“KONSEP AKHLAK GURU TERHADAP MURID...
Transcript of “KONSEP AKHLAK GURU TERHADAP MURID...
i
“KONSEP AKHLAK GURU TERHADAP MURID DALAM
KONTEKS PENDIDIKAN ZAMAN MODERN MENURUT
PERSPEKTIF IMAM AL-GHOZALI DALAM KITAB IHYA’
ULUMUDDIN”
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam
Oleh
PRYDAR SAKTI INDRAWAN
NIM: 111-14-169
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
ii
iii
“KONSEP AKHLAK GURU TERHADAP MURID DALAM
KONTEKS PENDIDIKAN ZAMAN MODERN MENURUT
PERSPEKTIF IMAM AL-GHOZALI DALAM KITAB IHYA’
ULUMUDDIN”
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam
Oleh
PRYDAR SAKTI INDRAWAN
NIM: 111-14-169
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
iv
Drs. Ahmad Sultoni, M. Pd.
Dosen IAIN Salatiga
Persetujuan Pembimbing
Lampiran : 4 eksemplar
Hal : Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan FTIK IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah diadakan pengarahan, bimbingan, koreksi, dan perbaikan seperlunya,
maka skripsi saudara:
Nama : Prydar Sakti Indrawan
NIM : 11114169
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Judul : “KONSEP AKHLAK GURU TERHADAP MURID
DALAM KONTEKS PENDIDIKAN ZAMAN
MODERN MENURUT PERS PEKTIF IMAM AL-
GHOZALI DALAM KITAB IHYA’ ULUMUDDIN”
Dapat diajukan dalam sidang munaqosah skripsi. Demikian nota pembimbing ini
dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Salatiga, 26 Juli 2018
Pembimbing
Drs. Ahmad Sultoni, M. Pd.
NIP.1968 1104 1998 03 1003
v
DEKLARASI DAN KESEDIAAN PUBLIKASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Prydar Sakti Indrawan
NIM : 111 14 169
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Judul : “KONSEP AKHLAK GURU TERHADAP
MURID DALAM KONTEKS PENDIDIKAN
ZAMAN MODERN MENURUT PERSPEKTIF
IMAM AL-GHOZALI DALAM KITAB IHYA’
ULUMUDDIN”
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang
lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Skripsi ini
diperkenankan untuk di publikasikan pada e-repository IAIN Salatiga.
Salatiga, 26 Juli 2018
Yang menyatakan,
Prydar Sakti Indrawan
NIM. 111 14 169
vi
PENGESAHAN SKRIPSI
“KONSEP AKHLAK GURU TERHADAP MURID DALAM KONTEKS
PENDIDIKAN ZAMAN MODERN MENURUT PERSPEKTIF IMAM AL-
GHOZALI DALAM KITAB IHYA’ ULUMUDDIN”
Disusun Oleh:
PRYDAR SAKTI INDRAWAN
NIM : 111 14 169
Telah diperhatikan didepan Panitia Dewan Panitia Penguji Skripsi Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga,
pada tanggal 18 September 2018 dan dinyatakan lulus, sehingga dapat
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana S1 Pendidikan
Ketua Penguji : Mufiq, S.Ag.,M. Phil :__________________
Sekertaris Penguji : Drs. A. Sulthoni, M.Pd :__________________
Penguji I : Dr. Rasimin, M.Pd :__________________
Penguji II : Imam Mas Arum, M.Pd.I.:__________________
Salatiga,18 September 2018
Dekan
Suwardi, M.Pd.
NIP. 19670121 199903 1 002
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN ) SALATIGA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN Jalan Lingkar Selatan KM.2 Telepon. (0298) 6031364 Kode Pos 50716 Salatiga
Website:http://tarbiyah.iainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected]
vii
MOTTO
Kekayaan yang paling berharga adalah akal. kefakiran yang
paling besar adalah kebodohan. sesuatu yang paling keji
adalah sikap ujub, bangga diri. kemuliaan yang paling tinggi
adalah akhlak yang mulia.
(Ali bin Abi Talib)
viii
PERSEMBAHAN
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karuniaNya
skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Kedua orang tua hebatku bapak Supriyanto dan ibu Darsih yang selalu
mendukung kegiatan, memberikan motivasai, dukungan finansial, dan doa
yang tulus sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Adikku tersayang Frida Purti Purnareksa dan Frida Giva Trireksa yang
selalu menghiburku, dan menjadi penyemangat.
3. Inspirator sepesial Sarah Faradilla Alfiana yang selalu memberi motivasi
dalam setiap perbincangan kami, teman curhat maupun debat, bersedia
menjadi teman kesana kemari, dan bersedia repot untukku serta membantu
menyelesaikan skripsi ini.
4. Teman-temanku seperjuangan Lukman Rahardian, Ardan Afiffudin, Nizar
Azim Mustofa, Irvan, Shobirin, Muhammad Abdus, Farah Humaida H dan
banyak lagi yang tidak dapat kusebutkan.
5. Teman-teman UIN Sunan Kalijaga (jogja) khususnya Rizka manarulhuda,
baim, Dhea Putra, Obama, Juki, Fahru Riza Arma dan teman-teman
kontrakan MASKARA di jogja yang bersedia memberikan tempat selama
masa penyelesaian skripsi ini.
6. Teman- teman UIN Walisongo (Semarang) khususnya Hendra Setyawan,
Bilad Maulana, Vicky botak, Yahdillah, Asyil Khoirul umam
yang bersedia panas-panasan demi mencari buku bersama dan masih
banyak lagi.
ix
7. Teman-teman Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Kudus khususnya Habibi,
Khirmi, Aris, Kholiq, Wibowo yang selalu rela menjadi tempat ketika
penulis ingin berbagi kegilaan.
8. Kawan-kawan VESPA di Jogjakarta, kawan mengusir penat, kawan
ridding, Beng setyadi, Qodri, Fikri, dan masih banyak lagi kawan yang
belum satu-persatu kusebut
9. Kawan-kawan Institut Seni Jogjakarta (ISI) Khususnya kawan-kawan dari
Medan, Pekanbaru, Bondowoso yang bersedia berbagi pengalaman.
10. Teman-teman UKM Teater Getar yang telah memberikan banyak
pengetahuan dan pengalaman.
11. Seluruh teman-temanku dimanapun kalian berada, terima kasih atas
pengalaman, pengetahuan, serta motivasi yang telah kalian berikan.
12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih
atas segala bantuan, dukungan, dan doanya.
Salatiga, 26 Juli 2018
Prydar Sakti Indrawan
NIM. 11114169
x
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb
Puji syukur atas limpahan rahmat, karunia dan hidayah yang telah
diberikan Allah SWT kepada hamba yang senantiasa mau berusaha dalam
mengarungi samudra kehidupannya masing-masing. Shalawat dan salam tidak
lupa senantiasa kita haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang kita
nantikan syafaatnya di hari akhir nanti.
Alhamdulillahirabil’alamin penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini
sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Dalam penulisan
skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak yang senantiasa
memberi arahan, bimbingan, maupun doa. Maka dari itu penulis sampaikan rasa
terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
4. Bapak Dr. Fatchurrohman, S.Ag., M.Pd. selaku pembimbing akademik
yang selalu memberi bimbingan dan motivasi dalam menjalankan studi
5. Bapak Drs. Ahmad Sultoni, M. Pd. selaku dosen pembimbing skripsi yang
selalu sabar membimbing dan memberikan saran agar skripsi ini
terselesaikan dengan baik
xi
6. Bapak dan Ibu Dosen serta Staff karyawan Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga yang telah memberikan ilmu, ajaran, dan pelayanan
kepada penulis
Penulis sadar bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang berkepentingan.
Terima kasih
Wassalamu’alaikum wr. wb
Salatiga, 26 Juli 2018
Prydar Sakti Indrawan
NIM. 11114084
xii
ABSTRAK
Indrawan, Prydar Sakti (11114169). 2018. Konsep Akhlak Guru Terhadap Murid
Dalam Konteks Pendidikan Zaman Modern Perspektif Imam Ghozali
Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin.Skripsi. Prodi Pendidikan Agama
Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam
Negeri Salatiga. Pembimbing: Drs. Ahmad Sultoni, M. Pd.
Kata Kunci: Akhlak Guru, Relevansi Akhlak Guru
Tujuan skripsi ini, yaitu: (1) Mendeskripsikan Akhlak Guru Terhadap Murid
Menurut Imam Ghozali Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin. (2) Mendiskripsikan
relevansi konsep aklak guru terhadap murid menurut Imam Al-Ghozali dengan
konsep pendidikan zaman modern.
Untuk mencapai tujuan di atas penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research). Teknik pengumpulan data pustaka yaitu
membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian dari berbagai buku dan karya
ilmiah yang mendukung penelitian skripsi ini dengan mengutamakan data primer.
Sumber data meliputi sumber data primer yakni kitab Ihya’Ulumuudin karya
Imam Al-Ghozali, serta sumber data sekunder diantaranya buku-buku literatur,
intenet, artikel, jurnal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Konsep akhlak guru terhadap murid
menururt Imam Ghozali dalam kitab Ihya’ ulumuddin: a) Guru harus memiliki
rasa kasih sayang. b) Guru harus mengikuti teladan Rasul. c) Guru tidak boleh
menyembunyikan nasihat. d) Guru mencegah murid dari watak dan perilaku jahat.
e) Guru tidak merendahkan ilmu lain. f) Guru hendaknya mengetahui batas
kemampuan murid. g) Guru hendaknya mengajar sesuatu yang jelas. h) Guru
harus mempraktikkan lebih dahulu. (2) Konsep akhlak guru perspektif Imam
Ghozali secara garis besar masih bisa diterapkan dalam pendidikan zaman
modern. Dan masih ideal antara kosep yang dikemukakan Imam Ghozali dengan
Undang-Undang yang berlaku saat ini, dan jika diterapkan dalam proses
pendidikan maka tidak hanya tujuan pendidikan yang dicapai, tetapi jauh yang
lebih substansial yakni terbentuknya relasi (hubungan) guru dan murid yang baik,
guru dinilai bukan sebagai penjual ilmu tetapi dinilai dari keikhlasan hati dan
tujuannya (transfer of knowledge dan penyempurnaan akhlak). Dengan demikian
akan membuahkan hasil bagi kebaikan di dunia dan juga di akhirat. Akan tetapi
relevansi pada kenyatanya dan fakta dilapangan yang terjadi saat ini masih
banyak kasus-kasus penyimpangan yang dilakukan oleh oknum guru, yang sangat
bertolak belakang dengan konsep Imam Ghozali ataupun dari Undang-Undang
yang berlaku.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR LOGO IAIN ................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iv
PERSYARATAN KEASLIAN TULISAN ..................................................... v
PENGESAHAN TULISAN ............................................................................ vi
MOTTO ......................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... x
ABSTRAK ....................................................................................................... xii
DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 12
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 13
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 13
E. Metode Penelitian................................................................................. 12
F. Penegasan Istilah .................................................................................. 14
G. Sistematika Penulisan .......................................................................... 22
BAB II BIOGRAFI IMAM AL-GHOZALI
A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghozali ...................................................... 24
B. Guru- Guru Imam Al-Ghozali ............................................................ 25
C. Sahabat – Sahabat Imam Al-Ghozali ................................................. 26
D. Karya – Karya Imam Al-Ghozali ....................................................... 27
xiv
E. Ihya Ulumuddin ................................................................................... 32
F. Pendidikan Imam Al-Ghozali ........................................................... 33
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM AL-GHOZALI
A. Guru dan Murid .................................................................................... 39
B. Akhlak Guru terhadap Murid ............................................................... 48
BAB IV ANALISIS AKHLAK GURU
A. Analisis Akhlak Guru terhadap Murid Perspektif
Imam Al-Ghozali ............................................................................... 60
B. Relevansi Akhlak Guru Perspektif Imam Al-Ghozali ......................... 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 82
B. Saran ..................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Tugas Pembimbing Skripsi
2. Lembar Konsultasi
3. Nilai SKK
4. Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sebuah upaya sadar dan terstruktur dan
sistematis sebagai upaya pengembangan dan peningkatan sumber daya
manusia yang dilaksanakan pada jenjang pendidikan. Oleh sebab itu,
pendidikan menuntut sebuah upaya dan usaha yang terencana sesuai
dengan aturan pelaksanaan yang sudah ditetapkan. Menyangkut hal
tersebut pendidikan yang yang bertujuan sebagai upaya pengembangan
dan peningkatan sumber daya manusia hendaknya dilakukan dengan
secara utuh dan menyeluruh. Hal ini bertujuan agar pendidikan
tersebut dapat memberikan kontribusi lebih terhadap kemajuan
kehidupan bangsa dimasa yang akan datang. Namun hal yang
terpenting dalam pendidikan itu sendiri adalah hadirnya seorang guru,
dimana guru adalah ujung tombak terpenting dalam kemajuan
pendidikan itu sendiri.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) di jelaskan
makna guru adalah
“/gu·ru/ n orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya,
profesinya) mengajar;-- kencing berdiri, murid kencing berlari, pb
kelakuan murid (orang bawahan) selalu mencontoh guru (orang
atasannya);” (Budhi, 2006: 393).
2
Para guru umumnya menyadari bahwa jabatan guru adalah
suatu profesi yang terhormat dan mulia. Guru mengabdikan diri dan
berbakti untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan meningkatkan
kualitas manusia seutuhnya, yaitu yang beriman, bertakwa, dan
berakhlak mulia, serta menguasai IPTEKS dan mewujudkan
masyarakat yang berkualitas. Idealnya para guru di tuntut selalu tampil
profesional. Dengan tugas utamanya adalah mendidik, membimbing,
melatih, dan mengembangkan kurikulum (perangkat kurikulum),
sebagaimana bunyi prinsip “Ing ngarso song tulodho, ing madya
mangun karso, tut wuri handayani.” Artinya seorang guru bila di
depan memberikan suri tauladan (contoh), di tengah memberikan
prakarsa, dan di belakang memberikan dorongan atau motivasi
(Rushman, 2014 : 15).
Setiap guru boleh saja memandang dirinya profesional. Pagi
hari berangkat ke sekolah, sore baru pulang. Setiap hari tampil di
depan kelas, tak pernah absen. Mengajar dan mengajar adalah prioritas
utama. Dan metode-metode yang di gunakan sesuai menurut
kurikulum yang di tentukan di sekolah, namun apakah guru tersebut
tergolong guru professional?
Maka dari itu penulis mencoba memaparkan dahulu arti dari
profesionalisme dalam konteks konsep dasar profesionalisme.
Pengertian profesionalisme adalah suatu pandangan terhadap
keahlian tertentu yang di perlukan dalam pekerjaan tertentu, yang
3
mana keahlian itu hanya di peroleh melalui pendidikan khusus atau
latihan khusus. (Arifin, 1995:105). Jadi profesionalisme mengarah
kepada komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan
kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan
strategi-strategi yang digunakan dalam melakukan pekerjaan yang
sesuai dengan profesi yang di embannya.
Dalam dunia pendidikan, guru adalah seorang pendidik,
pembimbing, pelatih, dan pengembang kurikulum yang dapat
menciptakan kondisi dan suasana belajar yang kondusif, yaitu suasana
belajar yang menyenangkan, menarik, memberi rasa aman,
memberikan ruang pasa siswa unruk berfikir aktif, kreatif, dan inovatif
dalam mengeksplorasi dan mengelaborasi kemampuannya. Guru yang
profesional merupakan faktor penentu proses pendidikan yang
berkualitas. Untuk dapat menjadi seorang guru profesional, mereka
harus mampu menemukan jati diri dan mengaktualisasikan dirinya
sesuai dengan kemampuan kaidah-kaidah guru profesional (Rushman,
2014 : 16).
Berkenaan dengan pentingnya profesionalisme guru dalam
pendidikan Sanusi et al. (1991 : 23) mengutarakan enam asumsi yang
melandasi perlunya profesionalisasi dalam pendidikan, yaitu :
4
1. Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki
kemauan, pengetahuan, emosi dan perasaan, dan dapat di
kembangkan sesuai dengan potensinya; sementara itu
pendidikan di landasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang
menghargai martabat manusia.
2. Pendidikan dilakukan secara intapersonal, yakni secara
standar bertujuan, maka pendidikan menjadi normatif yang
di ikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara
universal, nasional, maupun lokal, yang merupaka acuan
para pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan.
3. Teori-teori pendidikan merupakan jawaban kerangka
hipotesis dalam menjawab permasalahan pendidikan.
4. Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang manusia,
yakni manusia yang mempunyai potensi yang baik untuk
berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan itu adalah usaha
untuk mengembangkan potensi unggul tersebut.
5. Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi
dimana terjadi dialog antara peserta didik dan pendidik
yang memungkinkan peserta didik tumbuh kearah yang di
kehendaki oleh pendidik agar selaras dengan nilai-nilai
yang di junjung tinggi masyarakat.
6. Sering terjadinya dilema antara tujuan utama pendidikan,
yaitu menjadikan manusia sebagai manusia yang baik
5
(dimensi intrinsik) dengan misi instrumental, yakni yang
merupakan alat untuk perubahan atau mencapai sesuatu.
