ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH …/Analisis... · analisis yuridis alasan pengajuan...

79
ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1315 K/PID/2007) Penulisan Hukum (SKRIPSI) Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat- Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: IKHA NURHAYATI E1106135 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH …/Analisis... · analisis yuridis alasan pengajuan...

ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH

TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM MAHKAMAH

AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS

PERKARA KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU

(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1315 K/PID/2007)

Penulisan Hukum

(SKRIPSI)

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat- Syarat Guna Memperoleh

Derajat Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh:

IKHA NURHAYATI

E1106135

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

PERSETUJUAN PEMBIMBING

ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH

TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM MAHKAMAH

AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS

PERKARA KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU

(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 1315 K/PID/2007)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun oleh :

IKHA NURHAYATI

NIM : E. 1106135

Disetujui untuk Dipertahankan

Dosen Pembimbing

BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum.

NIP. 19620209198903100

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH

TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM MAHKAMAH

AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA

KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU

(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 1315 K/PID/2007)

Disusun oleh :

IKHA NURHAYATI

NIM : E. 1106135

Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Kamis

Tanggal : 29 Juli 2010

TIM PENGUJI

1. Edy Herdyanto, S.H., M.H. ( ................................. )

NIP. 195706291985031002

Ketua

2. Kristiyadi, S.H., M.Hum. (………………………)

NIP:195812251986011001

Sekretaris

3. Bambang Santoso, S.H.,M.Hum (………………………)

NIP: 196202091989031001

Anggota

MENGETAHUI

Dekan,

Mohammad Jamin, S.H, M.Hum.

NIP.196109301986011001

PERNYATAAN

Nama : Ikha Nurhayati

Nim : E. 1106135

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH

TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM MAHKAMAH

AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA

KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU (STUDI PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 1315 K/PID/2007) adalah betul-betul karya

sendiri. Hal- hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini

diberi tanda citasi dan ditunjukkn dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari

terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi

akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya

peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Juli 2010

Yang membuat pernyataan

Ikha Nurhayati

E. 1106135

MOTTO

Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara

dunia kenyataan dan dunia impian. (Pangemanann, 138)

Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar

penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu

lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-

tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa

kemput. (Mama, 119)

Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi.

Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak

berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili

pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. (Von Kollewijn, 32)

PERSEMBAHAN

Karya kecil ini penulis persembahkan

kepada :

Allah SWT, Pencipta Langit dan

Bumi, yang senantiasa memberikan

kenikmatan pada umat-Nya;

Ibu dan Bapak yang telah memberi

kasih sayang, serta kehangatan

dalam perjalanan penulis;

Keluarga besarku yang telah banyak

membantu dan yang telah memberi

kasih sayang dan dukungannya.

Sahabat serta teman-teman

seperjuangan, sealmamater, dan

seangkatan 2006 terima kasih atas

persaudaraan dan persahabatannya.

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta

diiringi rasa syukur Alhamdulillah penulis panjatkan, penulisan hukum (Skripsi)

yang berjudul “ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI

OLEH TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM

MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS

PERKARA KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU (STUDI PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 1315 K/PID/2007)” dapat penulis

selesaikan.

Penulisan hukum ini membahas mengenai alasan Terdakwa dalam

pengajuan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri Makassar dalam perkara

kesaksian palsu serta konstruksi hukum hakim Mahkamah Agung dalam

memeriksa dan memutus kesaksian yang dianggap palsu. Penulis menyadari

masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, maka saran serta kritik dari

semua pihak sangat penulis harapkan untuk memperkaya karya tulis ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis

dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis

sampaikan terutama kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang

telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan

penulisan hukum ini.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Hernawan Hadi, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik

penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas

Negeri Surakarta yang telah memberikan nasehat, bimbingan dan

dorongan kepada penulis.

4. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Skripsi yang

telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, motivasi demi

kemajuan Penulis, dan juga cerita-cerita serta pengalaman yang dapat

memberikan semangat bagi Penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu

pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada penulis

sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga

dapat penulis amalkan.

6. Seluruh staf tata usaha dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang ada di bagian transit, perpustakaan,

pendidikan, pengajaran dan bagian-bagian yang lain, terima kasih atas

bantuannya.

7. Ibu dan Bapak terima kasih atas doa dan semangat yang kalian berikan

kepadaku. Semoga Ibu dan Bapak selalu diberikan nikmat kesehatan,

rezeki dan umur panjang.

8. Seluruh keluarga besarku yang senantiasa memberiku suport, nasehat-

nasehat yang baik dan kasih sayang yang lebih kepadaku.

9. Sahabat-sahabatku Putri, Eka, Mbak Indri, Mas Itut, Kori, Mbk Eka, Pak

Api, Elok, Vita, Ucup, Liana, Een, Adi, Puput, Dewi, Nindya, Susi, Mbak

Erna, Mas Nugroho yang selalu menemaniku dan selalu menjadi sahabat

baikku.

10. Mas Kuncoro yang selalu membantu penulis jika penulis dalam kesulitan

dan yang selalu memberi semangat dan dukungan untuk dapat

menyelesaikan skripsi ini.

11. Keluarga Besar angkatan 2006 Fakultas Hukum UNS yang tidak bisa

disebutkan satu persatu yang telah memberi warna baru dalam hidup

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

memberikan bantuannya bagi penulis, baik selama kuliah maupun dalam

penyelesaian penulisan hukum ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari

sempurna. Maka dari itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis

harapkan dan semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

Surakarta, Juli 2010

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI......................................................

HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................

HALAMAN MOTTO....................................................................................

HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................

KATA PENGANTAR...................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................

DAFTAR GAMBAR.....................................................................................

ABSTRAK.....................................................................................................

ABSTRAK.....................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.........................................................

B. Perumusan Masalah...............................................................

C. Tujuan Penelitian. .................................................................

D. Manfaat Penelitian.................................................................

E. Metode Penelitian..................................................................

F. Sistematika Penulisan Hukum...............................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori......................................................................

1. Tinjauan Tentang Kasasi...................................................

a. Pengertian Kasasi........................................................

b. Putusan Yang Dapat Diajukan Kasasi..........................

c. Alasan Kasasi..............................................................

d. Tata Cara Pemeriksaan Kasasi....................................

e. Putusan Mahkamah Agung. .......................................

2. Tinjauan Tentang Konstruksi Hukum Hakim Mahkamah

I

ii

iii

iv

v

vi

vii

x

xii

xiii

xiv

1

7

7

8

9

13

15

15

15

15

17

22

28

Agung Dalam Memeriksa Dan Memutus Perkara

a. Konstruksi Analogi......................................................

b. Konstruksi Penghalusan Hukum..................................

c. Argumentum A Contrario............................................

d. Fiksi Hukum.................................................................

3. Tinjauan Tentang Kesaksian Palsu....................................

B. Kerangka Pemikiran...............................................................

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Alasan Pengajuan Kasasi oleh Terdakwa terhadap

Putusan Pengadilan Negeri Makasar dalam Perkara

Kesaksian yang Dianggap Palsu

1. Kasus Posisi........................................................................

2. Identitas Terdakwa.............................................................

3. Dakwaan penuntut Umum Kejaksaan Negeri Makasar......

4. Tuntutan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Makasar......

5. Amar Putusan Pengadilan Negeri Makasar........................

6. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Makasar........................

7. Alasan Pengajuan Kasasi...................................................

8. Pembahasan .......................................................................

B. Perimbangan Hakim mahkamah Agumg Dalam

Memeriksa dan Memutus Perkara kesaksian Palsu

1. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung...........................

2. Amar Putusan Mahkamah Agung......................................

3. Pembahasan .......................................................................

BAB IV PENUTUP

A. SIMPULAN.......................................................................

B. SARAN...................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

31

32

32

33

34

35

39

40

40

44

45

46

46

51

59

60

60

64

65

DAFTAR GAMBAR

Gambar I Kerangka Pemikiran

ABSTRAK

IKHA NURHAYATI, E.1106140, ANALISIS YURIDIS ALASAN

PENGAJUAN KASASI OLEH TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM

HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS

PERKARA KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU (STUDI PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 1315 K/PID/2007). Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2010.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai

bagaimanakah alasan Terdakwa dalam pengajuan kasasi terhadap putusan

Pengadilan Negeri Makassar dalam perkara kesaksian palsu serta bagaimanakah

konstruksi hukum hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus

kesaksian yang dianggap palsu.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat

preskriptif dengan menggunakan jenis data sekunder. Dalam penelitian ini,

tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu

pengumpulan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan

diteliti. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan

dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa alasan terdakwa dalam

pengajuan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri Makassar dalam perkara

kesaksian palsu tersebut merupakan alasan kasasi yang tidak dibenarkan undang-

undang karena tidak sesuai dengan yang diatur dalam pasal 253 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana sedangkan konstruksi hukum Hakim

Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus kesaksian yang dianggap palsu

adalah bahwa Hakim Mahkamah Agung menggunakan konstruksi hukum yang

bersifat fiksi hukum yaitu dengan dasar bahwa seseorang yang tidak mengerti

hukum dapat dijatuhi pidana atas tindak pidana yang dilakukannya selama ada

peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

ABSTRACT

IKHA NURHAYATI, E 1106140, A JURIDICAL ANALYSIS ON THE

REASON OF APPEAL TO SUPREME COURT APPLICATION BY THE

ACCUSED AND THE LAW CONSTRUCTION OF SUPREME COURT’S

JUDGE IN EXAMINING AND DECIDING THE COUNTERFEIT

TESTIMONY CASE (A STUDY ON SUPREME COURT’S DECISION

NUMBER. 1315 K/PID/2007). Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret

University. Thesis. 2010.

This research aims to find out clearly what the reason of the accused is in

applying the appeal to Supreme Court against the Makassar First Instance Court’s

decision in the Counterfeit Testimony Case as well as how the law construction of

the Supreme Court’s Judge in examining and deciding the testimony considered

as counterfeit.

This study belongs to an empirical research that is prescriptive in nature

using secondary data type. Techniques of collecting data employed were library

research, that is, to collecting secondary data relevant to the problem studied.

Then, the data obtained was studied, classified and analyzed further consistent

with the objective and problem of research.

Considering the research, it can be found that the reason of the accused in

applying the appeal to Supreme Court against the Makassar First Instance Court’s

decision in the Counterfeit Testimony Case is the one not justified by the statue

because it is not consistent with the article 253 clause (1) of Penal Code while the

law construction of the Supreme Court’s Judge in Examining and deciding the

testimony considered as counterfeit is that the Judge uses law fiction construction

considering that someone who does not understand the law can be imposed with

punishment over the criminal action committed as long as there is the legislation

regulating it.

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Negara Indonesia adalah negara hukum, hal itu sesuai dengan yang

tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima

hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan,

keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya.

Hukum bisa juga dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk

menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang

tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma ( Satjipto Rahardjo,

1982:14). Hukum juga berupa norma dikenal dengan sebutan norma

hukum yang mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya

hukum tersebut.

Konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideologi oleh suatu

negara adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh

warga negara indonesia, maka hukum juga wajib memberikan timbal balik

terhadap negara yang menerimanya sebagai ideologi, dengan cara

memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan anggota-anggota

masyarakat serta memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam rangka menciptakan keselarasan hidup bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara dan memberikan perhatian terhadap penciptaan

keadilan dalam masyarakat, hukum tidak selalu bisa memberikan

keputusan dengan segera, hukum membutuhkan waktu untuk menimbang-

nimbang yang bisa memakan waktu lama sekali guna mencapai keputusan

yang seadil-adilnya dan tidak merugikan masyarakat. Tujuan dari adanya

hukum adalah memberikan pelayanan bagi masyarakat agar tercipta suatu

ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraan. Oleh karena itu para

penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya harus mempertimbangkan

kepentingan masyarakat dan selalu berpedoman pada peraturan

perundang-undangan yang ada.

Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum

untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum

pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki hubungan

yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk

dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana atau

yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana formal lebih tertuju pada

ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya

melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.

Sedangkan hukum pidana (materiil) lebih tertuju pada peraturan hukum

yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan

pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.

Bukti konkrit dari hukum mengikat dan mengatur tindakan yang

dilakukan setiap warga negara Indonesia adalah setiap warga negara yang

melakukan tindak pidana harus mendapatkan proses peradilan untuk

mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya tersebut.

Tujuan umum dari proses peradilan pidana tidaklah semata-mata

menjatuhkan hukuman. Keseluruhan proses pemeriksaan ditujukan pada

pengungkapan kebenaran materiil. Penting dalam keseluruhan proses

persidangan adalah mengungkap apa yang sesungguhnya telah terjadi dan

mengapa itu terjadi.

Melalui proses pemeriksaan berhasil diungkap apa yang

sebenarnya terjadi, maka para pihak (hakim, jaksa atau penuntut umum,

terdakwa atau pembela) dapat beranjak dari itu untuk menilai derajat

kesalahan atau ketidaksalahan yang dilakukan seseorang. Dalam proses

pemeriksaan diungkap perbuatan nyata yang dilakukan dan derajat

kesalahan yang telah dilakukan. Tercakup ke dalamnya ialah pertimbangan

akhir berkenaan dengan ada atau tidaknya alasan yang meniadakan pidana,

alasan pemaaf ataupun pembenar. Kesemuanya berkenaan dengan

penilaian atas kemampuan seseorang tersebut untuk mempertanggung

jawabkan perbuatannya.

Berkenaan dengan pengungkapan perbuatan nyata bahwa hal ini

berkenaan dengan rumusan pidana (delik). Pengungkapan apa yang

sebenarnya terjadi di dalam proses persidangan juga penting dalam

pembentukan keyakinan majelis hakim. Ini satu elemen penting dalam

proses peradilan pidana yang harus membantu majelis mengungkap

kebenaran materiil. Dengan kata lain hakim harus memutus berdasarkan

alat bukti dan keyakinannya (beyond reasonable doubt), yakni apakah

orang tersebut bersalah atau tidak dan apakah orang tersebut dapat diminta

pertanggungjawaban pidana.

