54511757 Laporan Klp 4 Modul Gempa
-
Upload
hayu-hastari -
Category
Documents
-
view
195 -
download
15
Transcript of 54511757 Laporan Klp 4 Modul Gempa
LAPORAN TUTORIAL
MODUL GEMPA
OLEH:
KELOMPOK IV
KETUA: MUHAMMAD IRSYANDI
ANGGOTA:
ARIANTI AMIN ASRINA SYARUDDIN
RAHMATI ISKANDAR SITI KUMALASARI
HAYYU SITORESMI ISNAH ARIANTI
SITTI RUKMANA FANY
RIKAWATI NUR AKMAL
DARMIA DALLE
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum wr.wb
Puji sukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena atas berkatnya laporan ini dapat
terselesaikan. Laporan ini kami buat dari hasil toturial mengenai gempa
Dalam laporan ini di uraikan tentang banyak hal, terutama mengenai bencana, tahapan
bencana, penanganannya dan dampak dari bencana.
Kami mengucapkan terimah kasih kepada teman-teman karena atas partisipasinya
laporan ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya, kami menyadari bahwa laporan ini masih
jauh dari kesmpurnaan , karena berhubung ilmu yang kami miliki masih sangat minim, oleh
karena itu kritik dan saran akan sangat kami harapkan kepada para pembaca.
Akhir kata
wassalam
Makassar, April 2011
penulis
SKANARIO
Pada hari senin tanggal 11 april 2011 jam 09.00 wita, Makassar diguncang oleh gempa yang
berkekuatan 8,7 SR. gempa yang disertai tsunami ini menghabiskan 2/3 kota Makassar yang
dimulai dari tanjung bunga sampai kelurahan sudiang, kejadian ini mengakibatkan jatuhnya
korban luka sebanyak 1000 orang meninggal 500 orang dan banyak kerusakan rumah maupun
gedung yang belum bisa dihitung, kejadian ini menimbulkan dampak dan kerugian yang besar
disebabkan karena masih kurangnay manajemen bencana dari pemerintah terkait dengan mitigasi
dan kesiapsiagaannya.
INDENTIFIKASI MASALAH
- Gempa
- Tsunami
- Menghabiskan 2/3 kota Makassar
- Korban luka 1000 orang
- Meninggal 500 orang
- Kerusakan rumah dan gedung yang belum bisa dihitung
- urangnya manajemen bencana (mitigasi dan kesiapsiagaan)
MIND MAP
BENCANA
TAHAPANPENGERTIAN KLASIFIKASI/ JENIS
PRINSIP MANAJEN
DAMPAK BENCANA
PENANGANAN PRE, INTRA, POST
PERTAYAAN PENTING
1. jelaskan definisi bencana?
2. Jelaskan klasifikasi / jenis?
3. Jelaskan prinsip-prnsip manejemen bencana?
4. Jelaskan tahapan-tahapan manajemen bencana?
5. Jelaskan penanganan Pre,intra,dan post pada bencana?
6. Jelaskan dampak bencana bagi kesehatan masyarakat?
Jawaban
1. DEFINISI BENCANA
Menurut Departemen Kesehatan Republic Indonesia (2001), definisi bencana adalah
peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi,kerugian kehidupan manusia ,serta memburuknya kesehatan dan pelayanan
kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.
Sedangkan,definisi bencana (disaster) menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan ,gangguan ekologis ,hilangnya nyawa manusia , atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tetentu yang
memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Menurut Bakornas PBB ,bencana dapat juga didefinisikan sebagai situasi dan kondisi
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa
mengubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat normal menjadi
rusak ,menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur social
masyarakat ,serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar.
2. KLASIFIKASI BENCANA
Usep salahuddin (2005) mengelompokkan bencana menjadi 2 jenis yatu sebagai berikut :
Bencna alam (natural disaster), yaitu kejadian-kejadian alami seperti
banjir,genangan ,gempa bumi,gunung meletus ,badai,kekeringan,wabah,serangan
serangga dan lainnya.
Bencana ulah manusia (man made disaster),yaitu kejadian-kejadian karena
perbuatanmanusia seperti tabrakan pesawat udara atau
kendaraan ,kebakaran,sabotase,ledakan,gangguan listrik,gangguan
komunikasi ,gangguan transportasi dan lainnya.
Sedangkan,berdasarkan cakupan wilayahnya,bencana terdiri atas berikut ini :
Bencana local,bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya
yang berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan
disekitarnya. Biasanya karena akibat factor manusia seperti
tabrakan,ledakan ,terorisme ,kebocoran bahan kimia dan lainnya.
Bencana regional ,jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area
geogrfis yang cukup luas dan biasanya disebabkan oleh factor alam seperti
badai,banjir,letusan genung,tornado dan lainnya.
3. FASE-FASE BENCANA
Menurut Barbara santamaria (1995) ada tiga fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu:
a. Fase pre-impact. merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. informasi didapat
dari badan satelit dan meteorology cuaca. seharusnya pada fase inilah segala persiapan
dilakukan dengan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
b. Fase impact. merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). fase impact ini terus
berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan darurat dilakukan.
c. Fase post-impact. merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase
darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas
normal. secara umum, dalam fase ini para korban akan mengalami tahap respons
psikologis mulai dari penolakan (denial), marah (angry), tawar-menawar (bargaining),
depresi (depression), hingga penerimaan (acceptance).
Manajemen bencana berangkat dari keterbatasan manusia dalam memprediksi dan
menghadapi bencana, berupa strategi dan kebijakan dalam antisipasi, pencegahan, dan
penanganan bencana. Tujuannya, mencegah, memprediksi dan mengantisipasi bencana
sebatas kemampuan serta meminimalkan kerugian.
Tahapan proses manajemen bencana melibatkan empat tahapan, yaitu:
a. mitigasi
Mitigasi merupakan pencegahan dampak bencana sampai pada tahap minimal. Kebijakan
mitigasi dalam manajemen bencana ini adalah sebuah kebijakan jangka panjang, bersifat
strukural maupun non struktural.
Kebijakan yang bersifat struktural menggunakan pendekatan teknologi, seperti pembuatan
kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, bangunan yang
bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning System yang digunakan untuk memprediksi
terjadinya gelombang tsunami.
Sedangkan kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan asuransi.
