2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · daun yang menonjol serupa sendi-sendi tulang. Susunan...

22
2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Jenis Api-api (A. marina (Forsk.) Vierh. 1907) Api-api adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Avicennia, suku Acanthaceae (Wikipedia 2007). Dalam sistem klasifikasi, tanaman A. marina mempunyai penggolongan sebagai berikut (Plantamor 2012): Kingdom Divisi Kelas Ordo Family Genus Jenis : : : : : : : Plantae Magnoliophyta Magnoliopsida Scrophulariales Acanthaceae Avicennia A. marina (Forsk.) Vierh. Nama lokal : Api-api jambu, sia-sia putih, api-api, pejapi, nyapi, api, sia, hajusa, pai. (Kusmana et al. 2008). Api-api biasa tumbuh di tepi atau dekat laut sebagai bagian dari komunitas hutan bakau. Nama Avicennia dilekatkan pada genus ini untuk menghormati Ibnu Sina, di dunia barat terkenal sebagai Avicenna, salah seorang pakar dan perintis kedokteran modern dari Persia (Wikipedia 2007). Api-api merupakan salah satu jenis yang termasuk ke dalam kelompok mangrove utama. Adapun karakteristik mangrove utama sebagai berikut (Kusmana et al. 2008): a. Hanya hidup di habitat mangrove, tidak dapat tumbuh menyebar ke daratan. b. Berperan penting dalam struktur komunitas mangrove dan mampu membentuk tegakan murni. c. Memiliki morfologi spesifik sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan, seperti adanya akar permukaan (akar napas/akar udara) dan buah vivipar. Sebagai warga komunitas mangrove, api-api memiliki beberapa ciri yang merupakan bagian dari adaptasi pada lingkungan berlumpur dan bergaram, diantaranya akar nafas (pneumatophores) yang muncul 10-30 cm dari substrat, seperti paku dengan diameter 0.5-1 cm. Akar nafas api-api yang padat, rapat dan banyak sangat efektif untuk menangkap dan menahan lumpur sehingga mempercepat proses pembentukan tanah timbul serta berbagai sampah yang terhanyut di perairan. Jalinan perakaran ini juga menjadi tempat mencari makanan bagi aneka jenis kepiting bakau, siput dan teritip (Wikipedia 2007; Kusmana et al. 2005b). d. Secara fisiologis memiliki mekanisme untuk mengeluarkan garam dari tubuhnya. Api-api memiliki daun dengan kelenjar garam. Daun api-api berwarna putih sampai keabu-abuan dilapisi kristal garam di sisi bawahnya. Ini adalah kelebihan garam yang dibuang oleh tumbuhan tersebut (Wikipedia 2007; Kusmana et al. 2008). e. Relatif terisolasi secara taksonomi dari komunitas daratan, minimal pada level marga (genus). Api-api menyukai rawa-rawa mangrove, tepi pantai yang berlumpur, atau di sepanjang tepian sungai pasang surut. Beberapa jenisnya seperti A. marina

Transcript of 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · daun yang menonjol serupa sendi-sendi tulang. Susunan...

2 TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Jenis Api-api (A. marina (Forsk.) Vierh. 1907)

Api-api adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Avicennia, suku

Acanthaceae (Wikipedia 2007). Dalam sistem klasifikasi, tanaman A. marina

mempunyai penggolongan sebagai berikut (Plantamor 2012):

Kingdom

Divisi

Kelas

Ordo

Family

Genus

Jenis

:

:

:

:

:

:

:

Plantae

Magnoliophyta

Magnoliopsida

Scrophulariales

Acanthaceae

Avicennia

A. marina (Forsk.) Vierh.

Nama lokal

: Api-api jambu, sia-sia putih, api-api, pejapi, nyapi, api, sia,

hajusa, pai. (Kusmana et al. 2008).

Api-api biasa tumbuh di tepi atau dekat laut sebagai bagian dari komunitas

hutan bakau. Nama Avicennia dilekatkan pada genus ini untuk menghormati Ibnu

Sina, di dunia barat terkenal sebagai Avicenna, salah seorang pakar dan perintis

kedokteran modern dari Persia (Wikipedia 2007).

Api-api merupakan salah satu jenis yang termasuk ke dalam kelompok

mangrove utama. Adapun karakteristik mangrove utama sebagai berikut

(Kusmana et al. 2008):

a. Hanya hidup di habitat mangrove, tidak dapat tumbuh menyebar ke daratan.

b. Berperan penting dalam struktur komunitas mangrove dan mampu membentuk

tegakan murni.

c. Memiliki morfologi spesifik sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan, seperti

adanya akar permukaan (akar napas/akar udara) dan buah vivipar.

Sebagai warga komunitas mangrove, api-api memiliki beberapa ciri yang

merupakan bagian dari adaptasi pada lingkungan berlumpur dan bergaram,

diantaranya akar nafas (pneumatophores) yang muncul 10-30 cm dari substrat,

seperti paku dengan diameter 0.5-1 cm. Akar nafas api-api yang padat, rapat

dan banyak sangat efektif untuk menangkap dan menahan lumpur sehingga

mempercepat proses pembentukan tanah timbul serta berbagai sampah yang

terhanyut di perairan. Jalinan perakaran ini juga menjadi tempat mencari

makanan bagi aneka jenis kepiting bakau, siput dan teritip (Wikipedia 2007;

Kusmana et al. 2005b).

d. Secara fisiologis memiliki mekanisme untuk mengeluarkan garam dari

tubuhnya.

Api-api memiliki daun dengan kelenjar garam. Daun api-api berwarna

putih sampai keabu-abuan dilapisi kristal garam di sisi bawahnya. Ini adalah

kelebihan garam yang dibuang oleh tumbuhan tersebut (Wikipedia 2007;

Kusmana et al. 2008).

e. Relatif terisolasi secara taksonomi dari komunitas daratan, minimal pada level

marga (genus).

Api-api menyukai rawa-rawa mangrove, tepi pantai yang berlumpur, atau

di sepanjang tepian sungai pasang surut. Beberapa jenisnya seperti A. marina

5

(Gambar 1) memperlihatkan toleransi yang tinggi terhadap kisaran salinitas,

mampu tumbuh di rawa air tawar hingga di substrat yang berkadar garam sangat

tinggi. Kebanyakan jenisnya merupakan jenis pionir dan oportunistik, serta mudah

tumbuh kembali. Pohon-pohon api-api yang tumbang atau rusak dapat segera

trubus (bersemi kembali), sehingga mempercepat pemulihan tegakan yang rusak

(Wikipedia 2007; Kusmana et al. 2008).

