108 Pendekar Liang San(Shui Hu Chuan)Karya Shin Nai An

download 108 Pendekar Liang San(Shui Hu Chuan)Karya Shin Nai An

of 35

Transcript of 108 Pendekar Liang San(Shui Hu Chuan)Karya Shin Nai An

108 PENDEKAR LIANG SAN (SHUI HU CHUAN) 108 Pendekar Liang Sang (Shui Hu Chuan), karya Shin Nai An. Dikonversi ke dalam versi elektronik, khusus bagi SERIALSILAT.COM, oleh NOEL. Penyuntingan cerita oleh BUDIWIBOWO. Prolog. Tosu Trio Tiang Siu Sembahyang Khusus Pelatih Ong Cin Melarikan Diri ke Gan An Hok Prolog. Tosu Trio Tiang Siu Sembahyang Khusus

Di tengah kekacauan lima dinasti Han penuh kedamaian akhirnya tiba Gunung dan sungai hidup kembali Tibalah kedamaian yang abadi Burung bernyanyi di dahan dalam hutan Menyanyikan lagu memenuhi udara Rakyat jelata memakai pakaian sutera indah Kegembiraan melanda seluruh negeri. SYAIR ini hasil buah kalam Shao Yao Fu (Siauw Yauw Hok), pada zaman pemerintahan Kaisar Shen Tsung (Song Sin Cong) pada dinasti Song. Pada akhir dinasti Tang dan selama lima dinasti yang kemudian, di Tiongkok selalu teijadi perang saudara. Bila pada suatu pagi seorang jenderal berkuasa; sore harinya bisa saja jenderal lain menggantikan kedudukannya. Jenderal Chu Chuan Chung, Li Tsun-hsi, Shih Ching Tang (Sic Ceng Tang), Liu Chih-yuan (Lauw Cie-wan) dan Kuo Wei (Kok Wie), berturutturut berhasil mem bangun lima dinasti, yakni dinasti: Liang, Tang, Tsin, Han, dan Chou (907 - 960 sesudah Masehi). Dalam waktu 50 tahun, kaisar berganti-ganti dan selama itu telah memerintah tak kurang dan 15 kaisar banyaknya. Oleh karena seringnya terjadi perubahan kekuasaan, negara menjadi kacau. Baru kemudian mun cul Thio Kong In; beiau berhasil mendirikan dinasti Song, dan menjadi kaisar dengan gelar Bu Tee (Wu Te).

Pada waktu Thio Kong In dilahirkan langit ber warna merah, di dalam kamar tidurnya tercium bau harum. Kejadian itu melambangkan, bahwa Dewa Hali lintar telah turun di antara umat manusia. Bu Tee seorang kaisar yang gagah, cerdik dan bijaksana bila dibandingkan dengan kaisar-kaisar terdahulu. Ia berkepandaian tinggi, dengan kepandaiannya beiau dapat menaklukkan 400 divisi tentara dan menyapu bersih seluruh kekai saran di Tiongkok lalu mempersatukannya di bawah pemerintahannya. Kaisar Bu Tee menjaga keamanan dan keselamatan rakyat dan negaranya dengan baik. Kaisar Bu Tee mendirikan istananya di Thian-liang (Kai-hong), beiau juga meletakkan dasar-dasar bagi delapan kaisar dinasti Song yang berikutnya. Tidak heran kerajaan Song berjaya sampai selama 300 tahun lamanya. Kebijaksanaan kaisar Bu Tee amat termasyhur, sehingga ada penyair yang memujinya demikian Mendung berlalu dan langit tampak cerah kembali. Pada masa pernerintahan Kaisar Chai See Cong Se belum Bu Tee naik tahta, tinggallah seorang terpelajar bernama Tan Toan di pegunungan suci Hwa-san bagian barat; Tan Toan seorang pandai, ia bisa meramal cuaca. Pada suatu han, ketika Tan Toan sedang menuruni bukit dengan menaiki keledainya; ia mendengar berita bahwa Kaisar Chai Shie-tsung (Chai See Cong) telah turun dan tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada Thio Kong In. Mendengar berita itu, Tan Toang tertawa terbahak-bahak sampai terjatuh dan atas keledainya. Orangorang yang menyaksikan kejadian itu lalu menghampirinya, kemudian mereka bertanya kenapa Tan Toan tertawa demikian gembira. Ia menjawab pertanyaan mereka. Oleh karena Kekaisaran telah jadi, langit dan bumi, serta umat manusia akan hidup damai dan harmonis. Kaisar Bu Tee naik tahta pada tahun 960 sesudah Masehi, dalam waktu 17 tahun, Kaisar Bu Tee berhasil mengendalikan negara dengan adil dan makmur serta damai. Setelah masa pemerintahan Kaisar Bu Tee, ke rajaan Song berturut-turut diperintah oleh Kaisar Song Thay Cong, Song Chin Cong dan Song Jin Cong. Menurut ceritera, kaisar Song Jin Cong merupakan penjelmaan dan Dewa Chih Chiao atau Dewa Ciakah (Dewa Tak Beralas Kaki). Dikisahkan pada saat Song Jin Cong dilahirkan, ia menangis tak hentihentinya sehingga kedua orang tua nya menjadi panik. Kaisar Cin Cong lalu mengeluarkan firman*) meminta agar orang pandai yang ada di negerinya bersdia datang untuk mengobati puteranya yang tak mau berhenti menangis itu. Tapi sayang tak seorang tabib pun yang sanggup mengobati penyakit atau menghentikan tangis putera

mahkota tersebut. Berita duka itu akhirnya sampai ke langit; untuk menolong kesulitan kaisar Cin Cong, Dewa Thay Pek diperintahkan turun ke bumi. Dewa Thay Pek menyamar menjadi seorang tua, ia lalu merobek firman kaisar sambil berkata bahwa ia sanggup mengobati Song Jin Cong. *) Di Tiongkok kaisar dianggap sebagai keturunan langsung dan Tuhan, hingga kaisar amat dihormati dan perintahnya di anggap keramat, maka perintahnya disebut firman. Kaisar Song Cin Cong sangat senang, orang tua itu lalu dibawa ke kamar puteranya. Orang tua itu lalu menggendong Song Jin Cong yang tiba-tiba berhenti menangis setelah orang tua itu membisikkan katakata ke telinga bayi itu. Untuk urusan sipil sudah ada Bun Kiok Cee (Bintang Sipil) dan untuk urusan militer sudah ada Bu Kiok Cee (Bintang Militer). Makna dan ucapan Dewa Thay Pek tersebut adalah demikian; untuk membantu Song Jin Cong; Giok Hong Siang Tee (Tuhan Yang Maha Kuasa) telah menurunkan dua bintang, Bun Kiok Cee yang menjelma menjadi Pauw Cm **). Pauw Cm inilah yang kemudian menjadi Sekertaris Jenderal Kerajaan, lalu menjadi Gubernur di Kai-hong. Sedangkan Bu Kiok Cee, menjelma menjadi Tek Ceng. Tek Ceng inilah yang menjadi Goanswee (Jenderal Perang) dan terkenal dalam ekpedisi ke See Shia Kok atau sekarang bernama Kan-su ***). Pauw Cin maupun Tek Ceng dengan setia mengabdi kepada kaisar Song Jin Cong selama 42 tahun. Selama 27 tahun pertama pemerintahan kaisar Song Jin Cong, keadaan negara aman dan makmur. Tentaranya kuat dan rakyatnya hidup dalam keadaan serba kecukupan. Berbagai kejahatan hampir tak pernah terjadi. Pada masa itu walaupun orang lupa untuk mengunci pintu rumahnya, orang itu tidak akan kecurian atau kehilangan hartanya. Tapi zaman keemasan Song ini tidak abadi, tanpa diduga zaman yang aman dan makmur itu dengan tiba tiba berubah akibat sebuah bencana. Pada masa pemerintahan kaisar Song Jin Cong tahun ke 28, timbul suatu bncana berupa wabah penyakit yang berbhaya. Banyak manusia yang menjadi korban, jika pagi sakit sore meninggal dan sebaliknya. Petisi dan berbagai daerah yang terkena bencana datang bertumpuk-tumpuk. Di Ibukota Timur hampir separuh penduduknya meninggal. Gubernur Pauw Cin dengan sigap menyediakan obatobatan yang diberikan secara cuma-cuma kepada rakyat yang tertimpa malapetaka. Namun semua usaha gubernur Pauw Cm

ternyata sia sia saja, karena wabah penyakit tidak teratasi bahkan semakin meluas dan setiap saat korban bertambah. Untuk memecahkan dan mengatasi bencana para pejabat tinggi negara mengadakan diskusi di ruang sidang, ketika mereka sedang berunding Kaisr Song Jin Cong memasuki ruang sidang utama. Tidak lama kemu dian Hong Bun Kwa mengumumkan bahw persidangan akan segera dimulai, para menteri secara teratur memasuki ruang sidang istana. Semua menteri memberi hormat kepada Sri Baginda Song Jin Cong. Dalam sidang itu Hong Bun Kwa bertanya, Apakah hari ini ada masalah yang akan dibicara kan? Perdana Menteri Chao Che (Cao Cie) dan Menteri Negara Bun Gan Pok maju ke depan. Perdana Menteri Chao Che berkata: Sri Baginda, sebagaimana Baginda ketahui saat ini ibukota sedang dilanda bencana berupa wabah penyakit yang amat hebat. Di Ibukota bagian Timur hampir separuh penduduknya telah meninggal akibat bencana itu. Atas pertimbangan itu maka hamba mohon kiranya Sri Baginda yang bijaksana mau menurunkan firman. Di dalam firman Sri Baginda, pertama-tama hendaknya Baginda mengampuni para hukuman, kemudian menegakkan hukum negara untuk mencegah kejahatan dimasa mendatang; selain itu kami mohon Baginda juga mau menurunkan pajak agar beban rakyat bertambah ringan. Yang terakhir hamba mohon agar Sri Baginda bersedia bersembahyang khusus kepada Thian (Tuhan Allah), supaya Thian menyelamatkan rakyat kita yang terkena bencana yang maha dahsyat ini. Setelah dipertimbangkan masak-masak, Sri Baginda Song Jin Cong menyetujui usul Perdana Menterinya; bahkan Baginda segera memerintahkan untuk melakukan sembahyang khusus pada setiap biara yang ada di dalam negaranya. Firman itu segera dikeluarkan, dan dengan berbagai cara mereka berusaha untuk mengatasi wabah bencana yang tengah berjangkit. Namun semua usaha yang telah dijalankan ternyata sia-sia, bukan saja wabah penyakit belum bisa diredakan, bahkan semakin merajalela. Ketika Sri Baginda mendapat laporan tentang semakin ganasnya wabah; Baginda segera memanggil para menteri untuk merundingkan masalah yang dihadapi negara. Dalam sidang itu Menteri Besar Hoan Tiong Yam menyampaikan pendapatnya. Sri Baginda, bencana ini telah melanda ke seluruh negeri, sehingga rakyat sangat menderita. Jika Sri Baginda tak keberatan, hamba mohon agar Sri Baginda sudi memanggil Pemimpin Agama Taois, yang bernama Thio Thian Siu. Beliau tinggal di Liong Houw-san (Gunung Naga dan Harimau) di propinsi Kiangsi (Kuangsi). Hamba rasa beliau