Kebijakan non struktural lebih berkaitan dengan kebijakan yang bertujuan untuk menghindari
risiko yang tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelum perlu dilakukan identifikasi risiko terlebih
dahulu. Penilaian risiko fisik meliputi proses identifikasi dan evaluasi tentang kemungkinan
terjadinya bencana dan dampak yang mungkin ditimbulkannya.
Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang bersifat non struktural harus
saling mendukung antara satu dengan yang lainnya.
b. kesiapsiagaan (preparedness)
Dalam tahap preparedness disusun rencana aksi yang harus dilakukan apabila bencana
terjadi. Kebijakan preparedness yang biasa dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya bencana
adalah pelatihan terhadap petugas medis dalam memberikan pertolongan pertama, pembangunan
dan pelatihan sistem peringatan akan terjadinya bencana yang dikombinasikan dengan tempat
tinggal darurat dan rencana evakuasi, penyediaan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan
dalam keadaan darurat, dan lain sebagainya.
Untuk mendukung rencana aksi ini, kunci utamanya adalah koordinasi, yang telah terbukti
menjadi kelemahan kita selam ini. Diharapkan setiap pihak dapat saling berhubungan dalam
suasana yang kondusif, serta saling mengisi dan memanfaatkan kekuatan masing-masing agar
dapat meminimalkan risiko kerugian.
Tak kalah penting adalah tersedianya sumberdaya yang dibutuhkan untuk terlaksananya
rencana aksi ini.
Sumberdaya yang disalurkan harus dipastikan tepat sasaran dan dimanfaatkan secara optimal
dan transparan. Peluang bagi partisipasi seluruh komponen masyarakat harus dibuka seluas-
luasnya, dengan cataatan tetap harus ada koordinasi.
Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain :
a. Merencanakan dan melaksanakan kegiatan pemantauan, informasi dan komunikasi.
b. Mengamati perkembangan aktivitas lingkungan, saling menginformasikan dan
mengkomunikasikan perkembangan.
c. Merencanakan dan Mensosialisasikan Kesepakatan tanda bahaya misalnya: kentongan,
sirine, peluit atau apa yang disepakati.
d. Merencanakan dan Mensosialisasikan Kesepakatan jalur evakuasi, disepakati jalur mana
yang akan dilewati untuk penyelamatan.
e. Merencanakan dan Mensosialisaasikan Kesepakatan Tujuan/Tempat Pengungsian,
disepakati tujuan pengungsian ke tempat yang lebih aman.
f. Mensosialisasikan Persiapan Masing Masing Keluarga, yang diselamatkan : surat-surat
berharga, ternak, pakaian secukupnya.
c. tanggapan (response)
Tahapan berikutnya adalah tahapan response, yang melibatkan mobilisasi tenaga emergency
yang dibutuhkan untuk memberikan pertolongan pertama, seperti tenaga medis, polisi, dan
tenaga sukarelawan. Tenaga emergency terlatih yang didukung oleh rencana aksi yang disusun
pada tahap sebelumnya memudahkan koordinasi upaya penyelamatan.
Pada tahap ini kemampuan tenaga emergency menjadi sangat penting, karena mereka
dituntut untuk memberi bantuan, bukan hanya secara fisik dan medis, tetapi juga memberikan
dorongan yang bersifat psikologis.
d. pemulihan (recovery).
Tahap terakhir adalah tahap recovery, yaitu bagaimana membangun kembali daerah yang
terkena bencana agar pulih kembali. Usaha recovery berkaitan dengan pembangunan bangunan
dan aset yang hancur, terutama infrastruktur vital. Diantaranya menghitung nilai kerugian yang
diderita akibat bencana dan biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan kembali.
Tahap recovery ini juga saat yang tepat untuk mengevaluasi kembali manajemen bencana
yang telah diterapkan, sebagai masukan untuk menerapkan manajemen bencana yang lebih baik.
Tahap recovery ini juga merupakan peluang emas untuk melakukan perubahan dalam aspek-
aspek kehidupan lainnya.
Manajemen bencana bukan hanya tindakan kuratif setelah bencana terjadi saja, tetapi juga
berupa tindakan preventif berupa antisipasi dan action plan. Dan tidak dapat hanya bertumpu
kepada kebijakan yang bersifat struktural belaka, tetapi mesti melibatkan pula kebijakan non
struktural. Semoga kekurangan kita kali ini dapat kita evaluasi untuk menyusun manajemen
bencana yang lebih baik.
Transportasi Pasien luka bakar
memperlakukan perawatan pasien luka bakar secara rutin seperti pada pasien trauma dengan
primary survey segera setelah memindahkan ke tempat yang aman, pada saat menentukan pasien
stabil dan sedang “load and go”, harus bias menghentikan proses progresivitas dan luka bakar
tersebut secepat mungkin dengan cara mendinginkan segera pada perlukaan luka.
pasien jangan dievakuasi dalam selimut basah, handuk basah atau pakaian basah dan es adalah
kontra indikasi utama dalam kasus ini. es akan membekukan luka dan mengakibatkan
vasokontriksi dan menurunkan suplay darah pada jaringan yang sudah masak. lebih baik jangan
mendinginkan luka bakar dan pendinginan sendiri mengganggu dan menyebabkan hipotermi
serta menambah kerusakan jaringan.
Transportasi ke fasilitas yang lebih lengkap sebaiknya dilakukan dalam 1 jam; bila tak mungkin,
masih dapat dilakukan dalam 24 - 48 jam pertama dengan pengawasan ketat selama perjalanan.
lebih dari 48 jam sebaiknya ditunda sampai hari keempat dan kelima setelah keadaan umum
stabil
Khusus untuk luka bakar di daerah wajah, posisi kepala harus lebih tinggi dari tubuh; perhatikan
kemungkinan edema larings, bila perlu lakukan trakeotomi.
Transport lanjutan Pasien Luka Bakar
luka bakar yang luas biasanya tidak terjadi dilokasi yang bias cepat diangkut ke RS yang
mempunyai combustion center. jika demikian transport dan RS pertama ke RS yang lebih besar
penanganan luka bakar sangat diperlukan setelah pertolongan pertama (biasanya memerlukan
waktu 1-3 jam) dan segera kirimkan ke RS untuk kebaikan pasien.
selamam pengiriman tersebut sangat perlu untuk meneruskan resusitasi prioritas transport
lanjutan ini, pasien yang dikirim hendaknya secara komplit mengikuti syarat-syarat :
1. pernapasan dan fungsi haemodinamika stabil, mungkin sudah di intubasi dan telah
terpasang 2 iv kateter ukuran besar (16-14)
2. pemeriksaan dan perawatan luka-luka lain
3. laporan data-data laboratorium (khususnya BOA)
4. terpasang NG tube kalau luka >20 Vo BSA
5. pemeriksaan sirkulasi peripheral dan pengobatan luka-luka lain
6. tetap melapor dan konsultasi dengan RS penerima
Penting !!!
