Artikel Perkawinan
Transcript of Artikel Perkawinan
UUD NO1 TAHUN 1974 DAN KHI DALAM PELAKSANAAN
HUKUM DI INDONESIA
A. Definisi Perkawinan Menurut Persfektif Fiqh, UU. No. 1 Tahun 1974
Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
1. Persfektif Fiqh
Perkawinan dalam bahasa arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi'
dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-
jamm'u atau 'ibarat 'an al-wath' wa al-'aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul
dan berakad. Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fiqh
mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata "kawin" yang menurut
bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan
kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga "pernikahan", berasal dari kata
nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan
digunakan untuk arti bersetubuh (wath'i). kata nikah sendiri sering dipergunakan
untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah.
Wahbah al-Zuhaily menjelaskan definisi perkawinan dengan : "akad yang
membolehkan terjadinya al-istimta' (persetubuhan) dengan seorang wanita atau
melakukan wath'I, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang
diharamkan, baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan". Definisi lain yang
diberikan Wahbah al-Zuhaily adalah : "akad yang telah ditetapkan oleh syar'I agar
seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta' dengan
seorang wanita atau sebaliknya".
Menurut Hanafiah, "nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan
mut'ah secara sengaja" artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta'
dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya
pernikahan tersebut secara syar'i.
1
Menurut Hanabilah, nikah adalah akad yang menggunakan lafadz inkah yang
bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.
B. Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Perdata Islam di
Indonesia.
Menurut pandangan M. Yahya Harahap beberapa asas-asas yang cukup prinsip
dalam UU. Perkawinan adalah:
1. Menanmpung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat
bangsa Indonesia dewasa ini.
2. Sesuai dengan tuntutan Zaman.
3. Tujuan perkawinan membentuk keluarga bahagia yang kekal.
4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga
Negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan
hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.
5. Undang-undang perkawinan menganut asas-asas monogamy akan tetapi
terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya
mengizinkan.
6. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi
yang telah matang jiwa dan raganya.
7. Kedudukan suami istri dalam kehidupan seimbang, baik dalam kehidupan
rumah tangga ataupun masyarakat.
Musdah Mulia menjelaskan dalam presefektif lain bahwa prinsip-prinsip
perkawinan tersebut ada empat ada empat yang didasarkan pada ayat-ayat al-
Qur'an.
1. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh
Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa Arab yang
menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk dirinya
sendiri saja ia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang
terbaik pada dirinya. Oleh sebab itu kebebasan memilih jodoh adalah hak
2
dan kebebasan bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan
dengan syari’at islam.
2. Prinsip mawaddah wa rahmah
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT QS ar-Rum:21. Mawaddah
wa rahmah adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk
lainnya. Jika binatang melakukan hubungan seksual semata-mata untuk
kebutuhan seks itu sendiri juga dimaksudkan untuk berkembang biak,
sedangkan perkawinan manusia bertujuan untuk mencapai ridha Allah
disamping tujuan yang bersifat biologis.
3. Prinsip saling melengkapi dan saling melindungi
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat pada surah al-
Baqarah:187 yang menjelaskan istri-istri adalah pakaian sebagaimana
layaknya dengan laki-laki juga sebagai pakaian untuk wanita. Perkawinan
laki-laki dan perempuan dimaksudkan untuk saling membantu dan saling
melengkapi, karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.
4. Prinsip mu’asarah bi al-ma’ruf
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat pada surah
an-Nisa:19 yang memerintahkan kepada setiap laki-laki untuk
memperlakukan istrinya dengan cara yang ma’ruf. Didalam prinsip ini
sebenarnya pesan utamanya adalah pengayoman dan penghargaan kepada
wanita.
3
C .Landasan Hukum Di Indonesia Uud No1 Tahun 1974 Dan KHI
1. Landasan Filosofis Perkawinan
Pasal 2 KHI mempertegas landasan filosofis perkawinan sesuai dengan ajaran
Islam tanpa mengurangi landasan filosofis perkawinan berdasarkan Pancasila
yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. Pasal l UU No 1 Tahun 1974, yaitu;
“menjadikan Pancasila sebagai landasan filosofis perkawinan dengan
mengaitkannya dengan sila pertama yakni berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Inti perluasan dan penegasan landasan filosofis dalam pasal 2 KHI itu
adalah :
