10 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA...

10

Click here to load reader

Transcript of 10 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA...

Page 1: 10 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.1.8.2013/6... · Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180 Pascasarjana Universitas Syiah

Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 10 Pages pp. 56- 65

Volume 2, No. 1, Agustus 2013 - 56

PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA BERSAMA

MELALUI JUAL BELI OLEH SUAMI ATAU ISTERI

(Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Besar)

Abdul Kahar

1, Ilyas Ismail

2, Suhaimi

2,

1) Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

2)Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Abstract: Regulation of the Minister of Agrarian / Head of National Land Agency number 3 of

1997, a trade agreement of land rights made with the knowing or approving of the husband or

wife. In the certificate of the trade itself must be included the approval of both sides (husband or

wife). Before taken out the State Minister of Agrarian Affairs / Head of National Land Agency

number 3 of 1997, all trade agreement of land rights is performed without the knowing or without

the approving of the husband or wife. Consideration of law need the approval of the husband or

wife in a transfer of land rights as common property is to fulfill the requirements specified in the

legislation and to minimize or avoid the legal problems later on. While the factors causing the

transfer of land rights as common property without the approval of the husband or wife because

not knowing of any requirement in the form of a husband or wife approval to transfer land rights

of common property and one of the sides must give the approval (husband or wife) had died.

Thetransfer of ounership right through the trade of common property without the approval of the

husband or wife does not give legal consequences on real, because the State Minister of Agrarian /

Head of National Land Agency number 3 of 1997 does not regulate on firm this issue. Factors

causing the trade of land rights as common property created by A Law Postgraduate Studento of

Syiah Kuala University certificate of trade without the approval of the wife or husband because

lack of firmness of the laws that govern them and no sanctions as well as the legal consequences.

Keywords: Transfer of Ouner ship Rights, Marital Property, Sales and Purchase

Abstrak: Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun

1997 menentukan bahwa perjanjian jual beli hak milik atas tanah dilakukan dengan sepengetahuan

atau persetujuan suami atau isteri. Dalam akta jual beli itu sendiri dicantumkan harus adanya

persetujuan kedua belah pihak (suami atau isteri). Sebelum dikeluarkannya Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997, semua perjanjian jual beli

hak milik tanah dilakukan tanpa sepengetahuan atau tanpa persetujuan suami atau isteri.

Pertimbangan hukum perlunya persetujuan suami atau isteri dalam peralihan hak milik atas tanah

sebagai harta bersama adalah untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan dan untuk meminimalisir atau menghindari persoalan hukum di kemudian

hari. Faktor penyebab terjadinya peralihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama tanpa

persetujuan suami atau isteri karena tidak mengetahui adanya persyaratan berupa persetujuan

suami atau isteri dalam peralihan hak milik atas tanah harta bersama dan salah satu pihak yang

harus memberi persetujuan (suami atau isteri) telah meninggal dunia. Peralihan hak milik atas

tanah melalui jual beli harta bersama tanpa persetujuan suami atau isteri tidak memberikan akibat

hukum secara nyata, karena Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

No. 3 Tahun 1997 tidak tegas mengatur masalah ini. Faktor penyebab jual beli hak milik atas tanah

sebagai harta bersama dibuatkan akta jual beli oleh PPAT tanpa adanya persetujuan isteri atau

suami disebabkan tidak tegasnya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan tidak

adanya sanksi serta akibat hukumnya.

Kata Kunci: Peralihan Hak, Harta Bersama, Jual Beli

Page 2: 10 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.1.8.2013/6... · Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180 Pascasarjana Universitas Syiah

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

57 - Volume 2, No. 1, Agustus 2013

PENDAHULUAN

Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No. 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria (yang disebut dengan undang-

undang Pokok Agraria dan disingkat dengan

UUPA) menyatakan bahwa : “hak milik dapat

beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Salah

satu bentuk perbuatan hukum yang dapat

dilakukan dalam peralihan hak milik atas tanah

tersebut adalah jual beli.

