Adab Islami Dalam Hutang Piutang

25
ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG / ي ف رض لق ا داب ا ه ق ف ل ا ي م لا س لا اPosted on Maret 2, 2012 | 2 Komentar Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc DOA AGAR TERBEBAS DARI HUTANG Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman. Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. PENGERTIAN HUTANG PIUTANG: Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al- Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. (Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)

Transcript of Adab Islami Dalam Hutang Piutang

Page 1: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG / في القرض آداباإلسالمي الفقه

Posted on Maret 2, 2012 | 2 Komentar

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc

DOA AGAR TERBEBAS DARI HUTANG

Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang

namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada

pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada

yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit

rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya

dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang

dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.

Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan

untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan

seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam

neraka. 

PENGERTIAN HUTANG PIUTANG:

Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan

istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti

memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh,

karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. (Lihat Fiqh

Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)

Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan

harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan

memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan

Page 2: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

padanannya. (Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dariMauqif Asy-Syari’ah Min Al-

Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29).

Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak

milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari

sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp.

1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan

uang sejumlah satu juta juga.

HUKUM HUTANG PIUTANG:

Hukum Hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang

yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan

adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang

besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah

sebagaimana berikut ini:

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah I: “Siapakah yang mau memberi pinjaman

kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah

akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.

Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu

dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi

r pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau

membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan

unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai

Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda, 

“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik

dalam mengembalikan hutang.”(HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-

Ibil(no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha

Khairan Minhu (no.1600)

Nabi r juga bersabda: “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya

dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan

oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389)).

Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma‘ tentang

disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).

Adapun hokum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah

sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi r pernah berhutang. (HR. Bukhari IV/608

(no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086)).

Page 3: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

Namun meskipun berhutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan dalam syariat

Islam, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal

mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan

ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah r, merupakan penyebab kesedihan di

malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq,

sebagaimana sabda Rasulullah r: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka

dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).

Rasulullah r pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih

meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah r

bersabda: “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.”

(HR. Muslim).

Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan

menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:

BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:

[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.

Dalilnya firman Allah I: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah

tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan

hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan

janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,

maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan

(apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah

ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang

lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,

maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua

orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka

(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,

supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu

enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu

menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang

demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih

dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali

jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak

ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu

berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu

lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada

Page 4: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui

segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)

Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk

dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi

non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih

menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan

salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar

tidak mendatangkan keraguan”. (Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316).

[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau

manfaat dari orang yang berhutang.

Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka

hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan

penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan

manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para

ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan

syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari

pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan

mencari kompensasi atau keuntungan. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147)

Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun

rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah

dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat

dari Allah ta’ala.

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang

terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan.

(Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat

dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan

rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak

dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan,

inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri,

atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap,

maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi,

Shalih Al-Fauzan, II/51).

[3]. Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan

Dari Abu Hurairah t, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu)

seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun

berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya,

Page 5: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi

(pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah

menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r

bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam

pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)

Dari Jabir bin Abdullah t ia berkata: “Aku mendatangi Nabi r di masjid, sedangkan beliau

mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR.

Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394)

[4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya

Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan

dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:

a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar

b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang

c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka

digunakan istilah hutang agar mau memberi.

d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.

Dari Abu Hurairah t, ia berkata bahwa Nabi r bersabda: “Barangsiapa yang mengambil

harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya),

maka Allah I akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk

menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka AllahI akan membinasakannya”.

(HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena

kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas. Berapa banyak orang yang

berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun

memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada

dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang

baik, maka Allah I membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah I melelahkan

badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena

memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana

dengan akhirat yang kekal nan abadi?

[5]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau

peminjaman

Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan

syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli,

menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda

Page 6: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504,

At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan

shahih”).

Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang

diharamkan.

[6]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang

yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.

Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.

Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah

keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah

menjadi permusuhan dan perpecahan.

[7]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa

pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

Rasulullah r bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya,

hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam  Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam

kitab Al-buyu’, dan selainnya).

[8]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas

hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk

memohonnya.

Dari Jabir bin Abdullah t, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia

meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang

agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun

mendatangi Nabi r meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun

tidak mau. Beliau r berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu

Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu

datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau r pun datang lalu duduk

dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak

disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405).

[9]. Bersegera melunasi hutang

Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin

tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab

orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia

tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi r: “Menunda

(pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”. (HR. Bukhari no.

Page 7: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628

dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah t, ia berkata, telah bersabda Rasulullah r: “Sekalipun

aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari

tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang”. (HR Bukhari no. 2390)

 [10]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan

dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.

Allah I berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah

tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)

itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 280).

Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah r bersabda:

“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pent),

maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang

kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (Shahih Ibnu Majah no. 1963)

Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang.

Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan

berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.

[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM, Edisi, Tanggal 15 November 2010]

Pinjam-Meminjam Menurut Tinjauan Al-qur'an dan Sunnah

Pinjam-Meminjam

Menurut Tinjauan Al-qur'an dan Sunnah

Page 8: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

A.  Muqodimah

      Sejarah mencatat, dan kita semua mengetahui betapa susah dan pahitnya hidup

ditengah-tengah negara yang sedang dilanda krisis, diantaranya adalah krisis moral,

keyakinan dan yang tidak kalah pentingnya adalah krisis ekonomi. Setiap individu

berharap serta berangan-rangan, bagaimana bisa hidup berkecukupan dan tidak

kekurangan dari hal-hal yang dibutuhkan. Dan ini merupakan harapan yang sangat

mustahil bisa tercapai. Karena pada hakekatnya manusia itu adalah makhluk sosial

yang membutuhkan bantuan orang lain dan ini tidak dapat dipungkiri.

          Manusia hidup erat hubungannya dengan muamalah dengan  individu yang lain.

Masing-masing berusaha dengan berbagai upaya, untuk menciptakan suatu kondisi

yang memudahkan keberlangsungan hidupnya. Tentunya didalamnya tidak lepas dari

hubungan timbal balik, tolong menolong diantara sesama, lebih terkusus lagi dalam hal

pinjam meminjam barang. Sehingga manusia sangat mudah mendapatkan barang yang

ia inginkan dan tidak harus membelinya. Karena islam telah mengajarkan umat

manusia untuk bebuat baik dan tolong-menolong diantaranya dalam masalah pinjam

meminjam barang.

