A11dda_BAB II Tinjauan Pustaka
-
Upload
rose-novita-sari-h -
Category
Documents
-
view
210 -
download
9
Transcript of A11dda_BAB II Tinjauan Pustaka
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fauna Tanah Sebagai Suatu Komunitas
Fauna tanah merupakan organisme yang seluruh atau sebagian besar daur
hidupnya dilakukan di dalam tubuh tanah juga permukaan tanah yang berperan
dalam membantu mendekomposisi bahan organik (Suin, 2006). Menurut
Rahmawaty (2004), fauna tanah adalah bagian dari organisme tanah yang
merupakan kelompok heterotrof utama dalam tanah. Fauna tanah yang tergolong
dalam kelompok heterotrof ini mendapatkan energi dari substrat organik dalam
tanah. Selain itu terdapat pula kelompok autotrof yang tidak memerlukan energi
dari substrat organik (Singer dan Munns, 2006).
2.1.1. Lingkungan Hidup Fauna Tanah Tanah didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang
tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Kegiatan biologis seperti
pertumbuhan akar dan metabolisme mikroba dalam tanah berperan dalam membentuk
tekstur dan kesuburannya (Rao, 1986). Lingkungan tanah merupakan lingkungan
yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik.
Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat
dijadikan tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup. Kualitas tanah
merupakan kemampuan tanah yang menggambarkan ekosistem tertentu untuk
keberlanjutan sistem pertanian. Kualitas tanah menunjukkan sifat fisik, kimia dan
biologi tanah yang berperan dalam menyediakan kondisi untuk pertumbuhan
tanaman, aktivitas biologi, mengatur aliran air dan sebagai filter lingkungan
terhadap polutan (Doran dan Parkin, 1994).
Menurut Burges dan Raw (1967), sifat biologi tanah merupakan kisaran luas
dari organisme hidup yang tinggal di dalam tanah dan mendukung secara
langsung produktivitas serta kelestarian dari ekosistem terestrial. Adapun
komponen sifat biologi tanah itu terdiri dari fauna tanah, bakteri, fungi, akar
tanaman, dan biji-bijian. Fauna tanah termasuk ke dalam salah satu komponen sifat
biologi tanah. Kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena
keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat
ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan perkataan lain keberadaan dan
5
kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat tergantung dari
faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Fauna tanah
merupakan bagian dari ekosistem tanah, oleh karena itu dalam mempelajari ekologi
fauna tanah, faktor fisika-kimia tanah selalu diukur (Suin, 2006).
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan
kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu tanah akan
menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih
rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara. Suhu tanah
lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim.
Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah
(Suin, 2006). Menurut Wallwork (1970), besarnya perubahan gelombang suhu di
lapisan yang jauh dari tanah berhubungan dengan jumlah radiasi sinar matahari yang
jatuh pada permukaan tanah. Besarnya radiasi yang terintersepsi sebelum sampai pada
permukaan tanah, tergantung pada vegetasi yang ada di atas permukaannya. Pengukuran pH tanah juga sangat diperlukan dalam melakukan penelitian
mengenai fauna tanah. Suin (2006) menyebutkan bahwa ada fauna tanah yang hidup
pada tanah yang pH-nya asam dan ada pula yang senang hidup pada tanah yang
memiliki pH basa. Untuk jenis Collembola yang memilih hidup pada tanah yang asam
disebut dengan Collembola golongan asidofil, yang memilih hidup pada tanah yang
basa disebut dengan Collembola golongan kalsinofil, sedangkan yang dapat hidup
pada tanah asam dan basa disebut Collembola golongan indifferen.
Keadaan iklim daerah dan berbagai tanaman yang tumbuh pada tanahnya
serta berlimpahnya mikroorganisme yang mendiami suatu daerah sangat
mempengaruhi keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme. Faktor-faktor lain
yang mempunyai pengaruh terhadap keanekaragaman relatif populasi
mikroorganisme adalah reaksi yang berlangsung di dalam tanah, kadar kelembaban
serta kondisi-kondisi serasi (Sutedjo et al., 1996). Menurut Soepardi (1983),
dibandingkan dengan area yang masih utuh, lahan yang diusahakan umumnya
mempunyai jumlah dan biomassa fauna tanah lebih sedikit, sedangkan penggunaan
lahan dengan praktek pengelolaan lahan seperti penggunaan pupuk organik,
pengelolaan lahan dengan mempraktekan teknik konservasi tanah dan air dapat
meningkatkan jumlah, biomassa, dan keragaman fauna tanah.
