ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH …/Analisis... · Kata kunci: peninjauan kembali,...

120
1 ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh MEGAFURY APRIANDHINI NIM E 1106149 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH …/Analisis... · Kata kunci: peninjauan kembali,...

1

ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG

DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN

PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM

PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI

(STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

MEGAFURY APRIANDHINI

NIM E 1106149

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010

2

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

ANALISIS KEWENANGAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI

OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DITINJAU DARI ASAS KEPASTIAN

HUKUM DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

ACARA PIDANA

(SEBUAH TELAAH PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 12

PK/PID.SUS/2009 DALAM KASUS BANK BALI)

Oleh

MEGAFURY APRIANDHINI

NIM. E1106149

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 11 Maret 2010

Dosen Pembimbing

EDY HERDYANTO, S.H., M.H. NIP. 1957 0629 198503 1 002

3

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG

DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN

PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM

PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI

(STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009)

Oleh

MEGAFURY APRIANDHINI

NIM. E1106149

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan

Dewan Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )

Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 23 Maret 2010

TIM PENGUJI

1. Kristiyadi, S.H., M.Hum. ( ................................. ) NIP. 1958 1225 198601 1 001 Ketua 2. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. ( .................................. ) NIP. 1962 0209 198903 1 001 Sekretaris 3. Edy Herdyanto, S.H., M.H. ( ................................. ) NIP. 1957 0629 198503 1 002 Anggota

MENGETAHUI Dekan,

Mohammad Jamin, S.H, M.Hum

NIP. 1961 0930 198601 1 001

4

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Untuk:

Ayahanda Eko Kuswanto, Ibunda Siti Rumilah, Adinda Arwinda Arisundara

Aku bersyukur karena Skripsi ini adalah sesuatu yang sangat

menyenangkan untuk dikerjakan dan ku pelajari keindahan-keindahan dalam setiap prosesnya

sehingga dapat terselesaikan dengan mudah dan lancar. Sungguh benar bahwa ALLAH memberikan apa yang benar-benar dibutuhkan

oleh hambaNya dan tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Segala sesuatunya melebihi dari apa yang aku harapkan.

5

ABSTRAK

MEGAFURY APRIANDHINI, E.1106149, ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian Hukum ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim Mahkamah Agung untuk menemukan hukum dalam memeriksa dan memutus terhadap pengajuan peninjauan kembali perkara korupsi BLBI Bank Bali. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : jenis penelitian normatif, metode penelitian kualitatif, pendekatan studi kasus, sifat penelitian deskriptif dan analitis, jenis data yang digunakan adalah data sekunder, sumber data adalah sumber data sekunder yang masih relevan dengan permasalahan yaitu bahan hukum primer (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009), bahan hukum sekunder (buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya ilmiah, koran, makalah, dan majalah), dan bahan hukum tersier (kamus dan internet), teknik pengumpulan data deduksi sosiologisme. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan, Bentuk penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam pemeriksaan perkara peninjauan kembali kasus korupsi bank Bali dengan terpidana Djoko S. Tjandra adalah dalam manafsirkan Pasal Pasal 263 ayat (1) KUHAP bahwa peninjauan kembali adalah upaya hukum yang hanya diperuntukkan terpidana dan ahli warisnya dan dengan tidak adanya larangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali maka diartikan dapat mengajukan permohonan. Perbedaan penafsiran lain oleh hakim Mahkamah Agung dan berdasarkan yurisprudensi putusan sebelumnya adalah tidak sesuai dengan kepastian hukum di Indonesia.

Kata kunci: peninjauan kembali, putusan, yurisprudensi.

6

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

berkah, rahmat dan hidayah serta kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga

dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul : ANALISIS YURIDIS

PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM

MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN

PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM

PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12

PK/PID.SUS/2009)

Penulisan hukum ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas serta untuk

memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tidaklah berlebihan bahwa

penulisan hukum ini penulis kerjakan dengan ketekunan dan telah mencurahkan

segala kemampuan yang ada, namun karya ilmiah ini sangat sederhana dan

mungkin masih banyak kekurangan-kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf

apabila dalam penulisan hukum ini banyak kekurangan serta penulis mohon saran

dan kritk yang membangun dari pembaca sekalian.

Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis menyadari bahwa untuk

terselesaikannya penulisan hukum ini, banyak pihak-pihak yang telah

memberikan bantuan yang berupa bimbingan, saran-saran, nasehat-nasehat,

fasilitas, serta dukungan moril maupun materiil. Oleh karena itu dalam

kesempatan yang baik ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut :

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

UNS yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk

menyelesaikan penulisan hukum ini.

2. Bapak Edi Herdyanto, S.H., M.H., selaku pembimbing penulisan hukum

yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya dengan sabar untuk

memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan hukum ini.

7

3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum., selaku pembimbing dosen penguji

dan pembimbing magang dan yang dalam penulisan hukum ini telah banyak

membantu dan memberi masukan positif.

4. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji yang banyak

membantu dalam penulisan hukum ini.

5. Bapak Hernawan Hadi, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang

telah membimbing penulis selama proses perkuliahan di Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

6. Bapak Harjono, S.H, M.H selaku Ketua Program Non Reguler yang banyak

mengarahkan dan memberi nasehat selama masa kuliah.

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu

pengetahuannya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam

penulisan hukum ini.

8. Bapak dan Ibu staf karyawan dan dengan semua penghuni kampus Fakultas

Hukum UNS yang telah membantu dan berperan dalam kelancaran kegiatan

proses belajar mengajar dan segala kegiatan mahasiswa di Fakultas Hukum

UNS.

9. Bapak Sholeh, sebagai pemberi ide, pendapat dan informasi yang sangat

berguna sehingga penulisan hukum ini dapat saya kerjakan dengan lancar

dan penuh semangat.

10. Ayahanda Eko Kuswanto dan Ibunda Siti Rumilah tercinta, yang tiada

hentinya mencurahkan kasih sayangnya dan tidak pernah lelah berdoa,

mendorong dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa kuliah

dan menyelesaikan penulisan hukum ini. Terima kasih untuk kasih sayang,

doa serta segenap pengertian, fasilitas, dukungan dan kepercayaan atas segala

jalan yang saya pilih dan keputusan yang saya buat, hanya dengan Ridho

kalian saya dapat berada di sini hingga saat ini.

11. Adikku tersayang, “dek Winda a.k.a. A“ yang selalu memberi keceriaan dan

dukungan dalam segala hal.

8

12. Keluarga di rumah, Mbah Ti, Mbah Kung, Bulik Anok, Paklik Tajab, Dek

Entot, Dek Yaya, Mbah Tro dan segenap keluarga besar Kasreman yang

selalu memberi dukungan dan kasih sayang dalam bentuk apapun.

13. Elsya, sahabatku yang selalu menemani dan menguatkanku dalam

menghadapi segala tantangan hidup ini dengan segala nasehat, dorongan,

kesabaran, keyakinan, kasih sayang bahkan cacian yang sangat berarti bagiku

untuk aku melangkah memilih jalan hidupku.

14. “Gank Ulet Bulu”, Kiki (bestfriend forever), Grecy dan Anik, kalian tidak

pernah tergantikan meski jarak dan kesibukan memisahkan kita, namun

semua itu tidak akan cukup membuat kita goyah.

15. Teman-teman kos “Wisma Endah”, Neneh (kakak, sahabat, teman, dan Ibuku

selama di Solo), Ipung, Nita, Mbak Dyan, Mbak Luky, Mbak Rizky, Vita,

Iies, Ana, yang selalu menjadi keluarga keduaku selama masa kuliahku ini, 4

tahun bersama dengan formasi yang berubah-ubah namun semakin seru dan

menjadi pelepas segala kepenatan selama kuliah.

16. Fibry, yang membuat ceritaku menjadi bermakna, dengan segala kebaikan

dan kesalahan bersamamu, membuatku banyak mengerti dan dapat

mengambil hikmah dari segala pilihan hidup.

17. Nana dan dewi yang selalu membantu, mengingatkan dan memberi

dorongan, tanpa kalian aku tidak akan pernah mampu mengerti akan

kemampuanku dan dapat berada disini.

18. Sahabatku Johan, atas kesabaran, kekompakan, kesediaan, kesetiaan dan

segala kebaikan dengan tulus dan yang pasti terimakasih atas tebengan ke

kampus selama kuliah.

19. Teman-teman kuliah, Ayuk, Lina, Oos, Melly, Devi, Gembong, Ditya, Dyan,

Damar, semua teman-teman, kakak dan adik tingkat Non Reguler yang

dengan kebersamaannya sangat membantu dan membuat kampus sangat

menyenangkan dan berwarna.

20. Teman-teman senasib seperjuangan dalam mengerjakan penulisan hukum

dengan segala informasi dan kesetiannya mendukung dan membantu.

9

21. Teman-teman Magang Mandiri di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

sebulan bersama, marantau dan merasakan bagaimana perjuangan hidup dan

bekerja di ibukota.

22. Pembela KORFaH, Qomar, Bedu, Ndemek dan spesial kepada team basket

FH UNS, Puput dkk (pa) dan Uthe dkk (pi) serta seluruh anggota KORFaH,

segalanya terasa menyenangkan bersama kalian, semoga KORFah dapat

hidup dan bertahan kembali bersama penerus kita.

23. Almamaterku, seluruh para penghuni Fakultas Hukum UNS yang beragam,

yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang indah dan

membuatku sangat bersyukur bisa mengenal kalian semua dan kuliah di

fakultas hukum.

Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan

manfaat dan faedah kepada pembaca khususnya dan bagi dunia pendidikan pada

umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta, 11 Maret 2010

Penulis

10

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. iv

ABSTRAK................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................. vi

DAFTAR ISI ............................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Perumusan Masalah................................................................ 4

C. Tujuan Penelitian.................................................................... 4

D. Manfaat Penelitian.................................................................. 5

E. Metode Penelitian................................................................... 6

F. Sistematika Penulisan Hukum................................................ 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori ....................................................................... 12

1. Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan

Kehakiman ....................................................................... 12

a. ......................................................................... Pengerti

an Hakim ................................................................ 12

b. ......................................................................... Pengerti

an Kekuasaan Kehakiman ...................................... 12

c. ......................................................................... Tugas,

Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim................ 13

2. Tinjauan Tentang Pembuktian ......................................... 14

a. Pengertian dan Jenis Putusan Hakim ...................... 14

b. Formalitas yang Harus Dipenuhi dalam Putusan

Hakim ..................................................................... 16

11

c. Pertimbangan Hakim dalam Putusan ...................... 16

3. Tinjauan Tentang Putusan Bebas (Vrijspraak)................. 16

4. Tinjauan Umum Tentang Peninjauan Kembali ............... 17

a. ......................................................................... Pengerti

an Peninjauan Kembali........................................... 17

b. ......................................................................... Proses

Acara Peninjauan Kembali dalam KUHAP ...........

................................................................................ 18

5. Tinjauan Umum Tentang Hak Penuntut Umum

Mengajukan Peninjauan Kembali.................................... 24

6.................................................................................... Pengatu

ran Tentang Peninjauan Kembali dalam

Perundang-Undangan di Indonesia ................................... 27

a. ......................................................................... Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

KUHAP .................................................................. 27

b. ......................................................................... Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

............................................................................31

c. ......................................................................... Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman ........................................... 36

B. Kerangka Pemikiran................................................................ 36

12

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis Pertimbangan Mahkamah Agung yang Memberi

Kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengajukan

Peninjauan Kembali Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor

12 PK/Pid.Sus/2009 terkait Kasus Bank Bali ............................... 38

A. Kasus Posis ............................................................................ 38

B. Identitas Terdakwa ................................................................ 40

C. Dakwaan ................................................................................ 40

D. Tuntuttan ................................................................................ 41

E. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

156/PID.B/2000/PN.Jak.Sel., tanggal 28 Agustus 2000 ........ 42

F. Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI

Nomor 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 ..................... 42

G. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa

Penuntut Umum ..................................................................... 42

H. Bentuk Penemuan Hukum dalam Pemeriksaan Perkara

Peninjauan Kembali ............................................................... 83

I. Amar Putusan Mahkamah Agung dalam Pemeriksaan

Peninjuan Kembali ................................................................ 94

J. Pembahasan ........................................................................... 95

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................ 105

B. Saran....................................................................................... 106

DAFTAR PUSTAKA

13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3), telah

dijelaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas

hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Dari keterangan tersebut

dapat diartikan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang demokratis

dan menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

Dasar 1945 (Prabandari Tri Hapsari, 2007: 1). Hukum itu sendiri mempunyai

arti sebagai suatu norma atau kaidah yang memuat aturan-aturan dan

ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun

masyarakat. Dengan adanya hukum dimaksudkan untuk menciptakan

keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sebagai negara hukum, negara melalui alat negara penegak hukum dan

menjalankan tugas dan kewenangan harus berdasarkan hukum atau dapat

dipertanggung jawabkan secara hukum. Dalam penegakan hukum di Indonesia

dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang terdiri dari Kepolisian yang

bertindak sebagai penyelidik dan penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut umum

dan pengadilan yang memutus perkara. Peradilan dengan pemutus perkara

pidana akan ditentukan dengan adanya lembaga upaya hukum. Upaya hukum

terdiri dari upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi, dan upaya hukum

luar biasa yaitu Peninjauan Kembali dan Kasasi demi kepentingan hukum.

Lembaga peradilan disebut baik, apabila prosesnya berlangsung secara

jujur, bersih dan tidak memihak, selain itu juga harus memenuhi prinsip-

prinsip yang sifatnya terbuka, korektif, dan rekorektif. Dalam Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) telah diatur upaya hukum banding dan kasasi sebagai upaya hukum

biasa dan upaya hukum terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap

berupa kasasi demi kepentingan hukum dan Peninjauan Kembali. Hal ini

dikarenakan bahwa aparatur hakim sebagai manusia biasa juga tidak lepas dari

kesalahan dan kekurangan, maka negara kita melengkapi upaya hukum

14

terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dengan kasasi

demi kepentingan hukum yang pengaturannya terdapat di dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 dalam bab XVIII bagian kesatu Pasal 259 ayat

(1) yang menyatakan bahwa “Demi kepentingan hukum terhadap putusan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain

daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali perohonan kasasi oleh

Jaksa Agung” dan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap yang memberikan hak kepada terpidana

atau ahli warisnya, pengaturannya terutama dapat ditemui dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Bab XVIII bagian kedua

mengatur mengenai lembaga Peninjauan Kembali.

Sesuai dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan

bebas atau lepas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau

warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali, maka

menimbulkan suatu pertanyaan bagaimanakah pihak lain selain terpidana

dapat mengajukan upaya hukum tersebut. Pihak lain tersebut diantaranya

adalah jaksa, korban, keluarga korban dan pihak ketiga yang berkepentingan,

yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa adalah putusan

yang salah. Oleh karena itu berbagai celah digunakan untuk mewujudkan

keadilan yang dicari oleh semua pihak.

Sikap aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum akan

berpengaruh terhadap kepastian hukum di Indonesia ke depan dan rasa

keadilan dalam masyarakat. Masalah Peninjauan Kembali dipandang perlu

adanya pengaturan lebih jelas dan tegas dalam iusconstituendum, bagaimana

kedudukan adanya novum (bukti baru) sebagai syarat limit apabila

dimungkinkan pihak selain terpidana atau ahli warisnya akan menggunakan

upaya hukum novum seperti lembaga kejaksaan baik Penuntut Umum atau

Jaksa Agung.

Dalam hal ini penulis mencoba melihat lagi ke belakang pada kasus

Muchtar Pakpahan yang dalam pertimbangan hukum yang diberikan

15

Mahkamah Agung yang tertuang dalam putusannya disebut-sebut telah

menjadi yurisprudensi yang akan menjadi sumber hukum bagi penyelesaian

peristiwa konkrit hukum sejenis. Mahkamah Agung dalam putusan bernomor

55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Agustus 1996 mengabulkan permohonan

Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Agung. Kasus ini sejenis

dengan kasus yang penulis angkat sebagai bahan kajian penulisan hukum

yaitu dalam kasus BLBI Bank Bali dengan terpidana Djoko S. Tjandra,

dimana setelah dikeluarkannya putusan berkekuatan hukum tetap jaksa

penuntut umum mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada

Mahkamah Agung yang kemudian permohonan tersebut diterima.

Dalam hal penerimaan permohonan peninjauan kembali terhadap kasus

Djoko S. Tjandra oleh Mahkamah Agung telah menimbulkan suatu

pertanyaan, apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim mengabulkan

permintaan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali

dengan berpegang pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah mengatur

secara tegas dan limitatif bahwa yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali

adalah terpidana atau ahli warisnya, kemudian bagaimana putusan Peninjauan

Kembali tersebut dikabulkan terhadap putusan bebas terhadap terdakwa, yang

telah berkekuatan hukum tetap.

Berbagai pertanyaan yang timbul menyebabkan adanya suatu telaah

bahwa telah terdapat suatu tumbukan permasalahan hukum yaitu adanya

kesalahan persepsi dalam melaksanakan suatu upaya hukum. Karena sesuai

dengan tujuan hukum acara dalam KUHAP yaitu untuk mencari kebenaran

materiil dalam suatu peradilan pidana, yaitu hukum acara (pidana formil)

mengatur tentang bagaiamana negara melalui alat-alatnya melaksanakan

haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, atau terdapat pada

Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman

sebagai berikut:

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebernaran materiil, ialah

kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

16

menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan

tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan

suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan

dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana

telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut

Umum dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan kata lain

dari perspektif empiris, adanya keinginan untuk keluar dari sifat limitasi yang

dikandung dalam KUHAP telah menjadi kenyataan yang patut dicermati

secara sungguh-sungguh. Kemudian bagaimana analisis terhadap hal tersebut,

apa yang menjadi alasan yuridis, dan bagaimanakah terhadap penerapan

kepastian hukum di Indonesia, maka penulis mencoba untuk membahas

masalah ini dengan mengangkat judul:

”ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH

AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP

PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM

DALAM PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN

NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009)”.

B. Rumusan Masalah

Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk

mengidentifikasikan persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak

dicapai menjadi jelas, terarah serta mencapai tujuan yang ingin dicapai.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bagaimanakah pertimbangan Mahkamah Agung yang memberi kewenangan

Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali pada Putusan

Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 terkait kasus Bank Bali?

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas

yang hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam

17

melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin

dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Tujuan Obyektif

Untuk mengetahui pertimbangan hakim dan penemuan hukumnya,

sehingga dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 12

PK/Pid.Sus./2009.

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam

menyusun karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan

dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan

pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan

praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi penulis.

c. Untuk melatih kemampuan dan ketrampilan penulisan hukum penulis.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan

kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang

didapat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan data

sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk

mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu

hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya.

c. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalm mengadakan penelitian

sejenis berikutnya disamping itu sebagai pedoman bagi peneliti yang

lain di masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Memberi jawaban atas masalah yang diteliti.

18

b. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan

mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai

bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang

terkait dengan masalah yang diteliti dan berguna bagi para pihak yang

berminat pada masalah yang sama.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah berdasarkan pada

metode, sistematis dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu

atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa. (Soerjono

Soekanto, 1986:43). Selain dari apa yang tercantum dalam pengertian tersebut,

dalam penelitan hukum juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap

fakta hukum tersebut, kemudian mengusahakan pemecahan terhadap

permasalahan-permasalahan yang timbul pada gejala yang bersangkutan.

Peneliti hukum dalam penelitian hukum melakukan aktivitasnya untuk

mengungkapkan kebenaran hukum dilakukan secara terencana dan

metodologis, sistematis dan konsisten. (Bambang Sunggono, 2003: 38). Oleh

karena itu di dalam suatu penelitian hukum merupakan suatu faktor yang

penting dan menunjang proses pembahasan suatu permasalahan, dapat

dikatakan bahwa metode merupakan cara uatam yang digunakan dalam

mencapai tujuan penelitian.

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau

penulisan hukum kepustakaan. Yaitu penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yaitu data yang

diperoleh dari hasil penelitian dan kajian bahan-bahan pustaka. Bahan-

bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu

kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Penelitian

hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

19

meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka (Soerjono Soekanto &

Sri Mamudji, 2006:13-14).

2. Metodologi

Penelitian ini menggunakan jenis metodologi kualitatif, dimana

dengan mendasarkan pada data yang dinyatakan secara lisan maupun

tulisan, dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai

suatu yang utuh ( Soerjono Soekanto 1986:250).

Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini dimaksudkan

untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek

penelitian, misalnya perilaku, persepsi, tindakan, secara holistik dengan

cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

3. Pendekatan.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kasus (case approach), yaitu bertujuan untuk mempelajari penerapan

norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.

Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang

dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi

fokus penelitian. Jelas kasus-kasus yang telah terjadi bermakna empiris,

namun dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari

untuk memeperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam

suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil

analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplansi hukum (Johnny

Ibrahim, 2005: 321).

Dalam penelitian hukum ini yang menjadi fokus penelitian adalah

putusan Mahkamah Agung No. 12 PK/Pid.Sus/2009. Yaitu bagaimana

penerapan hukum atau penormaan terhadap putusan Mahkamah Agung

tersebut.

4. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dan analitis, dimana penelitian ini

disamping bermaksud untuk memberikan gambaran mengenai objek baik

20

dalam teori maupun dalam studi kasus juga bermaksud melakukan analisa

secara yuridis. Penelitian deskriptif itu sendiri mempunyai pengertian

sebagai suatu penelitian yang berusaha untuk menggambarkan tentang

keadaan dan gejala-gejala lainnya dengan cara mengumpulkan data,

menyusun, mengklarifikasi, menganalisa, serta mengintrepretasikannya

(Soerjono Soekanto, 1986: 10).

Putusan Mahkamah Agung yang menjadi penelitian hukum ini

dianalisis secara yuridis, guna untuk mencari bagaimana pertimbangan

hakim dalam pengambilan putusan dengan cara mengumpulkan data,

menganalisa dan mengintreprestasikannya.