          Akan tetapi ironisnya, banyak kita jumpai akhir-akhir ini, kalangan yang ingin

memanfaatkan kesempatan ditengah-ditengah kesempitan orang lain. Mereka

membantu dengan meminjami barang dengan motif untuk mendapatkan

keberuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian tidak heran, seandainya

banyak individu yang dirugikan dan merasa dizhalimi. Maka berangkat dari hal ini kami

ingin mengupas dan membahas bagaimana islam memutuskan hal ini? 

B.  Ta'rif Al-Qhordu

     Al-qhordu menurut bahasa adalah potongan,[1] sedangkan menurut syar'i adalah

menyerahkan uang kepada orang yang yang bisa memanfaatkannya kemudian ia

meminta kembaliannya sebesar uang tersebut.[2]

          Sedangkan menurut Sayid Sabiq Pinjaman adalah harta yang diberikan kreditur

kepada debitur (orang yang meminjam). Kemudian debitur mengembalikan pinjaman

tersebut  setelah dirinya mampu untuk mengembalikannya.[3]

Page 9: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

          Adapun menurut mazhab hanafi, pinjaman ialah harta yang dipinjamkan kepada

orang lain, dengan maksud harta tersebut akan dikembalikan kembali, atau dengan

ungkapan yang lebih tepat pimjaman ialah akad khusus yang disepakati oleh kedua

pihak yaitu antara kreditur (orang yang meminjami) dan debitur (orang yang dipinjami)

dalam masalah barang yang dipinjamkan, yang nantinya akan dikembalikan kembali.

[4] 

          Contohnya, orang yang membutuhkan uang berkata kepada orang yang layak

dimintai pinjaman "Pinjamkan untukku uang sebesar sekian, atau perabotan, atau

hewan hingga waktu tertentu. Kemudian aku  kembalikan kepadamu pada waktunya.

Orang dimintai pinjamanpun memberikan pinjaman uang kepada orang tersebut.

C.  Hukum Pinjaman dalam islam

, mengenai pahala orang yang memberikan pinjaman kepada orang lain.          Al-

qhordhu disunnahkan bagi pemberi pinjaman berdasarkan dalil berikut. Firman Allah

)11من ذا الذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له وله أجر كريم(

           akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan

memperoleh pahala yang banyak." pinjaman yang baik, maka Allah "Siapakah yang

mau meminjamkan kepada Allah  (Q.S Al-Hadid: 11)

Rosulullah bersabda,

كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب من نفس عن أخيهسوم القيامة

Page 10: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

           akan menghilangkan darinya salah satu kesulitan pada hari kiamat."" Barang

siapa menghilangkan salah satu kesulitan dunia dari sauadaranya. Maka Allah

(Diriwayatkan Imam Muslim)

          Adapun bagi muqtarid atau peminjam, maka diperbolehkan karena Rosulullah

pernah meminjam onta kepada Abu Bakar  Radiyallahu 'anhu dan mengembalikan

dengan onta yang lebih baik. Beliau bersabda,

إن من خير الناس أحسنهم قضاء

          "Sesngguhnya manusia yang baik adalah orang yang paling baik

pengembaliannya (utangnya)."(Diriwayatkan oleh Bukhari).

          Dan Rosulullah r juga pernah besabda,

رأيت ليلة األسرى بي على باب الجنة مكتوبا الصدقة بعشر أمثالها والقرض بثمانية عشر فقلت: يا جبريل مابال القرض أفضل من

الصدقة ؟ قال ألن السائل يسأل وعنده والمستعرض ال يستعرض إال منحاجة

        Ketika malam isra', saya melihat diatas pintu surga tulisan yang berbunyi,

Sedekah itu semisal dengan sepuluh (kebaikan) dan pinjaman itu semisal dengan

delapan belas (kebaikan). Maka saya berkata kepada jibril, "Wahai jibril, mengapa

pahala orang yang meminjamkan sesuatu itu lebih besar dari orang yang bersedekah?"

Jibril menjawab, "Karena orang yang meminta (sedekah) itu, meminta sesuatu

sedangkan dirinya mempunyai sesuatu itu. Sedangkan orang yang berhutang tidaklah

ia berhutang melainkan untuk keperluannya." (Diriwayatkan Ibnu Majah dan Al-baihaqi)

          Demikian pula al-qhordu diperbolehkan menurut ijma' kaum muslimin. Kaum

muslimin telah sepakat tentang bolehnya al-qhordu dan hal itu disunnahkan bagi para

kreditur dan hukumnya mubah bagi para debitur berdasarkan dengan dalil-dalil diatas.

Dan Abu darda' pernah berkata mengenai hal ini,

ألن أقرض دينارين ثم يردا ثم أقرضهما أحب إلي من أن أتصدق بهما

        "Sungguh dua dinar yang aku pinjamkan (kepada orang lain) kemudian uang

tersebut dikembalikan kepadaku, setelah itu aku meminjamkannya kembali,  itu lebih

aku sukai dari pada aku menyedekahkannya."

Page 11: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas berkata,

قرض مرتين خير من صدقة مرة

          "Meminjamkan sesuatu (kepada orang lain) sebanyak dua kali itu lebih baik

dari pada sedekah yang dilakukan hanya sekali."

Sedangkan menurut mazhab Hambali,

          "Sedekah itu lebih utama dari pada meminjamkan sesuatu (kepada orang lain),

maka dari itu tidak dosa bagi yang dipinjami sesuatu kemudian ia tidak

memberikannya.

Diantara hukum pinjaman sebagai berikut:

1.     Pinjaman dimiliki dengan  diterima. Jadi jika debitur atau peminjam telah menerimanya,

ia memelikinya dan menjadi tanggungannya.

2.    Pinjaman boleh sampai batas waktu tertentu. Tapi jika tidak sampai batas waktu

tertentu itu lebih baik karena itu meringankan debitur.

3.    Jika barang yang dipinjamkan itu tetap utuh seperti ketika saat dipinjamkan, maka

sikembalikan utuh seperti itu. Naun jika telah mengalami perubahan, kurang atau

bertanbah, maka dikembalikan dengan barang lain sejenisnya. Jika ada dan jika tidak

ada maka dengan uang seharga barang tersebut.

4.    Jika pengembalian pinjaman tidak membutuhkan biaya tramportasi. Maka boleh dibayar

ditempat manapun yang diinginkan kreditur jika merepotkan, maka debitur tidaj harus

mengembalikan ditempat lain.

