ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH …/Analisis... · analisis yuridis alasan pengajuan...
Transcript of ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH …/Analisis... · analisis yuridis alasan pengajuan...
ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH
TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM MAHKAMAH
AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS
PERKARA KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU
(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1315 K/PID/2007)
Penulisan Hukum
(SKRIPSI)
Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat- Syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
IKHA NURHAYATI
E1106135
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH
TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM MAHKAMAH
AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS
PERKARA KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU
(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 1315 K/PID/2007)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun oleh :
IKHA NURHAYATI
NIM : E. 1106135
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum.
NIP. 19620209198903100
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH
TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM MAHKAMAH
AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA
KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU
(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 1315 K/PID/2007)
Disusun oleh :
IKHA NURHAYATI
NIM : E. 1106135
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 29 Juli 2010
TIM PENGUJI
1. Edy Herdyanto, S.H., M.H. ( ................................. )
NIP. 195706291985031002
Ketua
2. Kristiyadi, S.H., M.Hum. (………………………)
NIP:195812251986011001
Sekretaris
3. Bambang Santoso, S.H.,M.Hum (………………………)
NIP: 196202091989031001
Anggota
MENGETAHUI
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum.
NIP.196109301986011001
PERNYATAAN
Nama : Ikha Nurhayati
Nim : E. 1106135
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH
TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM MAHKAMAH
AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA
KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU (STUDI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 1315 K/PID/2007) adalah betul-betul karya
sendiri. Hal- hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini
diberi tanda citasi dan ditunjukkn dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juli 2010
Yang membuat pernyataan
Ikha Nurhayati
E. 1106135
MOTTO
Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara
dunia kenyataan dan dunia impian. (Pangemanann, 138)
Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar
penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu
lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-
tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa
kemput. (Mama, 119)
Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi.
Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak
berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili
pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. (Von Kollewijn, 32)
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan
kepada :
Allah SWT, Pencipta Langit dan
Bumi, yang senantiasa memberikan
kenikmatan pada umat-Nya;
Ibu dan Bapak yang telah memberi
kasih sayang, serta kehangatan
dalam perjalanan penulis;
Keluarga besarku yang telah banyak
membantu dan yang telah memberi
kasih sayang dan dukungannya.
Sahabat serta teman-teman
seperjuangan, sealmamater, dan
seangkatan 2006 terima kasih atas
persaudaraan dan persahabatannya.
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta
diiringi rasa syukur Alhamdulillah penulis panjatkan, penulisan hukum (Skripsi)
yang berjudul “ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI
OLEH TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM
MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS
PERKARA KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU (STUDI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 1315 K/PID/2007)” dapat penulis
selesaikan.
Penulisan hukum ini membahas mengenai alasan Terdakwa dalam
pengajuan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri Makassar dalam perkara
kesaksian palsu serta konstruksi hukum hakim Mahkamah Agung dalam
memeriksa dan memutus kesaksian yang dianggap palsu. Penulis menyadari
masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, maka saran serta kritik dari
semua pihak sangat penulis harapkan untuk memperkaya karya tulis ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis
dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis
sampaikan terutama kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang
telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan
penulisan hukum ini.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Hernawan Hadi, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik
penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Negeri Surakarta yang telah memberikan nasehat, bimbingan dan
dorongan kepada penulis.
4. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Skripsi yang
telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, motivasi demi
kemajuan Penulis, dan juga cerita-cerita serta pengalaman yang dapat
memberikan semangat bagi Penulis.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada penulis
sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga
dapat penulis amalkan.
6. Seluruh staf tata usaha dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang ada di bagian transit, perpustakaan,
pendidikan, pengajaran dan bagian-bagian yang lain, terima kasih atas
bantuannya.
7. Ibu dan Bapak terima kasih atas doa dan semangat yang kalian berikan
kepadaku. Semoga Ibu dan Bapak selalu diberikan nikmat kesehatan,
rezeki dan umur panjang.
8. Seluruh keluarga besarku yang senantiasa memberiku suport, nasehat-
nasehat yang baik dan kasih sayang yang lebih kepadaku.
9. Sahabat-sahabatku Putri, Eka, Mbak Indri, Mas Itut, Kori, Mbk Eka, Pak
Api, Elok, Vita, Ucup, Liana, Een, Adi, Puput, Dewi, Nindya, Susi, Mbak
Erna, Mas Nugroho yang selalu menemaniku dan selalu menjadi sahabat
baikku.
10. Mas Kuncoro yang selalu membantu penulis jika penulis dalam kesulitan
dan yang selalu memberi semangat dan dukungan untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini.
11. Keluarga Besar angkatan 2006 Fakultas Hukum UNS yang tidak bisa
disebutkan satu persatu yang telah memberi warna baru dalam hidup
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuannya bagi penulis, baik selama kuliah maupun dalam
penyelesaian penulisan hukum ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari
sempurna. Maka dari itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan dan semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
Surakarta, Juli 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI......................................................
HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................
HALAMAN MOTTO....................................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
ABSTRAK.....................................................................................................
ABSTRAK.....................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.........................................................
B. Perumusan Masalah...............................................................
C. Tujuan Penelitian. .................................................................
D. Manfaat Penelitian.................................................................
E. Metode Penelitian..................................................................
F. Sistematika Penulisan Hukum...............................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori......................................................................
1. Tinjauan Tentang Kasasi...................................................
a. Pengertian Kasasi........................................................
b. Putusan Yang Dapat Diajukan Kasasi..........................
c. Alasan Kasasi..............................................................
d. Tata Cara Pemeriksaan Kasasi....................................
e. Putusan Mahkamah Agung. .......................................
2. Tinjauan Tentang Konstruksi Hukum Hakim Mahkamah
I
ii
iii
iv
v
vi
vii
x
xii
xiii
xiv
1
7
7
8
9
13
15
15
15
15
17
22
28
Agung Dalam Memeriksa Dan Memutus Perkara
a. Konstruksi Analogi......................................................
b. Konstruksi Penghalusan Hukum..................................
c. Argumentum A Contrario............................................
d. Fiksi Hukum.................................................................
3. Tinjauan Tentang Kesaksian Palsu....................................
B. Kerangka Pemikiran...............................................................
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Alasan Pengajuan Kasasi oleh Terdakwa terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Makasar dalam Perkara
Kesaksian yang Dianggap Palsu
1. Kasus Posisi........................................................................
2. Identitas Terdakwa.............................................................
3. Dakwaan penuntut Umum Kejaksaan Negeri Makasar......
4. Tuntutan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Makasar......
5. Amar Putusan Pengadilan Negeri Makasar........................
6. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Makasar........................
7. Alasan Pengajuan Kasasi...................................................
8. Pembahasan .......................................................................
B. Perimbangan Hakim mahkamah Agumg Dalam
Memeriksa dan Memutus Perkara kesaksian Palsu
1. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung...........................
2. Amar Putusan Mahkamah Agung......................................
3. Pembahasan .......................................................................
BAB IV PENUTUP
A. SIMPULAN.......................................................................
B. SARAN...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
31
32
32
33
34
35
39
40
40
44
45
46
46
51
59
60
60
64
65
ABSTRAK
IKHA NURHAYATI, E.1106140, ANALISIS YURIDIS ALASAN
PENGAJUAN KASASI OLEH TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM
HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS
PERKARA KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU (STUDI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 1315 K/PID/2007). Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2010.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai
bagaimanakah alasan Terdakwa dalam pengajuan kasasi terhadap putusan
Pengadilan Negeri Makassar dalam perkara kesaksian palsu serta bagaimanakah
konstruksi hukum hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus
kesaksian yang dianggap palsu.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat
preskriptif dengan menggunakan jenis data sekunder. Dalam penelitian ini,
tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu
pengumpulan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan
diteliti. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan
dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa alasan terdakwa dalam
pengajuan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri Makassar dalam perkara
kesaksian palsu tersebut merupakan alasan kasasi yang tidak dibenarkan undang-
undang karena tidak sesuai dengan yang diatur dalam pasal 253 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana sedangkan konstruksi hukum Hakim
Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus kesaksian yang dianggap palsu
adalah bahwa Hakim Mahkamah Agung menggunakan konstruksi hukum yang
bersifat fiksi hukum yaitu dengan dasar bahwa seseorang yang tidak mengerti
hukum dapat dijatuhi pidana atas tindak pidana yang dilakukannya selama ada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
ABSTRACT
IKHA NURHAYATI, E 1106140, A JURIDICAL ANALYSIS ON THE
REASON OF APPEAL TO SUPREME COURT APPLICATION BY THE
ACCUSED AND THE LAW CONSTRUCTION OF SUPREME COURT’S
JUDGE IN EXAMINING AND DECIDING THE COUNTERFEIT
TESTIMONY CASE (A STUDY ON SUPREME COURT’S DECISION
NUMBER. 1315 K/PID/2007). Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret
University. Thesis. 2010.
This research aims to find out clearly what the reason of the accused is in
applying the appeal to Supreme Court against the Makassar First Instance Court’s
decision in the Counterfeit Testimony Case as well as how the law construction of
the Supreme Court’s Judge in examining and deciding the testimony considered
as counterfeit.
This study belongs to an empirical research that is prescriptive in nature
using secondary data type. Techniques of collecting data employed were library
research, that is, to collecting secondary data relevant to the problem studied.
Then, the data obtained was studied, classified and analyzed further consistent
with the objective and problem of research.
Considering the research, it can be found that the reason of the accused in
applying the appeal to Supreme Court against the Makassar First Instance Court’s
decision in the Counterfeit Testimony Case is the one not justified by the statue
because it is not consistent with the article 253 clause (1) of Penal Code while the
law construction of the Supreme Court’s Judge in Examining and deciding the
testimony considered as counterfeit is that the Judge uses law fiction construction
considering that someone who does not understand the law can be imposed with
punishment over the criminal action committed as long as there is the legislation
regulating it.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Negara Indonesia adalah negara hukum, hal itu sesuai dengan yang
tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima
hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan,
keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya.
Hukum bisa juga dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk
menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang
tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma ( Satjipto Rahardjo,
1982:14). Hukum juga berupa norma dikenal dengan sebutan norma
hukum yang mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya
hukum tersebut.
Konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideologi oleh suatu
negara adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh
warga negara indonesia, maka hukum juga wajib memberikan timbal balik
terhadap negara yang menerimanya sebagai ideologi, dengan cara
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan anggota-anggota
masyarakat serta memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam rangka menciptakan keselarasan hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dan memberikan perhatian terhadap penciptaan
keadilan dalam masyarakat, hukum tidak selalu bisa memberikan
keputusan dengan segera, hukum membutuhkan waktu untuk menimbang-
nimbang yang bisa memakan waktu lama sekali guna mencapai keputusan
yang seadil-adilnya dan tidak merugikan masyarakat. Tujuan dari adanya
hukum adalah memberikan pelayanan bagi masyarakat agar tercipta suatu
ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraan. Oleh karena itu para
penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya harus mempertimbangkan
kepentingan masyarakat dan selalu berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang ada.
Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum
untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum
pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki hubungan
yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk
dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana atau
yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana formal lebih tertuju pada
ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya
melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.
Sedangkan hukum pidana (materiil) lebih tertuju pada peraturan hukum
yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan
pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.
Bukti konkrit dari hukum mengikat dan mengatur tindakan yang
dilakukan setiap warga negara Indonesia adalah setiap warga negara yang
melakukan tindak pidana harus mendapatkan proses peradilan untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya tersebut.
Tujuan umum dari proses peradilan pidana tidaklah semata-mata
menjatuhkan hukuman. Keseluruhan proses pemeriksaan ditujukan pada
pengungkapan kebenaran materiil. Penting dalam keseluruhan proses
persidangan adalah mengungkap apa yang sesungguhnya telah terjadi dan
mengapa itu terjadi.
Melalui proses pemeriksaan berhasil diungkap apa yang
sebenarnya terjadi, maka para pihak (hakim, jaksa atau penuntut umum,
terdakwa atau pembela) dapat beranjak dari itu untuk menilai derajat
kesalahan atau ketidaksalahan yang dilakukan seseorang. Dalam proses
pemeriksaan diungkap perbuatan nyata yang dilakukan dan derajat
kesalahan yang telah dilakukan. Tercakup ke dalamnya ialah pertimbangan
akhir berkenaan dengan ada atau tidaknya alasan yang meniadakan pidana,
alasan pemaaf ataupun pembenar. Kesemuanya berkenaan dengan
penilaian atas kemampuan seseorang tersebut untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya.
Berkenaan dengan pengungkapan perbuatan nyata bahwa hal ini
berkenaan dengan rumusan pidana (delik). Pengungkapan apa yang
sebenarnya terjadi di dalam proses persidangan juga penting dalam
pembentukan keyakinan majelis hakim. Ini satu elemen penting dalam
proses peradilan pidana yang harus membantu majelis mengungkap
kebenaran materiil. Dengan kata lain hakim harus memutus berdasarkan
alat bukti dan keyakinannya (beyond reasonable doubt), yakni apakah
orang tersebut bersalah atau tidak dan apakah orang tersebut dapat diminta
pertanggungjawaban pidana.
Proses peradilan pidana yang dilakukan untuk mengungkapan
kebenaran dilakukan dengan pembuktian yaitu mengajukan alat-alat bukti.
Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat
digunakan sebagai alat bukti adalah :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa;
Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan urutan pertama pada
keterangan saksi, selanjutnya keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa pada urutan terakir, menunjukkan bahwa pembuktian
(bewijsvoering) dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian.
Namun perihal nilai alat-alat bukti yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP
tetap mempunyai kekuatan bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam
menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam
proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah
ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat
bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman.
Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat
bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, maka terdakwa harus
dinyatakan bersalah dan akan dijatuhi dengan hukuman oleh hakim.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka para hakim harus selalu hati-hati,
cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah
pembuktian. Hakim harus meneliti sampai dimana batas minimun
kekuatan pembuktian atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut
dalam Pasal 184 KUHAP (M. Yahya Harahap, 1988: 793).
Memberikan kesaksian palsu sejak dulu dipandang sebagai suatu
kesalahan yang amat buruk, karena perbuatan seperti itu dapat
menyebabkan tujuan ditegakkannya hukum yang bertandaskan pada
kebenaran dan keadilan menjadi kabur. Selain itu, apabila seseorang
tersebut memberikan kesaksian yang ternyata palsu, akibatnya akan
merugikan bagi orang lain.
Dengan berbagai alasan tersebut yaitu supaya tidak ada pihak yang
dirugikan atas kesaksian palsu yang dilakukan seseorang maka terdapat
peraturan yang mengaturnya yaitu dalam Pasal 242 ayat (1) Kitab
Undang- undang Hukum Pidana ( KUHP) yang menyatakan “Barang siapa
dalam hal- hal di mana undang- undang menentukan supaya memberi
keterangan diatas sumpah, atau mengadakan akibat hukum kepada
keterangan- keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi
keterangan palsu di atas, baik dengan lisan atau tulisan, oleh-nya sendiri
maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Apabila seluruh pemeriksaan dalam sidang pengadilan selesai/telah
ditutup, maka hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil
keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa,
saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan
ruangan sidang. Pelaksanaan pengambilan keputusan sebagaimana
dimaksud, dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus
untuk keperluan itu dan isi buku tersebut bersifat rahasia (pasal 182 ayat
(7) KUHAP). Selain hal tersebut semua putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan disidang terbuka untuk
umum.
Sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib
memberitahukan kepada tedakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu
(Andi Hamzah, 2008:284):
1. Hak segera menerima atau segera menolak putusan;
2. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau
menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh
hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan
kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat
(2) KUHAP);
3. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu
yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi
dalam hal ia menerima putusan (Pasal 169 ayat (3) KUHAP jo.
Undand-Undang Grasi);
4. Hak minta banding dalam waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan
atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) KUHAP (Pasal 196
ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) KUHAP);
5. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada angka 1
(menolak putusan) dalm waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat
(1) KUHAP yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum
diputus oleh Pengadilan Tinggi, permintaan banding dapat dicabut
sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding
dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat (3)
KUHAP).
Jika pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara pidana yang
berhubungan dengan kesaksian palsu merasa tidak puas dengan putusan
Pengadilan Negeri, mereka dapat mengajukan upaya hukum untuk
mendapatkan keadilan seperti yang mereka harapkan atau mereka
inginkan. Upaya hukum selanjutnya yang harus ditempuh yaitu Upaya
hukum banding. Tujuan dari diadakannya banding yaitu, pertama untuk
menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya, dan
kedua untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu. Oleh karena
itu banding juga sering disebut revisi.
Berdasarkan putusan banding yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Tinggi apabila terdakwa dengan kuasa hukumnya merasa belum puas
maka selanjutnya dilakukan upaya hukum lain yaitu kasasi. Tujuan dari
dilakukannya upaya hukum ini adalah, pertama memperbaiki dan
meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar dapat
diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara
benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang. Kedua
disamping tindakan korelasi yang dilakukan Mahkamah Agung dalam
peradilan kasasi, ada kalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan
“hukum baru” dalam bentuk yurisprudensi. Dan yang ketiga yaitu
bertujuan untuk pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.
Sebagaimana halnya dalam pemeriksaan perkara pada sidang
Pengadilan Negeri dan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi, yang
pertama-tama diteliti ialah hal-hal yang berkenaan dengan masalah
“formal”. Jika syarat formal sudah tepat dan dipenuhi, barulah
pemeriksaan pokok perkara dapat dimasuki. Begitu pula halnya dalam
pemeriksaan kasasi. Langkah pertama yang harus diteliti Mahkamah
Agung hal-hal yang bersangkutan dengan syarat formal. Apabila syarat-
syarat formal permintaan kasasi telah sah dan dipenuhi, baru dapat
diperiksa materi perkara (Yahya Harahap, 2006:583).
Pemeriksaan perkara oleh hakim Mahkamah Agung tersebut
menggunakan berbagai pertimbangan dan penerapan hukum dalam
memutuskan perkara, sehingga putusan yang di keluarkan Mahkamah
Agung memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dalam rangka penulisan hukum skripsi dengan judul
“ANALISIS YURIDIS ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH
TERDAKWA DAN KONSTRUKSI HUKUM HAKIM MAHKAMAH
AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA
KESAKSIAN YANG DIANGGAP PALSU ( STUDI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1315 K/PID/2007 )”.
B. RUMUSAN MASALAH
Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan di
bahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka perumusan
masalah yang diangkat adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah alasan terdakwa dalam pengajuan kasasi terhadap
putusan pengadilan Negeri Makasar dalam perkara kesaksian yang
dianggap palsu?
2. Bagaimanakah konstruksi hukum Hakim Mahkamah Agung dalam
Memeriksa dan Memutus Kesaksian yang dianggap palsu ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Suatu kegiatan penelitian selalu mempunyai tujuan yang hendak
dicapai sehingga diharapkan dapat menyajikan data yang akurat, serta
mampu menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara tegas
dalam rumusan masalah. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui alasan terdakwa dalam pengajuan kasasi
terhadap putusan Pengadilan Negeri Makasar dalam perkara
kesaksian yang dianggap palsu.
b. Untuk mengetahui konstruksi hukum hakim Mahkamah Agung
dalam memeriksa dan memutus perkara kesaksian yang dianggap
palsu.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan
utama dalam menyusun penulisan hukum sebagai persyaratan
dalam mencapai gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman
aspek hukum di dalam teori dan praktek, terutama dalam bidang
hukum acara pidana yang sangat berarti bagi penulis.
c. Untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu
hukum
D. MANFAAT PENELITIAN
Dalam penelitian tentunya sangat di harapkan adanya manfaat dan
kegunaan yang dapat di ambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat
yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan
data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi
persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu
hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk memberi sumbangan pemikiran dalam mengembangkan
ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana khususnya.
c. Untuk lebih mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh
selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban permasalahan yang di teliti.
b. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis
sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
mengimplementasikan ilmu yang diperoleh.
c. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi
masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan
terkait masalah yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang
efektif dan memadai dalam hal yang berkaitan dengan kesaksian
palsu di persidangan.
d. Memberi sumbangan pemikiran khususnya yang berkaitan dengan
alasan pengajuan kasasi oleh terdakwa dan konstruksi hukum
hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus
kesaksian yang dianggap palsu.
E. METODE PENELITIAN
Metode adalah pedoman cara seorang ilmuwan mempelajari dan
memahami lingkungan- lingkungan yang dihadapi (Soerjono Soekanto,
1986:6). Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan
hukum maka digunakan metode penelitian tertentu yang sesuai. Adapun
metode penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini dapat di jelaskan
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif yang lebih
mementingkan pemahaman yang ada daripada kuantitas/banyaknya
data. (Lexy J.Moleong, 2003:3). Jadi dalam penelitian hukum
normatif, peneliti tidak perlu mencari data langsung ke lapangan,
sehingga cukup dengan mengumpulkan data-data sekunder dan
mengkonstruksikan dalam suatu rangkaian hasil penelitian.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian bersifat
preskriptif. Sebagai penelitian yang bersifat preskriptif, maka
penelitian ini mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas
aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2006:22).
Dalam penelitian ini penulis ingin memperoleh gambaran yang
lengkap dan jelas tentang alasan pengajuan kasasi oleh terdakwa dan
konstruksi hukum hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan
memutus perkara kesaksian yang dianggap palsu.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan
menggunakan pendekatan kasus (case approach) .
4. Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan dalam yang penulisan hukum ini
adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka
berupa keterangan- keterangan yang secara tidak langsung diperoleh
melalui studi kepustakaan, Peraturan perundang-undangan, seperti
KUHAP, Peraturan Kehakiman, dan peraturan perundangan lain yang
terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti, seperti putusan dan tulisan-tulisan ilmiah dan sumber-
sumber tertulis lainnya, buku- buku, literatur, dokumen resmi, hasil
penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan
dengan penelitian ini. Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian
normatif, maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder
sedangkan data primer lebih bersifat penunjang.
5. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat data suatu penelitian yang dapat
diperoleh dan yang akan digunakan dalam penelitian hukum normatif
yaitu sumber data sekunder yang meliputi bahan-bahan kepustakaan
yang dapat berupa dokumen, buku-buku, laporan, arsip dan literatur
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan
pustaka yang mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
yuridis, adapun yang penulis gunakan adalah:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
2) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP)
4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
5) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1315 K/Pid/2007
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti:
1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/ terkait dalam
penelitian ini.
2) Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
3) Buku-buku penunjang lain.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan ini berupa pengertian- pengertian
yang diperoleh dari kamus hukum dan bahan dari internet.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data
sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yang digolongkan
sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian
dipelajari, diklasifikasikan dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut
sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Penulis
mengumpulkan data sekunder darin peraturan perundang- undangan,
karangan ilmiah, dokumen resmi, serta pengumpulan data melelui
media internet.
7. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan
logika deduktif. Dalam hal ini sumber penelitian yang diperoleh dalam
penelitian ini dengan menggunakan inventarisasi sekaligus mengkaji
dari penelitian studi kepustakaan, aturan perundang- undangan beserta
dokumen- dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait,
kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk
menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik
kesimpulan dari suber penelitian yang diolah sehingga pada akhirnya
dapat diketahui alasan pengajuan kasasi oleh terdakwa dan konstruksi
hukum hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus
perkara kesaksian yang dianggap palsu.
Menurut Philipus M.Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter
Mahmud metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh
Aristoteles pengunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan
premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis
minor (bersifat khusus) dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu
kesipulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 47).
Didalam logika silogistik untuk penalaran umum yang bersifat premis
mayor adalah aturan hukuk sedangkan premis minornya adalah fakta
hukum. Sedangkan menurut Johny Ibrahim, mengutip pendapat
Bernard Arief Shiharta logika deduktif merupakan suatu tekhnik
untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus
yang bersifat individual (Jhony Ibrahim, 2008:249)
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum,
maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun
sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab
terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan
pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika
keseluruhan hasil penelitian hukum ini dalah sebagai berikut:
BAB 1 : PENDAHULUAN
Bab ini penulis berusaha memberi gambaran awal tentang
penelitian yang meliputi latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
dan sistematika penulisan hukum yang digunakan untuk
memberikan pemahaman terhadap isi penelitian ini secara garis
besar.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraiakan mengenai dua hal yaitu, yang
pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta
mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam
penulisan hukum ini, yang meliputi: Pertama mengenai Tinjauan
Tentang Kasasi meliputi, pengertian kasasi, putusan yang dapat
dikasasi, alasan kasasi, tata cara pemeriksaan kasasi, dan putusan
Mahkamah Agung. Kedua, Tinjauan Tentang Konstruksi Hukum
Hakim Mahkamah Agung Dalam Memeriksa dan Memutus
Perkara. Ketiga, Tinjauan Umum Tentang Kesaksian Palsu.
Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka
dalam bab ini juga disertai dengan kerangka pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam hal ini penulis membahas dan menjawab permasalahan
yang telah ditentukan sebelumnya yaitu apa alasan pengajuan
kasasi oleh terdakwa dan konstruksi hukum hakim Mahkamah
Agung dalam memeriksa dan memutus kesaksian yang dianggap
palsu.
BAB IV : PENUTUP
Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang
simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan
permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan
atas permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KERANGKA TEORI
1. Tinjauan Tentang Kasasi
a. Pengertian Kasasi
Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis. Kata
asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan
hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan.
Semula berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut
conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan
Perancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya
menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan
antara yang menjembatani pembuat undang-undang dan
kekuasaan kehakiman.
Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru pula di negeri
Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia. Pada
asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi
kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui
kekuasaan kehakimannya. Arti kekuasaan kehakiman itu
ditafsirkan secara luas dan sempit. Yang menafsirkan secara
sempit ialah D. Simons yang mengatakan jika hakim memutus
suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut
kekuasaan kehakiman. Dalm arti luas misalnya, jika hakim
pengadilan tinggi memutus padahal hakim pertama telah
membebaskan (Andi Hamzah, 2008:297-298).
b. Putusan Yang Dapat Diajukan Kasasi
Menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP putusan perkara
yang dapat diajukan permohonan kasasi adalah semua putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
15
pengadilan kecuali terhadap putusan Mahkamah Agung sendiri
dan putusan bebas.
1) Terhadap Semua Putusan Pengadilan Negeri dalam Tingkat
Pertama dan Tingkat Terakhir
Artinya, jenis perkara yang diputus oleh pengadilan
Negeri yang dalam kedudukannya sekaligus sebagai
peradilan tingkat pertama dan terakhir, yang terhadap
putusan tidak dapat diajukan permohonan banding. Jenis
perkara yang diputus dalam tingkat pertama dan terakhir
oleh Pengadilan Negeri ialah perkara-perkara yang diperiksa
dengan acara pemeriksaan cepat .
2) Terhadap Semua Putusan Pengadilan Tinggi yang
Diambilnya pada Tiungkat Banding
Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang dapat
diajukan permohonan banding, dan terhadap putusan itu
diajukan permohonan banding serta Pengadilan Tinggi telah
mengambil putusan pada tingkat banding, terhadap
putusannn banding tersebut dapat diajukan kasasi.