Jual beli adalah suatu perjanjian antara

penjual dan pembeli, di mana pihak yang satu

(penjual) mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan sesuatu barang atau benda dan

pihak yang lainnya (pembeli) untuk membayar

harga yang telah dijanjikan. Dengan demikian

jual beli hak milik atas tanah adalah suatu

penyerahan hak milik atas tanah oleh penjual

kepada pembeli untuk selama-lamanya dan

pembeli menyerahkan harganya kepada penjual.

Berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian

jual beli hak milik atas tanah tidak diatur di

dalam UUPA, karena perjanjian jual beli itu

sendiri tidak termasuk Hukum Agraria atau

Hukum Tanah, melainkan termasuk Hukum

Perjanjian atau Hukum Perutangan. Akan

tetapi, proses pelaksanaan jual beli hak milik

atas tanah dilakukan menurut peraturan

perundangan-undangan di bidang agraria atau

pertanahan. Hal ini dimaksudkan untuk

membuktikan benar atau tidaknya telah terjadi

perbuatan hukum (perjanjian) jual beli hak atas

tanah. Di samping itu, juga dimaksudkan untuk

adanya kepastian hukum terhadap pemilik hak

atas tanah. Misalnya, Peraturan Pemerintah No.

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah di

mana dalam Pasal 37 ayat (1) dinyatakan

bahwa:

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas

satuan rumah susun melalui jual beli, tukar

menukar,hibah,pemasukan dalam

perusahaan dan perbuatan hukum

pemindahan hak lainnya, kecuali

pemindahan hak melalui lelang hanya

dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan

akta yang dibuatolehPPAT yang

berwenang menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan tersebut di atas mensyaratkan

bahwa peralihan hak atas tanah (termasuk jual

beli), baru dapat didaftarkan apabila perjanjian

jual beli hak atas tanah tersebut dapat

dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa secara implisit

ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa

perjanjian jual beli hak atas tanah harus

dilakukan di depan PPAT dan hal ini dibuktikan

dengan adanya akta PPAT dimaksud.

Berikut ini dikemukakan salah satu

transaksi (perjanjian) jual beli hak milik atas

tanah yang dilakukan di depan PPAT

Kecamatan Kuta Cot Glie dengan Nomor Akta

462/KCG/IV/2012 tanggal 26 April 2012.

Dalam proses jual beli tersebut PPAT menolak

untuk menandatangani akta jual beli karena

pihak penjual tidak dapat menghadirkan

isterinya ke Kantor PPAT (Kantor Camat Kuta

CotGlie) untuk memberikan persetujuan dan

menandatangani akta jual beli hak milik atas

tanah tersebut, padahal tanah tersebut bukan

harta bersama melainkan harta bawaan suami.

PPAT baru menandatangani akta jual beli

Page 3: 10 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.1.8.2013/6... · Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180 Pascasarjana Universitas Syiah

Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 2, No. 1, Agustus 2013 - 58

tersebut setelah pihak penjual dapat

menghadirkan isterinya di Kantor PPAT dan

memberikan persetujuan sekaligus

menandatangani akta jual beli tersebut.

Sementara itu dalam kasus yang lain,

PPAT Kecamatan Kuta Cot Glie bersedia

menandatangani Akta Jual Beli hak milik atas

tanah (Akta Nomor 513/KCG/X/2012 tanggal

17 Oktober 2012), padahal hak milik atas tanah

tersebut merupakan harta bersama suami isteri

yang bersangkutan.

KAJIAN KEPUSTAKAAN

Dalam KUH Perdata pengertian perjanjian

diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang

berbunyi : “Suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengingatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih”.

Definisi perjanjian yang terdapat di dalam

ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut

menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah

tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap

karena yang dirumuskan itu hanya mengenai

perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena

dapat mencakup hal-hal janji kawin, yaitu

perbuatan di dalam hukum keluarga yang

menimbulkan perjanjian juga”.