5.    Kreditur haram hukumnya mengambil manfaat dari pinjaman dengan penambahan

jumlah pinjaman atau meminta kembalian pinjaman lebih baik atau manfaat lain yang

keluar dari akad perjanjian jika itu semua disyaratkan, atau berdasarkan kesepakatan

kedua belah pihak. Tapi jika penambahan pengembalian pinjaman itu bentuk itikad baik

dari debitur, itu tidak ada salahnya, karena Rosulullah r  memberi  Abu Bakar unta yang

lebih baik dari unta yang dipinjamnya dan beliau bersabda,    

Page 12: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

إن من خير الناس أحسنهم قضاء

          "Sesungguhnya menusia yang baik adalah orang yang paling baik pengembaliannya

(utangnya)."(Diriwayatkan oleh Bukhari).

D.  Syarat-syarat dalam meminjam barang

a.      Besarnya pijaman harus diketahui dengan takaran, timbangan dan jumlahnya.

b.      Sifar pinjaman dan usianya harus diketahui jika dalam bentuk hewan.

c.    Pinjaman berasal dari orang yang layak diminta pinjaman. Jadi pinjaman tidak syah dari

orang yang tidak memeliki sesuatu yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal

akalnya.[5]

E.  Akad dalam meminjam barang

      Akad yang dipakai dalam meminjam barang ialah akad tamlik ( kepemilikan),

maka tidak sempurna akad tersebut melainkan dilakukan oleh orang yang mampu

melakukannya. Dan akad ini  dianggap tidak syah, jika tidak ada pelaksanaan ijab dan

qobul antara kreditur dan debitur.

           Dengan demikian hubungan pinjam meminjam ini mengharuskan adanya lafadz

ijab dan qobul seperti akad yang dilakukan dalam jual beli dan pemberian. Sedangkan

lafadz yang digunakan ialah lafadz meminjam atau setiap lafadz yang memiliki makna

yang serupa dengannya.[6] Seperti, "Barang ini sekarang menjadi kepemilikanmu dan

suatu saat kamu harus mengembalikannya kepadaku" [7]

F.  Hukum menentukan waktu pengembalian

          Jumhur fuqoha' berpendapat bahwa tidak diperbolehkan bagi kreditur

menentukan waktu pengembalian barang yang ia pinjamankan. Sedangkan menurut

Page 13: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

imam Malik diperbolehkan menentukan waktu pengembaliannya dan  harus menetapi

syarat yang sudah ada.[8]

G.  Mengambil manfaat dari barang pinjaman

      Sesungguhnya adanya pinjam-meminjam tersebut bermaksud untuk mendekatkan

hubungan kesetiakawanan antara sesama muslim dan sebagai bentuk pertolongan

kepada orang-orang yang memang membutuhkan pertolongan. Hal ini bertujuan untuk

mempermudah keberlangsungan hidup diantara sesama muslim, bukan sebagai sarana

untuk mencari atau mengais rezeki apalagi dijadikan sarana untuk memperdayai orang

lain.

          Dengan demikian tidak boleh bagi sang peminjam mengembalikan pinjamannya

kepada debitur, melainkan ia harus mengembalikan barang yang ia pinjam sebelumnya

atau mengembalikan dengan barang yang serupa dan tidak menambahnya. Karena ada

sebuah  qoidah fikih yang berbunyi,

كل قرض جر نقعا فهو ربا

        "Setiap pinjaman yang yang difungsikan untuk mendatangkan manfaat, maka

itu termasuk riba."

          Larangan disini bersifat muqayad, artinya setiap manfaat  yang  ada karena

kesepakatan antara kedua belah pihak dan diketahui bersama. Tapi jika kreditur tidak

mensyaratkan hal tersebut atau tidak memberitahukannya. Maka diperbolehkan bagi

debitur untuk mengembalikan pinjaman tersebut dengan sesuatu yang lebih baik  atau

melebihkannya. Dan bagi kreditur tidak mengapa menerima yang demikian itu dan

hukumnya tidak makruh.

          Hal ini sebagaimana telah dilakukan rosulullah r kepada Jabir bin Abdullah yang

diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim bahwa Jabir bin Abdullah pernah

berkata,

كان لي على رسول الله حق فقضاني وزداني

Page 14: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

          "(Ketika itu), Rosulullah r mempunyai hak yang harus dipenuhi terhadap diriku,

kemudian beliau menunaikan hak tersebut dan memberikannya kepadaku dengan

melebihkan (kembaliannya)." (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad). [9]

          Dengan demikian pedoman yang dipakai dalam hal ini ialah setiap pinjaman yang

didalamnya diberlakukan syarat, yaitu harus ada tambahan  ketika barang

dikembalikan, maka hukumnya haram. Ibnu mundzir pernah berkata, Para ulama telah

sepakat, jika seorang yang kreditur membuat syarat kepada debitur, supaya menambah

pengembalian barang yang ia pinjamkan, maka ini termasuk riba.[10] 

          Dan hal ini serupa dengan fatwanya Dr.Yusuf Qaradawi, ketika beliau ditanya

tentang seseorang yang memberi pinjaman uang sebanyak seribu dirham kepada orang

lain dan dalam jangka waktu tertentu orang yang berhutang mengembalikan utang itu

sebesar seribu seratus atau seribu dua ratus dirham. Apakah perbuatan ini termasuk

riba?

dan Rosulnya. Dan barang siapa yang bersekutu dalam akad riba ini dia terkutuk

menurut lisan Nabi Muhamad          Beliau menjawab, Tidak ada perbedaan antara

emas, perak atau uang kertas. Dalam bermuamalah, uang kertas dalam hal ini

menduduki posisi emas dan perak dalam muamalah, karena itu hukumnya haram bila

dikelola secara riba. Saya tidak melihat adanya alasan untuk meragukan hal ini. Maka

barang siapa mengambil bunga atas uang kertas atau memberi bunga, maka ia telah

memasuki wilayah hukum riba yang diharamkan dan diancam akan diperangi oleh Allah

r yang telah melaknat pemakan hasil riba, yang menulisnya dan yang menjadi saksi.

