Asal Mula Tari Linda (Budaya Muna)
description
Transcript of Asal Mula Tari Linda (Budaya Muna)
ASAL MULA TARI LINDA
ASAL MULA TARI LINDA Di pulau muna memiliki beberapa tari tradisional , salah
satu diantarany yaitu tari Linda .Tari ini di ciptakan oleh seorang Raja di Pulau Muna.
Raja ini dipercaya pernah menangkap dan memperistri seorang dari tujuh bidadari
kayangan yang turun mandi di sebuah sungai di pulau ini. Kisah tersebut diapresiasikan
dalam gerak dan musik dari tarian ini. Tariannya dilakukan secara missal oleh para
gadis Muna dengan gerakan lemah gemulai mengikuti irama gendang pogada yang
berirama keras.. Tarian ini merupakan peragaan dari upacara adat karia yakni upacara
pingitan gadis-gadis menjelang dewasa dan memasuki bahtera rumah tangga. Uniknya
Tarian ini, ditengah lingkaran di pertunjukan seni beladiri Balaba atau sejenis silat
tradisional. Para pesilat saling menunjukkan ketangkasan dan keahliannya, mereka
memukul dengan keras dan menendang dengan kekuatan, membentuk gerakan indah
bermakna kejantanan yang mempesona. Jika anda penasaran datanglah ke Pulau Muna
yang terkenal pula dengan pesona sejarahnya Hingga sekarang tarian ini tetap lestari
dan kini umumnya disuguhkan kepada para tamu maupun wisatawan yang berkunjung
ke Sulawesi Tenggara khususnya di Pulau Muna.
Menurut Etimologi penamaan Linda berasal dari bahasa Daerah Muna yang
berarti menari berkeliling, laksana burung yang terbang, berkeliling dengan sayap yang
terkembang indah. Tarian ini adalah salah satu tarian rakyat di daerah muna yang telah
lama berkembang di tengah-tengah masyarakat seiring dengan pertumbuhan tradisi
adat di daerah itu. Tarian Linda lahir di tengah-tengah masyarakat muna di sekitar abad
ke-16,yakni di masa pemerintahan Laposasu (kobang kuduno).Tarian ini di ciptakan
sebagai suatu perwujudan tradisi masyarakat di daerah muna dalam hal pemingitan
anak-anak mereka di kala memasuki alam ke dewasaan. Pertumbuhan tarian tersebut
kemudian meluas sampai kedaearah buton,sehingga sekarang ini telah menjadi tarian
tradisional yang sangat popular daerah tersebut. Pelakunya terdiri dari wanita yang
jumlahnya terbatas sampai enam atau delapan orang saja.pakaian mereka terdiri dari
baju kombo yang bahannya terdiri dari kain polos.leher dan pinggir bawah dibis dengan
warnah merah.seluruh pakain ini di hiasi dengan manik-manik yang tebuat dari
perunggu.sarungnya di buat empat lapis.dimana lapisan yang paling dalam berwarna
merah,kemudian menyusul warna hijau,putih,dan paling luar berwarna hitam. Kepala
mereka dihiasi dengan beberapa hiasan seperti tiga buah panto(gelang kepala)di
pasang pada bagian atas dari pada konde penari yang telah di lingkar dengan bandol
konde dari kain berwarna merah yang di hiasi pula dengan picing dan manik-manik
pada bagian belakang kepala di pasang kabunsale yang berwarna merah.mereka juga
memakai kalung leher dan beberapa gelang di kedua tangan mereka.
Pakaian ini khusus di gunakan pada saat seorang gadis keluar dari pingitan
(kagombo) untuk melaksanakan tari Linda. cara memakainya yaitu penari-penari keluar
dari dua penjuru dengan gaya lego (berlengang)setelah menghadapi penonton,mulailah
gerakan pertama.kedua tangan mengambil selendang yang melilit di leher dan di bawa
ke sebelah kiri,laksana orang yang sedang memetik sesuatu bersamaan dengan gerak
kaki yang di gesekan ke kiri sambil mengayunkan kaki kanan ke arah kanan dengan
perhitungan tiga dan di balas dengan kaki kiri dengan perhitungan empat.selanjutnya
kedua tangan di bawa ke sebelah kanan seperti orang yang sedang memetik sesuatu
secara bersamaan dengan gerak kaki kiri ke samping kiri dengan perhitungan satu di
balas dengan kaki kanan pada perhitungan tiga dan di balas lagi dengan kaki kanan
dalam perhitungan empat. Beberapa fariasi terjadi pada saat pertukaran
tempat,mempermainkan selendang dan sebagainya.keseluruhan gerakan dalam tari ini
terdiri dari empat belas macam gerakan.pada gerakan penutup,kedua tangan di bawa
ke sebelah kiri,seperti orang yang sedang memetik buah.kaki kiri di gerakan ke kiri,kaki
kanan di ayunkan ke kanan,dengan perhitungan satu di balas dengan kiri pada
perhitungan dua,kemudian di ganti dengan kaki kanan dalam hitungan tiga dan
seterusnya sampai mencapai perhitungan empat. Akhirnya kedua tangan melepaskan
lilitan selendang dan di sandang ke bahu sebelah kanan.tangan kiri memengang sarung
(bini-bini) tangan kanan berlengang ( lego-lego ) pengiring dari tarian ini adalah alat
musik gendang,gong,dan dengu-dengu.dengan cara di tabu di pukul. Dahulunya
sebelum alat-alat musik tersebut di kenal oleh masyarakat,orang-orang sering
menggunakan mata tou,dengan nama musik mata tou.
