merupakan potensi ekonomi yang positif bagi pesantren. Artinya, santri dan juga
masyarakat sekitar pada dasarnya adalah konsumen yang kebutuhannya dapat dicukupi
secara ekonomi oleh pesantren itu sendiri. Karenanya, pesantren dan pemerintah mesti
melakukan diversifikasi terhadap keahlian santri di bidang keilmuan atau ketrampilan
praktis guna mendukung kemandirian ekonomi pesantren di masa depan.
Dengan demikian, pesantren hakikatnya bisa mandiri untuk menjadi pusat
kelembagaan ekonomi bagi warganya, baik santri di dalam pesantren ataupun
masyarakat sekitar di luar pesantren.
3. Potensi ekonomi pendidikan
Pemberdayaan ekonomi pendidikan juga berperan penting bagi kamandirian
ekonomi pesantren. Sebagaimana lazimnya pendidikan, para santri sudah sewajarnya
13
Istilah ‘santri’ biasanya dipakai untuk seseorang yang hanya belajar atau mengaji di Ponpes,
sedangkan murid atau siswa biasanya dipakai untuk seseorang yang belajar di sekolah formal. Adapun
yang belajar di sekolah yang belajar di sekolah formal milik pesantren, meski bisa disebut sebagai murid
atau siswa, tetapi sebutan umum yang lazim dipakai adalah santri. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 52. 14
A. Halim, dkk., Manajemen Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), h. 227.
14
membayar syahriyah (iuran bulanan). Untuk kelancaran proses pembelajaran,
diperlukan seperangkat buku, kitab, dan alat-alat tulis. Dari sini bisa dikembangkan
salah satu unit usaha pesantren yang menyediakan sarana belajar tersebut, semisal toko
buku (kitab), alat tulis, mesin photocopy, dan sebagainya. Belum lagi dari sisi
kebutuhan sehari-hari, seperti makan, minum, air, telepon, asrama, pakaian, dan lain-
lain. Potensi ekonomi dari sektor pendidikan ini tentu menjadi semakin sempurna jika
didukung dengan potensi para santri.
Persoalan kemudian, bagaimana semua potensi tersebut dikelola secara
profesional, tetapi tetap menampilkan karakteristik pesantren. Inilah salah satu
tantangan pesantren di masa depan. Karena itulah diperlukan keberanian manajerial dari
para pengasuh untuk mewarnai manajemen pesantren.
Usaha-usaha pendekatan untuk mengembangkan atau menguatkan kemandirian
ekonomi pesantren bisa diidentifikasikan ada tiga pendekatan utama: (1) pendekatan
pembaharuan pengajaran oleh beberapa pesantren yang berkembang secara tidak teratur
dan tanpa koordinasi serta hanya dikenal dan diikuti secara terbatas. Usaha ini
dilakukan oleh para kiai yang telah bersentuhan dengan pendidikan modern; (2)
pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya Kementerian Agama melalui
paket-paket program bantuan; (3) pendekatan prakarsa organisasi swasta atau LSM
yang mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan bagi santri dengan melakukan
kerjasama yang erat dengan pesantren tertentu.15
Karena itu, pesantren perlu melakukan beberapa tahapan perencanaan yang
dimulai dari: (1). mengidentifikasi permasalahan, (2). merumuskan alternatif
kebijaksanaan, (3). mengkaji alternatif, (3). menentukan alternatif dan rencana, (4).
mengendalikan pelaksanaan, dan (5). Menilai atau mengevaluasi hasil pelaksanaan.
Selanjutnya, pengembangan tahapan-tahapan perencanaan itu dapat dilaksanakan
sesuai kondisi dan situasi pondok pesantren dengan masing-masing melalui:
perencanaan bidang perdagangan, perencanaan bidang pertanian dan agrobisnis,
pernacanaan bidang industri kecil, perencanaan bidang Jasa, perencanaan bidang
keuangan, perencanaan bidang koperasi dan perencanaan bidang tehnologi tepat guna
serta perencanaan bidang-bidang yang lain dalam membantu pondok pesantren untuk
menuju kemandirian bidang ekonomi.
15Seperti usaha yang dilakukan LP3ES diikuti P3M yang melakukan usaha pendampingan bagi
pesantren-pesantren tertentu dalam rangka mengembangkan pesantren sebagai pusat pengembangan
masyarakat.
15
Peranan tersebut dapat dikembangkan oleh pondok pesantren yang dimulai
dengan merencanakan pendirian usaha, memilih jenis usaha dan macam usaha,
melaksanakan usaha, melaporkan dan mengevaluasi usaha yang dijalankan. Persoalan-
persoalan itulah yang harus dijawab dari pendekatan multidisiplin ilmu perencanaan
agar bisa membantu kemandirian pondok pesantren di bidang ekonomi. Dengan kata
lain, bagaimana peran multidisiplin ilmu perencanaan untuk mengembangkan pondok
pesantren melalui aplikasi perencanaan bidang perdagangan, perencanaan bidang
pertanian dan agribisnis, pernacanaan bidang industri kecil, perencanaan bidang Jasa,
perencanaan bidang keuangan, perencanaan bidang koperasi dan perencanaan bidang
tehnologi tepat guna serta perencanaan bidang-bidang yang lain dalam membantu
pondok pesantren untuk menuju kemandirian bidang ekonomi.
Untuk itu, pesantren hendaknya memiliki kemampuan melaksanakan proses
perencanaan yang meliputi: identifikasi masalah, pengumpulan data/informasi, analisis
permasalahan, kendala, tantangan, perumusan kebijakan, program dan kegiatan,
pelaksanaan, dan evaluasi.16
Selain itu, pimpinan pesantren hendaknya juga memiliki
kemampuan inovatif, pendeteksian dini, dan antisipatif, sekaligus memiliki kemampuan
untuk memandu dan mendorong kearah solusi dan kebijakan yang baik.
Ke depan, potensi pesantren harus terus dikembangkan, bahkan diperluas
kompetensi dan ketrampilannya. Misalnya, di samping menekuni bidang ilmu
keislamaan, pesantren juga bisa menekankan bidang ketrampilan khusus atau keahlian
praktis dengan spesialisasi peternakan, perkebunan, pertanian, otomotif, elektronik,
teknologi informatika, ataupun spesialisasi lainnya.
B. Pergeseran Ekonomi-Kiai menjadi Ekonomi-Pesantren
Dalam sejarahnya, adanya kiai dalam pesantren merupakan hal yang mutlak bagi
sebuah pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral yang memberikan pengajaran, karena
kiai menjadi salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren.
Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan suatu pesantren banyak bergantung
16
Perencanaan merupakan kumpulan dari berbagai latar belakang ilmu yang ada untuk
merumuskan sebuah rencana dari sudut pandang berbagai disiplin ilmu tersebut. Dari berbagai disiplin
ilmu perencanaan tersebut, dapat dikenal beberapa istilah sebagai berikut: (1) analisis wilayah dan daerah
(AWD), yaitu perpaduan disiplin ilmu ekonomi, ekonomi regional dan sosial ekonomi; (2) manajemen
dan administrasi publik (MAP), yaitu perpaduan disiplin ilmu administrasi, sosial dan kebijakan publik.
(3) perencanaan spasial (PS), yaitu perpaduan disiplin ilmu geografi, geologi, sipil dan arsitektur. (4)
konsep dan teknik perencanaan (KTP), yaitu problem solving dan preskripsi, serta merupakan perpaduan
disiplin ilmu teknik rekayasa, arsitektur, lingkungan, statistik, dan beberapa ilmu sosial yang temasuk
dalam theory for planning.
16
pada keahlian dan ke dalam ilmu, kharismatik, wibawa dan ketrampilan kiai yang
bersangkutan dalam mengelola pesantrennya.17
Keberadaan seorang kiai dalam lingkungan sebuah pesantren laksana jantung
bagi kehidupan manusia. Intensitas kiai memperlihatkan peran yang otoriter disebabkan
karena kiai-lah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan juga
pemilik tunggal sebuah pesantren.18
Oleh sebab ketokohan kiai di atas, banyak
pesantren akhirnya bubar lantaran ditinggal wafat kiainya.
1. Ekonomi-Kiai
Ekonomi-kiai adalah pengelolaan ekonomi pesantren yang menjadikan sang kiai
sebagai figur sentral dalam penentuan kebijakan ekonomi pesantren. Ekonomi pesantren
model ini biasanya berlaku di berbagai pesantren yang bercorak salaf. Hal ini wajar
mengingat—dalam sejarah pesantren tradisional—biasanya sosok kiai adalah pemilik
tanah dan bangunan pesantren itu sendiri, sehingga ia berkepentingan dan bertanggung
jawab menghidupi para santri dan guru/ustad yang berada di pesantren yang
dipimpinnya. Selain itu, kiai atau pemilik pesantren adalah orang yang memiliki strata
ekonomi yang lebih baik dibanding masyarakat sekitar, sehingga—dengan kelebihan
hartanya—secara suka rela membangun pesantren untuk mendidik dan menyiarkan
agama Islam ke masyarakat sekitar, sekaligus mengatur kebutuhan ekonomi pesantren.
Kiai sebagai figur pemimpin pondok pesantren memang tidak bisa dilepaskan
dari kehidupan pesantren itu sendiri.19
Dengan kharisma yang dimilikinya, kiai tidak
hanya dikategorikan sebagai elit agama, tetapi juga elit pesantren dan tokoh masyarakat
yang memiliki otoritas tinggi dalam penyebaran agama (Islam) dan mewarnai corak dan
bentuk kepemimpinan di pesantren, termasuk dalam hal pengelolaan ekonominya.20
Keberadaan kiai sebagai pimpinan pesantren, ditinjau dari peran dan fungsinya
dapat dipandang sebagai fenomena kepemimpinan yang unik, karena selain sebagai
pemimpin, pembina, dan pendidik bagi para santri dan masyarakatnya, ia juga bertugas
17
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h,
49. 18
Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, (Ciputat: Quantum Teaching, 2002), Edisi Revisi, h. 63. 19
Istilah kiai pada umumnya dipakai oleh masyarakat Jawa untuk menyebut orang yang alim
atau menguasai ilmu agama (Islam). Kiai biasanya memiliki karisma dan pada umumnya memimpin
sebuah pesantren, mengajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning) dan memiliki keterikatan dengan
kelompok Islam tradisional. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 55. 20
Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Tela’ah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber. Ter.
Machnun Husain (Jakarta:Rajawali, 1984), h. 168-169.
17
menyusun kurikulum, membuat tata tertib, merancang sistem evaluasi, sekaligus
melaksanakan proses belajar mengajar yang berkaitan dengan ilmu agama yang
diasuhnya.21
Bahkan, kiai memegang peranan penting sebagai pemikul beban nafkah
bagi kelangsungan hidup pesantren yang di pimpinnya.
Dengan kata lain, eksistensi seorang kiai dalam pesantren menjadi patron bagi
masyarakat sekitar, utamanya menyangkut kepribadian dan prilaku hidup. Bahkan,
dalam pandangan Martin Van Bruinessen, kiai memainkan peranan yang lebih dari
sekadar panutan atau guru,22
melainkan juga berperan penting dalam pengelolaan
ekonomi pesantren yang dipimpinnya. Dalam konteks ini, peran seorang kiai—sebagai
pimpinan pesantren—menjadi sangat menentukan dan menjadi pengendali utama
perekonomian pesantren.
Hal itulah yang menjadikan sistem pendidikan dan spirit berinovasi di pesantren
selama ini sangat bergantung pada sang kiai. Jika kiai itu berilmu dan berwawasan luas,
maka akan lebih bervariasilah kehidupan pesantren. Demikian juga sebaliknya, semakin
terbatas keilmuan dan wawasan kiai, maka semakin terbatas dinamika kehidupan di
pesantren yang dipimpinnya. Karenanya, sangatlah wajar jika terdapat keragaman dan
keunikan di kalangan masyarakat pesantren kaitannya dengan pengelelolaan atau
kemandirian ekonomi pesantren.
Dari kenyataan tersebut, setidaknya ada empat macam model atau pola prilaku
atau usaha ekonomi di lingkungan pesantren; Pertama, usaha ekonomi yang berpusat
pada kiai sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam mengembangkan
pesantren. Misalnya, seorang kiai mempunyai perkebunan cengkih yang luas. Untuk
pemeliharaan dan pemanenan, kiai melibatkan santri-santrinya untuk mengerjakannya.
Dari sini, terjadilah hubungan mutualisme saling menguntungkan: kiai dapat
memproduksikan perkebunannya, sementara santri mempunyai pendapat tambahan.
Alhasil, dengan keuntungan yang dihasilkan dari perkebunan cengkeh kiai dapat
menghidupi kebutuhan pengembangan pesantrennya.
Kedua, usaha ekonomi pesantren untuk memperkuat beaya operasional
pesantren. Contohnya, pesantren memiliki unit usaha produktif seperti menyewakan
gedung pertemuan, rumah, dan sebagainya. Dari keuntungan usaha-usaha produktif ini
21
Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai, h. 45. 22
Martin van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, terj. LKIS
(Yogyakarta; LKIS, 1994), h. 21.
18
pesantren mampu membeayai dirinya, sehingga seluruh beaya operasional pesantren
dapat ditalangi oleh usaha ekonomi ini.
Ketiga, usaha ekonomi untuk santri dengan memberi ketrampilan dan
kemampuan bagi santri agar kelak ketrampilan itu dapat dimanfaatkan selepas keluar
dari pesantren. Pesantren membuat program pendidikan sedemikian rupa yang berkaitan
dengan usaha ekonomi seperti pertanian dan peternakan. Tujuannya semata-mata untuk
membekali santri agar mempunyai ketrampilan tambahan, dengan harapan menjadi
bekal dan alat untuk mencari pendapatan hidup.
Keempat, usaha ekonomi bagi para alumni santri. Pengurus pesantren dengan
melibatkan para alumni santri menggalang sebuah usaha tertentu dengan tujuan untuk
menggagas suatu usaha produktif bagi individu alumni, syukur bagai nanti keuntungan
selebihnya dapat digunakan untuk mengembangkan pesantren. Prioritas utama tetap
untuk pemberdayaan para alumni santri.
Dari keempat model usaha ekonomi pesantren tersebut, model pertama masih
dominan memengaruhi praktik pengelolaan ekonomi di kalangan masyarakat pesantren.
Hal ini mengingat keberadaan pesantren itu sendiri yang tidak bisa dilepaskan dari
sosok kiai yang notabene adalah pemilik atau penerus hak milik atas tanah dan
bangunan pesantren.
Sementara dari aspek kepemimpinan dalam mengelola ekonomi pesantren,
setidaknya ada 3 (tiga) macam jenis kepemimpinan, yaitu:
a. Kepemimpinan individual
Pola kepemimpinan individual masih banyak melekat pada kiai di pesantren,
sehingga timbil kesan bahwa pesantren adalah milik pribadi kiai. Kondisi demikian
berimbas pada tertutupnya peluang pihak (orang) luar untuk ikut memiliki dengan
mengajukan berbagai usulan konstruktif–strategik dalam upaya pengembangan
pesantren di masa depan. Bahkan, tidak sedikit usulan positif dari orang luar
direspon secara negatif.
Dalam kepemimpian individual, peran kiai sangat besar dalam mengelola
pesantren, semisal menentukan tujuan dan kegiatan yang harus dilakukan. Keadaan
ini telah menjadikan hampir seluruh pengelolaan sumberdaya, baik fisik ataupun
financial, banyak ditangani langsung oleh kiai atau keluarganya dengan bantuan
santri yang dipercaya untuk melaksanakan kegiatan keseharian dan pendidikan di
pesantren.
b. Kepemimpinan kolektif yayasan
19
Banyak kepemimpinan individual mengakibatkan pesantren gulung tikar
dikarenakan tidak ada kaderisasi penerus yang mampu meneruskan kepemimpinan
ayahnya. Selain itu, kepemimpinan individual—yang melekat pada sosok kiai—
akan menanggung beban regenerasi, di mana sang kiai harus memikirkan sosok
penggantinya kelak.
Karena itulah, pada perkembangan kemudian, banyak pondok pesantren
yang melembagakan dirinya dalam bentuk yayasan, suatu bentuk badan hukum yang
mengandung arti: (1) kiai bukan lagi satu-satunya penguasa pondok pesantren; dan
(2) masuknya teknokrat ke dalam pondok pesantren sehingga kiai menjadi bersifat
simbolis. Seiring dengan perkembangan bentuk badan hukum tersebut, keberadaan
pondok pesantren bukan lagi hanya sebagai lembaga normatif yang secara filantrofis
hanya menyediakan pendidikan tradisional di bidang agama, tetapi merupakan pula
lembaga kalkulatif yang menyelenggarakan pendidikan modern, seperti pendidikan
agama Islam secara klasikal dan pendidikan umum dalam lingkungan pondok
pesantren.
Adanya perubahan kepemimpinan individual ke arah kepemimpinan kolektif
yayasan menjadi solusi strategis. Tugas dan tanggung jawab kiai menjadi ringan
dengan ditangani bersama sesuai dengan tugas masing-masing. Kiai juga tidak
menanggung beban moral tentang kelanjutan kepemimpinan setelahnya.
c. Kepemimpinan demokratis
Bergesernya pola kepemimpinan individual ke kolektif yayasan membawa
perubahan yang mestinya tidak kecil. Perubahan tersebut menyangkut kewenangan
kiai serta partisipasi para ustadh dan santri. Nuansa baru semakin menguatnya
partisiapasi ustad berdampak timbulnya sistem demokrasi dalam pesantren,
meskipun permasalahannya tidak sederhana.
Relasi sosial kiai-santri dibangun atas landasan kepercayaan. Ketaatan santri
pada kiai disebabkan mengharapkan barokah (grace), sebagaimana dipahami dari
konsep sufi.23
Upaya santri untuk berhubungan dengan kiai selalu diwujudkan
dalam sikap hati-hati, penuh seksama dan hormat.24
23
Abdurrahman Wahid, Principle of Pesantren Education , The Impact of Pesantren in
Education and Community Development in Indonesia (Berlin; Technical University Berlin, 1987), h. 19. 24
Hanya saja terkadang penghormatan santri terhadap kiainya dinilai kebablasan dalam konteks
interaksi belajar mengajar, sehingga santri kehilangan daya kritisnya terutama ketika berhadapan dengan
kiai.
20
Selain itu, kiai yang semula dipersonifikasi sebagai orang yang menguasai
hampir semua persoalan seperti agama, pertanian, sosial, ekonomi, politik, dan
sebagainya, belakangan mulai bergeser. Masyarakat di sekitar pondok pesantren
yang biasanya berkonsultasi dengan para kiai dalam menyelesaikan persoalan
pertanian, misalnya, sekarang lebih banyak berkonsultasi dengan Dinas Pertanian.
Dalam banyak kasus, terutama berkenaan dengan persoalan duniawi, para santri pun
tidak selalu menunjukkan pemahaman dan perilaku yang sama dengan kiai.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan kiai dalam
persoalan ekonomi pesantren dianggap kurang efektif. Hal ini disebabkan watak
kepemimpinan kiai di pesantren lebih bertopang pada kekuatan moral, tapi tidak
didukung dengan skill manajerial.25
Padahal, untuk membangun kemandirian ekonomi
pesantren, keahlian seseorang untuk merencanakan, mengorganisasikan dan
menggerakkan atau memobilisasi kekuatan yang ada menjadi modal utama pesantren
dalam mewujudkan kemandirian ekonomi. Apalagi, tantangan hidup di masa depan
menuntut lembaga pesantren tidak sekadar memberikan pengajaran di bidang ilmu
keagamaan, tetapi juga menuntut kepekaan pesantren untuk memberikan bekal-bekal
pengetahuan dan keterampilan, seperti teknologi, pertanian, kelautan, kesehatan, dan
sebagainya.
