2014_5 2 Penurunan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2014 (Sali S)

download 2014_5 2 Penurunan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2014 (Sali S)

of 4

Transcript of 2014_5 2 Penurunan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2014 (Sali S)

  • 8/12/2019 2014_5 2 Penurunan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2014 (Sali S)

    1/4

    - 9 -

    Vol. VI, No. 08/II/P3DI/April/2014KESEJAHTERAAN SOSIAL

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)Sekretariat Jenderal DPR RI

    www.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Kajian Singkat terhadap isu-isu terkini

    PENURUNAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

    DALAM PEMILU 2014Sali Susiana*)

    Abstrak

    Pengaturan tentang kuota 30% keterwakilan perempuan yang bertujuan untukmeningkatkan jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif telah diatur dalambeberapa undang-undang yang terkait dengan pemilu, bahkan bila dibandingkandengan beberapa pemilu sebelumnya, peraturan perundang-undangan yangmengatur hal tersebut pada Pemilu 2014 lebih banyak dan rinci. Meskipun demikian,

    jumlah perempuan yang pada akhirnya menjadi Anggota DPR RI periode 2014-2019justru menurun dari 101 orang atau 17,86% menjadi hanya 79 orang atau 14% daritotal 560 anggota terpilih. Hal ini perlu dicermati secara kritis karena hasil yangdiperoleh berbanding terbalik dengan tingkat pencalonan caleg perempuan yangmengalami peningkatan pada Pemilu 2014 ini.

    PendahuluanKomisi Pemilihan Umum (KPU)telah menetapkan perolehan jumlah kursiserta calon anggota legislatif (caleg) DewanPerwakilan Rakyat (DPR) terpilih dalamPemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014pada tanggal 14 Mei 2014. Partai DemokrasiIndonesia Perjuangan (PDI-P) memimpinperolehan kursi di DPR, sebesar 109 kursi(19,5%), diikuti oleh Partai Golongan Karya(Golkar) dengan 91 kursi (16,3%), PartaiGerakan Indonesia Raya (Gerindra) 73 kursi(13,0%), Partai Demokrat 61 kursi (10,9%),Partai Amanat Nasional (PAN) 49 kursi(8,8%), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)47 kursi (8,4%), Partai Keadilan Sejahtera(PKS) 40 kursi (7,1%), Partai PersatuanPembangunan (PPP) 39 kursi (7,0%), Partai

    Nasional Demokrat (Nasdem) 35 kursi(6,3%), dan Partai Hati Nurani Rakyat(Hanura) 16 kursi (2,9%).

    Dari 560 orang caleg terpilih, 79,1% diantaranya adalah mereka yang mendudukinomor urut satu dan dua dalam DaftarCalon Tetap (DCT). Bila dilihat dari jumlahperolehan suara setiap caleg, posisi 10 calegdengan suara terbanyak diduduki oleh calegpetahana. Empat orang caleg dengan suaraterbanyak berasal dari PDI-P, yaitu: KarolinMargret Natasa, dari daerah Pemilihan(Dapil) Kalimantan Barat dengan 397.481suara; Puan Maharani dari Dapil JawaTengah V dengan 369.927 suara; I WayanKoster dari Dapil Bali dengan 260.342 suara;dan Rieke Diah Pitaloka dari Dapil JawaBarat VII dengan 255.064 suara.

    *) Peneliti Madya Studi Kemasyarakatan Bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI)Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: [email protected].

  • 8/12/2019 2014_5 2 Penurunan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2014 (Sali S)

    2/4

    - 10 -

    Meskipun 3 dari 4 orang caleg dengansuara terbanyak adalah caleg perempuan,namun secara keseluruhan jumlah calegperempuan yang terpilih mengalamipenurunan bila dibandingkan dengan hasilpemilu sebelumnya. Jumlah perempuanyang menjadi Anggota DPR RI periode2014-2019 diperkirakan hanya sekitar 79orang atau 14% dari total Anggota DPR RI

    yang berjumlah 560 orang. Jumlah ini lebihsedikit dibandingkan dengan DPR periode2009-2014, yaitu 101 orang atau 17,86%.Penurunan ini perlu disikapi secara kritiskarena berbanding terbalik dengan tingkatpencalonan. Pada Pemilu 2009 tingkatpencalonan hanya 33,6%, sementara padaPemilu 2014 tingkat pencalonan mencapai37%.