[11]

H.   Ketentuan Barang yang boleh dipinjamkan

      Diperbolehkan meminjamkan pakaian dan hewan karena telah ada ketetepan dari

Rosul r, yaitu beliau pernah meminjam onta yang masih muda. Demikian juga barang

yang bisa ditakar dan ditimbang atau barang yang berbentuk barang perniagaan maka

barang tersebut syah atau  boleh dipinjamkan kepada orang lain. Bahkan 

diperbolehkan pula meminjamkan barang yang berbentuk roti adanon, hal sebagaimana

telah dilakukan oleh Ummul mukminin A'isyah dirinya berkata,

Page 15: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

قلت يارسول الله : إن الجيران يستعرضون الخبز والحمير ويردونالزيادة ونقصانا فقال ال بأس إنما ذلك من

مرافق الناس ال يراد به الفضل

        Saya berkata kepada Rosululloh r, Wahai Rosulullah, sesungguhnya tetangga

(kita) meminjam roti dan roti yang sudah diadoni, kemudian mereka

mengembalikannya dengan melebihkannya dan mengurangainya? Maka Rosulullah

bersabda, "Tidak mengapa, karena yang demikian itu merupakan bentuk kebersamaan,

bukan berharap sesuatu yang lebih dari (pinjaman tersebut}."[12]

          Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali mereka berpendapat,

Setiap barang (harta) yang biasa dijual-belikan dengan cara "Penjualan salam", maka

barang tersebut boleh dipinjamkan. Baik barang tersebut berupa barang yang bisa

ditakar atau ditimbang atau barang yang tidak bisa ditimbang. Contoh dari kedua

macam tersebut seperti, emas, perak, berbagai jenis makanan, barang-barang

perniagaan atau hewan dan semisalnya. Karena Rosulullah r pernah meminjam onta

yang masih berumur masih muda. Padahal onta tersebut tidak bisa ditakar maupun

ditimbang.

          Karena ketetapan yang dipakai dalam hal ini ialah setiap barang yang biasa

dijualkan belikan dengan penjualan salam yang memiliki sifat dan wujud yang jelas,

maka barang tersebut boleh dipinjamkan. Sedangkan barang yang termasuk dalam

katagori ini yang tidak boleh untuk dipinjamkan adalah barang yang berbentuk mutiara

atau yang semisalnya. Maka barang ini tidak boleh dipinjamkan, karena suatu saat akan

dikembalikan kembali.[13] Dan Abu Hurairah pernah berkata, Tidak boleh

meminjamkan barang yang tidak bisa ditakar dan ditimbang, karena barang tersebut

tidak ada yang serupa bentuknya, seperti mutiara.

          Sedangkan pinjaman yang berbentuk anak adam ataun manusia, mengenai hal

ini Imam Ahmad pernah berkata, "Hukumnya makruh meminjamnya, dan larangan

disini bersifat makruh tanzih." Sedangkan Al-Muzani dan Ibnu Juraij membolehkannya.

Adapun Al-Qhodi memilih atau mengambil pendapat yang pertama, yaitu hukumnya

makruh tanzih meminjam anak adam atau manusia.

Page 16: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

Referensi :

1.     Al Munawir

2.    Minhajul Muslim

3.    Fiqh Sunnah

4.    Al Mughni

5.    Fatwa – Fatwa Yusuf Qhardawi

6.    Fiqh Islami

7.    Al Mughni

1.    KEUTAMAAN QIRADH (PINJAM MEMINJAM)

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan di antara sekian

banyak kesusahan dunia dari seorang muslim, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan dari

sekian banyak kesusahan hari kiamat; barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang didera kesulitan,

niscaya Allah memberi kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya

selama hamba tersebut selalu menolong saudaranya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1888, Muslim IV: 2047 no:

2699, Tirmidzi IV: 265 no: 4015, ‘Aunul Ma’bud XIII: 289 no: 4925).

Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada orang muslim

yang lain dua kali, melainkan pinjaman itu (berkedudukan) seperti shadaqah sekali.”(Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 1389

dan Ibnu Majah II: 812 no: 2430).

2.    PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG

Dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah saw, bahwa Beliau bersabda, “Barangsiapa yang rohnya

berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong,

(kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1956, Ibnu Majah II: 806

no: 2412, Tirmidzi III: 68 no: 1621).

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga

dilunasi.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 6779 al-Misykah no: 2915 dan Tirmidzi II: 270 no: 1084).

Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang

satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi

Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1985, Ibnu Majah II: 807 no: 2414).

Dari Abu Qatadah ra bahwasannya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau

mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian

berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah,

apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah saw kepadanya “Ya, jika engkau gugur di jalan

Page 17: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah

bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (Shahih:

Irwa-ul Ghalil no: 1197, Muslim III; 1501 no: 1885, Tirmidzi III: 127 no: 1765 dan Nasa’i VI: 34).

3.    ORANG YANG MENGAMBIL HARTA ORANG LAIN DENGAN NIAT HENDAK DIBAYAR ATAU

DIRUSAKNYA

Dari Abi Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Barangsiapa mengambil harta orang lain dengan niat hendak

menunaikannya, niscaya Allah akan menunaikannya, dan barang siapa yang mengambilnya dengan niat hendak

merusaknya, niscaya Allah akan merusakkan dirinya.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 598 dan Fathul Bari V: 53 no:

2387).

Dari Syu’aib bin Amr, ia berkata: Shuhaibul Khair ra telah bercerita kepada kami, dari Rasulullah saw, bahwasannya

Beliau bersabda, “Setiap orang yang menerima pinjaman dan ia bertekad untuk tidak membayarnya, niscaya ia

bertemu Allah (kelak) sebagai pencuri.” (Hasan Shahih: Shahihul Ibnu Majah no: 1954 dan Ibnu Majah II: 805 no:

2410).

4.    PERINTAH MELUNASI HUTANG

Allah swt berfirman :

“Sesunguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh

kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah

memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha

Melihat.” (QS An-Nisaa’: 58).

5.    MEMBAYAR DENGAN BAIK

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Adalah Nabi saw pernah mempunyai tanggungan berupa unta yang berumur satu

tahun kepada seorang laki-laki. Kemudian ia datang menemui Nabi saw lalu menagihnya. Maka Beliau bersabda

kepada para Shahabat, “Bayar (hutangku) kepadanya.” Kemudian mereka mencari unta yang berusia setahun,

ternyata tidak mendapatkannya, melainkan yang lebih tua. Kemudian Beliau bersabda, “Bayarkanlah

kepadanya.” Lalu jawab laki-laki itu, “Engkau membayar (hutangmu) kepadaku (dengan lebih sempurna), niscaya

Allah menyempurnakan karunia-Nya kepadamu.” Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara

kamu adalah orang yang terbaik di antara kamu dalam membayar hutang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 225, Fathul Bari

IV: 58 no: 2393, Muslim III: 1225 no: 1601, Nasa’i VII: 291 dan Tirmidzi II: 389 no: 1330 secara ringkas).

Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata, “Saya pernah menemui Nabi saw di dalam masjid Mis’ar berkata, “Saya

berpendapat dia (Jabir) berkata: Di waktu shalat dhuha, kemudian Rasulullah bersabda, “Shalatlah dua raka’at.” Dan

Rasulullah pernah mempunyai tanggungan hutang kepadaku, lalu Rasulullah membayar lebih kepadaku.” (Shahih:

Fathul Bari V: 59 no: 2394, ‘Aunul Manusia’bud IX: 197 no: 3331 kalimat terakhir saja).

Dari Isma’il bin Ibrahim bin Abdullah bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi dari bapaknya dari datuknya, bahwa Nabi saw

pernah meminjam uang kepadanya pada waktu perang Hunain sebesar tiga puluh atau empat puluh ribu. Tatkala

Beliau tiba (di Madinah), Beliau membayarnya kepadanya. Kemudian Nabi saw bersabda kepadanya, “Mudah-

mudahan Allah memberi barakah kepadamu pada keluarga dan harta kekayaanmu; karena sesungguhnya

pembayaran hutang itu hanyalah pelunasan dan ucapan syukur alhamdulillah.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 1968

dan Ibnu Majah II: 809 no: 2424, dan Nasa’i VII: 314).

6.    MENAGIH HUTANG DENGAN SOPAN

Dari Ibnu Umar dan Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menuntut haknya, maka tuntutlah

dengan cara yang baik, baik ia membayar ataupun tidak bayar.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1965 dan Ibnu

Majah II: 809 no: 2421).

7.    MEMBERI TANGGUH KEPADA ORANG YANG KESULITAN

Allah swt berfirman:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan,

menshadaqahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah:

280)

Page 18: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

Dari Hudzaifah ra, ia berkata: Saya pernah mendengar Nabi saw bersabda, “Telah meninggal dunia seorang laki-

laki.” Kemudian ia ditanya, “Apakah yang pernah engkau katakan (perbuat) dahulu?” Jawab Beliau, “Saya pernah

berjual beli dengan orang-orang, lalu saya menagih hutang kepada orang yang berkelapangan dan memberi

kelonggaran kepada orang berada dalam kesempitan, maka diampunilah dosa-dosanya.” (Shahih: Shahih Ibnu

Majah no: 1963 dan Fathul Bari V: 58 no: 2391).

Dari Abul Yusri, sahabat Nabi saw, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dalam

naungan-Nya (pada hari kiamat), maka hendaklah memberi tangguh kepada orang yang berada dalam kesempitan

atau bebaskan darinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1963 dan Ibnu Majah II: 808 no: 2419).

8.    PENUNDAAN ORANG MAMPU ADALAH ZHALIM

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Penundaan orang yang mampu adalah suatu

kezhaliman.” (Muttfaaqun ’alaih: Fathul Bari V: 61 no: 2400, Muslim III: 1197 no: 1564 ‘Aunul Ma’bud IX: 195 no:

3329, Tirmidzi II: 386 no: 1323, Nasa’I VII: 317 dan Ibnu Majah II: 803 no: 2403).

9.    BOLEH MEMENJARAKAN ORANG YANG ENGGAN MELUNASI HUTANG PADAHAL MAMPU

Dari Amr bin asy-Syuraid dari bapaknya Rasulullah saw bersabda, “Penundaan orang yang mampu (membayar)

dapat menghalalkan kehormatannya dan pemberian sanksi kepadanya.” (Hasan: Shahih Nasa’i no: 4373, Nasa’i VII:

317, Ibnu Majah II: 811 no: 2427, ‘Aunul Ma’bud X: 56 no: 3611 dan Bukhari secara mu’allaq lihat Fathul Bari V: 62).

10.    SETIAP PINJAMAN YANG MENDATANGKAN MANFA’AT ADALAH RIBA

Dari Abu Buraidah (bin Abi Musa), ia bercerita, “Saya pernah datang di Madinah, lalu bertemu dengan Abdullah bin

Salam. Kemudian ia berkata kepadaku, “Marilah pergi bersamaku ke rumahku, saya akan memberimu minum

dengan sebuah gelas yang pernah dipakai minum Rasulullah saw dan kamu bisa shalat di sebuah masjid yang

Beliau pernah shalat padanya.” Kemudian aku pergi bersamanya (ke rumahnya), lalu (di sana) ia memberiku minum

dengan minuman yang dicampur tepung gandum dan memberiku makan dengan tamar, dan aku shalat di masjidnya.

Kemudian ia menyatakan kepadaku, “Sesungguhnya engkau berada di tempat di mana praktik riba merajalela, dan di

antara pintu-pintu riba adalah seorang di antara kamu yang memberi pinjaman (kepada orang lain) sampai batas

waktu (tertentu), kemudian apabila batas waktunya sudah tiba, orang yang menerima pinjaman itu datang kepadanya

dengan membawa sekeranjang (makanan) sebagai hadiah, maka hendaklah engkau menghindar dari sekeranjang

(makanan) itu dan apa yang ada di dalamnya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 235 dan Baihaqi V: 349).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-

Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-

Sunnah), hlm. 694 - 702. 

Syubhat Seputar Pinjam Meminjam RibawiKategori: Majalah AsySyariah Edisi 029

(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari)

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib z secara marfu’:

¢ا ر£ب ف¤ه¥و¤ ¦ف¤ع¤ة¢ م¤ن ج¤ر§ ̈ض ق¤ر¦ ¥ل© ك

“Setiap pinjaman yang membawa manfaat keuntungan adalah riba.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Haris ibnu Abi Usamah (dalam Musnad-nya,

1/500 no. 437, pen.) dan di dalam sanadnya ada seorang rawi yang gugur periwayatannya (saqith). Dan hadits ini

memiliki syahid (pendukung) yang dhaif pula dari Fadhalah bin ‘Ubaid yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (di dalam

As-Sunanul Kubra, 5/350 dan Ma’rifatus Sunan wal Atsar, 4/391, pen.). Pendukung lainnya adalah hadits mauquf,

diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Salam z((lihat Bulughul Maram, Kitabul Buyu’, Bab As-Salam wal

Qardh war Rahn, hadits no. 812, -pen).” Al-Hafizh juga mengatakan dalam At-Talkhish (3/997): “Dalam sanad hadits

Page 19: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

ini ada Sawar ibnu Mush’ab, dia adalah rawi yang matruk (yang ditinggalkan haditsnya).”