A. marina memiliki ukuran pohon kecil atau besar, tinggi mencapai 30 m,

dengan tajuk yang agak renggang. Pepagan (kulit batang) halus keputihan sampai

dengan abu-abu kecoklatan dan retak-retak. Ranting memiliki buku-buku bekas

daun yang menonjol serupa sendi-sendi tulang. Susunan daun tunggal berhadapan

dengan helaian berbentuk elips dan ujung daun akut sampai membundar

berukuran panjang 5-11 cm. Api-api memiliki biji kriptovivipar. Bunga muncul

terutama pada bulan juli-februari, sedangkan munculnya buah pada bulan

november-maret (musim hujan), dengan antesis sampai kemasakan 2-3 bulan.

Bunga bersifat infloresensi berjumlah 8-14, dengan bulir rapat, panjang mencapai

1-2 cm, dengan susunan terminal atau aksilar pada tunas-tunas distal dengan daun

mahkota berjumlah 4, berwarna kuning sampai oranye. Kelopak memiliki 5

cuping dan benang sari sebanyak 4 buah berukuran 0.4-0.5 cm. Lebar buah 1.5-

2.0 cm dan panjang 1.5-2.5 cm dengan perikarp berwarna hijau, bagian dalam

hijau sampai coklat muda/kekuningan dan pada permukaan terdapat rambut halus.

Buah membundar secara apikal atau dengan sebuah paruh yang pendek

(Wikipedia 2007; Kusmana et al. 2008).

Gambar 1 Avicennia marina (Forsk.) Vierh. 1907.

6

Deskripsi Jenis Bakau (R. mucronata Lamk. 1804)

Dalam sistem klasifikasi, tanaman R. mucronata mempunyai

penggolongan sebagai berikut:

Kingdom

Divisi

Kelas

Ordo

Family

Genus

Jenis

:

:

:

:

:

:

:

Plantae

Magnoliophyta

Magnoliopsida

Malpighiales

Rhizophoraceae

Rhizophora

R. mucronata Lamk.

Nama lokal

: bakau, bako-gandul, bakau-genjah, bakau-bandul, bakau-

hitam, tanjang-lanang, tokke-tokke, bakao, bakau-laki,

blukap, tongke-besar, lului, bakau-bakau, wako, bako,

bangko, blukap (Kusmana et al. 2008).

R. mucronata (Gambar 2) merupakan jenis mangrove utama dengan tinggi

batang mencapai 27 m, jarang melebihi 30 m. Umumnya tumbuh di zona terluar,

mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya

gelombang. R. mucronata memiliki akar tunjang yang besar dan berkayu dan akar

udara yang tumbuh dari percabangan bagian bawah. Batang memiliki diameter

hingga 70 cm dengan kulit kayu berwarna gelap hingga hitam dan terdapat celah

horizontal/memecah datar. Daun tunggal berhadapan dengan gagang daun

berwarna hijau, berbentuk elips melebar hingga bulat memanjang dengan ujung

daun berarista (aristate) (ujung daun mirip gigi yang meramping tajam). Panjang

daun mencapai 15-20 cm, lebih besar dari R. stylosa, dengan bagian paling lebar

berada di tengah. Permukaan bawah daun hijau kekuningan dan terdapat bintik-

bintik hitam kecil yang tersebar. Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun

berukuran 5.5-8.5 cm. (Noor et al. 1999; Kusmana et al. 2008).

R. mucronata memiliki biji vivivar dan bunga infloresensi, bercabang-

cabang melalui pembagian menjadi dua secara berulang kali (dichotomous),

berbunga sebanyak 4-8 dengan perbungaan terbatas (cyme), menggantung, dan

aksilar. Daun mahkota berjumlah 4, berwarna putih, dan berambut dengan

kelopak bercuping 4, berwarna kuning keputihan sampai hijau kekuningan.

Benang sari berjumlah 8 dengan diameter 3-4 cm dan panjang 1.5-2.0 cm.

Tangkai putik pendek dengan kepala putik hampir duduk (hampir tanpa tangkai).

Buah berdiameter 2.0-2.3 cm, sedangkan panjang 50-70 cm berwarna hijau

sampai hijau kekuningan, leher kotiledon kuning ketika masak, dengan

permukaan berkutil (mempunyai struktur mirip kutil). R. mucronata berbuah

silindris (hipokotil), rontok dari bawah leher kotiledon, mengapung, dan tersebar

oleh arus. Pemunculan bunga sepanjang tahun (terutama agustus-desember) dan

pemuculan buah pada bulan oktober-desember (awal musim hujan), dengan

antesis sampai kemasakan sekitar 14-15 bulan (Kusmana et al. 2008).

R. mucronata tumbuh di tepi sungai-sungai kecil, pantai yang berawa dan

berlumpur tanpa ada ombak yang kuat, dan tumbuh baik di wilayah sungai

estuaria dengan lumpur mangrove yang lunak. Jarang sekali tumbuh pada daerah

yang jauh dari air pasang surut. Pertumbuhan optimal terjadi pada areal yang

tergenang dalam, sedikit kandungan pasirnya, serta pada tanah yang kaya akan

humus. R. mucronata teradaptasi dengan berbagai elevasi dengan kisaran yang

7

lebar. Jenis ini lebih toleran terhadap substrat yang lebih keras dan berpasir bila

dibandingkan dengan jenis R. apiculata. menyebar luas mulai dari Afrika timur,

Madagaskar, Mauritania, Asia Tenggara, kepulauan Nusantara, Melanesia dan

Mikronesia. Pada saat ini telah diintroduksikan ke daerah Hawaii (Noor et al.

1999; Kusmana et al. 2005b; Kusmana et al. 2008).

Gambar 2 R. mucronata Lamk. 1804.

Teknik Rehabilitasi Mangrove

1. Penanaman dengan propagul (Kusmana et al. 2009a)

Penanaman langsung dengan menggunakan propagul umumnya dilakukan

apabila areal penanaman berupa tanah lumpur. Penanaman propagul ini dilakukan

dengan cara membenamkan seperempat sampai sepertiga panjang propagul ke

dalam lumpur secara tegak dengan bakal kecambah menghadap ke atas. Jika

propagul ditanam terlalu dalam, lumpur akan menutup lentisel, dan hipokotil tidak

dapat berespirasi, dan hal ini akhirnya dapat menyebabkan kematian. Demikian

juga sebaliknya, apabila propagul ditanam terlalu dangkal, dia akan mudah hanyut

oleh ombak dan air pasang. Untuk R. mucronata, R. apiculata dan R. stylosa,

kelopak buah (calyx) harus selalu dilepas sebelum penanaman (biasanya kalau

propagul sudah matang, calyx ini akan lepas dengan sendirinya bersama perikarp).