perlu diundang untuk memimpin suatu upacara sembahyang khusus. Mudah-mudahan saja setelah diadakan sembahyang khusus kepada Thian, wabah yang menimpa negeri kita akan segera reda! **) Pauw an kemudian terkenal dengan nama Pauw Kong (Pao Kong), seorang jaksa yang pandai dan bijaksana. Riwayatnya akan segera diterbitkan. ***) Tek Ceng, Jenderal Song Jin Cong yang terkenal Setelah mempertimbangkan usul tersebut dengan seksama, kaisar Song Jin Cong menyetujui usul tersebut. Sri Baginda menganggap usul itu sangat bermanfaat bagi keselamatan rakyat dan negaranya. Dengan cepat Sri Baginda memerintahkan seorang Han Lim-ie untuk menyusun sebuah firman, kemudian Baginda menanda tanganinya dan membubuhkan Cap Kerajaan. Setelah firman itu selesai ditandatangani Baginda Song Jin Cong, firman itu diserahkan pada Kim Cee Tay Jin Ang Sin agar disampaikan kepada Tosu Thio Thian Siu. Ang Sin menerima baik tugas Sri Baginda, sebelum berangkat firman kaisar ia ikat pada punggungnya; ia membawa hio wangi dan dengan diiringi oleh 10 orang anak buahnya, Ang Sin berangkat ke propinsi Kiangsi. Jarak yang harus ditempuh oleh Ang Sin cukup jauh, itu sebabnya Ang Sin harus menukar kudanya yang kelelahan dengan kuda-kuda yang baru, pada setiap pos yang tersedia. Akhirnya utusan kaisar ini tiba juga di propinsi Kiangsi. Pada setiap kali ia singgah di kota kota yang dilewatinya, Ang Sin mendapat sambutan yang meriah dari pejabat maupun penduduk kota yang dilewatinya. Sebelum Ang Sin menemui Pemimpin Agama Taois, ia mengutus seorang utusan mendahului dan memberi kabar tentang kedatangannya; maksud Ang Sin supaya Thio Thian Siu menyambut kedatangan firman kaisar Song Jin Cong. Baru kemudian Ang Sin berangkat menyusul utusan itu; setiba di kaki gunung Liong Houw-san, Ang Sin disambut oleh para pendeta setempat. Penyambutan cukup meriah, begitu Ang Sin tiba, terdengar genderang dan gembreng dibunyikan mengiringi nyanyian para pendeta Tao itu yang melakukan penyambutan secara keagamaan. Asap hio membubung ke udara, di sekitar tempat itu dipasang berbagai macam bendera yang beraneka warna. Lagu-lagu keagamaan terdengar di sekitarnya. Kepala kelenteng (kuil) mengantar Ang Sin

memasuki ruang Sam Ceng Kiong (Ruang Tiga Kemumian). Di tempat ini upacara penyambutan firman Sri Baginda dilakukan dengan khidmat. Sesudah upacara selesai Ang Sin menanyakan dimana ketua Agama Tao Tosu Thio Thian Siu berada, karena Tosu ini tidak terlihat menyambut. Maaf Tayjin, yang menjadi kepala kami sekarang adalah Hsu Ching, tapi sayang beliau sudah mengasingkan din ke puncak gunung ini menyucikan diri agar menca pai Nirwana! jawab wakil kepala kuil. Jadi bagaimana caranya agar aku dapat menemui beliau? tanya Ang Sin. Mari kita bicarakan hal ini di ruang lain, kata pendeta itu. Ang Sin menurut saja, mereka pergi ke ruang lain. Sebagai utusan kaisar, Ang Sin diberi tempat duduk terhormat, kemudian ia dijamu, tapi makanannya khusus makanan kelenteng yang terdiri dan sayursayuran saja; tidak ada daging atau ikan. Makanan mi diberi nama makanan cia-cai. Selesai makan wakil kepala kelenteng menerangkan bahwa guru mereka sangat sakti; beliau dapat berjalan di atas awan. Oleh sebab itu wakil kepala kelenteng tak dapat menerangkan, di mana guru mereka sekarang berada. Mereka juga mengatakan bahwa mereka jarang berjumpa dengan Thio Thian Siu pemimpin mereka. Itu sebabnya wakil kepala kelenteng berpendapat akan sia-sia saja bila Ang Sin mau mencani gurunya. Itu juga sebabnya ia tidak dapat menyampaikan berita, kalau hari itu akan datang firman dari Kaisar. Ang Sin lalu menerangkan bahwa firman sangat penting dan mendesak agar diberitahukan bagaimana caranya supaya dia dapat menemui Pemimpin Besar mereka. Oleh karena Sri Baginda bermaksud menyelamatkan rakyat, maka Tay Jin harus mematuhi perintah Sri Baginda. Untuk menemui pemimpin kami, tuanku harus berserah diri secara pasrah dan berpuasa, tuanku harus bersedia mengenakan pakaian dan bahan kasar. Setelah itu tuanku harus mendaki sendiri ke atas gunung, firman kaisar harus tuan sampaikan sendiri pada guru kami. Hanya dengan cara inilah tuanku akan berhasil. Ingat, bila tuanku tidak bersungguh-sungguh usahamu akan sia-sia! kata kepala penjaga kelenteng. Sejak aku berangkat dan Ibukota, aku sudah cia-cai, mana mungkin aku berani melalaikan tugas ini. Maka jika Totiang menganjurkan agar aku berbuat seperti yang dipesankan oleh Totiang (Totiang panggilan

kepada pendeta To), maka aku pasti akan menjalankannya dengan baik! kata Ang Sin. Esok harinya sekitar jam empat pagi, para pendeta telah menyiapkan air kembang. Mereka meminta agar Ang- Sin mandi air kembang untuk membersihkan diri. Selesai mandi Ang Sin mengenakan pakaian kasar dan bahan blacu, ia juga mengenakan sandal rumput. Firman kaisar ia bungkus dengan kain sutera kuning, kemudian ia ikat di punggungnya. Ang Sin membawa sebuah hio-louw perak kecil yang ditancapi hio menyala. Dengan hati mantap Ang Sin melakukan perjalanan. Sambil berjalan Ang Sin harus berdoa terus. Ang Sin harus mendaki gunung menempuh jalan yang sulit. Semakin lama gunung itu bertambah curam dan bertambah sulit didaki, Ang Sin berjalan dengan susah payah. Ia terpaksa harus berpegangan pada akar, rumput atau rotan, karena jika kurang hati-hati ia akan tergelincir dan jatuh ke dalam jurang. Sesudah mendaki beberapa bukit, akhirnya Ang Sin mulai merasa tubuhnya sangat lelah. Kakinya terasa bertambah berat. Mg Sin mulai ragu apakah ia harus melanjutkan per jalanannya atau tidak. Otak Ang Sin membayangkan betapa bahagianya ketika berada di Ibukota. Ia bisa makan enak dan tidur nyenyak, ia tidak pernah merasakan kesengsaraan seperti yang dialaminya sekarang. Sial. Hidung kerbau-hidung kerbau itu telah mengirim aku ke neraka ini supaya aku menerima kesulitan ! kata Ang Sin. Ang Sin bingung bagaimana caranya agar ia bisa menemui Hsu Cing Totiong; hatinya kesal mau rasanya ia segera kembali saja ke kaki bukit, tapi oleh karena tugas itu adalah tugas dan kaisar, niatnya ia batalkan. Ia mencoba menguatkan din dan berusaha mencari Pemimpin Agung Agama Taois tersebut sampai dapat. Ang Sin mencoba melangkahkan kakinya yang terasa sangat berat. Baru saja ia melangkah 50 langkah jauhnya, napasnya sudah terasa sesak, kepalanya mulai pening. Tiba-tiba ia merasakan tiupan angin menerpa ke mukanya; pohon-pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang. Dan dalam hutan cemara muncul seekor harimau; melihat harimau itu hati Ang Sin jadi ciut, demikian kagetnya sehingga Ang Sin terjatuh. Dalam keadaan tak berdaya Ang Sin menyaksikan harimau itu menghampirinya. Keringat dingin dengan tak terasa membasahi tubuhnya, perlahan-lahan harimau itu semakin dekat. Ia mengelilingi tubuh Ang Sin sambil menjilatinya. Tentu saja Ang Sin jadi ketakutan sekali, seluruh tubuhnya bergetar. Oleh karena takutnya, apalagi harimau itu terus menciumi tubuhnya, Ang Sin akhirnya menggeletak tak berdaya seolah tubuh itu sudah tak bertulang lagi. Gigi Ang Sin gemeretuk menahan takut, tubuhnya menggigil bagaikan orang yang sakit demam. Perasaannya telah kabur entah ke mana. Pada saat itu

Ang Sin bagaikan berada di alam mimpi antara sadar dan tidak. Kaki dan tangannya tak dapat ia gerakkan. Setelah harimau itu mengaum keras, harimau itu lalu pergi meninggalkan Ang Sin yang masih gemetar ketakutan. Ketika semangatnya secara berangsur-angsur pulih kembali, ia berusaha bangkit. Hio-louwnya yang tadi terjatuh ia ambil, lalu a melanjutkan perjalanannya. Napas Ang Sin tersengal-sengal, kakinya sangat berat, Iangkah kakinya mulai goyah. Sekali ini Sn Baginda benar-benar memberikan tugas yang sangat berat padaku ! keluhnya. Baru saja ia selesai mengucapkan kata-katanya, tiba tiba ia mencium bau yang aneh; dengan cepat matanya mencari-cari ke sekeliling tempat itu. Astaga! Tak jauh dan tempatnya berdiri ia menyaksikan seekor ular berbisa melilit batang bambu, ular tersebut merayap menghampiri ke arahnya. Ang Sin terkejut. Tanpa disadarinya hi-louw yang dipegangnya terlempar lagi, sedangkan Ang Sin sendiri jatuh menumbuk sebuah batu besar. Akh, sekali ini matilah aku! keluh Ang Sin. Ang Sin belum bisa bangkit dan tanah, ketika ular itu merayap dan melingkar dekat tubuhnya, Mg Sin amat ketakutan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ketika ia memandang ke arah ular itu, ular itu tampak mengangkat kepalanya dan siap menyemburkan uap beracunnya ke arah muka Ang Sin yang bengong ketakutan. Ang Sin akhirnya pingsan, ia tak tahu lagi apa yang dialaminya. Ketika ia siuman kembali, ia sudah tak melihat ular berbisa itu di dekatnya. Akh, hampir saja aku jadi mangsa ulr berbisa. Rasanya Hidung Kerbau (ejekan bagi Tosu) di kaki bukit itu telah menipuku. Awas jika aku tak berhasil menemui gurunya, aku akan mengadakan perhitungan dengan Hidung Kerbau itu! ancam Ang Sin. Ang Sin mencoba bangkit pakaiannya Ia rapikan, setelah topinya ia kenakan ia mencari hio-louwnya yang jatuh. Baru kemudian ia melanjutkan perjalanannya mencari pemimpin agama Taois tersebut. Belum jauh ia melangkah kakinya, a mendengar suara seruling. Ang Sin tertarik oleh suara seruling itu, ia mencari-cari arah datangnya suara seruling itu. Ketika ia menoleh ke suatu arah ia melihat seorang anak gembala sedang menaiki kerbau bule. Anak itu dengan tenang duduk di punggung kerbaunya sambil meniup seruling. Suara seruling tersebut mengalun merdu di antara pohon-pohon cemara.

