1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam ...
Transcript of 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam ...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam undang-undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria. Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1
ayat 2, yang menyatakan, bahwa, “seluruh wilayah Indonesia kesatuan tanah air
dari seluruh rakyat Indonesia.” Pasal 1 ayat 2 menjelaskan bahwa : “seluruh bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara.
Dalam rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik perseorangan, kiranya
dapat dijelaskan bahwa dalam hukum agraria yang baru di kenal pula hak milik
yang dapat dipunyai seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain atas bagian bumi, hanya permukaannya yaitu yang disebut tanah. Selain hak
milik sebagai hak turun-temurun yang dapat dipunyai orang atas tanah, diadakan
pula hak guna bangunan, dan hak bakat yang akan ditetapkan dengan undang-
undang lain (pasal 4 Jo 16).1
Tanah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, bahkan bagian dari
kehormatan, karena itulah tanah bukan saja dilihat dari hubungan ekonomis
sebagai salah satu faktor produksi. Tetapi lebih dari itu tanah mempunyai
1 Budi Harsono. Hukum Agraria Indonesia. Himpunan Peraturan Hukum Tanah. (Djabatan : Jakarta). 2006 nhal 29
1
2
hubungan emosional dengan masyarakat, lebih-lebih lagi masyarakat Indonesia
yang agraria di mana lebih dari 60% penduduknya hidup di sekitar pertanian.
Selain itu tanah sebagai ajang kehidupan dan salah satu faktor produksi yang
penting, di samping harus menjamin tersedianya ruang untuk membangun sarana
dan prasarana.2
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 5 tahun 1960 UUPA Pasal 26
Ayat 1 ditentukan bahwa: “Jual beli, penukaran, penghibahan,pemberian dan
wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk peralihan hak milik
serta pengawasannya diatur oleh Pemerintah,sedangkan peraturan pemerintah
No.40 Tahun 1996 tentang hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah, pasal 34
ayat 2 dan pasal 54 ayat 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan
bahwa : peralihan hak guna bangunan dan hak pokok salah satunya terjadi karena
jual beli”. Sedangkan pasal 34 ayat 5 menyebutkan bahwa : “jual beli yang
dilakukan di hadapan notaris yang nantinya akan dibuktikan dengan akta tanah”.
Pada umumnya jual beli adalah menukar suatu barang dengan cara yang
tertentu. Namun di dalam pasal 1457 KUUHPdt jual beli nyang obyeknya tanah,
mempunyai pengertian “jual beli adalah suatu perjanjian dimana pihak yang
mempunyai tanah “penjual” berjanji dan mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
hak atas tanah yang bersangkutan, kepada pihak lain yang disebut “pembeli”.
2 AA. Oka Marindra. Menguak Masalah Hukum, Demokrasi, dan Pertanahan, (Jakarta : sinar Harapan, 1996) hal. 260
3
Sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga
yang telah disetujui.
Dalam hukum adat “jual beli tanah” bukan perbuatan hukum jual beli tanah
dalam hukum adat merupakan perbuatan pemindahan atau peralihan hak
pembayaran tunai. Artinya, harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat
dilakukan jual beli.3
Sebelum membuktikan hak milik dari jual beli maka seseorang harus
melakukan proses peralihan hak milik terlebih dahulu seperti yang dijelaskan
dalam Undang Undang No 5 tahun 1960 pasal 23 UUPA menjelaskan bahwa:
“Hak milik,demikian pula setiap peralihan,hapusnya dan pembebanannya dengan
hak hak lain harus didaftarkan”. Agar jual beli yang dilakukan nantinya akan
mendapatkan kepastian hukum. Selanjutnya apabila tanah yang sudah berpindah
kepemilikannya itu harus didaftarkan seperti ketentuan pasal 19 UU No. 5 tahun
1960 tentang pendaftaran tanah, supaya nantinya mendapatkan bukti kepemilikan
dengan akta tanah.
Namun dalam realitanya masih banyak praktek jual beli tanah yang tidak
sesuai dengan undang –undang No.05 tahun 1960 UUPA tentang jual beli tanah.
Di kabupaten Tulungagung penerapan undang undang tersebut masih sangat
minim, di Kabupaten ini masih ditemukan praktek jual beli tanah yang
prosedurnya tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam undang undang, salah
3 Soedarya Saimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Sinar Grafindo : Jakarta) hal. 356
4
satunya jual beli yang masih sering dilakukan adalah jual beli dibawah tangan,
jual beli tanah waris, kasus seperti ini penulis temukan di Desa podorejo
Kecamatan Sumbergempol.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis memilih judul “Praktek Jual Beli
Tanah menurut UU No. 5 Tahun 1960 Undangn-Undang Pokok agraria (UUPA).
(Study di desa Podorejo Kec. Sumbergempol Kab. Tulungagung).
B. Penegasan Istilah dalam Judul
Untuk menghadapi kesalah pahaman interprestasi yang salah terhadap
pengertian judul skripsi ini, maka perlu terlebih dahulu diberikan penjelasan
istilah yang dianggap perlu dalam studi terhadap prosedur jual beli tanah yang
berada di Desa Podorejo.
1. Penegasan Istilah
Jual beli ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain membayar
harga yang telah disepakati.4
Tanah adalah permukaan bumi.
2. Penegasan Operasional
Study tentang praktek jual beli tanah di Desa Podorejo Kec.
Sumbergempol Kab. Tulungagung meliputi :
4 Asmawi, Filsafat Hukum Islam, Cetakan Pertama, Penerbit eLKAF, Surabaya, hal. 96
5
a) Praktek jual beli tanah di Desa Podorejo
b) Kendala-kendala pelaksanaan jual beli di Desa Podorejo
c) Pemahaman masyarakat tentang jual beli tanah di Desa
Podorejo.
C. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi masalah
a) Prosedur jual beli tanah di Desa Podorejo
b) Hal-hal yang menjadi kendala pelaksanaan jual beli tanah di Desa
Podorejo
c) Pemahaman masyarakat Desa Podorejo tentang jual beli tanah
2. Pembatasan masalah
Demi tercapainya dan terwujudnya pembahasan sesuai dengan yang
diharapkan penulis maka permasalahan yang timbul akan penulis batasi
sebagai berikut :
a) Pelaksanaan jual beli tanah di Desa Podorejo
b) Kendala-kendala peralihan hak milik tanah dari hasil jual beli
tanah
c) Pemahaman Masyarakat Desa Podorejo tentang jual beli tanah
6
3. Rumusan Masalah
Dari tersebut diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
a). Bagaimana praktek jual beli tanah di Desa Podorejo.
b). Apa yang menjadi kendala terhadap pelaksanaan jual beli tanah di Desa
Podorejo.
c). Bagaimana pemahaman Masyarakat Desa Podorejo tentang masalah jual
beli tanah
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a) Untuk mengetahui bagaimana praktek jual beli tanah yang ada di Desa
Podorejo.
b) Untuk mengetahui kendala apa yang menjadi penghambat pelaksanaan
jual beli.
c) Untuk mengetahui pemahaman Masyarakat tentang masalah jual beli
tanah.
2. Kegunaan Penelitian
a) Bagi Peneliti
1. Untuk memenuhi tugas guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada STAIN Tulungagung
7
2. Sebagai masukan dan tambahan penulis
dalam mengimplementasikan teori perkuliahan di lapangan terutama
yang berkaitan dengan permasalahan jual beli tanah yang ada di Desa
Podorejo.
b) Bagi pengembangan ilmu
1. Sebagai masukan pada pejabat yang
berwenang dalam mengambil keputusan.
2. Sebagai bahan pijakan (Referensi) pada
peneliti serupa.
c) Bagi masyarakat
Sebagai bahan informasi dan sumbangan pikiran bagi siapa saja yang
membaca skripsi ini.
E. Sistematika Pembahasan/Out Line
Untuk memperoleh suatu gambaran tentang sistematika pembahasan dalam
skripsi ini maka perlu dijelaskan dengan maksud agar lebih mudah di mengerti
dan dipahami.
Sistematika pembahasan dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian, preliminer
yang berisi ; halaman judul, halaman pengajuan, halaman persetujuan, halaman
8
penyelesaian, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak, dan daftar isi. Bagian
pokok atau isi yang memuat teks pokok yang terdiri dari :
Bab I pendahuluan, terdiri dari : latar belakang masalah, penegasan istilah
dalam judul, identifikasi masalah, pembatasan, perumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, sistematika pembahasan.
Bab II Tinjauan pustaka, Sejarah pembentukan Undang Undang Pokok
Agraria, pengertian jual beli, tujuan jual beli, pengertian tanah dan hukum tanah,
pengertian pendaftaran tanah dan juga tujuannya.
Bab III Metodologi penelitian, yang terdiri dari pendekatan penelitian, sumber
data, teknik pengumpulan dan analisa data.
Bab IV Proses jual beli tanah di Desa Podorejo, kendala-kendala jual beli
yang terjadi, dan Pemahaman Masyarakat Desa Podorejo tentang masalah jual
beli tanah.
Bab V penutupan yang berisi tentang kesimpulan dan saran. Bagian terakhir
terdiri dari daftar pustaka dan lampiran.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Tujuan Dan Azas Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria
1. Sejarah Penyusunan UUPA
Upaya pemerintah Indonesia untuk membentuk Hukum Agraria Nasional
yang akan menggantikan Hukum Agraria Kolonial yang sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945 sudah dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk kepanitiaan
yang diberi tugas menyusun Undang-Undang Pokok Agraria, selama 12 tahun
sebagai suatu rangkaian proses yang cukup panjang maka baru pada tanggal 24
September 1960 pemerintah berhasil membentuk Hukum Agraria Nasional yang
dituangkan dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria atau disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Tahapan-tahapan dalam penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Panitia Agraria Yogya
10
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948
tanggal 21 Mei 1948 berkedudukan di Yogjakarta dengan diketahui Satimin
Reksodiharjo kepala bagian Agraria kementerian dalam negeri.
Panitia ini mengusulkan tentang asas-asas yang merupakan dasar-dasar
Hukum Agraria baru, yaitu :
a. Meniadakan asas domain dan pengakuan hak wilayah.
b. Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak
perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak
tanggungan.
c. Mengadakan penyelidikan lebih dahulu di Negara-negara lain,
terutama Negara-negara tetangga sebelum menentukan apakah orang-
orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
d. Mengadakan penetapan luas minimum tanah agar para petani kecil
dapat hidup layak dan di jawa diusulkan 2 hektar.
e. Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan luas tanah yang
tidak memandang luas tanahnya dan untuk jawa diusulkan 10 hektar
sedangkan diluar jawa masih diperlukan penyelidikan lebih lanjut.
f. Menganjurkan menerima sekema hak-hak tanah yang diusulkan oleh
hyhpanitia agraria Yogja.
11
g. Mengadakan pendaftaran hak milik dan hak-hak menumpang yang
penting.5
2. Panitia Agraria Jakarta
Panitia Agrarian Jakarta dibubarkan dengan ketentuan Presiden No 36
Tahun 1951 Tanggal 19 Maret 1951, sekaligus dibentuk panitia Agraria
Jakarta yang berkedudukan di Jakarta dan diketuai oleh Singgih
Praptodiharjo, wakil Kepala bagian Agraria kementerian dalam negeri.
Panitia ini mengemukakan usulan mengenai tanah untuk pertanian rakyat
kecil yaitu :
a. Mengadakan batas minimum pemilikan tanah yaitu 2 hektar
dengan mengadakan peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan
berlakunya Hukum Adat dan Hukum Waris.
b. Mengadakan ketentuan batas minimum pemilikan tanah yaitu 25
hektar untuk satu keluarga.
c. Pertanian rakyat dalamnya dapat dimiliki oleh warga Negara
Indonesia dan membeda-bedakan antara warga Negara yang asli dan
bukan asli. Badan Hukum tidak dapat mengerjakan Tanah Rakyat.
d. Bangunan hukum untuk pertanian rakyat ialah hak milik, Hak
Usaha, Hak Sewa, dan Hak Pakai.
5 Budi Harsono. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Djambatan : Jakarta) 2005 hal 125
12
e. Penganturan hak sesuai dengan Pokok-Pokok Dasar Negara
dengan Undang-Undang.6
3. Panitia Soewahjo
Berdasarkan Keputusan Presiden No 1 Tahun 1956 Tanah 14 Januari 1956
dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria yang berkedudukan di Jakarta dan
diketuai Soewahjo Soemodilego, Sekretaris Kementerian Agraria.