Putusan diataslah yang dikualifikasikan sebagai putusan
pengadilan “tingkat terakhir” yaitu setiap putusan yang
diambil atau dijatuhkan pengadilan; baik oleh Pengadilan
Negeri yang menurut ketentuan undang-undang sekaligus
bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir,
maupun terhadap putusan yang dijatuhkan Pengadilan
Tinggi dalam tingkat banding. Dalam putusan-putusan yang
demikian terkandung pengertian makna “putusan tingkat
terakhir” oleh pendadilan lain selain daripada Mahkamah
Agung.
3) Tentang Putusan Bebas
Berdasarkan ketentuan Pasal 244 KUHAP, tehadap
putusan bebas tidak dapat diajukan permohonan kasasi.
Akan tetapi, kenyataan praktek, larangan pasal 244 tersebut
telah disingkirkan oleh Mahkamah Agung secara contra
legem. Mengenai hal ini sudah dibicarakan baik pada ulasan
yang berhubungan dengan putusan bebas dikaitkan dengan
upaya banding dan kasasi maupun pada pendahuluan uraian
kasasi. Dalam uraian dimaksud secara panjang lebar sudah
dijelaskan:
a) Permohonan banding terhadap putusan bebas, mutlak
tidak dapat diajukan. Jadi, dengan dalih dan alasan
apapun, permohonan banding terhadap putusan bebas
mutlak tidak dapat diajukan. Hal ini sesuai dengan pasal
67 KUHAP. Nyatanya praktek peradilan sampai pada
saat ini, masih berpegang teguh secara murni dan
konsekuen terhadap Pasal 67 tersebut.
b) Permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas
dapat diajukan. Inilah yang kita jumpai dalam kenyataan
praktek peradilan, telah dengan sengaja menyingkirkan
Pasal 244. Apa yang telah dilarang Pasal itu telah
dibenarkan dalam kenyataan praktek. Hal ini jelas-jelas
merupakan contra legem, yakni praktek dan penerapan
hukum yang secara terang-terangan “bertentangan
dengan undang-undang”(Yahya Harahap,2006:534).
c. Alasan Kasasi
Alasan pengajuan kasasi terbagi menjadi dua yaitu alasan
kasasi yang dibenarkan undang-undang dan alasan kasasi yang
tidak dibenarkan undang-undang.
1) Alasan Kasasi Yang Dibenarkan Menurut Undang-Undang
Alasan kasasi yang sudah ditentukan secara “limitatif”
dalam Pasal 253 ayat (1). Pemeriksaan kasasi dilakukan
Mahkamah Agung berpedoman kepada alasan-alasan
tersebut. Sejalan dengan itu, pemohon kasasi harus
mendasarkan keberatan-keberatan kasasi bertitik tolak dari
alasan yang disebutkan Pasal 253 ayat (1). Yang harus
diutarakan dalam memori kasasi ialah keberatan atas putusan
yang dijatuhkan pengadilan kepadanya, karena isi putusan
itu mengandung kekeliruan atau kesalahan yang tidak
dibenarkan oleh Pasal 253 ayat (1).
Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat
dibenarkan Pasal 253 ayat (1) terdiri dari:
a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan
atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan
menurut ketentuan undang-undang;
c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya.
Ketiga hal ini keberatan kasasi yang dibenarkan undang
–undang sebagai alasan kasasi. Di luar ketiga alasan ini,
keberatan kasasi ditolak karena tidak dibenarkan undang-
undang. Penentuan alasan kasasi yang limitatif dengan
sendirinya serta sekaligus “membatasi” wewenang
Mahkamah Agung memasuki pemeriksaan perkara dalam
tingkat kasasi, terbatas hanya meliputi kekeliruan pengadilan
atas ketiga hal tesebut. Di luar ketiga hal itu, undang-undang
tidak membenarkan Mahkamah Agung menilai dan
memeriksanya. Oleh karena itu, bagi seseorang yang
mengajukan permohonan kasasi, harus benar-benar
memperhatikan keberatan kasasi yang disampaikan dalam
memori kasasi, agar keberatan itu dapat mengenai sasaran
yang ditentukan Pasal 253 ayat (1) . Menyimpang dari
makna dan jiwa yang terkandung dari ketiga alasan tadi,
tidak diperhatikan dan tidak dibenarkan Mahkamah Agung.
Sedapat mengkin pemohon kasasi dapat memperlihatkan
dalam memori kasasi bahwa putusan pengadilan yang
dikasasi mengandung:
a) Kesalahan penerapan hukum
b) Atau pengadilan dalam mengadili dan memutus perkara
tidak melaksanakan cara mengadili menurut ketentuan
undang-undang
c) Atau pengadilan telah melampaui batas wewenangnya,
baik hal itu mengenai wewenang absoulut maupun relatif
atau pelampauan wewenang dengan cara memasukkan
hal-hal yang nonyuridis dalam pertimbangannya.
2) Alasan Kasasi Yang Tidak Dibenarkan Undang-Undang
a) Keberatan Kasasi Putusan Pengadilan Tinggi
Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri
Alasan kasasi yang memuat keberatan, putusan
Pengadilan Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup
menguatkan putusan Pengadilan Negeri, tidak dapat
dibenarkan dalam pemeriksaan kasasi,. Percuma
pemohon kasasi mengajukan alasan keberatan yang
demikian, sebab seandainya Pengadilan Tinggi
menguatkan putusan serta sekaligus menyetujui
perimbangan Pengadilan Negeri, hal itu:
(1) Tidak merupakan kesalahan penerapan hukum, dan
tidak merupakan pelanggaran dalam melaksanakan
peradilan menurut ketentuan undang-undang serta
tidak dapat dikategorikan melampaui batas
wewenang yang ada padanya:
(2) Malahan tindakan Pengadilan Tinggi menguatkan
putusan Pengadilan Negeri, masih dalam batas
wewenang yang ada padanya, karena berwenang
pennuh menguatkan dan mengambil alih putusan
Pengadilan Negeri yang dianggap telah tepat.
b) Keberatan Atas Penilaian Pembuktian
Keberatan kasasi atas penilaian pembuktian termasuk
di luar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1).
Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak berhak
menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Hal ini
berbeda dengan kesalahan penerapan hukum
pembuktian, kesalahan penerapan hukum pembuktian
bukan atau tidak merupakan penilaian pembuktian. Oleh
karena itu, keberatan tersebut “dapat dibenarkan” dalam
tingkat kasasi.
c) Alasan Kasasi Yang Bersifat Pengulangan Fakta
Alasan kasasi yang sering dikemukakan pemohon
ialah “pengulangan fakta”, padahal sudah jelas alasan
kasasi seperti ini tidak dibenarkan undang-undang. Arti
pengulangan fakta ialah mengulang-ulang kembali hal-
hal dan peristiwa yang telah pernah dikemukakannya
baik dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri
maupun dalam memori banding. Isi memori kasasi yang
diajukan hanya mengulang kembali kejadian dan
keadaan yang telah pernah dikemukakannya pada
pemeriksaan Pengadilan Negeri, pemohon telah
mengemukakan keadaan dan fakta-fakta. Kemudian hal
itu kembali lagi diutarakannya dalam memori kasasi
menjadi alasan kasasi. Keberatan kasasi yang seperti ini,
tidak dibenarkan undang-undang, dan Mahkamah Agung
menganggapnya sebagai pengulangan fakta yang tidak
perlu dipertimbangkan dalam tingkat kasasi.
d) Alasan Yang Tidak Menyangkut Persoalan Perkara
Alasan yang seperti ini pun sering dikemukakan
pemohon dalam memori kasasi, mengemukakan
keberatan yang menyimpang dari apa yang menjadi
pokok persoalan dalam putusan perkara yang
bersangkutan. Keberatan kasasi yang seperti ini dianggap
irrelevant karena berada diluar jangkauan pokok
permasalahan atau dianggap tidak mengenai masalah
pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus
pengadilan.
e) Berat Ringannya Hukuman atau Besar Kecilnya Jumlah
Denda
Keberatan semacam ini pun pada prinsipnya tidak
dapat dibenarkan undang-undang, sebab tentang berat
ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan maupun
tentang besar kecilnya jumlah denda adalah wewenang
pengadilan yang tidak takhluk pada pemeriksaan tingkat
kasasi.
f) Keberatan Kasasi Atas Pengembalian Barang Bukti
Alasan kasasi semacam ini pun tidak dapat
dibenarkan. Pengembalian barang bukti dalam perkara
pidana adalah wewenang pengadilan yang tidak tahluk
pada pemeriksaan kasasi. Pengadilan sepenuhnya berhak
menentukan kepada siapa barang bukti dikembalikan.
g) Keberatan Kasasi Mengenai Novum
Suatu prinsip yang juga perlu diingat dalam masalah
keberatan kasasi harus mengenai hal-hal yang telah
“pernah diperiksa” sehubungan dengan perkara yang
bersangkutan, baik dalam sidang Pengadilan Negeri
maupun dalam tingkat banding. Berarti suatu hal yang
diajukan dalam keberatan kasasi, padahal hal itu tidak
dapat diperiksa dan diajukan baik pada pemeriksaan
sidang Pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan
tingkat banding , tidak dapat dibenarkan karena tidak
takhluk pada pemeriksaan kasasi. Pengajuan hal seperti
ini dalam keberatan kasasi dianggap “hal baru” atau
“novum”.
d. Tata Cara Pemeriksaan kasasi
Tidak banyak masalah yang menyangkut tata cara
pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi. Garis besarnya diatur
pada Pasal 253 ayat (2) dan (3)
1) Pemeriksaan dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga
orang hakim
Majelis yang paling kecil pada lembaga Mahkamah
Agung terdiri dari sekurang-kurangnya 3 orang Hakim
Agung. Sedang majelis besar terdiri dari semua Hakim
Agung yang disebut full chamber atau en banc. Namun,
dalam melaksanakan tugas peradilan sehari-hari dalam
memeriksa perkara kasasi, tidak selamanya dilakukan oleh
majelis lengkap. Jika perkara kasasi sederhana, cukup
diperiksa dan diputus oleh majelis kecil, yang terdiri dari 3
orang hakim. Salah seorang diantaranya bertindak sebagai
“ketua majelis” sedang yang dua orang berkedudukan
sebagai “hakim anggota” Jika dianggap perlu, terutama
untuk memeriksa dan memutus perkara tertentu yang
dianggap memerlukan pemikiran dan pendapat yang matang,
dapat dibentuk majelis yang terdiri dari 5 atau 7 orang
hakim. Tapi dalam kenyataan sekarang, jarang tejadi
pembentukan majelis yang demikian. Apalagi majelis
paripurna lebih “insidentil” sifatnya.
2) Pemeriksaan berdasar berkas perkara
Pemeriksaan perkara pada peradilan kasasi pada
umumnya tidak langsung secara lisan. Berbeda dengan tata
cara pemeriksaan perkara pada tingkat Pengadilan Negeri.
Di Pengadilan Negeri sidang pemeriksaan perkara dilakukan
secara langsung dalam suatu ruang sidang dengan
caramenghadirkan terdakwa dan saksi-saksi serta dihadiri
penuntut umum maupun penasehat hukum. Jelasnya,
pemeriksaan dilakukan secara lisan.
Lain halnya pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi.
Pemeriksaan dilakukan tanpa dihadiri tedakwa, saksi dan
penuntut umum. Memang seandainya ada urgensi dan
relevansi, secara kasuistik Mahkamah Agung dapat
melakukan pemeriksaan langsung mendengar keterangan
saksi dan atau terdakwa (hearing) dalam ruang sidang yang
lengkap dihadiri tedakwa, penuntut umum, penasehat
hukum, dan saksi-saksi, seperti jalannya pemeriksaan di
sidang Pengadilan Negeri, tapi jarang terjadi dalm praktek.
Kalau begitu, dasar pemeriksaan perkara kasasi menurut
Pasal 253 ayat (2) bersumber dari “berkas perkara” yang
diterima Mahkamah Agung dari Pengadilan, yang terdiri
dari:
a) Berita acara pemeriksaan dari penyidik,
b) Berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan,
c) Semua surat-surat yang timbul di persidangan yang ada
hubungannya dengan perkara,
d) Putusan pengadilan pertama, dan
e) Atau putusan tingkat terakhir.
Itulah yang menjadi bahan pemeriksaan perkara dalam
tingkat kasasi, berkas perkara, terutama putusan tingkat
banding. Apakah putusan itu benar-benar sesuai dengan
berita acara dan surat-surat yang ada, serta apakah dalam
putusan itu ada kesalahan penerapan hukum. Masing-masing
anggota majelis membuat dan menyimpulkan pendapat,
untuk dibahas dan dipertemukan dalam musyawarah majelis
menjadi putusan.
3) Pemeriksaan tambahan
Tidak selamanya pemeriksaan perkara pada tingkat
pertama dan tingkat banding telah tuntas dilakukan. Sering
dijumpai kekurangan pemeriksaan yang dianggap sangat
penting dan menentukan dalam mengambil putusan. Maksud
pemeriksaan tambahan bertujuan untuk menambah dan
melengkapi pemeriksaan yang dianggap perlu. Mungkin
sesuatu yang dianggap pengadilan tidak penting dan
diabaikan, dianggap penting oleh Mahkamah Agung.
a) Pemeriksaan tambahan didasarkan atas putusan sela
Untuk memungkinkan terjadi pemeriksaan tambahan
Mahkamah Agung menempuh proses pengeluaran
“putusan sela” Putusan sela ialah putusan yang diambil
sebelum putusan akhir, yang bertujuan untuk menambah
kelengkapan keterangan dalam mengambil putusan
akhir. Putusan sela sama sekali belum menyelesaikan
perkara secara tuntas. Tuntasnya penyelesaian putusan
perkara, baru diambil setelah diterima kembali berita
acara hasil pemeriksaan tambahan, dengan acuan
penerapan:
(1) Mahkamah Agung mengeluarkan putusan sela.