Proses peradilan pidana yang dilakukan untuk mengungkapan

kebenaran dilakukan dengan pembuktian yaitu mengajukan alat-alat bukti.

Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat

digunakan sebagai alat bukti adalah :

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa;

Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan urutan pertama pada

keterangan saksi, selanjutnya keterangan ahli, surat, petunjuk dan

keterangan terdakwa pada urutan terakir, menunjukkan bahwa pembuktian

(bewijsvoering) dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian.

Namun perihal nilai alat-alat bukti yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP

tetap mempunyai kekuatan bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam

menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam

proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah

ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat

bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman.

Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat

bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, maka terdakwa harus

dinyatakan bersalah dan akan dijatuhi dengan hukuman oleh hakim.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka para hakim harus selalu hati-hati,

cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah

pembuktian. Hakim harus meneliti sampai dimana batas minimun

kekuatan pembuktian atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut

dalam Pasal 184 KUHAP (M. Yahya Harahap, 1988: 793).

Memberikan kesaksian palsu sejak dulu dipandang sebagai suatu

kesalahan yang amat buruk, karena perbuatan seperti itu dapat

menyebabkan tujuan ditegakkannya hukum yang bertandaskan pada

kebenaran dan keadilan menjadi kabur. Selain itu, apabila seseorang

tersebut memberikan kesaksian yang ternyata palsu, akibatnya akan

merugikan bagi orang lain.

Dengan berbagai alasan tersebut yaitu supaya tidak ada pihak yang

dirugikan atas kesaksian palsu yang dilakukan seseorang maka terdapat

peraturan yang mengaturnya yaitu dalam Pasal 242 ayat (1) Kitab

Undang- undang Hukum Pidana ( KUHP) yang menyatakan “Barang siapa

dalam hal- hal di mana undang- undang menentukan supaya memberi

keterangan diatas sumpah, atau mengadakan akibat hukum kepada

keterangan- keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi

keterangan palsu di atas, baik dengan lisan atau tulisan, oleh-nya sendiri

maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan

pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Apabila seluruh pemeriksaan dalam sidang pengadilan selesai/telah

ditutup, maka hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil

keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa,

saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan

ruangan sidang. Pelaksanaan pengambilan keputusan sebagaimana

dimaksud, dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus

untuk keperluan itu dan isi buku tersebut bersifat rahasia (pasal 182 ayat

(7) KUHAP). Selain hal tersebut semua putusan pengadilan hanya sah dan

mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan disidang terbuka untuk

umum.

Sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib

memberitahukan kepada tedakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu

(Andi Hamzah, 2008:284):

1. Hak segera menerima atau segera menolak putusan;

2. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau

menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh

hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan

kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat

(2) KUHAP);

3. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu

yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi

dalam hal ia menerima putusan (Pasal 169 ayat (3) KUHAP jo.

Undand-Undang Grasi);

4. Hak minta banding dalam waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan

atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) KUHAP (Pasal 196

ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) KUHAP);

5. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada angka 1

(menolak putusan) dalm waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat

(1) KUHAP yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum

diputus oleh Pengadilan Tinggi, permintaan banding dapat dicabut

sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding

dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat (3)

KUHAP).

Jika pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara pidana yang

berhubungan dengan kesaksian palsu merasa tidak puas dengan putusan

Pengadilan Negeri, mereka dapat mengajukan upaya hukum untuk

mendapatkan keadilan seperti yang mereka harapkan atau mereka

inginkan. Upaya hukum selanjutnya yang harus ditempuh yaitu Upaya

hukum banding. Tujuan dari diadakannya banding yaitu, pertama untuk

menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya, dan

kedua untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu. Oleh karena

itu banding juga sering disebut revisi.

Berdasarkan putusan banding yang dikeluarkan oleh Pengadilan

Tinggi apabila terdakwa dengan kuasa hukumnya merasa belum puas

maka selanjutnya dilakukan upaya hukum lain yaitu kasasi. Tujuan dari

dilakukannya upaya hukum ini adalah, pertama memperbaiki dan

meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar dapat

diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara

benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang. Kedua

disamping tindakan korelasi yang dilakukan Mahkamah Agung dalam

peradilan kasasi, ada kalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan

“hukum baru” dalam bentuk yurisprudensi. Dan yang ketiga yaitu

bertujuan untuk pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.

Sebagaimana halnya dalam pemeriksaan perkara pada sidang

Pengadilan Negeri dan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi, yang

pertama-tama diteliti ialah hal-hal yang berkenaan dengan masalah

“formal”. Jika syarat formal sudah tepat dan dipenuhi, barulah

pemeriksaan pokok perkara dapat dimasuki. Begitu pula halnya dalam

pemeriksaan kasasi. Langkah pertama yang harus diteliti Mahkamah

Agung hal-hal yang bersangkutan dengan syarat formal. Apabila syarat-

syarat formal permintaan kasasi telah sah dan dipenuhi, baru dapat

diperiksa materi perkara (Yahya Harahap, 2006:583).

Pemeriksaan perkara oleh hakim Mahkamah Agung tersebut

menggunakan berbagai pertimbangan dan penerapan hukum dalam

memutuskan perkara, sehingga putusan yang di keluarkan Mahkamah

Agung memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan.

Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dalam rangka penulisan hukum skripsi dengan judul

“ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH

TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM MAHKAMAH

AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA

KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU ( STUDI PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1315 K/PID/2007 )”.

B. RUMUSAN MASALAH

Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan di

bahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka perumusan

masalah yang diangkat adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah alasan terdakwa dalam pengajuan kasasi terhadap

putusan pengadilan Negeri Makasar dalam perkara kesaksian yang

dianggap palsu?

2. Bagaimanakah konstruksi hukum Hakim Mahkamah Agung dalam

Memeriksa dan Memutus Kesaksian yang dianggap palsu ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Suatu kegiatan penelitian selalu mempunyai tujuan yang hendak

dicapai sehingga diharapkan dapat menyajikan data yang akurat, serta

mampu menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara tegas

dalam rumusan masalah. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui alasan terdakwa dalam pengajuan kasasi

terhadap putusan Pengadilan Negeri Makasar dalam perkara

kesaksian yang dianggap palsu.

b. Untuk mengetahui konstruksi hukum hakim Mahkamah Agung

dalam memeriksa dan memutus perkara kesaksian yang dianggap

palsu.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan

utama dalam menyusun penulisan hukum sebagai persyaratan

dalam mencapai gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman

aspek hukum di dalam teori dan praktek, terutama dalam bidang

hukum acara pidana yang sangat berarti bagi penulis.

c. Untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu

hukum

D. MANFAAT PENELITIAN

Dalam penelitian tentunya sangat di harapkan adanya manfaat dan

kegunaan yang dapat di ambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat

yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan

data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi

persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu

hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk memberi sumbangan pemikiran dalam mengembangkan

ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana khususnya.

c. Untuk lebih mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh

selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban permasalahan yang di teliti.

b. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis

sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam

mengimplementasikan ilmu yang diperoleh.

c. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi

masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan

terkait masalah yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang

efektif dan memadai dalam hal yang berkaitan dengan kesaksian

palsu di persidangan.

d. Memberi sumbangan pemikiran khususnya yang berkaitan dengan

alasan pengajuan kasasi oleh terdakwa dan konstruksi hukum

hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus

kesaksian yang dianggap palsu.

E. METODE PENELITIAN

Metode adalah pedoman cara seorang ilmuwan mempelajari dan

memahami lingkungan- lingkungan yang dihadapi (Soerjono Soekanto,

1986:6). Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan

hukum maka digunakan metode penelitian tertentu yang sesuai. Adapun

metode penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini dapat di jelaskan

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif yang lebih

mementingkan pemahaman yang ada daripada kuantitas/banyaknya

data. (Lexy J.Moleong, 2003:3). Jadi dalam penelitian hukum

normatif, peneliti tidak perlu mencari data langsung ke lapangan,

sehingga cukup dengan mengumpulkan data-data sekunder dan

mengkonstruksikan dalam suatu rangkaian hasil penelitian.

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian bersifat

preskriptif. Sebagai penelitian yang bersifat preskriptif, maka

penelitian ini mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas

aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter

Mahmud Marzuki, 2006:22).

Dalam penelitian ini penulis ingin memperoleh gambaran yang

lengkap dan jelas tentang alasan pengajuan kasasi oleh terdakwa dan

konstruksi hukum hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan

memutus perkara kesaksian yang dianggap palsu.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan

menggunakan pendekatan kasus (case approach) .

4. Jenis Data

Jenis data yang akan digunakan dalam yang penulisan hukum ini

adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka

berupa keterangan- keterangan yang secara tidak langsung diperoleh

melalui studi kepustakaan, Peraturan perundang-undangan, seperti

KUHAP, Peraturan Kehakiman, dan peraturan perundangan lain yang

terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah

yang diteliti, seperti putusan dan tulisan-tulisan ilmiah dan sumber-

sumber tertulis lainnya, buku- buku, literatur, dokumen resmi, hasil

penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan

dengan penelitian ini. Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian

normatif, maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder

sedangkan data primer lebih bersifat penunjang.

5. Sumber Data

Sumber data merupakan tempat data suatu penelitian yang dapat

diperoleh dan yang akan digunakan dalam penelitian hukum normatif

yaitu sumber data sekunder yang meliputi bahan-bahan kepustakaan

yang dapat berupa dokumen, buku-buku, laporan, arsip dan literatur

yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder

yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan

pustaka yang mempunyai kekuatan hukum mengikat secara

yuridis, adapun yang penulis gunakan adalah:

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

2) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP)

4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

5) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1315 K/Pid/2007

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti:

1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/ terkait dalam

penelitian ini.

2) Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.

3) Buku-buku penunjang lain.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder. Bahan ini berupa pengertian- pengertian

yang diperoleh dari kamus hukum dan bahan dari internet.

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data

sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder yang ada

hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yang digolongkan

sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian

dipelajari, diklasifikasikan dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut

sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Penulis

mengumpulkan data sekunder darin peraturan perundang- undangan,

karangan ilmiah, dokumen resmi, serta pengumpulan data melelui

media internet.

7. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan

logika deduktif. Dalam hal ini sumber penelitian yang diperoleh dalam

penelitian ini dengan menggunakan inventarisasi sekaligus mengkaji

dari penelitian studi kepustakaan, aturan perundang- undangan beserta

dokumen- dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait,

kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk

menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik

kesimpulan dari suber penelitian yang diolah sehingga pada akhirnya

dapat diketahui alasan pengajuan kasasi oleh terdakwa dan konstruksi

hukum hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus

perkara kesaksian yang dianggap palsu.

Menurut Philipus M.Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter

Mahmud metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh

Aristoteles pengunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan

premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis

minor (bersifat khusus) dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu

kesipulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 47).

Didalam logika silogistik untuk penalaran umum yang bersifat premis

mayor adalah aturan hukuk sedangkan premis minornya adalah fakta

hukum. Sedangkan menurut Johny Ibrahim, mengutip pendapat

Bernard Arief Shiharta logika deduktif merupakan suatu tekhnik

untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus

yang bersifat individual (Jhony Ibrahim, 2008:249)

F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika

penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum,

maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun

sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab

terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan

pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika

keseluruhan hasil penelitian hukum ini dalah sebagai berikut:

BAB 1 : PENDAHULUAN

Bab ini penulis berusaha memberi gambaran awal tentang

penelitian yang meliputi latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,

dan sistematika penulisan hukum yang digunakan untuk

memberikan pemahaman terhadap isi penelitian ini secara garis

besar.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraiakan mengenai dua hal yaitu, yang

pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta

mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam

penulisan hukum ini, yang meliputi: Pertama mengenai Tinjauan

Tentang Kasasi meliputi, pengertian kasasi, putusan yang dapat

dikasasi, alasan kasasi, tata cara pemeriksaan kasasi, dan putusan

Mahkamah Agung. Kedua, Tinjauan Tentang Konstruksi Hukum

Hakim Mahkamah Agung Dalam Memeriksa dan Memutus

Perkara. Ketiga, Tinjauan Umum Tentang Kesaksian Palsu.

Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka

dalam bab ini juga disertai dengan kerangka pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam hal ini penulis membahas dan menjawab permasalahan

yang telah ditentukan sebelumnya yaitu apa alasan pengajuan

kasasi oleh terdakwa dan konstruksi hukum hakim Mahkamah

Agung dalam memeriksa dan memutus kesaksian yang dianggap

palsu.

BAB IV : PENUTUP

Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang

simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan

permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan

atas permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KERANGKA TEORI

1. Tinjauan Tentang Kasasi

a. Pengertian Kasasi

Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis. Kata

asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan

hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan.

Semula berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut

conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan

Perancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya

menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan

antara yang menjembatani pembuat undang-undang dan

kekuasaan kehakiman.

Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru pula di negeri

Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia. Pada

asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi

kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui

kekuasaan kehakimannya. Arti kekuasaan kehakiman itu

ditafsirkan secara luas dan sempit. Yang menafsirkan secara

sempit ialah D. Simons yang mengatakan jika hakim memutus

suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut

kekuasaan kehakiman. Dalm arti luas misalnya, jika hakim

pengadilan tinggi memutus padahal hakim pertama telah

membebaskan (Andi Hamzah, 2008:297-298).

b. Putusan Yang Dapat Diajukan Kasasi

Menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP putusan perkara

yang dapat diajukan permohonan kasasi adalah semua putusan

perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh

15

pengadilan kecuali terhadap putusan Mahkamah Agung sendiri

dan putusan bebas.