Tarian Linda berfungsi sebagai tarian adat dari daerah kabupaten muna yang
selalu di laksanakan dalam upacara karia,oleh gadis-gadis remaja yang di
upacarakan.pemain tari Linda berjumlah 6 orang putri,sedang di lagukan laggu
kadandio syair lagu berbunyi :Ia memerhatikan para bidadari menaruh selendangnya di
dahan dan ranting sebuah pohon. Dengan sengaja ia menunggu dari balik kerimbunan.
Senja meninggalkan semburat jingga di ufuk barat. Para bidadari mengakhirkan senda
guraunya hari itu. Tapi salah satu diantara mereka tidak bisa ikut terbang karena tidak
bertemu mengambil salah satu selendang secara diam-diam dan lalu sembunyi
selendangnya. Keburu malam, peri malang itu ditinggal seorang diri.Omputo menyeruak
dari balik rerimbunan dan mengajaknya pulang. Sang Bidadari menolak dengan
penjelasan bahwa dirinya bukan seperti manusia, ia makhluk yang berbeda dari dunia
kahyangan dan memiliki banyak pemali.Tapi Omputon bersikukuh bidadari itu harus
diboyong. Tanpa selendang, sang Bidadari hanya bisa pasrah. Ia pun diajak ke
palaminan. Bidadari selanjutnya diberinama Wa Ode Fari. Ia bersedia diperisteri dengan
satu syarat yaitu tidak boleh membuka penanak nasi ketika dirinya sedang memasak.
Omputo tidak masalah. Hari berganti, musim berubah.
Mereka kemudian dikaruniai seorang putri . Dua tahun berlalu, ada masa panen,
ada masa panceklik. Disaat orang lain mulai mengeluhkan kehabisan stok beras di
lumbung, lumbung Omputo masih berlimpah. Omputo bingung.Teringat larangan
isterinya pantang membuka penanak nasi, Omputo kembali tergugah penasaran. Ia
merasa ada misteri dibalik kelakuan isterinya. Rasa ingin tahunya kali ini sangat besar.
Suatu saat isterinya pergi mencuci usai mendudukan periuk nasi di tungku, ia nekad
melanggar pantangan siterinya. Ia membuka penutup panci dan terkejut sebab di
dalam periuk hanya berisi satu butir beras. Setelah mendidih, periuk secara ajaib penuh
berisi nasi.
Keesokan harinya, Wa Ode Fari yang tidak tahu kejadian itu pergi ke dapur
hendak menanak nasi. Ia menuang sebutir beras lalu menunggunya hingga matang.
Tapi betapa terkejut setelah matang periuk tidak penuhseperti biasanya. Ia sadar,
suaminya telah melanggar pantangan. Sejak terbongkarnya rahasia itu, Wa Ode Fari
kehilangan kesaktian. Dan semenja itu Wa Ode Fari harus menumbuk padi seperti
layaknya manusia. Hari demi hari stok beras di lumbung terus berkurang. Pasokan padi
di lumbung semakin tipis. Suatu pagi ketika Fari seperti biasa hendak mengangkat padi
terakhir untuk ditumbuk, ia menemukan selendang di dasar lumbung, yang bertahun-
tahun hilang darinya. Ia gembira sekaligus sedih. Meninggalkan seorang anak dan sumi
yang perlahan-lahan mulai dicintainya. Ia mulai merasakan keindahan menjadi manusia
saat anaknya bermanja-manja penuh kemesraan. Tapi bagaimanapun, dunianya bukan
disini. Maka ia berpamitan pada anak dan suaminya lalu terbang dengan sebongkah air
mata berurai bertebaran di udara menjadi rintik hujan. Dibawah kelam langit ditengah
rinai hujan, anak dan suaminya menatap pilu kepergian itu dengan kesedihan
mendalam. Omputo mengakui kelalaiannya namun terlambat menyadari mengapa tidak
mematuhi pesan isterinya.
Perpisahan seperti hari itu tidak pernah dibayangkan bakal terjadi. Konon
sebelum beranjak terbang ke kahyangan, Wa Ode Fari sempat menari sambil
mendendangkan nasihat dan petuah untuk anaknya dari udara. Sepeninggal ibunya,
sang anak merasakan perbedaan yang mendalam. Ia kehilangan belai manja ibunya.
Bagaimanapun berbeda sentuhan ibu dibanding ayah, terutama bagi jiwa kecil seorang
anak berusia dua tahun. Dan itu membuat sang anak merindu. Ia sering tampak
termenung sendiri. Di bawah pohon tempat terakhir dibunya masih terlihat. Ia masih
mampu mengenang semuanya secara detail. Suatu hari di siang bolong yang terik.
Sang anak tak lagi merasakan teriknya matahari, rindu yang membakar lebih panas dari
matahari di kepalanya. Di sana, dibawah pohon kenangan, sang anak tiba-tiba
mengayunkan tubuhnya, meliuk-liuk, seperti gerak ibunya saat terakhir. Ia menari,
menarikan tarian ibunya dari mula hingga akhir, tiada yang terlewatkan. Teman
bermain yang menyaksikan belum pernah melihat tarian seindah itu. Takjub dan
terpana, mereka hanya bisa bergerombol sambil terlongo. Sambil menari, sang anak
mendendangkan lagu ibunya. “Dio Lakadandio, dandio lakadandio……..” Konon itulah
asal muasal tari Linda dan nyaniannya. Tarian yang tidak pernah diketahui siapa
penciptanya, dan lagu yang tidak pernah diketahui artinya. Belum ada yang mampu
menerjemahkan bait nyanyian itu hingga kini