Artikel-Artikel Mengenai Kedudukan Ulama Dalam Pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ah

13
Artikel-Artikel Mengenai Kedudukan Ulama Dalam Pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ah Rujuk Kepada Ulama Jalan Keluar dari Fitnah Siapa Para Ulama ? Menaruh Kepercayaan Pada Ulama Bahaya Menyelisihi Ulama

description

Artikel-Artikel Mengenai Kedudukan Ulama Dalam Pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ahRujuk Kepada Ulama Jalan Keluar dari FitnahSiapa Para Ulama ?Menaruh Kepercayaan Pada UlamaBahaya Menyelisihi Ulamahttp://jalansunnah.wordpress.com/

Transcript of Artikel-Artikel Mengenai Kedudukan Ulama Dalam Pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ah

Artikel-Artikel Mengenai Kedudukan Ulama Dalam Pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ah

Rujuk Kepada Ulama Jalan Keluar dari Fitnah

Siapa Para Ulama ?

Menaruh Kepercayaan Pada Ulama

Bahaya Menyelisihi Ulama

Rujuk Kepada Ulama Jalan Keluar dari Fitnah Penulis : Ustadz Qomar Suaidi

Fitnah adalah sebuah ungkapan yang sangat ditakuti oleh segenap manusia. Hampir-hampir tak seorang pun kecuali akan berusaha menghindarinya. Begitulah Allah menjadikan tabiat manusia ingin selalu terhindar dari hal-hal yang menakutkan atau membahayakan. Lebih dari itu secara umum dalam pandangan syariat Islam, fitnah adalah sesuatu yang harus dihindari. Oleh karenanya ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa salam begitu banyak mewanti-wanti kita dari fitnah sehingga tidak sedikit dari para ulama' menulis buku khusus atau meletakkan bab khusus dalam buku-buku mereka yang menjelaskan perkara fitnah baik dari sisi makna atau bentuk dan gambarannya atau sikap-sikap yang mesti diambil saat menghadapi fitnah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: Dan peliharalah dirimu dari fitnah yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja diantara kamu. (Al-Anfal: 25). Juga Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: Maka hendaknya orang-orang yang menyalahi perintah Allah takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih. (An-Nur: 36). Nabi bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu: Zaman-zaman akan saling berdekatan, amalan akan berkurang, sifat pelit akan diberikan, fitnah dan haraj akan banyak. Para shahabat berkata, “Apakah itu?” Beliau menjawab, “Pembunuhan“. Demikian pula Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu menceritakan apa yang beliau alami dari peringatan Nabi shallallahu 'alaihi wa salam terhadap fitnah. Kami dahulu duduk-duduk bersama Nabi maka beliau menyebut fitnah dan berulang kali menyebutnya. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Daud no 42431). Nabi shallallahu 'alaihi wa salam juga menyatakan: Segeralah beramal, fitnah-fitnah seakan potongan-potongan malam yang gelap, seorang di waktu pagi sebagai mukmin dan masuk sore menjadi kafir atau di waktu sore sebagai mukmin, di waktu pagi menjadi kafir, ia menukar agamanya dengan harta benda dunia”. (HR. Muslim). Demikian mengerikan fitnah-fitnah itu. Karenanya beliau bersabda: Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah yang benar-benar dijauhkan dari fitnah-fitnah dan yang diberi cobaan lalu bersabar. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani dalam As-Shahihah: 975). Bahkan dalam lafadz yang lain beliau mengulang-ulang kalimat pertamanya sampai 3 kali.