Di lain pihak, untuk B. gymnorrhiza, kelopak buah tersebut harus tetap dibiarkan

utuh ketika penanaman. Calyx pada B. gymnorrhiza akan rontok sendiri setelah

seminggu. Bila setelah seminggu calyx belum rontok, calyx ini perlu dilepas

dengan tangan, tapi tidak boleh dengan cara paksa. Apabila area penanaman

terdiri atas tanah lumpur yang kurang lembek, penanaman propagul dilakukan

8

pada lubang tanam yang dibuat dengan tugal (galah kayu yang ujungnya

diruncingkan).

2. Penanaman dengan bibit (Kusmana et al. 2009a)

Bibit ditanam pada lobang tanam yang ukurannya sebesar ukuran polibag

media bibit (Gambar 3). Penanaman bibit mangrove di lahan pinggir sungai,

pinggir pantai dan daerah-daerah lainnya dengan arus air yang relatif kuat

disarankan polibagnya tidak disobek. Adapun penanaman bibit di lahan-lahan

yang arus pasang surutnya relatif tenang polibag disarankan dirobek dengan cara

disayat secara hati-hati sebelum dimasukkan ke lubang tanam. Polibag bekas

tersebut kemudian disangkutkan di ujung ajir sebagai tanda bahwa anakan sudah

ditanam. Kemudian, tanah atau lumpur ditimbunkan kedalam lubang tanam

sehingga propagul dapat berdiri tegak. Kemudian bila perlu, propagul, tersebut

diikatkan pada ajir, supaya tanaman kokoh kedudukannya dan tidak mudah

terbawa arus air. Yang perlu diperhatikan bila tanaman diikatkan ke ajir adalah

bahwa ajir itu sendiri harus kokoh kedudukannya di substrat mangrove (dalam hal

ini misalnya, ajir cukup dalam ditancapkannya ke lumpur mangrove). Bila

kedudukan (penjangkaran ke substrat mangrove) ajir lebih lemah dibanding bahan

tanaman, maka pengikatan tanaman ke tiang ajir, malah membebani tanaman dan

malah memperbesar peluang hanyutnya tanaman oleh arus.

Jika terjadi penundaan penanaman di lokasi penanaman, padahal bahan

tanaman sudah diangkut ke lokasi, bahan-bahan tanaman tersebut sebaiknya

disimpan di tempat yang teduh. Bahan tanaman berupa propagul sebaiknya

disimpan dalam posisi tegak di areal yang berlumpur, dan teduh.

Gambar 3 Penananaman anakan ke dalam lubang tanam.

3. Sistem tanam (Kusmana et al. 2009a)

Ada dua sistem penanaman mangrove yang umum dilakukan, yakni,

sistem banjar harian (penanaman seluruh areal) dan sistem tumpang sari

(wanawina/silvofishery). Secara umum tidak terdapat perbedaan secara prinsip

dalam cara penanaman dari kedua sistem tersebut. Khusus pada sistem tumpang

sari, terdapat tambahan kegiatan dalam tahapan persiapan lapangan, yakni

pembuatan konstruksi tambak, saluran air dan tapak tanam seperti terlihat pada

Gambar 4.

polibag

Lubang tanam

tanah

9

Gambar 4 Model sistem wanamina yang umum di Indonesia.

4. Teknik rehabilitasi pada tapak-tapak khusus

a. Tapak berarus dan berombak besar (Kusmana et al. 2009b)

Areal penanaman mangrove pada tapak berarus dan berombak besar

umumnya terdapat pada tepi laut lepas atau daerah cekungan tepi laut dengan

pusaran arus deras dan gelombang besar. Sebelum dilakukan penanaman terlebih

dahulu dibuat penahan arus dan pemecah gelombang (water break) di depan lahan

yang akan ditanami. Bentuk-bentuk penahan arus dan pemecah gelombang dapat

berupa: (a) tumpukan batu yang dimasukkan ke dalam anyaman kawat

(beronjong), (b) berupa tripod (cetak beton berkaki tiga), (c) gundukan atau

guludan tanah/batu (rubble mould), dan (d) anyaman cerucuk bambu/kayu.

Bentuk-bentuk penahan arus dan pemecah ombak (water break) dalam

penanaman mangrove pada tapak berarus deras berombak besar dapat dilihat pada

Gambar 5. Penahan arus dan pemecah gelombang bentuk gundukan batu (rubble

mould) dapat dilihat pada Gambar 6.

SALURAN AIR

PINTU AIR

LA

HA

N T

EM

PA

TM

EM

EL

IHA

RA

IK

AN

LA

HA

N T

EM

PA

T M

EM

ELIH

AR

A IK

AN

LA

HA

N T

EM

PA

T M

EM

ELIH

AR

A IK

AN

LAHAN TEMPAT MEMELIHARA IKAN

LAHAN TEMPAT MEMELIHARA IKAN

PINTU AIR

SALURAN AIR

tegakan

mangrove

ko

lam

pintu air saluran air

tanggul

ko

lam

tegakan

mangrove

tanggul

saluran air Pintu air

ko

lam

tegakan

mangrove

tanggul

saluran air pintu air

10

SEA

DITCH

PLANTING AREA

SEA

DITCH

PLANTING AREA

TRIPOD

TRIPOD

TRIPO

D

SEA

DITCH

PLANTING AREA

STONE DEPOSITION

PLANTING AREA

SEA

BAMBOO STICK

DITCH

Gambar 5 Pemecah ombak berupa tumpukan batu yang dimasukkan ke dalam

kawat (a), berupa tripod (b) guludan tanah (c) dan cerucuk bambu

dan kayu (d).

Gambar 6 Penahan arus dan pemecah gelombang bentuk gundukan batu (rubble

mould).

(a) (b)

laut laut

Area penanaman Area penanaman

(d) (c)

laut laut

Area penanaman Area penanaman

11

Untuk tapak semacam ini, sebaiknya digunakan bibit jenis Rhizophora

spp., terutama R. mucronata. Jarak tanam sebaiknya cukup rapat (misal 1 x 1 m

atau lebih rapat) dengan berselang seling, sehingga membentuk pola “untu

walang” (zig zag).

Agar anakan yang ditanam tidak mudah hanyut, maka sebaiknya anakan

tersebut diikatkan pada tiang pancang/bambu (Gambar 7).

1. Penggunaan tiang pancang

Tiang pancang yang terbuat dari kayu atau bambu (diameter minimal 7.5

cm, panjang 1 m, dan runcing di bagian bawahnya) ditancapkan ke dalam lumpur

sedalam 0.5 m, tepat di samping semai mangrove yang ditanam. Batang semai

tanaman diikatkan pada tiang pancang. Untuk memperoleh kedudukan yang lebih

kuat, ruas bambu tiang tersebut dilubangi terlebih dahulu, kemudian lumpur

dimasukkan ke dalam tiangnya saat tiang ditancapkan.

