5 BAB II

32
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Mata 2.1.1 Bola Mata 12 Bola mata dewasa normal hampir menyerupai bola dengan diameter anteroposterior sekitar 24,2 mm. Gambar 2.1 Anatomi Mata (Sumber: Jay H Krachmer. Management of Pterygium. 3 th ed.2011 5

description

pterygyum

Transcript of 5 BAB II

826

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Anatomi Mata2.1.1 Bola Mata 12

Bola mata dewasa normal hampir menyerupai bola dengan diameter anteroposterior sekitar 24,2 mm.

Gambar 2.1 Anatomi Mata(Sumber: Jay H Krachmer. Management of Pterygium. 3th ed.20112.1.2 Konjungtiva

Konjungtiva adalah suatu membrane mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris bertingkat, superficial dan basal. Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mucus. Sedangkan sel-sel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Konjungtiva melapisi permukaan luar bola mata, dan juga permukaan dalam dari kelopak mata atau palpebra. Konjungtiva yang melapisi bola mata disebut konjungtiva bulbii (bulbar conjunctiva), sedangkan konjungtiva yang melapisi kelopak mata disebut konjungtiva palpebra (palpebral conjunctiva). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melekat longgar pada kapsul tenon dan sklera dibawahnya, kecuali di limbus ( tempat kapsul tenon dan konjungtiva menyatu sepanjang 3 mm ) konjungtiva bulbii meluas sampai ujung dari kornea. Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior ( pada forniks superior dan inferior ) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris..12,23

2.1.3 Sklera

Skelara adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang hamper seluruhnya terdiri atas kolagen. Pita-pita kolagen dan jaringan elastin membentang sepanjang foramen sklera posterior, membentuk lamina cribrosa. Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis jaringan elastic halus yang disebut episklera. 122.1.4 Kornea 12,23

Kornea adalah jaringan transparan kornea ini disisipkan ke sklera di limbus, lengkung melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skelaris. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 di tepi, dan diameternya sekitar 11,5 mm dari anterior ke posteriorKornea terdiri dari 5 lapisan dari luar kedalam: 1. Lapisan epitel

Tebalnya 50 m , terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng.

Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel polygonal didepannya melalui desmosom dan macula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren.

Epitel berasal dari ectoderm permukaan.

2. Membran Bowman

Terletak dibawah membrana basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Jaringan Stroma

Terdiri atas lamel yang merupakan sususnan kolagen yang sejajar satu dengan yang lainnya, Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.

4. Membran Descement

Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.

Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 m.

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 (m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidosom dan zonula okluden.

Gambar 2.2 Anatomi Kornea(Sumber: Jay H Krachmer. Management of Pterygium. 3th ed.20112.1.1.5 Uvea

Uvea merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Pada iris terdapat suatu celah yang mengatur masuknya sinar yang datang ke retina yang dinamakan pupil. Pupil ini berfungsi mengatur jalannya sinar yang diperlukan dalam proses penglihatan dan proses melebar dan menyempitnya pupil ini diatur oleh fungsi susunan saraf otonom yaitu simpatis dan parasimpatis dimana jumlah cahaya yang masuk merupakan rangsangan pada system saraf tersebut.122.1.1.6 Retina

Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbatasan dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina. Retina berbatasan dengan koroid dengan sel pigmenepitel rtina, dan terdiri atas lapisan fotoreseptor, membran limitan eksterna, lapisan nukleus luar, lapisan pleksiporm luar, lapisan nukleus dalam, lapisan pleksiporm dalam, lapisan sel ganglion, lapis serabut saraf, dan membran limitan interna.12 2.1.1.7 Aparatus Lakrimalis

Terdiri dari komponen kelenjar lakrimalis, kelenjar Krause dan kelenjar Wolfring yaitu bagian yang menghasilkan sekresi mata, sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis. Kelenjar lakrimalis terdiri dari bagian orbita yang berbentuk kenari dan terletak di dalam fosa lakrimalis terdiri dai bagian palpebra yang bentuknya lebih kecil terletak tepat di atas segmen temporal dari fornik konjungtiva superior. Sistem ekresi terdiri dari atas pungtum lakrimalis superior inferior, kanalikuli, sakus lakrimal dan duktus nasolakrimalis yang bermuara kedala meatus inferior rongga nasal.12 2.1.1.8 Air Mata