    Tabel 1

    Jumlah Perempuan di DPR

    Hasil Pemilu 1999-2009

    PemiluTotal

    Anggota DPRJumlah

    Perempuan%

    1999 500 45 9,00

    2004 550 61 11,09

    2009 560 101 17,86Sumber: Kemitraan bagi Pembaruan Tata

    Pemerintahan, 2011.

    Jumlah anggota legislatif perempuan

    terus mengalami peningkatan dari 1999hingga periode 2009 sebagaimana yangditampilkan dalam tabel 1. Oleh karena itu,penurunan secara kuantitatif keterwakilanperempuan hasil Pemilu 2014 harus dilihatsecara holistik terhadap praktek pemilulegislatif 2014 ini yang menggunakan sistemproporsional terbuka berdasarkan urutansuara terbanyak. Seperti yang dinyatakansalah seorang Anggota DPR RI periode2009-2014 dari Fraksi Partai Golkar,

    perang saudara di Suriah karena persainganantarcalon separtai di satu daerah pemilihansangat terbuka. Di sinilah pentingnya sistempemilu dalam mewujudkan keterwakilan

    perempuan, baik secara kuantitatif maupunkualitatif (substantif).

    Pentingnya KeterwakilanPerempuan di DPR RI

    Sistem pemilu merupakan salah menentukan tingkat keterwakilan perempuandi lembaga legislatif. Oleh karena itu pasca-pemerintahan Presiden Soeharto ataulebih dikenal dengan era reformasi, diaturketentuan mengenai atau tindakan khusus sementara dalambentuk kuota 30% keterwakilan perempuandalam daftar caleg. Upaya action yang diakomodasi ke dalam undang-undang bidang politik terbukti telah berhasilmeningkatkan jumlah perempuan yangduduk di lembaga legislatif, terutama di

    DPR. Pada Pemilu Tahun 2004, kuota 30%keterwakilan perempuan diatur melaluiUndang-Undang Nomor 31 Tahun 2002tentang Partai Politik dan Undang-UndangNomor 12 Tahun 2003 tentang PemilihanUmum. Sedangkan pada Pemilu Tahun2009, kebijakan tersebut diatur melaluiUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2008tentang Partai Politik dan Undang-UndangNomor 10 Tahun 2008 tentang PemilihanUmum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Dibandingkan dengan beberapa pemilu

    sebelumnya, pengaturan tentang kuota 30%keterwakilan perempuan dalam beberapaundang-undang yang terkait dengan Pemilu2014 lebih banyak dan rinci. Terlebihsetelah dikeluarkannya Peraturan KPUyang memasukkan kuota 30% keterwakilanperempuan sebagai salah satu syarat yangharus dipenuhi oleh partai politik (parpol)peserta pemilu. Kuota 30% keterwakilan

    perempuan antara lain diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang PartaiPolitik sebagaimana telah diubah denganUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2011tentang Partai Politik (UU Parpol). Pasal2 ayat (2) UU Parpol menyatakan bahwapendirian dan pembentukan partai politikmenyertakan 30% keterwakilan perempuan.Selain itu, keterwakilan paling sedikit 30%untuk perempuan juga menjadi salah satusyarat dalam penyusunan kepengurusanparpol untuk tingkat pusat. Hal itu diaturdalam Pasal 2 ayat (5) UU Parpol. Padatingkat provinsi dan kabupaten/kota,kepengurusan parpol tingkat provinsi dankabupaten/kota juga harus disusun dengan

  • 8/12/2019 2014_5 2 Penurunan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2014 (Sali S)

    3/4

    - 11 -

    memperhatikan keterwakilan perempuanpaling rendah 30% yang diatur dalamAnggaran Dasar dan Anggaran RumahTangga parpol masing-masing (Pasal 20 UUParpol).

    Selain menjadi salah satu syarat dalampendirian dan pembentukan parpol, kuota30% keterwakilan perempuan juga menjadi

    salah satu pertimbangan dalam prosesrekrutmen yang dilakukan oleh parpol, baikuntuk menjadi anggota parpol, bakal calonAnggota DPR dan DPRD, bakal calon kepaladaerah dan wakil kepala daerah, maupunbakal calon presiden dan wakil presiden(Pasal 29 ayat (1a)).