6
2.1.2. Klasifikasi Fauna Tanah
Fauna tanah merupakan komponen dari komunitas dalam tanah yang dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori tergantung dari tujuannya, yaitu:
ukuran tubuh, habitat, pola makan, dan kehadiran dalam tanah.
2.1.2.1. Ukuran Tubuh
Van der Drift (1951) membagi fauna tanah berdasarkan ukuran tubuh
menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. Kelompok mikrofauna yang memiliki ukuran tubuh < 0.2 mm.
2. Kelompok mesofauna yang memiliki ukuran tubuh 0.2 - 2.0 mm.
3. Kelompok makrofauna yang memilki ukuran tubuh 2.0 - 20.0 mm.
4. Kelompok megafauna yang memilki ukuran tubuh > 20.0 mm.
Menurut Wallwork (1970), berdasarkan ukuran tubuhnya fauna tanah
dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Kelompok mikrofauna yang memilki ukuran tubuh 20 µm - 200 µm,
seperti: Protozoa, Acarina, Nematoda, Rotifera, dan Tardigrada.
2. Kelompok mesofauna yang memiliki ukuran tubuh 200 µm - 1 cm,
seperti: Acarina, Collembola, Nematoda, Rotifera, Araneida (Spiders),
Isopoda, Diplura, Protura, Mollusca, Diplopoda, dan larva Coleoptera.
3. Kelompok makrofauna yang memiliki ukuran tubuh > 1 cm, seperti:
Coleoptera, vertebrata kecil, dan Chilopoda.
Wild (1993) mengelompokkan fauna tanah menurut ukuran tubuh menjadi
3 kelompok, yakni mikrofauna (<0.1 mm), mesofauna (0.1-10 mm), dan
makrofauna (>10 mm). Sedangkan Suhardjono dan Adisoemarto (1997)
mengelompokkannya menjadi: (1) mikrofauna adalah kelompok binatang yang
berukuran tubuh < 0.15 mm, seperti: Protozoa dan stadium pradewasa beberapa
kelompok lain misalnya Nematoda, (2) Mesofauna adalah kelompok yang berukuran
tubuh 0.16 – 10.4 mm dan merupakan kelompok terbesar dibanding kedua kelompok
lainnya, seperti: Insekta, Arachnida, Diplopoda, Chilopoda, Nematoda, Mollusca, dan
bentuk pradewasa dari beberapa binatang lainnya seperti kaki seribu dan
kalajengking, (3) Makrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran panjang
tubuh > 10.5 mm, seperti: Insekta, Crustaceae, Chilopoda, Diplopoda, Mollusca, dan
termasuk juga vertebrata kecil.
7
2.1.2.2. Habitat
Sistem klasifikasi tanah berdasarkan habitatnya dibagi menjadi epigeon,
hemiedafon, dan eudafon. Epigeon merupakan fauna tanah yang hidup pada
lapisan tumbuhan di permukaan tanah. Hemiedafon merupakan fauna tanah yang
hidup pada lapisan bahan organik tanah, sedangkan Eudafon hidup pada lapisan
tanah mineral (Suin, 2006).
Menurut Van der Drift (1951) dalam Szujecki (1987) membedakan fauna
tanah berdasarkan habitatnya menjadi 3 kelompok yaitu endogeic (fauna yang
hidup pada lapisan tanah yang lebih dalam), epigeic (fauna yang hidup pada
serasah dan lapisan yang lebih dangkal), dan anecic (fauna yang hidup pada
permukaan tanah, namun terkadang dapat ditemui pada tanah yang lebih dangkal).
Sedangkan Goombridge (1992) mengklasifikasikannya menjadi 3 kategori,
yaitu:
1. Hemiedaphon adalah binatang tanah yang mendiami lapisan serasah
yang membusuk, contoh: kutu kayu dan kaki seribu.
2. Epedaphon adalah binatang tanah yang mendiami permukaan tanah,
contoh: kumbang dan kalajengking.
3. Eudaphon adalah binatang tanah yang mendiami tanah mineral,
contoh: cacing tanah dan kutu.