Di dalam putusan sela ditentukan secara rinci apa
saja yang hendak diperiksa, yang dituangkan
Mahkamah Agung dalam amar putusan. Berpedoman
pada rincian itulah pemeriksaan tambahan dilakukan
oleh Pengadilan Negeri. Putusan sela dilampirkan
dalam berkas perkara semula, untuk selanjutnya
dikirimkan kembali kepada Pengadilan Negeri.
(2) Pemeriksaan tambahan dilakukan dalam sidang
sebagaimana halnya proses pemeriksaan biasa.
Dengan adanya putusan sela yang memerintahkan
pemeriksaan tambahan, Pengadilan yang
diperintahkan membuka dan mengadakan lagi
pemeriksaan perkara dalam suatu persidangan seperti
halnya proses pemeriksaan biasa.
Seandainya Mahkamah Agung dengan putusan sela
memerintahkan Pengadilan Negeri untuk melakukan
pemeriksaan tambahan, segera setelah penerimaan
putusan sela:
(a) Ketua Pengadilan Negeri segera mengeluarkan
penetapan penunjukan hakim majelis yang akan
bertindak melakukan pemeriksaan tambahan.
(b) Atas dasar penunjukan penetapan tadi, majelis
tersebut menetapkan hari sidang pemeriksaan
tambahan serta memerintahkan penuntut umum
untuk menghadirkan terdakwa maupun saksi-
saksi atau barang bukti jika memang itu
diperlukan dalam pemeriksaan tambahan
dimaksud.
(c) Berita acara pemeriksaan tambahan
Semua peristiwa maupun keadaan yang terjadi
serta keterangan yang diberikan oleh terdakwa
dan saksi-saksi dalam sidang pemeriksaan
tambahan, dicatat panitera dalam berita acara
pemeriksaan yang disebut “berita acara
pemeriksaan tambahan”.
Apabila majelis hakim yang melakukan pemeriksaan
tambahan menganggap telah dengan sempurna
memenuhi pemeriksaan tambahan sebagaimana
yang diperintahkan dalam putusan sela, sidang
pemeriksaan tambahan ditutup.Dan setelah
ditandatangani oleh ketua majelis dan panitera,
berita acar pemeriksaan tambahan dilampirkan
dalam berkas perkara untuk segera dikirimkan
kembali kepada Mahkamah agung.
(3) Majelis hakim yang melakukan pemeriksaan
tambahan hanya membuat berita acara pemeriksaan
tambahan saja. Hasil pemeriksaan tambahan yang
tercatat dalam berita acara dikirimkan kepada
Mahkamah Agung dengan jalan melampirkan dalam
berkas perkara semula.
(4) Pengadilan yang diperintah melakukan pemeriksaan
tambahan, tidak mengambil putusan atas hasil
pemeriksaan tambahan. Putusabn dahululah yang
tetap berlaku, menjadi bahan pemeriksaan
Mahkamah Agung, ditambah dengan hasil
pemeriksaan tambahan.
b) Mahkamah agung sendiri dapat melaksanakan
pemeriksaan tambahan.
Secara yuridis formal undang-undang memberi
kemungkinan bagi Mahkamah Agung untuk
melaksanakan sendiri sidang pemeriksaan tambahan.
Jika demikian yang akan ditempuh Mahkamah Agung,
dalam putusan sela yang dikeluarkannya, Mahkamah
Agung sendiri memerintahkan dirinya untuk melakukan
pemeriksaan tambahan dengan cara menunjuk langsung
dalam putusan sela majelis hakim yang akan bertindak
melakukan pemeriksaan tambahan. Dapat diduga, akan
lebih sempurna dan lebih tepat sasaran jika Mahkamah
Agung sendiri yang mellakukan pemeriksaan tambahan,
sehingga hasil pemeriksaan lebih mendekati sasaran.
4) Tenggang waktu pemeriksaan perkara yang terdakwanya
berada dalam tahanan.
Berdasar pasal 253 ayat (5) huruf b, apabila Mahkamah
agung mengeluarkan penetapan perintah penahanan terhadap
terdakwa, dalam waktu 14 hari sejak dikeluarkan penetapan,
Mahkamah Agung “wajib” memeriksa perkara tersebut.
Berdasar ketentuan ini¸undang-undang membedakan
tenggang waktu pemeriksaan antara perkara yang
“terdakwanya ditahan” dengan yang “tidak ditahan”.
Terhadap perkara kasasi yang terdakwanya ditahan, undang-
undang mewajibkan Mahkamah Agung untuk memeriksa
dalam waktu 14 hari dari tanggal penetapan perintah
penahanan dikeluarkan. Sedang pemeriksaan kasasi yang
terdakwanya tidak ditahan, undang-undang tidak
menentukan tenggang waktu pemeriksaan. “Prioritas”
mendahulukan serta membatasi tenggang waktu
pemeriksaan kasasi yang terdakwanya berada dalam tahanan
“wajar dan beralasan”, terutama untuk menghindari
berakhirnya masa tahanan sebelum perkaranya diputus.
Apabila terjadi hal yang demikian, mau tidak mau terdakwa
mesti dikeluarkan dari tahanan “demi hukum”, sekalipun
perkaranya belum diputus.
e. Putusan Mahkamah Agung
Berdasarkan Pasal 254, bentuk putusan Mahkamah Agung
dalam tingkat kasasi hanya terdiri dari: menolak permohonan
kasasi atau mengabulkan permohonan kasasi. Ini memeng benar
jika semata-mata ditinjau dari segi putusan tentang hukumnya
atau mengenai pokok materi perkara. Akan tetapi jika masalah
putusan ditinjau dari segi yang lebih luas, bukan saja dari
putusan mengenai pokok materi perkara, tapi juga meliputi
putusan dari segi formal maupun dari segi putusan berdasar cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang
maka bentuk putusan yang dapat dijatuhkan Mahkamah Agung
tidak hanya terdiri dari bentuk putusan yang dicantumkan dalam
Pasal 254 saja. Oleh karena itu, tanpa mengurangi bentuk
putusan yang disebut dalam pasal 254, maka akan ditinjau lebih
luas dari yang diatur Pasal 254 tersebut, yaitu antara lain:
1) Menyatakan kasasi tidak dapat diterima
Salah satu bentuk putusan Mahkamah Agung, berisi
amar “menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima”.
Putusan ini dijatuhkan dalam tingkat kasasi, apabila
permohonan kasasi yang diajukan “tidak memenuhi syarat-
syarat formal” yang diatur dalam Pasal 244, Pasal 245, dan
pasal 248 ayat (1). Dan sepanjang pengamatan, formal yang
sering tidak dipenuhi pemohon kasasi kebanyakan berkisar
pada keterlambatan mengajukan permohonan kasasi,
permohonan kasasi yang tidak dilengkapi dengan memori
kasasi, serta memori kasasi terlambat diserahkan. Jarang
dijumpai kekurangan syarat formal yang dikarenakan
permohonan kasasi diajukan oleh orang yang tidak berhak
untuk itu.
2) Putusan menolak permohonan kasasi
Pada prinsipnya penolakan permohonan kasasi
diikarenakan hal-hal berikut:
a) Putusan pengadilan yang dikasasi sudah tepat penerapan
hukumnya sesuai dengan yang semestinya, dan tata cara
mengadilinya pun telah dilaksanakan sesuai dengan cara
mengadili perkara menurut ketentuan undang-undang
serta pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara
tidak melampaui batas wewenang. Ini berarti alasan dan
keneratan yang diajukan pemohon dalam risalah kaasi,
sama sekali tak mampu menunjukkan adanya dalam
putusan itu hal-hal yang bertentangan dengan Pasal 253
ayat (1).
b) Atau Mahkamah Agung menilai dan berpendapat
putusan pengadilan yang dikasasi sudah tepat dan tidak
ada hal-hal yang bertentangan dengan Pasal 253 ayat (1).
3) Mengabulkan permohonan kasasi
Mengabulkan permohonan kasasi dalam praktek
penradilan sering juga disebut “menerima” atau
“membenarkan” permohonan kasasi. Putusan yang
mengabulkan atau membenarkan permohonan kasasi,
kebalikan dari putusan yang menolak permohonan kasasi.
Berarti putusan pengadilan yang dikasasi “dibatalkan” oleh
Mahkamah Agung atas alasan putusan pengadilan yang
dikasasi mengandung pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
253 ayat (1) .
Begitu pada prinsipnya, setiap pengabulan permohonan
kasasi, dengan sendirinya diiringi dengan “pembatalan
putusan yang dikasasi”. Akan tetapi ada juga penyimpangan
atas prinsip tersebut. Adakalanya pengabulan permohonan
kasasi tidak selamanya diiringi dengan tindakan
pembataklan, karena apa yang dikabulkan tidak sampai
bersifat membatalkan putusan, tapi “cukup diperbaiki” oleh
Mahkamah Agung.
Selanjutnya mengenai pengabulan permohonan kasasi
yang mempunyai “intensitas” dan “kualitas” membatalkan
putusan pengadilan, artinya kesalahan yang terdapat dalam
putusan penadilan yang dikasasi itu, tidak dapat diperbaiki.
Akan tetapi, mesti dibatalkan karena kesalahan yang
terdapat didalamnya sedemikian rupa beratnya, dan satu-
satunya cara untuk meluruskan kesalahan itu hanya
membatalkan. Tentang alasan pembatalan yang dijadikan
Mahkamah Agung titik tolaknnya adalah Pasal 253 ayat (1).
2. Tinjauan Tentang Konstruksi Hukum Hakim Mahkamah
Agung Dalam Memeriksa Dan Memutus Perkara
Konstruksi Hukum / Komposisi Hukum (Rechtsconstructie)
Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus perkara antara
lain yaitu:
a. Konstruksi Analogi (argumentum per analogian)
Analogi adalah proses konstruksi yang dilakukan dengan
cara mencari rasio ledis (genus) dari suatu undang-undang dan
kemudian menerapkannya kepada hal-hal lain yang sebenarnya
tidak diatur oleh undang-undang itu.
Dalam analogi, hakim memasukkan suatu perkara ke
dalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan
yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan
perkara yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan adanya
kesamaan unsur dengan perkara atau fakta-fakta yang dapat
diselesaikan langsung oleh peraturan perundang-undangan yang
sudah ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim kemudian
memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada
pada perkara yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain,
penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada
dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur
dengan ketentuan hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk
perwujudannya (bentuk hukum) lain.
Penerapan hukum dengan analogi hanya dapat dilakukan
dalam kasus-kasus hukum perdata. Hukum pidana tidak
mengenal analogi karena hal demikian bertentangan dengan asas
pokok hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa ketentuan
perundang-undangan yang menetapkannya terlebih dahulu”
(nullum crimen sine lege). Karena di dalam pidana jika
digunakan konstruksi analogi akan menciptakan delik baru.
Maka dengan konstruksi analogi, seorang ahli hukum
memasukkan suatu perkara kedalam lingkup pengaturan suatu
peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dibuat
untuk menyelesaian perkara yang bersangkutan.
b. Konstruksi Penghalusan Hukum (rechtsverfijning)
Seorang ahli hukum beranggapan bahwa dalam
menyelesaikan suatu perkara, peraturan perundang-undangan
yang ada dan yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan
perkara, ternyata tidak dapat digunakan.
Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum
tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan
yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya
tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak
dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan
bentuk kebalikan dari konstruksi analogi, sebab bila di satu
pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan
perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum
justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan
perundang-undangan (bersifat restriktif).
c. Argumentum a Contrario
Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan
perundang-undangan yang ada seperti pada kegiatan analogi,
yaitu menerapkan suatu peraturan pada perkara yang sebenarnya
tidak dimaksudkan untuk diselesaikan oleh peraturan itu.
Perbedaannya adalah dalam analogi hakim akan menghasilkan
suatu kesimpulan yang positif, dalam arti bahwa ia menerapkan
suatu aturan pada masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan
pada konstruksi Argumentum a Contrario hakim sampai pada
kesimpulan yang negatif, artinya ia justru tidak mungkin
menerapkan aturan tertentu dalam perkara yang sedang
dihadapinya.
d. Fiksi Hukum.
Adalah metode penemuan hukum yang mengemukakan
fakta-fakta baru kepada kita, sehingga tampil personifikasi baru
dihadapi kita (Satjipto Raharjo, 1982: 136).
contoh : dengan fiksi bahwa setiap orang dianggap mengetahui
hukum yang berlaku sekalipun ia buta huruf atau tidak
mengetahuinya sama sekali, berarti ia tetap diatur oleh hukum;
contoh Pasal 372 “barang siapa dengan sengaja dan melawan
hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian
adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena
penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Dalam hal ini seseorang sekalipun tidak pernah mengetahui
tentang aturan pasal tersebut, ketika ia melakukannya maka ia
dikenakan sanksi. Karena dianggap telah mengetahui aturan
yang berlaku
3. Tinjauan Tentang Kesaksian Palsu
Sebuah kesaksian palsu juga dikenal sebagai sumpah palsu
yaitu mengacu pada kesaksian yang diberikan dibawah sumpah
yang tidak benar atau tidak sepenuhnya benar. Tindak pidana
kesaksian palsu ini adalah tindak pidana yang diancam dengan
penjara atau denda yang berat jika dinyatakan bersalah. Kesaksian
palsu tidak termasuk informasi yang salah yang tidak berkaitan
langsung dengan hasil kasus tersebut (diakses dari
http://translate.googleuser)
Peraturan yang mengatur tentang kesaksian palsu yaitu Kitab
Undang- undang Hukum Pidana ( KUHP) Pasal 242 ayat (1) yaitu
“Barangsiapa dalam hal- hal di mana undang- undang menentukan
supaya memberi keterangan diatas sumpah, atau mengadakan
akibat hukum kepada keterangan- keterangan yang demikian,
dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas, baik dengan
lisan atau tulisan, oleh-nya sendiri maupun oleh kuasanya yang
khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun”.