Panitia ini menghasilkan naskah rancangan Undang-Undang Pokok
Agraria pada Tanggal 1 Januari 1957 yang berisi :
a. Dihapuskannya azas domein dan diakuinya hak ulayat yang harus
ditundukkan pada kepentingan umum (Negara).
b. Azas domein diganti dengan Hak Kekuasaan Negara atau Dasar
ketentuan pasal 38 ayat 3 UUDS 1950.
c. Dualisme hukum Agraria dihapuskan, secara sadar diadakan kesatuan
hukum yang memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik, baik
yang terdapat dalam Hukum Adat maupun Hukum Barat.
d. Hak-hak Atas Tanah, Hak milik sebagai hak yang terkuat yang
mempunyai fungsi social kemudian ada Hak Usaha, Hak Bangunan dan
Hak Pakai.
e. Hak milik hanya boleh dimiliki oleh orang-orang warga Indonesia
yang tidak diadakan perbedaan antara warga Negara asli dan tidak asli.
6 Urip Santoso. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta 2007.hal. 47
13
Badan-Badan Hukum pada azasnya tidak boleh memiliki hak milik atas
tanah.
f. Perlu diadakannya penetapan batas maksimum dan minimum luas
tanah yang boleh menjadi hak milik, seseorang atau badan hukum.
g. Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri
oleh pemiliknya.
h. Perlu diadakan pendaftaran dan perencanaan penggunaan tanah.
Berdasarkan Keputusan Presiden No 29 Tahun 1958 Tanggal 6 Mei 1958
Panitia Urusan Agraria (Panitia Soewahjo) dibubarkan.7
4. Rancangan Soenarjo
Setelah dilakukan beberapa pemilahan mengenai sistematika dan
perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan panitia Soewahjo diajukan
oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada Tanggal 14 Maret
1958.
Dewan Menteri dalam sidangnya Tanggal 1 April 1958 dapat menyetujui
rancangan Soenarjo dan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
melalui amanat Presiden Soekarno Tanggal 24 April 1958.
Dalam membahas rancangan Soenarjo, DPR mengharap perlu untuk
mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap. Selanjutnya panitia
7 Budi Harsono, Sejarah Pembentukan…hal 127
14
Permusyawaratan Rakyat DPR membentuk sebuah Panitia Adhok dengan
tugas
a. Membahas Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria secara Teknis
dan Yuridis.
b. Mempelajari bahan-bahan yang menyangkut rancangan Undang-
Undang Pokok Agraria tersebut yang sudah ada dan mengumpulkan
bahan-bahan yang baru.
c. Menyampaikan laporan-laporan tentang pelaksanaan tugasnya serta
usul-usul yang dipandang perlu mengenai rancangan Undang-Undang
Pokok Agraria kepada Panitia Permusyawaratan DPR.8
5. Rancangan Soejarwo
Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 159 kita kembali pada UUD 1945
berhubungan rancangan Soenarjo yang telah diajukan kepada DPR, beberanpa
waktu lalu berdasarnkan UUDS 1950, maka dengan surat Presiden Tanggal
23 Maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali dan disesuaikan dengan
UUD 1945.
Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan disempurnakan dengan bahan-
bahan dari berbagai pihak, maka rancangan Undang-Undang Dasar Pokok
Agraria yang baru diajukan oleh Menteri Agraria Soejarwo kepada Kabinet.
Rancangan Soejarwo ini disetujui oleh kabinet inti dalam sidangnya Tanggal
8 Urip Santoso. Hukum Agraria…hal. 48
15
1 Agustus 1960. Kemudian dengan Amanat Presiden Soekarno Tanggal 1
Agustus 1960 Nomor 2584/HK/60 rancangan tersebut diajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Dalam sidang pleno
sebanyak 3 kali pada Tanggal 12, 13, dan 14 September 1960 diadakan
pemeriksaan pendahuluan, kemudian dengan suara bulat DPRGR itu
menerima baik rancangan Undang-Undang Pokok Agraria. Pada hari Sabtu
Tanggal 14 September 1960 rancangan Undang-Undang itu Pokok Agraria
yang telah disetujui oleh DPRGR itu disyahkan oleh Presiden menjadi
Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
atau lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Bahwa tercapainya persesuaian paham antara pemerintah dan DPRGR
mengenai rumusan terakhir Rancangan Undang-Udang Pokok Agraria
tidaklah semudah seperti yang mungkin dilaksanakan oleh pembahasan dalam
sidang plenonya. Dua minggu persis Rancangan Undang-Undang ini melewati
jalan prosedur baru dari DPRGR yang penuh dengan rintangan dan
kesukaran-kesukaran yang kadang-kadang sampai mencapai pada klimaksnya,
tetapi selalu dijiwai oleh semangat gotong royong dan toleransi yang sebesar-
besarnya yang membuktikan kebesaran jiwa saudara-saudara yang terhormat,
yang mewakili golongan masing-masing yaitu: Golongan Nasionalis,
Golongan Islam, Golongan Kristen-Katolik, Golongan Komunis, dan
16
Golongan Karya. Berkat itu semua maka pemeriksaan pendahuluan telah
selesai dan selamat.
Demikianlah setelah selesai dilakukan pemeriksaan pendahuluan pada
Tanggal 14 September 1960 dengan suara bulat Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong menerima baik rancangan Undang-Undang Pokok Agraria
tersebut, ini berarti bahwa semua golongan DPRGR menyetujuinya. Maka
dengan demikian dapatlah apa yang telah disetujui itu dianggap sebagai hasil
perpaduan cita-cita dan pemikiran serta kepercayaan yang hidup dalam
masyarakat. Termasuk pula para sarjana ahli hukum, ahli adat dan agama,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri Soedjarwo pada pengantar
pidatonya di atas.9
2. Tujuan Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria
Tujuan di Undang-Undang UUPA sebagai tujuan Hukum Agraria Nasional
yaitu :
a. Meletakkan dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang
akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan
keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka
masyarakat adil dan makmur.10
9 Budi Harsono. Hukum Agraria (Sejarah Pembentukan…). hal. 130 10 Ibid. hal. 219
17
Dasar kenasionalan Hukum Agraria yang telah dirumuskan dalam UUPA
adalah :
1. Wilayah Indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan satu
kesatuan tanah air dari rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia.
2. Bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa
kepada bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Untuk itu
kekayaan tersebut harus dipelihara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
3. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bersifat abadi,
sehingga tidak dapat diputuskan oleh siapapun.
4. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat
Indonesia diberi wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
5. Hak ulayat sebagai hak masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya, pengakuan tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat
18
tersebut masih ada tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
6. Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan dalam yang terkandung di
dalamnya adalah warga Negara Indonesia tanpa membedakan yang asli
atau tidak asli. Badan Hukum pada prinsipnya tidak mempunyai hubungan
sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya.
Tujuan ini merupakan kebaikan dari sistem/cirri Hukum Agraria Kolonial
yaitu Hukum Agraria Kolonial disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi
dari pemerintahan jajahan (Hindia Belanda) yang ditujukan untuk
kepentingan, keuntungan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi pemerintah
(Hindia Belanda), orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam Hukum Pertanahan11
Dalam rangka mengadakan kesatuan Hukum tersebut sudah semestinya
sistem hukum yang akan diberlakukannya harus sesuai dengan kesadaran
hukum masyarakat.
Oleh karena itu sebagian besar masyarakat Indonesia tunduk pada Hukum
Adat, maka pembentukan Hukum Agraria Nasional didasarkan pada Hukum
Adat. Hukum Adat yang dijadikan adat adalah asas/konsepsi-konsepsi,
11 Ibid…
19
lembaga-lembaga, dan sistem hukumnya. Dengan dijadikannya Hukum adat
sebagai dasar pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Nasional, maka
sekaligus tercapai kesederhanaan hukum, artinya Hukum Agraria Nasional
tersebut mudah dipahami oleh masyarakat dan kemudian dilaksanakan.
Tujuan kedua ini merupakan kebalikan dari sistem Hukum Agraria
Kolonial, yaitu Hukum Agraria Kolonial mempunyai sifat dualisme hukum,
artinya pada saat yang sama berlaku dan hukum agraria yang berbeda, disatu
pihak berlaku Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata dan
Agrarische Wet Stb 1870 No 55 dan dipihak lain berlaku Hukum Agraria
Adat yang diatur dalam Hukum Adat daerah masing-masing.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian Hukum mengenai hak-
hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.12
Upaya untuk mewujudkan tujuan ini adalah dengan membuat peraturan
Perundang-Undangan yang diperintahkan oleh UUPA yang sesuai dengan
jiwa dan asas UUPA. Selain itu dengan melaksanakan Pendaftaran Tanah atas
bidang-bidang tanah yang ada diseluruh wilayah Indonesia yang bersifat
mencerdaskan yaitu Pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan
kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah.
Tujuan yang ketiga ini merupakan kebalikan dari ciri hukum Agraria juga,
yaitu Hukum Agraria Koloni tidak memberikan jaminan kepastian hukum
terhadap hak-hak rakyat Indonesia atas tanah dikarenakan pada waktu itu
12 Ibid…
20
hanya hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Barat yang didaftar oleh
pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan-tujuan memberikan kepastian
hukum (Rect Cadaster) sedangkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada Hukum
Adat tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalaupun didaftarkan tujuannya
bukan untuk memperoleh kepastian hukum melainkan untuk menetapkan
siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah.
B. Pengertian Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli pada Zaman Rosulullah
Jual beli sudah terjadi sebelum pemerintah menetapkannya dalam undang-
undang, pada zaman Rasulullah SAW pada waktu itu caranya masih primitif
yaitu masih menggunakan sistem barter, tukarn menukar barang, setelah
manusia memasuki abad kemajuan, mereka lalu memakai cara dan sistem
penentuan harga, untuk lebih mempermudah teknis pemenuhan kebutuhannya
dan menghindarkan dari kesukaran dan kesulitan.
Dengan demikian jual beli menjadi cara bekerja yang banyak
membuahkan kesejahteraan manusia, karena mereka dapat berusaha mencari
rizqi dengan aman dan tenang, tanpa ada yang merasa dirugikan baik kerugian
21
secara terang-terangan, terpaksa maupun kerugian secara tersembunyi,
sehingga tercipta kehidupan yang teratur. Oleh karena itu Allah SWT
menghalalkan jual beli dengan sekaligus menetapkan aturan yang ibadah
untuk menjamin kelangsungan dan kebaikan manusia ini.
Kenyataan memang menunjukkan bahwa sengketa perdata khususnya
mengenai jual beli paling banyak terjadi, karena disebabkan tidak dipenuhi
persyaratan dan aturan-aturan yang telah ditetapkan itu. Peraturan dan
persyaratan tersebut telah banyak ditulis di berbagai kitab dan buku
khususnya di dalam kitab fiqh. Di samping itu ada beberapa aturan tata karma
(etika) yang harus dijaga dan dipatuhi bersama agar tercipta iklim usaha yang
adil dan bijaksana, dengan begitu tidak ada yang merasa tertipu.13
2. Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Pasal 1457 KUUHPdt.
Jual beli Tanah adalah suatu perjanjian dimana pihak yang mempunyai
tanah yang disebut “Penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk
menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang
disebut “Pembeli”. Sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan untuk
membayar harya yang telah disetujui yang dijual belikan menurut ketentuan
Hukum Barat ini adalah apa yang disebut “tanah-tanah hak barat”.
Dengan dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apa pun
npada hak atas tanah yang bersangkutan, biarpun misalnya pembeli sudah
13 Asmawi, Filsafat Hukum Islam, Cetakan Pertama eLKAF, Surabaya, 2006, hal. 96
22
membayarn penuh harganya dan tanahnya pun secara fisik sudah diserahkan
kepadanya.14
Hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual
sudah menyerahkannya secara yuridis kepadanya, dalam rangka memenuhi
kewajiban hukumnya (Pasal 1459). Untuk itu, wajib dilakukan perbuatan
hukum lain, yang disebut “penyerahan yuridis” (dalam bahasa Belanda :
“juridische levering”), yang diatur dalam Pasal 616 dan 620. Menurut pasal-
pasal tersebut, penyerahan yuridis itu dilakukan juga di hadapan notaries,
yang membuat aktanya, yang disebut dalam bahasa Belanda “transport acte”
(akta transport). Akta transport ini wajib didaftarkan pada Pejabat yang
disebut “Penyimpan hypotheek”. Dengan selesainya dilakukan pendaftaran
tersebut, tatacara penyerahan yuridis selesai dan dengan pendaftaran itu hak
atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pembeli.