1) Terhadap Semua Putusan Pengadilan Negeri dalam Tingkat

Pertama dan Tingkat Terakhir

Artinya, jenis perkara yang diputus oleh pengadilan

Negeri yang dalam kedudukannya sekaligus sebagai

peradilan tingkat pertama dan terakhir, yang terhadap

putusan tidak dapat diajukan permohonan banding. Jenis

perkara yang diputus dalam tingkat pertama dan terakhir

oleh Pengadilan Negeri ialah perkara-perkara yang diperiksa

dengan acara pemeriksaan cepat .

2) Terhadap Semua Putusan Pengadilan Tinggi yang

Diambilnya pada Tiungkat Banding

Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang dapat

diajukan permohonan banding, dan terhadap putusan itu

diajukan permohonan banding serta Pengadilan Tinggi telah

mengambil putusan pada tingkat banding, terhadap

putusannn banding tersebut dapat diajukan kasasi.

Putusan diataslah yang dikualifikasikan sebagai putusan

pengadilan “tingkat terakhir” yaitu setiap putusan yang

diambil atau dijatuhkan pengadilan; baik oleh Pengadilan

Negeri yang menurut ketentuan undang-undang sekaligus

bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir,

maupun terhadap putusan yang dijatuhkan Pengadilan

Tinggi dalam tingkat banding. Dalam putusan-putusan yang

demikian terkandung pengertian makna “putusan tingkat

terakhir” oleh pendadilan lain selain daripada Mahkamah

Agung.

3) Tentang Putusan Bebas

Berdasarkan ketentuan Pasal 244 KUHAP, tehadap

putusan bebas tidak dapat diajukan permohonan kasasi.

Akan tetapi, kenyataan praktek, larangan pasal 244 tersebut

telah disingkirkan oleh Mahkamah Agung secara contra

legem. Mengenai hal ini sudah dibicarakan baik pada ulasan

yang berhubungan dengan putusan bebas dikaitkan dengan

upaya banding dan kasasi maupun pada pendahuluan uraian

kasasi. Dalam uraian dimaksud secara panjang lebar sudah

dijelaskan:

a) Permohonan banding terhadap putusan bebas, mutlak

tidak dapat diajukan. Jadi, dengan dalih dan alasan

apapun, permohonan banding terhadap putusan bebas

mutlak tidak dapat diajukan. Hal ini sesuai dengan pasal

67 KUHAP. Nyatanya praktek peradilan sampai pada

saat ini, masih berpegang teguh secara murni dan

konsekuen terhadap Pasal 67 tersebut.

b) Permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas

dapat diajukan. Inilah yang kita jumpai dalam kenyataan

praktek peradilan, telah dengan sengaja menyingkirkan

Pasal 244. Apa yang telah dilarang Pasal itu telah

dibenarkan dalam kenyataan praktek. Hal ini jelas-jelas

merupakan contra legem, yakni praktek dan penerapan

hukum yang secara terang-terangan “bertentangan

dengan undang-undang”(Yahya Harahap,2006:534).

c. Alasan Kasasi

Alasan pengajuan kasasi terbagi menjadi dua yaitu alasan

kasasi yang dibenarkan undang-undang dan alasan kasasi yang

tidak dibenarkan undang-undang.

1) Alasan Kasasi Yang Dibenarkan Menurut Undang-Undang

Alasan kasasi yang sudah ditentukan secara “limitatif”

dalam Pasal 253 ayat (1). Pemeriksaan kasasi dilakukan

Mahkamah Agung berpedoman kepada alasan-alasan

tersebut. Sejalan dengan itu, pemohon kasasi harus

mendasarkan keberatan-keberatan kasasi bertitik tolak dari

alasan yang disebutkan Pasal 253 ayat (1). Yang harus

diutarakan dalam memori kasasi ialah keberatan atas putusan

yang dijatuhkan pengadilan kepadanya, karena isi putusan

itu mengandung kekeliruan atau kesalahan yang tidak

dibenarkan oleh Pasal 253 ayat (1).

Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat

dibenarkan Pasal 253 ayat (1) terdiri dari:

a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan

atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;

b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan

menurut ketentuan undang-undang;

c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas

wewenangnya.

Ketiga hal ini keberatan kasasi yang dibenarkan undang

–undang sebagai alasan kasasi. Di luar ketiga alasan ini,

keberatan kasasi ditolak karena tidak dibenarkan undang-

undang. Penentuan alasan kasasi yang limitatif dengan

sendirinya serta sekaligus “membatasi” wewenang

Mahkamah Agung memasuki pemeriksaan perkara dalam

tingkat kasasi, terbatas hanya meliputi kekeliruan pengadilan

atas ketiga hal tesebut. Di luar ketiga hal itu, undang-undang

tidak membenarkan Mahkamah Agung menilai dan

memeriksanya. Oleh karena itu, bagi seseorang yang

mengajukan permohonan kasasi, harus benar-benar

memperhatikan keberatan kasasi yang disampaikan dalam

memori kasasi, agar keberatan itu dapat mengenai sasaran

yang ditentukan Pasal 253 ayat (1) . Menyimpang dari

makna dan jiwa yang terkandung dari ketiga alasan tadi,

tidak diperhatikan dan tidak dibenarkan Mahkamah Agung.

Sedapat mengkin pemohon kasasi dapat memperlihatkan

dalam memori kasasi bahwa putusan pengadilan yang

dikasasi mengandung:

a) Kesalahan penerapan hukum

b) Atau pengadilan dalam mengadili dan memutus perkara

tidak melaksanakan cara mengadili menurut ketentuan

undang-undang

c) Atau pengadilan telah melampaui batas wewenangnya,

baik hal itu mengenai wewenang absoulut maupun relatif

atau pelampauan wewenang dengan cara memasukkan

hal-hal yang nonyuridis dalam pertimbangannya.

2) Alasan Kasasi Yang Tidak Dibenarkan Undang-Undang

a) Keberatan Kasasi Putusan Pengadilan Tinggi

Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri

Alasan kasasi yang memuat keberatan, putusan

Pengadilan Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup

menguatkan putusan Pengadilan Negeri, tidak dapat

dibenarkan dalam pemeriksaan kasasi,. Percuma

pemohon kasasi mengajukan alasan keberatan yang

demikian, sebab seandainya Pengadilan Tinggi

menguatkan putusan serta sekaligus menyetujui

perimbangan Pengadilan Negeri, hal itu:

(1) Tidak merupakan kesalahan penerapan hukum, dan

tidak merupakan pelanggaran dalam melaksanakan

peradilan menurut ketentuan undang-undang serta

tidak dapat dikategorikan melampaui batas

wewenang yang ada padanya:

(2) Malahan tindakan Pengadilan Tinggi menguatkan

putusan Pengadilan Negeri, masih dalam batas

wewenang yang ada padanya, karena berwenang

pennuh menguatkan dan mengambil alih putusan

Pengadilan Negeri yang dianggap telah tepat.

b) Keberatan Atas Penilaian Pembuktian

Keberatan kasasi atas penilaian pembuktian termasuk

di luar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1).

Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak berhak

menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Hal ini

berbeda dengan kesalahan penerapan hukum

pembuktian, kesalahan penerapan hukum pembuktian

bukan atau tidak merupakan penilaian pembuktian. Oleh

karena itu, keberatan tersebut “dapat dibenarkan” dalam

tingkat kasasi.

c) Alasan Kasasi Yang Bersifat Pengulangan Fakta

Alasan kasasi yang sering dikemukakan pemohon

ialah “pengulangan fakta”, padahal sudah jelas alasan

kasasi seperti ini tidak dibenarkan undang-undang. Arti

pengulangan fakta ialah mengulang-ulang kembali hal-

hal dan peristiwa yang telah pernah dikemukakannya

baik dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri

maupun dalam memori banding. Isi memori kasasi yang

diajukan hanya mengulang kembali kejadian dan

keadaan yang telah pernah dikemukakannya pada

pemeriksaan Pengadilan Negeri, pemohon telah

mengemukakan keadaan dan fakta-fakta. Kemudian hal

itu kembali lagi diutarakannya dalam memori kasasi

menjadi alasan kasasi. Keberatan kasasi yang seperti ini,

tidak dibenarkan undang-undang, dan Mahkamah Agung

menganggapnya sebagai pengulangan fakta yang tidak

perlu dipertimbangkan dalam tingkat kasasi.

d) Alasan Yang Tidak Menyangkut Persoalan Perkara

Alasan yang seperti ini pun sering dikemukakan

pemohon dalam memori kasasi, mengemukakan

keberatan yang menyimpang dari apa yang menjadi

pokok persoalan dalam putusan perkara yang

bersangkutan. Keberatan kasasi yang seperti ini dianggap

irrelevant karena berada diluar jangkauan pokok

permasalahan atau dianggap tidak mengenai masalah

pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus

pengadilan.

e) Berat Ringannya Hukuman atau Besar Kecilnya Jumlah

Denda

Keberatan semacam ini pun pada prinsipnya tidak

dapat dibenarkan undang-undang, sebab tentang berat

ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan maupun

tentang besar kecilnya jumlah denda adalah wewenang

pengadilan yang tidak takhluk pada pemeriksaan tingkat

kasasi.

f) Keberatan Kasasi Atas Pengembalian Barang Bukti

Alasan kasasi semacam ini pun tidak dapat

dibenarkan. Pengembalian barang bukti dalam perkara

pidana adalah wewenang pengadilan yang tidak tahluk

pada pemeriksaan kasasi. Pengadilan sepenuhnya berhak

menentukan kepada siapa barang bukti dikembalikan.

g) Keberatan Kasasi Mengenai Novum

Suatu prinsip yang juga perlu diingat dalam masalah

keberatan kasasi harus mengenai hal-hal yang telah

“pernah diperiksa” sehubungan dengan perkara yang

bersangkutan, baik dalam sidang Pengadilan Negeri

maupun dalam tingkat banding. Berarti suatu hal yang

diajukan dalam keberatan kasasi, padahal hal itu tidak

dapat diperiksa dan diajukan baik pada pemeriksaan

sidang Pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan

tingkat banding , tidak dapat dibenarkan karena tidak

takhluk pada pemeriksaan kasasi. Pengajuan hal seperti

ini dalam keberatan kasasi dianggap “hal baru” atau

“novum”.

d. Tata Cara Pemeriksaan kasasi

Tidak banyak masalah yang menyangkut tata cara

pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi. Garis besarnya diatur

pada Pasal 253 ayat (2) dan (3)

1) Pemeriksaan dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga

orang hakim

Majelis yang paling kecil pada lembaga Mahkamah

Agung terdiri dari sekurang-kurangnya 3 orang Hakim

Agung. Sedang majelis besar terdiri dari semua Hakim

Agung yang disebut full chamber atau en banc. Namun,

dalam melaksanakan tugas peradilan sehari-hari dalam

memeriksa perkara kasasi, tidak selamanya dilakukan oleh

majelis lengkap. Jika perkara kasasi sederhana, cukup

diperiksa dan diputus oleh majelis kecil, yang terdiri dari 3

orang hakim. Salah seorang diantaranya bertindak sebagai

“ketua majelis” sedang yang dua orang berkedudukan

sebagai “hakim anggota” Jika dianggap perlu, terutama

untuk memeriksa dan memutus perkara tertentu yang

dianggap memerlukan pemikiran dan pendapat yang matang,

dapat dibentuk majelis yang terdiri dari 5 atau 7 orang

hakim. Tapi dalam kenyataan sekarang, jarang tejadi

pembentukan majelis yang demikian. Apalagi majelis

paripurna lebih “insidentil” sifatnya.

2) Pemeriksaan berdasar berkas perkara

Pemeriksaan perkara pada peradilan kasasi pada

umumnya tidak langsung secara lisan. Berbeda dengan tata

cara pemeriksaan perkara pada tingkat Pengadilan Negeri.

Di Pengadilan Negeri sidang pemeriksaan perkara dilakukan

secara langsung dalam suatu ruang sidang dengan

caramenghadirkan terdakwa dan saksi-saksi serta dihadiri

penuntut umum maupun penasehat hukum. Jelasnya,

pemeriksaan dilakukan secara lisan.

Lain halnya pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi.

Pemeriksaan dilakukan tanpa dihadiri tedakwa, saksi dan

penuntut umum. Memang seandainya ada urgensi dan

relevansi, secara kasuistik Mahkamah Agung dapat

melakukan pemeriksaan langsung mendengar keterangan

saksi dan atau terdakwa (hearing) dalam ruang sidang yang

lengkap dihadiri tedakwa, penuntut umum, penasehat

hukum, dan saksi-saksi, seperti jalannya pemeriksaan di

sidang Pengadilan Negeri, tapi jarang terjadi dalm praktek.

Kalau begitu, dasar pemeriksaan perkara kasasi menurut

Pasal 253 ayat (2) bersumber dari “berkas perkara” yang

diterima Mahkamah Agung dari Pengadilan, yang terdiri

dari:

a) Berita acara pemeriksaan dari penyidik,

b) Berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan,

c) Semua surat-surat yang timbul di persidangan yang ada

hubungannya dengan perkara,

d) Putusan pengadilan pertama, dan

e) Atau putusan tingkat terakhir.

Itulah yang menjadi bahan pemeriksaan perkara dalam

tingkat kasasi, berkas perkara, terutama putusan tingkat

banding. Apakah putusan itu benar-benar sesuai dengan

berita acara dan surat-surat yang ada, serta apakah dalam

putusan itu ada kesalahan penerapan hukum. Masing-masing

anggota majelis membuat dan menyimpulkan pendapat,

untuk dibahas dan dipertemukan dalam musyawarah majelis

menjadi putusan.

