ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADAABI...

97
ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN KARYA IMAM NAWAWI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam Oleh: Uswatun Khasanah NIM: 111 14 367 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2018

Transcript of ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADAABI...

ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM

KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN

KARYA IMAM NAWAWI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam

Oleh:

Uswatun Khasanah

NIM: 111 14 367

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2018

i

ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM

KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN

KARYA IMAM NAWAWI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam

Oleh:

Uswatun Khasanah

NIM: 111 14 367

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2018

ii

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : Empat (4) eksemplar

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Yth.

Dekan FTIK IAIN Salatiga

di Salatiga

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara

Nama : Uswatun Khasanah

NIM : 111 14 367

Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Judul : Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi

Adaabi Hamalatil Quran Karya Imam Nawawi

Dapat diajukan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga untuk

diajukan dalam sidang munaqasyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat untuk menjadi perhatian dan

digunakan sebagaimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salatiga, 14 September 2018

Pembimbing,

Dr. M. Ghufron, M.Ag

NIP. 197208142003121001

iv

KEMENTERIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

Jalan Lingkar Salatiga Km. 2 Telepon: (0298) 6031364 Salatiga 50716

Website: tarbiyah.iainsalatiga.ac.id Email: [email protected]

SKRIPSI

ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADAABI

HAMALATIL QURAN KARYA IMAM NAWAWI

DI SUSUN OLEH :

USWATUN KHASANAH

111 14 367

Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan

Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kegururan Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 27 September 2018 dan telah dinyatakan

memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan.

Susunan Panitia Penguji

Ketua Penguji : Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.

Sekretaris Penguji : Dr. M. Ghufron, M.Ag.

Penguji I : Siti Rukhayati, M.Ag.

Penguji II : Dr. Muna Erawati, S.Psi., M.Si.

Salatiga, 2 Oktober 2018

Dekan FTIK IAIN Salatiga

Suwardi, M.Pd.

NIP. 19670121 199903 1002

v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Uswatun Khasanah

NIM : 111 14 367

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Judul Skripsi : Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi Adaabi

Hamalatil Quran Karya Imam Nawawi

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya

sendiri, bukan jiplakan karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain

yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 14 September 2018

Yang menyatakan,

Uswatun Khasanah

111 14 367

vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

اقرءوا القرآن, فانه يأتى يوم القيامة شفيعالصحابه “Bacalah Al-Quran karena ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai pemberi

syafaat bagi pembacanya.”

(HR. Muslim: 804)

PERSEMBAHAN

Untuk kedua orang tuaku, Bapak Jumaeri dan Ibu Susiati yang senantiasa

mendukung dan mendoakanku. Semoga Allah SWT selalu melindungi dan

melimpahkan rahmat-Nya.

Kakakku tercinta, Muhammad Ikhsan Suseno, S.Pd. yang selalu menyemangati.

Keluarga ndalem KH. Mahfudz Ridwan Lc. terkhusus Gus Muhammad Hanif, M.

Hum Yang telah memberikan ilmu dan doanya.

Keluarga besar PP Edi Mancoro yang telah membimbing dan menemani

perjalananku.

Abah yai Zainal Muttaqin, yang memberikan doa pangestunya.

Kakanda yang selalu sabar mendampingi.

Serta seluruh teman-teman yang sudah membantu.

vii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan

hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Adab

Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran Karya

Imam Nawawi”.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi

Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan

hingga terang benderang, semoga kita semua diakui sebagai umatnya yang kelak

mendapatkan syafaatnya di akhirat.

Selanjutnya penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada berbagai

pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini, kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M. Pd. Selaku Dekan FTIK

3. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag. Selaku Ketua Jurusan PAI

4. Bapak M. Yusuf Khummaini, S.HI., M.H. selaku dosen pembimbing

akademik

5. Bapak Dr. M. Ghufron, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang

dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan

waktunya dalam membimbing penulis skripsi ini.

viii

6. Bapak Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Semua pihak keluarga dan sahabat yang sudah membantu menyelesaikan

skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat memberikan tambahan wawasan yang lebih luas

dan dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Penulis sadar

bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,

kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan skripsi ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salatiga, 14 September 2018

Penulis,

Uswatun Khasanah

NIM : 111 14 367

ix

ABSTRAK

Khasanah, Uswatun. Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan Fii Adaabi

Hamalatil Quran. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas

Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga, Salatiga, 2018.

Kata Kunci: Adab Membaca Al-Quran, Attibyan Fii Adaabi Hamalatil Quran

Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui adab membaca Al-

Quran dalam kitab Attibyan fii Adaabi Hamalatil Quran karya Imam Nawawi.

Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana adab

membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fii Adaabi Hamalatil Quran , (2)

Bagaimana relevansi adab membaca Al-Quran di dalam Kitab Attibyan fii Adaabi

Hamalatil Quran dengan zaman kekinian?

Metode penelitian yang digunakan yaitu Literature (kepustakaan).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan

cara mengamati pada sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku,

artikel, jurnal, skripsi, tesis atau lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini.

Pengumpulan data dibagi menjadi dua sumber yaitu data primer dan sekunder.

Kemudian data dianalisis menggunakan metode deskriptif dan kontekstual.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adab membaca Al-Quran dalam kitab

Attibyan fii Adaabi Hamalatil Quran meliputi: khusyuk, ikhlas, memelihara etika,

keadaan yang bersih dan suci, menghadap kiblat, mengawali dengan ta’awudz.

Sedangkan relevansi adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fii Adaabi

Hamalatil Quran dengan konteks kekinian dapat menjadi solusi dalam

memperbaiki adab berinteraksi dengan Al-Quran, khususnya dalam menghadapi

karakteristik zaman sekarang atau kekinian.

x

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL SKRIPSI ........................................................................... i

LEMBAR BERLOGO ..................................................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iii

PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi

KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii

ABSTRAK ....................................................................................................... ix

DAFTAR ISI .................................................................................................... x

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 5

C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 6

D. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 6

E. Telaah Pustaka ...................................................................................... 7

F. Penegasan Istilah .................................................................................. 9

G. Metode Penelitian ................................................................................ 12

xi

H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 13

BAB II : BIOGRAFI IMAM NAWAWI

A. Biografi Imam Nawawi ........................................................................ 15

B. Karya-Karya Imam Nawawi ................................................................ 21

C. Guru-Guru Imam Nawawi ................................................................... 23

D. Sistematika Penulisan Kitab Attibyan .................................................. 24

BAB III : DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM NAWAWI TENTANG ADAB

MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADAABI

HAMALATIL QURAN

A. Pengertian Adab Membaca Al-Quran .................................................. 25

B. Pemikiran Imam Nawawi tentang Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab

Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran .................................................... 26

C. Keutamaan Membaca Al-Quran ........................................................... 40

D. Manfaat Membaca Al-Quran ............................................................... 42

BAB IV : PEMBAHASAN

A. Adab Membaca Al-Quran Menurut Imam Nawawi............................. 45

B. Relevansi Pemikiran Imam Nawawi tentang Adab Membaca Al-Quran

dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran dengan Masa Kekinian

.............................................................................................................. 61

xii

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 66

B. Saran ..................................................................................................... 67

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lamp. 1 : Lembar Konsultasi Skripsi

Lamp. 2 : Surat Penunjukan Pembimbing

Lamp. 3 : Daftar Nilai SKK

Lamp. 4 : Biografi Penulis

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai agama yang universal dan abadi memberikan pedoman

hidup (way of Live) bagi manusia menuju kebahagiaan hidup lahir dan batin,

serta dunia akhirat (Razak, 1984:9). Kebahagiaan hidup manusia itulah yang

menjadi sasaran hidup manusia yang pencapaiannya sangat bergantung pada

proses pendidikan.

Agama Islam, yang mengandung jalan hidup manusia yang paling

sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada

kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat diketahui dasar-dasar dan perundang-

undangannya melalui Al-Quran. Al-Quran adalah sumber utama dan mata air

yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung

serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan

dapat dijumpai sumbernya yang asli dalam ayat-ayat Al-Quran. Allah

berfirman,

“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang

lebih Lurus...” (QS. Al-Israa’: 9)

“Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan

segala sesuatu...”(QS. An Nahl:89)

2

Adalah amat jelas bahwa dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang

mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-

prinsip umum hukum perbuatan (Thabathaba’i, 1998: 21). Jadi, di dalam Al-

Quran mengandung beberapa pokok yang mengatur tentang kehidupan

manusia, terutama mengenai adab. Mengingat bahwa budi pekerti anak

zaman sekarang semakin berkurang.

Sebagai manusia tidak hanya mengutamakan hablun mina annas tetapi

hablun mina Allah nya harus tetap terjaga. Salah satu cara untuk

mendekatkan diri dengan Allah adalah memahami kalam-Nya yaitu Al-

Quran. Dengan membaca Al-Quran Allah SWT senantiasa memberikan

petunjuk dalam setiap urusan manusia baik di dunia maupun akhirat. Maka

Allah memilih Iqra’ sebagai kalimat pertama yang Dia turunkan. Hal ini

mengindikasikan bahwa permulaan membangun umat ini adalah dengan ilmu.

Dan salah satu metode yang dituntunkan oleh Allah untuk memperoleh ilmu

adalah dengan membaca. Tentu bacaan yang baik dan bermanfaat.

Menurut Wahyudi, Wahidi (2016: 16) Al-Quran memiliki banyak

fadhilah yang tidak terhingga, sehingga Al-Quran bernilai lebih tinggi

dibandingkan dengan yang lainnya. Di antara keutamaan itu ialah sebagai

berikut: Al-Quran memberi syafaat bagi penjaganya, Dibolehkan iri kepada

penghafal Al-Quran, Penghafal Al-Quran akan mendapatkan pahala yang

berlipat ganda, Menjadi keluarga Allah, Penghafal Al-Quran digolongkan

sebagai orang-orang pilihan yang mulia bersama para nabi dan syuhada,

Orang tua penghafal Al-Quran akan diberi mahkota pada hari kiamat,

3

Penghafal Al-Quran akan dipakaikan mahkota kehormatan dan jubah

karomah, serta mendapat keridhaan Allah, Diberi ketenangan jiwa, Penghafal

Al-Quran dapat memberi syafaat pada keluarganya, Ada perintah untuk

memuliakan Ahli Al-Quran dan dilarang menyakitinya, Penghafal Al-Quran

diprioritaskan hingga wafat.

Semua budi pekerti yang luhur dan akhlak yang mulia berasal dari Al-

Quran Al-Karim. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud, “Setiap

Muaddib (pendidik adab) merasa senang jika adabnya itu diterapkan. Dan

sungguh adab dari Allah tertuang di dalam Al-Quran” (Badar, 2017: 95).

Maka gunakan Al-Quran sebagai pedoman dalam kehidupan, terutama

mengenai adab.

Telah dimaklumi bahwa umat Islam pada masa Nabi banyak yang ummi

(tidak bisa membaca dan menulis) sampai-sampai Allah mencatat sifat

mereka dalam Al-Qur’an:

...

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di

antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,

mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As

Sunnah)...” (QS. Al-Jumu’ah: 22)

Demikian halnya dengan Nabi Muhammad, beliau juga orang yang ummi

sebagaimana firman Allah:

4

... “ (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang

(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi

mereka ...” (QS. Al-A’raf: 157)

Turunnya wahyu secara bertahap tentu sangat menolong para sahabat

untuk membaca, menghafal, dan mengamalkan Al-Quran di kehidupan

sehari-hari (Wahyudi, Wahidi, 2016: 6)

Sesungguhnya Al-Quran adalah kitab Allah SWT. Setiap kali seorang

muslim membaca, mencintai dan menghafalnya maka Allah akan

mengaruniakan kepadanya pemahaman yang benar .... Dia tidak

memberikannya kepada siapapun, namun dia hanya memberikannya kepada

ahli Allah (para wali Allah), yang mereka itu adalah ahli Al-Quran (para

penghafal Al-Quran) (Az-Zawawi, 2013: 37).

Allah memuliakan umat Islam dengan kitab Al-Quran sebagai kalam

terbaik Allah. Maka umat-Nya harus menaruh perhatian yang besar untuk

menghormati Al-Quran dengan cara belajar, mengajar, membahas dan

mengkajinya secara berkelompok ataupun sendirian. Itulah faktor yang

mendorong Imam Nawawi dalam menulis kitab yang berisi tentang adab-

adab berinteraksi dengan Al-Quran dan sifat-sifat penghafal dan pelajarnya.

Ketekunan Imam Nawawi akan ilmu menghasilkan karya yang cukup

banyak salah satunya adalah kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an yang

akan diteliti oleh penulis dalam penulisan skripsi ini. Kitab Attibyan fi Adabi

5

Hamalatil Qur’an membahas perkara-perkara yang sangat penting diketahui

oleh setiap umat Islam, karena kitab ini membicarakan berbagai hal yang

berkaitan adab dalam menjalin interaksi dengan kitab suci Al-Quran Al-

Karim dari segi membaca, memegang, dan posisi duduk ketika membaca Al-

Quran. Dalam Kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran juga membahas

masalah-masalah unik yang penting salah satunya adalah jika sedang qiraah

lalu tiba-tiba ingin buang angin, hendaknya ia menghentikan bacaannya

hingga ia selesai buang angin, baru kemudian melanjutkan bacaannya. Selain

dijelaskan bagaimana adab berinteraksi dengan Al-Quran, juga dijelaskan

mengenai adab seputar khataman, cara, waktu dan hal-hal yang dianjurkan.

Perbedaan dengan kitab lain, kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatik Quran lebih

spesifik dalam pembahasannya mengenai adab-adab yang sering disepelekkan

oleh pembaca Al-Quran yang dianggap remeh tetapi justru lebih penting dan

harus lebih berhati-hati. Karena berinteraksi dengan Al-Quran berarti

berinteraksi dengan Allah SWT.

Jadi, kajian dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an ini dirasa

sangat penting untuk dipelajari oleh orang-orang Islam. Dengan demikian,

penulis bermaksud mengkaji lebih jauh khususnya mengenai adab dalam

berinteraksi dengan Al-Quran dalam sebuah penelitian dengan judul “ADAB

MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI

HAMALATIL QURAN KARYA IMAM NAWAWI”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

6

1. Bagaimana adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi Adabi

Hamalatil Quran?

2. Bagaimana relevansi adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi

Adabi Hamalatil Quran dengan konteks kekinian?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Mendeskripsikan adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi Adabi

Hamalatil Quran

2. Menemukan relevansi adab berinteraksi dengan Al-Quran dalam kitab

Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran dengan konteks kekinian

D. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang

jelas dan dapat memberi manfaat secara praktis maupun teoretis, antara lain:

1. Manfaat teoretis

a. Memberi kejelasan secara teoretis tentang adab membaca Al-Quran

dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran

b. Menambah dan memperkaya keilmuan di bidang pendidikan

c. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap wacana pendidikan Islam

khususnya di bidang membaca Al-Quran

2. Manfaat praktis

Setelah proses penelitian diselesaikan, diharapkan hasil tulisan ini

dapat bermanfaat dalam memberikan gambaran yang jelas tentang adab

7

membaca Al-Quran dan relevansinya terhadap zaman kekinian pada kitab

Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran. Dengan demikian penulis dapat

memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis dalam dunia

pendidikan, yaitu wacana baru yang bisa dijadikan sebagai bahan renungan

bersama sesama praktisi pendidikan dalam memberikan cara pandang dan

landasan pijak dalam memahami bagaimana etika dalam membaca Al-

Quran.

E. Telaah Pustaka

Untuk menghindari terjadinya plagiasi, maka penulis memaparkan

karya ilmiah yang sudah ada. Selain itu telaah pustaka juga untuk melihat

orisinilitas skripsi.