5. Jenis Data

Berkaitan dengan jenis penelitian yang dilakukan penulis yang

merupakan penelitian normatif, maka jenis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah jenis data sekunder. Data sekunder adalah data yang

diperoleh melalui studi kepustakaan. Data sekunder didapat dari sejumlah

keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu

melalui studi kepustakaan yang terdiri dari dokumen-dokumen, buku-buku

literatur, laporan hasil penelitian, literatur, peraturan perundang-undangan

dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

6. Sumber Data

Sumber data adalah tempat dimana penelitian ini diperoleh.

Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yaitu

tempat dimana diperoleh data sekunder yang digunakan dalam penelitian

ini, meliputi :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat

mengikat (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006:13). Yang

menjadi bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini adalah:

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

21

3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

4) Putusan hakim Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009

dalam kasus Bank Bali.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer (Soerjono Soekanto dan Sri

Mamudji, 2006:13). Bahan hukum sekunder ini meliputi: jurnal,

literatur, buku, koran, laporan penelitian dan lain sebagainya yang

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder

(Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006:13). Bahan hukum tersier

yang digunakan adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus

Hukum.

7. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil

penelitian menjadi suatu laporan. Di dalam sebuah penelitian hukum

normatif, pengelolaan data hakekatnya merupakan kegiatan untuk

mengadakan sistematika terhadap bahan hukum tertulis. Sistematika

berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk

memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi (Soerjono Soekanto, 1986:

251-252).

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini

adalah dengan metode deduksi. Sebagaimana silogisme yang diajarkan

oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari

pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua

premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Selanjutnya

Hadjon dalam pemaparannya mengemukakan bahwa di dalam logika

silogistik untuk penalaran hukum yang merupakan premis mayor adalah

22

aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum (Peter

Mahmud Marzuki, 2005: 47). Sehingga dalam penelitian hukum ini yang

menjadi premis minornya adalah pertimbangan hakim Mahkamah Agung

dalam menerima permohonan peninjauan kembali oleh penuntut umum

dan yang merupakan premis mayornya adalah Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang KUHAP terutama dalam Pasal 263 ayat (1).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan,

penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun

sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar

belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka

teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis

akan menguraikan tinjauan umum tentang hakim dan kekuasaan

kehakiman, putusan hakim, putusan bebas, peninjauan kembali,

hak penutut umum mengajukan peninjauan kembali, asas

kepastian hukum, dan penerapan KUHAP. Sedangkan dalam

kerangka pemikiran penulis akan menampilkan bagan kerangka

pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai analisis

kewenangan pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut

Umum ditinjau dasri asas kepastian hukum dalam perspektif

KUHAP terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 12

PK/Pid.Sus/2009 dalam kasus Bank Bali.

BAB IV : PENUTUP

23

Dalam bab ini akan diuraikan simpulan mengenai hasil penelitian

yang telah diuraikan dalam Bab III dan juga berisi saran

sehubungan dengan hasil penelitian yang telah didapat.

DAFTAR PUSTAKA

24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan Kehakiman

Aparat penegak hukum yang melaksanakan penegakan hukum

adalah kepolisian sebagai penyidik, Jaksa Penuntut Umum sebagai

penuntut umum dan hakim. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan

putusan terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan

integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan.

a. Pengertian Hakim

Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP

yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara

yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Selain

di dalam KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 31

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hakim adalah

pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam

undang-undang.

b. Pengertian Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka,

seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu

bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka,

artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan

pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam

Undang-Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti

bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh Undang-Undang.

Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang

memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi

kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat

25

hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada

penuntut umum. Dengan demikian diharapkan kebenaran materil

akan terungkap, dan hakimlah yang bertanggung jawab atas segala

yang diputuskannya.

Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan

masalah bagaimana hakim dapat menemukan hukum berdasarkan

keyakinannya dalam menangani suatu perkara. Kebebasan hakim

dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum.

Tetapi untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada

yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal yang biasa disebut

dengan doktrin.

Hakim tidak memihak berarti juga bahwa hakim itu tidak

menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian,

menurut hukum hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah,

misalnya tentang keharusan ganti kerugian yang tercantum dalam

KUHAP (Andi Hamzah, 2005: 99-101).

c. Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim

Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim

adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila

melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga

keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan

masyarakat Indonesia.

Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim

mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab hukum.

Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan

tertuang dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggung

jawab profesi. Tanggung jawab tersebut dapat dibedakan menjadi

tiga jenis, yaitu :

1) Tanggung jawab moral

26

Adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan

norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi

yang bersangkutan (hakim), baik bersifat pribadi maupun

bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan

wadah para hakim bersangkutan.

2) Tanggung jawab hukum

Adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk

dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-

rambu hukum.

3) Tanggung jawab teknis profesi

Adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk

melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria

teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan,

baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam

lembaganya.

2. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim

a. Pengertian dan Jenis Putusan Hakim

Pengertian putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan

Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI tahun 1985

adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah

dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat

berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan

sebagai terjemahan dari kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan

perkara di sidang pengadilan. (Evi Hartanti, 2006: 52)

Dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP diatur bahwa putusan

sedapat mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan

permufakatan yang bulat, kecuali hal itu telah diusahakan sungguh-

sungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua cara:

1) Putusan diambil dengan suara terbanyak.

27

2) Jika yang tersebut pada huruf a tidak juga dapat diperoleh

putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling

menguntungkan bagi terdakwa.

Jenis-jenis putusan hakim dalam perkara pidana,

diklasifikasikan menjadi dua,yaitu :

1) Putusan yang bukan putusan akhir

Dalam praktik peradilan bentuk dari putusan yang bukan

putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela. Putusan

jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat

(1) KUHAP, yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara dan

apabila terdakwa dan atau penasihat hukumnya mengajukan

keberatan/eksepi terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum

(Lilik Mulyadi, 2007: 125). Putusan yang bukan putusan akhir,

antara lain :

a) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili.

b) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi

hukum.

c) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat

diterima.

2) Putusan akhir

Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan istilah

“putusan” atau “eind vonnis” dan merupakan jenis putusan

bersifat materiil. Pada hakikatnya putusan akhir dapat terjadi

setelah Majelis Hakim memeriksa terdakwa yang hadir di

persidangan sampai dengan “pokok perkara” selesai diperiksa.

(Lilik Mulyadi, 2007 : 124). Bentuk dari putusan akhir, antara

lain :

a) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala

tuntutan hukum (Onslag van alle rechtsvervolging).

b) Putusan bebas (vrijspraak).

c) Putusan pemidanaan (veroordeling).

28

b. Formalitas yang Harus Dipenuhi dalam Putusan Hakim

Secara umum formalitas yang harus ada dalam suatu putusan

hakim baik terhadap putusan permohonan Peninjauan Kembali

dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP. Dari ketentuan tersebut sedikitnya

10 (sepuluh) buah elemen harus terpenuhi. Dan menurut ayat (2)

pasal tersebut, apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi kecuali

yang tersebut pada huruf g dan i, maka putusan batal demi hukum

(van rechtswege nietig ).

c. Pertimbangan Hakim dalam Putusan

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dapat dibagi

menjadi dua kategori, yaitu :

1) Pertimbangan yang bersifat yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan

hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap

dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai

hal yang harus dimuat di dalam putusan.

2) Pertimbangan yang bersifat non yuridis.

Pertimbangan yang tidak berdasarkan Undang-Undang

atau pertimbangan yang berdasarkan peraturan di luar Undang-

Undang.

3. Tinjauan Tentang Putusan Bebas (Vrijspraak)

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang

berbunyi “ Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di

sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada

terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa

diputus bebas ”.

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP

dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan

kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup

terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan

menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

29

4. Tinjauan Umum Tentang Peninjauan Kembali

a. Pengertian Peninjauan Kembali

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak

memberikan definisi mengenai Peninjauan Kembali putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, oleh

karena itu pengertiannya harus dicari baik di dalam penjelasannya.

Disamping itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan praktek turut

pula menunjang di dalam mencari pengertian tersebut. Dalam pasal

263 Ayat (1) KUHAP, dijelaskan bahwa terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali

putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau

ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali

kepada Mahkamah Agung. Dalam penjelasan Pasal 263 Ayat (1)

KUHAP hanya menyebutkan bahwa pasal ini memuat alasan secara

limiatif untuk dapat dipergunakan meminta Peninjauan Kembali

suatu putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap. Dalam penjelasan tersebut tidak dijelaskan mengenai

pengertian Peninjauan Kembali. Hal tersebut memberikan arti bahwa

pembuat undang-undang menganggap bahwa para pembaca KUHAP

telah mengerti maksud pembuat undang-undang.

Andi Hamzah dan Irdan Dahlan memberikan definisi:

Peninjauan Kembali, yaitu hak terpidana untuk meminta

memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap, sebagai

akibat kekeliruan atau kelalaian hakim dalam menjatuhkan

putusannya. Subyek pengaju/ pemohon Peninjauan Kembali

merupakan hak semata dari terpidana manurut pengertian tersebut

atau hak bahwa Peninjauan Kembali bukan merupakan hak Jaksa

Penuntut Umum, apalagi upaya jaksa tersebut memohonkan

Peninjauan Kembali seseorang yang telah diputus pengadilan secara

tanpa pemidanaan.

30

Berdasar uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa Peninjauan

Kembali memiliki unsur-unsur yang sangat limitatif sebagai berikut:

a. Meninjau Kembali

b. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap

c. Tidak merupakan putusan bebas atau putusan lepas

d. Ditujukan untuk terpidana atau ahli warisnya

b. Proses Acara Peninjauan Kembali dalam KUHAP

1) Putusan pengadilan yang dapat dimintakan Peninjauan Kembali,

yaitu:

a) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap

Upaya hukum Peninjauan Kembali baru dapat

dipergunakan setelah upaya hukum biasa (banding dan

kasasi) telah tertutup. Tahap proses upaya hukum Peninjauan

Kembali adalah tahap proses yang telah melampaui upaya

hukum biasa.

b) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan

Upaya hukum Peninjauan Kembali dapat diajukan

terhadap semua putusan pengadilan, dapat diajukan terhadap

putusan Pengadilan Negeri, apabila putusan tersebut telah

berkekuatan hukum tetap. Demikian pula terhadap putusan

Mahkamah Agung, dapat diajukan permintaan Peninjauan

Kembali, setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan

hukum tetap.

c) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas terhadap semua

tuntutan hukum

Terpidana yang sudah dibebaskan dari pemidanaan

atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak mungkin

mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang

menguntungkan dirinya.

31

2) Para ahli yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali

Pasal 263 ayat (1) KUHAP menegaskan mengenai pihak

yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali, yakni terpidana

atau ahli warisnya. Dari penegasan tersebut, Jaksa Penuntut

Umum tidak berhak mengajukan permintaan Peninjauan

Kembali. Dapat dilihat dari ketentuan Pasal 263 ayat (1)

KUHAP, undang-undang tidak memberi hak kepada Jaksa

Penuntut Umum karena upaya hukum ini bertujuan untuk

melindungi kepentingan terpidana. Hak mengajukan permintaan

Peninjauan Kembali adalah merupakan hak timbal balik yang

diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan

ha mengajukan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan

undang-undang kepada Penuntut Umum melalui Jaksa Agung

seperti diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP yang

selengakapnya berbunyi “Demi kepentingan hukum terhadap

semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

dari pengadilan lain selain Mahkamah Agung, dapat diajukan

satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung”.

3) Alasan Peninjauan Kembali

Ketentuan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 263 ayat (2):

a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan

kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu

sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan

bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau

tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima atau terhadap

perkara itu diterapkan tuntutan pidana yang lebih ringan.

Bukti baru atau disebut juga novum merupakan satu dari

alasan limitatif untuk pengajuan Peninjauan Kembali.

32

b) Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa

sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai

dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,

ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.

c) Apabila putusan itu telah dengan jelas memperlihatkan suatu

kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata.

d) Apabila dalam suatu putusan, suatu perbuatan yang

didakwakan telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti

oleh suatu pemidanaan. Ketentuan ini terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP Pasal

263 ayat 93).

4) Tata cara mengajukan Peninjauan Kembali

a) Permintaan diajukan kepada panitera

Pemohon mengajukan permintaan kepada penitera

Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu pada tingkat

pertama. Pengadilan negeri selanjutnya akan meneruskan

permintaan itu kepada Mahkamah Agung. Permintaan

Peninjauan Kembali pada prinsipnya diajukan secara tertulis

dan boleh juga diajukan secara lisan, dengan menyebutkan

alasan-alasan yang mendasari permintaan Peninjauan

Kembali.

b) Panitera membuat Akta permintaan Peninjauan Kembali

Untuk pertanggungjawaban yuridis panitera Pengadilan

Negeri yang menerima permohonan permintaan mencatat

dalam sebuah surat keterangan yang lazim disebut “akta

permintaan Peninjauan Kembali”. Akta atau surat keterangan

ditandatangani oleh panitera dan pemohon, kemudian akta

tersebut dilampirkan dalam berkas perkara.

c) Tenggang waktu mengajukan permintaan Peninjauan

Kembali

33

Mengenai tenggang waktu mengajukan permintaan

Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 264 ayat (93) yang

menegaskan bahwa permintaan adalah ada atau tidak alasan

yang mampu mendukung permintaan Peninjauan Kembali.

5) Pemeriksaan permintaan di sidang Pengadilan Negeri

a) Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan

memeriksa

Setelah menerima permintaan Peninjauan Kembali,

ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan

penunjukan hakim. Hakim yang ditunjuk tidak boleh yang

dulu memeriksa dan memutus perkara yang diajukan

Peninjauan Kembali tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk

menjaga netralitas dan objektivitas terhadap pemeriksaan

permohonan Peninjauan Kembali tersebut, dan tetap

mengingat bahwa hakim atau majelis yang ditunjuk harus

hakim yang tidak terlibat dalam pemeriksaan perkara

semula. (M. Yahya Harahap, 2002: 625-626).

b) Objek pemeriksaan sidang

Pemeriksaan sidang hanya pada alasan permintaan

Peninjauan Kembali dan tidak di luar hal yang menjadi

alasan permohonan Peninjauan Kembali. Hakim meneliti

dan menguji apakah alasan pengajuan sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

Pasal 263 ayat (2). Hakim hanya berwenang menilai secara

formal yang akan dituangkan dalam berita acara pendapat.

Sedangkan dari segi materiil merupakan wewenang

Mahkamah Agung dalam melakukan penilaian terhadap

alasan Peninjauan Kembali yang diajukan.

c) Sifat pemeriksaan persidangan resmi dan terbuka untuk

umum

34

Pasal 265 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang KUHAP mengatakan bahwa Jaksa Penuntut

Umum dan pemohon lkut hadir dalam menentukan

pendapatnya. Berdasarkan Pasal 265 tersebut dapat dilihat

bahwa sifat pemeriksaannya resmi dan terbuka untuk umum,

hanya saja pemeriksaan berbeda dengan sidang biasanya.

d) Berita acara pemeriksaan

Pasal 265 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang KUHAP mengatakan “Atas pemeriksaan

tersebut dibuat pemeriksaan tersebutdibuat acara

pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa,

pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara pendapat

yang ditandantangani oleh hakim dan panitera”. Ketentuan

dalam Pasal 265 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang KUHAP ini berbeda dan merupakan

penyimapangan terhadap Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyatakan

bahwa berita acara sidang ditandatangani oleh hakim dan

penitera.

e) Berita acara pendapat

Terdapat dua berita acara dalam pemeriksaan

pengajuan Peninjauan Kembali di sidang Pengadilan Negeri,

yaitu berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat.

Jadi berita acara pendapat merupakan pendapat dan

kesimpulan yang berisi penjelasan dan saran Pengadilan

Negeri yang disampaikan kepada Mahkamah Agung agar

menerima atau menolak pengajuan Peninjauan Kembali

tersebut karena sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan

Pasal 263 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang KUHAP; juga dapat perumusan dari berita

pemeriksaan sesuai ketentuan Pasal 265 ayat (3).

35

f) Pengadilan Negeri melanjutkan permintaan Peninjauan

Kembali kepada Mahkaah Agung

Ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 264

ayat (5) dan Pasal 265 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang KUHAP. Namun ketentuan dalam pasal

yang pertama tidak efektif dan mubazir, karena dalam Pasal

265 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

KUHAP ketentuannya lebih terperinci yang berbunyi “Ketua

pengadilan segera malanjutkan permintaan Peninjauan

Kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara

pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada mahkamah

Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan

kepada pemohon dan jaksa.

6) Putusan Peninjauan Kembali, yang berupa:

a) Putusan pemidanaan, yaitu putusan yang berisi penjatuhan

pidana atau putusan yang berisi penghukuman atau putusan

yang berupa pernyataan salah terhadap terdakwa, yang

terdapat dalam Pasal 193 Ayat (1) KUHAP jo. Pasal 183

KUHAP.

b) Putusan bebas, hakim akan memutus bebas jika kesalahan

terdakwa tentang melakukan perbuatan yang didakwakan

kepadanya tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, yang

terdapat dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP.

c) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan ini

dijatuhkan jika perbuatan terdakwa yang terbukti itu bukan

merupakan suatu tindak pidana, atau hilang sifat melawan

hukumnya perbuatan karena dibenarkan oleh UU (pasal 191

Ayat (2) KUHAP.

7) Asas yang ditentukan dalam Peninjauan Kembali, yaitu:

a) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.

36

Asas ini bermaksud membuka kesempatan bagi

terpidana untuk membela kepentingan, agar bisa terlepas dar

ketidakbenaran penegakan hukum.

b) Permintaan Peninjauan Kembali tidak mengguhkan putusan.

Asas ini menghendaki sikap dan kebijakan yang

matang dan beralasan serta mengaitkan dengan jenis tindak

pidana maupun dengan sifat dan kualitas alasan yang menjadi

landasan permintaan Peninjauan Kembali.

c) Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu

kali.

Sesuai yang terdapat dalam Pasal 268 Ayat (3) yang

berbunyi “permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan

hanya dapat dilakukan satu kali saja”.

5. Tinjauan Umum Tentang Hak Penuntut Umum Mengajukan

Peninjauan Kembali

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1

Ayat (6) huruf a menyebutkan Jaksa adalah pejabat yang diberi

wewenang oleh KUHAP untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap. Ketentuan ini juga dinyatakan dalam Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kajaksaan RI Pasal 1 menyebutkan jaksa

adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (2)

menyebutkan Penuntut Umum adalah jaksa yang diberian wewenang

oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan

penetapan hakim.

Dalam pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

menyatakan bahwa Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan

atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki.

37

Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,

jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti

yang sah. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa

senantiasa bertindakan berdasarkan hukum dengan menindahkan norma-

norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat,

serta senantiasa menjadi kehormatan dan martabat profesinya. Kejaksaan

merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara

di bidang penuntutan yang merupakan kesatuan dan tidak terpisah-pisah

dalam melakukan penuntutan. Pelaksanaan kekuasaan negara

sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dilaksanakan oleh Kejaksaan

Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri.

Penegakan kepastian hukum dengan mengorbankan rasa keadilan

masyarakat lantaran putusan pengadilan yang mengandung kekhilafan

hakim merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita hukum khususnya

KUHAP itu sendiri. Tetapi di lain pihak mengorbankan kepastian hukum

demi mementingkan rasa keadilan masyarakat juga akan menimbulkan

runtuhnya wibawa hukum yang berakibat lebih jauh timbulnya anarki

dan kekacauan maka usaha untuk menemukan hukum dalam

peneyelesaian masalah dimungkinkannya Peninjauan Kembali oleh Jaksa

Penuntut Umum harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tetap

mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam

hal ini KUHAP. Oleh karena itu hukum sering dikatakan adalah apa yang

menjadi perilaku para penegaknya khususnya khususnya hakim melalui

putusannya.

Dengan lahirnya putusan Nomor 55 PK/Pid/1996 (tanggal 25

Oktober) yang menerima secara formal permintaan peninjauan kembali

penuntut umum dalam kasus Muchtar Pakpahan, telah menimbulkan

suatu pandangan atau telah menjadi preseden Jaksa Penuntut Umum

untuk melakukan peninjauan kembali. Putusan tersebut telah menjadi

38

yurisprudensi baru, dimana memperbolehkan pihak selain terpidana atau

ahli warisnya mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali.

Istilah yurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia yang berasal

dari bahasa latin, yang dalam bahasa Indonesianya berarti pengetahuan

hukum. Istilah lainnya adalah yurisprudentie dalam bahasa Belanda dan

juridprudence dalam bahasa Perancis yang berarti peradilan-tetap atau

hukum-peradilan.

Sesuai pasal 263 ayat (3) KUHAP bahwa atas dasar alasan yang

sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan

permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu

perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak

diikuti oleh suatu pemidanaan, maka menurut Prof. Dr. Andi Hamzah

SH, hanya berarti untuk rehabilitasi nama terdakwa belaka.

Menurut Al. Wisnubroto dalam keadaan normal, aturan bahwa

PK adalah hak terpidana dan ahli warisnya adalah prinsip yang harus

ditegakkan. Namun bila keadaannya bersifat anomaly seperti extra-

ordinary crimes (misal: Kejahatan Lingkungan, Korupsi, Pelanggaran

HAM berat) harus ada sebuah pengecualian guna membuka kebuntuan

hukum dalam pencapaian keadilan. Prinsip progresif dalam pengecualian

PK kontroversial ini berlaku pula untuk PK atas PK dan PK yang

diajukan lebih dari dua kali. Bila pengecualian yang berupa terobosan

hukum (rule breaking) tersebut dipandang bisa memberikan keadilan

yang substansial, maka ke depan seyogyanya pengecualian tersebut bisa

diintegrasikan pada penyempurnaan aturan PK dalam hukum positif

(KUHAP), agar tidak ada persoalan lagi pada kepastian hukumnya.