Air mata yang membasahi kornea dan konjungtiva sehingga basah terus mempunyai ketebalan 7 m- 10 m mempunyai fungsi untuk membuat pembukaan kornea licin, membasahi dan melindungi permukaan kornea zat anti mikroba, serta sebagai substansi nutrisi diperlukan kornea.122.1.1.8.1 Komposisi Air Mata

Pada setiap mata normal terdapat 7 2 m air mata, albumin merupakan kandungan 60 % dari protein total air mata, dan yag lainnya terdiri dari globulin, isozim, IgA, IgG, dan IgE. Ph rata-rata air mata 7,35 dengan tingkat osmolaritas 295-309 mosm/L. Yang paling banyak adalah IgA, yang berbeda dengan IgA serum karena bukan berasal dari transudat serum saja, IgA juga diproduksi sel-sel plasma di dalam kelenjar lakrimal. Pada keadaan alergi tertentu, seperti konjungtivitis vernal, konsentrasi IgE dalam cairan air mata meningkat. Lisozim air mata menyusun 21-25% protein total-bekerja secara sinergis dengan gamma-globulin dan faktor anti bakteri non-lisozim lain membentuk mekanisme pertahanan penting terhadap infeksi. Enzim air mata lain juga bisa berperan dalam diagnosa berbagai kondisi klinis tertentu, misalkan hexoseaminidase untuk diagnosis penyakit Sachs.

K+, Na+ dan Cl- terdapat dalam kadar yang lebih tinggi di air mata dari pada di plasma. Air mata juga mengandung sedikit glukosa (5 mg/dl ) dan urea (0,04 mg/dl ). Perubahan kadar dalam darah sebanding dengan perubahan kadar glukosa dan urea dalam air mata. pH rata-rata air mata adalah 7,35 meskipun ada variasi normal yag besar (5,20-8,35). Dalam keadaan normal, air mata bersifat isotonik. Osmolalitas film air matabervariasi dari 295 sampai 309 mosm/L.12 2.2 Pterygium

2.2.1 Definisi

Pterigium berasal dari bahasa yunani, yang artinya wing atau sayap.1-9 Pterigium adalah suatu pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah intrapalpebra.1,2,9,13,14,152.2.2 Epidemiologi

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 37 Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 40 Lintang. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.4 Insiden tinggi terjadi pada usia anatara 21 tahun dan 29 tahun dan rekuren lebih sering pada usia muda dibandingkan usia tua, sedangkan usia dibawah 15 tahun jarang mengalami pterygium. Sedangkan laki-laki 4 kali lebih besar beresiko dibandinkan perempuan dan.3,5 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laszuarni di Kabupaten Langkat Sumatera Utara, yang mempunyai aktivitas diluar rumah lebih dari 5 jam lebih banyak yaitu 76,7% dibandingkan dengan yang mempunyai aktivitas pekerjaan di luar rumah kurang dari 5 jam/hari yaitu 23,3%. Hal ini sesuai dengan faktor resiko pterygium yaitu terpapar sinar matahari, lamanya waktu diluar rumah, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara. 22 Margareta yumte, Laya M.Rares dalam penelitiannya pterygium derajat II merupakan paling banyak yaitu sebesar 46,2%, sedangkan pterygium derajat IV merupakan derajat pterygium yang paling sedikit ditemukan, bahwa paparan kronis sinar matahari, kemungkinan besar ultraviolet B (UVB) iradiasi, sebagai faktor penting pada pertumbuhan pterygium. Tumour suppressor gene p53 sebagai suatu mutasi gen yang tersering dari tumor manusia dan dijumpai lebih dari 50% kangker manusia. Diperkirakan bahwa peningkatan 1% dari radiasi UV akan meningkatkan insiden dari pterygium 2,5-14% pada populasi Australia.272.2.3 Etiologi

Penyebab pterygium tidak diketahui dengan jelas penyebabnya dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. pterygium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas.2 Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. baik ultraviolet UVA ataupun UVB, dan angin (udara panas) yang mengenai konjungtiva bulbi berperan penting dalam hal ini. Selain itu juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti allergen, kimia, dan zat pengiritasi lainnya.2 2.2.4 Faktor Resiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara.4 2.2.4.1 Radiasi UltravioletFaktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel.4