Pendidikan yang baik sebagaimana yang di harapkan oleh
masyarakat modern dewasa ini dan sifatnya selau menantang,
mengharuskan adanya pendidik yang profesional. Hal ini berarti
bahwa masyarakat diperlukan pemimpin yang baik, di rumah di
perlukan orang tua yang baik dan di sekolah dibutuhkan guru yang
profesional. Akan tetapi, dengan ketiadaan pegangan tentang
persyaratan pendidikan profesional,
maka hal ini menyebabkan timbulnya beracam-macam tafsiran orang
tentang arti guru yang baik, tegasnya guru yang profesional.
Selain itu ada beberapa kompetensi yang harus di miliki oleh
seorang guru yang profesional meliputi:
1. Kompetensi pedagogik, adalah kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap
peserta didik, perancanagn dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi
hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. (Standar
Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir a). artinya
guru harus mampu mengelola kegiatan pembelajaran, mulai dari
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi, kegiatan
pembelajaran.
6
2. Kompetensi Personal, adalah kemapuan kepribadian yang mantab,
stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta
didik dan berakhlak mulia.
3. Kompetensi Profesional, adalah kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang di
tetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
4. Kompetensi Sosial, adalah kemampuan guru sebagai bagian dari
masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik,
dan masyarakat sekitar.
Namun pada konteks pendidikan zaman modern ini seringkali
masyarakat berasumsi bahwa bobroknya kualitas murid di dasarkan
pada guru yang tidak mampu dalam mengemban tugasnya, bila dulu
guru di anggap sebagai orang berilmu yang arif dan bijaksana, kini
guru terlihat hanya sebagai fungsionaris pendidikan yang mengajar
pada faktor-faktor tertentu, sehingga menjadikan para murid kesulitan
mencari sosok idola dan suri tauladan.
Muhajir menuturkan, Belakangan ini kerap beredar secara viral
tindakan oknum yang melakukan kekerasan terhadap siswanya. Hal itu
mengundang kecaman dari masyarakat karena tindakan itu sangat jauh
kepribadian seorang guru. Atas fenomena seperti ini Menteri
7
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy meminta
masyarakat tidak men-generalisasi oknum guru yang melakukan
kekerasan terhadap peserta didik. Apalagi tindak kekerasan itu disebar
secara viral di dunia maya yang belum jelas kebenarannya."Kalau dari
3,41 juta kemudian ada satu ya jangan kemudian dibikin kesimpulan
bahwa semua guru seperti itu (melakukan kekerasan)," kata Muhadjir
usai Upacara Peringatan Hari Guru Nasional (HGN) di Kemendikbud,
Jakarta, Sabtu (25/11) (Jawa Pos, 2017 : 16:05).
Pernyataan Muhajir ini disusul dengan beredarnya berita secara
viral bahwa kasusu pemukulan terhadap siswa yang terjadi di Kendari
yang menjadikan keprihatinan di dunia pendidikan ini. Hanya karena
masalah sepele yaitu siswa tidak sengaja menjatuhkan kaki kursi yang
lepas, lantas oknum guru tersebut melayangkan beberapa pukulan
keras yang menyebabkan siswa tersebut pingsan.
Kendari - Seorang siswa di SMP 1 Besulutu, Kecamatan
Beslutu, Kabupaten Konawe, pingsan usai dibogem berkali-kali oleh
gurunya, Kamis sore, 24 Mei 2018. Penyebabnya sepele, ia
menjatuhkan kursi secara tak sengaja. Menurut sejumlah saksi, tindak
kekerasan guru itu terjadi ketika jam pelajaran Kimia berlangsung.
Saat itu, Aldin (14), nama siswa tersebut, beserta 30 orang rekannya
akan memulai ulangan semester. Tiba-tiba, guru kimia berinisial R
meminta Aldin maju untuk duduk di depan kelas bersama beberapa
rekannya. Dengan gerakan pelan, Aldin mengangkat kursi menuju ke
8
depan kelas. Saat kursi hendak dipindah dengan cara dipikul, ternyata
kaki kursi terlepas. Kaki kursi yang jatuh terpental ke lantai itu
menyebabkan bunyi keras. Tak disangka hal itu membuat guru tersebut
tersinggung. "Kamu kenapa banting kursi? Sini kamu, sini!" ujar salah
seorang rekan Aldin menirukan bentakan guru itu. "Aldin dipanggil
sama guru, belum sempat bicara banyak, pukulan melayang ke leher
Aldin," ujar Irwan, rekan Aldin. Irwan melanjutkan, Aldin langsung
jatuh dan tak sadarkan diri. Saat itu, puluhan rekannya langsung
mengerumuni korban. Ikram, salah seorang keluarga korban
mengatakan, saat itu Aldin langsung pingsan selama 45 menit.
"Dia sempat mau diberi minum air oleh rekannya pas siuman, tapi dia
tidak mau minum katanya lagi puasa,"ujar Ikram. Kata Ikram, korban
mengalami benjolan di leher. Foto yang diambil di Polsek Sampara,
Konawe, ada benjolan sebesar telur ayam kampung di leher sebelah
kanan korban. Usai pingsan, Aldin sempat mengeluhkan oleng karena
kerasnya bogem guru tersebut. Saat itu salah seorang rekan Aldin,
mengatakan korban sempat dipaksa minum air. "Tapi dia tidak mau,
dia pilih pulang ke rumah diantar teman kelas," ujar Irwan. Saat pulang
ke rumah itulah, Aldin langsung melaporkan perbuatan gurunya
kepada orangtuanya. Kesal karena perbuatan guru R, kakak Aldin
langsung melapor ke Polsek Sampara. "Adikku meskipun dipukul
tidak batal puasanya, kami heran kenapa guru itu begitu keras
memukul," ujar kakak kandung korban, Harton. Kapolsek Sampara,
9
AKP Noufaldri Widyatama membenarkan kejadian itu. Noufaldri
melanjutkan, saat ini pihaknya sudah melakukan visum terhadap
korban. "Sudah divisum, memang benar dia benjol. Kita sudah terima
laporan saksi dan korban, besok kita periksa gurunya," ujar Noufaldri
(Liputan 6, 2018 : 19:05).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, entah
dari sumber literatur yang dibaca ataupun pengalaman lapangan yang
ditemui, masih banyak sekali ditemukan permasalahan dalam
profesisionalisasi guru tersebut, salah satunya adalah tidak adanya
mengenai akhlak yang semestinya dijalankan oleh seorang guru, dan
bukan mengenai soal membentuk murid, yang terkadang guru lupa
akan nilai spiritual dalam diri masing-masing seperti contoh seorang
guru harus melakukan terlebih dahulu apa yang dia ajarkan, dan tidak
boleh berbohong dengan apa yang di sampaikannya. Ilmu dapat di
serap dengan mata batin, dan amal dapat di saksikan melalui
pandangan mata lahir, oleh karena itu jika perbuatan seorang guru
bertentangan dengan apa yang dia anjurkan, berarti dia tidak sedang
membantu memberi petunjuk dan tuntunan,
melaikan justru racun atau bencana. Dengan kata lain sudah
sepantasnya seorang guru dalam mengajarkan ilmunya mempunyai
niat dan tujuan untuk melindungi para muridnya dari siksa api neraka
(Al-Ghozali,2011: 123). Sementara tugas kedua orang tua
10
menyelamatkan anak-anaknya dari kesengsaraan hidup di alam dunia
ini.
Mengingat tugas seorang guru itu berat maka guru
mendapatkan kedudukan yang mulia dalam islam, bahkan Allah
sendiri sangat menghargai orang yang berilmu (guru/ulama) dengan
meninggikan derajat mereka,
Allah berfirman dalam Q.S.al-Mujadilah [58]: 11:
الهذين آمنوا منكم والهذين أوتوا العلم درجات … …يرفع للاه
Allah akan mengangkat (derajat) orangorang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat
(Kemenag RI, 2014: 543).
Merujuk pada permasalah yang telah di paparkan peneliti di
atas bahwa, guru yang di maksud oleh peneliti ini ialah guru yang
mengajarkan ilmu-ilmu tentang akhirat (ukhrawi), atau ilmu-ilmu
tentang dunia (duniawi) dengan tujuan keabadian negeri akhirat.
Seorang guru dinilai membinasahkan diri sendiri dan murid-
muridnya jika ia mengajar hanya demi kepentingan dunia ini semata.
Karena itu, seorang guru yang berorientasi pada kepentingan akhirat
akan senantiasa menempuh perjalanan hidupnya di dunia untuk tujuan
menggapai kebahagiaan negeri akhirat nanti.
Juga, senantiasa bertujuan kepada Allah Swt. Dengan tidak
terikat tipu daya dunia. Jika sedemikian posisi keduannya, maka para
murid dengan guru sangat di anjurkan untuk saling mencintai. Sebab,
11
pada hakikatnya para ulama’ dan putra-putra akhirat itu laksana
musyafir yang sedang berpergian bersama-sama menuju Allah Swt
(Al-Ghozali, 2011 : 124).
Berdasarkan permasalah yang penulis paparkan di atas, penulis
mencoba untuk meneliti konsep Akhlak Guru Terhadap Murid Dalam
Konteks Pendidikan Zaman Modern Menurut Perspektif Imam Al-
Ghozali Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin.
Imam Al-Ghozali dipilih, karena beliau adalah seorang tokoh
terkemuka dalam dunia islam, baik ilmuan barat maupun timur semua
mengenai Al-Ghozali.
Ketenaran Al-Ghozali bukan tanpa alasan. Kehadirannya
banyak memberikan khazanah bagi kehidupan manusia. Figur Al-
Ghozali sebagai pengembara ilmu yang sarat pengalaman
mengantarkan posisinya menjadi personifikasi di segala bidang dan di
setiap zaman. Kegigihannya dalam menelusuri kebenaran dan ilmu
yang bermodalkan otak brilian (cemerlang), sarat dengan ciri
keutamaan sekaligus kecendekiawanannya menjadikan dirinya pantas
menyandang gelar sebagai 'alim/ilmuwan sejati.
Al Ghozali juga dikenal sebagai ilmuwan yang konsekuwen,
kedalaman dan keluasan ilmunya tidak membuatnya congkak dan
sombong apalagi gegabah bertindak (Nur’Aini J, 2001:4).
Karena persoalan tersebut di atas, maka untuk mengetahui,
menganalisa, serta mengkaji isi secara jelas tentang konsep Akhlak
12
guru terhadap murid dalam kitab tersebut, serta untuk mengkaji
relevansinya dengan para ahli pendidikan sekarang ini, maka
pengkajian kitab Ihya’ Ulumuddin, di tinjau dari segi isi dengan
relevansinya dengan pendapat para ahli dewasa ini, serta hal-hal yang
harus dilakukan maupun yang harus dihindari oleh guru dan murid
penyusun lakukan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan penelitian yang dikemukan pada
latar belakang, penulis merumuskan masalah penelitian secara umum
yaitu :
1. Bagaimana akhlak guru terhadap murid menurut Imam Al-
Ghozali dalam kitab Ihya’ ulumuddin?
2. Bagaimana relevansi konsep akhlak guru terhadap murid menurut
Imam Al-Ghozali dengan konsep pendidikan zaman modern?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan penelitian diatas maka
tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan akhlak guru terhadap murid menurut Imam Al-
Ghozali dalam kitab Ihya’ ulumuddin.
2. Mendiskripsikan relevansi konsep aklak guru terhadap murid
menurut Imam Al-Ghozali dengan konsep pendidikan zaman
modern.
13
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritik Akademik
a) Sebagai sebuah kajian keilmuan, dan pengenalan konsep Akhlak
Guru terhadap Murid.
b) Menambah khasanah Keilmuan dan wawasan bagi penyusun
khususnya dan para pembaca pada umumnya tentang konsep
Akhlak Guru terhadap Murid menurut imam Al-Ghozali dengan
Konsep Pendidikan Masa Kini.
2. Secara Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
akademis, serta bahan refleksi untuk memberikan masukan kepada
guru bagaimana memberlakukan adab kepada muridnya secara
islam.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan termasuk dalam kategori
penelitian kepustakaan (library research), juga bisa disebut dengan
istilah studi pustaka yaitu serangkaiaan kegiatan yang berkenaan
dengan pengumpulan pustaka, membaca, dan mencatat serta
mengolah bahan penelitian (Zed, 2004:3).
14
2. Sumber Data
Penelitian ini berisi kutipan-kutipan data untuk memberi
gambaran penyajian laporan. Sedangkan data-data tersebut dibagi
menjadi dua bagian, yaitu primer dan skunder.
a. Sumber data primer
sumber data primer adalah sumber data yang paling utama
digunakan dan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini,
yaitu kitab Ihya’Ulumuudin karya Imam Al-Ghozali.
b. Sumber data skuder
Sumber data skunder adalah data informasi yang di peroleh dari
sumber-sumber lain selain data primer, secara tidak langsung
bersinggungan dengan tema penelitian yang dilakukan.
Diantaranya buku-buku literatur, intenet, artikel, jurnal, dan
sumber data lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
Seperti terjemahan kitab Ihya’ Ulumuddin. Untuk memudahkan
penulis dalam menerjemahkan kitab aslinya. Dalam penulisan ini
tentu tidak lepas akan adanya beberapa referensi yang berkorelasi
dengan judul untuk membantu menjelaskan, menjabarkan dan
memperkuat pendapat yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghozali.
3. Teknik Pengumpulan Data
Bentuk penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data
pustaka yaitu membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian
dari berbagai buku dan karya ilmiah yang mendukung penelitian
15
skripsi ini dengan mengutamakan data primer. Adapun data
pendukung tersebut merupakan kajian dari pemikiran Imam Al-
Ghozali tentang sejarah pendidikan dan juga konsep pemikirannya
tentang pendidikan khususnya mengenai adab seorang guru dan
murid.
4. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan adalah analisis isi (content analysis),
dengan menguraikan dan menganalisis serta memberikan
pemahaman atas teks-teks yang dideskripsikan.
Metode content analysis digunakan untuk memperoleh
keterangan dari isi komunikasi, yang disampaikan dalam bentuk
lambing yang terdokumentasi atau didokumentasikan, baik bentuk
artikel, jurnal, maupun karya-karya Imam Al-Ghozali (Tobroni, 2001:
71).
Sebagaimana metode kualitatif, dasar pelaksanaan metode
analisis isi adalah penafsiran. Apabila proses penafsiran dalam metode
kualitatif memberikan perhatian pada situasi ilmiah, maka dasar
penafsiran dalam metode analisis ini memberikan perhatian pada isi
pesan. Oleh karena itulah, metode analisis ini dilakuan dalam
dokumen-dokumen yang padat isi. Peneliti menekankan bagaimana
memaknakan isi komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang
terjadi dalam peristiwa komunikasi (Ratna, 2007: 49).
16
Dalam penelitian ini, penulis mengkaji isi kitab Ihya’
Ulumuddin bab akhlak yang mengandung penjelasan mengenai akhlak
seorang guru dan murid dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Langkah Deskriptif, yaitu mengurai teks-teks dalam kitab Ihya’
Ulumuddin yang berhubungan dengan akhlak seorang guru
terhadap murid.
b. Langkah Interpretasi, yaitu menjelaskan teks-teks dalam kitab
Ihya’ Ulumuddin yang berhubungan dengan akhlak seorang guru
terhadap murid.
c. Langkah Analisis, yaitu menganalisis penjelasan dari kitab Ihya’
Ulumuddin yang berhubungan dengan akhlak seorang guru
terhadap murid.
d. Langkah mengambil keputusan, yaitu mengambil kesimpulan dari
kitab Ihya’ Ulumuddin yang berhubungan dengan akhlak seorang
guru terhadap murid.
F. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalah fahaman dalam penafsiran judul di
atas, maka penulis berusaha menjabarkan istilah-istilah yang penting
sehingga lebih jelas dan mudah dalam pemahaman. Adapun istilah-
istilah yang perlu penjelasan adalah sebagai berikut:
1. Konsep
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (2006 : 611)
konsep adalah rancangan atau buram (surat dsb), ide atau
17
pengertian yang di abstrakkan dari peristiwa kongkret, proses
atau apapun yang ada di luar bahasa yang di gunakan oleh akal
untuk memahami hal lain.
Jadi konsep di sini adalah suatu ide atau pengertian
tentang Akhlak dari pemikiran Al-Ghozali. Dan penulis juga
membahas tentang bagaimana akhlak guru terhadap murid
menurut Al-Ghozali.
2. Akhlak
Kata “akhlak” (Arab:akhlaq) merujuk kepada sumber
ajaran islam yang mengakui kebenaran wahyu (revelation).
Perangkat nilai-nilai yang di kembangkan dalam akhlak untuk
keselarasan komunikasi horizontal dalam lingkungannya
(makhluq) dan vertikal (khaliq). Secara sederhana akhlak
mengatur hubungan yang santun dan baik antara manusia
dengan sesama (makhluq) dan Tuhan (khaliq) (Maemun, 2012:
VII)
Akhlak adalah suatu bentuk yang tertanam kokoh di
dalam jiwa yang kemudian melahirkan perbuatan-perbuatan
yang dilakukan secara bebas, mencakup perbuatan baik
maupun buruk, terpuji maupun tercela. Secara alamiah ia bisa
menerima pengaruh dari pendidikan yang baik maupun buruk.
