Aec Dan Dunia Pendidikan Kita
Transcript of Aec Dan Dunia Pendidikan Kita
MENIMBANG DUNIA PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA DI TENGAH INTEGRASI EKONOMI ASEAN (AEC) 2015
Oleh: Imam Baehaqie Abdullah
I. Globalisasi: Sekadar Pengantar
Istilah globalisasi digunakan pertama kali di tahun 1985 oleh Theodore Levitt. Waktu itu,
Levitt menggunakan istilah globalisasi untuk menandai perubahan-perubahan besar yang terjadi
dalam dua dekade terakhir dalam ekonomi internasional. Perubahan-perubahan ini meliputi
penyatuan secara cepat dan besar-besaran proses produksi, konsumsi dan investasi berbagai
barang, jasa, modal dan teknologi (Raghavan, 1999) yang didorong oleh revolusi
telekomunikasi, transportasi dan tourisme (Theodore Levitt, 1983).
Secara ekonomi, globalisasi merupakan pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa
ke dalam sebuah sistem ekonomi global (Mansour Fakih, 2001). Globalisasi setidaknya
melibatkan penciptaan satu ekonomi dunia yang tidak hanya merupakan totalitas dari
perekonomian nasionalnya, melainkan sebuah realitas independen yang melibatkan aliran
modal, komoditas, teknologi dan tenaga kerja berskala besar dan berjangka panjang melintasi
perbatasan negara (James Petras, 1999). Terminologi globalisasi ini menjadi jargon utama
kelompok neoliberal. Prinsip aliran ini adalah melepaskan segala ikatan negara dan menciptakan
pasar bebas. Dan prinsip ini semakin dikukuhkan melalui apa yang kemudian disebut sebagai
Washington Consensus1.
Secara umum ide globalisasi nampak “baru”, namun landas pijak teoritisnya berakar jauh di
masa lalu, setidaknya pada David Ricardo yang kemudian berkembang lebih jauh seperti teori
keunggulan daya saing yang meletakkan harga dunia sebagai mercusuar lalulintas pertukaran
barang-barang antar negara. Melalui mercusuar ini, dunia boleh berharap penggunaan
sumberdaya dunia akan lebih efisien dan menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih
tinggi.
Atas dasar itu pula, sebagian negara sepakat—atau dipaksa sepakat—melakukan liberalisasi
perdagangan internasional dan bergabung dalam suatu organisasi yang disebut WTO (World
1 Agenda teknokratis ini bersisi daftar kebijakan yang pertama kali diperkenalkan (eks) Direktur Bank Dunia John Williamson untuk negara-
negara Amerika Latin yang menghadapi defisit dan inflasi tinggi pada tahun 1989. Disebut Washington Consensus karena merupakan kesepakatan kebijakan antara World bank, IMF dan kementrian Keuangan AS yang berpusat di Washingtong, Awalnya, ada 10 kata kunci dalam konsensus ini; (1) disiplin fiskal, dengan menjaga defisit serendah-rendahnya, karena defisit yang tinggi akan mengakibatkan inflasi dan pelarian modal; (2) prioritas-prioritas belanja pemerintah, dengan mengurangi atau menghilangkan subsidi dalam sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya; (3) reformasi perpajakan; (4) liberalisasi keuangan; (5) nilai tukar mata uang negara-negara sedang berkembang harus mengadopsi nilai tukar yang kompetitif agar memacu ekspor; (6) liberalisasi perdagangan, dengan meminimumkan hambatan-hambatan tarif dan perizinan; (7) penanaman modal asing harus dibuat seliberal mungkin karena dapat membawa masuk keuntungan modal dan keahlian dari luar negeri; (8) privatisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah; (9) deregulasi sektor ekonomi, karena pengaturan pemerintah yang kuat dan berlebihan dapat menciptakan korupsi dan diskriminasi terhadap perusahaan-perusahaan kecil yang memiliki akses rendah kepada pejabat-pejabat pemerintah di level lebih tinggi; (10) penghargaan terhadap hak milik harus ditegakkan, karena hukum yang lemah dan sistem peradilan yang jelek dapat mengurangi insentif untuk akumulasi modal (M.Naim, 2000).
Trade Organization). Dan, menjadi anggota WTO berarti bersedia membuka pasar dalam negeri
bagi produksi negara lain dan menerima segala konsekwensi perdagangan bebas.
Namun, dalam kenyataannya, tidak ada sebuah negara pun yang bersedia begitu saja
membuka keran impor. Para kampiun liberal, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE)
tidak pernah berhati penuh membuka keran impor dengan menggunakan berbagai dalih (Gilpin
and Gilpin, 2000). Banyak anggota WTO mengadukan berbagai penyimpangan dan
ketidakjujuran serta ketidakadilan dalam perdagangan dunia, namun WTO hampir selalu gagal
membuat penyelesaian atau bahkan mendapat kesulitan membawa masalah itu kedalam sidang
anggota WTO (Buckinghann et.al, 2001).
Kegagalan-kegagalan itu mendorong kecenderungan dunia meninggalkan sistem
perdagangan multilateral berdasarkan prinsip the most favored nation (MFN) dan kembali pada
sistem bilateral dan merkantilisme, sebagaimana kemudian tercermin padi semakin meluas dan
kompleksnya perjanjian perdagangan bilateral FTA (Free Trade Areas) dengan rules of origins
yang berbeda-beda.
Bagi kaum Merkantilisme2, sebagaimana Josiah Child, Thomas Mun, Jean Bodin, Von
Hornich dan Jean Baptiste Colbert, perdagangan internasional dilandasi dua ide pokok, yaitu:
pemupukan logam mulia, dan untuk memperoleh neraca perdagangan yang aktif, maka ekspor
harus didorong dan impor harus dibatasi. Kebijakan merkantilis lainnya adalah dalam usaha
untuk monopoli perdagangan dan yang terkait lainnya, dalam usahanya untuk memperoleh
daerah-daerah jajahan guna memasarkan hasil industri. Dari sini, kapitalisme pun akhirnya
berkembang menjadi kolonialisme untuk merebut sumber tenaga kerja dan sumber daya alam
atau sumber ekonomi.
Sampai kemudian, di Inggris Adam Smith menerbitkan risalah Theory of Moral Sentiments
(1759) yang antara lain mengungkapkan bahwa, sistem pasar membutuhkan fondasi moral dan
kepercayaan, atau dengan kata lain dibutuhkan semacam pengaturan sosial dalam bentuk
regulasi. Kemudian, di dalam buku berikutnya, The Wealth of Nation (1776)—An Inquiry Into
the Nature and Causes of the Wealth of Nations—yang banyak diakui sebagai tonggak utama
kapitalisme klasik yang mengekspresikan gagasan laissez faire3 dalam ekonomi—Smith
mengajukan gagasan bahwa, jalan terbaik untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan
membiarkan individu-individu mengejar kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan negara
(Robert Lerner, 1988).
Penerus Smith seperti Thomas Malthus, JS Mill, dan David Ricardo, mengembangkan dan
menyempurnakan sistemnya—tanpa mengubah garis-garis pokoknya—menjadi struktur yang
2 Pada saat merkantilisme lahir, sistem masyarakat pada saat itu berdasarkan feodalisme. Sistem feodal pada dasarnya menanggapi kebutuhan penduduk akan perlindungan terhadap gangguan perampok. Jaminan keselamatan tersebut diberikan oleh para raja terhadap para bangsawan, kerabat, dan bawahannya. Sistem inilah yang melahirkan tuan tanah, bangsawan, kaum petani, dan para vassal yaitu raja-raja kecil yang diharuskan untuk membayar upeti terhadap raja besar. Ketika merkantilisme mulai berkembang, sistem feodalisme yang usang sedikit demi sedikit mulai terkikis, hak-hak istimewa yang dimiliki oleh para tuan tanah dan para bangsawan mulai dihapus, lapisan-lapisan sosial yang melekat pada sistem feodal mulai dihilangkan, cara produksi dan distribusi gaya feodal pun mulai ditinggalkan.3 Istilah "Laissez Faire" berasal dari bahasa Perancis laissez faire la nature (let nature take its course); dapat diartikan sebagai sikap pembiaran kebebasan semaunya tanpa pengaturan dan kontrol.
kini digolongkan kedalam kategori ekonomi klasik. Sampai pada suatu tingkat penting tertentu,
bahkan teori ekonomi Karl Marx4—meski bukan teori politiknya—dapat dianggap sebagai
kelanjutan dari teori ekonomi klasik.
Adapun dalam perdagangan internasional, thesis dasar yang dikembangkan adalah bahwa,
tiap negara mempunyai keunggulan komparatif absolut relatif dalam menghasilkan suatu
komoditi dibandingkan negara lain. Menurut Ricardo, suatu negara akan mendapatkan
keuntungan dari perdagangan karena masing masing pihak mengambil relative efficient tenaga
kerjanya masing-masing.
Teori ini berdampak luar biasa. Bila sebelumnya negara yang memiliki keunggulan absolut
enggan berdagang, berkat law of comparative costs menjadi berubah. Berdasarkan keunggulan
komparatif, suatu negara akan mengekspor komoditas yang lebih tinggi dan mengimpor
komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif lebih rendah. Prinsip ini menjadi dasar yang
belum tergoyahkan dalam perdagangan internasional (Samuelson dan Nordhaus, 1992), walau
belum dapat menjelaskan banyak pertanyaan.
Sampai kemudian, kekelaman itu pun tiba. Hari itu, Kamis 24 Oktober 1929 harga-harga
saham di New York Stock Exchange (NYSE), AS tiba-tiba berjatuhan. Gonjang-ganjing itu tak
lepas dari berpacunya ekonomi Amerika, seusai Perang Dunia I. Pemerintah yang percaya pada
sistem pasar bebas melepas berbagai jurus deregulasi. Tarif pajak terus dipangkas. Dengan
aturan minim, pasar saham berlari tak terkendali. Pada masa Presiden Calvin Coolidge, bursa
saham Amerika berulang kali memecahkan rekor kenaikan. Enam bulan sebelum bursa ngadat,
gejala pecahnya gelembung bursa mulai muncul. Persediaan barang menumpuk tiga kali lipat,
tanda anjloknya daya beli masyarakat. Penjualan mobil turun hingga sepertiga dalam sembilan
bulan pertama sebelum crash dan mencapai puncaknya pada 1930—Great Depression—dengan
suasana malaise.
Menurut John Maynard Keynes, untuk keluar dari depresi ini adalah melalui intervensi
pemerintah. Dalam pandangan ini, karena aktor swasta tidak bisa diandalkan untuk membuat
permintaan agregat selama resesi, pemerintah memiliki kewajiban untuk membuat permintaan
(Daniel Yergin and Joseph Stanislaw. 1998). Dan sejak itu pula, pemikiran Keynesian5
mendominasi, meluruhkan pemikiran laissez-faire dan sekaligus meluruhkan sistem moneter
gold standard yang dirintis pertama kali oleh Inggris sejak revolusi industri. Dan krisis 1930 ini
menjadi bukti esensial bahwa pasar tidak bisa diberi kepercayaan penuh untuk secara invisible
hand mengatur dirinya sendiri.
Dan menjelang berakhirnya PD II—setelah yakin bakal menang—AS, Inggris dan sejumlah
negara sekutu lainnya merumuskan arah baru dunia. Rumusan yang kemudian dikenal sebagai
4 Pada tahun 1848, Karl Marx menerbitkan Communist Manifesto. Menurut Marx, sebagaimana disebutkan di dalam pembuka buku tersebut, sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah pertentangan kelas. Ia percaya bahwa, kapitalisme yang ada akan digantikan komunisme, masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi kediktatoran proletariat (istilah proletariat merujuk pada kaum paling bawah pada masa Romawi kuno).5 Teori Keynesian, Keynesianisme, atau ekonomi Keynesian ini mempromosikan suatu ekonomi campuran, di mana baik negara maupun sektor swasta memegang peranan penting. Kebangkitan ekonomi Keynesianisme menandai berakhirnya ekonomi laissez-faire, suatu teori ekonomi yang berdasarkan pada keyakinan bahwa pasar dan sektor swasta dapat berjalan sendiri tanpa campur tangan negara.
Sistem Bretton Woods itu diselenggarakan dalam pertemuan panjang, 1-22 Juni 1944 di desa
Bretton Woods, New Hampshire, AS.
Ada tiga pilar dalam Sistem Bretton Woods ini, yakni pendirian Dana Moneter
Internasional (IMF), Bank Dunia, yang kala itu dalam bentuk International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD)6, serta organisasi perdagangan dunia (semula
dirancang dalam bentuk International Trade Organization (ITO), yang kemudian muncul dalam
bentuk General Agreement on Tariffs and Trades (GATT) pada 1947, dan kemudian menjelma
menjadi Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) pada 1994.
Sistem Bretton Woods berakhir7 ketika AS tidak sanggup lagi menjaga likuiditas dolar
sekaligus ancaman ketidakpercayaan pasar. Pasar menyaksikan AS ketika perang Vietnam
begitu mudahnya mencetak dollar untuk perang, sehingga menimbulkan ancaman inflasi dan
krisis akibat terlalu banyak dollar di pasar. Dollar yang melimpah di pasar berpotensi
mengurangi kepercayaan nilai tukar dolar terhadap emas (Helleiner, 2002: 222).
Sebagai ganti sistem Bretton Woods, Inggris dan Amerika Serikat sebagai penggerak utama
ekonomi dunia, menerapkan sistem neoliberalisme yang dikembangkan oleh Hayek, Porter dan
Friedman, yang berakar pada pemikiran Adam Smith. Neoliberalisme sendiri merupakan
antithesis terhadap pemikiran Embedded Liberalism John Maynard Keynes yang berjaya selama
empat dasawarsa. Di peringkat kebijakan hal ini ditandai dengan apa yang disebut sebagai
Thatcherisme dan Reagenomics.
Dalam kebijakannya, Margaret Thatcher—terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris pada
1979—dan Ronald Reagen—terpilih sebagai Presiden AS pada 1980—menekankan doktrin
kompetisi–kompetisi antar bangsa, wilayah, perusahaan, dan individu. Inilah era di mana
deregulasi pasar keuangan, privatisasi, pelemahan kelembagaan-kelembagaan jaminan sosial,
pelemahan serikat-serikat buruh dan perlindungan pasar tenaga kerja, pengurangan peran
pemerintah, dan membuka pintu untuk arus barang dan modal internasional. Kalaupun peran
negara—pemerintah—diperlukan, maka negara hanya perlu memainkan tiga peran, yakni:
menyediakan infrastruktur, menjamin penegakan hukum, dan menjamin keamanan (Hertz,
2003).
Pelahiran kembali gagasan Adam Smith “dengan penuh dendam” ini semakin dikukuhkan
melalui apa yang kemudian disebut sebagai Washington Consensus dan mendapat pelembagaan
6 Dalam beleidnya, World Bank dimaksudkan untuk mengatasi kepincangan neraca pembayaran perdagangan internasional. Tetapi secara tidak
langsung, namun ini justru menjadi inti perkara: untuk konsultasi sistem liberalisme yang menjadi jiwa sistem mereka. Atau dengan kata lain, dan dari kacamata bekas negara-negara jajahan, untuk memperkokoh kembali struktur-struktur kolonialisme berpola menyetor bahan-bahan mentah (yang juga harus murah) dan menjual barang jadi (yang harus mahal), secara lebih intensif dan efisien dengan cara lain, mengingat dan kendali koloni-koloni itu politis resmi sudah merdeka. Adapun IMF bertugas mendesak ditumbuhkannya keleluasaan maksimal untuk arus-arus barang-barang komoditi. Dan, Bank Dunia bertugas mempromosikan keleluasaan maksimal dalam arus internasional dari investasi modal. Memang, IMF secara de yure hanya promotor, perantara dan penasihat bila menghadapi suatu pemerintah di suatu negara. Akan tetapi, praktis, segala penerimaan dan penolakan nasihat-nasihatnya adalah otomatis lampu hijau atau lampu merah yang menentukan suatu pemerintahan didukung atau dilawan. Sebab dan bagaimanapun liberalization is the prince of aid.7Pada 15 Agustus 1971 Sistem Bretton Woods dinyatakan berakhir oleh Presiden Nixon. Kebijakan tersebut banyak dilihat sebagai bentuk
berkurangnya kapasitas leadership AS sebagai suatu hegemoni ekonomi internasional. Namun, hal ini ditampik Susan Strange (1986). Strange menyebut bahwa, kebijakan tersebut sesungguhnya hanya manuver politik. Artinya, hegemoni ekonomi internasional AS pada hakekatnya tidak berubah, hanya saja kepentingan memimpin ekonomi internasional yang telah berubah (Helleiner, 2002: 223).
melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dan dalam hal ini, Indonesia merupakan salah
satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi persetujuan pembentukan WTO.
Secara umum terdapat beberapa unsur pokok di dalam WTO, yakni:
1. MFN (Most-Favoured Nation): Perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagang. Dengan
berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja
mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada
produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara
anggota lainnya.
2. Perlakuan Nasional (National Treatment). Negara anggota diwajibkan untuk memberikan
perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor
memasuki pasar domestik.
3. Transparansi (Transparency). Negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka/transparan
terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha
untuk melakukan kegiatan perdagangan.
4. Penurunan tarif. Menghapus atau menurunkan tarif atas suatu produk guna mengurangi
biasa ekspor sehingga membuka pasar tambahan baru bagi produsen.
5. Penghapusan restriksi kuantitatif. Melarang penggunaan restriksi (hambatan) selain tarif dan
bea. Dalam hal ini, negara tidak boleh membaasi ekspor atau impor dengan menetapkan
kuota untuk membatasi arus barang.
Adapun cakupan perjanjian-perjanjian di dalam WTO terdiri dari enam bagian, yakni:
Perjanian Payung Hukum (kesepakatan mengenai pendirian WTO); Perjanjian umum untuk tarif
dan perdagangan barang (GATT); Perjanjian umum untuk perdagangan jasa (GATS); Hak atas
Kekayaan Intelektual yang terkait dengan perdagangan (TRIPs); Penyelesaian sengketa (DS);
dan Kaji ulang atas kebijakan dagang negara-negara anggota (Trade Policy Review).
Dari keenam komponen perjanjian tersebut, terdapat tiga isu besar yang berada di bawah
WTO:
1. Perjanjian umum untuk tarif dan perdagangan barang (GATT) yang merupakan perjanjian
umum mengenai liberalisasi barang. Kelompok perjanjian ini dan lampiran-lampirannya
berhubungan antara lain dengan sektor-sektor: a). Pertanian; b). Sanitary and
Phytosanitary/SPS; c). Badan Pemantau Tekstil (Textiles and Clothing); d). Standar Produk;
e). Tindakan investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs); f). Tindakan anti-
dumping; g). Penilaian Pabean (Customs Valuation Methods); h). Pemeriksaan sebelum
pengapalan (Preshipment Inspection); i). Ketentuan asal barang (Rules of Origin); j).
Lisensi Impor (Imports Licencing); k). Subsidi dan Tindakan Imbalan (Subsidies and
Countervailing Measures); dan l). Tindakan Pengamanan (Safeguards)
2. Perjanjian umum untuk perdagangan dan jasa (GATS) yang merupakan perjanjian umum
mengenai liberalisasi perdagangan jasa, utamanya dalam perluasan akses pasar sektor jasa,
di mana setiap negara anggota diwajibkan menyusun komitmen liberalisasi dan jadwal
pelaksanaannya untuk ”seberapa banyak” pemasok jasa dari luar dapat memberikan jasanya
di sebuah negara. Adapun sektor-sektor yang diatur meliputi beberapa komponen berikut
ini: a). Pergerakan tenaga kerja (movement of natural persons); b). Transportasi udara (air
transport); c). Jasa keuangan (financial services); d). Perkapalan (shipping); dan e).
Telekomunikasi (telecommunication)
3. Hak atas kekayaan intelektual yang terkait dengan perdagangan (TRIPS).
Perjanjian-perjanjian tersebut tidaklah statis, melainkan terus berubah. Beberapa hal-hal
baru dan sekarang masih dirundingkan antara lain adalah Akses Pasar untuk Produk Non-
Pertanian (Non-Agricultural Market Access/NAMA), serta Perdagangan dan Lingkungan, yang
dibahas dalam putaran perundingan WTO (KTM-WTO) yang diselenggarakan tiap dua tahun
sekali.
Dalam stuktur WTO, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) merupakan forum pengambil
kebijakan tertinggi. KTM WTO pertama diselenggarakan di Singapura, 1996; Jenewa, 1998;
Seattle, 1999; Doha, Qatar, 2001; Cancun, Mexico, 2003; Hong Kong, 2005; dan kemudian di
Genewa pada tahun 2006, 2008, dan 2009. Namun demikian, sejak KTM Seattle tahun 1999,
putaran perundingan WTO selalu menemui jalan buntu. Dan sejak itu, banyak negara maju yang
beralih strategi untuk menjalankan free trade agreement (FTA) karena khawatir akan hilangnya
pasar ekonomi yang telah dikuasai. Sampai sejauh ini (Juli, 2011), ada lebih dari enam puluh
perjanjian FTA yang ditandatangani sejumlah Negara, sehingga kerap digambarkan sebagai
spaghetti-bowl di lingkup hubungan antar negara-negara tersebut.
Di tingkat Asean juga telah terjalin sejumlah FTA dengan beberapa Negara mitra utama,
yaitu Asean+3 (China, Jepang dan Korea Selatan) dan Asean+6 (Australia, Selandia Baru dan
India). Dengan Negara-negara mitra utama Asean tersebut semua FTA telah disepakati. Selain
itu, masing-masing Negara di Asean juga melakukan pengikatan secara bilateral dengan Negara
lain di luar mitra utama.
Dari sisi ukuran ketercakupan, ACFTA merupakan FTA terbesar di dunia yang melibatkan
sekitar 1,8 milyar penduduk, dengan regional GDP US$ 2 trilyun dan total nilai perdagangan
sekitar US$ 1,2 trilyun. Cakupan ACFTA sendiri mencakup tiga perjanjian utama, yakni:
perdagangan barang, perdagangan jasa, dan investasi. Adapun perjanjian lain yang sudah
disepakati di tingkat Asean dengan mitra utamanya adalah Asean-Japan Comprehensive
Economic Partnership (AJ-CEP), atau juga disebut Asean-Japan FTA (AJ-FTA); Asean-Korea
FTA; Asean-Australia-New Zeeland FTA (AANZFTA); dan Asean-India FTA (AI-FTA).
Kesepakatan Perdagangan Bebas Negara-negara Asia Tenggara
Negara2 AseanFree Trade Agreement (FTA)/Regional Trade Agreement (RTA)
Telah Diselesaikan Dalam Negosiasi
ASEAN Asean-China FTA (ACFTA) Asean-EU FTA
Asean-Korea FTA (AKFTA) Asean-US TIFA
Asean-Japan CEP (AJCEP)
Asean-India TIGA (AITIGA)
Asean-Australia-New Zeeland FTA (AANZFTA)
Brunei Darusalam Asean Free Trade Area (AFTA)
Kamboja Asean Free Trade Area (AFTA)
Indonesia Asean Free Trade Aarea (AFTA) TIFA dengan US
Indonesia-Japan EPA (IJ-EPA) PCA dengan EU
Laos Asean Free Trade Area (AFTA)
Malaysia Asean Free Trade Area (AFTA) CECA dengan Australia
Japan CECA dengan Pakistan
CECA dengan India
CECA dengan Korea
CECA dengan New Zeland
CECA dengan US
CECA dengan UE
CECA dengan Chile
Myanmar Asean Free Trade Area (AFTA)
Filipina Asean Free Trade Area (AFTA) TIFA dengan US
Japan PCA dengan EU
Singapora Asean Free Trade Area (AFTA) Canada
Australia China
Japan The Gulf Co.Council
Switzerland Meico
Iceland Peru
Liechtenstein & Norway Pakistan
New Zeeland Ukraine
Panama
USA
Jordan
India
Trans Pacific SEP (Brunei, N.Zeeland, Chile, Singapore)
KoreaSumber: Bonnie Setiawan (“Bahaya Perdagangan Bebas Asean”, h.21-24) Note: CEP (Closer Economic Cooperation); EPA (Economic Partnership Arrangement); TIFA (Trade and Investment Framework); TIGA (Trade in Goods Agreement); EU (Eropean Union); USA (United State of America); PCA (Partnership and Cooperation Agreement); CECA (Comprehensive Economic Cooperation Agreement)
II. Dari AFTA Menuju Komunitas Ekonomi Asean (AEC)
Asean Free Trade Area (AFTA) merupakan hasil kesepakatan para kepala Negara Asean
dalam Asean Summit IV di Singapura, Januari 1992. Kesepakatan untuk merealisasikan AFTA
ini dilakukan melalui skema Common Effective Preferential Tarriffs (CEPT), yang
diperkenalkan pada Januari 1993 dan mulai berlaku satu tahun kemudian (Januari 1994). Inti
skema CEPT adalah realisasi tariff yang efektif rendah dan berlaku umum pada kisaran 0-5
persen untuk seluruh perdagangan antarnegara Asean. Semula, kerangka waktu pelaksanaannya
15 tahun, tetapi kemudian dipercepat menjadi 10 tahun, dengan basis tahun sejak 1993.
Menurut Bambang Sugeng (How AFTA Are You?, 2003), sampai 2002 jumlah produk yang
masih dikenai tariff di atas 5 persen hanya tinggal 3,8 persen atau 1.683 dari 44.060 pos tariff
dalam daftar inklusif. Dalam hal ini, CEPT tidak bersifat sukarela, tetapi wajib. Begitu produk
sudah dipilih berdasar sector untuk masuk CEPT, maka semua Negara harus mematuhinya.
Adapun sector-sektor yang dicakup adalah manufaktur, barang modal, dan produk pertanian
(Bambang Sugeng, 2003).
Selain itu, di dalam AFTA juga terdapat produk yang dilindungi (sensitive list) dan sangat
dilindungi (high sensitive list). Penurunan tariff untuk produk yang dilindungi dilakukan selama
10 tahun—sejak tahun 2000—hingga mencapai 5 persen. Adapun untuk produk yang sangat
dilindungi dalam 10 tahun—sejak tahun 2000—nilai tarifnya harus diturunkan menjadi 20
persen. Dalam hal ini Indonesia memasukan beras dan gula dalam high sensitive list.
Dengan formula tersebut, maka sejak 1 Januari 2010, liberalisasi tariff masuk produk
pertanian menjadi 0 – 5 persen telah berlaku untuk Asean-6 (Indonesia, Malaysia, Thailand,
Singapura, Filipina, Brunei Darussalam), sementara untuk Asean-4 (Myanmar, Cambodia, Laos
dan Vietnam akan berlaku pada 1 Januari 2018 (Bambang Sugeng, 2003).
Selain pengurangan tariff, skema CEPT juga mengatur tentang pencabutan berbagai
hambatan non-tarif (non-tarriff barriers/NTB)8. Penghapusan NTB telah dilakukan sejak 2003.
Dalam hal ini Indonesia telah melakukan beberapa penghapusan NTB, diantaranya adalah
pencabutan peran dan fungsi Bulog (Badan Urusan Logistik) sejak September 1998 sebagai
importer tunggal produk-produk beras, gandum, gula, kacang dan kedelai, di samping juga
Bulog tidak berhak lagi meminjam kredit likuiditas dari bank sentral (Bambang Sugeng, 2003).
Sementara itu, di fora internasional dan sekaligus memasuki millennium baru, WTO
kembali melakukan KTM-WTO di Doha, Qatar pada tahun 2001, setelah KTM Seattle yang
kacau. KTM di Doha menghasilkan dokumen utama berupa “Deklarasi Doha” dan telah
menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk
pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI), penyelesaian sengketa dan peraturan WTO.
8 NTB artinya berbagai kebijakan pemerintah di luar masalah tariff yang secara efektif dapat menghambat atau membatasi kelancaran transaksi perdagangan, seperti monopoli perdaganggan barang impor tertentu, penetapan harga barang impor, pembatasan kuota, pengenaan bea masuk tambahan dan pajak-pajak tambahan lain, lisensi impor, berbagai pemberlakuan persyaratan teknis dan lainnya.
Di tingkat implementasi, negara-negara berkembang telah secara menerus menekan negara-
negara maju untuk membahas masalah ketidakseimbangan yang muncul dari persetujuan
Putaran Uruguay. Hal ini karena persetujuan-persetujuan dalam WTO merupakan hasil
perundingan pada masa Putaran Uruguay di mana belum disadari dampak pelaksanaannya.
Karena itu, negara-negara berkembang mengusulkan untuk mengklarifikasi atau memperbaiki
beberapa pasal persetujuan WTO dalam perundingan lebih lanjut.
Isu-isu implementasi yang dimuat dalam Decision on Implementation-Related Issues and
Concerns dan menyangkut kepentingan negara berkembang antara lain:
1. Pertanian. Dibahas antara lain mengenai himbauan agar anggota WTO menghindari sedapat
mungkin tindakan yang mempertanyakan notifikasi negara berkembang dalam program
subsidi yang diperbolehkan dalam kategori green box9. Ditekankan perlunya melanjutkan
program kerja mengenai tariff-rate quota, bantuan pangan, serta bantuan teknik dan
keuangan.
2. Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measures. Pembahasan diarahkan untuk mengklarifikasi
istilah longer timeframe for compliance pada pasal 10.2. Persetujuan SPS dengan
memberikan jangka waktu yang lebih lama bagi negara berkembang untuk menyelaraskan
aturannya dengan tindakan SPS yang baru. Ditekankan pula pentingnya partisipasi negara
berkembang dalam organisasi-organisasi internasional mengenai standar.
3. Tekstil dan Pakaian. Para anggota mencatat pentingnya upaya untuk: mengurangi restriksi
quota dan mempercepat integrasi produk-produk tekstil ke WTO, memberi pertimbangan
lebih dahulu sebelum memulai investigasi anti-dumping, memberitahukan perubahan dalam
rules of origin, serta meningkatkan growth on growth provision satu tahap lebih cepat.
4. Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barrier to Trade/TBT). Dimungkinkan untuk
menunda penerapan aturan baru TBT selama 6 bulan, meningkatkan partisipasi negara-
negara berkembang dalam organisasi-organisasi internasional mengenai standar.
5. Anti-Dumping. Disepakati untuk meneliti secara hati-hati permintaan untuk investigasi
antidumping terhadap produk yang sama dari negara yang sama (tidak memulai kasus anti
dumping dalam 1 tahun apabila ternyata ada temuan negatif untuk produk yang sama dari
9 Di dalam perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture/AoA), WTO membedakan antara program dukungan (subsidi) dengan sejumlah istilah berdasarkan warna, yaitu kotak kuning (amber box), kotak hijau (green box), kotak biru (blue box), dan dukungan deminimis. Amber Box, adalah semua subsidi domestik yang dianggap mendistorsi produksi dan perdagangan. Negara anggota WTO mengkalkulasi tingkat dukungan dalam ”kotak kuning” dengan metode penghitungan yang disebut sebagai agregate measure support (AMS), dengan menggunakan tahun dasar perhitungan pada periode 1986-1988. Negara-negara maju bersepakat menurunkan tingkat dukungan ini sebesar 20 persen selama 6 tahun sejak 1995, dan negara berkembang akan menurunkan 13 persen selama 10 tahun. Blue Box, adalah amber box dengan persyaratan tertentu yang ditujukan untuk mengurangi distorsi. Subsidi yang biasanya dikategorikan sebagai amber box akan dimasukkan ke dalam blue box jika subsidi tersebut juga menuntut dikuranginya produksi oleh para petani. Dukungan-dukungan yang tidak bisa diletakan dalam ”kotak kuning” diletakan dalam ”kotak biru” sepanjang dukungan tersebut tidak digunakan untuk membatasi produksi. Sampai saat ini tidak ada batasan jumlah subsidi dalam ”kotak biru”, bahkan dalam Sidang General Council pada Juli 2004, kriteria ”kotak biru” semakin diperluas. Green Box, adalah subsidi yang tidak berpengaruh atau kalaupun ada sangat kecil pengaruhnya terhadap perdagangan. Subsidi tersebut harus dibiayai dari anggaran pemerintah (tidak dengan membebani konsumen dengan harga yang lebih tinggi) dan harus tidak melibatkan subsidi terhadap harga. Contoh tindakan yang dikatagorikan dalam ”kotak hijau” adalah menyangkut riset, penanggulangan hama, pembangunan infrastruktur, dan ketahanan pangan. Namun, penelitian UNTAD (2007) menyebutkan bahwa, subsidi ”kotak hijau” telah menyebabkan distorsi pasar. Berkaitan dengan kebijakan yang diatur dalam Green Box terdapat tiga jenis subsidi lainnya yang dikecualikan dari komitmen penurunan subsidi yaitu kebijakan pembangunan tertentu di negara berkembang, pembayaran langsung pada program pembatasan produksi (blue box), dan tingkat subsidi yang disebut de minimis.
negara yang sama). Hal ini untuk menghindari terjadinya trade harrasment di mana industri
di negara tertentu berulang kali memaksakan dilakukannya investigasi dumping meskipun
tuduhan dumping tersebut tidak terbukti (merupakan upaya untuk mematikan saingan).
6. Custom Valuation. Disetujui untuk mencatat permintaan perpanjangan masa transisi
Persetujuan Custom Valuation, mempertimbangkan kondisi khusus negara terbelakang,
meningkatkan kerjasama di antara otoritas bea cukai untuk menghindari penipuan.
7. Rules of Origin. Diupayakan mengharmonisasi persyaratan asal barang yang diharapkan
akan meningkatkan arus perdagangan.
8. Subsidies and Countervailing Measures. Disepakati untuk mengklarifikasi annex VII (b)
dari Persetujuan Subsidies and Countervailing Measures (SCM) di mana negara-negara
yang tercantum dalam annex VII (b) tersebut tetap dapat memberikan subsidi selama GNP
perkapitanya belum melewati US$ 1.000 selama tiga tahun berturut-turut.
9. Trade-Related Aspects of Intellectual Property (TRIPs). TRIPs Council diminta untuk
mempelajari lebih lanjut cakupan dan modalitas untuk complaints. Di samping itu
ditekankan pentingnya alih teknologi yang harus dilakukan negara maju sesuai
komitmennya di bawah pasal 66.2 Persetujuan TRIPs.
10. Special and Differential (S&D) Treatment. Para anggota sepakat untuk mencari jalan agar
S&D ini dapat lebih efektif dan dapat diubah menjadi lebih mengikat (mandatory).
Deklarasi Doha memberikan mandat kepada para anggota WTO untuk melakukan negosiasi
di berbagai bidang, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan yang ada.
Perundingan dilaksanakan di Komisi Perundingan Perdagangan (TNC) dan badan-badan di
bawahnya. Selebihnya, dilakukan melalui program kerja yang dilaksanakan oleh Councils dan
Committees yang ada di WTO.
Keputusan-keputusan KTM IV ini juga dikenal sebagai Doha Development Agenda karena
di memuat isu-isu pembangunan yang menjadi kepentingan negara-negara berkembang dan
terbelakang (least-developed countries/LDCs), seperti: kerangka kerja kegiatan bantuan teknik
WTO, program kerja LDCs, dan program kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara
kecil ke dalam WTO.
Mengenai perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment), Deklarasi
tersebut telah mencatat proposal negara berkembang untuk merundingkan Persetujuan mengenai
Perlakuan Khusus dan Berbeda (Framework Agreement of Special and Differential
Treatment/S&D), namun tidak mengusulkan suatu tindakan konkret mengenai isu tersebut. Para
menteri setuju bahwa masalah S&D ini akan ditinjau kembali agar lebih efektif dan operasional.
Setelah KTM Doha, WTO kembali menyelenggarakan KTM di Cancun, Meksiko 2003.
KTM ini gagal, terutama terhadap draft teks pertanian, akses pasar produk non pertanian
(MANAP) dan Singapore issues. Kebuntuan kembali terjadi pada KTM WTO berikutnya, dan
situasi ini mendorong sejumlah negara—yang telah diuntungkan oleh perdagangan bebas—
untuk mengalihkan strateginya dengan mengintensifkan FTA secara bilateral maupun regional,
termasuk negara-negara Asean.
Karena itu pula, melalui KTT ke 13 di Singapura, 18-22 November 2007, negara-negara
Asean telah merumuskan tiga deklarasi, yakni: ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN
Declaration on the 13th Session of the Conference on Climate Change (UNFCCC) dan the 3rd
Conference of Parties Serving as the Meeting of the Parties (CMP) to the Kyoto Protocol yang
rencana implementasinya dikukuhkan melalui Piagam Asean (Asean Charter).
Dari AEC kemudian lahir Asean Trade in Goods Agreement (ATIGA), yang merupakan
penyempurnaan skema CEPT-AFTA. ATIGA berfokus pada jadwal pengurangan dan
penghapusan tarif perdagangan barang di Asean. ATIGA juga berhubungan erat dengan
perdagangan barang (trade-in-goods) di dalam FTA, yang terdiri dari unsur tarif dan non-tarif.
Tujuan utamanya adalah mencapai arus barang yang bebas di Asean sebagai alat utama untuk
mendirikan sebuah basis produksi dan pasar tunggal bagi integrasi ekonomi yang semakin
mendalam ke arah AEC, 201510.
ATIGA mulai berjalan efektif sejak 17 Mei 2010 setelah diratifikasi oleh seluruh negara
anggota Asean. Sejak itu, maka semua ketentuan perdagangan barang, baik berupa CEPT
maupun protokol-protokol yang ada digantikan oleh ATIGA. Selain itu, komitmen liberalisasi
tarif di bawah ATIGA mulai dijalankan secara retroaktif sejak 1 Januari 2010.
Selain itu, kesepakatan pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (AEC) ini juga sekaligus
menjadi penanda terintegrasinya Asean dalam era baru perdagangan bebas. AEC juga menandai
transformasi Asean sebagai sebuah blok kawasan yang semula didirikan sebagai basis politik
anti komunis peninggalan era perang dingin untuk kemudian berubah menjadi blok perdagangan
yang sepenuhnya kapitalistik. AEC juga mencerminkan visi untuk merubah Asean menjadi
single market and production base. Dalam hal ini Asean berkeinginan hati untuk menjadi
kawasan ekonomi berbasis produksi dan pasar tunggal yang sangat kompetitif dan terintegrasi
penuh kedalam komunitas global di tahun 2015.
Tujuan integrasi ekonomi tersebut diantaranya adalah penghapusan tarif, kebebasan
bergerak dari kaum profesional, kebebasan bergerak dari modal, serta penyederhanaan prosedur
kepabeanan. Dan untuk itu, diperlukan kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas (FTA’s)
yang menjadi strategi kunci bagi Asean untuk mendapatkan akses pasar yang lebih besar ke
mitra-mitra dagang Asean serta guna menarik investasi kedalam Asean. Dengan AEC ini, Asean
akan tunduk sepenuhnya pada prinsip-prinsip ekonomi yang terbuka, berorientasi keluar,
inklusif, dan perekonomian yang didorong oleh pasar (market driven economy), yang konsisten
dengan aturan-aturan multilateral, serta taat kepada sistem berbasis aturan (rules based system)
bagi kepatuhan efektif dan pelaksanaan komitmen-komitmen ekonomi11.
10 https://www.blogger.com/comment.g?blogID=4216606377953874956&postID=403027911883113323611 “An Asean Economic Community by 2015”, Fatc Cheet Asean 2nd edition, Public Affairs Office of the Asean Secretariat, Jakarta 20 August 2008.
Salah satu aturan penting di dalam AEC adalah Asean Comprehensive Investment
Agreement (ACIA), yang pada dasarnya merupakan hasil pengkonsolidasian dua aturan investasi
yang dibuat sebelumnya, yakni: Asean Agreement for the Promotion and Protection of
Investment tahun 1987—dikenal juga sebagai Asean Investment Guarantee Agreement atau
Asean IGA—dan Framework Agreement on the Asean Investment Area (AIA), tahun 1998, serta
dari protokol-protokol terkait lainnya.
ACIA merupakan perjanjian investasi yang komprehensif dan mencakup lima sektor, yaitu:
industri pengolahan, pertanian, perikanan, pertambangan dan penggalian, serta sektor jasa-jasa
yang terkait dengan sektor-sektor tersebut12. ACIA juga merupakan basis utama bagi
pengaturan rejim investasi dalam berbagai FTA yang diselenggarakan oleh Asean dengan mitra
dagangnya.
Komponen penting berikutnya dalam AEC adalah Asean Framework Agreement on Trade
in Services (AFAS), dan merupakan perjanjian sektor jasa yang paling liberal dan paling
ambisius yang pernah dilakukan Asean dalam pengaturan sektor jasa. Liberalisasi ambisius
tersebut adalah mengenai: a) penjadwalan bagi tidak adanya kekangan lagi atas suplai jasa lintas
batas (cross border supply) dan konsumsi ke luar negeri (consumption abroad), yang dikenal
sebagai moda-1 dan moda-213; b) Menghapus kekangan-kekangan lainnya secara progresif.
Kesemuanya ini pada akhirnya akan mengarah kepada bagaimana memperluas secara menerus
komitmen jasa-jasa ke arah arus bebas jasa-jasa di tahun 2015 dengan fleksibel14.
Di dalam AFAS diadakan putaran-putaran perundingan dan saat ini (Maret, 2012) telah
memasuki putaran ke 8. Adapun keseluruhan komitmen yang berhasil diputuskan hingga saat ini
mencakup liberalisasi jasa bisnis; jasa profesional; konstruksi; distribusi; pendidikan; jasa
lingkungan; pelayanan kesehatan; transportasi maritim; telekomunikasi; dan turisme. Selain itu,
ada lagi tambahan paket komitmen mengenai jasa keuangan serta transportasi udara.
Pada awalnya, AFAS hanya diperuntukan bagi kalangan industri jasa dari negara-negara
anggota Asean (Asean Member States/AMS). Adapun tujuan AFAS adalah: (a) meningkatkan
kerjasama dalam sektor jasa di antara negara-negara anggota Asean (AMS) guna memperbaiki
efisiensi dan daya saing industri-industri jasa Asean, memberagamkan kapasitas produksi dan
suplai, serta distribusi sektor-sektor jasa; (b) menghapus hambatan substansial dalam
perdagangan jasa-jasa; (c) meliberalisasi perdagangan jasa dengan memperluas cakupan dan
12 ‘Liberalization of Trade in Services in Asean”, Fact Sheet Asean, Public Affairs Office of the Asean Secretariat, Jakarta 3 April 2007.13
Di dalam Perjanjian Perdagangan Jasa (GATS) WTO, pada pasal 1 mengenai term perdagangan jasa, apa yang dimaksud dengan perdagangan jasa didefinisikan sebagai penyediaan jasa melalui 4 cara, yakni: (1). Mode-1: Pelayanan Lintas Batas (Cross Border Supply). Pelayanan jasa oleh pemasok jasa yang berasal dari suatu negara (tetap berada di tempat/negara asal) kepada konsumen yang berada di wilayah negara lain. Misalnya, jasa pos internasional; telekomnikasi; distance learning; telemidicine, dll; (2). Mode-2: Konsumsi di Luar Negeri ( Consumption Abroad). Pelayanan jasa oleh pemasok jasa pada suatu negara kepada konsumen di luar wilayah negara asalnya (konsumen mendatangi pemasok jasa di negara asalnya). Misalnya, pariwisata; studi ke luar negeri; berobat ke luar negeri, dll; (3). Mode-3: Kehadiran Komersial ( Commercial Presence). Pelayanan jasa oleh pemasok jasa yang berasal dari suatu negara tertentu melalui kehadiran Badan Usaha secara fisik di wilayah negara lain. Misalnya, rumah sakit asing; perguruan tinggi asing; bank asing, dll; dan (4). Mode-4: Kehadiran Tenaga Kerja Asing (Presence of Natural Persons). Pelayanan jasa oleh pemasok jasa yang berasal dari suatu negara tertentu melalui kehadiran profesionalnya di wilayah negara lain. Misalnya, dokter asing; expatriate sebagai manager hotel; tenaga konsultan asing, dll.14 “Asean Framework Agreement on Services”, Fact Sheet Asean, Public Affairs Office of the Asean Secretariat, Jakarta, 26 February 2009
kedalaman liberalisasi di atas yang telah disepakati GATS-WTO—disebut juga prinsip GATS15-
Plus; (d) menyediakan pengakuan akan pendidikan atau pengalaman, persyaratan, lisensi atau
sertifikat yang akan diatur dalam pengaturan tersendiri, yang disebut Mutual Recognition
Arrangement (MRA).
Secara umum MRA diartikan sebagai suatu kesepakatan saling pengakuan terhadap produk-
produk tertentu antar dua atau beberapa negara untuk mempermudah kegiatan perdagangan
“impor maupun ekspor“ tanpa melalui dua atau beberapa kali pengujian. Dalam konteks kerja
sama jasa ekonomi ASEAN, MRA merupakan kesepakatan untuk mengakui kualifikasi
pendidikan dan pengalaman seorang profesional. MRA digunakan untuk memudahkan
perpindahan tenaga kerja profesional antar negara-negara ASEAN, khususnya dalam rangka
integrasi pasar dengan tetap mempertahankan kekhususan masing-masing negara.
Hingga saat ini terdapat delapan kesepakatan MRA di bidang jasa yang telah ditandatangani
oleh Negara Anggota ASEAN, yaitu MRA on Engineering Services, MRA on Nursing Services,
MRA on Architectural Services, Framework Arrangement for Mutual Recognition on Surveying
Qualification, MRA on Tourism Professional, MRA on Accountancy Services, MRA on Medical
Practitioners, dan MRA on Dental Practitioners.
Kedepan masih akan lebih banyak lagi, peraturan-peraturan sejenis, yang pada prinsipnya
adalah memperhebat aturan mengenai fleksibilitas tenaga kerja ASEAN, dalam beberapa tahun
kedepan peraturan tersebut akan diperluas hingga pada pembuatan skema penyediaan jasa
tenaga kerja di sektor-sektor industri (buruh) dan sektor riil rakyat yang lainnya. Secara umum,
jadwal yang telah ditetapkan dalam liberalisasi sector jasa di Asean ini adalah sbb:
1. Menghilangkan secara nyata hambatan perdagangan jasa untuk 4 sektor jasa prioritas, yaitu
transportasi udaha, e-Asean, kesehatan, dan pariwisata pada tahun 2010, dan pada tahun
2013 untuk sector jasa kelima, yaitu jasa logistic dan pada tahun 2015 untuk seluruh sector
jasa lainnya.
2. Melaksanakan liberalisasi setiap putaran perundingan (satu kali dalam dua tahun) yaitu
2008, 2010, 2012, 2014, dan 2015.
3. Menjadwalkan jumlah minimum sub-sektor jasa baru yang akan diliberalisasi untuk setiap
putaran perundingan sebagai berikut:
a. Pada tahun 2008. 10 subsektor baru tambahan ke subsector lainnya yang sudah
disepakati pada tahun sebelumnya.
15 Prinsip GATS pada dasarnya sama dengan prinsip WTO dimana Negara-negara anggota harus menurunkan atau menghilangkan hambatan
perdagangan seperti tariff dan hambatan non tariff. Jika dalam perdagangan produk barang, hambatan tariff dibicarakan maka untuk menghilangkan dan menurunkan hambatan dalam perdagangan jasa, regulasi local dan nasional menjadi target utama. Prinsip lainnya, national treatment dimana setiap negara anggota WTO harus memberikan perlakuan sama antara pemasok jasa local dengan pemasok jasa dari Negara lain. Selain itu, juga ada prinsip Non diskriminasi, Negara-negara anggota tidak boleh memberikan perlakuan yang berbeda antar Negara anggota. Dan, untuk membuka sektor jasa masing-masing Negara, GATS menggunakan prinsip “daftar positif”, di mana setiap Negara diperbolehkan untuk membuka sektor jasa yang diinginkan sesuai dengan kapasitas pasokan dan tujuan pembangunannya. Daftar positif berarti sektor yang diinginkan untuk dibuka, itulah yang dikomitmenkan secara resmi dalam WTO. Daftar positif sering juga disebut sebagai prinsip fleksibilitas dari GATS.
b. Pada tahun 2010. 15 subsektor baru tambahan ke subsector lainnya yang sudah
disepakati pada tahun 2008.
c. Pada tahun 2012. 20 subsektor baru tambahan ke subsector lainnya yang sudah
disepakati pada tahun 2010.
d. Pada tahun 2014. 20 subsektor baru tambahan ke subsector lainnya yang sudah
disepakati pada tahun 2012, dan
e. Pada tahun 2015. 20 subsektor baru tambahan ke subsector lainnya yang sudah
disepakati pada tahun 2014.
4. Menjadwalkan paket-paket komitmen dengan parameter-parameter sbb:
a. Untuk moda 1 dan 2 (perdagangan antarbatas dan konsumsi di luar negeri) tidak ada
pembatasan, kecuali jika ada alasan-alasan yang dapat diterima (seperti keselamatan
public) untuk seluruh Negara anggota secara kasus per kasus dan sesuai dengan
perjanjian.
b. Mengijinkan partisipasi modal asing (FEP) dalam hal ini Asean, dengan batasan
sebagai berikut:
i. Tidak kurang dari 51 persen tahun 2008 (AFAS 7) dan 70 persen tahun 2010
(AFAS 8) untuk 4 sektor jasa prioritas;
ii. Tidak kurang dari 49 persen tahun 2008 (AFAS 7), 51 persen tahun 2010 (AFAS
8), dan 70 persen tahun 2013 untuk jasa logistic; dan
iii. Tidak kurang dari 49 persen tahun 2008 (AFAS 7), 51 persen tahun 2010 (AFAS
8), dan 70 persen tahun 2015 untuk sector jasa lainnya.
c. Secara progresif menghilangkan pembatasan pada akses pasar untuk moda 3 (kehadiran
komersial) pada tahun 2015.
d. Menyepakati dan mengimplementasikan beberapa Nota Saling Pengakuan (Mutual
Recogition Arranggement/MRA) untuk jasa arsitektur, jasa akuntansi, kualifikasi
survey, praktisi medis pada tahun 2008, dan praktisi kesehatan gigi pada tahun 2009
III. Implikasi AFAS pada Jasa Pendidikan Indonesia
Dalam bidang pendidikan Indonesia telah membuka dalam model 3 (kehadiran komersial)
dimana institusi/investor asing boleh mendirikan cabang di Indonesia dengan prsyaratan sebagai
berikut:
“Commercial presence of the foreign service provider is permitted only through an
education institution wich is registered in Indonesia and must meet the following conditions: (a)
Mutual recognition arrangement between relevant institutions on credits, programs, and
certifications is required, (b) Foreign education institution providing services must establish
partnership with local partner. Foreign language instructors must be native and Indonesia
speakers, (c) Foregn education institution must be listed in the Minitry of Education’s List of
Acredited Foreign Education and its local partner must be accredited, (d) Foreign education
institution in cooperation with local partner may open education institution in the cities of
Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, and Medan, dan (e) Temporary entry for natural
persons engaged in education activities in Indonesia is subject to approval by the Ministry of
National Education. Approval is granted in case-by-case basis.”
Dengan persyaratan tersebut, kehadiran lembaga pendidikan asing di Indonesia yang harus
bekerjasama dengan lembaga pendidikan local dan mengikuti berbagai ketentuan yang berlaku
serta hanya dibatasi pada kota-kota tertentu—Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan
Medan—kiranya tidak perlu terlampau dirisaukan. Meskipun, bila melihat dari keterbatasan
tenaga professional, kehadiran lembaga pendidikan asing di negeri ini dipastikan juga menjadi
masalah tersendiri.
Sekadar gambaran tentang jumlah tenaga professional yang masih mengalami deficit adalah
pada kelompok tenaga insinyur (engineering services dan architectural services). Menurut
Sekjen Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Heru Dewanto, Indonesia membutuhkan 175.000
orang insinyur per tahun untuk mengimplementasikan Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) , untuk mencapai target Indonesia masuk 10 besar
dunia pada 2030 (http://pii.or.id. Kebutuhan insinyur, 2011/10) . Masalahnya, saat ini jumlah
insinyur hanya bertambah 37.000 per tahun. Padahal dengan dibukanya mobilitas profesi
insinyur di kawasan ASEAN, defisit jumlah insinyur tersebut akan membuat Indonesia dibanjiri
insinyur asing.
Kekurangan yang sama juga terjadi pada tenaga professional akuntan, dokter—manusia,
gigi dan veteriner—pemandu wisata, dan sejumlah tenaga professional lain yang telah masuk
dalam AFAS. Di sisi lain, kualifikasi keprofesionalan yang menjadi bagian dari output lembaga
pendidikan tinggi juga masih banyak membutuhkan pembenahan.
Secara umum dan sekadar gambaran, berdasarkan data UNDP 2010, Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Indonesia masih menempati urutan ke-111 dunia dari 182 negara. Sementara di
ASEAN, Indonesia masuk urutan enam dari 10 negara anggota Asean. Rendahnya IPM
Indonesia tersebut berkait erat dengan masalah pendidikan, kesehatan dan kemiskinan yang
masih cukup memprihatinkan.
Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The
Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang UNESCO, indeks pembangunan pendidikan
(EDI) Indonesia adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara
di dunia. Meskipun EDI Indonesia masih terkategori medium berada di atas 0,80, sedangkan
kategori rendah di bawah 0,80 dan kategori tinggi jika mencapai 0,95-1, namun posisi tahun
2010 ini merosot dibanding tahun sebelumnya yang berada di peringkat 65.
Dalam pengembangan dan penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terutama untuk
kepentingan produksi juga masih sangat terbatas. Berdasarkan data UNDP pada Desember 2010,
bangsa Indonesia menempati peringkat 43 dari 46 negara, atau berdasarkan versi lain yang juga
dari UNDP, Indonesia berada diposisi ke-60 dari 72 negara.
Menurut data Kementrian Pendidikan Nasional (Renstra Kemendiknas 2010-2014), angka
partisipasi kasar pendidikan tinggi untuk penduduk usia 19-23 tahun pada tahun 2009 baru
mencapai 21,60 persen; prosentase dosen dengan publikasi nasional pada tahun 2009 baru 6
persen; prosentasi dosen pasca dengan publikasi internasional pada tahun 2009 baru 0,2 persen;
jumlah Perguruan Tinggi 300 terbaik versi THES pada tahun 2009 berjumlah 0; begitu juga
jumlah Perguruan Tinggi berbintang 1-3 dan 4-5 versi QS Star yang pada tahun 2009 juga belum
ada satu pun.
IV. Catatan Penutup
Indonesia memiliki sumber daya manusia yang potensial. Jika bisa diberikan pendidikan
dengan baik dan benar, maka tidak mustahil bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju
lebih cepat. Akan tetapi jika potensi SDM ini tidak dikelola dengan taktis, yang akan dituai di
masa depan justru sebuah bencana. Salah satu bencana akibat salah asuh terhadap kelompok usia
produktif adalah demographic disaster. Demographic disaster, terjadi saat kelompok usia muda
yang produktif (15-34 tahun) jumlahnya melesat cepat di dekade ini, melebihi kelompok usia
lainnya. Apabila tidak diiringi dengan pertambahan jumlah lapangan kerja dan peningkatan
kompetensi SDM, bisa dibayangkan betapa rawannya kondisi sosial ekonomi bangsa kelak.
Jangan sampai usia produktif bangsa ini yang melimpah bukan berdampak positif malah
menjadi beban bagi bangsa.
Selain itu Indonesia diperkirakan akan mendapat bonus demografi pada 2020-2030 yang
menguntungkan dari sisi pembangunan. Bonus demografi adalah fenomena di mana jumlah
penduduk usia produktif sangat besar, sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum
banyak. Dari data yang ada jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada 2020-2030 akan
mencapai 70 persen, sedangkan sisanya, 30 persen, adalah penduduk yang tidak produktif yaitu
usia dibawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif
mencapai sekitar 180 juta, sementara nonproduktif hanya 60 juta. Dengan proporsi tersebut,
tingkat penduduk produktif yang menanggung penduduk nonproduktif akan sangat rendah,
yakni 44 per 100 penduduk produktif pada 2020-2030. Bonus demografi tidak akan tercapai jika
tidak disertai dengan peningkatan pendidikan, akses pelayanan kesehatan, dan peningkatan gizi.
Jika tidak disiapkan, bonus demografi justru akan menimbulkan banyak masalah, terutama
meningkatkan angka pengangguran dan pasti akan membebani negara. Kondisi saat ini baik
data, fakta, ancaman dan peluang yang dimiliki bangsa Indonesia ini harus dirumuskan dengan
benar dan teratur menggunakan metodologi yang teruji dan tepat serta dirumuskan oleh para
pemikir yang kompeten dan berjiwa semangat sehingga akan menghasilkan sebuah output yang
tepat sasaran.
Di sisi lain, untuk menghadapi gelombang pasar kerja bebas, Indonesia juga perlu
mengambil langkah-langkah strategis, terutama menyangkut penataan infrastruktur untuk
pengembangan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Termasuk harmonisasi regulasi antar
instansi.
Indonesia juga selayaknya segera menyusun strategi induk untuk menghadapi globalisasi
pasar kerja. Setiap forum negosiasi adalah medan pertempuran untuk memenangkan
kepentingan. Oleh karena itu, harus ada kejelasan sasaran yang hendak dicapai pada setiap
negosiasi di forum.
Keseriusan Singapura, Malaysia, dan Filipina dalam negosiasi Mutual Recognition
Arrangement di bidang tenaga profesional di forum AFAS, adalah sinyal bahwa mereka siap
menyerbu pasar kerja di negara anggota ASEAN lainnya, termasuk Indonesia. Gejalanya sudah
semakin tampak, yaitu banyaknya tenaga kerja asing yang bekerja di rumah sakit, pasar
swalayan, lembaga pendidikan, jasa keuangan, perhubungan dan telekominikasi, pariwisata,
konstruksi dan sebagainya.
Ini menjadi tantangan bersama, termasuk dunia Pendidikan Tinggi. Kita menghadapi era di
mana globalisasi tenaga kerja sudah di ambang pintu. Mobilitas tenaga kerja yang semakin
deras, mau tidak mau harus bisa dikendalikan. Dan kita tidak bisa menunggu lebih lama.
Sekian dan terimakasih.
Jakarta, 09 Februari 2012