2. Menuju Ekonomi-Pesantren
Ekonomi pesantren adalah pengelolaan ekonomi pesantren yang tidak
menjadikan kiai sebagai figur sentral, tetapi berdasarkan sistem manajemen modern
atau dikelola secara bersama-sama secara professional. Semuanya dikelola dengan
model organisasi modern. Kurikulum dan program-program yang dikembangkan
pesantren diarahkan tidak sekadar mendalami ilmu agama, tetapi juga mendalami
keterampilan dan entrepreneurship.26
Dalam penyelenggaraan pesantren yang berbasis ekonomi-pesantren, ada
beberapa faktor yang berperan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan pesantren,
yaitu: manajemen sebagai faktor usaha; organisasi sebagai faktor sarana, dan
administrasi sebagai faktor karsa (produksi). Ketiga faktor ini memberi arah dan
25Komarudin Hidayat, “Pesantren dan Elit Desa”, dalam M. Dawam
Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), h. 50. 26
Kemampuan dasar di bidang agama yang ditargetkan dimiliki oleh setiap santri adalah paham
terhadap ajaran-ajaran dasar agama, bisa menjadi imam sholat, khatib, memimpin doa, pidato dan
mengembangkan agama. Sebagai tambahan kegiatan santri, sebelum lulus, santri diwajibkan hafal Juz
Amma dan Surat-surat al-Qur'an tertentu.
21
perpaduan dalam merumuskan, mengendalikan penyelenggaraan, mengawasi serta
menilai pelaksanaan kebijakan kebijakan dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan
yang sesuai dengan tujuan pendidikan pesantren masing-masing.
Pesantren sebagai salah satu lembaga yang telah diakui oleh pemerintah.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, posisi dan keberadaan Pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa.
Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Keistimewaan
ini dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam UU Sisdiknas Pasal
3.27
Salah satunya terkait pembeayaan atau pendanaan pendidikan. Dalam hal ini,
pendanaan pendidikan pesantren merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerinttah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Tanggung jawab pemerintah
pusat dan pemerintah darerah untuk menyediakan anggaran pendidikan berdasarkan
prinsip, keadilan, kecukupan dan berkelanjutan.28
Beaya pendidikan pesantren
merupakan pembeayaan pendidikan dari jumlah uang yang dihasilkan dan dibelanjakan
untuk berbagai keperluan penyelenggaraan pendidikan yang mencangkup: bisyaroh
ustad, peningkatan professional ustad, pengadaan dan perbaikan sarana prasarana,
pengadaan alat-alat dan dan buku pelajaran, alat tulis kantor (ATK), kegiatan
pengembangan keterampilan, dan kegiatan pengelolaan pendidikan.29
Perlu disadari, banyak lembaga pesantren yang tengah mengalami kendala
keuangan dalam melakukan kegiatan-kegiatan atau operasional pesantren, baik yang
berkaitan dengan anggaran, akuntansi, penataan administrasi, alokasi serta kebutuhan
pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Banyak
pesantren yang memiliki sumberdaya, baik manusia maupun alamnya, yang tidak tertata
dengan rapi. Banyak pula proses pendidikan pesantren yang berjalan lambat, karena
kesalahan dalam penataan menejemen keuanganya.
27
Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama
menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa
yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia. Karenanya, format
Pesantren kedepan haruslah mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain dengan
menata kembali manajemen yang sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. 28
Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan Konsep, Prionsip dan Aplikasi
dalamMmengelola Sekolah dan Madrasah,(Bandung: Pustaka Educa, 2010), h.165-167. 29
A. Halim, dkk., Manajemen Pesantren, h. 68.
22
Sebagai implementasi dari paradigma manajemen pendidikan yang ada di
Indonesia, masalah keuangan dan pembeayaan menjadi lebih banyak diatur oleh
lembaga pendidikan itu sendiri, termasuk lembaga pesantren meski sebenarnya
pesantren—dari awal berdirinya—adalah lembaga yang mandiri dalam penataan
manajemennya. Karenanya, pesantren perlu mengadopsi penataan manajemen yang bisa
membawa kemaslahatan umat dengan berpegang pada prinsip “al-muhafadhah ‘ala al-
qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah” (menjaga tradisi lama yang baik dan
mengadopsi hal-hal baru yang lebih baik (maslahat).
Ada beberapa aspek atau parameter yang—menurut Amin Wijaya—harus
diperhatikan untuk membentuk manajemen ekonomi-pesantren yang ideal, yaitu:
struktur organisasi; koordinasi; desain organisasi; wewenang dan kekuasaan;
desentralisasi; pendelegasian; budaya dan organisasi; dan inovasi.30
Sedangkan Sukamto
mengungkapkan tujuh 7 aspek pengorganisasian, yaitu: departementasi; pembagian
kerja; wewenang; tanggung jawab dan pelaporan; wewenang garis dan staf;
pendelegasian dan sentralisasi; rentang pengawasan; serta perubahan organisasi.31
Kedua pendapat tersebut bisa dielaborasi menjadi 6 (enam) aspek manajemen ekonomi
pesantren.
a. Struktur organisasi
Secara tradisional, struktur organisasi dipandang sebagai suatu jaringan
tempat mengalirnya informasi. Dalam hubungannya dengan komunikasi akan
terjadi; 1). instruksi dan perintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan dari
seseorang kepada orang yang berada di bawah hirarkinya langsung; dan 2). laporan,
pertanyaan, permohonan, selalu dikomunikasikan ke atas melalui rantai komando
dari seseorang kepada atasannya langsung.
Pada umumnya pondok pesantren telah memiliki struktur organisasi yang
menggambarkan arus interaksi personal serta hubungan satuan pekerjaannya. Bagan
struktur umumnya berbentuk piramid, yakni bagan organisasi yang saluran
wewenangnya dari pucuk pimpinan sampai dengan satuan organisasi atau pejabat
yang terendah disusun dari atas ke bawah, atau sebaliknya. Bagan piramid
merupakan bagan yang lazim dipakai berbagai organisasi, karena sifatnya yang
sederhana dan mudah dibuat.
30
Amin Wijaya Tunggal, Manajemen Suatu Pengantar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 214. 31
Sukamto, ”Kepemimpinan dan Struktur Kekuasaan Kiai”, Jurnal Prisma, No. 4, April-Mei
1997, h. 39-49.
23
b. Koordinasi
Koordinasi adalah proses mengintegrasikan sasaran-sasaran dan aktivitas
dari unit kerja yang terpisah agar dapat merealisasikan sasaran organisasi secara
efektif. Di sinilah pentingnya komunikasi sebagai kunci dari koordinasi yang efektif.
c. Wewenang, tanggung jawab dan pelaporan
Wewenang adalah hak memerintah atau berbuat. Hak ini muncul karena
kedudukan formalnya dalam organisasi. Seorang pimpinan memiliki wewenang
yang didelegasikan kepada bawahannya. Sedangkan tanggung jawab merupakan
kewajiban bawahan yang telah diberi tugas oleh atasannya melaksanakan kegiatan-
kegiatan. Tanggung jawab tercipta dengan diterimanya tugas tersebut. Namun
demikian, baik pimpinan maupun bawahan bertanggung jawab terhadap tugasnya
masing-masing.
Tanggung jawab pada dasarnya tidak dapat didelegasikan. Selain
bertanggung jawab, bawahan juga berkewajiban memberikan laporan terhadap
pelaksanaan tugasnya. Pada umumnya, pondok pesantren telah memiliki struktur
organisasi yang menggambarkan wewenang dan tanggung jawab bagi personalia
organisasi pondok pesantren. Sementara itu, sistem pelaporan dari pelaksanaan
tugas dilakukan secara formal melalui rapat berkala maupun informal dan insidental.
d. Pendelegasian dan desentralisasi
Delegasi bermakna pelimpahan wewenang formal dan tanggung jawab
kepada seseorang atas pelaksanaan aktivitas tertentu. Biasanya pendelegasian
ditunjang oleh unsur motivasi dan komunikasi yang baik untuk membantu pimpinan
melaksanakan tugas pokoknya. Pendelegasian ini tentunya memerlukan persyaratan,
yaitu spesifikasi tugas dan kesamaan fungsi dan rentang manajemen.
Pada umumnya, di pondok pesantren, pendelegasian pada bidang pekerjaan
formal relatif jarang dilakukan. Hal yang sering terjadi adalah pendelegasian untuk
urusan-urusan informal, seperti menghadiri undangan dan hal-hal yang bersifat
insidental. Selain pendelegasian, terjadi pula desentralisasi wewenang disebabkan:
a). Orang cenderung ingin bebas mengambil keputusan; b). Dinamika usaha
memerlukan putusan cepat; c). Makin bertambahnya orang yang berkemampuan
mengelola organisasi; dan d). Teknik pengawasan berkembang dengan cepat.
e. Pengawasan
Jika diperhatikan pada struktur organisasi pondok pesantren tergambar
rentang atau tingkat pengawasan. Misalnya, masing-masing bidang pekerjaan di
24
kepalai/dikoordinir oleh seseorang dan dibantu beberapa staf. Kepala atau
koordinator senantiasa melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan
stafnya.
f. Inovasi dan perubahan
Pada prinsipnya sumber inovasi terdiri atas faktor internal, meliputi a).
kejadian atau hasil yang tidak diharapkan; b). keganjilan, keanehan, dan
ketidakpastian; c). kebutuhan prosen; d) perubahan yang tidak diharapkan dalam
industri/struktur pasar. Sedangkan faktor eksternal, yakni perubahan penduduk,
perubahan persepsi dan pengetahuan baru. Pada umumnya, inovasi yang terjadi di
pondok pesantren berkaitan dengan kurikulum.
3. Pengelolaan Keuangan Pesantren
Untuk membangun kemandirian ekonomi pesantren tentu tidak lepas dari upaya
mengelola keuangan pesantren yang baik dan profesional. Hal ini jelas menuntut
kemampuan lembaga pesantren untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
serta mempertanggungjawabkannya secara efektif dan transparan. Dalam hal ini,
manajemen keuangan pesantren merupakan pengelolaan kegiatan-kegiatan pendidikan
yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan oleh
pesantren dan usaha-usaha bagaiman menggunakan dana tersebut secara efektif dan
efisien.
Penggunaan anggaran dan keuangan, dari sumber manapun, baik pemerintah
ataupun dari masyarakat perlu didasarkan pada prinsip-prinsip umum pengelolaan
pengelolaan keuangan sebagai berikut: 1. Hemat, tidak mewah, efisien dan sesuai
dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan; 2. Terarah dan terkendali sesuai dengan
rencana, program/kegiatan; Terbuka dan transparan, dalam pengertian dari dan untuk
apa keuangan lembaga tersebut perlu dicatat dan dipertanggungjawabkan serta disertai
bukti penggunaannya. Dalam ha ini, sebisa mungkin menggunakan kemampuan/hasil
produksi dalam negeri sejauh dimungkinkan.32
Dalam hal ini, setidaknya ada dua bagian pokok anggaran yang harus
diperhatikan dalam penyusunan rencana anggaran dan belanja pesantren (RAPBP),
yaitu: a. Rencana sumber atau target penerimaan/ pendapatan dalam satu tahun,
termasuk di dalamnya sumber-sumber keuangan dari kontribusi santri, sumbangan dari
32
Shulton Masyhud dan Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pistaka,
2003), h. 187.
25
individu atau organisasi, sumbangan dari pemerintah, dan pemasukan dari hasil usaha
pesantren. (b). Rencana penggunaan keuangan dalam satu tahun. Semua penggunaan
keuangan pesantren dalam satu tahun anggaran perlu direncanakan dengan baik agar
roda kehidupan pesantren dapat berjalan dengan baik.33
Penggunaan keuangan
pesantren tersebut menyangkut seluruh pengeluaran yang berkaitan dengan kebutuhan
pengelolaan pesantren, termasuk untuk dana operasional harian, pengembangan sarana
dan prasarana pesantren, honorarium/gaji untuk semua petugas atau pelaksana di
pesantren, dan lain sebagainya.34
Ada beberapa langkah yang harus diperhatikan untuk membangun manajemen
keuangan pesantren yang yang baik, yaitu: prosedur anggaran; prosedur akuntansi
keuangan; pembelanjaan; prosedur investasi; dan prosedur pemeriksaan.
a. Prosedur anggaran
Anggaran atau budget adalah sebagai suatu rencana operasi dari suatu
kegiatan atau proyek yang mengandung perincian pengeluaran beaya untuk periode
tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain, Anggaran atau
pembeayaan pesantren merupakan rencana yang diformulasikan dalam bentuk
rupiah dalam jangka waktu atau periode tertentu serta alokasi sumber-sumber
kepada setiap bagian kegiatan pesantren. Anggaran memiliki peran penting dalam
perencanaan, pengendalian, dan evaluasi kegiatan yang dilakukan pondok pesantren.
Selain itu, anggaran berfungsi sebagai proyeksi kegiatan finansial yang diperlukan
guna mencapai tujuan yang akan dilaksanakan oleh suatu organisasi (perusahaan,
yayasan, atau pondok pesantren, dan lain-lain.
Prosedur anggaran itu sendiri merupakan suatu langkah perencanaan yang
fundamental. Untuk penyusunan anggaran secara umum dalam lembaga pendidikan
perlu dikembangkan dalam format-format yang meliputi: 1). Sumber pendapatan
dan 2). Pengeluaran untuk kegiatan belajar mengajar, pengadaan dan
pemeliharaan sarana prasarana, bahan-bahan dan alat pelajaran, honorarium dan
kesejahteraan.
Kegiatan di atas meliputi empat fase kegiatan pokok prosedur penganggaran
keuangan, yaitu: Pertama, perencanaan anggaran, yaitu kegiatan mengidentifikasi
tujuan, menentukan prioritas, menjabarkan tujuan kedalam operasional yang
33
Sulthon Masyhud dan Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren, h..261-262. 34
Pihak pesantren bersama komite atau majelis pesantren pada setiap awal tahun anggaran
perlu bersama-sama merumuskan rencana anggaran pendapatan dan belanja pesantren (RAPBP) sebagai
acuan bagi pengelola pesantren dalam melaksanakan, manajemen keuangan yang baik.
26
terukur, serta adanya analisis yang terarah dalam pencapaian tujuan, serta membuat
rekomendasi alternativ untuk mencapai sasaran. Kedua, persiapan anggaran, yaitu
adanya kesesuaian anggaran yang telah ada dengan segala bentuk kegiatan
pesantren, baik pendistribusian, progam pengajaran yang akan dicanangkan serta
adanya inventarisasi kelengkapan peralatan dan bahan-bahan yang tersedia. Ketiga,
pengelolaan pelaksana anggaran, yaitu prosedur yang harus di terapkan dalam
pelaksana anggaran adalah, adanya pembukuan yang jelas dan teratur, pembelanjaan
dan transaksi yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada. Perhitungan
yang jelas dan terencana, pengawasan prosedur kerja sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, melakukan serta membuat laporan keuangan sebagai bentuk
pertangungjawaban keuangan terhadap lembaga. Keempat, menilai pelaksanaan
anggaran, yaitu melakukan evaluasi terhadap semua anggaran yang telah dibuat dan
diaplikasikan ke taraf pendidikan praktis, sekaligus sebagai rekomendasi untuk
perbaikan manajemen dan anggaran yang akan datang.35
Pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat tentu bisa saja
menerima sumber dana dari berbagai sumber, hal ini sejalan dengan UU Sisdiknas
Pasal 55 ayat (3) yang berbunyi, Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis
masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam penganggaran keuangan adalah
menerapkan prinsip anggaran berimbang, yaitu adanya keseimbangan antara
pendapatan dan pengeluaran, dan diupayakan tidak terjadi aggaran pendapatan
minus.36
Untuk itu, setiap penanggung jawab program kegiatan di pesantren harus
menjalankan kegiatan sesuai dengan anggaran yang telah ditentukan sebelumnya.
b. Prosedur akuntansi keuangan
Akuntansi keuangan adalah suatu sistem yang terdiri dari metode dan
catatan-catatan yang dibuat untuk mengidentifikasikan, mengumpulkan,
menganalisis, mencatat dan melaporkan keuangan-keuangan organisasi dan
35
Mulyana, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: Remaja rosda karya, 2003), h. 199. 36
Sulthon Masyhud dan Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren, h.189.
27
menyelengarakan pertanggungjawaban.37
Akuntansi bisa juga dimaknai sebagai
pembukuan, pengaturan atau pengurusan.38
Setiap pesantren memerlukan dana yang cukup untuk menjalankan sejumlah
program kegiatan dalam periode tertentu. Seperti halnya organisasi-organisasi
umum lainnya, dana yang dimiliki pesantren harus diatur dan dicatat sedemikian
rupa agar jelas arus masuk dan keluarnya, termasuk ketepatan penggunaannya.
Pencatatan dan pengelolaan dana yang baik menjadi kegiatan yang penting sebagai
wujud pertanggungjawaban pesantren. Pada dasarnya, pelaksanaan akuntansi
keuangan hanya meliputi penerimaan atau pemasukan dan pengeluaran.
Dalam melakukan akuntansi keuangan, pesantren perlu menegakan prinsip-
prinsip keadilan, efisiensi, transparasi, dan akuntabilitas publik. Hal ini sesuai
dengan UU Sisdiknas pasal 48. selanjutnya pembahasan mengenai akutansi
keuangan ini meliputi:
1). Penerimaan atau pemasukan
Pemasukan keuangan pesantren dari berbagai sumber perlu dilakukan
pembukuan berdasarkan prosedur yang disepakati, baik konsep teoritis maupun
peraturan pemerintah. Sumbangan dana yang masuk ke Pesantren bisa kita
klasifikasi sebagai dana langsung dan dana tidak langsung. Dana tidak langsung
adalah dana berupa perbandingan waktu guru dan peserta dididk dalam
mengunakan setiap waktunya di sekolah atau Pesantren, seperti penyesuaian
waktu belajar mengajar ketika di bandingkan dengan ketika guru atau peserta
didik menggunakanya untuk bekerja, dan juga penghitunganya dengan
transportasi, dan beaya hidup. Dana ini memang sulit sekali dihitung karena
tidak ada catatan resminya. Namun dalam perencanaan, beaya ini turut dihitung.
Sementara itu, dana langsung adalah dana yang di peroleh dari beberapa sumber
yang sah.
2). Pengeluaran
Alokasi dari dana pendapatan pesantren harus pula diatur secermat
mungkin. Ada beberapa klasifikasi dalam pengeluaran dana yang di pakai secara
umum di lembaga-lembaga pendidikan kita: 1). Dana pembangunan, yaitu dana
yang pengeluarannya diatur dan digunakan untuk pembangunan dan
37
Goerge H. Bodnar dan William S. Hopwood, Sistem Informasi Akuntansi, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2001), h.181-182. 38
Pius A Partanto & M Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola Surabaya,
1994), h. 6.
28
pembenahan sarana fisik lembaga. Dana ini di sesuaikan dengan kebutuhan dan
jumlah guru serta peserta didik yang ada di lembaga pendidikan tersebut;39
dan
b). Dana rutin, yaitu dana yang digunakan untuk beaya operasional satu tahun
anggaran. Dana rutin penggunaanya meliputi pelaksanaan progam belajar
mengajar, pembayaran gaji guru maupun personil, serta pemeliharaan dan
perawatan sarana prasarana lembaga pendidikan.