Purwahid Patrik merumuskan ”perjanjian

adalah merupakan perbuatan hukum, perbuatan

hukum adalah perbuatan-perbuatan di mana

untuk terjadinya atau lenyapnya hukum atau

hubungan hukum sebagai akibat yang

dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-

orang itu”.

Van Dunne mengartikan perjanjian adalah

“suatu hubungan hukum antara dua pihak atau

lebih berdasarkan kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukum”.

Dengan membuat perjanjian, pihak yang

mengadakan perjanjian, secara “sukarela”

mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu,

berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu

guna kepentingan dan keuntungan dari pihak

terhadap siapa ia telah berjanji atau

mengikatkan diri, dengan jaminan atau

tanggungan berupa harta kekayaan yang

dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang

membuat perjanjian atau yang telah

mengikatkan diri tersebut. Dengan sifat

sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak

dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud

dari pihak yang membuat perjanjian.

Suatu perjanjian menimbulkan suatu

hubungan antara pihak-pihak dalam perjanjian,

yang dinamakan perikatan. Hubungan antara

perikatan dan perjanjian adalah bahwa

perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian

merupakan sumber terpenting yang melahirkan

perikatan.

Peralihan hak atas tanah merupakan

sesuatu hal yang menyebabkan hak atas tanah

berpindah atau beralih dari seseorang/Badan

Hukum kepada orang lain/Badan Hukum.

Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena

perbuatan hukum dan peristiwa hukum.

Peralihan hak atas tanah yang terjadi karena

perbuatan hukum adalah peralihan hak atas

tanah yang sengaja dilakukan dengan tujuan

agar hak atas tanah berpindah dari pihak yang

Page 4: 10 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.1.8.2013/6... · Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180 Pascasarjana Universitas Syiah

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

59 - Volume 2, No. 1, Agustus 2013

mengalihkan kepada pihak yang menerima

pengalihan hak atas tanah tersebut. Dalam hal

ini pemindahan hak milik atas tanah tersebut

diketahui atau diinginkan oleh pihak yang

melakukan perjanjian peralihan hak atas tanah.

Adapun prosedur peralihan milik atas

tanah (khususnya peralihan hak melalui jual

beli), diawali dengan kata sepakat antara calon

penjual dengan calon pembeli mengenai objek

jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan

dijual dan harganya. Hal ini dilakukan secara

musyawarah di antara mereka sendiri, yaitu

antara calon penjual dengan calon pembeli.

Setelah mereka memperoleh kata sepakat

mengenai harga tanah tersebut, biasanya calon

pembeli menyerahkan uang panjar sebagai

tanda jadi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

dan mengungkapkan pertimbangan perlunya

persetujuan isteri atau suami dalam peralihan

hak milik atas tanah sebagai harta bersama,

keabsahan peralihan hak milik atas tanah

sebagai harta bersama yang dilakukan oleh

suami atau isteri tanpa persetujuan isteri atau

suami dan pihak yang harus memberi

persetujuan dalam jual beli hak milik atas tanah,

jika salah satu pihak (suami atau isteri) sudah

meninggal dunia.

Oleh karena itu, penelitian ini termasuk

dalam penelitian hukum normatif, sehingga

metode pendekatan yang dipergunakan adalah

yuridis normatif. Di samping itu juga penelitian

ini menggunakan penelitian hukum empiris

dengan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan

yuridis normatif dilakukan dengan cara terlebih

dahulu meneliti peraturan perundang-undangan

yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

Pendekatan yuridis empiris, dilakukan dengan

meneliti mengenai keberlakuan hukum itu

dalam kenyataannya atau dalam masyarakat.