Hal, siapa kau dan dan mana asalmu? Apakah kau kenal denganku ? tanya Ang Sin. Anak Gembala itu diam saja, ia tak menghiraukan teguran Ang Sin. Ia hanya melirik sebentar, lalu meniup serulingnya kembali. Mg Sin penasaran, ia mendesak gembala itu supaya menjawab pertanyaannya. Aku tahu Tay Jin sedang mencari Hsu Ching Tojin! kata gembala itu. Ang Sin kaget, karena ternyata anak gembla itu mengetahui tujuan kedatangannya. Dan siapa kau tahu maksud kedatanganku ? tanya Mg Sin. Tadi subuh aku bertemu Hsu Chmg, beliau mengatakan kau akan datang menyampaikan firman kaisar. Beliau sudah tahu kalau ia diundang ke ibukota untuk memimpin sembahyang khusus menyingkirkan wabah yang melanda negeri ini. kata gembala itu. Ang Sin bertambah heran mendengar keterangan gembala itu. Harap Tay Jin jangan bersusah payah, beliau mengatakan akan segera pergi ke Ibukota. Aku yakin sekarang beliau sudah dalam perjalanan ke sana. Di atas gunung ini banyak binatang buasnya, aku rasa sebaiknya Tay Jin kembali saja. Hal ini demi keselamatan Tay Jin! kata gembala itu. Dusta ! kata Ang Sin. Anak gembala itu tak menghiraukan ucapan Ang Sin, ia terus melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh lagi. Heran, mengapa gembala itu mengetahui maksud kedatanganku ? pikir Ang Sin kebingungan, tapi ia segera menduga sebabnya, Akh aku tahu sekarang, mungkin saja si Hidung Kerbau sudah memberitahu anak gembala itu, karena ia hendak menggoda dan menguji kesabaranku. Tapi memang lebih baik kuturuti nasihat gembala itu, apalagi aku telah mengalami dua pengalaman mengerikan tadi! pikir Ang Sin. Dengan tak banyak bicara Ang Sin kemudian menuruni gunung kembali ke kuil di kaki bukit. Tiba di kaki bukit Ang Sin disambut oleh para pendeta Tao. Mereka menanyakan hasil kunjungan Ang Sin menemui guru mereka. Dengan kesal dan marah Ang Sin menuding dengan kipasnya dan membentak. Kalian mencoba mempermainkan utusan Kaisar! kata Ang Sin. Para tosu sangat ketakutan, kepala penjaga kuil lalu maju berlutut sambil berkata. Akh tuanku salah sangka. Kami orang kecil, mana berani kami mempermainkan Tay Jin. Kejadian-kejadian yang Tay Jin alami di atas gunung, kami kira sudah diatur oleh Guru kami. Tay Jin jangan salah,

harimau, ular dan binatang buas lainnya di atas gunung ini belum pernah menyakiti atau mencelakakan manusia! katanya. Ang Sin tampak masih mendongkol, ia lalu menceriterakan pengalamannya. Ketika di gunung tadi, aku bertemu dengan seorang anak gembala. Anak itu mengatakan guru kalian sudah pergi memenuhi undangan Baginda, jadi katanya aku tak perlu lagi menemui guru kalian ! kata Ang Sin. Akh sayang kata kepala kelenteng. Kenapa ? tanya Ang Sin. Gembala itu Guru kami, beliau masih muda tapi kesaktiannya sudah sempurna. Aku yakin beliau telah pergi dengan naik bangau ke Ibukota. Ia memang sering menyamar ! kata kepala kuil. Kenapa dia harus menyamar ? Entahlah. Ia berkepandaian tinggi, rakyat sini memben nama beliau dengan sebutan Dewa Pelindung ! kata si Tosu. Sial Sial, aku kurang teliti, sehingga menyia-nyiakan kesempatan berharga yang jarang terjadi! kata Ang Sin. Sudahlah, Tay Jin tak usah cemas. Bila Guru kami telah berjanji akan pergi, pasti ia sudah pergi sekarang. Bahkan aku yakin sembahyang sudah selesai pada saat tuanku tiba ke Ibukota ! kata tosu itu. Firman kaisar yang tak sempat diserahkan dibungkus kembali dengan kain sutera, kemudian firman itu diletakkan di ruang Sam Ceng Kiong. Ang Sin lalu dijamu, tapi sayang makanan yang dihidangkan adalah makanan cia-cai, makanan bagi para pendeta yang tidak berdaging sama sekali. Esoknya pagi-pagi Ang Sin diajak berjalan-jalan oleh kepala kuil; ia diajak menyaksikan keindahan kelenteng tersebut. Dalam pemeriksaan, Ang Sin mengagumi sebuah bangunan. Ketika mereka mendatangi bangunan tersebut, ternyata pintunya dikunci, sedang pada pintu itu ditempei hu (surat jimat) sebanyak 10 helai. Bangunan tersebut terkurung oleh tembok yang terbuat dari tanah bercat merah. Pada pintu bangunan terdapat sebuah papan merk bertulisan: HOK KWIE KIONG, arti dari tulisan itu adalah Ruang Penakluk Iblis. Melihat tulisan aneh itu, Ang Sin jadi tertarik. Ia lalu bertanya. Apa isi ruang terkunci mi ? katanya. Dahulu Couw-su kami berhasil menangkap dan mengurung iblis di ruangan ini. jawab kepala kelenteng. Untuk apa hu itu ditempelkan di sana ? tanya Ang Sin. Pada zaman dinasti Tang, Couwsu kami Tang Chuan berhasil menaklukkan raja iblis, beliau kemudian mengurungnya dalam ruang ini. Sejak saat itu menjadi tradisi, setiap kepala gereja menempelkan sebuah hu, maksud nya supaya pintu ini sukar dibuka. Alasan utamanya adalah agar iblis-iblis yang dikurung tidak dapat keluar;

menurut Couwsu kami, bila iblis-iblis itu bisa keluar dari kurungannya, iblis-iblis itu akan menimbulkan bencana besar. Sejak Couwsu kami berhasil mengurung iblis itu sampai kini telah berlangsung sembilan turunan; sejak saat itu pula tak satupun pemimpin kami yang berani melanggar peraturan dan membuka ruang itu. Untuk mencegah dan menjaga tradisi, malah akhirnya lubang kunci gemboknya dituangi tembaga cair, sehingga anak kunci gembok tak dapat lagi dipergunakan untuk membukanya, kecuali gemboknya dirusak ! Pinto sudah 30 tahun tinggal di kuil ini cerita itu pinto dengar dan orang lain, sampai sekarang tak seorangpun yang mengetahui apa isi ruangan tersebut sebenarnya, kata kepala pendeta penjaga. Ang Sin jadi penasaran, ia ingin menyelidiki isi ruangan itu. Kepada kepala penjaga biara itu Ang Sin lalu berkata. Tolong kau buka ruangan itu, aku ingin bertemu raja iblis yang dikurung dalam ruangan itu ! katanya. Kepala penjaga biara ketakutan, lalu ia berkata ke pada Ang Sin. Tay jin, jangan main-main. Kami tidak berani melakukannya. katanya. Kenapa ? tanya Ang Sin. Sebab Couwsu kami melarangnya, maaf kami tak berani melanggar perintah Couwsu kami. kata kepala penjaga kuil itu. Mendengar jawaban tersebut Mg Sin tersenyum. Omong kosong! Aku tahu kalian cuma menipu dan menyiarkan cerita bohong kepada rakyat. Dengan demikian rakyat percaya, bahwa pendeta di kelenteng kalian sakti-sakti, begitu? Mereka akan mengira kalian pandai menangkap iblis. Aku telah banyak membaca buku, tapi tak satu buku pun yang pernah menyatakan bahwa di tempat ini ada iblis yang dikurung. Aku tidak percaya ada ilmu yang dapat menyelidiki soal gaib. Itu sebabnya aku tak percaya kalau di tempat ini ada iblis yang dikurung. Coba kau buka, aku ingin melihat setan-setan yang kau sebut-sebut itu ! perintah Ang Sin. Kepala penjaga kelenteng tetap menolak dan mengatakan hal itu sangat berbahaya. Ia khawatir bila ia meluluskan permintaan Ang Sin, iblis-iblis itu akan ke luar dan menimbulkan bencana besar bagi umat manusia. Mendengar keterangan ini Ang Sin menjadi marah. Jika Totiang tak mau meluluskan permintaanku, kau akan kulaporkan pada kaisar, akan kukatakan kau telah mencoba menghalanghalangiku sehingga aku tidak dapat menemui pimpinanmu. Aku akan katakan kuilmu menipu rakyat, menyebarkan kabar bohong yang mengatakan ada iblis yang dikurung di sini. Aku yakin kuilmu ini akan dibubarkan, sedangkan kau sendiri akan di buang ke tempat jauh ! kata Ang Sin mengancam.