Makna Fitnah Apa yang dimaksud dengan fitnah? Apakah berarti tuduhan tanpa bukti sebagaimana makna yang dipahami masyarakat? Untuk mengetahui maksudnya kami akan menukilkan penjelasan salah seorang ulama ahli tafsir Al Qur’an yaitu syaikh Muhammad As-Syinqity. Beliau berkata: “Penelitian Al Qur’an menunjukkan bahwa kata fitnah dalam Al Qur’an jika disebut secara mutlak memiliki 4 makna, yaitu membakar dengan api, cobaan dan ujian, hasil yang jelek dari cobaan, dan hujjah. (Lihat Adhwa’ul Bayan 6: 254-255) Disebut pula dalam kamus-kamus bahasa Arab yang artinya perbedaan-perbedaan pendapat manusia dan kegoncangan pemikiran mereka (Kamus Al-Muhith dan Mu’jam Al-Wasith). Dari uraian makna fitnah di atas maka menjadi jelas gambaran-gambaran fitnah didunia ini, diantaranya: Pertama, banyaknya kelompok-kelompok dan aliran-aliran yang menisbatkan diri mereka kepada Islam. Kedua, pembantaian yang menimpa kaum muslimin di berbagai daerah di belahan dunia . Ketiga, kedzaliman yang dilakukan oleh para umara (penguasa). Keempat, simpang siur pendapat dalam perkara-perkara baru yang membutuhkan pembahasan para ulama' dan lain-lain. Dalam menghadapi fitnah-fitnah yang ada, Ahlu Sunnah wal Jamaah telah memberikan tuntunan-tuntunan berupa sikap yang bijaksana sehingga dapat menghalau fitnah-fitnah itu atau meminimalkannya. Diantara sikap yang sangat penting dalam hal ini adalah merujuk kepada para ulama, meminta bimbingannya dan pengarahan mereka dalam menghadapinya. Mengapa demikian? Kenapa perkara ini tidak diserahkan kepada masing-masing individu biar mereka menentukan sikap sendiri-sendiri? Menjawab pertanyaan yang terkadang muncul itu, kita katakan bahwa perkara fitnah bukan perkara biasa, bahkan perkara yang amat berbahaya sebagaimana telah disinggung. Dan tidak setiap orang bisa menyikapinya dengan tepat dan bijak sehingga kita kembalikan kepada para ulama karena beberapa hal. Pertama, karena fitnah pada awal munculnya tidak ada yang mengetahui kecuali para ulama. Kalau sudah pergi baru orang-orang jahil ikut mengetahuinya sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud. Kedua, menyikapi fitnah sangat diperlukan pertimbangan maslahat (keuntungan) dan mafsadah (kerusakan) yang akan diakibatkan, terutama yang berkaitan erat dengan syariat. Dan yang sangat mengerti dalam masalah ini adalah para ulama. Juga peninjauan perkara itu dilihat dari sekian banyak sisi syariat.yang tidak mungkin bagi orang awam bahkan pemula thalibul ilmi untuk memahami perkara yang sifatnya umum dan menyeluruh. Sehubungan dengan ini Imam Nawawi menjelaskan, jika sebuah kemungkaran ada pada masalah-masalah yang pelik baik dari perbuatan atau perkataan dan membutuhkan ijtihad, maka tiada jalan bagi orang awam untuk masuk padanya. Itu hanya hak para ulama