HASIL PEMBAHASAN

Faktor Penyebab Peralihan Hak Milik Atas

Tanah Sebagai Harta Bersama Tanpa

Persetujuan Suami atau Isteri

Pasal 35 ayat (1) Undang-undang No. 1

Tahun 1974 menentukan bahwa harta benda

yang diperoleh selama perkawinan merupakan

harta bersama bagi suami dan isteri. Oleh

karena itu, jika sebidang tanah atau suatu hak

milik atas tanah diperoleh selama perkawinan,

maka jelas hak milik atas tanah tersebut

merupakan harta bersama. Mengenai harta

bersama ini, menurut Pasal 36 ayat (1) Undang-

undang No. 1 Tahun 1974, suami atau isteri

dapat bertindak atas persetujuan kedua belah

pihak.

Selanjutnya Undang-undang No. 1 Tahun

1974, di samping harta bersama juga mengenal

adanya harta bawaan masing-masing suami dan

isteri. Hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat (2) dan

Pasal 36 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun

1974 yang menegaskan bahwa terhadap harta

bawaan masing-masing suami dan isteri atau

harta benda yang diperoleh masing-masing

sebagai hadiah atau warisan, berada di bawah

penguasaan masing-masing suami dan isteri,

sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Page 5: 10 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.1.8.2013/6... · Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180 Pascasarjana Universitas Syiah

Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 2, No. 1, Agustus 2013 - 60

Terhadap harta bawaan masing-masing pihak

ini, suami dan isteri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum

atas harta bendanya.

Dengan demikian, menurut ketentuan Pasal

35 dan Pasal 36 Undang-undang No. 1 Tahun

1974, harta benda (termasuk tanah atau hak

milik atas tanah) yang diperoleh selama

perkawinan termasuk dalam harta bersama dan

peralihan haknya juga harus dengan persetujuan

kedua belah pihak. Sedangkan hak milik atas

tanah yang merupakan harta bawaan masing-

masing pihak, merupakan hak sepenuhnya

masing-masing pihak dalam melakukan

peralihan haknya.

Dalam praktek dijumpai adanya peralihan

hak milik atas tanah harta bersama melalui

perjanjian jual beli yang dilakukan oleh suami

tanpa adanya persetujuan isteri. Berdasarkan

hasil penelitian dalam Tahun 2012 ditemukan

ada 2 (dua) Kecamatan di Kabupaten Aceh

Besar, yaitu Kecamatan Suka Makmur dan

Kecamatan Kuta Cot Glie yang terjadi transaksi

(perjanjian) jual beli hak milik atas tanah harta

bersama yang dilakukan baik dengan

persetujuan suami atau isteri maupun tanpa

persetujuan suami atau isteri. Di Kecamatan

Suka Makmur terdapat 31 (tiga puluh satu)

perjanjian jual beli hak milik atas tanah harta

bersama yang dilakukan dengan persetujuan

isteri atau suami dan 8 (delapan) perjanjian jual

beli hak milik atas tanah harta bersama yang

dilakukan tanpa persetujuan isteri atau suami.

Sementara itu di Kecamatan Kuta Cot Glie

terdapat 47 (empat puluh tujuh) perjanjian jual

beli hak milik atas tanah harta bersama yang

dilakukan dengan persetujuan isteri atau suami

dan 6 (enam) perjanjian jual beli hak milik atas

tanah harta bersama yang dilakukan tanpa

persetujuan isteri atau suami.

Sehubungan dengan ini, berikut

dikemukakan salah satu transaksi (perjanjian)

jual beli hak milik atas tanah yang dilakukan di

depan PPAT Kecamatan Kuta Cot Glie dengan

Nomor Akta 462/KCG/IV/2012 tanggal 26

April 2012. Dalam proses jual beli tersebut

PPATmenolak untuk menandatangani akta jual

beli karena pihak penjual (Nurdin Puteh) tidak

dapat menghadirkan isterinya (Ramlah) ke

Kantor PPAT (Kantor Camat Kuta Cot Glie)

untuk memberikan persetujuan dan

menandatangani akta jual beli hak milik atas

tanah tersebut. PPAT baru menandatangani akta

jual beli tersebut setelah pihak penjual dapat

menghadirkan isterinya di Kantor PPAT dan

memberikan persetujuan sekaligus

menandatangani akta jual beli tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat

dipahami bahwa yang menjadi pertimbangan

hukum perlunya persetujuan suami atau isteri

dalam peralihan hak milik atas tanah sebagai

harta bersama adalah untuk memenuhi

persyaratan yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan, yaitu Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 3 Tahun 1997.

