1 Review Yang Dipakai

download 1 Review Yang Dipakai

of 21

description

gfmhyu786

Transcript of 1 Review Yang Dipakai

Review Mata Kuliah Metode Studi Islam

General Riview

PERJUMPAAN DENGAN MATA KULIAH

METODE STUDI ISLAM

Oleh:

Musawar

NIM: F05511059

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, M.A

Kelas Khusus C

Program Doktor

Institut Agama Islam Negeri Surabaya

2012PERJUMPAAN DENGAN MATA KULIAH

METODE STUDI ISLAMA. Genuine Encounter

1. Pra PerkuliahanPemikiran tentang agama dan keagamaan?Saya akui bahwa dulu saya pernah mendapat perkuliahan dari Bapak Prof.Dr. H. M. Amin Abdullah, M.A pada mata kuliah MSI, sewaktu saya mengambil S2 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2000-2002, saya ingat tema presentasi saya pada saat itu berjudul "Teori-teori Dasar Pemikiran Modern Dalam Islam antara Sir Hamilten AR Gibb dan Harun Nasution". Perkuliahan pada S2 merupakan pembuka pemikiran saya tentang bagaimana memahami agama Islam, dengan cara membaca pikiran para pemikir Islam modern (keagamaan). Namun hal itu, belum memadai bagi saya, karena adanya dalam pemikiran saya ketidakbebasan dalam berpikir yang disebabkan kebekuan pemikiran dalam mensikapi pemikiran klasik ataupun modern. Hal inilah, membuat saya belum sepenuhnya mau menerima keberadaan pemikiran orang lain, baik insider (muslim) atau outsider (non-muslim), sehingga sering terjadi adanya "truth claim" yang ada pada diri saya, dan hal ini terbukti karena kebodohan tersebut, bahwa saya pernah berdebat mahasiswa S3 IAIN Sunan Ampel, kakak kelas, yang sedang kuliah, namanya Drs, Makruf, M.Ag (dosen IAIN Mtaram) mungkin dia mahasiswa Bapak dan mungkin telah menerima materi kuliah MSI dari Bapak. Perdebatan itu berkisar tentang "al-Qur'an", yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, SAW, kawan saya itu berpendapat bahwa: "al-Qur'an itu budaya", pendapat ini yang saya tidak terima. Dengan berbagai agumentasi yang saya pandang final (tak terbantahkan), seperti mislanya pandangan tentang "Qathi", ayat-ayat mengenai tauhid (aqidah), dan sebagainya, sekali lagi seseuatu yang saya pandang hal yang final dan crucial. Kawan saya itu tetap berapandangan "al-Qur'an dan semua itu budaya", akhirnya perdebatan pun berakhir dengan padangan saya bukan budaya. Itulah kebodohan saya tentang "Dirasah Islamiyah"Selain itu, saya sangat percaya dan berkeyakinan terhadap kitab kuning -sebelum mengenal istilah "turast"- sangat kuat, sehingga apa yang ditulis oleh ulama' itu kemauan Tuhan, sehingga terjadi dalam pikiran saya untuk melanggar mazhab adalah suatu yang sulit (takut), maka ketakutan itu menjadikan saya merasa picik dan kaku dalam beragama, apalagi ketika menghadapi teks-teks yang zhahir dari kitab al-Qur'an, hadist, dan kitab kuning. Ketika itulah pikiran sudah tidak bisa berjalan lagi (bahasa Jawa: mentok). Itulah yang terjadi, dan saya rasakan kebebasan dalam beragama masih terasa sulit dalam pemikiran. Jadi, tegasnya sikap yang saya rasakan adalah belum bisa bersikap sebagai orang yang memiliki sikap keterbukaan, keterbebasan berpikir tampa batas dalam beragama, serta sikap arif kepada pandangan orang lain, walaupun dulu S2 sebagai pembukanya. Itu gambaran kebekuan pemikiran saya sebelum memasuki S3 terutama sebelum menerima perkuliaha MSI yang dibimbing oleh Prof.Dr. H.M.Abdullah M.A.2. Proses PerkuliahanMenurut saya proses perkuliahan MSI yang Bapak bimbing merupakan perkuliahan yang aktif dan hidup, saya rasakan hidupnya suasana kelas dikarenakan beberapa hal: 1). Bagi kami dengan sendiri dipacu untuk menemukan ide-ide penting dan baru dalam membangun gagasan sebagai solusi permasalahan umat secara gelobal bukan parsial.

2). Bagi kami proses perkulian MSI merupakan proses pembentukan seorang sebagai ilmuan. Paling tidak, kami mendapatkan contoh tentang kebaruan dan perkembangan pemikiran, karena mahasiswa diajak untuk menggeluti hal-hal yang tidak pernah dirambah dan bahkan vital kalau dibicarakan.3). Kepiawaian pengampu memberikan potret dan sosolusi tentang gambaran pemikiran seorang yang kaji oleh mahasiswa, sehingga dengan gambaran itu mahasiswa terbuka wawasan untuk berfikir, dan paling tidak mahasiswa memiliki pemikiran seperti pemikiran seorang yang dikaji.4). Bagi kami dengan pengaturan dan disiplin waktu yang sedemikian rupa merupakan pendidikan bagi kami untuk berlaku disiplin dalam menjalankan tugas.

