Asas Rektroaktif

4
Asas Rektroaktif menurut ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang No.26 tahun 2000 menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan Hamad hoc. Ini berarti, undang-undang pengadilan HAM berlaku juga bagi pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang tersebut dalam arti adanya ketentuan berlaku surut atau menganut asas retroaktif dan penerapannya pun diawasi secara ketat oleh rakyat, yaitu melalui keharusan adanya persetujuan dari DPR apabila pemerintah ingin melanggar peradilan Romli atasasmita mengatakan, pemberlakuan asas retroaktif dalam pelanggaran HAM berat masih dilematis karena beberapa sebab pertama, pelanggaran hak asasi manusia merupakan peristiwa baru dalam sejarah bangsa Indonesia dan tidak atau belum ada pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Kedua,pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat tidak identik dengan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku, dan untuk itu larangan penafsiran analogi masih tetap berlaku. Ketiga pemberlakuan surut undag- undang pengadilan HAM dengan muatan materi mengenai ketentuan pidana disatu sisi melanggar asas hukum tidak berlaku surut, tetapi disisi lain, jika asas hukum tidak berlaku surut diabaikan berarti KUHP diberlakukan terhadap pelanggaran HAM berat. Hal ini berarti pelanggaran HAM berat dianggap sama dengan kejahatan biasa (ordinary crime). Cara demikian sudah tentu akan berdampak kurang menguntungkan, yaitu dapat mengundang pembentukan ad hoc tribunal Internasional untuk Timuor Timur. Statuta Mahkamah Rwanda dan bekas Yugoslavia menegaskan bahwa jika pengadilan HAM nasional memandang pelanggaran HAM sebagai makalah adedidikirawankejahatan biasa, maka pengadilan Internasioonal akan menggantikan pengadilan nasional sekallipun Statuta Roma tidak mengakui ketentuan sepert itu.Keempat , pemberlakuan asas retroaktif memerlukan justifikasi-justifikasi yang sangat kuat, baik dari sisi pertimbangan filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Terlepas dari dilema pemberlakuan asas retroaktif dalam pelanggaran HAM, perlu diketahui bahwa istilah asas rektroaktif mengandung dua kata pokok yaitu “asas” dan “retroaktif” secara etimolog i, kata asas berasal dari Bahasa arab asas salah satu artinya adalah dasar yang siatasnya dibangun suatu (groudword) atau bagian pokok dan penting dari suatu sistem atau objek (fundamental). Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa diantara arti “asas” adalah hukum dasar atau dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat ). Sedangkan kata “retroaktif” beraasal dari bahasa latin “rectroactus” yang artinya adalah “to drive back”.  Dengan merujuk pada bentuk katanya, retroaktif adalah sebuah kata sifat yang berarti “bersifat surut berlakunya”. Kamus Besar Bahasa Indonesia retroaktif adalah bersifat berlaku surutmakalah adedidikirawan tanggal diundangkannya. Dengan demikian, pengertian asas retroaktif dari segi etimologi adalah dasar yang menjadi tumpuan pemberlakuan suatu aturan secara surut terhitung sejak tanggal diundangkannya. Dari segi epistimologi asas retroaktif tidak sederhana artinya secara etimologis. Karena dalam ilmu hukum dikenal istilah “asas hukum”, yang menurut Moedjiono ad alah peraturan-peraturan pokok/induk yang tidak mungkin ditingkatkan lagi. Agar bisa disebut asas hukum, menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip Sudarto, haruslah merupakan suatu ungkapan-ungkapan hukum (algemene rechtoordelen) yang melembaga sebagai kecenderungan-kecenderungan (tendensen) yang dituntut oleh rasa susila yang dapat ditemukan dengan menunjukan hal-hal yang

Transcript of Asas Rektroaktif

Asas Rektroaktif menurut ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang No.26 tahun 2000 menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan Hamad hoc.Ini berarti, undang-undang pengadilan HAM berlaku juga bagi pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang tersebut dalam arti adanya ketentuan berlaku surut atau menganut asas retroaktif dan penerapannya pun diawasi secara ketat oleh rakyat, yaitu melalui keharusan adanya persetujuan dari DPR apabila pemerintah ingin melanggar peradilanRomli atasasmita mengatakan, pemberlakuan asas retroaktif dalam pelanggaran HAM berat masih dilematis karena beberapa sebabpertama,pelanggaran hak asasi manusia merupakan peristiwa baru dalam sejarah bangsa Indonesia dan tidak atau belum ada pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.Kedua,pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat tidak identik dengan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku, dan untuk itu larangan penafsiran analogi masih tetap berlaku.Ketigapemberlakuan surut undag-undang pengadilan HAM dengan muatan materi mengenai ketentuan pidana disatu sisi melanggar asas hukum tidak berlaku surut, tetapi