2.1.2.3 Pola Makan
Berdasarkan kegiatan makannya fauna tanah ada yang bersifat herbivora,
saprovora, fungifora dan perdator (Suin, 2006). Sedangkan Wallwork (1970)
mengklasifikasikannya menjadi:
1. Carnivore yaitu predator dan binatang parasit, antara lain beberapa
anggota Coleoptera dari famili Carabidae, Pselaphidae, Scydmaenidae,
Staphylinidae, tungau Mesostigmatid dan Prostigmatid, Opiliones,
Chelonitida, Scorpion, Centipedes, Mollusca, Ichneumonidae, Diptera,
parasit dan beberapa Nematoda.
2. Phytophagus, terdiri dari pemakan tumbuhan (larva Lepidoptera dan
Mollusca), pemakan akar (Nematoda parasit tumbuhan, Symphyla,
beberapa larva Diptera, Scarabidae, Lepidoptera, Mollusca dan Orthoptera
pelubang).
8
3. Saprophagus yaitu fauna pemakan tumbuhan mati atau bahan organik
yang busuk, diantaranya Lumbricida, Enchytraeidae, Isopoda,
Milipedes, dan beberapa tungau Hemiedaphic, Collembola, dan
Coleoptera.
4. Microphytic-feeders yaitu pemakan jamur dan spora ; algae ; lichen dan
bakteri, diantaranya tungau Saprophagus, Collembola, serangga pemakan
jamur (semut, rayap, Nematoda, Mollusca, Protozoa)
5. Miscellaneus-feeders yaitu pemakan tumbuhan dan hewan segar atau
busuk ; kayu atau herba, diantaranya Nematoda, tungau Cryptostigmata,
Collembola, larva Diptera, dan Coleoptera.
2.1.2.4. Kehadirannya Dalam Tanah
Berdasarkan kehadirannya, Coleman et al. (2004) membagi fauna tanah
menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Transient à yaitu fauna tanah yang saat fase tidur (istirahat) berada di
dalam tanah, pada saat musim dingin sebaliknya hidup dan beraktivitas
pada lapisan tanaman, seperti ”Ladybird beetle”.
2. Temporary residents à yaitu fauna tanah yang pada fase telur hingga
”juvenile” berada di dalam tanah sedangkan pada fase dewasa hidup di
atas permukaan tanah, seperti Tipula spp.
3. Periodic residents à yaitu fauna tanah yang menghabiskan hidupnya di
dalam tanah. Fase dewasa terkadang hidup di atas permukaan tanah,
seperti Forticula spp.
4. Permanent residents à yaitu fauna tanah yang secara permanen menetap
di dalm tanah dan mampu beradaptasi pada berbagai kedalaman tanah,
seperti Collembola.
2.1.3. Ekstraksi Fauna Tanah
Menurut Suin (2006), ekstraksi contoh fauna tanah pada prinsipnya dibagi
menjadi dua metode, yaitu metode dinamik dan metode mekanik. Pada metode
dinamik fauna tanah dirangsang untuk berkumpul pada bejana koleksi dan
kemudian diambil. Sedangkan pada metode mekanik fauna tanah yang hidup dan
9
berada pada contoh tanah diperlakukan sedemikian rupa sehingga secara pasif
fauna tersebut akan terkumpul pada bejana koleksi.
Masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Dalam metode dinamik, fauna yang nantinya akan terkumpul hanyalah fauna yang
hidup dan aktif sehingga mampu mencapai bejana koleksi. Melihat kondisi
tersebut, maka fauna yang lemah tidak akan dapat terambil karena tidak mampu
mencapai bejana koleksi. Kelemahan ini menyebabkan contoh yang didapat akan
lebih rendah dari kenyataan yang sebenarnya. Selain itu, pupa dan telur tidak akan
didapat. Terjadi sebaliknya pada metode mekanik, akan didapat contoh yang
melebihi kenyataan yang sebenarnya karena hewan yang telah mati pun dapat
terkumpul. Namun dengan metode ini hewan yang terambil sering tidak dalam
kondisi utuh.
2.1.3.1. Alat Ekstraksi Kering
Ekstraktor kering seperti pada alat corong Berlese Tullgren menggunakan
panas untuk memaksa fauna tanah menuju bejana koleksi. Beberapa alat yang
termasuk dalam ekstraktor kering antara lain corong Berlese (Berlese Funnel),
ekstraktor horizontal (Horisontal Extractor), ekstraktor canister (Multiple
Canister Extractor), dan ekstraktor bejana Kempson (Kempton Bowl Extractor).