Pasal-pasal KUUHPdt yang mengatur tatacara penyerahan yuridis sebagai
kelanjutan dari jual beli tanah tersebut, belum pernah berlaku sampai dicabut
oleh UUPA. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 dari Bepalingen Omtrent de
Invoering van en den Overgang tot de nieuwe Wetgeving (Publikasi 3
Maret 1848 S. 10), penyerahan yuridis hak atas tanah diatur dan tatacaranya
ditetapkan dalam Overschrijvingsordonnatie (S. 1834-27). (Secara tidak
tepat, umum disebut “Ordonansi Baliknama”). Menurut Pasal 1 Ordonansi
14 Soedaryo Saimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Pdt). (Sinar Grafika : Jakarta).
23
tersebut penyerahan yuridis wajib dilakukan di hadapan Ordonansi tersebut
penyerahan yuridis wajib dilakukan di hadapan Overschrijvingsambtenaar
(Pejabat Baliknama), yang bertugas membuat akta transportnya, sekaligus
melakukan pendaftarannya.
Ketentuan-ketentuan KUUHPdt dan Overschrijvingsordonnatie yang
mengatur penyerahan yuridis itulah yang termasuk Hukum Tanah karena
dengan dilakukannya penyerahan yuridis terjadi pemindahan hak atas tanah
yang bersangkutan (Dalam sistematika di atas termasuk 2c).
Dalam Hukum Adat, “jual beli tanah” bukan perbuatan hukum yang
merupakan apa yang disebut “perjanjian obligatoir”. Jual beli tanah dalam
Hukum Adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak dengan
pembayaran tunai. Artinya, harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada
saat dilakukan jual beli yang bersangkutan. Dalam Hukum Adat tidak ada
pengertian penyerahan yuridis sebagai pemenuhan kewajiban hukum penjual,
karena justru apa yang disebut “jual beli tanah” itu adalah penyerahan hak atas
tanah yang dijual kepada pembeli yang pada saat yang sama membayar penuh
kepada penjual harga yang telah disetujui bersama. Maka jual beli tanah
menurut pengertian Hukum Adat ini pengaturannya termasuk Hukum Tanah.15
3. Dalam jual beli supaya tidak ada sengketa di kemudian hari ada hukum
jual beli yang harus dipenuhi rukun-rukun jual beli antara lain.
15 Budi Harsono, Hukum Agraria Jakarta, Penerbit Jambatan, Jakarta, 2005, hal. 29
24
a. Adanya penjual dan pembeli
Syaratnya adalah :
i. Berakal, agar tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual
belinya.
ii. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)
iii. Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir di tangan
walinya.
iv. Baligh atas dalam hukum perdata cakap yang sudah berumur 15 tahun
keatas / dewasa.
b. Adanya barang yang dimiliki sendiri
c. Adanya alat untuk melakukan pembayaran (uang).16
Dalam pasal 1473 dan 1476 bahwa penjual wajib menyatakan dengan
jelas, untuk apa ia mengikatkan dirinya. Janji yang tidak jelas dan dapat
diartikan dalam berbagai pengertian harus ditafsirkan untuk kerugiannya.
Adapun biaya penyerahan barang dipikul oleh penjual, sedangkan biaya
pengambilan dipikul oleh pembeli kecuali karena diperjanjikan sebaliknya.
Adapun kewajiban utama pembeli adalah pembayaran harga pembelian pada
waktu dan tempat yang ditetapkan di dalam perjanjian pasal 1513 KUHPdt.17
16 Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. Sinar Baru Al Gasindo. Bandung. 17 Medaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Perdata (KUHPDT). Sinar Grafika. Jakarta.
25
Dalam pasal 1457 KUUH-Pdt jual beli adalah suatu perjanjian-perjanjian
antara 2 belah pihak. Adapun kata perjanjian yang dirumuskan dalam pasal 1313
KUHPdt, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih ketentuan pasal 1313 KUHPdt ini kurang
tepat, karena ada beberapa kelemahan antara lain :
1) Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata
kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari
kedua belah pihak.
2) Kata perbuatan menyangkup juga tanpa consensus. Dalam pengertian buatan”
termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan.
3) Pengertian perjanjian dalam buku 11 KUHPdt sebenarnya hanya meliputi
perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersufat kepribadian.
Adapun unsur-unsur dalam perjanjian adalah :
1. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang (subjek)
2. Ada persetujuan pihak-pihak itu
3. Adanya obyek yang berupa benda
4. Adanya tujuan bersifat kebendaan
5. Ada bentuk tertentu lisan maupun tulisan
26
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah dialasi dan diberi akibat
hukum. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPdt. Adapun syarat syaratny antara
lain:
1) adanya persetujuan antara pihak pihak yang membuat perjanjian
(konsesus)
2) ada keakapan pihak pihak untuk mebuat perjanjian (capacity)
3) adanya suatu hal tertentu (obyek)
4) adanya suatu sebab yang halal (causa)
B. Pengertian Tanah dan Hukum Tanah
1. Pengertian Tanah
Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka
dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa
istilah tersebut digunakan.
Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis,
sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA.
Dalam Pasal 4 dinyatakan, bahwa Atas dasar hak menguasai dari
Negara…ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang…
27
Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah
permukaan bumi (ayat 1). Sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar.
Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang
disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan.
Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan
bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan
bumi saja. Untuk keperluan apa pun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga
penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang
yang ada di atasnya. Oleh karena itu dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-
hak atas tanah bukan nhanya memberikan wewenang untuk mempergunakan
sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah”,
tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di
atasnya.
Dengan demikian makna yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah
tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari npermukaan bumi. Tetapi
wewenang menggunakan yang bersumber npada hak tersbeut diperluas hingga
meliputi juga penggunaan “sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah
dan air serta ruang yang ada di atasnya”.
28
Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan
menggunakannya. Dan itu pun ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam
Pasal 4 ayat (2) dengan kata-kata : sekedar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-
batas menurut undang-undang ini (yaitu : UUPA) dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi.
Sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang
yang ada di atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya,
dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya
sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.
Penggunaan tubuh bumi itu harus ada hubungannya langsung dengan
gedung yang dibangun di atas tanah yang bersangkutan. Misalnya untuk
pemancangan tiang-tiang pondasi, untuk basement, ruang parker dan lain-lain
keperluan yang langsung berhubungan dengan pembangunan dan penggunaan
gedung yang dibangun. Lihat BAB XII.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) tanah adalah :
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali;
2. Keadaan bumi di suatu tempat;
3. Permukaan bumi yang diberi batas;
29
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas,
napal dan sebagainya).18
2. Pengertian Hukum Tanah
Tanah sebagai bagian dari bumi. Disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) UUPA
yaitu atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 12 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, serta Badan Hukum.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah
permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu
permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan
lebar.19
Sebelum memasuki pada pengertian hukum tanah, maka kita uraikan dulu
pengertian hukum. Hukum adalah sesuatu yang abstrak yang tidak dapat
dilihat tetapi dapat dirasakan adanya, itu sebabnya hingga saat ini belum
didapatkan suatu definisi tentang hukum yang tepat dan sempurna yang
diterima oleh setiap orang (Apeldorn, 1980)20.
18 Buedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya) (Djambatan: Jakarta) Edisi Revisi cet 10,2005, hal. 18
19 Buedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya)..., hal. 18
20 Darin, A.M. Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Diktat, STAIN Tulungagung, 2003, tidak diterbitkan hal 2
30
Menurut rs. E. Utrecht, S.H. hukum adalah himpunan peraturan-peraturan
(perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dank
arena itu harus ditata oleh masyarakat itu (Ulrecht, 1957)21
Effendi Perangin menyatakan bahwa hukum tanah adalah keseluruhan
peraturan-peraturan hukum baik yang tertulis maupun tidak terdaftar yang
mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga
hukum dan hubungan-hubungan hukum yang kongkret.22
Dari berbagai uraian di atas dapat kita garis bawahi bahwasannya hukum
tanah nadalah keseluruhan ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak
tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-
hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai
hubungan hukum yang konkrit, beraspek pablik dan privat, yang dapat
disusun dan dipelajari secara sistematis hingga keseluruhannya menjadi satu
kesatuan yang merupakan satu system.23
Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah, yang dimaksud hak
penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang,
kewajiban, atau larangan-larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang dihaki, sesuatu yang boleh, wajib/dilarang untuk
diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria
21 Ibid hal 2 22 Effendi Perangain. Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum. (Rajawali. Jakarta) 1989 hal 195 23 Urip santoso, hukum Agraria dan hak-hak atas tanah, (Kencana, Jakarta) 2007 cet 3 hal 12.
31
atau tolok ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur
dalam hukum tanah.24
3. Sistematika Pengaturan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah
Dengan pendekatan pengertian hak penguasaan atas tanah sebagai,
“lembaga hukum” dan “hubungan hukum konkret”, nketentuan-ketentuan
hukum yang mengaturnya ndapat disusun dan dipelajari dalam suatu
sistematika yang khas dan masuk akal.
Dikatakan “khas”, karena hanya dijumpai dalam Hukum Tanah dan tidak
dijumpai dalam cabang-cabang Hukum yang lain. Dikatakan “masuk akal”
karena mudah ditangkap dan diikuti logikanya.
1. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum :
a) Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;
b) Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan
dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu
penguasaannya;
c) Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi
pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
d) Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
24 Ibid hal. 11
32
2. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum konkret :
a. Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan
hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan
dalam poin 1a di atas;
b. Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain;
c. Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain;
d. Mengatur hal-hal mengenai hapusnya;
e. Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
Dengan menggunakan sistematika di atas, ketentuan-ketentuan Hukum
Tanah bukan saja dapat diadakan, disusun dan dipelajari secara teratur, tetapi
juga akan dengan mudah diketahui ketentuan-ketentuan apa yang termasuk
Hukum Tanah dan apa yang bukan.
Hanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang
disebutkan di atas dan yang termasuk dalam sistematika di atas saja yang
merupakan ketentuan-ketentuan Hukum Tanah. Penentuan batas dengan
bidang Hukum yang lain itu mempunyai juga manfaat praktis, karena sejak
mulai berlakunya UUPA Hukum Tanah kita sudah diunifikasikan, sedang
Hukum Privat, terutama Hukum Pardata, masih dualistic.
3. Ketentuan-Ketentuan Hak Milik atas Tanah
33
Dalam pasal 20 ayat 1 UUPA hak milik mempunyai pengertian bahwa hak
milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai
orang atas tanah.25
Menurut ketentuan dalam pasal 570 KUHPdt, “Hak milik adalah hak
untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda
itu dengan sebebas-bebasnya, asal tidak dipergunakan bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan umum.
Dari ketentuan pasal 570 KUHPdt dapat diuraikan pengertian sebagai
berikut.
a. Hak milik adalah hak paling utama, karena pemilik dapat
menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya.
b. Dapat menikmati sepenuhnya, artinya pemilik dapat memanfaatkan
semaksimal mungkin.
c. Dapat menguasai sebebas-bebasnya.
d. Hak milik tidak boleh diganggu gugat, baik orang lain maupun
penguasa, kecuali dengan alasan syarat-syarat dan menurut ketentuan
undang-undang.
4. Ketentuan-Ketentuan Peralihan Hak Milik
Seperti yang dijelaskan dalam pasal 20 ayat 2 “Bahwa hak milik dapat
dialihkan kepada pihak lain” dan juga pasal 23 ayat UUPA Hak Milik,
demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan
25 Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia. (Himpunan peraturan…), hal. 12
34
hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud
dalam pasal 19.
Dalam Hak Milik disebutkan padanya suatu penyerahan. Penyerahan
disini memiliki arti : pengalihan suatu benda oleh pemiliknya atau atas
namanya kepada orang lain sehingga orang lain itu memperoleh hak atas
benda itu. Misalnya dalam jual beli, jual beli baris dalam taraf menimbulkan
hak dan kewajiban saja (obligator), tetapi belum memindahkan hak milik.
Dalam perjanjian jual beli, hibah, pemberian hadiah, tukar-menukar
penyerahan itu memindahkan hak milik. Dengan berlakunya UUPA No. 5
tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya, maka penyerahan benda tidak
bergerak berupa tanah dan yang melekat di atasnya dilakukan dengan akta
otentik di muka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Menurut peraturann
yang berlaku sekarang Pejabat Pembuat Akta Tanah ini dapat berupa notaris
dan dapat pula camat berdasarkan daerah kerja masing-masing. Kemudian
PPAT tersebut didaftarkan ke kantor agraria setempat bagian pendaftaran
tanah. Atas dasar ini pejabat pendaftaran tanah menerbitkan sertifikat hak
milik sebagai tanda bukti hak.