disisi lain, jika asas hukum tidak berlaku surut diabaikan berarti KUHP diberlakukan terhadap pelanggaran HAM berat. Hal ini berarti pelanggaran HAM berat dianggap sama dengan kejahatan biasa (ordinary crime). Cara demikian sudah tentu akan berdampak kurang menguntungkan, yaitu dapat mengundang pembentukanad hoctribunal Internasional untuk Timuor Timur. Statuta MahkamahRwanda dan bekas Yugoslavia menegaskan bahwa jika pengadilan HAM nasional memandang pelanggaran HAM sebagai makalah adedidikirawankejahatan biasa, maka pengadilan Internasioonal akan menggantikan pengadilan nasional sekallipun Statuta Roma tidak mengakui ketentuan sepert itu.Keempat ,pemberlakuan asas retroaktif memerlukan justifikasi-justifikasi yang sangat kuat, baik dari sisi pertimbangan filosofis, yuridis, maupun sosiologis.Terlepas dari dilema pemberlakuan asas retroaktif dalam pelanggaran HAM, perlu diketahui bahwa istilah asas rektroaktif mengandung dua kata pokok yaitu asas dan retroaktif secara etimologi, kata asas berasal dari Bahasa arab asas salah satu artinya adalah dasar yang siatasnya dibangun suatu (groudword)atau bagian pokok dan penting dari suatu sistem atau objek (fundamental).Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa diantara arti asas adalah hukum dasar atau dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat ).Sedangkan kata retroaktif beraasal dari bahasa latin rectroactusyang artinya adalahto drive back.Dengan merujuk pada bentuk katanya, retroaktif adalah sebuah kata sifat yang berarti bersifat surut berlakunya. Kamus Besar Bahasa Indonesia retroaktif adalah bersifat berlaku surutmakalah adedidikirawantanggal diundangkannya.Dengan demikian, pengertian asas retroaktif dari segi etimologi adalah dasar yang menjadi tumpuan pemberlakuan suatu aturan secara surut terhitung sejak tanggal diundangkannya.Dari segi epistimologi asas retroaktif tidak sederhana artinya secara etimologis. Karena dalam ilmu hukum dikenal istilah asas hukum, yang menurut Moedjiono adalah peraturan-peraturan pokok/induk yang tidak mungkin ditingkatkan lagi. Agar bisa disebut asas hukum, menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip Sudarto, haruslah merupakan suatu ungkapan-ungkapan hukum (algemene rechtoordelen)yang melembaga sebagai kecenderungan-kecenderungan (tendensen)yang dituntut oleh rasa susila yang dapat ditemukan dengan menunjukan hal-hal yang sama dari peraturan-peraturan yang berjauhan satu sama lain, atau merupakan anggapan-anggapan yang memancarkan pengaturan suatu lapangan hukum. Perlu juga diketahui bahwa dalam presfektif kebijakan kriminal(criminal policy),persoalan penanggulangan kejahatan HAM berat dengan menggunakan hukum pidana tidak boleh didekati dari satu sisi semata, apalagi jika satu sudut pandang tersebut hanya berpijak dari kepentingan individu pelaku kejahtan. Mestinya, penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana harus dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi individual dan dari sisi masyarakat. Dari sisi individual yang menjadi objek adalah keharusan untuk melindungi setiap individu terhadap kemungkinan menjadi korban pemidanaan yang sewenang-wenang oleh negara. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang menjadi objek adalah keharusan untuk melindungi masyarakat luas terhadap menjadi korban kejahatan. Untuk sisi ini, hukum pidana mengajarkan asasnullum crimen sine poena(kejahatan tidak boleh berlaku tanpa ada pemidanaan terhadap pelakunya dalam rangka untuk memberikan perlindungan publik ke depan).Dua pendekatan yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan kejahatan di atas pada hakikatnya merupakan pendekatan baru atas dasar hubungan pelaku korban (doer-victiim realtionship),yang menggantikan pendekatan lama, yakni perbuatan pelaku (daad dader strafrecht). Pendekatan lain yang perlu juga diperhatikan adalah pendekatan interaksi antara perbuatan pelaku korban ataucrimes-criminal and victims relationship.Dalam konteks pelanggaran HAM berat, ukuran untuk menentukan ada tidaknya kepastian hukum dan keadilan berdasarkanmakalah adedidikirawanpendekatan crimes criminal and victims relationshipdapat ditentukan melalui formula sebagai berikut:1.nilai keadilan tidak diperoleh dari tingginya nilai kepastian, melainkan dari keseimbangan perlindungan hukum atas korban dan pelaku kejahatan;2.semakin serius suatu kejahatan, maka semakin besar nilai keadilan yang harus dipertahankan melebihi nilai kepastian hukum.Formula tersebut dapat dijadikan sebagai justifikasi akademis untuk memberlakukan asas retroaktif dalam pelanggaran HAM berat dengan dilandaskan pada suatu keyakinan, bahwa pelanggaran HAM berat berbeda dengan kejahatan biasa dalam hal:1.pelanggaran HAM berat bersifat universal sedangkan dalam kejahatan biasa lebih dominanlocal content.2.Pelanggaran HAM berat memiliki sifat