Pertimbangan hukum selanjutnya perlunya

persetujuan suami atau isteri dalam peralihan

hak milik atas tanah sebagai harta bersama

adalah untuk meminimalisir atau menghindari

Page 6: 10 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.1.8.2013/6... · Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180 Pascasarjana Universitas Syiah

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

61 - Volume 2, No. 1, Agustus 2013

persoalan hukum di kemudian hari. Dalam arti

bahwa apabila harta tersebut merupakan harta

bersama, maka pentingnya persetujuan isteri

atau suami adalah supaya salah satu pihak

mengetahui bahwa hak milik atas tanah tersebut

sudah dialihkan (dijual) kepada pihak lain. Hal

ini penting apalagi jika tanah tersebut adalah

harta bersama, karena dalam harta bersama

terdapat hak bersama antara suami dan isteri.

Oleh karena itu apabila hak milik atas tanah

yang merupakan harta bersama dijual oleh salah

satu pihak (suami atau isteri), maka salah satu

pihak yang lainnya (isteri atau suami) harus

mengetahuinya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat

dipahami bahwa perlunya persetujuan suami

atau isteri dalam peralihan hak milik atas tanah

sebagai harta bersama adalah untuk

meminimalisir atau menghindari persoalan

hukum di kemudian hari. Dengan demikian

tidak terjadinya penjualan harta bersama oleh

salah satu pihak tanpa diketahui oleh pihak

yang lainnya. Apabila hal tersebut terjadi,

dimana salah satu pihak dengan tanpa diketahui

oleh pihak yang lainnya telah mengalihkan atau

menjual hak milik atas tanah sebagai harta

bersama, maka pihak yang lainnya yang tidak

mengetahui hal tersebut akan

mempersoalkannya dan bahkan menggugat

sampai ke pengadilan.

Adapun faktor penyebab terjadinya hak

milik atas tanah sebagai harta bersama tanpa

persetujuan suami atau isteri adalah sebagai

berikut:

a. Tidak mengetahui adanya persyaratan berupa

persetujuan suami atau isteri dalam peralihan

hak milik atas tanah harta bersama.

Pasal 96 ayat (1) Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.

3 Tahun 1997 telah menentukan bentuk-bentuk

akta peralihan hak atas tanah (termasuk akta

jual beli). Salah satu persyaratan yang

dicantumkan dalam akta tersebut adalah

perlunya persetujuan dalam peralihan hak milik

atas tanah. Namun demikian dalam Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tersebut

tidak ditentukan siapa yang harus memberi

persetujuan dalam peralihan hak milik atas

tanah. Di samping itu juga Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional tersebut tidak menentukan atau

membedakan antara harta bersama atau harta

bawaan masing-masing suami atau isteri, yang

disyaratkan dalam peralihan hak milik atas

tanah adalah bahwa peralihan hak milik tersebut

harus mendapat persetujuan dan tidak

ditentukan siapa yang harus memberi

persetujuan dimaksud.

b. Salah satu pihak yang harus member

persetujuan (suami atau isteri) telah

meninggal dunia.