3) Pemeriksaan tambahan

Tidak selamanya pemeriksaan perkara pada tingkat

pertama dan tingkat banding telah tuntas dilakukan. Sering

dijumpai kekurangan pemeriksaan yang dianggap sangat

penting dan menentukan dalam mengambil putusan. Maksud

pemeriksaan tambahan bertujuan untuk menambah dan

melengkapi pemeriksaan yang dianggap perlu. Mungkin

sesuatu yang dianggap pengadilan tidak penting dan

diabaikan, dianggap penting oleh Mahkamah Agung.

a) Pemeriksaan tambahan didasarkan atas putusan sela

Untuk memungkinkan terjadi pemeriksaan tambahan

Mahkamah Agung menempuh proses pengeluaran

“putusan sela” Putusan sela ialah putusan yang diambil

sebelum putusan akhir, yang bertujuan untuk menambah

kelengkapan keterangan dalam mengambil putusan

akhir. Putusan sela sama sekali belum menyelesaikan

perkara secara tuntas. Tuntasnya penyelesaian putusan

perkara, baru diambil setelah diterima kembali berita

acara hasil pemeriksaan tambahan, dengan acuan

penerapan:

(1) Mahkamah Agung mengeluarkan putusan sela.

Di dalam putusan sela ditentukan secara rinci apa

saja yang hendak diperiksa, yang dituangkan

Mahkamah Agung dalam amar putusan. Berpedoman

pada rincian itulah pemeriksaan tambahan dilakukan

oleh Pengadilan Negeri. Putusan sela dilampirkan

dalam berkas perkara semula, untuk selanjutnya

dikirimkan kembali kepada Pengadilan Negeri.

(2) Pemeriksaan tambahan dilakukan dalam sidang

sebagaimana halnya proses pemeriksaan biasa.

Dengan adanya putusan sela yang memerintahkan

pemeriksaan tambahan, Pengadilan yang

diperintahkan membuka dan mengadakan lagi

pemeriksaan perkara dalam suatu persidangan seperti

halnya proses pemeriksaan biasa.

Seandainya Mahkamah Agung dengan putusan sela

memerintahkan Pengadilan Negeri untuk melakukan

pemeriksaan tambahan, segera setelah penerimaan

putusan sela:

(a) Ketua Pengadilan Negeri segera mengeluarkan

penetapan penunjukan hakim majelis yang akan

bertindak melakukan pemeriksaan tambahan.

(b) Atas dasar penunjukan penetapan tadi, majelis

tersebut menetapkan hari sidang pemeriksaan

tambahan serta memerintahkan penuntut umum

untuk menghadirkan terdakwa maupun saksi-

saksi atau barang bukti jika memang itu

diperlukan dalam pemeriksaan tambahan

dimaksud.

(c) Berita acara pemeriksaan tambahan

Semua peristiwa maupun keadaan yang terjadi

serta keterangan yang diberikan oleh terdakwa

dan saksi-saksi dalam sidang pemeriksaan

tambahan, dicatat panitera dalam berita acara

pemeriksaan yang disebut “berita acara

pemeriksaan tambahan”.

Apabila majelis hakim yang melakukan pemeriksaan

tambahan menganggap telah dengan sempurna

memenuhi pemeriksaan tambahan sebagaimana

yang diperintahkan dalam putusan sela, sidang

pemeriksaan tambahan ditutup.Dan setelah

ditandatangani oleh ketua majelis dan panitera,

berita acar pemeriksaan tambahan dilampirkan

dalam berkas perkara untuk segera dikirimkan

kembali kepada Mahkamah agung.

(3) Majelis hakim yang melakukan pemeriksaan

tambahan hanya membuat berita acara pemeriksaan

tambahan saja. Hasil pemeriksaan tambahan yang

tercatat dalam berita acara dikirimkan kepada

Mahkamah Agung dengan jalan melampirkan dalam

berkas perkara semula.

(4) Pengadilan yang diperintah melakukan pemeriksaan

tambahan, tidak mengambil putusan atas hasil

pemeriksaan tambahan. Putusabn dahululah yang

tetap berlaku, menjadi bahan pemeriksaan

Mahkamah Agung, ditambah dengan hasil

pemeriksaan tambahan.

b) Mahkamah agung sendiri dapat melaksanakan

pemeriksaan tambahan.

Secara yuridis formal undang-undang memberi

kemungkinan bagi Mahkamah Agung untuk

melaksanakan sendiri sidang pemeriksaan tambahan.

Jika demikian yang akan ditempuh Mahkamah Agung,

dalam putusan sela yang dikeluarkannya, Mahkamah

Agung sendiri memerintahkan dirinya untuk melakukan

pemeriksaan tambahan dengan cara menunjuk langsung

dalam putusan sela majelis hakim yang akan bertindak

melakukan pemeriksaan tambahan. Dapat diduga, akan

lebih sempurna dan lebih tepat sasaran jika Mahkamah

Agung sendiri yang mellakukan pemeriksaan tambahan,

sehingga hasil pemeriksaan lebih mendekati sasaran.

4) Tenggang waktu pemeriksaan perkara yang terdakwanya

berada dalam tahanan.

Berdasar pasal 253 ayat (5) huruf b, apabila Mahkamah

agung mengeluarkan penetapan perintah penahanan terhadap

terdakwa, dalam waktu 14 hari sejak dikeluarkan penetapan,

Mahkamah Agung “wajib” memeriksa perkara tersebut.

Berdasar ketentuan ini¸undang-undang membedakan

tenggang waktu pemeriksaan antara perkara yang

“terdakwanya ditahan” dengan yang “tidak ditahan”.

Terhadap perkara kasasi yang terdakwanya ditahan, undang-

undang mewajibkan Mahkamah Agung untuk memeriksa

dalam waktu 14 hari dari tanggal penetapan perintah

penahanan dikeluarkan. Sedang pemeriksaan kasasi yang

terdakwanya tidak ditahan, undang-undang tidak

menentukan tenggang waktu pemeriksaan. “Prioritas”

mendahulukan serta membatasi tenggang waktu

pemeriksaan kasasi yang terdakwanya berada dalam tahanan

“wajar dan beralasan”, terutama untuk menghindari

berakhirnya masa tahanan sebelum perkaranya diputus.

Apabila terjadi hal yang demikian, mau tidak mau terdakwa

mesti dikeluarkan dari tahanan “demi hukum”, sekalipun

perkaranya belum diputus.

e. Putusan Mahkamah Agung

Berdasarkan Pasal 254, bentuk putusan Mahkamah Agung

dalam tingkat kasasi hanya terdiri dari: menolak permohonan

kasasi atau mengabulkan permohonan kasasi. Ini memeng benar

jika semata-mata ditinjau dari segi putusan tentang hukumnya

atau mengenai pokok materi perkara. Akan tetapi jika masalah

putusan ditinjau dari segi yang lebih luas, bukan saja dari

putusan mengenai pokok materi perkara, tapi juga meliputi

putusan dari segi formal maupun dari segi putusan berdasar cara

mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang

maka bentuk putusan yang dapat dijatuhkan Mahkamah Agung

tidak hanya terdiri dari bentuk putusan yang dicantumkan dalam

Pasal 254 saja. Oleh karena itu, tanpa mengurangi bentuk

putusan yang disebut dalam pasal 254, maka akan ditinjau lebih

luas dari yang diatur Pasal 254 tersebut, yaitu antara lain:

1) Menyatakan kasasi tidak dapat diterima

Salah satu bentuk putusan Mahkamah Agung, berisi

amar “menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima”.

Putusan ini dijatuhkan dalam tingkat kasasi, apabila

permohonan kasasi yang diajukan “tidak memenuhi syarat-

syarat formal” yang diatur dalam Pasal 244, Pasal 245, dan

pasal 248 ayat (1). Dan sepanjang pengamatan, formal yang

sering tidak dipenuhi pemohon kasasi kebanyakan berkisar

pada keterlambatan mengajukan permohonan kasasi,

permohonan kasasi yang tidak dilengkapi dengan memori

kasasi, serta memori kasasi terlambat diserahkan. Jarang

dijumpai kekurangan syarat formal yang dikarenakan

permohonan kasasi diajukan oleh orang yang tidak berhak

untuk itu.

2) Putusan menolak permohonan kasasi

Pada prinsipnya penolakan permohonan kasasi

diikarenakan hal-hal berikut:

a) Putusan pengadilan yang dikasasi sudah tepat penerapan

hukumnya sesuai dengan yang semestinya, dan tata cara

mengadilinya pun telah dilaksanakan sesuai dengan cara

mengadili perkara menurut ketentuan undang-undang

serta pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara

tidak melampaui batas wewenang. Ini berarti alasan dan

keneratan yang diajukan pemohon dalam risalah kaasi,

sama sekali tak mampu menunjukkan adanya dalam

putusan itu hal-hal yang bertentangan dengan Pasal 253

ayat (1).

b) Atau Mahkamah Agung menilai dan berpendapat

putusan pengadilan yang dikasasi sudah tepat dan tidak

ada hal-hal yang bertentangan dengan Pasal 253 ayat (1).

3) Mengabulkan permohonan kasasi

Mengabulkan permohonan kasasi dalam praktek

penradilan sering juga disebut “menerima” atau

“membenarkan” permohonan kasasi. Putusan yang

mengabulkan atau membenarkan permohonan kasasi,

kebalikan dari putusan yang menolak permohonan kasasi.

Berarti putusan pengadilan yang dikasasi “dibatalkan” oleh

Mahkamah Agung atas alasan putusan pengadilan yang

dikasasi mengandung pelanggaran terhadap ketentuan Pasal

253 ayat (1) .

Begitu pada prinsipnya, setiap pengabulan permohonan

kasasi, dengan sendirinya diiringi dengan “pembatalan

putusan yang dikasasi”. Akan tetapi ada juga penyimpangan

atas prinsip tersebut. Adakalanya pengabulan permohonan

kasasi tidak selamanya diiringi dengan tindakan

pembataklan, karena apa yang dikabulkan tidak sampai

bersifat membatalkan putusan, tapi “cukup diperbaiki” oleh

Mahkamah Agung.

Selanjutnya mengenai pengabulan permohonan kasasi

yang mempunyai “intensitas” dan “kualitas” membatalkan

putusan pengadilan, artinya kesalahan yang terdapat dalam

putusan penadilan yang dikasasi itu, tidak dapat diperbaiki.

Akan tetapi, mesti dibatalkan karena kesalahan yang

terdapat didalamnya sedemikian rupa beratnya, dan satu-

satunya cara untuk meluruskan kesalahan itu hanya

membatalkan. Tentang alasan pembatalan yang dijadikan

Mahkamah Agung titik tolaknnya adalah Pasal 253 ayat (1).

2. Tinjauan Tentang Konstruksi Hukum Hakim Mahkamah

Agung Dalam Memeriksa Dan Memutus Perkara

Konstruksi Hukum / Komposisi Hukum (Rechtsconstructie)

Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus perkara antara

lain yaitu:

a. Konstruksi Analogi (argumentum per analogian)

Analogi adalah proses konstruksi yang dilakukan dengan

cara mencari rasio ledis (genus) dari suatu undang-undang dan

kemudian menerapkannya kepada hal-hal lain yang sebenarnya

tidak diatur oleh undang-undang itu.

Dalam analogi, hakim memasukkan suatu perkara ke

dalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan

yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan

perkara yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan adanya

kesamaan unsur dengan perkara atau fakta-fakta yang dapat

diselesaikan langsung oleh peraturan perundang-undangan yang

sudah ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim kemudian

memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada

pada perkara yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain,

penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada

dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur

dengan ketentuan hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk

perwujudannya (bentuk hukum) lain.

Penerapan hukum dengan analogi hanya dapat dilakukan

dalam kasus-kasus hukum perdata. Hukum pidana tidak

mengenal analogi karena hal demikian bertentangan dengan asas

pokok hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa ketentuan

perundang-undangan yang menetapkannya terlebih dahulu”

(nullum crimen sine lege). Karena di dalam pidana jika

digunakan konstruksi analogi akan menciptakan delik baru.

Maka dengan konstruksi analogi, seorang ahli hukum

memasukkan suatu perkara kedalam lingkup pengaturan suatu

peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dibuat

untuk menyelesaian perkara yang bersangkutan.

b. Konstruksi Penghalusan Hukum (rechtsverfijning)

Seorang ahli hukum beranggapan bahwa dalam

menyelesaikan suatu perkara, peraturan perundang-undangan

yang ada dan yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan

perkara, ternyata tidak dapat digunakan.

Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum

tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan

yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya

tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak

dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan

bentuk kebalikan dari konstruksi analogi, sebab bila di satu

pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan

perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum

justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan

perundang-undangan (bersifat restriktif).

c. Argumentum a Contrario

Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan

perundang-undangan yang ada seperti pada kegiatan analogi,

yaitu menerapkan suatu peraturan pada perkara yang sebenarnya

tidak dimaksudkan untuk diselesaikan oleh peraturan itu.

Perbedaannya adalah dalam analogi hakim akan menghasilkan

suatu kesimpulan yang positif, dalam arti bahwa ia menerapkan

suatu aturan pada masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan

pada konstruksi Argumentum a Contrario hakim sampai pada

kesimpulan yang negatif, artinya ia justru tidak mungkin

menerapkan aturan tertentu dalam perkara yang sedang

dihadapinya.

d. Fiksi Hukum.

Adalah metode penemuan hukum yang mengemukakan

fakta-fakta baru kepada kita, sehingga tampil personifikasi baru

dihadapi kita (Satjipto Raharjo, 1982: 136).

contoh : dengan fiksi bahwa setiap orang dianggap mengetahui

hukum yang berlaku sekalipun ia buta huruf atau tidak

mengetahuinya sama sekali, berarti ia tetap diatur oleh hukum;

contoh Pasal 372 “barang siapa dengan sengaja dan melawan

hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian

adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam

kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena

penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau

pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Dalam hal ini seseorang sekalipun tidak pernah mengetahui

tentang aturan pasal tersebut, ketika ia melakukannya maka ia

dikenakan sanksi. Karena dianggap telah mengetahui aturan

yang berlaku

3. Tinjauan Tentang Kesaksian Palsu

Sebuah kesaksian palsu juga dikenal sebagai sumpah palsu

yaitu mengacu pada kesaksian yang diberikan dibawah sumpah

yang tidak benar atau tidak sepenuhnya benar. Tindak pidana

kesaksian palsu ini adalah tindak pidana yang diancam dengan

penjara atau denda yang berat jika dinyatakan bersalah. Kesaksian

palsu tidak termasuk informasi yang salah yang tidak berkaitan

langsung dengan hasil kasus tersebut (diakses dari

http://translate.googleuser)

Peraturan yang mengatur tentang kesaksian palsu yaitu Kitab

Undang- undang Hukum Pidana ( KUHP) Pasal 242 ayat (1) yaitu

“Barangsiapa dalam hal- hal di mana undang- undang menentukan

supaya memberi keterangan diatas sumpah, atau mengadakan

akibat hukum kepada keterangan- keterangan yang demikian,

dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas, baik dengan

lisan atau tulisan, oleh-nya sendiri maupun oleh kuasanya yang

khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling

lama tujuh tahun”.