2. Penggunaan ruas bambu besar

Bambu yang diameter 20 – 25 cm dan tinggi 1 m, ditancapkan ke dalam

lumpur sedalam 0.5 m pada lokasi dimana semai mangrove akan ditanam. Bambu

dilubangi ruas dalamnya dan diperuncing pada bagian bawahnya. Isilah bambu

dengan lumpur, kemudian tanamlah semai mangrove ke dalam bambu tersebut.

Salah satu jenis bambu yang berukuran sebesar itu adalah bambu betung

(Dendrocalamus asper).

Gambar 7 Penguat tanaman di tapak yang berombak besar menggunakan tiang

pancang (a) dan menggunakan bambu besar (b).

b. Tapak dengan arus deras pinggir sungai (Kusmana et al. 2009b)

Penanaman mangrove pada tapak dengan arus deras pinggir sungai

dilakukan dengan menggunakan jarak tanam atau tanpa menggunakan jarak

tanam. Jika menggunakan jarak tanam sebaiknya digunakan jarak tanam rapat

kurang dari 0.5 m x 0.5 m.

Pola tanam bisa menggunakan model zig-zag (untu walang). Penanaman

tanpa menggunakan jarak tanam sering disebut dengan penanaman dengan teknik

gerombol (sistem cluster). Mengingat arus air sungai yang deras maka penanaman

mangrove pada tapak berarus deras tepi sungai ini mutlak diperlukan ajir untuk

mengikat tanaman agar tidak terbawa arus.

Ajir bisa berupa bambu atau kayu. Bibit tanaman yang di tanam

selanjutnya dengan menggunakan tali rafia diikat dengan ajir bambu atau kayu

tersebut. Untuk menghindari hanyutnya media tanah yang terdapat dalam polibag

12

0,25 – 0.5 m

0,5-1 m

0,5 - 1 m

oleh arus sungai yang deras sebaiknya pada waktu penanaman polibag tidak perlu

dibuka, cukup diperbanyak lobang-lobang akar pada polibagnya. Sketsa pola

penanaman mangrove pada tapak berarus deras tepi sungai dapat dilihat pada

Gambar 8.

Gambar 8 Sketsa pola penanaman mangrove pada tapak berarus deras tepi sungai

dengan pola zig-zag (untu walang).

c. Tapak berlumpur dalam (Kusmana et al. 2009b)

Tapak berlumpur dalam bisa terdapat pada areal penanaman mangrove tepi

laut, tepi sungai atau bekas tambak. Pada tapak yang berlumpur dalam, sebaiknya

digunakan bibit atau propagul R. mucronata. Seperti halnya pada tapak yang

berombak besar, bibit atau propagul mangrove yang ditanam diikatkan pada tiang

pancang. Alternatif lain bibit yang akan ditanam dimasukkan ke dalam bambu

yang telah berisi media tanah. Jarak tanam yang dipakai sebaiknya jarak tanam

rapat (maksimal 1 x 1 m).

d. Tapak berbatu atau berkerikil (Kusmana et al. 2009b)

Tapak berbatu atau berkerikil umumnya ditemukan pada areal penanaman

mangrove di dekat terumbu karang atau di pantai-pantai terjal berdinding batu

atau berkerikil. Prinsip penanaman mangrove pada tapak berbatu atau berkerikil

ini adalah memindahkan batu atau berkerikil yang terdapat pada lobang tanam

dengan media lumpur atau tanah.

Teknik penanaman mangrove pada tapak berbatu/berkerikil dapat

menggunakan teknik jarak tanam rapat atau tanpa menggunakan jarak tanam

(penanaman bergerombol/cluster). Penanaman dengan jarak tanam dapat

menggunakan bibit dengan lubang tanam yang besar dan diganti dengan lumpur.

Penanaman dengan gerombol/cluster disesuaikan dengan sebaran dan ketebalan

batu/kerikil yang ada. Dalam satu titik penanaman bisa ditanam lebih dari satu

bibit mangrove. Jika arus/gelombang tidak besar tidak diperlukan ajir tanaman.

Teknik penanaman gerombol/cluster pada tapak berbatu/berkerikil dapat dilihat

pada Gambar 9 dan 10.

13

Gambar 9 Teknik penanaman mangrove pada tapak berbatu/berkerikil dengan

cara gerombol (cluster).

Gambar 10 Teknik penanaman pada tapak berbatu/berkerikil dengan lubang besar

dan diberi lumpur.

e. Tapak tertimbun pasir pasca tsunami (Kusmana et al. 2009b)

Tapak tertimbun pasir terjadi akibat gelombang laut yang besar atau

tsunami. Pasca terjadinya tsunami selain menghancurkan berbagai sarana

prasarana di tepi pantai juga sering menyisakan timbunan pasir yang luas dan

tebal. Dalam rangka rehabilitasi dan penanaman mangrove di kawasan ini

diperlukan usaha mengurangi timbunan pasir sebelum penanaman.

Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan telah mencoba menanam mangrove pada areal yang

tertimbun pasir pasca tsunami di Aceh dengan cara menggunakan polybag

berukuran besar, pembuatan parit, dan lubang tanam berukuran besar yang diisi

dengan lumpur. Walaupun pengaruhnya terhadap pertumbuhan anakan belum

diperoleh, namun ada indikasi anakan mangrove dapat tumbuh secara baik dengan

perlakuan tersebut.

polybag

Lubang tanam yang lebar dan dalam

diisi lumpur

pasir

14

0.5 – 0.6 m

pasir

parit atau lubang yang diisi

dengan lumpur bibit mangrove

Polibag berukuran besar

pasir

Prinsip yang dipakai dalam penanaman mangrove pada tapak tertimbun

pasir sama halnya dengan tapak berbatu berkerikil yaitu menggali, memindahkan

dan mengganti pasir yang ada di lubang tanaman dengan lumpur. Bentuk-bentuk

penanaman pada tapak yang tertimbun pasir dapat dilihat pada Gambar 11 dan

Gambar 12.

Gambar 11 Teknik penanaman mangrove pada tapak tertimbun pasir dengan

mengganti lubang tanam dengan lumpur atau menggunakan polybag

berukuran besar.

Gambar 12 Teknik penanaman mangrove tertimbun pasir dengan cara penggalian

parit-parit yang diisi lumpur.

f. Tapak dengan air tergenang dalam dan diam (Kusmana et al. 2009b)

Tapak tanaman mangrove pada air tergenang dalam dan diam (tidak

berarus deras) umumnya terdapat pada kawasan hutan mangrove yang mengalami

degradasi seperti bekas tambak, bekas galian atau bekas saluran. Kedalaman air

bervariasi yang umumnya lebih dari 1.5 m sampai 3 m. Lokasi bekas galian

tersebut dapat ditemukan di dekat pantai yang terkena pasang-surut harian atau

jauh dari pantai yang tidak tidak terjangkau oleh pasang surut pantai sehingga

tingkat salinitas air genangan bervariasi.