Adapun syarat-syarat penyerahannya yaitu :
1. Harus ada alasan hak (title)
2. Harus ada perjanjian kebendaan
3. Harus dilakukan oleh orang yang berhak
35
4. Harus dengan penyerahan nyata.26
Peristiwa-peristiwa hukum seperti meninggalnya seseorang, yang
mengakibatkan beralihnya karena hukum hak atas tanah yang dipunyainya
kepada ahli warisnya, pengaturannya tetap oleh Hukum Waris, karena tidak
ada bedanya yang hakiki dengan beralihnya unsur-unsur harta peninggalan
lainnya yang bukan tanah. Tetapi pembuktian mengenai telah beralihnya hak
atas tanah nyang bersangkutan kepada dan pemiliknya oleh ahli waris yang
bersangkutan, pengaturannya termasuk Hukum Tanah (dalam sistematika di
atas termasuk poin 2e).
Sehubungan dengan itu, maka yang dimasukkan dalam poin 2c hanyalah
ketentuan-ketentuan yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum pemindahan
hak, yaitu perbuatan-perbuatan hukum yang sengaja dilakukan untuk
memindahkan suatu hubungan hukum konkret kepada pihak lain.
Sebagaimana dikemukakan di atas, tidak semua ketentuan hukum
mengenai tanah merupakan peraturan Hukum Tanah. Sebelum berlakunya
UUPA dikenal lembaga hukum jual beli tanah. Ada yang diatur oleh Kitab
Undang-Undang Perdata (KUUHPdt) yang tertulis, dan ada yang diatur oleh
Hukum Adat yang tidak tertulis.27
C. Tujuan Jual Beli Tanah
26 Hukum Perdata Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti 27 Budi Harsono, Hukum Agraria Jakarta (Sejarah Pembentukan…), Penerbit Jambatan,
Jakarta, 2005, hal. 27
36
Pada prinsipnya tujuan dari jual beli tanah adalah untuk peralihan hak
milik atas tanah yang dijelaskan dalam pasal 23 ayat 1 UUPA,”hak milik
demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebabannya dengan hak-
hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksudkan dalam pasal 19
pasal 1 UUPA bahwa,” kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal 2 meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihannya
c. Pemberian surat tanda bukti hak-hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
Dalam pasal 26 ayat 1 dan 2 UUPA jual beli penukaran penghibaan,
pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adapt dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur
dengan peraturan pemerintah. 28
Untuk itu tujuan jual beli tanah untuk menguasai tanah secara individual,
berarti bahwa tanah bersangkutan boleh dikuasai secara perorangan. Tidak ada
keharusan menguasainya bersama-sama dengan orang lain secara kolektif,
biarpun menguasai dan menggunakan tanah secara bersama-sama dimungkinkan
diperbolehkan.
28 Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia. (Himpunan peraturan ...). hal 13.
37
Hal itu ditegaskan dalam pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa,” atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud di dalam ayat 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun dengan
orang lain.29 \
1. Peralihan Hak Milik Atas Tanah
a) Penjualan di Bawah Tangan dalam Rangka Eksekusi
Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan melalui pelelangan
umum, karena dengan cara demikian diharapkan dapat diperoleh harga yang
paling tinggi untuk obyek, hak tanggungan yang dijual.
Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan
tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dalam keadaan tertentu apabila
melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga
tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan pemegang HT (Hak Tagihan) dan
dengan dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Pasal 20 ayat
(2) dan (3), dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan carna penjualan
obyek HT oleh kreditor pemegang HT di bawah tangan, jika dengan cara
29 Boed Harsono. Hukum Agraria Indonesia. (Sejarah Pembentukan …) (Djambatan, Jakarta). Hal 273.
38
demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan
semua pihak. Biarpun tidak ada penjelasannya, kiranya penjualan di bawah
tangan itu dimungkinkan juga dalam hal sudah diadakan pelelangan umum,
tetapi tidak diperoleh penawaran yang mencapai harga minimum yang
ditetapkan.
Pelaksanaan penjualannya hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1
bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang
HTN kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tanggal pemberitahuan
tertulis adalah tanggal pengiriman pos tercatat, tanggal penerimaan melalui
kurir, atau tanggal pengiriman fascsimile. Juga setelah lewat waktu 1 bulan
sejak diadakan pengumuman dalam sedikit-dikitnya dalam 2 surat kabar
yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat
lainnya, seperti radio dan televise. Apabila ada perbedaan antara tanggal
pemberitahuan dan tanggal pengumuman, jangka waktu 1 bulan itu terhitung
sejak tanggal paling akhir antara kedua tanggal tersebut. Jangkauan surat
kabar dan atau media massa lainnya itu harus meliputi tempat letak obyek
HT yang bersangkutan.
Penjualan obyek HT “di bawah tangan” artinya penjualan yang tidak
melalui pelelangan umum. Namun penjualan tersebut ntetap wajib dilakukan
menurut ketentuan PP24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Yaitu dilakukan
39
di hadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya
di Kantor Pertanahan.
Persyaratan yang ditetapkan dimaksudkan untuk melindungi pihak-
pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang HT kedua, ketiga dan
kreditor-kreditor bukan pemegang HT dan pemberi HT.
b) Penjualan Di Bawah Tangan Secara Sukarela
Penjualan di bawah ntangan yang dimaksudkan itu adalah penjualan
dalam rangka eksekusi HT, yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 20
yang mengatur Eksekusi Hak Tanggungan. Maka biarpun untuk itu
diperlukan persetujuan pemberi HT, yang melakukan adalah kreditor
pemegang HT. Bukan pemberi HT ataupun pemberi HT bersama
pemegang HT. Untuk itulah diperlukan janji yang disebut dalam uraian
184/I (2).
Sehubungan dengan itu tidak termasuk dalam ketentuan mengenai
penjualan eksekusi di bawah tangan itu dengan syarat-syarat yang
diuraikan di atas, penjualan obyek HT oleh pemberi HT, yang hasilnya
disepakati untuk digunakan melunasi piutang kreditor pemegang HT, dan
disepakati pula pembersihan obyek HT yang dijual dan HT yang
membebaninya. Ini termasuk pengertian “penjualan sukarela”. Biarpun
dibebani HT, obyek yang bersangkutan masih merupakan hak pemberi HT.
Karena itu ia mempunyai hak untuk menjualnya kepada siapapun yang
40
dikehendakinya, tidak terkecuali kepada pemegang HT sendiri. Dalam
rangka melindungi kepentingan kreditor pemegang HT untuk itulah
disediakan lembaga “droit de suite” (Uraian 176 B). Pada pihak lain
kreditor pemegang HT pun menurut ketentuan Pasal 18 mempunyai hak
melepaskan HT yang dipunyainya.
Sudah barang tentu penjualan itu tidak boleh dilakukan dengan
maksud merugikan pihak lain, khususnya kreditor lain. Misalnya penjualan
ataupun sebagai yang disebut dalam Akta Jual Beli yang bersangkutan.
Dalam hal demikian jual-beli yang dilakukan dapat dituntut pembatalannya
oleh pihak yang merasa dirugikan dengan menggunakan lembaga “Action
Pauliana”. (Pasal 1341 KUUHPdt).30
D. Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu Negara tergantung pada asas
hukum yang dianut oleh Negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya.
Terdapat 2 macam asas hukum yaitu : “asas I’tikad baik” dan “asas nemo plus
yuridis”, sekalipun suatu Negara menganut salah satu asas hukum tetapi yang
secara murni berpegang pada salah satu asas hokum. Asas I’tikad baik berbunyi
“orang yang memperoleh suatu hak dengan I’tikad baik akan tetap menjadi
pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini melindungi orang yang
beri’tikad baik sedangkan asas nemo plus yuridis berbunyi” orang tidak dapat
30 Ibid, hal. 458-459
41
mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya, ini berarti bahwa pengalihan
hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Asas ini melindungi pemegang
hak yang sebenarnya.31 Di dalam literature hukum agraria kita kenal beberapa
sistem pendaftaran tanah yakni antara lain Sistem Torrens, Sistem Positif, Sistem
Negative.
a. Sistem Torent
Sesuai dengan namanya, sistem ini diciptakan oleh SIR Robert Torent
putra salah satu pendiri koloni Australia Selatan. Jadi sistem ini berasal dari
Australia Selatan. Sistem ini lebih dikenal dengan nama The Real Property
Act yang mulai berlaku di Australia sejak Tanggal 1 Juli 1858. Sistem ini
sekarang dipakai di Aljazair, Tunisia, Kongo, Spanyol, Norwegia, Malaya,
Kepulauan Fuji, Kanada, Yamanica, Trinidad, Dalam memakai sistem ini
Negara-negara bersangkutan melihat pengalaman-pengalaman dari Negara-
negara lain yang memakai sistem Torent ini Dalam detailnya agak
menyimpang dari sistem aslinya, tetapi pada hakikatnya adalah sistem Torent
yang disempurnakan dengan beberapa tambahan-tambahan serta percobaan-
31 Andrian Sutendi. Peralihan hak-hak atas tanah dan pendaftarannya. Sinar Grafika : Jakarta. 2007 hal 117
42
percobaan yang disesuaikan dengan hukum materialnya Negara-Negara
masing-masing tata dasarnya adalah sama yakni The Real property Act.
Dalam sistem ini sistem ini menyatakan bahwa sertifikat tanah merupakan
alat bukti yang paling lengkap tentang gak dari pemilik yang tersebut di dalam
serta tidak dapat diganggu gugat, ganti rugi terhadap pemilikan sejati adalah
melalui dana asuransi dan untuk merubah buku tanah adalah tidak mungkin,
terkecuali jika memperoleh sertifikat tanah, dimaksud melalui cara
pemalsuan/penipuan.32
b. Sistem Positif
Menurut sistem ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan adalah berlaku
sebagai tanda bukti hak yang mutlak, serta merupakan satu-satunya tanda
bukti hak atas tanah.33
Ciri-ciri sistem ini menurut DEr. Ny Mariam Darus Badrul Zaman. S.H.
dalam bukunya Bab-bab tentang Hypotik Hulas ialah bahwa pendaftaran
menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah
tidak dapat dibantah walaupun ia bukan pemilik tanah yang berhak, Stelsel ini
memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah, pejabat-pejabat balik
nama disini memberikan peran yang sangat aktif, mereka menyelidiki apakah
hak yang dipindahkan itu dapat didaftar, menyelidiki identitas pihak-pihak,
32 Bahtiar effendi, Kumpulan tulisan tentang hukum Tanah, (Alumni Bandung) 1982. hal. 48 33 Ibid hal 48
43
wewenang-wewenangnya, dan apakah formalitas-formalitas yang disyaratkan
telah dipenuhi atau tidak.
Adapun keberatan-keberatan terhadap sistem positif ini diantaranya :
1. Peran aktif pejabat-pejabat balik nama ini memakan waktu yang
lama.
2. pemilik yang berhak dapat kehilangan haknya diluar perbuatan dan
diluar kesalahannya.
3. Apa nyang menjadi wewenang pengadilan diletakkan dibawah
kekuasaan administrasi.
Dengan melihat uraian di atas kita dapat menarik satu manfaat dari
kegunaan sistem positif ini yaitu :
1. Adanya kepastian dari buku tanah.
2. Peran aktif dari pejabat balik nama tanah.
3. Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertifikat tanah mudah
dimengerti oleh umum.
Dengan demikian sistem ini memberikan suatu jaminan yang mutlak
terhadap buku tanah kendatipun ternyata bahwa pemegang sertifikat tanah
bukanlah pemilik sejati dan oleh karena itu ketika yang ber’tikad baik. Yang
bertindak berdasar bukti tersbeut akan mendapat jaminan mutlak walaupun
ternyata bahwa segala keterangan yang tercantum dalam sertifikat adalah
tidak benar.
44
c. Sistem Negatif
Menurut sistem ini bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat
tanah adalah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang
sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.34
Ciri pokok sistem ini adalah bahwa pendaftaran hak atas tanah bukanlah
merupakan jaminan pada nama yang terdaftar dalam buku tanah. Dengan kata
lain bahwa buku tanah bisa saja berubah sepanjang dapat membuktikan bahwa
dialah pemilik yang sebenarnya melalui putusan yang telah mempunyai
keuatan hukum tetap.
Menurut Dr. Ny. Mariam Darus Badrul Zaman, S.H dalam bukunya Bab-
bab tentang Hypothek Hal 44 dan 45 (dalam Bachtiar Efendi hal 82)
mengemukakan bahwa hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari
pemberi hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan satu mata rantai.