Ketua MA Harifin A Tumpa mengatakan prinsipnya peninjauan

kembali oleh jaksa memang tidak dibolehkan. Kecuali jaksa bisa

membuktikan dan meyakinkan hakim agung ada kepentingan umum dan

kepentingan negara yang lebih besar yang harus dilindungi. Karenanya,

MA tak sembarangan mengabulkan PK yang diajukan jaksa. Dua syarat,

39

adanya kepentingan umum dan kepentingan negara, harus benar-benar

terpenuhi.

Sedangkan menurut M. Yahya Harahap SH, seseorang yang telah

dijatuhi putusan bebas, harus dihormati dan dijunjung tinggi hak asasi

atas pembebasan kesalahan yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan

landasan Hak Asasi Manusia yang demikian, terhadap putusan

pembebasan, jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan peninjauan

kembali. Lagi pula Pasal 263 KUHAP, menutup pintu bagi penuntut

umum untuk mengajukan peninjauan kembali.

6. Pengaturan Tentang Peninjauan Kembali dalam Perundang-

Undangan di Indonesia

Dalam aturan tentang Peninjauan Kembali dalam KUHAP ini

terdapat pada berbagai pasal, yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

Pasal 1

12) Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk

tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan

atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan

permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini.

Pasal 263

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan

permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:

a) apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan

kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu

sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan

bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau

40

tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap

perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b) apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa

sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai

dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,

ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c) apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu

kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2)

terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan

kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang

didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti

oleh suatu pemidanaan.

Pasal 264

1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera

pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat

pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 245 ayat (2)

berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.

3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu

jangka waktu.

4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang

kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima

permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah

alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera

membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.

5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan

peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada penjauan

41

kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung,

disertai suatu catatan penjelasan.

Pasal 265

1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan

kembali sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat (1)

menunjukkan hakim yang tidak memerisa perkara semula yang

dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah

permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat (2).

2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1),

pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan

pendapatnya.

3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang

ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan

berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang

ditandatangani oleh hakim dan panitera.

4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan

kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara

pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah

Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada

pemohon dan jaksa.

5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali

adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat

pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara

pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaiakan

kepada pengadilan banding yang bersangkutan.

Pasal 266

1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi

ketentuan sebagaimana tersebut pada pasal 263 ayat (2),

Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan

kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya.

42

2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan

peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku

ketentuan sebagai berikut:

a) Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan

pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan

peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan

yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku

disertai dasar pertimbangannya;

b) Apabila Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon,

Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan

peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang

dapat berupa:

1) putusan bebas;

2) putusan lepas dari segala tuntutan hukum;

3) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;

4) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang

lebih ringan.

3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak

boleh melebihi pidana yag telah dijatuhkan dalam putusan

semula.

Pasal 267

1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali

beserta berkas perkaranya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah

putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang

melanjutkan permintaan peninjauan kembali.

2) Ketentuan sebagiamana dimaksudkan dalam Pasal 243 ayat (2),

ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan

Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali.

Pasal 268

43

1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak

menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan

tersebut.

2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima

oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal

dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali

tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.

3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat

dilakukan satu kali saja.

Pasal 269

Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan

Pasal 268 berlaku begi acara permintaan peninjauan kembali

terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

b. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung

Pasal 34

Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan

kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-

alasan yang diatur dalam Bab IV bagian keempat undang-undang ini.

Pasal 66

1) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu)

kali.

2) Permohonan peninjauan kembali tidak mengangguhkan atau

menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum

diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan

kembali itu tidak dapat diajukan lagi.

Pasal 67

44

Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dijukan hanya berdasarkan

alasan-alasan sebagai berikut.

a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu

muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus

atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim

pidana dinyatakan palsu;

b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat yang

bersidat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak

dapat ditemukan;

c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau

lebih dari pada yang dituntut;

d) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus

tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal

yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama

atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan

satu dengan yang lain;

f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kakhilafan hakim

atau suatu kekeliruan yang nyata.

Pasal 68

1) Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh

para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang

wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

2) Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal

dunia, permohona dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.

Pasal 69

Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang

didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67

adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk:

45

a) Yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu

muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan

hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang

berperkara;

b) Yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti,

yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah

sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;

c) Yang disebut pada huruf c, d dan f sejak putusan memperoleh

kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada parapihak

yang berperkara;

d) Yang tersebut pada huruf e sejak putusan terakhir dan

bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah

diberitahukan kepada pihak yang berperkara.

Pasal 70

1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada

Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang

memutus perkara dalam tingkat pertama dengan mambayar

biaya perkara yang diperlukan.

2) Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali

pada tingkat pertama dan terakhir.

Pasal 71

1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon secara

tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang

dijadikan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan

Pengadilan Negeri.

2) Apabila permohonan tidak dapat menulis, maka ia menguraikan

permohonannya cesara lisan di hadapan Ketua Pengadilan

Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim

yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan yang akan membuat

catatan tentang permohonan tersebut.

Pasal 72

46

1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutuskan perkara

dalam tingkat pertama menerima permohonan peninjauan

kembali, maka Panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya

dalam waktu 14 (empat belas) hari memberikan atau

mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan

pemohon, dengan maksud:

a. Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas

alasan sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 huruf a atau ba

agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk

mengajukan jawabannya;

b. Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan

salah satu alasa yang tersebut Pasal 67 huruf c sampai

dengan huruf f agar dapat diketahui.

2) Tenggang waktu bagi pihak lawan untuk mengajukan

jawabannya sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a adalah

30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan

permohonan peninjauan kembali.

3) Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan

yang memutus perkara dalam tingkat pertama dan pada surat

jawaban itu oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal

diterimanya jawaban tersebut, yang salinannya disampaikan atau

dikirimkan pihak pemohon untuk diketahui.

4) Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta

biayanya oleh Panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung

selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.

5) Untuk permohonan peninjauan kembali tidak dapat diadakan

surat menyurat antara pemohon dan/ atau pihak lain dengan

Mahkamah Agung.

Pasal 73

1) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pangadilan

Negeri yang memeriksa perkara dalam Tingkat Pertama atau

47

Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara dalam Tingkat

Pertama ata Pengadilan Tingkat Banding mengadakan

pemeriksaan tambahan, atau meminta segala keterangan serta

pertimbangan dari Pengadilan yang dimaksud.

2) Mahkamah Agung dapat meminta pemeriksaan dari Jaksa

Agung atau dari pejabat lain yang diserahi tugas penyidikan

apabila diperlukan.

3) Peengadilan yang dimaksud ayat (1), setelah melaksanakan

perintah Mahkamah Agung tersebut segera mengirimkan berita

acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan sebagaimana

dimaksudkan ayat (1), kepada Mahkamah Agung.

Pasal 74

1) Dalam hal Mahakmah Agung mengabulkan permohonan

peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan

yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya

memeriksa dan memutus sendiri perkaranya.

2) Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali,

dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan

itu tidak beralasan.

3) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksudkan ayat (1)

dan ayat (2) disertai pertimbangan-pertimbangan.

Pasal 75

Mahkamah Agung mengirim salinan putusan atas permohonan

peninjauan kembali kepada Pengadilan Negeri yang memutus

perkara dalam Tingkat Pertama dan selanjutnya Panitera Pengadilan

Negeri yang bersangkutan menyampaikan salinan putusan itu kepada

pemohon serta memberitahukan putusan itu kepada pihak lawan

dengan memberikan salinanya, selambat-lambatnya dalam waktu 30

(tiga puluh) hari.

Pasal 76

48

Dalam pemeriksaan permohonan peninjauan kembali putusan

perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

digunakan secara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman

Pasal 23

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat

hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undang-

undang.

2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan an

peninjauan kembali.

B. Kerangka pemikiran

Putusan berkekuatan hukum tetap

Upaya hukum

Peninjauan Kembali (PK)

Praktek peradilan/ yurisprudensi MA

Teoritik pasal 263ayat (1) KUHAP

Jaksa Penuntut Umum Terpidana/Ahli warisnya

Analisis kewenangan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan

Peninjauan Kembali

49

Suatu putusan Hakim yang sudah berkekuatan hukum

tetapdimungkinnya diajukannya suatu upaya hukum. Upaya hukum

teralhir yang dapat dilakukan adalah Peninjauan Kembali. Pengaturan

mengenai pengajuan peninjauan kembali secara teoritik terdapat dalam

pasal 263 ayat (1) KUHAP yaitu pihak yang dapat mengajukan peninjauan

kembali adalah terpidana atau ahli warisnya yang memperoleh

pemidanaan. Sedangkan dalam putusan bebas tidak dapat diajukan suatu

peninjauan kembali, karena upaya hukum ini diperuntukkan sebagai upaya

hukum terakhir terpidana apabila merasa belum tercapainya suatu keadilan

kepadanya. Namun dalam praktek peradilan di Indonesia sekarang ini,

jaksa penuntut umum dapat mengajukan peninjauan kembali terhadap

terdakwa yang sifatnya memberatkan. Hal ini berdasarkan atas

yurisprudensi Mahkamah Agung yaitu sejak dikeluarkannya putusan

Nomor 55 PK/Pid/1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan. Hal ini

menimbulkan suatu analisis mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum

dalam mengajukan Peninjauan Kembali dan bagaimanakah dengan

kepastian hukum menurut KUHAP. Berdasarkan permasalahan tersebut di

atas penulis mengangkatnya sebagai sebuah penelitian hukum.

50

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis Pertimbangan Mahkamah Agung yang Memberi Kewenangan Jaksa

Penuntut Umum untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Pada Putusan

Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 terkait Kasus Bank Bali.

Pada bab ini peneliti akan menyajikan data yang diperoleh selama

melakukan penelitian, data tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan dan

analisa kasus yang telah menjadi berkas perkara. Berkas perkara disini yang

dipelajari adalah berkas perkara yang telah diputus pada pengadilan tingkat

Peninjauan Kembali yaitu di Mahkamah Agung Jakarta Selatan. Kasus atau

berkas perkara tersebut diperoleh dengan cara pengambilan data dari dokumen

putusan perkara yang tercatat di Mahkamah Agung Jakarta Selatan.

Adapun kasus tersebut di atas dapat didefinisikan sebagai berikut, yaitu

putusan perkara Mahkamah Agung Nomor : 12 PK/Pid.Sus./2009 dalam perkara

Peninjauan Kembali dengan terdakwa Djoko S. Tjandra. Untuk mengetahui lebih

rinci dan mendalam tentang berkas perkara tersebut, maka berikut ini peneliti

akan menguraikan hasil penelitian yang telah diperoleh.

A. Kasus Posisi

Kasus Skandal Bank Bali bermula ketika Djoko S. Tjandra ditahan polisi

karena melakukan korupsi pengalihan hak tagih piutang (Cessie) Bank Bali

yaitu pada 11 Januari 1999, ada perjanjian cessie Bank Bali ke BDNI (Bank

Dagang Nasional Indonesia) sebesar Rp 598 miliar dan BUN (Bank Umum

Nasional) sebesar Rp 200 miliar antara Bank Bali dan PT EGP (Era Giat

Prima). Selanjutnya, 3 Juni 1999 BPPN (Badan Penyehatan Perbankan

Nasional) menginstruksikan transfer dana dari rekening Bank Bali di Bank

Indonesia ke sejumlah rekening berjumlah Rp 798 miliar secara bersamaan.

Rinciannya, Rp 404 miliar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp 274

miliar ke rekening Djoko S. Tjandra di BNI Kuningan, dan Rp120 miliar ke

rekening PT EGP di BNI Kuningan. Setelah tagihan itu cair, PT EGP menulis

surat ke BPPN. Isi surat itu adalah permintaan agar kewajiban PT BUN

kepada Bank Bali sebesar Rp 204 miliar dan bunga sebesar Rp 342 miliar

51

dibayarkan kepada PT EGP. Lalu, PT EGP mendapat fee tadi, sebesar

Rp546,468 miliar. Namun karena kemudian kasus ini mencuat ke permukaan

dan Direktur Utama EGP Djoko S. Tjandra dimeja-hijaukan, akhirnya PT

EGP mengembalikan dana tersebut ke Bank Bali. Setelah melalui jalannya

persidangan, pada 28 Agustus 2000 Majelis Hakim tingkat pertama

(Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) yang memeriksa perkara menjatuhkan

vonis bebas (Putusan Nomor 156/PID.B/2000/PN.JAK-SEL) kepada terdakwa

korupsi Djoko S. Tjandra. Kemudian dikarenakan putusan dari Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan adalah lepas dari segala tuntutan hukum, maka

terhadapnya Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi dan

Majelis Hakim di tingkat Kasasi menjatuhkan putusan pada 28 Juni 2001

(Putusan Nomor 1688 K/Pid/2000) yaitu menolak permohonan Kasasi dari

Pemohon Kasasi Jaksa Penuntut Umum. Terhadap putusan Makamah Agung

tersebut maka Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 3 September 2008

mengajukan Peninjauan Kembali. Kemudian Mahkamah Agung melalui

putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/Pid.Sus./2009, mengabulkan

Peninjauan Kembali dari Jaksa Penuntut Umum dan menyatakan terdakwa

Djoko S. Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan

tindak pidana korupsi dan dik.nai vonis dua tahun penjara dan denda 15 juta

rupiah. Namun Djoko S. Tjandra dan kuasa hukumnya OC Kaligis

menganggap ada kesalahan fatal dalam putusan Majelis Hakim yang

mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Penuntut Umum atas

kasus cessie Bank Bali, bahwa dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP

menyebutkan Peninjauan Kembali itu hanya kepentingan terpidana, kemudian

putusan MK pada 2008, menyatakan secara normatif Pasal 263 ayat (1)

tersebut tidak bisa diubah. Untuk itu kuasa hukum Djoko S. Tjandra

mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung atas putusan

Nomor 12 PK/Pid.Sus./2009 tersebut, dalam permohonannya menyebutkan

bahwa putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan Peninjauan Kembali

dari Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pengalihan hak tagih piutang Bank

Bali adalah kesalahan fatal dalam sejarah tindak pidana di Indonesia, putusan

52

itu memperlihatkan kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata karena

melampaui kewenangan Mahkamah Agung. Dalam KUHAP, tidak ada satu

ketentuan pun yang memberikan hak bagi jaksa mengajukan Peninjauan

Kembali (http://antikorupsi.org/indo). Namun dalam sidang yang dipimpin

Ketua Majelis Hakim Hari Sasangka, pengajuan Peninjauan Kembali oleh

Djoko S. Tjandra tak dibenarkan. Bahwa berdasarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung (SEMA) 10/2009, hanya satu kali pengajuan Peninjauan

Kembali untuk perkara yang sama.

B. Identitas Terdakwa

Nama : Joko Soegiarto Tjandra

Tempat lahir : Sanggau, Kalimantan Barat

Umur/Tanggal lahir : 49 tahun/27 Agustus 1950

Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Jl. Simprug Blok I Kav 89 Rt 03/08 Grorol Selatan,

Jakarta Selatan

Agama : Islam

Pekerjaan : Direktur PT. Era Giat Prima

C. Dakwaan

Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra diajukan ke persidangan Mahkamah

Agung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dakwaan melanggar :

1. Primair

Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang Undang Nomor 3

Tahun 1971 jo Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1)

ke – 1 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang Undang

Hukum Pidana.

2. Subsidair

53

Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 Undang Undang Nomor 3

Tahun 1971 jo Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1)

ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum

Pidana.

3. Lebih Subsidair Lagi

Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang

Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999

jo Pasal 55 ayat (1) ke –1 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (2) Kitab

Undang Undang Hukum Pidana.

4. Lebih Lebih Subsidair Lagi

Pasal 480 ke-1 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

D. Tuntutan

Agar Majelis Hakim yang mengadili perkara ini menyatakan JOKO

SOEGIARTO TJANDRA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana kejahatan : “Turut serta melakukan tindak pidana

korupsi dan berturut-turut sebagai perbuatan berlanjut”. Sebagaimana diatur

dan diancam pidana dalam pasal 1 ayat (1) sub a Jo pasal 28 Jo pasal 34 c

Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 Jo Undang-Undang Nomor 31 tahun

1999 Jo Pasal 55ayat (1) ke 1 Jo Pasal 64 ayat (1) Jo Pasal 1 ayat (2) KUHP

dan untuk kesalahannya tersebut mohon agar JOKO SOEGIARTO TJANDRA

dijatuhi :

1. Pidana penjara selama1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dengan ketentuan

bahwa pidana tersebut akan dikurangi selama terdakwa berada dalam

tahanan sementara dan pidana denda sebesar Rp 30.000.000,00 (tiga puluh

juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan;

2. Merampas untuk negara barang bukti berupa dana sebesar

Rp.546.468.544.738,- (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus

enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga

puluh delapan rupiah);

54

3. Sedangkan barang bukti berupa surat-surat sebagaimana tersebut dalam

daftar barang bukti digunakan untuk perkara lain;

4. Mohon agar Terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp 7 500,- (tujuh

ribu lima ratus rupiah).

E. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.

156/PID.B/2000/PN.Jak.Sel., tanggal 28 Agustus 2000:

1. Menyatakan perbuatan Terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA

tersebut diatas sebagaimana dalam dakwaan Primair terbukti, tetapi

perbuatan itu tidak merupakan perbuatan pidana;

2. Menyatakan Terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA dilepas dari

segala tuntutan hukum (Onslag van rechtverfolging);

3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat

serta martabatnya;

4. Membebankan biaya perkara kepada Negara;

5. Memerintahkan barang bukti berupa dana yang ada dalam Escrow

Account Bank Bali No.0999.045197 sejumlah Rp.546.166.116.369,-

dikembalikan kepada PT. Era Giat Prima;

6. Sedangkan barang bukti berupa dana yang ada pada BNI 46 Rasuna Said

Jakarta Selatan sejumlah Rp.28.756.160,- dikembalikan kepada Terdakwa

JOKO SOEGIARTO TJANDRA;

7. Menyatakan barang bukti lainnya berupa surat-surat sebagaimana dalam

daftar barang bukti digunakan dalam perkara lain;

F. Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No.1688 K/Pid/2000

tanggal 28 Juni 2001:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : JAKSA

PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA

SELATAN, tersebut;

2. Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada

Negara.

G. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum:

55

1. Terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika

keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,

hasilnya akan berupa putusan pemidanaan.

Adapun keadaan baru yang dimaksud dalam memori ini adalah:

a. Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Peninjauan Kembali

TUN Nomor : 21.PK/TUN/2003 tanggal 6 Oktober 2004 yang

amarnya: Menolak Permohonan Peninjauan Kembali dari Drs.Setya

Novanto dengan salah satu pertimbangannya di hal. 24 menyatakan :

"bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena pembatalan

perjanjian pengalihan (cessie) tagihan No.002/ PEGP/I-99 tanggal 11

Januari 1999 merupakan masalah perdata, seharusnya permasalahan

yang berkaitan dengan surat keputusan BPPN No.SK.423/BPPN/1999

tanggal 15 Oktober 1999 diselesaikan terlebih dahulu ke peradilan

umum/perdata."

Dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara

Peninjauan Kembali TUN tersebut di atas, maka masalah sah atau

tidaknya pembatalan Cessie oleh BPPN harus diselesaikan melalui

peradilan umum/perdata.

b. Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Peninjauan Kembali

Perdata Nomor : 59 PK/Pdt/2006 tanggal 29 Mei 2007 yang amarnya :

Menolak Permohonan Peninjauan Kembali dari PT.Era Giat Prima

dengan salah satu pertimbangannya di hal. 21 menyatakan:

1) bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,oleh karena alasan-

alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tidak

cukup beralasan karena pertimbangan-pertimbangan putusan kasasi

sudah benar dan tepat tidak terdapat kekhilafan hakim atau suatu

kekeliruan yang nyata ;

2) bahwa berdasarkan keputusan Gubernur Bank Indonesia No.

1/14/Kep.DP.S/1999 tanggal 23 Juli 1999, Tergugat/Termohon

56

Peninjauan Kembali I (PT.Bank Bali Tbk) telah diserahkan kepada

BPPN untuk dilakukan program penyehatan;

3) bahwa dalam melaksanakan program penyehatan tersebut dan

sesuai dengan kewenangannya seperti yang diatur dalam pasal 37

A ayat (3) huruf d UU No.1 Tahun 1998 jo pasal 19 PP.No.17

Tahun 1999, BPPN pada tanggal 15 Oktober 1999

No.SK/423/BPPN/1999 telah membatalkan Perjanjian Pengalihan

/Cessie No.002/P-EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999";

4) bahwa putusan TUN No.148/G.TUN/1999/PT.TUN Jakarta

tanggal 2 Maret 2004 (yang membatalkan SK.BPPN

No.SK.423/BPPN/1999) yang dijadikan dasar dari Judex Facti

untuk mensahkan Perjanjian cessie dan perjanjian-perjanjian

lainnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya

No.447 K/TUN/2000 tanggal 4 Maret 2002;

Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Agung tersebut diatas

maka BPPN berwenang untuk membatalkan cessie antara PT.Bank

Bali,Tbk dan PT.Era Giat Prima maka dengan sendirinya

perjanjian cessie tersebut adalah batal dan tidak sah karena telah

dibatalkan dengan SK Ketua BPPN No. SK/423/BPPN/1999;

Dengan demikian, apabila putusan Mahkamah Agung RI dalam

perkara Peninjauan Kembali Nomor : 59 PK/Pdt/2006 yang

menyatakan bahwa cessie antara PT.Bank Bali,Tbk dan PT. Era

Giat Prima adalah batal, dan tidak sah, telah diketahui pada saat

proses persidangan oleh Judex Juris perkara atas nama terdakwa

JOKO SOEGIARTO TJANDRA, maka dalam putusannya unsur

melawan hukum dalam perkara tersebut seharusnya terbukti dan

dinyatakan bersalah serta dihukum, bukan diputus lepas dari segala

tuntutan (onslag van recht verfolging);

2. Pada pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti

akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang

57

dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang

lain.

Bahwa dalam perkara pencairan klaim PT.Bank Bali Tbk yang diajukan ke

persidangan sebagai terdakwa antara lain adalah JOKO S.Tjandra dan

Pande N Lubis yang diajukan secara terpisah (splitzing) namun

pertimbangan putusan mengenai unsur turut serta dari ke-2 perkara

tersebut adalah saling bertentangan yaitu :

a. Bahwa Putusan Pidana dalam perkara an. JOKO S. Tjandra

Nomor:1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 Judex Juris dalam

pertimbangan mengenai unsur "Turut serta" menyebutkan:

"Terdakwa tidak berperan apapun dalam hal pencairan tagihan PT.

Bank Bali terhadap PT. BDNI, dan tidak pula terbukti telah

mempengaruhi pejabat BI, BPPN, Depkeu atau pejabat lainnya yang

berkaitan dengan program penjaminan sesuai dengan Keppres No. 26

tahun 1998".

b. bahwa dalam Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara pidana an.

Pande N Lubis Nomor : 380 K/Pid/2001 tanggal 10 Maret 2004 Judex

Juris dalam pertimbangan mengenai unsur "Turut serta" menyebutkan

dalam hal 83:

"bahwa unsur turut serta melakukan tersebut menurut pendapat

mahkamah Agung telah dipenuhi oleh perbuatan terdakwa karena

dipersidangan telah terbukti bahwa terdakwa dalam mempersiapkan

pencairan klaim PT. Bank Bali tersebut telah terlebih dahulu

membicarakannya dengan A. A. Baramuli, Tanri Abeng, Joko S

Tjandra, Drs.Setya Novanto, Syahril Sabirin, Firman Soetjahya dan

Irvan Gunardwi".

Bahwa pertimbangan Judex Juris dalam perkara Joko S.Tjandra dan Pande

N Lubis telah menimbulkan pertentangan dalam menafsirkan unsur "turut

serta" walaupun dalam ke-2 putusan tersebut terdapat fakta hukum yang

sama. Fakta hukum tersebut adalah sebagai berikut:

58

a. Bahwa pada tahun 1997 PT. Bank Bali,Tbk telah melakukan transaksi

SWAP' dengan PT. BDNI sebanyak 8 (delapan) kali yang dilakukan

antara tanggal 1 Desember 1997 s/d tanggal 20 Mei 1998 dengan

jumlah total Rp.436.717.230.723,- dan US$ 45.000.000, dimana pada

saat itu (sampai dengan 30 Desember 1997) saldo giro PT. BDNI pada

Bank Indonesia dalam keadaan over draft/saldo debet sebesar

Rp.8.463.711.000.000,- sehingga pada saat transaksi tersebut jatuh

tempo, karena sudah tidak memiliki dana yang cukup PT. BDNI tidak

dapat memenuhi pembayaran kepada PT. Bank Bali atas transaksi

SWAP dan money market tersebut;

b. Bahwa Presiden mengeluarkan Keppres Nomor : 26 Tahun 1998

tanggal 26 Januari 1998 tentang jaminan terhadap kewajiban

pembayaran bank umum di mana PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI

ikut program penjaminan pemerintah;

c. Bahwa PT. Bank Bali,Tbk mengajukan klaim kepada BPPN sebanyak

10 (sepuluh) kali antara tanggal 10 Maret 1998 s/d 12 Februari 1999

terhadap transaksi dengan PT. BDNI, namun ditolak oleh Bank

Indonesia karena tidak memenuhi persyaratan administrasi

sebagaimana ditentukan dalam SKB.I karena transaksi tersebut

terlambat didaftarkan;

d. Pada tanggal 11 Januari 1999 PT. Bank Bali,Tbk mengalihkan

piutangnya tersebut dengan perjanjian cessie kepada PT. Era Giat

Prima (JOKO SOEGIARTO TJANDRA), namun ternyata tidak diikuti

dengan penyerahan surat-surat berharga dari PT. Era Giat Prima

kepada PT. Bank Bali,Tbk sebagaimana yang dipersyaratkan dalam

perjanjian Cessie tersebut;

e. Ketidakmampuan PT. Era Giat Prima menyerahkan surat-surat

berharga senilai Rp.798.091.770.000,- kepada PT. Bank Bali, Tbk

diketahui dengan adanya surat pernyataan No.002/SP.EGP/I-99

tanggal 11 Januari 1999 dan No.005/SPEGP/IV-99 tanggal 12 April

59

1999 yang ditandatangani JOKO SOEGIARTO TJANDRA selaku

Direktur PT.Era Giat Prima;

f. Terjadi beberapa kali pertemuan antara JOKO SOEGIARTO

TJANDRA, A. A. BARAMULI, SETYA NOVANTO dan beberapa

orang lainnya dengan

g. Berdasarkan surat kuasa No.02/SK.EGP/III-99 tanggal 29 Maret 1999,

PT. Era Giat Prima memberi kuasa kembali kepada PT. Bank Bali,Tbk

untuk dan atas nama PT. Era Giat Prima menagih kepada PT.BDNI

(yang sudah di ambil alih BPPN).

h. Tanggal 16 Mei 1999 diterbitkan SKB II No. 32/46/KEP/DIR

181/BPPN/0599 Yang memberi hak kepada Bank Kreditur untuk mengajukan klaim,

sehingga PT. Bank Bali, Tbk berhak mengajukan klaim atas transaksi

SWAP dan Money market dengan Bank BDNI;

i. Dalam menentukan apakah transaksi SWAP dan money market antara

PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI tersebut termasuk transaksi yang

dijamin atau tidak dalam program penjaminan pemerintah, Bank

Indonesia tidak melakukan verifikasi on site terhadap PT.BDNI selaku

bank debitur;

j. Pada tanggal 1 Juni 1999, PT. Bank Bali telah menerima pencairan

dana dari Bank Indonesia sebesar Rp.904.642.428.369,- melalui

rekening PT. Bank Bali,Tbk yang ada di Bank Indonesia Nomor :

523.013.000;

k. Bahwa kemudian dana yang berasal dari Bank Indonesia karena

program penjaminan pemerintah tersebut oleh PT. Bank Bali,Tbk

sebagian diserahkan kepada PT. Era Giat Prima sebesar

Rp.546.466.166.369,-

Bahwa masing-masing fakta persidangan tersebut di atas adalah

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah, sehingga untuk

membuktikan perbuatan para terdakwa haruslah berdasarkan fakta-

60

fakta tersebut sebagai kesatuan bukan dari masing-masing fakta

sebagai fakta yang berdiri sendiri;

Bahwa berdasarkan fakta-fakta persidangan tersebut terlihat

adanya kesadaran/niat bersama-sama dari para terdakwa (JOKO S.

TJANDRA, PANDE N LUBIS DAN SYAHRIL SABIRIN) untuk

mewujudkan tujuan bersama yaitu agar transaksi SWAP dan money

market antara PT. BDNI dengan PT. Bank Bali,Tbk adalah termasuk

dalam transaksi yang dijamin oleh pemerintah sehingga klaim PT.

Bank Bali,Tbk tersebut dapat diproses dan dibayar oleh Pemerintah;

Bahwa dengan adanya kesadaran/niat bersama tersebut masing-

masing terdakwa mempunyai peran/tugas yang berbeda-beda untuk

mewujudkan tujuan bersama tersebut, sehingga menurut doktrin

tentang ajaran "turut serta" perbuatan dari masing-masing terdakwa

tersebut walaupun tidak memenuhi seluruh unsur delik, namun dengan

kerja sama secara sadar perbuatan masing-masing terdakwa tersebut

menjadi sebuah peristiwa yang memenuhi semua unsur delik sehingga

perbuatan tersebut selesai (voltooid) sebagaimana yang didakwakan;

Tetapi kenyataannya putusan dari masing-masing terdakwa

tersebut saling berbeda yaitu:

1) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 380 K/Pid/2001 tanggal 10

Maret 2004 atas nama terdakwa PANDE NASORAHONA LUBIS,

Judex Juris menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah

dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana "KORUPSI

YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DAN

SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT". Dimana dalam

pertimbangannya halaman 83 disebutkan bahwa unsur "turut serta"

telah terbukti bersama-sama dengan AA. BARAMULI, TANRI

ABENG, JOKO SOEGIARTO TJANDRA, Drs. R. SETYA

NOVANTO, SYAHRIL SABIRIN, FIRMAN SOETJAHJA DAN

IRVAN GUNARDWI;

61

2) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1688 K/Pid/2000 tanggal

28 Juni 2001 atas nama terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA

menyatakan perbuatan terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA

sebagaimana dakwaan primair terbukti, tetapi perbuatan itu tidak

merupakan perbuatan pidana sehingga terdakwa JOKO

SOEGIARTO TJANDRA dilepas dari segala tuntutan hukum

(onslag van recht verfolging).

Seharusnya masing-masing terdakwa yang diajukan oleh

penuntut umum dalam persidangan kasus ini telah terbukti melakukan

tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan para pelakunya dapat

dimintai pertanggungjawaban pidana, karena peristiwa yang mendasari

adanya kasus ini adalah satu yaitu Klaim PT.Bank Bali,Tbk kepada

Pemerintah atas kewajiban PT.BDNI dalam transaksi SWAP dan

money market senilai Rp.904.642.428.369,-.;

Bahwa masing-masing fakta persidangan tersebut di atas adalah

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah, sehingga untuk

membuktikan perbuatan para terdakwa haruslah berdasarkan fakta-

fakta tersebut sebagai kesatuan bukan dari masing-masing fakta

sebagai fakta yang berdiri sendiri;

3. Terdapat kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata dalam putusan

Hakim.

Judex Juris tidak melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap

peradilan dibawahnya dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

sesuai dengan pasal 11 ayat (4) UU No.4 Th.2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman disebutkan :

"Mahkamah Agung bertugas melakukan pengawasan tertinggi atas

perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di

bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang"

62

dan pasal 32 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985 yang telah diubah dan

ditambah dengan Undang-undang No.5 Th.2005 tentang Mahkamah

Agung yang berbunyi :

"Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap

penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam

menjalankan kekuasaan kehakiman"

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas seharusnya Mahkamah Agung RI

sebagai muara terakhir peradilan (the last corner stone) melakukan

pengawasan dan pembinaan terhadap peradilan dibawahnya dan

Mahkamah Agung RI selaku Judex Juris disamping memeriksa penerapan

hukum juga dapat mengadili sendiri berdasarkan fakta-fakta persidangan,

sehingga tidak timbul dualisme putusan pengadilan lebih-lebih dalam

kasus yang sama atau berkaitan satu sama lain.

Judex Juris yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi

atas nama JOKO SUGIARTO TJANDRA dalam pemeriksaan tingkat

Kasasi, dalam perkara a quo keliru menafsirkan antara lain unsur

"perbuatan melawan hukum" dan unsur "turut serta melakukan" sehingga

menyatakan perbuatan terdakwa JOKO SUGIARTO TJANDRA terbukti

tetapi bukan merupakan tindak pidana, putusan ini menimbulkan

ketidakpastian hukum dan ketidakadilan terhadap masing-masing

terdakwa lainnya yaitu :

a. SYAHRIL SABIRIN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atas

perbuatan yang didakwakan kepadanya sehingga membebaskan

terdakwa dari segala dakwaan (Vrijspraak);

b. PANDE N. LUBIS terbukti secara sah dan meyakinkan telah

melakukan tindak pidana "KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA

BERSAMA-SAMA DAN SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT";

Disamping putusan pengadilan yang menimbulkan ketidakadilan

terhadap para terdakwa dan menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai

status barang bukti uang negara sebesar Rp.546.468.544.738,- (lima ratus

empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh delapan juta lima ratus

63

empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga puluh delapan rupiah) karena di

satu sisi dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa JOKO

S.TJANDRA barang bukti tersebut dikembalikan kepada PT. Era Giat

Prima dan dalam perkara terpisah atas nama terdakwa SYAHRIL

SABIRIN barang bukti tersebut dikembalikan pada rekening

penampungan (Escrow Account) nomor 999045197 atas nama PT. Bank

Bali qq PT.Era Giat Prima sedangkan dalam perkara terpisah lainnya atas

nama terpidana PANDE NASORAHONA LUBIS putusan Mahkamah

Agung RI Nomor : 380 K/Pid/2001 tanggal 10 Maret 2004 (telah

berkekuatan hukum tetap) tidak menentukan status barang bukti berupa

uang sebesar Rp. 546.468.544.738,- hanya menetapkan barang bukti

berupa surat-surat supaya tetap terlampir dalam berkas perkara ini untuk

dipergunakan dalam perkara lain, seharusnya barang bukti berupa uang

dirampas dan dikembalikan kepada negara karena terpidana dinyatakan

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

"KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DAN

SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT";

Dengan demikian pertimbangan Judex Juris yang telah

membenarkan pertimbangan Judex Facti seperti yang tercantum dalam

putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel tanggal 28 Agustus 2000 adalah merupakan

kekhilafan atau kekeliruan yang nyata, yaitu :

a. Salah dalam penafsiran unsur Melawan Hukum

Judex Juris yang mengambil alih pertimbangan Judex Facti mengenai

unsur "melawan hukum" yang didasarkan pada pertimbangan-

pertimbangan sebagai berikut adalah :

1) Bahwa pertimbangan Judex Juris mengenai transaksi PT. BDNI

dan PT. Bank Bali Tbk pada halaman 182, menyatakan :

"bahwa transaksi SWAP dan money market antara PT. Bank

Bali,Tbk dan PT. BDNI tidak bertentangan dengan ketentuan

64

perundang-undangan perbankan karena itu apa yang telah

dipertimbangkan Judex Facti sudah tepat dan benar"

dan pada halaman 214,

"bahwa dalam proses transaksi SWAP dan money market oleh PT.

Bank Bali,Tbk dalam hubungannya dengan Bank BDNI adalah

tidak melawan hukum".

serta pada halaman 281 s/d 285 menyebutkan:

"bahwa transaksi SWAP dan money market yang dilakukan antara

PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI (sebelum BBO) telah dicatat

dalam pembukuan dan telah didokumenkan PT. Bank Bali,Tbk,

tidak pernah adanya teguran dari Bank Indonesia baik secara lisan

maupun tertulis serta telah dilakukannya verifikasi on site ternyata

tidak ditemukan ketidakwajaran dan ketidakbenaran dalam

transaksi antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI sehingga tidak

melanggar asas demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian serta

tidak melanggar tingkat kesehatan bank sebagaimana diatur dalam

pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1992

yang diubah dengan Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998".

2) Hakim Judex Juris dalam pertimbangannya mengenai Program

Penjaminan Pemerintah halaman 214:

"Judex Facti telah mempertimbangkan bahwa dalam proses

transaksi SWAP dan money market oleh PT. Bank Bali,Tbk dalam

hubungannya dengan PT. BDNI adalah tidak melawan hukum,

karena sudah didasarkan kepada peraturan hukum positif yang

berlaku, juga berdasarkan keterangan saksi-saksi ahli dari Bank

Indonesia selaku pemegang kendali kegiatan perbankan, yaitu Iwan

R. Prawiranegara, Subarjo Joyosumarto, Adnan Djuanda, Erman

Munzir, Hifni Arkian, Miranda S. Goeltom, Syahril Sabirin,

Bambang Subianto, R.Dody Rushendra, Desmi Demas dan RC.

Eko Santoso Budiarto, tidak terdapat seorang saksi pun yang telah

menyatakan transaksi dimaksud sebagai melawan hukum"

65

dan halaman 290 menyebutkan :

"bahwa dari kewajiban PT. BDNI (BBO) kepada PT.Bank Bali

diatas Rp 10 milyar, adanya dokumen dan kewajaran transaksi

SWAP dan money market serta tidak dilanggarnya prinsip kehati-

hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya sesuai dengan

kesehatan bank, maka transaksi tersebut dengan nilai pokok Rp.

904.642.428.369,- termasuk transaksi yang dijamin oleh

pemerintah sesuai Keppres nomor 26 tahun 1998, Keputusan

Menkeu nomor 26/KMK.017/98, SKB I tanggal 6 maret 1998 dan

SKB II tanggal 14 Mei 1999".

3) Hakim Judex Juris dalam pertimbangannya mengenai Perjanjian

Pengalihan/Cessie menyebutkan pada halaman 177, bahwa:

"beralasan tidaknya pengalihan piutang tersebut telah

dipertimbangkan Judex Facti dengan mendengar keterangan

sejumlah saksi dan pada akhirnya Judex Facti berkesimpulan dan

berpendapat pengalihan piutang (cessie) tersebut sebagai perbuatan

perdata";

Juga pada halaman 210,

"bahwa baik dengan keterangan saksi ahli hukum pidana atau tanpa

keterangannya, penilaian keabsahan tersebut yang mengacu dan

telah terbukti bahwa dilakukan atas kesepakatan bebas dari para

pihak, dengan kecakapan para pihak, mengenai hal tertentu yaitu

pengalihan hak dan pengalihan hak itu bukan merupakan hal yang

terlarang, maka cessie sudah sah menurut hukum".

4) Hakim Judex Juris dalam pertimbangannya mengenai peranan

terdakwa dalam pencairan klaim halaman 182 disebutkan:

"bahwa Judex Facti tidak salah menafsirkan pengertian "turut

Serta" karena Judex Facti telah mempertimbangkan peranan

terdakwa dan yang terungkap di depan persidangan terdakwa

hanya melakukan cessie dengan Bank Bali dan perjanjian cessie

sendiri adalah perbuatan perdata.

66

dan halaman 216 disebutkan :

"bahwa tidak terdapat alat bukti yang telah membuktikan bahwa

pribadi-pribadi Rudy Ramly, Pande N Lubis, Syahril Sabirin, dst

telah melakukan tindak pidana korupsi dan dilakukannya bersama-

sama atau dengan ikut serta atau dengan disuruh melakukan hal

tindak pidana itu oleh terdakwa".

serta halaman 325-326 disebutkan:

"bahwa masalah transaksi SWAP dan Money market antara PT.

Bank Bali, Tbk dan PT. BDNI (BBO) dan masalah pengajuan

klaim PT. Bank Bali atas tagihannya terhadap PT. BDNI kepada

BPPN adalah permasalahannya sendiri PT. Bank Bali, Tbk dan PT.

BDNI dan terdakwa tidak tahu menahu dan tidak berperan apapun

dalam masalah transaksi tersebut dan pengajuan klaim yang

diajukan PT. Bank Bali, Tbk.

Bahwa terdakwa tidak pernah terbukti telah mempengaruhi pejabat

Bank Indonesia, BPPN, Departemen Keuangan atau pejabat

lainnya (pejabat pemegang otoritas moneter) yang berkaitan

dengan pencairan klaim PT. Bank Bali,Tbk. Bahwa dalam proses

pencairan klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI para

pejabat pemegang otoritas moneter tidak mengetahui adanya cessie

PT. Bank Bali,Tbk kepada PT. Era Giat Prima karena cessie

tersebut tidak merupakan syarat untuk pencairan klaim tersebut".77

juga pada halaman 310 menyatakan:

5) "Bahwa sepanjang para pihak in casu PT. Bank Bali,Tbk sebagai

cedent dan PT. Era Giat Prima (EGP) sebagai Cessionaris merasa

tidak adanya dwang (paksaan), dwaling (kekhilafan/kekeliruan)

atau bedrog (penipuan) dalam melakukan perjanjian cessie di satu

pihak dan di pihak lain sepanjang Cessionaris dan cedent merasa

adanya unsur kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian telah

melakukan perjanjian cessie serta sepanjang pula Cessionaris atau

cedent tidak merasa dirugikan dan tidak mengajukan pembatalan

67

perjanjian cessie ke Pengadilan Negeri dengan alasan wanprestasi

dan atau melawan hukum (onrechtmatige daad) maka menurut

ketentuan pasal 1338 KUHPerdata perjanjian pengalihan cessie,

tagihan berikut instrumennya mengikat dan berlaku sebagai

undang-undang (pacta sunt servanda) bagi PT. Bank Bali,Tbk dan

PT. Era Giat Prima".

Tanggapan Jaksa Penuntut Umum:

Ad.1. Mengenai transaksi PT.BDNI dengan PT.Bank Bali Tbk.

Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut adalah keliru dan

merupakan kekhilafan yang nyata karena hanya mempertimbangkan

verifikasi on site yang dilaksanakan hanya terhadap PT. Bank

Bali,Tbk ( Bank kreditur) tanpa melakukan verifikasi on site terhadap

PT. BDNI (Bank Debitur), seharusnya verifikasi on site dilakukan

terhadap bank kreditur dan bank debitur;

Berdasarkan rapat antara Direksi Bank Indonesia dan BPPN (Risalah

Rapat Direksi Nomor: 31.00.08 tanggal 24 September 1998),

ditentukan bahwa dalam proses penjaminan yaitu dari klaim yang

masuk akan dilakukan verifikasi oleh Bank Indonesia kemudian

apabila klaim tersebut dapat diterima maka akan diberitahukan

kepada BPPN untuk mendapatkan otorisasi pembayaran;

Bahwa rekonsiliasi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI yang

dilakukan oleh BPPN bukanlah dalam pengertian verifikasi on site

seperti yang dimaksud dalam program penjaminan ini, sehingga

seharusnya BPPN tidak perlu membayar klaim PT. Bank Bali,Tbk

tersebut;

Bahwa yang dimaksud oleh verifikasi on site adalah melakukan

penelitian terhadap saldo giro bank, fasilitas over draft, BLBI yang

diterima dari Bank Indonesia yang dilakukan terhadap bank debitur;

Apabila verifikasi on site tersebut dilakukan juga terhadap PT. BDNI

maka akan diketahui bahwa kondisi keuangan PT. BDNI dalam

keadaan over draft, sehingga sebenarnya transaksi (8 transaksi SWAP

68

dan 2 transaksi money market) antara PT. BDNI dengan PT. Bank

Bali, Tbk sudah melanggar prinsip kehati-hatian bank (prudential

principle) sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 jo pasal 29 ayat (2)

Undang - Undang Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah dengan

Undang Undang Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;

Sesuai dengan "prinsip kehati-hatian" dalam usaha perbankan

seharusnya PT. BDNI dalam menjalankan usahanya seharusnya

memperhatikan rambu-rambu kesehatan bank dalam rangka

pengendalian risiko. Prinsip kehati-hatian seperti yang ditentukan di

dalam pasal 2 Undang-Undang Perbankan dijabarkan di dalam

patokan-patokan yang bersifat operasional. Salah satu rambu prinsip

kehati-hatian adalah Giro Wajib Minimum di mana diatur di dalam

Surat Keputusan Direksi BI Nomor : 30/89A/KEP/DIR tanggal 30

Oktober 1997. Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia

dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam

rupiah;

Berdasarkan data dari Bank Indonesia saldo giro PT. BDNI yang ada

di Bank Indonesia pada tanggal 27 November 1997 telah over draft

sebesar Rp.1.715.690.000.000,- dan pada tanggal 30 Desember 1997

telah over draft sebesar Rp.8.463.711.000.000,-, dan hal ini pernah

dilakukan teguran oleh Bank Indonesia kepada PT. BDNI yaitu:

a. Nomor : 30/301/UPB2/AdB2 tanggal 3 November 1997. b. Nomor : 30/1742/UPB2/AdB2 tanggal 11 November 1997. c. Nomor : 30/2166/UPB2/AdB2 tanggal 2 Desember 1997. d. Nomor : 30/2540/UPB2/AdB2 tanggal 31 Desember 1997.

sehingga PT. BDNI tidak sepatutnya melakukan transaksi SWAP dan

money market dengan PT. Bank Bali.Tbk.

Ad.2 Tentang Program Penjaminan Pemerintah

Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut adalah merupakan

kekhilafan atau kekeliruan yang nyata, karena hanya menilai

kewajaran dari transaksi antara PT.Bank Bali,Tbk dengan PT.BDNI

69

namun Judex Juris tidak mempertimbangkan apakah transaksi

tersebut dijamin atau tidak dijamin.

Untuk menjadi transaksi yang dijamin oleh pemerintah, berdasarkan

pasal 2 ayat (2) KEPPRES Nomor : 26 Tahun 1998 tentang

Kewajiban Pembayaran Bank Umum yang menyatakan:

"Kewajiban pembayaran yang dijamin pemerintah meliputi kewajiban

dalam mata uang rupiah dan mata uang asing" Sedangkan menurut

Kep.Menkeu Nomor : 26/KMK.017/1998 tanggal 28 Januari 1998

kewajiban bank yang dijamin oleh pemerintah sebagaimana dimaksud

dalam pasal 1 yaitu:

"Kewajiban yang dijamin oleh pemerintah sebagaimana dimaksud

dalam KEPPRES Nomor 26 Tahun 1998 meliputi seluruh kewajiban

pembayaran dari bank umum, baik dalam mata uang rupiah maupun

dalam mata uang asing yang timbul sebelum, pada atau sesudah hari

pertama dari jangka waktu berlaku dan jatuh tempo pada atau

sebelum hari terakhir dari jangka waktu berlaku termasuk tetapi tidak

terbatas pada giro, tabungan, deposito berjangka dan deposito on call,

obligasi, surat berharga, pinjaman antar bank, pinjaman yang

diterima, SWAPS/hedgesfuture, derivatives dan kewajiban-kewajiban

kontinjen (off balance sheet) lainnya, seperti bank garansi, standby

letter of credit, performance bonds dan kewajiban-kewajiban yang

sejenis selain yang dikecualikan dalam keputusan ini".

Sedangkan kewajiban bank umum yang tidak dijamin diatur dalam

pasal 4 huruf e juga menyebutkan:

"Pemerintah tidak menjamin pembayaran Kewajiban-kewajiban yang

diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan praktek-praktek

perbankan yang sehat atau kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh

kreditur yang tidak beritikad baik".

Bahwa berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan SKB I tanggal 6 Maret

1998 dan Petunjuk Pelaksanaan SKB II tanggal 14 Mei 1999,

disebutkan bahwa kewajiban-kewajiban bank umum yang dijamin

70

adalah seperti yang disebutkan di dalam KEPPRES Nomor : 26

Tahun 1998 dan Kep. Menkeu Nomor : 26/KMK.017/1998 tanggal 28

Januari 1998, sedangkan tentang jenis-jenis kewajiban bank yang

tidak dijamin antara lain disebutkan:

"Kewajiban-kewajiban yang diperoleh dengan cara yang bertentangan

dengan praktek-praktek perbankan yang sehat atau kewajiban-

kewajiban yang oleh kreditur yang tidak beritikad baik".,

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas transaksi SWAP

maupun money market yang dilakukan antara PT. BDNI dan PT.

Bank Bali,Tbk yaitu:

a. Transaksi SWAP tanggal 1 Desember 1997 sebesar

Rp.64.754.250.000,- jatuh tempo tanggal 2 Maret 1998.

b. Transaksi SWAP tanggal 3 Desember 1997 sebesar

Rp.48.060.000.000,- jatuh tempo tanggal 3 Maret 1998.

c. (3) Transaksi SWAP tanggal 12 Desember 1997 sebesar

Rp.51.600.000.000,- jatuh tempo tanggal 12 Maret 1998.

d. Transaksi SWAP tanggal - Desember 1997 sebesar

Rp.1.131.250.000,- jatuh tempo tanggal 16 Maret 1998.

e. Transaksi SWAP tanggal 15 Desember 1997 sebesar

Rp.81.225.000.000,- jatuh tempo tanggal 16 Maret 1998.

f. Transaksi Money market tanggal 2 Maret 1998 sebesar

Rp.66.139.271.458,- jatuh tempo tanggal 16 Maret 1998.

g. Transaksi SWAP tanggal 12 September 1997 sebesar

Rp.61.830.000.000,- jatuh tempo tanggal 24 Maret 1998.

h. Transaksi Money market tanggal 20 Mei 1998 sebesar

Rp.61.977.459.265,- jatuh tempo tanggal 12 Juni 1998.

i. Transaksi SWAP tanggal 5 Desember 1997 sebesar

US$40.000.000,- jatuh tempo tanggal 5 Juni 1998.

j. Transaksi SWAP tanggal 12 Desember 1997 sebesar

US$5.000.000,- jatuh tempo tanggal 12 Juni 1998.

71

bukan termasuk transaksi yang dijamin oleh pemerintah karena telah

melanggar prinsip kehati-hatian yaitu pada waktu melakukan

transaksi SWAP maupun money market PT. BDNI keadaan saldo giro

PT. BDNI yang ada di Bank Indonesia dalam keadaan over

draft/saldo debet sejak 15 Oktober 1997 serta CAR kurang dari 5%.

Dengan kondisi demikian seharusnya PT. BDNI tidak melakukan

transaksi SWAP dan money market sebagaimana diatur dalam Surat

Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 30/266/KEP/DIR tanggal

27 Pebruari 1998 tentang Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian yang

Menyangkut Kewajiban Antar Bank, Pengambilalihan Tagihan Suku

Bunga Simpanan dan Penyedia Dana, pasal 2 ayat (1) jo pasal 9 huruf

a, b dan c jo pasal 11, yaitu,

pasal 2 ayat (1):

"Bank dalam menerima kewajiban antar bank dari bank lain wajib

dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan memenuhi batasan yang

ditetapkan".

pasal 9:

"Bank dapat menetapkan sendiri pertumbuhan penyediaan dana

dengan ketentuan:

Pasal 9 huruf a:

"Telah mempertimbangkan aspek kehati-hatian dan semua risiko

usaha dan"

Pasal 9 huruf b:

"Memenuhi ketentuan kehati-hatian yang meliputi Rasio Modal

(CAR), Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan tidak

mempunyai kewajiban kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional

(BPPN) dan"

Pasal 9 huruf c:

"Tidak terdapat pelanggaran kewajiban antar bank sebagaimana

dimaksud dalam pasal 2"

72

Bahwa PT. Bank Bali sebelum melakukan transaksi SWAP dan

money market dengan PT. BDNI seharusnya menerapkan prinsip

kehati-hatian dengan indikator awal antara lain berupa Capital

Adequate Ratio (Rasio Kecukupan Modal) dan Giro Wajib Minimum

PT. BDNI pada Bank Indonesia seperti yang diatur dalam Surat

Keputusan Direksi BI Nomor : 30/89A/KEP/DIR tanggal 30 Oktober

1997, di mana disebutkan:

"Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia dalam rupiah

ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam rupiah.

Sedangkan Giro Wajib Minimum dalam valuta asing adalah 396 dari

dana pihak ketiga dalam valuta asing".

Oleh karena transaksi antara PT. BDNI dengan PT. Bank Bali

tersebut dilakukan pada saat saldo giro PT. BDNI pada Bank

Indonesia dalam keadaan over draft berarti telah melewati batas

minimum Saldo Giro Wajib pada Bank Indonesia sebesar 5%.

Dengan demikian transaksi tersebut telah melanggar prinsip kehati-

hatian bank dan bertentangan dengan praktek-praktek perbankan yang

sehat sehingga transaksi tersebut tidak dijamin sebagaimana diatur

dalam program penjaminan oleh pemerintah (vide pasal 4 huruf e

Kep. Menkeu Nomor : 26/KMK.017/1998

tanggal 28 Januari 1998 dan SKB I Nomor : 30/270/KBP/DIR

1/BPPN/1998

tanggal 6 Maret 1998 serta SKB II Nomor : 32/46/KEP/DIR

181/BPPN/0599

tanggal 14 Mei 1998).

Bahwa di samping itu pada SKB I Nomor : 30/270/KEP/DIR

1/BPPN/1998

tanggal 6 Maret 1998 diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan Pemberian

Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum

pada angka "II" poin 3 huruf b nomor 2) disebutkan bahwa :

73

"pendaftaran dimaksud dilakukan oleh bank yang bersangkutan

kepada BPPN dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam

puluh) hari sejak timbulnya kewajiban tersebut bagi kewajiban yang

ada setelah Surat Keputusan Bersama di atas";

Sedangkan pada angka "IV" Tata Cara Pengajuan Klaim dan

Pembayaran Jaminan dalam poin 1 huruf b disebutkan bahwa:

"Dalam hal Bank memperkirakan tidak akan mampu membayar, bank

yang bersangkutan akan memberitahukan kepada BPPN sesuai

dengan contoh pada lampiran 6, yang harus disampaikan selambat-

lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebelum kewajiban tersebut jatuh

tempo".

Dari fakta yang ada PT. BDNI mengajukan klaim kepada BPPN

dengan alamat Bank Indonesia baru diajukan pada tanggal 23 Juni

1998 (sebanyak 7 (tujuh) surat klaim) dan 20 Juli 1998, begitu pula

PT. Bank Bali mengajukan klaim transaksi tersebut kepada BPPN

pada tanggal 10 Maret 1998, 3 Juni 1998, 8 Juni 1998, 19 Juni 1998,

6 Agustus 1998, 28 September 1998, 5 Oktober 1998, 21 Oktober

1998, 23 Desember 1998 dan terakhir tanggal 12 Pebruari 1999.

Dengan demikian pengajuan klaim baik oleh PT. BDNI (sebagai

debitur) dan PT. Bank Bali (sebagai kreditur) secara administrasi

telah melewati batas waktu yang ditentukan di dalam SKB I Nomor

30/270/KEP/DIR

1/BPPN/1998

tanggal 6 Maret 1998, sehingga permohonan klaim tersebut ditolak

oleh Bank Indonesia dengan suratnya yang ditujukan kepada Tim

Pemberesan PT.BDNI (BBO) dengan tembusan antara lain ketua

BPPN dan Direksi PT.Bank Bali,Tbk dengan surat Nomor:

a. Nomor : 31/632/UPPB/AdB tanggal 23 September 1998 perihal

klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.

b. Nomor : 31/635/UPPB/AdB tanggal 24 September 1998 perihal

klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.

74

c. Nomor : 31/653/UPPB/AdB tanggal 28 September 1998 perihal

klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.

d. Nomor : 31/697/UPPB/AdB tanggal 5 Oktober 1998 perihal

klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.

e. Nomor : 31/713/UPPB/AdB tanggal 13 Oktober 1998 perihal

klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.

f. Nomor : 31/738/UPPB/AdB tanggal 16 Oktober 1998 perihal

klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.

g. Nomor : 31/775/UPPB/AdB tanggal 20 Oktober 1998 perihal

klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.

Dari uraian tersebut di atas, klaim PT. Bank Bali,Tbk kepada BPPN

dan Bank Indonesia baik secara administrasi (pendaftaran transaksi

dan klaim terlambat diajukan) maupun secara substansi/materi yaitu

transaksi tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian bank adalah

transaksi yang tidak termasuk dalam program penjaminan pemerintah.

Ad.3 Tentang Perjanjian Pengalihan/Cessie

Bahwa pertimbangan Judex Juris yang mengatakan bahwa cessie

adalah mengikat dan berlaku sebagai undang-undang antara PT. Era

Giat Prima dan PT. Bank Bali,Tbk adalah merupakan kekeliruan

karena tidak mempertimbangkan pasal-pasal lain dalam KUHPerdata

yang berkaitan dengan sah atau tidaknya Cessie tersebut.

Dalam KUHPerdata Cessie diatur antara lain dalam Buku II pasal 613

KUH Perdata yang menyebutkan :

"Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak

bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta

otentik atau di bawah tangan dengan mana hak-hak atas kebendaan itu

dilimpahkan kepada orang lain.

Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya

melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau

secara tertulis disetujui atau diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang

75

karena surat atas bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu,

penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan

penyerahan surat disertai endosemennya".

Berdasarkan pasal 584 KUH Perdata disebutkan bahwa sahnya cessie

tergantung dari sahnya perjanjian obligatornya, berarti dalam

perjanjian cessie harus diikuti dengan penyerahan jaminan sebagai

kompensasi telah dialihkannya piutang tersebut. Bahwa perjanjian

obligator yang mendasari cessie disini adalah penyerahan (levering)

aset/surat-surat berharga dari PT. Era Giat Prima kepada PT. Bank

Bali untuk memenuhi prestasi atas pengalihan tagihan/cessie

sebagaimana yang diperjanjikan dalam surat perjanjian

No.002/P.EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 antara JOKO

SOEGIARTO TJANDRA selaku direktur PT. Era Giat Prima dan

RUDY RAMLY selaku direktur PT. Bank Bali,Tbk dimana JOKO S.

TJANDRA membuat surat pernyataan No.002/SP.EGP/I-99 tanggal

11 Januari 1999 berjanji akan menyerahkan surat-surat berharga yang

diterbitkan oleh Bank Bali,Tbk dan bank-bank pemerintah atau

BUMN sebesar Rp. 798.091.770.000,- (tujuh ratus sembilan puluh

delapan milyar sembilan puluh satu juta tujuh ratus tujuh puluh ribu

rupiah) paling lambat pada tanggal 11 April 1999. Namun ternyata

JOKO SOEGIARTO TJANDRA selaku Direktur PT. Era Giat Prima

tidak pernah menyerahkan aset/surat berharga tersebut, dan dengan

surat pernyataan Nomor : 005/SP-EGP/IV-99 tanggal 12 April 1999,

penyerahan surat-surat berharga di atas diperpanjang menjadi paling

lambat tanggal 11 Juni 1999. Karena perjanjian obligatoir yang

mendasari cessie tersebut adalah tidak sah dan secara otomatis

perjanjian cessie tersebut adalah tidak sah.

Berdasarkan fakta di persidangan, bahwa PT. Era Giat Prima selaku

Cessionaris menguasakan kembali kepada PT. Bank Bali,Tbk untuk

mengajukan klaim kepada BPPN, dan hal yang demikian (dikuasakan

76

kembali kepada cedent/PT.Bank Bali) bertentangan dengan asas

kepatutan dan kelaziman.

Seperti pendapat Suharnoko,SH,MLI,dkk dalam bukunya "Doktrin

Subrogasi, Novasi dan Cessie" halaman 122-123

"bahwa terjadi keganjilan karena jika Bank Bali menerima

pembayaran dari debitornya atau dari BPPN maka tidak ada

kewajiban bagi Bank Bali untuk membayar kepada PT. Era Giat

Prima. Menurut pendapatnya tersebut jika PT. Era Giat Prima

kesulitan untuk menagih kepada BDNI, maka lebih baik dilakukan

retro cessie".

Bahwa yang dimaksud dengan retro cessie adalah "penyerahan hak

kembali" berdasarkan Kamus Hukum Yan Pramadya Puspa, penerbit

CV. Aneka Semarang, 1977, halaman 736;

Dari uraian di atas, bahwa cessie tersebut hanyalah pro forma

(sekedar untuk memenuhi tata cara/semu/pura-pura) dan itu

merupakan alat/modus untuk melakukan perbuatan melawan hukum

bagi JOKO SOEGIARTO TJANDRA untuk mendapatkan

keuntungan dari klaim PT. Bank Bali, Tbk terhadap PT. BDNI;

Judex Juris hanya mempertimbangkan kebenaran formil dari fakta-

fakta yang ada yaitu tentang keabsahan cessie, seharusnya dalam

persidangan perkara pidana Judex Juris harus mencari kebenaran

materiil, yaitu seperti yang telah kami uraikan di atas bahwa cessie

tersebut adalah pro forma dan merupakan alat/modus bagi JOKO

SOEGIARTO TJANDRA.

Ad.3 Tentang peranan terdakwa dalam pencairan klaim

Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut merupakan suatu

kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata karena hanya melihat

peran JOKO SOEGIARTO TJANDRA sebatas pembuatan Akta

Cessie, seharusnya juga mempertimbangkan peran JOKO

SOEGIARTO TJANDRA dalam memfasilitasi pertemuan antara

pejabat-pejabat moneter dalam membahas klaim PT. Bank Bali,Tbk

77

dan adanya perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA/PT.EGP yang

menguasakan kembali hak menagih kepada PT. Bank Bali.

Berdasarkan SKB I Nomor : 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret

1/BPPN/1998

1998 PT. Bank Bali,Tbk pernah beberapa kali mengajukan klaim

kepada Bank Indonesia terhadap tagihan kepada PT. BDNI namun

ditolak dengan alasan bahwa klaim tersebut terlambat didaftarkan

maupun terlambat pengajuan klaimnya.

Atas dasar penolakan tersebut PT. Bank Bali,Tbk melakukan

pengalihan tagihan dengan memberikan cessie kepada JOKO

SOEGIARTO TJANDRA (PT. Era Giat Prima) untuk mencairkan

klaim terhadap PT. BDNI tersebut yang dilakukan pada tanggal 11

Januari 1999 dengan Cessie No.002/P.EGP/I/99. Setelah menerima

pengalihan tagihan (cessie) dari PT. Bank Bali,Tbk tersebut JOKO

SOEGIARTO TJANDRA mulai melakukan perbuatan-perbuatan

yang bertujuan agar klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI

tersebut dapat dicairkan oleh BPPN, diantaranya adalah

mempengaruhi pemegang otoritas moneter. Hal ini dapat dibuktikan

dengan adanya beberapa kali pertemuan para pejabat pemegang

otoritas moneter (Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan BPPN)

dengan pihak PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI yang dilakukan di

kantor Menteri Keuangan, Hotel Mulia dan di rumah Menteri

Keuangan;

Bahwa klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI yang semula

selalu ditolak oleh Bank Indonesia, setelah pertemuan tanggal 11

Februari 1999 bertempat di Hotel Mulia yang diprakarsai dan

difasilitasi oleh JOKO SOEGIARTO TJANDRA yang dihadiri oleh

JOKO SOEGIARTO TJANDRA sendiri, AA. Baramuli, Tanri

Abeng, Syahril Sabirin, Pande Lubis, Firman Sutjahya dan Setya

Novanto untuk membahas klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT.

BDNI, kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan mencari jalan untuk

78

mengatasinya, PT. Bank Bali,Tbk mengajukan kembali klaim tersebut

kepada BPPN dengan surat Nomor : 012/CL.02/99 tanggal 12

Februari 1999 yang merupakan hasil pertemuan tanggal 11 Februari

1999 tersebut di atas. Kemudian seluruh proses pencairan klaim PT.

Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI tersebut oleh PANDE

NASORAHONA LUBIS yang mempunyai kewenangan untuk

memproses klaimnya, diproses hingga dapat dicairkan.

Selain tanggapan kami tersebut di atas, kami kemukakan doktrin-

doktrin mengenai unsur "melawan hukum" yaitu: Penjelasan umum

Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa dalam undang-undang

tersebut "unsur melawan hukum" adalah mengandung pengertian

formil maupun materiil, dimaksudkan agar supaya lebih mudah

memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum.

Menurut Prof. MR. Roeslan Saleh,

"Bahwa melawan hukum dalam pendapat yang formil apabila telah

memenuhi semua unsur-unsur yang disebutkan dalam rumusan delik

dan tidak perlu diselidiki apakah perbuatan itu menurut masyarakat

adalah betul-betul telah dirasakan tidak patut".

Sedangkan menurut Prof. Moeljatno,

"Menurut ajaran yang materiil disamping memenuhi syarat-syarat

formil, yaitu memenuhi semua unsur-unsur yang disebutkan di dalam

rumusan delik, maka perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut

dilakukan, karena bertentangan dengan atau menghambat

terwujudnya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan

oleh masyarakat itu".

Dengan adanya kata-kata "agar lebih mudah memperoleh

pembuktian" dalam penjelasan Undang-Undang Nomor : 3 Tahun

1971 tersebut maka dapat dilihat bahwa Undang-Undang Nomor.3

Tahun 1971 tersebut menerapkan sifat melawan hukum materiil

79

dalam arti yang positif, yaitu perbuatan yang melanggar asas

kepatutan dan tercela di dalam masyarakat adalah bersifat melawan

hukum sehingga dapat dihukum.

Berdasarkan uraian dari poin 1 sampai dengan poin 4 di atas,

perbuatan JOKO SUGIARTO TJANDRA yaitu menerima cessie yang

menurut Judex Facti adalah sah, sebenarnya hanya merupakan alat/

modus/ sarana bagi JOKO SUGIARTO TJANDRA untuk dapat

menikmati keuntungan atas klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT.

BDNI yang diajukan kepada pemerintah Cq.BPPN.

Walaupun perbuatan JOKO SUGIARTO TJANDRA menerima

sejumlah dana yang dilandasi oleh perjanjian cessie, namun perjanjian

cessie itu sendiri merupakan perbuatan yang tidak patut atau tercela

karena hanya dimaksudkan agar JOKO SUGIARTO TJANDRA dapat

mengikatkan diri ke dalam masalah klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap

PT. BDNI sehingga terdakwa dapat menikmati keuntungan dari

pembayaran klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI oleh Bank

Indonesia yang sebenarnya tidak termasuk dalam transaksi yang

dijamin oleh pemerintah.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa transaksi

SWAP dan money market antara PT. BDNI dan PT.Bank

Bali,Tbk adalah sudah tidak benar karena PT. BDNI sudah

overdraft sehingga transaksi tersebut tidak termasuk dalam

program penjaminan pemerintah sedangkan cessie tidak

memenuhi ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata.

Dengan demikian sejak terjadi transaksi SWAP dan money market

antara PT. Bank Bali,Tbk dengan PT. BDNI hingga

pengiriman/transfer dana pembayaran klaim yang berasal dari

pemerintah melalui PT. Bank Bali ke rekening PT. Era Giat Prima

dilakukan dengan secara melawan hukum.

b. Unsur yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan

negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut

80

disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara;

Pertimbangan Judex Juris pada halaman 182 menyatakan bahwa

tentang kerugian keuangan negara telah dipertimbangkan oleh Judex

Facti dengan benar.

dan halaman 215 menyatakan

“ ..............maka pembayaran klaim tersebut tidak merupakan tindakan

yang merugikan keuangan atau perekonomian negara karena uang

yang dibayarkan untuk membayar klaim PT. Bank Bali,Tbk

merupakan uang dan hak yang sah dari PT. Bank Bali sendiri. Dengan

tidak terbukti terjadi perbuatan yang merugikan keuangan negara,

maka juga tidak terbukti terjadi perbuatan yang merugikan

perekonomian negara".

Judex Facti dalam pertimbangannya halaman 341-342 :

"bahwa benar negara pada tanggal 1 Juni 1999 telah mengeluarkan

dana talangan sebesar Rp. 904.462.428.369,- untuk membayar tagihan

PT.

Bank Bali, Tbk terhadap PT. BDNI (BBO) tetapi uang tersebut adalah

sah milik PT. Bank Bali sehingga PT. Bank Bali bebas untuk

menggunakan uangnya".

Tanggapan Jaksa Penuntut Umum

Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan

suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya

mempertimbangkan bahwa uang sebesar Rp. 904.462.428.369,- adalah

hak PT.Bank Bali,Tbk karena adanya transaksi antara PT.Bank

Bali.Tbk dengan PT.BDNI, seharusnya mempertimbangkan apakah

transaksi tersebut dijamin oleh Pemerintah sesuai aturan yang ada.

Bahwa sesuai dengan penjelasan pasal 1 ayat (1) sub a

Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971 yang dimaksud dengan

keuangan negara adalah :

81

“ ...........meliputi juga keuangan daerah atau suatu

badan/badan hukum yang mempergunakan modal atau kelonggaran-

kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang

diperoleh dari masyarakat tersebut".

Bahwa dana yang dibayarkan kepada PT. Bank Bali,Tbk

sebesar Rp.904.462.428.369,- adalah berasal dari Obligasi dalam

rangka penjaminan pemerintah terhadap kewajiban dari Bank-bank

Umum yang pelaksanaannya diserahkan kepada BPPN untuk dibayar

oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Surat Menteri

Keuangan Nomor : SK-176/MK.01/1999 tanggal 31 Mei 1999 perihal

Surat Kuasa Umum dalam rangka pembayaran Jaminan Pemerintah

terhadap kewajiban Bank sebesar Rp.53.779.000.000.000,- (lima puluh

tiga trilyun tujuh ratus tujuh puluh sembilan milyar rupiah);

Bahwa berdasarkan uraian pada unsur melawan hukum

(hal.22-28 diatas) bahwa transaksi antara PT. BDNI dan PT. Bank

Bali, Tbk tidak boleh dilakukan karena melanggar prinsip kehati-hatian

sesuai pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun

1992 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang

Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sehingga sesuai ketentuan,

transaksi tersebut bukan termasuk transaksi yang dijamin oleh

pemerintah;

Bahwa berdasarkan uraian pada unsur melawan hukum poin

3) bahwa cessie antara PT. Bank Bali,Tbk dengan PT. Era Giat Prima

adalah tidak sah sesuai ketentuan pasal 613 ayat (2)KUH Perdata dan

pasal 584 KUH Perdata. Sehingga cessie tersebut hanya merupakan

pro forma untuk digunakan sebagai alat/sarana bagi JOKO

SUGIARTO TJANDRA untuk dapat menikmati dana penjaminan

pemerintah terhadap klaim PT. Bank Bali,Tbk secara melawan hukum;

Karena transaksi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI tersebut

bukan termasuk transaksi yang dijamin oleh pemerintah maka

pemerintah tidak perlu membayar klaim tersebut;

82

Oleh karena cessie antara PT. Bank Bali,Tbk dengan PT. Era

Giat Prima adalah tidak sah sehingga uang yang dibayarkan oleh PT.

Bank Bali Tbk kepada PT.Era Giat Prima sebesar Rp.

546.466.166.369,- tersebut adalah bukan uang PT. Bank Bali, tetapi

merupakan uang negara.

Dengan demikian uang sejumlah Rp. 546.466.166.369,-

sebagai uang hasil dari tindak pidana korupsi yang dilakukan JOKO

SUGIARTO TJANDRA secara bersama-sama dengan terdakwa

lainnya (vide putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 380 K/Pid/2001

tanggal 10 Maret 2004 atas nama terpidana PANDE NASORAHONA

LUBIS), sudah seharusnya uang tersebut dirampas untuk Negara

sebagai pemulihan terhadap kerugian Negara sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-undang No.3 Tahun 1971.

c. Unsur perbuatan turut serta (pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dihukum

sebagai orang yang melakukan tindak pidana

Judex Juris dalam pertimbangan halaman 182 menyatakan:

"Judex Facti tidak salah menafsirkan pengertian turut serta dst karena

Judex Facti telah mempertimbangkan peranan terdakwa dan yang

terungkap dalam persidangan terdakwa hanya melakukan cessie

dengan Bank Bali".

Dan pada halaman 216 menyatakan:

"Tidak terdapat alat bukti yang membuktikan bahwa pribadi-pribadi

Rudy Ramli dst telah melakukan tindak pidana korupsi dan

dilakukannya bersama-sama atau dengan ikut serta atau dengan

disuruh melakukan hal tindak pidana itu oleh terdakwa".

Pertimbangan Judex Facti pada halaman 343 menyatakan antara lain

bahwa:

"Dari pengertian tersebut kalau terdakwa ditempatkan sebagai orang

yang turut melakukan tindak pidana siapakah sebenarnya subyek

pelaku tindak pidana yang bertalian dengan dana pencairan klaim

tagihan PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI (BBO) sehubungan

83

transaksi SWAP dan money market. Bahwa terdakwa tidak berperan

apapun dalam hal kelahiran SKB II, tidak berperan dalam hal verifikasi

on site, tidak berperan dalam pencairan tagihan, dan tidak pula terbukti

telah mempengaruhi pejabat otoritas moneter yang berkaitan dengan

program penjaminan sesuai dengan Keppres Nomor : 26 Tahun 1998".

Tanggapan Jaksa Penuntut Umum

Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu

kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya

mempertimbangkan bahwa untuk terjadinya "turut serta" seorang

pelaku harus melakukan semua unsur delik dan harus ada "pelaku

pokok" seharusnya mempertimbangkan doktrin ataupun yurisprudensi

lain tentang ajaran "turut serta".

Menurut Hoge Raad, medepleger selain sebagai pelaku penuh juga

semua pelaku tindak pidana (bila pelaku lebih dari satu orang) yang

salah satu dari mereka memunculkan fakta hukum sementara yang

lainnya hanya mewujudkan sebagian dari fakta hukum tersebut.

Pendapat ahli hukum/doktrin

Menurut Prof.Jan Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana,

Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab UndangUndang

Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana Indonesia:

"Hubungan accessoir hanya berlaku untuk bentuk pembujukan

(uitlokking) dan pembantuan (medeplichtigheid), dengan demikian

dalam "turut serta" pelaku tidak harus melaksanakan semua unsur

delik".

Selanjutnya Remmelink menyatakan bahwa menurut Hoge Raad:

"Untuk mengatakan adanya suatu medeplegen atau turut serta

disyaratkan adanya kerja sama yang disadari dengan kata lain

kesengajaan untuk melakukan kerja sama yang harus dibuktikan

keberadaannya. Hal ini mengimplikasikan bahwa harus dibuktikan

adanya dua bentuk kesengajaan dalam delik-delik kesengajaan yang

84

dilakukan secara bersama-sama untuk sejumlah pelaku :

(1)Kesengajaan (untuk memunculkan) akibat delik; dan

(2)Kesengajaan untuk melakukan kerja sama. Tidak perlu ada rencana

atau kesepakatan yang dibuat terlebih dahulu. Sebaliknya yang perlu

dibuktikan hanya adanya saling pengertian diantara sesama pelaku dan

pada saat perbuatan diwujudkan masing-masing pelaku bekerja sama

untuk mencapai tujuan bersama".

Menurut Prof. Mr. D. Simon dalam bukunya "leerboek van het

Nederland strafrecht" (yang dikutip dari buku Hukum Pidana

Indonesia, Drs. P.A.F. Lamintang, SH, C.Djisman Samosir, SH)

mengatakan bahwa :

"Orang lain yang turut serta melakukan kejahatan itu dapat dianggap

sebagai pelaku, maka disitu dapat terjadi medepleger atau turut serta

melakukan. Mededaderschap itu menunjukkan tentang adanya kerja

sama secara fisik untuk melakukan suatu perbuatan, kerja sama

secara fisik itu haruslah didasarkan pada kesadaran bahwa mereka itu

bekerja sama".

Bahwa Judex Facti telah melakukan kekeliruan yang nyata dalam

menafsirkan arti kata "pelaku" (pleger) dan "turut serta" (medepleger)

karena dalam putusan tersebut Judex Facti menafsirkan dalam suatu

tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang harus diketahui

dahulu mana pelaku pokoknya (dader) dan mana pelaku "turut

serta"(medepleger), sehingga seharusnya tidak perlu dicari pelaku

pokoknya terlebih dahulu karena masing-masing pelaku telah

mempunyai niat yang sama walaupun perannya berbeda beda,

sehingga dari peran masing-masing pelaku tersebut terselesaikanlah

perbuatan pidana tersebut.

Dalam kasus ini, kerja sama secara sadar dengan adanya saling

pengertian antara JOKO SUGIARTO TJANDRA dengan para

terdakwa lain yang disidangkan secara terpisah antara lain PANDE

85

NASORAHONA LUBIS, Drs. R. SETYA NOVANTO dan RUDY

RAMLY dapat dilihat dalam hal :

1) Berdasarkan SKB I Nomor : 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1/BPPN/1998

1998 PT. Bank Bali,Tbk pernah beberapa kali mengajukan klaim

kepada BPPN terhadap tagihan kepada PT. BDNI namun ditolak

dengan alasan bahwa klaim tersebut terlambat didaftarkan.

2) Atas dasar penolakan tersebut PT.Bank Bali,Tbk melakukan

pengalihan tagihan kepada JOKO SUGIARTO TJANDRA (PT.

Era Giat Prima) untuk mencairkan klaim terhadap PT. BDNI

tersebut yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 1999.

3) Setelah menerima pengalihan tagihan (cessie) dari PT.Bank

Bali,Tbk tersebut JOKO SUGIARTO TJANDRA mulai melakukan

perbuatan-perbuatan yang bertujuan agar klaim PT. Bank Bali,Tbk

terhadap PT. BDNI tersebut dapat dicairkan oleh BPPN,

diantaranya adalah mempengaruhi pemegang otoritas moneter. Hal

ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa kali pertemuan para

pejabat pemegang otoritas moneter (Bank Indonesia, Departemen

Keuangan dan BPPN) dengan pihak PT. Bank Bali,Tbk dan PT.

BDNI yang dilakukan:

a) Tanggal 11 Februari 1999 malam bertempat di Hotel Mulia

Jakarta JOKO SUGIARTO TJANDRA mengadakan pertemuan

yang dihadiri oleh AA. Baramuli, Tanri Abeng, Syahril Sabirin,

Pande Lubis, Firman Sutjahya dan Setya Novanto untuk

membahas klaim PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI.

b) Tanggal 1 April 1999 PT.Bank Bali,Tbk mengajukan klaim

terhadap PT. BDNI

c) Awal Mei 1999 bertempat di rumah Tanri Abeng, JOKO

SUGIARTO TJANDRA mengadakan pertemuan dengan AA.

Baramuli dan Setya Novanto untuk membahas klaim PT. Bank

Bali terhadap PT. BDNI.

86

d) Bulan Mei 1999 bertempat di rumah AA. Baramuli, JOKO

SUGIARTO TJANDRA mengadakan pertemuan dengan Tanri

Abeng, Setya Novanto dan Marimutu Manimaren untuk

membahas klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI.

e) Tanggal 26 Mei 1999 JOKO SUGIARTO TJANDRA bersama-

sama dengan Rudi Ramly dan Marimutu Manimaren bertemu

Menteri Keuangan (Bambang Subiyanto) di rumah Menteri

Keuangan untuk membahas klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap

PT. BDNI.

4) Bahwa klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI yang semula

telah ditolak oleh BPPN dengan alasan tidak sesuai dengan SKB I

Nomor 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1998

1/BPPN/1998 karena berdasarkan SKB I tersebut yang berhak untuk mengajukan

klaim hanyalah bank debitur (PT. BDNI), setelah diadakan

pertemuan-pertemuan tersebut BPPN bersama-sama dengan Bank

Indonesia mengeluarkan SKB II Nomor : 32/46/KEP/DIR tanggal

181/BPPN/0599

14 Mei 1999 di mana disebutkan bahwa bank kreditur (dalam hal

ini PT.Bank Bali,Tbk) dapat mengajukan klaim kepada BPPN.

Dengan adanya SKB II tersebut klaim dari PT.Bank Bali,Tbk

diproses oleh BPP hingga akhirnya dibayar oleh Bank Indonesia.

5) Walaupun pertemuan-pertemuan tersebut diabaikan oleh Judex

Facti sebagaimana pertimbangannya pada halaman 318 yang

menyatakan:

"Hanya ada 1 (satu) saksi yaitu saksi Firman Sutjahya yang

menerangkan benar pada tanggal 11 Februari 1999 ada pertemuan

di hotel Mulia yang dihadiri oleh Syahril Sabirin, AA.Baramuli,

Tanri Abeng, Joko Soegirato Tjandra, Setya Novanto dan Pande N.

Lubis yang dibantah oleh terdakwa (Joko Soegirato Tjandra) dan

87

tidak dibenarkan oleh kesaksian-kesaksian di bawah sumpah

lainnya"

Yang dibenarkan oleh Judex Juris dengan pertimbangan pada

halaman 180 yang menyatakan:

"Judex Facti tidak salah menerapkan hukum pembuktian khusus

tentang pengertian unus testis nulus testis karena hanya saksi

Firman Soetjahja yang menerangkan ada pertemuan di Hotel Mulia

pada tanggal 11 Pebruari 1999"

dan pada halaman 212 yang menyatakan:

"Keterangan Firman Soetjahja satu-satunya yang menerangkan

terdapat pertemuan pada tanggal 11 Februari 1999 untuk

membicarakan percepatan pencairan tagihan PT. Bank Bali,

memenuhi kriteria hukum sebagai unus testis nulus testis.

6) Bahwa pertimbangan Judex Juris yang demikian terdapat

kekhilafan dan kekeliruan yang nyata, karena dari fakta di

persidangan karena ada keterangan saksi-saksi lainnya antara lain

Bambang Subiyanto (Menteri Keuangan), Rudy Ramly, Irvan

Gunardwi, Marimutu Manimaren, Firman Sutjahja dan beberapa

saksi lainnya, bila dikaitkan keterangan masing-masing saksi

tersebut satu sama lain terdapat hubungan yang erat, sehingga

dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk yang membenarkan

adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu sebagaimana tersebut

dalam pasal 185 ayat (4) KUHAP, yaitu adanya

pertemuanpertemuan antara JOKO SOEGIARTO TJANDRA

dengan pemegang otoritas moneter antara lain Syahril Sabirin dan

Pande N. Lubis dan Bambang Subianto dalam membahas klaim

PT.Bank Bali hingga dapat dibayarkan klaim tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat peran JOKO SOEGIARTO

TJANDRA dalam pencairan klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT.

BDNI walaupun perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA tidak

memenuhi semua unsur delik yang didakwakan namun terlihat adanya

88

kerja sama dengan terdakwa lain (PANDE NASORAHONA LUBIS

dan SYAHRIL SABIRIN), sebagaimana kami uraikan dalam

pengertian unsur "turut serta" menurut doktrin ilmu hukum pidana dan

Yurisprudensi. Dengan adanya kerja sama dan niat yang disadari

(bewuste samenwerking) antara para terdakwa tersebut sehingga unsur

pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu "turut serta melakukan" telah

terbukti dan para terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

d. Unsur perbuatan berlanjut sebagaimana dalam pasal 64 ayat (1) KUHP

Pertimbangan Judex Facti pada halaman 346 menyatakan :

Bahwa beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya yaitu

agar dikwalifisir sebagai suatu perbuatan yang diteruskan dalam

praktek peradilan harus memenuhi syaratsyarat:

1) Harus timbul dari satu niat, kehendak atau keputusan atau harus

ada kesatuan tekad.

2) Perbuatan harus serupa atau sejenis.

3) angka waktu diantara terjadinya perbuatan tidak boleh terlalu lama.

Menurut Judex Facti perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur

tersebut, namun tidak ditemukan unsur sifat "melawan hukum" atas

perbuatan terdakwa baik materiil maupun formil.

Dan juga menyatakan:

"Bahwa setelah PT. Bank Bali menerima dana tagihan terhadap PT.

BDNI (BBO) sejumlah Rp.904.642.428.369,- tanggal 1 Juni 1999

yang berasal dari dana talangan pemerintah sehubungan dengan

program penjaminan sesuai dengan Keppres Nomor 26 tahun 1998,

pada tanggal 3 Juni 1999 dari dana sebesar Rp.904.642.428.369,- yang

Rp.404.642.428.369,- dikreditkan oleh PT. Bank Bali (cedent) ke

rekening PT.Era Giat Prima (Cessionaris) A/C 0701026934 di Bank

Bali selanjutnya pada tanggal 10 Juni 1999 PT. Bank Bali selaku

cedent mentransfer sejumlah Rp.141.826.116.369,- ke rekening PT.

Era Giat Prima selaku Cessionaris".

Dan pada halaman 348 menyatakan bahwa:

89

“....dana yang diterima oleh PT.Era Giat Prima selaku Cessionaris dari

PT.Bank Bali selaku cedent sejumlah Rp.546 milyar adalah

pelaksanaan perjanjian pengalihan/cessie tagihan Nomor : 002/P-

EGP/1-99 tanggal 11 Januari 1999 antara cedent PT.Bank Bali dengan

Cessionaris PT.Era Giat Prima yang hanya mengikat bagi cedeht dan

Cessionaris".

yang dibenarkan oleh Judex Juris dalam pertimbangannya halaman

210 dimana Judex Juris menyatakan :

"bahwa cessie sebagai produk perdata memenuhi kriteria sebagai

perjanjian yang sah menurut hukum perdata, sehingga perbuatan

JOKO SOEGIARTO TJANDRA menerima dana dari PT. Bank

Bali,Tbk adalah dalam kapasitasnya sebagai Cessionaris dan PT. Bank

Bali,Tbk yang menyerahkan dana kepada PT. Era Giat Prima tersebut

adalah dalam kapasitasnya sebagai cedent sehingga tidak terdapat

perbuatan yang bersifat melawan hukum.

Tanggapan Jaksa Penuntut Umum

Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu

kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya

mempertimbangkan bahwa perbuatan JOKO SOEGIARTO

TJANDRA dalam kapasitas sebagai pihak dalam perjanjian yang

bersifat keperdataan (sebagai Cessionaris) seharusnya juga

mempertimbangkan peran JOKO SOEGIARTO TJANDRA dalam

pencairan klaim PT. Bank Bali yang bersifat melawan hukum.

Bahwa sifat melawan hukum dari perbuatan JOKO SOEGIARTO

TJANDRA yang dilakukan bersama-sama dengan SYAHRIL

SABIRIN dan PANDE NASORAHONA LUBIS dapat dilihat dari

rangkaian peristiwa sebagai berikut:

1) bahwa transaksi SWAP dan money market antara PT. Bank

Bali,Tbk dengan PT. BDNI adalah transaksi yang tidak termasuk

transaksi yang dijamin oleh pemerintah karena pada waktu itu PT.

90

BDNI dalam kondisi over draft sehingga transaksi tersebut telah

melanggar "prinsip kehati-hatian".

2) adapun Cessie antara PT.Bank Bali,Tbk dengan PT.Era Giat Prima

(EGP) adalah Cessie yang tidak sah karena landasannya yaitu

perjanjian obligatornya tidak sah karena tidak diikuti dengan

levering sesuai dengan pasal 584 KUH Perdata.

3) Sehingga dana yang dibayarkan oleh Bank Indonesia kepada PT.