Menurut perspektif islam memberikan kesaksian adalah suatu
tugas wajib. Yang mana menurut para ulama kesaksian merupakan
kewajiban kolektif dimana jika dilakukan oleh sejumlah orang
yang cukup, seluruh masyarakat dibebaskan dari kewajiban tercela.
Akan tetapi berdasarkan syariah kesaksian yang diberikan harus
didasarkan pada pengetahuan, kejelasan, dan kepercayaan. Untuk
memberikan kesaksian mengenai suatu hal dimana seseorang tidak
memiliki pengetahuan, atau untuk sengaja bersaksi dengan
kebalikan dari apa yang diketahui sebagai kebanaran itu dianggap
sebagai suatu dosa yang besar.
Memberikan kesaksian palsu adalah untuk menggambarkan
suatu yang bertentangan dengan bentuk kebenaran. Memberikan
kesaksian palsu memiliki banyak kejahatan untuk mendukung
dusta terhadap kebenaran dan memberikan dukungan untuk
ketidakadilan dan agresi terhadap keadilan. Hal tersebut juga
berbahaya bagi keselamatan dan keamanan publik (diakses dari
http://translate.googleuser)
B. KERANGKA PEMIKIRAN
PERTIMBANGAN
PROSES PERADILAN
PENGAJUAN KASASI
PUTUSAN
PERKARA KESAKSIAN
PALSU
PENEGAKAN HUKUM
TERHADAP
PELANGGARAN HUKUM
PENERAPAN
HUKUM
PUTUSAN
KASASI
IMPLIKASI
NEGARA HUKUM
KONSTRUKSI HUKUM
HAKIM MA
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum,
sebagai negara hukum Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk
menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi
warga negaranya. Konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideologi
oleh suatu negara adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang
dilakukan oleh warga negara indonesia, maka hukum juga wajib
memberikan timbal balik terhadap negara yang menerimanya sebagai
ideologi, dengan cara memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-
kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Bukti konkrit dari hukum yang mengikat dan mengatur setiap
tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia adalah setiap warga
negara yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan harus mendapatkan proses peradilan untuk mempertanggung
jawabkan perbuatan yang telah dilakukannya tersebut. Tujuan umum dari
proses peradilan pidana tidaklah semata-mata menjatuhkan hukuman.
Keseluruhan proses pemeriksaan ditujukan pada pengungkapan kebenaran
materiil. Penting dalam keseluruhan proses persidangan adalah
mengungkap apa yang sesungguhnya telah terjadi dan mengapa itu terjadi.
Proses peradilan pidana dalam pengungkapan kebenaran dilakukan
dengan pembuktian yaitu mengajukan alat-alat bukti berupa keterangan
saksi (termasuk korban), keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa. Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana, perihal
pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang
terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana,
khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan
yang dilakukan seseorang. Memberikan keterangan palsu sejak dulu
dipandang sebagai suatu kesalahan yang amat buruk, karena perbuatan
seperti itu dapat menyebabkan tujuan ditegakkannya hukum yang
bertandaskan pada kebenaran dan keadilan menjadi kabur. Selain itu,
apabila seseorang tersebut memberikan keterangan yang ternyata palsu,
akibatnya akan merugikan bagi orang lain.
Apabila seluruh pemeriksaan dalam sidang pengadilan selesai/telah
ditutup, maka hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil
keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa,
saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan
ruangan sidang. Pelaksanaan pengambilan keputusan sebagaimana
dimaksud, dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus
untuk keperluan itu dan isi buku tersebut bersifat rahasia (pasal 182 ayat
(7) KUHAP). Selain hal tersebut semua putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan disidang terbuka untuk
umum.
Jika pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara pidana yang
berhubungan dengan kesaksian palsu merasa tidak puas dengan putusan
Pengadilan Negeri, mereka dapat mengajukan upaya hukum untuk
mendapatkan keadilan seperti yang mereka harapkan atau mereka
inginkan. Upaya hukum selanjutnya yang harus ditempuh yaitu Upaya
hukum banding. Tujuan dari diadakannya banding yaitu, pertama untuk
menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya, dan
kedua untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu. Oleh karena
itu banding juga sering disebut revisi.
Berdasarkan putusan banding yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Tinggi apabila terdakwa dengan kuasa hukumnya merasa belum puas
maka selanjutnya dilakukan upaya hukum lain yaitu kasasi. Tujuan dari
dilakukannya upaya hukum ini adalah, pertama memperbaiki dan
meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar dapat
diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara
benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang. Kedua
disamping tindakan korelasi yang dilakukan Mahkamah Agung dalam
peradilan kasasi, ada kalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan
“hukum baru” dalam bentuk yurisprudensi. Dan yang ketiga yaitu
bertujuan untuk pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.
Pemeriksaan kasasi oleh hakim Mahkamah Agung tersebut
menggunakan berbagai pertimbangan dan penerapan hukum dalam
memutuskan perkara, sehingga putusan yang di keluarkan Mahkamah
Agung memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Alasan Pengajuan Kasasi oleh Terdakwa terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Makasar dalam Perkara Kesaksian yang Dianggap Palsu
1. Kasus Posisi
Kasus kesaksian yang dianggap palsu di Makassar ini bermula pada kasus
perdata yaitu, H. M. Yunus Pasalele menjadi penggugat dalam perkara
perdata melawan saksi korban Rizal Tadiawan, objek dari sengketa ini adalah
tanah seluas 16.000 M2 yang terletak di kelurahan Cambaya, Kecamatan
Ujung Tanah Makasar. Gugatan tersebut mendapatkan putusan No: 51/Pts.
Pdt. G/1994/PN. Uj. Pdg pada tanggal 27 Desember tahun 1994 yang amarnya
dalam pokok perkara menyatakan bahwa gugatan penggugat ditolak
seluruhnya, sehingga terdakwa mengajukan upaya banding di Pengadilan
Tinggi Ujung Pandang yang mana perkara tersebut telah diputus oleh
Pengadilan Tinggi dengan No Putusan: 438/PDT/1994/PT. Uj. Pdg tanggal 20
Juli 1995 yang amarnya menyatakan mengabulkan gugatan penggugat
konvensi pembanding untuk sebagian, menyatakan bahwa tanah sengketa
adalah milik sah penggugat konpensi pembanding, sehingga saksi Rizal
Tandiawan sebagai tergugat, mengajukan upaya hukum kasasi dan ternyata
Mahkamah Agung dalam putusannya No: 3252 K/Pdt/1995 tanggal 5
September 1996 dengan amarnya yaitu menolak seluruh gugatan penggugat,
terdakwa kemudian melakukan upaya hukum peninjauan kembali dan dalam
permohonan peninjauan kembali itu Yunus Pasele menggunakan 2 buah bukti
surat dalam hal ini telah disumpah bahwa novum tersebut belum pernah
digunakan sebagai alat bukti sebelumnya, akan tetapi pada kenyatannya alat
bukti tersebut telah di gunakan Yunus Pasele sebagai bukti surat pada saat
proses di PN Makasar dan pada saat memasukkan memori banding sehingga
akibat perbuatan terdakwa Rizal Tandiawan merasa sangat dirugikan dalam
putusan peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI No: 318 PK/Pdt/2003
tanggal 12 Oktober 2003 yang mana dinyakan bahwa tanah sengketa adalah
milik sah penggugat pembanding sehingga Rizal Tadiawan kehilangan hak
untuk memiliki tanah tersebut dan akhirnya Yunus Pasele di tuntut dengan
perkara kesaksian palsu.
2. Identitas Terdakwa
Identitas terdakwa dalam perkara kesaksian yang dianggap palsu adalah:
Nama : H.M. YUNUS PASELE BIN HABELE
Tempat lahir : Makassar
Umur/tgl lahir : 54 tahun/15 Januari 1952
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Jalan Barukang Utara No.114/84 Makassar
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
3. Dakwaan penuntut Umum Kejaksaan Negeri Makasar
Hal-hal yang didakwakan oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri
Makassar antara lain:
PERTAMA:
Bahwa ia Terdakwa H. M. YUNUS PASALELE pada hari Senin tanggal 2
Agustus 2002 atau setidaknya pada waktu lain dalam tahun 2002, bertempat di
Jl. Kartini tepatnya pada kantor Pengadilan Negeri Makassar atau setidak-
tidaknya pada suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Makassar, ia Terdakwa dalam keadaan dimana undang-undang menentukan
supaya memberi keterangan datas sumpah dan mengadakan akibat hukum
pada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan dibawah
sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya
yang khusus ditunjuk untuk itu,yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Bahwa pada awalnya ia Terdakwaselaku Penggugat perkara perdata
melawan saksi korban RIZAL TANDIAWAN sebagai Tergugat di
Pengadilan Negeri Makassar pada tahun 1994 dengan objek sengketa
berupa tanah seluas 16.000 M2 yang teletak di Kelurahan Cambaya
Kecamatan Ujung Tanah Makassar, yang mana pada tingkat peradilan
pertama yaitu pada Pengadilan Negeri Makassar telah menjatuhkan
putusan No: 51/Pts.Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg tanggal 27 Desember 1994
yang amarnya dalam pokok perkara menyatakan gugatan Penggugat
Konvensi ditolak seluruhnya, sehingga Terdakwa mengajukan upaya
hukum Banding di Pengadilan Tinggi Ujung Pandang, yang mana perkara
tersebut telah di putus oleh Pengadilan Tinggi dengan No. Putusan:
438/PDT/1994/PT.Uj.Pdg tanggal 20 Juli 1995 yang amarnya dalam
pokok perkara menyatakan:
- Mengabulkan gugatan penggugat konvensi-pembanding untuk
sebagian.
- Menyatakan bahwa tanah objek sengketa adalah milik sah penggugat
konvensi pembanding
Sehingga saksi RIZAL TANDIAWAN sebagai Tergugat mengajukan
upaya hukum kasasi dan tenyata Mahkamah Agung dalam putusannya
No: 3253 K/Pdt/1995 tanggal 5 September 1996 dengan amarnya yaitu
menolak seluruh gugatan Penggugat.
- Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI tersebut maka
pada tahun 2002 bertempat di Pengadilan Negeri Makassar, terdakwa
selaku Penggugat melakukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan
Kembali dan dalam permohonan Peninjaun Kembali tersebut Terdakwa
memasukkan/menggunakan bukti baru (novum) antara lain berupa:
- Surat tertanggal 15 Juni 1994 No.591/347/Ass.I beserta lampiran
berupa kronologis status tanah yang menjadi sengketa yang
ditujukan kepada Kanwil BPN. SUL-SEL.
- Surat tertanggal 28 Februari 1995 No.550. 1-425-531 ditujukan
kepada RIZAL TANDIAWAN di Ujung Pandang.
- Bahwa sebelum Terdakwa memasukkan/menggunakan kedua surat
tersebut diatas sebagai bukti novum, maka berdasarkan ketentuan undang-
undang terlebih dahulu, Terdakwa mengangkat sumpah sebagaimana
terurai dalam Berita Acara Sumpah No. 51/Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg tanggal
12 Agustus 2002 yang diucapkan didepan Hakim/Ketua Pengadilan Negeri
Makassar, dan Panitera Pengganti yang dibuat dan ditandatanggani oleh
HARYONO, SH selaku Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Makassar ANDI
SURURUDDIN AMIR,SH selaku Panitera Pengganti dari terdakwa H.
MUH. YUNUS PASELE selaku yang disumpah, padahal sebelumnya
kedua surat tersebut telah digunakan oleh Terdakwa sebagai bukti surat
pada saat perkaranya tersebut di proses di Pengadilan Negeri Makassar
dan pada saat memesukkan Memori Banding, sehingga akibat perbuatan
Terdakwa tersebut RIZAL TANDIAWAN merasa sangat dirugikan karena
di dalam putusan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung RI No.318
PK/Pdt/2003 tanggal 12 Oktober 2004 menyatakan bahwa tanah objek
sengketa adalah milik sah penggugat-pembanding, dengan demikian saksi
RIZAL TANDIAWAN kehilangan hak untuk memiliki tanah tersebut.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal
242 ayat (1) KUHP.
Atau
KEDUA:
Bahwa ia Terdakwa H.M. YUNUS PASELE pada hari Senin tanggal 12
Agustus 2002 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2002,
bertempat di Jl. Kartini Makassar pada Kantor Pengadilan Negeri Makassar
atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain dalam Daerah Hukum Pengadilan
Negeri Makassar, ia terdakwa menyuruh memasukkan keterangan palsu
kedalam suatu akte autentik mengenai suatu hal yang sebenarnya harus
dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang
lain memekai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran,
jika pemakaian itu dapat menilmbulkan kerugian, yang dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
- Bahwa pada saat ia Tedakwa mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Makassar terhadap
putusan Mahkamah Agung RI No. 3235 K/Pdt/1995 tanggal 05 September
1996, ia Terdakwa memasukkan bukti surat berupa novum antara lain:
- Surat tertanggal 15 Juni 1993 No.591/347/ASS. 1 beserta kronologis
status tanah yang menjadi sengketa yang ditujukan kepada Kanwil
BPN. SUL-SEL.