2.1.3.2. Alat Ekstraksi Basah
Perlakuan ekstraksi basah yang sederhana adalah dengan memakai alat
corong Baerman. Pada alat ini, tanah tetap dalam keadaan basah atau dijenuhkan
dengan air. Terdapat sumber panas berupa lampu bohlam. Pemanasan yang
diberikan tersebut akan menyebabkan fauna tanah yang ada dalam contoh tanah
keluar dan menuju bejana koleksi.
Alat ekstraksi corong Baerman dapat digunakan untuk mengekstraksi
nematoda dan Enchytraeidae. Banyak juga modifikasi dari corong Baerman yang
telah dibuat oleh para peneliti antara lain yang dibuat oleh Nielsen tahun 1952
yang baik sekali digunakan untuk mengekstraksi cacing Enchytraeidae dari tanah.
10
2.1.4. Beberapa Contoh Fauna Tanah
1. Acari
Kelompok Acari yang sering dijumpai di tanah yaitu Oribatida,
Prostigmata, Mesostigmata, dan Astigmata. Oribatida merupakan kelompok
saprophagus. Sedangkan Mesostigmata merupakan kelompok Acari yang hampir
seluruh anggotanya merupakan predator bagi fauna tanah lain yang berukuran
lebih kecil (Coleman et al., 2004).
Acari memiliki panjang tubuh antara 0.1 mm sampai 2 mm. Warna tubuh
Acari mulai dari coklat muda hingga hitam dengan bentuk tubuh yang bervariasi.
Ukuran tubuh Acari akan semakin mengecil seiring dengan kedalaman tanah
tempat tinggalnya. Acari berperan dalam menghancurkan bahan organik ke
ukuran yang kebih kecil, mengaduk bahan organik, dan berpengaruh pada
dinamika populasi fungi (Gobat et al., 2004).
2. Collembola
Collembola merupakan salah satu kelompok mikroarthropoda yang
memiliki distribusi menyebar pada berbagai jenis tanah di dunia. Warna tubuh
Collembola bervariasi dari pucat hingga mencolok, yaitu putih, abu-abu, biru tua,
hitam sampai merah merona. Ukuran tubuh Colembolla berkisar antara 0.25 mm
sampai 8.0 mm (Coleman et al., 2004).
Collembola umumnya ditemukan pada lapisan teratas serasah daun,
terutama dari jenis Entomobrydae. Jenis Collembola yang hidup pada atau dekat
dengan permukaan tanah umumnya memiliki tubuh dengan warna yang lebih
mencolok, indera yang berkembang dengan baik, serta memiliki antena dan
furkula. Jenis lain yang berukuran lebih kecil lebih banyak ditemukan pada bagian
tanah yang lebih dalam dengan karakteristik sebaliknya, yaitu warna yang pucat,
indera yang kurang berkembang dengan baik, dan tanpa furkula. Bahan organik
yang biasa dicerna mencakup hifa dan spora fungi, sisa-sisa tanaman, dan
ganggang hijau uniseluler (Wallwork, 1976). Collembola berpengaruh pada
dinamika populasi fungi karena kebiasaannya memakan hifa dan spora fungi
(Gobat et al., 2004).
11
3. Hymenoptera
Hymenoptera merupakan salah satu ordo serangga yang terbesar dan
memiliki peranan sebagai ecosystem engineer bersama dengan cacing tanah dan
rayap. Kelompok fauna tanah ini termasuk serangga sosial atau serangga yang
hidupnya membentuk koloni. Hymenoptera, terutama yang berasal dari kelompok
Formicidae memiliki pengaruh besar terhadap struktur tanah, terutama di
lingkungan gurun di mana cacing tanah memiliki kepadatan yang rendah
(Coleman et al., 2004).
Hymenoptera umumnya merupakan phytophagus dan dalam habitatnya
akan berperan sebagai predator utama fauna tanah lain yang berukuran lebih kecil,
seperti Acari dan Collembola. Tingginya kepadatan populasi Hymenoptera pada
suatu habitat akan mengurangi kepadatan predator lainnya pada habitat tersebut,
seperti Aranae dan Coleoptera (Coleman et al., 2004).
4. Isoptera
Rayap (Isoptera) merupakan serangga sosial seperti Hymenoptera. Isoptera
dibedakan menjadi 3 kelompok berdasarkan makanannya, yaitu pemakan kayu
(selulosa), pemakan humus atau perombak bahan organik, dan pemakan fungi
(Richards, 1974). Menurut Borror et al. (1989) umumnya Isoptera mampu hidup
pada habitat yang lembab ( di dalam tanah) dan kering (di atas tanah).