Hadits ini didhaifkan pula oleh Ibnul Mulaqqin dalam Khulashah Al-Badrul Munir (2/78), Abdul Haq di dalam Al-

Ahkam, Ibnu Abdil Hadi dalam At-Tanqih (3/192) dan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil (5/236, hadits no.

1398).

Ketahuilah, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan teranggap riba. Salah satu argumentasinya

adalah hadits di atas. Namun karena haditsnya dhaif, tentunya kita tidak boleh memakainya sebagai hujjah. Hanya

saja makna hadits di atas terpakai, diperkuat oleh ushul syariat dan telah dinukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) para

ulama dalam masalah ini. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi t (dan yang lainnya) bahwa

setiap pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan, penambahan kualitas ataupun

kuantitas, termasuk riba. Pinjam meminjam pada asalnya adalah perbuatan kebaikan di mana seseorang

memberikan kepada yang lain suatu barang atau uang, untuk nantinya dikembalikan yang sama pada waktu yang

telah disepakati. Namun manakala ada penambahan dalam pengembalian atau dikembalikan dengan sesuatu yang

lebih bagus/baik, terjadilah riba. (Al-Muhalla bil Atsar, 6/348, dan dalam Maratibul Ijtima’, hal. 165)

Dalam hal ini ada beberapa syubhat yang beredar di tengah kaum muslimin yang sengaja disebarkan oleh ahlus

syubhat yang dipandang tokoh oleh sebagian orang. Kami nukilkan secara ringkas beberapa syubhat tersebut berikut

jawabannya dari kitab Syarhul Buyu’ war Riba Min Kitabid Darari (hal. 146-148) yang ditulis guru kami Asy-Syaikh

Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’i Al-’Adnani hafizhahullah.

Beliau hafizhahullah menyatakan ada pihak-pihak yang tidak menganggap riba pinjam meminjam (qardh) yang

memberi faedah. Dalam hal ini mereka menggunakan dua sudut pandang:

Pertama: Riba yang diharamkan hanyalah riba jahiliah, yaitu riba dalam hutang piutang. Misalnya, seseorang

menghutangi orang lain dengan perjanjian akan dibayar dalam tempo tertentu, namun ternyata sampai tempo yang

ditentukan orang yang berhutang belum melunasinya. Akibatnya si pemberi piutang memberi denda dengan jumlah

tertentu yang harus dibayarkan bersama hutang, sehingga bertambahlah jumlah hutang dari orang yang berhutang

tersebut (istilahnya: engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah).

Adapun pembayaran tambahan yang telah disebutkan (dipersyaratkan) di awal akad pinjam meminjam, mereka

mengatakan bahwa itu bukan riba yang diharamkan.

Mereka yang berpendapat seperti ini di antaranya Muhammad Rasyid Ridha penulis Tafsir Al-Manar dan murid

Muhammad Abduh, serta diikuti oleh ‘Abdurrazzaq As-Sanhawuri, seorang “pakar” hukum di masa ini. Mereka

menguatkan pendapat mereka dengan beberapa dalil/perkara berikut ini:

1.    Gambaran riba jahiliah yang ayat-ayat Al-Qur`an diturunkan tentangnya hanyalah berupa ‘engkau bayar

sekarang (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.

Jawaban terhadap dalil mereka ini adalah:

a. Hal ini tidak bisa diterima, karena sebenarnya riba jahiliah itu memiliki dua bentuk:

Bentuk pertama: Bentuk yang masyhur yaitu ‘engkau bayar sekarang (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu

bertambah’

Bentuk kedua: Penetapan adanya tambahan pembayaran/pengembalian (ziyadah) dari jumlah yang semestinya

dibayarkan sejak di awal akad. Bentuk seperti ini adalah riba jahiliah, disebutkan dalam Ahkamul Qur`an (1/563-564)

karya Al-Imam Al-Jashshash.

b. Kalaupun dianggap bahwa ayat-ayat tentang riba yang ada dalam surah Al-Baqarah hanya mencakup bentuk

yang pertama, namun sebenarnya ayat tersebut juga bisa dijadikan sebagai dalil akan haramnya ziyadah yang

dipersyaratkan di awal akad. Karena kedua bentuk ini sama-sama menerima ziyadah hanya bila telah jatuh tempo.

c. Ziyadah yang dipersyaratkan dalam akad hutang piutang khususnya pada mata uang (dinar/emas dan

dirham/perak) serta yang serupa dengan keduanya sebagai alat pembayaran seperti uang kertas, memang tidak

dinyatakan keharamannya oleh ayat-ayat yang berbicara tentang riba. Namun demikian, pengharamannya

disebutkan dalam As-Sunnah.

Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh berikut ini: Bila seseorang datang ke bank lalu berkata, “Berikan pinjaman

kepada saya sebesar Rp. 100.000,-.” Pihak bank mengatakan, “Kami akan memenuhi permintaan anda namun kami

catat dalam pembukuan kami jumlah Rp. 120.000,- sampai akhir tahun.”

Page 20: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

Memang ayat-ayat tentang riba tidak menunjukkan keharaman bentuk seperti ini, namun hadits-hadits Nabi n

menunjukkan secara jelas keharamannya. Dalam hadits tentang enam macam barang yang terkena hukum riba

disebutkan:

ف¤ق¤د¦ د¤اد¤ ¤ز¦ ت اس¦ و£¤ أ اد¤ ز¤ ف¤م¤ن¦ ¤د̈، £ي ب ¤د¢ا ي ¦̈ل، £م£ث ب ¢ ¦ًال م£ث ، ¦ِح£ ¦م£ل £ال ب ¦ِح¥ ¦م£ل و¤ال §م¦ر£ £الت ب §م¦ر¥ و¤الت ¦ر£ ع£ي £الش§ ب ¦ر¥ ع£ي ِ و¤الش§ ¥ر® ¦ب £ال ب ¥ر© ¦ب و¤ال ¦ف£ض§ة£ £ال ب ¦ف£ض§ة¥ و¤ال £الذ§َه¤ب£ ب الذ§َه¤ب¥

ب¤ى ر¦¤ أ

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (satu jenis gandum) dengan burr, sya’ir (satu jenis gandum juga)

dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, harus sama timbangannya, dan tangan dengan

tangan (serah terima di tempat). Barangsiapa menambah atau minta tambah berarti dia jatuh dalam riba.” (HR.