1. Perkawinan semata-mata “menaati perintah Allah.”
2. Melaksanakan perkawinan adalah “ibadah”.
3. Ikatan perkawinan bersifat miitsaaqan ghalizaa ( al-Nisaa : 21 ).
Penegasan filosofis ini dirangkum secara terpadu antara “aqidah”, “ibadah” dan
“mu’amalah” berkaitan pula dengan huququllah dan huququl ibad.Dalam KHI
terdapat pula penegasan dan pemasyarakatan nilai Islam berupa pernyataan ikatan
perkawinan bersifat mistaaqan ghalidzaa. Filosofis ini untuk mengantisipasi
pendapat dan praktek yang berkembang selama ini yang mengatakan seolah-olah
perkawinan Islam itu rapuh dan boleh dipecah setiap waktu. Dengan penegasan
bahwa perkawinan itu adalah “ikatan yang kokoh” diharapkan memberikan
kesadaran dan pengertian kepada masyarakat bahwa perkawinan itu mentaati
perintah Allah sebagai ibadah serta harus dipertahankan kelangsungan dan
kelestariannya.
2. Landasan Idiil Perkawinan
Landasan perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 adalah
untuk membentuk “keluarga bahagia dan kekal”, Pasal 3 KHI mempertegas dan
memperluas nilai-nilainya dengan ruh Islami seperti yang digariskan dalam QS.
4
Al-Rum : 21 yakni untuk membentuk keluarga “sakinah, mawaddah dan rahmah”.
Dengan diletakkan oleh Pasal 3 landasan perkawinan sesuai dengan maksud QS.
Al- Rum : 21, maka dengan sendirinya akan terkait secara langsung dengan nilai-
niai operasional seperti diatur dalam :
QS. Al- Baqarah : 187 “hunna libasullakum wa antum libasullahunna”.
QS. Al- Nisaa : 19 “wa’asyiruhunna bil ma’ruf”.
Dengan memahami landasan idiil dan operasional ini dengan baik dan sadar,
tercakup di dalam keharusan yang bersifat mutuality mulai dari mutual
cooperation, mutual help, mutual understanding, mutual relation dan mutual
interdependency.
3. Landasan Yuridis
Ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 meletakkan fundamentum yuridis
perkawinan nasional, yakni :
Dilakukan menurut hokum agama, dan
Dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Fundamentum yuridis tersebut diperjelas dalam pasal 4, 5, 6 dan 7 sejalan dengan
penegasan itu diaktualkan ketertiban perkawinan masyarakat Islam. Dengan
demikian KHI memuat aturan:
Sahnya perkawinan mesti dilakukan menurut hokum Islam.
Laki-laki Islam dilarang kawin dengan perempuan non Islam.
Setiap perkawinan harus dicatat.
Perkawinan baru sah apabila dilangsungkan di hadapan PPN.
Perkawinan di luar PPN adalah “perkawinan liar”.
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
PPN.
Penegasan ini sekaligus melepaskan dogmatis yang dikembangkan dan difahami
selama ini yakni perkawinan sebagai invidual affair atau urusan pribadi. KHI
menegaskan kepastian hokum dan ketertiban perkawinan dan keluarga masyarakat
Islam. Bagi yang tidak mematuhinya akan menanggung resiko yuridis, yang tidak
5
mendaftarkan perkawinannya dikualifikasi “perkawinan liar” dalam bentuk
“compassionate marriage atau kawin “kumpul kebo”.
4. Peminangan
UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tata cara peminangan. Maka demi tertibnya
cara-cara peminangan berdasarkan moral dan yuridis, KHI mengaturnya sebagai
berikut :
Peminangan pada prinsipnya secara utuh diambil dari ajaran Al- Quran
yang diadopsi oleh fikih standar setelah dimodifikasi secara rational,
praktis dan actual.
5. Rukun Dan Syarat Perkawinan
Ada dua hal yang ingin dicapai dalam menguraikan rukun dan syarat perkawinan
menurut Islam. Pertama, untuk mengatur secara Islami ketentuan syarat
perkawinan yang diatur pada Bab II Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974. Aturan dalam
pasal tersebut bersifat umum, tidak mengatur secara khusus rukun dan syarat
perkawinan menurut Hukum Islam. Maksud Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 itu
diatur secara jelas dan limitative oleh KHI dan Bab IV Pasal 14 – 29. Kedua, yang
ingin dicapai ialah menghilangkan masalah ikhtilaf dalam rukun dan syarat
perkawinan. Misalnya mengenai apakah saksi termasuk rukun atau tidak?. Pasal
14 KHI menetapkan secara tegas adanya dua orang saksi dalam pernikahan
sebagai rukun. Di samping itu mengaktualkan beberapa nilai;
1. Patokan nilai usia mempelai ( Pasal 15 KHI ), tidak lagi berdasarkan
syariat yang mengambang pada ukuran akil balig, tetapi ditentukan secara
definitif secara positif yakni 16 dan 17 tahun.