2.2. Peranan Fauna Tanah
Keanekaragaman organisme tanah menciptakan keragaman fungsi dan
proses dalam tanah. Setiap komunitas organisme menjalankan fungsi yang
berbeda, antara lain sebagai penambat nitrogen, pelarut fosfat, perombak bahan
organik, penghasil fitohormon dan antibiotik, dan dapat dipandang sebagai arsitek
ekosistem tanah. Salah satu organisme penghuni tanah yang berperan sangat besar
dalam perbaikan kesuburan tanah adalah fauna tanah. Beberapa peranan dari fauna
tanah antara lain dalam perbaikan kesuburan tanah dengan menghancurkan fisik,
menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas,
membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah,
memperbaiki struktur tanah melalui penurunan berat jenis, peningkatan ruang
pori, aerasi, drainase, kapasitas penyimpanan air, penyebaran mikroba,
12
pencampuran partikel tanah, serta dekomposisi bahan organik. Selain itu berperan
juga pada aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, dan
pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994).
Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan dengan cepat bila
tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah. Makrofauna tanah mempunyai
peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dalam penyediaan unsur
hara. Makrofauna akan meremah-remah substansi nabati yang mati, kemudian bahan
tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran. Fauna tanah memainkan peranan
yang sangat penting dalam pembusukan zat atau bahan-bahan organik dengan cara :
(1) Menghancurkan jaringan secara fisik dan meningkatkan ketersediaan daerah bagi
aktifitas bakteri dan jamur; (2) Melakukan pembusukan pada bahan pilihan seperti
gula, sellulosa dan sejenis lignin; (3) Merubah sisa-sisa tumbuhan menjadi humus; (4)
Menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas; dan
(5) Membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah
(Barnes et al., 1997). Walaupun pengaruhnya terhadap pembentukan tanah dan
dekomposisi bahan organik bersifat tidak langsung, secara umum fauna tanah
dapat dipandang sebagai pengatur terjadinya proses dalam tanah.
Secara garis besar terdapat tiga kelompok invertebrata yang hidup di tanah,
yaitu mikrofauna (protozoa dan nematoda), mesofauna, dan makrofauna.
Mikrofauna memacu dekomposisi bahan organik dengan memperkecil ukuran
dengan ezim selulase yang kemudian dimanfaatkan oleh mikroba dekomposer
lainnya. Mesofauna dan makrofauna selain memperkecil ukuran sisa organik,
aktivitas metabolismenya menghasilkan feses yang mengandung berbagai hara
tersedia bagi tanaman maupun mikroba tanah. Beberapa makrofauna tanah seperti
cacing tanah dan rayap memiliki peran penting dalam mempengaruhi kesehatan
dan produktivitas tanah. Cacing tanah yang dalam siklus hidupnya dapat membuat
lubang/liang dalam tanah dapat mencegah pemadatan tanah, meningkatkan aerasi,
penetrasi akar, dan infiltrasi air. Kotoran cacing, yang merupakan campuran tanah
dan sisa organik yang telah tercerna, mengandung berbagai hara yang tersedia
bagi tanaman. Rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan
dekomposisi bahan organik.
13
2.3. Tanah Sawah
Tanah sawah dapat terbentuk dari tanah kering dan tanah basah atau tanah
rawa sehingga karakterisasi sawah-sawah tersebut akan sangat dipengaruhi oleh
bahan pembentuk tanahnya. Tanah sawah dari tanah kering umumnya terdapat di
daerah dataran rendah, dataran tinggi volkan atau nonvolkan yang pada awalnya
merupakan tanah kering yang tidak pernah jenuh air, sehingga morfologinya akan
sangat berbeda dengan tanah sawah dari tanah rawa yang pada awalnya memang
sudah jenuh air.
Pengelolaan tanah sawah (padi) mempunyai ciri khas bila dibandingkan
dengan pengelolaan tanah untuk budidaya tanaman lain. Hal yang
membedakannya adalah karena tanah tersebut mengalami proses penggenangan
dan pelumpuran. Proses pelumpuran dapat didefinisikan sebagai penghancuran
agregat tanah menjadi lumpur yang sama rata, yang dilakukan dengan
menggunakan kekuatan mekanis terhadap tanah pada kadar kelengasan tinggi
(Sanchez, 1976). Profil tanah yang tergenang tidak seluruhnya tereduksi, zona
oksidasi dijumpai pada lapisan tipis di permukaan dan pada rhizosfer. Oksidasi
pada rhizosfer disebabkan karena kemampuan tanaman padi mensuplai oksigen
oleh aerenkima ke daerah perakaran (Yoshida, 1981).