Muslim no. 1587)

Bila pihak bank memberikan pinjaman Rp. 100.000,- kepada orang tersebut namun dicatat jumlahnya Rp. 120.000,-

hingga waktu setahun, berarti pihak yang berhutang dan yang memberi piutang tidak berpegang dengan dua

ketetapan yang disebutkan dalam hadits di atas yaitu: ¨د¤ £ي ب ¤د¢ا ي ¦̈ل، £م£ث ب ¢ ¦ًال harus sama timbangannya dan tangan) م£ث

dengan tangan (serah terima di tempat). Mereka yang melakukan muamalah seperti ini berarti telah mengumpulkan

dua macam riba, riba fadhl dan riba nasi`ah.

2.    Menurut mereka, riba jahiliah dilarang karena mengambil ziyadah dari pokok harta (yang dipinjamkan). Hal itu

terjadi karena tertundanya pembayaran hutang kepada pihak yang memberi piutang, bukan disebabkan ingin

memberikan kemanfaatan kepada si pemberi hutang.

Dijawab: Sebab yang disebutkan ini juga ada pada akad pinjam meminjam yang mensyaratkan pembayaran

tambahan (ziyadah).

3.    Muhammad Rasyid Ridha berdalil juga dari sisi bahasa. Ia berkata, “Huruf alif dan lam

adalah lil-’ahd, sehingga riba yang dilarang dan dicerca adalah riba yang dikenal, dimaklumi dan diketahui kalangan

orang-orang jahiliah yaitu ‘engkau bayar (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.

Dijawab: Kalaulah dianggap alif dan lam yang ada pada kata riba tersebut lil-’ahd, yakni Rabb kita menyebutkan

(dalam ayat) keharaman riba atas sesuatu yang tertentu yang biasa dilakukan orang-orang jahiliah, maka As-Sunnah

telah menyebutkan keharaman bentuk riba yang lain (tidak hanya yang disebutkan dalam ayat Al-Qur`an). Sehingga

lafadz riba menjadi sebuah hakikat syariat di mana didudukkan pada seluruh bentuk riba. Apalagi memang di antara

mereka ada yang mengatakan, “Riba adalah lafadz yang global, penafsirannya disebutkan dalam As-Sunnah.”

4.    Muhammad Rasyid Ridha juga berdalil dengan akal. Ia berkata, “Ancaman yang keras dan cercaan yang

demikian menikam tidaklah mungkin diberikan kecuali kepadadosa-dosa yang besar. Bila ada seseorang menukar 1

real perak dengan 4 real perak dengan serah terima yang ditunda sampai waktu tertentu, apakah bisa diterima oleh

akal bahwa perbuatan seperti ini dikenakan ancaman yang disebutkan dalam ayat-ayat yang melarang riba berupa

diperangi oleh Allah l dan Rasul-Nya? Yang bisa diterima oleh akal hanyalah bila bentuknya seperti bentuk yang awal

yaitu ‘engkau bayar (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.

Jawabannya: Menggunakan akal dan pendapat dalam perkara yang telah disebutkan nash-nya secara syar’i adalah

sesuatu yang sia-sia. Sungguh keumuman dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah telah mencakup hal yang ditolak

tersebut.

5.    Muhammad Rasyid Ridha pun berdalil bahwa riba jahiliah adalah riba yang menyebabkan kerusakan,

kemudaratan, meruntuhkan rumah-rumah, dan memutuskan silaturahim.

Dijawab: Mensyaratkan tambahan pembayaran/pengembalian di awal akad justru lebih besar dan lebih tampak

kezalimannya daripada tambahan yang ditetapkan setelah jatuh tempo. Karena dalam riba jahiliah, seseorang

memberi satu pinjaman kepada orang lain untuk dikembalikan dalam tempo sebulan misalnya. Ketika telah jatuh

tempo, orang yang meminjamkan berkata kepada pihak yang dipinjami, “Engkau bayar sekarang atau hutangmu

bertambah (didenda).” Sehingga persyaratan tambahan di awal akad tentunya lebih tampak dan lebih jelas

kezalimannya.

Kemudian, apa yang dianggap masuk akal oleh Muhammad Rasyid Ridha justru bertentangan dengan nash dan

tidak sepantasnya ditanyakan “Mengapa?” dan “Bagaimana?” kepada nash. Karena Allah l berfirman:

¤ا ¤َط¤ع¦ن و¤أ ¤ا م£ع¦ن س¤ ¥وا ¤ق¥ول ي ¤ن¦ أ ¤ه¥م¦ ¦ن ¤ي ب ¥م¤ ¤ح¦ك £ي ل £ه£ ول س¥ و¤ر¤ الله£ ¤ى £ل إ د¥ع¥وا £ذ¤ا إ £ين¤ ¦م¥ْؤ¦م£ن ال ق¤و¦ل¤ ¤ان¤ ك §م¤ا £ن إ

“Hanyalah ucapan kaum mukminin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Allah dan Rasul-Nya

Page 21: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

menghukumi (memutuskan perkara) di antara mereka, mereka akan mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat’.” (An-

Nur: 51)

6.    Muhammad Rasyid Ridha berargumen dengan ucapan-ucapan ulama untuk membatasi riba yang dilarang

hanyalah ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Di antara ulama yang disebutkannya adalah Malik, Ath-Thabari,

Al-Qurthubi, Ath-Thahawi, Asy-Syathibi, Ibnu Rusyd, Al-Mawardi, An-Nawawi, dan Ibnu Hajar Al-Haitsami.

Jawabannya: Dalam hal ini ada perbedaan antara membatasi bentuk dengan membatasi hukum. Tatkala ulama yang

disebutkan di atas menyebutkan hal itu, yang mereka maukan adalah menerangkan tentang riba yang masyhur dan

dikenal/dimaklumi yaitu riba ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Bukanlah maksud mereka untuk membatasi

hukum riba hanya pada bentuk seperti ini. Beda halnya dengan apa yang dipegangi oleh Muhammad Rasyid Ridha.

Dan ketahuilah, pada sebagian ucapan ulama yang disebutkan justru didapatkan bantahan terhadap pendapat

Muhammad Rasyid Ridha, di mana mereka menyatakan bahwa ini adalah bentuk riba jahiliah dan Nabi n telah

menerangkan bentuk-bentuk riba lain yang diharamkan seperti riba fadhl dan riba nasi`ah.