2. Tidak diperbolehkan kawin paksa (Pasal 16 dan 17 ), calon mempelai
perempuan diberi peluang untuk melakukan penolakan.
3. Tidak diperkenankan mempermudah kewenangan “wali hakim”, tetapi
harus lebih dahulu ada putusan Pengadilan Agama.
4. Mengenai pelaksanaan ijab Kabul KHI menjatuhkan pilihan :
6
Tetap bersifat “majelis” berhadapan langsung.
Apabila berhalangan dapat dikuasakan berdasarkan surat kuasa tanpa
mengurangi hak wanita untuk menolak. Pasal 29 KHI tidak membenarkan
pelaksanaan ijab dan Kabul “jarak jauh” melalui sarana komunikasi. Dalam
hal calon mempelai berhalangan memilih alternatif dengan seorang “kuasa”.
6. Pengaturan Tentang Mahar
UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur masalah mahar, KHI mengatur masalah
mahar tersebut dengan tujuan :
Untuk menertibkan masalah mahar itu
Menetapkan kepastian hokum bahwa mahar bukan “rukun nikah”.
Menetapkan etika mahar atas asas ”kesederhanaan dan kemudahan”, bukan
didasarkan atas prinsip ekonomi, status atau gengsi.
Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar terbina ketentuan
dan persepsi yang sama di kalangan masyarakat dan penegak hokum.
7. Larangan Kawin
Larangan kawin yang diatur dalam Pasal 88 UU No. 1 Tahun 1974 dikemukakan
secara halus oleh KHI dan diselaraskannya dengan ketentuan hukum Islam.
Penyelarasan ini mengambil sumber dari Al Quran dan telah diadopsi oleh kitab-
kitab fikih berupa :
Larangan umum perkawinan :
1) Larangan kawin karena pertalian “nasab”.
2) Larangan kawin karena pertalian “semenda”.
3) Larangan kawin karena pertalian “sesusuan”.
Larangan khusus perkawinan bagi seorang perempuan :
1) Karena masih terikat dalam perkawinan yang sah.
2) Masih berada dalam masa iddah.
3) Apabila calon suami ‘tidak beragama Islam”.
Larangan khusus perkawinan bagi seoang lelaki :
7
1) Mengawini perempuan yang tidak beragama Islam’
2) Memadu dua orng perempuan saudara sekandung, seayah atau seibu serta
keturunannya atau bibi atau kemenakannya dalam waktu bersamaan.
3) Melangsungkan perkawinan lebih dari empat dalam waktu yang
bersamaan.
Lebih lanjut mennngenai larangan ini dapat dipelajari dalam Bab IV.
8. Ketentuan Perjanjian Kawin
Perjanjian kawin diatur dalam Bab V UU No. 1 Tahun 1974. Sehubungan dengan
telah dilembagakan kedudukan harta bersama dalam perkawinan, KHI
menjabarkan lebih lanjut aturan perjanjian perkawinan itu. KHI mengenal bentuk
perjanjian :
1) Taklik talak.
2) Perjanjian lain asal tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Bentuk perjanjian kawin yang lain itu meliputi :
1) Menyangkut kedudukan harta dalam perkawinan :
Boleh percampuran harta pribadi dengan harta dalam perkawinan.
Pemisahan harta pencarian masing-masing. Hal ini ditujukan untuk istri
atas hasil pencariannya.
Kewenangan pembebanan harta pribadi dan harta bersama.
Perjanjian kawin mengenai harta tidak boleh menghilanngkan kewajiiban
suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Perjanjian kawin dalam perkawinan poligami mengenai tempat kediaman,
waktu giliran dan biaya rumah tangga.
9. Kebolehan Kawin Hamil
Kawin hamil diletakkan dalam kategori hokum “boleh”, tidak “mesti”.