Faktor lain yang menjadi penyebab

terjadinya peralihan hak milik atas tanah

sebagai harta bersama tanpa persetujuan suami

atau isteri adalah karena salah satu pihak yang

harus memberi persetujuan telah meninggal

dunia. Dalam arti bahwa apabila hak milik atas

sebidang tanah yang dijual tersebut atas nama

Page 7: 10 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.1.8.2013/6... · Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180 Pascasarjana Universitas Syiah

Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 2, No. 1, Agustus 2013 - 62

suami, maka ketika menjualnya harus ada

persetujuan isteri. Begitu juga sebaliknya, jika

hak milik atas sebidang tanah tersebut atas

nama isteri. Begitu juga sebaliknya, jika hak

milik atas sebidang tanah tersebut atas nama

isteri, maka waktu menjualnya harus ada

persetujuan suami. Oleh karena itu apabila

salah satu pihak yang harus memberi

persetujuan tersebut telah meninggal dunia,

maka jelas bahwa peralihan (jual beli) hak milik

atas tanah sebagai harta bersama dilakukan

tanpa persetujuan dari suami atau isteri.

Akibat Hukum Jika Jual Beli Hak Milik

Atas Tanah Sebagai Harta Bersama Tanpa

Persetujuan Suami atau Isteri

Berdasarkan hasil penelitian diketahui

bahwa apabila isteri sudah meninggal dunia,

sementara suaminya bermaksud mengalihkan

hak milik atas tanah dengan cara jual beli, maka

suami bertindak sebagai penjual. Pada saat

pembuatan akta jual beli di depan PPAT,

biasanya PPAT baru menandatangani akta jual

beli jika para pihak (penjual dan pembeli),

pihak yang memberi persetujuan dan 2 (dua)

orang saksi sudah menandatangani akta jual beli

tersebut. Untuk pihak yang harus memberi

persetujuan pertama sekali dimintakan isteri

dari penjual untuk menandatangani akta jual

beli tersebut. Apabila isteri pihak penjual sudah

meninggal dunia, PPAT meminta anak kandung

(terutama sekali anak-anak) dari pihak penjual

untuk memberi persetujuan dan

menandatanganinya akta jual beli. Jika anak

laki-laki tidak ada atau tidak dapat hadir, maka

dimintakan anak perempuannya untuk memberi

persetujuan dan menandatangani akta jual

belinya. Jika anak perempuannya juga tidak ada

atau tidak dapat hadir untuk memberi

persetujuan dan menandatangani akta jual beli

tersebut, maka PPAT akan menandatangani

akta jual beli tersebut dan membiarkan bagian

“persetujuan” dari akta jual beli itu dalam

keadaan kosong.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat

dipahami bahwa ternyata dalam praktek tidak

terdapat ketegasan pihak yang harus memberi

persetujuan dalam jual beli hak milik atas tanah

oleh pihak suami dalam hal isteri meninggal

dunia. Tidak adanya ketegasan dalam praktek

tentu disebabkan karena tidak adanya ketegasan

dari peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan

di atas bahwa alasan atau pertimbangan

dibuatkannya akta jual beli hak milik atas tanah

sebagai harta bersama oleh PPAT tanpa adanya

persetujuan isteri atau suami, karena tidak

tegasnya peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya.

Faktor Penyebab Jual Beli Hak Milik Atas

Tanah Sebagai Harta Bersama Dibuat Akta

PPAT Tanpa Persetujuan Suami Atau Isteri

Adapun alasan atau pertimbangan

dibuatkannya akta jual beli hak milik atas tanah

sebagai harta bersama oleh PPAT tanpa adanya

persetujuan isteri atau suami adalah sebagai

berikut:

Page 8: 10 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.1.8.2013/6... · Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180 Pascasarjana Universitas Syiah

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

63 - Volume 2, No. 1, Agustus 2013

a. Tidak tegasnya peraturan perundang-

undangan yang mengaturnya.

Sebagaimana telah dikemukakan

sebelumnya bahwa Pasal 96 ayat (1) Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 telah

menentukan bentuk-bentuk akta peralihan hak

atas tanah (termasuk akta jual beli), dimana

salah satu persyaratan yang dicantumkan dalam

akta tersebut adalah perlunya persetujuan dalam

peralihan hak milik atas tanah. Akan tetapi

dalam Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.