1. menggunakan pengaman yang memadai ketika memindahkan korban dari tempat
kejadian
2. penanganannya sama dengan pasien trauma lain-primary survey, critical intervention,
transport decision dan secondary survey, perawatan krisis, dan reassessment
(pemeriksaan ulang)
3. gunakan pendingin pada luka superficial panas segera setelah kejadian kebakaran
4. hamper semua jenis luka bakar disertai denganjejas inhalasi
5. luka bakar kimia secara umum memerlukan waktu lama dalam irigasi dan membutuhkan
air yang banyak
6. segeralah memeriksa status jantung pada korban sengatan listrik
7. rencana menyeluruh, transport lanjutan ke combustion center yang lebih besar dan
efektivitaskan resusitasi terus menerus selama perjalanan.
Transportasi pada pasien henti jantung
klien henti jantung sebaiknya diberikan intervensi secepatnya. penanganannya dengan dilakukan
primary survey, critical intervention, transport decision dan secondary survey, perawatan krisis,
dan reassessment (pemeriksaan ulang). Primary survey dilakukan untuk mengkaji stabilitas
ABC, pertahankan ABC klien. Dalam transportasi pasien ke RS stabilitas ABC harus
dipertahankan dan tidak lupa memperhatikan cara evakuasi atau pengangkatan klien dengan
metode yang aman bagi klien dan penolong. Yang terpenting adalah mempertahankan stabilitas
airway, breathing, dan circulation.
4. PRINSIP-PRINSIP MANAJEMEN
Koordinasi dan komunikasi
Komunikasi berperan sebagai penghubung semua fase penanganan
kegawatdaruratan, yaitu :
1. Komunikasi pra rumah sakit, intra rumah sakit, antar rumah sakit
2. Komunikasi lintas sektor
Komunikasi menjadi sangat penting karena disaster response memerlukan kerja
tim dalam satu koordinasi bukan kerja individu, dan hal ini tidak mungkin berlangsung
tanpa komunikasi. Adapun penerapan sistem komunikasi – informasi dalam bencana
adalah sebagai berikut:
JARING KOMUNIKASI ALAT KOMUNIKASI
Komunikasi Informasi TELP Emg (one way comm
Komunikasi koordinasi Telp , Fax, Radio, Telex
Komunikasi adminstrasi logistik Telp , Fax, Radio, Telex
Komunikasi pengendalian operasi Radio komunikasi (two way comm, terbatas)
Fasilitas komunikasi harus terintegrasi (dapat saling berhubungan – dalam satu
sistem).
Dapat menghubungkan titik pelayanan terendah sampai pusat rujukan tertinggi.
Dapat mengatasi keadaan terjelek dari segi teknis
Adapun prosedur umum dalam mengaplikasikan sistem informasi-komunikasi di
atas adalah sebagai berikut:
1. Tahu cara memanggil stasiun radio tujuan: SEBUTKAN KODE PANGGIL KITA
DAN KODE PANGGIL SATSIUN YG DITUJU
2. Bicara dengan jelas (Talk brief and clear)
3. Tahu cara mengeja kata-kata sulit, misalnya: A=Alfa, B=Bravo, C= Charlie ..dst atau
menggunakan nama kota yang kita kenal bersama di Indonesia misal A = Ambon, B
= Bandung, C = Cirebon
4. Jangan diskusikan keadaan pasien, gunakan kata sandi/ kode untuk menyampaikan
berita terbatas misalnya pasien berlabel merah (tidak perlu disebut pasien dengan
ancaman kematian), DOA (Death on arrival = pasien meninggal saat datang)
5. Bila memungkinkan berbicara dengan operator radio yang tetap dengan memenuhi
aturan yang berlaku
Prosedur umum dalam mengirim berita/ laporan adalah :
1. Sebut sifat berita (laporan umum, terbatas/rahasia)
2. Sebut tingkat prioritas ( berita penting/urgent, biasa)
3. Sebutkan jenis laporan (laporan keadaan pasien, KLB, laporan khusus, laporan
rujukan)
4. Gunakan formulir khusus (formulir pelaporan, formulir khusus, formulir isian)
5. Gunakan sandi yang sudah disepakati (berlatih bila belum terbiasa menggunakan
komunikasi radio)
Contoh formulir pengiriman berita
Contoh formulir penerima berita
Prosedur umum komunikasi dengan rumah sakit penerima adalah :
1. Rumah sakit penerima seharusnya menerima data dari Posko tentang jumlah korban
yang akan dikirim, jenis kasus dan alat transportasi yang digunakan.
2. Dari petugas dilapangan komunikasi untuk RS yang akan menerima tujuan pasien
adalah konfirmasi tentang jumlah korban yang dikirim, keadaan pasien dan
ditambahkan tindakan pertama yang diberikan serta tindakan selama transportasi.
3. Rumah sakit penerima korban bencana harus selalu menyiapkan fasilitas walaupun
pasien dikirim tanpa informasi dari lapangan.
4. Untuk rumah sakit tanggap bencana, rumah sakit harus memiliki sistem
kewaspadaan (alerting system ) khususnya bagian / Unit Gawat Darurat berupa
sistem informasi dan sistem bagaimana menyatakan kesiagaan penanganan bencana
(how to declare disaster situation) serta adanya sentra pengendalian (switchboard
control). Tidak lupa pula untuk mengaktifkan HOSPITAL DISASTER PLAN
(HOSDIP), memobilisasi SDM dan fasilitas
5. Untuk komunikasi dalam rumah sakit:
a. Ditetapkan area penerimaan korban (reception area) , sebaiknya seluruh
korban masuk melalui satu pintu (I dan perlu didisain area penerimaan
korban dengan rencana pencatatan administrasi waktu masuk (plan for
admission registration)
b. Perpindahan pasien dari satu unit ke unit lain (UGD ke ICU, UGD ke OK,
UGD ke radiologi dll ) memerlukan komunikasi informasi .
c. SOP atau pedoman kegiatan di UGD akan banyak membantu bagi setiap
petugas medis relawan yang akan membantu
Dalam Penanganan Korban Massal
Laporan Awal Laporan Lanjutan Laporan Akhir
– Lokasi kejadian (Location
of incident)
– Jenis kasus
(trauma/medical)
– Perkiraan awal jumlah
korban
– Perkiraan awal kasus gawat
darurat
– Tindakan awal yang sudah
dilakukan
Dari lokasi kejadian dapat
dilaporkan
– Jumlah korban yang
ditangani berdasarkan
pengelompokkan label
(Triage category)
– Melaporkan keadaan
khusus (Age/Gender)
– Menetapkan tujuan
pengiriman pasien/ korban
– Jumlah alat transportasi
yang tersedia dilapangan
– Mendata ulang dan
memastikan posisi/ lokasi
semua korban atau pasien
baik yang dikirim maupun
yang di tangani di
lapangan.