Ketiga, bahwa Islam telah memberikan tuntunan-tuntunan yang berkaitan dengan fitnah dan yang mengetahuinya adalah para ulama. Keempat, Islam memerintahkan dan menganjurkan untuk bertanya kepada ahlu dzikir (ulama) pada permasalahan yang tidak diketahuinya. Allah berfirman: Bertanyalah kepada ahlu dzikr jika kalian tidak mengetahui. (An Nahl: 43) Kelima, mengembalikan perkara ini kepada orang-orang awam akan mengakibatkan terpecahnya persatuan kaum musliman. Syaikh Shaleh Al-Fauzan menyatakan, “Allah menjadikan perkara-perkara perdamaian dan peperangan serta urusan-urusan yang sifatnya umum dan menyeluruh kembalinya kepada para umara dan ulama secara khusus dan tidak boleh untuk masing-masing individu masuk dalam perkara ini, karena yang demikian akan mengacaukan urusan dan memecah persatuan serta memberikan peluang kepada orang-orang yang memiliki tujuan-tujuan jahat yang selalu menunggu-nunggu bencana untuk kaum muslimin. (Lihat Qowaid fitta’amul ma’al ulama’: 120-122). Keenam, yang mampu menganalisa hakekat akibat dari fitnah adalah para ulama yang benar-benar kokoh dalam berilmu. Ibnu Qoyyim menjelaskan, “Tidak setiap orang yang mengerti fiqh dalam bidang agama mengerti takwil, hakekat yang berakhir padanya sebuah makna. Yang mengetahui perkara ini khusus orang-orang yang kokoh dalam berilmu”. (I’lamul Muwaqqi’in 1:332 dari Madarikun Nadhar:163) Beberapa alasan tersebut sangat cukup untuk menjadi landasan dalam berpijak di atas prinsip ini yaitu merujuk para ulama dalam perkara fitnah. Dan alangkah baiknya kalau kita merenungi beberapa ayat atau hadits yang memerintahkan atau mengandung anjuran untuk melakukan hal ini sebagaimana telah diisyaratkan di atas. Firman Allah: “Bertanyalah kepada ahlu dzikr jika kalian tidak mengetahui” Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya: Bertanyalah kepada ahli ilmu…… sesungguhnya Allah memerintahkan siapa saja yang tidak mengetahui untuk rujuk kepada mereka dalam seluruh kejadian…… (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 441). Dan apabila datang kepada mereka suatu cerita tentang keamanan atau ketakutan mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka tentulah orang-orang yang mampu menyimpulkan diantara mereka akan mengetahuinya. (An-Nisa :83). Syaikh Abdurrahman As-Sa’ady menerangkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, katanya: “Ini adalah teguran dari Allah subhanahu wa ta'ala kepada hamba-hamba-Nya dari perbuatan yang tidak sepantasnya. Seharusnya jika sampai kepada mereka suatu perkara dari perkara-perkara yang penting dan maslahat yang bersifat menyeluruh yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum muslimin atau ketakutan yang mengandung musibah, mereka mengecek dan tidak terburu-buru menyebarkan kabar, tapi mengembalikan pada Rasul dan kepada Ulil Amri

diantara mereka. Orang-orang yang memiliki pendapat yang baik, ilmu, keinginan yang baik, berakal dan memiliki kebijakan, yang memahami perkara-perkara dan mengetahui maslahat serta mafsadah. Jika mereka (ulil amri dan para ulama) memandang panyebarannya ada maslahat dan memberi semangat kaum mukminin, kebahagiaan dan keselamatan dari musuh, mereka akan melakukannya. Tapi jika mereka memandang tidak ada maslahat atau ada tapi mudharatnya lebih besar mereka tidak akan menyiarkannya”. Lalu beliau menyatakan: “Dalam penjelasan ini terkandung sebuah kaedah beradab, yaitu jika terjadi sebuah pembahasan pada sebuah perkara, hendaknya diserahkan kepada ahlinya (dalam hal ini ulama’) dan jangan melancangi mereka. Itu lebih dekat kepada kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Dan ayat itu mengandung larangan terburu-buru menyebarkan berita saat mendengarnya. Di dalamnya juga terdapat perintah untuk berfikir sebelum berbicara, bila ada maslahatnya maka dia maju, bila tidak maka menahan diri. (Taisir Al Karimir-Rahman: 198). Firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri diantara kalian” .(An Nisa :59). Masalah fitnah biasanya mengundang kontroversial, makanya kita mesti mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya yakni Al Kitab dan As Sunnah. Dan yang memahami benar-benar hukum yang terkandung di dalamnya adalah para ulama. Nabi shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: Tidakkah mereka bertanya ketika mereka tidak tahu, sesungguhnya obatnya bodoh itu hanya bertanya… Telah dimaklumi bahwa kita diperintah untuk bertanya kepada Ahlu Dzikr yakni ulama, sebagaimana ayat yang lalu. Dalam kisah seorang yang membunuh 99 jiwa, lalu ingin bertobat disebut di sana: Maka ia ditunjukkan kepada seorang ahli ibadah, lalu ia mendatanginya dan menyatakan bahwa telah membunuh 99 jiwa, bisakah bertaubat? Jawabnya: “Tidak”. Maka dibunuhnya sekalian sehingga genap menjadi 100. Kemudian ia mencari orang yang paling alim dimuka bumi ini, maka ditunjukkanlah dia kepada seorang ulama lalu ia katakan kepadanya bahwa telah membunuh 100 jiwa apakah bisa bertaubat? Jawabnya: “Ya, apa yang menghalangi antara kamu dengan taubat ?” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry). Dalam hadits ini nampak jelas perbedaan antara seorang ulama dengan ahli ibadah. Fatwa seorang ulama membawa maslahat, sebaliknya fatwa seorang ahli ibadah tapi tanpa ilmu membawa mafsadah. Oleh karenanya Asy-Sya’by menyatakan: “Apa yang datang kepadamu dari para shahabat Nabi ambillah. Dan tinggalkan olehmu Sha’afiqah. Yakni yang tidak berilmu”.(Syarhus Sunnah Baghawi 1/318 lewat Madarikun-Nadhar: 162). Atas dasar itu prinsip ini menjadi pilihan para ulama Ahlu Sunnah

sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi: “Pilihan kami adalah apa yang dipilih oleh para imam Ahlus-Sunnah di berbagai negeri….pada masalah-masalah yang tidak terdapat padanya riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wa salam, para shahabat dan tabi’in dan meninggalkan (membuang) ide serta pendapat orang-orang yang mengkaburkan masalah (dan seakan) menghiasinya yaitu dari para pendusta.” (Syarh Ushul I’tiqad Al-Lalika’iy: 1/202-323) Hal ini juga ditegaskan oleh Ibnul Qoyyim melalui penjelasannya: “Seorang yang memahami kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan ucapan shahabat dialah yang berhak berijtihad pada perkara nawazil (kejadian atau masalah yang baru). Golongan inilah yang boleh berijtihad dan boleh diminta fatwa.” (I’lamul Muwaq’in 4/212 melalui Madharikun Nadhar). Uraian di atas baik dari ayat, hadits serta penjelasan para ulama merupakan dasar yang sangat kuat yang melandasi tegaknya prinsip ini. Maka hendaknya kita berusaha keras untuk tidak bergeser darinya walaupun sejengkal.

Siapa Para Ulama ? Penulis : Ustadz Qomar Suaidi

Mungkin muncul pertanyaan, siapakah ulama itu? Hingga kini banyak perbedaan dalam menilai siapa ulama. Sehingga perlu dijelaskan siapa hakekat para ulama itu. Untuk itu kita akan merujuk kepada penjelasan para ulama Salafus Shaleh dan orang-orang yang menelusuri jalan mereka. Kata ulama itu sendiri merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang artinya orang berilmu. Untuk mengetahui siapa ulama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu dalam istilah syariat, karena kata ilmu dalam bahasa yang berlaku sudah sangat meluas. Adapun makna ilmu dalam syariat lebih khusus yaitu mengetahui kandungan Al Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah dan ucapan para shahabat dalam menafsiri keduanya dengan mengamalkannya dan menimbulkan khasyah (takut) kepada Allah. Imam Syafi’i berkata: “Seluruh ilmu selain Al Qur’an adalah hal yang menyibukkan kecuali hadits dan fiqh dan memahami agama. Ilmu adalah yang terdapat padanya haddatsana (telah mengkabarkan kepada kami - yakni ilmu hadits) dan selain dari padanya adalah bisikan-bisikan setan.” Ibnu Qoyyim menyatakan: “Ilmu adalah berkata Allah, berkata Rasul-Nya, berkata para shahabat yang tiada menyelisihi akal sehat padanya.” (Al Haqidatusy-Syar’iyah: 119-120) Dari penjelasan makna ilmu dalam syariat, maka orang alim atau ulama adalah orang yang menguasai ilmu tersebut serta mengamalkannya dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah Subhanahuwata'ala . Oleh karenanya dahulu sebagian ulama menyatakan ulama adalah orang yang mengetahui Allah Subhanahuwata'ala dan mengetahui perintah-Nya. Ia adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahuwata'ala dan mengetahui batasan-batasan syariat-Nya serta kewajiban-kewajiban-Nya. Rabi’ bin Anas menyatakan “Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah bukanlah seorang ulama.” Allah berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama .” (Fathir: 29) Kesimpulannya, orang-orang yang pantas menjadi rujukan dalam masalah ini adalah yang berilmu tentang kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya serta ucapan para shahabat. Dialah yang berhak berijtihad dalam hal-hal yang baru. (Ibnu Qoyyim, I’lam Muwaqqi’in 4/21, Madarikun Nadhar 155) Ibnu Majisyun, salah seorang murid Imam Malik mengatakan: “Dahulu (para ulama) menyatakan, ‘Tidaklah seorang itu menjadi Imam dalam hal fiqh sehingga menjadi imam dalam hal Al Qur’an dan Hadits dan tidak menjadi imam dalam hal hadits sehingga menjadi imam dalam hal fiqh.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)