sistematis, meluas dan kolektif, sedangkan kejahatan biasa bersifat spontanitas, berancana dan kasuistik dengan korban pada umumnya bersifat individual;3.Terhadap pelanggaran HAM berat dapat dituntut dan diadili di negara mana pun, sedangkan terhadap kejahatan biasa dituntut dan dipidanamakalah adedidikirawandi negara tempat tindak pidana (locus delicti)terdakwa dituntut dan diadili di negara lain sangat bergantung dari perjanjian bilateral yang disepakati masing-masing negara pihak;4.Terhadap pelanggaran HAM berat prinsipne bis in idematau double joupardydapat disimpangi, sedangkan terhadap kejahatan biasa prinsip tersebut dan asas hukum tidak berlaku surut, berlaku mutlak;5.Pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan internasional sedangkan kejahatan biasa merupakan kejahatan lokal atau kejahatan nasional dan tidak diakui secara universal6.Terhadap pelanggaran HAM berat berlaku selain standar-standar internasional, sedangkan terhadap kejahatan biasa hanya berlaku standar-standar hukum nasiona.Selain hal diatas, pemberlakuan asas retroaktif dalam pelanggaran HAM berat harus dapat menjamin bahwa keadilan dapat ditegakan, kepentingan korban dilindungi secara utuh, dan tersangka atau terdakwa memperoleh jaminan minimum atas hak-haknya segera dan terinci mengen ai sifat, sebab dan isi dari tuduhan dan berkomunikasi secara bebas dengan penasihat hukumnya yang dipercaya untuk mempersiapkan pembelaannya, untuk diadili tanpa adanya penangguhan,makalah adedidikirawantanpa adanya batas waktu, hadir dipersidangan dan didampingi penasihat hukumnya, memeriksa saksi-saksi yang memberatkan dirinya atau meminta kehadiran saksi-saksi yang menguntungkan dirinya dengan fasilitas yang sama, memperoleh pembebasan biaya untuk membayar penerjemah bagi kepentingan pembelaannya, tidak booleh dipaksa berbicara, berhak untuk membuat pernyataan dalam pembelaaannya tanpa disumpah, tidak diperbolehkan diberikan kewajiban untuk membuktikan kesalahannya(pembalikan beban pembuktian).Praktik penegakan hukum atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, terdapat beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang berat diadili, seperti pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999, kasus Abepura Papua, peristiwa Tanjung Priuk, dan penembakan mahasiswa trisakti.Walaupun harus diakui bahwamakalah adedidikirawanproses peradilan terhadap kasus-kasus tersebut jauh dari harapan masyarakat karena tidak menyentuh pelaku utama, vonis hukum yang terlalu ringan, dan tidak ada reparasi bagi korban. kasusUsai sudah perjalanan panjang Umar Patek yang buron selama sekitar 10 tahun. Terdakwa kasus terorisme, Umar Patek alias Hisyam bin Alizein alias Abu Syekh alias Mike (45), divonis 20 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Patek, yang kepalanya pernah dihargai 1 juta dollar AS, dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar enam dakwaan berlapis yang dikenakan jaksa penuntut umum (kompas, 20 Juni 2012)Keenam dakwaan tersebut adalah Pasal 15junctoPasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengenai pemufakatan jahat memasukkan senjata dan amunisi ke Indonesia untuk melakukan tindakan terorisme, Pasal 13 Huruf (c) Perppu Nomor 1 Tahun 2002 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, Pasal 340junctoPasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, Pasal 266 Ayat (1) dan (2) KUHPjunctoPasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen, dan Pasal 1 Ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951junctoPasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP tentang Kepemilikan Bahan Peledak Tanpa Izin Penerapan secara retroaktif merupakan tuntutan keadilan karena dipandang sangat bertentangan dengan moral manusia. Apabila HAM pelaku yang dilindungi negara dengan dalil larangan perlakuan asas retroaktif, hal tersebut justru membiarkan pelanggaran HAM yang lebih besar dan parah. Dalam kasus bom bali, delil yang diatur pada dasarnya telah merupakan kejahatan yang dilarang dan diancam dalam UU tindak pidana sebelumnya dan dengan ancaman pidana maksimum yang sama dengan yang diatur dalam UU sebelumnya. Kesadaran hukum bahwa tindakan tersebut merupakan satu kejahatan yang telah ada. Oleh karena itu secara substantif, larangannulla poena, nullum delictum sine lege praeviatidak dilanggar meski ada aspek lain dalam UU No. 15 dan UU No. 16 tahun 2002 yang dinyatakan surut. Validitas pemberlakuan terbatas UU secara retroaktif diatas dengan mencantumkan memperhatikan jumlah korban yang sangat besar dan ditujukan pada ras atau golongan tertentu dengan jaringan yang luas dan terorganisir bahkan melalui persiapan secara transnasional dengan akibat-akibat yang luar biasa terhadap wilayah-wilayah RI, maka kepentingan umum yang perlu dilindungi sangat besar dibandingkan dengan bobot hak asasi secara individu dari pemohon