Menurut perspektif islam memberikan kesaksian adalah suatu

tugas wajib. Yang mana menurut para ulama kesaksian merupakan

kewajiban kolektif dimana jika dilakukan oleh sejumlah orang

yang cukup, seluruh masyarakat dibebaskan dari kewajiban tercela.

Akan tetapi berdasarkan syariah kesaksian yang diberikan harus

didasarkan pada pengetahuan, kejelasan, dan kepercayaan. Untuk

memberikan kesaksian mengenai suatu hal dimana seseorang tidak

memiliki pengetahuan, atau untuk sengaja bersaksi dengan

kebalikan dari apa yang diketahui sebagai kebanaran itu dianggap

sebagai suatu dosa yang besar.

Memberikan kesaksian palsu adalah untuk menggambarkan

suatu yang bertentangan dengan bentuk kebenaran. Memberikan

kesaksian palsu memiliki banyak kejahatan untuk mendukung

dusta terhadap kebenaran dan memberikan dukungan untuk

ketidakadilan dan agresi terhadap keadilan. Hal tersebut juga

berbahaya bagi keselamatan dan keamanan publik (diakses dari

http://translate.googleuser)

B. KERANGKA PEMIKIRAN

PERTIMBANGAN

PROSES PERADILAN

PENGAJUAN KASASI

PUTUSAN

PERKARA KESAKSIAN

PALSU

PENEGAKAN HUKUM

TERHADAP

PELANGGARAN HUKUM

PENERAPAN

HUKUM

PUTUSAN

KASASI

IMPLIKASI

NEGARA HUKUM

KONSTRUKSI HUKUM

HAKIM MA

Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum,

sebagai negara hukum Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk

menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi

warga negaranya. Konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideologi

oleh suatu negara adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang

dilakukan oleh warga negara indonesia, maka hukum juga wajib

memberikan timbal balik terhadap negara yang menerimanya sebagai

ideologi, dengan cara memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-

kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan

kepada masyarakat.

Bukti konkrit dari hukum yang mengikat dan mengatur setiap

tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia adalah setiap warga

negara yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-

undangan harus mendapatkan proses peradilan untuk mempertanggung

jawabkan perbuatan yang telah dilakukannya tersebut. Tujuan umum dari

proses peradilan pidana tidaklah semata-mata menjatuhkan hukuman.

Keseluruhan proses pemeriksaan ditujukan pada pengungkapan kebenaran

materiil. Penting dalam keseluruhan proses persidangan adalah

mengungkap apa yang sesungguhnya telah terjadi dan mengapa itu terjadi.

Proses peradilan pidana dalam pengungkapan kebenaran dilakukan

dengan pembuktian yaitu mengajukan alat-alat bukti berupa keterangan

saksi (termasuk korban), keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan

terdakwa. Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana, perihal

pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang

terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana,

khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan

yang dilakukan seseorang. Memberikan keterangan palsu sejak dulu

dipandang sebagai suatu kesalahan yang amat buruk, karena perbuatan

seperti itu dapat menyebabkan tujuan ditegakkannya hukum yang

bertandaskan pada kebenaran dan keadilan menjadi kabur. Selain itu,

apabila seseorang tersebut memberikan keterangan yang ternyata palsu,

akibatnya akan merugikan bagi orang lain.

Apabila seluruh pemeriksaan dalam sidang pengadilan selesai/telah

ditutup, maka hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil

keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa,

saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan

ruangan sidang. Pelaksanaan pengambilan keputusan sebagaimana

dimaksud, dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus

untuk keperluan itu dan isi buku tersebut bersifat rahasia (pasal 182 ayat

(7) KUHAP). Selain hal tersebut semua putusan pengadilan hanya sah dan

mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan disidang terbuka untuk

umum.

Jika pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara pidana yang

berhubungan dengan kesaksian palsu merasa tidak puas dengan putusan

Pengadilan Negeri, mereka dapat mengajukan upaya hukum untuk

mendapatkan keadilan seperti yang mereka harapkan atau mereka

inginkan. Upaya hukum selanjutnya yang harus ditempuh yaitu Upaya

hukum banding. Tujuan dari diadakannya banding yaitu, pertama untuk

menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya, dan

kedua untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu. Oleh karena

itu banding juga sering disebut revisi.

Berdasarkan putusan banding yang dikeluarkan oleh Pengadilan

Tinggi apabila terdakwa dengan kuasa hukumnya merasa belum puas

maka selanjutnya dilakukan upaya hukum lain yaitu kasasi. Tujuan dari

dilakukannya upaya hukum ini adalah, pertama memperbaiki dan

meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar dapat

diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara

benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang. Kedua

disamping tindakan korelasi yang dilakukan Mahkamah Agung dalam

peradilan kasasi, ada kalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan

“hukum baru” dalam bentuk yurisprudensi. Dan yang ketiga yaitu

bertujuan untuk pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.

Pemeriksaan kasasi oleh hakim Mahkamah Agung tersebut

menggunakan berbagai pertimbangan dan penerapan hukum dalam

memutuskan perkara, sehingga putusan yang di keluarkan Mahkamah

Agung memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Alasan Pengajuan Kasasi oleh Terdakwa terhadap Putusan Pengadilan Negeri

Makasar dalam Perkara Kesaksian yang Dianggap Palsu

1. Kasus Posisi

Kasus kesaksian yang dianggap palsu di Makassar ini bermula pada kasus

perdata yaitu, H. M. Yunus Pasalele menjadi penggugat dalam perkara

perdata melawan saksi korban Rizal Tadiawan, objek dari sengketa ini adalah

tanah seluas 16.000 M2 yang terletak di kelurahan Cambaya, Kecamatan

Ujung Tanah Makasar. Gugatan tersebut mendapatkan putusan No: 51/Pts.

Pdt. G/1994/PN. Uj. Pdg pada tanggal 27 Desember tahun 1994 yang amarnya

dalam pokok perkara menyatakan bahwa gugatan penggugat ditolak

seluruhnya, sehingga terdakwa mengajukan upaya banding di Pengadilan

Tinggi Ujung Pandang yang mana perkara tersebut telah diputus oleh

Pengadilan Tinggi dengan No Putusan: 438/PDT/1994/PT. Uj. Pdg tanggal 20

Juli 1995 yang amarnya menyatakan mengabulkan gugatan penggugat

konvensi pembanding untuk sebagian, menyatakan bahwa tanah sengketa

adalah milik sah penggugat konpensi pembanding, sehingga saksi Rizal

Tandiawan sebagai tergugat, mengajukan upaya hukum kasasi dan ternyata

Mahkamah Agung dalam putusannya No: 3252 K/Pdt/1995 tanggal 5

September 1996 dengan amarnya yaitu menolak seluruh gugatan penggugat,

terdakwa kemudian melakukan upaya hukum peninjauan kembali dan dalam

permohonan peninjauan kembali itu Yunus Pasele menggunakan 2 buah bukti

surat dalam hal ini telah disumpah bahwa novum tersebut belum pernah

digunakan sebagai alat bukti sebelumnya, akan tetapi pada kenyatannya alat

bukti tersebut telah di gunakan Yunus Pasele sebagai bukti surat pada saat

proses di PN Makasar dan pada saat memasukkan memori banding sehingga

akibat perbuatan terdakwa Rizal Tandiawan merasa sangat dirugikan dalam

putusan peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI No: 318 PK/Pdt/2003

tanggal 12 Oktober 2003 yang mana dinyakan bahwa tanah sengketa adalah

milik sah penggugat pembanding sehingga Rizal Tadiawan kehilangan hak

untuk memiliki tanah tersebut dan akhirnya Yunus Pasele di tuntut dengan

perkara kesaksian palsu.

2. Identitas Terdakwa

Identitas terdakwa dalam perkara kesaksian yang dianggap palsu adalah:

Nama : H.M. YUNUS PASELE BIN HABELE

Tempat lahir : Makassar

Umur/tgl lahir : 54 tahun/15 Januari 1952

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tinggal : Jalan Barukang Utara No.114/84 Makassar

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

3. Dakwaan penuntut Umum Kejaksaan Negeri Makasar

Hal-hal yang didakwakan oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri

Makassar antara lain:

PERTAMA:

Bahwa ia Terdakwa H. M. YUNUS PASALELE pada hari Senin tanggal 2

Agustus 2002 atau setidaknya pada waktu lain dalam tahun 2002, bertempat di

Jl. Kartini tepatnya pada kantor Pengadilan Negeri Makassar atau setidak-

tidaknya pada suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri

Makassar, ia Terdakwa dalam keadaan dimana undang-undang menentukan

supaya memberi keterangan datas sumpah dan mengadakan akibat hukum

pada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan dibawah

sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya

yang khusus ditunjuk untuk itu,yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:

- Bahwa pada awalnya ia Terdakwaselaku Penggugat perkara perdata

melawan saksi korban RIZAL TANDIAWAN sebagai Tergugat di

Pengadilan Negeri Makassar pada tahun 1994 dengan objek sengketa

berupa tanah seluas 16.000 M2 yang teletak di Kelurahan Cambaya

Kecamatan Ujung Tanah Makassar, yang mana pada tingkat peradilan

pertama yaitu pada Pengadilan Negeri Makassar telah menjatuhkan

putusan No: 51/Pts.Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg tanggal 27 Desember 1994

yang amarnya dalam pokok perkara menyatakan gugatan Penggugat

Konvensi ditolak seluruhnya, sehingga Terdakwa mengajukan upaya

hukum Banding di Pengadilan Tinggi Ujung Pandang, yang mana perkara

tersebut telah di putus oleh Pengadilan Tinggi dengan No. Putusan:

438/PDT/1994/PT.Uj.Pdg tanggal 20 Juli 1995 yang amarnya dalam

pokok perkara menyatakan:

- Mengabulkan gugatan penggugat konvensi-pembanding untuk

sebagian.

- Menyatakan bahwa tanah objek sengketa adalah milik sah penggugat

konvensi pembanding

Sehingga saksi RIZAL TANDIAWAN sebagai Tergugat mengajukan

upaya hukum kasasi dan tenyata Mahkamah Agung dalam putusannya

No: 3253 K/Pdt/1995 tanggal 5 September 1996 dengan amarnya yaitu

menolak seluruh gugatan Penggugat.

- Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI tersebut maka

pada tahun 2002 bertempat di Pengadilan Negeri Makassar, terdakwa

selaku Penggugat melakukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan

Kembali dan dalam permohonan Peninjaun Kembali tersebut Terdakwa

memasukkan/menggunakan bukti baru (novum) antara lain berupa:

- Surat tertanggal 15 Juni 1994 No.591/347/Ass.I beserta lampiran

berupa kronologis status tanah yang menjadi sengketa yang

ditujukan kepada Kanwil BPN. SUL-SEL.

- Surat tertanggal 28 Februari 1995 No.550. 1-425-531 ditujukan

kepada RIZAL TANDIAWAN di Ujung Pandang.

- Bahwa sebelum Terdakwa memasukkan/menggunakan kedua surat

tersebut diatas sebagai bukti novum, maka berdasarkan ketentuan undang-

undang terlebih dahulu, Terdakwa mengangkat sumpah sebagaimana

terurai dalam Berita Acara Sumpah No. 51/Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg tanggal

12 Agustus 2002 yang diucapkan didepan Hakim/Ketua Pengadilan Negeri

Makassar, dan Panitera Pengganti yang dibuat dan ditandatanggani oleh

HARYONO, SH selaku Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Makassar ANDI

SURURUDDIN AMIR,SH selaku Panitera Pengganti dari terdakwa H.

MUH. YUNUS PASELE selaku yang disumpah, padahal sebelumnya

kedua surat tersebut telah digunakan oleh Terdakwa sebagai bukti surat

pada saat perkaranya tersebut di proses di Pengadilan Negeri Makassar

dan pada saat memesukkan Memori Banding, sehingga akibat perbuatan

Terdakwa tersebut RIZAL TANDIAWAN merasa sangat dirugikan karena

di dalam putusan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung RI No.318

PK/Pdt/2003 tanggal 12 Oktober 2004 menyatakan bahwa tanah objek

sengketa adalah milik sah penggugat-pembanding, dengan demikian saksi

RIZAL TANDIAWAN kehilangan hak untuk memiliki tanah tersebut.

Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal

242 ayat (1) KUHP.

Atau

KEDUA:

Bahwa ia Terdakwa H.M. YUNUS PASELE pada hari Senin tanggal 12

Agustus 2002 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2002,

bertempat di Jl. Kartini Makassar pada Kantor Pengadilan Negeri Makassar

atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain dalam Daerah Hukum Pengadilan

Negeri Makassar, ia terdakwa menyuruh memasukkan keterangan palsu

kedalam suatu akte autentik mengenai suatu hal yang sebenarnya harus

dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang

lain memekai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran,

jika pemakaian itu dapat menilmbulkan kerugian, yang dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

- Bahwa pada saat ia Tedakwa mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Makassar terhadap

putusan Mahkamah Agung RI No. 3235 K/Pdt/1995 tanggal 05 September

1996, ia Terdakwa memasukkan bukti surat berupa novum antara lain:

- Surat tertanggal 15 Juni 1993 No.591/347/ASS. 1 beserta kronologis

status tanah yang menjadi sengketa yang ditujukan kepada Kanwil

BPN. SUL-SEL.