Ancaman itu membuat pendeta kepala penjaga kuil tersebut dan pendeta lainnya ketakutan. Dengan terpaksa ia panggil anak buahnya untuk merobek hu (surat jimat yang jadi segel pintu), kemudian gembok pintupun terpaksa dirusak. Setelah terbuka, mereka menyaksikan ruang itu sangat gelap. Tak seorang pun yang berani masuk ke dalam ruang itu. Atas desakan Ang Sin, dengan membawa 10 batang obor, mereka memasuki ruang itu dengan agak takut. Ruang itu ternyata kosong. Di tengah ruangan hanya ditemukan sebuah pai (semacam batu nisan) yang terbuat dan batu; pai tersebut berukuran 6 kaki. Batu pai tersebut menindihi sebuah patung kurakura dan batu, tubuh patung kura itu melesak hampir separuhnya ke dalam tanah. Setelah diteliti pada batu pai itu terdapat tulisan kuno, tak seorangpun dapat membaca tulisan yang terdapat di pai tersebut. Tapi di balik pai mereka melihat tulisan yang berbunyi demikian: Bukalah kalau Ang Sin datang ! Wajah Ang Sin tampak cerah, sambil menoleh ke arah pa.ra pendeta Tao ia berkata. Lihat Totiang. Kau mencoba menghalangi aku membuka ruang ini. Padahal ratusan tahun yang lalu namaku sudah tercatat di sini. Bahkan tulisan ini pun meramalkan kedatanganku hari ini. Aku kira raja iblis itu dikurung di bawah batu ini. Cepat gali kura-kura batu itu! kata Ang Sin. Kepala penjaga kuil keberatan, alisnya kembali berkerut. Sebaiknya Tay Jin jangan lakukan hal itu. Ingat keselamatan orang banyak ! kata si kepala penjaga kuil. Ang Sin yang merasa dihalangi maksudnya jadi marah, ia memaki dan mengatakan para tosu di situ goblok-goblok. Ia memaksa agar kurakura batu itu digali. Mg Sin mengatakan dialah yang berhak membuka tempat itu, sesuai dengan tulisan yang ada di pai tersebut. Oleh karena takut pada ancaman Mg Sin terpaksa para pendeta mengalah, mereka segera menggali dan mencoba mengangkat kura-kura batu yang terbenam di dalam tanah tersebut. Penggalian dilakukan dengan cepat, setelah menggali tiga kaki dalamnya mereka menemukan sekeping batu berbentuk persegi empat. Setelah diangkat ternyata batu piagam itu berfungsi sebagai penutup sebuah lubang sumur yang dalam. Sesudah penutup lubang itu dibuka, tiba-tiba mereka mendengar suara auman yang dahsyat. Segumpal awan hitam meluncur ke luar dan dalam sumur itu. Awan itu menerobos ke luar dengan memecahkan sudut atap bangunan

tersebut. Di langit awan itu pecah menjadi seratus sinar lebih yang lalu menghilang ke berbagai penjuru. Semua yang hadir terperanjat. Diam-diam mereka meninggalkan ruang itu. Ang Sin sendiri ketakutan, wajahnya berubah pucat. Ia lari ke ruang depan, lalu menemui kepala penjaga kuil yang sudah keluar lebih dahulu. Totiang, setan apa yang telah keluar dan lubang itu? Anda tidak percaya kepada kami, Tay Jin. Couwsu kami dahulu pernah menahan 36 roh dari langit dan 72 bintang yang jahat. Jumlah mereka ada 108 iblis. Nama-nama mereka terukir pada batu pai dengan tulisan kuno. Sekarang Tay Jin telah melepaskan mereka. Sebentar lagi bencana besar akan terjadi. Sekarang saya tanya, apa yang dapat Tay Jin lakukan untuk mencegah bencana itu? kata kepala penjaga kuil. Ang Sin merasa bersalah, tubuhnya gemetar ketakutan. Tanpa bicara lagi, Ang Sin membereskan pakaiannya, lalu meninggalkan anak buahnya dan segera pulang ke Ibukota. Dalam perjalanan pulang Ang Sin minta agar anak buahnya merahasiakan kejadian itu, sebab bila hal itu diketahui kaisar ia akan mendapat hukuman berat. Tak lama rombongan Ang Sin tiba di Ibukota. Benar saja Tosu Hsu Ching Tojin telah selesai mengadakan upacara sembahyang, sedang wabahpun sudah reda. Sesudah menyelesaikan tugasnya Su Ching Toyin kernbali ke pertapaannya. Esoknya pagi-pagi Ang Sin datang menghadap Baginda Song Jin Cong. Pie-hee (hamba) mohon ampun atas keterlam batan Pie-hee. Hsu Ching Tojin telah tiba lebih dahulu, karena ia mengendarai bangaunya, sedangkan pie-hee harus sering berganti kuda pada setiap pos. Dengan amat rnenyesal pie-hee tak dapat ikut bersembahyang. kata Ang Sin. Sri Baginda diam saja, lalu Baginda memberi hadiah atas jasa Ang Sin yang telah berhasil mengundang Su Ceng Tojin datang untuk bersembahyang. Setelah peristiwa itu kaisar Song Jin Cong masih memerintah selama 42 tahun lamanya; sayang beliau tak berputera, ketika beliau wafat ia tidak punya pengganti atau ahli waris. Sebagai pengganti Baginda Song Jin Cong, maka di pilihlah anak salah seorang pangeran, yang kemudian diangkat menjadi kaisar dengan gelar kaisar Song Eng Cong. Tapi kaisar ini hanya memerintah selama 4 tahun saja, beliau lalu diganti oleh puteranya yang bernama Song Cin Cong. Kaisar Song Cin Cong bertahta selama 18 tahun, baru kemudian dia diganti oleh kaisar

Song See Cong. Selama kaisar Song See Cong memerintah, kerajaan Song aman dan damai. Benarkah demikian? Bila benar aman sentausa, kenapa kisah ini ada di tangan para pembaca? Bagian ini merupakan sebuah prolog, pada bab-bab berikutnya, kita mulai menikmati Shui Hu Chuan. Bab 1. Pelatih Ong Cin Melarikan Diri ke Gan An Hok Published by Noel on 2005/3/28 (482 reads) PADA masa pemerintahan kaisar Song See Cong (Tee Cong) dari Dinasty Song Selatan, ibu kota negara berada di kota Tang-ceng (Tong-khia) di propinsi Kai-Hong-hu. Di kota Tang-ceng (Tong-khia) hidup seorang hartawan kaya yang mempunyai seorang anak laki-laki bernama Kao Ciu. Sayang anak ini sukar dididik, kesenangannya hanya bersenang-senang dan malas bekerja. Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia, pemuda Kao Ciu yang bisanya bersenang-senang dan menghambur-hamburkan uang, akhirnya jatuh miskin. Harta warisan dan kedua orang tuanya habis dipakai berfoyafoya. Kao Ciu menjadi pemuda pengangguran, terkadang ia pergi main bola. Kepandaian Kao Ciu dalam main bola terkenal di kota ini. Permainan yang dikisahkan di sini bukan permainan bola sepak yang kita kenal. Tapi permainan bola ini lebih mirip dengan permainan sepak takraw. Selain terkenal sebagai pemain bola Kao Ciu juga dikenal sebagai pemain musik. Ia pandai menari, menyanyi dan menulis sajak, serta pandai main silat. Entah pengaruh pergaulan yang bebas, atau memang sudah wataknya, Kao Ciu mempunyai sifat buruk. Ia suka berbohong dan perangainya sangat buruk. Ia pun tidak setia dan tidak memiliki sifat sopan santun. Ia hidup urakan. Kao Ciu sangat senang bermain di rumah pelacuran. Biasanya Kao Ciu pergi ke rumah pelacuran bersama-sama dengan beberapa temannya. Di rumah pelacuran inilah Kao Ciu bisa bergaul dengan beberapa kenalannya. Di antara kenalannya ada seorang anak hartawan. Ia sering pergi ke rumah pelacuran bersama-sama. Anak hartawan kenalan Kao Ciu ini dari marga Ong.

Pada suatu hari Kao Ciu mengajak anak hartawan Ong ke rumah pelacuran. Anak hartawan Ong tertarik pada seorang pelacur, hingga ia jarang pulang. Bahkan Kao Ciu sempat mengajari anak hartawan Ong mencuri uang ayahnya. Hartawan Ong menjadi marah bukan main. Anaknya yang dinasihati berulang-ulang dengan dibujuk supaya kembali ke jalan yang benar, tetap saja tidak mau menurut. Rupanya anak itu sudah sangat tergila-gila pada pelacur di numah pelacuran tersebut. Hartawan Ong bertambah jengkel; ketika ada orang yang memberitahu bahwa anaknya sening pergi dan bergaul dengan Kao Ciu. Setelah mengetahui bahwa anaknya sening pergi bersama Kao Ciu; hartawan Ong ingin melampiaskan kemarahannya kepada Kao Ciu. Ia menganggap Kao Ciu telah menjerumuskan anaknya ke dunia pelacuran. Dengan menggunakan hartanya hartawan Ong lalu mengadukan perbuatan Kao Ciu kepada Gubernur Kota Kai-hong; tentu saja laporan dan hartawan Ong Seng yang diembel-embeli dengan uang ditenima dengan baik. Gubernur lalu mengerahkan anak buahnya. Mereka mendatangi rumah pelacuran yang biasa didatangi oleh Kao Ciu. Di tempat itu Kao Ciu lalu ditangkap. Setelah diikat Kao Ciu dibawa ke pengadilan untuk diadili perkaranya. Dengan pengaruh uangnya hartawan Ong Seng dapat mempengaruhi hakim; sehingga Kao Ciu dijatuhi hukuman rangket dengan rotan sebanyak 20 kali. Kao Ciu dituduh telah mempengaruhi anak hartawan Ong Sehingga anak hartawan itu menjadi orang jahat. Oleh karena tidak berdaya untuk melawan, terpaksa Kao Ciu pasrah menenima pukulan sebagai hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Tubuhnya terobek-robek kanena kerasnya pukulan yang dijatuhkan ke tubuhnya. Kiranya hukuman itu masih belum cukup baginya; atas protes penduduk kota Tang-ceng, Kao Ciu harus dibuang ke luar daerah. Walaupun bekas orang kaya, karena sudah tidak berdaya, terpaksa ia menjalani hukuman buang ke daerah lain. Dengan perasaan sedih Kao Ciu meninggalkan kampung halamannya; ia pergi dengan tujuan ke kota Limwie yang tenletak di propinsi Wie-see. Dalam penjalanan yang cukup jauh itu Kao Ciu mengalami berbagai penderitaan; tapi karena tekadnya telah bulat ia terus melanjutkan perjalanannya. Akhirnya ia tiba juga di Lim-wie.