Untuk menghitung dana rutin lembaga pendidikan harus menghitung
total cost atau nilai unit cost yang dibutuhkan setiap siswa atau santri. Nilai unit
cost merupakan nilai satuan beaya yang dikeluarkan untuk memberikan
pelayanan terhadap seorang peserta didik setiap tahun dalam satu jenjang
pendidikan.
Berdasarkan akuntansi keuangan di pesantren, ada beberapa hal yang harus
di perhatikan oleh bendaharawan pesantren, yaitu: 1). Membuat laporan keuangan
kepada pesantren dan komite Pesantren untuk dicocokkan dengan rancangan
anggaran pesantren; 2). Menyertakan bukti-bukti laporan keuangan, termasuk bukti
pembayaran pajak; 3). Kuitansi atau bukti-bukti pembelian dan dan penerimaan
berupa tanda tangan penerima atau bukti pengeluaran yang lain; dan 4).
Menunjukkan neraca keuangan untuk diperiksa oleh tim penanggung jawab
keuangan dari yang bersangkutan.
Sementara itu, hal-hal yang perlu di persiapkan oleh bendaharawan
pesantren meliputi: buku kas umum, buku persekot atau uang muka, daftar
potongan-potongan, daftar honoranium, buku tabungan, buku iuran atau kontribusi
santri, dan buku catatan untuk pengeluaran-pengeluaran yang tidak terduga.40
c. Pembelanjaan
Pembelanjaan adalah keseluruhan aktivitas yang berkaitan dengan usaha
untuk mendapatkan dana dan menggunakan atau mengalokasikan dana tersebut.41
Pembelanjaan mempunyai fungsi penggunaan atau pengalokasian dana. Maksudnya
bahwa setiap rupiah dana yang tertanam harus dapat digunakan seefisien
mungkin untuk dapat menghasilkan tingkat keuntungan investasi. Fungsi
penggunaan dana meliputi perencanaan dan pengendalian penggunaan aktiva baik
39
Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembeayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2000), h. 26. 40
Sulthon Masyhud dan Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren, h. 190. 41
Bambang Riyanto, Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan, (Jakarta: Bumi aksara, 2006), h.
4.
29
dalam aktiva lancar maupun aktiva tetap.42
Selain itu, pembelajaan juga berfungsi
sebagai pemenuhan kebutuhan dana atau fungsi pendanaan (financing; obtaining of
funds).43
d. Prosedur investasi
Dana yang diperoleh Pesantren, baik dari pemerintah (jika ada),
pemerintah daerah dan masyarakat, sebagaimana dalam UU Sisdiknas No. 1
Tahun 2003, Pasal 46, perlu dikelola dengan baik, salah satu bentuk pengelolaan
yang paling efisien adalah dengan menginvestasikan.
Berdasarkan teori ekonomi, investasi berarti pembelian (termasuk juga
produksi) dari kapital/modal barang-barang yang tidak dikonsumsi, tetapi digunakan
untuk produksi yang akan datang (barang produksi), semisal membangun pabrik,
pembukaan lahan, ataupun pendirian kopontren (koperasi pondok pesantren).
Di kalangan pesantren, investasi itu sendiri memiliki dua jenis yaitu: 1).
Permanen, artinya permodalan itu sifatnya harus tetap ada dalam organisasi yang
terkait untuk menjalankan fungsinya. Dalam hal ini Pesantren mendapatkan modal
permanen dari pengasuh atau pengelola pesantren saja. 2). Variabel, artinya
permodalan yang jumlah pendapatannya tidak menetap, karena harus disesuaikan
dengan perubahan pendapatan dan keadaan penyokong dana. Dalam hal ini,
pesantren mendapatkan modal variable dari para donatur kemasyarakatan ataupun
dari donator alumnus pesantren dan para wali santri, dan lain-lain.
e. Prosedur pemeriksaan atau pengawasan
Pengawasan atau pemeriksaan merupakan proses dasar yang secara esensial
tetap diperlukan meskipun bagaimanapun rumit dan luasnya cakupan dalam suatu
organisasi,44
sedangkan metode yang di gunakan adalah: 1. Penentuan standar, yaitu
batasan-batasan mengenai keberhasilan dan kegagalan suatu kegiatan. Misalnya
suatu kegiatan direncanakan terlaksana 90% dari keseluruhannya, maka jika sama
atau lebih dari 90% berarti bisa diangap sesuai dengan standar. Sebaliknya, jika
42
Dalam hal ini, aktiva tetap adalah aktiva yang berubah menjadi kas memerlukan waktu lebih
dari satu tahun dan merupakan aktiva jangka panjang atau aktiva relative permanen. Aktiva tetap ini
disebut juga aktiva berwujud (tangible assets) karena ada secara fisik. Aktiva ini dimiliki dan digunakan
oleh organisasi serta tidak untuk dijual karena sebagai bagian dari operasional normal. Sedangkan Aktiva
lancar adalah aktiva yang secara normal berubah menjadi kas dalam waktu satu tahun atau kurang, seperti
dana pemasukan, baik donatur atau usaha pondok pesantren. Bambang Riyanto, Dasar-dasar
Pembelanjaan, h. 7. 43
Bambang Riyanto, Dasar-dasar Pembelanjaan, h. 7. 44
Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h.
101.
30
kurang dari 90% berarti dianggap sesuai dengan standar. 2. Mengadakan
pengukuran. Seorang pemimpin tidak boleh percaya begitu saja kepada bawahannya,
karena dikuatirkan laporan yang ada tidak sesuai dengan yang realita. Dalam hal ini,
adadua cara dalam pengukuran, yaitu (a). teknik tes, dilakukan untuk mengetahui
aspek yang nyata terjadi.45
(b). Teknik non-tes, digunakan untuk mengetahui
keseluruhan aspek yang tidak dapat dijangkau oleh teknis tes.46
f. Laporan dan pertanggungjawaban keuangan
Semua pengeluaran keuangan pondok pesantren dari sumber mana pun harus
dipertanggungjawabkan. Pertanggung jawaban tersebut merupakan bentuk
transparansi pengelolaan keuangan pesantren. Pada prinsipnya, pertanggungjawaban
tersebut dilakukan dengan mengikuti aturan dari sumber anggaran. Namun demikian,
prinsip transparansi dan kejujuran dalam pertanggungjawaban keuangan pondok
pesantren harus tetap dijunjung tinggi.
Terkait dengan pengelolaan keuangan tersebut, hal yang perlu diperhatikan
oleh bendaharawan pondok pesantren adalah sebagai berikut: (1) Setiap akhir tahun
anggaran, bendaharawan harus membuat laporan keuangan kepada komite/majelis
pesantren untuk dicocokkan dengan RAPBPP; (2). Laporan keuangan tersebut harus
dilampiri bukti-bukti laporan yang ada, termasuk bukti penyetoran pajak (PPN &
PPh) bila ada; (3). Kuitansi atau bukti-bukti pembelian atau bukti penerimaan
berupa tanda tangan, penerimaan honorarium/bantuan/bukti pengeluaran lain yang
sah; (4). Neraca keuangan juga harus ditunjukkan untuk diperiksa oleh penanggung
jawab keuangan dari komite pondok pesantren.47
Dengan demikian, pesantren di masa kini dituntut untuk berbenah, menata diri
dalam mengahadapi persaingan ilmu pengetahuan maupun pengelolaan pendidikan
seperti yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Perubahan dan
pembenahan yang dimaksud hanya sebatas manajemen, sehingga pesantren bisa
mengimbangi tuntutan zaman dengan tetap mempertahankan tradisi dan nilai-nilai
tradisionalnya. Mempertahankan pendidikan khas pesantren, utamanya kitab kuning,
dengan memasukkan kurikulum tambahan atau kegiatan ekstra, seperti keterampilan
45
Misalnya saja, menanyakan atau mengonfirmasi tentang kejadian yang riil terjadi di lapangan. 46
Misalnya saja, bagaimana kinerja para anggotanya kemudian disesuaikan dengan evaluasi
dari para anggota. Hal yang dilakukan selanjutnya adalah menyesuaikannya dengan ketentuan yang telah
berlaku dan hasilnya digunakan untuk umpan balik (feedback), berupa revisi atau modifikasi. 47
Sulthon Masyhud dan Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantern dalam Perspektif Global,
(Yogyakarta: LaksBang, 2006), h. 267-268.
31
dan pengetahuan umum, serta pembelajaran-pembelajaran skill aplikatif merupakan
suatu keniscayaan bagi pesantren di masa depan.
C. Gambaran Pesantren Darul Muttaqien dan Al-‘Ashriyah
Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman adalah sebuah pondok moderna
yang beralamatkan di Jalan Nurul Iman Desa Warujaya Kec. Parung Kab. Bogor, Jawa
Barat. Pesantren didirikan pada 16 Juni 1998. Pesantren ini termasuk pesantren modern
yang didirikan oleh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abubakar.
Pada awal terjadinya krisis moneter, banyak sekali kesulitan-kesulitan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia. Terjadinya kasus semanggi pada tanggal 12 Mei 1998
menyebabkan jatuh dan terpuruknya perekonomian bangsa Indonesia. Di saat itu As
Syekh Habib Saggaf Bin Mahdi Bin Syekh Abu Bakar Bin Salim yang masih bertempat
tinggal di kawasan perumahan Bintaro Jaya merasa prihatin dan sedih dengan hal
tersebut. Semakin banyaknya para remaja yang putus sekolah serta tidak mampu
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yang disebabkan krisis moneter serta
terjadinya krisis moral dimana-mana, menjadikan beliau bersikeras mendirikan suatu
lembaga pendidikan gratis demi meringankan beban bagi mereka yang tidak mampu,
umumnya bangsa Indonesia. Sehingga dengan tekad dan kemauan beliau yang mulia
tersebut, beliau rela meninggalkan keglamouran kota metropolitan dan mengambil
keputusan untuk menetap di desa. Beliau akhirnya pindah ke Desa Waru Jaya,
Kecamatan Parung, Jawa Barat Desa yang penduduknya dibawah garis kemiskinan
yang mayoritas penghasilan mereka hanya mengandalkan penjualan daun melinjo serta
ikan air tawar.
Kemudian, mulailah Beliau membangun sebuah Pondok Pesantren. Dengan
disaksikan para undangan dari Pejabat Pemerintahan Daerah Kabupaten Bogor, para
Pejabat Tinggi Negara Republik Indonesia dan juga Duta Besar Negara-Negara Arab,
Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia, maka “Peletakkan Batu Pertama”
Pendirian Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman dilaksanakan pada tanggal 16
Juni 1998 di atas lahan 17 (tujuh belas) hektar. Diawali dengan peresmian peletakkan
batu pertama pendirian Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, maka dalam
operasionalnya, Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman mendapatkan rekomendasi
dari Kepala Desa Waru Jaya dan Camat Kecamatan Parung Kabupaten Bogor tertanggal
10 Gedung sekolah santri putri Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul ImanMaret 1999,
serta telah didaftarkan pada kantor Departemen Agama Kabupaten Bogor sejak tanggal
32
12 Maret 1999 dengan nomor : MI-10/1/PP/007/825/1999, maka dicatatlah akte
pendirian Pondok PesantrenAl-Ashriyyah Nurul Iman tanggal 25 Maret 1999 No. 7
dihadapan Notaris Lasmiati Sadikin, SH. Pada mulanya para santri menetap di asrama
belakang rumah beliau, namun karena makin banyaknya santri yang berminat maka
dibangunkan sebuah kobong (bangunan dari bambu) yang berukuran 4 X 5 meter di
areal tanah yang awalnya sebuah hutan semak belukar dan rumput ilalang. Hari ke hari
semakin banyak santri yang berminat hingga kobong tersebut tidak lagi mencukupi
untuk di tempati. Mulailah beliau membangun gedung asrama di samping kobong
tersebut, mulai dari dari pembangunan gedung H. Isya dengan luas 15x12 M2 pada
tahun 2000. Asrama memberikan pandangan baru dalam pat tinggal para santri yang
mayoritas hanya maklum adanya, dengan adanya bangunan baru tersebut untuk mereka,
membuat penambahan kesemangatan dalam belajar mereka. Namun, perkembangan tak
putus begitu saja, dari tahun ketahun prioritas perkembangan jumlah para santri begitu
drastis yang pada akhirnya muncul asrama-asrama baru yang menjadi objek
penampungan para santri seperti asrama Gandhi seva loka dengan luas 15x12 M2, lalu
disusul dengan di bangunnya asrama jadid dengan luas 15x12 M2 masih pada tahun
2000. memang pada halnya, sebagai pengemban tugas para santri di tuntut untuk
memproyektifitikan keseharian mereka antara pengembangan ilmu akhirat sebagai
program utama pada bidang pendidikan pondok pesantren, dengan IPTEK sebagai
pendamping projek mereka didunia, maka di bangun kembali satu tempat ibadah untuk
para santri dengan luas 32.5x9.50 M2, di depan pintu gerbang pondok Mulai dari sinilah
perkembangan demi perkembangan terlihat. Terbukti dari munculnya asrama-asrama
baru di lingkungan perkomplekan pondok pesantren yang menjadi pemandangan baru di
wilayah perkomplekan putra dan putri yaitu asrama Hanif (perkomplekan putra) dengan
luas 12x6 M2, asrama H. Kosim (perkomplekan putra) dengan luas 12x6 M2, asrama
Olga Fatma (perkomplekan putra) dengan luas 20x12 M2, asrama Anwariyyah
(perkomplekan putra) dengan luas 56x12 M2,tiga local asrama (perkomplekan putri),
asrama dengan tiga belas kamar (perkomplekan putri), gedung belajar tingkat dua
(perkomplekan putri) dan dua tempat ibadah (Masjid) diarea perkomplekan putra
dengan luas 36x36 M2 dan putri dengan luas 30x30 M2.
Dari waktu ke waktu mulailah tersebar nama Pondok Pesantren Al-Ashriyyah
Nurul Iman dengan seluruh pembiayaan pendidikan, pengobatan, makan dan minum
serta sarana dan pra-sarana ditanggung oleh pihak yayasan (gratis), maka mulai dari
sinilah berdatangan parasantri-santri yang berminat belajar di pondok pesantren tidak
33
hanya dari daerah Desa Waru Jaya saja, melainkan hingga daerah-daerah jauh di dataran
bumi Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke, bahkan dari luar negeri. nama Al-
Ashriyyah Nurul Iman dinukil dari bahasa Arab, Al-Ashriyyah bermakna modern, yang
tujuannya “menjadi pusat pembinaan pendidikan agama dan pengetahuan umum secara
terpadu dan modern. Nurul Iman berawal dari kosa kata bahasa Arab, Nuur yang
bermakna cahaya, dan Al-Iman bermakna keimanan.
Oleh karena itu Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di harapkan
mampu menciptakan ulama-ulama yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum yang terpadu dan modern dengan diselimuti cahaya keimanan yang
tinggi. Kini walaupun semakinbertambahnya jumlah santri, tetapi Yayasan Pondok
Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman tetap senantiasa menjadi lembaga Pendidikan yang
seluruh biaya pendidikannya, makan dan minumnya, pengobatannya serta sarana dan
pra sarana lainnya ditanggung oleh Yayasan. Dengan kata lain gratis untuk seluruh
lapisan masyarakat,terutama bagi mereka dari golongan yang tidak
mampu,fakirmiskin,anak yatim serta anak-anak terlantar.
a. Program Pengembangan
Seperti layaknya lembaga pendidikan lainnya, pesantren ini juga memiliki
program pengembangan untuk masa datang baik dalam bidang pendidikan maupun
dalam pengembangan bangunan di lingkungan Pondok Pesantren. Untuk pendidikan,
pesantren ini memiliki program untuk mewujudkan SDM yang berkualitas tinggi dalam
keimanan dan ketakwaan, menguasai IPTEK yang menjadi tumpangan hidup didunia,
oleh sebab itu diadakannya kursusu-kursus diluar pendidikan formal dalam
pembelajaran keseharian para santri seperti diadakannya kursus bahasa, kursus
komputer, kursus menjahit, pelatihan pertanian, pemanfaatan sampah-sampah menjadi
bahan bangunan, peternakan ikan dan lain-lain. Para santri-pun di tuntut untuk mampu
menguasai minimal empat bahasa yaitu bahasa arab, inggeris dan mandarin untuk bekal
panduan pelepasan mereka kelak. Dengan modal awal seperti inilah yang terektur pada
dirimereka agar mampu memproyeksikan ilmu dunia dan ilmu akhirat, serta mampu
mengaktualisasikannya dalam masyarakat dengan menyiapkan calon pemimpin masa
depan yang menguasai IPTEK, mempunyai daya juang tinggi, kreatif, inofatif dan tetap
di landasan iman dan takwa yang kuat, karena itu yayasan berusahamengembangkan
kreatifitas serta meningkatkan pengetahuan dan profesional tenaga kependidikan sesuai
perkembangan dunia pendidikan yang menjadikanpondok pesantren Al Ashriyyah
34
Nurul Iman sebagai pondok percontohan di seluruh indonesia dalam pengembangan
pengajaran IPTEK dan IMTAK bagipendidikan lembaga lainnya.
Sedangkan untuk program pengembangan pembangunan, pesantren ini memiliki
program untuk menambah asrama untuk anak-anak tinggal, karena anak- anak tidur di
masjid dan tempat - tempat yang terbuka baik anak laki -laki maupun perempuan
mengingat belum cukupnya asrama-asrama sebagai tempat yang layak untuk tempat
tinggal. Di samping itu karena pendidikan ini pendidikan padat karya, Beliau (Al Syekh
Habib Saggaf bin Mahdi) mendidik anak-anak untuk belajar cara membuat roti, tahu,
tempe, kecap, sabun dan tata cara jahit-menjahit. Beliau sangat membutuhkan sarana-
sarana yang memudahkan terlaksananya pendidikan tersebut.Mudah-mudahan cita-cita
ini mengantar anak-anak didiknya di jalan kesuksesan.
b. Pendidikan
Jenjang pendidikan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman sistem pembelajaran
yang memadukan antara sistem pembelajaran salafiyyah yang merujuk pada
pembahasan kitab-kitab klasik (Tafsir Jalalain, Nahwu Al- Jurumiyah.I’mrithi,Alfiyah,
Fiqih Safinatun Najah, Ghoyah wataqrib, Fathul Mu’in dll). Serta sistem pendidikan
modern yang merujuk pada kurikulum yang ditetapkan oleh DIKNAS.
pendidikan formal yang ada di pondok ini antara lain :
Madrasah Ibtidaiyah (MIN/SD)
Madrasah Tsanawiyah (MTs/SMPN)
Madarasah Aliyah (MA/SMUN)
Institut Habib Saggaf Al-Ashriyyah Nurul Iman (IHSANIAH)
49
BAB IV
PERBANDINGAN PENGELOLAAN EKONOMI
A. Pengelolaan Ekonomi Pesantren Darul Muttaqien
1. Sumber Dana
Pesantren sebagai salah satu lembaga yang telah diakui oleh pemerintah.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, posisi dan keberadaan Pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa.
Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim,. Karena
kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum familiar
dikalangan Pesantren di Indonesia. Keistimewaan Pesantren dalam sistem pendidikan
nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang
Sisdiknas sebagai berikut:
Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini
tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di Pesantren. Pesantren sudah sejak
lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta
mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada
Allah SWT serta akhlak mulia. Sehingga format Pesantren kedepan haruslah mampu
bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain dengan menata kembali
manajemen yang sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.