- Surat tertanggal 28 Februari 1995 NO. 550-1-425-531 di tujukan

kepada RIZAL TANDIAWAN di Ujung Pandang.

- Bahwa selanjutnya didalam persidangan di depan Hakim Pengadilan

Negeri Makassar, ia Terdakwa mengangkat sumpah sesuai dengan

keyakinannya yang intinya menyatakan bahwa bukti baru yang di ajukan

di dalam Peninjauan Kembali sebelumnya tidak pernah diajukan di dalam

Peninjauan Kembali sebelumnya tidak pernah digunakan sebagai bukti

sebagaimana terurai dalam Berita Acara Sumpah No.

51/Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg tanggal 12 Agustus 2002 yang diucapkan

didepan Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Makassar, dan Panitera

Pengganti yang dibuat dan ditandatanggani oleh HARYONO, SH selaku

Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Makassar ANDI SURURUDDIN

AMIR,SH selaku Panitera Pengganti dari terdakwa H. MUH. YUNUS

PASELE selaku yang disumpah, padahal sebelumnya kedua surat tersebut

telah digunakan oleh Terdakwa sebagai bukti surat pada saat perkaranya

tersebut di proses di Pengadilan Negeri Makassar dan pada saat

memesukkan Memori Banding, sehingga akibat perbuatan Terdakwa

tersebut RIZAL TANDIAWAN merasa sangat dirugikan karena di dalam

putusan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung RI No.318 PK/Pdt/2003

tanggal 12 Oktober 2004 menyatakan bahwa tanah objek sengketa adalah

milik sah penggugat-pembanding, dengan demikian saksi RIZAL

TANDIAWAN kehilangan hak untuk memiliki tanah tersebut.

Perbuatan tesebut sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal

266 ayat (1) KUHP.

4. Tuntutan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Makasar

Tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Makassar

tanggal 23 November 2006 sebagai berikut:

a. Menyatakan Tedakwa H. Muh. Yunus Pasele Bin Habele, terbukti

bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja memberi keterangan

palsu diatas sumpah” sebagaimana diatur dalam Pasal 242 ayat (1)

KUHPidana;

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa H. Muh. Yunus Pasele Bin Habele

oleh karena itu dengan penjara selama 3 (tiga) tahun dikurangi selama

Terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah supaya

Terdakwa tetap ditahan;

c. Menyatakan barang bukti berupa

1) Copy putusan perdata pengadian Negeri Makassar Nomor

51/Pts.Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg 27 September 1994 beserta lampirannya.

2) Copy putusan Pengadilan Tinggi Nomor Putusan 438/Pdt/1994/Uj.Pdg

tanggal 20 Juli 1995 beserta lampiranya.

3) Copy putusan Mahkamah Agung Nomor 2353.K/Pdt/1995 tanggal 11

September 1996 beserta lampirannya.

4) Copy Peninjauan Kembali Nomor. 318.PK/Pdt/1995 tanggal 12

Oktober 2004 berikut lampirannya.

5) Copy berita acara sumpah Nomor.51/Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg pada hari

Senin tanggal 12 Agustus 2002 yang telah dilegalisir oleh Panitera

Pengadilan Negeri Makassar.

6) Copy Peninjauan Kembali beserta lampirannya.

7) Copy bukti-bukti yang diajukan H.MUH. YUNUS PASELE di

Pengadilan Negeri Makasar pada saat gugatan perdata dari bukti P-1

sampai dengan P-13.

8) Copy bukti-bukti yang diajukan oleh H.MUH. YUNUS PASELE

sebagai Novum (Bukti Baru) pada saat mengadakan Peninjauan

Kembali dengan Nomor PK 1 sampai dengan PK 5, tetap terlampir

dalam berkas perkara;

d. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar

Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

5. Amar Putusan Pengadilan Negeri Makasar

Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor: 970/Pid.B/2006/PN.MKS

tanggal 04 Desember 2006 amar lengkapnya sebagai berikut:

- Menyatakan bahwa Terdakwa H.MUH YUNUS PASELE BIN HABELE

tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “DENGAN SENGAJA MEMBERI

KETERANGAN PALSU DIATAS SUMPAH”

- Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana

penjara selama 2 (dua) tahun;

- Menyatakan barang bukti berupa:

a. Copy putusan perdata pengadian Negeri Makassar Nomor

51/Pts.Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg 27 September 1994 beserta lampirannya.

b. Copy putusan Pengadilan Tinggi Nomor Putusan 438/Pdt/1994/Uj.Pdg

tanggal 20 Juli 1995 beserta lampiranya.

c. Copy putusan Mahkamah Agung Nomor 2353.K/Pdt/1995 tanggal 11

September 1996 beserta lampirannya.

d. Copy Peninjauan Kembali Nomor. 318.PK/Pdt/1995 tanggal 12

Oktober 2004 berikut lampirannya.

e. Copy berita acara sumpah Nomor.51/Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg pada hari

Senin tanggal 12 Agustus 2002

f. Copy Peninjauan Kembali beserta lampirannya.

g. Copy bukti-bukti yang diajukan H.MUH. YUNUS PASELE di

Pengadilan Negeri Makasar pada saat gugatan perdata dari bukti P.1

sampai dengan P.13.

h. Copy bukti-bukti yang diajukan oleh H.MUH. YUNUS PASELE

sebagai Novum (Bukti Baru) pada saat mengadakan Peninjauan

Kembali dengan Nomor PK 1 s/d PK 5 , tetap terlampir dalam berkas

perkara;

- Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.2500,-

(dua ribu lima ratus rupiah);

- Memerintahkan agar Terdakwa tetap dalam tahanan

6. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Makasar

Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor: 03/PID/2007/PT.MKS tanggal

15 Januari 2007 amar putusan lengkapnya sebagai berikut:

- Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat

Hukum para Terdakwa;

- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar, tanggal 04 Desember

2006, Nomor. 970/Pid.B/2006/PN.MKS;

- Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa dalam kedua tingkat

Peradilan, untuk tingkat pertama sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus

rupiah) dan dalam tingkat banding sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus

rupiah).

-

7. Alasan Pengajuan Kasasi oleh Terdakwa

Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa pada pokoknya

adalah sebagai berikut:

a. Bahwa pengadilan Negeri Makassar di Makassar yang telah menjatuhkan

putusan yang amarnya berbunyi seperti tersebut di atas dalam memeriksa

dan mengadili perkara tersebut telah melakukan kekeliruan yakni:

Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Makassar tidak menerapkan

peraturan tidak sebagaimana mestinya karena:

Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Makassar dalam putusannya

tersebut menyatakan pada halaman 10 yang berbunyi:

“Menimbang bahwa setelah mempelajari dengan seksama berkas perkara,

berita acara penyidik; berita acara persidangan, surat bukti, dan turunan

resmi Putusan Pengadilan Negeri Makassar tanggal 4 Desember 2006

No.970/Pid.B/2006/PN.Mks, Majelis Hakim Banding Pengadilan tinggi

berpendapat bahwa alasan serta pertimbangan hukum Hakim tingkat

pertama dalam putusannya telah tepat dan benar oleh sebab itu diambil

alih dan dijadikan alasan serta pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan

tinggi dalam memutus perkara ini dalam tingkat banding”.

Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Makassar dalam pertimbangan

tersebut diatas yang diambil alih pertimbangan-pertimbangan Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Makassar dalam putusannya

No.970/Pid.B/2006/PN.MKS tanggal 4 Desember 2006 tersebut diatas

tentang telah terbuktinya kesalahan Terdakwa, tentang lamanya pidana

yang dijatuhkan padahal Putusan Pengadilan Negeri Makassar itu sendiri

sebenarnya kurang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat

(1) huruf h KUHAP sebagaimana salah satu syarat tentang isi putusan

pemidanaan.

Dengan memperhatikan hal tersebut, maka nampak dengan jelas baik

Putusan Pengadilan Negeri Makassar maupun Putusan Pengadilan Tinggi

Makassar yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar tersebut

diatas tidak menerapkan peraturan atau menerapkan peraturan tidak

sebagaimana mestinya.

Bahwa yang kami maksudkan menerapkan peraturan atau menerapkan

peraturan tidak sebagaimana mestinya ialah dalam hal pembuktian unsur-

unsur tindak pidana: Dengan sengaja memberikan keterangan palsu diatas

sumpah sebagaimana didakwakan kepada Terdakwa dalam Pasal 242 ayat

(1) KUHP.

b. Bahwa kami Tim Penasihat Hukum Terdakwa memandang bahwa Putusan

Pengadilan Negeri Makassar No.970/Pid.B/2006/PN.Mks tanggal 4

Desember 2006 tersebut dalam pertimbangan-pertimbangannya tentang

pembuktian unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa

dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP tidak dibuktikan sebagaimana mestinya

karena unsur : “Dengan Sengaja” diabaikan dalam pembahasannya.

Unsur “Dengan Sengaja” dari tiap delik apalagi yang secara nyata

tercantum dalam pasal tindak pidana yang didakwakan harus dibuktikan

sebagai salah satu unsur yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur lain dari

delik yang bersangkutan. Dan tentang kesengajaan dalam Pasal 242 KUHP

ada beberapa Yurisprudensi yang membahas yaitu;

1) Putusan Hoge Raad (H.R) tanggal 19 Februari 1906 yang mengatakan

bahwa: “Kesengajaan untuk memberi sumpah palsu adalah keadaan

bahwa keterangannya palsu atau bertentangan dengan kebenaran untuk

dapat dihukumnya hal ini harus dibuktikan” (R.SOENARTO

SOERODIBROTO, S.H. dalam bukunya KUHP KUHAP dilengkapi

dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Edisi kelima

halaman 142)

2) Putusan Hoge Raad (H.R) tanggal 27 Juni 1932, N.J 1932, 1633 W-

12546, yamg senada dengan itu bahwa “kesengajaan untuk

memberikan keterangan yang palsu adalah kesadaran bahwa

keterangan itu adalah palsu ataupun bertentangan dengan kebenaran.

Didalam pemeriksaan disidang pengadilan hal ini haruslah dapat

dibuktikan” (Drs. P . A.F. LAMINTANG, S.H., C.DSJIDMAN

SAMOSIR, S.H. dalam bukunya HUKUM PIDANA INDONESIA

cetakan ketiga penerbit Sinar Baru Bandung halaman 150).

3) Putusan Hoge Raad tanggal 17 Oktober 1887 W.5487, yang

menyatakan bahwa unsur-unsur dari kejahatan ini (Pasal 242 KUHP)

adalah:

- Adanya undang-undang yang menghendaki keterangan itu

diberikan dibawah sumpah atau yang padanya diikatkan akibat

hukum.

- Selanjutnya adanya pemberian keterangan yang palsu

- Dan kesengajaan yang ditujukan kepada kepalsuan tersebut dst.

(juga dari Drs. P . A.F. LAMINTANG, S.H., C.DSJIDMAN

SAMOSIR, S.H. dalam bukunya HUKUM PIDANA INDONESIA

cetakan ketiga penerbit Sinar Baru Bandung halaman 150)

Dengan mengacu pada ketiga Putusan Yurisprudensi tersebut diatas

tentang unsur kesengajaan dari Pasal 242 KUHP dan jika dihubungkan

pula dengan arti sengaja menurut penafsiran otentik atau penafsiran pada

waktu Undang-undang yang bersangkutan disusun dalam hal ini KUHP

yaitu dari Memori Penjelasan Memorie van Toelichting (MvT WvS

Belanda tahun 1886 yang mempunyai arti bagi KUHP Indonesia

bersumber pada WvS Belanda. Menurut penjelasan tersebut “sengaja”

(opzet) berarti “de’ (bewuste) richting van de wil op een bepaald misdrijf”

(kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan

tertentu.

Menurut penjelasan tersebut “ sengaja” sama dengan Willens en wetens

(dikehendaki dan diketahui), demikian dikemukakan DR. ANDI

HAMZAH, SH. Dalam bukunya Azaz-azaz Hukum Pidana , penerbit PT.

RINEKA CIPTA, Jakarta halaman 84.

Demikian pula pendapat Prof. Dr. D SCHAFFMEISTER, Prof.DR.N.

KEIJZER, MR.E.PH.SUTORIUS, Editor Penerjemah

Prof.DR.J.E.SAHETAPI. S.H.,M.A., dalam bukunya Hukum Pidana,

Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana dalam Rangka KERjasama

Hukum Indonesia-Belanda, Konsorsium Ilmu Hukum “Departemen P &

K”, Penerbit Liberty, Yogyakarta, setakan ke-2, Tahun 2003, halaman 87-

88 menyatakan antara lain:

“Kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan

perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-undang”.

Bahwa dengan mengacu pada arti dan pendapat tentang kesengajaan

tersebut diatasyang dianut hukum pidana kita berdasarkan Azaz

Konkordansi, maka Tim Penasehat Hukum Terdakwa berpendapat bahwa

jika unsur kesengajaan ini tidak diterapkan pada kasus yang menimpa

Terdakwa H. MUH. YUNUS PASELE BIN HABELE, sangat tidak tepat

jika dihubungkan dengan fakta-fakta persidangan karena:

1) Bahwa walaupun Terdakwa disumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri

Makassar ketika mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas

perkaranya kepada Mahkamah Agung RI, tapi sebenarnya Terdakwa

tidak mengetahui kalau bukti baru (novum) yamg diajukan tersebut ada

diantaranya yang sudahpernah dijadikan alat bukti pada tingkat

Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung RI adalah kuasa

hukumnya yaitu NASIRUDDIN PASIGAI, S.H. dengan kawan, tetapi

pada waktu Terdakwa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) Kuasa

Hukum tersebut tidak lagi dipakai Terdakwa dan yang mengurus

semua bukti-bukti baru (Novum) yang diajukan serta membuat konsep

Memori Peninjauan Kembali adalh saksi a de charge atas nama A.