Rakhman Khakim dengan skripsinya yang berjudul “Kompetensi

Kepribadian Guru dalam Pendidikan Islam (Telaah Kitab Al-Tibyan Fi

Adabi Hamalatil Quran Karya Al-Nawawi) tahun 2008 berisi tentang

bagaimana memberikan suri tauladan bagi anak didik terkait dengan

perkembangan zaman (http://digilib.uin-

suka.ac.id/2439/1/BAB%20I%2C%20IV.pdf, diakses pada 8 November

2017, 03:17). Karna guru adalah digugu lan ditiru maksudnya setiap

perbuatan dan perkataan seorang guru adalah contoh bagi anak didiknya.

Mengingat bahwa anak lebih cepat memproses hal buruk dibanding yang

baik, maka guru harus lebih berhati-hati dalam berucap maupun bertindak.

Jaka Ahmadi dengan skripsinya yang berjudul “Adab Membaca Al-

Qur’an Menurut Syaikh Abd Al-Samad Al-Falimbani dalam Kitab Siyar Al-

8

Salikin Ila Ibadat Al-Rab Al-Alamin” tahun 2015 berisi tentang keutamaan

membaca Al-Quran dan celakanya bagi orang yang lalai terhadap bacaannya.

(http://digilib.uin-suka.ac.id/15853/1/11530025_bab-i_iv-atau-vdaftar-pustaka.pdf

diakses pada 10 Juli 2018, 12:15 WIB). Dipaparkan mengenai adab yang

berkaitan dengan zahir dan batin. Adab zahir merupakan hal-hal yang

berkaitan dengan teknis, baik ketika seorang akan membaca maupun ketika

sedang membaca Al-Quran. Sedangkan adab batin adalah adab yang

berkaitan dengan tata pikir dan amalan hati ketika akan dan sedang

membacanya.

Kontekstualisasi dari nilai Adab membaca Al-Quran menurut syaikh

Abd Al-Samad Al-Falimbani jika digunakan untuk memandang fenomena

kontemporer seperti membaca Al-Quran digital atau elektronik, maka

menurut peneliti masih relevan dan bisa diaplikasikan. Sebab yang diuraikan

Al-Falimbani merupakan adab membaca Al-Quran. Sehingga ketika

seseorang membacanya pada elektronik ia harus tetap melaksanakan adab

zahir maupun batin, seperti halnya membaca pada mushaf fisik (kertas, kulit).

Ali Muhdi, S.Pd.I, MSI. dalam penelitiannya yang berjudul ”Konsep

Moral Pendidikan dan Peserta Didik Menurut Al-Nawawi Al-Dimasyqiy”

tahun 2016 berisi tentang konsep moral yang hendaknya melekat dalam diri

seorang pendidik dan peserta didik.

(http://repository.iainpurwokerto.ac.id/1385/1/AliMuhdi,S.Pd.I.,MSI._KONS

EPMORALPENDIDIKDANPESERTADIDIKMENURUTIMAMAL-

NAWAWI%AL-DIMASYQIYStudiAnalisisSufistikkitabal-

9

TibyanfiAdabiHamalatial-Quran.pdf diakses pada 16 Juli 2018, 10:30 WIB).

Pendidik yang baik adalah ketika ia dapat dijadikan contoh atau teladan bagi

murid atau peserta didiknya dalam hal apapun, baik perkataan, tindakan,

maupun sikap terhadap sesuatu hal. Peserta didik yang ideal digambarkan

oleh Imam Nawawi sebagai generasi muda yang mampu mengupayakan

dirinya menjadi orang yang bersungguh dalam proses pencarian ilmu dan

pencarian jati dirinya.

Penelitian skripsi ini berbeda dengan skripsi yang di atas, kajian

difokuskan pada adab berinteraksi dengan Al-Quran menurut Imam Nawawi

dalam kitabnya yang berjudul Atibyan fi Adabi Hamalatil Quran dikaitkan

dengan zaman sekarang. Mengingat budi pekerti zaman sekarang semakin

buruk.

F. Penegasan Istilah

Untuk memudahkan atau menjaga agar tidak terjadi kesalahfahaman,

maka penulis kemukakan penegasan istilah dari judul skripsi berikut:

1. Adab Membaca Al-Quran

Menurut al-Attas, secara etimologi (bahasa) adab berasal dari bahasa

Arab yaitu addaba-yu’addibu-ta’dib yang telah diterjemahkan oleh al-

Attas sebagai ‘mendidik’ atau ‘pendidikan’. Dalam kamus Al-Munjid dan

Al Kautsar, adab dikaitkan dengan akhlak yang memiliki arti budi pekerti,

perangai, tingkah laku atau tabiat sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.

Sedangkan, dalam bahasa Yunani adab disamakan dengan kata ethicos

atau ethos, yang artinya kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati

10

untuk melakukan perbuatan. Ethicas kemudian berubah menjadi etika

(Nasir, 1991: 14).

Al-Ghazali dalam kitab ihya’ Ulum Al-Din menyatakan bahwa

pengertian akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang

memunculkan suatu perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu

pertimbangan dan analisa (jamil, 2013:2).

Sebagai manusia tentu mempunyai adab atau norma-norma tersendiri

agar hidupnya terarah. Baik norma terhadap diri sendiri, makhluk ciptaan-

Nya dan terhadap Allah SWT. Salah satu norma yang perlu diperhatikan

adalah ketika berinteraksi dengan kalam Allah yaitu Al-quran Al-Karim.

Membaca, menghafal atau mempelajarinya.

Al-Quran adalah kalam Allah, menghafalkannya adalah aktivitas yang

paling besar nilainya, karena hal itu akan membuka pintu-pintu kebaikan.

Dan ingatlah bahwa Rasulullah SAW diutus karena sesuatu yang penting

dan mendasar, yaitu Al-Quran (Al-Kahil, 2011: 19). Untuk berbicara

dengan Allah adalah dengan memahami kalam Allah yaitu dengan

memahami Al-Quran.

Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili ia berkata, aku mendengar

Rasulullah bersabda:

اقرءوا القرآن, فانه يأتى يوم القيامة شفيعالصحابه “Bacalah Al-Quran karena ia akan datang pada Hari Kiamat

sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya.” (HR. Muslim: 804)

(Muslim, 2014: 330)

11

Al-Quran merupakan mukjizat dari Allah SWT sehingga, segala

sesuatu yang berkaitan dengan Al-Quran sudah tentu merupakan hal yang

luar biasa (Yusuf, 2013: 15). Maka penghafal Al-Quran adalah sosok yang

luar biasa.

2. Kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran

Kitab ini membahas perkara-perkara yang sangat penting diketahui

oleh setiap orang Islam karena kitab ini membicarakan berbagai hal yang

berkaitan dengan adab kita menjalin interaksi dengan kitab suci kita Al-

Quran Al-Karim.

Berikut ini adalah kerangka bab dalam kitab ini:

a. Keutamaan pembaca Al-Quran dan penghafalnya

b. Keutamaan qiraah dan ahluqiraah

c. Keharusan memuliakan Ahluquran dan larangan menyakitinya

d. Adab pengajar dan pelajar Al-Quran

e. Adab para penghafal Al-Quran

f. Adab Membaca Al-Quran

g. Adab mulia terhadap Al-Quran

h. Anjuran membaca ayat dan surah pada waktu dan keadaan tertentu

i. Menulis dan memuliakan Mushaf Al-Quran

j. Akuransi nama dan bahasa dalam kitab sesuai urutan letaknya

12

G. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kepustakaan

(library research), karena yang dijadikan objek kajian adalah hasil karya

tulis yang merupakan hasil pemikiran.

2. Sumber data

a. Data primer diambil dari buku utamanya yaitu kitab Attibyan karya

Imam Nawawi

b. Data sekunder diambil dari buku-buku yang terkait dengan judul

penelitian yaitu mengenai membaca Al-Quran dan penelitian-

penelitian terdahulu, skripsi, tesis dan jurnal.

3. Teknik pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data pustaka yaitu

membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian dari berbagai buku

dan karya ilmiah yang mendukung penelitian skripsi ini. Dengan

mengutamakan data primer.

4. Teknik analisis data

Melihat objek penelitian yang berupa buku-buku atau literatur, maka

penelitian ini menggunakan teknik analisa dengan cara deskriptif, filosofis

dan kontekstual.

a. Metode deskriptif

Metode deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk

pengumpulan data untuk menguji atau menjawab objek yang diteliti

13

(Muhamad, 2008: 18). Tujuan dari metode ini adalah membuat

deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik, komprehensif,

faktual dan akurat tentang objek yang diteliti.

Jadi penulis mendeskripsikan isi buku pada bab adab membaca

Al-Quran kemudian menganalisis sehingga memberikan gambaran

yang akurat.

b. Metode kontekstual

Dalam kamus besar bahasa Indonesia konteks berarti apa yang

ada di depan dan di belakang (KBBI, 2005: 521). Metode kontekstual

adalah metode yang digunakan untuk mencari, mengolah, dan

menemukan kondisi yang lebih konkrit (terkait dengan kehidupan

nyata). Metode ini akan membantu penulis untuk mengaitkan antara

adab membaca AL-Quran yang ada di dalam kitab Attibyan dengan

situasi dunia nyata dan mendorong penulis untuk membuat hubungan

antara adab membaca Al-Quran yang ada dalam kitab Attibyan dengan

penerapannya dalam kehidupan kekinian.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga

pembaca dapat memahami tentang isi skripsi ini dengan mudah, maka penulis

memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis besar.

Skriosi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling berkaitan yaitu

sebagai berikut:

14

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, telaah

pustaka, penegasan istilah, sistematika penulisan.

BAB II BIOGRAFI IMAM NAWAWI. Pembahasan bab ini berisi

tentang biografi intelektual tokoh Imam Nawawi yang meliputi: biografi

Imam Nawawi, karya-karya Imam Nawawi, guru-guru Imam Nawawi,

sistematika penulisan Kitab Attibyan.

BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM NAWAWI TENTANG

ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI

HAMALATIL QURAN. Pada bab ini dibahas pengertian adab membaca Al-

quran, bagaimana adab berinteraksi dengan Al-Qur’an, keutamaan membaca

Al-quran dan manfaat membaca Al-Quran.

BAB IV PEMBAHASAN. BERISI ANALISIS KITAB ATTIBYAN FI

ADABI HAMALATIL QURAN, RELEVANSI MEMBACA AL-QURAN

DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI HAMALATIL QURAN

DIKAITKAN DENGAN KONTEKS KEKINIAN. Pada bab ini dijelaskan

bagaimana adab membaca Al-quran dalam kitab Attibyan karya Imam

Nawawi dikaitkan dengan konteks kekinian.

BAB V PENUTUP. Bab ini memuat kesimpulan penulis dari

pembahasan skripsi ini, saran-saran dan kalimat penutup yang sekiranya

dianggap penting dan daftar pustaka.

15

BAB II

BIOGRAFI IMAM NAWAWI

A. Biografi Imam Nawawi

1. Nama dan Keturunan

Nama benar beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Murra bin Hasan bin

Hussain bin Hizam bin Muhammad bin Juma’ah. Gelarannya (laqobnya)

dikenali sebagai Muhyiddin dan Kunyahnya pula dikenali sebagai Abu

Zakariya. Panggilan termasyhur beliau ialah al-Nawawi karena dinisbatkan

pada asal daerahnya Nawa yaitu nama bagi sebuah kampung yang terletak

dalam daerah Hauran berhampiran dengan Kota Damsyik, Syria

(http://tafaqquh.com/fuqoha/al-imam-muhyiddin-abi-zakariya-yahya-an-

nawawi-bagian-satu/, diakses pada 4 September 2018: 20:40).

Beliau mendapatkan kunyah (nama yang didahului Abu) Abu

Zakariya. Kunyah ini bukan berarti beliau mempunyai seorang putra yang

bernama Zakariya sehingga beliau disebut Abu Zakariya (ayahnya

Zakariya) melainkan karena tradisi ulama’ dimana bila ada seorang ulama’

bernama Yahya maka akan diberi kunyah Abu Zakariya dengan tujuan

iltifat kepada Nabi Zakariya dan Ayahnya Yahya. Mengenai pemberian

kunyah pada seorang ini beliau singgung di dalam kitabnya yang terkenal

al-Majmu Syarah Muhaddzab, disitu beliau berkata: “Disunnahkan

memberi kunyah kepada orang yang mempunyai keutamaan baik laki-laki

maupun perempuan, baik dia punya anak atau tidak....”

16

(http://tafaqquh.com/fuqoha/al-imam-muhyiddin-abi-zakariya-yahya-an-

nawawi-bagian-satu/, diakses pada 4 September 2018: 20:40).

Selain kunyah Abu Zakariya, Imam An-Nawawi juga mendapat laqob

(julukan) Muhyiddin, artinya penghidup agama. Imam Nawawi sangat

tidak setuju dengan laqob ini hingga diriwayatkan bahwa beliau berkata:

“tidak aku halalkan orang yang memberiku julukan Muhyiddin”

(http://tafaqquh.com/fuqoha/al-imam-muhyiddin-abi-zakariya-yahya-an-

nawawi-bagian-satu/, diakses pada 4 September 2018: 20:40).

Al-Imam an-Nawawi digelari Muhyiddin (yang menghidupkan

agama), namun dia sendiri tidak senang diberi gelar tersebut.

Ketidaksukaan itu disebabkan rasa tawadhu’ yang tumbuh pada diri al-

Imam an-Nawawi, sebenarnya dia pantas diberi julukan tersebut karena dia

menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, menyuruh melakukan

perbuatan yang ma’ruf. Mencegah perbuatan yang mungkar dan

memberikan manfaat kepada umat Islam dengan karya-karyanya (Huda,

2011: 57).

Beliau dilahirkan pada 10 Muharram 631 H di Nawa. Bapak beliau

merupakan penduduk asal dari kampung tersebut. Beliau hanya diberi

kesempatan hidup selama 45 tahun saja. Pada hari Rabu yaitu pada bulan

Rajab 676 H, beliau menghembuskan nafas terakhirnya dan dikebumikan

di kampungnya sendiri di Nawa (Hakimah, 2011: 21).

Sebelum meninggal, dia sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan

ibadah haji beserta orangtuanya dan menetap di Madinah selama satu

17

setengah bulan, dan sempat juga berkunjung ke Baitul Maqdis di

Yerussalem. Dan dia juga tidak menikah sampai akhir hayatnya (Huda,

2011: 55).

2. Kehidupan Ketika Kecil dan Dewasa

Beliau dilahirkan di desa Nawa yang termasuk wilayah Hauran pada

tahun 631H. Kakek tertuanya Hizam singgah di Golan menurut adat Arab,

kemudian tinggal di sana dan Allah SWT memberikan keturunan yang

banyak, salah satu diantaranya adalah Imam Nawawi (Nawawi, t.th: 9).

Bapaknya telah meriwayatkan bahwa ketika beliau berumur tujuh

tahun, satu malam pada bulan Ramadhan yaitu pada 27 Ramadhan,

anaknya itu telah terjaga lalu bertanya kepada ayahnya: “Apakah cahaya

yang menerangi rumah?” Ayahnya menjawab kami tidak melihat apa-apa

cahaya. Maka fahamlah bahwa cahaya itu merupakan cahaya Lailatul

Qadar (Hakimah, 2011: 21).

Banyak orang terkemuka di Nawa yang melihat anak kecil memiliki

kepandaian dan kecerdasan. Mereka menemui ayahnya dan memintanya

agar memperhatikannya dengan lebih seksama. Ayahnya mendorong sang

Imam menghafalkan Al-Quran dan Ilmu. Maka An-Nawawi mulai

menghafal Al-Quran dan dididik oleh orang-orang terkemuka dengan

pengorbanan harus meninggalkan masa bermain-mainnya karena harus

menekuni Al-Quran dan menghafalnya. Sebagian gurunya pernah melihat

bahwa Imam Nawawi bersama anak-anak lain dan memintanya bermain

bersama-bersama. Karena sesuatu terjadi diantara mereka, dia lari

18

meninggalkan mereka sambil menangis karena merasa dipaksa. Dalam

keadaan yang demikian itu dia tetap membaca Al-Quran. Demikianlah,

sang Imam tetap terus membaca Al-Quran sampai dia mampu

menghafalnya ketika mendekati usia baligh (Nawawi, t.th: 9-10).

Pada mulanya dia mempelajari ilmu pengetahuan dari ulama’-ulama’

terkemuka di desa tempat kelahirannya. Kemudian setelah umurnya

menginjak dewasa, ayahnya merasa tidak cukup kalau anaknya belajar di

dusun tempat kelahirannya itu. Maka pada tahun 649 H, bersama ayahnya

an-Nawawi berangkat ke Damaskus. Pada waktu itu tempat berkumpulnya

ulama’- ulama’ terkemuka, dan tempat kunjungan orang dari berbagai

pelosok untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman (Huda, 2011: 56).

Ketika berusia 9 tahun, ayahnya membawa dia ke Damsyiq untuk

menuntut ilmu lebih dalam lagi. Maka tinggallah dia di Madrasah Ar-

Rawahiyah pada tahun 649 H. Dia hafal kitab At-Tanbiih dalam tempo

empat setengah bulan dan belajar Al-Muhadzdzab karangan Asy-Syirazi

dalam tempo delapan bulan pada tahun yang sama. Dia menuntaskan ini

semua berkat bimbingan gurunya Al-Kamal Ishaq bin Ahmad bin Usman

Al-Maghribi Al-Maqdisi. Dia adalah guru pertamanya dalam ilmu fiqh dan

menaruh memperhatikan muridnya ini dengan sungguh-sungguh. Dia

merasa kagum atas ketekunannya belajar dan ketidaksukaannya bergaul

dengan anak-anak yang seumur. Sang guru amat mencintai muridnya itu

dan akhirnya mengangkat dia sebagai pengajar untuk sebagian besar

jamaahnya (Nawawi, t.th: 9-10).

19

Syeikh Yasin bin Yusuf al-Zarkashi, guru tariqatnya menceritakan

bahwa ketika Imam Nawawi berusia sepuluh tahun, beliau telah

menghafaz Al-Quran. Oleh yang demikian, gurunya itu berjumpa dengan

guru Al-Qurannya supaya menumpukan perhatian yang lebih terhadap

Imam Nawawi.

Pada Usia 19 tahun yaitu pada tahun 649 H, Imam Nawawi telah

dibawa oleh bapaknya ke kota Damsyiq dan menempatkannya di al-

Rawwahiyah. Al-Rawahiyyah merupakan sebuah pusat pengajian yang

termasyhur di Damsyiq yang terletak di sebuah timur Masjid Ibn Urwah.

Di sini lah Imam Nawawi Mendalami segala Ilmu agama. Kemudian

beliau berangkat ke tanah suci Mekah Mukarramah untuk menunaikan haji

bersama bapaknya dan singgah di Madinah untuk jangka masa beberapa

bulan. Dikatakan beliau mulai sakit dan kembali ke Kota Damsyiq untuk

meneruskan pengajian (Hakimah, 2011: 21-22).

Di penghujung usianya, Imam Nawawi bertolak ke negeri

kelahirannya dan berziarah ke Al-Quds dan Al-Khalil. Kemudian beliau

kembali ke Nawa dan ketika itulah beliau sakit di samping ayah bundanya.

Imam Nawawi Rahimahullah wafat pada malam Rabu 24 Rajab tahun 676

H dan dimakamkan di Nawa (Nawawi, t.th: 13). Kuburan beliau sangat

terkenal dan selalu diziarahi orang-orang yang mengagumi perjuangannya

dalam menegakkan agama Islam.

20

3. Akhlak dan Pribadi

Imam Nawawi seorang insan yang tidak terpengaruh dengan hiburan

di dunia. Beliau hanya menggunakan seluruh isi bumi yang ada hanya

dengan menuntut ilmu dan hanya untuk mencari keridhaan Allah. Beliau

memang terkenal dengan sifat tekunnya sehingga beliau dikatakan tidak

pernah berkahwin sehingga saat kematian beliau sampai (Hakimah, 2011:

21).

Imam Nawawi seorang yang sangat zuhud dalam kehidupannya. Pada

kebiasaannya, beliau hanya memakan roti Al-Ka’k dan buah Zaitun

Hauran yang dikirimkan oleh ayahnya sahaja (Hakimah, 2011: 21).

Syaikh Syamsuddin bin Al-Fakhr Al-Hanbali berkata, “Imam An-

Nawawi adalah sosok panutan, hebat, banyak hafal hadits, ahli di semua

bidang keilmuan, banyak menulis buku, sangat wara’ dan zuhud,

meninggalkan semua makanan enak kecuali yang dibawakan oleh

ayahnya, yaitu kue dan buah tin. Beliau memakai pakaian jelek dan

bertambal, beliau tidak mau masuk pemandian umum, beliau tidak

memakan semua buah-buahan, beliau tidak memakan satu dirham pun sari

semua aktivitasnya (Said, 2016: 20-21).

Imam Nawawi tekun menuntut ilmu-ilmu agama, mengarang,

menyebarkan ilmu, beribadah, berdzikir, sabar menjalani hidup yang amat

sederhana dan berpakaian tanpa berlebihan (Nawawi, t.th: 10).

Begitu juga dalam hal menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, tanpa

peduli apakah ia seorang penguasa atau bukan. Ia sering mengirim surat

21

kepada para penguasa yang berisikan nasihat agar selalu berlaku adil

dalam mengemban kekuasaan, menghapus cukai dan mengembalikan hak

kepada ahlinya. Ia amat rajin dan menghafal banyak hal, karena itu ia lebih

unggul dari teman-teman sebayanya (Al-Bugha, Muhyiddin Mistha, 2017:

10)

Beliau tidak mau menghabiskan waktunya kecuali menuntut ilmu.

Bahkan ketika beliau pergi kemanapun, dalam perjalanan hingga pulang ke

rumah, beliau sibuk mengulangi hafalan-hafalan dan bacaan-bacaannya.

Beliau bermujadalah dan mengamalkan ilmunya dengan penuh warak dan

membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh buruk sehingga dalam waktu

yang singkat beliau telah hafal hadits-hadits dan berbagai disiplin ilmu

hadits.

Tidak bisa dipungkiri dia adalah seorang alim dalam ilmu-ilmu fiqih

dan ushuludin. Beliau telah mencapai puncak pengatahuan madzhab Imam

Asy-Syafi’i ra dan imam-imam lainnya. Beliau juga memimpin Yayasan

Daarul Hadits Al-Asyrafiyah Al-Ulla dan mengajar bayaran disana tanpa

mengambil bayaran sedikitpun (Nawawi, t.th: 11).

B. Karya-Karya Imam Nawawi

Al-Imam an-Nawawi adalah ulama’ yang dikenal sebagai pengarang.

Sejak usianya berumur 25 tahun dia banyak menulis karya-karya ilmiah

(Huda, 2011: 56).

Beliau telah menghasilkan banyak kitab, dintaranya: Syarah Muslim, Al-

Irsyad dan At-Taqrib berkenaan dengan segi-segi umum hadits, Tahdzibul

22

Asmaa’wal Lughaat, Al-Manaasik Al-Sughra dan Al-Manaasik Al-Kubra,

Minhajut Taalibin, Bustaanul ‘Arifin, Khulaasahtul Ahkam fi Muhimmaatis

Sunan wa Qawaa’idil Islam, Raudhatut Taalibiin fii ‘Umdatil Muftiin,

Hulyatul Abrar wa Syi’aarul Akhyaar fii Talkhiisyid Da’awaat wal Adzkaar

yang lebih dikenal dengan nama Al-Adzkaar lin Nawawi dan At-Tibyan fii

Aadaabi Hamalatil Quran (Nawawi, t.th: 13).

Pengabdian ketekunan an-Nawawy membuahkan karya-karya yang

sangat bermanfaat bagi umat islam di dunia. Diantara kitab yang ia tulis ialah:

1. Minhaj at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin

2. Al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzzab as-Sirajy

3. Al-Minhaj fi Syarh Mukhtashar al-Muharrar

4. Tahdziib al-Asmaa` wa al-Lughaat

5. Riyadl ash-Shalihin min Kalaam Sayyid al-Mursaliin

6. Al-Adzkar

7. Al-IIdlah fi Manaasik al-Hajj

8. At-Tibyaan fi Aadaab Hamlah al-Qur`an

9. Tuhfah at-Thalib an-Nabiih

10. At-Tanqiih fi Syarh al-Wasith

11. At-Tahqiiq fi al-Fiqh

12. Muhimmaat al-Ahkaam

13. Syarh al-Bukhary

14. Al-‘Umdah fi Tashhiih at-Tanbiih

15. Thabaqaat asy-Syaafi’iyyah

23

16. Mukhtashar at-Tirmidzi

17. Qismah al-Qanaa’ah

18. At-Taqriib fi ‘Ilm al-Hadits

19. Al-Khulashah fi al-Hadits

20. Ru`uus al-Masaa`il

21. Mukhtashar at-Tanbiih

22. Nakt al-Muhadzab

23. Daqaa`iq ar-Raudlah

24. Mukhtashar Mubhamaat al-Khatiib

25. Al-Iijaz fi Syarh Sunan Abi Daawud

26. Al-Ushul wa al-Dlawaabith

27. Al-Masa`il al-Mantsurah yang lebih dikenal dengan al-Fataawaa

28. Al-Arba’in dikenal dengan Arba’in An-Nawawy, di Indonesia masyhur

dengan nama Hadits Arba’in (https://masayikh.com/biografi-tokoh-

islam-imam-muhyiddin-yahya-an-nawawi/ diakses pada 4 September

2018, 22:10)

C. Guru-Guru Imam Nawawi

Imam Nawawi dikatakan telah mengusai kesemua ilmu Islam. Guru-guru

yang pernah mengajar beliau merupakan tokoh-tokoh ilmuan Islam yang

besar dan mempunyai kepakaran bidang masing-masing. Antara guru-guru

beliau adalah Tajuddin al-Fazari yang terkenal dengan al-Farkah, al-Kamal

Ishaq al-Maghribi, Abdurrahman bin Nuh, Umar bin As’ad al-Arbali dan Abu

al-Hassan Salam bin al-Hassan al-Arbali (Hakimah, 2011: 23).

24

Imam Nawawi belajar pada guru-guru yang amat terkenal seperti Abdul

Aziz bin Muhammad Al-Ashari, Zainuddin bin Abdud Daim, Imaduddin din

Abdul Karim Al-Harastani, Zainuddin Abul Baqa, Khalid bin Yusuf Al-

Maqdisi An-Nabalusi dan Jamaluddin Ibn Ash-Shairafi, Taqiyuddin bin Abul

Yusri, Syamsuddin bin Abu Umar. Dia belajar fighul hadits pada Asy-Syeikh

Al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa Al-Muradi Al-Andalusi. Kemudian

belajar fiqh pada Al-Kamal Ishaq bin Ahmad bin Usman Al-Maghribi Al-

Maqdisi, Syamsuddin Abdurrahman bin Nuh dan Izzuddin Al-Arbili serta

guru-guru lainnya (Nawawi, t.th: 10).

D. Sistematika Penulisan Kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran

Secara garis besar penulisan kitab At-Tibyan fi Adaabi Hamalatil Quran

terbagi menjadi 10 bagian yaitu:

1. Keutamaan Pembaca Al-Quran dan Penghafalnya

2. Keutamaan Qiraah dan Ahluqiraah

3. Keharusan Memuliakan Ahluquran dan Larangan Menyakiti Mereka

4. Adab Pengajar dan Pelajar Al-Quran

5. Adab Para Penghafal Al-Quran

6. Adab Membaca Al-Quran

7. Adab Mulia Terhadap Al-Quran

8. Anjuran Membaca Ayat dan Surah Pada Waktu dan Keadaan Tertentu

9. Menulis dan Memuliakan Mushaf Al-Quran

10. Akurasi Nama dan Bahasa dalam Kitab Sesuai Urutan Letaknya

25

BAB III

DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM NAWAWI TENTANG ADAB

MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI

HAMALATIL QURAN

A. Pengertian Adab Membaca Al-Quran

Menurut al-Attas, secara etimologi (bahasa) adab berasal dari bahasa

Arab yaitu addaba-yu’addibu-ta’dib yang telah diterjemahkan oleh al-Attas

sebagai ‘mendidik’ atau ‘pendidikan’. Dalam kamus Al-Munjid dan Al

Kautsar, adab dikaitkan dengan akhlak yang memiliki arti budi pekerti,

perangai, tingkah laku atau tabiat sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.

Sedangkan, dalam bahasa Yunani adab disamakan dengan kata ethicos atau

ethos, yang artinya kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk

melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika (Nasir, 1991:

14).

Al-Ghazali dalam kitab ihya’ Ulum Al-Din menyatakan bahwa

pengertian akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang

memunculkan suatu perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu

pertimbangan dan analisa (jamil, 2013:2).

Sebagai manusia tentu mempunyai adab atau norma-norma tersendiri

agar hidupnya terarah. Baik norma terhadap diri sendiri, makhluk ciptaan-

Nya dan terhadap Allah SWT. Salah satu norma yang perlu diperhatikan

adalah ketika berinteraksi dengan kalam Allah yaitu Al-quran Al-Karim.

Membaca, menghafal atau mempelajarinya.

26

Al-Quran adalah kalam Allah, menghafalkannya adalah aktivitas yang

paling besar nilainya, karena hal itu akan membuka pintu-pintu kebaikan.

Dan ingatlah bahwa Rasulullah SAW diutus karena sesuatu yang penting dan

mendasar, yaitu Al-Quran (Al-Kahil, 2011: 19). Untuk berbicara dengan

Allah adalah dengan memahami kalam Allah yaitu dengan memahami Al-

Quran.

Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili ia berkata, aku mendengar

Rasulullah bersabda:

اقرءوا القرآن, فانه يأتى يوم القيامة شفيعالصحابه “Bacalah Al-Quran karena ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai

pemberi syafaat bagi pembacanya.” (HR. Muslim: 804) (Muslim, 2014:

330)

Al-Quran merupakan mukjizat dari Allah SWT sehingga, segala sesuatu

yang berkaitan dengan Al-Quran sudah tentu merupakan hal yang luar biasa

(Yusuf, 2013: 15). Maka penghafal Al-Quran adalah sosok yang luar biasa.

Jadi, adab membaca Al-Quran adalah norma, tata cara, budi pekerti,

perangai, tingkah laku atau tabiat yang sesuai dengan nilai-nilai agama Islam

dalam berinteraksi dengan kalam Allah agar dapat mengetahui dan

mendekatkan diri dengan Allah. Hal ini untuk mengetahui siapa Allah harus

memahami dulu ciptaan-Nya.

B. Pemikiran Imam Nawawi Tentang Adab Membaca Al-Quran dalam

Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran

Abu Zakariya Yahya bin Syarif ad-Din an-Nawawi telah menghasilkan

banyak kitab. Salah satu diantaranya adalah At-Tibyan fi Adaabi Hamalatil

Quran. Salah satu bab dalam kitab tersebut menjelaskan adab membaca Al-

27

Quran. Adapun adab-adab membaca Al-Quran menurut Imam Nawawi (2018:

67-109) adalah:

1. Ikhlas

Wajib bagi orang yang membaca Al-Quran untuk ikhlas, memelihara

etika ketika berhadapan dengannya, hendaknya ia menghadirkan perasaan

dalam dirinya bahwa ia tengah bermunajat pada Allah, dan membaca

seakan-akan ia melihat keberadaan Allah Ta’ala, jika ia tidak bisa

melihatnya maka sesungguhnya Allah melihatnya.

2. Membersihkan Mulut

Jika hendak membaca Al-Quran hendaknya ia membersihkan

mulutnya dengan siwak atau lainnya dan siwak yang berasal dari tanaman

arok lebih utama, bisa juga dengan jenis kayu-kayuan lain, atau dengan

sobekan kain kasar, garam abu (alkali), atau lainnya.

Sebagian ulama berkata: “ Doa ketika bersiwak adalah

احمين اللهم با رك لي فيه يا أرحم الر“Ya Allah berkahilah aku dengan apa yang ada padanya, wahai Dzat

yang Maha Pengasih.” (Nawawi, 2018: 68).

Mawardi, seorang ulama bermadzhab Syafi’i, berkata: “Disunahkan

untuk menyikat sebelah luar dan sebelah dalam gigi, menyikat pokok-

pokok gigi, gusi gigi-gigi geraham, dan langit-langit mulut dengan

lembut.” (Nawawi, 2018: 68).

Para ulama berkata: “hendaknya bersiwak dengan batang yang

sedang-sedang saja, tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Jika terlalu

28

kering lunakkanlah dengan air dan tidak mengapa menggunakan siwak

milik orang lain dengan seizinnya.

Adapun jika rongga mulutnya terkena najis yang berasal dari darah

atau lainnya maka makruh baginya membaca Al-Quran sebelum

membasuhnya.

3. Dalam Kondisi Suci

Sebaiknya orang yang hendak membaca Al-Quran berada dalam

kondisi suci dan boleh jika ia dalam keadaan berhadats berdasarkan

kesepakatan kaum muslimin, hadits mengenai hal ini banyak dan sudah

masyhur.

Imam Haramain berkata: “tidak dikatakan bahwa ia melakukan suatu

hal yang makruh akan tetapi ia meninggalkan sesuatu yang lebih afdhal.

Jika ia tidak menemukan air maka hendaknya ia bertayamum, untuk

wanita yang biasa istihadhah ia dihukumi sebagaimana orang yang

berhadats” (Nawawi, 2018: 68-69).

Untuk yang junub dan haid maka haram bagi keduanya membaca Al-

Quran, satu ayat atau tidak sampai satu ayat. Dibolehkan bagi keduanya

untuk membaca Al-Quran di dalam hati tanpa dilafalkan, juga boleh

melihat mushaf, dan mengingat-ingatnya dalam hati (Nawawi, 2018: 69).

Kaum muslimin sepakat bolehnya bertasbih, bertahlil, bertahmid,

bertakbir, dan bershalawat atas Rasulullah, serta dzikir lainnya bagi orang

yang haid dan orang yang junub.

29

4. Bertayamum, jika Tidak Mendapat Air

Jika orang yang haid atau junub tidak mendapati air untuk bersuci

maka hendaknya bertayamum dan setelah itu boleh baginya mengerjakan

sholat, membaca Al-Quran, dan melakukan ibadah lainnya. Jika berhadats

maka haram baginya shalat tetapi tidak untuk membaca Al-Quran dan

duduk di masjid, yang merupakan hal-hal yang tidak diharamkan bagi

orang yang berhadats sebagaimana yang tidak diharamkan bagi keduanya

jika telah mandi janabat kemudian berhadats (Nawawi, 2018: 70).

Sebagian ulama bermadzhab Syafi’i menyebutkan bahwa orang junub

yang mukim bila bertayamum maka boleh baginya melaksanakan shalat,

dan setelahnya tidak boleh membaca Al-Quran ataupun duduk di masjid.

Yang benar adalah boleh, sebagaimana yang telah kami sebutkan

(Nawawi, 2018: 71).

Seandainya ia bertayamum kemudian shalat dan membaca Al-Quran

lalu ia menemukan air maka wajib baginya menggunakan air tersebut

karena pada saat itu haram baginya membaca Al-Quran dan melaksanakan

apapun yang diharamkan bagi orang yang junub hingga mandi jinabat.

5. Tempat yang Bersih

Hendaknya membaca Al-Quran di tempat yang bersih dan nyaman,

mayoritas ulama lebih suka kalau tempatnya di masjid karena bersih secara

global, tempat yang mulia, serta tempat untuk melakukan keutamaan

lainnya, seperti iktikaf; maka hendaknya setiap yang duduk di dalam

masjid meniatkan iktikaf baik duduknya dalam waktu lama ataupun

30

sebentar bahkan hendaknya ia meniatkan hal tersebut sejak pertama kali

masuk masjid, inilah adab yang seharusnya diperhatikan, dan

diberitahukan kepada anak-anak dan orang awam, karena ini termasuk hal

yang terlupakan.

Adapun membaca Al-Quran di kamar mandi, para salaf berbeda

pendapat mengenai kemakruhannya. Para ulama yang mengatakan tidak

makruh, sebagaimana dinukil oleh Imam yang disepakati kemuliaanya,

Abu Bakar bin Mundzir dalam Al-Isyraf dari Ibrahim An-Nakha’i dan

Malik, yang merupakan perkataan Atha’, banyak kelompok yang

sependapat dengan hal ini diantaranya Ali bin Abi Thalib.

Adapun membaca Al-Quran di jalan dibolehkan selama tidak

mengganggu penggunanya, jika sampai mengganggu penggunanya maka

hukumnya menjadi makruh sebagaimana Nabi Muhammad memakruhkan

orang yang mengantuk membaca Al-Quran karena khawatir terjadi

kesalahan. Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa Abu Darda’ pernah

membaca Al-Quran di jalan, ia juga meriwayatkan bahwa Umar bin

Abdulaziz yang mengizinkan ha tersebut.

6. Menghadap Kiblat

Hendaknya orang yang membaca Al-Quran di luar shalat

membacanya dengan menghadap kiblat. Duduk dalam keadaan khusyuk

dan tenang jiwa raganya, menundukkan kepala, tetap menjaga adab duduk

seakan-akan berada di hadapan gurunya; dan ini lebih sempurna.

31

Seandainya ia membacanya dalam keadaan berdiri, berbaring, di

kasurnya, atau dengan berbagai pose pun boleh, dan baginya pahala

walaupun pahalanya bukan seperti pada posisi yang pertama.

Allah ta’ala berfirman:

.... Artinya: ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih

bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-

orang yang berakal,

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau

duduk atau dalam keadan berbaring... (Ali Imran: 190-191)

7. Memulai Qiraah dengan Ta’awudz

Ketika ingin membaca Al-Quran disyariatkan untuk berta’awudz,

yaitu dengan bacaan:

اعوذ باهلل من الشيطان الرجيم “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk,”

demikianlah yang dikatakan jumhur ulama.

Dahulu beberapa kelompok salaf berta’awudz dengan lafal

يطان الرجيم اعوذ باهلل السميع العليم من الش Dengan lafal ini pun tidak mengapa, akan tetapi lebih baik yang

pertama.

Ta’awudz hukumnya sunnah bukan wajib, sunnah bagi setiap orang

yang membaca Al-Quran baik saat shalat maupun di luar shalat, sunah

pula membacanya di setiap rekaat shalat berdasarkan pendapat yang paling

shahih diantara dua pendapat para ulama (Nawawi, 2018: 76).

32

Pendapat kedua mengatakan, sesungguhnya sunahnya hanya pada

rekaat pertama saja namun jika lupa hendaknya ia membacanya pada reaat

kedua. Dan disunahkan untuk membaca ta’awudz pada takbir pertama

shalat jenazah menurut pendapat yang paling shahih diantara dua pendapat

yang ada.

8. Membiasakan Mengawali Setiap Surah dengan Basmalah

Hendaknya selalu membaca basmalah di awal setiap surah selain

surah bara’ah (At-Taubah), mayoritas ulama berpendapat itu termasuk ayat

lanjutan bukan awal surah sebagaimana dalam mushaf, setiap awal surah

selalu diawali dengan tulisan lafal basmalah kecuali surah At-Taubah

(Nawawi, 2018: 76).

Jika ia membacanya berarti ia telah banar-benar mengkhatamkan Al-

Quran, atau mengkhatamkan surah tersebut; dan jika ia tidak membaca

basmalah di setiap awal surahnya maka sama dengan meninggalkan

sebagian Al-Quran, menurut mayoritas ulama. Dengan kata lain, bila ia

diupah untuk membaca Al-Quran per asba’ atau persekian juz maka

perhatian untuk membaca basmalah lebih ditekankan karena merupakan

konsekuensi berhaknya ia memperoleh upah tersebut, jika ia tidak

membacanya maka ia tidak berhak mengambil upah tersebut bagi yang

berpendapat: basmalah merupakan awal surah. Ini merupakan

permasalahan rumit yang sangat ditekankan perhatian dan pengamalannya.

33

9. Mentadaburi Ayat

Disyariatkan ketika membaca Al-Quran dalam keadaan khusyuk,

banyak dalil mengenai syariat tadabur ketika membaca Al-Quran, yang

paling masyhur yang sering disebut:

Artinya: “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran?”

(An-Nisa’: 82)

Banyak hadits begitu pula atsar yang masyhur terkait masalah ini.

Banyak kelompok dari salafus shalih yang bergadang hingga pagi untuk

membaca, mengulang-ulang, dan merenungi sebuah ayat; banyak pula

salafush shalih yang pingsan ketika sedang membaca Al-Quran; dan tidak

sedikit yang meninggal dunia dalam kondisi membaca Al-Quran.

As-Sayid al-Jalil, seorang yang memiliki banyak kelebihan dan

wawasan, Ibrahim Al-Khawash berkata, “Obat hati ada 5 yaitu (Nawawi,

2018: 78):

a. Membaca Al-Quran dan merenunginya

b. Mengosongkan perut

c. Qiyamulail

d. Berdoa pada waktu sahar (akhir malam)

e. Dan bersahabat dengan orang-orang shalih

10. Mengulang-ulang Ayat Tertentu untuk Direnungi

Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari ia berkata. Rasulullah

bersabda:

34

د بيده لهو أشد تفلتا من الءبل في تعا هدوا هذا القرآن، فوالذي نفس محم

عقلها“Ulang-ulanglah Al-Quran ini. Demi dzat yang jiwa Muhammad

berada di tangan-Nya, ia lebih cepat lepas daripada unta dalam ikatan.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika membaca Al-Quran agar dapat menangis ketika membacanya

karena hal demikian merupakan sifat orang-orang yang arif dan tanda-

tanda hamba-hamba Allah yang shalih.

Allah Ta’ala berfirman:

Artinya: “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil

menangis dan mereka bertambah khusyu'” (Al-Isra’: 109)

11. Membaca dengan Tartil

Hendaknya membaca Al-Quran dengan tartil. Para ulama sepakat

akan dianjurkannya hal itu.

Allah Ta’ala berfirman:

...

Artinya: “bacalah Al Quran itu dengan tartil.” (Al-Muzammil: 4)

12. Memohon Karunia Allah saat Membaca Ayat Rahmat

Jika membaca ayat tentang rahmat hendaknya ia memohon karunia

Allah, dan ketika membaca ayat tentang adzab hendaknya meminta

perlindungan dari keburukan, adzab, atau dengan mengucapkan do’a

اللهم ان ي اسألك العا فية “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keselamatan.”

Atau:

أسألك العا فية من كل مكروه

35

“Aku mohon keselamatan dari segala hal yang tidak disukai.”

Ataupun dengan lafal doa yang lain.

Jika ia mendapati ayat tanzih lillah (yang mengandung pemaha sucian

Allah) hendaknya ia memahasucikan-Nya dengan perkataan: Subhanahu

wa Ta’ala, Tabaraka wa Ta’ala, atau ucapan Jallat ‘Azhamatu Rabbina.

Menurut Gufron & Rahmawati (2013: 10) adab membaca Al-Quran

secara bathiniyah adalah tersentuh hati dengan bacaan. Jika membaca ayat-

ayat rahmat hendaknya merasa senang, sebaliknya jika membaca ayat-ayat

adzab dan ancaman hendaknya hati merasa sedih dan takut.

13. Menghormati Al-Quran

Termasuk perkara yang perlu diperhatikan dan sangat ditekankan

adalah penghormatan terhadap Al-Quran, yaitu dengan menghindari

perkara yang sering disepelekan oleh sebagian orang yang lalai dan para

qari’ yang membaca Al-Quran secara bersama-sama.

Diantara penghormatan terhadap Al-Quran, yaitu menghindari

tertawa, bersorak sorai, dan berbincang-bincang di sela-sela qiraah kecuali

perkataan yang sangat mendesak. Sebagai praktik dari firman Allah

Ta’ala:

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah

baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat

rahmat.” (Al-A’raf: 2014)

Hendaknya ia berpedoman pada riwayat Ibnu Abi Daud, dari Ibnu

Umar bahwa jika membaca Al-Quran ia tidak berbicara hingga

36

menyelesaikan bacaannya. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya,

ia berkata: “Ia tidak berbicara hingga menyelesaikannya )Bukhori, 1995/

4526).

كان ابن عمر رضي هللا عنهما إذا قرأ القرآن لم يتكلم حتى يفرغ منه

فأخذت عليه يوما, فقرأ سورة البقرة حتى انتهى إلى مكان قال : تدري

ي كذا وكذا ثم مضى فيما أنزلت : ل. قال : أنزلت ف (Bukhori: 1995/ 4526)

Tidak boleh juga memandang hal-hal yang dapat mengalihkan

perhatian dan konsentrasi. Yang lebih buruk lagi ialah melihat orang yang

tidak boleh dilihat, seperti melihat amrad (remaja yang belum tumbuh

kumis dan jenggot) atau lainnya. Melihat amrad tanpa adanya keperluan,

hukumnya haram baik dengan disertai syahwat ataupun tidak, baik ketika

kondisi aman dari fitnah atau tidak. Ini merupakan madzhab shahih yang

dipilih oleh para ulama. Imam Syafi’i dan banyak ulama lainnya telah

menyatakan keharamannya.

14. Tidak Boleh Membaca Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

Tidak boleh membaca Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain

Bahasa Arab, baik ia pandai berbahasa Arab ataupun tidak, di dalam shalat

ataupun di luar shalat. Jika ia melakukan hal ini dalam shalat maka tidak

sah shalatnya. Ini pendapat madzhab Imam Syafi’i juga Imam Malik,

Ahmad, Daud, dan Abu Bakar bin Mundzir.

Adapun Abu Hanifah berpendapat, “Hal itu diperbolehkan dan

shalatnya sah.” (Nawawi, 2018: 91).

37

Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat: “Boleh, bagi orang yang

tidak bisa berbahasa Arab dengan baik dan tidak boleh bagi yang bisa

berbahasa Arab dengan baik.” (Nawawi, 2018: 91).

15. Boleh Membaca Al-Quran Menggunakan Qiraah Sab’ah

Boleh membaca Al-Quran menggunakan tujuh macam qiraah yang

telah disepakati. Adapun dengan yang lainnya tidak boleh, walaupun

dengan riwayat syadz yang diriwayatkan dari ketujuh qari’ tersebut

(Nawawi, 2018: 91).

Jika ia memulai qiraah dengan menggunakan qiraah salah satu qari’,

hendaknya ia masih menggunakan qiraah tersebut selama ayat yang

sedang dibacanya masih berkaitan dengan ayat berikutnya. Jika ia telah

selesai membacanya ia boleh mengganti qiraahnya dengan qiraah sab’ah

lainnya. Akan tetapi yang lebih utama, dalam satu majlis ia tetap

menggunakan satu macam qiraah.

16. Membaca Al-Quran Sesuai Urutan Mushaf

Para ulama’ berkata: “Yang paling utama, membaca Al-Quran sesuai

urutan mushaf. Pertama ia membaca Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah,

kemudian Ali Imran, dan seterusnya berdasarkan urutan, ketika shalat

ataupun di luar shalat. Sampai-sampai sebagian ulama mengatakan: “Jika

pada rekaat pertama ia membaca surah An-Nas maka pada rekaat kedua,

setelah Al-Fatihah ia membaca Al-Baqarah (Nawawi, 2018: 92).

Pengurutan surah dalam mushaf dijadikan demikian karena suatu

hikmah, hendaknya ia membiasakan hal ini kecuali jika terdapat dalil

38

pengecualian dalam syariat, seperti sunahnya membaca surah As-Sajdah

pada rekaat pertama dan Al-Insan pada rekaat kedua shalat Subuh pada

hari Jumat; membaca surah Qaf pada rekaat pertama dan surah Al-Qamar

pada rekaat kedua shalat Id. Ketika shalat sunah Fajar disunahkan untuk

membaca surah Al-Kafirun pada rekaat pertama dan Al-Ikhlas pada rekaat

kedua. Ketika shalat witir disunahkan membaca surah Al-A’la pada rekaat

pertama, Al-Kafirun pada rekaat kedua, dan Al-Ikhlash serta

mu’awidzatain pada rekaat ketiga.

17. Membaca Al-Quran dengan Melihat Mushaf

Membaca Al-Quran dengan menggunakan mushaf lebih afdhal

daripada membaca Al-Quran sekedar mengandalkan hafalan, karena

melihat mushaf adalah ibadah yang dituntut. Sehingga selain membaca ia

juga melihat ayat yang tengah dibacanya.

Membaca Al-Quran dengan hanya mengandalkan hafalan menjadi

pilihan bagi yang bisa mencapai kekhusyukan dan tadaburnya dengan hal

itu dan bertambah kekhusyukan dan tadaburnya jika ia membacanya dari

mushaf. Ini adalah pendapat yang bagus.

18. Tidak Mengeraskan Suara Ketika Membaca Al-Quran

Ini sub bab penting yang patut diperhatikan. Ketahuilah bahwa ada

banyak hadits shahih dalam kitab shahih ataupun kitab lainnya yang

menunjukkan mustahabnya mengeraskan suara ketika membaca Al-Quran,

ada pula atsar-atsar yang menunjukkan mustahabnya menyamarkan suara

dan merendahkannya.

39

Terdapat riwayat dalam kitab Shahih dari Abu Hurairah ia berkata,

saya pernah mendengar Nabi bersabda:

ما أذن هللا لشيء ما أذن لنبي حسن الصوت يتغنى بالقرآن “Tidaklah Allah mendengar sesuatu dengan seksama sebagaimana

Allah mendengarkan suara merdu seorang Nabi yang sedang

menyenandungkan Al-Quran, mengeraskan bacaannya.” (Muslim, 2014:

326).

Banyak hadits mengenai disyariatkannya mengeraskan suara ketika

membaca Al-Quran, yaitu bersumber dari atsar pun tak terhitung

banyaknya, yang akan disebutkan yang paling masyhur. Semuanya

mengenai orang-orang yang tidak khawatir terjangkit riya’, ujub, juga sifat

buruk lainnya, dan tidak mengganggu jamaah lain. Sungguh sekelompok

salaf lebih memilih merendahkan suaranya karena khawatir.

19. Dianjurkan Membaguskan Suara ketika Qiraah

Para ulama yang terdiri dari salaf, khalaf, sahabat, tabi’in, dan ulama-

ulama kaum muslimin setelah mereka sepakat atas anjuran membaguskan

suara ketika membaca Al-Quran. Perkataan dan perbuatan mereka yang

masyhur berkaitan dengan larangan mengharapkan popularitas.

Para ulama berkata: “dianjurkan membaguskan suara ketika membaca

Al-Quran dan melagukannya selama tidak sampai memanjang-manjangkan

qiraah. Jika ia berlebihan hingga bertambah satu huruf atau malah

mengurangi satu huruf maka hukumnya menjadi haram (Nawawi, 2018:

112).

C. Keutamaan Membaca Al-Quran

40

Membaca Al-Quran lebih afdhal jika dibandingkan dengan melafalkan

tasbih, tahlil, serta lafal dzikir lainnya. Ini pendapat shahih yang dipilih dan

diyakini oleh sebagian ulama. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut

(Nawawi, 2018: 15-16).

Banyak sekai nash-nash, baik dalam Al-Quran maupun Hadits yang

menyebutkan tentang keutamaan Al-Quran, membacanya dan menghafalnya,

diantaranya:

1. Sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari Al-Quran dan

mengajarkannya

م هللا وجهه قل : قل رسولهلل صلى هللا عليه وسلم : خيركم من تعلم عن على كر

القرآن وعلمه Artinya: “Dari Aly-Karomallahu wajhah, ia berkata: Rasulullah

bersabda: Sebaik-baik kamu sekalian adalah orang yang

mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (Ad-Darimy

Juz II/ 437)

2. Al-Quran menjadi penawar dan rahmat

Dalam Al-Quran surah Al- Isra’: 82

Artinya: “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar

dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu

tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain

kerugian.”

3. Al-Quran akan menolong pada hari kiamat

Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili ia berkata, aku mendengar

Rasulullah bersabda:

اقرءوا القرآن, فانه يأتى يوم القيامة شفيعالصحابه

41

“Bacalah Al-Quran karena ia akan datang pada Hari Kiamat

sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya.” (HR. Muslim: 804)

(Muslim, 2014: 330)

4. Al-Quran merupakan petunjuk ke jalan yang baik

Rasulullah SAW bersabda: “Apabila perkara-perkaramu samar seperti

kegelapan malam, hendaklah kamu membaca Al-Quran. Sebab ia

merupakan juru tolong. Barangsiapa menjadikan Al-Quran berada di

hadapannya, akan memimpinnya sampai surga; dan barang siapa

meletakkannya di belakang, akan menuntunnya ke neraka. Ini

menunjukkan bukti bahwa ia menunjukkan jalan kebaikan. Al-Quran

adalah kitab yang mengandung penjelasan, sekaligus menjadi pemisah

antara hak dan batil. Al-Quran jga memiliki aspek lahir dan batin;

lahiriyahnya adalah hukum, batinnya adalah ilmu; lahiriyahnya indah,

batinnya mendalam. Segenap keajaibannya tak terbilang. Di dalamnya

terkandung cahaya petunjuk dan pelita hikmah (al-Karazkani, 1991: 239).

Jadi, Al-Quran memberikan petunjuk kepada manusia menuju jalan

yang diridhoi Allah yaitu surga.

5. Bagi yang membaca, Akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT (Amien,

2008: 6)

6. Al-Quran adalah kitab pembimbing manusia

Al-Quran membawa cahaya terang benderang untuk mengeluarkan

manusia dari kegelapan; Al-Quran memberi penjelasan dan bimbingan

yang lurus; sebagai kabar gembira bagi yang beriman dan beramal saleh

(Hadhiri SP, 2005: 173).

42

D. Manfaat Membaca Al-Quran

Al-Quran itu tidak ada keraguan di dalamnya bagi orang yang beriman;

bahkan semakin bertambah imannya bila Al-Quran dibaca (Hadhiri SP, 2005:

175). Tidak akan merugi orang-orang yang membaca Al-Quran. Satu huruf

dari bacaan Al-Quran sudah dihitung pahala bagi yang membacanya.

Menurut Annisa (2017: 46) Al-Quran mempunyai pengaruh yang besar

terhadap kejiwaan seseorang. Hal ini dibuktikan dengan berubahnya jiwa dan

kepribadian bangsa Arab setelah mereka mengenal Al-Quran. Al-Quran telah

mengubah kepribadian mereka secara total meliputi akhlak perilaku, cara

hidup, prinsip, cita-cita dan nilai-nilai serta membentuk mereka menjadi

masyarakat yang bersatu, teratur dan bekerjasama. Bahkan perubahan besar

yang ditimbulkan oleh Al-Quran dalam jiwa bangsa Arab ini belum ada

bandingannya dalam sejarah seruan-seruan kepercayaan yang pernah muncul

di seManfaatpanjang kurun sejarah yang berbeda. Tidak dipungkiri lagi

dalam Al-Quran terdapat daya spiritual yang luar biasa terhadap jiwa

manusia.

Banyak sekali keutamaan serta manfaat yang bisa diambil dari membaca

Al-Quran antara lain (https://dalamislam.com/landasan-agama/al-

quran/manfaat-membaca-al-quran, diakses pada 8 September 2018, 12:15):

1. Membaca Al-Quran dapat menuntun ke jalan kebenaran, kebaikan, dan

keselamatan

2. Membaca Al-Quran dapat melembutkan hati

3. Mambaca Al-Quran akan membuat hati menjadi tentram

43

4. Membaca Al-Quran, maka Allah akan melimpahkan rahmad dan

penawar bagi segala penyakit

5. Dengan membaca Al-Quran Allah SWT akan memberikan pahala yang

berlipat ganda

6. Membaca Al-Quran maka Allah akan menolong kita dari kerugian dan

Allah akan menambahkan karunianya

7. Membaca Al-Quran akan membawa syafaat bagi kita di akhirat

8. Allah SWT tidak akan menyesatkan mereka yang membca Al-Quran

9. Membaca Al-Quran merupakan bukti kecintaan kita kepada Allah SWT

dan Rasul-Nya

10. Membaca Al-Quran, maka para malaikat akan selalu bersamanya

11. Membaca Al-Quran kita bisa mengetahui kisah-kisah dari para Nabi

dan Rasul Allah SWT

12. Membaca Al-Quran bisa tahu apa-apa yang disukai dan apa-apa yang

dilarang Allah SWT

13. Membaca Al-Quran bisa mengetahui apa-apa yang harus dilakukan

untuk kebutuhan kehidupan di akhirat kelak

14. Membaca Al-Quran maka Allah SWT akan mengeluarkan kita dari

kegelapan

15. Mereka yang membaca Al-Quran diibaratkan seperti buah yang

memiliki rasa dan bau yang enak

16. Membaca Al-Quran, Allah SWT akan menjadikan kita sebagai

keluarganya

44

17. Membaca Al-Quran, maka Allah SWT akan menjaga kita

18. Membaca Al-Quran meskipun tidak meminta sesuatu dari Allah, maka

Allah SWT akan memberikan sesuatu yang lebih baik daripada orang-

orang yang meminta sesuatu kepada-Nya

19. Dengan membaca Al-Quran maka Allah akan mengkaruniakan kepada

orang tua kita mahkota yang berkilauan

20. Membaca Al-Quran kita akan tahu berbagai tanda-tanda kekuasaan

Allah SWT

45

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Adab Membaca Al-Quran Menurut Imam Nawawi

Setiap perbuatan manusia pasti memiliki aturan tersendiri. Dan

hakikatnya manusia memiliki kebenaran dan kesalahan masing-masing,

memiliki tolak ukur masing-masing. Adanya peraturan masih terjadi

kekeliruan dimana-mana, bagaimana jika tidak ada sama sekali. Bahkan

paradigma orang terbalik, mereka beranggapan bahwa adanya peraturan

untuk dilanggar. Padahal tidak akan ada peraturan jika tidak ada kesalahan.

Maka Allah SWT menurunkan wahyu berupa Al-Quran kepada Nabi

Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya sebagai petunjuk dan

pedoman hidup. Seperti yang kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW

adalah sebagai penyempurna akhlak.

Bagaimana untuk memahami wahyu Allah tersebut?

Yaitu dengan meneguhkan Iman terhadap Allah dan ciptaan-Nya. Kenali

diri sendiri, kenali ciptaan-Nya, maka akan mengenali Allah SWT.

A45bu Zakariya Yahya bin Syarif ad-Din an-Nawawi menghasilkan

karya yang mana karya tersebut akan mendekatkan diri dengan Allah. Yaitu

kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran yang menjelaskan bagaimana tata

cara berinteraksi dengan Al-Quran sehingga kita tahu bagaimana berinteraksi

dengan Allah karena Al-Quran adalah kalam Allah SWT.

Salah satu bab dalam kitab karya Imam Nawawi tersebut adalah

bagaimana adab membaca Al-Quran.

46

Adapun adab-adab membaca Al-Quran menurut Imam Nawawi (2018:

67-109) adalah:

1. Ikhlas

Wajib bagi orang yang membaca Al-Quran untuk ikhlas, memelihara

etika ketika berhadapan dengannya, hendaknya ia menghadirkan

perasaan dalam dirinya bahwa ia tengah bermunajat pada Allah, dan

membaca seakan-akan ia melihat keberadaan Allah Ta’ala, jika ia tidak

bisa melihatnya maka sesungguhnya Allah melihatnya.

Tulus di dalam hati melakukan etika terhadap Al-Quran dan

meyakini sepenuh hati bahwa Allah selalu ada.

Ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah SWT dalam beramal tanpa

menyekutukan-Nya dengan yang lain, serta memurnikan niat dari

“kotoran” yang merusak. Suatu ketaatan jika dilakukan dengan tidak

ikhlas dan jujur terhadap Allah SWT maka amalan itu tidak ada nilainya

dan tidak mendapatkan pahala. Bahkan yang lebih ironis, pelakunya akan

mendapatkan ancaman Allah SWT yang sangat besar (Syukur, 2013:

114-115).

2. Membersihkan Mulut

Jika hendak membaca Al-Quran hendaknya ia membersihkan

mulutnya dengan siwak atau lainnya dan siwak yang berasal dari

tanaman arok lebih utama, bisa juga dengan jenis kayu-kayuan lain, atau

dengan sobekan kain kasar, garam abu (alkali), atau lainnya.

Sebagian ulama berkata: “ Doa ketika bersiwak adalah

47

احمين اللهم با رك لي فيه يا أرحم الر“Ya Allah berkahilah aku dengan apa yang ada padanya, wahai

Dzat yang Maha Pengasih.”

Mawardi, seorang ulama bermadzhab Syafi’i, berkata: “Disunahkan

untuk menyikat sebelah luar dan sebelah dalam gigi, menyikat pokok-

pokok gigi, gusi gigi-gigi geraham, dan langit-langit mulut dengan

lembut.” (Nawawi, 2018: 68).

Para ulama berkata: “hendaknya bersiwak dengan batang yang

sedang-sedang saja, tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Jika

terlalu kering lunakkanlah dengan air dan tidak mengapa menggunakan

siwak milik orang lain dengan seizinnya.

Adapun jika rongga mulutnya terkena najis yang berasal dari darah

atau lainnya maka makruh baginya membaca Al-Quran sebelum

membasuhnya.

Istilah siwak sebenarnya merujuk pada aktivitas menggosok gigi.

Kata siwak sendiri jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti

menggosok. Jadi, maksud di dalam sub bab ini adalah menggosok gigi,

dengan pasta gigi atau sejenisnya.

3. Dalam Kondisi Suci

Al-Quran itu suci. Maka untuk berinteraksi dengannya sebaiknya

dalam keadaan yang suci pula.

Sebaiknya orang yang hendak membaca Al-Quran berada dalam

kondisi suci dan boleh jika ia dalam keadaan berhadats berdasarkan

48

kesepakatan kaum muslimin, hadits mengenai hal ini banyak dan sudah

masyhur.

Imam Haramain berkata: “tidak dikatakan bahwa ia melakukan suatu

hal yang makruh akan tetapi ia meninggalkan sesuatu yang lebih afdhal.

Jika ia tidak menemukan air maka hendaknya ia bertayamum, untuk

wanita yang biasa istihadhah ia dihukumi sebagaimana orang yang

berhadats.” (Nawawi, 2018: 68-69).

Untuk yang junub dan haid maka haram bagi keduanya membaca

Al-Quran, satu ayat atau tidak sampai satu ayat. Dibolehkan bagi

keduanya untuk membaca Al-Quran di dalam hati tanpa dilafalkan, juga

boleh melihat mushaf, dan mengingat-ingatnya dalam hati.

Kaum muslimin sepakat bolehnya bertasbih, bertahlil, bertahmid,

bertakbir, dan bershalawat atas Rasulullah, serta dzikir lainnya bagi

orang yang haid dan orang yang junub.

Jadi boleh juga bagi orang yang junub dan haid ketika ditimpa

musibah mengucapkan kalimat “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un” jika

tidak bermaksud membaca ayat Al-Quran (Nawawi, 2018: 69).

Boleh juga membaca do’a sehari-hari seperti do’a sebelum makan,

do’a ketika naik kendaraan, dan lain-lain.

4. Bertayamum, jika Tidak Mendapat Air

Jika orang yang haid atau junub tidak mendapati air untuk bersuci

maka hendaknya bertayamum dan setelah itu boleh baginya mengerjakan

sholat, membaca Al-Quran, dan melakukan ibadah lainnya. Jika

49

berhadats maka haram baginya shalat tetapi tidak untuk membaca Al-

Quran dan duduk di masjid, yang merupakan hal-hal yang tidak

diharamkan bagi orang yang berhadats sebagaimana yang tidak

diharamkan bagi keduanya jika telah mandi janabat kemudian berhadats.

Sebagian ulama bermadzhab Syafi’i menyebutkan bahwa orang

junub yang mukim bila bertayamum maka boleh baginya melaksanakan

shalat, dan setelahnya tidak boleh membaca Al-Quran ataupun duduk di

masjid. Yang benar adalah boleh, sebagaimana yang telah kami sebutkan.

Seandainya ia bertayamum kemudian shalat dan membaca Al-Quran

lalu ia menemukan air maka wajib baginya menggunakan air tersebut

karena pada saat itu haram baginya membaca Al-Quran dan

melaksanakan apapun yang diharamkan bagi orang yang junub hingga

mandi jinabat.

5. Tempat yang Bersih

Hendaknya membaca Al-Quran di tempat yang bersih dan nyaman,

mayoritas ulama lebih suka kalau tempatnya di masjid karena bersih

secara global, tempat yang mulia, serta tempat untuk melakukan

keutamaan lainnya, seperti iktikaf; maka hendaknya setiap yang duduk di

dalam masjid meniatkan iktikaf baik duduknya dalam waktu lama

ataupun sebentar bahkan hendaknya ia meniatkan hal tersebut sejak

pertama kali masuk masjid, inilah adab yang seharusnya diperhatikan,

dan diberitahukan kepada anak-anak dan orang awam, karena ini

termasuk hal yang terlupakan (Nawawi, 2018: 72).

50

Adapun membaca Al-Quran di kamar mandi, para salaf berbeda

pendapat mengenai kemakruhannya. Para ulama yang mengatakan tidak

makruh, sebagaimana dinukil oleh Imam yang disepakati kemuliaanya,

Abu Bakar bin Mundzir dalam Al-Isyraf dari Ibrahim An-Nakha’i dan

Malik, yang merupakan perkataan Atha’, banyak kelompok yang

sependapat dengan hal ini diantaranya Ali bin Abi Thalib (Nawawi,

2018: 72-73).

Adapun membaca Al-Quran di jalan dibolehkan selama tidak

mengganggu penggunanya, jika sampai mengganggu penggunanya maka

hukumnya menjadi makruh sebagaimana Nabi Muhammad

memakruhkan orang yang mengantuk membaca Al-Quran karena

khawatir terjadi kesalahan. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan bahwa Abu

Darda’ pernah membaca Al-Quran di jalan, ia juga meriwayatkan bahwa

Umar bin Abdulaziz yang mengizinkan ha tersebut.

Selain dianjurkan membaca Al-Quran di tempat yang bersih dan suci

dari kotoran dan najis, ketika membaca Al-Quran hendaknya seseorang

juga mengenakan pakaian yang rapi, sopan, dan bersih dari kotoran dan

najis. Hal tersebut sebagai wujud pemuliaan dan pengagungan terhadap

Al-Quran Al-Karim (Amin, Haryanto Al fandi, 2011: 50).

6. Menghadap Kiblat

Hendaknya orang yang membaca Al-Quran di luar shalat

membacanya dengan menghadap kiblat. Duduk dalam keadaan khusyuk

dan tenang jiwa raganya, menundukkan kepala, tetap menjaga adab

51

duduk seakan-akan berada di hadapan gurunya; dan ini lebih sempurna

(Nawawi, 2018: 74).

Seandainya ia membacanya dalam keadaan berdiri, berbaring, di

kasurnya, atau dengan berbagai pose pun boleh, dan baginya pahala

walaupun pahalanya bukan seperti pada posisi yang pertama.

Allah ta’ala berfirman:

.... Artinya: ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih

bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi

orang-orang yang berakal,

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau

duduk atau dalam keadan berbaring... (Ali Imran: 190-191)

7. Memulai Qiraah dengan Ta’awudz

Ketika ingin membaca Al-Quran disyariatkan untuk berta’awudz,

yaitu dengan bacaan:

من الشيطان الرجيم اعوذ باهلل “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk,”

demikianlah yang dikatakan jumhur ulama.

Dahulu beberapa kelompok salaf berta’awudz dengan lafal

يم اعوذ باهلل السميع العليم من الشيطان الرج

Dengan lafal ini pun tidak mengapa, akan tetapi lebih baik yang

pertama.

52

Ta’awudz hukumnya sunnah bukan wajib, sunnah bagi setiap orang

yang membaca Al-Quran baik saat shalat maupun di luar shalat, sunah

pula membacanya di setiap rekaat shalat berdasarkan pendapat yang

paling shahih diantara dua pendapat para ulama (Nawawi, 2018: 76).

Pendapat kedua mengatakan, sesungguhnya sunahnya hanya pada

rekaat pertama saja namun jika lupa hendaknya ia membacanya pada

reaat kedua. Dan disunahkan untuk membaca ta’awudz pada takbir

pertama shalat jenazah menurut pendapat yang paling shahih diantara dua

pendapat yang ada.

8. Membiasakan Mengawali Setiap Surah dengan Basmalah

Hendaknya selalu membaca basmalah di awal setiap surah selain

surah bara’ah (At-Taubah), mayoritas ulama berpendapat itu termasuk

ayat lanjutan bukan awal surah sebagaimana dalam mushaf, setiap awal

surah selalu diawali dengan tulisan lafal basmalah kecuali surah At-

Taubah (Nawawi, 2018: 76).

Jika ia membacanya berarti ia telah banar-benar mengkhatamkan Al-

Quran, atau mengkhatamkan surah tersebut; dan jika ia tidak membaca

basmalah di setiap awal surahnya maka sama dengan meninggalkan

sebagian Al-Quran, menurut mayoritas ulama. Dengan kata lain, bila ia

diupah untuk membaca Al-Quran per asba’ atau persekian juz maka

perhatian untuk membaca basmalah lebih ditekankan karena merupakan

konsekuensi berhaknya ia memperoleh upah tersebut, jika ia tidak

membacanya maka ia tidak berhak mengambil upah tersebut bagi yang

53

berpendapat: basmalah merupakan awal surah. Ini merupakan

permasalahan rumit yang sangat ditekankan perhatian dan

pengamalannya.

Lain halnya dengan surah At-Taubah. Surah ini tidak diawali dengan

basmallah. Berbeda-beda pendapat ulama tentang mengapa demikian.

Ada yang berpendapat bahwa ini mengikuti kebiasaan masyarakat Arab

yang tidak menyebut basmalah bila membatalkan perjanjian. Ada juga

yang berpendapat bahwa itu karena basmalah mengandung curahan

rahmat dan limpahan kebajikan, sedang surah ini berbicara tentang

pemutusan hubungan Allah dan Rasul-Nya terhadap kaum musyrik

sehingga mereka tidak wajar mendapat rahmat khusus dan kebajikan.

Ada lagi yang menilai bahwa surah ini adalah bagian dari surah yang lalu

sehingga tidak perlu diberi pemisah dalam bentuk basmalah (Shihab,

2013: 12).

9. Mentadaburi Ayat

Disyariatkan ketika membaca Al-Quran dalam keadaan khusyuk,

banyak dalil mengenai syariat tadabur ketika membaca Al-Quran, yang

paling masyhur yang sering disebut:

Artinya: “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran?”

(An-Nisa’: 82)

Seperti pada bab selanjutnya ketika membca Al-Quran harus benar-

benar ikhlas dari hati maka insyaallah mendekati kekhusyukan.

54

Banyak hadits begitu pula atsar yang masyhur terkait masalah ini.

Banyak kelompok dari salafus shalih yang bergadang hingga pagi untuk

membaca, mengulang-ulang, dan merenungi sebuah ayat; banyak pula

salafush shalih yang pingsan ketika sedang membaca Al-Quran; dan

tidak sedikit yang meninggal dunia dalam kondisi membaca Al-Quran.

As-Sayid al-Jalil, seorang yang memiliki banyak kelebihan dan

wawasan, Ibrahim Al-Khawash berkata, Obat hati ada lima (Nawawi,

2018: 78):

a. Membaca Al-Quran dan merenunginya

b. Mengosongkan perut

c. Qiyamulail

d. Berdoa pada waktu sahar (akhir malam)

e. Dan bersahabat dengan orang-orang shalih

10. Mengulang-ulang Ayat Tertentu untuk Direnungi

Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari ia berkata. Rasulullah

bersabda:

د بيده لهو أشد تفلتا من الءبل في تعا هدوا هذا القرآن، فوالذي نفس محم

عقلها“Ulang-ulanglah Al-Quran ini. Demi dzat yang jiwa Muhammad

berada di tangan-Nya, ia lebih cepat lepas daripada unta dalam ikatan.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika membaca Al-Quran agar dapat menangis ketika membacanya

karena hal demikian merupakan sifat orang-orang yang arif dan tanda-

tanda hamba-hamba Allah yang shalih.

Allah Ta’ala berfirman:

55

Artinya: “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil

menangis dan mereka bertambah khusyu'” (Al-Isra’: 109)

11. Membaca dengan Tartil

Hendaknya membaca Al-Quran dengan tartil. Para ulama sepakat

akan dianjurkannya hal itu.

Allah Ta’ala berfirman:

...

Artinya: “bacalah Al Quran itu dengan tartil.” (Al-Muzammil: 4)

12. Memohon Karunia Allah saat Membaca Ayat Rahmat

Jika membaca ayat tentang rahmat hendaknya ia memohon karunia

Allah, dan ketika membaca ayat tentang adzab hendaknya meminta

perlindungan dari keburukan, adzab, atau dengan mengucapkan do’a

(Nawawi, 2018: 86).

اللهم ان ي اسألك العا فية “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keselamatan.”

Atau:

أسألك العا فية من كل مكروه “Aku mohon keselamatan dari segala hal yang tidak disukai.”

Ataupun dengan lafal doa yang lain.

Jika ia mendapati ayat tanzih lillah (yang mengandung pemaha

sucian Allah) hendaknya ia memahasucikan-Nya dengan perkataan:

Subhanahu wa Ta’ala, Tabaraka wa Ta’ala, atau ucapan Jallat

‘Azhamatu Rabbina.

56

Menurut Gufron & Rahmawati (2013: 10) adab membaca Al-Quran

secara Bathiniyah adalah tersentuh hati dengan bacaan. Jika membaca

ayat-ayat rahmat hendaknya merasa senang, sebaliknya jika membaca

ayat-ayat adzab dan ancaman hendaknya hati merasa sedih dan takut.

13. Menghormati Al-Quran

Termasuk perkara yang perlu diperhatikan dan sangat ditekankan

adalah penghormatan terhadap Al-Quran. Yaitu dengan menghindari

perkara yang sering disepelekan oleh sebagian orang yang lalai dan para

qari’ yang membaca Al-Quran secara bersama-sama.

Diantara penghormatan terhadap Al-Quran, yaitu menghindari

tertawa, bersorak sorai, dan berbincang-bincang di sela-sela qiraah

kecuali perkataan yang sangat mendesak. Sebagai praktik dari firman

Allah Ta’ala:

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah

baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat

rahmat.” (Al-A’raf: 2014)

Hendaknya ia berpedoman pada riwayat Ibnu Abi Daud, dari Ibnu

Umar bahwa jika membaca Al-Quran ia tidak berbicara hingga

menyelesaikan bacaannya. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-

nya, ia berkata: “Ia tidak berbicara hingga menyelesaikannya )Bukhori,

1995/ 4526).

57

كان ابن عمر رضي هللا عنهما إذا قرأ القرآن لم يتكلم حتى يفرغ منه

فأخذت عليه يوما, فقرأ سورة البقرة حتى انتهى إلى مكان قال : تدري

ي كذا وكذا ثم مضىفيما أنزلت : ل. قال : أنزلت ف

Tidak boleh juga memandang hal-hal yang dapat mengalihkan

perhatian dan konsentrasi. Yang lebih buruk lagi ialah melihat orang

yang tidak boleh dilihat, seperti melihat amrad (remaja yang belum

tumbuh kumis dan jenggot) atau lainnya. Melihat amrad tanpa adanya

keperluan, hukumnya haram baik dengan disertai syahwat ataupun tidak,

baik ketika kondisi aman dari fitnah atau tidak. Ini merupakan madzhab

shahih yang dipilih oleh para ulama. Imam Syafi’i dan banyak ulama

lainnya telah menyatakan keharamannya (Nawawi, 2018: 89).

14. Tidak Boleh Membaca Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

Tidak boleh membaca Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain

Bahasa Arab, baik ia pandai berbahasa Arab ataupun tidak, di dalam

shalat ataupun di luar shalat. Jika ia melakukan hal ini dalam shalat maka

tidak sah shalatnya. Ini pendapat madzhab Imam Syafi’i juga Imam

Malik, Ahmad, Daud, dan Abu Bakar bin Mundzir (Nawawi, 2018: 91).

Adapun Abu Hanifah berpendapat, “Hal itu diperbolehkan dan

shalatnya sah.” (Nawawi, 2018: 91).

Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat: “Boleh, bagi orang yang

tidak bisa berbahasa Arab dengan baik dan tidak boleh bagi yang bisa

berbahasa Arab dengan baik.” (Nawawi, 2018: 91).

58

Menurut al-Hasany (2007: 93-96) bukanlah suatu ke-‘asalan’ Tuhan

menetapkan Bahasa Arab menjadi Bahasa Al-Quran. Di balik itu,

ternyata banyak menyimpan banyak falsafah mengagumkan.

Pertama, bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa yang memiliki

keunikan tersendiri, ini bisa dilihat dari umumnya asal kata dalam bahasa

ini terdiri dari tiga huruf, yang kemudian perubahannya akan merubah

pula maknanya walaupun perubahan kata itu tidak sesuai dengan

awalnya, tetep saja dari makna, ia memiliki kesinambungan arti.

Kedua, bahasa Arab memiliki tata bahasa yang sangat rasional dan

seksama, tetapi ia cukup rumit, apalagi jika dibandingkan dengan bahasa

Indonesia.

Ketiga, bahasa Arab memiliki kekayaan yang bukan saja terlihat dari

jenis kelamin kata atau pada bilangannya yaitu tunggal (mufrad), dua

(mutsanna) dan jamak atau plural, tetapi juga pada kekayaan kosa kata

dan sinonimnya.

Keempat, kenapa bahasa ini diistimewakan menjadi bahasa Al-

Quran karena bahasa ini memiliki i’rab yang menjadi ciri khasnya.

Dimana i’rab ini yang membahas akhir dari suatu akar dalam suatu

kalimat yang disebabkan oleh faktor ‘amil yang berbeda. Dan dari

perbedaan ini kemudian akan mempengaruhi makna.

Kelima, bahasa ini pun memiliki keunikan dengan banyaknya kata-

kata yang ambigu, dan tidak jarang satu kata atau bahkan satu huruf

mempunyai dua atau tiga makna bahkan yang tidak berlawanan.

59

15. Boleh Membaca Al-Quran Menggunakan Qiraah Sab’ah

Boleh membaca Al-Quran menggunakan tujuh macam qiraah yang

telah disepakati. Adapun dengan yang lainnya tidak boleh, walaupun

dengan riwayat syadz yang diriwayatkan dari ketujuh qari’ tersebut.

Jika ia memulai qiraah dengan menggunakan qiraah salah satu qari’,

hendaknya ia masih menggunakan qiraah tersebut selama ayat yang

sedang dibacanya masih berkaitan dengan ayat berikutnya. Jika ia telah

selesai membacanya ia boleh mengganti qiraahnya dengan qiraah sab’ah

lainnya. Akan tetapi yang lebih utama, dalam satu majelis ia tetap

menggunakan satu macam qiraah.

16. Membaca Al-Quran Sesuai Urutan Mushaf

Para ulama’ berkata: “Yang paling utama, membaca Al-Quran sesuai

urutan mushaf. Pertama ia membaca Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah,

kemudian Ali Imran, dan seterusnya berdasarkan urutan, ketika shalat

ataupun di luar shalat. Sampai-sampai sebagian ulama mengatakan: “Jika

pada rekaat pertama ia membaca surah An-Nas maka pada rekaat kedua,

setelah Al-Fatihah ia membaca Al-Baqarah (Nawawi, 2018: 92).

Pengurutan surah dalam mushaf dijadikan demikian karena suatu

hikmah, hendaknya ia membiasakan hal ini kecuali jika terdapat dalil

pengecualian dalam syariat, seperti sunahnya membaca surah As-Sajdah

pada rekaat pertama dan Al-Insan pada rekaat kedua shalat Subuh pada

hari Jumat; membaca surah Qaf pada rekaat pertama dan surah Al-Qamar

pada rekaat kedua shalat Id. Ketika shalat sunah Fajar disunahkan untuk

60

membaca surah Al-Kafirun pada rekaat pertama dan Al-Ikhlas pada

rekaat kedua. Ketika shalat witir disunahkan membaca surah Al-A’la

pada rekaat pertama, Al-Kafirun pada rekaat kedua, dan Al-Ikhlash serta

mu’awidzatain pada rekaat ketiga.

17. Membaca Al-Quran dengan Melihat Mushaf

Membaca Al-Quran dengan menggunakan mushaf lebih afdhal

daripada membaca Al-Quran sekedar mengandalkan hafalan, karena

melihat mushaf adalah ibadah yang dituntut. Sehingga selain membaca ia

juga melihat ayat yang tengah dibacanya.

Membaca Al-Quran dengan hanya mengandalkan hafalan menjadi

pilihan bagi yang bisa mencapai kekhusyukan dan tadaburnya dengan hal

itu dan bertambah kekhusyukan dan tadaburnya jika ia membacanya dari

mushaf. Ini adalah pendapat yang bagus.

18. Tidak Mengeraskan Suara Ketika Membaca Al-Quran

Ini sub bab penting yang patut diperhatikan. Ketahuilah bahwa ada

banyak hadits shahih dalam kitab shahih ataupun kitab lainnya yang

menunjukkan mustahabnya mengeraskan suara ketika membaca Al-

Quran, ada pula atsar-atsar yang menunjukkan mustahabnya

menyamarkan suara dan merendahkannya (Nawawi, 2018: 102).

Terdapat riwayat dalam kitab Shahih dari Abu Harairah ia berkata,

saya pernah mendengar Nabi bersabda:

ما أذن هللا لشيء ما أذن لنبي حسن الصوت يتغنى بالقرآن “Tidaklah Allah mendengar sesuatu dengan seksama sebagaimana

Allah mendengarkan suara merdu seorang Nabi yang sedang

61

menyenandungkan Al-Quran, mengeraskan bacaannya.” (Muslim, 2014:

326).

Banyak hadits mengenai disyariatkannya mengeraskan suara ketika

membaca Al-Quran, yaitu bersumber dari atsar pun tak terhitung

banyaknya, yang akan disebutkan yang paling masyhur. Semuanya

mengenai orang-orang yang tidak khawatir terjangkit riya’, ujup, juga

sifat buruk lainnya, dan tidak mengganggu jamaah lain. Sungguh

sekelompok salaf lebih memilih merendahkan suaranya karena khawatir.

19. Dianjurkan Membaguskan Suara ketika Qiraah

Para ulama yang terdiri dari salaf, khalaf, sahabat, tabi’in, dan

ulama-ulama kaum muslimin setelah mereka sepakat atas anjuran

membaguskan suara ketika membaca Al-Quran. Perkataan dan perbuatan

mereka yang masyhur berkaitan dengan larangan mengharapkan

popularitas.

Para ulama berkata: “dianjurkan membaguskan suara ketika

membaca Al-Quran dan melagukannya selama tidak sampai memanjang-

manjangkan qiraah. Jika ia berlebihan hingga bertambah satu huruf atau

malah mengurangi satu huruf maka hukumnya menjadi haram (Nawawi,

2018: 112).

B. Relevansi Pemikiran Imam Nawawi Tentang Adab Membaca Al-Quran

dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran dengan Masa Kekinian

Di zaman globalisasi ini tentu berbeda dengan zaman kehidupan Imam

Nawawi. Dengan realita yang ada saat ini banyak sekali akhlak seseorang

tidak diperhatikan lagi. Baik akhlak terhadap diri sendiri, orang tua, guru,

62

sesama manusia, dan akhlak terhadap Allah SWT. Salah satu contoh dari

beberapa kasus kekinian adalah tidak adanya rasa hormat anak didik terhadap

gurunya hingga guru dipenjarakan karena mencubit muridnya. Padahal guru

adalah yang membentuk jiwa seseorang hingga anak pantas disebut manusia

yang beradab.

Lalu bagaimana seseorang bisa bercengkrama dengan Allah jika untuk

membentuk sosialisasi terhadap sesama saja tidak bisa. Seperti halnya dalam

kisah Nabi Ibrahim untuk mengenal Allah SWT beliau mengenali ciptaan-

Nya terlebih dahulu. Nabi Ibrahim mengenal matahari, bintang, bulan dan

kemudian bisa mengenal siapa Allah. Maka untuk mengenal Allah adalah

dengan mengenal ciptaan-Nya terlebih dahulu. Berhubungan baik dengan

sesama manusia karena semua makhluk di dunia adalah ciptaan Allah SWT.

Jika tidak berhubungan baik dengan sesama maka tidak berhubungan baik

dengan ciptaan Allah. Bukan hanya dengan ciptaan Allah tetapi juga dengan

kalam Allah yaitu Al-Quran Al-Karim.

Dari keterangan pada bab sebelumnya kita akan menemukan bagaimana

adab yang baik ketika sedang membaca Al-Quran. Namun apakah adab-adab

tersebut masih relevan jika diterapkan pada kondisi sekarang. Mengingat di

zaman globalisasi ini, kita dihadapkan dengan kondisi yang sangat kompleks

yang mengubah paradigma seseorang hingga mempengaruhi akhlak anak

bangsa dan menjadi tidak beradab.

63

Dari keterangan tersebut, penulis mencoba menganalisis apakah adab

membaca Al-Quran yang dipaparkan oleh Imam Nawawi ini diaplikasikan

oleh pembacanya sesuai dengan realita yang ada pada zaman kekinian.

Pertama, wajib bagi orang yang membaca Al-Quran untuk khusyuk dan

ikhlas, memelihara etika walaupun tidak ada yang melihatnya. Tidak semua

pembaca Al-Quran mengaplikasikan hal tersebut. Mereka merasa tidak ada

yang mengawasi di sekitarnya. Bacaannya tidak ikhlas, terlalu cepat dan

terlalu meremehkan kaidah membaca. Akhirnya Makhorijul Huruf dan

Tajwidnya tidak diperhatikan. Padahal dalam membaca Al-Quran ketika salah

satu huruf atau salah panjang dan pendeknya maka akan mengubah makna

dari arti Al-Quran. Dan tidak disadari bahwa hal tersebut berdosa.

Kedua, membaca Al-Quran harus dengan keadaan bersih dan suci. Suci

badan, pakaian maupun tempat. Berkembangnya teknologi yang semakin

canggih menjadikan segala sesuatu menjadi praktis dan instan. Adanya Al-

Quran terjemah baik mushaf maupun bentuk android menimbukan anggapan

bahwa berinteraksi dengan itu tidak sama dengan berinteraksi dengan mushaf

Al-Quran. Tidak sedikit orang yang meremehkan hal ini dengan alasan Al-

Quran terjemah tidak perlu wudhu. Padahal tetap saja itu mushaf. Harus kita

hormati dalam bentuk apapun. Sudah wudhu saja terkadang masih ada najis

yang tertempel. Di badan maupun pakaian. Jadi, kita harus menghormati Al-

Quran, karena jika kita mendekat dengan Al-Quran, Al-Quran juga mau

mendekat dan mengikuti, tetapi jika kita murka terhadapnya, maka Al-Quran

juga murka.

64

Ketiga, menghadap kiblat ketika membaca Al-Quran. Insyaallah dalam

hal ini banyak yang sudah mengetahui dan merealisasikannya.

Keempat, mengawali dengan taawudz dan basmallah. Untuk pelafalan

basmallah mayoritas sudah melakukannya, tapi tidak untuk ta’awudz. Hanya

sebagian dari mereka. Yang belum diketahui adalah tidak dibolehkannya

pelafalan basmalah dalam surah At-Taubah.

Kelima, merenungi ayat ketika membaca Al-Quran. Semakin banyaknya

kesibukan setiap orang pada dunianya sampai-sampai lupa bahwa hidup di

dunia hanya sementara waktu. Bahkan untuk merenungi Al-Quran, membaca

saja malas. Mereka lebih tertarik dengan gudgetnya. Astaghfirullahaladzim.

Keenam, membaca dengan melagukan dan tartil serta tidak mengeraskan

suara. Dalam hal ini sudah terealisasi kecuali para penghafal yang dengan

mengeraskan suaranya labih mudah dibanding pelan-pelan. Yang perlu

diketahui adalah, hal baik jika dilakukan dengan cara yang salah maka

menjadi tidak baik. Contoh: membaca Al-Quran itu baik, tetapi jika

bacaanmu mengganggu orang lain, sedang tidur misalnya, maka menjadi

tidak baik.

Ketujuh, membaca sesuai urutan dan melihat mushaf. Karena sudah hafal

lalu membaca tanpa melihat mushaf. Hal ini yang sering terjadi. Padahal

melihat mushaf justru membuat hafalan semakin kuat.

Berdasarkan uraian di atas, adab-adab membaca Al-Quran belum

diperhatikan oleh setiap orang. Padahal ketika berinteraksi dengan Al-Quran

berarti berinteraksi dengan Allah SWT. Hal ini karena kurang sadarnya

65

seseorang akan kehambaannya dan kedudukannya di dunia. Mereka terlena

dan terlupakan dengan globalisasi yang semakin berkembang dan mengubah

paradigma setiap orang. Bahkan mengubah adab anak akibat tidak ada

pengawasan dan perhatian dari orang tua. Akhirnya mereka lupa dengan

akhiratnya.

Dengan adab yang terpuji, maka seseorang akan menjadi lebih bertaqwa

kepada Allah SWT, dan kebaikannya akan terlihat dalam setiap tindakannya.

Oleh karena itu, adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi Adaabi

Hamalatil Quran sangat relevan untuk dijadikan pedoman yang baik dalam

berinteraksi dengan Al-Quran untuk menghadapi tantangan zaman. Terutama

bagi para penghafal Al-Quran yang senantiasa menjaga dan menghormati Al-

Quran.

Menurut penulis, relevansi adab membaca Al-Quran dalam kitab

Attibyan fii Adaabi Hamalatil Quran untuk menghadapi zaman kekinian

adalah dapat menjadi solusi dalam memperbaiki adab ketika berinteraksi

dengan Al-Quran, khususnya para penghafal Al-Quran dalam menghadapi

karakteristik zaman sekarang. Dan sebaiknya adab yang baik ditanamkan dari

masa dini agar kelak menjadi generasi yang berakhlak mulia.

66

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari berbagai penjelasan dan analisis yang sudah penulis paparkan di

atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Adab-adab membaca AlQuran dalam kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil

Quran karya Imam Nawawi meliputi: ikhlas, membersihkan mulut, dalam

kondisi suci, bertayamum jika tidak mendapat air, tempat yang bersih,

menghadap kiblat, memulai qiraah dengan taawudz, membiasakan

mengawali setiap surah dengan basmalah kecuali surah At-Taubah,

mentadaburi ayat, mengulang-ulang ayat tertentu untuk direnungi,

membaca dengan tartil, memohon karunia Allah saat membaca ayat

rahmat, menghormati Al-Quran, tidak boleh membaca Al-Quran dengan

Bahasa selain Arab, boleh membaca Al-Quran dengan qiraah sab’ah,

membaca Al-Quran sesuai urutan mushaf, membaca Al-Quran dengan

melihat mushaf, tidak mengeraskan suara ketika membaca Al-Quran, dan

dianjurkan membaguskan suara ketika qiraah.

2. Adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran

sangat relevan untuk dijadikan pedoman yang baik dalam berinteraksi

dengan Al-Quran untuk menghadapi tantangan zaman. Terutama bagi para

penghafal Al-Quran yang senantiasa menjaga dan menghormati Al-Quran.

Relevansi adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fii Adaabi

Hamalatil Quran untuk menghadapi zaman kekinian adalah dapat menjadi

67

solusi dalam memperbaiki adab ketika berinteraksi dengan Al-Quran,

khususnya para penghafal Al-Quran dalam menghadapi karakteristik

zaman sekarang. Dan sebaiknya adab yang baik ditanamkan dari masa dini

agar kelak menjadi generasi yang berakhlak mulia.

B. Saran

Dalam rangka mewujudkan manusia yang beradab terhadap Allah SWT

dan ciptaannya, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Sadar diri bahwa kita adalah makhluk ciptaannya yang akan kembali

kepada-Nya sehingga kita tahu bahwa segala sesuatu yang ada di dunia

adalah milik Allah dan sifatnya hanya sementara

2. Berbuat baik dengan apapun dan siapapun, karena walaupun tidak ada

yang melihat kita, sesungguhnya Allah selalu bersama kita. Maka jadilah

insan kamil, manusia yang beradab

3. Meninggalkan sesuatu yang bersifat keduniaan dan mengingat Allah

kapanpun dan dimanapun

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bugha, Musthafa, Muhyiddin Mistha. 2017. Al-Wafi fi Syarh al-Arba’in an-

Nawawiyah. Jawa Barat: Fathan Prima Media.

Al-Hasany, Azzah Zain. 2007. Al-Quran Puncak Selera Sastra. Surakarta: Ziyad

Visi Media

Al-Kahil, Abdud Daim. 2011. Hafal Al-Qur’an Tanpa Nyantri. Sukoharjo:

Arafah.

Al-karazkani, Ibrahim. 1991. Taman Orang-Orang yang Bertobat. Jakarta:

Pustaka Zahra.

Amien, Siddiq. 2008. Buku Pintar Al-Quran. Jakarta Selatan: Qultum Media.

Amin, Samsul Munir, Haryanto Al-Fandi. 2011. Etika Berdzikir Berdasarkan Al-

Quran dan Sunnah. Jakarta: Amzah.

An-Nawawi. 2018. At-Tibyan Adab Penghafal Al-Quran. Solo: Al-Qowam.

Annisa, Thahirah. 2017. Pengaruh Mendengarkan dan Membaca Al-Quran

Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi di Panti

Sosial Tresna Werdha Mabaji Gowa. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar:

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

Az-Zawawi, Yahya Abdul Fattah. 2013. Revolusi Menghafal Al-Qur’an.

Surakarta: Penerbit Insan Kamil.

Badar. 2017. Kisah Kaum Salaf Bersama Al-Qur’an. Jakarta Timur: Pustaka Al-

Kautsar.

Bukhori, Imam. 1995. Matan Albukhori. Lebanon: Darul Fikr.

Gufron, Muhammad, Rahmawati. 2013. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Penerbit

Teras.

Hadhiri SP, Choiruddin. 2005. Klasifikasi Kandungan Al-Quran Jilid I. Jakarta:

Gema Insani Press.

Hakimah, Farhatul. 2011. Pendidikan Akhlak Terhadap Allah Menurut Imam Al-

Nawawi: Satu Kajian Teks Kitab Riyadh Al-Salihin. Tesis tidak

diterbitkan. Malaysia: Fakulti Pendidikan Universiti Teknologi Malaysia.

http://digilib.uin-suka.ac.id/2439/1/BAB%20I%2C%20IV.pdf, diakses pada 8

November 2015, 03:17

https://dalamislam.com/landasan-agama/al-quran/manfaat-membaca-al-quran,

diakses pada 8 September 2018, 12:15.

Huda, Mohammad Taufiqul. 2011. Studi Atas Pendapat Al-Imam An-Nawawi

dalam Kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab Tentang Hak Hadanah

Karena Istri Kafir. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Jurusan Ahwal Al-

Syakhsiyah.

Muhamad. 2008. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif.

Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Muliawan, Jasa Ungguh. 2014. Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta:

Penerbit Gava Media.

Muslim, Imam. 2014. Shohih Muslim. Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Nasir, Sahilun A.. 1991. Tinjauan Akhlak. Surabaya: Al Ikhlas.

Nawawi, Imam. T.th. Keutamaan Membaca dan Mengkaji Al-Quran. E-Book:

Konsis Media.

Razak, Nasruddin. 1973. Dienul Islam. Bandung: Alma’arif.

Said, Abu Abdillah. 2016. Penjelasan Lengkap Hadits Arbain Imam An-Nawawi.

Solo: Al-Wafi.

Shihab, M. Quraish. 2013. Al-Quran dan Maknanya. Tangerang: Penerbit Lentera

Hati.

Subkhi, Nidhom. 2016. Al-Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya An-Nawawi

(Bagian Satu). (Online). http://tafaqquh.com/fuqoha/al-imam-muhyiddin-

abi-zakariya-yahya-an-nawawi-bagian-satu/. Diakses 4 September 2018)

Syukur, Abdul. 2013. Dahsyatnya Sabar, Syukur, & Ikhlas. Jogjakarta: Sabil.

Thabathaba’i, Allamah M.H.. 1998. Mengungkap Rahasia Al-Qur’an. Bandung:

Penerbit Mizan.

Wahyudi, Rofiul, Ridhoul Wahidi. 2016. Sukses Menghafal Al-Qur’an Meski

Sibuk Kuliah. Jogjakarta: Semesta Hikmah.

Yusuf, Muhammad. 2013. 3 Tahun Hafal Al-Qur’an. Jogjakarta: Sabil.

Zen, Irfan Muhammad. 2018. Biografi Tokoh Islam: Imam Muhyiddin Yahya An-

Nawawi. (Online). https://masayikh.com/biografi-tokoh-islam-imam-

muhyiddin-yahya-an-nawawi/. Diakses pada 4 September 2018.

2

3

ADAB MEMBACA AL-QURAN

DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI

HAMALATIL QURAN

KARYA IMAM NAWAWI

Oleh

Uswatun Khasanah

111 14 367

Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama yang universal dan abadi.

Agama Islam, yang mengandung jalan hidup manusia yang

paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat

manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat

diketahui dasar-dasar dan perundang-undangannya

melalui Al-Quran. Al-Quran adalah sumber utama dan

mata air yang memancarkan ajaran Islam

Sebagai manusia tidak hanya mengutamakan hablun mina

annas tetapi hablun mina Allah nya harus tetap terjaga.

Salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan Allah adalah

memahami kalam-Nya yaitu Al-Quran. Dengan membaca Al-

Quran Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dalam

setiap urusan manusia baik di dunia maupun akhirat.

Allah memuliakan umat Islam dengan kitab Al-Quran sebagai

kalam terbaik Allah. Maka umat-Nya harus menaruh perhatian

yang besar untuk menghormati Al-Quran dengan cara belajar,

mengajar, membahas dan mengkajinya secara berkelompok

ataupun sendirian. Itulah faktor yang mendorong Imam

Nawawi dalam menulis kitab yang berisi tentang adab-adab

berinteraksi dengan Al-Quran dan sifat-sifat penghafal dan

pelajarnya.

Kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an membahas perkara-

perkara yang sangat penting diketahui oleh setiap umat Islam,

karena kitab ini membicarakan berbagai hal yang berkaitan adab

dalam menjalin interaksi dengan kitab suci Al-Quran Al-Karim

dari segi membaca, memegang, dan posisi duduk ketika

membaca Al-Quran. Perbedaan dengan kitab lain, kitab ini lebih

spesifik dalam pembahasannya mengenai adab-adab yang sering

disepelekkan oleh pembaca Al-Quran yang dianggap remeh tetapi

justru lebih penting dan harus lebih berhati-hati. Karena

berinteraksi dengan Al-Quran berarti berinteraksi dengan Allah

SWT.

Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

•Bagaimana adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan

fi Adabi Hamalatil Quran?

•Bagaimana relevansi adab berinteraksi dengan Al-Quran

dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran dengan

konteks kekinian?

Jenis penelitian

Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah

penelitian kepustakaan (library research),

karena yang dijadikan objek kajian adalah

hasil karya tulis yang merupakan hasil

pemikiran.

KESIMPULAN

Pemikiran Imam Nawawi Tentang Adab

Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi

Adaabi Hamalatil Quran

1. Ikhlas

2. Membersihkan Mulut

3. Dalam Kondisi Suci

4. Bertayamum, jika Tidak Mendapat Air

5. Tempat yang Bersih

6. Menghadap Kiblat

7. Memulai Qiraah dengan Ta’awudz

8. Membiasakan Mengawali Setiap Surah

dengan Basmalah

9. Mentadaburi Ayat

10.Mengulang-ulang Ayat Tertentu untuk

Direnungi

11.Membaca dengan Tartil

12.Memohon Karunia Allah saat Membaca

Ayat Rahmat

13.Menghormati Al-Quran

14.Tidak Boleh Membaca Al-Quran dengan

Bahasa Selain Arab

15.Boleh Membaca Al-Quran Menggunakan

Qiraah Sab’ah

16.Membaca Al-Quran Sesuai Urutan Mushaf

17.Membaca Al-Quran dengan Melihat Mushaf

18.Tidak Mengeraskan Suara Ketika Membaca

Al-Quran

19.Dianjurkan Membaguskan Suara ketika

Qiraah

Dengan adab yang terpuji, maka seseorang akan menjadi

lebih bertaqwa kepada Allah SWT, dan kebaikannya akan

terlihat dalam setiap tindakannya. Oleh karena itu, adab

membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil

Quran sangat relevan untuk dijadikan pedoman yang baik

dalam berinteraksi dengan Al-Quran untuk menghadapi

tantangan zaman. Terutama bagi para penghafal Al-Quran

yang senantiasa menjaga dan menghormati Al-Quran.

Menurut penulis, relevansi adab membaca Al-Quran dalam

kitab Attibyan fii Adaabi Hamalatil Quran untuk menghadapi

zaman kekinian adalah dapat menjadi solusi dalam

memperbaiki adab ketika berinteraksi dengan Al-Quran,

khususnya para penghafal Al-Quran dalam menghadapi

karakteristik zaman sekarang. Dan sebaiknya adab yang baik

ditanamkan dari masa dini agar kelak menjadi generasi yang

berakhlak mulia.

TERIMAKASIH

SATUAN KREDIT KEGIATAN (SKK)

Nama : Uswatun Khasanah

NIM : 111 14 367

Fakultas/ Jurusan : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan/ Pendidikan Agama Islam

Dosen PA : M. Yusuf Khummaini, S.HI., M.H.

No. Jenis Kegiatan Waktu

Kegiatan Keterangan Point

1

OPAK 2014 “Aktualisasi Gerakan Mahasiswa

yang Beretika, Disiplin, dan Berfikir Terbuka”

oleh DEMA STAIN Salatiga

18-19

Agustus 2014 Peserta

3

2

OPAK JURUSAN TARBIYAH “Aktualisasi

Pendidikan Karakter Sebagai Pembentuk

Generasi yang Religius, Educative, dan

Humanis” oleh HMJ Tarbiyah STAIN Salatiga

20-21

Agustus 2014 Peserta

3

3

SEMINAR ODK “Pemahaman Islam

Rahmatan Lil ‘Alamin Sebagai Langkah Awal

Menjadi Mahasiswa Berkarakter” oleh LDK

Darul Amal dan ITTAQO STAIN Salatiga

21 Agustus

2014 Peserta

2

4

Workshop Entrepreneurship “Menanamkan

Nilai-Nilai Jiwa Kewirausahaan Mahasiswa

yang Kreatif dan Inovatif” oleh KSEI dan SSC

STAIN Salatiga

22 Agustus

2014 Peserta

2

5

SEMINAR AMT “Dengan AMT Semangat

Menyongsong Prestasi” oleh CEC dan JQH

STAIN Salatiga

23 Agustus

2014 Peserta

2

6

LIBRARY USER EDUCATION (Pendidikan

Pemustaka) oleh UPT Perpustakaan STAIN

Salatiga

28 Agustus

2014 Peserta

2

7 SEMINAR NASIONAL 8

“Implementasi Kurikulum 2013 pada Mapel

Bahasa Arab Tingkat Dasar dan Tingkat

Menengah dalam Upaya Menjawab Tantangan

Pengajaran Bahasa Arab.” Oleh ITTAQO

STAIN Salatiga

4 November

2014

Peserta

8

SEMINAR NASIONAL

“Berkontribusi Untuk Negeri Melalui Televisi/

TV” oleh KPI STAIN Salatiga

5 November

2014

Peserta

8

9 Diklat Microteaching oleh HMPS STAIN

Salatiga

8 November

2014

Peserta 2

10

SEMINAR NASIONAL

“Perbaikan Mutu Pendidikan Melalui

Profesionalitas Pendidikan” oleh HMJ

Tarbiyah STAIN Salatiga

13 November

2014

Peserta

8

11

SEMINAR NASIONAL

ENTREPRENEURSHIP oleh Gerakan

Pramuka Racana Kusuma Dilaga-Woro

Srikandhi STAIN Salatiga

16 November

2014

Peserta

8

12

Piagam Penghargaan “Mempertegas Peran

Pendidikan dalam Mencerahkan Masa Depan

Anak Bangsa” oleh HMI Cabang Salatiga

Komisariat Walisongo

19 November

2014

Peserta

2

13

SEMINAR NASIONAL “Peranan

Technopreneur dalam Mendukung Program

Pemerintah Melalui Ekonomi Kreatif” oleh

Koperasi Mahasiswa (KOPMA) “FATAWA”

IAIN Salatiga

15 April

2015

Peserta

8

14

BEDAH NOVEL “Gus Dur & Sinta (Sebuah

Romansa Tentang Buku, Bunga, dan Cinta)”

oleh UPT Perpustakaan Pondok Pesantren Edi

17 Mei 2015

Peserta

2

Mancoro

15

SEMINAR NASIONAL “Understanding the

World by Understanding the Language and the

Culture” oleh CEC IAIN Salatiga

4 Juni 2015

Peserta

8

16

Haflah Akhirussanah, Khotmil Qur’an & Haul

KH. Sholeh dan KH. Ridwan Pondok Pesantren

Edi Mancoro

6 Juni 2015

Panitia

4

17

SEMINAR NASIONAL

“Aktualisasi Bahasa Arab untuk Membentuk

Karakter Bangsa yang Bermartabat” oleh

ITTAQO STAIN Salatiga

10 Juni 2015

Peserta

8

18

SURAT KEPUTUSAN Nomor 015/YEM/A-

k/VII/2015 Pengurus Organisasi Santri Pondok

Pesantren Edi Mancoro masa Khidmat 2015-

2016 M/ 1436-1437 H

8 Juli 2015

Pengurus

6

19

Pendidikan dan Latihan Calon Pramuka

Pandega XXV “Racana sebagai Garda

Terdepan Pelaku Perubaha” oleh Racana

Kusuma Dilaga-Woro Srikandhi IAIN Salatiga

25-27

September

2015

Peserta

2

20

SEMINAR NASIONAL

“Peran Media Masa Terhadap Kelestarian

Lingkungan Hidup”

19 November

2015

Peserta

2

21

BEDAH BUKU “Ulama-Ulama Aswaja

Nusantara yang Berpengaru di Negeri Hijaz”

oleh UPT Perpustakaan Pondok Pesantren Edi

Mancoro

21 Februari

2016

Panitia

4

22

Syahadah “Pendidikan Pelatihan dan

Bimbingan (Diklatbim) Manasik Haji” Oleh

KBIH Al-Qiro’ PP Edi Mancoro

23 Januari

2016 - 30

April 2016

Panitia

4

23 Akhirussanah dan Khotmil Qur’an V Pondok 14 Mei 2016 Panitia 4

Pesantren Edi Mancoro

24

SEMINAR NASIONAL

“Pendidikan Agama Menjadi Pelopor

Kebangkitan Nasional di Era Modern” oleh

HMJ PAI IAIN Salatiga

21 Mei 2016

Peserta

8

25

SEMINAR NASIONAL

“Budaya Sebagai Attitud Pendidikan” oleh

Dewan Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan IAIN Salatiga

31 Mei 2016

Peserta

8

26

Asramanisasi Ramadhan 1437 H

“Meningkatkan Kreativitas, Intelektualitas, dan

Spiritualitas di Bulan Berkualitas” oleh Panitia

Asramanisasi Pondok Pesantren Edi Mancoro

6 – 27 Juni

2016

Peserta

6

27

Ngaji Akbar Jurnalistik dan SEMINAR

NASIONAL

“Membangun Budaya Literasi Islam di Era

Informasi Digital” oleh Yayasan Wakaf

Literasi Islam Indonesia (Wali)

6, 10, dan 26

Juni 2016

Peserta

6

28

SEMINAR NASIONAL

“Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan Melalui

Usaha Online untuk Masyarakat Ekonomi

Mandiri” Oleh Himpunan Mahasiswa Islam

Komisariat Walisongo

10 Desember

2016

Peserta

8

29

Pelatihan Karya Ilmiah oleh Pengurus

Organisasi Santri Pondok Pesantren Edi

Mancoro

24 Januari

2017

Panitia

4

30

Pelatihan Perawatan Jenazah untuk

Menyiapkan Kader-Kader Khodimul Ummah

oleh Biro Pendidikan Organisasi Santri Pondok

Pesantren Edi Mancoro

30 Januari

2017

Panitia

4

2

JHCJKSSJS

3