Kita menyadari bahwa di banyak Pesantren masalah keuangan selalu menjadi
kendala dalam melakukan aktivitas Pesantren, baik yang berkaitan dengan angaran,
akuntansi, penataan administrasi, alokasi serta kebutuhan pengembangan Pesantren
maupun dalam proses aktivitas keseharian Pesantren. Tidak sedikit Pesantren yang
memiliki sumberdaya baik manusia maupun alamnya tidak tertata dengan rapi, dan
tidak sedikit pula proses pendidikan Pesantren berjalan lambat karena kesalahan dalam
penataan menejemen keuanganya.
Sebagai implementasi dari paradigma manajemen pendidikan yang ada di
indonesia, MBS Manajemen Berbasis Sekolah, masalah keuangan dan pembiayaan
menjadi lebih banyak di atur oleh lembaga pendidikan itu sendiri, tidak terkecuali
Pesantren. Walaupun sebenarnya Pesantren dari dahulu sejak awal berdirinya
memang adalah lembaga yang mandiri dalam penataan manajemennya. Namun
alangkah lebih baik jika Pesantren bisa mengadopsi penataan manajemen yang bisa
membawa kemaslahatan umat. Hal ini tentunya tidak terlepas dari prinsip Pesantren, (a-
lmuhafadhoh ‘ala al-qodim as-sholih – wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah) menjaga
tradisi lama yang bermanfaat dan mengadopsi hal-hal baru yang banyak membawa
mashlahat.[2]
Dana yang diperoleh Pesantren, baik dari pemerintah (jika ada), pemerintah
daerah dan masyarakat, sebagaimana dalam UU Sisdiknas, Pasal 46 no. 1 tahun
2003. perlu di kelola dengan baik, salah satu bentuk pengelolaan yang paling efisien
adalah dengan menginvestasikan.
Berdasarkan teori ekonomi, investasi berarti pembelian (dan berarti juga
produksi) dari kapital/modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan
untuk produksi yang akan datang (barang produksi). Contoh termasuk membangun rel
50
kereta api, atau suatu pabrik, pembukaan lahan, atau kopontren. Investasi memiliki dua
jenis yaitu:
a. Permanen, artinya permodalan itu sifatnya harus tetap ada dalam organisasi
yang terkait untuk menjalankan fungsinya. Dalam hal ini Pesantren
mendapatkan modal permanen dari pengasuh atau pengelola Pesantren saja.
b. Variabel, artinya permodalan yang jumlah pendapatannya tidak menetap
karena harus disesuaikan dengan perubahan pendapatan dan keadaan
penyokong dana. Dalam hal ini Pesantren mendapatkan modal variable dari
para donatur kemasyarakatan ataupun dari donator alumnus Pesantren dan
para wali santri dan lain-lain.
Sumber-sumber keuangan dalam Pesantren Darul Muttaqien berdasarkan hasil
penelitian secara umum berasal dari :
a. Kontribusi santri
b. Sumbangan dari individu atau organisasi
c. Sumbangan dari pemerintah baik berbentuk BOS (bantuan Operasional
sekolah), maupun sumbangan-sumbangan yang bersifat mengikat
maupun tidak mengikat.
d. Dari hasil usaha pesantren
Penggunaan anggaran dan keuangan, dari sumber manapun, baik pemerintah
ataupun dari masyarakat perlu didasarkan pada prinsip-prinsip umum pengelolaan
pengelolaan keuangan sebagai berikut:
a. Hemat, tidak mewah, efisien dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang
disyaratkan.
b. Terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program / kegiatan.
c. Terbuka dan transparan, dalam pengertian dari dan untuk apa keuangan lembaga
tersebut perlu dicatat dan dipertanggungjawabkan serta disertai bukti
penggunaannya.
d. Sedapat mungkin menggunakan kemampuan/hasil produksi dalam negeri sejauh
dimungkinkan. 1
Sebagai gambaran umum penerimaan dana yang bisa diakses oleh peneliti
dalam pesantren Darul Muttaqien berasal dari iuran bulanan santri dari mulai tingkat
RA, SDIT, SMPIT, MTs dan MA, dana pendaftaran ulang dan sumbangan dari
kementerian yang sifatnya insidental. Disamping itu terdapat pula bantuan dari
pemerintah berupa Biaya Operasional Sekolah yang memang sudah menjadi amanat
Undang-Undang Sisdiknas.
Tabel 1 Penerimaan Dana Daftar Ulang Santri Baru tahun 2013
No Tingkat Pendidikan Siswa Daftar Ulang Jumlah
1 RA 14 Rp. 2.150.000,- Rp. 30.100.000,-
2 SDIT 69 Rp. 8.700.000,- Rp. 600.300.000,-
3 SMPIT 57 Rp. 8.900.000,- Rp. 507.300.000,-
4 TMI (MTs & MA) 348 Rp. 16.300.000,- Rp. 5.672.400.000,-
Total Rp. 6.810.100.000,-
Tabel 2 dana iuran Santri Tahun 2013
No Tingkat Pendidikan Siswa Biaya Bulanan Jumlah
1 Shulton Masyhud dan Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva
Pistaka,2003), Cet.I., hlm 187
51
1 RA 46 Rp. 300.000,- Rp. 13.800.000,-
2 SDIT 420 Rp. 400.000,- Rp. 168.000.000,-
3 SMPIT 154 Rp. 500.000,- Rp. 77.000.000,-
4 TMI (MTs & MA) 1059 Rp. 1.200.000,- Rp. 1.270.800.000,-
Total per bulan Rp. 1.529.600.000,-
Total Per tahun Rp. 18.355.200.000,-
Tabel 3 Penerimaan Pesantren dari Sektor Usaha
No Jenis Usaha Pendapatan per bulan
1 Mini Market Rp. 21.000.000,-
2 Loundry Rp. 7.000.000,-
3 Perkebunan Rp. 15.000.000,-
Total Rp. 43.000.000,-
Total Pertahun Rp. 516.000.000,-
Tabel 4 Penerimaan Dana Bantuan Dari Kementerian
No Bantuan Jumlah
1 Kementerian Perikanan Rp. 75.000.000,-
2 Wakaf Kementerian Agama Rp. 350.000.000,-
Total Rp. 425.000.000,-
Dari beberapa tabel tersebut, maka apabila dikalkulasikan selama satu tahun
Pesantren Darul Muttaqien akan memperoleh penerimaan dana kurang lebih Rp.
26.106.300.000,- (dua puluh enam milyar seratus enam juta tiga ratus ribu rupiah).
Keseluruhan dana tersebut dipergunakan untuk biaya operasional pesantren dan biaya
pengembangan sarana dan prasarana pesantren.
Sebagai bahan penelitian perbandingan jumlah santri Darul Muttaqien dan guru
serta staf saat ini terdiri dari :
Tabel 5 Jumlah santri tahun 2013
No Jenjang Pendidikan Jumlah Santri
1 TPQ (gratis) 49
2 Diniyah Taklimiyah (gratis) 123
3 RA 46
4 SDIT 420
5 SMPIT 154
6 TMI (MTs & MA) 1059
Total 1.851
Tabel 5 Jumlah Guru dan Staf Pesantren Darul Muttaqien tahun 2013
No Jabatan/posisi Jumlah
1 Guru 157
2 Staf 13
3 OB 26
Total 196
Dari data di atas dapatlah diketahui potensi sumber dana yang cukup besar
dimiliki oleh pesantren Darul Muttaqien. Apabila sumber dana tersebut bisa
dioptimalkan pemanfaatannya secara produktif maka akan menjadi nilai tambah
tersendiri bagi terwujudnya kemandirian pesantren secara ekonomi.
52
2. Jenis dan Bentuk Kelembagaan
Dengan aset berupa tanah kurang lebih 13,5 ha, maka pesantren Darul
Muttaqien mempunyai potensi ekonomi yang besar dengan lahan yang cukup luas.
Beberapa pesantren modern yang ada diwilayah JABODETABEK telah menjadikan
dana santri sebagai roda penggerak kehidupan pesantrennya. Namun dengan adanya
wacana kemadirian pesantren dalam ekonomi mendorong beberapa pesantren untuk
memanfaatkan sumber daya ekonominya dalam rangka menuju pesantren yang mandiri
secara ekonomi. Darul Muttaqien merupakan salah satu pesantren tersebut yang
mencoba memaksimalkan sumber daya dang dimilikinya untuk memperoleh
kemandirian ekononomi sehingga bisa mengurangi beban santri dalam pembiayaan
pendidikan.
Adapun jenis-jenis pengembangan ekonomi yang dijalankan oleh pesantren
Darul Muttaqien antara lain sebagai berikut :
a. Perkebunan
Usaha perkebunan yang dijalankan oleh pesantren Darul Muttaqin dengan
lahan yang cukup luas adalah menanam pohon Brasena, Jinjing, Jati dan Trembesi pada
lahan kosong yang tidak dimanfaatkan pesantren. Luas lahan yang dipakai untuk
penanaman pohon-pohon ini kurang lebih 1 ha.
Pemilihan jenis-jenis pohon yang ditanam ini karena nilai ekonomis yang
tinggi dan tidak membutuhkan perawatan yang intensif serta biaya tinggi. pohon
Brasena dan pohon jinjing merupakan jenis-jenis tanaman yang diminati negara korea.
Sedangkan pohon jati dan trembesi merupakan bahan dasar bagi pembuatan meubel
maupun peralatan rumah tangga yang bernilai tinggi harganya.
Usaha penanaman pohon jati dan trembesi sudah dilakukan sejak kurang lebih
10 tahun yang lalu, namun karena umurnya pohon jati yang relatif panjang maka sampai
saat ini belum dipetik hasilnya.
Penanaman pohon jati, trembesi, jinjing dan Brasena masih dilakukan dengan
metode tradisional dan tidak memanfaatkan teknologi serta model penanaman yang
ideal, misalnya jarak antar pohon jati hanya 2 meter. Hal ini menjadikan pertumbuhan
pohon jati dan trembesi lambat dan tidak sesuai dengan harapan.
Sedangkan pohon jinjing sudah menghasilkan senilai 15 juta rupiah, namun
hasil ini tidak bisa didapatkan secara periodik karena jumlahnya yang relatif sedikit dan
belum memenuhi kebutuhan pemesan.
b. Perikanan
Dalam bidang perikanan pesantren Darul Muttaqien sudah mengembangkan
ternak ikan patin yang terbagi dalam 4 empang besar. Pembudidayaan ikan patin ini di
dasari pemikiran bahwa budidaya ikan patin relatif mudah dan bisa dikonsumsi untuk
makanan sehari-hari. Sumber makanan ikan patin juga berasal dari sisa-sisa makanan
para santri yang terbuang dan dimanfaatkan untuk makananan iakan patin. Budidaya
ikan patin yang dilakukan oleh pesantren Darul Muttaqien sampai saat ini masih
sekedar untuk memenuhi kebutuhan konsumsi santri belum sampai pada tahap budidaya
secara besar-besaran kemudian dipasarkan keluar pesantren.
Permasalahan yang dihadapi dalam budidaya ikan patin ini adalah kurangnya
sumber air yang merupakan kebutuhan dasar dalam budidaya ikan air tawar. Disamping
belum adanya sumber daya manusia dari pesantren yang secara konsisten mengelola
budidaya ikan patin ini. Pengelola budidaya ikan patin di pesantren Darul Muttaqien
selama ini dilakukan oleh tenaga-tenaga upahan yang terbatas dan tidak melibatkan
santri di dalamnya.
Dalam bidang perikanan pada tahun 2013 ini pesantren Darul Muttaqien juga
mengembangkan budidaya ikan lele dengan model Bioflog hasil kerjasama pesantren
53
dan kementerian pertanian. Pesantren Darul Muttaqien tahun 2013 ini memperoleh dana
kurang lebih 75 juta rupiah dari kementerian pertanian untuk pengembangan budidaya
lele dengan sistem bioflog. Sistem bioflog adalah teknologi budidaya ikan, dimana
dengan teknologi tersebut kotoran ikan akan berubah menjadi bakteri dan akhirnya
berubah menjadi sejenis makanan ikan. Dengan teknologi ini diharapkan akan diperoleh
sistem budidaya ikan yang bersih dan tidak terkontaminasi dengan bakteri yang
membahayakan sehingga hasil produksi ikan akan lebih banyak dibandingkan dengan
budidaya ikan secara tradisonal. Namun karena masih dalam taraf percobaan, maka
sampai akhir tahun ini belum bisa dilihat hasil dari budidaya ikan lele yang dilakukan
oleh pesantren Darul Muttaqien.
Pengembangan budidaya ikan lele ini ditempatkan di lahan pesantrean yang
diluar komplek pesantren, tepatnya di dusun jampang. Kolam lelenya terbuat dari bahan
terpal dan saat ini baru dikembangkan 10 kolam ikan yang berkapasitas 2500 ekor ikan
lele per kolamnya.
c. Mini Market
Dengan jumlah santri kurang lebih 1800 santri dan guru 230 guru, maka secara
internal jumlah tersebut adalah pangsa pasar yang cukup besar. Di sisi lain juda terdapat
peraturan dari Pesantren bahwa santri tidak boleh membeli makanan dari luar pesantren.
Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh pesantren Darul Muttaqien untuk mendirikan
minimarket yang berfungsi sebagai kantin dan menjual aneka makanan ringan dan
minuman.
Dengan jumlah konsumen yang cukup besar, maka usaha minimarket di dalam
pesantren merupakan salah satu jenis usaha pesantren yang bisa terlihat keuntungannya.
Dari laporan pengurus pesantren, minimarket dalam pesantren Darul Muttaqien bisa
memberikan bagian keuntungan bersih kurang lebih Rp. 21.000.000,00 (dua puluh satu
juta rupiah) per bulannya. Hal ini menunjukkan besarnya nilai konsumsi santri terhadap
makanan ringan, minuman maupun aneka jajanan lainnya.
Dengan nilai keuntungan seperti disebutkan di atas, maka omset penjualan
minimarket pesantren Darul Muttaqien bisa diasumsikan antara 150 juta sampai 200
juta per bulan. Dalam laporan bulan November 2013 total penjualan minimarket
mencapai 186 juta. Dan omset yang sedemikian besar ternyata bisa diperoleh dari
minimarket yang terletak di tengah-tengah pesantren dan menempati lahan yang tidak
terlalu luas.
Hal inilah yang mendorong pengurus pesantren untuk merencanakan membuat
kapasitas usaha minimarket lebih besar dan menjadi supermarket serta tidak hanya
melayani untuk internal pesantren melainkan juga untuk masyarakat sekitar. Namun
untuk mewujudkan rencana tersebut tentu dibutuhkan dana yang sangat besar dan
manajemen profesional dalam pengelolaannya.
d. Koperasi
Dalam pesantren Darul Muttaqien juga terdapat koperasi sekolah yang
didirikan oleh para guru pesantren. Keberadaan koperasi ini lebih dahulu daripada
minimarket. Koperasi pesantren Darul Muttaqien juga sudah mempunyai badan hukum
tersendiri. Koperasi ini didirikan dari simpanan wajib, simpanan pokok dan simpanan
sukarela para guru.
Koperasi yang didirikan para guru dan karyawan Pesantren Darul Muttaqien ini
telah mempunyai badan hukum koperasi semenjak tahun 1998 dengan nomor registrasi
11095/BH/KWK 10/VI/1998 dari Depertemen Koperasi Republik Indonesia.
Bidang usaha koperasi pesantren Darul Muttaqien adalah simpan pinjam
(Baitul Mal wattamwil) dan menjual kebutuhan sembako, seragam santri maupun
peralatan santri seperti sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi dan lain-lain.
54
Pemanfaatan koperasi pesantren Darul Muttaqien pada saat ini hanya untuk
memenuhi kebutuhan internal pesantren dan tidak melayani masyarakat di luar
pesantren. Hal ini disebabkan belum adanya manajemen baik ketika harus berhubungan
dengan masyarakat luar pesantren. Berdasarkan wawancara dengan pengurus pesantren,
ketika awal-awal berdirinya koperasi pesantren juga melayani pinjaman dari
masayarakat luar pesantren, namun dari usaha tersebut hampir 90% akhirnya macet. Hal
inilah yang mendasari pengurus pesantren untuk menutup diri dari masyarakat luar dan
hanya melayani keperluan di dalam pesantren.
Dengan strategi ini ternyata koperasi pesantren Darul Muttaqien akhirnya pada
tahun 2012 yang lalu berhasil membagikan Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada para
anggotanya senilai 21 juta rupiah.
e. Loundry
Pada tahun 2013 ini tercatat santri pesantren Darul Muttaqien kurang lebih
1800 santri dari tingkat RA, SD, SMPIT, MTs dan MA. Dengan jumlah santri yang
cukup besar ini maka kebutuhan untuk mencuci pakaian juga sangat besar. Peluang
inilah yang diambil oleh pengurus pesantren untuk membuka usaha loundry bagi santri.
Dengan menggandeng masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja, maka dalam pesantren
didirikan unit usaha loundry pakaian.
Usaha ini berjalan cukup lancar karena pangsa pasarnya yang jelas yaitu santri
di pesantren dan hanya menjadi monopoli pihak pesantren untuk mengadakan usaha
loundry. Dengan tingkat pengguna yang jelas maka usaha loundry di pesantren ini bisa
memberikan keuntungan bersih untuk kas pesantren senilai kurang lebih 7 juta rupiah
per bulan.
Jenis usaha loundry ini hampir tidak menemui kendala yang berarti karena
pangsa pasar yang jelas dan juga aturan pesantren yang melarang santri menggunakan
jasa loundry lain di luar pesantren.
f. Pengelolaan sampah
Usaha lain yang sedang dikembangkan oleh pesantren Darul Muttaqien adalah
pengelolaan sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Pada tahun ini diupayakan
pengelolaan sampah menjadi sesuatu yang berguna seperti menjadi pupuk dari sampah.
Model pengelolaannya adalah memisahkan antara sampah dari bahan plastik
dan sampah yang bukan plastik. Sampah-sampah tersebut kemudian dibakar dan abunya
dibuat menjadi pupuk tanaman.
Namun berdasarkan pengamatan penulis pola pengelolaan sampah ini belum
menggunakan teknologi tepat guna hanya dibakar saja dan tidak dipisahkan mana yang
sampah organik dan non organik. Padahal sampah-sampah sisa makanan apabila
dimanfaatkan secara baik dan benar bisa menjadi bahan pupuk organik maupun sumber
bio gas.
g. Usaha Meubel dan Furniture
Pada tahun ini pesantren Darul Muttaqien memperoh bantuan wakaf produktif
dari kementerian Agama senilai 350 juta rupiah. Bantuan ini menurut pihak pesantren
akan dikembangkan dalam bentuk usaha kerajinan ranjang besi, lemari, meja kursi dan
barang meubel lainnya. Dalam rencana usaha tersebut akan didirikan di tanah wakaf
sebelah utara pesantren yang posisinya di pinggir jalan arah Parung Bogor.
Sebagai dana wakaf produktif, maka dana dari kementerian Agama ini harus
bisa dimanfaatkan secara produktif dan dilaporkan penggunaannya. Apabila tidak
dijadikan sebagai aset produktif maka dalam ketentuan bantuan harus dikembalikan ke
Kementerian Agama atau tidak akan diberikan bantuan lagi.
h. Poliklinik
55
Dalam rangka menjamin tingkat kesehatan dan kenyamanan santri, maka
pesantren Darul Muttaqien menggandeng beberapa pihak untuk bekerjasama dalam
bidang kesehatan dengan mendirikan Poliklinik yang akan melayani kebutuhan santri
dalam bidang kesehatan. Bentuk kerjasama ini dijalankan dengan adanya pembebanan
iuran wajib kesehatan bagi setiap santri sebesar Rp. 11.000,00 (sebelas ribu rupiah)
setiap bulannya. Dan sebagai kompensasinya setiap santri berhak menerima pengobatan
apabila sakit tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan.