SISTEM INFORMASI :
1. Diperlukan data atau informasi untuk penyusunan kebijakan maupun perencanaan
dalam upaya pencegahan dan penyiagaan untuk menghadapi ancaman terjadinya
bencana.
2. Informasi tentang adanya bahan berbahaya/ bahan kimia di sebuah intitusi kesehatan
(RS) harus diberikan , sebagai antisipasi pertolongan pertama bila terjadi bencana.
3. Pembuatan peta tentang
a. Daerah dengan ancaman bahaya (hazard mapping, risk mapping),
b. Alur untuk bantuan medis dan alur penanganan medis
c. Lokasi fasilitas kesehatan untuk rujukan
4. Kegiatan pelaporan dan monitoring serta evaluasi dari berbagai usaha sejak penyiagaan
sampai dengan penanganan, dilakukan secara periodik dan teratur, dengan pola tertentu
agar dapat dievaluasi untuk perbaikan atau pengembangan yang diperlukan.
5. Data dan informasi ini dapat dimanfaatkan oleh semua fihak yang memerlukan, sehingga
terjalin suatu kesamaaan konsep dan keterpaduan dalam upaya penanganan.
INFORMASI UNTUK MASYARAKAT
1. Diperlukan informasi yang sudah disiapkan untuk media masa
2. Informasi yang diberikan harus akurat dan jangan memberi pernyataan untuk hal hal yang
belum jelas (jangan spekulatif)
3. Informasi yang diberikan secara teratur / periodik akan lebih baik dan menguntungkan
4. Petugas Humas yang diberi tugas menyampaikan informasi harus dipilih karena
kemampuannya dan tetap berada dibawah pos komando / sentra pengendalian.
PERMASALAHAN KOMUNIKASI DI INDONESIA
1. Fasilitas komunikasi yang ada belum memadai dan belum merata (pulau terpencil tanpa
fasilitas telepon, telepon satelit mahal)
2. Fasilitas komunikasi umum tidak terjamin dari terjadinya bebas gangguan (kerusakan
telepon/ gangguan teknis)
3. Toleransi minimal untuk pelayanan kasus emergensi bila terjadi hambatan komunikasi
MASALAH YANG TERJADI BILA TIDAK ADA KOMUNIKASI
1. Sulit memperkirakan apa yang terjadi, baik keadaan bencana, keadaan korban
2. Seluruh anggota team penanganan bencana memerlukan komunikasi antar team maupun
antar lapangan dan Posko . Sulit melakukan koordinasi antar instansi
3. Dalam skala besar tidak dapat berkomunikasi baik secara regional, nasional maupun
internasional
4. Terjadi konflik antara instrusksi atau informasi yang ada
5. Menyebabkan kebingungan petugas dilapangan maupun korban
6. Tidak dapat dilakukan upaya penanganan yang efektif
KOMUNIKASI & PERINGATAN DINI
Tahapan ini memiliki tujuan untuk menilai efektivitas sebuah informasi peramalan
potensi bencana dapat dikomunikasikan hingga ke tingkat komunitas yang terancam.Sehingga
saat terjadi sebuah bencana komunitas memiliki waktu untuk menyelamatkan aset-aset
kehidupannya. Disamping itu sebuah sistem komunikasi dan peringatan dini dapat membantu
sebuah komunitas yang terancam dalam pengambilan keputusan mengenai tindakan yang perlu
dan tepat dalam merespon ancaman.
Tantangan yang seringkali muncul dalam sistem peringatan dini adalah bagaimana
menterjemahkan informasi teknis menjadi informasi yang mudah diterima dan dipahami oleh
masyarakat, sehingga masyarakat dapat bertindak pada saat yang tepat. Tantangan tersebut
sebenarnya dapat direduksi melalui keterlibatan komunitas yang terancam dan pihak yang
berwenang dalam memberikan informasi tersebut. Untuk itu maka sebuah sistem informasi
peringatan dini harus memiliki parameter sebagai berikut:
1. Menjangkau sebanyak mungkin anggota masyarakat
2. Segera
3. Tegas, jelas dan tidak membingungkan
4. Bersifat resmi atau disepakati oleh semua pihak.
Sistem peringatan dini biasanya melalui jalur komunikasi yang menginformasikan
ramalan ancaman dari suatu lembaga yang berwenang hingga ke satuan kelompok masyarakat
terkecil. Penyampaian informasi peringatan dini harus mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Menginformasikan peringatan secara bertingkat ke masyarakat. Setiap perubahan