3 Tahun 1997 tersebut tidak ditentukan siapa

yang harus member persetujuan dalam

peralihan hak milik atas tanah. Di samping itu

juga Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional tersebut tidak

menentukan atau membedakan antara harta

bersama atau harta bawaan masing-masing

suami atau isteri, yang disyaratkan dalam

peralihan hak milik atas tanah adalah bahwa

peralihan hak milik tersebut harus mendapat

persetujuan dan tidak ditentukan siapa yang

harus member persetujuan dimaksud.

b. Tidak adanya sanksi dan akibat hukumnya.

Adapun alasan lain atau pertimbangan

dibuatkannya akta jual beli hak milik atas tanah

sebagai harta bersama oleh PPAT walaupun

tanpa adanya persetujuan isteri atau suami,

karena tidak adanya sanksi dan akibat

hukumnya. Apabila PPAT membuat akta jual

beli hak milik atas tanah sebagai harta bersama

yang dijual oleh suami tanpa adanya

persetujuan isteri atau yang dijual oleh isteri

tanpa adanya persetujuan suami, maka tidak ada

suatu sanksi pun yang dapat dikenakan terhadap

PPAT. Di samping itu juga tidak

dicantumkannya persetujuan isteri atau suami

dalam akta jual beli tersebut, tidak

menimbulkan akibat hukum apa-apa, kecuali

beralihnya hak milik atas tanah dari penjual

kepada pembeli.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian yang telah

dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya,

berikut dapat diambil beberapa kesimpulan dan

disertai beberapa saran, sebagai berikut :

Kesimpulan

a. Berdasarkan hasil penelitian diketahui

bahwa di Kecamatan Suka Makmur dan

Kecamatan Kuta Cot Glie Kabupaten Aceh

Besar, pada tahun 2012 terdapat 92

(sembilan puluh dua) perjanjian jual beli hak

milik atas tanah harta bersama, 14 (empat

belas) perjanjian jual beli di antaranya

dilakukan tanpa persetujuan isteri atau

suami, sedangkan 78 (tujuh puluh delapan)

perjanjian jual beli lainnya dilakukan dengan

persetujuan isteri atau suami. Pertimbangan

hukum perlunya persetujuan suami atau

isteri dalam peralihan hak milik atas tanah

sebagai harta bersama adalah untuk

memenuhi persyaratan yang ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan dan

untuk meminimalisir atau menghindari

persoalan hukum di kemudian hari.

Page 9: 10 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.1.8.2013/6... · Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180 Pascasarjana Universitas Syiah

Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 2, No. 1, Agustus 2013 - 64

Sedangkan faktor penyebab terjadinya

peralihan hak milik atas tanah sebagai harta

bersama tanpa persetujuan suami atau isteri

karena tidak mengetahui adanya persyaratan

berupa persetujuan suami atau isteri dalam

peralihan hak milik atas tanah harta bersama

dan salah satu pihak yang harus memberi

persetujuan (suami atau isteri) telah

meninggal dunia.

b. Peralihan hak milik atas tanah melalui jual

beli harta bersama tanpa persetujuan suami

atau isteri tidak memberikan akibat hukum

secara nyata, karena Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 3 Tahun 1997 tidak tegas

mengatur masalah ini. Sedangkan peralihan

hak milik atas tanah itu sendiri melalui jual

beli telah sah secara hukum, karena telah

memenuhi ketentuan syarat sahnya suatu

perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal

1320 KUHPerdata dan juga Pasal 1457

KUHPerdata.

c. Faktor penyebab jual beli hak milik atas

tanah sebagai harta bersama dibuatkan akta

jual beli oleh PPAT tanpa adanya

persetujuan isteri atau suami disebabkan

tidak tegasnya peraturan perundang-

undangan yang mengaturnya dan tidak

adanya sanksi serta akibat hukumnya.