Mula-mula yang dilakukannya ialah mencani rumah sahabatnya. Dengan tekun ia bertanya-tanya alamat sahabatnya itu. Dengan susah payah akhirnya Kao Ciu bisa menemukan rumah Lauw See Koan, sahabat yang dicarinya itu. Ternyata sahabat Kao Ciu membuka rumah judi. Lauw See Koan dikenal juga dengan nama Lauw Tay Lang; selain itu ia dikenal sebagai penampung tukang judi dan kaum gelandangan terutama para penjahat. Lauw banyak menampung orang-orang yang tidak diketahui asal-usulnya. Mereka terdiri dari pencopet, gelandangan, pengangguran bahkan perampok-perampok. Lauw sangat senang menenima kedatangan sahabatnya; Kao diajaknya tinggal bersama di rumahnya. Semua keperluan Kao Ciu disediakan oleh Lauw. Lauw memang seonang yang mengenal budi dan sangat menghangai sahabatnya ini. Oleh karena ada yang menampung hidupnya, Kao Ciu tidak terlalu sedih. Selang tiga tahun... Pada suatu hari Kao Ciu yang tinggal di rumah Lauw Tay Liang mendengar berita bahwa pemenintah telah mengampuni para hukuman. Alasan pemerintah mengampuni dan meringankan hukuman para penjahat, karena Kaisar telah mengalami suatu peristiwa yang menggernbirakan. Pada suatu hari kaisar Song See Cong pergi bersembahyang di daerah selatan, memohon sesuatu kepada Tuhan. Rupanya permohonan kaisar terkabul. Atas terkabulnya permohonan itu, kaisar Song telah menngankan hukuman yang ada dalam penjana; bahkan memperbolehkan orang yang dibuang kembali lagi ke daerah tempat asalnya. Mendengar benita ini tentu saja Kao Ciu jadi girang; sudah lama ia merindukan kampung halamannya, tapi Kao Ciu belum memperoleh kesempatan; sekarang pemenintah telah membebaskan hukumannya; jadi ia boleh kembali ke kampung halamannya. Maksudnya ia utarakan kepada Lauw lay Liang, tapi sahabatnya merasa berat mengizinkan Kao Ciu pergi. Sahabatnya mengkhawatiri pekerjaan Kao Ciu. Rupanya keinginan Kao Ciu sudah tak dapat dihalangi lagi. Ia tetap memaksa sehingga Lauw tidak dapat menghalanginya lagi. Dengan berat hati Lauw mengizinkan Kao Ciu pergi walau ia khawatir nasib dan penghidupan sahabatnya ini; sekalipun di kampung halamannya sendiri.

Lauw teringat bahwa ia masih punya famili di kota Tang-ceng. Lauw bertanya pada Kao Ciu apakah ia mau bekerja di tempat saudaranya; Kao Ciu yang menyadari bahwa dirinya bekas orang buangan, menerima pekerjaan itu. Maka ditulisnyalah sepucuk surat untuk diberikan kepada Tang Ciang See, (Tang Lauw Pang), famili Lauw yang tinggal di kota Tang-ceng. Setiba di Tang-ceng, Kao harus menyerahkan surat itu kepada familinya. Di dalam suratnya Lauw memohon agar Tang Ciang See mau menerima Kao Ciu sebagai pegawainya. Tang memiliki sebuah rumah obat yang ckup terkenal di kota Tangceng. Kao menerima surat itu, dan menyimpannya baik - baik. Setelah diberi bekal, maka berangkatlah Kao Ciu menuju Tang-ceng. Ia membawa sebuah buntalan dan melakukan perjalanan seorang diri. Setiba di Tang-ceng, sesuai dengan pesan Lauw maka pergilah Kao ke rumah Tang Ciang See. Rumah Tang tidak sulit dicari; ditambah pula Kao Ciu memang orang situ. Ketika bertemu dengan Tang, Kao menyerahkan surat Lauw. Tang membaca surat saudaranya. Setelah membaca surat itu hati Tang mulai bimbang. Sebab Tang tahu siapa yang diperkenalkan oleh saudaranya itu. Dia adalah Kao Ciu, orang buangan. Tang menyesali saudaranya yang telah mengajukan Kao Ciu supaya diterima sebagai pegawainya. "Orang seperti dia tidak mungkin aku terima sebagai pegawaiku. Sifatnya sangat buruk, jika aku terima anak anakku akan terpengaruh olehnya. Aku rasa sifatnya tidak dapat hilang dan aku tidak mau meracuni keluargaku. Tapi bila aku tidak menerimanya, aku merasa segan pada Lauw Tay Liang." demikian pikir Tang Ciang See. Pada saat hatinya sedang bimbang akhirnya Tang mendapat akal yang baik. "Baiklah. Untuk sementara aku terima dia supaya tidak tersinggung; apa salahnya kalau untuk beberapa hari saja setelah itu baru aku berusaha menyingkirkan dia dengan cara halus!" pikir Tang. Tiba-tiba Tang menjadi ramah, ia mempersilahkan Kao masuk; kemudian dijamu makan bersama. Tang pura-pura bersimpati dan menanyakan keadaannya ketika berada di Lim-wie bersama saudaranya. Semua yang dilakukan oleh Tang merupakan basa-basi.

Selang sepuluh hari tinggal di rumah Tang, Kao Ciu belum diberi pekerjaan apa-apa. Kao selama itu diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat. Hal ini justru membuat Kao menjadi kurang enak hati, karena ia tetap menganggur saja. Sebaliknya Tang Ciang See selama sepuluh hari itu berpikir keras untuk menyingkirkan Kao dan rumahnya; sebab Kao dianggap wabah yang benbahaya yang bisa menghancurkan keluarganya. Dalam hal ini Tang mendapat kesulitan. Ia ingin agar Kao pergi dari rumahnya dengan cara baik-baik. Tang tahu benar siapa Kao ini. Rupanya pada suatu hari Tang sudah memperoleh jalan; Kemudian Kao diundangnya, lalu mereka benbincang-bincang berdua. "Aku bukan tak mau diikuti olehmu, tapi bila kau terus tinggal di rumahku, sama saja aku telah menghambat kemajuanmu. Setelah aku pertimbangkan masak-masak, aku punya ide yang bagus sekali. Tapi aku tak tahu apakah kau mau menenima ideku itu?" kata Tang Ciang See. "Apa yang baik menurut tuan, aku menurut saja," jawab Kao Ciu. "Begini saudara Kao, sahabatku sekarang mendapat kedudukan sebagai menteri kebudayaan; aku tahu kau pandai menyanyi; bersajak dan sebagainya. Aku pikir kau akan kuperkenalkan kepada sahabatku itu. Nama sahabatku itu Siauw Siok. Bagaimana kau setuju? Kalau kau setuju aku akan menulis surat kepadanya. Aku kira ia mau menerimamu bekerja di kantornya." kata Tang Ciang See. Kao Ciu mengerti bahwa tuan rumah keberatan ditumpangi olehnya; jika ia marah kepada tuan rumah ia merasa tak enak hati kepada Lauw Tay Liang yang baik hati kepadanya. Maka dengan menyabarkan hatinya, ia mengucapkan terima kasih. "Aku menyusahkan tuan saja." kata Kao Ciu. "Tidak apa, kau sahabat saudaraku dan kau juga menjadi sahabatku. Baiklah, kau tunggu di sini, aku akan menulis sepucuk surat untuk sahabatku itu." kata Tang. "Tenima kasih, tuan Tang." kata Kao Ciu. Tang mengarnbil bak tinta dan pit, tak berapa lama ia sudah mulai menulis. Surat ditujukan kepada Siauw Siok yang menjadi menteri kebudayaan.

Hari itu juga dengan diantar oleh pegawai Tang Ciang See, Kao Ciu berangkat ke rumah menteni kebudayaan Siauw Siok. Setiba di rumah Siauw Siok, bujang Tang menyerahkan surat tuannya. Kemudian bujang itu memperkenalkan Kao Ciu kepada Siauw Siok. Ketika Siauw Siok diperkenalkan ia menjadi kaget, sebab ia juga kenal siapa Kao Ciu ini. Walau demikian sudah tentu ia tidak berani menolak secara spontan permintaan sahabatnya Tang untuk menerima Kao bekerja di rumahnya. Hanya Siauw Siok menyesali sahabatnya kenapa tega memperkenalkan Kao Ciu kepadanya. "Tak mungkin dia bekerja di gedungku, dia bekas penjahat dan aku kenal sifatnya!" pikir Siauw Siok. Setelah agak lama merenung memikirkan keadaannya yang terjepit itu, akhirnya ia mendapat akal baik. "Akh aku punya akal, Huma (menantu Raja) Kolonel Ong Cin Jin sangat suka kepada orang yang seperti Kao Ciu. Ia suka pelesir, bergaul dengan pelacur dan Sebagainya. Lebih baik aku kirim dia ke sana. Aku yakin dia mau menerimanya." pikir Siauw Siok. Siauw Siok tidak mau tergesa-gesa, sebab itu ia terima Kao Ciu dengan baik sebagai tamunya. Kemudian ia membalas surat Tang Ciang See, dan menyerahkan kepada si pembawa surat. Kemudian ia pulang ke rumah tukang obat itu. Pagi-pagi sekali Kao Ciu dibekali sepucuk surat oleh Siauw Siok. Dengan diantar oleh pegawai Siauw Siok, Kao Ciu berangkat ke rumah Kolonel Ong Cin Jin. Ong Cin Jin atau lebih dikenal dengan panggilan Siauw Ong adalah suami dan adik kaisar Song See Cong. Siauw Ong senang bergaul dengan orang-orang pandai, ia juga terkenal sebagai pemuda hidung belang alias suka perempuan lacur. Dengan pertimbangan inilah Siauw Siok menginimkan Kao Ciu ke gedungnya; sebab Siauw Siok tahu Kao Ciu juga senang pelacur dan wanita penghibur. Benar saja, dugaan Siauw Siok tidak meleset. Setelah membaca surat dari Siauw Siok dan bertemu muka sendiri dengan Kao Ciu, Siauw Ong senang menenima Kao Ciu. Surat Siauw Siok segera dibalasnya, di dalam surat ia menyatakan terima kasih dan mau menerima Kao Ciu bekerja di tempatnya.

Menenima balasan dari Siauw Ong, Siauw Siok sangat senang, sebab ia terbebas dari malapetaka karena harus bergaul dengan orang bekas buangan bernama Kao Ciu. Di tempat Siauw Ong, Kao Ciu diperlakukan dengan baik; Kao Ciu bahkan sering diajak pelesir dan pergi ke tempat-tempat pelacuran. Siauw Ong membebaskan Kao Ciu sehingga ia merasa seperti di rumahnya sendiri. Ia bebas keluar masuk di rumah menantu kaisar ini. Semakin rapat bergaul semakin rapat orang yang bergaul itu, demikian sebuah pepatah mengatakan. Demikian juga yang terjadi dengan Siauw Qng dan Kao Ciu. Kao Ciu semakin disukai oleh Siauw Ong. Selang beberapa bulan, tibalah hari ulang tahun Siauw Ong. Ulang tahunnya akan dirayakan dengan meriah. Itu sebabnya Siauw Ong menyebar undangan untuk sahabat sahabatnya. Siauw Ong juga tidak lupa mengundang putera Song Sin Cong yang bernama Toan Ong. Ia adalah adik dari kaisar Song See Cong. Wajah pangeran Toan Ong tampan sekali, tubuhnya tinggi sedang dan berkulit kuning. Toan Ong juga senang pelesir dengan wanita eantik. Ketika Toan Ong hadir dalam pesta itu, disambut oleh Siauw Ong. Kemudian dijamu sebagai tamu paling terhormat. Tak lama Siauw Ong dan Toan Ong makan bersama. Kemudian Toan Ong ke belakang untuk mencuci tangannya; Toan Ong pergi ke ruang belakang. Ketika ia kembali dari dapur, ia masuk ke ruang perpustakaan milik Siauw Ong. Penpustakaan Siauw Ong tampak rapi. Keadaan ini tentu saja membuat Toan Ong sangat kagum pada Siauw Ong yang pandai mengatur penpustakaannya. Setiap barang yang ada di situ ditelitinya. Tiba-tiba mata Toan Ong tertuju ke suatu benda. Ia menghampiri benda itu dan diambilnya untuk diperhatikan. Rupanya benda itu sepasang singa-singaan yang terbuat dan batu giok. Buatannya sungguh halus dan indah. Toan Ong amat kagum pada kerajinan tangan yang halus buatannya itu. Sambil manggut-manggut dari mulut Toan Ong terucap satu kata."Indahnya."

Sejak tadi sebenarnya Siauw Ong mengikuti pangeran ini; ketika ia tahu Toan Ong menyukai singa-singaannya, Siauw Ong lalu menghampini sang pangeran. "Anda suka barang itu?" Toan Ong tensenyum. "Saya masih punya barang lain, tempat pit yang tenbuat dari batu giok dan dibuat oleh orang yang sama. Tapi sayang barang itu tidak ada di sini. Jika anda menyukainya, baiklah besok saya antarkan ke gedung anda." kata Siauw Ong. Hati Toan Ong sangat senang ketika mendengan barang antik itu akan diberikan kepadanya. "Ah terima kasih atas kebaikanmu, tentu tempat pit itu lebih indah dari barang ini." kata Toan Ong. "Saya kira begitu."jawab Siauw Ong. Toan Ong kembali mengucapkan terima kasih, setelah puas mereka keluar dari penpustakaan, kembali ke tempat perjamuan untuk menikmati hidangan pesta kembali. Menjelang magrib Toan Ong yang sudah setengah mabuk pamit akan pulang ke gedungnya. Siauw Ong mengantarkan tamunya sampai di luar gedungnya. Esoknya Siauw Ong menepati janjinya. Ia mengambil tempat pit dan singa-singaan, kemudian kedua barang itu dibungkus dengan rapi. Kedua barang itu dimasukkan ke dalam sebuah kotak yang terbuat dari emas. Setelah ditutup rapi, barulah kotak itu dibungkus dengan kain sutera kuning. Siauw Ong menulis sepucuk surat pengantar. Surat itu diletakkan dalam bungkusan kain kuning. Setelah bungkusan dan surat dimasukkan, Siauw Ong meminta supaya Kao Ciu mengantarkannya ke rumah Toan Ong. Kao Ciu menerimanya, kemudian berangkat mengantarkan barang kirirnan dari Siauw Ong. Tiba di rumah Toan Ong, Kao Ciu lalu menemui penjaga pintu. "Siapa kau?" "Nama saya Kao Ciu, utusan dari Kolonel Siauw Ong untuk menyampaikan bingkisan dari beliau: dan saya mendapat pesan

supaya kiriman ini langsung diserahkan kepada Toan Ong."jawab Kao Ciu. "Maaf, Raja Muda sedang di ruang belakang main bola; mari kuantar kau ke sana." kata penjaga. "terima kasih." jawab Kao Ciu. Kao Ciu dan penjaga memasuki gedung Raja Muda Toan Ong, sampai di ruang belakang Kao Ciu menyaksikan Raja Muda Toan Ong sedang bermain bola; sedangkan para pegawainya berdiri menyaksikan. majikan mereka bermain bola. Saat itu Toan Ong mengenakan pakaian bersulam ular naga, kepala Toan Ong diikat oleh sehelai kain sutera. Sepatu raja muda ini bersulam gambar burung Hong. Tampak para pengawal Toan Ong tertawa-tawa gembira. Mereka bersorak dan bertepuk tangan, bila Toan Ong berhasil menyepak bola tersebut. Menyaksikan permainan itu Kao Ciu tak berani mengganggu Toan Ong, ia juga berdiri menjadi penonton. Toan Ong tidak memperhatikan ada seorang utusan yang datang; ia sedang asyik dengan bolanya. Terpaksa Kao Ciu harus menunggu dengan sabar, ia berharap Toan Ong akan segera menghentikan permainannya. Tiba-tiba bola yang ditendang oleh Toan Ong meluncur ke arah Kao Ciu. Melihat bola meluncur ke arahnya, Kao Ciu yang sudah lama tidak bermain bola, secara reflek menen dang bola itu. Bola melayang kembali tepat ke depan Toan Ong. Toan Ong yang tadi kehilangan bola menjadi gembira, karena bola itu meluncur ke arahnya dengan cepat. Kao Ciu ketika sadar telah melakukan sesuatu menjadi terkejut hukan main. Toan Ong tidak kelihatan marah, tapi hanya rnengawasi ke arahnya dengan heran; sebab Kao Ciu tidak dikenalnya. Tapi Toan Ong kagum juga dengan kepandaian Kao Ciu rnenendang bola. "Siapa kau'?" tanya Toan Ong dengan ramah. "Nama hamba Kao Ciiu, aku seorang utusan dari gedung Kolonel Siauw Ong." jawab Kao Ciu. Toan Ong mengangguk.

"Kedatangan hamba hendak menyampaikan kiriman dari beliau, harap tuanku suka menerimanya.'' kata Kao Cu yang terus menyodorkan bungkusan kuning yang dipegangnya. "Akh beliau henar-benar orang haik, dia memperhatikan aku sekali ," kata Toan Ong. Dengan hati-hati Toan Ong membuka kotak itu. Ia kagum melihat sepasang singa-singaan dan tempat pit yang terbuat dari batu giok serta indah buatannya. Setelah merasa puas, ia panggil pelayannya. Banang ini ia serahkan untuk disimpan. Toan Ong seolah kurang perhatian pada barang berharga tersebut. Ia kembali menemui Kao Ciu. "Siapa namamu?" "Kao Ciu, tuanku." "Tendangan bolamu bagus sekali." "Ah biasa saja, tuanku." "Kau boleh main denganku." "Maaf, hamba tidak berani tuanku." "Jangan takut, ayo main denganku." kata Toan Ong. Kao Ciu tetap menolak, tapi Toan Ong mendesaknya. Setelah memberi hormat, Kao Ciu ikut bermain. Dengan cekatan Kao Ciu bermain bola. Menyaksikan kegesitan Kao Ciu, Toan Ong sangat kagum. Kao Ciu memperlihatkan seluruh kemampuannya bermain bola, sehingga Toan Ong bertambah kagum. Bola itu seolah lengket ke kaki Kao Ciu. Setiap genakan Kao Ciu tampak indah sekali. Toan Ong yang sangat senang berkali-kali mengeluarkan pujiannya. Ketika Kao Ciu akan pulang, Toan Ong melarangnya. Kao Ciu menolak sebab ia belum minta izin kepada Kolonel Siauw Ong. Toan Ong malah mengatakan dialah yang akan memberi kabar kepada Siauw Ong, supaya Kao Ciu boleh tinggal di gedungnya. Kao Ciu akhirnya tidak berdaya, terpaksa ia menuruti kehendak Raja Muda ini. Dengan cepat Toan Ong menulis surat, kemudian surat itu dikirimkan ke gedung Siauw Ong.

Hati Siauw Ong sudah gelisah, sebab Kao Ciu behum kembali juga ke gedungnya. Ia mulai cuniga, sebab barang yang ia kirimkan termasuk barang antik yang mahal harganya. Siapa tahu Kao Ciu serakah dan melarikan barang yang seharusnya diberikan kepada Toan Ong. Baru saja Siauw Ong hendak mengirim orangnya untuk menyusul, saat itu orangnya Toan Ong datang menghadap. Pegawai pangeran itu menyerahkan sepucuk surat untuknya. Setelah membaca surat dari Toan Ong, hati Siauw Ong lega. Ia tidak lupa menanyakan tentang kesehatan pangeran itu. "Pangeran Toan Ong mengundang tuan untuk datang ke gedungnya." kata utusan tersebut. "Apa Kao Ciu ada di sana "Ya, Pangeran sangat senang kepadanya." "Pulanglah lebih dahulu, nanti aku menyusul." kata Siauw Ong. Setelah utusan itu pergi Siauw Ong minta supaya kudanya disiapkan; tak lama Siauw Ong keluar dengan menaiki kuda segera berangkat ke gedung Toan Ong. Baru saja ia tiba di halaman gedung, raja muda Toan Ong sudah menyambut kedatangannya. Toan Ong menyampaikan terima kasih atas kiriman barang antik yang dikirimkan lewat Kao Ciu. Siauw Ong kemudian diajak ke ruang tamu untuk dijamu. Pada saat mereka sedang menyampaikan keinginannya. makan minum tiba-tiba Toan Ong

"Aku senang pada pegawaimu yang bernama Kao Ciu, ia pandai bermain bo1a; jika kau tidak keberatan aku akan memintanya supaya ia tinggal di gedungku." kata Toan Ong. "Jika tuan memerlukannya sudah tentu saya tidak keberatan,"jawab Siauw Ong. Mendengan jawaban Siauw Ong, Toan Ong sangat senang. Ia mengangkat cangkir araknya, kemudian mengucapkan terima kasih kepada Siauw Ong.

"Kau sangat baik kepadaku, terima kasih." kata Toan Ong. Keduanya lalu berbincang-bincang dengan asyik sampai jauh malam.