3. Pasca Perkuliahan

Bagi saya setelah mendapatkan perkulihan MSI ada hal baru, yaitu bahwa saya harus memiliki sikap sebagai berikut:

1. Berfikir Struktur dan Sistematis.

Yang saya maksudkan dengan hal ini adalah bahwa saya paling tidak memiliki 4 komponen penting dalam menuangkan gagagasan, yaitu: a "Doubt" yang bersifat academic. Bagi saya dalam berbagai bidang yang saya geluti harus memiliki "doubt" (keraguan) yang mendorong untuk melakukan kajian (inquiry) guna menghilangkan segala keraguan yang bersifat akademik, sebab bila hal ini tidak ada maka prosese pemikiran akan mandak dan tidak berkembang.b. Metode berpikir (metodologi pemikiran). Bagi saya, saya harus memiliki kerangka berpikir yang jelas dalam memberikan gagasan yang saya usung sebagai suatu solusi terhadap problematika kehiduapan social secara umum, sehingga gagasan yang saya tuangkan itu dapat dijadikan sebagai suatu teori yang memiliki nilai temporal sesuai dengan perkembangan pemikran, situasi dan kondisi.c. Pendekatan. Bagi saya dalam mengagas pemikiran, saya harus memiliki pendekatan yang dapat dijadikan acuan untuk memberikan kejelasan alur pemikiran saya, sehingga jelas apa yang dimaksud oleh gagasan yang saya lontarkan sesuai dengan disiplin keilmuan.d. Bagi saya, apapun gagasan yang saya telurkan harus memiliki nilai kontribusi bagi masyarakat (paling tidak ke mahasiswa saya). Karena kehidupan social bagi saya, dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, keberagamaan, ekonomi, dan lainnya merupakan suatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan nyata, baik secara khusus ataupun gelobal, oleh karena itu diperlukan gagasan yang bermafaat bagi kehidupan sosial.2. Frame berfikir

Bagi saya setelah mengikuti perkuliahan yang diberikian oleh Bapak Prof Dr. H. M. Amin Abdullah, M.A, khususnya dalam mata kuliah MSI benar-benar membuka dan mengisi prame pemikiran saya, dari MSI inilah saya mengetahui beda antara agama dan keberagamaan (al-din wa al-fikr al-diniy). Keduanya sangat berberda, agama merupakan the given thing dan bersifat obyektif, sementara keagamaan merupakan budaya (yang merupakan hasil karya manusia) yang sangat dipengaruhi oleh "lingkungan" (politik, ekonomi, social, dan kepentingan lainnya) atau sesuatu yang mengalami tarikhiyah. Dan ini adalah jawaban yang saya temukan, sebagai jawaban atas kebodohan saya, ketika saya bertahan dengan pendapat saya, pada saat saya berdebat dengan teman saya Drs. Makruf sebagaimana saya ceritakan di atas.

Lebih dari itu, saya rasakan bahwa sebagai seorang ilmuan harus selalu berfikir untuk mencari hal-hal yang terbaru yang fresh dalam rangka tidak terjadinya kemandakan dalam berfikir. Dari hal inilah, saya kenal namanya al-Sabab al-Nuzul Al-Jadid dalam rangka membangun gagasan kebaruan konteks, sehingga saya tidak terkukung oleh pemikiran klasik (turast). Jadi, kejumudan berfikir wajib dihindari karena secara terbuka seorang ditantang untuk menemukan "kebenaran-kebenaran" sehingga tidak ada namanya kebenaran tunggal. Dari itu, saya berkeyakinan bahwa seorang ilmuan masih mencari kebenaran itu, sebab keberanaran itu belum pernah tuntas, tapi kebenaran itu masih dalam proses atau on going proses. Oleh karena itu pula, saya merasa bahwa apapun keberagamaan seorang merupakan hal yang belum final, sehingga semua itu masih bersifat nisbiy (relative), termasuk apa-apa yang ditulis siapapun dan apapun yang tertuang dalam turast qadimah dan al-mu'ashirah, baik dalam kategori kalam, fiqh, tafsir, dan lainnya. Jadi, tegasnya apa yang saya rasakan dan yakini bahwa kebenaran itu tidak tunggal, akan tetapi kebenaran itu banyak sekalipun dalam agama. Seorang dapat dikatakan sombong bila ia hanya mengukung diri dengan kebenaran diri sehingga tidak menghiraukan kebenaran yang ada pada orang lain. Sikap sepertilah yang akan memberikan epek negative, yaitu menyalahkan orang lain sehingga ia harus menumpasnya. Namun, sikap yang edial bagi saya adalah adanya sikap keterbukaan kebebasan berfikir, toleran, berlaku bijak kepada siapapun dengan memengang prinsip bahwa kita hidup di dunia ini bersama orang (insider dan outsider)B. Lesson Learned1. Materi