Saran

a. Mengingat harta benda (termasuk hak milik

atas tanah) yang diperoleh selama

perkawinan merupakan harta bersama, maka

diharapkan kepada Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

dapat mengeluarkan peraturan yang tegas

tentang pengalihan hak milik atas tanah

sebagai harta bersama. Dalam hal ini yang

menjadi pihak penjual adalah suami dan

isteri secara bersama-sama, sehingga tidak

terjadinya pengalihan hak milik atas tanah

sebagai harta bersama kepada pihak lain

oleh salah satu pihak (suami atau isteri)

secara diam-diam.

b. Apabila terjadi peralihan hak milik atas

tanah sebagai harta bawaan masing-masing

suami atau isteri melalui jual beli, kiranya

PPAT tidak perlu meminta persetujuan

siapapun dalam peralihan hak tersebut,

karena baik suami maupun isteri mempunyai

hak dan bebas untuk bertindak apa saja

terhadap harta benda bawaannya masing-

masing.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, S.,1968. Hukum Perkawinan Islam.

Jakarta: Tinta Mas Djakarta.

Abdurrahman, 1980. Beberapa Aspek tentang

Hukum Agraria. Seri Hukum Agraria.

Bandung: Alumni.

-------------, dan Riduan Syahrani, 1978. Masalah-

masalah Hukum Perkawinan di Indonesia.

Bandung: Alumni.

Bachsan, M., 1982. Pokok-pokok Hukum

Administrasi Negara. Bandung: Alumni.

--------------, 1988. Hukum Agraria Dalam

Perspektif. Bandung: Remaja Karya.

Boedi, H., 1986. Beberapa Analisa Tentang Hukum

Agraria. Bagian 2. Jakarta: Esa Study Club.

--------------, 2003. Hukum Agraria Indonesia

(Sejarah Pembentukan Undang-undang

Pokok Agraris, Isi dan Pelaksanaannya).

Djambatan.

Frieda, H.H., 2002. Hukum Kebendaan Perdata

Hak-hak yang Memberi Jaminan. Jilid 2.

Jakarta: Ind Hill-Co.

Hilman, H., 1990. Hukum Perkawinan Indonesia

Menurut Perundang-undangan, Hukum

Page 10: 10 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.1.8.2013/6... · Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180 Pascasarjana Universitas Syiah

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

65 - Volume 2, No. 1, Agustus 2013

Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju.

Bandung.

Idris, R.M., 2002. Hukum Perkawinan Islam.

Jakarta: Bumi Aksara.

Iman, S., 1983. Politik Agraria Nasional.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

John, S., 1988. Masalah Tanah Dalam

Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika.

Kartini, M., dan Gunawan, W., 2004. Perikatan

Yang Lahir Dari Perjanjian. PT. Raja

Grafindo Persada.

Lili, R.,1982. Dasar-dasar Filsafat Hukum.

Bandung: Alumni.

--------------, 1991. Filsafat Hukum (Apakah Hukum

Itu). Bandung: Remaja Rosdakarya.

--------------, 2001. Dasar-dasar Filsafat dan Teori

Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

--------------, dan Wyasa Putra B., 2003.Hukum

Sebagai Suatu Sistem. Bandung: Mandar

Maju.

Mahadi, 1983. Hukum Benda Dalam Sistem Hukum

Perdata Nasional. Jakarta: Bina Cipta.

Mariam, D., dkk., 2001. Kompilasi Hukum

Perikatan. Bandung: Citra Adtya Bakti.

Mochtar, K., 2002. Konsep-konsep Hukum dalam

Pembangunan. Bandung: Penerbit Alumni.

Munir, F., 2002. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung:

PT. Aditya Bakti.

Otje. H.R. dan Anton F. Susanto. 2004. Teori

Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka Kembali). Bandung: Refika

Aditama.

Padmo, W., 1993. Indonesia Negara Berdasarkan

Atas Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Purwahid, P., 1994. Dasar-dasar Hukum Perikatan.

Bandung: Mandar Maju, Bandung.

Riduan, S., 2004. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum

Perdata. Bandung: Alumni.