tingkat peringatan bermakna pada peningkatan kewaspadaan yang harus
dilakukan masyarakat
2. Penyeragaman dan kesepakatan informasi mengenai tanda, simbol dan suara baik dari
lembaga yang berwenang maupun dari tim siaga desa sehingga semua pihak dapat
mengerti dan memahami informasi peringatan dini yang disamapaikan
3. Menyepakati atau penunjukan terhadap individu yang berwenang di tingkat
dusun, desa atau kota untuk membunyikan tanda peringatan dini apabila terjadi
ancaman berpotensi menimbulkan risiko
4. Penggunaan alat sistem informasi peringatan dini yang tepat guna. Peralatan
informasi peringatan dini yang digunakan tidaklah harus berteknologi tinggidan
mahal, yang penting dapat berfungsi efektif dan cepat dalam memberikan
informasinya.Disamping itu pemilihan alat peringatan dini harus mempertimbangkan
waktu ancaman berlangsung mulai dari sumber ancaman hingga sampai di areal
pemukiman. Masyarakat pedesaan pada umumnya memiliki alat-alat tradisional yang
berfungsi untuk menyampaikan informasi peringatan
5. Penempatan alat peringatan dan papan informasi di tempat yang strategis sehingga
semua orang bisa mengetahui dan mendengarnya
6. Saran tindakan yang harus dilakukan oleh masyarakat harus konkret dan spesifik.
7. Saran mengenai tindakan yang tidak boleh dilakukan masyarakat sehingga dapat
mengurangi risiko
8. Bahasa penyampaian informasi sesederhana mungkin dan dalam bahasa
lokal/setempat agar dapat dimengerti seluruh orang
9. Melakukan latihan simulasi sistem komunikasi dan peringatan dini yang teratur
dalam periode tertentu di kawasan yang rawan bencana. Hal ini bertujuan untuk
membentuk kebiasaan dan melatih naluri penduduk untuk selalu siap siaga dalam
menghadapi ancaman. Disamping itu sebagai kontrol dan penilaian efektivitas
dari sistem komunikasi dan peringatan dini yang dilakukan di sebuah kawasan
rawan bencana serta pengecekan apakah alat komunikasi dan peringatan dini
masih berfungsi dengan baik atau tidak.
Pendekatan komperhensif :
Pencegahan (prevention) :
Tujuan dari persiapan dan pencegahan bencana:
Mengurangi kemungkinan bencana
Mengurangi korban akibat bencana
Meringankan penderitaan korban bencana
Hasil yang diharapkan:
Masyarakat mengerti akan proses penanggulangan bencana
Masyarakat mampu mengambil tindakan yang tepat saat terjadi bencana
Masyarakat bisa bekerjasama dengan pihak terkait dalam melakukan penanggulangan
bencana
Rencana Pencegahan Bencana:
Penentuan tujuan dan sasaran
Supaya bisa mencapai hasil yang maksimal harus ditentukan tujuan dan sasarannya
sebelum melakukan kegiatan. Secara sederhana tujuan bisa diartikan hasil maksimal dari
tindakan, sedangkan sasaran adalah usaha untuk mencapai tujuan.
Tindakan yang dilakukan
Berikut ini adalah tindakan-tindakan yang perlu dilakukan di daerah bencana. Perlu
ditentukan apakah rencana penanganan bencana ini untuk jangka pendek, menengah atau
jangka panjang. Dapat dipastikan bahwa tindakan langsung pada saat terjadinya bencana
adalah menyelamatkan diri. Rencanakanlah menurut kemampuan sendiri jangan dulu
bergantung pada bantuan dari luar. Dengan rencana dan pelaksanaan yang baik, banyak
hasil yang bisa didapat dari usaha masyarakat itu sendiri
Empat Pertimbangan dalam Perencanaan:
Prioritas: segala kegiatan utama dalam proses pencegahan bencana. Misalnya untuk
mencegah tanah longsor yang utama adalah menjaga kelestarian hutan.
Rencana pelaksanaan:disesuaikan sumber yaitu sumber dana, bahan dan waktu yang
dibutuhkan.
Tindakan pelaksanaan: segala tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan rencana
tersebut.
Pengawasan: memastikan kelancaran jalannya proses pelaksanaan dan mencapai tujuan
yang diharapkan,
Upaya pada 3 level pencegahan:
Pencegahan primer: promosi kesehatan untuk mengurangi atau meniadakan penyebab
termasuk pendidikan kesehatan mengenai penyakit yang biasa terjadi di daerah bencana,
pelatihan menghadapi bencana dengan kerjasama lintas sektoral(sebelum bencana
terjadi), seperti :
1. Promosi kesehatan dilakukan perawat komunitas bekerjasama dengan dinas
kesehatan mengenai penyakit-penyakit yang biasa menyerang di daerah bencana
2. Promosi kesehatan lingkungan bekerjasama dengan dinas kesehatan lingkungan
mengenai tata cara pencegahan bencana:
a. Tidak menebang atau merusak hutan
b. Melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan berakar kuat, seperti nimba, bambu,
akar wangi, lamtoro dan sebagainya, pada lereng-lereng yang gundul
c. Membuat saluran air hujan
d. Membangun dinding penahan di lereng-lereng yang terjal
e. Memeriksa keadaan tanah secara berkala
f. Mengukur tingkat kederasan hujan
g. Mengukur tingkat aktivitas gunung berapi
h. Mengukur tingkat aktivitas tektonik tanah untuk mengukur gempa
3. Melakukan pelatihan menghadapi bencana bekerjasama dengan tim SAR,tim
meteorologi dan geofisika: pelatihan menghadapi tsunami, banjir bandang, gunung
meletus, dll, sekaligus promosi tempat pengungsian yang aman:
a. tanah longsor: tempat yang datar dan jauh dari lokasi bencana
b. gunung meletus: tempat tinggi terlindung dari debu dan gas beracun
c. tsunami: tempat tinggi berjarak 1 kilometer dari pantai
d. banjir: tempat yang tinggi
e. gempa bumi: di tempat terbuka/luar bangunan
Pencegahan sekunder: kerjasama kelompok di pengungsian, pemberian pendidikan
kesehatan cara mencegah dan pertolongan pertama terhadap penyakit yang di derita,
pengobatan akibat penyakit dan luka bekerjasama dengan pihak terkait (saat bencana
terjadi)
1. Kerjasama lintas sektoral dengan TNI, polisi, lembaga kepemudaan, tim SAR untuk
membangun/menyiapkan tempat pengungsian
2. Kerjasama kelompok di pengungsian
a. membentuk kelompok-kelompok di pengungsian dan membagi tugas, ada yang
memasak, mengambil bantuan bahan makanan dan obat obatan, dan sebagainya
b. kerjasama kelompok membersihkan lingkungan tempat pengungsian agar
terhindar dari berbagai penyakit.
3. Pemberian pelayanan kesehatan
4. promosi kesehatan cara pencegahan dan pertolongan pertama yang harus diberikan
terhadap penyakit yang biasa menyerang daerah bencana.