Setelah mendapat perkuliahan MSI dengan berbagai focus kajian, sesuai dengan jadwal yang diberikan oleh Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, M.A yang menekakan pada metode, kerangka berfikir, pedekatan pada sisi kontemporer, seperti beberapa pemikir berikut: Charles Sander Peirce dengan teorinya Pragmatisme, Yaseer Audah dengan teorinya Maqashid al-Syariah dalam versi kotemporer yang bersifat universal, Abdullah Said dengan teori Fresh Ijtihad yang bercirikan Flexibilities dan Creative, Kim Knott dengan teorinya outsider and insider dalam kajian studi Islam, an-Naim dengan teorinya Nasikh Mansukh antara Makkah dan Madinah, Abid al-Jabiri dengan teorinya Bayani-Burhani-Irfani yang menekankan pada kritik penggunaan akal orang Arab, Khalid Abou El Fadl dengan teorinya otoritarianisme dalam memahami teks al-Quran, Nasha Abu Zayd dengan pemahamanya tentang Gender Mainstreaming dan lain-lainnya. Namun yang paling berkesan, menghentakkan, dan merubah kerangka berfikir saya adalah 2 (dua) materi presentasi berikut ini, karena ada dua alasan sebagai berikut: 1). Materi pertama mengajak saya untuk melihat dan membuka wawasan saya tentang Islam dan turats dalam Islam, karena Arkoun mengkritisi seluruh bangunan turats secara menyelurus, sehingga ia sebut dengan istilah dekontrusi, karena turats dipandang tidak bisa menjawab problema kekinian. 2). Materi kedua membuka cakrawala berfikir saya tentang hubungan antar agama, dengan mengedepankan titik pertemuan Islam dan Keristen dalam keilmuan, yaitu teologi dan tashawwuf. Dengan memahami hal ini, maka akan timbul rasa toleransi dari masing-masing agama yang memiliki kebenaran realita dalam sisi fenomenologi dan antropologi, sehingga tidak perlu menyalah orang lain. Tapi yang harus didahulukan adalah kebersamaan dan tolerenasi dan bijaksana.Dua materi yang paling berkesan, menghentakkan, dan merubah kerangka berfikir yang dimaksudkan adalah:

a. "Dirasah Islamiyah wal Ijtima'iyah" yang difokuskan pada bahasan permikiran Arkoun. Bagi saya pemikiran Arkoun dalam "dirasah Islamiyah wa al-Ijitima'iyah" perlu diperhatikan untuk memberikan warna keterbukaan dan keluesan pemikiran dalam rangka kemajuan ummat Islam melalui pemikiran keagamaan, sesuai yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah sendiri dengan ungkapan sebagai berikut:Jika umat Islam menyadari gagasan Arkoun mengenai keterkaitan "bahasa-pemikiran-sejarah tersebut dikutip, maka akan dimungkinkan adanya kritik pemikran keagamaan, pluralitas pemahaman keagamaan Islam, autetitas dan dinamika pemikiran serta kontektualisasi ajaran. Arkoun mengagas pemikiran dalam rangka kemajuan umat Islam dalam kancah global agar tidak terkukung oleh turast yang dianggapnya sebagai hal yang bersifat logosinterisme yang memiliki sifat sebagai berikut: 1) Nalar Islam yang dikuasai oleh dogmatis dan sangat terkait dengan kebenaran abadi (Tuhan) yang tentu saja bersifat esteti-etis dari pada ilmiyah. 2). Nalar yang seharusnya untuk mengenal kebenaran hanya berkutat pada hal yang bersifat teologi, moral, dan hukum. 3). Nalar hanya bertolak dari rumusan-rumusan umum dan menggunakan metedologi analogis, implikasi dan opsi. 4). Data-data emperis digunakan secara sederhana dan terus dikaitkan denagan kebenaran trasedental serta dimaksudkan sebagai alat legetimasi bagi para penafsir dan menjadi alat apologi. 5). Penalaran Islam cenderung menutup diri dan tidak melihat aspek kesejarahan, social, budaya dan etnik, sehingga cenderung dijadikan wacana yang harus diikuti secara seragam dan taklid. 6). Pemikiran Islam lebih mementingkan suatu wacana dari ruang bahasa yang terbatas.Dalam hal inilah Arkoun ingin menyatakan pemikirannya berupa dekontruksi pemikiran yang bercorak kritik epistemologis, dan membebankan tugas kepada kaum intelektual Muslim (termasuk dirinya sendiri) yang berupa: Pertama, melakukan klarifikasi historis terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca al-Qur'an kembali secara benar dan baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syariah sebagai sistem semiologis yang merelevankan wacana al-Quran dengan sejarah manusia, di samping sebagai tatanan sosial yang ideal. Ketiga, meniadakan dikotomi tradisional (antara iman dan nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi dan sebagainya) untuk menyelaraskan teori dan praktik. Keempat, memperjuangkan suasana berfikir bebas dalam mencari kebenaran agar tidak ada gagasan yang terkungkung di dalam ketertutupan baru atau di dalam taqlid. Dari gagasan dikontrusi yang tawarkan Arkoun cukup memberikan rasangan baru bagi para pemikir, agar dapat apa yang sesungguhnya suatu hal unthinkable dan thinkable dapat dibedakan dan dapat dijadikan wacana berfikir dalam rangka apa yang sesungguhnya hal berupa social dan budaya tidak dinggap sebagai hal yang trasendental.Dari berbagai pemikiran Arkoun, seperti apa yang disebutkan tadi dengan istilah dekontruksi syari'ah", islamogi terapan, imajinasi, dan sebagainya dapat dinyatakan bahwa semua itu bermula dari pada 3 (tiga) hal berikut ini:1. Metode berfikir ArkounMetode berfikir Arkoun adalah historis-kritis (keritik sejarah) dengan tujuann yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi epistemologi baru bagi studi perbandingan terhadap budaya-budaya, melalui contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai sebuah produk sosial sejarah. 2. Pedekatan ArkounArkoun dalam melontarkan pemikirannya dan mengalir dengan 3 (tiga) pendekatan, yaitu 1). Pendekatan: siomatik (), 2).Pendekatan sejarah ( ), dan 3). Pendekatan antropologi () Dengan pendekkatan ini Arkoun mencoba menyatakan bahwa dalam fikiran seorang harus dikaitkan dengan realita sosial sehingga pemikiran itu akan selalu mengarahkan kepada kontek kekinian. Di samping itu pendekatan ini akan dapat dilihat dirasah Islamiyah yang semula lebih berduansa teologi akan berpijak kajian lebih historis dan imperik. Dengan demikian, turast yang bersifat logosintres akan lebih menukik pada data lapangan yang sebagai bukti keterkaitan manusia dengan sosial dan budaya yang dapat dipertimbangkan dalam membangun peradaban yang kekinian.3. Kerangka berfikir Arkoun. Arkoun melihat adanya dikotomi-dikotomi di dalam masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Dikotomi-dikotomi tersebut secara garis besar banyak bersentuhan dengan persoalan-persoalan particularity versus (vs) universality, dan marginality vs centrality. Problem-problem ini tampak tercermin dari adanya pembagian-pembagian dunia secara berhadap-hadapan, seperti Sunni dengan Syii, kaum mistik dengan kaum tradisionalis, muslim dengan non-muslim, Berber (non-Arab) dengan Arab, Afrika (Asia) dengan Eropa dan sebagainya. Oleh karena itu, dunia yang dituju oleh Arkoun adalah dunia yang tidak ada pusat, tidak ada pinggiran, tidak ada kelompok yang mendominasi, tidak ada kelompok yang terpinggirkan, tidak ada kelompok yang superior dan tidak ada kelompok yang inferior di dalam menghasilkan sebuah kebenaran. Pemikiran Arkoun yang sedemikian rupa, bila diberikan potret dalam bentuk bagan maka dapat diilustrasikan dengan bagan sebagai berikut:

b. Materi presentasi yang berjudul: " Muslim and Christian Understanding". Dalam materi ini dijelaskan bagaimana upaya hubungan Islam dan Keristen untuk menciptakan kedaimaian dunia, melalui surat terbuka, yaitu "A Comman Word Between Us And You" yaitu sebuah surat yang dikirim pada tanggal 13 Oktober 2007 oleh sebagian ulama' Islam kepada para paulus, dengan tujuan perdamaian antara Muslim dan Kristen yang dibingkai dalam persamaan dan berkesamaan ajaran yang mulia dalam teks-teks suci dari kedua agama; Islam dan Keristen, berupa ajaran cinta kepada Tuhan dan cinta kepada tetangga, sebagaimana yang dapat diperhatikan dalam ungkapan berikut:

The basis for this peace and understanding already exists. It is part of the very foundational principles of both faiths: love of the One God, and love of the neighbour. These principles are found over and over again in the sacred texts of Islam and Christianity. The Unity of God, the necessity of love for Him, and the necessity of love of the neighbour is thus the common ground between Islam and Christianity.."A Common Word", telah ditandatangani oleh para pakar dari berbagai elemen; akademik, tokoh masyarakat, politikus dan lainnya, seperti diungkapkan berikut: "The letter is signed by 138 prominent Muslim personalities from a large number of countries from several continents. These include academics, politicians, writers and muftis. Selain itu, beberapa lembaga dunia juga terlibat, seperti Vatican, Lambert Palace, Yale, dan Camberidge University dan lainnya.Dalam rangka mencapai kedamaian dunia dengan mempererat baiknya hubungan kedua agama, maka kedua agama besar ini membuka diri dengan menujnjukkan titik pertemuan konsep, yang terangkum dalam 3 (tiga) ranah, yaitu: Theologi, Misythic, Methaphisic. Untuk itu, langkah-langkah yang bersifat akademik sangat dibutuhkan sehingga masing-masing saling memahami keberadaan dan fungsi mereka dalam kehidupan secara global.1. Metodologi

Metode pemikiran yang dibangun untuk menjembatani sehingga terjalinnya hubungan Islam dan Keristen menjadi langgeng adalah dengan mengedapankan sprit hubungan antar agama (interfaith), dengan menyongsong nilai-nilai kedamaian yang diajarkan dalam kedua agama, sebab tidak ada makna yang berbamfaat tampa ada kedamaian dari kedua agama tersebut. Kedua umat Islam dan Keristen harus menyadari keberdaan masing-masing dalam panggung dunia untuk memberikan rasa keamanan, damai, dan kesejahteraan dengan alat-alat yang diguna bagi kehidupan global.

2. Kerangkan berfikir.

Kerangka berpikir dalam membangun kesepahan antara hubungan Islam dan Keristen adalah "Cinta (love) kepada Tuhan" dan "cinta kepada tentangga". "Cinta kepada Tuhan" merupakan simbol tentang manusia yang sangat butuh kepada spritual dalam kehidupan, manusia dengan agama dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan rasa kedamaian dan nyaman, bahkan agama dijadikan sebagai hal yang sakral dan dibela-bela ketika ada orang yang mencomoohnya, walaupun bagi sebagian kelompok berpendapat "Tuhan tidak perlu dibela", karena bagi mereka agama adalah untuk manusia bukan untuk Tuhan. Cinta tetangga merupakan symbol manusia sangat butuh kepada baiknya hubungan manusia dengan manusia.3. Pendekatan yang digunakan:

1. Fenomenologis. Pendekatan ini penting dalam rangka memahami agama orang lain, yaitu sebuah usaha melihat pelbagai gejala-gejala keagamaan yang dimanifestasikan dalam bentuk ide, pengalaman, dan ritual para pemeluknya. Semua hal di atas dijadikan data dan diklasifikasikan secara ilmiyah tertentu, sehingga diperoleh pandangan yang menyeluruh dan utuh dari sisi dan bentuk ritual-ritual yang dilakukan. Dengan cara ini, makna agami (religious meaning) akan dapat ditangkap dengan benar sesuai dengan pemeluknya. Sementara alat yang digunakan untuk memahami agama lain dalam pendekatan ini adalah "epoche" dan "eidetik". Dengan pendekatan ini orang akan memahami esensi agama orang lain apakah Islam, Keristen, Budha, Hindu, dan lainnya, karena ia akan bersikap dengan sikap "epoche": 1). menangguhkan pemberian nilai tentang benar atau salah. 2). Bersikap netral, dan 3). Mendengarkan secara serius apa yang sesungguhnya menjadi makna agamis (religius meaning) dari gejala-gejala yang keagamaan yang nampak. Hal ini akan mengantarka seorang kepada penemuan "eidos".

2. Dialogis. Pendekatan ini digunakan sebagai salah satu cara untuk memahami orang lain, karena bersifat shering dengan orang, bukan tentang. Dengan dialog antar agama orang akan dapat memahami komitmen keagamaan patnernya. dialog akan memberikan keterbukaan orang lain. Dalam memahami orang lain, melalu penedakatan ini sebagai alternatif adalah sebagai berikut: 1). menangkap suatu kesatuan mistis di atas atau dibawah semua perbedaan temporal dan fisis. 2).mengakui perbedaan tradisi keagamaan yang berbeda sebagai kekuatan-kekuatan alternatif dan kopmplementer yang tidak dapat didamaikan (lakum dinulum wali yadin). Dalam hal ini, dialog yang dikemukan adalah problem kemanusian yang kritis, seperti penindasan, ketidak adilan, filosofis sfesifik seperi klaim kebenaran. Dalam pandangan ini kebenaran atau keadilan tidak perlu dipandang sebagai suatu realitas transenden, melainkan sebagai suatu gagasan penganturan umum atau isu yang lazim bagi semua orang yang berfikir. Pendekatan ini disebut "dialog humanis rasionalistis".

3. Keilmuan. Pendekatan ini digunakan sebagai alat untuk memahami orang lain, bahwa apapun bentuk pemikrian bagi seorang atau kelompok ilmuawan maka ia merupakan sesuatu bersifat nisbiy, sesuatu yang belum final. Kelaim kebenaran itu masih bersifat proses atau on going proses.

Salah satu hal terpenting dalam memberikan jawaban terhadap titik temu antara Islam dan Keristen adalah sisi tasawwuf. Dalam kajian ini Carne Dagle memberikan pendapat bahwa sisi tasawwuf akan lebih toleran terhadap orang lain dibanding teologi, sesuai dengan ungkapan Carne Dagle sebagai berikut:Most Sufis are comfortable with the notion that God looks favorably upon doctrines and beliefs which the Sufi might see as limiting or superficial. A Sufi can appreciate that an Asharite theologian has a role in society and has a positive effect in the overall economy of the Muslim community.

Menurut Carne Dagle tashawwuf lebih terfokus berbicara dalam hal substansi, maka lebih lanjut Carner Dagle sangat yakin akan pentingnya keterlibatan para sufi dalam "A Common Word", karena inti kesalahan para sufi lebih memungkinkan untuk tidak terjadinya ketimpangan dalam memahami ajaran orang lain (agama lain), sehingga tidak saling menyalahkan, bahkan dokumen seperti "A Common Word" pun menjadi tidak perlu ada. Hal ini sebagaimana diungkapnya sebagai berikut:

If all there were in the world were Zen masters, Sufi Sheikhs, Christian monks, and Native American medicine men, there would hardly be any need for documents such as A Common Word at all. Everyone would be able to discern the spiritual content and truth in the other religion, since it is much easier for a master of the school of Ibn al-Arabi to understand Advaita Vedanta than it is for an Asharite to understand.