Bentuk kerjasama antara pesantren dan pihak Poliklinik ini belum mengarah ke
orientasi bisnis bagi pesantren. Karena pesantren hanya menerima kompensasi berupa
jaminan pelayanan kesehatan bagi santri
Berbagai jenis usaha yang dilaksanakan oleh pesantren Darul Muttaqien
tersebut dalam rangka menggali potensi sumber daya yang dimiliki pesantren dan
diharapkan menuju ke arah kemandirian pesantren dalam bidang ekonomi serta
menunjang pengembangan pesantren dalam pengadaan sarana dan prasarana dalam
bidang pengajaran pendidikan agama. Dengan terpenuhinya sarana dan prasarana yang
lengkap, maka diharapkan akan mencetak generasi-generasi muda yang handal dalam
pengetahuan agama dan berakhlakul karimah.
Pengembangan ekonomi pesantren juga bertujuan memberikan pembelajaran
kepada santri tentang kemandirian ekonomi yang nantinya bisa diaplikasikan oleh para
santri dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga ketika terjun ke masyarakat luas, para
santri sudah dibekali dengan keahlian dalam berwirausaha. Dengan adanya unit-unit
ekonomi dan adanya pelibatan santri di dalamnya, diharapkan memupuk jiwa
enterpreuneurship para santri dengan mengajarkan para santri mengenai seluk beluk
berwirausaha baik ketika dalam masa sulit atau berkembangnya usaha.
Dengan adanya model pembelajaran 24 jam sehari dibawah pengasuhan
guru/ustadz, maka sistem pondok pesantren diharapkan dapat menyentuh sisi-sisi
afektif, kognitif dan psikomotorik dari santri, sehingga terbentuk jiwa santri yang
tangguh berpengetahuan dan kreatif serta berakhlakul karimah. Dengan demikian fungsi
pesantren, selain sebagai pusat pengkaderan ahli-ahli (center of excellence) dan sebagai
lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource), juga sebagai lembaga
yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of social
change).2
3. Pihak Pengelola
Berbagai jenis-jenis usaha yang dijalankan oleh beberapa pesantren dalam
beberapa penelitian terdahulu, ada yang dijalankan secara profesional namun
kebanyakan masih dijalankan secara tradisional. Pengelolaan secara tradisional artinya
belum memasukkan aspke-aspek manajemen dalam berwirausaha. Aspek-aspek
manajemen tersebut meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan secara integral.
Berdasarkan penelitian yang ditemukan pada pesantren Darul Muttaqien pola-
pola pengembangan usaha pesantren cenderung belum memaksimalkan fungsi
manajemen dalam berwirausaha secara optimal sehingga hasil yang dicapai pun masih
jauh dari harapan.
Dalam bidang perkebunan yang menanam pohon jati, trembesi, brasena dan
jinjing dan ternak ikan patin serta lele pesanatren Darul Muttaqien mempercayakan
kepada suatu tim tersendiri yang ketuanya dijabat oleh Duklan Wastim, bagian
2 Ahmad Faozan, "Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi", hal. 2.
56
administrasi dijabat oleh Ridwan dan Pengawas akuntansi oleh Taufiq Baris yang
berdasarkan hasil wawancara adalah orang-orang dari pesantren yang telah mendapat
pelatihan-pelatihan tentang usaha tersebut. Namun dari hasil penelitian belum
tergambarkan secara jelas arah dan pengembangan usaha-usaha tersebut dalam rangkan
menunjang kemandirian pesantren dalam bidang ekonomi.
Usaha lain yang dikembangkan oleh pesantren Darul Muttaqien adalah
Koperasi pondok pesantren (KOPONTREN) yang telah berbadan hukum dengan nomor
registrasi 11095/BH/KWK 10/VI/1998 dari Depertemen Koperasi Republik Indonesia.
Koperasi ini merupakan hasil usaha bersama para guru dan karyawan pesantren yang
didirikan dengan menarik simpanan wajib, simpanan pokok dan simpanan sukarela dari
para guru dan karyawan pesantren.
Pengurus koperasi pesantren Darul Muttaqien dengan ketua Aos Abdul Ghaos,
Sekretaris Herman Nurrohman dan Agus Hidayat serta Bendahara Yasin Dahlan yang
merupakan guru dan pengurus pesantren. Para pengurus koperasi berasal dari internal
pesantren yang sudah memperoleh beberapa pelatihan mengenai perkoperasian yang
dilakukan oleh departemen koperasi maupun lembaga-lembaga swasta.
Namun karena kopontren Darul Muttaqien hanya diorientasikan untuk
kebutuhan internal, maka manfaat yang diperoleh juga hanya dinikmati oleh kalangan
internal pesantren. Dari hasil wawancara diketahui bahwa koperasi pesantren pernah
melakukan usaha simpan pinjam untuk masyarakat luar pesantren dengan mekanisme
BMT (Baitul Maal wattamwil), namun karena tingkat pengembaliannya rendah dan
kurangnya SDM terlatih sehingga usaha simpan pinjam ke masyarakat luar pesantren
mengalami kerugian. Hal ini mendorong pengurus koperasi pesantren membuat
kebijakan hanya melayani kebutuhan internal.
Mini Market yang dijalankan oleh pesantren pada asalnya adalah usaha dari
koperai pesantren. Dalam perkembangan selanjutnya Mini Market dikelola oleh
kepengurusan tersendiri sehingga bisa memberikan manfaat ekonomi terhadap
pesantren. Dan hasilnya ternyata Mini Market yang berada dalam komplek pesantren
bisa memberikan bagi hasil senilai 21 juta rupiah per bulan kepada pesantren. Mini
Market ini dikelola oleh pengurus dibantu oleh beberapa orang santri dengan ketuanya
Taufiq Bariz Pulungan.
Sedangkan usaha poliklinik merupakan kerjasama antara pesantren Darul
Muttaqien dengan dr. Raihan Batan, seorang dokter profesional yang mendirikan
poliklinik di Pesantren dengan tujuan melayani kebutuhan kesehatan pesantren
masyarakat luar pesantren. Bentuk kerjasamanya adalah pendirian klinik oleh dokter
dan kewajiban tiap santri membayar Rp. 11.000,- (sebelas ribu rupiah) tiap bulan
sebagai dana kesehatan.
4. Distribusi dan Kerjasama
Distrusi adalah proses penyaluran dari produsen ke konsumen, atau proses
yang menjembatani produsen atau penyedia jasa ke pengguna akhir. Dalam bahasa
ekonomi fungsi distribusi sangatlah penting karena tanpa distribusi maka kepentingan-
kepentingan konsumen dan produsen tidak akan tersampaikan.
Pemberdayaan ekonomi Pesantren melalui berbagai usaha-usaha produktif
dimaksudkan agar manfaatnya dirasakan oleh seluruh civitas pesantren dan
menciptakan kemandirian ekonomi. Demikian pula apa yang dilakukan oleh pesantren
Darul Muttaqien dengan pemberdayaan ekonominya juga dimaksudkan terwujudnya
distribusi manfaat ekonomi bagi seluruh santri maupun pengurus pesantren.
Apabila diteliti budidaya ikan patin dan ikan lele walaupun masih sedikit
volume produksinya, namun hasilnya didistribusikan kepada para santri sebagai lauk
57
pauk konsumsi sehari-hari. Demikian pula hasil penjualan dari perkebunan, material,
minimarket dan loundry semuanya dimasukkan dalam pendapatan pesantren yang
digunakan untuk membiayai operasional pesantren.
Sedangkan koperasi yang menyediakan seragam santri dan perlengkapan santri
hasilnya didistribusikan untuk para anggota koperasi yang terdiri dari guru dan para
pengurus pesantren.
Dalam mewujudkan pengembangan ekonomi di pesantren Darul Muttaqien,
maka pihak pesantren tidak bisa melaksanakan sendiri. Untuk itu pesantren senantiasa
melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait dalam menunjang pengembangan
ekonomi pesantren. Kerjasama yang dilakukan oleh pesantren Darul Muttaqien antara
lain dengan kementerian pertanian, kementerian Agama, para dokter maupun lembaga-
lembaga lain yang menyediakan pelatihan-pelatihan bagi peningkatan kompetensi
pengelola ekonomi pesantren,.
5. Perkembangan dan Proyeksi ke depan
Pemberdayaan ekonomi pesantren memang masih menjadi pekerjaan rumah
yang besar dari pesantren-pesantren yang adan di Indonesia. Pada satu sisi pesantren di
Indonesia rata-rata memiliki sumber daya yang banyak, berupa lahan yang luas dan
sumber daya manusia yang cukup banyak tersedia. Namun di sisi lain sumber daya yang
melimpah tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal disebabkan orientasi pesantren
yang hanya mengfokuskan dirinya pada proses pengajaran pendidikan agama dengan
mengandalkan biaya operasaionalnya dari syahriyah (iuran bulanan) santri. Pola
pemikiran seperti inilah yang perlu adanya perubahan dalam orientasi dari yang
bergantung pada iuran santri dan bantuan pihak lain menjadi pesantren yang
berkemandirian ekonomi.
Berdasarkan data keuangan pesantren maka tingkat kontribusi dari usaha-usaha
yang dijalankan sebesar Rp. 43.000.000,- (empat pulh juta rupiah) per bulan. Apabila
dibandingkan dengan uang syahriyah santri yang berjumlah Rp. 1.529.600.000,- (satu
milyar lima ratus dua pulh sembilan juta enam ratus ribu rupiah) maka tingkat
kontribusi usaha pesantren hanya menyumbang total 2,81 % dari pemasukan pesantren.
Jumlah ini relatif kecil dan kurang memberikan dampak ekonomis dalam membentuk
kemadirian pesantren.
Oleh karena itu ke depannya pesantren Darul Muttaqien menginginkan
optimalisasi sumber daya ekonominya dengan pengembangan-pengembangan yang
lebih baik dan profesional dalam usaha-usaha perekonomiannya. Sebagai rencana awal
yang sudah tersedia sarana dan prasarananya adalah pengembangan minimarket menjadi
supermarket yang melayani kebutuhan internal pesantren dan masyarakat umum. Usaha
supermarket mempunyai prospek yang cukup menjanjikan karena perubahan gaya hidup
masyarakat modern yang lebih menyukai berbelanja di supermarket daripada belanja di
pasar tradisional. Hal ini memberikan peluang usaha supermarket akan memperoleh
pendapatan yang cukup besar bagi keuangan pesantren.
Usaha yang masih dalam taraf percobaan adalah budibaya ikan lele dengan
sistem bioflog. Sementara ini pesantren Darul Muttaqien hanya membuat 10 kolam ikan
lele, apabila nanti hasil percobaannya sesuai dengan yang diharapkan, maka usaha
budidaya ikan lele akan lebih dikembangkan dengan volume produksi yang lebih besar
dan bisa di jual ke masyarakat luas. Yang menjadi faktor keuanggulan lain dari
pesantren Darul Muttaqien adalah posisinya yang tidak jauh dari pasar Parung (kurang
lebih 2 KM) sehingga akan memudahkan dalam pemasaran produksinya.
Posisi pesantren yang berada di pinggir jalan raya Parung Bogor merupakan
posisi yang strategis bagi pengembangan usaha ekonomi pesantren. Apalagi pesantren
58
masih memiliki lahan tanah wakaf kurang lebih 2 ha yang belum dimanfaatkan secara
optimal dan menempati posisi pinggir jalan raya. Potensi sumber daya ini apabila bisa
dimanfaatkan secara optimal maka akan bisa memberikan manfaat yang cukup besar
bagi terwujudnya kemandirian ekonomi pesantren bukan hanya mengandalkan iuran
bulanan santri.
B. Pengelolaan Ekonomi Pesantren Al-Ashriyah
1. Sumber Dana
Pondok Pesantren merupakan lembaga dan wahana pendidikan agama
sekaligus sebagai komunitas santri yang “ngaji“ ilmu agama Islam. Pondok Pesantren
sebagai lembaga tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung
makna keaslian (indigenous) Indonesia3, sebab keberadaanya mulai dikenal di bumi
Nusantara pada periode abad ke 13 – 17 M, dan di Jawa pada abad ke 15 – 16 M4.
Pondok pesantren pertama kali didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim
atau Syekh Maulana Magribi, yang wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 H,
bertepatan dengan tanggal 8 April 1419 M5. Menurut Ronald Alan Lukens Bull, Syekh
Maulana Malik Ibrahim mendirikan Pondok pesantren di Jawa pada tahun 1399 M
untuk menyebarkan Islam di Jawa6. Namun dapat dihitung bahwa sedikitnya pondok
pesantren telah ada sejak 300–400 tahun lampau. Usianya yang panjang ini kiranya
sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa pondok pesantren telah menjadi milik
budaya bangsa dalam bidang pendidikan, dan telah ikut serta mencerdaskan kehidupan
bangsa7.
Tradisi pondok pesantren paling tidak memiliki lima elemen dasar, yakni
pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kiai8. Menurut Martin
van Bruinessen, salah satu tradisi agung (great tradition) di Indonesia adalah tradisi
pengajaran agama Islam, yang bertujuan untuk mentransmisikanIslam tradisional
sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang
lalu. Proses belajar mengajarnya dilakukan melalui struktur, metode dan literatur
tradisional, baik berupa pendidikan formal di sekolah atau madrasah dengan jenjang
yang bertingkat, ataupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah dalam bentuk
wetonan atau sorogan. Ciri utama dari pengajaran tradisional ini adalah cara pemberian
ajarannya yang ditekankan pada penangkapan harfiah atas suatu kitab (teks) tertentu.9
Dalam perkembangan selanjutnya pesantren sangat diminati masyarakat karena
dianggap sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan berbagai ilmu-
ilmu agama dan umum tetapi juga membentuk karakter manusia yang berakhlakul
karimah sehingga terbentuk manusia yang mumpuni dalam bidang agama dengan
akhlak yang mulia. Bahkan dalam perkembangan pada saat ini sudah banyak pesantren
yang mengembangkan orientasinya disamping pengajaran pendidikan agama juga
memberdayakan ekonominya dengan mengeksplorasi sumber daya alam maupun
3 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadiana,
1997), h. 3. 4 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), h. 6.
5 Wahjortomo, Perguruan Tinggi Pesantren (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 70.
6 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Education and Religion Identity
Construction, ( Michigan:Arizona State University, 1997), h. 70 7 Mastuhu. Dinamika….., h. 7.
8 Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai
(Jakarta:LP3ES, 1982), h. 44. 9 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), h. 17.
59
sumber daya manusia yang dimilikinya serta membentuk jiwa enterpreneurship pada
santrinya.
Dalam kenyataannya keberadaan pondok pesantren di Indonesia pada
umumnya mempunyai dua modal utama dalam perekonomian yaitu modal berupa tanah
sebagai sumber daya yang luas dan tenaga santri yang merupakan faktor tenaga kerja
dalam perekonomian. Kelebihan-kelebihan inilah yang dimiliki oleh pondok pesantren
di Indonesia dan apabila dapat dimanfaatkan secara optimal akan menumbuhkan potensi
perekonomian yang sangat besar. Hal inilah yang coba dimanfaatkan oleh pendiri
pesantren Al Ashriyah untuk memberdayakan potensi perekonomian yang dimiliki
pesantren dalam rangka kemandirian pesantren dalam bidang ekonomi.
Dari hasil wawancara diketahui bahwa salah satu usaha yang dijalankan oleh
pesantren Al Ashriyah Nurul Iman adalah daur ulang sampah. Usaha faur ulang sampah
ini dijalankan dengan cara memisahkan sampah organik dan anorganik. Sampah organik
diolah menjadi bahan pupuk kompos yang bisa dijual ke petani sedangkan sampah
anorganik bisa dijual ke pengumpul barang bekas. Sumber bahan sampah yang diolah
berasal dari pesantren sendiri maupun dari pasar Parung Bogor karena posisi dari
pesantren yang berkedatan dengan pasar. Dan hasilnya setelah beberapa tahun berjalan
usaha daur ulang sampah ini bisa membeli mesin pengolah sampah, mesin pabrik roti
maupun alat-alat produksi lain yang menunjang perekonomian di pesantren Al
Ashriyah.
Dari usaha daur ulang sampah inilah kemudian pesantren Al Ashriyah
mengembangkan usaha-usaha di bidang lain seperti usaha pabrik roti, usaha produksi
tahu, tempe dan susu kedelai, pertanian, perikanan, peternakan, konveksi, entertainment,
foto copy, warnet maupun produksi air minum “Ointika”.
Disamping berasal dari modal sendiri, pengembangan usaha-usaha di pesantren
Al Ashriyah juga menerima bantuan dari berbagai pihak yang ingin berpartisipasi dalam
pengembangan pesantren. Pihak-pihak luar tersebut antara lain dari berbagai
KEDUBES negara asing yang ada di Indonesia, kementerian Kelautan dan Perikanan,
kementerian Perumahan Rakyat, kementerian Pembangunan Desa tertinggal,
kementerian Pertanian, PASPAMPRES, Pemerintah Daerah (PEMDA) Bogor, Yayasan
BUNDA SUCI, Dompet Dhuafa, maupun pihak-pihak individu yang berkenan
memberikan sumbangan ke Pesantren. Untuk penyelenggaraan pendidikannya pesantren
Al Ashriyah juga menerima dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dari
KEMENDIKBUD.
Sumber dana untuk biaya operasional pondok pesantren seluruhnya berasal
dari hasil usaha pesantren, baik usaha mandiri yang dilakukan oleh pesantren, maupun
berbentuk kerjasama dengan pihak luar. Sumber dana yang dihasilkan dari usaha
pesantren adalah hasil usaha dari unit- unit wirausaha yang menghasilkan produk dan
jasa, seperti pabrik roti, susu kedelai, percetakan, air mineral kemasan hexagonal,
perikanan, peternakan dan lain- lain. Sedangkan sumber dana yang berasal dari
kerjasama dengan pihak luar adalah meliputi; menyewakan lahan sawah seluas 200
hektar di wilayah Karawang dan kerjasama permodalan tambang batubara di
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sumatera. Kini sedang dirintis kerjasama
penanaman pohon Jinjing seluas 60 hektar di kawasan Bogor.
Dana modal wirausaha pada tahap awal diperoleh dari hasil daur ulang sampah.
Misalnya untuk membeli mesin pembuat roti dan donat, mesin pembuat tahu dan lain-
lain banyak yang berasal dari hasil daur ulang sampah. Sedangkan dana untuk
pembangunan fisik pesantren, seperti asrama, masjid, ruang belajar dan sebagainya
lebih banyak diperoleh dari sumbangan para dermawan, baik dalam bentuk fisik
bangunan maupun uang tunai melalui rekening pesantren.
60
Seluruh dana/ keuangan bermuara ke pesantren dan pengelola keuangan
dikontrol dan dipegang oleh pimpinan pondok pesantren.