Pendefinitifan kebolehan kawin hamil yang diatur KHI merupakan kompromistis
dengan hokum Adat dan masalah ikhtilaf dalam ajaran fikih dikaitkan dengan
factor sosiologis dan psikologis.Dari penggabungan factor ikhtilaf dan ‘urf,
8
perumus KHI berpendapat hal itu berdasarkan istishlah yakni mashlahat
membolehkan kawin hamil lebih besar dari melarangnya.
Acuan penerapan kawin hamil :
Dengan lelaki yang menghamili, dengan ketentuan siapa lelaki yang mau
mengawini diangggap benar sebagai lelaki yang menghamili, kecuali si
perempuan menyanggah (mengingkari).
Perkawinan dapat dilakukan tanpa menunggu kelahiran bayi.
KHI merumuskan secara singkat dan bersifat umum masalah kawin hamil
tersebut untuk memberikan keleluasaan bagi pengadilan untuk mencari
dan menemukan asas-asas baru melalui terobosan yang lebih actual dan
rational.
10. Aturan Poligami
Aturan pembatasan dan penerapan syarat-syarat dan kemestian ikut campur tangan
penguasa yang dikemukakan dalam UU No. 1 Tahun 1974 diambil alih
seluruhnya oleh KHI. Pengambilalihan itu merupakan langkah maju secara
dinamis dalam mengaktualisasikan hukum Islam di bidang perkawinan.
Kebolehan poligami:
Harus didasarkan pada alasan-alasan :
1) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban.
2) Istri cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan.
3) Istri mandul.
Harus memenuhi pula syarat :
1) Mesti ada persetujuan istri.
2) Mampu berlaku adil.
3) Kepastian atas kemampuan menjamin kehidupan.
Harus ada izin Pengadilan Agama.
Dengan ketentuan-ketentuan itu harus disadari bahwa poligami tidak lagi
individual affair (semata-mata urusan pribadi), tetapi juga telah menjadi urusan
kekuasaan Negara, yaitu mesti ada izin Pengadilan Agama. Tanpa ada izin dari
Pengadilan Agama, dianggap“poligami liar”, tidak sah dan tidak mengikat. Tanpa
9
izin Pengadilan Agama perkawinan diangggap never existed, meskipun dilakukan
di hadapan PPN.
11. Pencegahan Perkawinan
Materi KHI tentang pencegahan pekawinan pada dasarnya mengambil alih
ketentuan yang diatur dalam Bab III UU No. 1 Tahun 1974, namun ada satu
tambahan penegasan berupa pencegahan atas alasan “perbedaan agama”. Alasan
pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari perkawinan yang dilarang
Islam, pasal 61 menjelaskan bahwa salah satu alasan pencegahan adalah karena
perbedaan agama.
Pencegahan itu dilakukan dengan kemestian atas campur tangan Pengadilan
Agama, Selama belum ada izin dari pengadilan maka perkawinan tidak boleh
dilangsungkan.
12. Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan diatur dalam Bab XI KHI. Materi rumusannya sama
dengan rumusan dalam Bab IV UU No. 1 Tahun 1974, namun rumusan KHI
secara jelas membedakan alasan pembatalan :
1) Pembatalan karena pelanggaran larangan, “batal demi hokum” ( Pasal 70 ).
2) Pembatalan karena pelanggaran syarat, “dapat dibatalkan” ( Pasal 71 ).
Pembatalan perkawinan itu harus ada campur tangan kekuasaan Negara yaitu
Pengadilan Agama untuk kepastian hukum dan ketertiban umum.
13. Makna Al-Rijalu Qawwamuna ‘Ala An-Nisa
KHI dalam Bab XII mengatur hak dan kewajiban suami istri. Prinsip aturan itu
hampir sama dengan aturan yang digaruskan dalam Bab VI UU No. 1 Tahun
1974. Materi pasal-pasal Bab XII secara tersirat dan tersurat telah melenturkan
makna al-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisaa.
Tujuannya dapat difahami :
10
1) Untuk mewujudkan cita-cita sakinah, mawadddah dan rahmah menjadi
2) kewajiban dan tanggung jawab bersama ( Pasal 77 ayat (1).
3) Penghapusan diskriminasi katagoris atas pemeliharaan dan pendidikan
anak dengan asas tanggung jawab bersama ( Pasal 77 (3) ).
4) Menghapuskan diskriminasi normative dalam pelaksanaan hak dan
kewajiban berdasarkan persamaan hak, yakni :
Suami dan istri mempunyai hak yang sama untuk mengajukan gugatan ke
Pengadilan Agama atas tindakan “kelalaian” (neglisence), “penolakan”
(refuse) atau “ketidakmampuan” (failure), dan Kewajiban (Pasal 77 ayat
(5)).