Teknik rehabilitasi pada tapak dengan air tergenang dalam dan tidak

berarus deras ini dengan menggunanakan sistem guludan bambu. Teknik guludan

bambu ini dikembangkan oleh Kusmana et al. (2005a) untuk merehablitasi

mangrove tergenang air dalam di sekitar Tol Sedyatmo, wilayah Jakarta Utara.

Hasil penanaman mangrove dengan teknik guludan bambu tersebut berhasil

15

dengan baik. Selanjutnya teknik tersebut dikembangkan untuk merehabilitasi

kawasan mangrove yang tergenang air dalam di beberapa lokasi di Jakarta.

Prinsip dasar yang digunakan dalam sistem guludan bambu tersebut adalah

memperpendek genangan air sampai pada zona perakaran bibit mangrove.

Guludan dibuat dari cerucuk bambu yang dipasang rapat seperti pagar berbentuk

persegi panjang. Cerucuk bambu tersebut diikat dengan bambu penjepit di bagian

atas dan bawah. Pagar cerucuk bambu tersebut selanjutnya diisi karung goni berisi

tanah urugan. Tumpukan karung dalam cerucuk bambu dibuat sampai 20 cm di

bawah permukaan air. Selanjutnya tumpukan karung tersebut ditimbun dengan

tanah curah yang berisi lumpur sampai kira-kira 20 cm di atas permukaan air

(Gambar 13). Setelah proses stabilitasi tanah dapat dilakukan pemasangan ajir dan

penanaman bibit tanaman mangrove. Jarak tanam yang digunakan sebaiknya jarak

tanam rapat kurang dari 1 x 1 m.

Gambar 13 Struktur guludan (Kusmana 2010).

Model Pertumbuhan

Model adalah contoh sederhana yang mewakili atau menggambarkan suatu

sistem yang nyata. Model itu sendiri dibangun dari hasil penelitian atau

pengalaman yang berulang-ulang, sehingga tercipta suatu pengetahuan. Oleh

karena itu, model memiliki peranan penting di dalam ilmu pengetahuan.

Penyusunan model sangat penting dalam suatu penelitian, terutama untuk

menghemat waktu dan biaya (Harja dan Rahayu 2010).

Siswadi (1991) mengemukakan bahwa suatu model seringkali

dikelompokkan antara lain berdasarkan (a) upaya memperolehnya, (b) keterkaitan

pada waktu, atau (c) sifat keluarannya. Model yang berdasarkan upaya

memperolehnya misalnya adalah: model teoritik, mekanistik, dan empirik. Model

teoritik digunakan sebagai model yang diperoleh dengan menggunakan teori-teori

yang berlaku. Model mekanistik digunakan bila model tersebut diperoleh

berdasarkan mekanisme pembangkit fenomena. Model empirik digunakan bagi

model yang diperoleh hanya dari pengamatan tanpa menjelaskan sama sekali

tentang mekanismenya. Model yang didasarkan keterkaitannya pada waktu adalah

model statik dan dinamik. Model statik adalah model yang tidak terkait dengan

waktu, sedangkan model dinamik tergantung pada waktu. Bila perubahan dalam

model dinamik terjadi atau diamati secara kontinyu dalam waktu, maka model

16

tersebut dikatakan sebagai model kontinyu, bila tidak, maka model tersebut

dikatakan sebagai model diskret.

Handoko (2005) mengelompokkan beberapa model sebagai berikut:

1. Model empirik dan mekanistik

Model empirik dibuat berdasarkan pengamatan empirik/statistik, tanpa

menjelaskan atau didasarkan atas proses terjadinya. Model mekanistik

menjelaskan mekanisme proses terjadinya dalam suatu sistem.

2. Model deskriptif dan model numerik

Model deskriptif menggambarkan bentuk-bentuk hubungan secara

konsepsi atau berupa simbol-simbol tanpa mengandung bentuk hubungan

numerik. Model numerik menggambarkan hubungan-hubungan dalam bentuk

persamaan-persamaan matematik.

3. Model dinamik dan statik

Model dinamik menjelaskan tentang unsur waktu sebagai peubah penting.

Model statik tidak menjelaskan peubah-peubah yang ada sebagai fungsi waktu.

4. Model deterministik dan stokastik

Model deterministik tidak memperhitungkan peluang terjadinya kesalahan

hasil prediksi. Model stokastik merupakan suatu model dengan hasil prediksi yang

mengandung toleransi yang dapat berupa simpangan yang secara statistik dapat

digambarkan dengan ragam, simpangan baku, dan koefisien keragaman.

Pertumbuhan tanaman merupakan sistem yang dinamik, sehingga model

dinamik merupakan model yang sesuai terhadap pertumbuhan tanaman. Menurut

Davis dan Jhonson (1987) pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan dari

jumlah dan dimensi pohon, baik diameter maupun tinggi yang terdapat pada suatu

tegakan. Pertumbuhan ke atas (tinggi) merupakan pertumbuhan primer (initial

growth), sedangkan pertumbuhan ke samping (diameter) disebut pertumbuhan

sekunder (secondary growth).

Diameter merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering

digunakan sebagai parameter pertumbuhan. Pertumbuhan diameter dipengaruhi

oleh faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Pertumbuhan diameter

berlangsung apabila keperluan hasil fotosintesis untuk respirasi, penggantian

daun, pertumbuhan akar, dan tinggi telah terpenuhi (Davis dan Jhonson 1987).

Menurut Sitompul dan Guritno (1995), model pertumbuhan biasanya

berkenaan dengan hubungan diantara proses pertumbuhan (yang dinyatakan

dalam produknya) dengan faktor pengendali utama produknya dalam bentuk

persamaan. Kebanyakan model pertumbuhan pada masa lampau bersifat empiris

yaitu fungsi kadang-kadang dipilih dengan melihat data begitu saja dan membuat

suatu penaksiran karena tujuannya, biasanya hanya untuk mendapatkan suatu

ringkasan matematik dari data mengenai pertumbuhan keseluruhan tanaman atau

bagian tanaman, sehingga parameter model sering kurang atau tidak mempunyai

arti biologi. Akan tetapi, usaha belakangan ini telah mencoba memilih fungsi yang

logis secara biologi dengan parameter-parameter yang dapat menggambarkan

sesuatu mekanisme fisiologi atau biokimiawi yang mendasari proses

pertumbuhan. Bentuk pertumbuhan berubah menjadi asimptotis jika substrat

pertumbuhan seperti fotosintat atau unsur hara menjadi terbatas atau menurun

dengan adanya proses penuaan atau senesens.

Pola pertumbuhan tegakan antara lain dinyatakan dalam bentuk kurva

pertumbuhan yang merupakan hubungan fungsional antara sifat tertentu tegakan

17

antara lain volume, tinggi, bidang dasar, dan diameter dengan umur tegakan.

Bentuk kurva pertumbuhan tegakan yang ideal akan mengikuti bentuk ideal bagi

pertumbuhan organisme, yaitu bentuk sigmoid. Bentuk umum kurva pertumbuhan

kumulatif tumbuh-tumbuhan akan memiliki tiga tahap, yaitu tahap pertumbuhan

eksponensial, tahap pertumbuhan mendekati linear, dan pertumbuhan asimptotis

(Davis dan Jhonson 1987).

Menurut Fekedulegn et al. (1999), berbagai model pertumbuhan yang

umumnya digunakan dalam bidang kehutanan tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Model pertumbuhan tanaman (Fekedulegn et al. 1999)

Model Bentuk persamaan Sumber

Negatif

eksponensial f(t) = a(1-exp(-kt))+e Philip (1994)

Monomolekular f(t) = a(1-b exp(-kt))+e Draper dan Smith (1981)

Mitcherlich f(t) = (a-bkt)+e Philips dan Campbell

(1968)

Gompertz f(t) = a exp(-b exp(-kt))+e Draper dan Smith (1981)

Logistik f(t) = a/(1+b exp(-kt))+e Nelder (1961); Oliver

(1964)

Chapman-Richards f(t) = a(1-b exp(-kt))1/(1-n)

+e Draper dan Smith (1981)

Von Bertalanffy f(t) = (a1-n

-b exp(-kt))1/(1-n)

+e Bertalanffy (1957); Myers

(1986)

Richard’s f(t) = a/(1+b exp(-kt))1/n

+e Richard (1959); Myers

(1986)

Weibull f(t) = (a-b exp(-ktn))+e Ratkowsky (1983); Myers

(1986)

Selain itu, berdasarkan Sitompul dan Guritno (1995), beberapa model untuk

menggambarkan proses pertumbuhan hubungannya dengan umur tanaman adalah

sebagai berikut:

a. Eksponensial tikungan tajam

Pengertian dasar yang perlu dipegang dalam pengembangan model

eksponensial dengan tikungan tajam adalah bahwa proses pertumbuhan itu

disamakan dengan mesin yang dapat menghasilkan suatu produk. Mesin

pertumbuhan itu kemudian dalam tanaman diasumsikan proporsional dengan

biomassa total tanaman. Kemudian mesin tersebut bekerja secara maksimal

sepanjang substrat tersedia, dan pertumbuhan yang dihasilkan tidak dapat balik.

Pertumbuhan dapat berhenti seketika setelah substrat dihabiskan (Gambar 14).

Perkembangan kuantitatif tanaman yang digambarkan model ini sangat

jarang dijumpai khususnya keadaan pertambahan ukuran tanaman yang berhenti

tiba-tiba sebagaimana ditunjukkan oleh tikungan tajam pada model. Memang pada

bagian awal liku, model dapat menstimulasi penampilan tanaman sesungguhnya

yang umumnya mempunyai bentuk pola eksponensial. Ini berarti bahwa asumsi

yang digunakan untuk menurunkan model tersebut hanya dapat mendekati

sebagian proses pertumbuhan sesungguhnya. Asumsi tentang mesin pertumbuhan

yang proporsional dengan biomassa total tanaman cukup realistis, karena

18

keseluruhan tubuh tanaman merupakan satu kesatuan untuk menghasilkan bahan

baru. Kekeliruan dalam penafsiran sifat sistem mungkin terletak pada asumsi

kedua yaitu bahwa mesin tersebut bekerja secara maksimal sepanjang substrat

tersedia. Karena kemampuan tanaman untuk menghasilkan biomassa per satuan

biomassa sebelumnya, yang dapat digunakaan sebagai indikator aktivitas kerja

mesin pertumbuhan, berubah seiring dengan waktu dan biasanya semakin rendah

mendekati akhir fase pertumbuhan tanaman.

Gambar 14 Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan

model eksponensial tikungan tajam.

b. Monomolekuler

Model pertumbuhan monomolekuler dikembangkan dari peristiwa yang

terjadi dalam reaksi kimia sederhana yaitu reaksi tingkat pertama yang tidak dapat

balik. Dalam reaksi tingkat pertama, laju transformasi suatu substrat diasumsikan

proporsional dengan konsentrasi substrat. Laju pertumbuhan nampak menurun

secara terus-menerus dan tanpa titik belok (Gambar 15). Keadaan demikian tidak

umum terjadi dalam pertumbuhan tanaman.

Dengan demikian asumsi yang digunakan untuk mengembangkan model

monomolekuler tidak bisa mendekati keadaan yang sesungguhnya. Tetapi bagian

akhir pertumbuhan cukup tepat digambarkan oleh model tersebut yang berarti ada

bagian (sifat) dari system yang tercakup dalam model. Suatu asumsi yang

digunakan yang kelihatannya tidak begitu sesuai dengan sifat biologis tanaman

adalah bahwa kuantitas mesin pertumbuhan diasumsikan tidak berubah (konstan).

Kenyataannya jaringan fotosintesis, sebagai hasil karbohidrat, dan sel-sel yang

aktif dalam metabolisme diluar proses fotosintesis, seperti yang terdapat dalam

jaringan meristem, yang jelas merupakan komponen mesin pertumbuhan berubah

19

seiring dengan waktu. Akar yang tidak dapat diabaikan sebagai bagian dari mesin

pertumbuhan dengan fungsinya untuk menyerap air dan unsur hara juga

mengalami perubahan.

Gambar 15 Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan

model monomolekuler.

c. Logistik

Pada kedua persamaan sebelumnya, dua keadaan yang berbeda telah

dianalisis. Pertama laju pertumbuhan tergantung pada kuantitas mesin

pertumbuhan yang dipandang proporsional dengan berat kering tanaman. Kedua

laju pertumbuhan tergantung pada tingkat substrat. Kedua model yang dihasilkan

tidak dapat menggambarkan keseluruhan pertumbuhan tanaman, tetapi dapat

meniru sebagian sistem tanaman yaitu secara berturut-turut bagian awal dan akhir.

Persamaan pertumbuhan logistik diturunkan dengan asumsi gabungan

yaitu kuantitas mesin pertumbuhan proporsional dengan berat kering yang bekerja

pada suatu tingkat yang proporsional dengan jumlah substrat yang tersedia dan

pertumbuhan tidak dapat balik. Adapun pola pertumbuhan tanaman yang

dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 16.

20

Gambar 16 Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan

model logistik.

d. Gompertz

Model pertumbuhan Gompertz diturunkan berdasarkan asumsi bahwa

substrat pertumbuhan tidak terbatas, sehingga mesin pertumbuhan selalu dijenuhi

oleh substrat. Kuantitas mesin pertumbuhan proporsional dengan berat kering

tanaman dengan laju pertumbuhan spesifik sebagai konstanta perbandingan.

Keefektifan mesin pertumbuhan merosot seiring dengan waktu (umur tanaman).

Asumsi terakhir ini cukup logis karena degradasi aktivitas komponen

metabolisme seperti enzim dan daun (penuaan) adalah peristiwa yang umum

terjadi.

Perbedaan dengan persamaan eksponensial tikungan tajam adalah adanya

parameter laju pertumbuhan spesifik, yang sama dengan laju pertumbuhan relatif

(LPR). Parameter pertumbuhan ini diasumsikan tidak konstan, keadaan yang

sering terjadi pada kondisi alami atau semi-alami.

Bentuk liku yang dihasilkan persamaan Gompertz nampak menyerupai

bentuk liku yang dihasilkan persamaan logistik. Akan tetapi persamaan Gompertz

menghasilkan liku dengan laju relatif cepat pada awal pertumbuhan dan lambat

pada masa berikutnya dibandingkan dengan yang terjadi pada persamaan logistik.

Kemudian liku tidak mempunyai masa konstan yang cukup lama pada bagian

akhir pertumbuhan, sebagaimana umumnya terjadi pada kebanyakan tanaman, dan

titik belok tidak terjadi pada pertengahan liku seperti pada persamaan logistik

tetapi pada bagian akhir (Gambar 17). Sekalipun demikian, pola pertumbuhan

tanaman yang mengikuti model Gompertz dapat terjadi, hanya asumsi tentang

substrat pertumbuhan tidak terbatas yang digunakan untuk menurunkan

persamaan tidak cukup logis pada kondisi alami.

21

Gambar 17 Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan

model Gompertz.

e. Model Richards

Model yang dikembangkan oleh von Bertalanffy (1957) untuk

menggambarkan pertumbuhan hewan diterapkan pertama oleh Richards (1959)

untuk tanaman dan disebut model Richards. Model ini lebih bersifat empiris

dengan kemampuan meliput keadaan pertumbuhan yang cukup luas yang kadang

dapat menguntungkan. Karena sifat fleksibilitasnya, Carson (1974) mengandalkan

model Richards untuk mendapatkan peluang paling baik menghasilkan deskripsi

pertumbuhan yang dapat diterima. Adapun pola pertumbuhan tanaman yang

dibentuk dapat dilihat pada Gambar 18.

22

Gambar 18 Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan

model Ricards.

f. Model Chanter

Model Chanter merupakan suatu model pertumbuhan yang merupakan

gabungan persamaan Logistik dan Gompertz dengan parameter-parameter yang

mempunyai pengertian yang sama dan telah dikembangkan oleh Chanter (1976).

Adapun pola pertumbuhan tanaman yang dibentuk dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19 Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan

model Chanter. L = model logistik, G = model Gompertz

23

Penelitian Pertumbuhan Mangrove

Terdapat beberapa penelitian yang mengkaji mengenai pertumbuhan

mangrove khusunya untuk jenis A. marina dan R. mucronata diantaranya sebagai

berikut:

a. Burchett et al. (1984)

Burchett et al. (1984) meneliti hubungan antara parameter pertumbuhan

dan respirasi akar A. marina dengan berbagai tingkat salinitas (0%, 25%, 75%,

dan 100% air laut). Pertumbuhan (biomassa dan luas permukaan daun) dan rata-

rata respirasi tertinggi didapatkan pada media 25% air laut, tingkat sukulensi daun

tertinggi pada media 50% air laut, dan potensial osmotik daun tertinggi pada

media 100% air laut.

b. O’Grady et al. (1996)

O’Grady et al. (1996) meneliti pertumbuhan dan distribusi dari dua jenis

anakan mangrove (A. marina dan R. stylosa) di area pantai Darwin Harbour.

Berdasarkan penelitian tersebut, anakan A. marina dan R. stylosa memiliki tingkat

kerapatan dan pertumbuhan terbesar pada areal dengan kanopi yang terbuka.

Secara umum anakan R. stylosa lebih tahan bila dibandingkan dengan A. marina.

Rhizophora memiliki cadangan embrionik yang lebih besar dibandingkan

Avicennia. Hal ini memungkinkan anakan Rhizophora dapat lebih bertahan di

bawah naungan untuk periode yang lama dibandingkan dengan Avicennia.

c. Devoe dan Cole (1998)

Devoe dan Cole (1998) melakukan penelitian mengenai pertumbuhan

hutan mangrove di Federated States of Micronesia (FSM). Berdasarkan plot

permanen yang telah dibangun selama 9 tahun di lokasi ini, didapatkan nilai riap

rat-rata tahunan dari jenis R. apiculata sekitar 0.25 cm/th, Xylocarpus granatum

sekitar 0.31 cm/th, R. mucronata sekitar 0.37 cm/th, B. gymnorrhiza sekitar 0.35

cm/th, dan S. alba sekitar 0.49 cm/th. Secara keseluruhan, riap volume rata-rata di

area FSM ini mencapai 4.5 m3/(ha th).

d. Komiyama et al. (1998)

Komiyama et al. (1998) mengujicobakan penanaman R. apiculata dan R.

mucronata dengan teknik stek propagul. Propagul masing-masing jenis dibagi

menjadi tiga bagian yaitu bawah, tengah, dan atas. Berdasarkan penelitian

tersebut, rata-rata tinggi batang dan diameter untuk jenis R. mucronata terbesar

dihasilkan oleh potongan propagul bagian bawah, kemudian sedang untuk

propagul bagian tengah, dan terkecil untuk propagul bagian atas. Pada jenis R.

apiculata, rata-rata diameter yang dihasilkan memiliki kecenderungan yang sama

dengan jenis R. mucronata, akan tetapi rata-rata tinggi batang tidak berbeda untuk

ketiga bagian propagul yang digunakan. Setelah 38 bulan penanaman, rata-rata

diameter untuk jenis R. apiculata dan R. mucronata secara berturut-turut 0.78-

1.37 dan 0.56-0.89 kali rata-rata diameter anakan yang berasal dari propagul utuh,

sedangkan untuk rata-rata tinggi 0.81-0.85 dan 0.50-1.00 kali.