Menyelidiki apakah pemberian hak sebelumnya (Rehtsvoorganger)
mempunyai wewenang menguasai (Besehikkingbe Veegdheid) atau tidak,
berkaitan dengan bagaimana cara orang terdaftar itu memperoleh haknya,
apakah telah memenuhi ketentuan Undang-Undang atau tidak. Demikianlah
penjajahan itu dilakukan terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang
mendahului penyerahan.
Kebaikan sistem negative ini adalah :
1. Adanya perlindungan pada pemegang hak yang sebenarnya.
34 Ibid hal 49
45
2. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum sertifikatnya diterima.
Azas peralihan hak atas tanah menurut system ini adalah azas-azas nemo
plus yuris yakni orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada
padanya, ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak
adalah batal, Azas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang sebenarnya.
Berdasarkan asas ini pemegang hak yang sebenarnya akan tetap dapat
menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.
Sehubungan dengan kewajiban pendaftaran dimaksud system apakah yang
dianut Undang-Undang Pokok Agraria dari beberapa sistem yang
dikemukakan diatas untuk mengetahui hal ini terlebih dahulu kita akan
mengemukakan dasar hukum dari pendaftaran tanah yang dilaksanakan di
Indonesia yang dapat kita temukan dalam pasal 19 Undang-Undang Pokok
Agaria yang selengkapnya berbunyi :
Ayat 1 : Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan
ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Ayat 2 : Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut.
46
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.
Ayat 3: Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan
Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi,
serta kemungkinan penyelenggaraan menurut pertimbangan
menteri agraria.
Ayat 4: Dalam peraturan pemerintah di atas biaya-biaya yang
bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1)
diatas dengan ketentuan-ketentuan bahwa rakyat yang tidak
mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.35
Dari ketentuan pasal 19 ayat 2 di atas huruf C Undang-Undang Pokok
Agraria yang merupakan dasar hukum Pendaftaran Tanah tersebut dapat kita
ketahui bahwa yang didaftarkannya hak-hak atas tanah akan diberikan
sertifikat tanah sebagai tanda bukti pemegang hak atas tanah yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.
Kata “kuat” dalam pengertian pasal 19 ayat 2 huruf C UUPA tersebut di
atas adalah berarti bahwa sertifikat tanah yang diberikan tersebut adalah tidak
mutlak, dan membawa akibat hukum bahwa segala apa yang tercantum dalam
sertifikat tanah adalah dianggap benar sepanjang tidak ada yang membuktikan
keadaan yang sebaliknya.
35 Budi Harsono. Hukum Agraria Indonesia (kumpulan…) hal 11
47
Yang menyatakan bahwa sertifikat tersebut adalah tidak benar, kalau kita
hubungkan ketentuan pasal 19 ayat 2 huruf C dengan sistem-sistem
pendaftaran tanah yang telah dikemukakan di atas, maka akibat hukum dari
ketentuan pasal 19 ayat 2 huruf C UUPA dengan kata lain bahwa system yang
dianut Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pendaftaran Tanah adalah
system Negatif dengan tendensi positif.36
Sedangkan sistem yang dianut UUPA adalah sebagai berikut :
1) Menurut DR. Ny. Mariam darus badrul Zaman, S.H
(dalam bukunya bab-bab tentang hipotik)
Menurut beliau sistem yang dianut UUPA adalah sistem campuran,
antara Sistem Negatif dan Positif, hal ini terlihat dengan adanya
perlindungan pada pemilik yang sebenarnya (Sistem Negative), sedangkan
sistem positifnya terlihat dengan adanya campur tangan dari pemerintah,
dimana sebelumnya diterbitkan sertifikat tanah, terlebih dahulu diadakan
penjajahan terhadap peristiwa-peristiwa hukum apa saja yang mendahului
penyerahan.37
2) Menurut Abdur Rahman (dalam tulisannya Berita Pusat Study hukum
Tanah Fakultas Hukum Uniam No 5/Mei/1978
Beliau cenderung condong pada pendapat DR. Ny Mariam yang
mengatakan bahwa sistem pendaftaran yang dianut UUPA dan PP No
36 Bachtiar Effendi. Kumpulan…hal. 52 37 Ibid hal 53
48
10/1961 adalah campuran (positif dan negative) dimana dalam sistem
yang demikian segala kekurangan yang ada pada sistem negative dan
positif sudah tertutup. Sistem yang demikian ini menurut hematnya pada
saat masa sekarang sangat baik dan cocok keadaannya dengan keadaan di
Negara kita, sekalipun memang harus diakui perlunya diadakan beberapa
penyempurnaan guna disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan.38
3) Menurut DR. Sumarti Hartono (dalam buku beberapa pemikiran
kearah pembaharuan Hukum hal 107)
Menurut beliau katanya setelah UUPA berlaku selama hampir 20
tahun tiba saatnya kita berpegang pada sistem positif, yang menjadikan
sertifikat tanah satu satunya alat bukti untuk membuktikan hak milik atas
tanah dengan pengertian bahwa apabila dapat membuktikan bahwa
sertifikat itu palsu / diupalsukan / diperoleh dengan jalan yang tidak sah /
karena paksaan / pungutan liar / menyogok. Misalnya maka tentu saja
sertifikat itu dianggap tidak sah sehingga menjadi batal dengan sendirinya
(Van Rechts Weignieting).39
Mantaha, mantan kepala jawatan pendaftaran tanah menyatakan
bahwa sistem pendaftaran tanah di Indonesia yang dianut sekarang ini
adalah sistem negative dengan tendensi positif.
38 Ibid hal 55 39 Ibid hal 57
49
Dengan sistem ini keterangan-keterangan yang ada apabila tidak
ternyata benar maka dapat diubah dan dibatalkan.40
Dengan pasal 19 Undang-Undang Agraria ini, maka untuk menjamin
kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Republik Indonesia dengan suatu peraturan pemerintah.
Berdasarkan pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997,
pendaftaran tanah berdasarkan azas-azas sebagai berikut.
a. Azas Sederhana
Maksudnya sederhana dalam pendaftaran tanah adalah agar
ketentuan-ketentuan pokoknnya maupun prosedurnya dengan mudah
dimengerti atau dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
terutama pada pemegang hak atas tanah.
b. Azas Aman
Azas aman adalah untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah
perlu diselenggarakan secara lebih dan cermat, sehingga hasilnya
dapat memberi jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan
pendaftaran tanah itu sendiri.
c. Azas Terjangkau
40 ? Ali ahmadn Chamzah, hukum agraria (pertahanan Indonesia) hal 16
50
Azas terjangkau adalah keterjangkauan bagi pihak yang
memerlukan khususnya dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
dan kemampuan golongan ekonomi tanah lemah.
d. Azas Mutakhir
Azas mutakhir menentukan data pendaftaran tanah secara terus
menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di
kantor pertanahan selalu dengan keadaan nyata di lapangan,
masyarakat dapat memperoleh keterangan data yang benar setiap saat.
Untuk itulah diberlakukan pola Azas Terbuka.41
e. Dasar Hukum Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997
Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan hukum dasar dan sekaligus
merupakan sumber hukum dalam arti formal artinya, sumber berlakunya hukum,
sumber berlakunya peraturan-peraturan hukum. Apabila dilihat dari pasal-
pasalnya UUD 1945 hanya berisikan 37 pasal dengan 4 pasal peraturan peralihan,
diantara ke 37 pasal itu adalah pasal 33 ayat 3 yang menjadi dasar berlakunya
UUPA No 5 Tahun 1960, jadi berdasarkan uraian diatas tersebut jelas bahwa
UUPA No 5 Tahun 1960 itu dibentuk berdasarkan Undang-Undang 1945.42
Badan Pembentuk Undang-Undang pada waktu pembentukan UUPA itu
menggunakan pola pikiran hukum adat, dimana kekurangan-kekurangan yang
terdapat dalam hukum adat yaitu hukum agraria adapt, dilengkapi oleh hukum
41 Ali achmad Chamzah. Hal 5-6 42Bachsan Mustaka, Hukum agrarian dalam perpektif, Remaja Karya : Bandung. 1988 hal 7-8
51
agraria barat. Jadi hakekatnya UUPA No 5 Tahun 1960 adalah hukum agraria
adat dengan “Baju Baru” yaitu hukum agraria adat yang diberi bentuk tertulis
berbentuk Undangn-Undang.43
Sedang Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 merupakan aturan
pelaksanaan dari Undang-Undang No 5 Tahun 1960, jadi dasar hukum
berlakunya Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 adalah pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945 jo Undang-Undang No 5 Tahun 1960.
E. Tujuan Pendaftaran Tanah
Dalam Peraturan yang menyempurnakan PP No 10 Tahun 1961 ini tetap
dipertahankan tujuan diselenggarakan pendaftaran tanah sebagai yang pada
hakikatnya sudah ditetapkan dalam pasal 19 UUPA yaitu bahwa Pendaftaran
tanah merupakan tugas pemerintah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin
kepastian hukum dibidang pertanahan. Rincian tujuan pendaftaran tanah
dinyatakan dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 adalah :
a. Untuk memberikan kepastian hukum perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas tanah atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan
hak-hak yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan, untuk itu kepada pemegang
haknya diberikan sertifikat sebagai tanda buktinya. Inilah yang merupakan
tujuan utama pendaftaran tanah yang penyelenggaranya diperintahkan oleh
43 Ibid hal 8
52
pasal 19 UUPA, maka memperolah sertifikat bukan sekedar fasilitas
melainkan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-Undang.
Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana termasuk dalam pasal
19 ayat 2 huruf C. UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf
dan hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-
masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan
buku tanah adalah dokumen yang dalam bentuk daftar yang memuat data
yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah-tanah yang sudah ada
haknya.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan,
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan Hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah di daftar. Untuk penyajian
data tersebut diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Nasional
kabupaten/kota madya. Para pihak yang berkepentingan terutama calon
pembeli atau calon kreditur sebelum melakukan suatu perbuatan hukum
mengenai suatu bidang tanah atas satuan rumah susun tertentu perlu dan
karenanya mereka berhak mengetahui data yang tersimpan terbuka untuk
umum ini sesuai dengan asas pendaftaran yang bersifat terbuka.
Tujuan pendaftaran tanah untuk menghimpun dan menyediakan informasi
yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah untuk dipertegas dengan
53
dimungkinkannya pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisiknya dan
data yuridisnya belum.
c. Untuk terselenggaranya tartib administrasi pertanahan, Terselenggaranya
pendaftaran tanah secara baik merupakan dan tertib. Administrasi dibidang
pertanahan. Untuk mencapai tertib administrasi tersebut setiap bidang tanah
dan satuan rumah susun termasuk peralihannya, pembebanan dan hapusnya
wajib didaftar.44
Dari berbagai tujuan pendaftaran di atas merupakan wujud pembaharuan
hukum tanah Indonesia, karena hukum Agraria yang berlaku sebelum di
Undangkannya. Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 adalah Hukum
Agraria Barat dan Hukum Agraria Adat. Hukum Agraria kolonial tersusun
berdasarkan dan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian
lainnya dipengaruhi oleh biaya, sehingga sangat besar kemungkinannya yang
terjadi adalah adanya pertentangan kepentingan rakyat dan Negara dalam
melaksanakan pembangunan semesta dan juga sebagai akibat politik Hukum
pemerintah jajahan itu, hukum agraria mempunyai sifat dualisme hukum yaitu
berlakunya peraturan-peraturan Hukum adapt disamping peraturan-peraturan dari
dan berdasarkan pada Hukum Barat, hal ini selalu menimbulkan berbagai masalah
antar golongan yang serba sulit, dan juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan
Bangsa Indonesia.
44 Budi Harsono. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah…hal. 472-473
54
Masalah-masalah yang timbul adalah adanya ketidakpastian hukum hak atas
tanah oleh rakyat Indonesia, Hukum Agraria kolonial tidak memberikan jaminan
kepastian hukum terhadap hak-hak rakyat Indonesia atas tanah dikarenakan pada
waktu itu hanya hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria kolonial
yang didaftar oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan memberikan
jaminan hukum (Recht Kadaster), sedangkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada
hukum Agraria adapt tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalau di daftar oleh
pemerintah Hindia Belanda tujuannya bukan untuk memperoleh kepastian hukum
terhadap hak-hak atas tanah melainkan untuk menetapkan siapa yang
berkewajiban membayar pajak atas tanah.