Sejak tinggal di gedung Toan Ong, Kao Ciu tampak sering bermain bola bersama-sama. Mereka sering terlihat benjalan-jalan sambil berbincang-bineang; tampaknya Toan Ong sangat akrab dengan Kao Ciii yang pandai mcngambil hati majikannya itu. Kao Ciu sendiri sangat senang karena Toan Qng menyukai dirinya. Pada suatu hari datang berita bahwa kaisar Song See Cong telah wafat. Oleh karena kaisar Song See Cong tidak mempunyai seorang putera, maka dalam suatu musyawarah di kalangan istana telah diambil satu keputusan; bahwa yang akan menggantikan Kaisan Song See Cong adalah Pangenan Toan Ong, yakni pangeran ke 11. Tidak berapa lama Toan Ong diangkat menjadi Kaisar pengganti Song See Cong. a menduduki tahta dengan gelan Kaisar Hui Cong. Toan Ong sangat senang dengan pengangkatan itu. Karena baru kaisar Hui Cong belum mempunyai kesibukan; Suatu hari ketika Ia sedang duduk berbincang-bincang dengan Kao Ciu, diajaknya Kao Ciu bermain bola. "Aku sebenarnya ingin mengangkatmu menjadi pengawal pribadiku; tapi sesuai dengan peraturan yang berlaku, kau harus bekerja dan berjasa dulu; untuk itu aku akan mendaftarkan namamu sebagai pembantu raja." kata Hui Cong. Janji Kaisan Hui Cong memang ditepati. Kao Ciu diangkat menjadi pembantunya. Dalarn waktu singkat pangkat Kao Ciu dinaikkan. Sampai akhirnya Kao Ciu memperoleh pangkat Tay Wie atau pengawal Kaisar. Sebagai Tay Wie yang baru, sudah tentu Kao Ciu akan menempati sebuah gedung baru. Pada hari pengangkatan bagi dirinya ia akan menempati gedung barunya. itu sebabnya hari itu banyak tamu yang berdatangan hendak menyampaikan selamat. Terutama orang-orang yang menjadi bawahannya.

Setiap tamu Kao Ciu diharuskan mengisi daftar tamu; hal ini dilakukan untuk pengecekan kembali, siapa-siapa yang hadir dan siapa saja yang tidak datang. Setelah seluruh tamunya berkumpul, Kao Ciu memeriksa buku catatan hadirnya. Dengan teliti tiap nama diperiksanya; ternyata ada nama yang tidak hadir pada saat itu. Yang kebetulan mendapat perhatian Kao Ciu. Onang yang tidak menghadiri pesta perpindahannya ke gcdung baru ini bernama Ong Cin, ia seorang pelatih silat pasukan istana. Ternyata Ong Cin adalah putra Ong Seng. Dengan cepat Kao Ciu memanggil bawahannya, lalu bertanya kenapa tamu yang satu ini tidak hadir. Dalam waktu singkat Kao Ciu telah mendapat keterangan lengkap bahwa Ong Cin beberapa hari lalu telah jatuh sakit. Ong Cin minta cuti kepada Kaisar untuk istirahat karena sakitnya itu. Kaisar sudah memberi izin, hanya Kao Ciu lah yang merasa dengki dan punya ganjalan dengan orang ini menjadi kurang puas. Pada pikir Kao Ciu. inilah saat ia membalas dendam pada orang yang dibencinya ini. Kao Ciu yang sekarang menduduki jabatan yang cukup tinggi ingin segera melaksanakan pembalasan sakit hatinya. Ia juga tidak mau perduli kalau Ong Cin benar-benar sakit. "Kenapa Ong Cin tidak mau datang ke pestaku?" kata Kao Ciu dengan geram. "Ia sakit, tuanku." jawab anak buahnya. "Bohong! Aku kira ia sengaja tidak mau datang. Jika ia sudah berani menghina aku, itu berarti ia juga berani menghina Kaisar!" kata Kao Ciu. Anak buahnya mencoba menyabarkan hati Kao Ciu, Ia makin bertambah sengit. "Pengawal lekas tangkap dan seret dia kemari!" kata Kao Ciu. Tak seorang pun anak buahnya yang berani membantah; dengan cepat para pengawalnya bergegas menuju numah Ong Cin untuk menangkap pelatih silat istana tersebut. Ong Cin tinggal bersama ibunya dan masih hidup membujang sampai saat ini. Sedangkan ibunya sudah berusia 60 tahun. Ong Cin bekerja sebagai pelatih silat para pengawal di Istana Kaisar.

Ketika anak buah Kao Ciu datang, salah seorang dari mereka mengetuk pintu rumah Qng Cin. Ibu Ong Cin segera membukakan pintu rumahnya Sang ibu yang tua kaget ketika melihat yang datang adalah tentara dari istana. "Mana Ong Cin'? Mana Ong Cin?" kata mereka. ''Ada di dalam, dia sedang sakit,'' jawab ibunya. Para pengawal memasuki rumah Ong Cin dengan paksa. ''Aku di sini!'' kata Ong Cin dari atas pembaringannya. Komandan pasukan itu berkata dengan suara keras. "Hari ini adalah hari pengangkatan Kao Ciu sebagai Tay Wie; kenapa anda tidak datang pada pestanya?" kata komandan tentara itu. "Aku sakit," jawab Ong Cin. "Tay Wie Kao Ciu tidak mau percaya. Kami mencoba membelamu, tapi ia menganggap kau benbohong. Atas perintahnya, kau harus datang ke kantornya sekarang juga. Jika tidak mau harus kami tangkap!" kata komandan tentara itu. Mendengar berita itu Ong Cin terkejut, kemudian ia menyahut lirih. "Baiklah, aku akan datang menghadap." Dengan cepat Ong Cin mengenakan pakaiannya. Ibunya hendak mencegah, tapi Ong Cin tetap memaksa hendak pergi. Dengan diiringi oleh para pengawal Ong Cin mengikuti mereka ke gedung Kao Ciu. Setiba di gedung Tay Wie, Ong Cin memberi hormat pada Tay Wie baru itu. Ketika Ong Cin menyatakan maaf dan sempat melihat wajah Tay Wie baru itu; Ong Cin terkejut bukan main, Orang itu sudah dikenal oleh Ong Cin. "Bangsat! Aku tahu ayahmu hanya berpura-pura bisa silat; padahal dia hanya seorang tukang obat di pinggir jalan. Aku juga tidak percaya kau punya kemampuan silat. Kau menjadi pelatih pengawal istana, dan mendapat kedudukanmu karena pejabat Tay Wie yang lama buta matanya.

Kenapa kau berani menghina aku dan tidak mau dating kepesta yang aku adakan?'' kata Kao Ciu. Maaf tuan saya sakit!'' ''Bohong!'' ''Benar tuan, saya tidak bermaksud meremehkan kepada tuan; saya sungguh sungguh sakit!'' jawab Ong Cin. ''Bangsat! Jika kau sakit, kenapa sekarang kau bisa datang?'' bentak Kao Ciu. ''Mana berani saya membantah perintah tuan!'' ''Bedebah! Aku tahu kau hanya pura pura sakit, sebenarnya kau hendak menentang kepadaku!'' kata Kao Ciu. ''Ampun tuan, sungguh saya tidak berani berbohong!'' ''Algojo, tangkap dia! Pukul tubuhnya sampai hancur!'' teriak Kao Ciu. Ong Cin sadar bahwa ia dalam bahaya. Sebentar lagi pukulan akan mendarat di tubuhnya. Untung algojo agak ragu melaksanakan perintah Tay Wie yang baru ini. Mereka beramai ramai mendatangi Kao Ciu. ''Hari ini hari bahagia bagi tuanku; kenapa tuan harus mengotori tangan yuan dengan menghukum dia. Lebih baik sekali ini tuan maafkan dia,'' kata mereka. Kao Ciu sadar ternyata masih banyak yang setia kepada Ong Cin; untuk kali ini sementara ia mengalah, tambahan pula hari itu banyak tamu berkumpul di rumahnya. ''Bajingan! Hari ini kau kuampuni. Tapi tunggu nanti , aku akan mengadakan perhitungan denganmu!'' kata Kao Ciu. Ong Cin berlutut meminta ampun dan mengucapkan terimakasih kepada Kao Ciu. Dengan cepat ia pamit pulang kerumahnya. Disepanjang jalan Ong Cin berpikir; bahwa setiap saat jiwanya akan terancam. Mungkin jiwa ibunya yang sudah tuapun tidak akan selamat. Rupanya diantara Ong Cin dan Kao Ciu telah tertanam bibit permusuhan yang lama. Ayah Ong Cin pernah berkelahi dengan Kao

Ciu. Waktu itu Kao Ciu kalah. Ternyata sekarang setelah ia memperoleh kedudukan ayah Ong Cin sudah tak ada. Untuk melampiaskan dendamnya, ia timpahkan kepada Ong Cin anaknya. Setibanya di rumah ibu Ong Cin menanyakan apa yang terjadi. Dengan sabar Ong Cin memberi keterangan. ''Celaka bu, yang menjadi Tay Wie baru adalah musuh ayah. Ia Kao Ciu. Kita harus menyingkir dari sini, sebelum ia bisa menyusahkan kita!'' kata Ong Cin. Kao Ciu mendendam kepada Ong Cin karena dalam suatu perkelahian dia pernah dikalahkan oleh ayah Ong Cin. Sekarang Kao Ciu menjadi Tay Wie; sudah tentu ia tidak menyia - nyiakan kesempatan untuk membalas sakit hatinya. Sedang Ong Cin tidak berdaya, sebab ia jadi bawahan Kao Ciu. ''Dalam keadaan begini peribahasa mengatakan, dari 36 akal yang terbaik adalah lari. Tapi kemana kita akan pergi?'' kata ibunya. ''Pendapat ibu benar. Kita harus pergi dari sini. Saya kenal Lauw Tiong yang tinggal di Ie Lam ( Gan An Hok ), bagaimana kalau kita pergi kesana saja ?'' kata Ong Cin. ''Boleh juga.'' Jawab ibunya. Ketika mereka sedang asyik bicara ibu Ong Cin mendengar suatu gerakan di luar rumahnya; ketika ia membuka pintu rumahnya, ia melihat dua pengawal menjaga rumahnya. Ibunya segera kembali dan menceritakan kepada Ong Cin bahwa mereka dimata matai. ''Ada pengawal yang mengawasi rumah kita, bagaimana jadinya dengan mereka?'' Tanya ibunya. ''Jangan cemas, biar saya yang mengurus mereka.'' Jawab Ong Cin. Menjelang senja Ong Cin memanggil salah seorang pengawal bernama Thio Pek . Kepada pengawal itu Ong Cin memberi perintah. "Lekas kau makan sekenyang-kenyangnya, aku ingin minta tolong padamu." kata Ong Cin. "Mengenai urusan apa?" tanya Thio Pek.