Ibnu Arabi, al-Jilli, dan sebagainya walaupun masih diperselisihkan- dan lainnya yang dipopulerkan oleh Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka. Sehingga kalau diberikan bagan dari pemikirannya akan seperti berikut ini:

Sebagai contoh Frithjof Schuon yang sudah menjadi mu'allaf --berubah nama menjadi Isa Nuruddin Ahmad al-Syazhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami dengan Islam sebagai agama pilihannya setelah mengembara dan bertemu beberapa tokoh Islam, Hindu, dan Budha di beberapa daerah sampai ke Amerika Serikat-- berpendapat intisari agama adalah a common ground meski hukum, dogma, ritual dari agama-agama tersebut berbeda. Schuon memeparkan teori bahwa dalam ego manusia terdapat entitas (kesatuan yang lahir): 1).Badan (body), Otak (brain) dan Hati (heart), Masing-masing diasosiasikan pada: 1). fisik, 2). fikiran dan 3). intelek. Bila tiga hal dihubungkan dengan realitas, maka intelek bisa diasosiasikan dengan esensi Tuhan dan langit. Fikiran dan badan di bawah kendali intelek. Hal ini lebih disebakan karena intelek adalah the centre of human being yang berada dalam hati. Di dunia fisik, intelek terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body). Melalui intuisi manusia berusaha memahami kebenaran, sedang intelek dasar dari intuisi. Jalan pikiran Frithjof Schun dalam bagan akan berbentuk:

Diasosiasikan sebagai: 3 komponen dihubungkan dengan realitas:

Oleh karena itu, bagi Frithjof Schuon di dalam agama mengandung ada dimensi:1. Eksoterik 2. Esoterik. Keduanya bisa digali lewat intelektualitas. Agama-agama bertemu pada level esoterik (bathin) bukan eksoterik (zhahir). Eksoterik adalah aspek eksternal terdiri dari: dogmatis, ritual, etika dan moral suatu agama. Eksoterik berada pada maya, kosmos yang tercipta. Menurut paradigma eksoterik, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum bukan sebagai Esensi. Sejatinya Eksoterik berada dalam maya yang relatif dalam hubungannya dengan atma. Frithjof Schuon dalam gagasannya bahwa falsafah eksoterik mempunyai keharusan mutlak bagi keselamatan individu. Inti dari eksoterik adalah kepercayaan pada dogma eksklusifistik dan kepatuhan pada hukum ritual dan moral. Eksoterisme muncul dari Tuhan. Esoterik adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Melalui esoterisme manusia menemukan dirinya yang benar, yang diimpilkasikan dengan nilai-nilai ketuhanan. Esensi dari esoterisme adalah kebenaran total yang tidak teredusir pada eksoterisme yang mempunyai keterbatasan. Kesimpulan dari hal ini menunjukkan bahwa yang mutlak atau absolut baik dalam Islam maupun agama lainnya adalah dimensi esoterik, sedangkan dimensi eksoterik harus relatif berkoeksistensi dengan agama besar yang lain. Pemikiran Frithjof Schuon di atas kalau dibagankan pemikiran maka akan berbentuk seperti berikut ini:

Selanjutnya keberadaan wada "A Common Word" sebagai wadah perekat hubungan Islam dengan Keristen yang berperan sebagai agama terbesar penduduknya di dunia, sangat didisetejui ole berabagai kalangan, baik oleh kalangan akademik, politik, pemerintah dan sebagainya. Kalau dibuatkan bagan hubungan Islam dan Keristen melalui "A Common Word" akan berbentuk sebagaia berikut:

Dengan memahami hubungan antara agama maka saya sadari bahwa siapapun harus bersikap bijaksana terhadap orang lain (non-muslim), dengan tidak mengedapankan truth claim dan tidak bersikap sebagai orang sombong yang mengedepankan slogan "wrong or right is my country", tampa melihat bahwa mereka berada di dunia luas, dan hidup bersama orang lain dengan berbagai macam budaya dan pradaban, tetapi bagaimana Islam dikedepankan sebagai ramat bagi alam dengan keterbukaan dalam berfikir.b. MetodeBagi saya setelah memperoleh mata kuliah MSI, saya mendapatkan metode belajar-mengajar, yaitu learning by self dan class discussion, yang kemudian yang dilanjutkan dengan penjelasan (explanation) sebagai analisa jalan pemikiran oleh pengampu, yang saya dapat terapkan bagi mahasiswa saya, karena ada dua alasan dalam hal ini, yaitu:

1. Bagi saya, dengan metode mengajar seperti itu paling tidak mahasiswa dengan sendiri dipacu untuk menemukan ide-ide penting dan baru dalam membangun gagasan sebagai suatu solusi permasalahan umat secara gelobal.2). Bagi saya, dengan metode itu bagi mahasiswa, paling tidak mendapatkan contoh tentang kebaruan dan perkembangan pemikiran, karena mahasiswa diajak untuk menggeluti hal-hal yang tidak pernah dirambah dan bahkan vital kalau dibicarakan. Hal ini saya rasakan ketika mendapatkan giliran presentasi Muslim and Christian Understanding. Dalam posisi ini saya diharuskan untuk membuka tabir sekat antara Islam dan Keristen. Hal ini saya angggap luar biasa, sebab bagaimana cara untuk menemukan titik terang antara Islam dan Keristen yang sudah begitu jauh jurang pemisahnya.