Imam Syafi’i menyatakan: “Jika datang sebuah perkara yang musykil (rumit) jangan mengajak musyawarah kecuali orang yang terpercaya dan berilmu tentang al Kitab dan Sunnah, ucapan para shahabat, pendapat para ulama’, qiyas dan bahasa Arab. (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818) Merekalah ulama yang hakiki, bukan sekedar pemikir harakah, mubaligh penceramah, aktivis gerakan dakwah, ahli membaca kitabullah, ahli taqlid dalam madzhab fiqh, dan ulama shu’ (jahat), atau ahlu bid’ah. Tapi ulama hakiki yang istiqamah di atas Sunnah. Wallahu a’lam ?

Menaruh Kepercayaan Pada Ulama Penulis : Ustadz Qomar Suaidi

Pembahasan masalah ini perlu dilakukan sebab tidak sedikit orang-orang yang terdorong oleh ghirah dan semangat keagamaan yang tinggi namun tidak terdidik di atas ilmu yang mapan dan di bawah bimbingan Ahlus-Sunnah, menyangsikan fatwa para ulama dan pengarahannya di saat tidak sesuai dengan keinginan mereka. Dalam pandangan mereka bahwa para ulama tidak mengetahui realita, tidak mengerti makar-makar musuh, ilmu mereka hanya sebatas haid dan nifas atau masalah thaharah (bersuci). Sedang mereka merasa lebih tahu realita sehingga merasa lebih berhak berfatwa dan dianggap ucapannya. Komentar orang-orang semacam ini disamping mengandung celaan terhadap para ulama yang jelas terlarang dalam agama, apapun alasannya, juga menyelisihi aturan agama. Karena ayat, hadits dan uraian para ulama yang lalu dalam hal perintah atau anjuran rujuk kepada para ulama menyirat makna kepercayaan kepada mereka dalam urusan-urusan ini. Sangat naif kalau tidak percaya kepada orang yang telah dipercaya oleh Allah ta’ala serta Rasul-Nya. Ada sebuah kejadian di zaman Nabi yang barang kali dari situ kita bisa mengambil ibrah. Saat terjadi perjanjian Hudaibiyyah yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan antara kaum muslimin dengan orang-orang musyrikin Quraisy diantaranya kaum muslimin harus menangguhkan keinginan umrah pada tahun itu, tidak sedikit dari shahabat merasa keberatan dengan perjanjian itu dan menampakkan ketidaksetujuannya. Padahal Rasulullah sendiri telah menyepakati perjanjian tersebut. Para shahabat itu menilai ada diskriminasi dari pihak musuh sehingga merasa keberatan meski akhirnya mau menerima. Diantara shahabat itu adalah Umar bin Khatab radhiyallahu 'anhu, orang terbaik setelah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu. Dan ternyata keputusan Nabi itu membawa manfaat sangat banyak di kemudian hari dan membawa kerugian besar bagi musyrikin, sehingga mereka sendirilah yang mengkhianatinya. Kenyataan itu menyampaikan Umar bin Khatab - setelah taufiq dari Allah- untuk menyesali perbuatanya dan mengatakan: “Wahai manusia, ragulah terhadap pendapat akal dalam masalah agama , sungguh aku telah melihat diriku pernah membantah keputusan Nabi dengan pendapatku karena ijtihad. Demi Allah saya tidak akan pergi dari kebenaran, dan kejadian itu pada pagi hari Abi jandal, yakni perjanjian Hudaibiyyah”. (Marwiyah Ghazwah Hudaibiyyah hal. 301). Perhatikan kisah ini, bagaimana Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu mesti menundukkan penilaian-penilaian pribadi di hadapan keputusan agama. Tidak heran bila seorang ulama bernama Abu Bakar Turthusyi setelah menyebutkan hadist: Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan dicabut dari hati-hati manusia akan tetapi Allah mencabutnya dengan meninggalnya para ulama