2. Jenis dan Bentuk Kelembagaan
a. Koperasi Pesantren
Koperasi Pondok pesantren Al- Ashriyyah Nurul Iman bernama KOPERASI
NURUL IMAN SEJAHTERA dengan akta pendirian oleh notaris Subijanto
Sastrodirdjo, SH, MH nomor 14 tanggal 26 April 2012. Sebelum berbadan hukum, koperasi Nurul Iman dalam operasionalnya sempat
beberapa kali pindah kantor tempat beroprasi. Tahun 2003 berkantor di sebuah gedung yang
saat ini dipergunakan sebagai asrama santri. Kemudian pada tahun 2005, berpindah di salah satu
ruang masjid, selama lebih kurang 4 tahun. Selanjutnya tahun 2009 berpindah lagi di gedung
yang sebelumnya ditempati oleh para dewan asatidz dan berkantor selama 2 tahun. Semakin
banyaknya santri yang belajar di Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, maka kemudian
dibangun gedung khusus untuk Koperasi, dan mulai menempati. kantor baru tersebut sejak
tahun 2011 sampai sekarang. Selain itu, semakin bertambahnya unit usaha di Pondok Pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman, koperasi kini sudah berbadan hukum dan namanya menjadi Koperasi
Nurul Iman Sejahtera.
Koperasi merupakan penggerak sekaligus pengelola berbagai bidang usaha, termasuk
pemasaran berbagai produk yang dihasilkan oleh pondok pesantren, baik produk yang dijual
maupun yang hanya untuk internal pesantren. Dalam transaksi jual beli menggunakan cara
pembayaran online bekerja sama dengan BRI Syari’ah. Santri dan seluruh pengelola/
Pembina pesantren tidak memegang uang cash, tetapi seluruhnya berada di rekening
pesantren.
Demikian juga pengadaan seluruh material dan bahan pangan (seperti
pengadaan kedelai, terigu, gula dan lain- lain) seluruhnya ditangani oleh koperasi.
Sehingga yang memberikan laporan keuangan adalah pihak koperasi bekerjasama
dengan pengelola unit wirausaha. Secara kordinatif, koperasi menangani unit- unit wirausaha yang ada di pondok
pesantren, yaitu pabrik air hexagonal “Ointika”, pabrik tahu dan tempe, pabrik roti, Nurul Iman
Offset, budidaya ikan air tawar dan ikan hias, pembuatan pupuk organic, pertanian, daur ulang
sampah, biogas, peternakan sapi dan kambing, toserba dan susu kedelai.
Susunan Pengurus Koperasi adalah:
Ketua : Umi Waheeda binti Abdul Rahman, S.Psi, M.Si
Sekretaris I : Syarifah Rodiyyahbinti habib Saggaf
Sekretaris II : Syarifah Rugayyah binti Habib Saggaf
Pengawas : Habib Muhammad Waliyullah bin habib Saggaf
Habib Idrus, ST
b. Daur Ulang Sampah
Daur ulang sampah Nurul Iman merupakan salah satu unit usaha di Yayasan
al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School. Berawal dari tumpukan sampah
yang dikumpulkan oleh bidang kebersihan Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
yang semakin hari semakin bertambah sehingga sangat mengganggu kelestarian
lingkungan.. Dari sampah yang dikumpukan oleh bidang kebersihan itulah, kemudian
petugas daur ulang menyortir dan menjual jenis sampah yang bisa didaur ulang sebagai
tambahan pemenuhan kebutuhan pesantren.
Pada tahun 2004, daur ulang sampah Nurul Iman diresmikan secara langsung
oleh Abah dan Umi, dengan tujuan untuk “melestarikan lingkungan hidup dan
meningkatkan kretivitas santri yang mandiri”. Pada tahun 2006 unit daur ulang sampah
membeli mesin daur ulang organik yang dipergunakan untuk mengolah sampah organik
menjadi pupuk kompos. Pupuk tersebut kemudian dimanfaatkan untuk pertanian
61
pesantren dan didistribusikan pada petani luar. Daur ulang sampah Nurul Iman
mempunyai slogan 3R (reduce, re-use dan recycle): mengurangi, menggunakan kembali
dan mendaur ulang.
Unit usaha daur ulang semakin pesat dan berkembang sehingga pada tahun
2011 memiliki mesin cacah plastik. Jenis plastik yang dapat diolah yaitu jenis plastik
HDPE, PET/PETE, PVC, LDPE, PP, PS dan sebagainya.
Proses yang dilakukan oleh unit daur ulang sampah Nurul Iman adalah:
1. Pengumpulan
2. Pemilahan
3. Penggilingan
4. Pemrosesan
5. Pendistribusian
Dengan berbekal peralatan seperti asrama bank sampah, mesin pencacah
sampah organik dan mesin pencacah plastik, unit usaha daur ulang akan mengolah dan
mendaur ulang sampah menjadi barang jadi yang bisa dipakai kembali.
Hasil dari usaha daur ulang sampah digunakan untuk membeli berbagai
peralatan kewirausahaan, salah satunya adalah mesin pembuat roti. Saat ini usaha daur
ulang sampah menghasilkan keuntungan Rp 2 juta perminggu.
c. Toserba
Toserba Nurul Iman merupakan bidang usaha yang pertama kali berdiri di Pondok
Pesantren al- Ashriyyah Nurul Iman. Berawal dari keinginan para santri yang ingin
menyediakan makanan ringan untuk rekan-rekannya, beberapa santri menghadap Abah
(panggilan untuk As Syekh Habib Saggaf Bin Mahdi Bin Syekh Abu Bakar Bin Salim)
bermaksud mengutarakan niatnya. Dengan diberi modal sebesar Rp 50.000,00 oleh Abah
berdirilah embrio Toserba Nurul Iman, tepatnya pada tahun 1999.
Usaha tersebut sempat vakum selama beberapa tahun karena banyaknya pedagang dari
luar pondok yang menjajakan dagangannya di kompleks Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul
Iman. Selain itu juga karena pada saat itu banyak wali santri yang membantu memberikan
barang kebutuhan sehari-hari dalam jumlah yang cukup banyak. Baru pada pertengahan tahun
2003, embrio Toserba Nurul Iman dapat eksis beroperasi
Saat ini Toserba Nurul Iman menjadi penyuplai kebutuhan santri dengan menyediakan
berbagai macam kebutuhan sehari-hari, diantaranya perlengkapan sekolah seperti buku, alat-alat
tulis, kitab; keperluan sehari-hari seperti peralatan MCK, peralatan makan, snack & makanan
kecil, dan sebagainya; Toserba Nurul Iman juga melayani penyimpanan uang dalam bentuk
tabungan yang pada gilirannya berguna dalam transaksi pembelian. Tidak hanya itu, Toserba
Nurul Iman juga menyediakan kebutuhan sembako yang khusus diperuntukkan bagi para dewan
asatidz yang sudah berkeluarga. Dari semua kegiatan operasional yang dikordinasi oleh Toserta,
Toserba Nurul Iman dapat menggerakkan ekonomi pesantren dengan omzet sebesar ± Rp
240.000.000,00 per bulan.
Toserba Nurul Iman dalam transaksi menerapkan sistem yang unik. yaitu tidak
menggunakan uang cash dalam transaksi pembelian melainkan menggunakan voucher. Voucher
tersebut diperoleh dengan menabung uang di BRI Syari’ah, yang selanjutnya digunakan sebagai
alat transaksi pembelian.
d. Pertanian
Pertanian al-Ashriyyah Nurul Iman, atau sering juga disebut dengan Departemen
Pertanian Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman (DEPTANI), merupakan salah satu unit
usaha yang pertama kali berdiri di Yayasan al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School,
Departemen Pertanian al-Ashriyyah Nurul Iman tepatnya didirikan pada tanggal 5 Maret 2004.
Departemen Pertanian mempunyai visi dan misi sebagai berikut:
62
Visi “Mengembangkan pertanian modern berteknoogi tinggi dan bertaraf internasional menuju
swasembada pangan dan konversi bahan makanan pokok masyarakat serta memenuhi kebutuhan
pangan harian pada Yayasan al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School.”
Misi
1) Menjadikan pertanian Nurul Iman sebagai pertanian percontohan yang
menerapkan teknologi modern bertaraf internasional;
2) Menjadikan pertanian Nurul Iman sebagai sarana riset untuk
mengembangkan teknologi pertanian modern;
3) Ikut berpartisipasi dalam merealisasikan program konversi bahan makanan
pokok masyarakat Indonesia dari nasi ke bahan makanan pokok jagung,
singkong dan lain sebagainya;
4) Menggalakan program go green Indonesia secara terus menerus dan
berkesinambungan. Pada tahun 2012-2013 Departemen Pertanian al-Ashriyyah Nurul Iman memiliki
Agenda Kegiatan untuk menanam berbagai macam pohon dan tanaman, diantaranya pohon
kalba, terong, kangkung, pepaya, kacang panjang, kacang tanah, singkong, kunyit, temulawak,
lengkuas, dan trembesi.
Selain pertanian yang berada di sekitar komplek pesantren, pondok pesantren
mempunyai sawah seluas 200 hektar di daerah Karawang. Sawah tersebut menjadi salah satu
sumber pokok pengadaan beras untuk kebutuhan pangan para santri. Untuk saat ini lahan sawah
tidak dikelola oleh pesantren, tetapi disewakan kepada pihak luar. Hasil dari sewa tersebut
dibelikan beras untuk memenuhi bahan pangan seluruh warga pesantren.
Sedangkan di wilayah Bogor pesantran Al Ashriyah juga memiliki lahan kurang lebih
60 hektar yang rencananya akan ditanami pohon jinjing, jagung, trembesi maupun sayur mayur
untuk kebutuhan pesantren. Pemilihan pohon jinjing ini karena perawatannya yang tidak terlalu
rumit dan dalam jangka waktu tiga tahun sudah bisa dipetik hasilnya. Komoditas pohon jinjing
ini sangat diminati oleh negara-negara Korea maupun China. Namun dengan luasnya lahan
yang dimiliki oleh pesantren maka upaya penanaman pohon jinjing secara luas juga
membutuhkan dana yang sangat besar.
Produk sayur mayur seperti daun singkong dan daun pepaya dimanfaatkan untuk
kebutuhan internal pesantren. Akan tetapi jumlah produksinya belum mencukupi untuk
kebutuhan pesantren yang menghidupi kurang lebih 11.000 santri dan guru di pesantren.
Sehingga setiap hari pesantren Al Ashriyah masih membeli produk sayur mayur dari petani
untuk mencukupi kebutuhan konsumsi pesantren.
e. Perikanan
Daerah Parung, Bogor merupakan kawasan penghasil ikan air tawar terbesar di
wilayah Jabodetabek. Di daerah Parung sendiri ada banyak petani ikan dengan berbagai macam
produk ikan, baik ikan konsumsi maupun ikan hias. Sebagian besar pelaku usaha perikanan
membudidayakan ikan konsumsi, seperti: ikan lele, ikan mas, ikan mujair, ikan nila dll. Produk
ikan nila di daerah Parung masih tergolong langka dibandingkan dengan ikan-ikan konsumsi
lain. Ikan nila yang banyak dibudidayakan oleh para pelaku usaha perikanan di daerah Parung
adalah ikan nila jenis nila hitam. Sementara yang dikembangkan di Yayasan al-Ashriyyah Nurul
Iman Islamic Boarding School adalah produk ikan nila merah yang merupakan salah satu jenis
ikan konsumsi yang masih sangat jarang dibudidayakan oleh kebanyakan pelaku usaha
perikanan, khususnya di daerah Parung.
Usaha perikanan di Yayasan al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School telah
bergulir sejak tahun 2005 hingga sekarang. Alasan dibukanya sektor usaha perikanan karena
1) Potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Pondok Pesantren Al Ashriyyah
Nurul Iman sangat memungkinkan untuk budidaya ikan. Secara keseluruhan
terdapat 35 hektar empang yang terbentang di sebelah barat Pondok Pesantren
63
Al Ashriyyah Nurul Iman, namun saat ini hanya sekitar 6 hektar yang
dimanfaatkan.
2) Potensi sumber daya manusia yang dimiliki oleh Pondok Pesantren Al
Ashriyyah Nurul Iman sangat memungkinkan untuk pengembangan budidaya
ikan, khususnya santri pria. Hingga saat ini sedikitnya terdapat 1.000 santri pria
yang dapat diterjunkan untuk pengembangan berbagai bidang usaha, termasuk
perikanan. Selain itu juga untuk memberikan kesempatan kepada santri Pondok
Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman untuk belajar dan berkarya di bidang
perikanan.
3) Potensi alam yang terdapat di Bogor, khususnya Parung sangat memungkinkan
bagi pengembangan budidaya ikan air tawar. Daerah Parung sendiri merupakan
daerah penghasil ikan air tawar terbesar di Jawa Barat. Usaha perikanan Yayasan al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School
memiliki beberapa keunggulan yang tidak dimiliki oleh usaha perikanan lain, khususnya usaha-
usaha perikanan di daerah Parung. Keunggulan yang utama adalah karena usaha perikanan di
Yayasan al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School menggunakan metode
AQUACULTURE, yaitu metode budidaya ikan dengan menggunakan media kolam buatan
berbahan dasar serat fiber berbentuk lingkaran dan oval. Metode ini memberikan beberapa
keunggulan, antara lain:
1) Kolam ikan berbentuk lingkaran atau oval yang memungkinkan ikan untuk
bergerak dengan bebas tanpa menemukan sudut-sudut mati pada kolam.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh konsultan perusahaan kami, hal tersebut
akan sangat baik bagi perkembangan ikan.
2) Bentuk kolam yang berbentuk lingkaran atau oval memungkinkan aliran air
dapat terus bergerak dengan sangat sedikit sekali meninggalkan kotoran yang
umumnya tertinggal dan mengendap pada sudut-sudut kolam. Air yang lebih
bersih tentunya akan memberikan dampak yang sangat baik bagi perkembangan
ikan. Usaha perikanan di Yayasan al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School
memiliki misi untuk menyediakan ikan-ikan konsumsi air tawar yang menyehatkan dengan
harga terjangkau untuk masyarakat lokal dan nasional serta mengembangkan industri ikan
konsumsi air tawar di Indonesia, khususnya di daerah Bogor, Jawa Barat. Dengan tercapainya
misi tersebut, diharapkan nantinya usaha perikanan dapat menjadi perusahaan penyedia ikan
konsumsi air tawar berkualitas tinggi nomor satu di Indonesia.
f. Pabrik Roti
Untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan Pondok Pesantren, Abah
dengan dibantu para santrinya mendaur ulang sampah yang ada di Pondok Pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman. Hasil dari daur ulang sampah tersebut dipergunakan untuk
mendirikan usaha pembuatan roti, dan secara resmi berdirilah Pabrik Roti pada tahun
2006. Melalui pabrik roti pimpinan pesantren mengajarkan kepada para santrinya selain
menguasai ilmu-ilmu agama juga menguasai ilmu kewirausahaan. Selain itu, beliau
selalu menekankan agar santri mampu menjadi santri mandiri tanpa bergantung kepada
orang lain yaitu dengan berwirausaha.
Saat ini, Pabrik Roti Nurul Iman mengembangkan usahanya dengan
memproduksi donat. Pabrik Roti Nurul Iman menghabiskan bahan baku untuk
memproduksi roti sebanyak 24 bal adonan per hari, sementara untuk memproduksi
donat menghabiskan bahan baku sebanyak 14 bal adonan per hari. Dari jumlah tersebut,
produksi roti untuk saat ini mencapai 7.200 biji per hari dengan distribusi ke santri putra
sebanyak 4.000 biji dan santri putri sebanyak 3.200 biji. Sedangkan produksi donat
64
mencapai 3000 biji per hari, dengan distribusi untuk santri putra 1500 biji dan santri
putri 1500 biji. Harga roti/ donat Rp 1.000,-/ buah
Dengan jumlah produksi roti sebesar 7.200 biji per hari dan donut 3.000 biji
per hari dan semua habis terjual. Maka dapat diperkirakan usaha pembuatan roti dan
donat akan memperoleh omzet Rp. 10.200.000,- per hari nya. Dan karena ongkos
tenaga kerja yang gratis maka usaha pembuatan roti ini apabila diasumsikan keuntungan
per bijinya Rp. 600,-, maka dalam sehari akan memberikan tingkat keuntungan sebesar
Rp. 6.120.000,- dan dalam sebulan tingkat keuntungannya sebesar Rp. 183.600.000,-
(seratus delapan puluh tiga juta enam ratus ribu rupiah).
g. Nurul Iman Offset Pada awal bulan Juni tahun 2007, Abah as-Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh
Abi Bakar bin Salim telah membeli sebuah mesin Offset berukuran sedang, yang dibeli dengan
harga kurang lebih Rp 365.000.000,00. Keberadaan mesin inilah yang melahirkan keputusan
bahwa, di Yayasan Al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School akan berdiri sebuah
usaha percetakan. Kemudian berdasarkan surat keputusan pimpinan Yayasan Al-Ashriyyah
Nurul Iman Islamic Boarding School nomor: 039/YAPPANI/VI-2007 tentang pendirian usaha
percetakan, memutuskan bahwa terhitung mulai tanggal 03 Juni 2007, berdiri sebuah usaha
percetakan yang sekarang dinamai “Nurul Iman Offset“. Dalam perkembangannya percetakan
ini mencetak berbagai macam kebutuhan cetak seperti buletin, majalah, undangan, poster,
kalender, kartu nama, buku, modul pelajaran, buku-buku LKS dari tingkat SD sampai dengan
tingkat Perguruan Tinggi (mahasiswa), dan buku penunjang pelajaran lainnya.
Setelah mengalami perkembangan yang pesat, tak hanya dengan mesin offset yang
ada, terdapat pula mesin foto copy dengan merek Canon seharga Rp 25.000.000,00 yang
mampu memfoto copy kertas sebanyak 10 ribu lembar per jam. Ada juga mesin foto copy
bermerek Rizo dengan harga Rp 20.000.000,00 yang mampu memfoto copy kertas sebanyak 20
ribu lembar per jam.
Seiring berjalannya waktu, muncul keinginan untuk meningkatkan kualitas dan variasi
produk, maka Nurul Iman Offset kemudian menambah peralatan produksi dengan membeli
mesin dan bahan pembuatan pin seharga kurang lebih Rp. 2.000.000,00 serta alat dan bahan
pembuatan KTM dan ID card seharga Rp. 300.000,00 dan masih banyak lagi alat maupun hasil
produksi yang dihasilkan oleh Nurul Iman offset.
Saat ini, Nurul Iman Offset mampu melayani order pembuatan berbagai jenis produk
offset dengan jumlah tak kurang dari 20 macam, diantaranya cetak buku, cetak majalah, cetak
undangan, kalender, kop surat, kwitansi, id card, pembuatan pin, plakat, papan nama, jasa
desain grafis, banner, x banner, poster, stiker, name tag, laminating, penjilidan, penjilidan spiral,
bingkai, dan sebagainya.
h. Produk Air Hexagonal “Ointika” Berdasarkan penelitian Kementrian Pekerjaan Umum yang dilansir oleh media massa
nasional di awal tahun 2007 terungkap 13 sungai di Jakarta tercemar berbagai macam bakteri
sehingga dapat menyebabkan berbagai macam penyakit bagi yang mengkonsumsi air tersebut.
Dengan memperhatikan kondisi yang memperihatinkan bagi masyarkat Indonesia yang
notabenenya adalah negara agraris namun saat ini keberadaanya terusik oleh berbagai
pencemaran, maka Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman memproduksi air minum
OINTIKA melalui tekhnologi Reverse Osmosis yang memiliki berbagai manfaat dan
keunggulan serta dapat meningkatkan kesehatan konsumen.