C. Impacta. Looking future from the future

Secara akulmulatif perkulihan selama 16 kali pertemuan dengan intensif memberikan semangat kuat untuk berfikir ke future dalam berbagai sisi kehidupan; pendidikan, politik, social budaya, ekonomi, keagamaan dan sebaganya, karena menyadari bahwa saya tidak hidup menyendiri dalam dunia ini, melainkan saya hidup bersama orang lain (keluarga, tentangga, masyarakat banyak lainnya) . Oleh karena itu, untuk menyongsong masa depan diperlukan beberapa hal, yang antara lain: 1. Membangun pemikiran yang lebih terbuka.Permikiran yang terbuka adalah sikap kearifan dalam bergaul dengan masyarakat (muslim dan non muslim), karena sikap ini akan mengantarkan Untuk memahami orang lain diperlukan keterbukaan, yang bercirikan menerima informasi dan ilmu pengetahuan sebagai langkah untuk kematangan berfikir, artinya dengan keterbukaan dunia tidak menjadi sempit, melaikan memiliki kebebasan tampa batas. Orang yang terbuka pemikirannya bukan hanya orang yang suka berdiskusi dengan orang lain tapi dia adalah orang yang juga siap dikritik atas apa yang dia pikirkan demi tujuan yang dia banggakan, karena sesungguhnya keterbukaan mempunyai makna yang luas tanpa ada batasan yang jelas mengenai makna di dalamnya. Sikap terbuka memiliki nilai positif, yaitu mau menerima perubahan yang lebih baik dengan berbagai sarana yang ada. Dalam hal pemikiran keagamaan, dengan sikap terbuka ini akan membuka diri untuk menerima ilmu-ilmu lain (dirasah islamiyah) untuk memberikan gagasan dalam rangka kemaslahatan ummat. Dikarenakan masa depan merupakan masa yang ditentukan oleh pemikiran dan sikap seorang dalam melihat penomena yang terjadi dalam dunia secara makro, baik politik, ekonomi, pendidikan, social budaya, agama dan keberagamaan. Saya harus memiliki pandangan yang luas dan sudut pandang banyak dalam melihat persoalan, saya tidak boleh terpaku dalam teks apapun, tapi juga harus melihat dengan mengkaitkan dengan realita yang mengitari sebua persoalan, sebagaimana yang diperlihatkan oleh berbagai pemikir, misalnya bagaimana melihat persoalan dengan menggunakan pemikiran Arkoun yang menekankan pada bahwa tidak perbedaan antara Barat dan Timur, Sunni dan Syi'ah, dan sebagainya, karena perbedaan itulah membuat menjadi arogan dan mengklaim kebenaran diri sendiri. Fakistan, Afgahnistan, merupakan salah satu contoh yang masyarakat yang masih membedakan antara Sunni dan Syi'ah dengan cara membunuh orang-orang Syi'ah, banyak dari kelompok Syi'ah yang keluar dari negeri mereka dan pindah ke Australia dan terdampar di Indonesia (berita di Lombok Pos/ 09/12/2012). Begitu juga dalam satu informasi, bahwa sikap MUI yang melarang hadirnya Nashar Abu Zayd di Semarang sehingga dengan kehadiran Nashar Abu Zaiyd, maka jabatan rector yang dipegang oleh Dr. Abdurraman dicopot. Hal ini merupakan kekhawatiran yang berlebihan dari pihak MUI dalam mensikapi perkembangan pemikiran keislaman.

2. Berfikir Kreatif sebagai Proses

Kreativitas berfikir adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, apakah suatu gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru. Proses kreatif merupakan pemunculan tindakan suatu produk baru yang tumbuh dari keunikan individu di satu pihak, dan dari kejadian, orang-orang, dan keadaan hidupnya di lain pihak, yang penekanannya pada aspek baru dari produk kreatif yang dihasilkan aspek interaksi antara individu dan lingkungannya/kebudayaannya. Secara praktis kreativitas adalah suatu proses upaya manusia atau bangsa untuk membangun dirinya dalam berbagai aspek kehidupannya dengan tujuan pembangunan diri, dalam rangka menikmati kualitas kehidupan yang semakin baik, baik dalam pendidikan, ekonomi, polik, sebab kreatif suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas) dan originalitas dalam berfikir. Dalam rangka menciptakan kondisi berfikir kreatif, tentunya diperlukan hal-hal yang mendukungnya, seperti diskusi, membaca, dan sebagainya. Karena secara garis besar berfikir cemacam ini ditekankan pada dua bentuk: berfikir divergen dan berfikir konvergen. Berfikir dalam bentuk pertama merupakan bentuk pemikiran terbuka, yang menjajagi macam-macam kemungkinan jawaban terhadap suatu persoalan. Sementara berfikir konvergen cara berfikri yang terfokus pada tercapainya satu jawaban yang paling tepat terhadap suatu persoalan atau masalah. Dalam dunia pendidikan formal yang lebih tepat ditekankan adalah berfikir konvergen, sehingg dibutuhkan ketekunan, keuletan, kerja keras, dan tidak tergantung timbulnya inspirasi

b. What I will do?Sebagai tindak lanjut dari apa yang telah saya peroleh secara akumulatif, baik berupa materi, pendekatan, metodelogi berfikir, kerangka berfikir, proses belajar dan sebagainya, maka hal yang akan saya lakukan sesuai dengan tugas sebagai dosen adalah memperkuat, memacu dan meningkatkan kualitas dalam melakukan "Tridarma Perguruan Tinggi", yaitu pada bidang:1. Pendidikan dan Pengajaran Dalam hal proses mengajar saya akan bersikap dan berlaku disiplin sebagaimana yang dicontohkan dalam perkuliahan MSI, karena hal itu merupakan cara berfikir disiplin. Dalam memberikan materi mata kulia, saya akan ajak mahasiswa berpikir untul lebih terbuka terhadap pandangan orang lain, sehingga terjadi suatu pemahaman bahwa kebenaran itu tidak tunggal. Memberikan informasi pemikiran para pemikir sesuai dengan disiplin keilmuan agar pemikiran mendapatkan pencercahan dan kesegaran.2. Penelitian dan karya ilmiyahSebagai langkah untuk melancarkan pemikiran dan untuk menghilangkan rasa keraguran akademik, maka saya akan melakukan penelitian, menulis karya ilmiyah guna untuk menelurkan gagasan, ide, dan pandangan yang akan bermafaat bagi kehidupan sosial dan keberagamaan pada tataran mahasiswa dan tataran masyarakat umum.