sehingga tidak tersisa lagi seorang ulama, manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh, maka mereka akan ditanya sehingga berfatwa tanpa ilmu akhirnya sesat dan menyesatkan. Menyatakan: “Perhatian hadits ini! hadits ini menunjukkan bahwa manusia tidak akan tertimpa musibah disebabkan ulama mereka sama sekali, akan tetapi sebabnya jika ulama mereka meninggal, akhirnya yang bukan ulama berfatwa. Dari situlah musibah. (Al-Ba’its:179 lewat Madarikun- Nadhar :160). Rabi’ah bin Abdurrahman, guru Imam Malik, ketika melihat tanda-tanda itu di masanya beliau menangis tersedu-sedu. Maka Imam Malik bertanya: “Apa yang menjadikanmu menangis. Apakah ada musibah yang menimpamu?” Beliau menjawab: “Tidak. Tapi karena orang-orang yang tidak berilmu telah dimintai fatwa dan muncullah perkara besar dalam Islam”. (Al-Ba’its:179 lewat Madarik Nadhar :160).

Bahaya Menyelisihi Ulama Penulis : Ustadz Qomar Suaidi

Imam Bukhari meriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ia menyatakan: Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa salam berada di majelis dan bicara di hadapan orang-orang, datang seorang Arab badui seraya menyatakan, kapan hari kiamat? Tapi Rasul tetap meneruskan pembicaraannya, sehingga sebagian orang yang ada menyatakan, beliau mendengar apa yang dikatakan tapi beliau tidak suka dengan apa yang dikatakan. Sebagian yang lain menyatakan beliau tidak mendengarnya. Sampai beliau menyudahi pembicaraannya lalu berkata: “Dimana orang yang bertanya tentang hari kiamat?” Maka penanya berkata: “Ini saya ya, Rasulullah”. Beliau berkata: “Jika amanah telah ditelantarkan maka tunggulah hari kiamat”. Ia menyatakan: “Bagaimana terlantarnya?” Jawabannya: “Jika sebuah perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah hari kiamat”. Dalam hadits lain terdapat ancaman kesesatan untuk yang tidak rujuk kepada ulama dalam fitnah. Sabdanya: Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba akan tetapi mencabutnya dengan mewafatkan para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pimpinan, maka ditanyalah pimpinan-pimpinan itu sehingga berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr). Mudah-mudahan dua hadits ini bisa mencegah kelalaian banyak kaum muslimin terhadap perkara ini. Fitnah Ibnu Muthi’ Sungguh benar-benar pada kisah mereka itu ada ibrah bagi orang-orang yang memiliki akal. (QS. Yusuf:111) Dalam sejarah Islam kejadian Al-Harrah adalah kejadian yang sangat masyhur sekaligus sangat menyedihkan. Orang yang mendengarnya akan berlindung kepada Allah daripadanya. Mulanya ketika Yazid bin Muawiyah menjabat sebagai khalifah setelah ayahnya, terdengar berita-berita buruk tentangnya khususnya berita tentang maksiat-maksiat yang dilakukannya. Sampai berita itu kepada sebagian kaum muslimin, diantaranya Abdullah bin Muthi’. Mendengar hal itu, bangkit ghirah keagamaannya. Ringkas cerita ia bertekad mencabut baiatnya terhadap Yazid dan melakukan kudeta. Maka ia mengirim utusan guna mengultimatum Yazid dan mengajaknya untuk taat kepada Allah dan diberi waktu sampai 3 hari. Sepulangnya mereka ke Madinah, Abdullah bin Muthi’ bersama rekan-rekannya mendatangi Muhammad bin Hanafiyah, putra Ali bin Abi Thalib. Mereka menginginkan beliau untuk bersama-sama memberontak Yazid, tapi beliau menolaknya. Berkatalah Ibnu Muthi’: “Sesungguhnya Yazid minum Khamr, meninggalkan shalat dan melanggar hukum Al Qur’an”.