- Surat tertanggal 28 Februari 1995 NO. 550-1-425-531 di tujukan
kepada RIZAL TANDIAWAN di Ujung Pandang.
- Bahwa selanjutnya didalam persidangan di depan Hakim Pengadilan
Negeri Makassar, ia Terdakwa mengangkat sumpah sesuai dengan
keyakinannya yang intinya menyatakan bahwa bukti baru yang di ajukan
di dalam Peninjauan Kembali sebelumnya tidak pernah diajukan di dalam
Peninjauan Kembali sebelumnya tidak pernah digunakan sebagai bukti
sebagaimana terurai dalam Berita Acara Sumpah No.
51/Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg tanggal 12 Agustus 2002 yang diucapkan
didepan Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Makassar, dan Panitera
Pengganti yang dibuat dan ditandatanggani oleh HARYONO, SH selaku
Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Makassar ANDI SURURUDDIN
AMIR,SH selaku Panitera Pengganti dari terdakwa H. MUH. YUNUS
PASELE selaku yang disumpah, padahal sebelumnya kedua surat tersebut
telah digunakan oleh Terdakwa sebagai bukti surat pada saat perkaranya
tersebut di proses di Pengadilan Negeri Makassar dan pada saat
memesukkan Memori Banding, sehingga akibat perbuatan Terdakwa
tersebut RIZAL TANDIAWAN merasa sangat dirugikan karena di dalam
putusan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung RI No.318 PK/Pdt/2003
tanggal 12 Oktober 2004 menyatakan bahwa tanah objek sengketa adalah
milik sah penggugat-pembanding, dengan demikian saksi RIZAL
TANDIAWAN kehilangan hak untuk memiliki tanah tersebut.
Perbuatan tesebut sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal
266 ayat (1) KUHP.
4. Tuntutan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Makasar
Tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Makassar
tanggal 23 November 2006 sebagai berikut:
a. Menyatakan Tedakwa H. Muh. Yunus Pasele Bin Habele, terbukti
bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja memberi keterangan
palsu diatas sumpah” sebagaimana diatur dalam Pasal 242 ayat (1)
KUHPidana;
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa H. Muh. Yunus Pasele Bin Habele
oleh karena itu dengan penjara selama 3 (tiga) tahun dikurangi selama
Terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah supaya
Terdakwa tetap ditahan;
c. Menyatakan barang bukti berupa
1) Copy putusan perdata pengadian Negeri Makassar Nomor
51/Pts.Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg 27 September 1994 beserta lampirannya.
2) Copy putusan Pengadilan Tinggi Nomor Putusan 438/Pdt/1994/Uj.Pdg
tanggal 20 Juli 1995 beserta lampiranya.
3) Copy putusan Mahkamah Agung Nomor 2353.K/Pdt/1995 tanggal 11
September 1996 beserta lampirannya.
4) Copy Peninjauan Kembali Nomor. 318.PK/Pdt/1995 tanggal 12
Oktober 2004 berikut lampirannya.
5) Copy berita acara sumpah Nomor.51/Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg pada hari
Senin tanggal 12 Agustus 2002 yang telah dilegalisir oleh Panitera
Pengadilan Negeri Makassar.
6) Copy Peninjauan Kembali beserta lampirannya.
7) Copy bukti-bukti yang diajukan H.MUH. YUNUS PASELE di
Pengadilan Negeri Makasar pada saat gugatan perdata dari bukti P-1
sampai dengan P-13.
8) Copy bukti-bukti yang diajukan oleh H.MUH. YUNUS PASELE
sebagai Novum (Bukti Baru) pada saat mengadakan Peninjauan
Kembali dengan Nomor PK 1 sampai dengan PK 5, tetap terlampir
dalam berkas perkara;
d. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar
Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
5. Amar Putusan Pengadilan Negeri Makasar
Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor: 970/Pid.B/2006/PN.MKS
tanggal 04 Desember 2006 amar lengkapnya sebagai berikut:
- Menyatakan bahwa Terdakwa H.MUH YUNUS PASELE BIN HABELE
tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “DENGAN SENGAJA MEMBERI
KETERANGAN PALSU DIATAS SUMPAH”
- Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun;
- Menyatakan barang bukti berupa:
a. Copy putusan perdata pengadian Negeri Makassar Nomor
51/Pts.Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg 27 September 1994 beserta lampirannya.
b. Copy putusan Pengadilan Tinggi Nomor Putusan 438/Pdt/1994/Uj.Pdg
tanggal 20 Juli 1995 beserta lampiranya.
c. Copy putusan Mahkamah Agung Nomor 2353.K/Pdt/1995 tanggal 11
September 1996 beserta lampirannya.
d. Copy Peninjauan Kembali Nomor. 318.PK/Pdt/1995 tanggal 12
Oktober 2004 berikut lampirannya.
e. Copy berita acara sumpah Nomor.51/Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg pada hari
Senin tanggal 12 Agustus 2002
f. Copy Peninjauan Kembali beserta lampirannya.
g. Copy bukti-bukti yang diajukan H.MUH. YUNUS PASELE di
Pengadilan Negeri Makasar pada saat gugatan perdata dari bukti P.1
sampai dengan P.13.
h. Copy bukti-bukti yang diajukan oleh H.MUH. YUNUS PASELE
sebagai Novum (Bukti Baru) pada saat mengadakan Peninjauan
Kembali dengan Nomor PK 1 s/d PK 5 , tetap terlampir dalam berkas
perkara;
- Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.2500,-
(dua ribu lima ratus rupiah);
- Memerintahkan agar Terdakwa tetap dalam tahanan
6. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Makasar
Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor: 03/PID/2007/PT.MKS tanggal
15 Januari 2007 amar putusan lengkapnya sebagai berikut:
- Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat
Hukum para Terdakwa;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar, tanggal 04 Desember
2006, Nomor. 970/Pid.B/2006/PN.MKS;
- Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa dalam kedua tingkat
Peradilan, untuk tingkat pertama sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus
rupiah) dan dalam tingkat banding sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus
rupiah).
-
7. Alasan Pengajuan Kasasi oleh Terdakwa
Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa pada pokoknya
adalah sebagai berikut:
a. Bahwa pengadilan Negeri Makassar di Makassar yang telah menjatuhkan
putusan yang amarnya berbunyi seperti tersebut di atas dalam memeriksa
dan mengadili perkara tersebut telah melakukan kekeliruan yakni:
Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Makassar tidak menerapkan
peraturan tidak sebagaimana mestinya karena:
Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Makassar dalam putusannya
tersebut menyatakan pada halaman 10 yang berbunyi:
“Menimbang bahwa setelah mempelajari dengan seksama berkas perkara,
berita acara penyidik; berita acara persidangan, surat bukti, dan turunan
resmi Putusan Pengadilan Negeri Makassar tanggal 4 Desember 2006
No.970/Pid.B/2006/PN.Mks, Majelis Hakim Banding Pengadilan tinggi
berpendapat bahwa alasan serta pertimbangan hukum Hakim tingkat
pertama dalam putusannya telah tepat dan benar oleh sebab itu diambil
alih dan dijadikan alasan serta pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan
tinggi dalam memutus perkara ini dalam tingkat banding”.
Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Makassar dalam pertimbangan
tersebut diatas yang diambil alih pertimbangan-pertimbangan Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Makassar dalam putusannya
No.970/Pid.B/2006/PN.MKS tanggal 4 Desember 2006 tersebut diatas
tentang telah terbuktinya kesalahan Terdakwa, tentang lamanya pidana
yang dijatuhkan padahal Putusan Pengadilan Negeri Makassar itu sendiri
sebenarnya kurang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat
(1) huruf h KUHAP sebagaimana salah satu syarat tentang isi putusan
pemidanaan.
Dengan memperhatikan hal tersebut, maka nampak dengan jelas baik
Putusan Pengadilan Negeri Makassar maupun Putusan Pengadilan Tinggi
Makassar yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar tersebut
diatas tidak menerapkan peraturan atau menerapkan peraturan tidak
sebagaimana mestinya.
Bahwa yang kami maksudkan menerapkan peraturan atau menerapkan
peraturan tidak sebagaimana mestinya ialah dalam hal pembuktian unsur-
unsur tindak pidana: Dengan sengaja memberikan keterangan palsu diatas
sumpah sebagaimana didakwakan kepada Terdakwa dalam Pasal 242 ayat
(1) KUHP.
b. Bahwa kami Tim Penasihat Hukum Terdakwa memandang bahwa Putusan
Pengadilan Negeri Makassar No.970/Pid.B/2006/PN.Mks tanggal 4
Desember 2006 tersebut dalam pertimbangan-pertimbangannya tentang
pembuktian unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa
dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP tidak dibuktikan sebagaimana mestinya
karena unsur : “Dengan Sengaja” diabaikan dalam pembahasannya.
Unsur “Dengan Sengaja” dari tiap delik apalagi yang secara nyata
tercantum dalam pasal tindak pidana yang didakwakan harus dibuktikan
sebagai salah satu unsur yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur lain dari
delik yang bersangkutan. Dan tentang kesengajaan dalam Pasal 242 KUHP
ada beberapa Yurisprudensi yang membahas yaitu;
1) Putusan Hoge Raad (H.R) tanggal 19 Februari 1906 yang mengatakan
bahwa: “Kesengajaan untuk memberi sumpah palsu adalah keadaan
bahwa keterangannya palsu atau bertentangan dengan kebenaran untuk
dapat dihukumnya hal ini harus dibuktikan” (R.SOENARTO
SOERODIBROTO, S.H. dalam bukunya KUHP KUHAP dilengkapi
dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Edisi kelima
halaman 142)
2) Putusan Hoge Raad (H.R) tanggal 27 Juni 1932, N.J 1932, 1633 W-
12546, yamg senada dengan itu bahwa “kesengajaan untuk
memberikan keterangan yang palsu adalah kesadaran bahwa
keterangan itu adalah palsu ataupun bertentangan dengan kebenaran.
Didalam pemeriksaan disidang pengadilan hal ini haruslah dapat
dibuktikan” (Drs. P . A.F. LAMINTANG, S.H., C.DSJIDMAN
SAMOSIR, S.H. dalam bukunya HUKUM PIDANA INDONESIA
cetakan ketiga penerbit Sinar Baru Bandung halaman 150).
3) Putusan Hoge Raad tanggal 17 Oktober 1887 W.5487, yang
menyatakan bahwa unsur-unsur dari kejahatan ini (Pasal 242 KUHP)
adalah:
- Adanya undang-undang yang menghendaki keterangan itu
diberikan dibawah sumpah atau yang padanya diikatkan akibat
hukum.
- Selanjutnya adanya pemberian keterangan yang palsu
- Dan kesengajaan yang ditujukan kepada kepalsuan tersebut dst.
(juga dari Drs. P . A.F. LAMINTANG, S.H., C.DSJIDMAN
SAMOSIR, S.H. dalam bukunya HUKUM PIDANA INDONESIA
cetakan ketiga penerbit Sinar Baru Bandung halaman 150)
Dengan mengacu pada ketiga Putusan Yurisprudensi tersebut diatas
tentang unsur kesengajaan dari Pasal 242 KUHP dan jika dihubungkan
pula dengan arti sengaja menurut penafsiran otentik atau penafsiran pada
waktu Undang-undang yang bersangkutan disusun dalam hal ini KUHP
yaitu dari Memori Penjelasan Memorie van Toelichting (MvT WvS
Belanda tahun 1886 yang mempunyai arti bagi KUHP Indonesia
bersumber pada WvS Belanda. Menurut penjelasan tersebut “sengaja”
(opzet) berarti “de’ (bewuste) richting van de wil op een bepaald misdrijf”
(kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan
tertentu.
Menurut penjelasan tersebut “ sengaja” sama dengan Willens en wetens
(dikehendaki dan diketahui), demikian dikemukakan DR. ANDI
HAMZAH, SH. Dalam bukunya Azaz-azaz Hukum Pidana , penerbit PT.
RINEKA CIPTA, Jakarta halaman 84.
Demikian pula pendapat Prof. Dr. D SCHAFFMEISTER, Prof.DR.N.
KEIJZER, MR.E.PH.SUTORIUS, Editor Penerjemah
Prof.DR.J.E.SAHETAPI. S.H.,M.A., dalam bukunya Hukum Pidana,
Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana dalam Rangka KERjasama
Hukum Indonesia-Belanda, Konsorsium Ilmu Hukum “Departemen P &
K”, Penerbit Liberty, Yogyakarta, setakan ke-2, Tahun 2003, halaman 87-
88 menyatakan antara lain:
“Kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-undang”.
Bahwa dengan mengacu pada arti dan pendapat tentang kesengajaan
tersebut diatasyang dianut hukum pidana kita berdasarkan Azaz
Konkordansi, maka Tim Penasehat Hukum Terdakwa berpendapat bahwa
jika unsur kesengajaan ini tidak diterapkan pada kasus yang menimpa
Terdakwa H. MUH. YUNUS PASELE BIN HABELE, sangat tidak tepat
jika dihubungkan dengan fakta-fakta persidangan karena:
1) Bahwa walaupun Terdakwa disumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri
Makassar ketika mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas
perkaranya kepada Mahkamah Agung RI, tapi sebenarnya Terdakwa
tidak mengetahui kalau bukti baru (novum) yamg diajukan tersebut ada
diantaranya yang sudahpernah dijadikan alat bukti pada tingkat
Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung RI adalah kuasa
hukumnya yaitu NASIRUDDIN PASIGAI, S.H. dengan kawan, tetapi
pada waktu Terdakwa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) Kuasa
Hukum tersebut tidak lagi dipakai Terdakwa dan yang mengurus
semua bukti-bukti baru (Novum) yang diajukan serta membuat konsep
Memori Peninjauan Kembali adalh saksi a de charge atas nama A.
NASAR LEWA sebagai Kuasa Insidential, dan SIMON PATTI, S.H.,
jadi yang menyiapkan semua novum yang diajukan dalam Peninjauan
Kembali (PK) adalah saksi A.NASAR LEWA dan Terdakwa tidak
mengetahui kalau bukti-bukti tersebut ada diantaranya yang sudah
pernah diajukan dalam tingkat peradilan sebelumnya.
2) Mengingat bahwa Terdakwa sebagai seorang yang tidak berpendidikan
(hanya kelas 2 SD)/tidak tamat, sehingga tingkat kecerdasannya sangat
rendah, sehingga wajarlah jika Terdakwa tidak hafal semua surat-surat
yang pernah diurus oleh saksi A. NASAR LEWA untuk dijadikan
novum dalam Peninjauan Kembali. Seharusnya A. NASAR LEWA lah
yang disumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri Makassar pada waktu
itu karena sebagai Kuasa Insidental yang mempersiapkan semua
novum yang diajukan sebagai lampiran Memori Peninjauan Kembali
waktu itu.
3) Seharusnya pula novum yang diajukan itu sebelum Tedakwa disumpah
terlebih dahulu harus diteliti oleh Panitera Pengganti yang ditunjuk
Ketua Pengadilan Negeri waktu itu, apakah bukti-bukti tersebut betul
pernah diajukan di persidangan sebelumnya atau tidak, dan apabila
disebutkan bahwa ada bukti-bukti yang sudah pernah diajukan, maka
bukti-bukti harus dicabut tidak dimasukkan.
8. Pembahasan
Kasus kesaksian palsu yang di putus dengan putusan kasasi No. 1315
K/PID/2007 ini merupakan kasus kesaksian palsu yang berkaitan dengan
penggunaan bukti baru (Novum) dalam upaya Peninjauan Kembali kasus
perdata yang melibatkan H.M. YUNUS PASELE sebagai penggugat dan
RIZAL TANDIAWAN sebagai tergugat, dimana bukti baru yang berupa surat
tersebut telah digunakan sebagai alat bukti pada saat proses di Pengadilan
Negeri Makassar dan pada saat mengajukan memori banding. Padahal H.M.
YUNUS PASELE telah disumpah dan menyatakan bahwa novum tersebut
belum pernah digunakan sebagai alat bukti sebelumnya. Dengan adanya hal
tersebut maka H.M YUNUS PASELE dituntut telah memberikan kesaksian
palsu.
Proses pemeriksaan perkara kesaksian palsu dengan terdakwa H.M.
YUNUS PASELE ini telah melewati tingkatan peradilan yaitu dari peradilan
tingkat pertama (Pengadilan Negeri), peradilan tingkat kedua (Pengadilan
Tinggi) dan Kasasi.
Pada peradilan tingkat pertama telah dijatuhkan Putusan Pengadilan
Negeri Makassar Nomor: 970/Pid.B/2006/PN.MKS tanggal 04 Desember
2006 amar lengkapnya sebagai berikut:
- Menyatakan bahwa Terdakwa H.MUH YUNUS PASELE BIN HABELE
tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “DENGAN SENGAJA MEMBERI
KETERANGAN PALSU DIATAS SUMPAH”
- Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun;
- Menyatakan barang bukti berupa:
a. Copy putusan perdata pengadian Negeri Makassar Nomor
51/Pts.Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg 27 September 1994 beserta lampirannya.
b. Copy putusan Pengadilan Tinggi Nomor Putusan 438/Pdt/1994/Uj.Pdg
tanggal 20 Juli 1995 beserta lampiranya.
c. Copy putusan Mahkamah Agung Nomor 2353.K/Pdt/1995 tanggal 11
September 1996 beserta lampirannya.
d. Copy Peninjauan Kembali Nomor. 318.PK/Pdt/1995 tanggal 12
Oktober 2004 berikut lampirannya.
e. Copy berita acara sumpah Nomor.51/Pdt.G/1994/PN.Uj.Pdg pada hari
Senin tanggal 12 Agustus 2002
f. Copy Peninjauan Kembali beserta lampirannya.
g. Copy bukti-bukti yang diajukan H.MUH. YUNUS PASELE di
Pengadilan Negeri Makasar pada saat gugatan perdata dari bukti P.1
sampai dengan P.13.
h. Copy bukti-bukti yang diajukan oleh H.MUH. YUNUS PASELE
sebagai Novum (Bukti Baru) pada saat mengadakan Peninjauan
Kembali dengan Nomor PK 1 s/d PK 5 , tetap terlampir dalam berkas
perkara;
- Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.2500,-
(dua ribu lima ratus rupiah);
- Memerintahkan agar Terdakwa tetap dalam tahanan
Pada pemeriksaan tingkat banding dijatuhkan Putusan Pengadilan Tinggi
Makassar Nomor: 03/PID/2007/PT.MKS tanggal 15 Januari 2007 amar
putusan lengkapnya sebagai berikut:
- Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat
Hukum para Terdakwa;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar, tanggal 04 Desember
2006, Nomor. 970/Pid.B/2006/PN.MKS;
- Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa dalam kedua tingkat
Peradilan, untuk tingkat pertama sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus
rupiah) dan dalam tingkat banding sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus
rupiah).
Dari putusan-putusan yang telah di jatuhkan baik itu putusan Pengadilan
Negeri maupun Pengadilan Tinggi terdakwa masih merasa belum cukup puas,
sehingga mengajukan kasasi, dari upaya kasasi yang dilakukan oleh terdakwa
terdapat alasan-alasan yang melatarbelakanginya, yang akan dibahas secara
lebih mendalam dalam pembahasan ini yaitu:
a. Alasan pertama yang menyatakan Bahwa pengadilan Negeri Makassar di
Makassar yang telah menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi seperti
tersebut di atas dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut telah
melakukan kekeliruan yakni:
Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Makassar tidak menerapkan
peraturan tidak sebagaimana mestinya karena:
Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Makassar dalam putusannya
tersebut menyatakan pada halaman 10 yang berbunyi:
“Menimbang bahwa setelah mempelajari dengan seksama berkas perkara,
berita acara penyidik; berita acara persidangan, surat bukti, dan turunan
resmi Putusan Pengadilan Negeri Makassar tanggal 4 Desember 2006
No.970/Pid.B/2006/PN.Mks, Majelis Hakim Banding Pengadilan tinggi
berpendapat bahwa alasan serta pertimbangan hukum Hakim tingkat
pertama dalam putusannya telah tepat dan benar oleh sebab itu diambil
alih dan dijadikan alasan serta pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan
tinggi dalam memutus perkara ini dalam tingkat banding”.
Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Makassar dalam pertimbangan
tersebut diatas yang diambil alih pertimbangan-pertimbangan Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Makassar dalam putusannya
No.970/Pid.B/2006/PN.MKS tanggal 4 Desember 2006 tersebut diatas
tentang telah terbuktinya kesalahan Terdakwa, tentang lamanya pidana
yang dijatuhkan padahal Putusan Pengadilan Negeri Makassar itu sendiri
sebenarnya kurang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat
(1) huruf h KUHAP sebagaimana salah satu syarat tentang isi putusan
pemidanaan.
Dengan memperhatikan hal tersebut, maka nampak dengan jelas baik
Putusan Pengadilan Negeri Makassar maupun Putusan Pengadilan Tinggi
Makassar yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar tersebut
diatas tidak menerapkan peraturan atau menerapkan peraturan tidak
sebagaimana mestinya.
Bahwa yang kami maksudkan menerapkan peraturan atau menerapkan
peraturan tidak sebagaimana mestinya ialah dalam hal pembuktian unsur-
unsur tindak pidana: Dengan sengaja memberikan keterangan palsu diatas
sumpah sebagaimana didakwakan kepada Terdakwa dalam Pasal 242 ayat
(1) KUHP.
Berdasarkan alasan tersebut, alasan kasasi ini merupakan alasan kasasi
yang tidak dibenarkan undang-undang. Alasan kasasi yang memuat keberatan,
putusan Pengadilan Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup menguatkan
putusan Pengadilan Negeri, tidak dapat dibenarkan dalam pemeriksaan kasasi,
Percuma pemohon kasasi mengajukan alasan keberatan yang demikian, sebab
seandainya Pengadilan Tinggi menguatkan putusan serta sekaligus menyetujui
perimbangan Pengadilan Negeri, hal itu:
1) Tidak merupakan kesalahan penerapan hukum, dan tidak merupakan
pelanggaran dalam melaksanakan peradilan menurut ketentuan undang-
undang serta tidak dapat dikategorikan melampaui batas wewenang yang
ada padanya:
2) Malahan tindakan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan
Negeri, masih dalam batas wewenang yang ada padanya, karena
berwenang penuh menguatkan dan mengambil alih putusan Pengadilan
Negeri yang dianggap telah tepat.
Oleh sebab itu alasan keberatan yang seperti ini seharusnya ditolak
Mahkamah Agung, karena undang-undang membolehkan mengambil alih
pertimbangan hakim pertama serta menjadikannya sebagai pertimbangan
sendiri. Penolakan Mahkamah Agung ini dapat kita uraikan sebagai berikut:
1) Pengadilan Tinggi berwenang dan boleh menguatkan dan mengambil alih
pertimbangan Pengadilan Negeri yang dianggap tepat
2) Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dianggap tepat sekaligus dijadikan
menjadi pertimbangan sendiri dalam tingkat banding,
3) Oleh karena itu, pengambilalihan itu masih dalam batas-batas kewenangan
yang dibenarkan undang-undang. Dengan demikian dalam putusan
tersebut tidak terdapat kesalahan penerapan hukum maupun pelanggaran
batas wewenang.
b. Alasan kedua yang menyatakan, bahwa kami Tim Penasihat Hukum
Terdakwa memandang bahwa Putusan Pengadilan Negeri Makassar
No.970/Pid.B/2006/PN.Mks tanggal 4 Desember 2006 tersebut dalam
pertimbangan-pertimbangannya tentang pembuktian unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan kepada Terdakwa dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP
tidak dibuktikan sebagaimana mestinya karena unsur : “Dengan Sengaja”
diabaikan dalam pembahasannya.
Unsur “Dengan Sengaja” dari tiap delik apalagi yang secara nyata
tercantum dalam pasal tindak pidana yang didakwakan harus dibuktikan
sebagai salah satu unsur yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur lain dari
delik yang bersangkutan. Dan tentang kesengajaan dalam Pasal 242 KUHP
ada beberapa Yurisprudensi yang membahas yaitu;
1) Putusan Hoge Raad (H.R) tanggal 19 Februari 1906 yang mengatakan
bahwa: “Kesengajaan untuk memberi sumpah palsu adalah keadaan
bahwa keterangannya palsu atau bertentangan dengan kebenaran untuk
dapat dihukumnya hal ini harus dibuktikan” (R.SOENARTO
SOERODIBROTO, S.H. dalam bukunya KUHP KUHAP dilengkapi
dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Edisi kelima
halaman 142)
2) Putusan Hoge Raad (H.R) tanggal 27 Juni 1932, N.J 1932, 1633 W-
12546, yamg senada dengan itu bahwa “kesengajaan untuk
memberikan keterangan yang palsu adalah kesadaran bahwa
keterangan itu adalah palsu ataupun bertentangan dengan kebenaran.
Didalam pemeriksaan disidang pengadilan hal ini haruslah dapat
dibuktikan” (Drs. P . A.F. LAMINTANG, S.H., C.DSJIDMAN
SAMOSIR, S.H. dalam bukunya HUKUM PIDANA INDONESIA
cetakan ketiga penerbit Sinar Baru Bandung halaman 150).
3) Putusan Hoge Raad tanggal 17 Oktober 1887 W.5487, yang
menyatakan bahwa unsur-unsur dari kejahatan ini (Pasal 242 KUHP)
adalah:
- Adanya undang-undang yang menghendaki keterangan itu
diberikan dibawah sumpah atau yang padanya diikatkan akibat
hukum.
- Selanjutnya adanya pemberian keterangan yang palsu
- Dan kesengajaan yang ditujukan kepada kepalsuan tersebut dst.
(juga dari Drs. P . A.F. LAMINTANG, S.H., C.DSJIDMAN
SAMOSIR, S.H. dalam bukunya HUKUM PIDANA INDONESIA
cetakan ketiga penerbit Sinar Baru Bandung halaman 150)
Dengan mengacu pada ketiga Putusan Yurisprudensi tersebut diatas
tentang unsur kesengajaan dari Pasal 242 KUHP dan jika dihubungkan
pula dengan arti sengaja menurut penafsiran otentik atau penafsiran pada
waktu Undang-undang yang bersangkutan disusun dalam hal ini KUHP
yaitu dari Memori Penjelasan Memorie van Toelichting (MvT WvS
Belanda tahun 1886 yang mempunyai arti bagi KUHP Indonesia
bersumber pada WvS Belanda. Menurut penjelasan tersebut “sengaja”
(opzet) berarti “de’ (bewuste) richting van de wil op een bepaald misdrijf”
(kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan
tertentu.
Menurut penjelasan tersebut “ sengaja” sama dengan Willens en wetens
(dikehendaki dan diketahui), demikian dikemukakan DR. ANDI
HAMZAH, SH. Dalam bukunya Azaz-azaz Hukum Pidana , penerbit PT.
RINEKA CIPTA, Jakarta halaman 84.
Demikian pula pendapat Prof. Dr. D SCHAFFMEISTER, Prof.DR.N.