    Secara khusus, Undang-UndangNomor 8 Tahun 2012 tentang PemilihanUmum Anggota DPR, DPD, dan DPRD(UU Pemilu) sebagai salah satu dasar

    hukum penyelenggaraan Pemilu 2014juga telah mencantumkan beberapa pasalyang mengatur mengenai kuota 30%keterwakilan perempuan. Ketentuan yangmengatur mengenai kuota 30% keterwakilanperempuan tersebut terkait dengan beberapasubstansi, yaitu:1. persyaratan parpol yang dapat menjadi

    peserta pemilu, diatur dalam Pasal 8 ayat(2) huruf e dan Pasal 15 huruf d;

    2. pencalonan Anggota DPR, DPD, danDPRD provinsi dan kabupaten/kota,diatur dalam Pasal 55, Pasal 56 ayat (2),Pasal 58, Pasal 59 ayat (2), Pasal 62 ayat(6), dan Pasal 67 ayat (2);

    3. penetapan calon terpilih, diatur dalamPasal 215 huruf b.

    tersebut, KPU menerbitkan PeraturanKomisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun2013 tentang Pencalonan Anggota DewanPerwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat

    Daerah Provinsi dan Dewan PerwakilanRakyat Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnyadisebut Peraturan KPU). Pasal 27 ayat (1)Huruf b Peraturan KPU menyatakan jikaketentuan 30% keterwakilan perempuantidak terpenuhi, parpol dinyatakan tidakmemenuhi syarat pengajuan daftar bakalcalon pada daerah pemilihan bersangkutan.Hal ini dimaksudkan untuk menjaminbahwa parpol peserta pemilu akan mematuhiketentuan 30% keterwakilan perempuan

    sehingga angka keterwakilan perempuandi lembaga legislatif diharapkan akanmeningkat dibanding dengan hasil pemilusebelumnya.

    Keterwakilan Deskriptif vsKeterwakilan Substantif

    melalui kuota30% keterwakilan hanyalah salah satuupaya untuk meningkatkan keterwakilanperempuan secara kuantitatif. Keterwakilansecara kuantitatif ini tidak akan berartibanyak jika perempuan yang duduk di

    lembaga legislatif tidak dapat mewakili danmengartikulasikan kepentingan perempuandengan baik. Oleh karena itu keterwakilansecara kuantitatif juga perlu diimbangidengan kualitas perempuan yang dudukdalam lembaga tersebut.

    Menurut Hanna Pitkin sebagaimanadikutip Nuri Soeseno ada empat pandanganyang berbeda mengenai keterwakilan, yaitu:(1) keterwakilan formal; (2) keterwakilansimbolis; (3) keterwakilan deskriptif; dan (4)

    keterwakilan substantif. Keterwakilan formalmerupakan keterwakilan yang terbentuksebagai hasil pengaturan institusionalyang dilakukan sebelum keterwakilan ada.Keterwakilan deskriptif merupakan sebuahbentuk keterwakilan yang berdasarkan padapersamaan atau kemiripan antara wakil danyang diwakili (konstituen atau pemilih).Adapun keterwakilan substantif merupakankonsep keterwakilan yang menunjukkanbahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang

    wakil adalah untuk kepentingan yangdiwakilinya.Terkait dengan keterwakilan

    perempuan dalam politik dilihat dari 30%keberadaan perempuan dalam parpoldan dalam daftar caleg Pemilu 2014,Nuri Soeseno menyatakan bahwa sebagaikonsekuensi kuota, cara-cara parpolmerekrut caleg pada Pemilu 2014 dan posisiperempuan dalam struktur kepengurusanpartai, maka dapat dikatakan bahwaketerwakilan perempuan dalam politikmasih bersifat deskriptif. Apabila berbagaiketentuan mengenai kuota 30% untukperempuan membawa hasil dan angka 30%tersebut dapat tercapai maka ada harapanbahwa keterwakilan deskriptif tersebut dapatmemunculkan keterwakilan substantif. Akantetapi hasil Pemilu 2014 menunjukkan bahwaketerwakilan perempuan tidak mencapai30%, bahkan menurun jika dibandingkandengan pemilu sebelumnya (2009). Olehkarena itu, kita tidak dapat berharap banyak

    akan munculnya keterwakilan substantifperempuan dalam politik.

    Sejumlah kajian menunjukkan bahwaketerwakilan deskriptif (standing for) tidak

  • 8/12/2019 2014_5 2 Penurunan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2014 (Sali S)

    4/4

    - 12 -

    menjadi jaminan munculnya keterwakilansubstantif (acting for). Sistem kepartaianyang ada saat ini dan pilihan serta cara-cararekrutmen caleg perempuan oleh parpolsemakin menguatkan pesimisme terhadapmunculnya keterwakilan substantif dari kuota30% untuk perempuan.