3. Pengabdian pada masyarakat

Dalam pengabdian masyarakat, saya sering berkesempatan memberikan ceramah baik di instansi pemerintahan, swasta, seperti di TV NTB dalam acara "Fokus Islam" yang tayang setiap minggu, dan di masyarakat luas, maka dalam kesempatan itu, saya akan menyampaikan hal-hal berkaitan dengan perdamaian, kasih sayang, tolorensai, saling memahami satu sama lain dalam keberagamaan, social budaya, dan sebagainya.Selain itu, jalan yang akan saya tempuh untuk memberikan pencercahan kepada masyarakat adalah pengabdian masyarakat yang dikelola oleh LPM (Lembaga Pengabdian Masyarakat) IAIN seperti pemahaman tentang toleransi terhadap agama lain dan pencerchan tentang kesadaran hukum dan lainnya.

c. Jurusan Mu'amalah (Hukum Bisnis Syari'ah) Fakultas Syari'ah IAIN MataramSaya pada saat ini berkesempatan sebagai Ketua Jurusan Mu'amalah pada Fakultas Syari'ah. Kesempatan ini saya gunakan untuk menuangkan ide-ide yang mengarah pada bagaiamana memahami Islam (Dirasah Islamiyah), karena itu saya telah memasukkan dalam anggaran tahun 2013 program seminar tentang "Islam dan Budaya", dengan tujuan untuk diketahui antara budaya dan Islam, sehingga pemikiran yang bersifat keagamaan dapat dikritisi dan pemikiran dapat berkembang sesuai dengan konteks. Selain itu, saya akan arahkan kepada para pengampun mata kuliah MSI di S1 untuk melakukan perubahan arah pemberian materi agar sama dengan materi yang diberikan pada S3 ini, karena sulit untuk merubah paradigma berfikir sebagaimana yang diharapkan bila tidak lebih awal dimulai.D. Identitas:

Nama

: Musawar

No HP

: 081 805 777 483

Pendidikan S1: Jurusan Perbandinan Mazhab Fak.Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga

1992-1997

------------ S2: Konsentrasi Hukum Islam Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga tahun 2000-2002Alamat: a. Alamat rumah: Jln. Jaya Lengkara, Rw I RT, 3 Babakan Kebon, Kelurahan Babakan Kecamatan Sandubaya Kota Mataram NTB

b. Alamat kantor: Fak. Syari'ah IAIN Mataram NTB Jln Pendidikan No 35 Mataram NTBAl-Qur'an

Allah

Al-Qur'an

Nabi

Sahabat

Ahistoris

Siomatik

Tabi'in

Ulama'

Al-Tarikiyah

Antropologi

Fiqh

Tarikh

Tafsir dll

Tidak bersifat

Logosentrisme

Kalam

Ket:

Garis panah menunjukkan pada pemikiran Islam harus dilihat dari sisi (antropolog, siomatik, dan sejarah)

Ket:

Adanya hubugan sejarah, bahasa, dan siomatik akan menghasilkan nilai tarikhiyah yang menghasilkan nilai kebanaran nisbi

Ket:

Karena bersifat tarikhiyah, maka semua produk tidak bersifat logosenterism dan tidak pula bersitaf final.

Budha

Yahudi

Keristen

Islam

Tuhan

Intuisi (persaan) sebagai dasar intlek menuju

KEBENARAN

the centre of human being

dalam HATI

dalam dunia fisik: mind (fikiran) body (badan)

karena INTLEK sebagai:

Intlek

Badan (body)

Badan (body)

Fikiran

Badan (body)

Fisik

Badan (body)

Badan (body)

Hati (heart)

Badan (body)

Badan (body)

Otak (brain)

Badan (body)

Badan (body)

Badan (body)

Badan (body)

Badan (body)

maka: INTLEK diasosiakan dengan Tuhan dan langit sebagai kendali dari Fikiran dan Badan

Budha

Yahudi

Keristen

Islam

Tuhan

Ritual dan praktik

keberagamaan

Ritual dan praktik

keberagamaan

Ritual dan praktik

keberagamaan

Ritual dan praktik

keberagamaan

Dimensi Esoterik

Dimensi Eksoterik

Pendekatan

1. Fenomenologis.

2. Dialogis.

3. Keilmuan

Kerangka Berfikir:

"Cinta (love) Tuhan" dan "cinta kepada tentangga

Metode:

sprit hubungan antar agama (interfaith) sebagai agama Ibrahamik,

A Common Word

Keristen

Islam

M. Amin Abdullah, " Arkoun dan Kritik Nalar Islam", dalam Johan Hendrik Meuleman (ed) Tradisi iKemodernan dan Metamodernisme; memperbincangkan Pemikiran Mohammad Arkoun (Yogyakarta: LKIS, 1996), h. 15

PAGE 14