Jika ia dididik untuk mengutamakan keutamaan dan
kebenaran, cinta hal-hal yang makruf, cinta kebaikan, dilatih
18
untuk cinta keindahan dan membenci keburukan sehingga
akhirnya menjadi sebuah tabiat yang melahirkan perbuatan
baik dengan begitu mudah tanpa di buat-buat (Jabir, 2014:
268).
Jadi akhlak di sini adalah berbagai perbuatan baik yang
lahir dari seseorang yang dilakukan tanpa dibuat-buat olehnya,
dan diharapkan guru akan bisa memperhatikan serta
melaksanakan akhlak yang akan dijelaskan pada konsep Imam
Ghozali. Akhlak guru pula merupakan adab dan tingkah laku
guru dalam semua aspek mengikut garis panduan syariat Islam.
3. Guru
Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia yang berarti
orang yang mengajar. Dalam bahasa inggris, di jumpai kata
teacher yang berarti pengajar (Nata, 2001: 41).
Guru dalam pengertian sederhana adalah orang yang
memfasilitasi alih ilmu pengetahuan dari sumber belajar
kepada peserta didik.
Sementara masyarakat memandang guru sebagai orang
yang melaksanakan pendidikan di sekolah, masjid, mushala,
atau tempat lain.
Semua pihak sependapat bila guru memegang peranan
amat penting dalam mengembangkan sumber daya manusia
melalui pendidikan (Asmani, 2015: 20).
19
4. Murid
Kata murid berasal dari bahasa arab ‘arada, yuridu
iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan (the
willer), dan menjadi salah satu sifat Allah SWT. Yang berarti
Maha Menghendaki. Pengertian seperti ini dapat di mengerti
karena seorang murid adalah orang yang menghendaki agar
mendapat ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman dan
kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia
di dunia dan di akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-
sungguh. Istilah murid ini digunakan dalam ilmu tasawuf
sebagai orang yang belajar mendalami ilmu tasawuf kepada
seorang guru yang dinamai syaikh (Nata, 2001: 49).
5. Perspektif
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (2006 : 881)
perspektif di definisikan sebagai cara melukiskan sesuatu
benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang
terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan
tingginya). Bisa di artikan pula sebagai sudut pandang atau
pandangan.
Jadi, yang penulis maksud perspektif dalam penelitian ini
adalah pandangan atau pemikiran Imam Al-Ghozali khususnya
tentang akhlak yang seharusnya di miliki guru terhadap murid.
20
6. Imam Al-Ghozali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Al-Ghozali. Versi lain
menyebutkan bahwa nama lengkap beliau dengan gelarnya
Syaikh al-Ajal al-Imam al-Zahid, al-Said al-muwafaq Hujjatul
Islam.
Zainuddin Syaraf mengatakan bahwa nama lengkap al-
Ghozali adalah al-Ummah Abi Muhammad bin Muhammad al-
Ghozali al-Tusi.
Dalam Tahdzib Ihya Ulum ad-Din, nama lengkap al-
Ghozali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad (bukan Muhammad) al-Ghozali. Para ulama ahli
sejarah menyebutkan bahwa :
al-Ghozali lahir pada tahun 450 H. di Thus, dan
meninggal dunia pada tahun 505 di kota yang sama. Sumber
lain menyebutkan bahwa ia lahir di kota Ghazalah, sebuah kota
kecil dekat Thus di Khurasan, yang ketika itu merupakan salah
satu pusat ilmu pengetahuan di dunia islam (Nata, 2001: 55).
7. Kitab Ihya’ Ulumuddin
Ihya’ Ulumuddin (Ihya) atau Menghidupkan Kembali
Ilmu-ilmu Agama adalah adikarya imam al-Ghozali. Abu al-
Ghafar Farsi, yang hidup sezaman dengan imam al-Ghozali,
mengatakan bahwa buku atau kitab seperti ihkya’ belum
21
pernah ditulis sebelumnya. Imam Nudi berkata, “[Mutu] Ihya’
mendekati al-Qur’an.” Syaikh Abu Muhammad berkata, “jika
semua cahaya ilmu didunia ini lenyap, mereka dapat
dinyalakan kembali oleh Ihya’. Syaikh Abdullah Idris, seorang
ulama- wali terkemuka pada zamannya, menyimpan memori
kuat atas setiap bagian dari Ihya’.
Pada suatu hari, seorang wali masyhur bernama Quthub
Syaji memegang kitab Ihya’ seraya berkata, “Tahukah kalian
kitab apa yang ada di tanganku ini ?” Kemudian ia
memperlihatkan bekas-bekas cambukan di punggungnya.
‘Semalam, Imam al-Ghozali membawaku menghadap
Rasulullah Saw dan mencambuki punggungku karena
mencoba menolak kitab ini. Inilah bekas-bekas cambukan pada
punggung saya.” (Ghazali, 2014: 16)
Ihya’ Ulumuddin merupakan karya magnum opusnya Al-
Ghozali yang menjadi rujukan umat muslim seluruh dunia
hingga sekarang.
Hassan (1991) menekankan mengenai kepentingan Kitab
Ihya’ ‘Ulum al-Din sebagai rujukan para guru seperti katanya,
“Konsep pendidikan guru sepatutnya diambil dari tradisi dan
pencapaian dari intelektual kita yang lalu. Karya-karya
monumental seperti Ihya’ ‘Ulum al-Din seharusnya menjadi
buku teks bagi setiap bakal guru” (hlm. 98). Beliau juga
22
menyarankan bakal-bakal guru agar menjadikan Kitab Ihya’
‘Ulum al-Ddin, Kitab Ta’alim al-Muta’allim Tariq al-
Ta’allum (belajar cara belajar) karangan al-Zarnuji (65-132H)
dan karya al-Qabisi sebagai rujukan (Hassan 1991). Jelas di
sini bahwa Kitab Ihya’ Ulum al-Din patut dijadikan rujukan
oleh guru-guru (http://ejournal.ukm.my, 2016: 32).
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika dalam penulisan skripsi yang di maksud di sini
adalah sistematika penyusunan skripsi secara garis besarnya yaitu dari
bab ke bab sehingga menjadi satu-kesatuan yang padu.
Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
membaca maupun memahami skripsi ini. Adapun sistematika
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah,Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Metode Penelitian, Penegasan Istilah, Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II BIOGRAFI IMAM AL-GHOZALI Bab ini menjelaskan
tentang riwayat hidup Imam Al-Ghozali, Guru-gurunya, Sahabat-
sahabatnya, Karya-karyanya, dan deskripsi singkat tentang kitab Ihya’
Ulumuddin.
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM AL-GHOZALI Bab ini
menjelaskan tentang akhlak guru, dan etika guru terhadap murid
perspektif Imam Al-Ghozali.
23
BAB IV ANALISISI AKHLAK GURU TERHADAP MURID
PERSPEKTIF IMAM AL-GHOZALI Bab ini menjelaskan tentang
analisis akhlak guru terhadap murid perspektif Imam Al-Ghozali serta
relevansi etika guru terhadap murid Imam Al-Ghozali dalam konteks
kekinian.
BAB V PENUTUP Dalam bab ini berisi kesimpulan, saran, daftar
pustaka, dan lampiran-lampiran.
24
BAB II
BIOGRAFI IMAM AL-GHOZALI
A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghozali
Nama lengkap sang imam adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghozali, yang lebih di
kenal dengan panggilan Hujjatul Islam Zainuddin al Thusi, seorang al-
Faqih (ahli fiqih) yang bermazhabkan al-Syafi’i. Orang-orang yang
datang kemudian menyebut laqab (panggilan) beliau yang
sesungguhnya dari Abi Hamid menjadi Al-Ghozali. Ada yang
berpendapat, sebutan Ghazala dinisbatkan pada suatu wilayah yang
cukup terkenal di dataran Thusi. Ada pula yang mengatakan dengan
sebutan Ghazaala, menggunakan huruf zain yang di tekan dua kali,
yang itu disandarkan kepada pensifatan atas diri beliau sebagai
seorang yang berusaha untuk senantiasa mensucikan diri dan
melembutkan sanubari. Hanya Allah Yang Mengetahui kebenaran
yang sesungguhnya. Nama beliau akhirnya di kenal dengan panggilan
yang dibuat lebih mudah atau telah disepakati, yaitu al-Imam al-
Ghozali.
Imam al-Ghozali dilahirkan di kota Thusi, pada sekitar
pertengahan abad ke-5 hijriyah (450 H.). Abu Hamid memiliki seorang
ayah yang lembut sanubarinya, sederhana pola hidupnya, pekerja keras
dan pedagang yang cukup sabar. Ayah sang imam di kenal gemar
menuntut ilmu ke banyak ulama pada masa itu, sering mengikuti
25
halaqah (pengajian) mereka, dan gemar membantu kebutuhan sesama.
Setiap pekan beliau (ayah sang imam) selalu menyempatkan diri
mengunjungi kediaman para ulama,dari satu ulama ke lainnya, agar
bisa memetik pelajaran berharga dari sisi mereka.
Tak jarang, ayah sang imam ini menitihkan air mata pada saat
mendengarkan uraian (tausiyah) yang di sampaikan oleh para ulama
yang sedang ia datangi untuk menimba ilmu. Pada suatu kesempatan,
karena di dorong perasaan ingin memiliki keturunan yang menguasai
ilmu agama, ayah sang imam berdoa kepda Allah Swt. Dengan
sungguh-sungguh, agar Dia berkenan memberinya keturunan (putra)
yang memahami ilmu agama, dengan cara menggemari majelis yang di
dalamnya di bacakan ilmu oleh para ulama. Do’a beliau pun diijabah
(dikabulkan) oleh Allah Swt. Dengan di anugrahi dua orang putra yang
shalih. Putra pertama di beri nama Abdul Hamid, penulis dan sekaligus
pemilik kitab Ihya Ulumuddin. Yang kedua, saudara laki-laki dari
Imam al-Ghozali pun lahir, yang kemudian di beri nama Ahmad,
dengan nama kuniyah (nama alias) Abu al-Futuh Ahmad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath-Thusi al-Ghozali, dengan
laqab (nama panggilan) Majduddin.
Ibnu Khalkan dala buku al-Wifayat mengatakan, pada periode
selanjutnya, imam al-Ghozali di percaya untuk menjadi pengajar di
salah satu sekolah kenamaan, dimana sang adik juga sempat menuntut
ilmu di sana. Sang adik pun sempat meringkas Karya Imam al-Ghozali
26
ini, yang kemudian di berinya judul yang sama dengan induknya,
Mukhtasyar Ihya’ Ulumuddin (Ringkasan Ihya’ Ulumuddin). Pada
pembahasan pertama dari buku ringkasan dimaksud di beri sub judul
yang hampir sama dengan judul induknya, yaitu al-Ihya’. Sedangkan
pada bahasan yang terakhir ditutup dengan memberi sub judul, adz-
Dzakirah fi Ulumi al-Bashirah. Ahmad al-Ghozali (saudara kandung
sang Imam) meninggal dunia di wilayah Qazwain pada sekitar tahun
520 Hijriyah.
Sebelum sang ayah kembali menghadap Allah Swt. (meninggal
dunia), beliau sempat berpesan kepada seorang sahabat yang kebetulan
ulama (ahli) fikih dan tasawu, agar melanjutkan pengasuhan Imam al-
Ghozali dan saudara kandungnya, Ahmad al-Ghozali. Beliau berpesan,
agar kedua putra tersebut dididik secara khusus dan mendapatkan
pengajaran yang sesuai dengan apa yang beliau dapatkan dari sang
guru (Ghazali, 2011: VIII).
B. Guru-guru Imam Al-Ghozali
Imam al-Ghozali memulai rangkaian menuntut ilmu pada masa
kecil beliau di negri sendiri, berkat bantuan sufi yang sederhana itu
sedikit harta yang di wariskan oleh orang tuanya al-Ghozali dan
saudaranya memasuki madrasah tingkat dasar (Madrasah Ibtidaiyah)
dengan memahami ilmu-ilmu dasar “gurunya yang utama di madrasah
itu adalah Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang kemudian disebut juga
imam al-Haramain (Bahri, 1991 : 23).
27
Yang kemudian di lanjutkan dengan megadakan perjalanan
setelah dewasa menuju wilayah bernama jurjan, dan belajar denan
seorang guru bernama Abi Nashr al- Isma’ili. Setelah selesai beliau
kembali ke Thusi. Sekembalinya dari Jurjan, dengan izin Allah Swt.
al-Ghozali menetap dan mengabdikan ilmu beliau di sana untuk
beberapa waktu. Setelah itu, dengan izin Allah pula Imam al-Ghozali
kembali berangkat untuk menuntut ilmu ke wilayah Naisabur, guna
mendalami ilmu fikih dan memperdalam bahasa Arab pada seorang
guru (Ulama’) besar, yang pernah menjadi imam Haramain, bernama
Abal Ma’ali al-Juwaini.
Selama menuntut ilmu disana (Nasaibur), Abal Ma’ali al-
Juwaini mendapati Imam al-Ghozali sebagai seorang murid yang
sangat cerdas, memiliki potensi berkembang yang cukup pesat, dan
ketajaman berfikir yang sungguh luar biasa.
Abal Ma’ali al-Juwaini merasa, bahwa Imam al-Ghozali
adalah satu-satunya murid yang bisa beliau jadikan sebagai pengisi
kekosongan ulama manakala dirinya nanti di panggil oleh Allah Swt.
untuk kembali kehadirat-Nya (Ghazali, 2011: X).
C. Sahabat Imam al-Ghozali
Bersama sang Imam, ada pula beberapa tokoh yang belajar
bersama di Naisabur, dan sempat menjadi sahabat terbaik sang Imam.
Diantar mereka itu adalah seorang ulama bernama al-Kayya al-Haras
(meninggal dunia tahun 504 H./1110 M.).
28
juga seorang ulama bernama Abu al-Muzfhar al-Khawwafi
(meninggal dunia tahun 500 H., 1160 M.). Abal Ma’ali al-Juwaini
sempat mensifati ketiga sahabat tersebut dengan; al-Ghozali sebagai
Lautan yang tak bertepi, al-Kayya sebagai Singa yang terlatih, dan al-
Khawwafi sebagai Api yang membara (Menyala-nyala).
Ibnu Jauzi pernah menyampaikan apa yang di sebutkan oleh
Abal Ma’ali al-Juwaini untuk Imam al-Ghozali dalam buku beliau
yang berjudul al-Mankhul fi ‘Ilmi al-Ushul, “Pencarianku selama
hidup ini tak berbanding dengan buah dari kesabaran yang aku
dapatkan setelah meninggal dunia nanti; karena di percaya untuk
mendidik murid seperti al-Ghozali.” (Ghazali, 2011: X).
D. Karya-karya Imam al-Ghozali
Karena luasnya pengetahuan al-Ghozali, maka sangat sulit
sekali untuk menentukan bidang dan spesialisasi apa yang di gelutinya.
Hampir semua aspek-aspek keagamaan dikajinya. Di perguruan tinggi
Nizamiyah al-Ghazali banyak mengajarkan tentang ilmu fikih versi al-
Syafi’i sebab ia pengikut madzhab Syafi’iyah dalam bidang fikih.
Tetapi al-Ghozali juga mendalami bidang-bidang lain seperti Filsafat,
Kalam, dan Tasawuf.
Imam Al-Ghozali yang kelak menjadi poluler dengan Hujjatul
Islam, telah mewakili eksponen Mujaddid dan Mujtahid setiab abad.
Sebagaimana Imam Madzahibil Arba’ah yang monumental di bidang
Fiqh, Al-Ghozali menancapkan tonggak dan mercusuar Tasawuf dalam
29
sejarah dunia Islam. Spirit Al-Ghozali memasuki seluruh pandangan
Tasawuf generasi Mujaddid Sufi setelah abad-abad berikutnya. Dari
seluruh karya dan biografi intelektualnya menggambar perjalanan
panjang, walaupun tujuannya sangatlah dekat. Kalau boleh disebut Al-
Ghozali adalah salah satu Nikmat Allah dan Karomah yang agung
yang diturunkan untuk ummat Kanjeng Nabi Muhammad Saw yang
tak habis-habisnya untuk disyukuri. Tentu tidak perlu lagi mengutip
definisi Tasawuf menurut Al-Ghozali; karena Al-Ghozali telah
menyederhanakan seluruh masa lalu dunia Sufi dalam uraian
sistematis, yang representative setiap zaman. Prestasi besar Al-Ghozali
antara lain:
Kitab Ihya’ Ulumuddin telah mengurai hal-hal yang global dan
pelik menjadi mudah untuk dicerna. Al-Ihya’ menertibkan dengan
struktur keilmuan yang sangat sistematis, mengumpulkan pecahan-
pecahan yang berserak; menyatukan kembali dalam silabus dan
keutuhan metodologi yang luar bisaa. Al-Ihya’ mebuang yang tidak
perlu dan menyajikan yang bermanfaat dunia akhirat dengan lebih
meyakinkan. Al-Ihya’ menyadarkan secara total bahwa adab dan
akhlak menjadi esensi dari seluruh ilmu pengetahuan agama. Bukan
Islamisasi Ilmu dan juga bukan menempatkan agama sebatas ilmu, dan
bukan mengagamakan ilmu pengetahuan. Tetapi menempatkan agama
sebagai sumber ilmu, adab ilmu, ruhnya ilmu, agar muncul Ulumun
Nafi’ (Ilmu yang bermanfaat) yang dewasa ini telah dilupakan oleh
30
filsafat pendidikan modern (Proceeding International Seminar on
Imam Al-Ghazali’s Sufism, 2018: 6-7).
Oleh karena itu menetapkan al-Ghozali sebagai tokoh dalam
satu segi tentu tidaklah adil. Sangat tepat sekali bila gelar Hujjatul
Islam ia sandang dengan peertimbangan al-Ghozali mempunyai
keahlian (kualifikasi) dimensional.
Kesemuanya itu dapat di teliti melalui karya-karyanya. Sebagai
ulama besar yang kreatif dan mempunyai keahlian yang sangat luas al-
Ghozali sangat gemar menulis. Aneka ragam dia tulis dengan penuh
percaya diri sehingga nampak tulisan-tulisannya itu mampu mewakili
masalah yang dia kemukakan. Menurut Musthafa Galab (1979 : 27) al-
Ghozali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan karya ilmiah
sebanyak 228 kitab yang terdiri dari beraneka macam ilmu
pengetahuan yang terkenal pada masanya. Kitab yang di terbitkan
adalah sebagai berikut :
1. Dalam bidang Tasawuf
a. Adab al-Suffah
b. Al-adab fi ad-Din
c. Al-Arba’in fi Ushul al-Din
d. Al-Imlau’am asykali al-Ihya’
e. Ihya’ Ulumuddin
f. Ayyuhal al-Walad
31
g. Bidayah al-Hidayah watahdzib al-Nufuz bil Adab al-
Syariyah
h. Jawahil al-Qur’an wa Dauruha
i. Al-Hikam fi Makhluqat Allah
j. Khulasut alTasauf
k. Al-Risalah Laduniyah
l. Al-Risalah al-Wadziyah
m. Fatihah al-Ulum
n. Qawaidu al-asyrah
o. Al-kasyfu wa al-Tabyin fi gurur al-halqi ajmain
p. Al-Mursyid al-amin ila mauidhat al-mu’minin
q. Musykilat al-Anwar
r. Mukasyafat al-qutub al-muqarrab ila al-hadhrati alami
al-ghuyub
s. Minhajul al-abidin ila al-jannah
t. Mizan al-amal
2. Dalam bidang Aqidah
a. Al-Ajwibah al-Ghazaliyah fi masail al-akhruwiyah
b. Al-Istishad fi al-I’tiqad
c. Al-Jamu al-‘Awwam ‘An ‘Ilmu al-Kalam
d. Al-Risalah al-Quddusiyah fi Qawwaidu al-‘Aqaid
e. ‘Aqidah Ahlu al-Sunnah
f. Fadlailu al-Bathiniyah wa Fadlailu al-Mustadlariyah
32
g. Fishal al-Tafriqah baina al-Islam wa Zindiqah
h. Al-Qisthas al-Mustaqim
i. Kimia al-Sa’adah
j. Al-Maqshidu al-insy fi Syahri Asma Allah al Husna
3. Dalam bidang Fiqh dan Ushl Fiqh
a. Asrar al-Hajj
b. Al-Mustasyfa fi Ilmi al-Ushul
c. Al-Wajiz fi al-Furu’
4. Dalam bidang Mantiq dan Filsafat
a. Tahafut al-Falasifah
b. Risalah al-Thayr
c. Mihka al-Nadhari fi al-Mantiq
d. Misykat al-Anwar
e. Ma’ary al-Qudsy fi Madarij Ma’rifat an-Nafs
f. Mi’yar al-Ilm fi al-Mantiq
g. Maqashid al-Falasifah
h. Al-Munqidz Min al-Djalal
5. Karya Manuskrip
Tentang Tasawuf
a. Jami’al-Haqaiq Bitajribah al-‘Alaiq
b. Zuhd al-Fatih
c. Madkhal al-Suluk Ila Manazil al-Mulk
33
d. Ma’arrij al-Sakilin
e. Nur al-Syam’ah fi Bayan Dluhri al-Jami’ah
Fiqh dan Ushl Fiqh
a. Al-Basith fi al-Furu’ ‘Ala Nihayah al-Muthlab
b. Ghayah Masail al-Daur
c. Al-Mankhul fi al-Ushul
d. Al-Washith al-Muhidth bi Iqthar al-Basith
Falsafat
a. Haqaid al-Ukim Li Ahli al-Fahm
b. Al-ma’rifat al-Aqliyah Wa al-Hikmah al-Ilahiyah
c. Fadhail al-Qur’an
Demikian sebagian besar karya Imam al-Ghozali yang dapat
dibaca sebagai khazanah ilmu pengetahuan yang mengagumkan dan
masih banyak lagi kitab-kitab lain yang dapat dijadikan rujukan
kegiatan ilmiyah (Bahri, 1991 : 33).
E. Ihya Ulumuddin
Ihya Ulumuddin, merupakan buku fatwa dan karya beliau yang
paling besar (Bahri, 1991 : 29). Yang dimana beliau sang Imam mulai
menuangakan goresan penanya untuk menuliskan susunan Ihya
ulumuddin hingga selesai. Beliau sadar, bahwa semua ilmu yang di
punyai tanpa dilanjutkan dengan amalan akan bernilai sia-sia; begitu
pula sebaliknya, amalan tanpa dilandasi ilmu agama tidak akan
berubah apa-apa (Ghozali, 2011 : XI).
34
Bagi sebagian besar para cendekiawan muslim, banyak yang
merjuk kepada salah satu karya fenomenal Imam al-Ghozali salah
satunya adalah Ihya Ulumuddin. Yang di dalamnya terangkum banyak
bab, sebagai contoh bab awal berisikan tentang keutamaan belajar dan
mengajar, di dalamnya di terangkan bagaimana adab mencari ilmu,
yang akan menjawab pertanyaan sudah benarkah ilmu yang kita geluti
dan cari siang dan malam? Sudah benarkah cara kita menyampaikan/
mengajarkan ilmu yang kita punya? Pertanyaan semacam itu akan
terjawab di dalam karya fenomenal Imam al-Ghozali dalam kitab Ihya
Ulumuddin.
F. Pendidikan Imam al-Ghozali
Pada saat ayah al-Ghozali meninggal, dipercayakanlah
pendidikan kedua anak laki-lakinya, Muhammad dan Ahmad, kepada
seorang kawan kepercayaannya. Dia memberikan keduannya
pendidikan dasar lalu mengirimnya ke makhtab swasta. Mereka
menuruti nasihat itu. Itulah yang menjadi sebab kebahagiaan dan
ketinggian derajat mereka. Al-Ghozali menuturkan hal itu dan berkata
“Kami pernah diajari tidak karena Allah, maka aku menolak dan hanya
ingin belajar karena Allah. Ayah al-Ghozali sering menemui para
ulama, serta berkumpul bersama mereka, berkhidmat, dan memberikan
infak kepada mereka semampunya. Apabila dia melanggar ucapan
mereka, dia menangis dan merunduk. Dia memohon kepada Allah agar
35
di beri anak yang shaleh dan alim. Allah mengabulkan doanya. Abu
Hamid adalah orang paling cerdas di antar kawan-kawannya dan kelak
menjadi pemuka ulama sejamannya. Adapun Ahmad adalah orang
yang paling saleh juga. Bebatuan menjadi lunak ketika mendengar
peringatan dan hadirin pun menggigil di majlis dzikirnya (Ghazali,
2003 : 14). Kedua anak itu mampu menghafal Al-Qur’an dalam waktu
singkat. Setelah itu, mereka mulai belajar bahasa arab.
Mereka kemudian dimasukkan ke madrasah bebas
(independent). Setelah beberapa waktu, al-Ghozali meninggalkan desa
kelahiran untuk menempuh pendidikan di jurjan dan belajar di bawah
bimbingan seorang ulama’ besar, Imam Abu Nasr Ismail. Al-Ghozali
senantiasa mencatat perkuliahannya, tetapi dalam suatu perjalanan,
catatanya dan barang-barang lainnya dirampok orang. Memberanikan
diri, dia pergi ke kepala perampok untuk meminta agar mereka
mengembalikan catatan kuliah (yang) bukan barang-barang miliknya.
Catatan itu di kembalikan karena permohonan yang penuh harap
tersebut.
Kemudia dia masuk Madrasah Nizhamiyah di Nisabur yang
waktu itu adalah pusat pendidikan yang terpandang dan di pimpin oleh
ulama tersohor bernama Imam Haramain, yang memiliki 400 orang
murid. Tiga diantara 400 orang itu kemudian menjadi ulama terkenal,
Harrasi, Ahmad bin Muhammad al-Ghozali. Waktu gurunya wafat,
36
al-Ghozali demikian sedih sehingga meninggalkan Nisabur dan pergi
ke Baghdad, ibukota kekhalifahan. Saat itu dia berumur 28 tahun.
Di Baghdad, dia diangkat menjadi Rektor Madrasah
Nizhamiyah oleh Nizham al-Mulk, Wazir kepala sang penguasa Turki
Malik Syah. Diangkat pada usia muda untuk jabatan begitu tinggi,
kemasyhurannya sebagai ulama besar menyebar luas dan jauh.
Banyak penguasa dan kepala suku datang kepada Imam al-
Ghozali untuk mendapatkan fatwa dalam perkara teologi dan soal
mengurus Negara.
Perkuliahan imam al-Ghozali, ratusan ulama, pejabat
kekhalifahan dan bangsawan yang berkuasa menghadiri perkuliahan
imam al-Ghozali yang di sampaikan dengan penuh pemikiran,
argumen dan alasan. Kebanyakan bahan perkuliahannya kemudian di
catat oleh Sayyid bin Fariz dan Ibn Lubban. Keduannya mencatat kira-
kira 183 bahan perkuliahannya lalu dikumpulkan dalam satu kitab
bernama, Al-Majalis al-Ghazali.
Pikiran imam besar ini kemudian berpaling kepada usaha untuk
meraih ketinggian spiritual. Keadaan dan alasan yang menuntun
pikirannya berpaling kepada usaha tersebut ditulis dalam bukunya,
Munqiz min adh-Dhalal (Lepas dari kesesatan). Dia adalah pengikut
iamam Syafi’I dalam usia mudanya, tetapi di Baghdad dia bergaul
dengan banyak orang dari berbagai banyak madzhab Fikih, pemikiran,
dan gagasan: Syi’I, Sunni, Zindiqi, Majusi, Teolog skolastik, Kristen,
37
Yahudi, Atheis, Penyembah api dan Penyembah berhala. Selain itu, di
Baghdad terdapat pula kaum Deis, Materialis, Naturalis, dan Filosof.
Mereka sering bertemu dalam adu argumentasi dan berdebat. Ini
demikian berpengaruh pada pikiran imam sehingga seluruh
kehidupannya berubah total dan dia mulai mencari kebenaran dengan
penalaran bebas.
Gagasan lamanya surut dan dia mulai hidup dalam keraguan
dan kegelisahan. Kemudian dia cenderung pada sufisme. Namun, di
sini, amalan-amalan praktis lebih diisyaratkan daipada semata-mata
percaya. Diilhami oleh gagasan tersebut, ia meninggalkan kedudukan
terpandangnya di Baghdad, mengenakanpakaian sufi dan menyelinap
meninggalkan Baghdad di suatu malam pada 488 H.
Ia pergi ke Damaskus lalu mengasingkan diri dalam sebuah
kamar masjid, dan penuh kesungguhan melakukan ibadah, tafakur dan
dzikir. Disini, ia menghabiskan waktu selama dua tahun dalam
kesendirian dan kesunyian. Pada umur 27 tahun, ia ditahbis oleh Pir
Abu ‘Ali Farnadi yang juga guru spiritual wazir Nizham al-Mulk.
Setelah dua tahun, dia pergi ke Yerusalem dan berziarah ke tempat
kelahiran Yesus (Nabi Isa As) H ia berziarah ke tempat suci Nabi
Ibrahim As dan disana dia memancangkan tiga sumpah:
(1) tidak akan pernah pergi ke Dabar seorang penguasa, (2) tidak akan
pernah menerima pemberian mereka, dan (3) tidak kan melibatkan diri
dalam suatu perdebatan agama. Ia memegang sumpah itu hingga
38
meninggalnya. Selanjutnya ia pergi ke Makkah untuk naik haji di
samping berziarah ke Madinah dan tinggal di ”Kota Nabi” ini cukup
lama. Ketika pulang, ia di minta penguasa untuk menerima kedudukan
sebagai Rektor Madrasah Nizhamiyah, dan ia menerimanya. Sewaktu
penguasa itu di bunuh, al-Ghozali melepaskan jabatan tersebut lalu
pergi ke Thus lalu mengucilkan diri di sebuah khanqah. Penguasa yang
baru kembali menawarkan kepada imam agar bersedia menduduki
kembali jabatan rektor, namun ia menolaknya (Ghazali, 2011 : 11).
39
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM AL-GHOZALI TENTANG AKHLAK
GURU TERHADAP MURID
A. Guru dan Murid
1. Definisi guru
Orang yang dikaruniai ilmu yang banyak dan beramal
dengannya dan juga mengajarkannya kepada orang lain di pandang
lebih mulia daripada malaikat langit dan bumi. Manusia demikian
dapat diibaratkan matahari yang menyinari dirinya sendiri dan
memberikan sinarnya kepada benda lain. Dan akan di tinggikan
derajatnya beberapa tingkat oleh Allah Swt. Hal ini di jelaskan di
dalam al-Qur’an surah Mujadalah ayat 11 yang telah di alih bahasakan
artinya oleh KH. Bisri Mustofa
لكم يا أيها الهذين آمنوا إذا قيل لكم تفسهحوا في المجالس فافسحوا يفسح للاه
الهذين آمنوا منكم والهذين أوتوا العلم در جات وإذا قيل انشزوا فانشزوا يرفع للاه
بما تعملون خبير (١١)وللاه
Artinya;
He wong-wong kang iman! Arikolo siro kabeh podho di ucapi
“tafassahu” podhoho gawe jembar siro kabeh ono ing pelungguhan
(supoyo wong-wong kang teko keri biso melu lungguh) mongko siroho
kabeh podhoho gawe jembar. Allah Ta’ala bakal males paring jembar
marang siro kabeh ono ing suargo. Lan arikolo siro kabeh diucapi:
siroho kabeh podho ngadeg (kerono sholat utowo kebecikan liyane)
mongko siro podho ngadeko!” Allah Ta’ala ngluhurake wong-wong
kang podho iman saking siro kabeh lan khususe wong-wong kang di
paring ilmu, pirang-pirang derajat ono ing suwargo, Allah Ta’ala iku
marang opo kang siro kabeh podho nindakake tansah waspodho.
40
Maka lebih jelasnya lagi penulis akan memberikan definisi
tentang guru menurut beberapa referensi, menurut pandangann
tradisional, guru adalah seorang berdiri di depan kelas untuk
menyapaikan ilmu pengetahuan (Roestiyah, 1982: 182). Menurut
seorang ahli pendidikan “Theacher is a person who causes a person to
know or be able to do something or give a person knowledge or skill” .
(Roestiyah, 1982: 182). Menurut Balnadi Sutadipura, guru adalah
orang yang layak digugu dan ditiru (Sutadi, 1983: 54), menurut
undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, tenaga pengajar adalah
tenaga pendidik yang khusus dengan tugas mengajar, yang pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah di sebut guru dan pada jenjang
pendidikan tinggi di sebut dosen ( fasal 27 ayat 3 nomor 2 /1989).
Berdasarkan sejumlah sumber itu dapatlah di simpulkan bahwa
seorang guru bukan hanya pemberi ilmu pengetahuan kepada murid-
muridnya atau menurut Soepardjo Adikusumo “mengecer informasi
dan menjaja-jajakannya” (1984:4) di depan kelas.
Akan tetapi, dia seorang tenaga profesional yang dapat
menjadikan murid-muridnya mampu merencanakan, menganalisa dan
menyimpulkan masalah yang di hadapi (Nurdin 2002: 8).
Adapun secara etimologis (asal usul kata), istilah guru berasal
dari bahasa india yang artinya ‘orang yang mengajarkan tentang
kelepasan kesengsaraan’ dalam tradisi agama Hindu, guru dikenal
41
sebagai ‘maharesi guru’, yakni para pengajar yang bertugas untuk
menggembleng para calon biksu di bhinaya panti (tempat pendidikan
bagi para biksu). Rabindranath Tagore (1861-1941) menggunakan
istilah Shanti Niketan atau rumah damai untuk tempat para guru
mengamalkan tugas mulianya membangun spiritualitas anak-anak
bangsadi india (spiritual intelegence). Dalam bahasa arab guru di kenal
dengan al-mu’alim atau al-ustadz yang bertugas memberikan ilmu dan
majelis taklim (tempat memperoleh ilmu). Dengan demikian, al-
mu’alim atau al-ustadz, dalam hal ini juga mempunyai pengertian
orang yang mempunyai tugas untuk membangun aspek spiritual
manusia. Pengertian guru kemudian menjadi semakin luas, tidak hanya
terbatas dalam kegiatan keilmuan yang bersifat kecerdasan keilmuan
(spiritual intelegence) dan kecerdasan intelektual (intellectual
intelegence), tetapi juga menyangkut kecerdasan jasmaniah (bodily
kinesthetic), seperti guru tari, guru olahraga, guru senam, dan guru
musik.
Semua kecerdasan itu pada hakikatnya juga menjadi bagian
dari kecerdasan ganda (multiple intelegence) sebagaimana di jelaskan
oleh pakar psikologi terkenal Howard Gardner. Dengan demikian, guru
dapat diartikan sebagai orang yang tugasnya terkait dengan upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya, baik spiritual
dan emosional, intelektual, fisikal, maupun aspek lainnya (Suparlan,
2005; 12).
42
Dalam pengertian umum, orang tidak mengalami kesulitan
untuk menjelaskan siapa guru dan bagaimana sosok seorang guru.
Dalam pengertian ini, makna guru selain dikaitkan dengan profesi
yang terkait dengan pendidikan anak di sekolah, di lembaga
pendidikan, dan mereka harus menguasai bahan ajar yang terdapat di
kurikulum. Guru adalah profesi yang indah dan mulia karena
merupakan pencetak generasi penerus bangsa. Dikatakan sebagai
profesi karena untuk menjadi seorang guru, dibutuhkan berbagai
kompetensi (Widiasworo, 2014: 21).
Ada sebuah adagium (pepatah) bahwa guru adalah orangtua
kedua seorang anak di sekolah. Adagium tersebut menyiratkan tugas
dan peran guru tidak hanya mengajarkan materi, teori, dan penjelasan
tentag ilmu-ilmu pengetahuan. Akan tetapi, secara lebih luas guru
berperan mendidik dan mendampingi perkembangan perkembangan
anak sebagaimana orangtua dirumah (Widiasworo, 2014: 5).
Berbeda dengan Rahman (2011 :8), ada pepatah yang mengatakan,
“Guru digugu dan di tiru.” Artinya, seorang guru dipercaya menjadi
teladan atau contoh bagi muridnya. Apa pun yang dibicarakan dan
dilakukan oleh guru, murid bisa mengembangkan lebih jauh
dibandingkan gurunya. Pepatah yang terakhir menggambarkan bahwa
murid melakukan peniruan tingkah laku dari seorang guru yang kurang
sopan dalam kacamata etika. Murid menirunya dan bertingkah laku
43
yang lebih tidak sopan. Misalnya, gurunya hanya kencing berdiri,
namun muridnya kencing sambil berlari.
Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing
dalam dunia thariqoh, yang telah memperoleh izin dan ijazah dari
guru mursyid di atasnya yang terus bersambung sampai kepada guru
Mursyid Shohibuth Thoriqoh yang musalsal dari Rasulullah Saw untuk
mentalqin dzikir/ wirid thariqoh kepada orang- orang yang datang
meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqoh Tijaniyyah sebutan
untuk mursyid adalah “muqoddam”.
Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh di pangku oleh
sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqoh
cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan
rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci.
Bermacam-macam sebutan yang mulia diberikan kepada
seorang guru musyid ini; seperti Nasik (orang yang sudah mengerjakan
mayoritas perintah agama), Abid (orang yang ahli dan ikhlas
mengerjakan segala ibadahnya), Imam (orang yang ahli memimpin
tidak saja dalam segala bentuk ibadah syariat, tetapi juga masalah
aqidah/keyakinan), Syaikh (orang yang menjadi sesepuh atau yang
dituakan dari suatu perkumpulan), Saadah (penghulu atau orang yang
dihormati dan diberi kekuasaan penuh) dan lain sebagainya.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, seorang penganut
thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab syafi’i dalam kitabnya
44
Tanwirul Qulub Fi Muamalati Allamil Ghuyub menyatakan bahwa
yang dinamakan Syaikh/Mursyid itu adalah orang yang sudah
mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna
suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah
dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna
pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqom
(kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai
kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT
dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan
memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk
dzikir itu kepada orang lain.
Seorang mursyid yang diakui keabsahanya itu sebenarnya tidak
boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin menduduki jabatan itu
karena didorong oleh nafsu belaka. Mursyid yang arif yang memiliki
sifat-sifat dan kesungguhan seperti yang tersebut di atas itulah yang
diperbolehkan memimpin suatu thariqah.
Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan
Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap
muridnya untuk menuju kepada Allah SWT.
Seorang syaikh /mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang
benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan.
Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada
orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan
45
mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak
dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW.
Al-Imam Ar-Roziy menyatakan bahwa seorang syaikh yang
tidak berijazah dalam pengajarannya akan lebih merusakkan daripada
memperbaiki, dan dosanya sama dengan dosa seorang perampok,
karena dia menceraikan murid-murid yang benar dari pemimpin-
pemimpinnya yang arif (Luthfi, 2016: 14).
2. Definisi Murid
Dalam bahasa arab di kenal tiga istilah yang sering digunakan
untuk menunjukkan pada anak didik kita. Tiga istilah tersebut adalah
murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau
membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya) talamidz yang berarti
murid, dan thalib al-alim yang menuntut ilmu, pelajar atau mahasiswa
(Nata, 1997: 79).
Kata al-Tilmidz yang juga berasal dari bahasa arab, namun
tidak mempunyai akar kata pelajar. Kata ini digunakan untuk
menunjuk kepada murid yang belajar di madrasah. Istilah ini antara
lain digunakan oleh Ahmad Tsalabi, kemudian al-thalib kata ini
berasal dari bahasa arab, thalaba, yathlubu, thalban, thalibun yang
berarti orang yang mencari sesuatu. Pengertian ini dapat dipahami
karena seorang pelajar adalah orang yang tengah mencari ilmu
pengetahuan, pengalamn dan ketrampilan, dan pembentukan
46
kepribadiaanya untuk bekal kehidupannya di masa depan agar
berbahagia dunia dan akhirat.
Kata al-thalib ini selanjutnya lebih digunakan untuk pelajar
pada perguruan tinggi yang selanjutnya disebut mahasiswa.
Penggunaan kata al-thalib untuk mahasiswa dapat dimengerti karena
seorang mahasiswa sudah memiliki bekal pengetahuan dasar yang ia
peroleh dari tingkat pendidikan dasar dan lanjutan,
terutama pengetahuan tentang membaca, menulis, dan berhitung.
Dengan bekal pengetahuan dasar ini, ia diharapkan memiliki bekal
untuk mencari, menggali, dan mendalami bidang keilmuwan yang
diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih bahan-bahan
bacaan, seperti buku, surat kabar, majalah, fenomena sosial melalui
berbagai peralatan dan sarana pendidikan lainnya, terutama bahan
bacaan.
Bahan bacaan tersebut setelah dibaca, ditelaah dan dianalisa
selanjutnya dituangkan dalam berbagai karya ilmiah seperti artikel,
makalah, skripsi, tesis, disertai, laporan penelitian dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam arti al-thalib seorang murid lebih
bersifat aktif, mandiri, kreatif, dan tidak banyak bergantung kepada
guru. Bahkan dalam beberapa hal ia dapat meringkas, mengritik, dan
menambahkan informasi yang disampaikan oleh guru atau yang lebih
dikenal sebagai dosen atau supervisor. Dalam konteks ini seorang
dosen harus bersikap demokratis, memberi kesempatan, dan
47
menciptakan suasana kelas yang bebas, untuk mendorong mahasiswa
memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Kesempatan
belajar yang diciptakan dosen adalah agar merangsang para mahasiswa
belajar, berpikir, melakukan penalaran yang memungkinkan para
mahasiswa dan dosen tercipta hubungan sebagai mitra belajar. Minat
dan pemahaman,
timbal balik antara dosen dan mahasiswa ini akan memperkaya
kurikulum dan kegiatan belajar mengajar pada kelas bersangkutan
(Nata, 2001: 51).
Istilah murid di dalam thariqoh adalah sebutan yang diberikan
kepada seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir dari seorang
guru mursyid untuk mengamalkan wirid- wirid tertentu dari aliran
thariqohnya. Atau dengan kata lain orang yang telah berbai’at kepada
seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid thariqoh. Dalam
thariqoh Tijaniyyah sebutan untuk para murid adalah “ikhwan”
(mukhtamar JATMAN: 2016).
Peserta didik merupakan subjek didik atau subjek yang menjadi
fokus dalam sebuah proses pendidikan (Agustinus,2014: 9)
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu (Undang-
Undang R.I No.20 Tahun 2003).
48
B. Akhlak Guru Terhadap Murid
Pendidikan nasional yang bermutu diarahkan untuk
pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab
(BNSP, 2006: 74). Arahan pendidikan nasional ini hanya mungkin
terwujud jika guru memiliki akhlak mulia, sebab murid adalah
cerminan dari gurunya (Gunawan, 2014: 198)
Sulit mencetak siswa yang saleh jika gurunya tidak saleh.
Selain guru, untuk melahirkan siswa yang saleh perlu dukungan
pertama, komunitas sekolah yang saleh (pemimpin dan staf); kedua,
budaya sekolah yang saleh, seperti disiplin, demokratis, adil, jujur,
syukur, dan amanah. Dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan
“Seorang mukmin yang paling utama Imannya adalah yang paling
baik akhlaknya” (HR. Thabrani dari Ibnu Amr).
Didalam kitab Ihya Ulumuddin sendiri Imam Ghozali
menyebutkan beberapa poin akhlak guru terhadap murid, bahwa ada
empat macam kondisi manusia dalam hubungannya dengan kekayaan.
Pertama, orang yang kaya karena menghasilkan harta benda duniawi
yang sangat banyak. Kedua, orang yang melakukan aktivitas produktif
dan tidak membutuhkan bantuan orang lain. Ketiga, orang yang
mampu membiayai dan mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, serta
49
cukup puas dengan kekayaan yang sudah dimilikinya. Keempat, orang
yang membelanjakan sebagian kekayaannya untuk orang lain,
sehingga menjadi seorang yang pemurah dan dermawan.
Tentu saja, kelopok manusia yang terakhir inilah yang terbaik.
Seperti itu pulalah kondisi ilmu. Ia dapat diperoleh seperti kita
mendapatkan harta benda. Ada empat macam kondisi manusia dalam
hubungannya dengan ilmu. Pertama, kondisi orang yang tengah
mencari ilmu. Kedua, kondisi seseorang setelah memperoleh ilmu.
Ketiga, kondisi seseorang dimana ia bisa berkontemplasi dan
menikmati ilmu yang telah diraihnya. Dan yang keempat, kondisi
seseorang dimana ia bisa menyebarkan ilmu yang didapatnya kepada
orang lain. Dan, kondisi yang terakhir inilah yang terbaik.
Perilaku terbaik dari seorang guru ialah, sebagaimana
dikatakan, “siapa yang mempelajari suatu ilmu, kemudian
mengamalkannya, dan setelah itu mengajarkannya kepada orang lain,
maka ia termasuk kelompok yang disebut sebagai ‘pembesar’ pada
kerajaan langit.” Orang yang dikaruniai ilmu yang banyak, lalu
beramal dengannya, dan juga mengajarkannya kepada orang lain,
maka ia di pandang lebih mulia daripada malaikat langit maupun
malaikat yang bertugas di bumi (Ghozali, 2011: 122).
Manusia demikian dapat diibaratkan matahari yang menyinari
diri sendiri, dan sekaligus mendistribusikan sinarnya kepada benda
lainnya. Orang yang seperti itu laksana wangi kasturi, ia sendiri harum,
50
dan sekaligus menerbakkan semerbak keharumannya kepada orang
lain. Orang yang mengajarkan ilmu kepada orang lain (guru),
namun tidak beramal dengannya adalah laksana buku cetak yang tidak
bermanfaat bagi dirinya sendiri, akan tetapi sungguh bermanfaat bagi
pembacanya. Atau ibarat lilin yang memberikan cahaya penerangan
bagi benda lain di sekitarnya, akan tetapi ia sendiri terbakar. Di
ungkapkan dalam sya’ir,
تضيء للناس وهي تحترق ما هو إال ذبالة وقدت
Artinya:
seolah-olah aku menjadi sumbu yang di sulut api.
Aku menerangi sekitar, sementara aku sendiri habis terbakar
(Ghozali, 2011: 123).
Sudah sepantasnya seorang guru dalam mengajarkan ilmunya
mempunyai niat dan tujuan untuk melindungi para muridnya dari siksa
api neraka.
Sementara tugas kedua orang tua menyelamatkan anak-
anaknya dari kesengsaraan hidup di alam dunia ini. Tugas seorang
guru lebih berat daripada kedua orangtua. Bahkan, seorang guru adalah
ayah yang sejati bagi murid-muridnya. Jika seorang ayah menjadi
sebab atas keberadaan anak-anaknya pada kehidupan dunia yang fana
ini, maka seorang guru justru menjadi sebab bagi bekal kehidupan
murid-muridnya yang kekal di akhirat nanti. Dengan demikian,
menjadi wajar apabila seorang murid tidak dibenarkan untuk
membeda-bedakan antar hak guru dan hak kedua orangtuanya. Sebab,
51
lantaran ajaran para guru ruhanilah seorang murid mengetahui dan
ingat akan kehidupan akhirat (Ghazali, 2011: 124).
Orang yang menetapkan diri dan bertekad untuk mengambil
pekerjaan sebagai pengajar, ia harus menjalankan tugas dan kewajiban
berikut:
الشفقة على املتعلمني وأن جيريهم جمرى بنيه قال رسول اهلل صلى اهلل :الوظيفة األولى
" إمنا أنا لكم مثل الوالد لولده :"عليه وسلم
SATU: Ia harus memperlihatkan kebaikan, simpati dan bahkan
empati kepada para pelajarnya dan memperlakukan mereka seperti
anaknya sendiri. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya aku bagi
kalian ibarat seorang ayah bagi anak-anaknya”( Ghozali, 2011: 122).
Seharusnya seorang guru mempunyai niat dan tujuan
melindungi para muridnya dari api neraka. Sementara orang tua
menyelamatkan anak-anaknya dari api kesengsaraan di dunia ini, guru
seharusnya berusaha menyelamatkan siswa-siswanya dari api neraka.
Tugas guru lebih berat daripada tugas orang tua.
Seorang ayah adalah sebab langsung dari kehidupan
kontenporer ini, tetapi seorang guru adalah sebab kehidupan kekal
kelak. Karena ajaran para guru ruhanilah orang mengetahui dan ingat
akan kehidupan akhirat. Guru yang saya maksud disini adalah guru
ilmu-ilmu tentang akhirat (ukhrawi) atau ilmu-ilmu tentang dunia
(duniawi) dengantujuan akhirat. Seorang guru dinilai membinasakan
52
diri dan juga murid-muridnya jika ia mengajar demi kepentingan dunia
ini. Karena itu, orang yang berorientasi akhirat akan senantiasa akan
menempuh perjalanan hidupnya didunia ini untuk tujuan di akhirat
nanti dan senantiasa bertujuan kepada Allah Swt dan tidak terikat pada
dunia ini.
Bulan dan tahun dalam kehidupan ini hanyalah persinggahan-
persinggahan sementara dalam perjalanan mereka. Tidak ada rasa
benci dalam perjalanan menuju akhirat nanti dan dengan demikian,
tidak ada pula rasa iri dan dengki di antara mereka. Mereka berpegang
pada ayat berikut, Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah
bersaudara. (Qs al-Hujarat [49]: 10).
أن يقتدى بصاحب الشرع صلوات اهلل عليه وسالمه فال :الوظيفة الثانية
شكرا بل يعلم لوجه يطلب على إفادة العلم أجرا وال يقصد به جزاء وال
اهلل تعالى وطلبا للتقرب إليه وال يرى لنفسه منة عليهم وإن كانت المنة
الزمة عليهم بل يرى الفضل لهم إذ هذبوا قلوبهم ألن تتقرب إلى اهلل
تعالى بزراعة العلوم فيها كالذي يعيرك األرض لتزرع فيها لنفسك زراعة
يف تقلده منة وثوابك فمنفعتك بها تزيد على منفعة صاحب األرض فك
53
في التعليم أكثر من ثواب المتعلم عند اهلل تعالى ولوال المتعلم ما نلت
ويا [ :هذا الثواب فال تطلب األجر إال من اهلل تعالى، كما قال عز وجل
92هود: ) ]قوم ال أسألكم عليه ماال إن أجري إال على اهلل ن
DUA: Adab kedua seorang guru adalah mengikuti teladan dan
contoh Rasulullah Saw. Dengan perkataan lain, ia tidak boleh mencari
imbalan dan upah bagi pekerjaannya selain kedekatan diri kepada
Allah. Allah mengajarkan kepada kita untuk berkata, Katakanlah,
“Aku tidak menginginginkan upah darimu untuk seruanku ini.” (Qs
Hud [11]: 29) (Ghozali, 2011: 124).
Harta dan kekayaan adalah pelayan tubuh kita yang menjadi
tunggangan jiwa yang pada hakikatnya adalah ilmu dan yang karena
ilmu, jiwa menjadi mulia. Orang yang mencari harta dengan ilmunya
ibarat seorang yang mukanya kotor namun ingin badan yang
dibersihkan. Dalam hal ini, tujuan menjadi hamba dan hamba menjadi
tuan.
أن ال يدع من نصح المتعلم شيئا وذلك بأن يمنعه من :الوظيفة الثالثة
التصدي لرتبة قبل استحقاقها والتشاغل بعلم خفي قبل الفراغ من
الجلى ثم ينبهه على أن الغرض بطلب العلوم القرب إلى اهلل تعالى دون
54
الرياسة والمباهاة والمنافسة ويقدم تقبيح ذلك في نفسه بأقصى ما
لم الفاجر بأكثر مما يفسده فإن علم من يمكن فليس ما يصلحه العا
باطنه أنه ال يطلب العلم إال للدنيا نظر إلى العلم الذي يطلبه فإن كان
هو علم الخالف في الفقه والجدل في الكالم والفتاوى في
الخصومات واألحكام فيمنعه من ذلك فإن هذه العلوم ليست من علوم
اآلخرة وال من العلوم
TIGA: Adab ketiga seorang guru adalah tidak boleh
menyembunyikan nasihat atau ajaran untuk di berikan kepada murid-
muridnya. Setelah selesai menyampaikan ilmu-ilmu lahiriah, ia harus
mengajarkan ilmu-ilmu batiniyah kepada murid-muridnya. Seorang
guru harus mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah dekat kepada
Allah, bukan kekuasaan atau kekayaan dan mengatakan bahwa Allah
menciptakan ambisi sebagai sarana untuk melestarikan ilmu yang
merupakan hakikat bagi ilmu-ilmu ini)Ghozali, 2011: 125).
وهي من دقائق صناعة التعليم أن يزجر المتعلم عن :الوظيفة الرابعة
سوء األخالق بطريق التعريض ما أمكن وال يصرح وبطريق الرحمة ال
55
بطريق التوبيخ فإن التصريح يهتك حجاب الهيئة ويورث الجرأة على
الهجوم بالخالف ويهيج الحرص على اإلصرار إذ قال صلى اهلل عليه
نع الناس عن فت البعر لفتوه وقالوا وسلم وهو مرشد كل معلم: )) لو م
ما نهينا عنه إال وفيه شيء
EMPAT: Adab kempat adalah berusaha mencegah murid-
muridnya dari memiliki watak dan perilaku jahat dengan penuh kehati-
hatian dan dengan cara sindiran. Dengan simpati bukan keras dan
kasar, karena jika demikian berarti ia melenyapkan rasa takut dan
mendorong ketidak patuhan kepada diri murid-muridnya. Nabi
Muhammad adalah pembimbing para guru. Beliau pernah bersabda,
“Jika manusia dilarang untuk membuat bubur kotoran unta, mereka
justru akan melakukannya seraya mengatakan bahwa mereka tidak
akan dilarang melakukannya jika tidak ada kebaikan di
dalamnya”(Ghozali, 2011: 125).
أن المتكفل ببعض العلوم ينبغي أن ال يقبح في نفس :الوظيفة الخامسة
المتعلم العلوم التي وراءه كمعلم اللغة إذ عادته تقبيح علم الفقه ومعلم
الفقه عادته تقبيح علم الحديث والتفسير وأن ذلك نقل محض وسماع
56
وهو شأن العجائز وال نظر للعقل فيه ومعلم الكالم ينفر عن الفقه
كالم في حيض النسوان فأين ذلك من الكالم ويقول ذلك فروع وهو
في صفة الرحمن فهذه أخالق مذمومة
LIMA. Adab kelima seorang guru adalah tidak boleh
merendahkan ilmu lain dihadapan para muridnya. Guru yang
mengajarkan bahasa biasanya memandang rendah ilmu fikih, dan guru
ilmu fikih merendahkan ilmu Hadits, dan demikian setersnmya.
Tindakan-tindakan seperti itu tercela)Ghozali, 2011: 126).
Seharusnya guru suatu ilu tertentu mempersiapkan murid-muridnya
untuk belajar ilmu lainnya dan, selanjutnya, ia seyogyanya mengikuti
aturan kemajuan bertahap atau berjenjang dari satu tahapan ke tahapan
berikutnya.
أن يقتصر بالمتعلم على قدر فهمه فال يلقى إليه ما :السادسةالوظيفة
ال يبلغه عقله فينفره أو يخبط عليه عقله اقتداء في ذلك
ENAM: Adab ke enam yang harus di penuhi seorang guru
adalah mengajar murid-muridnya hingga batas kemapuan pemahaman
mereka. Mereka tidak boleh diajar hal-hal atau sesuatu yang berada di
luar batas kapasitas pemahaman itu(Ghozali, 2011: 127).
57
Dalam hal ini, guru harus mencontoh Rasulullah yang
bersabda, “Kami para Nabi adalah satu kaum. Kami diperintah oleh
Allah untuk mendudukkan setiap orang pada tempatnya yang tetap
dan berbicara dengan manusia sesuai dengan tingkat pemikiran
mereka.” Beliau juga bersabda, “Apabila seseorang berbicara sepatah
kata kepada suatu kaum yang akalnya belum sampai, maka itu
menjadi bahaya (fitnah) bagi sebagian orang.” Ali Kw berkata sambil
menunjuk dadanya, “Di dalam ini terkumpul banyak ilmu, sekirannya
ada sejulah orang yang memahaminya .” dada orang-orang soleh
adalah penaman ilmu-ilmu tersembunyi.
Dari sini kita dapat memahami bahwa apa yang di ketahui oleh
seorang guru tidak mesti semuanya di sampaikan kepada murid-
muridnya sekaligus. ‘Isa As bersabda, “Janganlah kamu
mengalungkan mutiara ke leher babi.” Kebijaksanaan lebih berharga
dari permata. Dia yang tidak suka kepada ilmu hikmah lebih buruk dan
lebih jahat darpada babi. Suatu kali seorang alim ditanya mengenai
sesuatu tetapi ia tidak menjawab. Si penanya berkata, “Bukankan tuan
mendengar bahwa Nabi pernah bersabda, ‘Barang siapa yang
menyebunyikan ilmu yang bermanfaat, ia akan datang pada hari
kiamat dengan mulut berbelenggu api neraka? Orang alim itu berkata,
“tinggalkan belenggu itu dan pergilah. Jika engkau taku tidak
menyingkapkan ilmu kepada orang yang mampu memahaminya, maka
letakkan belenggu api itu padaku.” Allah Ta’ala berfirman, “Jangan
58
kamu berikan hartamu kepada orang-orang bodoh (Qs an-Nisa’ [4]:
5).
Ada peringatan dalam ayat ini bahwa lebih baik kita menjaga
ilmu dari orang-orang yang bisa menjadi hancur karena memilikinya.
Memberikan sesuatu kepada orang yang tidak berhak atau tidak
memberikan sesuatu kepada yang berhak sama-sama dzalim. Seorang
penyair berkata :
Apakah aku akan menghamburkan merjan kehadapan para
penggembala dungu. Mereka tak akan mengerti nilainya, juga tak
akan pernah tahu.
Jika Allah memberikan anugrahnya, dan saya menemukan
orang yang pantas untuk menerima ilmu dan kebijaksanaan, maka itu
berarti saya menyebarkan kebaikan dan memperoleh cinta. Jika saya
tidak memberikan ilmu kepada orang yang pantas menerimanya maka
itu berarti saya telah menyembunyikannya. Barang siapa memberikan
ilmu kepada seorang dungu, berarti ia menyia-nyiakannya, dan barang
siapa yang menahannya dari orang yang berhak, berarti ia telah
berbuat dzalim.
أن المتعلم القاصر ينبغي أن يلقى إليه الجلى الالئق :الوظيفة السابعة
و يدخره عنه فإن ذلك يفتر رغبته في به وال يذكر له وراء هذا تدقيقا وه
الجلى ويشوش عليه قلبه ويوهم إليه البخل به عنه إذ يظن كل أحد أنه
59
أهل لكل علم دقيق فما من أحد إال وهو راض عن اهلل سبحانه في
كمال عقله وأشدهم حماقة وأضعفهم عقال هو أفرحهم بكمال عقله
وبهذا يعلم أن من تقيد من العوام
TUJUH: Adab ketujuh seorang adalah mengajarkan kepada
para murid yang terbelakang hanya sesuatu yang jelas dan yang sesuai
dengan tingkat pemahamannya yang terbatas. Orang acapkali mengira
bahwa kebijaksanaannya sempurna , dan orang terbodoh adalah orang
yang merasa puas dengan pengetahuan dan menganggap bahwa
akalnya sempurna. Pendeknya, pintu perdebatan tidak boleh terbuka di
hadapan orang awam)Ghozali, 2011: 128).
الوظيفة الثامنة: أن يكون المعلم عامال بعلمه فال يكذب قوله فعله ألن العلم
بصار وأرباب األبصار أكثر فإذا خالف العمل يدرك بالبصائر والعمل يدرك باأل
العلم منع الرشد وكل من تناول شيئا وقال للناس ال تتناولوه فإنه سم مهلك
سخر الناس به
DELAPAN: Adab kedelapan adalah bahwa guru sendiri harus
mempraktikkan terlebih dahulu apa yang diajarkannya dan tidak boleh
berbohong dengan apa yang disampaikannya. Ilmu dapat di serap
60
dengan mata batin, dan amal disaksikan dengan mata batin. Banyak
orang yang memiliki mata lahir namun sedikit yang memiliki mata
batin. Maka jika perbuatan seorang guru bertentangan dengan apa yang
dianjurkan, berarti ia sedang tidak membantu memberi petunjuk dan
tuntunan melainkan racun(Ghozali, 2011: 128).
Guru dapat diibaratkan stempel di atas tanah liat dan murid
seperti tanah litanya apabila stempel tidak meiliki stampel karakter
yang mantap, maka tidak aka nada suatu tampak pun pada tanah liat.
Atau, guru dapat diibaratkan sebatang tongkat dan murid adalah
bayangan tongkat itu. Bagaimana mungkin bayangan sebatang tongkat
bisa lurus jika tongkat itu sendiri bengkok? Allah Swt berfirman,
Apakah kamu menyuruh orang lain berbuat baik dan melupakan
dirimu sendiri? (Qs al-Baqarah [2]: 44). Imam Ali Kw berkata, “Dua
golongan manusia mendatangkan bencana bagi kita, yaitu orang
berilmu yang tidak menjaga kehormatan dirinya dan orang bodoh yang
berlagak zuhud.
Orang berilmu menyesatkan manusia dengan kelalaiannya dan
orang bodoh dengan tampilan zuhudnya,” (Ghazali, 2014 : 111).
61
BAB IV
ANALISIS AKHLAK GURU TERHADAP MURID PERSPEKTIF
IMAM GHOZALI DAN RELEVANSI DALAM KONTEKS
PENDIDIKAN ZAMAN MODERN
A. Analisis akhlak guru terhadap murid perspektif Imam Ghozali
Sarana yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada
Allah adalah dengan ilmu. Ilmu merupakan medium untuk mengecap
kebahagiaan dunia dan akhirat. Tanpa ilmu seseorang tidak akan
mengecap kebahagiaan dan kedekatan dengan Allah (Kasyani,2014: 4)
Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa dalil mengenai
keutamaan ilmu. Antara lain ialah, firman Allah Swt.,
ه إاله هو والملئكة وأولو العلم قائما بالقسط أنهه ال إل شهد للاه
ه إاله هو العزيز الحكيم ال إل
Artinya:
“Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan
Dia yang berhak disembah, yang menegakkan keadilan, para
malaikat, dan orang-orang yang berilmu, juga menyatakan yang
demikian itu. Tidak ada Tuhan melainkan Dia yang berhak disembah,
Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,” (QS Ali Imran: 18)
Perhatikan bagaimana Allah Swt. memulai dengan diriNya
sendiri, dilanjutkan kemudian dengan para malaikat-Nya, yang
kemudian ditutup dengan ahli ilmu.
Semua itu bertujuan untuk menegaskan keutamaan, kemuliaan, dan
ketinggian derajat ilmu bagi pemiliknya (Ghozali, 2011: 4). Dengan
diimbanginya berilmu maka mudahlah bagi seorang pendidik untuk
62
menyadari bagaimana memperlakukan serta menghormati murid
dengan baik (Akhlak).
Imam al Ghozali dalam pemikirannya tentang akhlak guru
terhadap murid yang dituangkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dapat
ditarik analisis dalam pembahasannya, sebagai berikut:
1. Memperlihatkan kebaikan, simpati dan empati
Mudah untuk mengatakan kata-kata perintah pada anak, tapi
akankah anak melaksanakan apa yang diperintahkan apalagi yang
belum diketahuinya jika tidak diberikan contoh terlebih dahulu.
Bagaimana anak akan melakukan shalat sedangkan orang tuanya tidak
memberikan contoh bagaimana shalat itu. Bahkan banyak orang tua
yang memerintahkan shalat kepada anaknya sedangkan mereka sendiri
tidak melaksanakan shalat.
Bagaimana anak akan berakhlak mulia, sementara orang
tuannya selalu memperlihatkan perilaku yang menyimpang dari ajaran
agama. Bagaimana anak akan mengucapkan salam sedangkan orang
tuannya tidak pernah mengucap salam.
Orang tua adalah contoh bagi anak-anaknya, begitu pula guru
sebagai pendidik merupakan contoh bagi anak-anak. Ketika para
pendidik memberikan contoh yang baik, anak-anak pun akan melihat
dan berbuat seperti yang dicontohkan. Rasulullah Saw bersabda,
“Sesungguhnya aku bagi kalian ibarat serang ayah bagi anak-anaknya”
(Helmawati, 2016: 180).
63
2. Mengikuti teladan dan contoh Rasulullah Saw
Pendidik terutam ibu meiliki merupakan model atau sosok
panutan dan teladan bagi anak-anaknya. Sebab ibu memiliki waktu
berkumpul yang banyak dibandingkan ayah, ia menjadi sosok yang
penting dalam memberikan kontribusi sifat pada anak. Artinya sosok
ibu berpengaruh dalam pembentukan karakter anak.
Oleh karena itu, pendidik hendaknya memiliki sifat-sifat yang
mulia. Setiap anak atau peserta didik akan mencontoh sifat
pendidiknya. Mereka menganggap pendidik terutama orang tua dan
guru adalah manusia yang ideal, model yang akan dijadikan panutan
(Helmawati, 2016: 152).
Dan teladan yang perlu di contoh seorang pendidik itu sendiri
sebelum ia dijadikan contoh oleh anak didiknya ialah Rasulullah,
karena semua ada pada cerminan diri Rasulullah.
3. Tidak boleh menyembunyikan nasihat atau ajaran
Sifat jujur akan membuat manusia hidup dengan tenang dan
dipercaya orang. Sebaliknya, orang yang suka berbohong akan
membuat dirinya berada dalam kegelisahan dan tidak dipercaya.
Sungguh tidak tepat ketika ada orang yang mengatakan bahwa rugi
menjadi orang jujur, karena orang jujur tidak akan mendapat apa-apa.
Peikiran seperti ini tentu saja tidak benar (Helmawati, 2016: 157).
Maka dari itu sudah sepantasnya bagi seorang pendidik
menyampaikan transparansi dalam proses transfer of knowledge nya,
64
karena dengan tidak memotong atau mengurangi informasi maka
sudah barang tentu seorang pendidik dikatakan jujur.
4. Mencegah murid-muridnya dari memiliki watak dan perilaku jahat
Berkata ‘Ali bin Abi Thalib tentang amar makruf nahi munkar
(mengajak pada kebaikan dan mencegah dari perbuatan keji),
dalamperkataannya: Ajarkanlah kebaikan dalam dirimu dan
keluargamu. (Diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustdrak jil.IV, h.
494). Hadits ini sahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim.
Maka suatu keharusan bagi pendidik, orang tua khususnya
untuk berjuang keras dan tekun dalam memperbaiki kesalahan anak
setiap saat serta membiasakan mereka untuk selalu melakukan
kebaikan. Inilah jalan para nabi dan rasul terdahulu, sebagaimana Nabi
Nuh as menyerukan anaknya agar beriman kepada Allah. Dan Ibrahim
a.s. berwasiat kepada anak-anaknya agar menyembah Allah
(Helmawati, 2016: 162).
5. Tidak boleh merendahkan ilmu lain
Setiap orang memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain
dan itu adalah sunatullah. Pendidik sebagai surrri tauladan hendaknya
mencontohkan sifat saling menghormati, dan tidak merendahkan ilmu
lain yang sedang tidak ia ampu. Walaupun ada perbedaan yang
muncul, melalui sifat saling menghormati tentu akan bisa
meminimalisir pertikaian atau perkelahian atau bahkan perpecahan.
65
6. Mengajar murid-muridnya hingga batas kemapuan
Setiap pendidik hendaknya memiliki sifat cerdas. Sifat cerdas
ini berfungsi sebagai pembantu dalam mengatasi suatu masalah,
semisal ada murid yang ia tau bahwa jelas tidak mampu meneria
pelajaran yang berlebih, maka tugas seorang pendidik ialah
menentukan batas-batas antara murid sehingga tidak ada murid yang
merasa keberatan dengan pelajaran didalam kelas tersebut. Dan tidak
pula meninggalkan sikap yang baik kepada murid,
karena jika seorang pendidik mensikapi dengan baik, maka akan
menghasilkan pendidikan yang baik pula.
7. Mengajarkan hanya sesuatu yang jelas
Seorang pendidik tidak boleh hanya menggunakan bahasa yang
hanya dapat dipahami dirinya sendiri, tidak juga pendidik mengajar di
luar kemampuannya (Helmawati, 2016: 161).
Hendaknya seorang pendidik mengerti bahan ajar yang akan
diajarkanya, dan sudah barang tentu pelajaran tersebut bukan pelajaran
yang bersifat astral (tidak terlihat) melainkan sesuatu yang jelas.
8. Guru sendiri harus mempraktikkan terlebih dahulu
Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang paling
berpengaruh bagi anak. Anak pertama kali melihat, mendengar, dan
bersosialisasi dengan orang tauannya, ini berarti ucapan dan perbuatan
orang tua akan di contoh anak-anaknya (Helmawati, 2016: 179).
66
Maka dari itu, secara tidak langsung seharusnya pendidik
mempraktikan apa-apa yang baik yang nantinya akan ditirukan oleh
muridnya, dan apapun itu yang di omongkan atau di perintahkan oleh
seorang guru hendaknya selalu dilakukan terlebih dahulu, agar tidak
menjadikan guru tersebut hanya sebagai tong kosong nyaring
bunyinya.
B. Relevansi akhlak guru terhadap murid perspektif Imam Ghozali
dalam konteks pendidikan zaman modern
Budi pekerti berasal dari bahasa Indonesia. Akhlak berasal dari
bahasa arab. Sedangkan moral berasal dari bahasa latin, dan etika
berasal dari bahasa yunani. Akhlak adalah istilah yang tepat dalam
bahsa arab untuk arti moral dan etika. Seperti halnya akhlak, secara
etimologis etika juga memiliki makna yang sama dengan moral.
Dalam dunia pendidikan, keberadaan dan fungsi guru
merupakan salah satu faktor yang sangatsignifikan. Guru merupakan
bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, di jalur pendidikan
formal, informal, atau nonformal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya
peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, guru tidak dapat
dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi mereka.
Salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru adalah
merencanakan, mengelola, dan melakukan evaluasi pembelajaran.
Untuk menguasai kompetensi tersebut, seorang guru senantiasa
berlatih untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya yang dilakukan
67
secara terus-menerus melalui pendidikan lanjutan, pelatihan berkala,
atau pengembangan ketrampilan (Jumanta, 2016: 1).
Maka dari itu penulis mencoba menganalisis tentang konsep
yang di kemukakan imam Ghozali dengan undang-undang yang
berlaku pada masa kini serta sekaligus menjadi jembatan jika terapat
ketidak samaan dalam hal pemahaman ataupun terjadi ketidak
singkronan antara konsep imam ghozali dan Undang-Undang yang
dimana pada proses penerapan tidak sesuai dengan konsep ataupun UU
berikut analisis yang berhasil dihipun oleh penulis:
1. Guru harus memiliki rasa kasih sayang
Menurut Imam Ghozali dalam hal ini guru menjadi peran yang
sangat penting bagi seorang murid, karena dia akan menjadi juru
selamat murid dari neraka di akhirat nanti. Dan tugas dari orang
tuanyalah sebagai juru selamat di neraka dunia, oleh karena itu guru
mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap murid.
Guru adalah orang yang memberikan kemanfaatan bagi murid
dalam menggapai kehidupanyang abadi, yakni kehidupan akhirat. Hal
ini senada dengan adannya Undang-Undang yang mengatur guru dan
dosen pada UU No.14 Tahun 2005 pasal 10 pada kompetensi
kepribadian, yang di jelaskan dalam Undang-Undang tersebut salah
satunya adalah kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup
(a) berakhlak mulia
68
Dan jika di tarik pada konsep Imam Ghozali akan menemukan
keselarasan, yaitu dimana jika guru tidak berakhlak mulia maka dia
(guru) tidak akan mampu menjadi penanggung jawab atas muridnya
kelak di akhirat, ini sesuai dengan perkataan sang imam “jika guru
diibaratkan sebatang tongkat, dan murid adalah bayangan.
Bagaimana bayangan diharapkan lurus jika tonkat tersebut bengkok”.
Maka dapat di tarik kesimpulan antara konsep sang imam dan
Undang-Undang terjadi kesamaan dalam hal tujuan, dan masih relevan
jika diterapkan dalam pendidikan zaman modern.
2. Guru harus mengikuti teladan Rasul
Menurut Imam Ghozali seharusnya guru tidak meminta upah
atas tugasnya. Tetapi mengajar hanya karena Allah SWT. tidaklah ia
melihat apa yang telah dikerjakan kepada murid akan tetapi kewajiban
bagi murid untuk selalu mengingat budi baik guru kepadanya. Karena
guru adalah penyebab petunjuk kebenaran pada murid. Dengan kata
lain guru tidak meminta imbalan atas tugas sebagaimana Allah dan
Rasulnya yang mengajar manusia tanpa imbalan (Jurnal As-salam vol
III, 2013: 33).
Pemikiran Imam Ghozali ini masih relevan dengan pendidikan
saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam UU No.14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 10 menyebutkan bahwa
kompetensi guru sebagai pendidik meliputi salah satunya adalah
kompetensi kepribadian, yang dijelaskan pada point terakhir yaitu guru
69
seharusnya memiliki akhlak mulia dan memiliki perilaku yang dapat
diteladani oleh peserta didik, bertindak sesuai norma religius, jujur,
ikhlas dan suka menolong. Sikap jujur dapat diartikan sebagai
kelurusan hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus dan ikhlas.
Tulus ikhlas berarti menjalankan pekerjaannya dengan penuh kerelaan
dan pengorbanan tanpa pamrih. Suka menolong merupakan kesediaan
guru dalam membantu peserta didik memecahkan masalah yang
dialami, meringankan beban, penderitaan, kesukaran dan lain
sejenisnya, membantu supaya dapat belajar dengan baik. Sikap ini
perlu dimiliki setiap guru dalam melaksanakan tugasnya. Sebab
siapapun pasti menyukai sikap guru yang tulus jujur dan suka
menolong. Lurus hati berarti tidak bengkok, tidak becabang atau
mendua hati, melainkan dengan sepenuh hati melakukan pekerjaannya
seolah-olah untuk Tuhan. Tidak berbohong artinya apa yang
dikatakannya sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya, ya kalau ya,
tidak kalau tidak, mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu
salah. Tidak curang berarti sungguh-sungguh jujur, taat, dan setia
melakukan perkerjaannya. Tulus ikhlas merupakan kesediaan, kerelaan
dengan penuh pengorbanan tanpa pamrih menjalankan tugasnya dalam
membimbing, mendidik, dan melatih peserta didik menjadi manusia
seutuhnya. Dengan kata lain, antara konsep dan Undang-Undang yang
mengatur pendidikan ini masih sangat relevan jika di terapkan oleh
para guru.
70
3. Guru tidak boleh menyembunyikan nasihat
Menurut Imam Ghozali, seorang guru harus mengatakan
kepada muridnya bahwa tujuan pendidikan adalah mendekatkan diri
kepada Allah SWT., bukan kepada kekuasaan atau kekayaan. Selain
itu, seorang guru juga harus menyampaikan bahwa Allah menciptakan
ambisi di dalam diri manusia sebagai sarana melestarikan ilmu yang
merupakan hakikat bagi ilmu-ilmu yang tengah dipelajari. Sebagai
contoh, dengan melarang murid mencari kedudukan sebelum mereka
layak untuk mendapatkannya dan dengan melarang mereka menekuni
ilmu yang tersembunyi (batin), sebelum menyempurnakan ilmu yang
nyata (zahir) (Ghozali,2011: 125).
Pemikiran Imam Ghozali ini masih relevan dengan pendidikan
saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam UU No.14 Tahun 2005 pasal
7 ayat 1 yang menyatakan bahwa profesi guru dan profesi dosen
merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan dengan
beberapa konsep, diantaranya adalah seorang guru dan dosen harus
memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
ketakwaan dan akhlak mulia.
Jika hal ini di sandingkan dengan konsep sang imam, maka
akan menjadi kesatuan yang padu, jika pada Undang-Undang hanya
menjelasakan secara garis besarnya saja/ universal, maka konsep dari
imam Ghozali lah yang akan membahas secara terperinci,
71
dan pada kenyataanya di masyarakat tidak ditemukan oleh penulis hal-
hal yang menjadi masalah pada konsep imam Ghozali ini di poin ke
tiga.
4. Guru mencegah murid dari watak dan perilaku jahat
Menurut Imam Ghozali sudah sewajarnya seorang guru
menasehati muridnya tidak secara terang-terangan, akan tetapi dengan
cara yang halus, yakni dengan kasih sayang dan tidak dengan cara
mengejek (sindiran). Sebab dengan cara ini akan lebih efektif yang
menjadikan murid tidak minder dan takut kepada guru. Dalam hal ini
sifat kasih sayang mempunyai kekuatan yang besar dalam menguasai
dan menundukkan psikologi murid. Begitu juga dengan cara sindiran
akan memberikan rangsangan bagi murid mencari apa tujuan dan
maksud dari sindiran itu, sehingga murid akan lebih kreatif dan suka
berfikir. Untuk itu guru harus senantiasa menjauhi akhlak yang buruk
dengan cara menghindarinya sedapat mungkin (Jurnal As-salam vol
III, 2013: 34).
Pemikiran Imam Ghozali ini masih relevan dengan pendidikan
saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam UU No.14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 10 menyebutkan bahwa
kompetensi guru sebagai pendidik meliputi salah satunya adalah
kompetensi kepribadian, yang menekankan guru harus memiliki
kemampuan sekurang-kurangnya (a) beraklak mulia (b) arif dan
bijaksana, Yang mendukung kepribadian guru agar dapat membina
72
peserta didik menjadi lebi baik lagi dikemudian hari, karena guru dapat
menempatkan anak didiknya secara arif dan bijaksana.
5. Guru tidak merendahkan ilmu lain
Menurut Imam Ghozali sebaiknya seorang guru tidak
mewajibkan pada murid agar mengikuti guru tertentu dan
kecenderungannya. Dalam hal ini Al-Ghozali melihat dari sebagian
guru fikih yang menjelekkan ilmu bahasa dan begitu juga sebaliknya,
seorang guru yang bertnggung jawab pada satu pelajaran hendaklah
memberikan keleluasaan pada murid untuk mempelajari pelajaran
yang lain. Tetapi bagi guru yang bertanggung jawab akan berbagai
ilmu pengetahuan, maka banginya adalah menjaga dan mengetahui
murid setingkat demi setingkat (Jurnal As-salam vol III, 2013: 34).
Setiap perkataan, tindakan, dan tingkah laku positif akan
meningkatkan citra diri dan kepribadian sesorang, selama hal itu
dilakukan dengan penuh kesadaran. Memang, kepribadian menurut
Dzakiya drajat (1980) disebut sesuatu yang abstrak, sukar dilihat
secara nyata, hanya dapat diketahui lewat penampilan, tindakan, dan
ucapan ketika menghadapi suatu persoalan (Saiful,2013: 33).
Pemikiran Imam Ghozali ini masih relevan dengan pendidikan
saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang No 14
Tahun 2005 tentang guru dan dosen (UUGD) pasal 10
yang di sebutkan dalam kompetensi kepribadian tertuang pada poin (e)
stabil. Yang mana sudah seharusnya guru mencerinkan kepribadian
73
yang mantap dan stabil serta memiliki konsistensi dalam bertindak
sesuai norma hukum, norma sosial, dan etika yang berlaku.
Secara garis besar antara konsep dan Undang-Undang yang berlaku
tidaklah jauh berbeda.
6. Guru hendaknya mengetahui batas kemampuan murid
Peran guru sebagai pendidik disini bukan hanya sebagai teman,
melainkan sebagai partner bahkan orang tua bagi murid tersebut,
dalam sebuah proses pembelajaran, interaksi edukatif memegang
peranan yang menentukan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan
dalam hasil proses tersebut. Cara yang dipergunakan dengan metode
penyampaian dari pendidik dan peserta didik bukan hanya terjadi satu
arah saja (Agustinus,2014: 16).
Dengan demikian dapat di dasarkan pada UU No. 14 Tahun 2005
yang mengatur tentang guru dan dosen pada pasal 10 point (b) guru
mengetahui atau memahami potensi dan keragaman peserta didik,
sehingga dapat didesain strategi pelayanan belajar sesuai keunikan
masing-masing peserta didik.
Jika di konfersikan dengan pemahaman dari konsep imam
Ghozali maka hasilnya kurang lebih akan sama karena di dalam
konsep ini pada dasar tujuannya adalah sama,
yaitu : guru hendaknya memperlakukan murid sesuai dengan
kesanggupannya yaitu memberi pengetahuan sesuai pemahaman otak
murid atau kadar pemahamannya. Para murid boleh dikembangkan
74
suatu ilmu apapun secara mendalam asalkan tingkat pemahamannya
sudah sampai padanya. Lebih lanjut, kembangkanlah semua
pengetahuan kepada murid secara mendalam. Apabila telah diketahui
bahwa mereka telah dapat memahaminya sendiri. Berikanlah mereka
menurut ukuran akalnya dan timbanglah mereka berdasarkan
pemahamannya sehingga akan mendatangkan keselamatan dan juga
kemanfaatan. Jika sebaliknya, maka pertentangan atau salah pengertian
(miss understanding).
Maka dapat disimpulkan penulis, bahwa konsep dari Imam
Ghozali di atas masih relevan dengan Undang-Undang guru dan dosen
No.14 Tahun 2005 pasal 10.
7. Guru hendaknya mengajar sesuatu yang jelas
Menurut Imam Ghozali guru mengajarkan kepada para murid
yang berkemampuan terbatas hanya sesuatu yang jelas, lugas, dan
yang sesuai dengan tingkat pemahamannya yang terbatas. Orang yang
awam acapkali menilai, bahwa kebijaksanaan yang ditempuh seorang
guru dalam cara-cara mengajar yang digunakan dianggap menyalahi
aturan umum yang berlaku.
Mereka baru merasa puas jika pengetahuan yang disampaikan seorang
guru, mereka anggap update, sesuai dengan perkembangan kemajuan
zaman (Ghozali,2011: 128).
Pemikiran Imam Ghozali ini masih relevan dengan pendidikan
saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam UU No. 14 Tahun 2005 yang
75
mengatur tentang guru dan dosen pada pasal 10 point (b) guru
mengetahui atau memahami potensi dan keragaman peserta didik,
sehingga dapat didesain strategi pelayanan belajar sesuai keunikan
masing-masing peserta didik.
Dengan kata lain dapat ditarik kesimpulan, guru berkewajiban
mengetahui seberapa mampukah murid menerima pelajaran, dan tidak
mungkin seorang guru memaksakan hal yang belum tentu difahami
oleh murid. Dan tugas guru harus mampu menerangkan pelajaran
sesuai kadar batas murid dengan jelas.
8. Guru harus mempraktikkan lebih dahulu
Menurut Imam Ghozali seorang guru haruslah melakukan
terlebih dahulu apa yang diajarkannya, dan tidak boleh berbohong
dengan apa yang disampaikannya. Ilmu dapat diserap dengan mata
batin, dan amal dapat disaksikan melalui pandangan mata lahir.
Dengan demikian guru tidak boleh mempraktikan sesuatu yang tidak
sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku,
dengan kata lain jika guru melakukan perbuatan dosa, dan itu dilihat
kemudian diteruskan oleh muridnya, maka berlipat gandalah dosa
seorang guru tersebut.
Pemikiran Imam Ghozali ini masih relevan dengan pendidikan
saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang No 14
Tahun 2005 tentang guru dan dosen (UUGD) pasal 10 yang di
76
sebutkan dalam kompetensi kepribadian tertuang pada poin (h) mampu
menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
Dalam hal ini menurut analisis penulis, dapat ditarik
kesimpulan bahwa, jika orang berilmu melakukan tindakan jahat dan
dilanjutkan oleh orang bodoh (awam), akan lebih berdosa daripada
orang bodoh yang melakuaknnya, karena mereka akan menyesatkan
banyak orang yang telah mengikutinya.
Dari berbagai penjelasan yang sudah penulis paparkan diatas.
Konsep akhlak guru perspektif Imam Ghozali secara garis besar masih
bisa diterapkan dalam pendidikan zaman modern. Dan masih ideal
antara kosep yang dikemukakan Imam Ghozali denganUndang-Udang
yang berlaku saat ini, dan jika diterapkan dalam proses pendidikan
maka tidak hanya tujuan pendidikan yang dicapai, tetapi jauh yang
lebih substansial yakni terbentuknya relasi (hubungan) guru dan murid
yang baik, guru dinilai bukan sebagai penjual ilmu tetapi dinilai dari
keikhlasan hati dan tujuannya (transfer of knowledge dan
penyempurnaan akhlak). Dengan demikian akan membuahkan hasil
bagi kebaikan di dunia dan juga di akhirat.
Akan tetapi pada kenyatanya dan fakta dilapangan yang terjadi
saat ini masih banyak kasus-kasus penyimpangan yang dilakukan oleh
oknum guru, yang sangat bertolak belakang dengan konsep Imam
Ghozali ataupun dari Undang-Undang yang berlaku, banyak dari
mereka yang menurut analisis penulis tidak secara betul memahami
77
makna dari belajar mengajar yang menjadikan kasus-kasus terjadi
dimana-mana, seperti kasus kekerasan yang terjadi di Purwokerto yang
melibatkan seorang guru bertindak kekerasan terhadap muridnya.
PURWOKERTO - Seorang guru sebuah sekolah menengah
kejuruan (SMK) di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
melakukan tindak kekerasan dengan cara menampar siswanya di depan
siswa lainnya. Ironisnya, kejadian ini justru direkam salah satu
siswanya atas perintah guru tersebut.
Video tindakan kekerasan yang dilakukan LK terhadap L itu
berdurasi 29 detik. Video itu beredar luas. Di video itu terlihat
LK menampar L di depan siswa lainnya. Sebelum menampar L,
LK terlihat terlebih dahulu mengelus-elus pipi L. Dalam hitungan
detik, LK tiba-tiba menampar L.
Rekaman peristiwa tindak kekerasan ini pun dalam sekejap
langsung menjadi viral. Peristiwa kekerasan yang terjadi Kamis
(19/4/2018) pagi ini dalam hitungan jam sudah menyebar ke berbagai
grup di media sosial.
Pihak sekolah pun langsung berinisiatif memanggil guru pelaku
tindak kekerasan dan siswa korban kekerasan. Sementara, saat
sejumlah wartawan meminta konfirmasi terkait kejadian tersebut,
pihak sekolah melalui wakil kepala SMK membenarkan telah terjadi
tindak kekerasan seperti yang beredar dalam rekaman video tersebut.
"Tapi yang jelas sudah diselesaikan, tadi pagi langsung kita
panggil tidak perlu menunggu berjam-jam. Kita panggil juga anak
yang nge-share (video). Gurunya sebenarnya sangat santun, dia juga
pembina PMR, jadi tidak ada perilaku buruk sebenarnya pada guru itu.
Mungkin karena dia masih muda dan mungkin dalam menegur anak
dia belum banya pengalaman," ujar IR, wakil kepala sekolah SMK itu.
Pihak sekolah sendiri mengaku jika saat ini sudah melakukan
tindakan tegas terhadap guru tersebut. Meski demikian, pihak sekolah
menyatakan bahwa tindakan guru ini karena terdorong emosi melihat
perilaku siswa yang sudah melakukan kesalahan berulang-ulang kali
seperti tidak mengerjakan tugas dari gurunya, makan di kantin saat jam
sekolah, dan pelanggaran lainnya.
Siswa tersebut sudah sering diberi peringatan oleh sang guru
karena melakukan kesalahan. Kesalahan siswa tersebut menumpuk
hingga hampir satu tahun.
Sementara menurut siswa yang melakukan perekaman terhadap
tindakan ini mengatakan, perekaman yang ia lakukan atas perintah
gurunya. Semula rekaman ini hanya untuk dikonsumsi di grup
kejuruan kelas, namun akhirnya video ini beredar di media sosial
secara luas.
78
Kasus kekerasaan ini dilaporkan ke pihak Polres Banyumas.
Sementara, LK dan siswanya yang menjadi korban kekerasan masih
dimintai keterangan oleh polisi (Sindo,2018: 02:00).
Hal ini juga mendapat sorotan dari beberapa psikolog dan ahli
pendidikan di Indonesia salah satunya adalah Najelaa Sihab “Saya
melihat kekerasan ini dari kejadian demi kejadian, hari ini di sini, nanti
minggu depan di sana, cuma giliran saja nih, kejadiannya di satu
sekolah ke sekolah lain. Kekerasan di dalam sekolah itu makin tinggi,”
kata wanita yang akrab disapa Ella itu. Menurut Ella, kekerasan di
Indonesia tidak hanya terjadi di sekolah tapi juga di rumah. Tingginya
angka kekerasan dilatarbelakangi faktor budaya. “Masalah utama di
dunia pendidikan kita itu budaya kekerasan.
Pola disiplin yang dipakai guru di sekolah, bahkan orangtua di rumah,
masih sering menggunakan kekerasan.
Bahkan anak tumbuh dengan terbiasa digunakan cara
kekerasan, meski bukan kekerasan fisik, tapi kekerasan verbal seperti
ancaman, itu masih umum sekali,” terang Ella.
Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Dr.
Susanto, MA, menilai apa pun bentuk kekerasan meski tujuannya baik,
tidak dapat dibenarkan. “Meski tujuannya baik, tetap dianggap sebagai
pelanggaran (Mutia, 2018: 12).
Adapun menurut Imam Ghozali tentang pemberian hukuman,
Al-Ghozali juga tidak sependapat dengan pemberian hukuman pada
anak didik. Beliau menjelaskan bahwa pemberian hukuman harus
79
melalui proses atau beberapa kriteria yaitu : jika ada seorang anak
didik yang berperilaku menyimpang, maka seorang guru maupun
orang tua memberikan hukuman melalui tiga tahapan, yaitu tahap
pertama : apabila anak didik melakukan kesalahan, maka sebagai
gurunya harus memberikan kesempatan pada anak didik untuk
memperbaiki diri. Dalam hal ini, anak didik diharapkan mampu
menyadari kesalahan yang diperbuatnya sehingga menjadikannya
untuk tidak mengulanginya lagi. Jika pada tahap pertama, anak didik
belum bisa memperbaikinya, maka dilakukan tahap kedua yaitu
dengan memberi teguran, kritikan atau celaan. Dan ketika menegur,
mengeritik ataupun mencela anak didik tidak diperkenankan dilakukan
di depan umum. Hal tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa
malu. Teguran yang diberikan pada anak didik harus singkat dan
bijaksana, apabila tahap kedua telah dilakukan, tetapi anak didik belum
bisa memperbaikinya, maka dilakukan tahap ketiga yaitu pemberian
hukuman. Hukuman yang dimaksudkan adalah hukuman fisik.
Hukuman ini tidak boleh menimbulkan penderitaan bagi anak didik.
Dan jika memungkinkan maka hukuman yang diberikan harus ringan.
Al-Ghozali mengibaratkan guru atau pendidik sebagai seorang dokter
yang harus mengetahui jenis penyakit yang diderita oleh pasiennya.
Dan segera memberikan obat yang sesuai dengan penyakit oleh
pasiennya.
80
Begitu pula guru harus mampu memberi solusi yang terbaik
apabila terjadi perilaku yang menyimpang. Guru harus mampu
menyesuaikan kesalahan anak didik dengan hukuman yang akan
diterimanya. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al-Ghozali menjelaskan
bahwa salah satu kewajiban seorang guru adalah berusaha mencegah
anak didiknya dari perbuatan yang tidak baik dengan penuh kehati-
hatian dan dengan cara sindiran. Tetapi tidak dengan cara kekerasan,
karena dapat mengakibatkan anak didik menjadi lebih berani dan tidak
patuh lagi kepada gurunya.
Sementara itu pada kasus diatas menjadikan perhatian pada
dunia pendidikan zaman modern ini menurut penulis sangatlah tidak
pantas, karena jika saja seorang guru lebih bisa memahami makna
yang disampaikan oleh Imam Ghozali ataupun Undang-Undang yang
berlaku maka tidak akan terjadi hal yang sedimikan rupa, karenanya
menurut penulis berkenaan dengan konsep dan analisis yang telah
berhasil penulis paparkan diatas maka sudah seharusnya pada dunia
pendidikan zaman modern ini pemerintah lebih memperhatikan proses
calon-calon guru yang nantinya sebelum mereka benar-benar terjun
pada dunia yang sebenarnya agar dipastikan lebih siap mengemban
tugas sesuai Konsep dari Imam Ghozali maupun Undang-Undang yang
berlaku pada saat ini.
Kemudian jika pemerintah sudah memperhatikan proses calon
guru agar benar-benar siap menjadi guru yang sesuai undang-undang,
81
maka akan menjadikan tujuan pendidikan pada saat ini sesuai dengan
ungkapan Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 3, bahwa pendidikan Nasional Indonesia
bertujuan untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Agustinus,2014: 17).
Hal ini berarti bahwa secara umum tujuan pendidikan di
Indonesia akan tercermin dalam tujuan sekolah, perguruan tinggi,
maupun tujuan nasional yang mana di dalam tujuan tersebut sudah
mencakup ketiga ranah perkembangan manusia, yaitu: afektif, kognitif,
dan psikomotorik.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari data-data beserta analisa sebagaimana yang
telah diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep akhlak guru terhadap murid menururt Imam Ghozali dalam
kitab Ihya’ ulumuddin
Al-Ghozali berpendapat bahwa orang yang menetapkan diri
dan bertekad untuk mengambil pekerjaan sebagai pengajar, ia harus
menjalankan tugas dan kewajiban berikut:
a. Guru harus memiliki rasa kasih sayang
b. Guru harus mengikuti teladan Rasul
c. Guru tidak boleh menyembunyikan nasihat
d. Guru mencegah murid dari watak dan perilaku jahat
e. Guru tidak merendahkan ilmu lain
f. Guru hendaknya mengetahui batas kemampuan murid
g. Guru hendaknya mengajar sesuatu yang jelas
h. Guru harus mempraktikkan lebih dahulu
2. Relevansi akhlak guru terhadap murid menururt Imam Ghozali dalam
kitab Ihya’ ulumuddin dikaitkan dengan pendidikan zaman modern
Konsep akhlak guru perspektif Imam Ghozali secara garis
besar masih bisa diterapkan dalam pendidikan zaman modern. Dan
masih ideal antara kosep yang dikemukakan Imam Ghozali dengan
Undang-Undang yang berlaku saat ini, dan jika diterapkan dalam
83
proses pendidikan maka tidak hanya tujuan pendidikan yang dicapai,
tetapi jauh yang lebih substansial yakni terbentuknya relasi (hubungan)
guru dan murid yang baik, guru dinilai bukan sebagai penjual ilmu
tetapi dinilai dari keikhlasan hati dan tujuannya (transfer of knowledge
dan penyempurnaan akhlak). Dengan demikian akan membuahkan
hasil bagi kebaikan di dunia dan juga di akhirat.
Akan tetapi pada kenyatanya dan fakta di lapangan yang terjadi
saat ini masih banyak kasus-kasus penyimpangan yang dilakukan oleh
oknum guru, yang sangat bertolak belakang dengan konsep Imam
Ghozali ataupun dari Undang-Undang yang berlaku, banyak dari
mereka yang menurut analisis penulis tidak secara betul memahami
makna dari belajar mengajar yang menjadikan kasus-kasus terjadi
dimana-mana, salah satunya seperti kasus kekerasan yang terjadi di
Purwokerto yang melibatkan seorang guru bertindak kekerasan
terhadap muridnya. Yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah
khususnya dalam dunia pendidikan zaman modern.
B. Saran-saran
Setelah penulis menyimpulkan dari data yang telah diperoleh,
selanjutnya penulis akan memberikan beberapa saran yang menurut
penulis sangat perlu untuk peningkatan kualitas mutu pendidikan dan
proses pendidikannya. Adapun saran-saran tersebut antara lain:
84
1. Akhlak guru sebagaimana yang telah dijelaskan Imam
Al-Ghozali sangat perlu diterapkan dalam proses
pembelajaran dalam dunia pendidikan saat ini,
mengingat semakin berkembangnya zaman, mental dan
moralitas manusia semakin menurun khususnya para
tenaga pengajar sebagai pebaharuan bangsa bahkan
nilai-nilai keagamaan semakin luntur diterpa arus
globalisasi.
2. Pemerintah sudah seharusnya memperhatikan proses
calon guru agar benar-benar siap menjadi guru yang
sesuai undang-undang, maka akan menjadikan tujuan
pendidikan pada saat ini sesuai dengan ungkapan
Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 3, bahwa pendidikan
Nasional Indonesia bertujuan untuk berkembangnya
potensi agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dan
tidak akan ada kasus-kasus kekerasan yang terulang
kembali.
85
3. Penelitian ini disarankan untuk kepentingan teoretis
maupun praksis bagi pengembangan pendidikan Islam
umunya dan belajar mengajar pada prakteknya,
pengkajian secara kritis terhadap konsep-konsep yang
berasal dari ulama-ulama tradisional penting untuk terus
dilakukan.
86
DAFTAR PUSTAKA
Amirulloh. 2014. Mencetak Anak Hebat. Jakarta : PT Elex Media Komputerindo
Arifin. 1995. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: bumi
Akasara, Cet. Ke- 3.
Asmani, Jamal Ma’mur. 2015. Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inofatif.
Jogjakarta : DIVA Press
Depdiknas. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ghazali, al. 2003. Mukasyafah al-Qulub, Bening Hati dengan Ilmu Tasawuf Imam
Ghazali. Bandung : Penerbit Marja
________. 2011. Ihya’ Ulumuddin 1:Ilmu dan Keyakinan / al-Imam al-Ghazali,
Jakarta: Republika Penerbit.
________. 2014. Ihya’ Ulumuddin (buku pertama): Biografi Al-Ghazali, Ilmu,
Iman, Imam al-Ghazali terj. Bandung : Penerbit Marja
Ghazali, Bahri M. 1991. Konsep Ilmu Menurut al-Ghazali. Jogjakarta : CV.
Pedoman Ilmu Jaya
Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Hamdayama, Jumanta. 2016. Metodologi Pengajaran. Jakarta : Bumi Aksara
Helmawati. 2016. Pendidik Sebagai Model. Bandung : PT REMAJA
ROSDAKARYA
Hermino, Agustinus. 2014. Kepemimpinan Pendidikan Di Era Globalisasi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Jabir, Abu Bakar. 2014. Minhajul Muslim : Panduan Hidup Menjadi Muslim
Kaffah. Solo : Pustaka Arafah
Jam’iyah, Nur Aeni. 2009. Faktor-faktor Pendidikan menurut Al Ghazali dalam
Kitab Ihya’Ulumuddin. Skripsi Jurusan Tarbiyah UMS
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online Versi 2.1
Maemun, Achmad. 2012. Pengembangan Nilai-Nilai Karakter Dalam Pendidikan
Agama Islam. Salatiga : STAIN Press
87
Nasih Abdullah, Ulwan. 2013. Tarbiyatul Aulad. Jakarta : Khatulistiwa Press
Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Wacana Ilmu
___________. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Nurdin, Syafrudin. 2002. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta
Selatan ; Ciputat Pers
Rushman. 2014. Model-Model Pembelajaran : Mengembangkan Profesionalisme
Guru, Jakarta : Rajawali Pers
Sanusi, Ahmad. 1991. Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional
Tenaga Kependidikan. Bandung: IKIP Bandung.
Sagala, Saiful. 2013. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan.
Bandung : Penerbit Alfabeta
Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: HIKAYAT Publishing
Tobroni, Suprayogo. 2001. Metodologi Penelitian Sosio- Agama. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Widiasworo. 2014. Rahasia Menjadi Guru Idola : Panduan Memaksimalkan
Proses Belajar Mengajar Secara Kreatif Dan Interaktif. Yogyakarta : Ar-
Ruzz Media
Yahya Luthfi. 2016. Mukhtamar JATMAN (Jama’ah Ahlut Thariqoh An-
Naqsyabandiyah). Pekalongan.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan
dosen (UUGD)
Proceeding International Seminar on Imam Al-Ghazali’s Sufism. Theme: The
Role And Contribution Of Imam Al-Ghazali On Peace And Harmonious
World. Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
https://daerah.sindonews.com/read/1299510/22/guru-penampar-siswa-smk-di-
purwokerto-resmi-jadi-tersangka-1524220536 (diakses pada tanggal
23/05/2018 pukul 02:00 AM )
88
https://www.liputan6.com/regional/read/3538283/gara-gara-kaki-kursi-jatuh-guru-
smp-di-konawe-pukul-siswa-hingga-pingsan (diakses pada tanggal
04/07/2018 pukul 19:05 AM)
Jawa Pos. 2017. Permintaan Mendikbut Terkait Oknum Guru Bertindak
Kekerasan. https://www.jawapos.com (diakses bulan November 2017
pukul 16:05 WIB)
Jurnal pendidikan anak, www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/awlady . Vol. 3
No. 1, Februari 2017
Jurnal As-Salam | Vol III, No.1, Th 2013 (diakses pada tanggal 21/05/2018 pukul
11:08 PM)
Jurnal Studi Al-Qur’an | Vol. 11, No.2, Tahun. 2015 Membangun Tradisi Berfikir
Qur’ani doi:doi.org/10.21009/JSQ.011.2.03 Etika Interaksi Guru dan
Murid Menurut Perspektif Imam Al Ghazali (diakses pada tanggal
20/05/2018 pukul 10:05 PM)
http://ejournal.ukm.my/akademika/article/view/8248/4820| | Akhlak Guru dalam
Pengajaran dan Pembelajaran Pendidikan Islam, Teacher’s Good
Behaviour in Teaching and Learning the Islamic Education (Diakses pasa
tanggal 20/05/2018 pukul 12:30 PM)
L
A
M
P
I
R
A
N