Perusahaan air minum ini menyediakan air murni alami yang terdapat di kedalaman
120 meter di bawah permukaan tanah. Melalui proses penyulingan yang higienis menggunakan
teknologi reverse osmosis, air hexagonal didapatkan. Dinamakan hexagonal karena molekul air
jenis ini memiliki enam (hexa) sisi. Air ini memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan
dengan air pentagonal pada umumnya. Diantaranya, ikatan molekul air hexagonal labih kecil
dan lebih mudah diterima oleh sel tubuh, sehingga memungkinkan terhindarnya tubuh dari
berbagai macam penyakit.
65
Selain itu, air hexagonal memiliki daya teraphy dan sangat berkhasiat bagi kesehatan
manusia, diantaranya:
1) Kaya akan oksigen.
2) Steril, bersih dari kuman, bakteri dan virus yang menyebabkan berbagai penyakit.
3) Meringankan fungsi kerja organ tubuh seperti ginjal dan darah.
4) Mudah diserap tubuh dan membawa sisa racun keluar dari diding sel tubuh
sehingga tubuh lebih sehat.
5) Dapat menggantikan cairan dalam tubuh yang notabene 60% adalah cairan
hexagonal.
6) Membantu proses penyembuhan dan menjaga kondisi kesehatan.
7) Berpotensi lebih besar dalam menyeimbangkan suhu dalam tubuh.
8) Apabila digunakan untuk menanak nasi, maka nasi tersebut lebih tahan lama dan
tidak cepat basi.
9) Mencuci ikan laut untuk mengurangi bau amis dan lebih segar.
Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman memproduksi jenis air minum murni
hexagonal OINTIKA dengan berbagai kemasan yaitu:
1) Kemasan gelas 220 ml (Rp 20.000,00/dus)
2) Kemasan botol ukuran 600 ml (Rp 2.500,00/botol)
3) Kemasan botol ukuran 1,5 liter (Rp 5.000,00/botol)
4) Kemasan galon ukuran 19 liter. (Rp 40.000,00/galon)
5) Isi ulang galon (Rp 11.000,00)
Dengan mengkonsumsi air minum hexagonal OINTIKA, kita ikut membantu
pemerintah dalam program pola hidup sehat masyarakat Indonesia dengan memberikan air
murni hexagonal dengan harga terjangkau serta mengembangkan industri air murni hexagonal
di Indonesia khususnya di daerah Bogor, Jawa Barat.
Produksi air minum OINTIKA yang dijalankan oleh pesantren Nurul Iman tidak
dilaksanakan secara kontinyu akan tetapi menunggu pesanan dari pelanggan. Hal ini disebabkan
biaya produksinya yang cukup besar dan tingkat pemasaran air minum kemasan yang
membutuhkan biaya besar akibat tingkat persaingan yang tinggi dalam usaha air minum
kemasan. Sehingga tingkat produksi dan keuntungan dari hasil usaha air minum kemasan tidak
bisa diprediksi tiap bulannya. Hal ini membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak dalam
rangka pemasaran air minum dalam kemasan produksi pesantren Al Ashriyah Nurul Iman
sehingga bisa dikenal secara luas ke masyarakat dan menambah tingkat keuntungan bagi
pesantren.
i. Konveksi
Konveksi Nurul Iman (KONI) merupakan salah satu unit Koperasi Nurul Iman
Sejahtera yang bergerak di bidang jahit menjahit. Berdirinya Konveksi Nurul Iman berawal
pada tahun 2009 dimana kegiatan jahit menjahit bermula dengan jahitan manual (jahitan tangan)
oleh sekelompok santri yang menamakan diri sebagai Asrama Umi Olga Fatma Tailor. Saat itu,
Asrama Umi Olga Fatma Tailor sudah menghasilkan produk berupa jahit peci sarung, baju
sarung, celana sarung, dan vermak. Meskipun masih dilakukan secara manual, hasil jahitan
Asrama Umi Olga Fatma Tailor mampu memberikan kepuasan kepada konsumen bahkan
semakin bertambah banyak konsumen yang membutuhkan jasa menjahit.
Perkembangan yang diraih oleh Asrama Umi Olga Fatma Tailor mendapat perhatian
dari pimpinan yayasan Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin
Salim. Tepat pada tanggal 12 Februari 2010, Asrama Umi Olga Fatma Tailor berganti nama
menjadi Konveksi Nurul Iman (KONI) sekaligus peresmian ruang praktek Konveksi Nurul
Iman (KONI) oleh Yayasan al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School.
Saat ini, Konveksi Nurul Iman menerima jasa menjahit antara lain:
1) Vermak
2) Jahit Baju Koko
3) Jahit Baju Gamis
4) Jahit Baju Jubah
66
5) Jahit Baju Safari
6) Jahit Baju Kemeja
7) Jahit Baju Jas Almamater
8) Jahit Baju Seragam Sekolah
9) Jahit Baju Toga
10) Jahit Celana Seragam
11) Jahit Celana Samurai
12) Dan lain-lain
j. NIC Barbershop
Terlihat rapihnya suatu pesantren itu juga dilihat dari kerapihan penampilan para
santrinya. Abah, Syayiduna Syeh Habib Saggaf bin Syeh Abi Bakar bin Salim sangat
menekankan akan kerapihan dan kedisiplinan para santrinya, bahkan menganjurkan kepada para
santri putra untuk mencukur rambutnya hingga 3 cm demi menjaga kesehatan dan kerapihan.
Sepeninggalnya Abah datang seorang dermawan yaitu Ibu Lisa. Beliau adalah rekan
bahkan telah menganggap Abah sebagai keluarganya sendiri. Ibu Lisa bekerja sebagai manager
sekaligus pemilik salon terbesar di Jakarta, Lisa Salon. Awalnya beliau membantu dalam
perapihan rambut santri putra dengan mengirim 10 karyawannya untuk mencukur rambut santri
putra yang dilakukan 2 kali dalam 1 minggu.
Dalam satu hari mampu mencukur mencapai 150 orang. Namun, karena banyaknya
jumlah santri yang ada di Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman, usaha tersebut terasa
kurang maksimal.
Kemudian Ibu Lisa memberikan bangunan dengan ukuran 6 x 5 meter sebagai gedung
salon yang diresmikan pada tanggal 19 September 2011 oleh Umi Waheeda dan Ibu Lisa. Salon
Nurul Iman sekarang ini dipercayakan kepada santri yang diketuai oleh Ust. Fakhrurozi dengan
16 anggota tenaga kerja. Sesuai dengan motto Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, free
and quality education, Salon Nurul Iman ini pun sama sekali tidak memungut biaya dalam
melayani para santri.
k. Tahu, Tempe, dan Susu Kedelai
Pabrik tahu, tempe berdiri pada tanggal 30 November 2007, diresmikan langsung oleh
pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren al-Ashriyah Nurul Iman, as-Syekh al-Habib Saggaf bin
Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim beserta Bapak Ketua MPR RI saat itu, Bapak M. Hidayat
Nur Wahid. Kemudian pada tanggal 23 November 2010, mulai memproduksi susu kedelai guna
membantu mencukupi pemenuhan kebutuhan santri.
Tahu dan tempe yang merupakan salah satu makanan khas Bangsa Indonesia,
diproduksi sebagai salah satu menu makanan sehari-hari bagi santri Pondok Pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman, sedangkan susu kedelai dimaksudkan sebagai penambah asupan gizi
bagi santri, diperuntukkan khusus bagi para santri dengan dibuat dari bahan dasar alami tanpa
bahan pengawet dan pemanis buatan. Sehingga dari SDM yang baik dan sehat akan muncul
kreatifitas yang baik pula serta sebagai penyeimbang bagi perekonomian di Pondok Pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman. Lebih dari itu, dengan mengkonsumsi tahu, tempe, dan susu kedelai
murni, maka kita ikut memperbaiki generasi bangsa dimana kandungan protein yang terdapat di
dalamnya mampu meningkatkan SDM bagi generasi Bangsa Indonesia.
Tahu tempe tidak dijual kepada santri, tetapi dijadikan menu makan sehari- hari, yaitu
sebagai lauk pauk. Tahu tempe menjadi lauk pauk pokok yang diberikan kepada santri.
Sedangkan produksi susu kedelai di jual kepada santri dengan harga Rp. 1.000,- per
bungkusnya. Dari penjualan susu kedelai ini pihak pesantren bisa memperoleh tingkat
keuntungan kurang lebih Rp. 4.000.000 per harinya atau Rp. 120.000.000, - per bulannya.
l. Peternakan
67
Peternakan di Yayasan al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School berawal
pada tahun 2007 saat Abah memberi amanat berupa 5 ekor kambing kepada salah satu santrinya
yang bernama Jalaludin untuk dipelihara. Pemeliharaan kambing sebanyak 5 ekor tersebut
dimaksudkan sebagai masa percobaan dalam usaha peternakan yang pada saat itu memakan
waktu selama 2 tahun. Dalam kurun waktu 2 tahun tersebut, kambing yang tadinya berjumlah 5
ekor tersebut berkembang biak menjadi 12 ekor.
Perkembangan peternakan yang dicapai oleh Jalaludin selama masa percobaan sangat
signifikan, kemudian dibentuklah bidang peternakan di Yayasan al-Ashriyyah Nurul Iman
Islamic Boarding School. Sebagai penunjang usaha, kemudian pada tanggal 3 Maret 2011
dibangun kandang sapi dengan ukuran 6 x 18 meter. Pada saat ini peternakan dibagi menjadi 2
yaitu peternakan kambing dan sapi, dengan jumlah ternak masing-masing 125 ekor kambing
dan 52 ekor sapi. Adanya peternakan adalah sebagai objek pelatihan dan penelitian bagi para
mahasiswa dan santri baik dari dalam maupun luar pesantren dan sebagai bentuk kewirauhaan
yang membantu kesejahteraan pesantren.
Peternakan Nurul Iman mempunyai program antara lain:
a. Penelitian
b. Pelatihan
c. Pemeliharaan
d. Penggemukan
e. Penyedian hewan kurban dan aqiqah
m. Entertainment
Dengan jumlah santri yang cukup besar dan adanya kewajiban pengabdian
kepada pesantren selama 2 tahun, maka setiap tahunnya pesantren Al Ashriyah Nurul
Iman mempunyai sumber daya manusia yang melimpah dengan biaya yang minimal.
Hal ini mendorong pihak pesantren untuk memberdayakan setiap sumber daya manusia
yang dimilikinya dengan meningkatkan kemampuan tiap-tiap santri dalam
berwirausaha. Salah satu bidang wirausaha yang dijalankan oleh pesantren Al Ashriyah
adalah entertainment yang meliputi jasa rias pengantin dan kesenian musik hadrah dan
kelompok marawis.
Jasa entertainment ini masih bersifat insidentil ketika ada pemesanan dari
masyarakat. Namun berdasarkan wawancara dengan Umi Waheeda, jasa-jasa
entertainment yang dilaksanakan oleh pesantren Al Ashriyah Nurul Iman mampu
memberikan tingkat keuntungan minimal Rp. 2.000.000,- per bulannya. Adapun
pemasarannya hanya mengandalkan relasi dari Umi Waheeda maupun pihak-pihak yang
terkait dengan pesantren Al Ashriyah Nurul Iman.
n. Warnet
Pondok Pesantren Al Ashriyah Nurul Iman adalah pesantren yang menerapkan
model pendidikan keagamaan modern mengadopsi kurikulum dari KEMENDIKBUD
dalam pendidikan formal yang dilaksanakannya. Disamping itu pesantren juga masih
mengajarkan berbagai kajian keagamaan dengan model salafi dari berbagai kitab-kitab
kuning yang diajarkannya.
Sebagai konsekwensi pola pendidikan modern, maka pendidikan yang
dijalankannya harus mengikuti perkembangan-perkembangan terbaru dalam dunia
pendidikan. Hal inilah yang melandasi terbentuknya unit usaha WARNET dalam
pesantren, sebagai media komunikasi dan informasi bagi santri dalam mengembangkan
keilmuannya. Usaha WARNET yang dijalankan oleh pesantern Al Ashriyah hanya
diperuntukkan bagi santri-santrinya dan digunakan dalam waktu-waktu yang telah
ditentukan serta hanya bertujuan untuk menunjang sistem informasi dan komunikasi
bagi santri di pesantren.
68
o. Paving Block
Mulai tahun 2012, pihak pesantren Al Ashriyah juga mencoba
mengembangkan kegiatan usahanya di bidang pembuatan Paving Block untuk
pembuatan jalan maupun halaman. Usaha pembuatan Paving Block ini didasari
pemikiran untuk pengembangan jenis usaha dengan mengandalkan sumber daya yang
dimiliki oleh pesantren.
Dengan pemanfaatan informasi dan teknologi serta ketersediaan bahan baku,
maka produksi Paving Block mulai dijalankan oleh Pesantren Al Ashriyah dengan total
volume produksi 200 biji per harinya. Paving Block buatan pesantren Al Ashriyah ini
lebih keras dan kuat daripada paving block yang dijual di pasaran karena menggunakan
campuran plastik dalam pembuatannya sehingga hasilnya lebih kuat dan tidak mudah
patah.
Produksi Paving block yang dijalankan oleh pesantren Al Ashriyah Nurul Iman
saat ini hanya bersifat insidental dan tidak masif karena kendala pemasaran yang masih
terbatas pada pemesanan saja. Hal ini karena bahan baku pembuatannya juga relatif
mahal, sehingga apabila diproduksi secara massal tetapi pemasarannya masih terbatas,
maka akan ada modal yang menganggur (idle) dan kurang memberi manfaat bagi
pesantren.
p. Tambang Batubara
Dalam rangka pengembangan usahanya, pondok pesantren Al Ashriyah Nurul
Iman bekerjasama dengan Yayasan BUDHA SUCI mengembangkan usaha tambang
Batubara yang berlokasi di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sumatera.
Usaha Batubara ini sudah berjalan semenjak Habib Saggaf masih hidup dan dilanjutkan
sampai saat ini.
Usaha tambang Batu bara ini dijalankan oleh pihak pesantren bekerjasama
dengan yayasan Bunda Suci dengan sistem bagi hasil 70% untuk pesantren dan 30%
untuk yayasan Bunda Suci. Dan walaupun tidak ada data yang akurat mengenai hasil
usahanya, nampaknya hasil dari usaha tambang batubara ini menyumbang pemasukan
terbesar bagi operasional pesantren Al Ashriyah Nurul Iman.
3. Pihak Pengelola
Dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi Pondok Pesantren, maka
pondok pesantren Al Ashriyah mengembangkan berbagai jenis usaha yang bisa
memberikan tingkat keuntungan guna menutupi biaya operasional pesantren. Keinginan
mengembangkan berbagai unit usaha ini didasarkan pada prinsip pesantren yang ingin
mengembangkan pendidikan keagamaan secara gratis dan berkualitas sehingga
menciptakan SDM santri yang mumpuni dalam bidang agama dan enterpreneurship.
Unit-unit usaha yang dikembangkan oleh pesantren Al Ashriyah Nurul Iman
hingga saat ini mencakup 16 jenis unit usaha yang semua bertujuan untuk menutupi
biaya operasional pesantren dan pengembangan pesantren mengarah pada pendidikan
yang berkualitas. Untuk itu diperlukan pengelolaan usaha yang profesional, mandiri dan
bermutu.
Dalam rangka meraih tujuan itu maka Umi Waheeda selaku pimpinan Pondok
Pesantren Al Ashriyah menerapkan kebijakan one gates system dalam pengelolaan unit-
unit usaha dalam pesantren. Dalam kebijakannya semua arus uang ataupun barang yang
keluar dan masuk dalam unit usaha harus dilaporkan setiap hari kepada Umi Waheeda.
Dari laporan yang masuk tersebut, maka akan dirumuskan langkah-langkah berikutnya
dalam distribusi hasil-hasil unit usaha. Dan semua transaksi keuangan keluar dan
69
masuknya memanfaatkan fasilitas perbankan yang pada saat ini menggunakan BRI
Syariah.
Dalam semua bidang unit usaha, Umi Waheeda menunjuk koordinator yang
bertanggung jawab atas unit usaha tersebut. Dan koordinator unit usaha harus
melaporkan pekerjaannya maksimal jam 9 pagi setiap harinya. Dengan konsep seperti
ini maka setiap perencanaan bisa dilakukan setiap harinya.
Sedangkan SDM pengelola unit usaha yang ada di Pesantren Al Ashriyah rata-
rata diambil dari santri yang sudah lulus pendidikan S1 dan mempunyai kewajiban
mengabdi ke Pesantren selama 2 tahun. Para santri ini harus mengabdi di pesantren
dengan terlibat langsung dalam unit-unit usaha di pesantren baik pertanian, peternakan,
perkebunan, pabrik tahu, tempe dan susu kedelai maupun unit-unit usaha lain di
pesantren. Sebagai koordinator unit usaha biasanya pesantren menunjuk tenaga-tenaga
yang sudah profesional di bidang tersebut dan mau bekerjasama dengan pesantren.
Untuk lebih mengoptimalkan fungsi manajemen, maka Umi Waheeda
membagi tugas dalam pesantren menjadi 3 departemen yaitu Departemen Pendidikan,
Kerjasama dan Wirausaha. Ketiga departemen ini masing-masing bertanggung jawab
dalam bidangnya dan secara keseluruhan beretanggung jawaba kepada pimpinan
Pesantren.
4. Distribusi dan Kerjasama
Seluruh program wirausaha dikerjakan oleh para alumni yang sedang
mengabdi selama dua tahun dan dibantu oleh santri yang masih aktif secara terbatas dan
bergiliran. Kecuali pengembangan dan pengelolaan sawah di daerah Karawang
diberdayakan dengan cara disewakan. Cara seperti ini dilakukan terutama karena dua
pertimbangan. Pertama tempat relatif jauh dari pesantren, sehingga harus ada
pengelolaan dan pengawasan secara intensif. Hal ini akan dapat menguras energi yang
cukup besar. Kedua kondisi lahan yang kurang baik (kw 3), sehingga produk yang
dihasilkan tidak dapat diprediksi (rata- rata hanya satu kali panen dalam satu tahun).
Seluruh wirausaha diperuntukan bagi para santri, baik berupa produk maupun
jasa. Dari dua hal tersebut (produksi dan jasa) dari segi pemanfaatannya ada yang gratis
dan ada yang dijual kepada santri. Jasa dan produk yang gratis adalah: Pangan (hasil
pertanian/ sawah, tahu, tempe, air mineral bukan kemasan, perikanan dan peternakan)
dan barbershop. Jasa dan produk yang dijual kepada santri adalah: Roti, donat, susu
kedelai, air mineral dalam kemasan dan pakaian.
Ada produk pesantren yang sudah go public, yaitu air mineral Oinka yang
sudah dipasarkan ke kawasan Bogor Jawa Barat khususnya dan beberapa lembaga di
kawasan Jakarta. Harga jual produk mineral ini adalah:
a. Kemasan gelas 220 ml (Rp 20.000,00/dus)
b. Kemasan botol ukuran 600 ml (Rp 2.500,00/botol)
c. Kemasan botol ukuran 1,5 liter (Rp 5.000,00/botol)
d. Kemasan galon ukuran 19 liter. (Rp 40.000,00/galon)
e. Isi ulang galon (Rp 11.000,00)
Usaha lain yang dipasarkan ke luar pesantren (menerima order) meskipun
dalam jumlah yang terbatas adalah: konveksi, produk percetakan, paving block. Selain
itu ada juga usaha batu bara di kawasan Kalimantan dan Sumatera. Usaha kerjasamanya
adalah pihak pesantren sebagai salah satu pemegang sahamnya, dan seluruh
keuntungannya digunakan untuk pemberdayaan pondok pesantren.