2.2.4.2 Faktor LainIritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.2 2.2.5 Patogenesis

2.2.5.1 Iritasi kronis oleh debu kimia (basa)

Konjungtiva merupakan lapisan terluar dari bola mata, karena itu sangat rentan terkena iritasi yang terus menerus, konjungtiva juga sering mengalami trauma dan infeksi. Walaupun sangat rentan terhadap iritasi, infeksi dan trauma, mata mempunyai mekanisme perlindungan melalui pengeluaran air mata bila ada rangsangan benda asing. Proses ini disebabkan oleh karena adanya lapisan musin yang dapat menangkap keberadaan benda asing dan segera memompakan air mata, sehingga mata menjadi basah untuk melindungi mata dari infeksi ataupun trauma kecil seperti debu atau uap bersifat iritan. Iritasi disebabkan oleh debu basa mengakibatkan lisis lapisan pada film air mata dan prosesnya terus berlanjut jika terpajan dalam waktu yang lama sehingga mempengaruhi permukaan konjungtiva terutama daerah limbus dan mengakibatkan timbul jaringan ikat hialin dan fibrosa yang menyebar menurut garis nasatemporal.3,5,6,7 2.2.5.2 Pajanan ultraviolet

Demikian pula halnya kejadian pterygium oleh karena pajanan ultraviolet. Ultraviolet terdiri dari tiga jenis yaitu UV-A (320-400nm), UV-B (290-320nm), UV-C (290nm). Yang menjadi penyebab terjadiya pterygium ini adalah terpajan oleh UV-B, dimana UV-B dapat menyebabkan efek mutagenik pada sel. Radiasi UV-B mengaktivasi sel yang terletak dekat limbus. Dan telah diketahui bahwa UV-B pancaran sinar UV-B dari sinar matahari hanya lima persen yang sampai pada bumi. Respon biologis pada sinar ini befek akut dan kronik dan pajanan tertinggi akan diterima pada wilayah equator dan pada dataran tinggi. Efek UV-B ini menimbulkan mutasi sel epitel limbus yang meningkat, TP53 tumor supresor gen di bagian parental limbal basal sel dan gen jaringan elastin juga sel fibroblast di epitel limbus sehingga terbentuk jaringan seperti tumor karena pertumbuhan sel ini. Pertumbuhan ini akan berlanjut dan menginvasi basal membrane kornea. Sumber ultravioletbisa berasl dari sinar matahari dan dalam pajanannya dipengaruhi oleh lapisan ozon yang melindungi bumi. Patogenesis dari pterygium merupakan suatu teka-teki yang masih diperdebatkan, ada pula yang mengemukakan teori bahwa terjadinya pterygium merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, sel T mediated IV hipersensitivitas respon, poliferasi frotoblast terakselerasi, kekeringan pada konjungtiva dan korneafator aniogenik.3,5,6,7

Sinar ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.2,9,12,13 Limbal stem cell juga merupakan sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.2,5,6Pada pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblast pterygium bereaksi terhadap TGF- (transforming growth factor-)berbeda dengan jaringan konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF- (tumor nekrosis faktor- ) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterygium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.2,4

Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein angiografi ditemukan peningkatan area nonperfusi dan penambahan di nasal limbus selama fase awal pterygium. Sirkulasi CD 34+ MNCs meningkat pada pterygium disbanding dengan konjungtiva normal. Cytokaine local dan sistemik, SP (substance), VEGF (vascular endothelial growth factor) dan SCF ( stem cell factor) pada pterygium meningkat, berhubungan dengan CD 34+ dan C ka+ MNC. Hal ini menujukkan pada pterygium terlibat pertumbuhan endothelial progenitor cell (EPCs) dan hypoksia ocular yang merupkan faktor pencetus neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsul tulang melalui produksi cytokine local dan sistemik. 13,14,15 2.2.6 Gambaran Klinis

Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.2,4,15

Secara klinis yang dapat terlihat yaitu mulai dengan tanda-tanda iritasi mata yaitu mata tampak merah dan berair terus, terlihat banyak pembuluh darah sklera yang tampak terutama pada garis temporonasal, dan jika gradasi dari pterygium sudah tinggi maka yang tampak adalah penonjolan jaringan yang menuju kornea, jaringan yang ada adalah jaringan fibrosa opak. Infiltrasi jaringan limbus ini dapat menyebabkan astigmatis jika mengenai kornea mata, hal ini mengakibatkan gangguan peglihatan sehingga penderita merasa pusing dan kurang jelas dalam melihat. pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium (stoker's line).1,16

Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head), dan cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya kearah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan belakang disebut cap. A subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterygium.2,8,9Pembagian pterygium menurut Donald T H ( 2005 ), berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu : 1. Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala pterygium (disebut cap pterygium). 2. Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk membran tetapi tidak pernah hilang. Pterygium menurut Jack K J ( 2007 ), dapat dibagi kedalam beberapa tipe :1. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea, stoker line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimtomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.2. Tipe II : menutupi kornea sampai 4 mm dapat primer atau rekuren setelah opersi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.3. Tipe III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren, dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.Menurut Lazuarni. USU ( 2010 ), derajat pterygium dibagi dalam 4 derajat yaitu : 1. Derajat 1 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.

2. Derajat 2 : jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebihdari 2 mm melewati kornea.

3. Derajat 3 : jika pterygium sudah melebihi 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal ( pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm ).

4. Derajat 4 : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 2.3 pterygium derajat I, II, III, dan 1V(Sumber: Jay H Krachmer. Management of Pterygium. 3th ed.2011 2.2.7 Mikroskopis

Secara mikroskopis, pterygium menunjukkan perubahan yang sama dengan pinguekula. Epitelnya bisa normal, akantotik, hyperkeratosis atau bahkan dysplasia. Pada pemeriksaan sitologi permukaan sel pterygium terlihat abnormal dan menunjukkan peningkatan desintas sel goblet dengan metaplasia squamosa juga menunjukkan adanya permukaan sitologi yang abnormal pada area lain di konjungtiva bulbi pada area tanpa adanya pterygium. Sehingga kolagen selanjutnya akan menghasilkan maturasi dan degenarasi abnormal. Sumber serat atau fiber kemungkinan berasal dari fibroblast yang mengalami degenerasi.2

Sedangkan secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop electron menunjukkan poliferasi yang menyimpang dibawah epitel pterygium, dengan epitel yang meluas ke stroma. Pemisahan sel-sel epitel pterygium menunjukkan epitel dikelilingin sel-sel fibroblast yang aktif. Karakteristik dari E-cadherin, penumpukkan catetin di intranukleardan lymphoid faktor-I meningkat pada epitel pterygium. Sel epitel meluas ke stroma pada SMA/ vimentin dan cytokeratin.17,18 Gambar 2.4 Mikroskopis pterygium

(Sumber: Jay H Krachmer. Management of Pterygium. 3th ed.2011)

Gambar 2.5 Mikroskopis pterygium

(Sumber: Jay H Krachmer. Management of Pterygium. 3th ed.2011)2.2.8 Diagnosa

Untuk mendiagnosa suatu pterygium tidaklah sulit jika derajat 3 dan 4, sedangkan derajat 1 dan derajat 2 mungkin akan mengalami kesulitan dalam menentukan derajat yang disesuaikan dengan kelainan yang timbul pada mata. untuk mendiagnosanya harus melalui dokter spesialis mata guna ketepatan dalam mendiagnosa erajat dari pterygium, sedangkan untuk dokter umum hanya dapat mendiagnosa pterygium pada tingkat lanjut dimana sudah terdapat penebalan dan penonjolan daerah limbus mata. Sedangkan untuk para medis dibutuhkan suatu album foto yang mendeskripsikan bermacam-macam variasi dari bentuk pterygium, terutama derajat 4 dan melalui supervise dari dokter ahli mata. 16,17,18,19,20 2.2.9 Diagnosa Banding

Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama yaitu pinguekula dan pseudopterygium. Bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki-laki dan perempuan. Exposure sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguekula.2,4,9,14,15

Gambar 2.6 Perbedaan Pterygium dngan Pinguekula

(Sumber: Jay H Krachmer. Management of Pterygium. 3th ed.2011)

Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium, pertumbuhannya membentuk sudut miring seperti pseudopterygium atau Terrien's marginal degeneration. Pseudopterygium mirip dengan pterygium, dimana adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterygium, cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterygium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterygium. Pada pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan true pterygium.2,4,8,9

Gambar 2.7 Perbedaan Pseudopterygium dengan Pterygium(Sumber: Jay H Krachmer. Management of Pterygium. 3th ed.2011)2.2.10 Penatalaksanaan

Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering ditangani dengan menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2 atau tipe I. Sedangkan untuk mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan kacamata pelindung ultraviolet dan jika sudah mengganggu penglihatan dapat dilakukan pembedahan.1,4,11,13,14,21Beberapa 7 tehnik pilihan untuk menutup luka, yaitu :11. Bare sclera : tidak ada jahitan atau benang absorbable digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.

Operasi dengan menggunakan mikroskop dilakukan dibawah anastesi lokal. Setelah pemberian anastesi topikal, desinfeksi, dipasang eye spekulum. Lidokain 0,5 ml disuntikkan dibawah badan pterygium dengan spuit 1cc. Dilakukan eksisi badan pterygium mulai dari puncaknya di kornea sampai pinggir limbus. Kemudian pterygium diekstirpasi bersama dengan jaringan tenon dibawah badannya dengan menggunakan gunting 1-6. 2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil).3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser untuk menutupi defek.4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit. Setelah pterygium diekstirpasi, ukuran dari bare sclera yang tinggal diukur.

Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama, diperkirakan lebih besar 1mm dari bare sclera yang diukur, kemudian diberi tanda.

Area yang sudah ditandai diinjeksikan dengan lidokain, agar mudah mendiseksi konjungtiva dari tenon selama pengambilan autograft.

Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal dari area yang akan digraft.

Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya dengan menggunakan vicryl 8.0. 6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterygium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF- pada konjungtiva dan fibroblast pterygium. Pemberian mytomicin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.

7. Lamellar keratoplasty excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.

Gambar 2.8 Teknik pembedahan pada pterygium

(Sumber: Jay H Krachmer. Management of Pterygium. 3th ed.2011)

Gambar 2.9 Teknik pembedahan pada pterygium

(Sumber: M N Sadiq. Autograf in surgical management of pterygium. ed.2009) 2.2.11 Komplikasi Komplikasi yang terjadi pada pterygium antara lain :151. Distorsi dan penglihatan sentral berkurang,

2. Merah,

3. Iritasi,

4. Jaringan parut kronis pada konjungtiva dan kornea,

5. Pada pasien yang belum sembuh sempurna, adanya jaringan parut pada otot rektus yang dapat menyebabkan diplopia,

6. Pada pasien dengan pterygium yang telah dieksisi, scar atau disinsersi otot rektus medial dapat juga menyebabkan diplopia. Sedangkan komplikasi yang terjadi setelah eksisi pterygium :151. Infeksi

2. Reaksi bahan jahitan (benang)

3. Diplopia

4. Skar kornea

5. Konjungtiva graft longgar dan komplikasi yang jarang termasuk

6. Perforasi bola mata (jarang terjadi)

7. Vitreous hemorrahage atau retinal detachment,

8. Ektasia atau meltring pada sklera dan kornea, 9. Pterygium berulang pada sklera dan kornea,

Eksisi yang biasa mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80%. Dapat dikurangin dengan teknik konjungtiva autograft atau amnion graft. Komplikasi yang jarang adalah maligna degenerasi pada jaringan epitel diatas pterygium yang ada.15,212.2.12 Prognosis Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali. Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.15 2.2.13 Pencegahan Pterygium

Secara teoritis, mengurangi paparan terhadap radiasi UV akan menurunkan risiko terjadinya pterygium pada seorang individu. Pasien disarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran dan sebagai tambahan menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah tropis dan subtropis, atau pada pasien yang sering beraktifitas diluar.3,72.2.14 Kerangka Teori

Gambar 2.10 Kerangka Teori

2.2.15 Kerangka Konsep

jenis

Gambar 2.11 Kerangka KonsepOperasi

Derajat I

Derajat II

Derajat III

Derajat IV

Derajat Pterygium

Pekerjaan

Derajat Pterygium yang di operasi

Usia

Jenis kelamin

Jenis kelamin

Usia

Pekerjaan

5