Jadi dengan telah di Undang-Undangkannya Peraturan Dasar Pokok Agraria
yang dianut dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 rakyat Indonesia yang
mempunyai hak-hak atas tanah memperoleh kepastian hukum hak-hak atas tanah
dengan melaksanakan pendaftaran tanah miliknya sebagaimana tertuang dalam
pasal 19 ayat 1 Undang-Undang No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran ta
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
55
Pendekatan penelitian kualitatif yang memusatkan perhatiannya pada prinsip-
prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam
kehidupan manusia, atau pola-pola yang dianalisis, gejala-gejala sosial budaya
dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk
memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.45
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, jenis
penelitian ini berusaha mengungkapkan gejala secara menyeluruh dan sesuai
dengan konteks (Holistic Kontekstual) melalui pengumpulan data dari latar alami
dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrument kunci, karena selain
peneliti sebagai pengumpul data dan penganalisis data, peneliti juga terlihat
langsung dalam proses penelitian.
Penelitian semacam ini bersifat diskriptif dan cenderung menggunakan
analisis dengan pendekatan induktif, penelitian ini lebih menonjolkan proses dan
makna dari sudut pandang subjek, Laporan penelitian kualitatif tersebut mewarnai
sifat dan bentuk laporannya. Laporan penelitian kualitatif disusun dalam bentuk
narasi yang bersifat kreatif dan mendalam serta menunjukkan ciri-ciri
alamiahnya (natural setting) artinya data-data yang didapat dari hasil penelitian
dipaparkan sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Hasil penelitian ini
bersifat deskriptif karena data yang dikumpulkan lebih menonjolkan kata-kata
atau kalimat dari pada angka-angka.
45 Burhan, Ashshofa, S.H. Metode Penelitian Hukum. (Rineka Cipta : Jakarta) 2001 hal 20
56
Laporan penelitian kualitatif memiliki struktur dan bentuk yang koheren,
sehingga dapat memenuhi maksud yang tercermin dalam fokus penelitian, laporan
penelitian ini memiliki fokus yang jelas, Fokus tersebut dapat berupa masalah,
objek evaluasi, atau pilihan kebijakan.
B. Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh,46 Menurut Lufland
(dalam Meleong dan Tanzeh, Suyitno 2006) menyatakan bahwa sumber data
terdiri dari data utama dalam bentuk kata-kata atau ucapan atau perilaku orang-
orang yang diamati dan diwawancarai, sedangakan karakteristik dari data
pendukung benda dalam bentuk non manusia, artinya data tambahan dari
penelitian ini dapat berbentuk surat-surat, daftar hadir, dan statistic ataupun segala
bentuk dokumentasi yang berhubungan faktor penelitian.47
Sebagaimana data yang dikumpulkan penulis, maka sumber data dapat
dibedakan ada dua jenis, yaitu :
a. Sumber Data Primer : Responden yang terdiri dari pegawai Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungangung bagian pendaftaran Hak Milik
Tanah, bagian survey pemetaan dan pengukuran, dan juga Masyarakat.
b. Sumber Data Sekunder, dokumentasi yang terdiri darin dokumen-
dokumen yang menguatkan data primer.
46 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. (Jakarta : Rieneka Cipta, 1993)hal.107
47 Ahmad Tanzeh&Suyitno. Dasar-Dasar Penelitian (El Kaf : Surabaya) 2006 hal. 131
57
Penelitian merupakan aktifitas ilmiah yang sistematis, terarah bertujuan maka
data/informasi yang dikumpulkan haruslah relevan dengan masalah/persoalan
yang dihadapi.
Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada 2 jenis, yaitu :
a. Data Primer : data langsung yang dikumpulkan oleh peneliti/petugas-
petugasnya dari sumber pertamanya.48
Meliputi : Observasi, dan interview dengan Subjek penelitian.
b. Data Sekunder yaitu : data yang diperoleh dari/berasal dari bahan
kepustakaan.49
Meliputi : teori-teori, data-data dari Sekretaris Desa Podorejo Kecamatan
Sumbergempol Kabupaten Tulungagung, buku.
C. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian, maka Teknik
pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standard untuk
memperoleh data yang diperlukan.50
48 Sumadi Surya Barata 49 Joko Subagyo, Metode Penelitian Teori dan Praktek. (Jakarta, Raja Grafindo, 1999) hal 88 50 Ahmad Tanzeh, Metode Penelitian Praktis. (Bintang Ilmu : Jakarta) 2004 hal. 28
58
Menurut kebiasaan metode diartikan suatu tipe pemikiran yang
dipergunakan dalam penelitian dan penilaian suatu teknik yang umum bagi
ilmu pengetahuan dan cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.51
Dalam pengumpulan data penulis menggunakan beberapa metode
pengumpulan data sebagai berikut :
a. Metode Observasi
Metode observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan
pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu
dengan panca indera lainnya.52
b. Metode Interview
Metode Interview merupakan cara untuk mengumpulkan data dengan
mengadakan tatap muka secara langsung antara orang yang bertugas
mengumpulkan data dan orang yang menjadi sumber data atau objek
penelitian.53
Interview wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan orang yang diwawancarai
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.54
c. Metode Dokumentasi
51 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Pers : Jakarta) 1989 hal 5 52 Burhan Bungin. Metodologi Penelitian Sosial, Erlangga : Surabaya. 2001. hal. 142 53 Ahmad Tanzeh dan Suyitno, Dasar-Dasar Penelitian. El Kaf Surabaya. 2006. hal. 32 54 Lexy J Moeleong. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda Karya, 1998), 135
59
Metode dokumentasi ialah mencari data dengan mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan/transkip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.55
2. Analisa Data
Analisa data adalah sebagai tindak lanjut proses pengolahan data yang
merupakan kerja seorang peneliti yang memerlukan ketelitian dan pencurahan
daya pikir secara optimal.56 Sesuai dengan jenis penelitian, maka analisis data
yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif.
Analisa data kualitatif yaitu : analisa data yang digunakan untuk
mengolah data yang tidak dapat diwujudkan dengan angka, untuk mengolah
data-data kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan beberapa metode.
a. Metode Induktif
Metode induktif adalah berangkat dari fakta-fakta yang khusus,
peristiwa-peristiwa yang kongkrit, kemudian dari fakta-fakta/peristiwa
yang kongkrit itu ditarik generalisasi yang mempunyai sifat umum.57
55 Arikunto, Prosedur Penelitian. hal. 134 56 Bambang Waloyo. Penelitian Hukum Dalam Praktik. (Sinar Grafika : Jakarta) 2002 hal 77 57 Sutrisno Hadi, Metode Penelitian Research. (Yogjakarta, Andi Ofset, 1987) hal 42
60
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa Metode induktif adalah
menganalisis dari peristiwa-peristiwa yang terjadi yang sifatnya khusus
yang kemudian disimpulkan menjadi pengertian yang sifatnya umum.
Penerapan metode ini penulis gunakan untuk mengumpulkan data-data
yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahas kemudian
disimpulkannya.
b. Metode Deduktif
Metode Deduktif adalah berangkat dari pengertian yang sifatnya
umum. Dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita hendak
menilai suatu kejadian yang khusus.58
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa metode deduktif adalah
menganalisis dari data yang umum kemudian diuraikan. Secara luas dan
mendalam untuk diambil kesimpulan secara khusus.
Penerapan metode ini penulis gunakan untuk mengumpulkan data
yang perlu penjelasan secara melebar kemudian disimpulkan secara lebih
khusus.
BAB IV
JUAL BELI TANAH DI DESA PODOREJO KECAMATAN
SUMBERGEMPOL TULUNGAGUNG
58 Ibid hal 43
61
A. Sejarah Singkat Desa Podorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten
Tulungagung.
1. Sejarah Desa Podorejo
Sejarah desa podorejo pada zaman mataram. Podorejo diambil dari kata
Podo dan Rejo. Podo artinya sama, Rejo artinya Ramai. Berawal dari seorang
senopati mataram bernama Ki Ageng Patmodilogo pada perjalanannya tiba di
suatu tempat yang cukup ramai dan ternyata tempat itu berada disebelah timur
gunung, dan ternyata gunung itu terdapat suatu gua yang banyak dikunjungi
orang. Sedangkan lokasi yang ditempati Ki Ageng juga ikut ramai karena mau
menuju gua tersebut, sehingga banyak orang lalu lalang jadi ramene.
Akhirnya tempat itu dinamakan sama ramene (istilah jawa) = Podorejo.
Desa podorejo terbagi menjadi 3 dusun atau wilayah yaitu:
Dusun Dawuhan
Dusun Ngadirejo
Dusun Somoteleng
Dusun Dawuhan diambil dari istilah “dawuan” yang mempunyai arti
tempat pembagian air untuk mengaliri sawah. Pada zaman sekarang lebih
dikenal DAM (Pintu Air). Menurut sejarah dikawasan tersebut terdapat
bangunan tersebut (DAM), namun dalam perkembangannya bangunan
tersebut tergusur oleh padatnya pemukiman. Sehingga saat ini tidak ada
wujudnya.
62
Kata Ngadirogo diambil dari kata Ngabdi Rogo. Ngabdi artinya
ngabekti Rogo artinya jasad. Konon tempat itu tempatnya menjadi kawasan
dimana Ki Ageng Patmodilogo untuk mengabdikan diri (jasad) sampai akhir
hayatnya. Akhirnya tempat itu di namakan dengan Ngabdirogo yang pada
perkembangannya berubah menjadi Ngadirogo. Di sana terletak makam Ki
Ageng Patmodilogo yang sampai sekarang setiap malam jum’at tetap banyak
dikunjungi para peziarah.
Dusun Somoteleng, berasal dari kata Somo dan Teleng. Samo berarti
harimau atau macan orang dulu menyebutnya, sedangkan teleng artinya
sumber air atau mata air. Sejarah menceritakan di tempat itu terdapat sumber
mata air yang di tunggui oleh seekor macan, sehingga tempat itu dinamakan
dengan Somoteleng. Namun seiring dengan perkembangan zaman sumber air
itu telah lenyap dan rat dengan tanah.
Daftar nama orang – orang yang pernah menjabat sebagai kepala Desa
Podorejo dari pertama sampai kepala desa saat ini yaitu:
1. Bapak Dono Reso
2. Bapak Dono Kerto
3. Bapak Banas Pati
4. Bapak Keni
5. Bapak Sukardi
6. Bapak Bambang Suwarno
63
7. Bapak Ngapani
8. Bapak Tamyis (…. Sampai sekarang)
2. Kondisi Desa
Wilayah Desa Podorejo berada di ketinggian ± 92 M di atas permukaan
laut, terletak 9 km arah tenggara kota kabupaten Tulungagung dan 5 km arah
selatan dari kecamatan Sumbergempol. Desa Podorejo dengan luas wilayah
211,33 Ha di bagi menjadi tiga dusun yaitu dusun Dawuhan, dusun Ngadirejo
dan dusun Somoteleng dengan batas – batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Tambakrejo (Kec. Sumbergempol)
Sebelah Timur : Desa Sambijajar (Kec. Sumbergempol)
Sebelah Selatan : Desa Junjung (Kec. Sumbergempol)
Sebelah Barat : Desa Doroampel (Kec.
Sumbergempol)
Secara geografis Desa Podorejo memiliki letak cukup strategis karena
hampir seluruh wilayah berada pada tanah datar dan dijadikan jalur penting
untuk mengakses kecamatan kalidawir bahkan Ngunut dengan tingkat mobilitasa
yang cukup padat. Bahkan dengan kondisi ini jalur yang melintas di desa
podorejo dijadikan jalur penting untuk menuju kota.
Dengan topografi desa di dataran dan subur dengan didukung sistem
pengairan menjadi potensi pengembangan pertanian yang potensial
64
menghasilkan produk tertanian yang baik. Pola pembangunan lahan di Desa
Podorejo lebih didominasi oleh kegiatan pertanian pangan dan horticultural yaitu
padi, jagung, tebu dan lain – lain. Dengan penggunaanpengairan irigasi teknis
dari lodoagung yang cukup memadai serta dibantu dengan pembuatan sumur
buatan, membantu sistem pertanian yang baik.
Namun demikian, tidak berarti tidak ada permasalahan sosial seperti
kemiskinan, pengangguran dan kenakalan remaja di Desa podorejo. Potensi desa
yang ada belum maksimal diberdayakan, hal ini disebabkan kurang
menunjangnya infrastruktur yang memadai dan potensi sumber daya manusia
yang belum tergali.