Sama-sama berhak secara musyawarah menentukan tempat kediaman.
5) Menyeimbangkan harkat derajat suami istri secara “fungsional”
berdasarkan asas “kodrati alamiah” dan biologis dalam acuan :
Suami sebagai “kepala keluarga” (chief of the family ).
Isteri sebagai “ibu rumah tangga” ( Pasal 79 ayat (1) ).
6) Mempunyai hak dan derajat yang sama dalam kehidupan masyarakat
dengan sama-sama berhak aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan
sama-sama berhak mengembangkan profesi dan karir.
Dari uraian singkat itu difahami bahwa KHI telah mengembangkan suatu
wawasan “keseimbangan” yang proporsional tanpa mengabaikan sifat kodrati
alamiah berdasarkan biologis dan psikologis.
14. Pelembagaan Harta Bersama
Harta bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur secara singkat dalam Bab VII.
Undang-undang ini menyerahkan pelaksanaan penerapannnya berdasarkan
ketentuan nilai-nilai adat.Sementara dalam hukum Islam hal itu tidak diatur.
Dari pengamatan lembaga harta bersama lebih besar manfaatnya dari
mudlaratnya. Atas dasar metodologi “istishlah” (maslahah mursalah) dan ‘urf
dengan kaedah al’adah muhakkamah, KHI menetapkan pendekatan kompromis
kepada hukum Adat.
11
Pokok-pokok aturan harta bersama yang dikemukakan dalam Bab XIII KHI secara
singkat dapat dilihat berikut ini :
1. Harta bersama terpisah dari harta pribadi masing-masing:
Harta pribadi tetap menjadi hak milik pribadi dan dikuasasi sepenuhnya
oleh pemiliknya ( suami atau istri).
Harta bersama menjadi hak bersama suami istri dan terpisah dari harta
pribadi.
2. Harta bersama terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan :
Sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama.
Tanpa mempersoalan siapa yang mencari.
Tanpa mempersoalkan atas nama siapa terdaftar.
3. Tanpa persetujuan bersama, suami atau istri tidak boleh mengasingkan atau
memindahkannya.
4. Utang untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
5. Dalam perkawinan serial atau poligami wujud harta bersama terpisah antara
suami dengan masing-masing istri.
6. Apabila perkawinan pecah (mati, cerai) :
Harta bersama dibagi dua.
Masing-masing mendapat setengah bagian.
Apabila terjadi cerai mati, bagiannya menjadi tirkah.
7. Sita marital atas harta bersama di luar gugat cerai ( Pasal 95 ) :
Ketentuan ini perluasan dari Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun
1975.
Suami atau istri dapat meminta sita marital kepada Pengadilan Agama
apabla salsh satu pihak boros atau pejudi.
15. Pembuahan Anak Secara Teknologi
Dalam Bab XIV diatur mengenai pemeliharaan anak. Materinya hampir sama
dengan Bab IX UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 99 mengemukakan mengenai
12
pengabsahan kebolehan mempergunakan teknologi kedokteran dalam kelahiran
anak :
Sah dan dibolehkan pembuahan anak di luar rahim.
Asal pembuahan itu dari sperma istri, dan dilahirkan oleh istri sendiri.
Tidak dibenarkan penyewaan atau mempergunakan rahim perempuan lain.
16. Pemeliharaan Anak Dalam Perceraian
Pasal 105 KHI menggariskan secara pasti tentang pemeliharaan anak dalam
perceraian :
Selama belum mumayyiz dengan patokan usia 12 tahun, yang berhak
memellihara anak ialah ibunya.
Yang sudah berumur 12 tahun ke atas, diberikan kebebasan kepada anak
untuk memilih antara ayah dan ibu.
Biaya pemeliharaan anak ditanggung ayah.
Batas pemeliharaan anak ditingkatkan menjadi 21 tahun ( Pasal 98 ) .
Tujuannya untuk memikulkan keharusan kepada orang tua untuk
meningkatkan tanggung jawab pembinaan dan pengembangan pendidikan
anak.
17. Perwalian
KHI memperluas jangkauan perwalian seperti yang telah dimuat dalam Bab XI
UU No. 1 Tahun 1974. Perluasan itu disesuaikan dengan hokum Islam:
1. Selama salah seorang orang tua masih hidup dan waras :
Belum terbuka perwalian menurut hukum Islam.