    Fakta dalam Pemilu 2014, perwakilan

    deskriptif masih menjadi fokus perhatianketika melihat keterwakilan perempuandi parlemen yang persentasenya menurunmenjadi hanya 14% dari sebelumnya 17,86%.Salah satu faktor yang menjadi penyebabhal itu adalah sistem pemilu yang tidakramah terhadap hadirnya keterwakilanperempuan. Ketika pemilu menggunakansistem proporsional terbuka didasarkanatas urutan suara terbanyak, maka calonperempuan membutuhkan energi ekstra,

    tidak hanya modal sosial berupa pengaruh,cara kampanye, popularitas, tetapi juga faktormodal materi, baik uang maupun bendalainnya yang tidak kecil jumlahnya. Dengansistem suara terbanyak tersebut, kebijakan 30% dalam hal pencalonanmelalui aturan 1 di antara 3 calon harusperempuan tetap tidak cukup membantuketerpilihan calon perempuan. Selainfaktor tersebut, yang harus diperhatikanadalah bagaimana perempuan menghadapipersaingan secara kualitatif dengan calon laki-laki. Hal itulah yang tidak mudah diwujudkandan membutuhkan perhatian khusus dariparpol serta lembaga nonpemerintah dalammendorong perempuan agar mau terjunke dunia politik praktis disertai bekalpengetahuan dan energi yang cukup. Dengandemikian ke depan akan terwujud cita-citaketerwakilan perempuan minimal 30% ataubahkan lebih di parlemen.

    PenutupKemunculan keterwakilan deskriptif

    yang tidak diikuti dengan keterwakilansubstantif dengan diterapkannya kebijakan melalui kuota 30% untukperempuan telah dikaji oleh sejumlah ilmuwansosial politik. Kajian tersebut pada umumnyaberusaha menjawab 2 pertanyaan utama,yaitu: (1) apakah kehadiran perempuan dalampolitik membawa perbedaan; dan (2) apakahperempuan melakukan tindakan untukperempuan. Kajian terhadap dua pertanyaan

    tersebut kemudian memunculkan fokus barusebagai pendekatan alternatif dalam melihatketerwakilan perempuan dalam politik, yaitu:(1) bukan kapan perempuan membawaperbedaan, tetapi bagaimana keterwakilan

    substantif perempuan dapat terjadi; dan (2)tidak pada apa yang dilakukan perempuantetapi apa yang dilakukan oleh aktor-aktortertentu atau critical actors.

    Dengan demikian, dua agenda pentingpasca Pemilu 2014 terkait dengan upayauntuk meningkatkan derajat keterwakilandari yang bersifat deskriptif menjadi

    keterwakilan substantif adalah bagaimanamengubah konsep stand for menjadiacting for yang dapat menjadi critical actors dalammemperjuangkan kepentingan perempuan.Peran sebagai critical actors yang dapatmemotori perubahan keterwakilan perempuanyang deskriptif menjadi substantif ini tidakhanya dapat diambil oleh perempuan,melainkan juga laki-laki.

    Rujukan:1. Jumlah Perempuan di DPR 2014-2019Berkurang,Kompas, 13 Mei 2014.

    2. Caleg Perempuan Hanya 79 Orang,Media Indonesia, 13 Mei 2014.

    3. Jumlah Kursi Perempuan Turun,Republika, 13 Mei 2014.

    4. Caleg No 1 dan 2 Mendominasi, AnggotaDPR Baru Diprediksi Lebih Individualis,Kompas, 16 Mei 2014.

    5. Suara Terbanyak Didominasi WajahLama,Republika, 16 Mei 2014.

    6. Dahlerup, Drude. 2002. MenggunakanKuota untuk Meningkatkan RepresentasiPolitik Perempuan dalam Perempuandi Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah.Jakarta: IDEA.

    7. IFES. (tanpa tahun). KeterwakilanPerempuan di Lembaga-lembagaNasional yang Anggotanya dipilihmelalui Pemilu: Perbedaan-perbedaandalam Praktek Internasional dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:

    IFES.8. Kemitraan. 2011. Meningkatkan

    Keterwakilan Perempuan, Penguatan . Jakarta: Kemitraanbagi Pembaruan Tata Pemerintahan.

    9. Soeseno, Nuri. Perempuan Politisi dalamPartai Politik Pemilu 2014: KeterwakilanDeskriptif vs Substantif, dalam JurnalPerempuan No. 81: Perempuan Politisi,Mei 2014. Jakarta: Yayasan JurnalPerempuan.

    Seperti Perang Saudara di Suriah, http://news.detik.com/pemilu2014/, diaksestanggal 28 Mei 2014.