Bank Bali,Tbk sebesar Rp.904.642.428.369,- bukan milik PT.

Bank Bali,Tbk karena transaksi SWAP dan Money market antara

PT. BDNI dan PT. Bank Bali, Tbk bukan termasuk transaksi yang

dijamin sehingga dana sebesar Rp.546.468.544.738,- yang

ditransfer kepada PT. Era Giat Prima masing-masing pada tanggal

3 Juni 1999 sebesar Rp.404.642.428.369,- dan pada tanggal 10 Juni

1999 sebesar Rp.141.826.116.369,- adalah uang negara.

(Sebagaimana yang telah diuraikan dalam tanggapan Jaksa mengenai

unsur melawan hukum diatas)

Dengan demikian rangkaian perbuatan JOKO SUGIARTO TJANDRA

yang dilakukan bersama-sama dengan SYAHRIL SABIRIN dan

PANDE NASORAHONA LUBIS tersebut adalah bersifat "melawan

hukum", maka dengan terbuktinya sifat melawan hukum dari

perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA tersebut seharusnya

perbuatan berlanjut seperti yang didakwakan oleh Penuntut Umum

terbukti.

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah

Agung berpendapat :

Bahwa sebelum mempertimbangkan alasan-alasan peninjauan kembali perlu terlebih dahulu dibatasi makna pengajuan peninjauan kembali oleh Penuntut umum dalam kapasitasnya mewakili negara dan kepentingan umum dalam penyelesaian perkara pidana bukan untuk kepentingan pribadi penuntut umum ataupun lembaga Kejaksaan, dan makna kepentingan umum dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 49 Undang Undang nomor 5 tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang

91

menjelaskan “Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat bersama atau kepentingan pembangunan”, demikian juga dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung yang mengartikan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan masyarakat luas ;

Dari makna ketentuan diatas dihubungkan dengan permohonan peninjauan kembali aquo terlihat bahwa kepentingan bangsa dan negara maupun masyarakat luas lebih menonjol, sehingga permohonan aquo mempunyai sifat yang eksepsional telah memenuhi makna dari kepentingan umum dan makna kepentingan umum ini pula yang harus membatasi Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana, karenanya tidak dapat serta merta seluruh perkara pidana Jaksa Penuntut umum dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali ;

Bahwa Alasan-alasan Peninjauan Kembali yang diajukan

Jaksa bertalian dengan dasar diajukan permohonan Peninjauan

Kembali sebagaimana disebut dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c

KUHAP, yaitu putusan itu jelas memperlihatkan suatu kekhilafan

Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, dapat dibenarkan berdasarkan

pertimbangan dan alasan-alasan sebagai berikut:

1) ALASAN ad. A dan ad. B;

a) Alasan tersebut dapat dibenarkan karena tentang sah atau

tidaknya suatu perjanjian i.c. “ pembatalan perjanjian

pengalihan tagihan (cessie) nomor : 002/P-EGP/I-99 tanggal 11

Januari 1999 “ adalah wewenang dari peradilan perdata, namun

pada kasus a quo yang menjadi dasar sah atau tidaknya

merupakan putusan TUN yang semestinya secara absolut tidak

berwenang untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian yang

mengikat para pihak ;

b) Selain itu berdasarkan wewenang yang dimiliki oleh BPPN

sebagai lembaga pemberesan mewakili pemerintah dalam

penyelesaian bank bank BBKU maupun BBKO, berdasarkan

suratnya nomor : SK/423/BPPN/1999 telah membatalkan

92

perjanjian cessi antara PT Bank Bali dengan PT. Era Giat

Prima dan dengan batalnya perjanjian itu semestinya BPPN

tidak perlu melakukan pembayaran atas tagihan dimaksud,

namun karena adanya intervensi dari pihak pihak yang

mempunyai otoritas pencairan tagihan itu terjadi, sehingga

pencairan itu bertentangan dengan ketentuan Kepres 26 tahun

1998 dan BPPN sendiri telah pernah pula menolak permohonan

klaim dimaksud ;

c) Bahwa ternyata secara sadar Terdakwa bersama sama dengan

Pande N. Lubis, Syahril Sabirin, Setyo Novanto dan yang lain

lain berupaya untuk mewujudkan agar perjanjian cessie antara

PT Bank Bali dengan PT. EGP yang bersumber dari transaksi

Swap dan Money market antara PT. BDNI dengan PT Bank

Bali yang telah dibatalkan BPPN sebagai transaksi yang

dijamin dalam Kepres 26 tahun 1998 dan atas upaya upaya

yang dilakukan dengan mempengaruhi para pemegang otoritas

maupun bersama sama dengan pemegang otoritas terwujud

dengan diproses dan dibayarkannya tagihan dimaksud ;

2) Judex Juris yang mengambil alih pertimbangan Judex Facti

mengenai unsur "melawan hukum" yang didasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut adalah :

a) Pertimbangan Judex Juris mengenai transaksi PT. BDNI dan

PT. Bank Bali Tbk pada halaman 182, menyatakan :

"bahwa transaksi SWAP dan money market, antara PT. Bank

Bali,Tbk dan PT. BDNI tidak bertentangan dengan ketentuan

perundang-undangan perbankan karena itu apa yang telah

dipertimbangkan Judex Factie sudah tepat dan benar"

dan pada halaman 214,

"bahwa dalam proses, transaksi SWAP dan money market oleh

PT. Bank Bali,Tbk dalam hubungannya dengan Bank BDNI

adalah tidak melawan hukum".

93

serta pada halaman 281 s/d 285 menyebutkan :

"bahwa transaksi SWAP dan money market yang dilakukan

antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI (sebelum BBO) telah

dicatat dalam pembukuan dan telah didokumenkan PT. Bank

Bali,Tbk, tidak pernah adanya teguran dari Bank Indonesia

baik secara lisan maupun tertulis serta telah dilakukannya

verifikasi on site ternyata tidak ditemukan ketidakwajaran dan

ketidakbenaran dalam transaksi antara PT. Bank Bali,Tbk dan

PT. BDNI sehingga tidak melanggar asas demokrasi ekonomi

dan prinsip kehati-hatian serta tidak melanggar tingkat

kesehatan bank sebagaimana diatur dalam pasal 2 jo pasal 29

ayat (2) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah

dengan Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998".

b) Pertimbangan Judex Facti tersebut diatas adalah keliru dan

merupakan kekhilafan yang nyata karena hanya

mempertimbangkan verifikasi on site yang dilaksanakan hanya

terhadap PT. Bank Bali,Tbk ( Bank kreditur) tanpa melakukan

verifikasi on site terhadap PT. BDNI (Bank Debitur),

seharusnya verifikasi on site dilakukan terhadap bank kreditur

dan bank debitur.

c) Berdasarkan rapat antara Direksi Bank Indonesia dan BPPN

(Risalah Rapat Direksi Nomor: 31.00.08 tanggal 24 September

1998), ditentukan bahwa dalam proses penjaminan yaitu dari

klaim yang masuk akan dilakukan verifikasi oleh Bank

Indonesia kemudian apabila klaim tersebut dapat diterima maka

akan diberitahukan kepada BPPN untuk mendapatkan otorisasi

pembayaran.

d) Bahwa rekonsiliasi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI yang

dilakukan oleh BPPN bukanlah dalam pengertian verifikasi on

site seperti yang dimaksud dalam program penjaminan ini,

94

sehingga seharusnya BPPN tidak perlu membayar klaim PT.

Bank Bali,Tbk tersebut.

e) Bahwa yang dimaksud oleh verifikasi on site adalah melakukan

penelitian terhadap saldo giro bank, fasilitas over draft, BLBI

yang diterima dari Bank Indonesia yang dilakukan terhadap

bank debitur.

f) Apabila verifikasi on site tersebut dilakukan juga terhadap PT.

BDNI maka akan diketahui bahwa kondisi keuangan PT. BDNI

pada tanggal 27 September 2007 dalam keadaan overdraft

senilai Rp.1,7 triyun lebih bahkan pada akhir Desember

mencapai Rp.8,4 triyun lebih, sehingga sebenarnya transaksi (8

transaksi SWAP dan 2 transaksi money market) antara PT.

BDNI dengan PT. Bank Bali, Tbk sudah melanggar prinsip

kehati-hatian bank (prudential principle) sebagaimana

dimaksud dalam pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang-Undang

Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang-Undang

Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

g) Sesuai dengan "prinsip kehati-hatian" dalam usaha perbankan

seharusnya PT. BDNI dalam menjalankan usahanya seharusnya

memperhatikan rambu-rambu kesehatan bank dalam rangka

pengendalian risiko. Prinsip kehati-hatian seperti yang

ditentukan di dalam pasal 2 Undang-Undang Perbankan

dijabarkan di dalam patokan-patokan yang bersifat operasional.

Salah satu rambu prinsip kehati-hatian adalah Giro Wajib

Minimum yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi BI

Nomor : 30/89A/ KEP/DIR tanggal 30 Oktober 1997.

Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia dalam

rupiah ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam

rupiah.

h) Berdasarkan data dari Bank Indonesia saldo giro PT. BDNI

yang ada di Bank Indonesia pada tanggal 27 November 1997

95

telah over draft sebesar Rp.1.715.690.000.000,- dan pada

tanggal 30 Desember 1997 telah over draft sebesar

Rp.8.463.711.000.000,-, dan hal ini pernah dilakukan teguran

oleh Bank Indonesia kepada PT. BDNI yaitu :

Nomor : 30/301/UPB2/AdB2 tanggal 3 November 1997,

Nomor : 30/1742/UPB2/AdB2 tanggal 11 November 1997,

Nomor : 30/2166/UPB2/AdB2 tanggal 2 Desember 1997,

Nomor : 30/2540/UPB2/AdB2 tanggal 31 Desember 1997.

sehingga PT. BDNI tidak sepatutnya melakukan transaksi

SWAP dan money market dengan PT. Bank Bali. Tbk.

i) Bahwa berdasarkan pada uraian uraian diatas dapat

disimpulkan telah terjadi perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh terdakwa bersama sama dengan Syahril Sabirin

maupun Pande N. Lubis ;

Bahwa dengan telah terbuktinya perbuatan melawan hukum

yang dilakukan oleh terdakwa dan mengambil alih pertimbangan yudex

facti (Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) ternyata apa yang telah

dilakukan oleh terdakwa dengan cara pencairan dana talangan

berdasarkan Kepres 26 tahun 1998, bendaharawan negara telah

membayarkan uang atas klaim transaksi Swap dan Money market dari

Bank Bali sebesar Rp. 904.462.428.369,- dan uang mana semestinya

tidak dapat dibayarkan, sehingga atas pembayaran itu telah merugikan

keuangan negara sebasar Rp. 904.462.428.369,- yang secara langsung

ataupun tidak langsung mempengaruhi perekonomian negara yang

sedang berusaha untuk memulihkan krisis moneter, dan oleh karenanya

atas barang bukti yang telah disita dan saat ini tersimpan dalam Escrow

Acount Bank Bali pada rekening nomor : 0999.045197 sejumlah

Rp.546.468.544.738 (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus

enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus

tiga puluh delapan rupiah) haruslah dirampas untuk dikembalikan pada

negara.

96

H. Bentuk Penemuan Hukum dalam Pemeriksaan Perkara Peninjauan

Kembali.

Menimbang, bahwa terlebih dahulu perlu dipertimbangkan, apakah

permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum

terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum secara

formal dapat diterima, mengingat pasal 263 ayat 1 KUHAP menentukan yang

berhak mengajukan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya

dan putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali tidak

boleh merupakan putusan bebas atau putusan dilepaskan dari segala tuntutan

hukum;

Menimbang, bahwa mengenai hal tersebut Mahkamah Agung akan

memperhatikan yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996

No.55 KK/Pid/1996, yang secara formal telah menerima permintaan

peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap

putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang

merupakan putusan bebas, yang telah diikuti oleh putusan Mahkamah Agung

tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001, berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan yang pada pokoknya sebagai berikut :

a. Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak

diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan

dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri,

guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang

Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan

Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana;

b. Dalam menyelesaikan problema yuridis hukum acara tersebut maka

Mahkamah Agung meneliti dan menafsirkan beberapa peraturan Undang-

undang sebagai dasar pertimbangan yuridisnya, yaitu :

1) Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak

dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal

244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan

97

bebas mumi tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak mumi

dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi

tetap Mahkamah Agung;

2) Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan

pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat

dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang

mewakili kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang

berkepentingan yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut

ditafsirkan adalah, Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon

pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung;

3) Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah

Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut

Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan

hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan

terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti

pemidanaan terhadap terdakwa;

4) Berdasarkan asas Legalitas serta penerapan asas keseimbangan Hak

Asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon PK) dengan

kepentingan umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping

perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili

kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan kembali

(PK);

5) Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara

Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar

Semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat, adil,

karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum

acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi

perkara pidana yang ternyata ada hal-hal.yang belum diatur oleh

KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri

(yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum serta

98

mengakomodir kepentingan yang belum diatur di dalam Hukum

Acara Pidana;

6) Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas

maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal

permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap

putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 395 K/Pid/1995 tanggal 29

September 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga

dapat diperiksa kembali;

Menimbang, bahwa untuk memelihara keseragaman putusan

Mahkamah Agung (consistency in Court decision), maka Mahkamah Agung

dalam memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali terpidana

tersebut, akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya

tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung

tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung

tanggal 25 Januari 2008 No. : 109 PK/Pid/2007 tersebut di atas, yang secara

formal telah mengakui hak/wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk

mengajukan permintaan peninjauan kembali;

Menimbang, bahwa pendirian Mahkamah Agung tersebut selain untuk

memelihara keseragaman putusan, karena menurut pendapat Mahkamah

Agung, dalam putusan-putusan tersebut, terkandung "penemuan hukum" yang

selaras dengan jiwa ketentuan perundang-undangan, doktrin dan azas-azas

hukum, sebagaimana dapat disimpulkan dari hal-hal sebagai berikut :

a. Bahwa Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang

Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ; "Terhadap putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan ,hukum tetap, pihak-pihak yang

bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah

Agung, apabila, terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam

undang-undang" tidak menjelaskan tentang "siapa saja yang dimaksud

pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan

kembali" tersebut.

99

Demikian juga Pasal 21 Undang-undang No.14 Tahun 1970 yang

berbunyi : "Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang

ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan

kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana

oleh pihak-pihak yang berkepentingan", tidak menjelaskan "tentang

siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan

yang dapat mengajukan peninjauan kembali" dan terhadap ketidakjelasan

tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55

PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3

PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 No.

: 109 PK/Pid/2007 telah memberikan jawaban dengan menggunakan

penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud "pihak-pihak yang

berkepentingan dalam perkara pidana" selain terpidana atau ahli warisnya

adalah Jaksa;

b. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21

Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas,

yaitu:

1) Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut

Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab

logikanya terpidana /ahli warisnya tidak akan mengajukan Peninjauan

Kembali .atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging.

Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut

Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP;

2) Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3

KUHAP yang pokoknya menentukan "Atas dasar alasan yang sama

sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan

permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu

perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi

tidak diikuti oleh suatu pemidanaan" tidak mungkin dimanfaatkan

100

oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang

bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum

diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;

c. Bahwa sehubungan dengan adanya ketidakjelasan dalam Pasal 263

KUHAP tersebut, perlu dikemukakan pendapat-pendapat sebagai berikut:

1) Bahwa penganut Doktrin "Sens-clair (la doctrine du sensclair)

berpendapat bahwa "penemuan hukum oleh hakim" hanya dibutuhkan

jika :

a) Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau

b) Peraturannya sudah ada tetapi belum / tidak jelas;

2) Bahwa LIE OEN HOCK berpendapat : " Dan apabila kita

memperhatikan Undang-undang, ternyata bagi kita, bahwa undang-

undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan, tapi

seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus

melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian

undang-undang memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan

sendiri maknanya kententuan undang-undang itu atau artinya suatu

kata jang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Dan

hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang secara

gramatikal atau historis, baik "recht maupun wetshistoris"; (Lie Oen

Hock Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, pidato diucapkan pada

Peresmian Pemangkuan Jabatan Guru Besar Luar Biasa dalam limu

Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas

Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di

Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11);

3) Bahwa M. YAHYA HARAHAP berpendapat : " Akan tetapi

sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong

hukum publik yang bersifat imperative, dimungkinkan untuk

melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk

mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek

kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta

101

manusiawi atau disebut according to the principle of justice; Bahkan

berkembang pendapat umum yang mengatakan : tanpa penafsiran atau

diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat

penyidik, penuntut dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara

pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan public memang diakui

"imperative", tetapi tidak seluruhnya absolute. Ada ketentuan yang

dapat "dilenturkan" (flexible), dikembangkan (growth) bahkan

disingkirkan (overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa

keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep : to improve the quality

of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak

dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan

KUHAP, kasus Natalegawa dalam perkara No.275 K/Pid/1983 (10

Desember 1993). Dalam perkara ini Mahkamah Agung telah

mewujudkan case law yang telah menjadi stare decisis melalui

“extensive interpretation". Dalam kasus ini walaupun pasal 244

KUHAP "tidak memberikan hak" kepada penuntut umum

mengajukan kasasi terhadap "putusan bebas" ( terdakwa atau penuntut

umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada

Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas); Akan tetapi,

ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperatif yang melekat pada

ketentuan ini "dilenturkan", bahkan disingkirkan (overruled) dengan

syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan bukan pembebasan

murni. Sejak saat itu, kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap

putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung,

berarti penerimaan kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap

putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelas-jelas

bersifat contra legem atau " bertentangan dengan undang-undang"

(dalam hal ini bertentangan dengan pasal 244 KUHAP). Jika

pertimbangan yang tertuang dalam putusan perkara ini diperas,

intisari atau esensinya : to improve the quality of justice and recitduce

in justice yang terkandung dalam putusan bebas Natalegawa;

102

Motivasi tersembunyi yang paling dalam mengcontra legem Pasal

244 KUHAP, bertujuan untuk “mengoreksi dan meluruskan putusan

bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan, dianggap

sangat tidak adil dan tidak bermoral, apabila pengadilan tidak mampu

menghukum orang yang bersalah”. Sangat bertentangan dengan

keadilan dan kebenaran apabila pembebasan terdakwa didasarkan

pada alasan "non yuridis". Dalam kasus yang seperti itu sangat

beralasan untuk mengoreksinya dalam tingkat kasasi. Oleh karena itu

dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan

bebas demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan

semaksimal ,mungkin. Bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah

yang mendorong Majelis peninjauan kembali dalam kasus Muchtar

Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan pasal 263

KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan

hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada penuntut umum

mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara

memberi kesempatan kepada penuntut umum membuktikan bahwa

pembebasan yang dijatuhkan pengadilan "tidak adil" (in justice)

karena didasarkan ada alasan "non yuridis" (lihat M. Yahya Harahap,

Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penerbit Sinar

Grafika, Edisi Kedua hlm.642-643);

Bahwa doktrin-doktrin tersebut di atas adalah sesuai dengan tugas

Hakim dalam menemukan hukum apa yang menjadi hukum

berdasarkan pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan "bahwa pengadilan

tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara

yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas

melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya". Ketentuan

pasal ini mengisyaratkan kepada Hakim bahwa apabila terjadi suatu

peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya,

103

Hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk

menyelesaikan perkara tersebut;

Dalam hal ini Hakim harus berperan untuk menentukan apa yang

merupakan hukum sekalipun peraturan perundang-undangan tidak

dapat membantunya. Perlu dikemukakan bahwa dalam rangka

menemukan hukum ini isi ketentuan Pasal 16 ayat 1 tersebut harus

dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4

Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak hukum

wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat

memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan

dalam masyarakat.) “Hal ini dalam yurisprudensi tersebut dapat

disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang berbunyi

"Berdasarkan azas/legalitas serta penerapan azas keseimbangan hak

asasi antara kepentingan perorangan (termohon peninjauan kembali

dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya di lain pihak di

samping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang

diwakili Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali

(PK)”;

d. Bahwa pertimbangan tersebut di atas adalah sesuai dengan Model yang

tertumpu pada konsep "daad-dader-stra-recht " yang oleh Muladi disebut

Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang

memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum

pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan

individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban

kejahatan (Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas

Diponegoro, Semarang 1995, hlm.5) dan selaras pula dengan tujuan

hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman dimana hukum

harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa

atau terpidana, maupun korban tindak pidana;

104

e. Di dalam praktek acapkali menghadapi kasus perkara yang dalam

penerapan hukumnya telah terjadi benturan kepentingan, disatu sisi

kepentingan kepastian hukum yang bermuara pada aspek prosedural, dan

disisi lain berhadapan dengan kepentingan kebenaran dan keadilan yang

bermuara pada kepentingan umum atau negara. Harus disadari bahwa

nilai keadilan dan kebenaran tidak dapat diperoleh dari tingginya aspek

kepastian hukum, akan tetapi ditentukan oleh faktor keseimbangan aspek

perlindungan hukum terhadap korban maupun pelaku kejahatan. Oleh

karena itu konsekwensinya semakin serius akibat dan sifat kejahatannya,

maka semakin besar pula tuntutan nilai keadilan yang harus dicapai dan

melebihi dari tuntutan nilai kepastian hukum. Dengan kata lain agar dapat

mencapai nilai keadilan dan kebenaran yang lebih tinggi hakim harus

berani mereduksi nilai kepastian hukum ;

f. Bahwa selain itu pertimbangan hukum tersebut adalah sejalan dengan

ajaran "prioritas baku" tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch,

dimana "keadilan" selalu diprioritaskan. Ketika Hakim harus memilih

antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan,

demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan dan atau

kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran "prioritas

baku" tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh

Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang berbunyi "Keadilan dan

Kepastian sebagal tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam

penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut,

maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkannya hakim

sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum";

g. Bahwa karena berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang

dikeluarkan Menteri Kehakiman "Tujuan dari hukum acara pidana adalah

untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekatkan,

kebenaran materiil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu

perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara

jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat

105

di dakwa melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta

pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah

terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang

yang didakwa itu dapat dipersalahkan", maka KUHAP harus secara

maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara

melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan

dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan

memungkinkan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan

peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum.

Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan peninjauan

kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu

dikemukakan sebagai bahan perbandingan ketentuan-ketentuan sebagai

berikut :

a. Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No.31ahun 1997, menentukan "Atas

dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap

suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang

tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila

dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan

terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan";

b. Article 8 Statute of International Criminal Curt pada pokoknya

menentukan "1. The convicted person or, after death, spouses, children,

parents, or one person alivee at the time of the accused"s death who has

been given Express written instructions from the accused to bring such a

claim or the prosecutor on the person's behalf, may apply to the Chamber

to revise the final judgmen of conviction or sentence on the grounds

that..................”;

c. Artikel 37 Reglement of de Straf Ver Orderin (SV) (S.1847-40)

menentukan "De aanvrage tot herzienning wordt bij hea Hooggerechtshof

aangebracht door het indienen van een vordering door den procureur-

106

generaal of door het indienen van een vorzoekschrift door een

veroordeelde te wiens aanzien het arrest of vonnis in kracht van gewijsde

is gegaan, door een bijzonder daartoe schriftelijk gemachtigde of door zijn

raadsman. Het bepaalde bij art. 120 vindtovereenkomstige toepassing, met

dien verstande dat de bemoeeienis, bedoeld bij het tweede lid van dat art,

aan den president van het Hooggerechtshof is opgedragen. (Sv.(3563,

358v.);

d. Pasal 4 ayat 1 PERMA No.1 Tahun 1969 menentukan "Permohonan

peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap harus diajukan oleh pihak:yang berkepentingan atau

oleh Jaksa Agung";

Pasal 10 ayat 1 PERMA No. 1 Tahun 1980 menentukan "Permohonan

peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak

yang berkepentingan";

I. Amar Putusan Mahkamah Agung dalam Pemeriksaan Peninjuan

Kembali.

a. Mengabulkan permohonan Peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum

pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tersebut ;

b. Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1688 K/Pid/2000

tanggal 28 Juni 2001 Jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel. tanggal 28 Agustus 2000 ;

MENGADILI KEMBALI:

a. Menyatakan Terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Turut serta

melakukan tindak pidana korupsi dan berlanjut” ;

b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 2 (dua) tahun ;

c. Menghukum pula Terdakwa untuk membayar denda sebesar

Rp.15.000.000,-, (lima belas juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda

107

tersebut tidak dibayar, maka kepada Terdakwa dikenakan hukuman

pengganti berupa pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan ;

d. Menyatakan barang bukti berupa dana yang ada dalam Escrow Account

atas rekening Bank Bali No.0999.045197 qq. PT Era Giat Prima sejumlah

Rp.546.468.544.738,- (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus

enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga

puluh delapan rupiah) di rampas untuk dikembalikan pada negara ;

e. Menyatakan barang bukti lainnya berupa surat-surat sebagaimana dalam

daftar barang bukti tetap terlampir dalam berkas ;

f. Membebankan Termohon peninjauan kembali / Terdakwa untuk

membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam

tingkat peninjauan kembali ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus

rupiah) ;

J. Pembahasan.

Peninjauan kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang

diatur dalam KUHAP Buku Kesatu Bab XVIII Bagian Kedua tentang

Peninjauan Kembali mulai pasal 263 sampai dengan 269, Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004. Dimana secara garis besar dalam undang-undang

tersebut dapat disimpulkan bahwa permohonan peninjauan kembali itu

diperuntukkan kepada terpidana atau ahli warisnya sebagai upaya hukum

terakhir, terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Hak mengajukan permohonan peninjauan kembali yang seharusnya

hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya dapat dilihat dari

penjelasan setiap pasal yang mengaturnya. Seperti yang tercantum dalam pasal

263 ayat (1) yaitu terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan

kembali kepada Mahkamah Agung.

Dari uraian pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan:

108

a. Upaya peninjauan kembali hanya dapat dilakukan terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Upaya peninjauan kembali tidak dapat dilakukan terhadap putusan bebas

atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

c. Adanya batasan dalam pengajuan permohonan peninjauan kembali hanya

kepada terpidana atau ahli warisnya saja.

Kesimpulan dari pasal 263 ayat (1) diatas telah menjelaskan secara

tegas bahwa dalam pengajuan peninjauan kembali terdapat ketentuan yang

harus terpenuhi dan tidak membuka kemungkinan penafsiran lain selain yang

disebutkan dalam pasal tersebut. Yaitu tidak terbuka untuk diajukan terhadap

putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak

dapat dilakukan terhadap putusan bebas atau putusan lepas dari segala

tuntutan hukum, dan tidak terbuka diajukan oleh pihak selain terpidana dan

ahli warisnya. Karena maksud adanya upaya hukum peninjauan kembali ini

adalah untuk melindungi dan merupakan upaya hukum terakhir bagi terpidana,

sehingga yang dapat mengajukan hanyalah terpidana dan ahli warisnya atau

pihak lain dalam hal ini penuntut umum.

Sedangkan alasan-alasan hukum diajukannya permohonan peninjauan

kembali serta memperkuat mengenai pengajuan oleh terpidana atau ahli

warisnya diatur dalam pasal 263 ayat (2), yaitu: Permintaan peninjauan

kembali dilakukan atas dasar:

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika

keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,

hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan

hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap

perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah

terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan

yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan

yang lain;

109

c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim

atau suatu kekeliruan yang nyata.”

Pasal 263 ayat (2) tersebut memberikan alasan limitatif untuk

mengajukan upaya hukum peninjauan kembali yaitu dengan ditemukannya

keadaan baru atau disebut novum, yang hasilnya akan berupa putusan bebas,

lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat

diterima atau diterapkan pidana yang lebih ringan. Hal ini tentunya merupakan

hal-hal yang akan diperoleh oleh terpidana dari hasil putusan peninjauan

kembali, bukan untuk jaksa penuntut umum. Selain itu ada alasan bahwa

pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti akan tetapi

hal sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan terbukti itu ternyata

telah bertentangan satu dengan yang lain, terdapat kekhilafan yang nyata dari

hakim.

Sedangkan pada Pasal 263 ayat (3): Atas dasar alasan yang sama

sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan

peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang

didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti suatu

pemidanaan. Pasal ini digunakan sebagai hak atau kewenangan Jaksa Penuntut

Umum untuk mengajukan peninjauan kembali, dengan kata-kata terbukti

tetapi akan tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan, karena Jaksa Penuntut

Umum lah yang mempunyai hak menuntut untuk dipidana. Berbeda dengan

ketentuan sebelumnya yang mengatur masalah peninjauan kembali yaitu

Reglement of Staaf Ordering maupun peraturan MA Nomor Tahun 1969 atau

peraturan MA Nomor 1980 yang menentukan bahwa selain terpidana atau ahli

warisnya, permintaan peninjauan kembali juga dapat dilakukan oleh Jaksa

Agung. Dari uraian tersebut terlihat pembuat undang-undang memang tidak

memberikan hak kepada jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya

hukum peninjauan kembali, hal ini dikarenakan jaksa Agung telah diberikan

hak mengoreksi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap melalui

pasal 244 KUHAP yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum.

110

Pasal 266 ayat (3) KUHAP menjelaskan bahwa pidana yang dijatuhkan

dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah

dijatuhkan dalam putusan semula. Dengan ketentuan yang jelas dan tegas

tersebut dapat diartikan dan tidak ada penafsiran lain bahwa hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana yang lebih berat dari putusan yang pernah dijatuhkan

hakim dalam perkara itu.

Ketentuan dalam pasal 286 ayat (3) yaitu permintaan peninjauan

kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Dengan

dikabulkannya permohonan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum,

maka sudah tidak terbuka lagi kesempatan bagi terpidana untuk mengajukan

permohonan peninjauan kembali yang merupakan upaya hukum untuknya,

karena hak nya sudah digunakan oleh jaksa penuntut umum.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman,

yaitu pasal 23 menyebutkan bahwa:

a. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan

kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat keadaan tertentu

yang ditentukan dalam undang-undang.

Bahwa pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah

pihak yang bersangkutan, dalam perkara pidana yaitu terpidana dan jaksa

penuntut umum, maka tidak menutup kemungkinan bahwa terbatas hanya

dari terdakwa atau salah pihak yang dapat mengajukan peninjauan

kembali tersebut, sebatas terpenuhinya terdapat keadaan tertentu yang

ditentukan dalam Undang-undang.

b. Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan

kembali.

Putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan

kembali, maka peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja,

dengan tidak terbatas siapa yang dapat mengajukannya. Hal ini

menimbulkan pendapat bahwa siapa yang lebih dahulu mengajukan

111

peninjauan kembali adalah yang berhak mengajukan peninjauan kembali

dan menutup kesempatan dari pihak lawan.

Sedangkan Pertimbangan Mahkamah Agung yang memberikan

kewenangan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan

Kembali dalam putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 dengan terpidana Djoko

S. Tjandra adalah sebagai berikut:

a. Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak

dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244

KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas mumi

tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak murni dapat

dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi tetap

Mahkamah Agung.

Pertimbangan ini bukan merupakan suatu kepastian, karena sutu

yurisprudensi tidak harus digunakan dalam pertimbangan selanjutnya,

melainkan hanya sebagai suatu sumber hukum lain selain yang tertulis

dalam perundangan. Karena tidak dapat dipastikan bahwa setiap

permohonan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umm dapat diterima

oleh Mahkamah Agung, melainkan harus dipertimbangkan apakah suatu

permohonan tersebut mempunyai alas an yang benar dan baik sesuai

dengan perkembangan hukum pada masa itu.

b. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan pasal ini

ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang

berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan

umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut

dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah, Kejaksaan yang

tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke

Mahkamah Agung.

Dalam suatu perundangan suatu Negara, pasti terdapat suatu

peraturan yang saling bertentangan antara suatu undang-undang dan yang

lainnya. Dari kekurangan tersebut maka harus dicari bagaimana suatu

112

peraturan tersebut dapat digunakan yang paling efektif dan baik,

melainkan bukan yang menuntungkan oleh satu pihak saja.

c. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung

RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum

adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah,

sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak

diikuti pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti pemidanaan terhadap

terdakwa.

Dalam pertimbangan tersebut jaksa penuntut umum memang

berwenang untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali karena

merupakan pihak yang berkepentingan, dalam suatu perkara yang

terdakwanya terbukti bersalah namun tidak diikuti dengan suatu

pemidanaan. Dari peraturan tersebut maka sudah menegaskan secara

limitatif, maka tidak dapat dimungkinkan penafsiran lain lagi.

d. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik

Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar Semua hukum dan

undang-undang diterapkan secara tepat, adil, karena itu Mahkamah

Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang

masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata

ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan

hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum

serta mengakomodir kepentingan yang belum diatur di dalam Hukum

Acara Pidana.

Suatu yurisprudensi adalah sumber hukum yang tidak tertulis, dan

merupakan suatu hukum yang dibentuk dengan tujuan untuk melengkapi

perundangan yang belum mengaturnya karena alasan adanya

perkembangan hukum. Dalam hal ini seharusnya suatu yurisprudensi

dibentuk tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang telah ada,

karena yurisprudensi dibuat adalah berdasarkan peraturan yang telah ada

sebelumnya. Oleh karena itu tidak semua yurisprudensi adalah dapat

diterima, atau dapat digunakan sebagai sumber hukum untuk masa depan.

113

e. Menimbang, bahwa untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah

Agung (consistency in Court decision), maka Mahkamah Agung dalam

memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali terpidana tersebut,

akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal

25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung tanggal

2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung

tanggal 25 Januari 2008 No. : 109 PK/Pid/2007 tersebut di atas, yang

secara formal telah mengakui hak/wewenang Jaksa Penuntut Umum

untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.

Bahwa dalam hukum tidak diharuskan atau diatur bahwa suatu

putusan harus diseragamkan dengan putusan terdahulu. Karena dengan

begitu akan mengurangi makna diadakannya suatu pemeriksaan

pengadilan, apabila suatu peradilan terlalu terpacu oleh suatu putusan

dengan perkara yang hamper sama.

f. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas menyatakan bahwa Jaksa

Penuntut Umum berhak untuk mengajukan permintaan Peninjauan

Kembali kepada Mahkamah Agung, namun yang jelas ketentuan pasal ini

tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan

Kembali. Adalah wajar apabila permintaan Peninjauan Kembali terhadap

putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau

ahli warisnya dikecualikan karena putusan tersebut sudah menguntungkan

bagi terpidana. Demi tegaknya hukum dan keadilan terhadap putusan

pengadilan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum

adalah menjadi hak Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan peninjauan

kembali sebagai pihak yang berkepentingan sepanjang terdapat dasar atau

alasan yang cukup sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat (2) KUHAP.

Pertimbangan tersebut menurut penulis tidaklah dapat diterima,

suatu undang-undang yang jelas menyatakan peninjauan kembali sebagai

kewenangan terpidana atau ahli warisnya mempunyai arti lain bahwa

tidak adanya larangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan

peninjauan kembali pula. Sebenarnya pertimbangan tersebut hanya

114

sebuah pemutarbalikan suatu peraturan perundangan, sehingga apa yang

menjadi tujuan dapat tercapai dengan alasan adanya suatu dasar hukum.

Apabila pertimbangan ini dibenarkan, maka tidak menutup kemungkinan

pula bahwa terpidana dapat mengajukan kasasi, karena dalam peraturan

mengenai kasasi yang hanya dapat diajukan oleh jaksa penuntut umum,

tidak disertai pula larangan terpidana untuk mengajukan kasasi.

g. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan

kehakiman yang menentukan "bahwa pengadilan tidak boleh menolak

untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalil

bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa

dan mengadilinya". Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada Hakim

bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas

atau belum mengaturnya, Hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya

sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut.

Penulis berkesimpulan bahwa pertimbangan tersebut adalah berlaku

untuk setiap pemeriksaan suatu peradilan, sehingga apabila digunakan

sebagai pertimbangan dalam perkara ini adalah benar, namun bukan

berarti melupakan atau meninggalkan perturan yang lain. Sehingga

insiatif yang dilakukan hakim adalah harus sesuai dengan peraturan

dalam perundangan.

h. Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menyatakan

bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga

dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan

hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal ini dalam yurisprudensi

tersebut dapat disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang

berbunyi "Berdasarkan azas/legalitas serta penerapan azas keseimbangan

hak asasi antara kepentingan perorangan (termohon peninjauan kembali

dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya di lain pihak di

samping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili

Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali (PK)”.

115

Pada dasarnya keadilan dalam negara hukum adalah semua warga

negara adalah sama di mata hukum sesuai dengan peraturan perundangan

yang berlaku. Asas keseimbangan yang digunakan sebagai pertimbangan

adalah apabila jaksa penuntut umum mempunyai hak yang sama dengan

terpidana dalam pengajuan paninjauan kembali, namun bukankah suatu

undang-undang dibuat itu menggunakan berbagai pertimbangan dan

memerlukan persetujuan dari berbagai pihak. Sehingga keadilan dan asas

keseimbangan juga sudah terkandung dalam peraturan tersebut, yaitu

jaksa penuntut umum mempunyai wewenang untuk mengajukan upaya

hukum kasasi, sedangkan terpidana mempunyai hak untuk mengajukan

upaya hukum yaitu peninjauan kembali, sebagai upaya hukum terakhir.

i. Mempertimbangkan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari

Gustav Radbruch, dimana “keadilan” selalu diprioritaskan. Ketika Hakim

harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada

keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan dan

atau kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran

"prioritas baku" tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang

disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang berbunyi

"Keadilan dan Kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak

dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal

tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan

diterapkannya hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas

kepastian hukum".

Penulis berpendapat sesuai dengan pertimbangan sebelumnya

bahwa keadilan menurut peraturan dalam perundangan dengan pengertian

dari masyarakat atau praktisi hukum pada masa tertentu tidaklah sama.

Maka diperlukan adanya suatu perubahan atau revisi suatu undang-

undang yang sering kita lihat di negara kita, apalagi dengan adanya

lembaga konstitusi sebagai wadah untuk judicial review dari suatu

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sehingga apabila suatu

Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum yang

116

ada, maka perlu diadakan suatu perubahan, bukan dengan cara

menafsirkan lain dari makna perundangan tersebut dan mengindahkan

asas kepastian hukum untuk memperoleh suatu keadilan.

j. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri

Kehakiman "Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekatkan, kebenaran materiil

ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan

tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwa melakukan

suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan

putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu

tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat

dipersalahkan", maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk

mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran

ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan dalam hal ini khususnya

terhadap Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut

Umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang

merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum;

Apabila pertimbangan bahwa KUHAP harus secara maksimal

digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan

penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, bukankah hal ini tidak

membenarkan adanya pengertian yang berbeda dengan ketentuan itu sendiri.

Karena dalam Pasal 263 tersebut juga secara jelas ditegaskan bahwa hanya

terpidana dan ahli warisnya yang dapat mengajukan permohan peninjauan

kembali. Kebenaran materiil adalah tidak dicari dengan menafsirkan lain dari

ketentuan dan maksud yang sebenarnya dan mengurangi adanya makna

keadian itu sendiri.

117

BAB IV

PENUTUP

Setelah melakukan analisa terhadap permasalahan yang diteliti, maka

pada akhir penulisan hukum ini penulis akan menyampaikan simpulan dan saran.

Dalam simpulan dan saran ini akan dimuat suatu ikhtisar berdasar hasil penelitian

dan pembahasan sebagai berikut :

A. Simpulan

Analisis Pertimbangan Mahkamah Agung yang Memberi Kewenangan

Jaksa Penuntut Umum untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Pada

Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 terkait Kasus

Bank Bali.

Bentuk penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah

Agung dalam pemeriksaan perkara peninjauan kembali terkait kasus Bank

Bali dengan terpidana Djoko S. Tjandra adalah dalam memaknai pengertian:

a. Pasal 244 KUHAP.

b. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970.

c. Pasal 263 ayat (3) KUHAP

d. Mahkamah Agung mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana

tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara dengan cara

menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi).

e. Untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung (consistency

in Court decision).

f. Pasal 263 ayat (1).

g. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

h. Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun.

i. Mempertimbangkan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari

Gustav Radbruch.

j. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri,

yaitu untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan

118

penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan dalam hal ini

khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP.

Berdasarkan pertimbangan hakim di atas, jaksa penuntut umum

berwenang untuk mengajukan peninjuan kembali, namun penulis berpendapat

bahwa pengajuan peninjauan kembali sesuai dengan ketentuan tersebut di atas,

seperti yang tercantum dengan jelas dalam Pasal 263 KUHAP, hanya

terpidana dan ahli warisnyalah yang mempunyai hak mengajukan permohonan

peninjauan kembali, dan tidak dapat ditafsirkan lain.

Penulis tidak sependapat dengan pertimbangan hakim Mahkamah

Agung dalam memutus untuk menerima permohonan peninjauan kembali oleh

jaksa penuntut umum, karena secara limitatif sudah diatur dalam Pasal 263

KUHAP bahwa peninjauan kembali merupakan upaya hukum terahir yang

diberikan kepada terpidana dan ahli warisnya. Sedangkan jaksa penuntut

umum diberi kewenangan untuk melakukan upaya hukum yaitu kasasi.

B. Saran

1. Hakim Mahkamah Agung dalam membuat pertimbangan terhadap

pengajuan peninjauan kembali oleh penuntut umum harus dilakukan

secara arif dan bijaksana agar tidak mengganggu prinsip keseimbangan

antara asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP harus

memberikan pengaturan yang tegas dan jelas tentang kewenangan

penuntut umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan yang

telah berkekuatan hukum tetap.

119

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Bambang Sunggono. 2003. Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar.

Jakarta: PT Raja Grafindo.

Chainur Arrasjid. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Edy Herdyanto. 2009. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam Memberi

Kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengajukan Peninjauan

Kembali (Study Kasus Putusan Peninjauan Kembali Muchtar

Pakpapahan dan Pollycarpus Budihari Priyanto). Surakarta: Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret.

Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.

Ignatius Haryanto. Siapa Djoko Chandra yang Disebut Joker?

.http://antikorupsi.org/indo>[8 September 2009 pukul 18.44]

Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing.

Lilik Mulyadi. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti.

Luhut M. P. Pangaribuan. 2002. Hukum Acara Pidana. Surat-surat Resmi di

Pengadilan oleh Advokat praperadilan, eksespsi, pledoi, duplik, memori

banding, kasasi, peninjauan kambali.Jakarta: Djambatan.

Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Jakarta: Sinar Grafika.

2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

edisi kedua.Jakarta: Sinar Grafika.

Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Prabandari Tri Hapsari. 2007. Penerapan Asas Unus Testis Nullus Testis Dan

Testimonium De Auditu Dalam Penilaian Keterangan Saksi Sebagai

Alat Bukti Perkara Pidana Oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

PUSAT (Studi Kasus Perkara Korupsi BLBI Bank Bali Dengan

120

Terdakwa DR. Syahril Sabirin)”. Surakarta: Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret.

Putusan Mahkamah Agung No. 12 PK/Pid.Sus/2009.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 156/PID.B/2000/PN.JAK-SEL.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1688 K/Pid/2000.

Rd. Achmad S.Soemadipradja. 1981. Pokok-pokok Hukum acara Pidana

Indonesia. Bandung: Alumni.

Soerdjono Dirdjosisworo. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Rajawali Pers.

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas

Indonesia (UI-Press).

2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat).

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif (Suatu

Tinjauan Singkat). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Yudi Priambudi. Hak Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan

Batasannya. (http://yudipriambudi85s.blog.com>[29 Agustus 2009

pukul 15.13].