Kedudukan anak masih tetap berada di bawah kekuasaan orang tua yang
masih hidup.
2. KHI tidak mengatur “pengawasan” perwalian.
13
18. Pokok-Pokok Aturan Perceraian
Aturan perceraian yang dirumuskan dalam Bab XVI sampai dengan Bab XIX KHI
merupakan perluasan dari ketentuan perceraian yang diatur dalam Bab VIII UU
No. 1 Tahun 1974 dan Bab IV dan Bab VII PP No. 9 Tahun 1975. Hal-hal yang
dibicarakan di sini adalah:
1. Campur tangan Pengadilan dalam perceraian :
Perceraian hanya dapat dilakukan di sidang Pengadilan Agama ;
Bentuk perceraian terdiri dari “cerai talak dan cerai gugat”
Perceraian di luar Pengadilan Agama tidak sah dan tidak mengikat (talak
liar).
2. Penambahan alasan cerai
Gugat cerai baru memenuhi syarat formal dan materiil apabila didasarkan
atas alasan yang sah; Alasan cerai yang sah telah ditetapkan secara
enumerative dalam Pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 jo. Penjelasan Pasal 39
UU No. 1 Tahun 1974
Alasan tambahan dalam pasal Pasal 116 KHI:
Karena suami melangggar taklik talak;
Peralihan agama ( murtad )
3. Lembaga Li’an
Lembaga li’an tetap dipertahankan dan dapat digunakan oleh suami
sebagai bukti perbuatan zina yang dilakukan oleh istri.
atau untuk mengingkari anak yang ada dalam kandungan istri.
4. Meningkatkan proses cerai talak menjadi contentiosa.
Peningkatan proses itu diatur dalam Pasal 138 KHI dan diperbaiki oleh Pasal 66
UU No. 7 Tahun 1989. Dengan demikian penerapan cerai talak:
Ditingkatkan menjadi contensiosa ;
14
Suami sebagai pihak “pemohon” (pengggugat) dan istri sebagai
“termohon” (tergugat);
Proses pemeriksaan dilakukan berdasarkan asas audi et alteram partem.
5. Kepastian hukum atas rujuk
Pasal 167 KHI mengatur tentang:
Penertiban rujuk kearah kepastian hukum ;
Rujuk harus secara bilateral, istri harus setuju, tidak ada paksaan ;
Rujuk baru sah dan mengikat bila dilakukan di hadapan PPN dan dihadiri
oleh saksi-saksi dan PPN ;
Dibuat catatan dalam buku daftar rujuk yang ditanda tangani oleh suami
istri, saksi-saksi dan PPN.
C. Kesimpulan
Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam UU No. 1 Tahun 1974 dirumuskan
dan dijabarkan yang akan dijadikan ketentuan yang bersifat khusus sebagai aturan
Hukum Islam yang akan diberlakukan bagi mereka yang beragama Islam. Dengan
kata lain buku I KHI bidang perkawinan merupakan aturan dan hukum khusus
yang akan diberlakukan danditerapkan secara khusus bagi masyarakat Indonesia
yang beragama Islam.
KHI muncul karena adanya kebutuhan untuk menyeragamkan atau unifikasi
hukum. Sebelum adanya KHI, para hakim agama mempunyai independensi dalam
menetapkan keputusan atas kasus-kasus yang mereka jumpai, berdasarkan ijtihad
mereka masing-masing. Biasanya ijtihad itu bersumber dari bacaan mereka atas
kitab-kitab (khususnya fikih) yang dapat mereka akses. Dengan begitu, tak ayal
lagi, lahirlah produk hukum yang berbeda-beda, meski kasusnya kadang
sama.Dalam KHI ketentuan ketentusn yang mengatur tenteng perkawinan diatur
dalam buku ke I, dalamKHI terdapat perluasan mengenai arti arti baik landasan
filosofis, landasan idil, dll. Bahkan KHI menambah ketentuan yang tidak diatur di
dalam UU No.1 Tahun 1974 salah satunya tentang mahar.
15
D. DAFTAR PUSTAKA
Erfaniah Zuhriah,M.H,Peradilan Agama di Indonesia U,N.Malang Press 2008
Prof.Muhammad Amin Summa,Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Sayuti Thalib, S.H., Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta:Penerbit Universitas
Indonesia. 1974.
UU RI nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam
(Bandung : Citra Umbara), 232
16