5. Bekerjasama dengan dokter, PMI, LSM yang bergerak di bidang kesehatan dan
lembaga kepemudaan (seperti PMR, pramuka, pecinta alam) melakukan
pemeriksaan dan pengobatan kepada warga yang teserang penyakit dan luka-luka
6. Bekerjasama dengan dinas kesehatan dan lembaga sosial membagikan obat-obatan.
7. Bekerjasama dengan lembaga sosial dan dokter, psikolog, psikiater untuk mengani
masalah psikologis atau kejiwaan dari warga korban bencana
Pencegahan tersier: rehabilitasi bangunan fisik dan kondisi fisik dan mental masyarakat
dengan kerjasama kelompok dan kerjasama lintas sektoral (setelah bencana terjadi)
Mitigation (mitigasi) :
Upaya yg meminimalkan dampak yg ditimbulkan oleh bencana, ada 2 bentuk mitigasi :
Mitigasi structural (bendungan, tanggul sungai dll)
Mitigasi non Struktural (peraturan, tata ruang, pelatihan)
Planning/Response/recovery:
Response :
upaya yg dilakukan segera pada saat kejadian bencana untuk menanggulangi dampak yg
ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian.
Recovery :
Proses pemulihan darurat kondisi masyarakat yg terkena bencana dgn memfungsikan kembali
sarana dan prasarana pada keadaan semula. Upaya : memperbaiki..
Proses pemulihan keadaan setelah bencana dibagi menjadi dua tahapan.
Tahap 1 : Pemulihan Keadaan Jangka Pendek Setelah Bencana
Tujuan dari pemulihan keadaan setelah bencana jangka pendek adalah:
Memenuhi kebutuhan jangka pendek masyarakat yang diutamakan pada tersedianya
kebutuhan dasar seperti : makanan dan pelayanan kesehatan.
Memenuhi kebutuhan jangka pendek masyarakat yang berhubungan dengan kebutuhan
seperti tempat tinggal, air, listrik, dan sanitasi.
Organisasi-organisasi dari luar lebih cenderung untuk memberikan bantuan pada saat kondisi
semacam ini. Masyarakat harus mencari bantuan dari pihak luar secepat mungkin dan
memikirkan kebutuhan jangka panjangnya.
Tahap 2 : Pemulihan Keadaan Jangka Panjang Setelah Bencana
Pemulihan keadaan jangka panjang meliputi program-program sebagai berikut :
Memastikan tersedianya cadangan pangan masyarakat
Menentukan kebutuhan pendidikan untuk setiap keluarga
Mengembangkan usaha dan lapangan pekerjaan untuk masyarakat
Pembangunan jalan, jembatan dan sarana umum
Proses pemulihan keadaan jangka panjang bisa menghabiskan waktu lama. Masyarakat bisa
mempercepat jalannya proses ini dengan :
Memperkirakan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan.
Merencanakan proses pelaksanaannya.
Mengusulkan program-program kepada donor-donor yang berkeinginan untuk membantu
KONTROL
Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan
Bencana yang memuat ketentuan umum, landasan, asas, dan tujuan, tanggung jawab dan
wewenang (pemerintah dan pemerintah daerah), kelembagaan, hak dan kewajiban masyarakat,
peran lembaga usaha dan lembaga internasional, penyelenggaraan penanggulangan bencana,
pendanaan dan pengolaan bantuan bencana,pengawasan, penyelesaian sengketa dan ketentuan
pidana, ketentuan peralihan, dan penutup.
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 ini masih mensyaratkan beberapa peraturan pemerintah
dan peraturan lain di bawahnya namun secara fisiologis sudah memuat ketentuan pokok
penanggulangan bencana seperti berikut:
Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang
pemerintah dan pemerintah daerah yang dilaksanakan secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada masa tanggap darurat dilaksanakan
sepenuhnya oleh Badan Penanggulangan Bencana (pusatdan/atau daerah) yang terdiri
atas unsure pengarah dan pelaksana.
Penyelenggaraan penanggulan dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak masyarakat
dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan sosial, pendidikan dan
keterampilan, serta partisipasi dalam pengambilan keputusan dalam hal penanggulangan
bencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap pra-bencana, saat tahap
tanggap darurat, dan pasca-bencana yang masing-masing mempunyai krakteristik
penanganan yang berbeda.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap tanggap darurat didukung oleh
anggaran pendapatan dan belanja Negara dan/ atau daerah (APBN dan/atau APBD) juga
didukung oleh dengan dana siap pakai yang pertanggungjawaban dilakukan melalui
mekanisme khusus.
Penyelenggaraan penanggulan bencana diawasi oleh pemerintah dan masyarakat agar
tidak terjadi penyimpangan.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam korteks undang-undang ini memuat
sanksi pidana dan perdata agar ditaati dan/atau menimbulkanefek jera bagi para pihak
yang karena perbuatanya menimbulkan bencana.
Undang-undang iniememuat tanggung jawab wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana serta hak dan kewajiban masyarakat dalam penanggulangan bencana.
Secara rinci, tanggung jawab pemerintah adalah sebagai berikut:
Penanggulan resiko bencana dan pengurangan resiko bencana dengan program
pembangunan.
Perlindungan masyarakat dari dampak bencana.
Menjamin pemenuhan hak masyarakat dan pengunsi yang terkena bencana secara adil
dan sesuai dengan setandar pelanyanan minimum.
Pemilihan kondisidari damopak bencana.
Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan
belanja Negara yang memadai.
Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalm bentuk dana siap pakai.
Pemeliharaan arsip atau dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak
bencana.
Wewenang pemerintah adalah sebagai berikut:
Penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan
nasional.
Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsure-unsur kebijakan
penanggulangan bencana.
Penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah.
Penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan Negara lain,
badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain.
Perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang
melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan.
Pengandalian pengumpulan uang atau barang yang bersifat nasional.
Sementara itu, hak setiap orang adalah sebagai berikut:
Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat
rentan bencana.
Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulan
bencana.
Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program
penyediaan bantuaan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial.
Berpartisipasindalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan
bencana, khususnya yang berkaitan dengan cirri dan komunitasnya.
Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan
penanggulangan bencana.