NASAR LEWA sebagai Kuasa Insidential, dan SIMON PATTI, S.H.,

jadi yang menyiapkan semua novum yang diajukan dalam Peninjauan

Kembali (PK) adalah saksi A.NASAR LEWA dan Terdakwa tidak

mengetahui kalau bukti-bukti tersebut ada diantaranya yang sudah

pernah diajukan dalam tingkat peradilan sebelumnya.

2) Mengingat bahwa Terdakwa sebagai seorang yang tidak berpendidikan

(hanya kelas 2 SD)/tidak tamat, sehingga tingkat kecerdasannya sangat

rendah, sehingga wajarlah jika Terdakwa tidak hafal semua surat-surat

yang pernah diurus oleh saksi A. NASAR LEWA untuk dijadikan

novum dalam Peninjauan Kembali. Seharusnya A. NASAR LEWA lah

yang disumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri Makassar pada waktu

itu karena sebagai Kuasa Insidental yang mempersiapkan semua

novum yang diajukan sebagai lampiran Memori Peninjauan Kembali

waktu itu.

3) Seharusnya pula novum yang diajukan itu sebelum Tedakwa disumpah

terlebih dahulu harus diteliti oleh Panitera Pengganti yang ditunjuk

Ketua Pengadilan Negeri waktu itu, apakah bukti-bukti tersebut betul

pernah diajukan di persidangan sebelumnya atau tidak, dan apabila

disebutkan bahwa ada bukti-bukti yang sudah pernah diajukan, maka

bukti-bukti harus dicabut tidak dimasukkan.

8. Pembahasan

Kasus kesaksian palsu yang di putus dengan putusan kasasi No. 1315

K/PID/2007 ini merupakan kasus kesaksian palsu yang berkaitan dengan

penggunaan bukti baru (Novum) dalam upaya Peninjauan Kembali kasus

perdata yang melibatkan H.M. YUNUS PASELE sebagai penggugat dan

RIZAL TANDIAWAN sebagai tergugat, dimana bukti baru yang berupa surat

tersebut telah digunakan sebagai alat bukti pada saat proses di Pengadilan

Negeri Makassar dan pada saat mengajukan memori banding. Padahal H.M.

YUNUS PASELE telah disumpah dan menyatakan bahwa novum tersebut

belum pernah digunakan sebagai alat bukti sebelumnya. Dengan adanya hal

tersebut maka H.M YUNUS PASELE dituntut telah memberikan kesaksian

palsu.

Proses pemeriksaan perkara kesaksian palsu dengan terdakwa H.M.

YUNUS PASELE ini telah melewati tingkatan peradilan yaitu dari peradilan

tingkat pertama (Pengadilan Negeri), peradilan tingkat kedua (Pengadilan

Tinggi) dan Kasasi.

Pada peradilan tingkat pertama telah dijatuhkan Putusan Pengadilan

Negeri Makassar Nomor: 970/Pid.B/2006/PN.MKS tanggal 04 Desember

2006 amar lengkapnya sebagai berikut:

- Menyatakan bahwa Terdakwa H.MUH YUNUS PASELE BIN HABELE

tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “DENGAN SENGAJA MEMBERI

KETERANGAN PALSU DIATAS SUMPAH”

- Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana

penjara selama 2 (dua) tahun;

- Menyatakan barang bukti berupa:

a. Copy putusan perdata pengadian Negeri Makassar Nomor

51/Pts.Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg 27 September 1994 beserta lampirannya.

b. Copy putusan Pengadilan Tinggi Nomor Putusan 438/Pdt/1994/Uj.Pdg

tanggal 20 Juli 1995 beserta lampiranya.

c. Copy putusan Mahkamah Agung Nomor 2353.K/Pdt/1995 tanggal 11

September 1996 beserta lampirannya.

d. Copy Peninjauan Kembali Nomor. 318.PK/Pdt/1995 tanggal 12

Oktober 2004 berikut lampirannya.

e. Copy berita acara sumpah Nomor.51/Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg pada hari

Senin tanggal 12 Agustus 2002

f. Copy Peninjauan Kembali beserta lampirannya.

g. Copy bukti-bukti yang diajukan H.MUH. YUNUS PASELE di

Pengadilan Negeri Makasar pada saat gugatan perdata dari bukti P.1

sampai dengan P.13.

h. Copy bukti-bukti yang diajukan oleh H.MUH. YUNUS PASELE

sebagai Novum (Bukti Baru) pada saat mengadakan Peninjauan

Kembali dengan Nomor PK 1 s/d PK 5 , tetap terlampir dalam berkas

perkara;

- Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.2500,-

(dua ribu lima ratus rupiah);

- Memerintahkan agar Terdakwa tetap dalam tahanan

Pada pemeriksaan tingkat banding dijatuhkan Putusan Pengadilan Tinggi

Makassar Nomor: 03/PID/2007/PT.MKS tanggal 15 Januari 2007 amar

putusan lengkapnya sebagai berikut:

- Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat

Hukum para Terdakwa;

- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar, tanggal 04 Desember

2006, Nomor. 970/Pid.B/2006/PN.MKS;

- Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa dalam kedua tingkat

Peradilan, untuk tingkat pertama sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus

rupiah) dan dalam tingkat banding sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus

rupiah).

Dari putusan-putusan yang telah di jatuhkan baik itu putusan Pengadilan

Negeri maupun Pengadilan Tinggi terdakwa masih merasa belum cukup puas,

sehingga mengajukan kasasi, dari upaya kasasi yang dilakukan oleh terdakwa

terdapat alasan-alasan yang melatarbelakanginya, yang akan dibahas secara

lebih mendalam dalam pembahasan ini yaitu:

a. Alasan pertama yang menyatakan Bahwa pengadilan Negeri Makassar di

Makassar yang telah menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi seperti

tersebut di atas dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut telah

melakukan kekeliruan yakni:

Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Makassar tidak menerapkan

peraturan tidak sebagaimana mestinya karena:

Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Makassar dalam putusannya

tersebut menyatakan pada halaman 10 yang berbunyi:

“Menimbang bahwa setelah mempelajari dengan seksama berkas perkara,

berita acara penyidik; berita acara persidangan, surat bukti, dan turunan

resmi Putusan Pengadilan Negeri Makassar tanggal 4 Desember 2006

No.970/Pid.B/2006/PN.Mks, Majelis Hakim Banding Pengadilan tinggi

berpendapat bahwa alasan serta pertimbangan hukum Hakim tingkat

pertama dalam putusannya telah tepat dan benar oleh sebab itu diambil

alih dan dijadikan alasan serta pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan

tinggi dalam memutus perkara ini dalam tingkat banding”.

Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Makassar dalam pertimbangan

tersebut diatas yang diambil alih pertimbangan-pertimbangan Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Makassar dalam putusannya

No.970/Pid.B/2006/PN.MKS tanggal 4 Desember 2006 tersebut diatas

tentang telah terbuktinya kesalahan Terdakwa, tentang lamanya pidana

yang dijatuhkan padahal Putusan Pengadilan Negeri Makassar itu sendiri

sebenarnya kurang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat

(1) huruf h KUHAP sebagaimana salah satu syarat tentang isi putusan

pemidanaan.

Dengan memperhatikan hal tersebut, maka nampak dengan jelas baik

Putusan Pengadilan Negeri Makassar maupun Putusan Pengadilan Tinggi

Makassar yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar tersebut

diatas tidak menerapkan peraturan atau menerapkan peraturan tidak

sebagaimana mestinya.

Bahwa yang kami maksudkan menerapkan peraturan atau menerapkan

peraturan tidak sebagaimana mestinya ialah dalam hal pembuktian unsur-

unsur tindak pidana: Dengan sengaja memberikan keterangan palsu diatas

sumpah sebagaimana didakwakan kepada Terdakwa dalam Pasal 242 ayat

(1) KUHP.

Berdasarkan alasan tersebut, alasan kasasi ini merupakan alasan kasasi

yang tidak dibenarkan undang-undang. Alasan kasasi yang memuat keberatan,

putusan Pengadilan Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup menguatkan

putusan Pengadilan Negeri, tidak dapat dibenarkan dalam pemeriksaan kasasi,

Percuma pemohon kasasi mengajukan alasan keberatan yang demikian, sebab

seandainya Pengadilan Tinggi menguatkan putusan serta sekaligus menyetujui

perimbangan Pengadilan Negeri, hal itu:

1) Tidak merupakan kesalahan penerapan hukum, dan tidak merupakan

pelanggaran dalam melaksanakan peradilan menurut ketentuan undang-

undang serta tidak dapat dikategorikan melampaui batas wewenang yang

ada padanya:

2) Malahan tindakan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan

Negeri, masih dalam batas wewenang yang ada padanya, karena

berwenang penuh menguatkan dan mengambil alih putusan Pengadilan

Negeri yang dianggap telah tepat.

Oleh sebab itu alasan keberatan yang seperti ini seharusnya ditolak

Mahkamah Agung, karena undang-undang membolehkan mengambil alih

pertimbangan hakim pertama serta menjadikannya sebagai pertimbangan

sendiri. Penolakan Mahkamah Agung ini dapat kita uraikan sebagai berikut:

1) Pengadilan Tinggi berwenang dan boleh menguatkan dan mengambil alih

pertimbangan Pengadilan Negeri yang dianggap tepat

2) Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dianggap tepat sekaligus dijadikan

menjadi pertimbangan sendiri dalam tingkat banding,

3) Oleh karena itu, pengambilalihan itu masih dalam batas-batas kewenangan

yang dibenarkan undang-undang. Dengan demikian dalam putusan

tersebut tidak terdapat kesalahan penerapan hukum maupun pelanggaran

batas wewenang.

b. Alasan kedua yang menyatakan, bahwa kami Tim Penasihat Hukum

Terdakwa memandang bahwa Putusan Pengadilan Negeri Makassar

No.970/Pid.B/2006/PN.Mks tanggal 4 Desember 2006 tersebut dalam

pertimbangan-pertimbangannya tentang pembuktian unsur-unsur tindak

pidana yang didakwakan kepada Terdakwa dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP

tidak dibuktikan sebagaimana mestinya karena unsur : “Dengan Sengaja”

diabaikan dalam pembahasannya.

Unsur “Dengan Sengaja” dari tiap delik apalagi yang secara nyata

tercantum dalam pasal tindak pidana yang didakwakan harus dibuktikan

sebagai salah satu unsur yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur lain dari

delik yang bersangkutan. Dan tentang kesengajaan dalam Pasal 242 KUHP

ada beberapa Yurisprudensi yang membahas yaitu;

1) Putusan Hoge Raad (H.R) tanggal 19 Februari 1906 yang mengatakan

bahwa: “Kesengajaan untuk memberi sumpah palsu adalah keadaan

bahwa keterangannya palsu atau bertentangan dengan kebenaran untuk

dapat dihukumnya hal ini harus dibuktikan” (R.SOENARTO

SOERODIBROTO, S.H. dalam bukunya KUHP KUHAP dilengkapi

dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Edisi kelima

halaman 142)

2) Putusan Hoge Raad (H.R) tanggal 27 Juni 1932, N.J 1932, 1633 W-

12546, yamg senada dengan itu bahwa “kesengajaan untuk

memberikan keterangan yang palsu adalah kesadaran bahwa

keterangan itu adalah palsu ataupun bertentangan dengan kebenaran.

Didalam pemeriksaan disidang pengadilan hal ini haruslah dapat

dibuktikan” (Drs. P . A.F. LAMINTANG, S.H., C.DSJIDMAN

SAMOSIR, S.H. dalam bukunya HUKUM PIDANA INDONESIA

cetakan ketiga penerbit Sinar Baru Bandung halaman 150).

3) Putusan Hoge Raad tanggal 17 Oktober 1887 W.5487, yang

menyatakan bahwa unsur-unsur dari kejahatan ini (Pasal 242 KUHP)

adalah:

- Adanya undang-undang yang menghendaki keterangan itu

diberikan dibawah sumpah atau yang padanya diikatkan akibat

hukum.

- Selanjutnya adanya pemberian keterangan yang palsu

- Dan kesengajaan yang ditujukan kepada kepalsuan tersebut dst.

(juga dari Drs. P . A.F. LAMINTANG, S.H., C.DSJIDMAN

SAMOSIR, S.H. dalam bukunya HUKUM PIDANA INDONESIA

cetakan ketiga penerbit Sinar Baru Bandung halaman 150)

Dengan mengacu pada ketiga Putusan Yurisprudensi tersebut diatas

tentang unsur kesengajaan dari Pasal 242 KUHP dan jika dihubungkan

pula dengan arti sengaja menurut penafsiran otentik atau penafsiran pada

waktu Undang-undang yang bersangkutan disusun dalam hal ini KUHP

yaitu dari Memori Penjelasan Memorie van Toelichting (MvT WvS

Belanda tahun 1886 yang mempunyai arti bagi KUHP Indonesia

bersumber pada WvS Belanda. Menurut penjelasan tersebut “sengaja”

(opzet) berarti “de’ (bewuste) richting van de wil op een bepaald misdrijf”

(kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan

tertentu.

Menurut penjelasan tersebut “ sengaja” sama dengan Willens en wetens

(dikehendaki dan diketahui), demikian dikemukakan DR. ANDI

HAMZAH, SH. Dalam bukunya Azaz-azaz Hukum Pidana , penerbit PT.

RINEKA CIPTA, Jakarta halaman 84.

Demikian pula pendapat Prof. Dr. D SCHAFFMEISTER, Prof.DR.N.

KEIJZER, MR.E.PH.SUTORIUS, Editor Penerjemah

Prof.DR.J.E.SAHETAPI. S.H.,M.A., dalam bukunya Hukum Pidana,

Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana dalam Rangka KERjasama

Hukum Indonesia-Belanda, Konsorsium Ilmu Hukum “Departemen P &

K”, Penerbit Liberty, Yogyakarta, setakan ke-2, Tahun 2003, halaman 87-

88 menyatakan antara lain:

“Kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan

perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-undang”.