"Kau akan kusuruh ke Wie Yi-bio, ketika aku sakit aku telah berkaul, jika aku sembuh aku akan bersembahyang di kuil itu. Besok aku akan sembahyang di sana oleh sebab itu kau sekarang harus memberi tahu hweeshio di sana supaya mereka menyiapkan keperluan sembahyang. Oh ya. jika kau kemalaman kau boleh bermalam di sana." kata Ong Cin. "Baik, Guru." jawab Thio Pek. Dengan cepat Thio Pek makan sekenyang-kenyangnya. Selesai makan ia segera berangkat ke Wie Yi-bio untuk menyampaikan pesan Ong Cin pada hweeshio di sana. Malam itu Ong Cin dan ibunya mengemasi barang barang yang akan mereka bawa; setelah beres barang barang itu dibungkus dengan rapi. Menjelang subuh Ong Cin memanggil pengawal yang seorang lagi bernama Lie Pek. Kepada pengawal itu Ong Cin memberi perintah. "Lie Pek, hari ini kau harus pergi ke pasar berbelanja untuk keperluan sembahyang. Setelah selesai kau tidak perlu ke sini, langsung saja ke Wie Yi-bio. Tunggu aku di sana." kata Ong Cin. "Baik, guru." jawab Lie Pek yang segera berangkat setelah menerima uang dari Ong Cin. Sesudah Lie Pek pergi Ong Cin mengangkuti barang barangnya; kemudian menyiapkan k udanya. Setelah menaikkan ibunya ke atas kuda ia keluar dari halaman rumahnya sambil memikul barangbarangnya. kemudian berangkat ke jurusan Gan An-hok di propinsi San - see. Sesudah membeli segala keperluan untuk sembahyang; Lie Pek langsung ke Wie Yi-bio sesuai dengan pesan Ong Cin. Di Wie Yi-bio ia bertemu dengan Thio Pek yang sudah menunggu semalaman di sana. Keduanya lalu berbincang-bincang sambil menunggu Ong Cin datang untuk bersembahyang; tapi setetah ditunggu sampai siang Ong Cin tak muncul-muncul. Lewat tengah hari baru mereka sadar bahwa mereka telah tertipu oleh Ong Cin Keduanya meninggalkan barang-barang untuk sembahyang di kelenteng, lalu kembali ke rumah Ong Cin untuk menyelidik.

ternyata dugaan mereka benar Ong Cin dan ibunya sudah tidak ada di rumahnya. Thio Pek dan Lie Pek terkejut, keduanya saling pandang dengan perasaan cemas. Mereka mendongkol dan merasa cemas bagaimana mempertanggungjawabkannya kepada Kao Ciu; dan mereka pun merasa yakin mereka akan mendapat hukuman berat. Keduanya segena mencani Ong Cin ke seluruh pelosok kota; siapa tahu Ong Cin dan ibunya sedang belanja lagi. Tapi usaha keduanya siasia. Ong Cin memang telah pergi entah ke mana. Esok harinya kedua pcngawal yang ketakutan itu. masih penasanan mencari Ong Cin kembati. Tapi setelah tidak mungkin menemukan Ong Cin, terpaksa keduanya menemui Kao Ciu di kantornya. Di depan Kao Ciu keduanya berlutut, mereka minta diampuni alas kelalaiannya sehingga Ong Cin kabur. "Mereka menipu kami dan sekarang mereka telah pergi," kata Thio Pek. "Kurangajar Kenapa kau lalai menjaganya ?" teriak Kao Ciu. Keduanya akan dihukum mati, untung ada beberapa pengawal Kao Ciu yang dapat meredakan kemarahan Kao Ciu, sehingga kedua pengawal yang sial itu selamat dan hukuman mati. Dengan cepat Kao Ciu mengerahkan tentaranya untuk mencari dan menyusul Ong Cin dan ibunya; jika bertemu mereka harus segera ditangkap. Selain itu Kao Ciu juga menyebarkan pengumuman; bagi yang memberitahu di mana Ong Cin dan ibunya berada, mereka akan mendapat hadiah. Tapi bagi yang melindungi atau menyembunyikannya akan mendapat hukuman mati. Edaran telah disebar ke berbagai pelosok kota dan daerah. Ong Cin dan ibunya berusaha menghindari pengejaran dan penangkapan; kasihan ibu Ong Cin yang sudah tua harus melakukan perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Mereka mengalami penderitaan yang berat. terkadang keduanya harus menahan lapar dan haus, karena mereka tidak berani singgah di rumah-rumah makan yang mereka kira sudah dijaga oleh orang-orangnya Kao Ciu.

Ong Cin kaget membaca edaran yang disebarkan oleh Kao Ciu; itu sebabnya ia segera mengubah siasat dan penjalanannya. Pada siang hari Ong Cin dan ibunya bersembunyi dan malam hari barulah keduanya melanjutkan perjalanan. Hal ini dilakukan untuk menghindari penangkapan oleh anak buah Kao Ciu. Sudah sebulan Ong Cin melakukan perjalanan dengan ibunya yang tua itu; ibunya duduk di atas kuda, Sedangkan Ong Cin berjalan mengikutinya sambil memikul barang-barangnya. Malam ini Ong Cin melanjutkan perjalanannya sambil berbincangbincang dengan ibunya. "Sebentar lagi kita akan sampai di propinsi Ie-Lam. Akhinnya bahaya ini dapat kita hindari. Untung Tuhan melindungi kita." "Kita selamat, nak." "Sekalipun Kao Ciu mengerahkan tentaranya, sekarang mereka tak mungkin berhasil menangkap kita." kata Ong Cin. Keduanya memasuki hutan lebat, Ong Cin merasa agak cemas. Mereka bergegas ingin segera keluar dari hutan, karena siapa tahu di hutan tersebut ada begal yang akan menghadang penjalanan mereka. Untung tak lama mereka telah keluar dari hutan tersebut. Ketika Ong Cin memandang ke depan, ia berteriak gembira. "Bu lihat di depan kita ada cahaya lampu, saya kira di sana ada rumah penduduk!" kata Ong Cin. Ong Cin menuntun kuda yang ditunggangi oleh ibunya; mereka menuju ke sebuah rumah yang masih menyala lampunya. Setelah dekat, ternyata sebuah kampung, cahaya api berasal dari sebuah rumah gedung. "Malam ini kita beristirahat di sini, besok kita lanjutkan lagi perjalanan kita." kata Ong Cin pada ibunya. Sesampai di depan gedung samar-samar karena masih gelap, Ong Cin menyaksikan rumah yang teratur rapi; halaman rumah gedung itu ditanami pohon-pohon bunga. Dengan cepat Ong Cin mengetuk pintu pagar rumah itu.

Ketukan Ong Cin tidak mendapat jawaban, sehingga Ong Cin harus berulang-ulang mengetuk pintu numah itu. Setelah agak lama barulah muncul seorang pegawai membukakan pintu. Ong Cin meletakkan pikulannya. "Ada keperluan apa ?" tanya pelayan itu. "Kami pengembara datang ke sini ingin minta tolong untuk bermalam." kata Ong Cin. ''Ini bukan penginapan, tapi rumah kepala kampung." "Tolonglah kami tuan. Kami telah melakukan perjalanan jauh dan ibuku kelelahan. Besok pagi kami harus melanjutkan penjalanan kami. Maaf, kami juga bersedia membayar sewa kamarnya." kata Ong Cin. "Sudah kukatakan tadi, ini bukan penginapan. Tapi baiklah akan kucoba menemui majikan kami, siapa tahu mereka mau menerima kalian." kata pelayan. "Ya, tolonglah kami." kata Ong Cin dengan suara iba. Penjaga meninggalkan mereka, Ong Cin menunggu dengan sabar. tidak berapa lama penjaga itu sudah kembali menemui mereka. "Bagaimana, tuan ?" "Kata majikan kami kalian boleh bermalam di sini!" jawab penjaga itu. "Oh, terima kasih tuan," Ong Cin kemudian menuntun kuda yang ditunggangi ibunya memasuki pekarangan. Setiba di halaman, Ong Cin membantu ibunya turun dari atas kuda. Halaman rumah itu sangat luas dan kata penjaga halaman itu tempat menjemur padi. Ong Cm mengikat kudanya di pohon liu yang besar. Sesudah semuanya beres, penjaga mengajak mereka memasuki rumah milik kepala kampung itu. Ketika mereka sampai di ruang tamu, Ong Cin melihat seseorang yang sudah berusia 60 tahun. Rambut dan kumisnya sudah putih. Orang itu mengenakan kopiah dan baju yang longgar, ikat pinggangnya terbuat dari kain sutera. Ong Cin tahu tentu itu pemilik rumah. Ong Cin dan ibunya lalu berlutut dan mengucapkan terima kasih.

"Sudah, tak usah memakai segala adat-istiadat. Kalian baru melakukan perjalanan jauh, tentu kalian letih. Mari silahkan duduk." kata orang tua itu dengan ramah. Ong Cin dan ibunya lalu duduk, tuan rumah memanggil pelayan supaya menyediakan teh hangat. Tak lama teh sudah terhidang. "Silahkan minum tehnya." kata orang tua itu. "Terima kasih," jawab Ong Cin dan ibunya, mereka lalu meneguk teh panas itu. Terasa amat segar. "Siapa namamu dan dari mana asalmu dan akan pergi ke mana malam-malam begini melakukan perjalanan?" tanya kepala kampung. "Aku she Thio, asal Tang-ceng. Oleh karena rugi dalam usaha dagang, kami hendak ke Gan An-hok untuk mencari famili kami di sana. Tadi kami mencari penginapan, tapi tak satu pun penginapan yang kami jumpai. Kalau tuan tidak keberatan kami ingin bermalam di sini. Besok pagi kami akan kembali melanjutkan perjalanan kami. Ibuku sudah tua, ia perlu istirahat sebelum kami melanjutkan perjalanan kami. Maaf, kami bersedia membayar sewa kamar." kata Ong Cin. "Aku tidak keberatan kalian bermalam di sini. Hidup di dunia memang harus saling tolong menolong, mana ada orang oyang melakukan perjalanan dengan mendukung rumahnya. Kalian belum makan ?" kata tuan rumah. Ong Cin dan ibunya tersipu-sipu, lalu mengucap terima kasih. Tuan rumah maklum akan hal ini ia panggil pelayan supaya menyediakan makanan. Tidak lama mereka dipersilahkan ke meja makan. Keduanya lalu makan, tuan rumah menyuguhkan daging sapi, sayur dan nasinya. "Namaku Tay Kong, oh ya maaf maklum di kampung kami tidak bisa menjamu dengan layak? kata tuan-rumah Ong Cin dan ibunya bangkit dan kursinya. "Terima kasih, semua ini lebih dari cukup. Maaf kami hanya menyusahkan tuan saja. Tentu budi tuan tidak bisa kami balas." kata Ong Cin. "Jangan berkata begitu, mari minum araknya." kata tuan rumah.

Ong Cin menurut, kemudian Ong Cin dan ibunya mulai makan. Setelah selesai pelayan Tay Kong membereskan meja makannya. Baru kemudian tuan rumah mengantar mereka ke kamar tempat mereka bermalam.