5. PENANGANAN BENCANA
PENANGANAN BENCANA
1. PRE BENCANA
a. Pendataan, early warning system, dengan melakukan pengkajian terhadap potensi
terjadinya masalah, solusi, kebutuhan, sumber daya yang ada, membangun partisipasi
Koordinasi (titik berat) pelaksana
Koordinasi (titik berat) pelaksana
TIDAK ADA BENCANA Perencanaan penanggulangan bencanapengurangan resiko bencanapencegahan pemanduan dalam perencanaan pembangunananalisis resiko bencana pelaksanaan & penegakan rencana tata ruang
TIDAK ADA BENCANA Perencanaan penanggulangan bencanapengurangan resiko bencanapencegahan pemanduan dalam perencanaan pembangunananalisis resiko bencana pelaksanaan & penegakan rencana tata ruang
KESIAP-SIAGAANMitigasi Kesiapan Peringatan dini
KESIAP-SIAGAANMitigasi Kesiapan Peringatan dini
PADA SAAT DARURATKajian kilatPenetapan keadaan bencanaPemenuhan kebutuhan dasarPerlindungan kelompok rentanPemulihan sarana
PADA SAAT DARURATKajian kilatPenetapan keadaan bencanaPemenuhan kebutuhan dasarPerlindungan kelompok rentanPemulihan sarana
PEMULIHANRehabilitasi Rekonstruksi
PEMULIHANRehabilitasi Rekonstruksi
KESIAP-SIAGAANKOMANDO
PELAKSANA
KESIAP-SIAGAANKOMANDO
PELAKSANA
b. Menjaring sukarelawan bencana
c. Melatih sukarelawan bencana
d. Koordinasi tentang penyelamatan masyarakat dan kerjasama berbagai pihak (BMG,
TNI/POLRI/SAR, departemen/pemerintah daerah, kalangan professional, LSM,
media, ulama dan tokoh masyarakat)
e. Informasi dan demonstrasi pada masyarakat bila terjadi bencana (kemana
menyelamatkan diri, dll), penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman
bencana kepada masyarakat
f. Promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan masyarakatdalam menghadapi
bencana meliputi hal-hal berikut:
Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut)
Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga
lain
Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan membawa persediaan
makanan dan penggunaan air yang aman
Memberikan informasi tempat-tempat alternative penampungan atau posko-posko
bencana
Memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas kebakaran,
rumah sakit, dan ambulans
Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa seperti pakaian
seperlunya, radio portable, senter serta baterainya dan lain sebagainya
g. Menyiapkan system anggaran darurat cepat cair dan system audit keuangan terpadu.
2. SAAT TANGGAP DARURAT
a. Bertindak cepat
b. Pemetaan (lokasi korban pengungsi, identifikasi jenis korban, identifikasi pengungsi,
identifikasi trauma psikis, identifikasi kebutuhan seperti kesehatan, makanan, air,
listrik, shelter darurat, pendidikan darurat)
c. Koordinasikan dan fasilitasi seluruh bantuan baik dari pemerintah ataupun swasta
d. Aktifkan partisipasi masyarakat dan system pertolongan serta peringatan dini
e. Menginformasikan kejadian bencana misalnya pada forum desa dan petugas kesehatan
f. Memberitahukan pada warga (kentongan, dll)
g. Membantu melakukan PPGD bersama petugas kesehatan lainnya
h. Melakukan evakuasi dan transportasi dengan benar
i. Memberi bantuan perlengkapan / logistic (dapur umum, tenda, posko, dll)
j. Distribusi bahan kebutuhan pokok, bantuan kesehatan
k. Pencatatan dan pelaporan (data korban, data logistic)
l. Pengaktifan system perlindungan dan keamanan terpadu
3. PASCA BENCANA
a. Pengamatan terhadap dampak bencana (fisik, social, dan psikologis korban)
b. Membantu memulihkan kondisi emosi korban, tim kesehatan bersama masyarakat dan
profesi lain yang terkait bekerja sama dengan unsur lintas sector menangani masalah
kesehatan masyarakat pasca gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan menuju
keadaan sehat dan aman
c. Rehabilitasi :
Sediakan shelter semi permanen untuk kelompok rentan (ibu hamil, bayi, anak, dan
lansia)
Sediakan fasilitas pendidikan semi permanen
Evaluasi korban sakit / post operasi
Evaluasi trauma psikis
Monitoring dan evaluasi
d. Rekonstruksi :
Evaluasi impact dan resived
Perencanaan pembangunan infrastruktur
Monitoring dan evaluasi
e. Pemberdayaan : pembangunan integrative partisipatif 9libatkan pemerintah dan LSM
integrative)
6. DAMPAK DARI BENCANA BAGI KESEHATAN
Dampakbencana bagi kesehatan penduduk dapat dibagi menjadi
dua yaitu:
1. dampak langsung (misalnya luka/cedera dan trauma psikologis) dan
2. dampak tidak langsung
(misalnya meningkatnya tingkat penyakit infeksi, kekurangan gizi dan komplikasi
penyakit menahun).
Dampak tidak langsung dari bencana terhadap kesehatan penduduk terkena
bencana biasanya terkait dengan faktor-faktor seperti tidak memadainya jumlah
dan kualitas air bersih, tidak berfungsinya sanitasi,lingkungan yang kotor dan
tercemar, terputusnya pasokan makanan, terganggunya pelayanan kesehatan dan
jumlah pengungsi yang terlalu padat di satu lokasi pengungsian.
Pemanasan Global
Peningkatan sushu global sangat besar pengaruhnya pada vektor serangga dalam
penyebaran penyakit disamping iklim sendiri merupakan salah satu faktor yang
penting bagi berbagai jenis penyakit yang ditularkan melalui vektor (hewan yang
membawa mikroorganisme patogen), penyakit saluran cerna, dan penyakit yang
berhubungan dengan penularan melalui air. Salah satu vektor tersebut adalah nyamuk
yang menularkan malaria dan penyakit virus seperti dengue dan demam kuning.
Nyamuk membutuhkan genangan air untuk berkembang biak dan nyamuk dewasa
membutuhkan kondisi yang lembab agar dapat hidup. Suhu yang lebih hangat
meningkatkan perkembangbiakan nyamuk dan mempersingkat waktu pematangan
dalam badan vektor tersebut sehingga vektor lebih cepat menjadi infeksius. Selain itu,
suhu mempengaruhi perilaku nyamuk yang memungkinkan terjadinya penularan.
Suhu yang lebih hangat cenderung meningkatkan perilaku menggigit nyamuk dan
menghasilkan nyamuk dewasa yang lebih kecil sehingga membutuhkan darah yang
lebih banyak agar dapat bereproduksi.