Bahwa dengan mengacu pada arti dan pendapat tentang kesengajaan

tersebut diatasyang dianut hukum pidana kita berdasarkan Azaz

Konkordansi, maka Tim Penasehat Hukum Terdakwa berpendapat bahwa

jika unsur kesengajaan ini tidak diterapkan pada kasus yang menimpa

Terdakwa H. MUH. YUNUS PASELE BIN HABELE, sangat tidak tepat

jika dihubungkan dengan fakta-fakta persidangan karena:

1) Bahwa walaupun Terdakwa disumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri

Makassar ketika mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas

perkaranya kepada Mahkamah Agung RI, tapi sebenarnya Terdakwa

tidak mengetahui kalau bukti baru (novum) yamg diajukan tersebut ada

diantaranya yang sudahpernah dijadikan alat bukti pada tingkat

Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung RI adalah kuasa

hukumnya yaitu NASIRUDDIN PASIGAI, S.H. dengan kawan, tetapi

pada waktu Terdakwa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) Kuasa

Hukum tersebut tidak lagi dipakai Terdakwa dan yang mengurus

semua bukti-bukti baru (Novum) yang diajukan serta membuat konsep

Memori Peninjauan Kembali adalh saksi a de charge atas nama A.

NASAR LEWA sebagai Kuasa Insidential, dan SIMON PATTI, S.H.,

jadi yang menyiapkan semua novum yang diajukan dalam Peninjauan

Kembali (PK) adalah saksi A.NASAR LEWA dan Terdakwa tidak

mengetahui kalau bukti-bukti tersebut ada diantaranya yang sudah

pernah diajukan dalam tingkat peradilan sebelumnya.

2) Mengingat bahwa Terdakwa sebagai seorang yang tidak berpendidikan

(hanya kelas 2 SD)/tidak tamat, sehingga tingkat kecerdasannya sangat

rendah, sehingga wajarlah jika Terdakwa tidak hafal semua surat-surat

yang pernah diurus oleh saksi A. NASAR LEWA untuk dijadikan

novum dalam Peninjauan Kembali. Seharusnya A. NASAR LEWA lah

yang disumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri Makassar pada waktu

itu karena sebagai Kuasa Insidental yang mempersiapkan semua

novum yang diajukan sebagai lampiran Memori Peninjauan Kembali

waktu itu.

3) Seharusnya pula novum yang diajukan itu sebelum Tedakwa disumpah

terlebih dahulu harus diteliti oleh Panitera Pengganti yang ditunjuk

Ketua Pengadilan Negeri waktu itu, apakah bukti-bukti tersebut betul

pernah diajukan di persidangan sebelumnya atau tidak, dan apabila

disebutkan bahwa ada bukti-bukti yang sudah pernah diajukan, maka

bukti-bukti harus dicabut tidak dimasukkan.

Berdasarkan alasan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa alasan

pengajuan kasasi yang demikian merupakan alasan kasasi yang tidak

dibenarkan undang-undang juga. Keberatan kasasi ini seharusnya tidak

dibenarkan Mahkamah Agung, karena menganggap keberatan tersebut

mengenai penilaian pembuktian yang bersifat penghargaan terhadap suatu

kenyataan. Hal itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi,

karena pemeriksaan kasasi hanya berkenan memeriksa tentang tidak

dilaksanakan peraturan hukum atau tidak dilaksanakan cara melakukan

peradilan yang harus diturut menurut ketentuan undang-undang.

B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Memeriksa dan Memutus

Perkara Kesaksian Palsu

1. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung

Berdasarkan atas alasan-alasan yang diajukan oleh Terdakwa maka Mahkamah

Agung berpendapat:

a. Mengenai alasan kesatu

Bahwa alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti

tidak salah menerapkan hukum, Pengadilan Tinggi dapat mengambil alih

pendapat dan pertimbangan Pengadilan Negeri yang telah tepat dan benar;

b. Mengenai alasan kedua

Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena alasan tersebut

mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu

kenyataan hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada

tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan

dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan penerapan hukum, adanya

pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-

syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, yang mengancam

kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan

tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(Undang-undang No. 8 tahun 1981);

Karena terdakwa bersumpah menemukan bukti baru (Novum) yaitu PK 3

tanggal 13 Mei 2002 dan tanggal 2 Mei 2002 menemukan PK4:

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula tidak

ternyata, bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini bertentangan dengan

hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus

ditolak;

Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Kasasi/Terdakwa dipidana,

maka harus dibebankan untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi

ini,

Memperhatikan Undang-undang No. 8 Tahun 1981, Undang-undang No. 4

tahun 2004 dan Udang-undang No.5 Tahun 2004 serta peraturan perundang-

undangan lain yang bersangkutan.

2. Amar Putusan Mahkamah Agung

Berdasarkan fakta-fakta hukum dan pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim

memutuskan:

MENGADILI

a. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa H.M. YUNUS

PASELE BIN HABELE tesebut;

b. Menghukum Pemohon Kasasi/Terdakwa untuk membayar biaya perkara

dalam tingkat kasasi in ditetapkan sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus

rupiah).

3. Pembahasan

Berdasarkan hasil putusan Mahkamah Agung dalam kasus kesaksian palsu

dengan terdakwa Yunus Pasele yang menyatakan menolak permohonan kasasi

Terdakwa maka dapat dinyatakan bahwa putusan tersebut dijatuhkan setelah

menguji perkara yang dikasasi dengan ketentuan pasal 253 ayat (1) KUHAP.

Pemeriksaan telah meneliti dengan seksama segala sesuatu keberatan yang

diajukan pemohon dalm memori kasasi, Namun segala keberatan yang

diajukan tidak mengenai sasaran alasan kasasi yang dibenarkan undang-

undang sebagaimana yang dirinci pasal 253 ayat (1) KUHAP. Berarti putusan

yang dikasasi sudah tepat hukumnya. Cara mengadilinya pun telah benar

dilaksanakan pengadilan menurut ketentuan undang-undang serta pengadilan

tidak melampaui batas wewenangnya dalm mengadili dan memutus perkara

yang dikasasi. Pendeknya putusan pengadilan yang dikasasi sudah tepat, tidak

terdapat cacat dan kesalahan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 253

ayat (1). Dengan ringkas dapat dikatakan, pada prinsipnya penolakan atas

permohonan kasasi:

a. Putusan pengadilan yang dikasasi sudah tepat penerapan hukumnya sesuai

dengan yang semestinya, dan tata cara mengadilinya pun telah dilaksanakan

sesuai dengan cara mengadili perkara menurut ketentuan undang-undang

serta pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara tidak melampaui

batas wewenang. Ini berarti alasan dan keneratan yang diajukan pemohon

dalam risalah kaasi, sama sekali tak mampu menunjukkan adanya dalam

putusan itu hal-hal yang bertentangan dengan Pasal 253 ayat (1).

b. Atau Mahkamah Agung menilai dan berpendapat putusan pengadilan yang

dikasasi sudah tepat dan tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan Pasal

253 ayat (1)

Hal ini berarti dalam pengambilan putusannya hakim menggunakan

konstruksi hukum berupa fiksi hukum yaitu metode penemuan hukum yang

mengemukakan fakta-fakta baru kepada kita, sehingga tampil personifikasi

baru dihadapi kita. Penggunaan konstruksi hukum ini didasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan hakim dengan melihat apa yang menjadi alasan

terdakwa mengajukan kasasi, diantaranya yaitu tentang alasan terdakwa yang

bahwa walaupun Terdakwa disumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri Makassar

ketika mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas perkaranya kepada

Mahkamah Agung RI, tapi sebenarnya Terdakwa tidak mengetahui kalau

bukti baru (novum) yamg diajukan tersebut ada diantaranya yang

sudahpernah dijadikan alat bukti pada tingkat Pengadilan Tinggi sampai

Mahkamah Agung RI adalah kuasa hukumnya yaitu NASIRUDDIN

PASIGAI, S.H. dengan kawan, tetapi pada waktu Terdakwa mengajukan

Peninjauan Kembali (PK) Kuasa Hukum tersebut tidak lagi dipakai Terdakwa

dan yang mengurus semua bukti-bukti baru (Novum) yang diajukan serta

membuat konsep Memori Peninjauan Kembali adalh saksi a de charge atas

nama A. NASAR LEWA sebagai Kuasa Insidential, dan SIMON PATTI,

S.H., jadi yang menyiapkan semua novum yang diajukan dalam Peninjauan

Kembali (PK) adalah saksi A.NASAR LEWA dan Terdakwa tidak

mengetahui kalau bukti-bukti tersebut ada diantaranya yang sudah pernah

diajukan dalam tingkat peradilan sebelumnya.

Dan juga alasan mengingat bahwa Terdakwa sebagai seorang yang tidak

berpendidikan (hanya kelas 2 SD)/tidak tamat, sehingga tingkat kecerdasannya

sangat rendah, sehingga wajarlah jika Terdakwa tidak hafal semua surat-surat

yang pernah diurus oleh saksi A. NASAR LEWA untuk dijadikan novum

dalam Peninjauan Kembali. Seharusnya A. NASAR LEWA lah yang

disumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri Makassar pada waktu itu karena

sebagai Kuasa Insidental yang mempersiapkan semua novum yang diajukan

sebagai lampiran Memori Peninjauan Kembali waktu itu.

Dengan menggunakan fiksi hukum maka dalam hal ini seseorang

sekalipun tidak pernah mengetahui tentang pembuktian yang dilakukannya

karena telah diurus oleh Penasehat Hukumnya, ketika ia melakukan kesalahan

terhadap pembuktiannya itu maka dia sendirilah yang dikenakan sanksi bukan

penasehat hukumnya, selain itu meskipun orang tersebut tidak berpendidikan

sehingga memiliki kecerdasan yang rendah maka ia tidak bisa lepas dari

sanksi dari suatu tindak pidana selama ada peraturan perundang-undangan

yang telah mengaturnya.

BAB IV

PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan perumusan masalah yang telah penulis kemukakan dalam

penulisan hukum (skripsi) di atas, maka penulis dapat menyimpulkan apa

yang telah dibahas dalam pembahasan sebagai berikut:

1. Alasan pengajuan kasasi oleh Terdakwa terhadap putusan Pengadilan

Negeri Makassar dalam perkara kesaksian yang dianggap palsu.

a. Alasan pertama, alasan kasasi tersebut merupakan alasan yang

berisi keberatan kasasi putusan Pengadilan Tinggi menguatkan

putusan Pengadilan Negeri, alasan ini tidak dibenarkan dalam

pemeriksaan kasasi karena Pengadilan Tinngi berwenang dan boleh

menguatkan serta mengambil alih pertimbangan Pengadilan Negeri

yang dianggapnya tepat.

b. Alasan Kedua, alasan kedua berisi tentang keberatan penilaian

pembuktian, keberatan kasasi ini tidak dibenarkan karena

keberatan tersebut mengenai penilaian pembuktian yang bersifat

penghargaan terhadap suatu kenyataan.

2. Pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan

memutus perkara kesaksian palsu

Pertimbangan hakim dalam memutus perkara kesaksian yang

dianggap palsu dengan menolak permohonan kasasi dari terdakwa

yaitu menggunakan konstuksi hukum yang bersifat fiksi hukum.

Dengan fiksi hukum maka seseorang sekalipun tidak pernah

mengetahui tentang pembuktian yang dilakukannya karena telah

diurus oleh Penasehat Hukumnya,maka ketika ia melakukan kesalahan

terhadap pembuktiannya dia sendirilah yang dikenakan sanksi bukan

penasehat hukumnya, selain itu meskipun orang tersebut tidak

64

berpendidikan sehingga memiliki kecerdasan yang rendah maka ia

tidak bisa lepas dari sanksi dari suatu tindak pidana selama ada

peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

B. SARAN

1. Pihak-pihak yang berperkara atau penasehat hukumnya, dalam

pengajuan alat bukti dipersidangan harus benar-benar memperhatikan

alat bukti yang digunakannya, karena setiap keterangan yang diberikan

akan disumpah terlebih dahulu. Apabila di ketahuai keterangan

tersebut bohong atau palsu maka terhadap keterangan tersebut dapat

diancam hukuman pidana sehingga diharapkan pihak-pihak yang

berperkara benar-benar mempertimbangankan alat bukti yang

diajukannya untuk menghindari ancaman pidana tersebut.

2. Setiap orang yang akan melakukan upaya hukum kasasi sebaiknya

benar-benar mempertimbangkan alasan-alasan kasasi yang

diajukannya yaitu dengan berpedoman pada Pasal 253 ayat (1)

KUHAP, sehingga upaya hukum yang dilakukannya tidak berakhir sia-

sia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar

Grafika.

Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.

Malang: Bayumedia Publishing.

M. Karjadi dan R. Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana Dengan Penjelasan dan Komentar. Bogor: Politeia

M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP (Pemeriksaan Bidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan

Peninjauan Kembali).Jakarta:Sinar Grafika.

________________. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Psenerapan

KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group.

Satjipto Raharjo. 1982. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

Soerjono soekanto dan Sri Mamudji. 1984. Penelitian Hukum Normatif

Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press.

Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Peraturan Pemerintah Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana

Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1315 K/PID/2007.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kepolisian Republik Indonesia

Internet

Asy-Syaikh Hussain. Kesaksian Palsu, http://translate.googleuser , diakses

pada tanggal 19 April 2010.

Desita Sari dan Hesti Seytyowaty. Permohonan Praperadilan Atas

Penundaan Pelaksanaan Ketetapan Hakim Dalam Perkara

Kesaksian Palsu, www.pemantauperadilan.com, diakses pada

tanggal 5 April 2010.

Widati Wulandari dan Tristam P. Moeliono. Perlindungan Saksi Dan

Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

www.ipsk.go.id, diakses pada tanggal 19 April 2010