KEIJZER, MR.E.PH.SUTORIUS, Editor Penerjemah
Prof.DR.J.E.SAHETAPI. S.H.,M.A., dalam bukunya Hukum Pidana,
Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana dalam Rangka KERjasama
Hukum Indonesia-Belanda, Konsorsium Ilmu Hukum “Departemen P &
K”, Penerbit Liberty, Yogyakarta, setakan ke-2, Tahun 2003, halaman 87-
88 menyatakan antara lain:
“Kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-undang”.
Bahwa dengan mengacu pada arti dan pendapat tentang kesengajaan
tersebut diatasyang dianut hukum pidana kita berdasarkan Azaz
Konkordansi, maka Tim Penasehat Hukum Terdakwa berpendapat bahwa
jika unsur kesengajaan ini tidak diterapkan pada kasus yang menimpa
Terdakwa H. MUH. YUNUS PASELE BIN HABELE, sangat tidak tepat
jika dihubungkan dengan fakta-fakta persidangan karena:
1) Bahwa walaupun Terdakwa disumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri
Makassar ketika mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas
perkaranya kepada Mahkamah Agung RI, tapi sebenarnya Terdakwa
tidak mengetahui kalau bukti baru (novum) yamg diajukan tersebut ada
diantaranya yang sudahpernah dijadikan alat bukti pada tingkat
Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung RI adalah kuasa
hukumnya yaitu NASIRUDDIN PASIGAI, S.H. dengan kawan, tetapi
pada waktu Terdakwa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) Kuasa
Hukum tersebut tidak lagi dipakai Terdakwa dan yang mengurus
semua bukti-bukti baru (Novum) yang diajukan serta membuat konsep
Memori Peninjauan Kembali adalh saksi a de charge atas nama A.
NASAR LEWA sebagai Kuasa Insidential, dan SIMON PATTI, S.H.,
jadi yang menyiapkan semua novum yang diajukan dalam Peninjauan
Kembali (PK) adalah saksi A.NASAR LEWA dan Terdakwa tidak
mengetahui kalau bukti-bukti tersebut ada diantaranya yang sudah
pernah diajukan dalam tingkat peradilan sebelumnya.
2) Mengingat bahwa Terdakwa sebagai seorang yang tidak berpendidikan
(hanya kelas 2 SD)/tidak tamat, sehingga tingkat kecerdasannya sangat
rendah, sehingga wajarlah jika Terdakwa tidak hafal semua surat-surat
yang pernah diurus oleh saksi A. NASAR LEWA untuk dijadikan
novum dalam Peninjauan Kembali. Seharusnya A. NASAR LEWA lah
yang disumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri Makassar pada waktu
itu karena sebagai Kuasa Insidental yang mempersiapkan semua
novum yang diajukan sebagai lampiran Memori Peninjauan Kembali
waktu itu.
3) Seharusnya pula novum yang diajukan itu sebelum Tedakwa disumpah
terlebih dahulu harus diteliti oleh Panitera Pengganti yang ditunjuk
Ketua Pengadilan Negeri waktu itu, apakah bukti-bukti tersebut betul
pernah diajukan di persidangan sebelumnya atau tidak, dan apabila
disebutkan bahwa ada bukti-bukti yang sudah pernah diajukan, maka
bukti-bukti harus dicabut tidak dimasukkan.
Berdasarkan alasan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa alasan
pengajuan kasasi yang demikian merupakan alasan kasasi yang tidak
dibenarkan undang-undang juga. Keberatan kasasi ini seharusnya tidak
dibenarkan Mahkamah Agung, karena menganggap keberatan tersebut
mengenai penilaian pembuktian yang bersifat penghargaan terhadap suatu
kenyataan. Hal itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi,
karena pemeriksaan kasasi hanya berkenan memeriksa tentang tidak
dilaksanakan peraturan hukum atau tidak dilaksanakan cara melakukan
peradilan yang harus diturut menurut ketentuan undang-undang.
B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Memeriksa dan Memutus
Perkara Kesaksian Palsu
1. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
Berdasarkan atas alasan-alasan yang diajukan oleh Terdakwa maka Mahkamah
Agung berpendapat:
a. Mengenai alasan kesatu
Bahwa alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti
tidak salah menerapkan hukum, Pengadilan Tinggi dapat mengambil alih
pendapat dan pertimbangan Pengadilan Negeri yang telah tepat dan benar;
b. Mengenai alasan kedua
Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena alasan tersebut
mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
kenyataan hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada
tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan
dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan penerapan hukum, adanya
pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-
syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan
tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(Undang-undang No. 8 tahun 1981);
Karena terdakwa bersumpah menemukan bukti baru (Novum) yaitu PK 3
tanggal 13 Mei 2002 dan tanggal 2 Mei 2002 menemukan PK4:
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula tidak
ternyata, bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini bertentangan dengan
hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus
ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Kasasi/Terdakwa dipidana,
maka harus dibebankan untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi
ini,
Memperhatikan Undang-undang No. 8 Tahun 1981, Undang-undang No. 4
tahun 2004 dan Udang-undang No.5 Tahun 2004 serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan.
2. Amar Putusan Mahkamah Agung
Berdasarkan fakta-fakta hukum dan pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim
memutuskan:
MENGADILI
a. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa H.M. YUNUS
PASELE BIN HABELE tesebut;
b. Menghukum Pemohon Kasasi/Terdakwa untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi in ditetapkan sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus
rupiah).
3. Pembahasan
Berdasarkan hasil putusan Mahkamah Agung dalam kasus kesaksian palsu
dengan terdakwa Yunus Pasele yang menyatakan menolak permohonan kasasi
Terdakwa maka dapat dinyatakan bahwa putusan tersebut dijatuhkan setelah
menguji perkara yang dikasasi dengan ketentuan pasal 253 ayat (1) KUHAP.
Pemeriksaan telah meneliti dengan seksama segala sesuatu keberatan yang
diajukan pemohon dalm memori kasasi, Namun segala keberatan yang
diajukan tidak mengenai sasaran alasan kasasi yang dibenarkan undang-
undang sebagaimana yang dirinci pasal 253 ayat (1) KUHAP. Berarti putusan
yang dikasasi sudah tepat hukumnya. Cara mengadilinya pun telah benar
dilaksanakan pengadilan menurut ketentuan undang-undang serta pengadilan
tidak melampaui batas wewenangnya dalm mengadili dan memutus perkara
yang dikasasi. Pendeknya putusan pengadilan yang dikasasi sudah tepat, tidak
terdapat cacat dan kesalahan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 253
ayat (1). Dengan ringkas dapat dikatakan, pada prinsipnya penolakan atas
permohonan kasasi:
a. Putusan pengadilan yang dikasasi sudah tepat penerapan hukumnya sesuai
dengan yang semestinya, dan tata cara mengadilinya pun telah dilaksanakan
sesuai dengan cara mengadili perkara menurut ketentuan undang-undang
serta pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara tidak melampaui
batas wewenang. Ini berarti alasan dan keneratan yang diajukan pemohon
dalam risalah kaasi, sama sekali tak mampu menunjukkan adanya dalam
putusan itu hal-hal yang bertentangan dengan Pasal 253 ayat (1).
b. Atau Mahkamah Agung menilai dan berpendapat putusan pengadilan yang
dikasasi sudah tepat dan tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan Pasal
253 ayat (1)
Hal ini berarti dalam pengambilan putusannya hakim menggunakan
konstruksi hukum berupa fiksi hukum yaitu metode penemuan hukum yang
mengemukakan fakta-fakta baru kepada kita, sehingga tampil personifikasi
baru dihadapi kita. Penggunaan konstruksi hukum ini didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan hakim dengan melihat apa yang menjadi alasan
terdakwa mengajukan kasasi, diantaranya yaitu tentang alasan terdakwa yang
bahwa walaupun Terdakwa disumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri Makassar
ketika mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas perkaranya kepada
Mahkamah Agung RI, tapi sebenarnya Terdakwa tidak mengetahui kalau
bukti baru (novum) yamg diajukan tersebut ada diantaranya yang
sudahpernah dijadikan alat bukti pada tingkat Pengadilan Tinggi sampai
Mahkamah Agung RI adalah kuasa hukumnya yaitu NASIRUDDIN
PASIGAI, S.H. dengan kawan, tetapi pada waktu Terdakwa mengajukan
Peninjauan Kembali (PK) Kuasa Hukum tersebut tidak lagi dipakai Terdakwa
dan yang mengurus semua bukti-bukti baru (Novum) yang diajukan serta
membuat konsep Memori Peninjauan Kembali adalh saksi a de charge atas
nama A. NASAR LEWA sebagai Kuasa Insidential, dan SIMON PATTI,
S.H., jadi yang menyiapkan semua novum yang diajukan dalam Peninjauan
Kembali (PK) adalah saksi A.NASAR LEWA dan Terdakwa tidak
mengetahui kalau bukti-bukti tersebut ada diantaranya yang sudah pernah
diajukan dalam tingkat peradilan sebelumnya.
Dan juga alasan mengingat bahwa Terdakwa sebagai seorang yang tidak
berpendidikan (hanya kelas 2 SD)/tidak tamat, sehingga tingkat kecerdasannya
sangat rendah, sehingga wajarlah jika Terdakwa tidak hafal semua surat-surat
yang pernah diurus oleh saksi A. NASAR LEWA untuk dijadikan novum
dalam Peninjauan Kembali. Seharusnya A. NASAR LEWA lah yang
disumpah oleh Ketua Pengadilan Negeri Makassar pada waktu itu karena
sebagai Kuasa Insidental yang mempersiapkan semua novum yang diajukan
sebagai lampiran Memori Peninjauan Kembali waktu itu.
Dengan menggunakan fiksi hukum maka dalam hal ini seseorang
sekalipun tidak pernah mengetahui tentang pembuktian yang dilakukannya
karena telah diurus oleh Penasehat Hukumnya, ketika ia melakukan kesalahan
terhadap pembuktiannya itu maka dia sendirilah yang dikenakan sanksi bukan
penasehat hukumnya, selain itu meskipun orang tersebut tidak berpendidikan
sehingga memiliki kecerdasan yang rendah maka ia tidak bisa lepas dari
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan perumusan masalah yang telah penulis kemukakan dalam
penulisan hukum (skripsi) di atas, maka penulis dapat menyimpulkan apa
yang telah dibahas dalam pembahasan sebagai berikut:
1. Alasan pengajuan kasasi oleh Terdakwa terhadap putusan Pengadilan
Negeri Makassar dalam perkara kesaksian yang dianggap palsu.
a. Alasan pertama, alasan kasasi tersebut merupakan alasan yang
berisi keberatan kasasi putusan Pengadilan Tinggi menguatkan
putusan Pengadilan Negeri, alasan ini tidak dibenarkan dalam
pemeriksaan kasasi karena Pengadilan Tinngi berwenang dan boleh
menguatkan serta mengambil alih pertimbangan Pengadilan Negeri
yang dianggapnya tepat.
b. Alasan Kedua, alasan kedua berisi tentang keberatan penilaian
pembuktian, keberatan kasasi ini tidak dibenarkan karena
keberatan tersebut mengenai penilaian pembuktian yang bersifat
penghargaan terhadap suatu kenyataan.
2. Pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan
memutus perkara kesaksian palsu
Pertimbangan hakim dalam memutus perkara kesaksian yang
dianggap palsu dengan menolak permohonan kasasi dari terdakwa
yaitu menggunakan konstuksi hukum yang bersifat fiksi hukum.
Dengan fiksi hukum maka seseorang sekalipun tidak pernah
mengetahui tentang pembuktian yang dilakukannya karena telah
diurus oleh Penasehat Hukumnya,maka ketika ia melakukan kesalahan
terhadap pembuktiannya dia sendirilah yang dikenakan sanksi bukan
penasehat hukumnya, selain itu meskipun orang tersebut tidak
64
berpendidikan sehingga memiliki kecerdasan yang rendah maka ia
tidak bisa lepas dari sanksi dari suatu tindak pidana selama ada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
B. SARAN
1. Pihak-pihak yang berperkara atau penasehat hukumnya, dalam
pengajuan alat bukti dipersidangan harus benar-benar memperhatikan
alat bukti yang digunakannya, karena setiap keterangan yang diberikan
akan disumpah terlebih dahulu. Apabila di ketahuai keterangan
tersebut bohong atau palsu maka terhadap keterangan tersebut dapat
diancam hukuman pidana sehingga diharapkan pihak-pihak yang
berperkara benar-benar mempertimbangankan alat bukti yang
diajukannya untuk menghindari ancaman pidana tersebut.
2. Setiap orang yang akan melakukan upaya hukum kasasi sebaiknya
benar-benar mempertimbangkan alasan-alasan kasasi yang
diajukannya yaitu dengan berpedoman pada Pasal 253 ayat (1)
KUHAP, sehingga upaya hukum yang dilakukannya tidak berakhir sia-
sia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publishing.
M. Karjadi dan R. Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana Dengan Penjelasan dan Komentar. Bogor: Politeia
M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP (Pemeriksaan Bidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan
Peninjauan Kembali).Jakarta:Sinar Grafika.
________________. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Psenerapan
KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Satjipto Raharjo. 1982. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
Soerjono soekanto dan Sri Mamudji. 1984. Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press.
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Peraturan Pemerintah Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana
Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1315 K/PID/2007.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kepolisian Republik Indonesia
Internet
Asy-Syaikh Hussain. Kesaksian Palsu, http://translate.googleuser , diakses
pada tanggal 19 April 2010.
Desita Sari dan Hesti Seytyowaty. Permohonan Praperadilan Atas
Penundaan Pelaksanaan Ketetapan Hakim Dalam Perkara
Kesaksian Palsu, www.pemantauperadilan.com, diakses pada
tanggal 5 April 2010.
Widati Wulandari dan Tristam P. Moeliono. Perlindungan Saksi Dan
Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
www.ipsk.go.id, diakses pada tanggal 19 April 2010