Luas Wilayah Desa Podorejo terdiri :
Tanah Sawah : 41,5 Ha
Tnah Tegal / Pekarangan : 56,5 Ha
Tanah Tempat Pemukiman : 94,5 Ha
Tanah untuk lain – lain : 18,83 Ha
Jumlah keseluruhan : 211,33 Ha
3. Kondisi Pemerintahan Desa
1. Pembagian Wilayah Desa
Dusun Dawuhan : 2 RT 6 RW
Dusun Ngadigoro : 3 RT 7 RW
65
Dusun Somoteleng : 3 RT 9 RW
2. Struktur Organisasi Pemerintahan
Terlampir :
a. Lembaga Pemerintahan
Kepala Desa : Kepala Desa berjumlah 1 (satu) orang memiliki
tugas menyelenggaarakan urusan pemerintahan,
pembanguanan, dan kemasyarakatan di Desa;
Kepala Desa mempunyai fungsi pelaksanaan
kegiatan Pemerintahan Desa, Pemberdayaan
Masyarakat Desa, Pelayanan Masyarakat Desa,
penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban,
pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum dan pembinaan lembaga – lembaga
kemasyarakatan.
Sekdes : Sekretaris Desa berjumlah 1 (satu) orang
memiliki Tugas menjalankan administrasi
pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan di desa serta memberikan
pelayanan administrasi kepada Kepala Desa;
memberikan saran dan pertimbangan kepada
66
Kepala Desa di bidang tugasnya; melaksanakan
tugas Kepala Desa apabila Kepala Desa
berhalangan ; mengkoordinasi urusan – urusan ;
melakasanakan Tugas lain yang diberikan kepala
Desa.
Kaur Pemerintahan : Kepala Urusan Pemerintahan berjumlah 1 (satu)
orang mempunyai tugas melaksanakan tugas
kegiatan bidang administrasi penduduk;
administrasi agraris; tranmigrasi; pemilu;
monografi desa.
Kaur Pembangunan : Kepala Urusan Pembangunan berjumlah 1 (satu)
orang (sementara masing kosong) memiliki
melaksanakan tugas kegiatan masalah – masalah
pembangunan desa untuk dibahas bersama BPD;
membina kelompok pendengar siaran pedesaan;
koperasi; lumbung kemakmuran dan perijinan
perusahaan; menyiapkan petunjuk dalam
melaksanakan pembangunan kepada lembaga
yang menangani bidang pembangunan; meniliti
dan mengadakan evaluasi dalam rangka
koordinasi dan sinkronisasi rencana
67
pembangunan desa serta membantu penyusunan
program pembangunan desa; menggiatkan
pelaksanaan gotong – royong dan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan; memberikan
saran dan pertimbangan kepada sekretaris desa
dalam bidang pembangunan desa; melaksanakan
administrasi pembangunan; melaksanakan
pekerjaan lain yang ditugaskan oleh sekretaris
desa dan / atau kepala desa.
Kaur Kesra : Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat berjumlah
1 (satu) orang mempunyai tugas menyiapkan
saran dan pertimbangan dalam penyusunan
kegiatan generasi muda dan olah raga;
membantu menngatur pemberian bantuan
kepada korban bencana alam; mengadakan
usaha – usaha untuk menghimpun dana sosial;
membantu pengawasan / penanggulangan tindak
perjudian, gelandangan dan tuna sosial;
melaksanakan pembinaan dibidang pendidikan,
kebudayaan, tempat – tempat bersejarah,
kesehatan masyarakat, keagamaan, aliran
68
kepercayaan, memelihara tempat – tempat
ibadah, pembinaan badan – badan sosial dan ijin
usaha sosial; memberikan saran dan
perimbangan kepada sekretaris desa dibidang
kesejahteraan rakyat; melaksanakan pekerjaan
lain yang ditugaskan oleh sekretaris desa dan /
atau kepala desa;
Kaur Keuangan : Kepala Urusan Keuangan berjumlah 1 (satu)
orang mempunyai tugas mengolah administrasi
keuangan desa, menyusun rencana anggaran,
perubahan dan perhitungan penerimaan /
pengeluaran keuangan desa serta melaksanakan
tata pembukuan secara teratur; mengadakan
penilaian pelaksanaan anggaran penerimaan dan
pengeluaran keuangan desa, mempersiapkan
secara periodic program kerja dibidang
keuangan; mengurusi perkreditan yang ada di
desa (KUT); memberikan saran dan
pertimbangan kepada sekretaris desa dibidang
keuangan desa; melaksanakan administrasi
keuangan ; melaksanakan pekerjaan lain yang
69
ditugaskan oleh sekretaris desa / atau kepala
desa.
Kaur Umum : Kepala Urusan Umum berjumlah 1 (satu) orang
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
surat menyurat; mengatur dan menata surat
menyurat yang diselesaikan kepada desa /
sekretaris desa; mengatur rumah tangga
sekretaris desa, tamu – tamu dan kebutuhan
kantor; menyimpan, memelihara, dan
mengamankan arsip, mensitematisasikan buku –
buku inventaris, dokumen – dokumen serta
memberikan pelayanan adaministratif kepada
semua urusan; memberikan saran dan
pertimbangan kepada sekretaris desa dibidang
tugasnya; melaksanakan pekerjaan lain yang di
tugaskan oleh sekretaris desa dan / atau kepala
desa.
Kasun : Kepala Dusun berjumlah 3 (tiga) orang
mempunyai tugas menjalankan kegiatan kepala
dusun dalam kepemimpinan kepala dusun di
wilayah kerjanya; memberikan saran dan
70
pertimbangan kepada kepala desa di bidang
tugasnya; melaksanakan pembinaan
kemasyarakat di wilayahnya; melaksanakan
tugas lain yang diberikan oleh kepala desa.
Jogo waluyo : Jogo waluyo berjumlah 1 (satu) orang
mempunyai tugas mengurusi kesehatan
masyarakat, mendata dan melaporkan
terjangkitnya wabah penyakit; meningkatkan
keluarga berencana; melaksanakan tugas lain
yang diberikan oleh Kepala Urusan Umum.
RW : Berjumlah 8 Ketua RW
RT : Berjumlah 22 Ketua RT
BPD : Berjumlah sebanyak 11 orang
LPM : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat berjumalah
13 (tiga belas) orang mempunyai tugas
membantu Pemerintah Desa dalam hal :
Perencanaan, pelaksanaan, pengawasan /
pengendalian, pembangunan; menggerakkan dan
meningkatkan prakarsa untuk melaksanakan
pembangunan secara terpadu, baik berasal dari
berbagai kegiatan Pemerintah maupun swadaya
71
gotong royong masyarakat; menumbuhkan
kondisi dinamis masyarakat untuk
mengembangkan ketahanan masyarakat di desa;
menyampaikan saran/ usul, pendapat dan
pertimbangan kepada pemerintahan desa
mengenai hal – hal yang berhubungan dengan
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
pembangunan; melaksanakan musyawarah
membina kerukunan hidup masyarakat serta
menyalurkan aspirasi masyarakat.
Tingkat Pendidikan :
Kades : SLTA
Sekdes : SLTA
Kaur Pemerintahan : SLTA
Kaur Pembangunan : SLTA
Kaur Umum : SLTA
Kaur Kesra : SLTA
Kaur Keuangan : SLTA
Staf : SLTA
Kasun : SLTP
RW : SLTP – S1
72
RT : SD - SMA
BPD : SMA – S1
LPM : SMA – S1
Struktur Pemerintahan Desa Podorejo
Tanyis Ketua H. M. Ikrar
Kepala Desa BPD
73
Ariadin
Dawuhan Supriyanto Suko P. Husin
Sunarsih Alimuhsin Tamyis Supardi Domo
_________ Garis Komando
------------- Garis Koordinasi
Secretariat Desa
Kaur Kaur Sumoteleng
Kaur Pemerintahan
KaurUmum
Kaur Pembangunan
Kaur Keuangan
Kaur Kesra
PPKBD
Siti Muslikah
74
4. Keadaan Ekonomi Desa Podorejo
Dengan kondisi secara geografis dan sistem kultur yang ada di wilayah
desa Podorejo yang mayoritas berada di dataran dengan di Bantu sistem
pengairan dan sumur buatan sawah sangat mempengaruhi pola mata
75
pencaharian warga desa Podorejo. Degan mata pencaharian yang bervariasi
pemanfaatan lahan desa Podorejo terbagi menjadi ; untuk pemukiman 94,5
Ha, pertanian sawah 41,5 Ha, Ladang / Tegalan 56,5 Ha, bangunan 10,8 Ha,
perikanan darat 1,2 Ha dan sisa digunakan pemanfaatan lain – lain.
Perkonomian masyarakat desa Podorejo tergolong cukup variatif dilihat
dari jenis usaha yang bermacam – macam. Secara umum dilihat dari
klasifikasi kelembagaan dan kelompok industry dapat dibagi sebagai berikut:
a. Koperasi / Pra Koperasi : 2
Jumlah anggota : 94 Orang
b. Industry Kerajinan : 114
Jumlah Pekerja : 114 Orang
c. Industry Pakaian : 5
Jumlah Pekerja : 49 Orang
d. Industry Makanan : 4
Jumalh Pekerja : 54 Orang
e. Industry Bangunan : 2
Jumlah Pekerja : 6 Orang
f. Toko / Kios : 27
g. Pasar : -
h. Kelompok Simpan Pinjam : 5 Kelompok
i. Usaha perikanan : 31 Orang
76
j. Usaha Peternakan : 31 Orang59
B. PRAKTEK JUAL BELI TANAH DI DESA PODOREJO
Jual beli tanah menurut UU No. 05 tahun 1960 Undang Undang Pokok
Agraria (UUPA) pasal 26 ayat 1 ditentukan bahwa: “Jual beli,penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan
peraturan pemerintah
Jual beli pada umumnya adalah suatu persetujuan dengan mana adanya suatu
perjanjian atau suatu ikatan antara pihak yang mempunyai barang yang disebut pejual
yang nantinya mempunyai kewajiban menyerahkan barang yang dimilikinya kepada
pihak yang lain yang disebut pembeli adapun kewajibannya adalah membayar harga
yang telah disepakati.
Setiap jual beli nanti akan menimbulkan suatu perjajian dimana perjanjian
tersebut dianggap syah apabila memenui syarat syarat yang telah ditetapkan oleh
undang undang. Menurut pasal 1320 KUHPdt, syrat syarat syah perjanjian antara lain
yaitu ;
a) Adanya persetujuan kehendak antara pihak pihak yang membuat
perjanjian
b) Adanya kecakapan pihak pihak untuk membuat perjanjian
c) Adanya suatu hal tertentu
59 Data dari Desa Podorejo tahun 2010
77
d) Adany suatu hal yang halal
Jual beli yang tidak memenui syarat syarat tersebut tidak akan diakui oleh
hukum, walaupun hal itu diakui oleh pihak pihak yang mebuatnya. Selagi pihak pihak
mengakui dan mematui perjanjian yang mereka buat kendatipun tidak memenui
syarat syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada
pihak yang tidak mengakuinya sehingga menimbulkan sengketa, maka Hakim akan
membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.
Menurut pasal 1457 KUHPdt apa yang disebut “jual beli tanah“ adalah suatu
perjanjian dimana pihak yang mepunyai tanah yang disebut penjual berjanji dan
mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada
pihak lain yang disebut pembeli, sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan
diri untuk membayar harga yang telah disetujui.
Namun walaupun telah melakukan jual beli belum terjadi perubahan hak
apapun pada hak atas tanah yang bersangkutan. Biarpun misalnya pembeli sudah
membayar penuh harganya dan tanahnya secara fisik sudah diserahkannya. Hak atas
tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli jika penjual sudah menyerahkan
secara yuridis kepadanya, penyerahan secara yuridis biasanya dilakukan dihadapan
notaris yang membuat aktanya sekaligus melakukan pendaftarannya.
Namun realita yang ada jual beli tanah yang dilakukan tidak semua sama
dengan apa yang telah dijelaskan dalam peraturan undang undang. Di desa Podorejo
jual beli tanah yang dilakukan menganut hokum adat setempat, dimana jual beli yang
78
dilakukan bukan suatu perbuatan hukum. Dimana jual beli menurut hokum adat
merupakan hokum pemindahan hak dengan pembayaran tunai.
Jual beli tanah yang penulis temukan di desa Podorejo diantaranya adalah jual
beli dibawah tangan dimana pihak yang mempunyai tanah menyerahkan tanahnya
setelah pembeli membayar penuh harga yang telah disepakati, hal itu dilakukan tanpa
sepengetahuan notaris desa atau aparat desa setempat. Selain itu ada praktek jual beli
tanah warisan yang masih belum dibagi antara pewaris yang satu dengan pewaris
yang lain yang pada saat itu masih di luar provinsi. Dari hasil wawancara penulis
dengan salah satu warga Podorejo Rt 02/ Rw 01 bahwasannya jual beli itu terjadi
apabila antara kedua belah pihak menyetujui akan perjanjian yang dilakukannya, dari
situ jual beli tanah sudah dianggap syah.