Salah satu penyakit menular yang disebarkan oleh nyamuk yang paling sensitif
terhadap perubahan iklim jangka panjang adalah malaria. Penyakit ini banyak
terdapat di daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia, namun dengan
memanasnya permukaan bumi akan terjadi penyebaran nyamuk ke negara-negar yang
sebelumnya bersuhu lebih rendah yang tidak terdapat nyamuk malaria sehingga akan
beresiko terjadinyan peningkatan kaus penyakit malari di seluruh dunia.
Selain malaria, penyakit yang juga disebarkan oleh nyamuk adalah dengue. Dengue
umumnya terjadi pada cuaca yang lebih hangat dan lembab. Perubahan iklim
berkaitan dengan pola hujan. Pola hujan dapat mempengaruhi penyebaran berbagai
mikroorganisme yang dapat menyebarkan penyakit.
Suhu yang lebih tinggi dapat meningkatkan pembentukan polutan udara selain
karbondioksida. Gas yang berasal dari pembakaran bahan bakar seperti minyak dan
batu bara menambah polusi udara. Paparan polutan tersebut dapat memperberat
penyakit kardiovaskular dan pernapasan sehingga dapat menyebabkan kematian dini.
Perubahan iklim global disertai dengan peningkatan frekuensi dan intensitas
gelombang panas (heatwaves). Suhu yang terlalu ekstrem dapat menyebabkan
kematian, selama musim dingin tingkat kematianlebih tinggi 25-30% dibandingkan
selama musim panas. Sebagian besar kematian terjadi pada orang-orang yang
sebelumnya sudah memiliki penyakit tertentu terutama penyakit kardiovaskular dan
penyakit pernapasan. Lansia dan anak-anak merupakan golongan yang paling rentan.
Pemanasan global juga menyebabkan musim penyerbukan berlangsung lebih lama
sehingga meningkatkan resiko munculnya penyakit yang ditimbulkan oleh kutu di
wilayah Eropa Utara. Peyakit lain yang teridentifikasi adalah lyme, yang disebabkan
oleh semacam bakteri di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Gejalanya berupa sakit
kepala, kejang, dan nyeri sendi. Penyakit itu berpindah melalui gigitan sejenis kutu
rusa yang yang telah terinfeksi lyme. Bakteri yang sama juga benyek ditemukan pada
tikus.
Bencana Gempa Bumi dan Tsunami
Secara psikososial bisa diperkirakan, akan bereaksi terhadap pengalaman traumatik
ekstrem dengan menampilkan gejala ketakutan, keputusasaan, ketakberdayaan,
penghidupan kembali peristiwa traumatik dalam jiwa mereka, dan perilaku
menghindar terhadap ingatan traumatik. Bahkan peristiwa ini akan dialami kembali
peristiwa traumatik itu dalam mimpi-mimpi dan pembicaraan mereka sehari-hari.
Mereka akan menghindari segala sesuatu yang diperkirakan bakal membawa kembali
ingatan akan peristiwa traumatik yang pernah terjadi.
Mereka yang mengalami bencana akan mengalami penderitaan biopsikososial berupa
penumpulan kemampuan dan perasaan dalam menanggapi lingkungan. Dan di sana-
sini kehidupan mereka akan terganggu oleh kewaspadaan dan kepekaan berlebih
terhadap sekadar perubahan suara, perubahan keadaan, dan aneka perubahan kecil
lain yang sebenarnya wajar terjadi di tengah kehidupan sehari-hari.
Semua gejala itu di sana-sini bakal berlangsung lebih dari sebulan setelah bencana hal
akan sangat memengaruhi kehidupan orang –orang yang mengalami bencana tersebut
misalnya dalam kehidupan keluarga dan pekerjaan.
Dalam ilmu kedokteran jiwa, himpunan gejala-gejala itu dikenal dengan sebutan
gangguan stres pascatrauma. Gejala-gejala gangguan stres pascatrauma bisa mulai
muncul tujuh hari hingga 30 tahun setelah peristiwa traumatik ekstrem. Jadi kurun
waktu efek trauma bisa begitu panjang.
KENDATI efek trauma gempa dan tsunami begitu dahsyat, harapan perbaikan dan
kesembuhan tetap ada. Perbaikan dan kesembuhan amat terkait dengan ketersediaan
dukungan sosial serta pengelolaan profesional (pengobatan dan psikoterapi) untuk
korban. Pada tahun 2003 dua psikiater tersohor, BJ Sadock dan VA Sadock, menulis
dalam buku mereka, insan-insan yang memiliki atau terlayani oleh jejaring dukungan
sosial yang baik lebih mungkin terhindar dari gangguan stres pascatrauma, atau jika
mereka mengidap gangguan stres pascatrauma, tingkat keparahannya tidak akan
terlalu tinggi dan mengalami perbaikan serta penyembuhan lebih cepat.
Bencana Banjir
Dapat mencemari air dengan cara memindahkan kotoran manusia dan hewan ke air
tanah. Organisme yang ditemukan antara lain kriptosporodium, giardia, dan E.coli
yang dapat menyebabkan penyakit seperti diare. Penularan penyakit saluran cerna
seperti diare bukan hanya melalui kontaminasi air, tetapi juga dapat meningkat akibat
suhu tinggi, melalui efek langsung pada pertumbuhan organisme di lingkungan.
Banjir juga dapat memberikan tempat yang sesuai untuk nyamuk berkembang biak
sehingga jumlahnya bertambah. Banjir juga menimbulkan penyakit menular seperti
leptospirosis akibat adanya kontaminasi air dengan kotoran tikus. Penyakit-penyakit
yang disebabkan oleh tercemarnya air dengan mikroorganisme patogen umumnya
terjadi di negara-negara miskin, dimana pasokan air dan sanitasi tidak adekuat.
Wabah seperti kolera, tifoid, dan diare timbul setelah banjir, sedangkan kekeringan
menyebabkan kurangnya air yang tersedia untuk mencuci dan sanitasi serta
meningkatkan resiko terjadinya penyakit menular..
Apa yang hurus dilakukan
Kita sebagai tenaga kesehatan sangat berperan dalam mengurangi dampak secara
langsung dengan meningkatkan pelayanan kesehatan primer, terutama untuk populasi
yang rentan seperti balit, hal ini dapat dilakukan denga peningkatan pelayanan balita
secara MTBS, karen pelayanan MTBS ini merupakan pelayanan terpadu dan
menyerlurh terhadap kesehatan balita.
DAFTAR PUSTAKA
http://dcolz.files.wordpress.com/2010/12/asuhan-keperawatan-bencana.pdf