2.4. S.R.I. (System of Rice Intensification)
2.4.1. Sejarah S.R.I.
S.R.I. kependekan dari System of Rice Intensification, namun awalnya
S.R.I. adalah kependekan dari "Systeme de Riziculture Intensive". S.R.I.
merupakan salah satu metode budidaya padi yang dikembangkan sejak tahun
1980-an oleh pastor sekaligus agrikulturis Perancis, Fr. Henri de Laulanie, yang
ditugaskan di Madagaskar sejak 1961. Saat itu, penyebaran metode S.R.I. ini
terbatas dan hanya diketahui oleh beberapa petani setempat. Akhirnya, metode
S.R.I. mulai mendunia sejak tahun 1990-an sebagai hasil dari usaha Prof. Norman
Uphoff (mantan direktur Cornel International Institute for Food, Agriculture and
Development) yang tidak pantang menyerah. Sejak tahun 1999, untuk pertama
kalinya S.R.I. diuji di luar Madagaskar yakni di Indonesia dan China. Selanjutnya,
14
metode S.R.I. pun diuji coba di lebih dari 25 negara dengan hasil panen lebih dari
8 ton dan bahkan ada yang mencapai hasil panen 20 ton/ha.
2.4.2. Prinsip Budidaya Padi Metode S.R.I.
Terdapat beberapa prinsip dalam penerapan metode S.R.I., yakni:
a.) Transplantasi bibit ke lapangan dilakukan lebih awal (bibit muda).
b.) Penanaman bibit tidak dilakukan secara berumpun melainkan satu-satu
c.) Penanaman dengan jarak tanam yang lebar.
d.) Pengairannya dilakukan dengan sistem irigasi berselang (kondisi tanah tetap
lembab tapi tidak tergenang air).
e.) Dilakukan penyiangan sebanyak 2-3 kali untuk membersihkan gulma dan
memperbaiki struktur dan aerasi tanah.
2.4.3. Keunggulan Metode S.R.I.
Metode S.R.I. mempunyai beberapa keunggulan diantaranya:
a.) Tanaman padi dengan metode S.R.I. merupakan tanaman hemat air, sebab
selama pertumbuhan mulai dari tanam sampai panen maksimum pemberian air
adalah setinggi 2 cm dan paling baik dalam kondisi macak-macak setinggi 5
mm serta terdapat sistem irigasi terputus yakni periode pengeringan sampai
tanah retak.
b.) Hemat waktu, sebab bibit di taman ke lahan setelah 5-12 hari dari penyemaian
(bibit muda) sehingga waktu panen dapat dilakukan lebih awal.
c.) Cenderung lebih hemat biaya, tidak diperlukannya biaya untuk pancabutan
bibit, biaya pindah bibit, dan lainnya.
d.) Produksinya meningkat, pada beberapa tempat bisa mencapai 11 ton/ha.
e.) Metode S.R.I. merupakan metode yang ramah lingkungan, lebih cenderung
untuk menggunakan pupuk organik seperti pupuk kandang, kompos, dan MOL
(Mikro-Organisme Lokal). Begitu juga untuk penggunaan pestisida organik
akan lebih diprioritaskan.
15
2.4.4. Manfaat Metode S.R.I.
Secara umum manfaat dari penanaman padi dengan metode S.R.I. adalah
sebagai berikut:
a.) Penggunaan air untuk sistem irigasinya lebih hemat 70 – 80 % dibanding
dengan penanaman konvensional, sebab metode S.R.I. tidak menghendaki
penggenangan air yang berlebihan (macak-macak).
b.) Mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang, sebab metode
S.R.I. terbukti mampu memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah serta
mampu menciptakan keseimbangan ekologi tanah.
c.) Membuka lapangan pekerjaan di pedesaan sehingga mampu mengurangi
jumlah pengangguran serta meningkatkan penghasilan keluarga petani.
d.) Menghasilkan produksi beras yang terbebas dari residu kimia sehingga
kesehatan para konsumen pun terjamin.
e.) Mampu membentuk petani mandiri yang dapat meneliti serta menjadi ahli
di lahannya sendiri. Tidak bergantung pada pupuk dan pestisida kimia
buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka.