AKAL, NAFSU DAN QOLBU DALAM TASAWUF

11
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakikat manusia diciptakan dibumi ini adalah untuk beribadah kepada sang pencipta, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman-NYA dalam Qs. Adz-Dzariyaat ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (beribadah) kepada-Ku.” Di sisi lain, manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna sebab dilengkapi dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada makhluk selain manusia, yaitu akal. Oleh karena manusia merupakan makhluk yang diciptakan dengan sempurna, maka dalam diri manusia terdapat semua hal yang terdapat pada makhluk selain manusia (nafsu) dan bahkan memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia (akal) dan juga manusia dibekali dengan hati sebagai penyeimbang antara akal dan nafsu. Di dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits penunjukkan manusia banyak menggunakan kata “Nafs”. Kata ini memiliki pengertian yang bermacam-macam sesuai dengan tempat penyebutannya. Kata nafs terkadang diartikan sebagai diri (nafs), terkadang juga diartikan sebagai nafsu (nafsu), terkadang juga diartikan sebagai akal (aql) dan terkadang juga diartikan sebagai hati (qolb). 1 Allah berfirman dalam Qs. Adz-Dzariyat ayat 20, “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” Oleh karenanya, dalam makalah ini kita akan membicarakan akal (aql), Nafsu (nafsu) dan hati (qolb). 1 Husein Husein Syahatah, Membersihkan Jiwa dengan Muhasabah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hlm. 3

description

Manusia diciptakan dengan membawa potensi bawaan, diantaranya nafsu, akal dan hati yang masing-masing memiliki fungsi dan peran bagi manusia itu sendiri. Mengenai konsep nafsu, akal dan hati, kita akan membahas melalui definisi dan suatu hal yang berkaitan dengannya,

Transcript of AKAL, NAFSU DAN QOLBU DALAM TASAWUF

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Hakikat manusia diciptakan dibumi ini adalah untuk beribadah kepada sang

    pencipta, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman-NYA dalam Qs. Adz-Dzariyaat

    ayat 56,

    Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (beribadah) kepada-Ku.

    Di sisi lain, manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna sebab dilengkapi

    dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada makhluk selain manusia, yaitu akal. Oleh

    karena manusia merupakan makhluk yang diciptakan dengan sempurna, maka dalam

    diri manusia terdapat semua hal yang terdapat pada makhluk selain manusia (nafsu) dan

    bahkan memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia (akal) dan

    juga manusia dibekali dengan hati sebagai penyeimbang antara akal dan nafsu.

    Di dalam Al-Quran dan Al-Hadits penunjukkan manusia banyak menggunakan

    kata Nafs. Kata ini memiliki pengertian yang bermacam-macam sesuai dengan tempat

    penyebutannya. Kata nafs terkadang diartikan sebagai diri (nafs), terkadang juga

    diartikan sebagai nafsu (nafsu), terkadang juga diartikan sebagai akal (aql) dan

    terkadang juga diartikan sebagai hati (qolb).1

    Allah berfirman dalam Qs. Adz-Dzariyat ayat 20,

    Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

    Oleh karenanya, dalam makalah ini kita akan membicarakan akal (aql), Nafsu (nafsu)

    dan hati (qolb).

    1Husein Husein Syahatah, Membersihkan Jiwa dengan Muhasabah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003),

    hlm. 3

  • 2

    BAB II

    PEMBAHASAN

    Seperti yang telah kita singgung pada latar belakang, bahwa manusia diciptakan

    dengan membawa potensi bawaan, diantaranya nafsu, akal dan hati yang masing-masing

    memiliki fungsi dan peran bagi manusia itu sendiri. Mengenai konsep nafsu, akal dan

    hati, kita akan membahas melalui definisi dan suatu hal yang berkaitan dengannya,

    A. Nafsu (nafs)

    1. Pengertian Nafsu

    Quraish Shihab berpendapat, bahwa kata nafs dalam al-Quran mempunyai aneka

    makna, seperti sebagai sesuatu yang menggambarkan totalitas manusia sebagai suatu

    yang merupakan hasil perpaduan jasmani dan ruhani manusia. Perpaduan yang

    kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan pengetahuan

    serta dikenal dan dibedakan dengan manusia-manusia lainnya

    Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh)

    orang lain atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan

    dia Telah membunuh manusia seluruhnya, dan barangsiapa yang memelihara

    kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan

    manusia semuanya. (Qs. Al-Maidah 32)

    sesuatu yang menghasilkan tingkah laku,

    Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah

    keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Qs. Ar-Radu 11)

  • 3

    Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan

    manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.2

    Secara leksikal (bahasa) antara lain diartikan dengan jiwa, ruh, semangat, hasrat,

    kehendak. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, jiwa diartikan dengan: (1) ruh manusia

    (yang ada di dalam tubuh dan menghidupkan) atau nyawa; (2) seluruh kehidupan batin

    manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya) atau

    keinginan.

    Nafs dalam pengertian ini diasumsikan sebagai gerak imanen (gerak dalam) yang

    bersifat qalbiyah (ke-hati-an), dan sebagai pusat grativasi manusia, pusat komando yang

    mengatur seluruh potensi kemanusiaan. Nafs ini berisi impuls-impuls yang berupa rasa

    sedih, rasa benci, rasa iri hati, yang terkumpul dalam hati. Nafs diciptakan oleh Allah

    dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat

    kebaikan dan keburukan.

    2. Tingkatan Nafsu

    Menurut al-Ghazali seperti yang dikutip oleh Amin Syukur, nafs mengandung dua

    makna ganda, yaitu:3

    a. Pertama, dimaksudkan berkolaborasinya kekuatan marah dan keinginan

    biologis (syahwat) pada diri manusia.

    b. Kedua, suatu perasaan halus (lathifah), yaitu jiwa manusia dan substansinya,

    tetapi berbeda-beda sesuai dengan ahwal (kondisi-kondisi ruhani) masing-

    masing. Inilah hakekat manusia yang membedakannya dari nafs. Jika ia

    tunduk di bawah perintah dan jauh dari kegoncangan yang disebabkan nafsu

    syahwat disebut dengan nafs muthmainah (jiwa yang tentram). Nafs inilah

    yang merupakan hakikat manusia yang dapat mengetahui Allah dan seluruh

    yang diketahuinya. Jika ketundukannya tidak sempurna, hemat al-Ghazali,

    2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 285-286.

    3 Amin Syukur, Menggugat Tasawwuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 67

  • 4

    bahkan menjadi pendorong bagi nafsu syahwat dan memperlihatkan

    keinginan kepadanya, maka nafs itu dinamai dengan nafs al-lawwama.4

    Perumusan Al-Ghazali mengenai macam-macam nafs diatas, ini bersumberkan

    pada ayat-ayat al-Quran, yaitu Sbb:

    a. Nafs al-ammarah

    QS. Yusuf: 53

    Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.

    Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.

    b. Nafs al-lawwamah

    QS. Al-Qiyamah: 2

    Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)

    Jika nafs tidak bisa tenang secara sempurna tetapi terus berusaha untuk

    memerangi syahwatnya, maka itu dinamakan dengan nafs al-lawwamah, karena selalu

    mencela pemiliknya ketika kendor semangat ibadahnya kepada Allah SWT. Atau bisa

    dipahami bahwa nafs al-lawwamah ini adalah nafs yang masih labil, gelisah, terkadang

    melakukan kebaikan dan terkadang masih melakukan kejahatan, akan tetapi ia selalu

    sesal diri.

    c. Nafs Muthmainnah

    QS. Al-Fajr: 27-28

    Hai jiwa yang tenang (27) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.(28)

    4 M. Yaniyullah Delta Auliya, Melejitkan Kecerdasan Hati dan Otak, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

    : 2005), hlm. 136-137, lihat juga Husein Husein Syahatah (2003), hlm. 12-13

  • 5

    Nafs merasa tenang karena menjalankan perintah Allah SWT dan mampu

    mengalahkan syahwatnya, maka ini dinamakan nafs muthmainnah (jiwa yang

    tentram/tenang).

    Para ahli tasawuf membagi perkembangan nafsu manusia menjadi tiga tingkatan:

    a. Tingkat pertama manusia cenderung untuk hanya memenuhi naluri

    rendahnya yang disebut dengan jiwa hayawaniyah/ kebinatangan (nafs

    ammarah).

    b. Tingkat kedua, manusia sudah mulai untuk menyadari kesalahan dan

    dosanya, ketika telah berkenalan dengan petunjuk Ilahi, di sini telah terjadi

    apa yang disebutnya kebangkitan rohani dalam diri manusia. Pada waktu

    itu manusia telah memasuki jiwa kemanusiaan, disebut dengan jiwa

    kemanusiaan (nafs lawwamah). Nafsu ini juga mencaci pemiliknya ketika

    ia teledor dalam beribadah kepada Allah. Nafsu ini pula sumber

    penyesatan karena ia patuh terhadap akal, kadang tidak.5 Berbeda dengan

    nafs ammarah yang cenderung agresif mendorong untuk memuaskan

    keinginan-keinginan rendah, dan menggerakan pemiliknya untuk

    melakukan hal-hal yang negatif, maka nafs lawwamah telah memiliki

    sikap rasional dan mendorong untuk berbuat baik. Namun daya tarik

    kejahatan lebih kuat kepadanya dibandingkan dengan daya tarik kebaikan.

    c. Tingkat ketiga adalah jiwa ketuhanan yang telah masuk dalam kepribadian

    manusia, disebut jiwa ketuhanan (nafs muthmainnah). Al-nafs al-

    muthmainah merupakan tingkatan tertinggi dari rentetan strata jiwa (an-

    nafs) manusia, karena pada tingkatan ini manusia sudah terbebas dari sifat-

    sifat kebinatangan dan penuh dengan cahaya ilahiyyah Tingkatan jiwa ini

    hampir sama dengan konsep psikoanalisanya Freud yaitu Id, Ego, dan

    Superego

    5 Syekh M. Amin Al-kurdi, Menyucikan Hati Dengan Cahaya Ilahi, (terj. Muzammal Noer, judul asli :

    Tanwir Al-Qulub Li Muamalati allam Al-Ghuyub), Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003, hlm.145

  • 6

    Jika nafs tidak lagi melakukan perlawanan bahkan selalu mengikuti syahwatnya

    dan bujukan setan, maka itu dinamakan dengan nafs al-amarah bi al-su.6 Dengan kata

    lain bahwa nafsu ini cenderung kepada karakter-karakter biologis, cenderung pada

    kenikmatan-kenikmatan hawa nafsu yang sebenarnya dilarang agama karena menarik

    hati kepada derajat yang hina.7

    Kecenderungan nafs adalah memaksakan hasrat-hasratnya dalam upaya untuk

    memuaskan diri. Sedangkan akal berperan sebagai kekuatan pembatas sekaligus

    penasihat bagi nafs, memberikan pertimbangan kepada nafs tentang tindakan-tindakan

    positif yang seharusnya dilakukan dan tindakan-tindakan negatif yang harus dihindari.

    B. Akal (Al-Aql)

    Dalam kamus bahasa arab aql, berasal dari kata kerja aqala-yaqilu-aqlan.

    (secara harfiah/etimologi)aql diartikan sebagai al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan),

    al-hijr (menahan), al-nahy (melarang) dan manu (mencegah).8 Maka yang disebut

    Orang berakal adalah orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya.

    Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal mempunyai beberapa

    pengertian yang berbeda, yaitu: (1) daya pikir (untuk mengerti, dsb); (2) daya, upaya,

    cara melakukan sesuatu; (3) tipu daya, muslihat, dan (4) kemampuan melihat cara-cara

    memahami lingkungan.9

    Secara leksikal (bahasa), kata al-aql didalam Kamus Kontemporer Arab-

    Indonesia merupakan sinonim bagi kata hija yang berarti pikiran, otak, dan alasan.

    Sedangkan di dalam Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia kata al-aql juga berarti

    Quwwah Al-Idrak (daya yang dapat menangkap, mempersepsi, memahami), qalb (hati),

    al-dzakirah (ingatan), al-quwwah al-aqilah (daya atau kekuatan yang dapat berfikir)

    al-fahm (pengertian).

    6 Saad Hawwa, Pendidikan Spiritual, (Yogyakarta : Mitra Pustaka : 2006), cet. 1, hlm. 30-31 7 Syekh M.Amin al-Kurdi, menyucikan hati dengan Cahaya Ilahi, (terj. Muzammal Noer, judul asli :

    Tanwir Al-Qulub Li Muamalati allam Al-Ghuyub), Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003, Cet.I., hlm.144 8 Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Neurosains dan Al-Quran, cetakan ke-5, Jakarta : Mizan,

    2005,, hlm. 193

    9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke-3, Jakarta : Balai

    Pustaka, 1990, hlm. 14.

  • 7

    Menurut Imam al-Ghazali, kata al-aql memiliki empat hakikat, yaitu :

    1. Pertama, sesuatu yang siap menerima pengetahuan teoretis dan mengatur

    kepandaian berpikir yang tersembunyi.

    2. Kedua, pengetahuan yang ada pada diri manusia sejak usia anak dapat

    menentukan yang mungkin bagi yang perkara yang mungkin dan mustahil

    bagi yang perkara yang mustahil. Pengertian ini, hematnya, sama dengan

    hati, yaitu perasaan halus (lathifah).

    3. Ketiga, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman /empirik.

    4. Keempat, kekuatan gharizah (insting) untuk mengetahui konsekuensi

    berbagai masalah dan menahan keinginan untuk mendapatkan kelezatan

    sesaat.10

    Al-aql juga bisa dipahami dalam dua makna yaitu:

    1. Otak yang berada di dalam kepala bagian belakang

    2. Potensi lathifah robbaniyyah yang mempunyai potensi akademik,

    mengetahui hakekat segala sesuatu.

    Sedangkan manfaat/fungsi al-aql adalah potensi penyerapan pengetahuan,

    membedakan baik dan buruk, dan jalan memperoleh iman sejati.

    Akal yang diartikan sebagai energi yang mampu memperoleh, menyimpan dan

    mengeluarkan pengetahuan. Sedang secara psikologis akal memiliki fungsi kognisi

    (daya cipta). Kognisi adalah suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk

    pengalaman kognisi, seperti: mengamati, melihat, memperhatikan, berpendapat,

    berimajinasi, berpikir, memprediksi, mempertimbangkan, menduga dan menilai.

    Menurut Ibn Khaldun, keinginan untuk mengetahui segala sesuatu di luar diri

    manusia merupakan naluri atau fitrah yang diberikan Allah SWT sehingga dengannya

    muncullah ilmu pengetahuan. Socrates, seorang Filosof terkenal dari Yunani, meyakini

    bahwa manusia akan mampu membuat strandarisasi sahih dan permanen

    10

    M. Yaniyullah Delta Auliya, Melejitkan Kecerdasan Hati dan Otak, (Jakarta : PT RajaGrafindo

    Persada : 2005), hlm. 143

  • 8

    tentang kebenaran melalui akal yang sehat. Jika akal berfungsi baik, maka manusia

    akan menjadi makhluk berkesadaran tinggi.11

    Para filosof Barat telah melahirkan berbagai konsepsi mengenai akal, contohnya

    Aristoteles, berusaha menciptakan hukum akal dengan mencipta suatu ilmu yang

    disebut logika (mantiq).12

    Usaha untuk mengetahui hakikat jiwa manusia sebagai saluran dalam mencapai

    pengetahuan sebenarnya dilakukan para ulama Muslim di masa lampau. Ibn Sina dan

    Ibn Khaldun, membuat tingkatan-tingkatan berpikir dari akal seorang manusia.

    C. Qolbu (Al-Qalb)

    Qalbu dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi hati. Namun demikian, Hati

    selain memiliki arti biologis (liver), juga memiliki pengertian sebagai sesuatu yang ada

    di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat

    menyimpan pengertian-pengertian (perasaan-perasaan).13

    Al-Qalb berasal dari kata qalabu yang bermakna berubah, berpindah, atau

    berbalik. Qalabu mengalami beberapa perubahan bentuk seperti inqalaba dan qallaba,

    namun artinya masih sama. Menurut Ibn Sayyidah, al-qalb jamaknya qulb yang berarti

    hati.14

    Al-Qalb/Hati mempunyai dua makna yaitu:

    1. Hati adalah salah satu anggota tubuh manusia yang terletak di bagian kiri

    atas rongga perut, yang merupakan suatu anugerah Allah SWT. yang

    diberikan kepada manusia. Yang mana mempunyai kedudukan dan fungsi

    yang sangat penting dan utama, sebab hati berfungsi sebagai penggerak

    dan pengontrol anggota tubuh lainnya. Apabila hatinya baik, maka

    11

    Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Neurosains dan Al-Quran, cetakan ke-5, Jakarta : Mizan,

    2005, hlm.28

    12 Hasan Langgunung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologis, Fisafat dan

    Pendidikan, Jakarta : Pustaka Al Husna Baru, 2004, hlm. 221.

    13 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke-3, Jakarta :

    Balai Pustaka, 1990, hlm. 301

    14 Musa Asyarie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Islam, (Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam : 1992) hlm. 108-109

  • 9

    anggota badan yang lainnya pun akan ikut baik, sedangkan apabila

    hatinya jelek, maka anggota tubuh yang lainnya pun akan ikut jelek. Dan

    hati ini adalah hati yang berbentuk jasmani.

    Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari

    dan Muslim,

    .

    Ingatlah bahwa di dalam tubuh terdapat sepotong daging.

    Apabila ia baik, maka baiklah badan itu seluruhnya dan apabila ia

    rusak, maka rusaklah badan itu seluruhnya. Ingatlah sepotong daging itu

    adalah hati.

    2. Makna al-Qalb yang kedua adalah lathifah Rabbaniyah Ruhaniyyah yang

    memancarkan hangat dan mempunyai hubungan dengan daging ini. Dan

    mampu melakukan peng-idrak-an. Idrak adalah memahami,

    mempersepsikan. Misalnya perasaan sedih dan gembira. Yang berfikir

    dan merenungkan itu adalah kekuatan batin yang disebut al-qalb. Dan hal

    ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut dengan hati. Sehingga

    kalau ada sebutan Hatinya hancur maka yang disebut bukan jantungnya.

    Tetapi, ada bagian jiwa seseorang yang hancur.

    Pada kenyataannya, nafs yang tenang adalah hati yang paling dalam, yang oleh

    para filosof disebut sebagai nafs rasional (nafs al-natiqa). Namun demikian, sebagian

    besar manusia masih berada pada maqam sifat-sifat kebendaan (tab), tingkat nafs, dan

    belum memiliki hati.

    Hati adalah sebuah tempat antara wilayah kesatuan (ruh) dan daerah

    keanekaragaman (nafs). Jika hati mampu melepaskan selubung nafs yang melekat

    padanya dia akan berada di bawah pengaruh ruh; itulah yang dikatakan telah menjadi

    hati dalam makna yang sebenarnya, telah bersih dari segala kotoran keanekaragaman.

    Sebaliknya, jika hati dikuasai oleh nafs, dia menjadi keruh oleh kotoran

    keanekaragaman nafs.

  • 10

    Qalbu memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahiy (cahaya ketuhanan)

    dan al-bashirah al-bathiniah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan.

    Qolbu ruhani ini merupakan bagian esensi dari nafs (jiwa) manusia, yang berfungsi

    sebagai pemandu, pengontrol dan pengendali struktur nafs yang lain.

    Apabila qolbu ini berfungsi secara normal maka kehidupan manusia menjadi baik

    dan sesuai dengan fitrahnya, begitu pula sebaliknya. Baik buruknya tingkah laku

    seseorang sangat tergantung pada pilihan manusia itu sendiri.

    Dari sudut kondisinya, qolbu memiliki kondisi-kondisi tertentu :

    1. Baik, yaitu qolbu yang hidup (hayy), selamat (salim) dan mendapat

    kebahagiaan (al-saadah),

    2. Buruk, qolbu yang mati (al-mayt) dan mendapat kesengsaraan (al-

    saqawah), antara baik dan buruk yaitu qolbu yang hidup tetapi

    berpenyakit (mardh).

  • 11

    BAB III

    PENUTUP

    Kesimpulan

    Konsep manusia dalam tasawuf terdiri dari nafsu, akal dan hati. Nafsu yang

    menggerakkan manusia lebih kepada kejelekan, namun apabila manusia bisa menekan

    dan bisa berada pada tidak dibawah pengaruh nafsu, maka ia akan terhindar dari

    kejelekan, sebab nafsu dalam diri manusia menurut Al-Ghozali dibagi menjadi tiga,

    yaitu nafsu amarah, nafsu lawwamah dan nafsu mutmainnah.

    Sedangkan akal adalah kognisi atau kemampuan berfikir manusia yag

    dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia untuk bisa menilai dan menimbang

    baik buruknya prilaku yang dimunculkan oleh nafsu. Sehingga akal-lah yang kemudian

    menjadi filter dari nafsu manusia.

    Hati merupakan raja dalam diri manusia, dalam hadits shohih riwayat Bukhari dan

    Muslim menjelaskan bahwa apabila hati dalam diri manusia itu baik, maka akan baik

    semua yang ada pada diri tersebut. Namun sebaliknya, apabilahati itu kotor, jelek dan

    rusak, maka kotor, jelek dan rusak-lah semua yang ada pada diri tersebut.