Di bawah ini ada beberapa data tentang masyarakat desa Podorejo yang
melakukan jual beli tanah dalam kurun waktu 5 tahun mulai tahun 2006 – 2011.
A. Bapak Sujak beliau memiliki tanah seluas 25 x 10 m2 dan menjual
tanahnya dengan cara jual beli di bawah tangan
B. Ibu Lasemi beliau membeli tanahnya seluas 25 x 10 m2 dengan cara jual
beli di bawah tangan
C. Ibu Suratun memiliki tanah seluas 50 x 12 m2 beliau melakukan jual beli
sesuai dengan peraturan yang ada di desa tersebut
D. Bastomi membeli tanah seluas 15 x 25 m2 tanah tersebut masih ada
sengketa ahli waris
79
E. Mukayah pada tahun 2009 menbeli tanah hasil warisan pada saat itu msih
juga ada senggketa dari ahli waris
F. Bapak sujiono membeli tanah yang sesuai dengan peraturan jual beli yang
ada di desa akan tetapi beliau tidak mendaftarkan peralihan hak miliknya
G. Ibu istiroh menjual tanah seluas 45 x 87 m2 waktu itu semua urusan surat
suratnya di serahkan kepada pejabat desa
H. Bapak sumaji membeli tanah sesuai dengan peraturan yang ada dalam
undang undang
I. Bapak salamun membeli tanah tampa ada akta tanah
J. Ibu yayuk membeli tanah yang prosedurnya sama dengan undang undang
K. Bapak yayak juga membeli tanahyang prosedurnya sesuai dengan
peraturan undang undang
Data Responden Masyarakat Desa Podorejo Kec. Sumbergempol Kab. Tulungagung
Tentang Jual Beli Tanah Menurut Peraturan Undang – Undang No. 05 tahun 1960
Responden Tahu Tidak Tahu Tidak Mau TahuA B C D E F G H I J K
80
1. Responden A dan C sebenarnya tahu akan tetapi tidak mau tahu dengan
peraturan yang ada
2. Responden B bukannya tidak mau tahu akan tetapi benar benar tidak tahu
3. Responden D,I dan F tidak tau dan tidak mau tau dengan Peraturan
tersebut
4. Responden G dan E benar benar tidak tau
5. Responden H, J, dan K tahu
Dari data diatas menjelaskan bahwasannya dalam kurun waktu tahun 2006-
2011, jual beli dalam prakteknya tidak semua sama dengan peraturan Undang
Undang yang berlaku. Kenyataannya dari ke 11 (sebelas) responden yang
diwawancarai penulis 8 (delapan) diantaranya tidak tau dengan Peraturan tentang jual
beli tanah menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1960, Tiga (3) diantaranya sesuai
dengan Peraturan yang berlaku.Demikianlah data yang penulis dapatkan di lapangan
tepatnya di Desa Podorejo Kecamatan Sombergempol Kabupaten Tulungagung.
C. Kendala-Kendala yang Terjadi Dalam Jual Beli Hak Atas di Desa Podorejo
Jual beli dalam bidang pertanahan baru dalam taraf menimbulkan hak dan
kewajiban saja ( obligator ),tetapi belum memindahkan hak milik. Hak milik baru
beralih kepada pembeli apabila dilakukan penyerahan bendanya itu oleh penjual
kepada pembeli, peralihan hak milik benda tersebut adalah perbuatan yuridis.
81
Dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Agraria No.3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian dan Pembatalan Keputusan hak atas tanah
Negara.Proses peralihan hak atas tanah yang diperlukan untuk menjalankan
usahanya,yaitu hak milik atas tanah. Menurut proses proses yang biasa,Maka hak
semula ( hak milik, hak pakai atau hak guna usaha ) harus dilepaskan sehingga tanah
tersebut menjadi tanah Negara dan kemudian kemudian dimohon sebagai hak milik
baru.
Pejabat Notaris Bapak Ariadin desa podorejo yang merupakan salah satu
pelaksana dan fungsi dari peralihan pendaftaran jual beli tanah di desa podorejo atau
lingkup suatu Desa. Dalam pelaksanaannya jual beli petanahan di Desa Podorejo
selama ini sudah dirasa berjalan baik, namun dalam perjalanannya, proses jual beli
tanah tersebut bukan berarti tidak menemui kendala kendala,ada beberapa kendala
yang sempat dialami antara lain:
a. Masyarakat tidak mau dibuat repot dengan peraturan tentang jual
beli tanah yang ada
b. Masyarakat disibukan oleh pekerjaanya,sehingga segala sesuatu
tentang urusan jual beli tanah terpaksa diserahkan ke kepala desa
dan sekretaris desa
c. Faktor biaya menjadi salah satu factor gagalnya proses peralihan
hak atas tanah dari jual beli.
82
d. Setelah pengukuran biasanya pemohon pergi ke luar negeri/ luar
kota, sehingga petugas kesulitan klarifikasi data tambahan.
e. Setelah pengukuran, pethok batas bidang tanah jarang dipasang
oleh pemohon dengan begitu petugas kesulitan dalam pengukuran
ulang.
f. Terjadi sengketa batas antara pemohon dengan pemilik hak milik
tanah sebelahnya.
g. Adanya salah satu pihak ahli waris tidak menyetujui, biasanya
terjadi dalam jual beli hak waris.
Untuk harta bersama apabila suami atau istri ingin menjual tanahny maka harus
mendapat persetujuan salah satunya. Missal,suami ingin menjual hak milik atas tanah
harus mendapat persetujuan istri,begitu juga sebaliknya.60
D. Pemahaman Masyarakat Terhadap Mekanisme Jual Beli Tanah.
Landasan awal jual beli atas tanah sebagai upaya memperoleh kepastian
hukum Hak milik atas tanah adalah dengan dikeluarkannya Undang Undang No.5
Tahun 1960,pada Pasal 23 ayat 1 ,Undang Undang tersebut diserukan bahwa “Hak
Milik,demikian pula setiap peralihannya, hapusnya hak dan pembebananya dengan
hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan ketentuan yang dimaksud dalam
Pasal 19 Ayat 1.
60 Hasil wawancara dengan Bapak Ariadin selaku Sekretaris Desa Podorejo tanggal 26 Juli 2011
83
Pada Pasal 19 Ayat 1 yang berbunyi bahwa”untuk menjamin kepastian hukum
oleh Pemerintah dilakukan perdaftaran tanah di seluruh wilayah republik Indonesia
menurut ketentua-ketentuan yang diatur oleh pemerintah. Dengan begitu maka
pemerintah selaku sebagai kekuasaan tertinggi dapat memberikan kepastian hokum
kepada masyarakatterhadap tanah yang dimilikinya.
Dalam pelaksanaannya diatur dalam peraturan peraturan pemerintah yang
mana dalam peraturan peraturan itu memuat tentang berbagai syarat syarat dan
mekanisme untuk proses jual beli tanah menurut hak milik peralihan hak
milik ,satuan satuan rumah susun dan hak guna bangunan dan sebagainya.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan di masyarakat adalah masyarakat
banyak yang tidak tahu tentang bagaimana cara yang benar untuk memperoleh hak
milik atas tanah dari jual beli tanah yang telah dilakukannya. Kalaupun ada
masyarakat yang mengetahui mekanisme jual beli tanah benar itupun cuma sedikit,
setelah penulis terjun langsung ke masyarakat tepatnya di Desa Podorejo Kecamatan
Sumbergempol Kabupaten Tulungagung, ternyata benar masih banyak masyarakat
yang tidak tahu tentang jual beli hak atas tanah yang benar,
Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa warga desa Podorejo salah
satunya adalah Bapak Sujak warga RT 02/ RW 01 beliau mengaku bahwa
sepengetahuanya jual beli tanah itu cukup dengan adanya persetujuan dari pihak
pembeli dan pihak penjual saja sudah cukup untuk melakukan jual beli, selain itu
84
urusan yang lain diserahkan kepada aparat desa, kita tidak perlu mengurus sampai ke
BPN (ujar bapak Sujak).61
Dari hasil wawancara itu penulis menarik kesimpulan bahwa hal tersebut
disebabkan karena masyarakat tidak meperoleh penyuluhan tentang bagaimana cara
melakukan jual beli tanah yang benar, yang mereka ketahui tentang jual beli tanah
hanyalah adanya pembayaran seorang pembeli kepada penjual hak milik atas tanah
tersebut. Selain itu apabila suatu saat mereka ingin menjual atau membeli mereka
cukup melapor ke kepala desa dan perangkatnya untuk mengurusnya. Tanpa mereka
tahu bagaimana proses dan tahapan tahapannya, kalaupun ada masyarakat yang tahu
dengan prosedur jual beli ini, mereka juga terkesan diam dan tidak mau memberi
pengalaman kepada masyarakat yang lainnya.
Kekurang pahaman masyarakat terhadap prosedur atau mekanisme jual beli
tanah sangat memprihatinkan, menurut penulis kemungkinan penyebabnya adalah
terbatasnya pendidikan, rasa ingin tahu yang kurang, tidak mau repot dengan proses
yang dilaluinya, dan mereka condong untuk menjalankan aktifitas pekerjaannya, dan
dengan berat hati mereka melimpahkan urusan urusan tersebut kepada kepala desa
dan perangkatnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Tamyis selaku Kepala Desa
Podorejo dan juga Bapak Carik pada bagian staff survei, pemetaan dan pengukuran ,
beliau menghimbau pada masyrakat khususnya masyarakat Desa Podorejo agar ;
61 Hasil wawancara dengan warga RT 02 RW 01 Ds. Podorejo tanggal 27 Juni 2011
85
a. Mengusahan mendaftarkan tanah miliknya dari hasil jual beli
maupun milik sendiri di Kantor Badan Pertanahan Tulungagung.
b. Memanfaatkan prugam SMS (Sertifikat Masal Swadaya)
c. Kalau ada masalah sengketa tanah usahakan diselesaikan dengan
musyawarah
d. Apabila melakukan mekanisme jual beli dengan memenui syrat
syarat yang ada.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Praktek jual beli menurut Undang Undang No.05 Tahun 1960 adalah
melakukan peralihan hak milik atas tanah dengan langkah langkah
mendaftarkan tanahnya supaya mendapatkan kepastian hukum yang kuat.
Seperti yang tertuang dalam Pasal 6 Ayat 1 menjelaskan bahwa: “Jual beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dan wasiat dan perbuatan perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk peralihan hak milik serta pengwasannya diatur oleh
Pemerintah. Adapun peralihan haknya diatur dalam Pasal 23 Ayat 1
86
menyatakan: “Hak milik, demikian pula peralihannya, hapusnya dan
pembebananya atas hak hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan Pasal
19” UUPA.
Adapun dalam prakteknya tidak semua jual beli hak milik atas tanah sesuai
dengan peraturan yang tertuang dalam Undang undang No, 05 Tahun 1960
tentang jual beli tanah, kenyataanya dari data yang penulis peroleh di
lapangan tepatnya di Desa Podorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten
Tulungagung banyak praktek jual beli yang menyalahi aturan yang ada dalam
Undang Undang No. 05 Tahun 1960, seperti halnya masyarakat melakukan
jual beli dibawah tangan, pemindahan hak milik atas tanah tidak didaftarkan,
masih adanya paksaan dari pihak lain hal ini terjadi pada jual beli tanah dari
hasil warisan.
2. Kendala kendala jual beli yang ada di Desa Podorejo Kecamatan
Sumbergempol adalah masyrakatnya tidak mau dibuat repot dengan aturan
jual beli yang ada, masih adanya sengketa lahan, factor biaya yang mahal, dll.
3. Pemahaman masyarakat terhadap pelaksanaan jual beli yang sesuai dengan
Peraturan Pemerintah sangat minim ,hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi
dan penyuluhan yang berkaitan dengan hukum jual beli yang benar.\
87
B. SARAN SARAN
Dengan terselesainya skripsi ini, maka penulis memberikan saran
kepada pejabat pemerintahan desa Podorejo dan juga masyarakat agar:
1. Hendaknya kepala desa memberikan pelayanan yang
mempermudah proses jual beli, dan juga melakukan sosialisasi
kepada masyarakat tentang jual beli yang benar.
2. Hendaknya pemerintah desa bekerjasama dengan Badan
Pertanahan Nasional untuk mengadakan penyuluhan hukum atau
tata cara jual beli yang benar, sehingga masyarakat tidak buta
terhadap proses dan tata cara jual beli seperti dalam peraturan
pemerintah yang berlaku.
3. Untuk masyarakat hedaknya mengikuti hukum yang berlaku
jangan membuat hukum sendiri. Supaya nantinya mendapatkan
hak atas tanah yang seadil adilnya.