Muhammad bin Hanafiyah menjawab: “Saya tidak melihat padanya apa yang kalian sebutkan, dan saya pernah mendatanginya bahkan tinggal di sana, justru yang saya lihat dia selalu shalat, mencari kebaikan, bertanya masalah fiqh dan berpegang kuat dengan sunnah”. Mereka menyatakan: “Itu dibuat-buat karena dia di hadapanmu". Jawabnya: “Apa yang dia takuti atau harapkan dariku sehingga dia perlu menampakkan kekhusyu’annya dihadapanku? Apakah dia menampakkan kepada kalian meminum khamr? Jika dia menampakkan kepada kalian yang demikian berarti kalian sama dengan dia, tapi jika tidak maka tidak halal buat kalian bersaksi tentangnya sesuatu yang kalian tidak ketahui”. Mereka katakan: “Sesungguhnya menurut kami benar adanya walaupun kami tidak melihatnya”. Beliau menjawab: “Allah menolak yang demikian pada orang yang besaksi. Firman-Nya: Kecuali orang yang bersaksi dengan Al-Haq sedang mereka mengetahui. Saya tidak ikut-ikutan urusan kalian sedikitpun”. Mereka katakan: “Mungkin engkau tidak suka kalau yang memimpin selainmu, jika demikian kami jadikan engkau pimpinan kami”. Beliau menjawab: “Saya tidak menghalalkan pemberontakan ini sebagaimana yang kalian inginkan dariku baik saya jadi pimpinan atau yang dipimpin”. Mereka katakan: “Dulu engkau ikut bersama ayahmu berperang (yakni melawan Muawiyah, semoga Allah ridha pada mereka). Jawabnya: “Datangkan kepada saya orang yang seperti ayahku, aku akan memerangi seperti yang diperangi ayahku”. Mereka katakan: “Kalau begitu perintahkan 2 anakmu Abdul Qosim dan Qosim untuk berperang bersama kami”. Beliau menjawab : “Kalau aku perintah keduanya aku juga akan berperang”. Mereka katakan: “Kalau begitu bangkitlah bersama kami untuk sekedar menganjurkan orang berperang bersana kami”. Beliau menjawab: “Subhanallah, apakah aku akan memerintahkan orang sesuatu yang saya tidak melakukannya dan meridhainya, kalau begitu saya tidak punya keinginan- keinginan baik pada hamba-hamba Allah”. Mereka katakan: “Kalau begitu kami akan membencimu. Beliau menjawab: “Kalau begitu aku akan memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada Allah dan tidak mencari ridhanya mahkluk dengan kemurkaan Allah”. Lalu beliau pergi ke Makkah. Datang Abdullah bin Umar kepada Abdullah bin Muthi’, maka Ibnu Muthi’ menyatakan: “Berikan bantal kepada Abi Abdirahman (yakni Ibnu Umar)”. Ibnu Umar menjawab: “Saya tidak datang kepadamu untuk duduk, akan tetapi aku datang untuk memberitakanmu sebuah hadits yang pernah saya dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam, beliau bersabda:

Barangsiapa mencabut tangannya dari bai’at, ia akan bertemu Allah dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal sedang tiada bai’at dilehernya dia akan meninggal seperti meninggalnya orang-orang jahiliyyah. (HR. Muslim bersama kisahnya). http://www.asysyariah.com