24

e. Hutahean et al. (1999)

Hutahean et al. (1999) melakukan studi kemampuan tumbuh anakan

mangrove jenis R. mucronata, B. gymnorrhiza, dan A. marina pada berbagai

tingkat salinitas (0.00-7.50 ppt, 7.50-15.0 ppt, 15.0-22.5 ppt, dan 22.5-30.0 ppt)

menggunakan bibit berumur 1 tahun. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, secara

umum respon pertumbuhan terbaik diperoleh pada salinitas yang semakin rendah.

Setelah 3 bulan pengamatan, didapatkan pertumbuhan tinggi untuk setiap jenis

dan tingkat salinitas seperti tertera pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil uji Duncan respon pertumbuhan tinggi anakan pada berbagai tingkat

salinitas (Hutahean et al. 1999)

Jenis Salinitas (ppt) Tinggi rata-rata (cm) Duncan grouping

B. gymnorrhiza 0.0-7.5 8.86 A*

A. marina 0.0-7.5 5.72 B

A. marina 7.5-15,0 5.24 BC

B. gymnorrhiza 7.5-15.0 4.02 BCD

B. gymnorrhiza 15.0-22.5 2.90 BCDE

A. marina 22.5-30.0 2.66 CDE

R. mucronata 7.5-15.0 2.48 CDE

R. mucronata 0.0-7.5 2.22 DE

A. marina 15.0-22.5 1.86 DE

R. mucronata 15.0-22.5 1.70 DE

R. mucronata 22.5-30.0 1.26 DE

B. gymnorrhiza 22.5-30.0 0.96 E Keterangan: * = respon paling baik

f. Rasool dan Saifullah (2005)

Pada penelitiannya, Rasool dan Saifullah (2005) mensimulasikan teknik

penanaman mangrove dengan pembuatan alur dan mengaplikasikan bentuk V

pada dasar alur sebagai pencegahan terhadap genangan juga tumbuhnya tritip.

Penelitian dilakukan di sepanjang garis pantai Balochistan, Miani Hor, Pakistan

dengan kondisi lahan datar dan berlumpur. Berdasarkan hasil penelitian ini

didapatkan rata-rata pertumbuhan tinggi A. marina selama 6 bulan pengamatan

yaitu sekitar 38.91 ± 2.0 cm lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya menggunakan teknik penanaman konvensional oleh

Rasool et al. (2002) dengan menggunakan sumber anakan berupa cabutan yaitu

12.35 ± 7.40 cm dan Rasool dan Saifullah (2002) dengan menggunakan sumber

anakan dari persemaian yaitu 26,87 ± 2,61 cm.

g. Thampanya (2006)

Pada sebagian disertasinya, Thampanya (2006) meneliti hubungan antara

umur dengan diameter dan tinggi jenis anakan mangrove R. mucronata dan A.

marina sampai dengan umur 20 tahun. Thampanya (2006) menggunakan

persamaan regresi linear dalam penelitiannya. Adapun persamaan yang

didapatkan untuk menduga tinggi untuk jenis R. mucronata dan A. marina secara

berturut-turut adalah y = -0.35+1.27x dan y = 0.32+1.45x, sedangkan untuk

diameter y = -1.30+1.38x dan y = 2.42+0.90x (y = umur (th), x = tinggi (m) atau

DBH (cm)).

25

h. Jumiati (2008)

Jumiati (2008) melakukan penelitian mengenai pertumbuhan R. mucronata

dan R. apiculata di kawasan yang terpolusi oleh minyak di kawasan tambang

minyak dan gas PT Medco E & P di kecamatan Tarakan Timur. Pengukuran

dilakukan dengan interval 2 minggu selama 4 bulan pengamatan pada tiga zona

berbeda yaitu zona darat, tengah, dan laut. Anakan yang digunakan dalam

penelitian ini berupa propagul dan bibit. Adapun pertambahan tinggi rata-rata

semai R. mucronata dan R. apiculata yang didapatkan tertera pada Tabel 3.

Tabel 3 Pertambahan tinggi rata-rata semai (cm) R. mucronata (Rm) dan R.

apiculata (Ra) pada zona darat, tengah, dan laut di tapak Medco E&P Parameter Riap tinggi rata-rata (cm/2 minggu)

R. mucronata R. apiculata

Bibit Propagul Bibit Propagul

D T L D T L D T L D T L

Pertambahan

tinggi (cm) 5.2 1.6 7.2 35.7 6.1 18.5 1.9 0.34 4.9 8.7 7.6 15.7

Keterangan: D = zona darat, T = zona tengah, L = zona laut

i. Kairo et al. (2008)

Kairo et al. (2008) melakukan penelitian mengenai struktur dan

produktivitas dari hutan tanaman R. mucronata berumur 12 tahun di Gazi Bay,

Kenya. Berdasarkan hasil penelitiannya didapatkan bahwa rata-rata tinggi kanopi

dari R. mucronata berumur 12 tahun yaitu 8.4 ± 1.1 m dengan rata-rata diameter

6.2 ± 1.87 cm. Biomassanya diperkirakan mencapai 106.7 ± 24.0 ton/ha dengan

akumulasi biomassa rata-rata 8.9 ton/(ha th).

k. Halidah (2010)

Halidah (2010) meneliti tentang pengaruh tinggi genangan dan jarak tanam

terhadap pertumbuhan anakan R. mucronata di pantai barat Sulawesi Selatan.

Berdasarkan penelitian tersebut, perlakuan tinggi genangan belum menunjukkan

pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, sedangkan jarak tanam memberikan

pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi. Jarak tanam 0.5 m x 0.5

m, 1 m x 1 m, 1 m x 2 m, dan 2 m x 1.5 m memberikan rata-rata tinggi R.

mucronata berumur 6 bulan secara berturut-turut yaitu 1.56 cm, 2.22 cm, 1.77 cm,

dan 5.74 cm.

l. Syah (2011)

Syah (2011) melakukan penelitian mengenai pertumbuhan tanaman bakau

(R. mucronata) pada lahan restorasi di hutan lindung Angke Kapuk provinsi DKI

Jakarta. Berdasarkan penelitian tersebut, pada umur 3 bulan, rata-rata tinggi R.

mucronata berkisar antara 60.05-60.39 cm, sedangkan rata-rata diameter berkisar

antara 3.33-3.90 cm. Pada umur 6 bulan, rata-rata tinggi berkisar antara 104.90-

106.00 cm, sedangkan rata-rata diameter berkisar antara 3.33-3.90 cm. Pada umur

12 bulan, rata-rata tinggi dan diameter berturut-turut berkisar antara 140.65-

142.82 cm dan 5.63-5.75 cm. Sedangkan pada umur 16 bulan, rata-rata tinggi dan

diameter berturut-turut berkisar antara 129.48-148.82 cm dan 6.08-6.19 cm.