Dalam bidang kerjasama Pesantren Al Ashriyah Nurul Iman menjalin
kerjasama dengan berbagai pihak baik muslim maupun non muslim dalam rangka
menunjang keberhasilan sektor usaha pesantren. Seperti dalam bidang pertambangan
70
pesantren Al Ashriyyah menjalin kerjasama dengan Yayasan Bunda Suci. Dalam bidang
pertanian dan perkebunan bekerjasama dengan kementerian Pertanian dan Perikanan
serta HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) dan pihak-pihak lain yang berminat
bekerjasama dalam bidang tersebut. Dalam bidang kesehatan pihak pesantren juga
bekerjasama dengan Dompet Dhuafa dengan menyediakan Layanan Kesehatan Cuma
(LKC) untuk santri dan yayasan Bunda Suci yang setiap tiga bulan mengirimkan tenaga
dokter untuk memeriksa kesehatan santri.
5. Perkembangan dan Proyeksi ke depan
Secara kuantitatif jumlah santri Pondok Pesantren Al- Ashriyyah Nurul Iman
pernah mencapai jumlah 18.000 orang santri ( tahun 2011). Bahkan Habib Saggaf
semasa hidupnya berobsesi dapat menampung santri sebanyak 40.000 orang. Tetapi
cita- cita tersebut belum dapat terwujud sebelum Habib Saggaf berpulang ke
Rahmatullah (12 Nopember 2010).
Kini top leader Pondok Pesantren dipegang oleh Umi Waheeda (isteri Habib
Saggaf). Ia ingin bertindak realistis, tidak lagi berobsesi jumlah santri yang banyak
tetapi Umi mencanangkan jumlah santri cukup dengan kisaran lk 10.000 orang saja.
Untuk mencapai jumlah tersebut maka diupayakan dengan mengatur input dan output
santri, karena animo masyarakat yang ingin nyantri di Pesantren Al- Ashriyyah Nurul
Iman masih cukup tinggi, namun daya tampung dan kemampuan ekonomis pesantren
sangat terbatas. Hal ini ia lakukan agar dapat mengoptimalkan proses pendidikan yang
berkualitas dan mewujudkan kemandirian ekonomi pesantren. Umi sebagai backbone
(tulang punggung) pesantren pengganti Abah (panggilan untuk Habib Saggaf) tidak
ingin menggandalkan donator untuk sekedar dapur pondok berasap, tapi ia ingin
mengoptimalkan wirausaha- wirausaha yang ada. Kalau dulu wirausaha di dalam
pondok adalah sebagai vocational studies (pendidikan keterampilan) semata, tetapi kini
diupayakan wirausaha itu dapat menghidupi pesantren.
Pada pembinaan terhadap ribuan santri di masjid putra, Umi Waheeda
menegaskan agar para santri kelak menjadi orang yang mandiri, tidak menjadi pegawai
atau karyawan di suatu instansi, lembaga atau departemen tertentu, tetapi berupaya
membuka lapangan kerja untuk dirinya dan orang lain. “Manusia yang paling baik
adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain” Demikian penegasan Umi,
mengutip sebuah Hadits Nabi SAW.
Pesantren Al- Ashriyyah Nurul Iman mengembangkan sikap kemandirian yang
sangat menonjol. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator yang mengarah kepada
terciptanya kemandirian. Misalnya dalam pengembangan pendidikan pesantren, ia
berani dan konsisten membina pendidikan dan kegiatan ekonomi untuk menunjang
kebutuhan pesantren yang seluruhnya dijalankan oleh tenaga- tenaga internal, yaitu para
santri (terutama santri senior yang sedang mengabdi selama dua tahun). Konsep ini
memiliki kekhasan tersendiri dan bersifat independen. Pesantren telah memiliki sistem
pendidikan pesantren yang sekaligus mengintegrasikan nilai- nilai kewirausahaan yang
memadai, terstruktur dan tertata secara sistematis, baik dilihat dari substansi maupun
strateginya.
Ada tiga poin yang direkomendasikan untuk pesantren dalam rangka
pengembangan bidang ekonomi pesantren ke depan, yaitu:
a. Mendapatkan perizinan pembelian beras dari Bulog dengan standar harga
raskin
b. Kerjasama dengan pihak luar dalam pengelolaan sawah milik pesantren.
(kini sawah seluas 200 hektar di Karawang disewakan)
c. Pemberian modal usaha bagi semua unit wirausaha
71
Mengamati kondisi riil unit-unit wirausaha pesantren, bila dikelola, ditata dan
dikembangkan secara professional, maka wirausaha pesantren dapat berkembang secara
optimal, dan tidak saja dapat membackup kebutuhan pangan, tetapi menunjang
kebutuhan- kebutuhan lainnya.
Selain pesantren mengembangkan nilai-nilai pendidikan “kepesantrenan”,
pembina pesantren berupaya menanamkan akan pentingnya enterpreneurship
(wirausaha) bagi generasi muda (baca: santri). Pesantren Nurul Iman tak mau kalah
peranannya dalam mencetak manusia yang kreatif, produktif dan mandiri. Unit- unit
wirausaha dijalankan bukan sekedar menghasilkan profit saja, namun memberikan
pendidikan yang nyata akan kemandirian finansial. Atas kesadaran itu, pembina
pesantren menggagas social enterpreneurs, yaitu menciptakan usaha mandiri yang di
dalamnya terdapat nilai- nilai sosial dengan melakukan serta membangun sebuah usaha
untuk mendapatkan keuntungan yang mengacu kepada nilai- nilai sosial, dalam
membantu masyarakat atau memberdayakan masyarakat (khususnya para santri yang
jumlahnya banyak)
Sebagai lembaga pendidikan yang menggratiskan seluruh biaya pendidikan,
tempat tinggal, konsumsi hingga kesehatan, tentunya Nurul Iman memiliki cara
tersendiri dalam membangun kemandirian perekonomiannya. Apa yang telah
diupayakan sejauh ini, menciptakan manusia yang memiliki social enterpreneurs namun
yang Islami, menjalankan Syari’at Islam dalam prosesinya, merupakan bukti keseriusan
dalam upaya melahirkan para social enterpreneurs yang dapat mengisi lapisan- lapisan
usaha kecil dan menengah yang handal dan mandiri. Sebenarnya yang diperlukan adalah
menghidupkan kembali tradisi yang kuat di masa lampau dengan menyesuaikan pada
kondisi masa kini dan pada tantangan masa depan.
Meskipun telah melakukan loncatan yang jauh, pihak pesantren tidak puas
dengan apa yang telah dihasilkan sekarang ini, karena selain belum mencapai hasil yang
optimal, tantangan di depan menghadang dengan kencang. Maka Umi Waheeda sang
Nachoda Pesantren saat ini terus berupaya membuat link dan melakukan loby dengan
berbagai pihak luar yang mempunyai komitmen terhadap pendidikan, khususnya
pesantren. Karena disadari benar, bahwa untuk membangun lembaga pendidikan dengan
ribuan santri, perlu dukungan moral maupun material yang besar dari semua pihak.
Jenis- jenis wirausaha yang dikembangkan oleh pesantren Nurul Iman yang
dikelola langsung oleh para santri secara mandiri dan memberikan konstribusi penuh
terhadap kebutuhan pangan pesantren, memberikan gambaran secara umum, bahwa
pesantren siap menjadi “ icon “ masa depan pendidikan yang berkualitas dan mandiri.
C. Perbandingan Pengelolaan 1. Sumber dana
Pesantren Darul Muttaqien dan Al-Ashriyah Parung memiliki jumlah
santri yang cukup besar. Pesantren Darul Muttaqien memiliki santri
sebanyak 1.851 orang. Dari jumlah tersebut terdapat 172 santri TPQ dan
Diniyah Takmiliyah yang berbiaya gratis. Selebihnya adalah santri TK,
SDIT, SMPIT, MTs, dan MA yang berbiaya sesuai dengan ketentuan
pesantren. Adapun jumlah santri di Pesantren Al-Ashriyah mencapai
10.300 orang dari tingkat TK sampai perguruan tinggi. Seluruh biaya bagi
santri gratis termasuk biaya makan dan asrama.
Sumber dana kedua pesantren tersebut hampir sama. Jika dipetakan dalam
tiga kategori, yaitu kontribusi santri, sumbangan pihak lain (individu,
72
lembaga swasta, dan pemerintah), dan usaha pesantren, maka pesantren
Darul Muttaqien mendapatkan sumber pendanaan dari tiga pihak tersebut
sedangkan pesantren Al-Ashriyah bersumber dari sumbangan pihak lain
dan usaha pesantren.
Sumber pendanaan Pesantren Darul Muttaqien berasal dari santri
(pendaftaran dan iuran bulanan) yang mencapai 96,4% dari seluruh dana
yang masuk ke pesantren. Adapun sumber kedua berasal dari usaha yang
dimiliki pesantren yang mencapai 2%. Sumber dari bantuan pemerintah
sebesar 1,6%.
Berbeda dengan Darul Muttaqien, Pesantren Al-Ashriyah mendapatkan
sumber pembiayaan pendidikan terbanyak dari usaha yang dimilikinya.
Dari sektor daur ulang sampah yang merupakan sayap usaha rintisan
awal, pesantren mendapatkan pemasukan sekitar 10 juta setiap bulan.
Usaha yang cukup dinamis adalah toserba milik pesantren yang omzetnya
mencapai 240 juta setiap bulannya. Hasil pertanian yang selama ini
dimanfaatkan langsung oleh pesantren terutama untuk sayuran yang
dimasak untuk kebutuhan santri. Usaha lain yang cukup besar
menyumbang kas pesantren adalah bisnis roti yang setiap harinya
omzetnya mencapai sepuluh juta lebih. Produksi tahu, tempe, dan kedelai
bisa menghasilkan pendapatan untuk pesantren sekitar 120 juta setiap
bulannya. Sumber pendapatan besar lainnya untuk pesantren adalah
penghasilan dari saham yang dimiliki pesantren di perusahaan tambang
batu bara di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Usaha yang dimiliki pesantren ada yang dikerjakan secara mandiri dan ada
yang berbentuk kerjasama dengan pihak luar. Sumber dana yang dihasilkan
dari usaha pesantren adalah hasil usaha dari unit- unit wirausaha yang
menghasilkan produk dan jasa, seperti pabrik roti, susu kedelai, percetakan,
air mineral kemasan hexagonal, perikanan, peternakan dan lain- lain.
Sedangkan sumber dana yang berasal dari kerjasama dengan pihak luar
adalah meliputi; menyewakan lahan sawah seluas 200 hektar di wilayah
Karawang dan kerjasama permodalan tambang batubara. Kini sedang dirintis
kerjasama penanaman pohon Jinjing seluas 60 hektar di kawasan Bogor.
Grafik 1
Sumber Pendapatan Pesantren Darul Muttaqien
73
Jenis usaha minimarket yang dimiliki pesantren Al-Ashriyah dan Darul
Muttaqien memiliki sumbangsih cukup signifikan bagi pesantren.
Minimarket Darul Muttaqien menyumbang hampir 50% pendapatan
pesantren dari sektor usaha. Adapun perkebunan menyumbang 35% dan jasa
laundry mencapai 16%.
2. Jenis dan bentuk kelembagaan
Jenis usaha cukup banyak macamnya. Jika dikelompokkan dalam kategori
tertentu, maka secara umum jenis usaha yang digeluti masyarakat meliputi
pertanian, perdagangan, perikanan, peternakan, industri kerajinan, dan jasa.
Pertanian merupakan usaha yang menghasilkan pangan, seperti padi, jagung,
kedelai, sayuran, buah-buahan, dan sebagainya. Termasuk dalam pertanian
adalah petani sawah, petani ladang, petani perkebunan, dan petani tambak.
Perdagangan adalah kegiatan usaha yang menyalurkan barang produksi dari
produsen ke konsumen. Perikanan adalah kegiatan usaha dalam budaya ikan.
6,810,100
18,355,200
516,000 425,000
Pendaftaran Iuran Bulanan Usaha Kementerian
Komposisi Pemasukan Pesantren Darul Muttaqin dalam ribuan
Mini Market 49%
Loundry 16%
Perkebunan 35%
Komposisi Pendapatan Usaha Pesantren Darul Muttaqien
74
Perikanan mencakup usaha mengembangbiakkan ikan dan mencari ikan,
seperti nelayan. Peternakan adalah kegiatan usaha dengan cara memelihara
hewan dan mengambil hasilnya dengan cara dijual ke konsumen. Industri
kerajinan adalah kegiatan usaha bahan baku menjadi bahan jadi. Perusahaan
yang membuat sesuatu dari bahan baku menjadi bahan jadi termasuk dalam
kategori industri. Adapun jasa adalah kegiatan usaha dalam bentuk
pelayanan terhadap konsumen. Contoh dari jasa adalah angkutan, asuransi,
pengacara, warnet, bengkel, bank, dan sebagainya.10
Dari pengelompokan jenis usaha tersebut, Pesantren Darul Muttaqien
memiliki lima jenis usaha yaitu pertanian (perkebunan Brasena, Jinjing, Jati
dan Trembesi), perikanan (pengembangbiakan ikan patin dan ikan lele),
perdagangan (mini market), jasa (simpan pinjam melalui koperasi, londri,
poliklinik), industri (pengelolaan sampah, usaha meubel dan furniture).
Jenis usaha yang dimiliki pesantren Al-Ashriyah adalah perdagangan
(koperasi dan toserba), pertanian, perikanan (pengembangbiakan ikan nila
merah), industri (daur ulang sampah, pembuatan roti, susu kedelai, tahu,
tempe, air minum dalam kemasan, pembuatan paving block, tambang batu
bara), jasa (percetakan, konveksi, potong rambut, jasa hiburan/entertainment,
warung internet/warnet), peternakan (kambing dan sapi), dan perkebunan.
Tabel
Jumlah Usaha Pesantren Darul Muttaqien dan Al-Ashriyah
No Jenis Usaha Darul
Muttaqien
Al-Ashriyah
1 Pertanian - 1
2 Perdagangan 1 1
3 Perikanan 2
4 Peternakan - 2
5 Industri 2 7
6 Jasa 3 5
7 Perkebunan 4 1
Kelembagaan usaha yang banyak dipakai di Indonesia meliputi usaha
dagang (UD) yang bersifat perorangan, persekutuan yang meliputi
persekutuan firma dan komanditer, koperasi, dan perseroan terbatas. Selain
usaha dagang, kelembagaan usaha lainnya diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdagangan (KUH Per), Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD), dan peraturan perundangan khusus.11
Badan hukum usaha
koperasi dan usaha dagang dimiliki oleh Darul Muttaqien dan Al-Ashriyah.
10
www.faizalnisbah.blogspoot.com “Usaha dan Kegiatan Ekonomi”. 11
Kansil dan Christine Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 70.
75
Badan hukum lainnya persekutuan persekutuan belum dimiliki oleh dua
pesantren. Adapun perseroan telah dimiliki oleh Al-Ashriyah.
Tabel
Kelembagaan Usaha Pesantren Darul Muttaqien dan Al-Asriyah
No Kelembagaan Darul
Muttaqien
Al-Ashriyah
1 Koperasi X X
2 Usaha Dagang X X
3 Persekutuan - -
4 Perseroan - X
3. Pihak pengelola
Pengelolaan bidang usaha pesantren umumnya dilakukan sendiri oleh pihak
pesantren. Bedanya, pesantren Darul Muttaqien menunjuk dewan guru dan
pengurus pesantren untuk mengelola unit usaha yang dimiliki pesantren.
Santri yang dilibatkan hanya sebagai pembantu pengelola yang berfungsi
sebagai kegiatan ekstrakurikuler pesantren. Keterlibatan santri terbatas pada
jenis usaha minimarket.
Sama halnya dengan Darul Muttaqien, pesantren Al-Ashriyah juga
menunjuk dewan guru dan pengurus yayasan untuk mengelola usaha yang
dimiliki pesantren. Hanya saja, Al-Ashriyah memberikan peran besar pada
santri dan alumninya (masa pengabdian) untuk turut serta mengelola usaha.
Santri yang telah lulus S1 diwajibkan mengabdi selama dua tahun di
pesantren. Pengabdian tersebut diwujudkan dalam bentuk peran pengabdian
di bidang usaha pesantren. Meski demikian, peran pimpinan pesantren masih
sangat dominan dalam menentukan kegiatan usaha pesantren. Di Al-
Ashriyah, pengelolaan usaha dilakukan secara modern dengan menggunakan
sistem real time information. Dengan jaringan informasi aktual melalui
jaringan internet, semua kegiatan usaha dapat dipantau oleh pengasuh.
Tabel
Model Pengelola Ekonomi Pesantren
No Peran Darul
Muttaqien
Al-
Ashriyah
Peran kyai Dominan Dominan
Guru/pengurus Dominan Dominan
Santri Pendukung Utama
Profesional Kerjasama Kerjasama
Selain dikelola sendiri, kedua pesantren juga menjalin kerja sama dengan
pihak profesional. Darul Muttaqien bekerja sama dengan dr. Raihan Batan
untuk mengelola poliklinik. Al-Ashriyah bekerjasama dengan perusahaan
tambang untuk eksplorasi batu bara. Al-Ashriyah juga menjalin kerjasama
dengan pihak profesional lain untuk menjalankan bisnis pesantren.
76
4. Distribusi
Distribusi hasil usaha pesantren Darul Muttaqien dan Al-Ashriyah umumnya
digunakan untuk kepentingan pesantren. Hasil usaha pertanian dan perikanan
terutama sekali digunakan untuk konsumsi santri. Demikian halnya dengan
koperasi dan toserba yang menyediakan bahan kebutuhan yang diperlukan
oleh santri dan dewan guru.
Manfaat usaha yang dapat dirasakan pihak luar pesantren di Darul Muttaqien
adalah layanan polikilinik pesantren. Adapun di Al-Ashriyah sudah cukup
banyak distribusi usaha yang dimanfaatkan pihak luar. Paving blok,
entertainmen, dan air minum dalam kemasan sudah diedarkan kepada pihak
luar meskipun dalam jumlah terbatas. Hasil produksi pesantren tersebut
hanya dipasarkan kepada pihak yang telah menjalin kerjasama atau
memesan. Jadi pemasaran tidak ke konsumen umum.
5. Perkembangan dan proyeksi ke depan
Pesantren Darul Muttaqien ke depan akan banyak memperluas jenis usaha di
bidang perkebunan karena kepemilikan lahan yang begitu luas dan
permintaan pasar terhadap kayu jenis tertentu. Adapun Al-Ashriyah akan
banyak mengembangkan jenis usaha baru dan memperluas usaha yang sudah
ada. Peluang pengembangan usaha di Al-Ashriyah cukup besar karena
beberapa dukungan, antara lain: pertama, tuntutan internal untuk
pengembangan usaha untuk menutupi biaya penyelenggaraan pesantren yang
seluruhnya gratis. Kedua, jaringan kerjasama yang sudah dijalin selama ini
dengan beberapa perusahaan, lembaga, pemerintah, dan pribadi. Ketiga,
jaringan alumni yang tersebar di seluruh Indonesia bahkan mancanegara
menjadi modal bagi pengembangan usaha pesantren. Keempat, tenaga kerja
gratis dari santri-santri yang mengabdi merupakan modal besar bagi
pengembangan pesantren. Kelima, pengaruh almarhum Habib Saggaf masih
ada terutama kepada individu dan organisasia atau lembaga tertentu.