Kedua: Membatasi riba hanya dalam jual beli saja. Adapun dalam pinjam meminjam, riba (qardh) tidaklah berlaku.

Mereka berdalil sebagaimana berikut:

1.    Ayat-ayat riba menyebutkan secara global dan ditafsirkan oleh hadits-hadits Rasulullah n. Namun dalam hadits

tersebut hanya disebutkan jual beli dan tidak ada penyebutan qardh.

Jawabannya: Telah disebutkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) tentang berlakunya riba dalam qardh.

2.    Mereka berdalil dengan penukilan dari fuqaha dan ulama Hanafiah yang membatasi riba hanya dalam jual beli.

Jawabannya: Telah disebutkan penukilan yang lain dari ulama dan fuqaha tersebut tentang penetapan adanya riba

dalam qardh sebagaimana dalam jual beli.

3.    Mereka berdalil bahwa sebagian fuqaha Hanafiah menjadikan qardh sebagai analogi dari berderma, sehingga

tidak terjadi riba di dalamnya. Karena yang namanya riba hanya berlangsung pada sesuatu yang di dalamnya ada

penggantian.

Jawabannya: Para fuqaha tersebut walaupun mereka menjadikan qardh sebagai perbuatan derma pada awalnya,

namun pada akhirnya mereka menjadikannya perlu penggantian, yang berarti riba bisa terjadi di dalamnya. Mereka

menyatakan hal ini secara jelas.

Adapun ucapan mereka bahwa qardh adalah berderma, bila memang tujuannya untuk memberikan manfaat dan

berbuat baik. Sedangkan qardh yang disyaratkan adanya ziyadah di dalamnya maka maksud atau tujuannya adalah

meminta penggantian. Adanya syarat ‘minta tambah’ ini menjadikan muamalah tersebut sama dengan jual beli,

bukan lagi semata-mata qardh. Karena qardh hanyalah ditegakkan untuk tujuan berbuat ihsan dan memberi manfaat

bagi yang dipinjami. Beda halnya dengan qardh yang ada syarat ‘minta tambah’. Qardh yang seperti ini bukan

bertujuan berbuat ihsan dan memberi manfaat tapi tujuannya meminta ganti, mendapat untung dan ziyadah.

4.    Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya pengembalian dengan tambahan dalam

masalah qardh, seperti hadits:

ق¤ض¤اء¢ ¥م¦ ¥ك ن ¤ح¦س¤ أ ¥م¦ ك ¦ر¥ ي خ¤

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pembayarannya.”

Jawabannya: Hadits seperti ini dibawa pemahamannya kepada qardh yang tidak ada persyaratan minta tambah

dalam pengembalian. Sebagaimana orang yang meminjamkan telah berbuat ihsan kepada orang yang dipinjami,

maka disyariatkan pula bagi orang yang dipinjami untuk berbuat ihsan kepada orang yang meminjamkan. Allah l

berfirman:

ان¥ £ح¦س¤ ¦ِإل ا § £ال إ ان£ £ح¦س¤ ¦ِإل ا اء¥ ج¤ز¤ َه¤ل¦

“Tidaklah balasan kebaikan (perbuatan ihsan) melainkan kebaikan pula (perbuatan ihsan pula).” (Ar-Rahman: 60)

Maka hal ini masuk dalam permasalahan membalas kebaikan dengan kebaikan pula.

Demikian beberapa syubhat yang ada dalam pinjam meminjam (qardh) yang mengandung unsur riba. Sebagai akhir,

bagus sekali untuk kita nukilkan di sini nasihat dari Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan hafizhahullah.

Beliau berkata, “Wajib bagi seorang muslim untuk memerhatikan dan berhati-hati dari qardh (pinjam meminjam) yang

Page 22: Adab Islami Dalam Hutang Piutang

mensyaratkan adanya tambahan. Hendaklah ia mengikhlaskan niatnya dalam qardh tersebut dan juga dalam

melakukan amal shalih yang lain. Karena tujuan dari qardh ini bukanlah untuk menambah harta secara hakiki, namun

hanyalah untuk menambah harta secara maknawi yaitu taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah l dengan

memenuhi hajat orang-orang yang membutuhkan dan hanya menginginkan pengembalian yang sesuai dengan

besarnya pinjaman (tanpa ada syarat minta tambah atau syarat mendapatkan kemanfaatan lainnya, pent.). Bila yang

seperti ini menjadi tujuan dalam qardh niscaya Allah l akan menurunkan barakah (keberkahan),

penambahan/pertumbuhan dan kebaikan pada harta.” (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiyyah, 2/53)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

1  Al-Imam Ash-Shan’ani berkata: “Hadits ini tidak ditemukan dalam Shahih Al-Bukhari pada bab Al-Istiqradh. Al-

Hafizh juga tidak menisbahkannya kepada Al-Bukhari dalam kitabnya At-Talkhish…. Seandainya hadits ini ada dalam

Shahih Al-Bukhari, tentu beliau tidak akan menghilangkan penisbahannya kepada Al-Bukhari.” (Subulus Salam, 3/82)

2  Nama lengkapnya Sawar ibnu Mush’ab Al-Hamdani Al-Kufi Abu Abdillah Al-A’ma Al Mu`adzdzin. Al-Bukhari

mengatakan bahwa dia munkarul hadits. An-Nasa`i dan yang selainnya mengatakan bahwa dia matruk. Sedangkan

Abu Dawud mengatakan bahwa dia adalah rawi yang tidak bisa dipercaya. (Mizanul I’tidal, 3/343)

3  Sama saja baik minta tambah (ziyadah) di sini dinamakan keuntungan, faedah, hadiah, atau berupa izin

menempati sebuah rumah bagi yang meminjamkan atau izin mengendarai mobil sekalipun selama ziyadah, hadiah, 

ataupun manfaat ini diberikan sebagai persyaratan. Demikian dinyatakan oleh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan

Alu Fauzan hafizhahullah dalam kitab beliau Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiyyah (2/52).

4 Al-Hafizh Abul Hasan Ibnul Qaththan t: “Para ulama bersepakat bahwa persyaratan pengembalian hutang dengan

tambahan atau yang lebih baik daripada pinjaman tersebut adalah perkara yang haram, tidak dihalalkan.” (Al-Iqna’ fi

Masa`il Al-Ijma’, 2/196)

Demikian pula Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’.